Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bab 2. Konsep Dasar Penginderaan Jauh

Bab 2. Konsep Dasar Penginderaan Jauh

Published by R.M. Sukarna, 2020-12-05 06:23:02

Description: Lillesand and Kiefer (2002) dalam bukunya Remote Sensing and Image Interpretation edisi ke-4 menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah suatu seni dan pengetahuan untuk mendapatkan informasi tentang suatu obyek, kawasan, atau gejala/fenomena melalui analisis data yang diperoleh, dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, kawasan atau gejala yang dikaji

Search

Read the Text Version

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 II. KONSEP DASAR PENGINDERAAN JAUH 2.1. Pengertian dan Makna Penginderaan Jauh Ilmu pengetahuan dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) telah digunakan sejak abad ke 19 dan mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai saat ini. Hal ini antara lain berhubungan dengan meningkatnya keperluan akan informasi untuk mempelajari dan bahkan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan energi khususnya yang terdapat pada permukaan bumi maupun yang ada di atas dan di dalamnya. Pengertian dan makna penginderaan jauh (indraja) oleh beberapa lembaga maupun para ahli telah banyak dijelaskan dalam berbagai buku dan tulisan ilmiah. Lillesand and Kiefer (2002) dalam bukunya Remote Sensing and Image Interpretation edisi ke-4 menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah suatu seni dan pengetahuan untuk mendapatkan informasi tentang suatu obyek, kawasan, atau gejala/fenomena melalui analisis data yang diperoleh, dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, kawasan atau gejala yang dikaji (Remote Sensing is the science and art of obtaining information about object, area or phenomenon through the analysis of data acquire by a advice that is not in contact with the object, area or phenomenon under investigations). American Society of Photogrametry (1983) yang dikutip oleh Howard (1996) menjelaskan secara lebih luas bahwa penginderaan jauh adalah pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam untuk menghindari kontak fisik dengan objek atau fenomena yang diteliti. Istilah atau pengertian yang disampaikan oleh beberapa para ahli tersebut menyiratkan atau mengindikasikan bahwa jika kita ingin mempelajari suatu obyek/ benda, daerah/ kawasan/ areal maupun gejala/ 1|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 fenomena khususnya dipermukaan bumi, mungkin dapat dikatakan lebih dominan proporsi analisisnya dengan mempelajari obyek, daerah atau gejala tersebut berdasarkan citra penginderaan jauh seperti foto udara atau citra satelit, namun demikian sebaiknya harus dilengkapi dengan verifikasi atau validasi lapangan terhadap obyek, daerah dan gejala tersebut dengan membuat daerah contoh (training area). Cara kerja penginderaan jauh seperti ini menghasilkan informasi yang teruji dan dapat lebih dipertanggungjawabkan. 2.2. Sistem Penginderaan Jauh Menurut Sutanto (1994) sistem penginderaan jauh adalah serangkaian komponen yang digunakan untuk penginderaan jauh yang meliputi (1) sumber energi/tenaga, (2) atmosfer, (3) interaksi antara energi dan obyek, (4) sensor, (5) perolehan data dan (6) pengguna data. Gambar 1. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) 2|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 2.2.1. Sumber Tenaga Menurut Sutanto (1994) sumber Tenaga Sistem Penginderaan Jauh terdiri dari a. Penginderaan jauh sistem pasif adalah sistem yang menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi/ tenaga b. Penginderaan jauh sistem aktif adalah sistem yang menggunakan tenaga buatan seperti gelombang mikro/ Radar sebagai sumber energi Lebih lanjut dijelaskan bahwa jumlah tenaga yang diterima oleh objek di setiap tempat berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain Waktu penyinaran, Bentuk permukaan bumi dan keadaan cuaca. Jumlah energi yang diterima oleh objek pada saat matahari tegak lurus (siang hari) lebih besar daripada saat posisi miring (sore hari). Makin banyak energi yang diterima objek, makin cerah warna objek tersebut. Permukaan bumi yang bertopografi halus dan memiliki warna cerah pada permukaannya lebih banyak memantulkan sinar matahari dibandingkan permukaan yang bertopografi kasar dan berwarna gelap. Sehingga daerah bertopografi halus dan cerah terlihat lebih terang dan jelas. Kondisi cuaca pada saat pemotretan mempengaruhi kemampuan sumber tenaga dalam memancarkan dan memantulkan. Misalnya kondisi udara yang berkabut menyebabkan hasil inderaja menjadi tidak begitu jelas atau bahkan tidak terlihat. 2.2.2. Atmosfer Atmosfer berasal dari kata “atmos” yang berarti uap dan “sphaira” yang berarti bola bumi, adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi yang tersusun atas berbagai unsur utama yang berupa Nitrogen (N2) ± 78%; sebanyak 78,08%, Oksigen (O2) sebanyak 20,95%, Argon (Ar) sebanyak 0,95%, dan Karbondioksida (CO2) sebanyak 0,034%, serta unsur gas -gas 3|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 lain ± 0,07, seperti Neon (Ne), Helium (He), Ozon (O3), Hidrogen (H2), Krypton (Kr), Metana (CH4), dan Xenon (Xe) (https://portal- ilmu.com/lapisan-penyusun-atmosfer). Selanjutnya dijelaskan bahwa lapisan penyusun atmosfer ini dapat dibagi ke dalam lima lapisan, yakni Troposfer (0-15 km), Stratosfer (15-50 km), Mesosfer (50-85 km), Termosfer (85-500 km) dan Eksosfer >500 km). Sutanto (1994) menjelaskan bahwa molekul-molekul gas yang terdapat di dalam atmosfer tersebut dapat menyerap, memantulkan dan melewatkan radiasi elektromagnetik. Di dalam sistem penginderaan jauh terdapat istilah Jendela Atmosfer, yaitu bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Pada Atmosfer terjadi hamburan hamburan Rayleigh, Mie dan non-selektif. Hamburan Rayleigh terjadi jika diameter partikel di atmosfer lebih kecil dari panjang gelombang. Hamburan Mie terjadi jika diameter partikel di atmosfer sama dengan panjang gelombang. Hamburan non-selektif terjadi jika diameter partikel di atmosfer lebih besar dari panjang gelombang. 2.2.3. Interaksi Tenaga dan Obyek Setiap objek di permukaan bumi (tanah, air, vegetasi) memiliki karakteristik tertentu dalam memantulkan maupun memancarkan tenaga ke sensor. Obyek yang banyak memantulkan/memancarkan tenaga akan tampak cerah pada citra sedangkan objek yang pantulannya/pancarannya sedikit (lebih banyak diserap) akan tampak gelap pada citra (Sutanto, 1994; Lillesand dan Kiefer, 2003). 4|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Gambar 2. Jendela Atmosfer (Sutanto, 1994) 2.2.4. Wahana dan Sensor Wahana Adalah peralatan yang digunakan untuk membawa sensor dalam sistem penginderaan jauh seperti drone, pesawat terbang, satelit, balon, helokopter dan lain-lain. Sensor merupakan alat pemantau yang dipasang pada wahana, baik pesawat maupun satelit. Sensor dapat dibedakan menjadi dua. a. Sensor fotografik, merekam objek melalui proses kimiawi. Sensor ini menghasilkan foto. Sensor yang dipasang pada pesawat menghasilkan citra foto (foto udara), sensor yang dipasang pada satelit menghasilkan citra satelit (foto satelit) b. Sensor elektronik, bekerja secara elektrik dalam bentuk sinyal. Sinyal elektrik ini direkam dalam pada pita magnetik yang kemudian dapat diproses menjadi data visual atau data digital dengan menggunakan komputer. Kemudian lebih dikenal dengan sebutan citra. 5|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 2.2.5. Perolehan Data Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual, melalui interpretasi secara visual dan dapat juga dilakukan secara digital menggunakan software pengolah citra berbasis komputer. Citra berupa foto udara pada umumnya diinterpretasi secara manual, sedangkan data hasil penginderaan secara elektronik dapat diinterpretasi secara manual ataupun secara digital. Khusus untuk data Citra Landsat dapat diperoleh melalui alamat web https://earthexplorer.usgs.gov/>. Kontrol format level pada Citra Landsat umumnya terdiri dari (1) Level 0 (L0), data citra yang telah dibersihkan bagian pengformatan data dan transmisi datanya. Lnull sudah ada informasi waktu, informasi spasialnya dan terorder dalam bsq, (2) Level 1 Radiometric (L1R), pada tingkat ini secara radiometris dihasilkan dari pengkoreksian terhadap data L0 dan diskalakan ke radians spektral atau pantulan, (3) Level 1 Systematic (L1G), data L1R yang dikoreksi geometri sistematik, dan di resampling ke proyeksi kartografis, dan direferensikan ke WGS84, G873, atau versi lain yang ada, (4) Level 1 Gt (L1Gt), data L1R yang dikoreksi geometri sistematik, dengan koreksi terrain, dengan perlakukan yang sama seperti pada L1G. L1Gt menggunakan informasi posisi onboard atau ephemeris definitif, dan juga penggunaan data elevasi untuk mengkoreksi kesalahan paralaksise, (5) Level 1 Terrain (L1T), data hasil pengolahan L1R, dengan penerapan koreksi geometri sistematik. Penggunaan titik ikat, atau informasi posisi onboard untuk resampling citra sehingga terproyeksi secara kartografis, ke WGS84, G873, atau versi lain yang ada. Data hasil pengolahan dengan level L1T ini juga terkoreksi medan (terrain) untuk relief displacement (Sumber : Translasi KomunitasGIS.com 2013; dari Buku DFCB Landsat : USGS Landsat 6|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Data Continuity Mission (LDCM) Level 1 (L1) Data Format Control Book (DFCB) oleh Simon); http://komunitasgis.com/?p=338, download April 2019). Sumber : https://www.usgs.gov/core-science-systems/nli/landsat/landsat-levels- processing (Download, 4 Desember 2020). 2.2.6. Pengguna Data Data citra penginderaan jauh dapat digunakan oleh siapa saja yang memerlukan seperti untuk keperluan pemerintah, lembaga swasta, pribadi dan lain lain. Kerincian, kehandalan, dan kesesuaiannya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima atau tidaknya data penginderaan jauh tersebut. 7|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 2.3. Resolusi Sistem Penginderaan Jauh Satelit Sistem penginderaan jauh satelit pada dasarnya menggunakan satelit sebagai wahana untuk membawa sensor optik elektronik dalam mengindra permukaan bumi. Sistem ini umumnya bekerja secara otomatis dan digital dalam penyiaman (scanning), pengiriman data maupun analisis data. Sutanto (1997) menjelaskan bahwa obyek yang terekam pada data penginderaan jauh dapat berupa data piktorial/analog (gambar) atau data numerik/digital (angka). Data numerik mencerminkan nilai kecerahan atau nilai spektral hasil rekaman obyek yang lazim disebut rona. Pengenalan obyek pada citra penginderaan jauh umumnya menggunakan ciri spektral, ciri spasial dan ciri temporal. Kerincian informasi yang dihasilkan dari ketiga ciri tersebut terutama tergantung pada aspek resolusinya. Swain dan Davis (1978) menjelaskan bahwa resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan dan secara spektral mempunyai kemiripan. Dalam bidang penginderaan jauh terdapat empat konsep resolusi yang sangat penting, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal (Danoedoro, 1996). Selanjutnya dijelaskan bahwa makna Resolusi Spasial adalah ukuran terkecil obyek yang masih dapat dideteksi oleh sistem pencitraan. Semakin kecil ukuran obyek yang dapat terdeteksi semakin tinggi resolusinya. Citra QuickBird dengan resolusi spasial 67 cm lebih detil memberikan informasi spasial dibandingkan dengan citra Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) yang memiliki resolusi spasial 30 m (Ko Ko Lwin, 2008). Klasifikasi secara umum untuk resolusi spasial citra biasanya untuk resolusi spasial rendah (low resolution) adalah lebih besar dari 60 meter per piksel, resolusi sedang (medium resolution) 10 – 30 meter per piksel, resolusi tinggi (high resolution) 30 cm – 5 meter per piksel (Earth 8|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Observing System, 12 April 2012; https://eos.com/blog/satellite-data-what- spatial-resolution-is-enough-for-you/). Beberapa contoh resolusi spasial citra lain seperti IKONOS 0,8 m, GeoEye-1 0,5 m, WorldView-1 0,5 m, SPOT6 dan SPOT7 6 m. Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan obyek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Semakin banyak jumlah salurannya semakin tinggi resolusi spektralnya (Danoedoro, 1996). Citra ASTER (Advance Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) yang memiliki jumlah saluran (band) 14 lebih rinci memberikan informasi spektralnya dibandingkan dengan citra Landsat 7 ETM+ yang memiliki 7 saluran. Resolusi radiometrik adalah kemampuan sensor untuk mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital/data numerik (digital coding) yang dinyatakan dalam bit. Sistem penginderaan jauh dengan resolusi radiometrik 8 bit akan mempunyai skala keabuan (gray scale) antara 0 – 255 (28 = 256), dengan sistem 9 bit menghasilkan skala kecerahan antara 0 – 511 (29 = 512) dan seterusnya (Mather, 1987). Resolusi temporal merupakan kemampuan sistem penginderaan jauh untuk merekam ulang daerah yang sama. Sistem temporal tinggi seperti pada satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) mampu merekam ulang daerah yang sama dengan waktu 12 jam lebih baik dibandingkan dengan citra Landsat ETM maupun citra SPOT yang merekam ulang daerah yang sama dengan masing-masing waktu 16 hari dan 26 hari sekali. Dalam penginderaan jauh sisitem satelit keempat resolusi tersebut direpresentasikan dalam bentuk elemen gambar (picture element) atau biasanya disebut dengan piksel (pixel). Setiap piksel mempunyai nilai spektral tertentu dan mempunyai posisi tertentu dipermukaan bumi. 9|Konsep Dasar PJ (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Semakin besar ukuran piksel dalam sistem sensor penginderaan jauh semakin jelas informasi yang diterima. 2.4. Karakteristik Spektral Obyek Berdasarkan penjelasan sebelumnya diketahui bahwa kerincian informasi spektral obyek dalam sisitem penginderaan jauh terutama tergantung pada resolusi spektralnya. Akan tetapi kerincian informasi spektral masih berhubungan dengan resolusi spasialnya. Citra satelit dengan resolusi spasial tinggi akan memberikan respon spektral yang lebih murni pada nilai pikselnya, sehingga identifikasi obyek dari ciri spektralnya lebih mudah dilakukan. Perbedaan spektral obyek dipermukaan bumi secara umum dibedakan atas spektral air, spektral tanah dan spektral vegetasi. Sutanto (1997) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan tingkat kecerahan obyek adalah jenis obyek, kondisi obyek (warna permukaan, kekasaran permukaan, kelembaban, dan umur saat perekaman), panjang gelombang dan lebar pita energi yang digunakan. Setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik yang berbeda- beda dalam menyerap dan memantulkan gelombang elektromagnetik. Karakteristik ini disebut dengan karakteristik spectral. Perbedaan pantulan gelombang elektromagnetik oleh berbagai objek inilah yang kemudian disebut dengan pola pantulan spectral. Objek yang memantulkan tenaga elektromagnetik tampak cerah di citra, sedang objek yang banyak menyerap akan tampak gelap (Sutanto, 1994). 2.4.1. Karakteristik Pantulan Air Pantulan spektral air dicirikan oleh grafik yang terus menurun dari spektrum biru hingga inframerah dekat. Nilai pantulan air pada spektrum inframerah hampir mendekati nol karena hampir seluruh energi pada spektrum tersebut terserap oleh air. Nilai pantulan spektral dipengaruhi oleh 10 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 kedalaman air serta keberadaan dan tingkat konsentrasi kandungan suspensi material organik dan anorganik pada air. Pantulan spektral yang diperoleh dari pantulan material yang terlarut pada air disebut dengan istilah volume reflectance (Swain and Davis, 1978; Mather, 1987;) Gambar 3. Kurva Pantulan Spektral Objek (Sutanto, 1994) 2.4.2. Karakteristik Pantulan Tanah Karakteristik dari pantulan tanah memiliki bentuk yang berbalik dengan pantulan spektral air. Kurva pantulan tanah selalu naik dari spektrum biru hingga spektrum infra merah. Reflektivitas dari tanah disebabkan oleh keberadaan material organik, tingkat kelembaban, dan oksida besi pada tanah. Serapan oksida besi banyak terjadi pada spektrum ultraviolet, sehingga nilai pantulan tanah pada spektrum tersebut sangat rendah. Kandungan oksida besi juga memberikan pengaruh terhadap reflektivitas tanah berupa serapan pada rentangan 0.85 hingga 0.93 µm. Pantulan spektral tanah ini cenderung turun pada rentang spektral di atas 2µm yang diakibatkan biasanya oleh adanya lempung (Budiyanto, 2015). 2.4.3. Karakteristik Pantulan Vegetasi Karakteristik respon spektral vegetasi relatif lebih bervariasi dibandingkan respon spektral air dan spektral tanah, hal ini karena pengaruh 11 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 kandungan klorophil, struktur sel daun dan kadar air dalam daun (Hoffer, 1978). De Carolis dan Amodeo (1977) menjelaskan bahwa pantulan dari radiasi matahari yang mengenai daun relatif rendah pada spektrum tampak ( 0,4–0.7 m), meningkat secara cepat pada spektrum infra merah dekat ( 0,8–1,3 m). Pada spektrum infra merah tengah ( 1,3 - 2,3 m) karakteristik spektral vegetasi lebih banyak dipengaruhi oleh kadar air dalam jaringan daun dengan puncak pantulan berada pada sekitar  1,6 m dan 2,2 m. Pada spektrum infra merah termal ( 2,6 - 25 m) permukaan daun menyerap lebih tinggi radiasi sinar matahari sehingga pantulan yang terjadi sangat lemah berkisar antara 0 – 15%. Hoffer (1978) menjelaskan pada spektrum tampak jumlah energi yang datang pada daun banyak yang diserap dan sangat sedikit yang ditransmisikan. Panjang gelombang 0,45 m dan 0,65 m merupakan daerah serapan klorophil. Pantulan yang cukup tinggi terjadi pada panjang gelombang 0,54 m yaitu pada spektrum hijau. Pada spketrum infra merah dekat, vegetasi hijau yang sehat akan dipantulkan kira-kira 45 – 50 %, ditransmisikan 40 – 50 %, dan kurang dari 5 % yang diserap. Semakin rapat liputan tajuk semakin luas permukaan daun yang bersifat sebagai pemantul. Kondisi ini menyebabkan spektrum infra merah dekat sangat peka terhadap perubahan tingkat kerapatan tajuk vegetasi hutan. Pada spektrum inframerah dekat, hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya pantulan adalah struktur internal daun. Disamping pengaruh struktur internal daun, perbandingan pantulan dari daun tunggal ke lapisan- lapisan daun berikutnya menyebabkan pantulan yang sangat tinggi (> 85 %) pada infra merah dekat. Kerapatan liputan tajuk berpengaruh terhadap pantulan spektral, semakin rapat liputan tajuk semakin luas permukaan daun 12 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 bersifat sebagai pemantul. Kondisi ini akan menyebabkan spektrum infra merah dekat peka terhadap perubahan tingkat kerapatan tajuk. Pigmen utama pada daun adalah klorofil-a dengan serapan maksimum pada  0,43 m dan  0,66 m, klorofil-b dengan serapan maksimum pada  0,45 m dan  0,65 m. Phytoksianin mempunyai serapan tinggi pada spektrum ultarviolet dan inframerah tengah (Howard, 1996). Dijelaskan bahwa radiasi matahari pada spektrum tampak yang melalui sel kulit ari dan lapisan epidermis pada daun sebagian diserap oleh kloroplas pada saluran biru dan diserap oleh karoten pada saluran merah. Sehingga sesuai dengan apa yang dijelaskan Lillesand dan Kiefer (2003) serta Hoffer (1978), secara umum dapat dipahami bahwa faktor dominan yang mempengaruhi respon spektral pada spektrum tampak, infra merah dekat pertama dan infra merah dekat kedua berturut-turut adalah pigmen daun, struktur sel daun dan kandungan air dalam daun. Pengaruh pigmen daun terutama klorophil pada spektrum tampak adalah kondisi yang dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai aspek-aspek yang berkaitan dengan tingkat kesehatan vegetasi. Ukuran sehat dan stresnya tanaman dapat diperkirakan dari pola karakteristik spektral vegetasi. Sehat dan stresnya tanaman akan dapat mempengaruhi distribusi suplai makanan keseluruh jaringan sel tumbuhan yang berakibat pada terganggunya pertumbuhan tanaman. Daun adalah bagian tanaman yang berperan dalam menyerap energi untuk selanjutnya digunakan dalam proses fotosintesis maupun transpirasi. Proses fotosintesis secara kimiawi dapat diterangan berdasarkan persamaan reaksi berikut. Energi matahari 6CO2 + 6 H2O ------------------------------ C6H12O6 + 6 O2 Klorofil 13 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Persamaan tersebut relatif mudah digunakan untuk memahami peran energi elektromagnetik dalam kaitannya dengan respon spektral vegetasi maupun pada aspek pertumbuhan tanaman. 2.5. Transformasi Indeks Vegetasi Goel dan Norman (1992) dalam Jensen (1996) menyatakan bahwa transformasi indeks vegetasi adalah suatu alternatif yang digunakan untuk mengukur kondisi dan jumlah vegetasi yang didasarkan pada ukuran nilai- nilai spektral penginderaan jauh. Danoedoro (1996) menjelaskan bahwa indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra penginderaan jauh multi spektral untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi maupun aspek lain yang berhubungan dengan kerapatan seperti biomassa, indeks luas daun, konsentrasi klorofil dan sebagainya. Mather (1987), menjelaskan bahwa Ratio Vegetation Index (RVI) sangat efektif untuk menghilangkan efek bayangan akibat perbedaan penerimaan tenaga matahari. Selanjutnya Purevdorj et al. (1998) menjelaskan bahwa Normalized Differenced Vegetation Index (NDVI), Soil Ajusted Vegetation Index (SAVI) cukup sensetif untuk mengetahui latar belakang tanah. Purwadhi (2001) menjelaskan bahwa Differenced Vegetation Index (DVI) dan Greeness Vegetation Index (GVI) banyak digunakan untuk memonitor dan mengatur perkembangan vegetasi. Sedangkan RVI dan NDVI banyak digunakan untuk mengkaji jumlah vegetasi. 2.6. Kerapatan Tajuk Pohon Dalam kondisi tertentu bentuk dan ukuran tajuk pohon merupakan hal yang penting dalam menentukan berbagai aspek yang berhubungan dengan tingkat pertumbuhan atau tingkat kompetisi suatu tegakan hutan. Tajuk pohon yang merupakan gambaran dari total luas daun akan banyak 14 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 berperan dalam penyerapan radiasi matahari, photosintesis dan transpirasi. Fungsi-fungsi ini tentunya akan berkaitan dengan sifat-sifat fisiologi pohon dalam pembentukan pertumbuhan secara keseluruhan. Wang dan Jarvis (1990) dalam Doruska dan Mays (1998) menjelaskan bahwa luas total daun dan distribusi spasialnya yang ditunjang oleh bentuk tajuk memainkan peran yang sangat besar dalam hal menyerap radiasi, fotosintesis dan transpirasi. Sehingga dapat dimengerti bahwa fungsi tajuk pohon akan menjadi parameter penentu terhadap pertumbuhan parameter lainnya seperti tinggi pohon maupun diameter batang. Paine (1993) menjelaskan bahwa tinggi tegakan dan penutup tajuknya merupakan peubah-peubah terbaik untuk menaksir volume tegakan. Husch et al. (1982) menjelaskankan bahwa umumnya hutan mempunyai perbedaan dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lainnya. Perbedaan antara tegakan yang rapat dan jarang lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan tajuknya. Howard (1991) menjelaskan pada keadaan dimana struktur tegakan mempunyai kanopi yang mempunyai kedudukan tinggi relatif sama akan mencerminkan indeks luas daun (LAI) yang tinggi sebagai pemantul baur dibandingkan dengan keadaan tegakan yang mempunyai kedudukan tinggi kanopi yang bervariasi. Kondisi ini akan menyebabkan efek utama dari keberadaan tajuk pohon sebagai bidang pemantul akan tercermin dari tingkatan lapisan daun yang menyusun tajuk tersebut. Dibawah tajuk hutan yang rapat, permukaan tanah akan tertutup secara rapat oleh tajuk pohon, hal ini tidak akan memberikan kontribusi energi radian yang terekam oleh sensor. Pada Kondisi tajuk pohon yang tipis atau mengelompok, maka tanah akan memberikan sumbangan yang cukup penting pada nilai piksel, tetapi pada pembentukan citra akan diminimalkan karena pengaruh bayangan. 15 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Teori yang dikembangkan oleh Hoffer (1978) yang menjelaskan tentang efek pantulan terhadap daun berlapis akan sangat membantu dalam memahami fungsi tajuk pohon secara keseluruhan. Daun hijau dan sehat mempunyai kecenderungan untuk memantulkan dan mentransmisikan lebih banyak spektrum infra merah dekat dan hanya sedikit yang diserap. Hal tersebut menyebabkan spektrum infra merah dekat sangat sensetif terhadap perubahan tingkat kerapatan daun. Purevdorj et al. (1998) menjelaskan bahwa vegetasi rapat akan meningkatkan variasi nilai indeks luas daun (LAI), sehingga variasi nilai spektral pada kerapatan tajuk yang sama lebih disebabkan oleh perbedaan- perbedaan pada LAI, dan hal ini dapat menimbulkan kesalahan didalam menduga tingkat kerapatan tajuk. Sebagai konsekuensinya adalah variasi LAI akan menyebabkan perbedaan pada nilai indeks vegetasi, sehingga variasi kondisi lapisan daun pada kerapatan tajuk yang sama akan diterjemahkan sebagai perubahan pada nilai persen kerapatan tajuk. Beberapa klasifikasi kerapatan tegakan yang didasarkan pada kerapatan penutupan tajuk adalah sebagai berikut (Manan, 1992) ❑ Rapat, apabila terdapat penutupan tajuk > 70 % ❑ Sedang, apabila terdapat penutupan tajuk antara 40 – 70 % ❑ Jarang, apabila terdapat penutupan tajuk < 40 % 2.7. Indeks Luas Daun Pada prinsipnya tajuk vegetasi berfungsi dalam proses-proses fotosintesis, absorbsi energi matahari, respirasi dan transpirasi. Tajuk dengan luas yang sama tetapi bervariasi dalam bentuknya memberikan perbedaan dalam menerima jumlah radiasi matahari (Doruska dan Mays, 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa jumlah produksi karbohidrat suatu 16 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 pohon tergantung pada ukuran tajuk atau luas permukaan daun pada tajuk pohon. Indeks uas daun (Leaf Area Index atau LAI ) adalah luas kumpulan lapisan daun pada struktur tajuk vegetasi per unit luas permukaan tanah yang signifikan pengaruhnya terhadap proses-proses photosintesis, penyerapan radiasi matahari dan evapotranspirasi pada tumbuhan (Nemani et al.,1993). LAI umumnya dipengaruhi oleh kandungan klorophil pada daun, jenis vegetasi dan struktur tajuk (Bouman, 1992; Franklin et al. 1997; Kuusk 1998). Dalam hubungannya dengan kajian penginderaan jauh, LAI merupakan luas daun vegetasi hijau yang mampu terdeteksi oleh sensor dari berbagai sudut pandang. Perbedaan nilai spektral pada kerapatan tajuk vegetasi yang sama lebih disebabkan oleh perbedaan pada LAI (Purevdorj et al., 1998). Pada struktur tajuk vegetasi yang tingginya relatif sama, LAI akan mencerminkan respon spektral yang tinggi sebagai pemantul baur dibandingkan dengan struktur tajuk vegetasi yang tingginya relatif bervariasi (Howard, 1991). Micheal et al. (2004) menjelaskan bahwa kesalahan pendugaan kerapatan tajuk vegetasi dari data spektral citra satelit disebabkan oleh pengaruh vegetasi lapisan bawah, latar belakang pantulan, restorasi citra, perbedaan waktu pengukuran lapangan dan perolehan data satelit serta resolusi spasial yang belum cukup untuk mengkaji variabilitas permukaan lahan. Metode yang banyak dikembangkan untuk mengurangi kesalahan pendugaan kerapatan vegetasi dari data spektral citra penginderaan jauh dilakukan melalui pendekatan transformasi indeks vegetasi (Bouman 1992, Nemani et al. 1993, Franklin et al. 1997). Goel dan Norman (1992) dalam Jensen (1996) menyatakan bahwa transformasi indeks vegetasi adalah suatu alternatif yang digunakan untuk 17 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 mengukur kondisi dan jumlah vegetasi yang didasarkan pada ukuran nilai- nilai spektral penginderaan jauh. Danoedoro (1996) menjelaskan bahwa indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra penginderaan jauh multi spektral untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi maupun aspek lain yang berhubungan dengan kerapatan seperti biomassa, indeks luas daun, konsentrasi klorofil dan sebagainya. Transformasi Indeks vegetasi digunakan untuk mengukur kondisi dan jumlah vegetasi maupun aspek lainnya seperti biomassa, LAI, dan konsentrasi klorofil (Jensen 1996). Dasar utama pengembangan transformasi indeks vegetasi adalah ruang spektral (feature space). Pada ruang spektral dapat terlihat kecenderungan pengelompokan nilai spektral yang menghasilkan adanya pengelompokan obyek terpisah satu sama lain. Transformasi ini berfungsi mempertajam informasi tertentu dan sekaligus menghilangkan atau mengurangi informasi yang lain, serta meringkas informasi dengan cara mengurangi dimensionalitas data (Danoedoro 1996). Penisbahan antara saluran (band) merah dan inframerah dekat (Ratio Vegetation Index ; RVI) mampu meningkatkan pengelompokkan nilai piksel obyek dan mampu mengurangi efek bayangan akibat perbedaan penerimaan tenaga matahari (Mather 1987). Vegetasi yang rapat dengan struktur daun atau percabangan yang berbeda, apabila diplot ternyata menempati garis imajiner antara tanah gelap dan vegetasi pada ruang spektral yang dibentuk oleh saluran infra merah dan saluran merah. Vegetasi dengan kerapatan yang bervariasi ternyata terletak di antara garis vegetasi dan garis tanah (Richardson dan Wiegand, 1977). Dengan dasar pemikiran tersebut, selanjutnya banyak dikembangkan transformasi indeks vegetasi yang lain. Bouman (1992) menjelaskan bahwa kesalahan yang terjadi dalam menduga LAI sangat tergantung pada variasi distribusi arah daun dan warna 18 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 daun. Dengan melakukan transformasi khusus menggunakan Weighted Difference Vegetation Index (WDVI) dan Perpendicular Vegetation Index (PVI) dari kombinasi saluran inframerah dekat dan saluran hijau, pengaruh tersebut mampu dieleminasi dengan baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa hubungan antara Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan LAI sangat tergantung pada spesies, struktur tegakan dan variasi tipe tajuk hutan. Mather (1987), menjelaskan bahwa Ratio Vegetation Index (RVI) sangat efektif untuk menghilangkan efek bayangan akibat perbedaan penerimaan tenaga matahari. Selanjutnya Purevdorj et al. (1998) menjelaskan bahwa Normalized Differenced Vegetation Index (NDVI), Soil Ajusted Vegetation Index (SAVI) cukup sensetif untuk mengetahui latar belakang tanah. Purwadhi (2001) menjelaskan bahwa Differenced Vegetation Index (DVI) dan Greeness Vegetation Index (GVI) banyak digunakan untuk memonitor dan mengatur perkembangan vegetasi. Sedangkan RVI dan NDVI banyak digunakan untuk mengkaji jumlah vegetasi. Namun demikian Franklin et al. (1997) menjelaskan bahwa estimasi LAI dengan hanya menggunakan satu parameter indeks vegetasi data spektral citra penginderaan jauh secara konvensional masih menimbulkan masalah. Indeks vegetasi spektral seperti NDVI dan lain-lain memang mempunyai hubungan dengan LAI, tetapi hubungan tersebut berbeda pada jenis-jenis daun jarum (needleleaf) dan jenis-jenis daun lebar (broadleaf) karena perbedaan pantulan pada spektrum inframerah dekat, sehingga untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi diperlukan keterpaduan dengan pemodelan ekosistem. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nemani et al. (1993) bahwa hubungan antara NDVI dan LAI masih rendah disebabkan oleh kontribusi 19 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 vegetasi lapisan bawah dan latar belakang tanah terhadap pantulan inframerah dekat pada tajuk yang terbuka. Dengan melakukan koreksi terhadap NDVI dengan saluran inframerah tengah, maka hubungan antara NDVI dengan LAI dapat ditingkatkan. Rikimaru (1996) mengembangkan model kerapatan tajuk hutan (Forest Canopy Density ; FCD) untuk meningkatkan kemampuan identifikasi dan klasifikasi LAI tajuk hutan menggunakan pendekatan terpadu antara Advanced Vegetation Index (AVI), Bare Soil Index (BI), Shadow index (SI), dan Thermal Index (TI). Pada prinsipnya Indeks vegetasi seperti NDVI umumnya memberikan respon terhadap semua tipe penutupan vegetasi seperti hutan, belukar, dan semak-semak. Akan tetapi AVI memberikan reaksi yang lebih peka dibandingkan dengan NDVI dalam memberikan respon perubahan penutupan tajuk hutan. Seiring dengan semakin meningkatnya nilai kerapatan tajuk, akan diikuti juga oleh peningkatan nilai SI. Artinya semakin rapat vegetasi pohon maka akan menyebabkan bayangan yang lebih banyak. Di sisi lain jika tanah terbuka semakin sedikit (semakin kecil nilai BI) maka akan berkorelasi dengan semakin menurunnya nilai temperatur (TI). Seperti diketahui bahwa nilai maksimum VI tidak tergantung pada kepadatan pohon, sehingga akan jenuh terlebih dahulu dibandingkan dengan SI. Sebaliknya SI sangat tergantung pada jumlah vegetasi yang tinggi seperti pohon dengan bayangan yang signifikan (Rikimaru dan Miyatake, 1997). 2.8. Struktur Vegetasi dan Floristik Hutan Dombois dan Ellenberg (1974) mendefinisikan istilah struktur vegetasi sebagai organisasi di dalam suatu ruang dari individu-individu yang membentuk suatu tegakan dengan elemen utama adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Struktur vegetasi paling 20 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 sedikit mempunyai lima tingkatan, (1) physiognomy vegetasi, yaitu kenampakan luar vegetasi, (2) struktur biomasa adalah suatu konsep yang sangat teliti / detil dari struktur vegetasi, (3) struktur bentuk kehidupan, yaitu suatu bentuk yang berhubungan dengan komposisi bentuk pertumbuhan atau bentuk kehidupan tumbuhan di dalam vegetasi, (4) struktur floristik atau komposisi floristik merupakan bagian dari struktur vegetasi yang mencakup misalnya aspek struktur bentuk kehidupan dan biomasa, (5) struktur tegakan. Komponen-komponen struktur vegetasi terdiri atas (1) struktur vertikal, yaitu stratifikasi pada lapisan tajuk, (2) struktur horizontal, merupakan distribusi spasial dari individu dan populasi spesies, (3) struktur kuantitatif, merupakan jumlah dari setiap spesies di dalam komunitas. Van Gils dan van Wijngaarden (1984) menjelaskan bahwa secara morfologi vegetasi memiliki dua aspek utama, yaitu (1) komposisi (seperti komposisi spesies tumbuhan, komposisi floristik dll.) dan (2) adalah sruktur (seperti aspek tiga dimensi, bentuk, struktur dan fisiognomi). Struktur vegetasi dan komposisi biasanya tidak mempunyai hubungan khusus dalam suatu kawasan (rangeland areas). Suatu tipe struktur dapat termasuk kedalam bermacam-macam sub-tipe floristik, dan suatu tipe floristik dapat termasuk kedalam sub-tipe struktur vegetasi. Secara Struktural vegetasi umumnya terdiri dari struktur hutan (forest), belukar (woodland), semak belukar (shrubland), semak (bushland) dan padang rumput (grassland) yang masing-masing memiliki tipe floristik sendiri. Istilah struktur vegetasi dijelaskan oleh Campbell (2002) sebagai suatu stratifikasi tumbuhan, yaitu berbagai komunitas tumbuhan yang terorganisir secara vertikal, dengan beberapa spesies vegetasi membentuk canopi paling atas (dominan), vegetasi dengan strata menengah (middle strata), semak, 21 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 dan kanopi vegetasi yang dekat dengan permkaan tanah (layers nearer to the ground). Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah floristik diarahkan untuk menggambarkan klasifikasi botanikal dari tumbuhan, dan klasifikasi floristik menggambarkan karakteristik genetik dan evolusi dari tumbuhan secara individual. Pengetahuan terhadap struktur floristik hutan diperlukan terutama untuk dapat mengetahui struktur dan komposisi hutan, mengenal jenis-jenis pohon dan vegetasi lain serta mengetahui penyebarannya di dalam hutan. Soerianegara dan Indrawan (1988) menjelaskan bahwa hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungannya sehingga dipandang sebagai sistem ekologi (ekosistem). Satuan vegetasi hutan terbesar (major vegetation unit) adalah formasi hutan. Satuan-satuan di dalam formasi hutan yang diberi nama menurut jenis-jenis pohon yang dominan disebut assosiasi hutan. Masyarakat hutan terbentuk melalui proses suksesi (sere) secara bertahap dari invasi, adaptasi, agregasi, kompetisi, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi yang akhirnya membentuk vegetasi klimaks. Dalam perkembangannya vegetasi klimaks dapat berubah menjadi vegetasi sub- klimaks karena perkembangan vegetasi terhenti di bawah tingkat terakhir vegetasi klimaks sebagai akibat faktor bukan iklim. Kondisi pro-klimaks terjadi apabila pembentukan klimaks menyimpang dari tipe yang sewajarnya, misalnya akibat perubahan kondisi fisiografis. Kondisi disklimaks terjadi sebagai akibat berbagai gangguan sekunder, dimana keadaan tempat tumbuh berubah sangat buruk dan pertumbuhan vegetasi misalnya terhenti pada tingkat semak belukar. Kriteria yang digunakan dalam klasifikasi vegetasi adalah sebagai 22 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 berikut (Ellenberg, 1956 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988): 1. Sifat-sifat masyarakat tumbuh-tumbuhan : a) Kriteria phisiognomis, yaitu bentuk (life form), struktur, dan periodisitas musiman. b) Kriteria floristik, yaitu menurut taxon tumbuh-tumbuhan ( 2 – 3 taxa), dan menurut sekumpulan taxa. c) Hubungan numerik (koefisien masyarakat tumbuh-tumbuhan) yaitu antara taxa yang berlainan, dan antara tegakan-tegakan yang berlainan. 2. Sifat-sifat di luar masyarakat tumbuh-tumbuhan : a)Keadaan terakhir dari perkembangan vegetasi (klimaks), yaitu sebagai satuan phisiognomis dan sebagai satuan floristik. b)Tempat tumbuh, yaitu letak geografis, faktor tempat tumbuh, dan keadaan tempat tumbuh sebagai keseluruhan. Untuk mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan umumnya dilakukan melalui analisis vegetasi. Satuan yang diselidiki adalah tegakan hutan yang merupakan asosiasi konkrit yang dilakukan berdasarkan unit contoh (sampling unit) di lapangan. Dari hasil-hasil pengukuran dapat dihitung parameter kerapatan tegakan, dominansi jenis dan frekuensi jenis tegakan hutan. REFERENSI Bouman, B. A. M., 1992. Accuracy of Estimating the Leaf Area Index from Vegetation Indices Derived from Crop Reflectance Characteristics, a Simulation Study. International Journal of Remote Sensing Vol 13, No. 16, 3069 – 3084. Budiyanto, E. 2015. Penginderaan Jauh. Universitas Surabaya, Surabaya. Campbell, J.B., 2002. Introduction to Remote Sensing (Third Edition), The Guilford Press, New York. Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital. Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. De Carolis, C. and Amodeo, P., 1976. Basic Problems in Reflectance and Emittance Properties of Vegetation pp 69–79. In Remote Sensing Applications in Agriculture and Hydrology 1980. Rotterdam. Dombois M. and Elenberg H., 1974. Aims and Methos of Vegetation Ecology. Wiley International Edition. John Wiley and Sons, New York. 23 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si ; 2020 Doruska, P.F. and Mays J.E., 1998. Crown Profile Modelling of Loblolly Pine by Non-Parametric Regression Analysis. Forest Science Vol. 44 No.3. The Society of American Forester. 445 - 453. Franklin, S.E., Lavigne, M.B., Deuling, M.J., Wulder, M.A. and Hunt, E.R. 1997. Estimation of Forest Leaf Area Index Using Remote Sensing and GIS Data for Modelling Net Primary Production. International Journal of Remote Sensing Vol. 18 No. 16, 3459 – 3471. Hoffer, R.M., 1978. Biological and Physical Considerations in Applying Computer Aided Analysis Techniques to Remote Sensor Data. pp 227 – 289. In: The Quantitative Approach, McGraw-Hill International Book Company New York. Howard, J.A., 1996. Remote Sensing of Forest Resources; Theory and Application (Terjemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Husch, B., Miller, C.I., and Beers,T.W. 1982. Forest Mensuration. John Wiley & Sons New York. Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Ko Ko Lwin, 2008. Fundamentals of Remote Sensing and its Application in GIS. Division of Spatial Information Science University of Tsukuba. Kuusk, A., 1998. Monitoring of Vegetation Parameters on Large Areas by the Inversion of a Canopy Reflectance Model. International Journal of Remote Sensing Vol. 19 No. 15 pp. 2893-2905. Lillesand, T.M. and Kiefer R.W., 2003. Remote Sensing and Image Interpretation. Fourth Edition, John Wiley & Sons, Inc. New York. Mather, P.M., 1987. Computer Processing of Remotely-Sensed Images. John Wiley and Sons. New York. Micheal, A. W., Hall, R.J., Coops, N.C., and Franklin, S.E. 2004. High Spatial Resolution Remotely Sensed Data for Ecosystem Characterization. Bioscience Vol. 54, Iss 6; Washington, 511, 11 p Nemani, R. L., Pierce, L. S., Runing, and Band, L., 1993. Forest Ecosystem Processes at the Watershed Scale: Sensitivity to Remotely- sensed Leaf Area Index estimates. International Journal of Remote Sensing Vol. 14, No. 13, pp 2519-2534. Paine, D.P., 1993. Fotografi Udara dan Penafsiran Citra untuk Pengelolaan Sumberdaya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Purevdorj, Ts., Tateishi, R., Ishiyama, T., Honda, Y. 1998. Relationships Between Percent Vegetation Cover and Vegetation Indices. International Journal of Remote Sensing Vol 19 No. 18, 3519 – 3535. Purwadhi, F.S.H., 2001. Interpretasi Citra Digital. Gramedia Widiasarana, Jakarta. Richardson, A. J., and Wiegan C.L., 1977. Distinguishing Vegetation from Soil Background Information. Photogrametric Engineering and Remote Sensing, Vol. 43 No. 12, 1541-1552. Rikimaru, A., 1996. LANDSAT TM Data Processing Guide for Forest Canopy Density Mapping and Monitoring Model pp 1 – 8. ITTO Workshop on Utilization of Remote Sensing in Site Assessment and Planting of Logged-over Forest. Bangkok. Rikimaru, A and Miyatake, S., 1997. Development of Forest Canopy Mapping and Monitoring Model using Indices of Vegetation, Bare soil and Shadow pp. Proceeding of the 18th Asian Conference on Remote Sensing, E6. 1 – 6, Kuala Lumpur, Malaysia. Soerianegara, I., dan Indrawan, A., 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sutanto, 1997. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Pembangunan Berkelanjutan. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Dasar Jilid 1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Swain, P.H. and Davis, S.M., 1978. Remote Sensing: The Quantitative Approach, McGraw-Hill International Book Company. New York. Van Gils, H.A.M.J. and Van Wijngaarden, W., 1984. Vegetation Structure in Reconnaissance and Semi-detailed Vegetation Surveys. ITC Journal 3 Department of Rural and Land Ecology Survey, 213- 218 24 | K o n s e p D a s a r P J ( F r e e D o w n l o a d )


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook