Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Lelaki Harimau

Lelaki Harimau

Published by Digital Library, 2021-02-20 14:34:50

Description: Lelaki Harimau oleh Eka Kurniawan

Keywords: Lelaki Harimau,Eka Kurniawan

Search

Read the Text Version

membeli sebuah bis, konon karena sejak kecil ia begitu senang naik bis, dan disebabkan ia tak bisa mempergunakan bis, kendaraan itu teronggok di belakang rumah jadi kandang ayam. Suatu hari ia pergi ke bioskop milik anaknya, tanpa sepengeta­ huan pemiliknya, dan memborong semua tiket untuk menonton film seorang diri. Mereka masih ingat film itu, Puteri Giok, sebab setelah itu ia memborong lagi semua tiket untuk membuat bioskop dilihat orang cuma-cuma sepanjang dua hari. Ia tak berhenti membelanjakan uangnya, pergi ke toko pakaian dan membeli lima gaun pengantin yang tak pernah dipakainya, kecuali satu saja untuk tidur malam itu, dan satu lagi menjelang ia mati. Ia membeli sekarung roti dan membagikannya pada anak-anak, dan menghabiskan yang tersisa untuk membawa pulang sepeda roda tiga, yang dikendarainya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Barulah kedelapan anak ini mengetahuinya, setelah mereka tak berhasil mengusir beberapa rumah sebab pemiliknya me­ nunjukkan surat jual-beli berpigura itu, selepas melihat sepasang kuda berkeliaran, selepas melihat dengan cemas bis yang penuh kotoran ayam, dan terutama setelah manajer bioskop mengadu­ kan kelakuan ibu mereka. Penuh kegeraman, mereka berkumpul dan berkomplot untuk merampas apa pun yang tersisa, membuat surat panjang yang menyatakan bahwa ibu mereka telah mewa­ riskan semua yang tersisa, dan memaksa Ma Rabiah untuk menerakan cap jempolnya. Belajar dari kekeraskepalaan anak- anaknya, perempuan tua itu menggeleng, dan tak sudi berbagi. Sebagaimana kelak akan tetap diingat, Ma Rabiah pagi itu me­ ngenakan gaun pengantinnya yang terakhir kali, selepas menolak bujuk rayu bengal anak-anaknya, dan duduk di sebuah bangku kecil di halaman rumah, ia memakan tanah pekarangan segumpal 93

demi segumpal. Beberapa orang mencoba menghentikannya, namun ia bersikeras lebih baik memamah tanah-tanah tersebut daripada jatuh pada anak-anak celaka yang merampok ibunya kala masih hidup, dan terus meraupi tanah memenuhi mulutnya. Seseorang melaporkan ini pada mereka, juga pada polisi dan ten­ tara di rayon militer. Waktu mereka datang, ia telah terkapar de­mikian cantik dengan gaun pengantin satin berenda-renda, mati tak ada nyawa, seseorang menyebutnya sebab ia tersedak segump­ al kerikil. Bagaimanapun anak-anak ini memperoleh apa yang mereka inginkan, tapi kekeraskepalaan Ma Rabiah untuk memp­ ertahankannya sampai mati akan jadi legenda kota tak ada henti. Lepas dari itu semua, kini Komar bin Syueb memiliki sendiri rumah itu dan tanahnya. Tak henti-hentinya ia dibuat heran oleh kesempatan baik yang menimpanya, sebab ia tak yakin bisa me­ milikinya sebelum itu, kecuali ia mesti memangkas rambut ra­ tusan kepala orang dan tak mencicipi sedikit pun uangnya. Kini ia tak lagi mencukur di teras rumah, sebaliknya ia melakukannya di pasar, mangkal dengan sepedanya di bawah pohon ketapang, berjejer dengan pedagang mie ayam, dan jika malam ditempati penjual bajigur. Meskipun begitu, kekecewaan asali yang dibawa sejak ke­ datangan mereka dan menyaksikan rumah 131 tak lebih manis dari kandang dedemit tak juga mau hilang dari Margio dan Nuraeni, dan kini setelah menjadi gadis kecil Mameh juga tak menunjukkan rasa senang apa pun. Tak satu pun di antara mereka tampak merayakan kepemilikan atas tanah itu, sebab kenyataan­nya tak banyak yang berubah sejak delapan tahun mereka tinggal di sana, kecuali Margio dan Mameh yang semakin tinggi dan besar, dan Nuraeni yang menyusut semakin kusut. 94

Seseorang yang mengenalnya dari masa gadis, akan mengerti dengan terang perempuan ini telah merosot begitu rupa. Lihatlah kartu tanda penduduknya yang telah kadaluarsa, yang dibuat di awal perkawinannya, memperlihatkan perempuan cantik dengan rambut ikal dan pipi montok, cemerlang dengan mata bulat yang berbinar. Bandingkanlah itu saat ini dengan wajah sesungguhnya, meski ia tak kehilangan jejak cantik asal-usulnya, dengan mata yang jadi kelabu dan redup, pipinya menyusut cenderung cekung, kulit putihnya tak lagi cemerlang namun mendekati pasi. Roman ini menunjukkan dengan sepenuhnya rasa kecewa yang diderita­ nya, tanpa ia mesti berbuih berkata, dan Komar bin Syueb tahu itu. Ketika ia mengatakan bahwa tanah itu dibelinya dari Ma Rabiah, Nuraeni tak menganggapnya lebih berarti daripada sore ketika ia berkata telah membeli tiga kilo beras dari pasar. “Paling tidak kau bisa menanaminya dengan bunga dan tak seorang pun bakalan datang untuk membabatnya,” kata Komar berupaya memancing gairahnya. Gairah itu tak juga datang. Nuraeni hanya pergi ke dapur, beg­itulah kelakuannya belakangan itu jika hendak melarikan diri dan tak hendak bersuara untuk lakinya. Ia duduk di bangku kecil menghadapi kompor. Komar telah mengenal baik polah ini, meng­ikutinya dengan gemas, dan melihatnya tengah bicara sendiri, tampaknya dengan kompor dan panci. Pada awalnya itu seperti gerutuan kecil saja, tanpa maksud menujukkannya pada siapa pun, namun semakin hari sangatlah jelas Nuraeni selalu bicara dengan kompor dan panci, dan tampaknya mereka berbincang-bincang dan hanya mereka yang memahami. Itulah waktu ketika ia berpikir bininya barangkali telah sinting. Tidak, barangkali itu hanya pura-pura sinting, sebab sering pula ia waras dan bisa diajak bicara. Masih sempat mengomelkan hal 95

ini dan hal itu, dan menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, me­ marahi Mameh yang abai menyapu rumah, memanggil Margio untuk mengusir tokek, namun sering juga ketika ia tak sewaras itu dan hanya mengenali dirinya sendiri. Komar bin Syueb me­ nyadarinya sebagai kesintingan, dan ketidakwarasannya tampak mulai bertambah-tambah, sebagaimana kemudian Mameh dan Margio juga tahu. Ia mengawininya saat Nuraeni enam belas tahun, dirinya sendiri mendekati tiga puluh. Sebagaimana banyak gadis di kam­ pung mereka, nasib perkawinan Nuraeni telah ditentukan sejak empat tahun sebelumnya, saat dadanya sendiri belum tumbuh dan belukar kemaluannya belum menyemak, kala Syueb datang dengan sebaskom beras dan mie dan selendang biru tua melamar­ nya untuk Komar. Tentu saja ayah si gadis telah membicarakan hal itu jauh-jauh hari sebelumnya lagi dengan Syueb, memastikan Nuraeni tak jatuh ke pemuda lain dan Komar tak mencari gadis lain. Mereka bersepakat bahwa kelak, barangkali empat tahun lagi kala Nuraeni telah cukup subur buat punya anak, keduanya akan dikawinkan di surau terdekat. Lamaran itu hanya melibat­ kan Syueb dan ayah si gadis, didampingi istri mereka semata, serta satu-dua kerabat, sementara Komar pergi entah sebagaimana banyak pemuda lain, dan Nuraeni barangkali tengah mencuci pakaian di pancuran atau mencari kerang di sungai dengan kawan sebaya. Si gadis tak diberi tahu sampai sore tiba ketika ayahnya berkata, “Nyai, kelak kau kawin dengan Komar bin Syueb.” Ia tak mengenal lelaki itu bagaimanapun, kecuali ingatan sekilas sebagai penghuni kampung yang sama. Dan itu tak bikin ia terlampau terkejut, sebab nama mana pun barangkali sama asingnya untuk didengar. Lagi pula ia telah menanti petang se­ 96

macam itu, saat ayahnya akan berkata dengan siapa kelak ia akan kawin, sebab itulah yang selalu ditunggu para gadis di sana. Berita itu, sebaliknya, cukup membuat riang si gadis dua belas tahun, meski ada sedikit waswas serupa apa perangai calon lakinya. Paling tidak, kini dan seterusnya sampai ia kawin, Nuraeni boleh berkata pada kawan karib bahwa ia ada punya pacar. Tak ada yang lebih memalukan bagi gadis di atas dua belas tahun tanpa dikenal siapa pacarnya yang kelak akan jadi lakinya. Sore itu segera mengubah banyak hal, sebab Nuraeni kecil menjadi Nuraeni si gadis. Ibunya membelikan lipstik merah ati dan pupur serta pensil alis, dan ia tak lagi membiarkan dadanya yang mulai sedikit monyong dibiarkan terbuka di tengah udara sejuk desa berbukit. Kabar itu beriak deras, menyerbu telinga kerabat dan sahabat, bahwa gadis itu setengah terikat nasib dengan Komar bin Syueb, dan mereka ikut riang bersama dirinya. Ia tak lagi mengikuti ayahnya ke sawah di pagi hari, ikut me­ nunggangi bajak agar melesak ke dalam lumpur sementara dua ekor kerbau mengisut berjalan sepanjang petak-petak, membuat­ nya mandi tanah. Tak juga mengeluarkan sepasang domba mereka dan menggiringnya ke padang rumput di punggung bukit meng­ gembala bersama bocah-bocah lain, dan waktu pulang menenteng dua pelepah kelapa kering sebagai kayu bakar. Tidak, itu semua telah diwariskan pada adik-adiknya yang lelaki, dan ia mulai ikut ibunya dalam segala hal. Pagi-pagi ia telah menyalakan tungku, menanak nasi dan belajar banyak tentang sayur lodeh. Tentu saja ia masih ke sawah, tidak untuk membajak, namun untuk menabur benih padi yang telah direndam semalaman, dan ketika jarum- jarum hijau muda telah mencuat, perempuan-perempuan dan ia ada bersama mereka, mencerabutinya untuk menanamnya di petak-petak sawah yang telah diberi garis-garis penanda silang- 97

menyilang oleh ayah dan adik lelakinya. Sementara menunggu padi tumbuh tua, ayah dan adik pergi untuk memberi mereka pupuk, mengawasi air agar tidak mampet atau menggenang, dan ia bersama ibunya menenteng rantang makan siang ke gubuk di tepi tegalan. Bersama ibunya ia akan turun ke sawah lagi kala ganggang dan rerumputan mesti dihalau, dan akan tiba saatnya ia datang kembali untuk memangkasi padi tua dengan ani- ani, sebelum datang masa ketika mereka cukup membabatnya dengan arit. Selebihnya Nuraeni mesti merawat tubuhnya jadi gadis cantik, dan belajar menjaga kata-katanya menjadi patut. Sebab ia telah punya pacar dan bersiap ke pelaminan. Komar sendiri, mengikuti suatu kebiasaan yang lazim, telah pergi dari desa tak lama selepas umur dua puluh tahun, sebab tak banyak yang bisa diperbuat di rumah bagi anak-anak sebaya itu. Syueb memiliki beberapa petak sawah dan ladang, tapi ia masih bisa mengurusnya seorang diri bersama istri tanpa banyak perlu bantuan, dan waktu begitu luang baginya untuk menjadi tukang cukur satu-satunya di desa. Selepas pelajaran singkat bagaimana mencukur rambut kepala orang, bagaimana meng­gunakan pisau untuk mengiris kumis dan jambang, dan menc­ obanya beberapa kali menggantikan ayahnya, Komar pergi me­rantau mengikuti seorang karib berbekal pengetahuannya tentang mencukur itu. Tentu saja awalnya ia tak hendak menjadi tukang cukur, dan hendak melakukannya kala terjepit belaka, sebaliknya ia berharap memperoleh kerja di pabrik, sebagaimana begitulah yang lain. Ia hanya akan pulang setahun sekali, menjelang Lebaran, berombongan dengan banyak pemuda dan keluarga-keluarga pe­ rantau, yang pada hari-hari itu akan tampak berbaris sepanjang jalan berbukit dengan kardus-kardus dan tas ditenteng dan di­ panggul. Rambutnya kelimis oleh pomade, mengenakan kemeja 98

dengan lengan bergulung hingga siku, celana korduroy masih bau toko, dan jam tangan bergelung di pergelangan, sepatu pantovel hitam berkilau yang dijaga tak tersentuh jebakan lumpur di mana-mana. Di dalam tas besarnya ada tembakau untuk Syueb, kain untuk ibunya, gaun cantik untuk kedua adik perempuannya, dan tentu saja ia telah mengetahui lamaran atas Nuraeni tersebut, dan mem­bawa oleh-oleh untuk bakal bininya. Sebagaimana si gadis sendiri, Komar tak terlampau mengenal Nuraeni, tapi tahu ia seorang gadis cantik dan tak ada sesal untuk memperolehnya. Ia bahkan ingat kala gadis itu dilahirkan, sebab ia tengah bermain di samping rumahnya, melihat orang-orang berkerumun menantikan si bayi lahir. Ia juga berkali melihatnya kala Nuraeni mulai tumbuh jadi anak sekolah, dan sekolah itu tak jauh dari rumahnya. Tapi penget­ahuannya tak lebih dari sekadar bahwa Nuraeni memiliki rambut ikal yang gelap dibiarkan panjang, sering diikat karet berpita, hidungnya bangir dengan pipi yang gembur, matanya bulat berk­ilau, dan ketika seseorang memberitahu ayahnya telah memilih gadis itu untuknya, tak ada ampun Komar memimpikannya ber­malam-malam, hingga ia memutuskan untuk pulang lebih dini dari biasanya. Mereka bertemu di malam Lebaran, Komar membawa biskuit kaleng dan dompet merah muda yang manis, serta selembar foto dirinya yang diberikan pada gadis itu secara malu-malu. Di sana lelaki itu bergaya, tampaknya difoto seluruh badan di depan Volkswagen Combi warna kuning menyala, jelas bukan milik dirin­ ya sebab Komar tampak canggung dengan tangan menyiku se­tengah masuk ke saku celana, dan mobil tersebut gamblang teronggok di sebuah tempat parkir umum. Tapi roman mukanya riang dan jumawa, serasa tak ada pose yang lebih baik dari itu. 99

Di hari Lebaran mereka berkencan seharian, keluar masuk pintu tetangga dan kerabat untuk bersalam-salaman, barangkali sekaligus memamerkan inilah calon laki dan bini, sebagaimana dilakukan banyak pasangan lain yang barangkali baru berjumpa hari itu. Komar dan Nuraeni berjalan beriringan sepanjang jalan, berkali-kali mesti berhenti kala jumpa orang lewat, wajah ke­duanya semu merah antara senang dan jengah. Nuraeni meng­ genggam erat dompet merah mudanya, Komar kikuk tak tahu mesti meletakkan tangan di mana, kadang menyelipkannya ke saku korduroy, lain waktu menyilangkannya di dada, kala lain menggantung di belakang punggung, sebab tentu saja belum tiba waktunya bagi mereka untuk bergandengan tangan, sebab ber­ sentuhan sedikit saja serasa membikin tubuh keduanya menggigil dan muka bertambah-tambah merah. Komar membawanya untuk mencobai mie bakso Wa Dullah, yang dikenal enak walau sedikit mahal, terletak di tepi sungai pada deretan warung tempat orang menunggu rakit datang. Di sanalah orang-orang berdesakan, sebab tak banyak tempat jajan lainnya untuk dikunjungi, dan ketika pesanan datang, mereka mesti cari batu besar untuk duduk dan memakannya sambil menggenggam mangkuk di sebelah tangan, dan tangan lain meng­ayun sendok. Sekali waktu itu bikin bakso Komar melompat, dan mereka tertawa kecil, demikian hangat dan penuh cinta, sebab begitulah selalu awalnya. Makan sore mereka adalah ikan bakar, bersama beberapa teman memancing di kolam Wa Haji, yang se­lalu mengundang banyak orang untuk membawa nasi timbel ke lereng bukit miliknya, pada sebuah rumah pondok di bawah pohon kedondong. Hari berlalu tapi kencan mereka tak juga berakhir. Barangkali karena waktu tak terlampau melimpah bagi merek­ a. Malam itu Komar membawa Nuraeni, juga dalam rombongan 100

banyak kawan, untuk melihat sandiwara di tobong. Malam selepas Lebaran selalu jejal di sana, sebab sebagaimana tak banyak tempat jajan, tak banyak pula tempat menghibur diri, kecuali mau pergi jauh ke kota. Mereka masih mengingat baik judulnya, meski tidak siapa yang main, berkisah tentang anak durhaka serupa Malin Kundang, itulah Titian Rambut Dibelah Tujuh, dengan gamb­ ar besar di pintu masuk penjual tiket penuh wajah dibakar api neraka. Mereka tak melupakannya, sebab itulah kali pertama Komar menyentuh tangannya, dan di dalam gelap sementara me­reka duduk bersampingan pada kursi-kursi papan, keduanya saling menggenggam. Tidak saling meremas, hanya menggeng­gam dan itu pun cukup bikin mereka panas serupa api disulut di dalam perut. Malam itu keduanya pulang dan sama mimpi dipatuk ular. Tak berapa lama selepas Lebaran, Komar mesti pergi lagi ber­ sama rombongan kawan sebayanya, dan Nuraeni mengantarnya di teras balai desa dengan mata berkaca-kaca. Ia pikir saat itu dirinya sungguh jatuh cinta, dan berharap perkawinan itu akan datang tak terlampau lama, tapi Komar meyakinkan dirinya ia harus pergi, dan pasti akan balik lagi, Lebaran datang. Tas-tas berjejalan di lantai balai, berisi pakaian dan barangkali nenas serta pisang mentah, atau panganan yang dibuat ibu-ibu mereka untuk bekal di jalan. Sebelum Komar sungguh melangkah menuju balik bukit dan di sana rakit telah menunggu, Nuraeni berpesan pen­dek, hal sederhana yang bakal dikatakan seluruh gadis, “Kirimi aku surat.” Surat-surat itu biasanya datang setiap Senin pukul sepuluh. Seorang tukang pos akan datang menenteng tasnya berjalan kaki, dengan sepatu pasti berlepot tanah liat merah genting warnanya, memberikan surat-surat ke balai desa, dan selama setengah jam ia 101

mesti beristirahat di sana, disuguhi teh manis hangat dan ke­ripik kentang, sebelum mesti berjalan lagi menelusuri rute pulang, untuk datang Senin depan. Para gadis akan menunggu di depan balai, menunggu surat-surat dari pacar mereka, beberapa akan memperolehnya, yang lain akan bersungut-sungut kecewa sambil menghibur diri barangkali seminggu lagi. Tentu saja ada surat- surat bukan untuk mereka, tapi percayalah, itu tak banyak. Senin satu minggu selepas kepergian Komar, Nuraeni telah bersiap sejak subuh mengharapkan suratnya datang. Ia mem­ bereskan rumah dan mengepel lantai agar waktunya luang saat mesti pergi dan menanti di balai desa. Kala itu sebagian besar rumah berupa panggung, dengan lantai lampit yang mesti dipel setiap pagi berjaga tidak kusam dan berdebu. Saat ayahnya kem­ bali dari surau, lantai itu telah berkilat kena bayangan lampu minyak yang belum padam sebab hari masih remang. Nuraeni bergegas ke dapur, menyalakan tungku dengan serabut kelapa, membuat bara dan meniupnya menjadi api pakai corong bambu, dan ketika api menari ia menyorongkan bilah-bilah kayu bakar dari para-para. Di atas tungku ia menjerang air, dan sementara menunggunya mendidih, ia mencuci beras dan menyerahkan urusan selanjutnya pada si ibu, sebab dirinya mesti bergegas ke pancuran untuk mencuci pakaian dan piring kotor. Si gadis melakukannya lebih gesit dan cekat hari itu, menen­ teng ember pakaian kotor dan mengapit baskom penuh piring dan gelas kotor di sisi lain tubuhnya. Mereka punya kolam ikan di mana di sana ada pancuran, tempat mereka mandi dan menc­uci, airnya menggelosor melalui pipa-pipa bambu yang di­ sambung-sambung bahkan hingga berkilo-kilo menuju mata air jauh di bukit. Pancurannya dikelilingi dinding setinggi dada dari anyaman bambu, beratap daun aren, dan merupakan kamar 102

mandi keluarga. Sementara ia mencuci, ayahnya memberi makan ikan-ikan dengan daun talas yang dipotong dari tegalan kolam. Hari telah pagi ketika Nuraeni selesai mencuci dan menum­ pahkan kotoran dapur ke kolam, membiarkan mulut-mulut ikan berebut remah nasi dan sayur basi, dan cahaya matahari jatuh memercik ke tanah menerobos celah daun kelapa dan rindangan pepohonan lain. Orang-orang mulai lewat menenteng cangkul, berkaus compang-camping dengan kolor usang, siap bergumul dengan bumi, yang lain menenteng golok untuk menengok ladang dan mencari kayu. Kabut telah mengapung merayap sampai puncak bukit, sementara dua orang gadis berbincang dari satu pancuran dan pancuran lain dengan suara kencang mengalahkan burung pipit dan pelatuk di pelepah kelapa. Anak- anak sekolah berderet sepanjang tegalan, melemparkan kerikil ke tengah kolam, dengan tas terayun-ayun di punggung dan topi membenamkan kepala-kepala kecil mereka. Nuraeni menanggalkan pakaiannya, menyampirkannya di dinding bambu, menutupi pintu pancuran dengan handuk yang terentang, sebab tak ingin seseorang melihatnya telanjang, meski anyaman bambu tetap membuat tubuhnya membayang. Ia duduk mendekap lutut di bawah air yang tumpah dari lubang bambu, deras dan jernih, memukul ujung kepalanya hingga rambutnya terurai menyelimuti dirinya, dan air mengalir mengikuti permu­ kaan kulitnya yang langsat dan ranum. Setelah banjir peluh dan di bawah udara yang menjadi hangat, mandi membuat jiwanya melambung, menggosok tubuhnya dengan sabun tanpa beranjak dari bawah kucuran air, memeriksa celah-celah di antara jemari kakinya, melunturkan daki, membilas rambut dengan lidah buaya, dan tetap tak beranjak kala ia menggosok gigi, kecuali ber­gerak kecil menggeliat kala ia mesti menjangkau sudut-sudut tubuhnya. 103

Suara para gadis di pancuran lain telah lenyap pertanda me­ reka telah beranjak dan barangkali beberapa telah menyesaki beranda balai desa, menunggu tukang pos yang kepayahan da­ tang. Nuraeni keluar dari kurungan air, menghanduki dirinya dan melilitkan handuk di tubuhnya, menutupi dada yang belum tumb­ uh benar dan sepotong pahanya, kembali menenteng ember berisi cucian yang hendak dijemur dan tangan lain mengapit piring dan gelas yang telah berkilau oleh bersih. Rambutnya di­ gelung dan ia bergerak dengan langkah kaki kucingnya, menelu­ suri tegalan antara kolam dan kolam, demikian indah ditentang pijar matahari dari timur, hampir tak menyadari kecantikan diri­ nya sendiri. Menjelang pukul sepuluh ia telah ada di balai, dengan rambut yang menjelang kering selepas dikipasi agak lama, dan kini dikelabang dua dengan ujungnya terikat pita kuning pudar. Benarlah dugaannya, gadis-gadis lain telah berjejalan di bangku panjang di bawah papan pengumuman yang berisi jadwal puasa lalu serta beberapa pengumuman yang mudah diabaikan. Beberapa gadis tak beroleh tempat duduk, bergerombol di bawah gerumbul nusa indah di tepi pagar bambu, dan Nuraeni bergabung bersama mereka, berceloteh tentang lelucon-lelucon Lebaran. Bagaimanapun pikirannya masih membayang surat tersebut, sebab inilah kali pertama ia menunggu surat dari seorang pacar, meski ia tahu kebiasaan para gadis ini sebelumnya. Ada gelegak di jantungnya, bertanya-tanya tentang kejutan apa bakalan ia dapat di surat pertama, dan bahkan melihat tulisan jelek Komar sekalipun barangkali cukup untuk bikin Nuraeni berdesir-desir tak karuan, apalagi jika ia menaburinya dengan bedak wangi, se­ bagaimana sering dilakukan pacar Nyai Sri teman karibnya. 104

Kejutan itu adalah bahwa ia tak memperoleh surat yang diangankannya. Si tukang pos kepayahan itu datang dengan se­ tumpuk surat diikat karet gelang, dan tak satu pun di antaranya ditujukan untuk si gadis Nuraeni. Mereka menggelar surat- surat tersebut di atas meja sementara si tukang pos mengipas- ngipasi dirinya dengan koran bekas, dan beberapa gadis menjerit mend­ apati amplop putih bercorak garis biru-merah di tepinya bertuliskan nama mereka, sementara yang lain mendengus tak ber­oleh apa pun. Nuraeni ada di antara gerombolan mereka, meski masih mengacak-acak surat tersisa, sebagian besar untuk kantor kepala desa dan sedikit untuk beberapa keluarga dari anak- anak mereka. Ia berdiri memandangi amplop-amplop berserakan, ham­pir menangis lantaran sedih tak kepalang, sebelum mencoba menghibur diri sebab yang dihantam kecewa bukanlah dirinya seorang. Ia pulang, bagaimanapun, dengan mata memerah dan bibir mengatup tajam, berharap barangkali Senin depan, tapi tak ayal itulah sakit hati pertama yang dialaminya, yang diperolehnya dari Komar. Sakit hatinya semakin bertambah-tambah kala minggu depan­ nya tak juga ada surat datang, juga minggu berikutnya, sebagai­ mana minggu-minggu yang datang setelahnya. Gadis-gadis lain barangkali tak memperoleh surat di satu Senin, tapi mereka mem­ perolehnya di Senin lain, paling tidak sekali dalam sebulan. Be­ berapa beroleh kiriman-kiriman cantik, dan satu atau dua diberi uang guna cincin beberapa gram, ada pula yang menemukan mesin jahit atas nama mereka, sebagaimana suatu kali ada yang beroleh gaun pengantin, tapi Nuraeni tak menemukan apa pun tertulis untuknya. Ia tak pernah datang lagi ke balai desa selepas beberapa ming­ gu yang mendongkolkan, dan foto Komar di depan Combi yang 105

tadinya dipigura dan dipajang di samping tempat tidurnya, kini dilemparkan ke kotak rongsokan di bawah tempat tidurnya, meski sesungguhnya ia ingin mencabik-cabik itu sebelum menghempaskannya ke dalam tungku mendidih. Tak lagi ia mengharapkan apa pun, tak hendak membincangkannya, apalagi menyeret- nyeretnya ke dalam mimpi, dan jika pun itu menyelinap ke dalam tidurnya, hal ini bakalan jadi mimpi buruk penuh sebal. Semakin bertambah hari, jika sesuatu mengingatkan dirinya pada lelaki itu, malahan ia mulai bercuriga Komar tak sungguh mencintainya dan tak ada maksud mengawini dirinya. Pikirkan­ lah, katanya pada diri sendiri, di hari Lebaran lalu ia tak dibawa­ nya ke studio foto di dekat pesantren itu, seolah memang tak menginginkan dirinya dalam bentuk apa pun, tak hendak menye­ lipkan gambarnya di dompet, dan merasa cukup meninggalkan foto dirinya yang sesungguhnya tak begitu gamblang memper­ tontonkan tampang, sebab diambil terlalu jauh barangkali dengan foto sekali jadi. Ia pantas bersirik sebab gadis lain digiring pacar-pacar mereka ke studio Tan’s Brother, satu-satunya keluarga Cina yang mereka kenal, dengan gaun-gaun manis dan pupur dan lipstik dan di depan lampu menyorot, sebagaimana gadis-gadis itu kemudian bercerita kepadanya, mereka dipotret di depan gam­bar kolam penuh angsa. Gagasan tentang perkawinan itu semakin menguap bersama berlalunya waktu, dan ia kembali menjadi gadis kecil, meski tetap berjaga tak turun ke sawah membajak dan menggembala domba, tapi tak lagi bersikukuh untuk mendandani dirinya dan berharap waktu akan tiba ketika keajaiban datang bahwa ia tak perlu mengawini lelaki itu, dan barangkali kemudian lelaki lain datang melamarnya, lelaki yang mau mengiriminya surat-surat, memb­awanya untuk difoto, dan siapa tahu memberinya pula 106

cincin cantik dan mesin jahit agar ia bisa belajar bikin gaun pengantin sendiri. Hidupnya serasa tak punya pacar, dan ia dengan cara menya­ kitkan harus menutupi keadaan dirinya sendiri. Barangkali seorang teman mengetahuinya belaka, tapi ia meyakinkan dirinya mereka terlalu sibuk mengurusi diri untuk tahu seorang karib tak pernah beroleh surat cinta. Jika seseorang bertanya kabar Komar, bahkan Syueb sendiri sering datang padanya untuk tahu apa dan bagaimana anak lelaki tak kenal adat itu, Nuraeni akan bilang bahwa Komar baik adanya, tak akan pulang sebelum Lebaran datang. Serasa baginya ia dukun serba tahu yang mampu meneropong kekasihnya melalui cermin kecil, dan seandainya memang begitu, ingin sekali ia melemparinya dengan batu dan menimpuknya dengan penumbuk padi, sebab tak ada lagi yang bisa menandingi rasa sebalnya atas lelaki itu. Lebaran kemudian datang lagi, tapi Nuraeni tak menantinya dengan bunga-bunga di jiwa, selebihnya tak lain adalah api beku yang mengeluarkan segenap kejudesannya. Ia berjanji untuk tak bertanya perihal surat dan tak hendak mendengar penjelasan mac­ am mana pun. Ia bahkan tak berpikir untuk menyambutnya, dan jika ia datang, tak lebih menganggapnya sebagai tamu jauh yang barangkali hendak menyambang meminta segelas minum. Tak ada anjangsana dan tak ada kerinduan. Komar mesti bersusah-payah mengembalikan kehangatannya, sebagai bayaran atas polah yang telah ditimpakan kepadanya. Demikianlah Komar akhirnya datang pula, masih dengan ram­ but berminyak pomade dan jam tangan yang lalu, korduroynya lenyap berganti jeans biru berikat pinggang kulit imitasi, dan ia tak mengenakan kemeja tapi kaus oblong lengan panjang. Tahun ini ia memelihara kumis dan jenggot, dan membiarkannya tum­ 107

buh lebat meriap-riap. Tak ada penjelasan apa pun perihal surat dari mulutnya, sebagaimana tak ada oleh-oleh berupa dompet cantik untuk Nuraeni kecuali sekaleng biskuit. Jika tahun lalu ia demikian santun dengan sikap duduk malu-malu dan rona merah menggelayut di pipinya, kini ia demikian norak duduk di tentang si gadis dengan kaki menimpa kaki yang lain dan tangannya sigap mengeluarkan rokok kretek sebelum merepet oleh api yang disulut membuat Nuraeni bergegas mencari asbak dan meletakkan itu di depannya. Nuraeni tak ajukan tanya, hanya diam di kursinya bermain dengan kuku jari sendiri selepas menyuguhkan limun dingin di samping asbak. Tak ada kabar bertukar dan tak ada rayu-merayu. Komar malahan membuka sendiri kaleng biskuit pemberiannya dan tanpa malu mencicipinya, sambil berceloteh sendiri tentang ikan Wa Haji tahun lalu. Malamnya, Nuraeni tak keberatan untuk diajak pergi ke tobong, walau merasa enggan tapi segan pada ayah dan bakal mertuanya jika mereka tahu ia berlaku dingin pada bakal lakinya. Kali ini mereka melihat Nyai Dasima, ingat judul dan lupa siapa yang main, sebab rombongan sandiwara selalu datang dan pergi dan bukan kebiasaan berlarut-larut untuk datang ke tobong ke­cuali di musim-musim tertentu. Bagi Nuraeni sendiri ini kunjunga­n ketiga, sebelumnya ia pernah melihat sandiwara lain bersama rombongan teman-teman gadisnya di malam Hari Kemerdekaan yang penuh karnaval. Tak ada hal ajaib sepanjang pertunjukan kecuali Komar berusaha meremas tangannya, tapi ada yang me­ mualkan di perjalanan pulang. Mereka melambat membiarkan rekan pergi di depan, dan di suatu setapak hening Komar tanpa malu minta cium pada Nuraeni. Terhenyak oleh permintaan tak diduga-duga, Nuraeni mengkeret 108

dan menggeleng bergidik, tapi Komar menggenggam tangannya kencang dan memaksa. Tidak, kata Nuraeni. Komar bersikeras, hanya sedikit, pintanya, satu sentuhan pendek. Tamp­aknya tak ada pilihan lain, sebab menjerit pun malahan bakal bikin malu mereka bersama, dan pikirnya Komar tak akan berlaku lebih edan, sebab jauh di belakang masih ada pejalan lain yang hendak datang. Tanpa menerima dan tak ada penolakan, ia mem­biarkan mulut itu menyosor ke mulutnya, sementara dirinya terdesak ke batang pohon waru. Bibir Komar mendesak ke bibirnya, ternyata tidak pendek, tapi melumat basah, menggigitinya kecil, meruakkan bau tembakau, dan selepasnya Nuraeni sungguh mual tak ada ampun. Bagaimanapun itu tak mengembalikan kemesraan mereka dan Nuraeni terus menjalani sikap bekunya sepanjang hari selepas itu, hingga datang waktu Komar mesti kembali pergi. Penuh basa-basi ia mengantarnya ke balai desa, dan di sana, sakit hati terk­ enang kembali pada surat-surat yang tak pernah datang, Nuraeni tak mengajukan permintaan manja apa pun. Malahan Komar yang berkata. “Tidakkah kau tanya apa kerjaku?” Pikir Nuraeni, kenapa ia harus peduli apa yang dikerjakannya sementara dirinya tidak peduli seorang gadis menunggu kabar setiap minggu sampai merasa berlumut dan berkarat. Ia hanya memandangnya dengan tatapan tajam nyaris kejam, merengut­ kan bibir yang pernah dilumatnya, kemudian mengawali sikap sinisnya yang berlarut-larut, barulah ia membuka mulut, “Jadi apa kerjamu?” “Tukang cukur,” jawab Komar. Jadi ia pergi jauh hanya jadi tukang cukur, pikir Nuraeni. Ia tak peduli dengan itu, bahkan seandainya Komar ternyata 109

per­ampok, tukang pukul, preman, dan maling, semuanya tak berarti apa lagi setelah satu tahun yang membinasakan rasa cinta meluap itu. Ketika Komar mulai melangkah menenteng tas mengikuti rombongan para perantau, Nuraeni bahkan tidak melambaikan tangan, hanya anggukan kecil sebagai kata-kata hilang ya aku tahu kau pergi, dan tentu saja tak ada mata berkilau merah, apalagi derai air mata. Begitu Komar lenyap di kaki bukit, ia segera ber­gegas ke pancuran untuk mencuci dan mandi. Benar, ia mengan­tarkan calon lakinya tanpa berpikir mesti mandi dan mematut diri. Hari itu ia tak sudi melakukannya. Pada umur enam belas tahun, kenyataannya ia membiarkan dirinya diseret ke penghulu dan kawin dengan lelaki itu. Mas kawinnya berupa cincin enam gram dengan inisial nama mereka terpahat di sana, dan Komar selalu membanggakan itu dipesan pada seorang tukang patri ahli di kota. Nuraeni mengenakan ke­baya putih dengan rambut disanggul, tampak cantik dengan kejudesan yang bertambah-tambah. Komar mengenakan setelan jas hitam dengan peci pinjaman, dan penghulunya Wa Haji. Ayah Nuraeni merelakan domba betinanya untuk dipotong, sebab si betina ini telah beranak lima dan besar-besar pula, serta mengeruk beras di dalam peti simpanan mereka. Tak ada tanggapan, tapi mereka memasak banyak untuk membingkisi para tetamu yang datang. Permusuhan itu mulai datang sejak malam pertama, kala Nuraeni telah teronggok di tempat tidur kelelahan, dan masih mengenakan kebaya pengantinnya, dengan pinggul dan kaki di­ belit kencang kain batik. Komar yang keburu nafsu mengajaknya telanjang dan bercinta, tapi Nuraeni hanya menggeram tanpa mengubah ringkukan. Tanpa banyak tanya Komar melucuti pakaiannya sendiri, meninggalkan celana dalamnya yang meng­ 110

gelembung oleh batang kemaluan yang mengacung kencang, lalu mendorong tubuh istrinya agar bangun. Nuraeni hanya berguling dan menggeram dan meraba guling. Sedikit jengkel, Komar mulai menarik kain pembelit kakinya, mengulurnya hingga Nuraeni berguling-guling tak karuan, dan kala itu telah tanggal, tampaklah kaki langsat hanya mengenakan celana dalam hijau muda ber­bunga-bunga. Tanpa memedulikan baju kebayanya, Komar segera menerjang dan jatuh di atasnya, menarik turun celana dalam Nuraeni, lalu celana dalamnya sendiri, kemudian menusuknya. Mereka bercinta tanpa kata-kata, hingga pegal dan jatuh tertidur. Selepas hilang keperawanan, Nuraeni tarik kembali kainnya, menyelimuti diri sendiri, berbalik memunggungi lakinya, mengangkang sedikit sakit di selangkangan. Seminggu selepas perkawinan, Komar bin Syueb pergi turun bukit menuju kota mencari tempat untuk mereka, dan sebulan kemudian membawa Nuraeni ke gudang kelapa di Pasar Senin tersebut. Di sana ia telah menyediakan kasur bagi mereka, juga kompor dan perkakas, selain meja dan kursi dan kotak peralatan cukurnya sendiri. Mereka bahkan memiliki sepeda unta tua, yang dibeli Komar di pasar dadakan depan teras mereka. Keadaannya merosot deras dibandingkan kala hidup bersama keluarganya di kampung, tapi Nuraeni menjalaninya tanpa banyak tanya. Masa-masa bercinta selalu merupakan saat yang sulit bagi me­ reka, sebab Nuraeni selalu menampilkan keengganan tertentu, dan Komar hampir selalu memaksanya jika nafsu telah naik ke tenggorokan, dan kerap kali itu hampir serupa pemerkosaan bengis di mana Nuraeni akan ditarik dan dilemparkan ke atas kasur, dan disetubuhi bahkan tanpa ditanggalkan pakaiannya, lain waktu disuruhnya mengangkang di atas meja, kali lain disu­ ruhnya nungging di kamar mandi. Adakalanya untuk menang­ 111

gulangi keengganan Nuraeni yang makin menjadi-jadi, Komar mesti memukulnya, menampar pipinya bukanlah hal yang jarang, malahan sering pula menempeleng betis indahnya dengan kaki ganasnya, membuatnya roboh dan tak berdaya, dan saat tak ada tenaga itulah Komar bisa merampok selangkangannya. Bagi Nuraeni sendiri, saat-saat bengis itu serasa kematian yang datang sepenggal-sepenggal, dan ia tak tahu bagaimana menge­ laknya. Tak terpikirkan olehnya untuk pergi dan kembali ke ayah­ nya, sebab tampaknya hanya akan menambah-nambah murka orang kepadanya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan tak lebih dari membungkam diri, sebab sekali waktu kadang Komar cukup manis juga dan memperlakukannya patut. Betapapun, hari- hari menderitakan tersebut tak pernah mengizinkannya untuk menjadi cengeng, kelak ini diwariskan kepada anak-anaknya. Demikianlah Margio lahir melalui persetubuhan macam be­ gitu, dan anak ini tampaknya penghibur bagi Nuraeni yang me­ limpah-limpah, selain juga mengurangi kebrutalan lakinya. Si bocah kecil menjadi mainan bagi mereka berdua, dan seringkali membuat mereka lupa harus bergumul di tempat tidur, dan Nuraeni mencintai Margio bertambah-tambah. Namun bersama berlalunya waktu, kala si bocah kecil mulai tumbuh, merangkak dan berjalan, berahi Komar memuncak-muncak lagi kerap bikin ia sendiri menggigil, dan selalu mengincar Nuraeni lengah untuk pelampiasannya. Nuraeni, menyadari hasrat itu telah kembali pada lakinya, bertahan lagi dari seluruh keganasannya. Sebisa- bisa tak membikin dirinya telanjang di depan Komar, tapi itu tak menghalangi lakinya merebut tubuhnya. Selalu ada saat ia bisa menyingkap roknya, memelorotkan celana dalamnya, dan ber­diri di pintu ia mengguncang bokongnya menembus tubuh binin­ ya. Ritual itu datang lagi, dengan tamparan keji dan pukulan gayung 112

tempurung kelapa, dan dengan cara itulah kemudian Nuraeni bunting lagi, dan Mameh lahir dua tahun selepas Margio. Delapan tahun hidup di sana cukup untuk membikin Nuraeni merosot memudarkan semua pesona cantiknya, meski garis- garis itu masih tersisa di wajah dan tubuhnya. Sikap judes dan bekunya bertambah-tambah kala Komar meminta kembali cincin kawinnya guna membeli rumah 131, dan meski Nuraeni memberikannya, ia membenamkan wajahnya di balik kerudung saat mereka pindah guna menyembunyikan rasa sedih yang tak terperi. Di rumah baru, di luar kebiasaannya setelah delapan tahun perkawinan, Nuraeni mulai banyak bicara dan kata-katanya me­ rupakan warisan rasa keji nan pedas yang telah tumbuh sejak lampau itu. Masalahnya, kata-kata tajam ini tak diajukan pada siapa pun, melainkan pada kompor dan pancinya, yang tak tergantikan sejak awal perkawinan. Kompor itu telah penuh karat, nyala apinya tak lagi sejajar, dan lubang sumbunya telah payah betul. Pancinya sendiri telah berkali-kali digerogoti lubang, sebe­lum diselamatkan tukang patri keliling yang menambalnya se­banyak sebelas kali. Kepada kompor dan panci itu, ia akan menge­luhkan dinding bilik bambu yang menggelayut, yang tak lebih apik dari kandang sapi. Komar telah menyadari sindirannya, dan suatu hari, setelah satu tahun mereka tinggal di 131, ia membeli bergulung-gulung bilik bambu baru, dan dibantu Margio mereka melucuti dinding usang dan menggantinya. Sepanjang satu minggu mereka bekerja keras, memotong dan memaku, menjepitnya dengan kayu kecil, dan selepas itu memberinya cat kapur. Kini rumah itu jadi lebih bersinar oleh warna putih kemilau, hasil kerja Komar dan Margio, tapi sama sekali tak bikin Nuraeni tersentuh. Memang betul, tak berapa lama 113

disebabkan angin laut yang datang melintasi per­kebunan cokelat dengan mudah menghantam-hantamnya, dan bersama bergantinya musim dinding itu kembali meliuk menciptakan gelombang badai. Cat kapurnya rontok berserak di tanah dalam kepingan-kepingan, menambah-nambah bahan omongan bagi pembicaraan Nuraeni dengan kompor dan panci­nya. Masih ada perkara lain, tentu saja. Genting tuanya, meski di hari pertama telah dibereskan Komar dari sengkarut, telah banyak yang retak digunting terik dan basah, membiarkan air hujan terc­urah. Nuraeni mesti memajang ember dan baskom di tengah rumah, atau membiarkan lantai tanah mereka menjelma kubangan kerbau. Komar mesti pergi ke pabrik batu bata dan membeli genting eceran untuk mengganti yang retak, menggantinya mem­buang waktu mencukur orang di pasar seharian. Sejenak itu mengatasi perkara kubangan kerbau mereka, namun bersama da­tangnya musim penghujan yang makin deras, bertambah pula genting retak dan ember serta baskom mesti dipajang kembali. Bersama kompor dan panci Nuraeni menertawakan diri sendiri. Meskipun ia sendiri tak yakin bisa membangun rumah cantik serupa yang berderet di pinggir jalan guna membungkam mulut comel istrinya yang selalu cari-cari perkara, Komar punya dalih bagus mengenai ini, “Kita tak bisa berbuat banyak selama tanah ini milik Ma Rabiah.” Bahkan meskipun kemudian mereka berhasil memilikinya, itu sama sekali tak menghentikan percakapan Nuraeni dengan benda-benda di dapur. Komar mulai berpikir bininya memang sinting, tapi tak mengurangi hasrat untuk merampok daging lang­satnya.

Empat Tidaklah sering bagi Margio melihat ibunya bahagia, hingga ser­ingkali ia berpikir untuk berbuat sesuatu menyenang-nye­ nangkan dirinya. Pulang ke kampung mereka dan membawa ses­uatu dari sana sekali dua membuat Nuraeni senang, tapi tak lama dan tak sering. Jika ia punya sedikit uang dari kerja sembarang di rumah orang, Margio akan membelikan ibunya sepuluh tusuk sate atau selop baru, itu bisa bikin Nuraeni senang tapi tak lama juga, hingga Margio selalu berpikir tak ada lagi yang bisa bikin ibunya bahagia, dan barangkali sejak itulah ia selalu menyalah- nyalahkan Komar. Sepanjang hidupnya, ia telah sering melihat Komar memukul Nuraeni di depan matanya sendiri, menghajarnya hingga babak- belur. Margio terlampau kecil untuk melerai, dan ia sendiri sering dapat bagiannya pula. Ia hanya berdiri menyandar ke pintu, dengan Mameh di sampingnya menggigit ujung baju, sementara Nuraeni meringkuk di pojok rumah dengan Komar berdiri di de­pannya, tangan menggenggam rotan penggebuk kasur. Komar selalu punya alasan apa pun untuk mengayunkannya. Kadang-kadang itu dilakukan pula di depan orang, hingga Nuraeni mesti berlari mengelilingi rumah dan Komar mengejar­ nya, dan di antara mereka iblis-iblis terbang menyulut marah, hingga Nuraeni masuk ke rumah mencoba membentengi diri 115

dengan pintu namun Komar selalu berhasil mendobraknya, sekali waktu sempat hancurkan pintu tersebut, dan Nuraeni akan ter­tangkap dalam dekapan, dibantingnya ke lantai, dan ditendang pahanya berkali. Tetangga yang melihat bakalan mengelus dada, sementara Margio melengos membuang muka. Hanya Mameh yang akan menangis selepas itu, sambil memeluk ibunya ses­ enggukan. Margio sendiri mulai mewarisi sikap bengal ibunya, tak me­ lawan pada Komar namun selalu memancing-mancingnya untuk mengayunkan rotan bengis tersebut. Kadang-kadang Komar tak suka ia pergi ke kampung kakeknya, tapi Margio akan memaksa dan pergi tak bilang-bilang di Sabtu siang, kembali lagi di Minggu malam dengan Komar menanti penuh api membara di matanya. Hari Senin itu Margio akan pergi sekolah dengan kaki sedikit terpincang, setelah Komar menggebukinya, dan menenggelam­ kannya ke bak mandi, dan menjewer kupingnya, dan melempari­ nya dengan gayung tempurung kelapa. Komar juga sering sirik melihatnya anteng dengan mainan berupa kelereng atau gambar umbul serta jangkrik, dan Margio akan semakin menjadi-jadi jika Komar mengomelinya, membikin Komar habis sabar dan menem­ peleng Margio. Margio tak pernah melawan, sebagaimana semua orang tahu, tapi tetap anteng dengan mainannya, sampai Komar merampas itu dan membuangnya ke belumbang. Margio akan memungutinya, dan Komar memburunya, menyeretnya di kaki hingga si bocah terkapar menggerus tanah, diangkat dan dilem­ parkan ke dalam rumah membentur betis kursi. Bocah itu hanya akan meringis, dan Komar akan datang lagi tak terpuaskan, men­ cengkeram rambutnya dan membantingnya ke tiang kayu, sekali waktu membuat dahinya mengucur darah, tapi tak sekalipun menghentikan lakunya. 116

Mereka menjalani hari yang murung, saat-saat yang damai hanyalah ketika Komar pergi dengan sepedanya ke kios cukur di pasar hingga waktu pulang datang. Bahkan Mameh yang tak banyak polah, sekali waktu dapat juga pukulan rotan penggebuk kasur itu, sebagaimana kucing lewat sekali dua dihajarnya pula. Ketika akhirnya mereka memperoleh tanah itu dari Ma Rabiah, Komar membeli pasir dan semen untuk bikin lantai plester. Itu adalah usaha terakhirnya untuk membungkam mulut pengomel Nuraeni, dan ia menyuruh Margio untuk membantu. Margio sen­diri telah lewat lima belas tahun, cukup punya otot untuk menga­ duk pasir dan semen, dan telah sekali ikut perburuan babi Mayor Sadrah. Mereka bekerja di hari Minggu, Komar mencampur adonan semen dengan sedikit kapur agar lebih lengket, dan se­mentara Margio mengaduk menjungkirbalikkan adonan, Komar membenamkan lantai tanah lembab mereka dengan plester ke­biruan. Nuraeni menyediakan bagi mereka teh manis, sesikat pisang ambon dan goreng ubi, tapi tak juga riang dengan rencana besar Komar. Lantai mereka tak bisa muncul dalam satu hari, dan mereka melakukannya sepenggal demi sepenggal. Pertama ruang tamu, membiarkannya kering tak terlewati, dan saat agak mengeras me­ reka menanam papan untuk kaki berpijak, disambung Minggu berikutnya untuk mengalasi lantai kedua kamar tidur. Butuh em­ pat minggu hingga sekujur rumah telah keras mencapai dapur dan bahkan teras, dan kini Mameh bisa duduk di lantai bermain congklak bersama temannya, menggelar tikar dan tiduran. Masa- masa itu Komar begitu manis, memuji-muji hasil kerja Margio, meski Nuraeni tetap bergeming dan tak tersentuh. Lima bulan berlalu dan mereka menemukan retakan di lantai. Awalnya Komar berpikir itu karena kapurnya masih mentah dan 117

yakin tak akan berlarut-larut, namun terbukti ia terlampau yakin diri dan keliru, sebab retakannya bertambah-tambah dan di akhir bulan telah amblas meliuk serasa sebuah bola besi seberat lima ton menghantamnya. Seorang tetangga bilang itu barangkali di­ sebabkan tanah yang lembab, tetangga lain kasih tahu dahulu kala di sana belumbang sampah jika bukan sumur. Lubang- lubang bermunculan, satu di ruang depan dan dua di dapur, dan lubang kecil di kamar tidur. Sebagaimana terjadi dengan dinding bilik bambu dan atap genting, Nuraeni merayakan kehancuran usaha Komar dengan mendesas-desuskannya bersama bebanda di dapur. Mendengar­ kan ocehan ini, Margio hanya bisa segera berlalu, sebab ia tahu di batas kesabarannya, Komar tak bisa berbuat lebih banyak ke­cuali menyeret Nuraeni ke kamar dan menggamparnya di sana, jika tidak langsung menyungkurkannya ke atas kompor saat itu juga. Rumah ini sangatlah liar, pikir Margio, yang mengakui dengan kerendahatian sepanjang tahun-tahun hidupnya ia tak mengerti bagaimana hubungan Komar dan Nuraeni sesungguhnya. Ia hanya melihat mereka yang saling mengganas satu sama lain, Nuraeni yang terus mencibir dengan kata-kata pedas dan seandai­ nya ia Komar, Margio sendiri yakin tak akan tahan dengan sin­ diran kejam macam begitu, sementara Komar keparat tak ada habis, tak ragu pergunakan tangannya untuk menyiksa dan mengirim keluarganya ke liang kubur selangkah demi selangkah. Akhirnya Komar menyerah dan berteriak pada Nuraeni, semua urusan rumah ini di tanganmu, dan begitulah memang. Komar mulai lebih sibuk memelihara ayam dan kelinci, ia punya ayam bangkok dan membawanya ke tempat sabung, dan memelihara pula merpati aduan untuk ikut totoan di lapangan bola atau bekas gedung stasiun kereta. 118

Selepas Komar tak lagi mau tahu, kenyataannya Nuraeni mulai merias rumahnya, meski belakangan baru Margio dan Mameh menyadari caranya merias sangatlah aneh. Suatu hari ia meng­ gunting beberapa lembar bekas kalender lama, dan memperoleh gambar Taj Mahal serta artis Meriam Bellina, yang ditempelkan­ nya di dinding bilik, ditopang paku payung, terpampang di ruang tengah di atas kursi kayu tempat menerima tetamu. Ia juga mem­ otongi buku gambar Margio yang tak terpakai, dan di sana ia memperoleh gambar-gambar Margio yang sama sekali tak ada bakat, berupa tamasya gunung dan kaligrafi, dan menempelkan­ nya pula di samping pintu. Tak seorang pun bersuara atas itu, tidak Margio tidak pula Mameh, khawatir itu membuatnya lebih murung, meski nyata kelakuannya tak juga bikin ia riang. Hingga suatu hari ia memperoleh benih alamanda dari te­ tangga jauh, dan menanamnya di pekarangan rumah. Sebelum ini pekarangan itu hening belaka, tempat anak-anak bermain kele­reng, kini ia mengeduk tanah dan menancapkan benih alamandanya. Margio mulai merasa senang melihatnya punya kesibukan, tak peduli remeh-temeh belaka, juga meski kehilangan ladang main kelereng. Setiap pagi Nuraeni menyirami bunganya, dan kala itu mulai tampak kukuh, kelopak daunnya tak lagi lesu, ia telah datang lagi dengan seikat benih anak nakal. Ia menjadikan­ nya pagar hidup, menjejernya sekeliling pekarangan depan, hanya menyisakan sedikit saja untuk pintu masuk. Anak nakal ini juga disiraminya, kadang Mameh berpikir ia mengurusnya lebih telaten daripada kepada anak kandungnya sendiri. Satu per satu bunga-bunga lain berdatangan, sementara alamanda dan anak nakal itu semakin gemuk dan segar. Ia mena­ nam melati di samping dinding dapur, menancapkan empat gerumbul mawar dekat pagar anak nakal, nusa indah datang 119

kemudian, dan ratnapakaya dibiarkan liar di sepanjang selokan pinggir gang samping rumah. Bahkan belukar lantana pun dita­ namnya di tepi teras dengan tembok yang rompal-rompal, bakung mencuat di dekat belumbang sampah, dan dari alamanda lama yang telah meninggi ia menanam benih lain di sudut pekarangan sebelah timur. Tampaknya pekarangan mereka akan menjadi taman bunga paling lengkap di seluruh kota, mengalahkan toko kembang mana pun, sebab kesumba pun ditanam Nuraeni, ber­barengan dengan kana yang meminta lebih banyak tanah lembab, dan sripagi dibiarkan merambat pada tiang bambu yang terjulur ke pohon randu. Generasi bunga-bunga terakhir yang datang adalah kembang sepatu dan soka, kini mulai tampak berjejalan di pekarangan yang tak lapang, bersamaan dengan kembang kertas yang benihnya diminta dari Margio yang mengambilnya dari sekolah, sebelum ditutup oleh beberapa anggrek yang ditanam di serabut kelapa dan digantung di nok rumah. Komar mengamati semua per­kembangan itu penuh rasa takjub, berpikir istrinya tengah mempercantik hunian rumah mereka, dan sedikit banyak berha­ rap mengubah perangainya. Tetanam itu mulai menghijau bersa­ ma datangnya musim yang segar, dan beberapa mulai menge­ luarkan kuncup yang mekar, warna-warna keluar dari rimba kehijauan, dan sebagaimana ayahnya, Margio mencoba mencuri lihat seandainya Nuraeni memperlihatkan roman riangnya melihat semua itu tumbuh dengan lebat. Ternyata itu tumbuh terlampau sehat. Pekarangan rumah penuh bunga, yang semula dikira bakalan menjadi taman yang cantik dan menghiasi rumah mungil mereka, makin lama berubah menj­adi rimba raya dengan bunga-bunga bermunculan. Bulan-bulan berlalu dan alamanda itu mulai menjulang, kini 120

pucuknya meliuk melebihi atap rumah, dengan bunganya yang kuning cemerlang di tentang langit biru, mendatangkan beragam kupu-kupu yang terpesona olehnya. Melati di dinding dapur berkedip putih di antara latar hijau tua, seperti bintang di gelap malam. Semuanya meriap cepat, sebagaimana anak nakal itu sungguh telah menjadi dinding pagar kukuh. Kemudian Margio mulai menyebutnya sebagai belukar bunga, sebab tak lagi terbedakan dengan semak pejal mana pun. Daun-daun meranggas, mereka saling berimpitan menerobos sesama­nya. Komar mulai menyadari pikiran kelirunya, dan memperlak­ ukan belukar itu sama kejinya. Ia sering datang dari kios cukur dan roda sepedanya dibiarkan menggilas pagar anak nakal, ke­mudian melemparkan sepedanya begitu saja hingga tersandar di gerumbul mawar. Kelakuan buruk ini membikin beberapa tetanam rebah, mati, namun yang lain tetap meranggas, menambah- nambah sengkarut. Dalam dua tahun, tak lagi orang bisa melihat muka rumah tersebut, diselimuti sepenuhnya oleh daun-daun yang hijau ge­ merlap, dan jika tetamu datang, ia mesti bertanya-tanya di mana pintu masuk. Pohon yang mati menjadikan tanah makin gembur, dan pohon yang hidup semakin gemuk. Suatu hari Mameh melihat seekor ular merayap di teras dan menjerit-jerit sebelum Margio menangkapnya. Itu ular pohon kecil biasa, jenis yang tak akan menggigit dan tak berbisa, biasa di­ mainkan anak-anak di jemari mereka, serta disuruh tukang sulap untuk menerobos lubang hidung sebelum muncul di lubang hidung yang lain. Tapi itu membikin Mameh berpikir untuk mem­ babat bunga-bunga Nuraeni, paling tidak mengembalikannya menjadi taman yang cantik, dengan pohon-pohon yang ram­ ping, tercukur dengan baik. Ia telah bersiap dengan golok dan 121

kayu, namun ketika Nuraeni melihatnya, pendek ibunya berkata, jangan: Bagaimanapun Mameh tak berani menentang sepotong kalimat itu, ditambah roman ibunya yang bersikeras tak mem­ biarkan seseorang menyentuh belukar bunganya. Mameh me­ nyerah dan mengembalikan golok serta kayu tersebut ke dapur. Baru belakangan Mameh mengerti sarkasmenya. Nuraeni tam­ paknya berharap membuat rumah itu seburuk yang bisa dipikir­ kannya, seremuk sebagaimana dikatakannya waktu pertama kali datang ke 131. Atas sarkasme berlebihan Nuraeni, tak ayal bikin Mameh takut juga, dan sebisa mungkin tak pernah menyentuh bunga-bunga itu. Tak peduli betapa inginnya ia memetik melati yang cemerlang, atau mawar yang serupa darah, ia selalu me­ nahannya, takut ibunya murka. Mameh belum pernah melihat Nuraeni murka, sebab kemurkaan selama ini selalu milik Komar, tapi sebab ia tak pernah melihatnya, ia menjadi lebih takut sebab dipikirnya, jika ibunya murka maka itu bakalan lebih jahat dari segala kebengisan. Kini barangkali belukar bunga itu tak hanya jadi sarang ular dan ulat, mungkin rubah dan maling pun pernah bersembunyi di sana. Tetangga tak hanya ketawa-ketawa, dan Komar sekadar menerjangnya dengan sepeda. Jika seseorang bertanya untuk apa­ kah bunga-bunga itu, Nuraeni akan menjawabnya pasti, “Guna saweran pemakamanku.” Hanya sekali Mameh melihat Nuraeni memetik bunga-bunga itu, yakni ketika Marian mati beberapa waktu kemudian. Nuraeni memetikinya sambil mendendangkan kidung-kidung aneh, yang tak dikenali Mameh, barangkali datang dari masa gadis ibunya. Kidung itu sedih terdengar, sembari jarinya menjentik bebunga dan memasukkannya ke dalam keranjang. Seolah memetik bunga itu serupa membunuh mereka, dan kesedihannya setara dengan rasa kehilangan bayi kecil manis itu. 122

Ketika Komar bin Syueb mati, bagaimanapun Mameh meniru­nya, dan memetik bunga-bunga itu untuk mayat ayahnya. Awaln­ ya ia berpikir ibunya akan merelakan itu, sebab rasanya tak banyak yang telah diberikan untuk si mati, tapi dari mukanya jelas Nuraeni tak sudi, seolah ia berkata, telah terlalu banyak yang kuberikan kepada si mati keparat tersebut. Tapi waktu itu Mameh sudah tumbuh jadi seorang gadis, dan ia tak terlampau menuruti kehendak ibunya, maka ia terus memetik bunga-bunganya, tak peduli sebesar apa pun rasa sakit diberikannya kepada Nuraeni. Peristiwa-peristiwa ini memberikan kesimpulan bagi Margio bahwa tak ada yang bisa bikin Nuraeni bahagia. Tidak pula bunga- bunga itu. Sepanjang mereka memaharaja di pekarangan dan menjadikannya semak belukar, Nuraeni tak terhentikan dari omong kosong bersama kompor dan panci, sebagai pertanda bahw­ a kemurungan itu tak juga pergi darinya. Bahkan jika pun bel­ukar bunganya bikin ia bahagia, kebahagiaan itu sedikit saja. Dan demi yang sedikit itulah Margio selalu menjaga pekarangan ru­mah tak rusak dari kesemrawutannya, sejauh ia pikir demikianlah yang dikehendaki ibunya. Hingga suatu hari ia melihatnya demikian berbeda. Ia pulang ke rumah karena lapar di pagi hari selepas tidur di pos ronda yang sesaat sebab ia hampir begadang melihat pertunjukan wayang dengan lakon Semar Papa. Ia melihat wajah ibunya lebih berseri, ia tahu pasti sebab tak pernah begitu sebelumnya, dengan rona merah yang tiba-tiba muncul di pipinya, walau tak mengemb­alikan kemontokan sebagaimana sering diceritakan paman-paman dan bibi-bibi. Tapi ia bisa melihat perbedaannya, mata bulatnya kini lebih berbinar, dan lihatlah, ia mengenakan gincu, juga pupur, dan sepagi itu telah mandi pula. Di meja makan telah tersedia pula nasi hangat dan ikan bawal serta 123

sayur lodeh, tak sering ibunya segasik ini. Tadinya ia berpikir bakalan menemukan sisa makan malam, dan ia terpesona oleh perubahan mendadak tersebut. Ia bertanya diam-diam pada Mameh adakah sesuatu terjadi pada ibunya, dan Mameh sama tak tahu apa pun, tak peduli ia sering bersamanya di rumah. Me­ reka berdua mencoba mengingat-ingat apakah ini salah satu hari istimewa, tapi tak menemukan penjelasan apa pun dari kalender maupun weton. Mereka menyerah dan bertaruh roman ceria itu hanya berlaku sehari saja, dan jelas mereka keliru, sebab Nuraeni tampak semakin bahagia dari hari ke hari, meskipun sikap ju­ desnya pada Komar tak berubah sama sekali. Baru lama kemudian Margio mengetahui apa yang terjadi. Nuraeni tengah hamil, dan jauh di dalam perutnya tengah ber­ baring si bayi kecil yang kelak diberinya nama Marian. Ia mengetahuinya karena perut ibunya semakin membuncit bersama datangnya hari dan minggu, dan ia sudah menebak pula bayi itu bakalnya perempuan sebab begitulah jika perempuan cantik menjadi-jadi di kala hamil kata orang. Nuraeni juga ngidam macam-macam, termasuk minta buah cokelat muda bikin Margio mesti jelajahi perkebunan bangkrut mencari sebatang pohon ters­elamatkan masih punya buah. Lain waktu ia minta lodeh jantung pisang, dan Mamehlah yang membikinkannya. Sesungguhnya kehamilan ibunya sedikit bikin dongkol baik Margio maupun Mameh. Pikirkanlah, kata Margio pada adiknya, kini ia hampir dua puluh tahun, dan sekonyong bakal punya adik bayi merah mentah. Tapi demi melihat roman cemerlang di wajah ibunya, Margio tak banyak cakap dan malahan ikut kasih perh­ atian berlebih pada Nuraeni, khawatir sesuatu terjadi pada rah­ imnya mengingat perempuan itu sendiri telah beranjak tua, be­rapa umurnya sekarang? Margio berhitung, paling tidak 124

Nuraeni telah tiga puluh delapan tahun. Kenyataannya Nuraeni masihlah muda, pikir Margio, dan dengan binar di mata itu serasa mengem­balikan kejayaan masa gadisnya. Tahun-tahun terakhirlah yang membikinnya menjadi begitu tua dan udzur. Ia masih bisa hamil dua-tiga kali, kata si anak. Hari-hari pertama itu kehamilannya memang belum menonjol benar, hanya Mameh dan Margio yang mengetahuinya, lebih kar­ena terpesona oleh perangai dan penampakan lahiriahnya. Komar tampaknya belum menyadari, disebabkan sikap tak peduli­ nya pada Nuraeni, dan karena Nuraeni masih sebagai sedia kala di depannya. Ia masih bicara dengan kompor dan panci, meski kini nadanya riang dan penuh canda, dan ia juga masih pergi ke rumah Anwar Sadat untuk kasih bantu-bantu di rumah tersebut. Kerja bantu-bantu ini telah berlangsung lama, juga sepenge­ tahuan Komar, disebabkan tak banyak perkara di rumah untuk diurus tangannya. Ia sering diminta istri Mayor Sadrah untuk memasak jika anak-anaknya datang, atau kala tamu militer ber­ kunjung, dan bisa membawa pulang sebagian untuk makan di rumah. Rumah pegadaian juga sering pakai kerjanya, untuk me­ masak atau bikin kue-kue, tapi yang paling sering ia kasih bantu di rumah Anwar Sadat, terpisah satu rumah belaka dari 131. Itu karena Kasia sendiri harus ke rumah sakit setiap hari, dan masih bekerja kala pulang ke rumah, dan anak-anak perempuan mereka tak lebih begundal-begundal pemalas semata. Di sana Nuraeni akan bantu memasak nasi dan bikin sayur, semua bahan telah disediakan Kasia di lemari. Ia juga mencuci untuk mereka, menyetrika, menyapu lantai dan halaman, dan si­sanya mengurus pula bayi kecil Maesa Dewi. Setiap hari, kala Komar telah mengayuh sepedanya menuju pasar ke bawah pohon ketapang, selepas makan pagi, Nuraeni akan bergegas ke rumah 125

tersebut, masuk tanpa pernah mengetuk pintu, pertama ia akan memandikan si bayi kecil yang baru terbangun, menenteng pakaian-pakaian kotor ke kamar mandi sementara Maesa Dewi dan Laila berbaring di sofa menggerogoti keripik kentang dan Anwar Sadat terayun di kursi goyang mengisap kretek. Nuraeni memasak buat makan siang sementara pakaian kotor direndam deterjen. Kala ia hamil, Nuraeni masih melakukan itu, dan ba­ rangkali karena itulah Komar tak menyadari bahwa mereka bakal punya anak ketiga. Sebelum Nuraeni, Margiolah senyatanya yang datang pertama kali ke rumah Anwar Sadat dan sering dimintai kerja tetek- bengek di sana. Itu masa mereka baru datang ke 131 dan Margio disuruh ayahnya untuk pergi ke surau belajar mengaji pada Ma Soma. Belajar mengaji itu merupakan pelarian yang bagus bagi Margio menghindari rumah yang menjemukan, dan di sanalah ia beroleh teman baru. Dan beroleh hiburan baru. Selepas isya, bersama beberapa bocah, mereka akan bergerom­ bol di teras rumah Anwar Sadat, tepat di samping kaca jendela besar dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Tak ada televisi di rumah bocah-bocah itu, dan Anwar Sadat punya serta membiar­ kan mereka melihatnya. Demikianlah ia akan berjejalan, ber­ selimut sarung, kadang bersama lelaki-lelaki tua mengepulkan asap tembakau, di kursi-kursi batang kelapa yang berderet di teras, untuk menonton televisi. Rada segan bagi mereka untuk masuk, sebab di sana duduk menghadap televisi sebuah keluarga yang demikian khidmat tak terganggu, dengan anak-anak gadis duduk bersila mengunyah kacang polong. Tak patut mengganggu kedamaian macam begitu, dan mesti mencukupkan diri meng­ intip televisi melalui kaca jendela. Tapi di waktu-waktu tertentu, Anwar Sadat membolehkan mereka masuk, dan seringkali dengan nada menyuruh, duduk 126

di tikar menggusur kursi, meja dan sofa. Kadang-kadang mereka mau, lain kali tidak jika tak hendak menonton lama-lama, tapi pasti mau jika ada gelagat Anwar Sadat bakalan memutar video. Lelaki itu sering pergi ke penyewaan video di satu hotel tepi pantai, terutama malam Minggu, dan membiarkan anak- anak dari surau ikut pula menontonnya. Kini Margio kenal pula Kungfu Shaolin sebagaimana mengenal Rambo. Suatu kali Margio ada di samping jendela kaca seorang diri dan hujan turun deras. Bocah lain telah berlarian pulang tapi tidak Margio, sebab sepanjang sore Komar habis memukuli Nuraeni dan Margio enggan melihat itu berlanjut sampai hari gelap serta berniat untuk menghabiskan malam melihat televisi di sana dan melewatkan sisanya berbaring di surau. Di dalam rumah, keluarga itu lengkap duduk mempercakapkan sesuatu hingga seseorang mengeluh lapar dan bisalah Margio mendengar ternyata mereka tak bersiap dengan lauk buat santap malam. Melihat dirinya ada duduk di teras, Anwar Sadat keluar menemui Margio, dan ber­tanya sekiranya ia mau disuruh membelikan lauk ke pasar. Malam begitu biasanya masih ada penjual gorengan, sate ayam, bahkan ikan bakar. Sebelum Margio mengiyakan, sekonyong datang si bungsu Maharani dan berkata pada ayahnya bahwa ia mau pergi asal ditemani. Itulah awal Margio sering bekerja untuk Anwar Sadat sekali­ gus hubungan ajaibnya dengan si gadis Maharani. Mereka berdua sebaya, berjalan di bawah atap payung melintasi hujan dan gelap. Disebabkan Anwar Sadat tak punya anak laki dan ia satu- satunya lelaki di rumah itu, setiap ia punya gawean berat ia akan datang ke 131 dan meminta Margio membantu. Margio bisa meng­ angkut karung-karung beras ke gudang, membetulkan talang yang bocor, dan menebangi belukar di pekarangan depan rumah 127

tersebut. Untuk itu semua Anwar Sadat sering kasih ia uang, atau bahkan menyuruhnya bersantap di meja makan mereka, dan di kala Lebaran kasih celana dan sepatu baru. Hingga suatu ketika Anwar Sadat bertanya apakah ia bisa memanggil ibunya untuk bantu memasak, dan ia menjemput Nuraeni. Bagi Nuraeni, itu juga berarti pelarian yang menyenangkan, terbebas dari rumah yang lebih remuk dari apa pun. Ia senang pergi ke rumah Anwar Sadat, tak peduli banyak pekerjaan me­ nunggunya di sana, tak peduli seandainya tak ada uang diberikan Kasia kepadanya dan merasa cukup dibiarkan membawa pulang serantang sayur dan beberapa potong lauk. Di sana ia bisa men­ dengar lagu-lagu sendu diputar Anwar Sadat dari ruang melukis­ nya, melihat gadis-gadis cantik yang riang, dan tak peduli pula betapa anak-anak itu, terutama Laila dan Maesa Dewi, sering menyuruhnya hal-hal remeh dan tak masuk akal. Berkali Laila menyuruhnya untuk memijat, Maesa Dewi memintanya merebus mie, dan ia akan melakukannya dengan suka. Di rumah itu Nuraeni tak pernah bicara dengan kompor, dan menjelma menjadi perempuan manis sebagaimana mestinya. Di waktu-waktu belakangan, datang ke rumah itu dan bekerja di sana telah menjadi demikian rutin hingga Anwar Sadat dan Kasia tak perlu lagi memanggilnya. Malahan sering pula ia sekonyong muncul bagai dijatuhkan langit-langit di waktu masih remang dan bertanya pada Kasia, apakah ia hendak memasak sendiri atau dimasakkan pagi itu. Biasanya Kasia menguasai dapur di kala sarapan, namun di waktu-waktu malas ia merelakan itu pada Nuraeni. Serasa itu jadi rumahnya sendiri, sebab Nuraeni akan meng­ gilas lantai lebih kilau dari pemiliknya, menjelajahi batas-batas ubin dengan kain lap kecil memastikannya tak menyisakan debu 128

senoda pun, menggosoknya berulang seolah kucing yang tak ada puas menjilati kaki. Dan kaca-kaca jendela dibuatnya serasa tak ada, menipu kumbang dan ngengat membentur-bentur, sesuatu yang tak dilakukannya di 131, sebab di sana meskipun ada dua jendela kaca besar, penampakannya telah pudar oleh kapur din­ ding bilik yang tercecer kala Komar dan Margio melaburnya. Nuraeni juga tak membiarkan bunga-bunga meranggas di pe­ karangan, tidak sebagaimana belukar bunganya sendiri, dan itu menambah-nambah senang Kasia, hingga perempuan itu mem­ pertahankannya serasa memiliki seorang pembantu setia yang bersedia kerja tanpa upah sekalipun. Rasa senangnya barangkali ditopang perlakuan Kasia dan Anwar Sadat yang bagus betul kepadanya, bandingkanlah dengan Komar yang kerap menghadiahinya pemukul rotan dan memer­kosanya hampir di segala lubang. Komar tampaknya tahu Nuraeni senang berada di sana, dan tak ayal ini kerap bikin lelaki itu cemburu buta, menghukum Nuraeni dengan segala keji yang dipikirkan setiap otak busuk, namun tak pernah berhasil meng­ hentikan kepergian Nuraeni, terutama di saat-saat ia sendiri mesti pergi ke pasar memangkas bulu kepala orang. Lagi pula tampakn­ ya Komar tak banyak daya melihat Anwar Sadat dan Kasia memb­ eri uang pada Nuraeni dan Margio lebih banyak dari yang diberi­kannya sendiri. Ia tak bisa menghentikan mereka, maka ia hanya bisa memberi rasa pedas dan sakit, mengganti sikap manis yang tak mampu ia kasih. Namun sikap baik itu memberi jebakannya sendiri, yang menggoda dan menghasut, dan bikin Nuraeni hilang akal. Bukan sikap pengabdiannya yang hampir tanpa pamrih, yang dengan tulus akan ia berikan pada orang-orang yang bagus budi kepadanya, tapi bahaya itu mengancam pada sikap hidung belang 129

Anwar Sadat, yang tampaknya masih melihat warisan gadis cantik dimiliki Nuraeni, dibandingkan dengan istrinya sendiri yang sejak awal tak pernah sungguh menghidupi rasa berahinya. Sekali waktu, Nuraeni tengah mengiris-iris bawang berdiri menghadap meja di samping kompor yang berdengung oleh air mendidih, Anwar Sadat datang sekonyong melewatinya dan tangannya terayun meremas bokong Nuraeni. Telah lama ia ber­ hasrat melakukannya, melihat pinggul yang membuncah itu, mengkhayalkan selangkangan yang terjepit olehnya, dan daging yang lesak di bagian belakangnya, dan penuh kesengajaan jarinya meremas menerjang daging penuh itu, membikin Nuraeni nyaris memenggal jemarinya sendiri. Awalnya Nuraeni terhenyak, meski telah lama ia tahu dari desas-desus bahwa lelaki ini mata- keranjang dan tak bisa tahan atas perempuan, menoleh dan matanya bertambah bulat. Tapi demi dilihat senyum tanpa dosa itu, di wajah yang lembut dan sama sekali serasa tak ada nafsu, milik bocah-bocah kecil perengek, ia tak bisa marah. Senyum itu manis, dan apa yang bisa ia lakukan hanyalah mengusirnya jauh, dengan alasan tak lebih itu tak patut, terutama jika mata anak gadisnya menangkap kelakuan tak senonoh itu. Kedua anak gadisnya tak banyak muncul hidung. Laila sering pergi dan Maesa Dewi lebih suka ngamar di tempat tidur. Dan terutama sebab Nuraeni tak menampik galak, Anwar Sadat se­ makin doyan meremas bokongnya, atau menepuknya, setiap kali mereka berpapasan, atau menyempatkan diri menghampirinya kala lengah. Nuraeni tak lagi menoleh dengan mata semakin bulat, tapi malahan menampakkan wajah semu merah, dengan senyum tertahan yang sulit diterka. Sebab ia merasakan sentuhan tersebut hangat, awalnya pendek dan tak tergopoh, suatu sentuhan yang tak pernah dirasakannya. Ia bersemu merah sebab 130

barangkali me­nyukainya, sekaligus melihat ketidakpatutannya. Maka setiap kali lelaki itu tampak, melangkah dengan senyum tanpa dosa penuh pertanda, ia merasai dada bergemuruh serupa kereta rongsok, menanti tangan itu menggapai sekaligus takut merajalela. Suatu hari Anwar Sadat tak hanya lewat dan tangan terulur meremas daging pantatnya serupa pembeli yang merabai buah- buahan terpajang merasakan kematangannya, namun berhenti di belakangnya sementara Nuraeni tengah berdiri memilah-milah bayam membuang daun-daun yang digerogoti ulat. Perempuan itu sejenak tertahan, merasai dengus napas menembus rambutnya dan membelai tengkuknya, didera rasa seram yang tak karuan mengirim rasa beku sekujur tubuhnya, sementara tangan Anwar Sadat masih melekat di gaunnya, mencengkeram gundukan da­ ging belakangnya, dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan­ nya, dan apa mesti ia buat. Anwar Sadat membenturkan dirinya perlahan, Nuraeni terdorong kecil memepet meja, dan keduanya berimpitan tiada jarak, bikin si perempuan tak berani menoleh­ kan wajah, sebab jika itu dilakukannya mereka akan beradu pan­ dang, beradu muka, dengan hidung bertabrakan. Nuraeni masih terdiam menggigil, tangannya menggantung kaku dengan batang- batang bayam berjatuhan gugur ke atas meja, sementara di belakangnya Anwar Sadat bersandar ke punggungnya, menekan bokong Nuraeni yang mengembung dengan tubuhnya, dan tangannya yang tadi mencengkeram kini mengendur, ditambah satu tangan lain, merabanya dalam usapan lembut yang mengi­ rimkan kehangatan menembus gaun dan celana dalam hingga terasa gesekan perlahan itu ke pori si perempuan. Nuraeni hampir hilang napas merasai sepasang tangan tersebut menari di sana. 131

Serasa ia mangsa yang telah takluk dicengkeram tengkuk. Anwar Sadat, menyadari tubuh itu telah menjadi miliknya, me­ nurunkan belaian tangannya, menelusuri rok mengembang itu mengelus gumpalan paha, menekan kain rok ke kulit si perem­puan lalu menariknya kecil perlahan dengan ujung jari, sesibak demi sesibak seolah ia tengah menggaruk, hingga rok itu terangkat dan kala ujungnya terkait di ujung telunjuk, tangannya tanpa tergopoh masuk dan sentuhan kulit mereka membuat bebulu kecil berdiri awas. Anwar Sadat tidak lagi mencengkeram, namun me­rabanya, merasai paha Nuraeni dengan cara menarik jemarinya ke atas, kemudian turun, lalu memutarinya, dan rasa dingin yang beku sekonyong mengentakkan si perempuan, yang tersadar dan terlonjak. Segera kedua tangannya jatuh dan menurunkan rok, menyen­ tuh tangan Anwar Sadat dan menjauhkannya dari pangkal kaki­ nya, lalu dengan sentuhan kecil sikunya menyodok si lelaki agar menjauh dari punggungnya. Penolakan itu demikian tersamar, membuat Anwar Sadat masih sempat meraih bokongnya lagi, dan menjauh penuh kesadaran, seolah mengerti belum tiba waktunya untuk mencebur lebih dalam, sebab bagaimanapun ia pecinta yang handal. Nuraeni menoleh, dan rona merah di wajahnya melebar-lebar, warna marah yang aneh sebab tampaknya tak sungguh galak, lebih seperti rasa segan semata. Anwar Sadat hanya tersenyum, kembali dengan wajah tanpa dosa itu, sebelum berlalu dan membiarkannya jadi penguasa dapur yang sempurna. Bagaimanapun itu membikin Nuraeni bekerja lebih ringkas, dan tak membuang banyak waktu untuk segera pulang membawa serantang sayur bayam bening. Selama tiga hari ia tak muncul di 132

rumah tersebut, meski di hari kedua Kasia datang untuk meli­ hatnya, dan untuk itu Nuraeni mesti berdalih badannya sedang tak enak betul. Senyatanya memang tak enak badan, berkali-kali tubuhnya menggigil setiap kepalanya mengenang tubuh yang mengimpit itu, serta tangan yang berenang di kulit pangkal paha, hampir naik menerobos sudut paling rahasianya. Semua peng­ galan peristiwa itu terus berulang, dan ia masih juga merasakan belaian tersebut, kadang hangat lain waktu dingin, dan semakin mencoba, bertambah tak bisa ia mencampakkannya. Di hari ketiga demam itu mampu ditanggulanginya, sebab kini ia bisa mengenangnya tanpa rasa beku, dan mulai melihat sisi intimnya yang mengejutkan, rasa hangat yang tak dikenali, dan tiba-tiba walau ada rasa malu menyelinap, Nuraeni sedikit me­rindukannya, mendamba satu sentuhan di gumpalan daging pan­tatnya, yang akan menjalar jauh ke dalam, menyentuh setiap pori tubuhnya. Demikianlah kemudian ia datang lagi, tubuhnya sedikit gugup kali ini, tercenung sejenak di depan pintu seolah tamu yang pertama datang, masuk ke dapur dan bekerja namun pikirannya terbang berkelepak. Ia mendengar langkah kaki itu, telah dikenalinya sebab caranya mempergunakan sandal selalu diseret, dan tak perlu menoleh untuk mengetahui Anwar Sadat tengah merayap menuju dirinya. Meski begitu, menoleh pula akhirnya, melihat lelaki itu hanya mengenakan kolor dan kemeja terbuka satu kancing, tersenyum namun tak lagi tanpa dosa, lebih tepat jika senyum godaan. Nuraeni membalasnya dengan sikap jengah, senyum yang malu-malu, sebelum tertunduk meski ekor mata masih tertancap ke sosok yang menghampiri. Anwar Sadat sadar perempuan ini telah tertaklukkan, dan datang untuk me­nangkapnya. Kali ini Anwar Sadat tak semata menjawil bokongnya dan mer­emas dunia lentur di sana, sebab kini ia kembali berdiri di 133

bela­kang perempuan itu dengan tangan melingkar memeluknya, menghentikan segala gerak dan membisukan segalanya. Serasa Nuraeni melihat udara yang menjepit dan ia terpaku, sepenuhnya sadar lelaki ini akan berlaku lebih ganas oleh semacam pe­ nyerahan dirinya, dan merasakan kepalanya terbenam di ram­ butnya, menyentuh hangat sampai tengkuknya, dan terasalah riuh dengus napas berembus, terpompa satu-satu, tak berirama mengiringi letupan napasnya sendiri yang terpenggal-penggal. Tangan itu melingkar di pinggangnya, mengapit serasa jari kepi­ ting, mengirimkan aroma panas ke tubuh dan hawa sekitar. Keduanya sejenak menari, entah oleh dorongan irama macam apa, di tengah dapur yang lengang, serasa pengantin baru ber­ manja-manja. Tangan Anwar Sadat merayap perlahan, begitu perlahan menghindari kejutan yang sekonyong, sebab ia tahu ketergesaan bakalan mematahkan segalanya, mengelus tubuh si pe­rempuan hingga tergapai menuju atas pinggangnya. Di sanalah kedua telapak tangan itu, mencungkupi kedua dada Nuraeni, tangan kanan menggenggam dada kiri, dan tangan kiri meng­ genggam gundukan kanan, tidak meremasnya, hanya membelai­ nya lembut. Dada itu tak seranum masa gadisnya, meskipun kini kembali kencang oleh hawa hangat yang menguap, telah sedikit menggelayut oleh sedotan mulut Margio dan Mameh kala masih bocah-bocah mentah, dan terutama oleh gilasan tangan Komar yang melumat. Anwar Sadat menyadarinya, seandainya ia memperoleh pe­ rempuan itu belasan tahun sebelumnya, ia bakalan menemukan seluruh penampakan badaniah yang hampir sempurna. Telah berbulan-bulan perempuan itu datang ke rumahnya, bergerak di depan matanya, dan demikian menyesal memperolehnya semakin terlambat lagi. Sepanjang bulan-bulan itu ia memindai 134

kecantikan­nya yang terpendam, di balik roman sendu yang tak banyak celoteh, menyibukkan diri dengan benda-benda di tangan. Ia belum pernah menggodai perempuan yang terlampau dikenal, tetangga sendiri, dan ia mengenali pula lakinya, dan terutama masuk rumahnya hilir-mudik serasa perempuan itu ipar sendiri. Tapi penampilannya yang penuh kabut, dan pemahamannya yang memadai untuk melihat roman menderita atas perlakuan lela­kinya yang tak tahu untung, memaksanya untuk merenungi pe­rempuan itu lebih banyak. Memandanginya sembari berpikir seperti apa tubuh pedalamannya, yang terbalut gaun terusan itu, dan bertanya-tanya sungguhkah dirinya telah habis diremuk Komar sebagaimana ia tahu, dan terpesona juga memikirkan apakah perempuan ini pernah mengharapkan satu sentuhan lembut pecinta agung, yang dengan sudi bakalan diberikannya untuk si murung itu. Kini Anwar Sadat menyadari kemerosotannya, melalui tangan yang menggenggam buah dadanya, tak peduli itu masih terbalut kutang dan lapisan gaun, ia bisa mengerti namun sekaligus mengaguminya, sebab setelah tahun-tahun yang menderitakan tersebut, perempuan ini masih menyimpan buah dada yang tak dibiarkannya terlampau matang hingga membusuk. Berahi pe­ rempuan itu naik, sebab bola-bola itu menggelembung pejal, pe­ mahaman Anwar Sadat atas perempuan memberitahunya, dan memberi jawaban lama bahwa perempuan ini memang mem­ butuhkan sentuhan macam itu. Tentu saja tak ada keberatan bagi lelaki ini untuk memberikan kehangatan kepadanya. Tangan penuh bakat itu, yang menciptakan patung-patung naturalistik di depan rumahnya, yang me­nyapu kuas meniru tanpa malu lukisan Raden Saleh, yang telah membikin banyak perempuan menggelinjang diimpit 135

tubuhnya, mulai deras bergerak, jarinya terangkat sebelum terbenam, menyapu dan menggaruk, dan benarlah Nuraeni mulai bersandar ke tubuhnya, pandangan mata kosong ke langit-langit, dan ber­napas dengan mulut bercelah. Anwar Sadat mencengkeramnya lebih erat, mencungkupinya lebih menekan, telapak tangannya berputar serupa membuka tutup stoples, sekali-dua itu membikin mereka oleng saling mendorong sebab otak tampaknya tak lagi jalan dan kaki-kaki tak lagi kukuh, dan tubuh keduanya telah disiram dari pedalaman mereka sendiri. Nuraeni mengenakan gaun dengan dua kancing di lehernya, satu tangan Anwar Sadat perlahan membukanya dengan gerakan tiga jari serasa mereka punya mata, menguak ngarai dalam yang lunak, dan kini kedua tangannya terlepas dari gundukan tersebut, hendak berpindah, menyelisip ke balik gaun dan kutang dan menemukan harta ka­runnya di sana. Ingin sekali Anwar Sadat merampok daging itu, menggilasnya dan mereka semakin liar, hingga terdengar suara pintu terbuka, di suatu tempat di depan rumah, menghentikan berahi tersebut. Kala Maesa Dewi muncul ke dapur, Nuraeni tengah menghadapi meja menggenggam pisau, tanpa apa pun di depannya untuk diiris-iris, hanya berdiri tak ada nyali berbalik, sebab Maesa Dewi bakalan melihat leher gaunnya yang menganga, dan kutangnya yang sedikit terkuak. Sementara itu Anwar Sadat menghadapi poci, menuang air ke gelas dan meminumnya, pun tak hendak menoleh. Sesuatu di dalam kolornya lunak penuh kesegeraan. Maesa memandangi keduanya sejenak, sebelum berjinjit bergegas ke kamar mandi, hilang di sana memberi bebunyi deras kencing yang tumpah ke lubang toilet. Anwar Sadat pergi meninggalkan dapur, tak sepatah kata pun tertukar di antara mereka. Sesungguhnya, jika Margio dan Mameh jeli, semestinya me­reka telah melihat roman riang itu sejak hari tersebut di wajah Nuraeni. 136

Semu merahnya telah membayang kala sore ia pulang ke rumah, demikian juga binar matanya, serasa waktu mundur bagi Nuraeni. Ia mandi sangat lama dan mengenakan gaun terc­antiknya, dibeli Lebaran empat tahun sebelumnya, bermain-main dengan anak kucing di depan kompor sementara menanti nasi menjadi tanak. Tak biasanya ia begitu terhadap makhluk semacam kucing, mengelusi bulunya, membiarkan jemarinya digigit, dan bernyanyi kecil seolah memberinya nina bobo. Ketika Mameh me­lihatnya, lalu Margio memergokinya, belakangan Komar memelototinya, tak seorang pun telah menyadari gelagat anyarnya, dan masih melihatnya sebagai bentuk kesintingan yang lain. Nuraeni masih merenungi siang yang ganas itu, baginya tak ada yang lebih indah daripada apa yang telah diperolehnya, dan merindukan telapak tangan Anwar Sadat sejadi-jadinya. Tampak­ nya tak ada lagi yang menjadi kepeduliannya, selain merenungi kenangan tersebut, berdebar menanti apa yang bakal kejadian atas mereka setelahnya, sebab sisi kewarasannya tahu semua itu tak akan berhenti di sana, dan masih ada saat-saat lain yang dengan sabar telah menanti mereka untuk mengisinya. Ia melangkah ke rumah Anwar Sadat pukul sepuluh sehari kemudian dengan tubuh hampir menggigil dan sejenak nyaris bikin ambruk di tengah jalan. Ia mengenakan atasan dengan kancing berderet, dan rok yang mengembang, serasa ia telah me­masrahkan dirinya, memberi Anwar Sadat jalan yang lebih mudah untuk meraih dirinya. Ia berharap mengulang hari kemarin, da­danya berderak menyengal, sekaligus cemas Maesa Dewi akan jadi iblis pengusik yang merusak rasa intim mereka. Ia memasuki rumah tersebut dengan langkah tak ada bunyi, telapak kakinya menyentuh ubin demikian lirih, menuju dapur pura- pura tak mengharapkan siapa pun, sebab matanya memandang 137

lurus tak menoleh mencari-cari. Namun di sana ia berdiri di tengah ruang, pedalaman dapur yang lengang, kompor berderet di satu sisi dan meja serta lemari teronggok di sisi lain, dan di antara benda-benda itu menjulang dirinya, kali ini tampaknya tak hendak menyentuh apa pun, tidak wajan tidak panci, tidak pisau tidak kentang. Ia di sana, menunggu dirinya sendiri yang disentuh. Didengarnya pintu kamar yang terbuka, dan ia bertanya-tanya Anwar Sadatkah atau anak perempuannya? Nuraeni masih di sana, tak menoleh untuk cari tahu, sebab dirinya terlalu lesu. Na­ mun dari langkahnya kembali ia mengenalinya, itulah makhluk yang ia nantikan. Anwar Sadat rupanya mengerti, melihat sosok si perempuan tak berdaya di tengah dapur, bahwa siang itu akan menjadi milik mereka berdua, semuanya kini di tangannya, dan perempuan itu tanpa kata-kata telah berkata, terserah apa yang hendak kau lakukan hingga kita tak akan terpatahkan oleh apa pun juga. Demikianlah Anwar Sadat mendatanginya, menarik tangan­ nya, dan dengan langkah terseret menggiring dirinya ke kamar tidur, menutup pintu dan mengunci mereka di dalamnya. Itulah dunia intim sesungguhnya, tak terjangkau oleh apa pun juga, bahkan tidak Maesa Dewi maupun Kasia. Anwar Sadat masih berdiri di tentang pintu, sementara Nuraeni canggung di depannya, muka menunduk tak tahu mesti bersikap, kemudian mundur teratur hingga membentur ujung tempat tidur, dan terduduk di atas kasur. Tangannya menyentuh seprei, matanya merenungi, seprei itu putih bersih dan tebal, dengan motif ekor murai berwarna cokelat tua, permukaannya lembut serasa bulu randu. Kasurnya busa, ia bisa merasainya, padat namun bisa melesak. Ingin sekali ia berbaring di sana, 138

dengan kepala ditopang kedua tangan, meringkuk dengan lutut sedikit menekuk, dalam tidur abadi yang hangat, tak ada lagi tukang pukul yang merongrong dirinya, dan tak ada lagi hidup penuh cemas. Anwar Sadat melangkah menghampirinya, terlihat kakinya bergerak, dan itu menghentikan renungan Nuraeni hing­ ga ia terdongak memandang penakluk berwajah tanpa dosa itu. Sejenak mereka bertatapan, dan Nuraeni tersenyum malu, kembali menunduk, dan memandang sesuatu menonjok di balik kolor Anwar Sadat. Itu membuatnya kembali beku, namun Anwar Sadat telah menyentuh bahunya, membuatnya kembali hangat, lalu dengan satu sentuhan kecil mendorongnya rebah di pera­ duan. Di sana ia telentang, dengan kaki masih menjuntai ke lantai, rambutnya melebar tumpah, sepasang dadanya ber­guncang oleh sengal napas. Anwar Sadat membuka kedua kaki perempuan itu, di antara keduanya ia berdiri, menjatuhkan di­rinya, mengimpit di atas tubuh Nuraeni. Tekanan itu mendebark­an, namun menggelorakan, seolah tahu kini tak lagi ada yang tertunda. Sangatlah jelas Anwar Sadat seorang penyabar dalam bercinta. Tanpa bersegera menanggalkan tameng-tameng mereka, ia mem­ benamkan bibirnya ke bibir perempuan itu, sementara tangannya melingkar mendekapnya, tak membiarkannya hengkang. Pada awalnya Nuraeni hanya terdiam, membiarkan garis-garis bibir yang semula kering saling bersentuhan, di batas jarak semacam itu ia tak bisa memandangnya tajam, namun bisa merasai mulut lelaki itu mengatup-ngatup serupa ikan di permukaan kolam, mengirim aliran basah ke rekahan mulutnya. Anwar Sadat terus memancingnya untuk membalas, memagut bibir bawahnya dan sedikit menariknya, melepaskannya dan mengatup sepasang bibir tersebut, hingga lama-kelamaan akhirnya balasan itu datang, dalam gerakan-gerakan kecil, sebelum sekonyong telah mengatup mulut si lelaki, dan Nuraeni menjadi lebih pemberani. 139

Selepas itu segalanya menjadi lebih gampang, Anwar Sadat mengendusi leher perempuan itu, menyelusup ke tepian rahang­ nya, menuju balik telinganya, kembali ke bibirnya, mencari telinga yang lain, dan mereka bergerak, berputar, Nuraeni mendorong dirinya dengan kaki, hingga keduanya telah berada di atas tempat tidur selengkapnya. Bagaimanapun mereka tak berlanjut ganas, namun lebih per­ lahan dan khidmat, serasa pecinta-pecinta agung yang mengerti bagaimana seni persetubuhan yang sesungguhnya. Anwar Sadat melepaskan kelima kancing atasan perempuan itu perlahan, de­ mikian lambat sehingga di antara mereka sendiri hampir tak me­ nyadarinya kala itu telah menganga semua, dan Nuraeni harus menarik tangannya untuk menanggalkan pakaian tersebut. Kini ia tampak setengah polos, membuka sendiri penutup dadanya, yang tampak serupa puding tumpah bergelinjang sendiri tak kukuh, berguncang, sementara Anwar Sadat duduk di pahanya, membuka kaos oblongnya, memperlihatkan dadanya sendiri yang lebat oleh bebulu, di antaranya telah separuh putih. Setengah polos keduanya masih saling memandang, hingga Anwar Sadat menaruh kedua telapak tangan di puding langsat tersebut, meng­guncang dan meremasnya tanpa terhancurkan, sebelum tubuhnya tumbang tanpa melepas genggaman, kembali menumpahkan cium berahi di mulut Nuraeni. Rok dan celana mereka tanggal tanpa tubuh keduanya terpisahkan, didorong tangan terampil yang menarik-narik dan melemparkan itu semua ke lantai. Kini mereka polos sempurna, dengan lutut Nuraeni terangkat dan ke­dua kakinya memutar mengapit tubuh Anwar Sadat, di sana mer­ eka bercinta lama, penuh peluh dan dengusan pendek, mengerisutkan seprei ekor murai hingga berpusing. Momen itu demikian menakjubkan bagi mereka, sesuatu yang nyaris tak terenungkan. Berbaring sama telanjang mereka 140

tak berkata-kata, sebab tak banyak mereka berbincang, sebab berahi tampaknya tak membutuhkan kata. Dengan tubuh dan jiwa yang lelah, keduanya berbaring berdampingan, mata setengah redup menatap langit-langit dengan lampu mati dan satu-satunya cahaya datang dari tirai tipis yang menghalangi jendela, sinar mat­ahari yang beranjak siang. Nuraeni sendiri masih takjub dengan keberanian tubuhnya sendiri, namun tak terperi ia demikian bahagia, dan tak perlu bertanya pada lelaki itu apa yang dirasa­kannya. Hingga tanpa ragu, perempuan itu berbalik, menimpakan pahanya ke tubuh Anwar Sadat, dan memejamkan mata. Ada garis lurus di bibirnya. Siang itu ia pulang ke rumah dan belum seorang pun di sana menyadari perubahan perangainya. Barangkali ia terlampau menyembunyikan rasa suka, atau penghuni rumah terlampau abai terhadap perempuan ini. Hanya Anwar Sadat yang merasa­ kannya, terpesona bisa membuat perempuan itu menjadi pengantin baru sepenuhnya, dan ia akan menyediakan dirinya untuk Nuraeni, di hari-hari mereka yang panas dan semakin liar, di tempat tidur yang sama dan lain waktu di tempat-tempat ber­ganti. Adakalanya Maesa Dewi pergi juga dari rumah, dan berdua mereka akan menutup semua pintu dan gorden dan meredupkan lampu-lampu, dan berahi di atas sofa, di meja dapur, di bak mandi, dan sekali waktu di lantai ruang tempat Anwar Sadat melukis. Nuraeni menyadari kemudian kehadiran jabang bayi di pe­ rutnya, tanpa perlu ia bertanya pada bidan atau mantri, sebab naluri perempuannya telah gamblang menjelaskannya sendiri. Itu sama sekali tak membikinnya panik, malahan tambah mem­ buatnya suka, dan sering membikin ia duduk merenungi si bakal bayi, mengelusi perutnya yang belum juga membuncit, seolah 141

itulah satu-satunya anak sejati yang ia miliki. Serasa anak pertama yang lama dinanti-nanti, dan ia akan berkaca-kaca mendamba hari ketika ia bakal menumpahkannya ke dunia, mendengarnya menangis, melihatnya tumbuh, dan demi apa pun, ia pasti akan sangat mencintainya. Sering ia bernyanyi-nyanyi kecil, seolah bayi itu telah lahir dan tengah dihiburnya dari cengeng kanak-kanak. Pada masa itulah Margio merasakan perubahannya, melihat­ nya lebih berias dan cemerlang dan cantik tanpa pernah ia melihat ibunya seperti itu di tahun-tahun kebersamaan mereka, dan lama setelahnya kemudian Margio sadar roman cantik itu datang dari bayi perempuan yang meringkuk di rahimnya, membisikkan itu pada Mameh bahwa ibu mereka tengah hamil, dan keduanya terp­esona akan penantian jabang bayi yang tak terduga-duga. Masa itu Margio masih berpikir itu adik kandungnya, dari ayah yang sama, meskipun ia sempat bertanya-tanya dengan cara apa Komar mengangkanginya. Telah bertahun-tahun, tampaknya sejak be­lukar bunga datang, Nuraeni minggat dari sampingnya dan tidur dengan Mameh di kamar lain, dan demi melihat tubuh udzurnya, serta pernah juga mengeluhkan kelaminnya yang bengkak, Margio meragu jika Komar masih memburu Nuraeni untuk men­ yodok lubang kemaluannya, tak peduli sebesar apa pun nafsu berahinya. Margio belum menyadari keberadaan Anwar Sadat dalam se­ mua keajaiban rahim Nuraeni, masih berbaik sangka Komar me­ mang masih mampu melakukannya, dan terbayang olehnya suatu malam Komar menyeret Nuraeni dari kamar Mameh dan meng­ empaskannya di tempat tidur, atau di peti gudang beras, dan me­ nodongnya mahakejam. Tentu ia melakukannya berkali-kali, hing­ ga perempuan itu kembali hamil, tanpa memedulikan kenyataan kedua anak yang mereka miliki pun hampir sering kurang makan. 142


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook