Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Lelaki Harimau

Lelaki Harimau

Published by Digital Library, 2021-02-20 14:34:50

Description: Lelaki Harimau oleh Eka Kurniawan

Keywords: Lelaki Harimau,Eka Kurniawan

Search

Read the Text Version

Ia tak membicarakan hal itu dengan adiknya, menyimpan sendiri pertanyaan-pertanyaan, dan dibikin heran setelah perut Nuraeni tampak semakin bulat, Komar tampaknya belum juga menyadari, sebab tak ada kata apa pun terucap mengenai adik bayi, juga tak beri perhatian berlebih untuk bininya. Seolah-olah jika pun Komar telah meniduri istrinya, ia tak yakin bisa membuahinya, dan tak pernah menelisik adakah sesuatu berubah di penampakan rahim Nuraeni. Ketika Komar bin Syueb akhirnya tahu, gempa amukan itu datang sejadi-jadinya, mengejutkan Margio dan Mameh sekaligus, sebab telah lama Komar demikian abai pada istrinya, meski masih kerap memukulinya. Kini amuk itu datang lebih ganas, seperti amarah yang lama tertahan, menyeret perempuan itu dari dapur ke tengah rumah, dan menempelengnya tanpa mengatakan apa pun. Nuraeni menjerit, kini tampaknya perempuan itu hendak melawan, barangkali mempertahankan gumpalan tercinta di ra­ himnya, meneriakkan kata bangsat dan anjing dan babi, dan Komar bin Syueb membalasnya dengan bangsat dan anjing dan babi pula. Melihat Nuraeni yang melawan, Komar semakin bengis mengayunkan lengannya, kali ini tidak dengan telapak tangan terbuka, tapi telah tertutup menjadi kepalan, menimpa deras dahi istrinya. Nuraeni terempas ke dinding, menimpa palang kayu, dan bikin bilik bambu sedikit tambah menggelayut. Komar datang memburunya, mengayunkan kaki menghajar betisnya, dan Nuraeni terpojok, ambruk di lantai. Itu pun tidak cukup, maka ditendang pula pinggulnya, sebelum Nuraeni menangkap kaki itu dan mendorongnya. Dengki melihat perempuan yang tak juga mau dikalahkan, Komar mencengkeram rambutnya, membuat Nuraeni kembali berjinjit meringis, dan pada saat mereka telah sejajar, tangan Komar datang menimpuk rahangnya, kali ini 143

kemb­ ali ia terhuyung ke sudut lain, dengan pipi membiru semu merah, sedikit bengkak, namun tetap bertahan tak mengucurkan tangis, hanya tangan memeluk perutnya membentengi. “Perempuan sundal!” pekik Komar bin Syueb, sambil melem­ parkan asbak seng ke mukanya, dan pergi meninggalkan mereka. Margio dan Mameh ada di sana, demikian cepat semua adegan itu, hanya bikin mereka pasi tak karuan. Ketika tersadar untuk berbuat, Komar bin Syueb telah pergi. Mameh menghampiri ibunya, memapahnya dan membawanya ke tempat tidur. Hanya Mameh yang kadang tak bergeming, pada saat-saat tak tertahan­ kan ia bisa menangis, dan sambil sesenggukan ia mengipasi ibu­nya, mengelus memar-memar tersebut dan bertanya apakah ingin diambilkan air kompres, tapi Nuraeni hanya menggeleng dan menggenggami tangan Mameh. Kini Margio menyadarinya, bayi kecil di dalam perut ibunya bukanlah benih Komar. Kemarahan membengkak itu sangat ter­ jelaskan, dan sejenak ia gamang di mana mesti berkubu. Ia sendiri hampir tak percaya Nuraeni memperoleh benih dari seseorang, dan Margio belum juga punya gagasan siapa yang telah menum­ pahkan itu di rahim ibunya, sebab menyadari ibunya telah mem­ peroleh itu tidak dari Komar pun telah membikin Margio ter­ guncang. Ada rasa malu membuncah di dirinya, dan menuntunnya pergi dari rumah, terdampar di pos ronda, dan terus merenungi semua itu sebab ke mana pun pikirannya pergi, kenyataan ter­ sebut demikian gamblang di depan matanya. Ia tak bicara pada seorang pun kawan, meski satu dua bertanya mengapa ia de­ mikian murung, sebab tahu hal begitu bukan untuk dipercakap­ kan. Apa jadinya jika semua kawan, dan lalu semua orang di seantero bumi tahu, bahwa ibunya tengah bunting oleh seseorang 144

yang bukan ayahnya. Ingin sekali ia membakar kedua orang keparat itu, yang baginya serasa mereka berdua berkomplot untuk menganiaya dirinya dan Mameh, tapi jauh di dalam hatinya ia tak bisa mengutuk ibunya yang telah melewatkan tahun-tahun menderitakan tersebut, dan tak bisa menyumpahserapahi ayah yang telah dikhianati demikian seronok. Bagi Komar bin Syueb sendiri, tak ada yang lebih menyakitkan diri daripada apa yang terpampang di hadapannya, seorang istri yang memamerkan rahim berisi benih lelaki asing, lebih sakit daripada memikirkan kenyataan bahwa ia tak pernah sanggup membuat mereka senang. Ia pergi ke kios cukur dan lebih banyak suwung, nyaris mengiris kuping pelanggannya, dan pelanggan lain hampir dibuat rambutnya tercabik-cabik. Matanya semakin berkaca-kaca, menyedihkan keadaan diri sendiri, mengenangi tahun-tahun lewat yang penuh keputusasaan dan ia mencoba mengurai dari mana segala kesalahan ini berawal, seandainya memang ada kekeliruan. Tahun-tahun itu berlalu demikian cepat, pikirnya, seperti kereta yang tepat jadwal dan enggan menunggu. Ia mengenang masa muda yang payah, kala ia pergi merantau dari kampung dan mencari kerja di pabrik-pabrik. Berbulan-bulan ia di sana, memotong kulit untuk bengkel sepatu, mengangkut gandum di perusahaan mie, dan selepas bulan-bulan yang lewat ia mendapati dirinya penuh rasa sakit tanpa uang, hingga ia membuka kembali kotak perkakas cukur dan mencari tempat di bawah rindangan pohon, menanti pelanggan, mencukur kepala orang, dan tetap tak banyak beroleh apa pun. Ketika Syueb menyuruhnya pulang untuk mengawini si gadis Nuraeni itu, ia hanya mengantongi cin­ cin kawin enam gram, barangkali ia keliru terlalu membangga­ kannya. 145

Bahkan di masa kawin itu pun ia telah melihat sosok gadis yang enggan, barangkali marah sebab tak pernah dikiriminya surat, dan ia tak pernah meminta maaf soal itu. Sebab bukan ia tak mau menulis omong kosong di kertas merah muda dengan wewangi dari bedak, tapi ia sungguh tak tahu apa mesti diper­ bincangkan, sebab tak ada yang menarik sepanjang hidupnya di rindangan pohon menanti orang yang gelisah sebab rambut telah mencolok mata. Tapi perempuan itu telah jadi milikku, pikirnya, sejak perkawinan tersebut, maka ia seharusnya ada untuk dirinya. Maka jika ia menginginkannya dan perempuan itu tak ada untuk dirinya, izinkanlah ia memiliki amarah, dan kemarahan itu tak tertangguhkan, menimpa perempuan tersebut dalam kepingan pukulan. Duduk di kursi pelanggannya, Komar bin Syueb menyeka ma­ tanya dengan kain mori, cemas seseorang dari kios mie ayam akan memergokinya secengeng itu. Sekali lagi ia mengeluhkan waktu yang terlalu bersegera, bagaikan tak memberinya kesempatan apa pun. Ia bertanya-tanya mengenai tangannya yang ratusan kali mencederai bininya, dan anak-anak mereka, matanya kembali ber­linangan berpikir semua kekeliruan itu datang dari dirinya. Tapi sisi lain pikirannya akan membela, mengenang saat ia lelah pulang ke rumah dan mendapati istri yang muram, anak-anak yang sebengal setan, dan tak lagi ada yang bisa dipikirkannya kecuali menimpuk mereka dengan apa pun, berharap membuat mereka sadar ia telah dikutuk untuk letih sepanjang masa, meminta ke­sediaan makhluk-makhluk itu untuk bersekutu dengannya, dan jika tampak mereka tak hendak mengekor di belakangnya, biarkan dirinya menyeruakkan amarah. Seorang ayah datang memintanya mencukurkan bocah kecil yang digiringnya, dan Komar mesti memalingkan muka, 146

menyembunyikan mata yang redup, mempersilakan si bocah duduk di kursi yang tadi ditungganginya. Sambil bersiap ia memb­eri kesimpulan pada renungannya sendiri: dan kini ia melihat Nuraeni bakalan beranak dan anak itu tidak datang dari kemaluan Komar bin Syueb. Tadinya ia telah bersiap untuk berserah pada alam yang mem­ beri kisah tragis ini, tapi setiap kali pulang dan kenangannya membuncah kembali demi melihat perut istrinya, rasa marah itu meluap lagi dan ia mesti menghajar istrinya, meneriakkan belas­ an kata sundal, mencederainya, menggetoknya dengan gayung, menggebraknya dengan rotan pemukul kasur, dan rasa hatinya menjadi sayup selepas melihat perempuan itu bersimpuh di sudut rumah tak lagi ada perlawanan. Komar akan masuk ke kamarnya sendiri, berbaring menyendiri dan jika malam datang bersama keheningannya, ia bakalan menangis tanpa bunyi, membuat malaikat-malaikat turun dan mencatat kemalangannya. Bakal bayi itu sendiri terus tumbuh di rahim yang penuh gun­ cangan, tampaknya demikian kuat menahan dera yang menimpa induknya, dan sejak awal barangkali menyadari ayah tiri yang ganas itu tak sudi membiarkannya tumpah. Mameh terus men­ dampingi ibunya, kini lebih banyak berbaring ringkih, menyusut lesat oleh kebengisan bertalu-talu, dengan si anak perempuan kasih kompres sekujur tubuh yang memar, dan membalurnya dengan beras kencur yang dimamahnya sendiri. Bahkan, dengan segala rasa pedih itu, Nuraeni tak kehilangan roman bahagianya, yang mengharukan bagi Margio dan Mameh, sebab sepanjang tahun-tahun kehidupannya, tak banyak perempuan itu memberi senyum, dan kini ia membagikan itu bagi mereka serasa diserak­ kan begitu saja dan orang hanya perlu memungutinya. Kepada kedua anak itu, ia berkata pelan: 147

“Jika ia lahir, ia akan datang membalas dendam membunuh Komar bin Syueb.” Mameh hanya menangis menanggapinya, sementara Margio semakin menemukan kristal-kristal hasrat membunuh ayahnya. Semakin besar perut itu, Margio melarangnya untuk pergi ke rumah Anwar Sadat dan bahkan menghalanginya mengerjakan apa pun di rumah. Margio sangat senang melihat roman bahagia itu, tak peduli rasa malu masih bersemayam di pedalamannya demi mengenang apa yang telah dilakukan ibunya, telanjang untuk lelaki lain, dan mengabaikan segalanya demi wajah yang riang tersebut. Mamehlah yang kemudian mengurus rumah, me­ nyiapkan makan bagi mereka dan tetap mengerjakan semua tugas rutinnya. Kala itu keduanya telah menyelesaikan sekolah mereka, dan masa-masa itu, sepanjang kehamilan ibunya, Margio sering berada di rumah kecuali waktu-waktu sejenak ia pergi untuk gaul bersama kawannya, mencemaskan ibunya dari tangan ayahnya. Komar bin Syueb sendiri mulai menemui ketenangannya, dengan cara menyedihkan mulai menerima petakanya, tak lagi hirau pada perempuan yang menenteng bayi haram jadah di rumahnya, dan lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Belakangan ia malah sering pulang sangat larut, dan pergi bergegas, dan tak seorang pun tahu di mana dirinya. Barangkali ia membuka kios cukurnya lebih dini dan lebih larut, atau ia tak membuka kios cukurnya dan malahan pergi entah. Penghuni rumah lain abai juga kepada­nya, tak peduli apa hendak ia buat, dan lebih senang seandainya ia memang jarang di rumah, dan lebih bagus jika ia punya kewarasan untuk hengkang, sebab lelaki yang membiarkan rahim istrinya dibuahi lelaki lain mestinya tak patut tampilkan muka. Kasia sering datang sejak Nuraeni tak lagi datang ke rumahnya dan tahu ia tengah hamil untuk periksa keadaan dirinya. Ia 148

mencemaskan memar-memar itu, namun membesarkan hati Nuraeni bahwa bayinya baik-baik saja. Kasia sering datang mem­ bawakannya pisang dan susu, sebab itu baik untuk perempuan hamil, katanya. Atas kebaikan bidan ini, Nuraeni sering merasa jengah, menyadari Kasia tak pernah tahu bahwa bayi yang ikut diperhatikannya tak lain hasil perampokan atas lakinya demi ke­ senangan perempuan lain. Ia sering merasa sesak setiap Kasia datang, dan bersedih pada perempuan itu sewaktu si bidan pergi. Bulan-bulan berlalu dan di bulan ketujuh Mameh memandikan ibunya dengan air kembang. Bukan bunga-bunga yang dipetik dari belukar depan, sebab Mameh masih takut itu mengembalikan riang ibunya, tapi dibeli Margio dari nenek tua penjual bunga di pasar, yang aromanya telah ditambah-tambah oleh minyak wangi. Margio tengah tertidur di pos ronda, berimpitan dengan Agung Yuda selepas mabuk arak ketan putih, sambil mengigau “ibuku bunting dan bakal beranak, menambah-nambah bocah kurang urus di rumah” kala Jafar tetangga yang bertugas ronda membangunkannya dan memberi tahu, “Ibumu hendak melahir­ kan.” Udara malam dingin menyemut di kulit yang tak berbalut selimut, hanya tergeletak beralas tikar dibuai angin menghantam- hantam menerobos perkebunan cokelat runtuh datang dari laut. Setengah mabuk dan pening Margio terbangun dan tak mema­ hami makna kalimat si peronda, sebelum Jafar kembali meng­ ulang dan menyuruhnya untuk pergi ke rumah Anwar Sadat, me­ manggil Kasia untuk bantu persalinan. Terseok Margio pergi tanpa berkata-kata, melewati surau sebagai jalan pintas dan berdiri di rumah Anwar Sadat dan men­ coba mengembalikan segenap kesadarannya. Rumah itu remang, hanya ada lampu teras dan lampu-lampu kecil mengeluarkan 149

ca­haya dari celah pintu, menerobos jendela yang tertimbun tirai. Mereka mestinya tengah lelap di malam beku keparat ini, katanya, tapi seseorang mesti mengurus ibuku. Ia melangkah mendekati pintu, menggelengkan kepala mengusir rasa pening, dan menge­tuk tajam. Hening. Ia kembali mengetuk pintu, lebih keras dan lebih berulang. Terdengar seseorang berkerisut dari tempat tidur, dan itu menghentikan Margio dari usaha membangunkan mereka lebih lanjut, demi sopan santun. Didengarnya pintu kamar depan ter­ buka, menyeruakkan cahaya ke ruang tengah, dan tirai tersibak, di balik kaca tampak wajah Laila. Sejenak selepas mengenali bocah itu, Laila memutar kunci membuka pintu, ia mengenakan pakaian tidur membikin Margio rada segan untuk menancapkan mata ke wajahnya, sampai Laila bertanya, mendengus bau arak dari mulut Margio. “Kenapa?” tanya perempuan itu. “Kau mabuk mengetuk pintu orang?” “Tidak,” jawab Margio. “Ibuku hendak beranak.” Sejenak Laila memandanginya, memastikan Margio sungguh tidak mabuk dan mengigau, kemudian pergi meninggalkan Margio dan pintu yang tetap terbuka mencari Kasia. Margio berdiri melangkah-langkah di teras, mengembuskan uap ke per­ mukaan tangannya guna merasai benarkah napasnya bau arak, dan mendengus-dengus semakin banyak untuk mengusirnya. Kasia muncul dengan kotak perkakas serupa kopor dan gulungan-gulungan kain, kotak perkakasnya diberikan kepada Margio untuk ditenteng, dan tanpa banyak cakap ia bergegas pergi diekori Margio sementara Laila melipat pintu di belakang mereka. Langkah Kasia memburu, kakinya seolah tak ada 150

henti bergerak, di umurnya yang beranjak tua itu, menyadari beban tugas yang diembannya. Sebagian besar anak-anak yang lahir di kampung itu datang ke dunia melalui tangannya, dan seandainya Margio dan Mameh lahir di sana, pasti Kasialah yang menggenggam me­reka pertama kali. Di rumah, Mameh telah menunggu bersama seorang perem­ puan istri Jafar, sementara Nuraeni mengerang di tempat tidur. Komar bin Syueb tak ada di rumah, tampaknya ini salah satu malam-malam di mana ia mulai tak pulang, hengkang dan hanya kembali saat lelah dan lapar. Margio melontarkan kata bangsat mengetahui ketiadaan ayahnya, didengar Kasia membikin pe­ rempuan itu menghardik untuk tidak membuat kata-kata kasar. Tak baik untuk bayi kecil, katanya. Margio hanya duduk di kursi kayu ruang depan, sementara Mameh dan istri Jafar menunggu di dekat pintu seandainya bidan Kasia membutuhkan sesuatu atau meminta tangan mereka. Padahal baru tiga hari lalu Mameh memandikan Nuraeni dengan air kembang itu, pikir Margio. Bayi ini datang terlampau cepat, meski telah cukup matang untuk hidup. Ia menanti gelisah, seolah itu anaknya sendiri, menemukan rokok kretek dari cela­ nanya, dan merokok tanpa henti selama menit-menit yang me­ nekan, mendengar suara Kasia yang terus memberi penghiburan dan kata-kata dorongan, mendengar Nuraeni mengerang hendak membocorkan si bayi kecil menuju dunia. Menjelang pukul tiga malam, sebab Margio menoleh pada jam dinding tak sabar, bayi itu terdengar tangisnya, memukul dada semua orang. Bayi itu tak mungkin serupa Komar bin Syueb, pikir Margio, tangannya gemetar mengapit rokok sebelum itu dibe­namkan ke dasar asbak. Ia ingin menengok, melihat serupa apa bayi itu, dan tetap bertaruh yang akan dilihatnya 151

makhluk peremp­ uan. Mameh dan istri Jafar masih di ambang pintu, nyata belum waktunya bagi mereka masuk hingga Kasia menyuruhnya, meski tangis si bayi telah mengiris malam. Istri Jafar keluar membawa gulungan-gulungan kain, seprei dan selimut, tampaknya penuh darah, ke kamar mandi. Mameh menenteng bungkusan lain. Ada bau amis terbang melayang. Kasia muncul dari pintu, membuka kaus tangan karetnya dan memasukkannya ke kantung plastik, yang diberikan pada Mameh untuk dibuang dan mengingatkan Margio untuk mengubur baik- baik bungkusan di tangan Mameh. Margio berdiri, tadinya hendak mengerjakan itu, namun tertahan di pintu kamar memandang pedalamannya. Di sanalah ibunya berbaring, dengan si bayi terbalut rapat oleh kain membelit-belit di sampingnya, tak lagi menangis sebab mu­lutnya telah disumpal oleh putik dada Nuraeni. Tamasya itu de­mikian sendu, di bawah remang lampu yang sampai hari itu masih diperoleh dari rumah tetangga melalui seutas kabel yang meng­gelayut di atap. Nuraeni memandangi wajah si bayi lekat, mem­belai rambut di kepalanya yang tipis. “Lihatlah, Komar,” gumam Margio, “Wajahnya terkutuk sangat bahagia.”

Lima Di bawah remang lampu penjual kacang rebus, ia secantik gadis- gadis dekorasi guci Cina, dengan rambut lurusnya meriap lebat namun lentur, begitu mudah tersibak liukan angin dan menari kala sang pemilik melangkah mengikuti setiap polah sikap tubuhnya. Ia setinggi seratus enam puluh, beratnya barangkali lima puluh kilo, seramping burung-burung kuntul, dengan se­ pasang dada ranum merupakan kekayaannya yang tersembunyi, belum terjamah, dan roman muka cerianya sungguh kenes, bibirnya memagut setiap melempar kata. Ia bisa menaklukkan siapa pun, tampaknya, sebagaimana begitulah namanya. Maharani. Ratu segala ratu. Yang ketika tangannya tanpa ragu menggapai tangan lelaki di sampingnya, Margio lelaki itu dibuat tergagap dan hilanglah si anak muda perkasa penakluk babi liar, serasa ia gadis imut malu-malu. Orang-orang berjejalan di depan layar yang terpasang di tengah lapangan, sementara di tentangnya teronggok mobil boks kecil milik perusahaan jamu dengan seorang lelaki yang bicara di depan mikrofon memamerkan khasiat jamu-jamu mereka se­ mentara orang jemu menanti film segera berkisah. Orang-orang ada juga berkerumun di sekitar mobil boks, membeli jamu penguat kejantanan, jamu perapat mahkota perempuan, jamu peramping tubuh, jamu nafsu makan, jamu masuk angin, jamu 153

lesu-letih, segala jamu sebab perusahaan itu mengiming-imingi pula hadiah payung dan kipas angin dan jam dinding dan yang termewah adalah televisi delapan belas inci. Di belakang penjual kacang rebus, keduanya berdiri. Maharani tampak serupa gadis kota sepenuhnya, berbulan-bulan telah menjadi bocah universitas, tapi tampaknya tak ada lelaki di sana yang berkenan untuknya, sebab ia selalu kembali dan mencari Margio. Gadis ini mengenakan sweater kuning yang rapat di tubuhnya, menghalau udara lembab dingin, dengan celana jeans berpipa lebar, dan kaki mengenakan selop. Ia masih menggeng­gam tangan si lelaki, yang menjawabnya dengan satu sentuhan canggung, dan si gadis menarik-narik tangan Margio memagutnya manja. Tak pernah mereka berpegangan tangan seperti itu, dan Margio dibuat terpukau oleh keberanian si gadis merampok tangannya. Itu membuat dirinya serasa lembek, dan tak berkutik, bahkan tak mampu menoleh untuk melihat wajah yang demikian dipujanya itu, menatap siluet manusia-manusia hilir mudik yang dipantulkan layar, mencoba melarikan diri ke sana. Namun si gadis terus memagut tangannya, menarik perhatiannya, dan itu semua merontokkan peluh di kuduknya. Suatu masa ia pernah pergi ke tempat pelacuran yang pertama kali, bersama rombongan kawan, dan saat ia memperoleh giliran untuk menunggangi pe­ rempuan setengah baya yang membuncah di atas ranjang, Margio sangat menggigil dan ngeri daripada berahi. Perasaannya seka­ rang melebihi kepanikan yang dirasainya saat itu, yang tertang­ gulangi hanya karena kecakapan si pelacur yang mengelus dan membangkitkan hasratnya perlahan. Kini ia mencari pertolongan entah pada siapa, berharap si gadis Maharani bisa membebas­ kannya dari keadaan kikuk tersebut, dan itu datang saat si gadis menarik tangannya lebih kencang. Margio menoleh dan mereka 154

saling tatap, ada wajah kilau di sana, dengan bulu mata yang berlekuk, hidung ramping, dan bibir bercelah terbuka. Berkatalah Maharani kepadanya, “Tahukah kau, aku mencin­ taimu?” Jika ia bukan anak Anwar Sadat dan adik dari Laila serta Maesa Dewi, barangkali Margio semakin terkejut mendengarnya mengatakan itu. Bocah ini tergeragap dan mengangguk pendek, mencoba tak membuat si gadis sakit hati dengan balas memegang tangannya, dan itu tampaknya membuat senang Maharani, hing­ ga untuk sementara Margio bisa berpaling kembali memandang layar kosong penuh bebayang dengan tatapan bolong. Hubungan mereka tak pernah sedrastis itu, merentang sejak tahun-tahun panjang yang lewat. Ketika Margio menemaninya menerobos hujan dan malam sepayung berdua, kala itu mereka masihlah bocah-bocah kecil, tapi bahkan telah dirasakan oleh Margio rasa kikuk yang segan. Gadis itu sejenis kecantikan tak tersentuh, pikirnya, seseorang yang duduk di kursi menonton televisi bersama keluarga yang tak pernah memukul, dilindungi kehangatan rumah, sementara dirinya duduk di bilah batang kelapa yang menjadi kursi, di teras melihat televisi yang sama menerobos kaca jendela, tak terlindungi oleh apa pun dari deras angin malam dan percik air. Ada dinding yang memisahkan mereka, tak peduli itu dinding kaca yang tembus pandang hingga mereka bisa saling menoleh dan bertukar cerita tak terungkap, dan dinding itu sebuah jarak yang jauh tak tergapai. Maka ketika ia mendapati dirinya melangkah di bawah hujan tumpah menim­pa payung, bahu mereka kadang bersentuhan, begitu pula kaki yang melangkah, berimpit meniadakan jarak, serasa itu ketidaksenonohan yang tak termaafkan. Dan Margio selalu merasa segan oleh keberadaan dirinya di tempat salah semacam itu, bahkan hingga tahun-tahun yang datang. 155

Jauh di luar itu semua, dari dasar kelelakiannya, Margio me­ nyukai gadis tersebut. Barangkali karena kecantikannya yang asali, yang datang dari dunia di mana kecantikan sesungguhnya berasal, atau barangkali disebabkan gadis itu terus-menerus me­ lenyapkan jarak di antara mereka. Malam-malam jahanamnya se­ lalu dihiasi wajah ayu tersebut, ia pun lupa entah sejak kapan, dan Margio akan sangat menderita sebab bayangan jarak dan ketidaksentuhan selalu menghantui dirinya untuk memiliki Maharani. Baginya, rasa cinta yang sekonyong datang itu lebih serupa gagasan cemerlang yang terlampau membingungkan untuk men­jelma. Tapi Maharani, di sisi lain, telah jatuh cinta kepadanya dari masa yang juga entah, dan semakin mencoba untuk memastikan bahwa mereka bisa saling memiliki. Malam penuh hujan itu hanyalah awal dari perasaan yang berleret-leret tak karuan, mulanya barangkali tak lebih dari sebuah persahabatan kecil dua anak. Mereka sebaya, bagaimanapun, dan kemudian menemukan diri mereka sekolah di tempat yang sama, di seberang lapangan bola dengan gedung yang abadi sejak Belanda masih hilir-mudik tak lama selepas para tukang patok berdatangan. Margio akan berbelok untuk menjemputnya di kala pagi berangkat sekolah, sebab Maharani tengah menunggu di sana, dan dua bocah berseragam melintasi lapangan bola berce­ loteh tentang karib-karib mereka. Barangkali di saat-saat semacam itu dewa-dewi cinta terbang di atas keduanya, merajutkan tali asmara dengan gencar, kadang putus namun lebih sering makin terjalin kencang, hingga tak satu pun dari mereka menyadari kapan persisnya mulai bermimpi tentang persekutuan, tentang hasrat untuk berbagi dan memiliki yang lain untuk diri sendiri. Dan kala tiba waktunya pulang, Maharani akan menanti di gerb­ ang sekolah, atau Margio mesti menunggu, untuk berjejer melintasi kehijauan rumput yang sama. 156

Ikatan redup yang timbul-tenggelam itu terus meringkus ber­sama hari-hari Margio melewatkan banyak waktu di rumah Anwar Sadat. Anwar Sadat telah memperlakukan bocah itu se­ rupa anaknya sendiri, meskipun sekadar demi hal-hal praktis ke­butuhan akan tenaga anak lelaki, namun menyayanginya atas dasar kebaikan sikap Margio. Anwar Sadat tampaknya mulai bercuriga anak bungsunya jatuh hati pada bocah itu, tapi didorong bersikap tak peduli, tak hirau dengan macam lelaki mana pun yang akan diambil anak perempuannya, setelah bosan dengan segala peristiwa yang menimpa Laila dan Maesa Dewi. Maharani akan memaksa dirinya untuk duduk di sofa yang sama, melihat televisi sore berdua, serasa mereka sepasang keka­ sih terjinakkan yang semua orang mesti tahu bahwa keduanya dilahirkan untuk menjadi pasangan tunggal abadi. Bahkan ber­ sama berlalunya kebiasaan-kebiasaan tersebut, yang membawa Margio mengakrabi rumah Anwar Sadat lebih karib dari rumah­ nya sendiri, yang menggiringnya untuk menikmati sekantung keripik kentang bersama Maharani, tak menghilangkan juga sikap kikuk yang mendasar dalam dirinya. Ia selalu, dan terus-menerus, mengingatkan dirinya bahwa keintiman tersebut barangkali semu dan hanya kesenangan sejenak. Maharani bakalan menemukan seorang lelaki lain dan akan jatuh cinta kepadanya dan segera melupakan seorang bocah bernama Margio. Bocah itu selalu dalam keadaan bersiap untuk memperoleh waktu ketika nama Maharani hanyalah sebuah kenangan manis di masa lampau. Ketika Anwar Sadat mengirim si gadis ke timur untuk masuk universitas, Margio melihat sebuah celah pembebasannya, sebab jauh lebih baik untuknya melihat gadis itu memilih lelaki lain dan mengabaikan dirinya daripada tersiksa oleh pikiran cinta yang tak akan pernah terungkapkan. Keyakinan itu demikian 157

kental bahwa di universitas akan ada banyak lelaki, sebagian besar cerdas keparat dan tak seorang pun akan lalai menyadari seorang gadis cantik di sekitar mereka, dan lelaki-lelaki ini akan ber­sitegang menaklukkannya, dan demi waktu Maharani akan ter­jinakkan oleh satu di antara mereka. Margio ada di sana mengiringi kepergiannya penuh harapan semacam itu, ikut me­ nenteng tasnya yang penuh berisi pakaian. Maharani akan pergi bersama Anwar Sadat dengan mobil travel yang menanti di depan rumah mereka, di samping kelapa cina tersebut. Margio melesak­kan tas-tas besarnya ke bagasi sementara Maharani mencium tangan ibunya, Laila, Maesa Dewi, lalu berdiri di depannya serta sekonyong meminta cium tangannya pula. Margio merelakan tangannya dikecup, membikin gemuruh ribut di lambungnya, namun itu belum seberapa dibanding tangan yang menggenggam serta-merta demikian erat, bukan untuk sebuah kecupan perpisaha­n, tapi untuk sentuhan penuh cinta, di malam ketika perusahaan jamu memutar film cuma-cuma di lapangan bola. Dan kepergiannya ternyata tak juga membebaskan Margio, sebab setiap sempat Maharani akan muncul meliburkan diri, dan setiap kepulangannya ia selalu berharap Margio ada untuknya, memilikinya untuk diri sendiri, dan rajut-rajut di antara mereka bertambah-tambah rekat dan bukannya melonggar. Dalam per­ temuan-pertemuan kecil semacam kencan tersebut, Maharani akan berkisah tentang apa pun yang dikenalinya di universitas, dan ia menceritakan itu seolah semuanya juga milik Margio. Waktu itu Maharani belum menyentuh tangannya dan mereka berjalan beriringan belum bergandengan tangan, meski iring- iringan keduanya telah membuat orang sekampung bersepakat keduanya saling jatuh cinta, atau versi istri Mayor Sadrah adalah, “Gadis itu tergila-gila pada Margio.” 158

Kini, malam film perusahaan jamu itu, si gadis tampaknya mulai tak sabar untuk memastikan Margio tahu tentang cinta yang tertanam kukuh di sekujur tubuhnya, dan kini jelas bagi Margio bahwa gadis itu miliknya, meski rasa jengah dan risih itu terus mengurung dirinya, masih menganggapnya sebagai Maharani si cantik yang tak tersentuh. Mereka mundur dari penjual kacang rebus ke sebuah gun­ dukan tanah berumput tempat biasanya orang duduk kala ada pertandingan bola, tepat di bawah pohon ketapang satu-satunya yang rindang memberi kegelapan. Betapa dekat mereka berimpit hingga Margio bisa menghirup aroma tubuhnya, dan sibak ram­ butnya menerpa wajah kala angin nakal menggelayutinya, dan ia masih tak percaya gadis itu telah mengatakan cinta kepadanya, suatu penegas bahwa wajah yang bulat telur ini, yang tetap ber­ cahaya di dalam gelap, boleh dimilikinya untuk dibuat menjadi mahakarya apa pun. Itu hanyalah gagasan liarnya, sebab ia masih terhenyak di sana, menghirup bau tubuh si gadis serasa mencium aroma roti di balik etalase toko yang tak terbeli. Menyadari keterdiamannya, Maharani memungut tangan Margio yang jatuh di tanah, menariknya dan melingkarkannya ke tubuhnya sendiri. Kini Margio memeluk si gadis dengan cang­ gung, tak tahu apakah ia mesti mendekapnya erat hingga mene­ kuk jauh kulit pinggang si gadis, atau membiarkan tangannya tergantung di permukaan sweater yang membalut Maharani. Gadis itu merebahkan kepala, melingkarkan tangannya sendiri ke tubuh Margio, hingga mereka semakin berimpit, dengan napas megap seirama. Jadi seperti inilah rasanya saling memiliki, hampir bers­amaan mereka memikirkan itu, dan dewa-dewi cinta berdengung di atas ubun. Di lapangan orang-orang mulai cemas dan sebagian berteriak, sebab malam bertambah dalam dan mereka telah bosan membeli 159

jamu. Si pedagang yang cerewet, yang menjual jamu seolah per­ usahaan itu miliknya sendiri, meminta maaf sebab masih ada enam pembeli lagi yang menunggu, dan terutama karena televi­ sinya belum dimenangkan siapa pun. Senyatanya, televisi itu hanya barang pameran yang tetap tak beralih tangan hingga akhir, perayu paling mujarab melebihi mulut berbuih si lelaki di depan mikrofon tersebut. Lalu selepas pembeli keenam, ia menutup pintu boks mobil, untuk dibuka kembali entar saat pergantian rol film, dan kini cahaya proyektor telah jatuh ke layar putih yang bergoyang disibak angin. Orang-orang bertepuk dan sebagian ber­suit. Sebagaimana telah diumumkan sejak seminggu sebelumnya, itu film lama Cintaku di Kampus Biru, yang penuh cium pem­ bangkit berahi. Margio dan Maharani tak terlampau hirau pada film tersebut, selain jarak pandang yang terlampau jauh dan suara yang lenyap oleh keriuhan orang, mereka terjerumus dalam kegundahan sen­ diri untuk menafsirkan tubuh mereka yang masih terus berimpit, bertukar rasa hangat dari udara yang semakin kental, sebab tam­ paknya nanti malam hujan lebat bakalan datang. Margio bahkan bisa merasakan tubuh di balik sweater itu mengalirkan darah ber­ tambah kencang, sebagaimana darah di tubuhnya sendiri. Kemudian Maharani menggeliat dan kepalanya mendongak, menatap dagu Margio yang mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar na­mun terpotong pendek. Mata itu masih di sana, seolah ada sesuatu bergerak di dagu Margio dan ia tengah memerhatikannya tak terg­ anggu, bikin Margio serasa lenyap napas, namun tersadar ia mest­i bersikap sebagai lelaki dan kekasih, maka ia menoleh ke samping, balas menatap mata itu. Kini jarak mereka semakin 160

dekat dan mereka bisa saling bertukar udara yang dihirup, merasai aroma napas bersama, dan kedua dada bergejolak jadi satu. Mata si gadis yang teduh di bawah naungan bebulu lentik, yang redup di antara cahaya kilas remang dari lampu jalan dan rembulan tersapu kabut, memandangnya penuh permohonan, dan Margio tahu apa yang diinginkan, namun ia tak tahu bagaimana memb­ erikannya. Margio bodoh, pikir si gadis. Maharani memburu, dan Margio hampir tersedak, namun mempertahankan harga dirinya sendiri, ia diam menanti, hingga bibir si gadis menyentuh miliknya, ked­ uanya telah sama basah dan bibir itu menghujam deras dan me­reka sama tak tahu bagaimana awalnya berciuman kecuali saling menyentuh bibir dan berbagi rasa hangat dan merasakan lidah yang lembut. Mereka tercerabut sejenak, menyadari keberadaan diri di lapangan bola meski tak seorang pun mengintip, saling pandang dengan mata berbinar di wajah si gadis dan tatap sedih di roman Margio. “Ada hal yang kau tak tahu,” kata Margio getir, lirih dan tak terdengar oleh telinga si gadis maupun dirinya. Ada rasa sakit menyadari telah mencium si gadis, namun ia belum juga bisa mengungkapkan rasa pedih itu. Maharani sendiri tampaknya mulai waspada pada sikap dinginnya, kini duduk tegak tanpa bersandar ke bahunya lagi, membuat Margio merasa semakin perih, di sisi lain takut kehilangan gadis terpuja ini. Maharani memberinya pandangan tanya, namun hanya terjelaskan ketika ia membuka mulut. “Apakah kau tak suka aku?” Pertanyaan itu menusuk. Tentu saja itu tidak, Margio sangat memuja Maharani demi langit dan bumi, dan akan pedih hatinya kehilangan sosok ini suatu masa, meski ia terus dibebani rasa tak patut yang mengungkung. Bocah ini pendusta liar yang mencoba 161

jujur, mencoba mencari cara membebaskan dirinya dari rasa ter­ tekan penuh tuduhan tersebut, dan berbisik. “Aku gugup.” Untuk sementara itu membuatnya terbebas. Maharani tam­ paknya suka dengan gagasan, aku gugup. Itu sangat romantis, pikirnya, menghadapi kekasih yang gugup. Tentu saja mereka mesti gugup, sebab ini ciuman pertama, dan harus diakui dirinya sendiri gugup tak main-main. Ia suka gagasan ini, dan mengge­layut semakin manja pada Margio, seolah dengan cara itu mereka tengah belajar bagaimana mengusir rasa semacam itu. Hanya Margio yang mengutuki dirinya dalam hati, atas ketololan keparatnya, yang tak juga mau mengakui bahwa dirinya tak sekadar gugup, namun merasa tercabik dan luka. Sebab ada sesuatu yang tak diketahui si gadis, yang menghalanginya untuk merengkuh membalas cinta membara tersebut, sesuatu yang lebih dari se­kadar jarak pemisah. Sesuatu yang membuatnya memaki sebab tak juga sanggup mengatakannya. Maharani pulang sehari setelah kedatangan Margio kembali, barangkali gadis itu juga mendengar kematian Komar bin Syueb. Maharani bilang sedang liburan, Margio percaya bahkan seandai­ nya tidak liburan pun gadis itu akan pulang untuk menghibur dirinya, menyapunya dari duka. Niat itu sungguh sia-sia, sebab Margio tampak tak berduka sama sekali. Setiap hari Maharani mendatangi rumahnya, bahkan kadang ikut makan bersama mereka, membalas waktu-waktu lampau kala Margio bersantap di rumah Anwar Sadat. Hari- hari itu mengintimkan keduanya, mengentalkan rasa suka yang mengendap lama, dan tampaknya telah memberi keyakinan pada si gadis untuk mengungkapkannya. Suatu kali Maharani bahkan meminta dibawa ke kuburan Komar, dipenuhi keluguan bahwa 162

bocah itu akan membawanya ke sana, tapi Margio dengan tegas berkata tidak. Maharani mulai mengenang cerita lama saat semua orang mengatakan kegalakan Komar bin Syueb dan ia sendiri pernah melihat bagaimana Margio kecil dihantam galah jemuran. Ia baru menyadari bocah itu membawa luka yang demikian panjang, dan berhasrat mengobatinya dengan cinta tulus. Margio sendiri baru pergi tak lama setelah kematian Marian, menghindari suatu kecerobohan ia bakalan membunuh Komar bin Syueb sebagaimana dikatakannya kepada Mameh, sebab kini ada harimau di dalam tubuhnya, dan ia belum juga mengerti ba­ gaimana mengendalikannya. Ia pergi bersamaan dengan keper­ gian rombongan sirkus, dan sesungguhnya memang mengikuti rombongan tersebut ke kota yang tak jauh, hanya satu jam per­ jalanan. Ia telah membujuk manajer Holiday Circus untuk mem­ berinya pekerjaan serabutan, katakanlah memberi makan gajah dan kuda. Manajer sirkus yang melihat tubuh kekarnya, dan mata yang memohon, mengabulkannya, dan terbukti ia bisa menger­ jakan banyak hal penuh kesungguhan. Tapi niatnya yang paling asali tak lebih ingin melihat bagaimana pawang-pawang itu me­ naklukkan harimau mereka, mengintip saat mereka berlatih, se­ lama dua minggu bergaul bersama orang-orang itu, namun sele­pas penutupan pertunjukan berikut dan rombongan sirkus itu hendak berangkat kembali ke kota-kota yang membentang sampai timur, Margio melihat kesia-siaannya, dan mengerti harimau sir­kus itu berbeda dengan yang bersemayam di dirinya. Ia menerima upah dua minggu kerjanya, dan tak lagi meng­ ikuti rombongan sirkus, namun menetap di kota tersebut dengan harapan terus mendengar segala perihal akan kotanya. Bagaimanapun ia tak bisa mencerabut dirinya dari sana, tak peduli di kota itu bersimaharaja ayah yang kejam, sebab ia sekali- 163

dua merindukan ibunya, Mameh, dan lain kali menyelinap raut muka si cantik Maharani, kawan-kawannya, warung Agus Sofyan, surau, pos ronda, dan ia tak sanggup kehilangan itu semua. Di sanalah ia berdiam, mewanti-wanti sopir dan kenek bis yang di­ kenalnya untuk tidak kasih tahu siapa pun bahwa ia ada, dan mendengar kabar apa pun yang dibawa mereka. Hingga suatu siang, seorang sopir bis memberitahunya, “Ayahmu mati hampir membusuk.” Ia naik bis itu, duduk di tepi jendela yang dibiarkan terbuka, hingga angin laut yang menerobos deretan pandan menerpa waj­ahnya. Sepanjang jalan pikirannya menjelajah, seolah ayah yang berbaring mati membusuk di depannya, dan baginya tak ada keajaiban apa pun kecuali mendengar Komar bin Syueb mati tanpa perlu ia menggorok lehernya. Ia turun dari bis bersamaan dengan datangnya truk yang mem­ bawa rombongan pemburu babi, darahnya terkesiap menyadari ia tertinggal dari perburuan penuh gelora itu. Puluhan ajak turun dari truk terikat tali-tali kulit, melonjak-lonjak dan berpusing di trotoar jalan sebelum seseorang membawanya ke pekarangan rumah Mayor Sadrah tepat di pinggir jalan samping kantor rayon militer. Dua ekor babi gemuk, dengan mata yang menatap kosong, terikat kakinya ke bambu yang digendong empat pemuda untuk setiap babi. Ajak-ajak itu bakalan senang jika hari adu babi tiba, pikirnya, dan saat babi itu mati di arena adu, kemudian para pe­ makan daging babi di restoran-restoran milik orang Cina di tepi pantai pasti akan berpesta. Mereka tampak penuh lemak, meski dagingnya berserat banyak. Ada bau lumpur yang diakrabinya, menambah-nambah rasa sesal ia tak bersama mereka. Margio hanya melambaikan tangan, terutama untuk Mayor Sadrah, sebab Komar bin Syueb belum juga dikuburkan. 164

Awalnya ia ingin menentang saat tahu Komar bin Syueb akan dikuburkan berdampingan bersama Marian, tapi Mameh bersi­ keras sebab itulah permintaan terakhir ayah mereka. Melihat ke­ sungguhan Mameh mempertahankan gagasan tersebut, Margio menyerah dan membiarkan takdir bicara jika Komar bin Syueb dibikin mati berkali-kali di neraka oleh dendam si kecil Marian. Ia pergi ke surau sebab Komar telah dibawa ke sana, hari men­ jelang sore, dan ikut mendirikan salat jenazah. Ketika Kyai Jahro bertanya kepadanya apakah ia ingin melihat wajah Komar, penuh kesungguhan Margio menggeleng, seolah cemas jika ia melaku­ kannya, Komar bin Syueb akan terbangun lagi. Keranda mulai ditopang, Margio bahkan belum sempat rehat, dan menerima keranjang penuh kelopak bunga dari Mameh. Apa pula gunanya bunga-bunga untuk lelaki bangsat busuk ini, pikir­ nya. Namun sekali lagi, ia melihat tatapan mata Mameh yang memohon dengan sungguh bahwa ia akan menyawer keranda Komar dengan bebunga tersebut, dan tidak membuangnya ke selokan. Margio baru menyadari, di rumah 131, Mamehlah tam­ paknya yang paling waras di antara mereka, dengan sikap tulus­ nya yang teruji nyaris tanpa dendam. Ia memandang adiknya, ikut bersedih mengenang masa-masa gembira yang barangkali tak pernah mereka miliki, seolah ingin berkata, sekaranglah saatnya kita riang, setelah yang satu ini mampus ke neraka. Kyai Jahro mengumandangkan doa dan beberapa kawan dari truk yang masih berlepotan lumpur ikut mengiringi keranda. Margio berjalan di belakangnya, meraup bebunga dan melempar­ kannya ke atas tubuh yang berbaring, membuat kelopak-kelopak itu terbang serupa tirai penuh warna, memancarkan hawa yang semakin bertambah murung, di antara riuh orang yang berden­ dang memuji Nabi. Mereka berjalan beriringan, menerobos se­ 165

tapak yang memotong perkebunan cokelat meranggas, di bawah pijar matahari sore yang membikin segalanya mulai merah, ke tempat permakaman Budi Dharma. Harimau itu menggeliat di tubuh Margio, namun Margio menenangkannya, berbisik lirih, lihat, lelaki itu telah mati, istirahatlah. Kembali tangannya meraup kelopak bunga, melambungkannya, dan kini mereka melambai pasi serasa enggan untuk jatuh, serasa mewakili ketidaksudian pemiliknya, melayang tenggelam dan terhenyak di jalan berpasir, sebelum lumat terinjak kaki-kaki yang berpijak. Penggali kubur telah menantinya penuh sabar, bertopang pada ujung tiang cangkul sambil menghirup lintingan rokoknya. Ben­ arlah kata Mameh, liang kuburan itu menganga di samping gundukan tanah milik Marian, dan Margio masih terkenang saat- saat ia membenamkan tubuh mungilnya di sana, menancapkan nisan bernama dirinya. Kini ia berdiri di sampingnya, menjatuh­ kan segenggam bunga di atasnya, dan kecengengan yang tak ter­ duga hampir juga membuatnya menangis. Mereka menurunkan keranda dan menyingkap penutupnya, kini tampak Komar bin Syueb berbaring berselimut kafan, sejenis kain yang sama dipergunakannya untuk membalut orang di tem­pat cukurnya. Kyai Jahro mengucapkan doa-doa yang tak di­mengerti Margio, sebab pelajaran mengajinya tak tuntas betul, pernah khatam namun tak pernah memahami makna, membuat­ nya sekadar mengangkat tangan dengan telapak tangan terbuka sementara keranjang berisi kelopak bunga tersisa dijejakkannya di gundukan tanah, ia amin berkali-kali mengikuti orang lain. Kyai Jahro menutup doa dan orang-orang mengucap amin penu­ tup, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, lalu penggali kubur mulai turun ke dasar liang lahat, menyuruh Margio untuk datang membantu. Margio mencincing celananya, lalu bergegas 166

turun, berdiri di samping penggali kubur, merasakan tanah basah di hamparan kakinya, tanah yang akan menjadi rumah penghabisa­ n ayahnya. Dua orang kawan mengangkat tubuh Komar dari keranda, dan memberikannya kepada Margio dan penggali kubur. Tubuh itu demikian berat, sungguh tak disangka oleh Margio yang telah melihatnya menjadi tua dan ringkih, apalagi ditambah cerita Mameh betapa lelaki itu menjadi sakit renta selepas kepergian Margio. Namun sungguh, tubuh itu berat, dua kawan di atas itu merasakannya dan tampak keterkejutan di wajah mereka menilik tubuh berkafan tersebut sesungguhnya tak lebih ramping dari batang pisang, dan kini penggali kubur serta Margio dibuat ter­kesima pula. Mereka sedikit terhuyung, kaki menekuk dan mele­takkan Komar di dasar sumur kematiannya, dengan napas tersengal dan di sana tubuh si mati meringkuk. Ternyata lubang kuburan itu terlampau kecil untuk tubuhnya, sehingga Komar tak bisa terbujur lepas di sana. “Demi Tuhan,” kata penggali kubur setengah memaki, “aku telah mengukurnya.” Margio juga melihatnya, dan berpikir barangkali masih butuh satu atau dua jengkal lagi. Maka dengan payah mereka kembali menga­ngkatnya, bikin kain kafannya melorot tak karuan dan digeletak­kan kembali di dalam sangkar keranda. Margio menunggu di satu sudut liang lahat, sementara sambil bersungut penggali kubur meminta kembali cangkulnya, dan menambah sekitar dua jengkal liang kubur tersebut. Ia bekerja bergegas, mencungkil tanah, me­lemparkannya ke atas, sebab hari semakin petang dan warna me­rah merajalela. Kembali mereka menurunkan mayat Komar, dan semakin bertambahnya waktu bertambah pula beratnya. Entah bagaimana bobot itu meningkat, tapi keempat orang yang membopong mayat 167

tersebut merasakannya, seolah di dalam tubuh itu tersimpan satu beban yang membuncah. Margio berpikir pastilah itu dosa, dan ia merengut dalam hati mesti ikut menanggung beban dosa sang ayah di bahunya sendiri. Bersama penggali kubur, ia menjatuhkan mayat itu demikian rupa untuk tak terlampau melelahkan diri. Kini mereka melihatnya lagi, kuburan itu masih terlampau sempit bagi Komar bin Syueb. Tak ada yang tahu apakah tubuh itu terus memanjang sebagaimana bobotnya semakin bertambah, atau kuburannya menyempit kembali selepas penggali kubur me­ nambahnya. “Demi Tuhan,” kali ini penggali kubur sungguh me­maki, “Tanah ini tak sudi menerima tubuhnya.” Margio dan lelaki itu mesti melemparkan kembali mayat tersebut dengan payah ke dalam keranda, dan liang kuburan kembali ditambah, dua jengkal. Mereka menurunkannya, kembali sesak, menambah liangnya dua jengkal, menurunkannya lagi dan tetap sesak, seolah liang itu mengatup dan enggan melahapnya. Wajah penggali kubur mulai pucat diterpa angin sore meng­ gigilkannya, didera rasa lelah yang menjadi-jadi. Di sampingnya Margio perlihatkan muka yang mulai marah, darah segar mem­ bikinnya merah. Semua mereka memandang Kyai Jahro yang berd­ iri di atas gundukan tanah, tampak sang kyai juga gelisah. Kini ia tampak bergumam, merapalkan doa memohon pada Sang Hakim untuk menerima tubuh itu sebab manusia hidup tak mengi­nginkannya tak terkubur dan membusuk. Sepanjang doanya yang gumam, daun-daun berguguran dan angin berembus tamb­ah galak. Mata sang kyai terpejam, mulut tak henti bergerak, sebelum ia membuka muka, menatap mayat yang meringkuk di bawah sana, lalu memandang orang-orang, dan berkata, “Kuburkan dengan cara apa pun.” Demikianlah Komar bin Syueb dibenamkan di sana, tak peduli ruang yang sesak baginya, hingga tubuhnya mesti menekuk se­ 168

rupa anjing meringkuk. Setiap orang yang melihatnya merasakan derai rasa iba itu, bahkan Margio yang lama membencinya, tapi barangkali itulah kutukanmu, pikir Margio, memandang tubuh yang serasa tengah menahan sakit. Margio dan penggali kubur mengganjal tubuhnya dengan gumpalan-gumpalan tanah, agar tak berguling, sebab cacing-cacing ingin memakannya tak ter­ ganggu, kemudian memasang kayu-kayu penopang, berderet me­nutupi bebayang putih kain kafan. Deretan kayu tersebut menjadi benteng kukuh yang memisahkan dunia hidup dan mati, dan di sanalah Komar bin Syueb terkurung, merenungi akhir hidupnya. Hari telah sungguh remang ketika mereka menguruknya de­ ngan tanah merah bercampur pasir. Penggali kubur menginjakinya perlahan, namun tidak sampai padat, sebab selalu merupakan tindakan berjaga-jaganya seandainya si orang mati hidup lagi dan menyisakan kemudahan baginya untuk kembali menggali. Ia men­ ancapkan nisan bertuliskan nama lelaki itu semasa hidup, berd­ eret dengan nama ayahnya, menghiasinya dengan batu-batu kerikil kecil. Didorong rasa ibanya yang aneh, Margio menancap­ kan batang pohon kamboja di salah satu ujung kuburan, dan me­ lemparkan kelopak-kelopak bunga yang tersisa, meruapkan bau mawar dan melati dan kenanga. Komar bin Syueb ditinggalkan di sana, bersama angin laut dan hantu-hantu. Kini mereka kembali menenteng keranda kosong, sementara udara semakin hening, menempuh jalan pulang dengan langkah bergegas. Peluh mengucur di dahi Margio, namun ia tak ada me­ rasakan lelah, dan mulai memandang segala sesuatunya dengan cara yang sedikit menyenangkan. Berkali-kali ia memberi tahu dirinya, pikirkanlah, jahanam itu telah mati, kini semua di tangan mereka bagaimana hidup selanjutnya hendak dijalani. 169

Di rumah Mameh telah menunggu, mengadu padanya habis ditampar ibunya, dan Margio tercenung apakah Komar bin Syueb telah mewariskan kekejian itu pada Nuraeni, namun demi men­ dengar penjelasan Mameh, hendak ketawa juga ia jadinya. Namun gagasan Mameh tampaknya benar, ada baiknya juga membiarkan perempuan itu kawin lagi. Ia masih terlampau muda, berapa? Belum empat puluh, pikir Margio, dan belum saatnya untuk menj­adi janda dan membusuk. Ia akan sangat bahagia siapa pun lelaki yang hendak mengambilnya bini, asal tidak lelaki serupa Komar, dan suatu jaminan tak akan kasih polah bengis kepadanya. Margio akan melakukan apa pun demi kedamaian Nuraeni, dan kawin merupakan satu yang dipikirkannya sebagaimana Mameh. Hanya saja tampaknya memang terlampau tergesa mengatakan itu di kala lakinya mati di hari yang sama. Sebenci apa pun Nuraeni pada Komar, ia bakalan menampar Mameh untuk mulut lancang anak perempuannya. Margio menghibur Mameh bahwa bersama berlalunya waktu, ibunya akan pulih dari segala kesintingan, dan mereka akan mendapatkan perempuan yang manis itu. Mameh kemudian menyuruh Margio untuk memotong ayam- ayam Komar yang tersisa. Awalnya Margio enggan, tak bisa me­ mahami gagasan Mameh yang hendak membikin selamatan untuk lelaki yang bahkan ditolak bumi. Ia tak menceritakan ke­ jadian di kuburan itu, takut menambah duka Mameh, namun tetap enggan mengikuti maunya bikin acara mendoakan lelaki paling keji yang pernah dikenalnya. Tapi kembali Mameh bersi­ keras, menyadarkannya orang mati tetap butuh selamatan, dan Komar masih menyisakan beberapa ekor ayam dan kelinci. Me­ lihat gadis yang mulai mengendalikannya dengan penuh ke­ warasan itu kembali Margio menyerah dan meminta bantuan se­orang kawan untuk memegangi ayam-ayam tersebut, dan 170

menenteng pisau dapur ia mulai memenggali leher mereka, se­ mentara Mameh bersiap di dapur. Itu membuat Margio terkenang saat-saat ia sering mencuri ayam Komar untuk menunjukkan rasa sebalnya. Tampaknya Komar tahu siapa yang sering mencurinya, tapi disebabkan saat itu Margio telah tumbuh jadi pemuda akhir belasan tahun, Komar tak lagi berani mengadu untung dengannya. Mameh juga tahu siapa yang mencuri ayam-ayam itu, sebab ia bisa menandainya, mendengar Komar mengeluh kehilangan seekor ayam di Kamis pagi. Satu-satunya kecurigaan mestinya ditujukan untuk para peronda di malam Kamis, dan Margio ada di antaranya, sejak bertahun-tahun lalu menggantikan tugas ronda ayahnya seba­ gaimana berlaku bagi anak-anak lain yang menggantikan tugas ayah-ayah mereka. Ayam-ayam telah dipotong dan Mameh menenteng ember berisi air panas tempat mereka dibenamkan di sana. Ia telah bersiap untuk menguliti, sementara di dapur kompor telah menyala menjerang air untuk merebus daging, dan rupanya Mameh telah bersiap pula dengan nasi yang tanak saat mereka pergi ke permakaman Budi Dharma. Saat itulah Nuraeni muncul di ambang pintu, sementara adzan Magrib mulai dilantunkan Ma Soma dari surau, memandangi kesibukan mereka. Roman muka­nya tak memberi pertanda apa pun, wajah itu dingin, semakin keruh sejak kematian Marian dan kini ditambah tumbangnya Komar. Margio menoleh dan hanya memohon pada semesta, se­moga waktu bisa memberinya sedikit riang yang pernah dilihat saat Marian dilahirkan ke dunia. Bayi itu telah hampir sekarat sejak Margio melihatnya, kecil tak lebih besar dari betis kakinya sendiri, hanya kepala yang sed­ikit membesar, namun dengan rongga cekung dan dagu menonjol, sejenak serupa belalang. Margio tak melihat itu awal­ 171

nya, sebab si bayi merah masih terbungkus kain belit-membelit, dan selimutnya sedikit memalsukan dirinya serasa itu gemuk, sebelum pagi ketika Mameh datang membawa rantang air hangat dan Nuraeni membuka gulungan kain si bayi untuk membasuh tubuhnya. Demikianlah belalang itu tampil mengenaskan, tangis kencang yang diteriakkannya menjelang subuh tak lagi muncul kecuali tergolek dengan mata separuh terpejam. “Tampaknya ia bakal mati,” kata Nuraeni. Air susunya tak mengalir deras, malahan sekonyong habis oleh sedotan pertama si bayi. Kasia datang menjelang sore memberi susu dalam botol, namun bayi mentah itu hanya mencicipinya dengan enggan, hanya mengatup-buka mulut mungilnya dan susu meleleh di pipinya. Napas kecilnya bergerak kencang, ka­ dang ia menangis kecil, namun lebih banyak bisu seolah bakalan jadi gadis kecil manis tak banyak polah. Margio duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur ibunya, penuh kecemasan meman­ dang kehidupan yang rapuh tersebut, hanya memandang Nuraeni dan Mameh dan mereka saling bertanya dalam hati apakah si kecil itu akan sanggup melihat matahari besok. Margio menghirup udara kamar yang lembab, masih bau amis sisa persalinan dan merasai ketidaksehatannya. Langit- langit bilik bambu itu berhias genangan cokelat oleh rintik air hujan yang memercik dari atap, dengan kapur mengelupas dan laba-laba tak ada henti membangun sarang. Ada lampu kecil kemerahan ter­gantung, tak memberikan kehangatan macam apa pun, dan tak memberi terang pula. Kain-kain bertumpuk di satu sudut kasur, juga pada keranjang, dan tas sekolah usang Mameh di atas lemari, sepatu-sepatu tak terpakai di kolong tempat tidur. Bagi Margio, semua itu tampaknya tengah bersekongkol untuk mencekik si bayi kecil. 172

Ia berdiri dan meminta izin membuka jendela, Nuraeni dan Mameh tampaknya sepikiran dengannya, maka merayaplah Margio mendorong mencari cahaya yang datang dari pekarangan samping rumah, bersama hawa segar yang bergelombang me­nyatroni kamar. Itu sedikit menghangatkan, dan memberi aroma dedaunan serta bebunga, dan tanah gembur. Sepercik cahaya me­nyentuh si bayi, Mameh memindahkannya cemas itu bakal men­jadikannya gosong, namun si bayi masih juga setengah terpejam, seolah tak merasakan kehadiran semesta indah yang datang me­nyambutnya. “Tampaknya ia bakalan mati,” kata Nuraeni lagi. Roman pe­ rempuan ini menjadi sedih selepas kalimat keduanya, menyapu seluruh riang yang berlabuh di wajahnya. Tak ada senyum peng­ hiburan di bibirnya, juga tak lagi bersuara kecil dalam dendang nina bobo, dan tangannya tak lagi membelai rambut jarang si bayi mentah. Kini ia memandangnya dengan mata sayu, serasa tengah menghadapi mayat sungguhan, atau ia tahu kematian bayi ters­ebut memang telah ditakdirkan dan ia tengah melihat bagaimana jiwa si kecil melompat dari raganya. Margio tak sanggup melihat tamasya tersebut, baik si bayi maupun ibunya, sebab ia pun tak mampu mengusir rasa cemas tersebut, dan pilih meninggalkan kamar menghindari menyaksikan proses kematian dan kejatuhan mendalam seorang ibu yang sedih. Sepanjang hari itu Komar bin Syueb masih juga belum pulang, dan ingin benar Margio memenggal kepalanya. Lelaki itu tam­paknya tidak pergi ke kios cukurnya, sebab kotak perkakas itu ada di kamarnya. Tapi sepedanya lenyap, begitu pula ayam bangkoknya. Margio segera tahu Komar pergi ke tempat sabung ayam di reruntuhan stasiun kereta sejak kemarin sore, dan hanya Tuhan yang tahu di mana semalam dirinya. Stasiun itu tak jauh dari 131, beberapa ratus meter ke arah belakang, dan kini Margio pergi ke sana dengan tangan melesak 173

ke kantung celana, melewati deretan rumah, hanya mengangguk pendek kala jumpa seorang kawan, menerobos pabrik batu bata hingga ia sampai di dua batang besi rel yang berjejer nyaris tak ada ujung. Jalan kereta api itu telah lama tak lagi berguna, papan- papan kayunya telah lapuk, besinya berkarat, dan sebagian lenyap tenggelam dalam arus rumput liar setinggi lutut. Rumah-rumah sekitar kini memakainya untuk menggelar kasur dijemur, yang lain menjejer kayu bakar memanggangnya di bawah terik, yang lainnya lagi menghamparkan terpal dan memandikan gabah dengan cahaya matahari. Beberapa penggembala membiarkan domba-domba dan sapinya menghabiskan rumput liar tersebut, meski tak pernah terpangkas betul sebab mereka tumbuh lebih cepat daripada hewan-hewan mencerna, dan para pejalan mem­ pergunakannya sebagai jalan pintas yang lengang tak hiruk-pikuk. Margio masihlah ingat waktu kereta masih ada, tak lama sejak kedatangan mereka di sana. Rute itu merupakan jalur buntu, dan beberapa kilo ke arah barat kereta bakalan bertemu stasiun peng­habisan. Hanya ada satu kereta melintasi rel membentang itu, bolak-balik sendirian, sebab itu ia bisa berhenti sesuka hati tanpa waswas bertubrukan dengan sesama. Ada lelucon seorang pen­ umpang bisa turun di depan rumahnya dan tidak di stasiun, dan penumpang lain menghentikannya untuk ikut naik, dan lain waktu masinis menarik rem sebab rel kereta dipenuhi kayu bakar atau onggokan tubuh sapi, untuk sejenak mereka mesti mengu­ sirnya sebelum melanjutkan perjalanan. Bagaimanapun lelucon itu benar sepenuhnya, sejauh yang diingat penduduk kota. Hingga suatu hari kereta tak pernah lagi datang, tanpa kabar dan penjelasan, serupa pacar yang enggan melanjutkan hubungan. Tapi kepala stasiun masih ada di tempatnya, tak ada orang yang tahu apakah ia pensiun atau masih menunggu kereta hantu, 174

tinggal di samping gedung tua yang menjadi ambruk bersama datangnya hari, dan orang-orang masih memanggilnya sebagai Kepala Stasiun. Gedungnya sendiri tak tertempati, perkakasnya hilang satu persatu, hanya meninggalkan gentanya yang abadi, serta papan nama. Kotak penjualan tiket telah dipergunakan be­berapa orang pelacur menjual kekayaan badaniah mereka, beralas tikar daun pandan, dan peronnya mulai dijejali kandang- kandang merpati serta kurungan ayam. Itulah istana para petaruh sabung ayam dan totoan merpati, setiap sore yang cerah bisalah dilihat iringan burung-burung itu terbang di atas rel lebih cepat dari loko­motif yang pernah mereka miliki, dan di sudut yang lain ayam-ayam melompat menguji taji ke tubuh sesama. Bagaimanapun, ketika Margio datang ke sana, hari masih ter­ lampau dini untuk semua hiruk-pikuk tersebut. Ia hanya mene­ mukan ibu-anak gelandangan tergolek di atas kardus dan seekor anjing mengaduk sampah. Tak ada seorang pun bisa ditanyai perihal Komar bin Syueb. Margio hanya bersandar pada palang, dahulu untuk mengganjal kendaraan lewat sementara kereta melesat, menampilkan wajah­ nya yang paling keruh. Seharusnya bajingan itu ada di sini, pikir­ nya, sambil melihat kotoran ayam dan merpati berceceran di teras stasiun seolah mencari yang mana kiranya telah dikucurkan bo­ kong bangkok Komar bin Syueb. Ada orang-orang datang men­ daki jalan yang membukit melintasi rel, mendorong sepeda me­ reka yang diganduli pisang-pisang hijau tua serta karung-karung tak jelas apa isi, tampaknya hendak ke pasar, dan perempuan- perempuan menenteng keranjang hendak pulang belanja. Diten­ dangnya kerikil, dan ia pergi lagi berjalan di seruas besi sambil berjaga keseimbangan tubuh. Stasiun tak pernah menjadi tempatnya, sejak kereta api hilang. Dahulu kala, saat ia masih terpesona oleh lokomotif yang 175

mendengus-dengus dengan cerobong mengepul kelam, Margio sering lewatkan sore untuk memandanginya. Kadang naik ke lokomotif saat mereka melangsir, ikut berputar bersama bocah- bocah per­iang yang bergelantungan tak ada takut. Lain waktu, sementara kereta berdengung di kejauhan, ia menaruh sebuah paku sembilan inci di atas rel, membiarkannya gepeng terlindas roda ganas kereta, dan setelahnya ia bakalan punya pisau kecil yang cukup dipalu-palu sejenak untuk membikinnya lebih tajam. Kadang kakek-kakek tua yang memergokinya sering takuti dirinya bahwa jika ia melakukan itu, barangkali kereta bakal terguling. Tapi Margio tak percaya dan terus melakukannya. Bahkan suatu tempo mereka menabrak sapi gemuk, dan tidak terguling, malahan sapinya terbelah dua nyaris. Komarlah penguasa stasiun, bersama kawan-kawannya para petaruh, terutama sejak Nuraeni sinting menjadi-jadi, dan belukar bunga tumbuh di depan rumah, dan bininya hengkang tak lagi mau tidur dengannya. Hampir setiap sore, selepas balik dari kios cukur dan mengempaskan sepeda ke gerumbul mawar, ia akan menenteng si bangkok dan pergi ke sana. Di bawah lampu merk­ uri yang masih menyala sejak masa stasiun hidup, ia bisa bert­ahan hingga malam, kadang sama sekali tak mengadu, hanya menonton dan kasih makan ayamnya, dan memandikannya dengan apa yang ia sebut sebagai ramuan. Tak seorang pun di rumah peduli dengan urusannya ini, dan terlebih dengan masyuknya Komar bersama jagonya, ia jadi tak banyak bersikap bengis di rumah. Naluri hewaniahnya tampak tersalurkan di stasiun, dan mereka memperoleh sedikit rasa damai dari amarah dan pukulan, hingga tiba hari ketika Komar menga­ muk menemukan istrinya bunting, namun itu pun malahan memb­ uatnya semakin sering tak ada di rumah. Seseorang berkata 176

pernah melihat Komar tidur di stasiun, barangkali bersama pelacur di kotak penjualan tiket, dan Margio yang mendengarnya tak peduli. Semakin Komar tak ada di rumah, semakin ia tak men­cemaskan keadaan ibunya, yang waktu itu telah babak belur mem­peroleh hajaran. Kini tak ada tanda-tanda lelaki itu di sana, meskipun ia heng­ kang bersama jago bangkok tersebut. Barangkali ia berselisih dengan seseorang, seseorang itu menggorok lehernya, memotong- motong tubuhnya, memasukkannya ke dalam karung sebelum membuangnya ke sungai diganduli batu. Komar bin Syueb hilang untuk selama-lamanya, dibawa kebungkaman sang pembunuh, dan memikirkan itu menyenang-nyenangkan Margio yang kini pulang lesu sepanjang rel hendak menerobos kembali pabrik batu bata. Di rumah, lelaki itu ternyata telah teronggok di atas kursi, mengisap rokok kreteknya, sementara di pekarangan si jago bugar di dalam kurungan yang dibebani batu biar tidak tersibak angin atau diterjang si unggas. Dongkol sekali Margio dibuatnya, dan ada terbersit di hatinya untuk memaki, bertanya dari manakah engkau, Tuan. Tapi demi melihat wajah lelah itu, dengan garis- garis bergulir sekujur permukaan kulitnya, rasa sedih lain me­ nyelinap ke jiwanya, memandang lelaki yang pada hari ini, ba­ rangkali belum, melihat seorang bayi dilahirkan istrinya dan bayi itu bukan anaknya. Duduklah Margio di tentang jauh, memandanginya tanpa kata, berpaling ke pintu kamar di mana Nuraeni masih memandang duka si kecil yang sekarat dan Mameh menungguinya, dan kem­ bali lagi pada Komar dengan karat menggerogoti umur senjanya. Keluarga itu lengkap sekarang, namun tampak tak terhubungkan oleh apa pun selain sebuah ruang remuk. Itu membuat mereka 177

semua gelisah. Komar menoleh pada Margio, sejenak saja, tak sanggup berbalas tatap, dan kembali merenungi kretek di jarinya. Margio menatap kosong, setengah terpejam, bahkan tak tahu apa yang tengah dipikirkannya, hanya merasai napas sendiri. Hanya Mameh yang bergerak, keluar mengembalikan rantang air ke dapur, lalu kembali ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Nuraeni mendongak melihat Margio, ini pun sejenak saja, sebelum menekun si bayi yang mulai tertidur, barangkali tak akan bangun lagi. Tapi ia masih hidup ketika hari baru datang, walau tetap mungil dan semakin tak banyak gerak. Susu ibunya telah tuntas kering, dan susu dari Kasia hanya terjilat kecil walau Nuraeni mencoba membenamkan itu di mulutnya. Rongga matanya bertambah-tambah cekung, dan dagunya semakin menggelayut, ataukah pipinya yang semakin lenyap? Bahkan bau ajal serasa mengapung, seperti kebul nasi di atas panci. Bahkan selama hari payah tersebut, sementara si bayi ber­ tarung dengan malaikat maut yang hendak membawanya ke surga, Komar bin Syueb tampaknya tak juga mau sudi melihatnya. Tak pernah sekalipun ia masuk ke kamar, dan si bayi tak pernah sekalipun dibawa keluar, sebab ibunya takut angin akan mem­ bawanya pergi tak kembali. Si ayah busuk ini hanya duduk di kursi depan, menghabiskan rokok kretek, lalu jika perut minta isi, ia pergi ke dapur dan makan sendiri, tanpa meminta tanpa menawari. Margio masih di tempatnya, selama itu ia tak banyak beranjak, bahkan tidur di kursi dan sejenak melupakan kawan- kawannya, menonton adegan-adegan seolah sebuah lakon di­ mainkan di rumah mereka, dan ia tengah mengawasi seandainya seseorang memerankan satu bagian yang tak semestinya. Pukul sembilan Komar kembali ke kios cukurnya, dan mereka damai sejenak, meskipun Nuraeni tak tersembuhkan sama sekali 178

dari kecemasan kehilangan si kecil. Margio sesungguhnya tak ter­ lampau cemas dengan kehidupan bayi itu, ia lebih khawatir jika boneka setengah hidup itu mati, kesintingan semakin merajalela melanda ibunya. Pada saat itulah ia berharap Komar melakukan sesuatu, tak peduli itu bukan darahnya, demi Nuraeni, dan tak sekadar memandikan ayam jago semata. Namun jelas bagi siapa pun, Komar tampaknya merayakan kepayahan anak haram jadah tersebut, dan sepenuhnya berharap kematiannya. Pada hari ketujuh, lelaki itu malahan menghilang, padahal mereka tengah bersuka ternyata si bayi mampu bertahan sejauh ini, hanya dengan tetesan susu botol yang dijilatinya dengan payah. Nuraeni, Mameh, dan Margio mulai merasa penuh peng­ harapan. Jika ia bisa bertahan selama seminggu, maka ia bisa terus hidup sampai bertahun-tahun, meski sosok tubuhnya tak menan­dakan ia bakalan terus bernapas dalam beberapa menit ke depan. Mulai ada senyum kembali di wajah Nuraeni, dan kini perempuan itu mulai bernyali untuk membawa bayinya keluar kamar, ber­balut kain yang membentenginya dari segala marabahaya. Tapi Komar pergi lagi dan tak jelas di mana hidungnya, pada­ hal ia mestinya kasih nama, sebab bagaimanapun anak itu lahir di sini, dan semua orang hanya tahu itu anaknya. Margio kembali mencarinya, dan kembali tak menemukannya. Ia tak membawa perkakas cukur, juga tidak si jago aduan. Nuraeni telah bersiap sejak pagi di kursi depan, menyanyikan nina bobo yang meng­ hasut sambil mengayun si bayi lirih di pangkuannya, dan berbisik sebentar lagi kau akan bernama. Tapi Komar hengkang dan tak ada pertanda akan kembali. Mamehlah yang kemudian menyuruh Margio untuk men­ cukur saja si bayi. Tanpa keramaian dan tanpa karnaval, ia mem­ 179

bongkar kotak perkakas ayahnya dan mencari gunting kecil serta silet pencukur. Si bayi masih setengah terpejam di pangkuan Nuraeni, kerepusnya diturunkan dan Margio membasuh rambut tipisnya dengan telapak tangan yang basah. Dengan dua jari, per­ lahan ia mengapit sejumput rambut hitam legamnya, lalu tangan lain mengangakan gunting, memangkasnya, dan rambut tanggal itu dihamparkan di selembar kertas yang disediakan Mameh di meja. Berat rambut yang tanggal mesti diganti beras dengan bobot yang sama untuk diberikan pada seorang fakir miskin, maka Margio dan Mameh menjaga tak sehelai rambut pun terbang mengurangi hak orang lain. Mereka menyelesaikannya dalam sepuluh menit, dan Nuraeni tampak berkaca-kaca saking senangnya. Kini si bayi gundul plontos, ditutupi kerepus dari udara mengancam. Namun ia be­ lum juga bernama, maka Margio berkata pada ibunya, “Beri ia nama.” Demikianlah kemudian Nuraeni memberinya nama Marian, muncul begitu saja dari mulutnya. Barangkali itu nama seorang tokoh dalam sandiwara radio yang tengah populer di waktu-wak­ tu terakhir, yang sering didengar Nuraeni sebab tetangga sebelah selalu meletakkan radionya di halaman pada sebuah kursi setiap pukul setengah tiga sore, dan orang-orang jongkok di sekitarnya mendengarkan suara tanpa mulut. Atau ia memperoleh nama itu jauh dari masa gadisnya, seseorang yang ia kenal. Tak seorang pun di antara Margio dan Mameh mempertanyakan makna nama tersebut. Ia telah bernama, Marian, bagi siapa pun di rumah itu telah cukup. Tapi bayi tersebut mati tak lama kemudian, hanya berselang jam-jam yang lewat dengan lesat, dan ayam bangkok yang di­potong Margio dengan penuh dendam serta dimasak Mameh bah­kan 180

belum habis pula disantap. Bayi itu mati tanpa bilang-bilang, redup begitu saja seperti senja yang menjadi gelap. Sangatlah se­ dih Nuraeni, tapi dengan tubuh yang mencoba kukuh ia pergi ke taman belukarnya, memetiki bebunga sambil mendendangkan lagu-lagu sedih membanjirkan air mata. Inilah yang tidak diketahui oleh si gadis Maharani, bahwa ada luka dalam di keluarga tersebut dan segalanya tersangkut-paut dengan si gadis sendiri. Malam di pemutaran film perusahaan jamu tersebut, Margio masih mengecamuk diri dengan pikiran apakah ia mesti kasih tahu bahwa Marian adalah anak Anwar Sadat, dan tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi sepasang kekasih, demi sejarah keluarga yang sengkarut ini. Tapi dorongan untuk menguak borok tersebut selalu terjegal oleh rasa pemujaan yang mendalam padanya, ditambah-tambah si gadis yang me­ nunjukkan cinta nyaris tak ada ujung, saling mendekap di sudut lapangan bola, berciuman, walau Margio masih beku dikutuk takdir. Gadis itu masih berpikir sikap tak hangatnya disebabkan rasa gugup yang tak pergi-pergi, dan terus-menerus mencoba melumerkannya dengan sentuhan-sentuhan menggoda. Margio hanya menoleh dengan tatapan tersayat, menyadari ia bakalan kehilang­an dirinya, cepat atau segera, dan bertanya-tanya kapan ia akan menghentikan seluruh persekutuan memabukkan ini. Ia tak mungkin mengisahkan apa yang dilihatnya suatu hari, tak lama setelah Komar bin Syueb menemukan Nuraeni tengah bunting dan dihajarnya hampir mampus. Nuraeni tidak mampus, malahan terus berdendang dan berias, sementara Komar pergi. Ada memar di tubuhnya, tapi tak terasai betul, dan Margio dibuat terpesona oleh daya tahan perempuan tersebut. Semua siksa itu tak membikin dirinya kehilangan roman riang 181

yang menjadi miliknya di hari-hari terakhir, membuat Margio ingin mengetahui siapa sesungguhnya yang telah mendatangkan rasa suka melimpah-limpah kepada ibunya. Pagi itu ia masih pergi ke rumah Anwar Sadat, selepas kepergian Komar ke kios cukur, dan Nuraeni pulih ajaib dari semua memar, sebelum pemukulan-pemukulan datang kembali bertubi dan menjatuhkannya lama di tempat tidur hingga si bayi Marian lahir sebelum waktunya. Nuraeni tampak segar, serasa tak ada aniaya, bergaun cokelat muda, bergegas pergi dengan perut mulai bundar. Diam-diam Margio mengikutinya, dengan langkah kecil tak acuh, tidak masuk ke rumah Anwar Sadat, tapi berbaring di bangku depan surau. Waktu itu ia telah mulai bercuriga Anwar Sadatlah orangnya, mengetahui otak busuk dan mata-keranjangnya, dan kenyataan bahwa Nuraeni tak pernah pergi ke lain tempat sebanyak ke rumah itu. Ia hanya ingin membuktikan¬nya, meski setelah tahu ia belum juga ada pikiran hendak berbuat apa. Kakinya menyeret, yang kiri menyusul yang kanan dan disusul yang kiri kembali, langkah gontai menuju rumah yang diakrab¬inya. Margio tahu di sana ada Anwar Sadat, Maesa Dewi dan bayinya, dan ibunya, dan tak tahu jika dugaannya benar, dengan cara apa mereka membuat anak. Ia masuk melalui pintu samping tanpa mengetuk, sebagaimana terjadi sejak bertahun-tahun lam¬pau kecuali kesempatan-kesempatan langka saat ia terpaksa un¬tuk menalu pintu dengan buku jari, menemukan dirinya di teras dalam tempat menjemur pakaian. Ia tak menemukan ibunya, se¬mestinya Nuraeni ada di sumur mencuci, atau di dapur menyiap¬kan santapan siang. Rumah itu lengang, tak ada juga Anwar Sadat. Margio melangkah masuk, tanpa hiruk-pikuk, mata memandangi lukisan yang bertengger di dinding, dan hanya menemukan Maesa Dewi masih berbaring 182

bersama bayinya di kamar dengan celah pintu sedikit terkuak. Ia kembali lagi ke dapur, dan tetap tak menemukan ibunya, berputar kembali, dan berdiri di tentang pintu kamar Anwar Sadat. Ia hendak membukanya, namun me¬milih untuk lalu. Ada sebuah pekarangan sempit di sebelah barat rumah, hanya menyisakan teras dan sedikit tanah sebelum dihentikan oleh pagar tembok setinggi pinggang. Di tanah sedepa tersebut mereka men­anam jeruk dan pisang, dan di dinding rumah berjejer jendela-jendela terbuka, berlapis kaca dan tirai. Pekarangan itu hampir tak terjamah orang, kecuali Margio yang kerap ke sana untuk menebas daun pisang meranggas. Jendela kamar depan mem­perlihatkan isinya yang tak berpenghuni, Laila tak ada di temp­ atnya. Kamar kedua sebagaimana yang telah ia lihat, Maesa Dewi si pemalas masih berbaring tak terganggu, menutupi dirinya dengan selimut tak peduli cahaya siang telah berpendar masuk peraduannya. Jendela ketiga selalu tertutup, itu milik Maharani, dan hanya terbuka di kala gadis itu bertandang liburan. Margio terdiam sejenak di kamar berikut. Sayup didengarnya dengusan berahi, dan ia tak ada ragu menebak penuh kejituan itu adalah Anwar Sadat dan ibunya. Do­ rongan rasa penasaran, atau nakal, membawanya untuk kembali ambil langkah, tak peduli kebenaran telah direngkuhnya, dan dari balik kaca yang tersapu tirai merah tua, melalui celah yang kecil bergoyang, ia melihat ibunya telanjang mengangkang diimpit Anwar Sadat. Tubuh-tubuh itu terguncang, abai terhadap pengintip yang tak diundang, demikian intim dan tak terpisahkan. Ingin sekali Margio melihat rupa ibunya kala itu, menyaksikan wajah yang berpeluh dan rona cemerlang, membilas semua me­mar yang bersarang sepanjang dua puluh tahun, dan ikut ber­bahagia untuk percintaannya yang melenakan. Itu terlalu 183

gam­blang untuk dibuat berlanjut-lanjut, meski ia masih tertancap pada tubuh-tubuh menggelinjang mengisut dan lebur tersebut, sebelum rasa sadar membuatnya mundur dan melenggang pulang ke rumah, terhenyak di kursi dengan pikiran suwung, pening yang tiba-tiba lebih meradang daripada rasa mual mabuk, dan untuk pertama kali genangan basah meliuk di matanya, tak tersadari. Sore hari ia segera hengkang ke pos ronda dan mulai minum sebanyak-banyaknya, membawa botol-botol bir yang dioplos arak dari warung Agus Sofyan, terkapar di sana muntah-muntah dan mengigau tentang betina keparat dan rubah haus darah, yang tak dimengerti Agung Yuda maupun kawannya yang lain, dalam sadar maupun tidak. Dan mengigau lagi, “Demi senyum keparat itu, kuampuni dirimu tidur dengan bangsat mana pun.” Hampir gila ia memikirkan semua sengkarut keluarganya, sebelum de­ ngan satu kesadaran yang aneh, ia memutuskan untuk berpihak pada ibunya, demi mempertahankan roman riang di wajahnya. Maka ketika Marian mati, dan ibunya jatuh ke dalam duka yang tak tersembuhkan lagi, Margio sungguh berhasrat untuk memenggal leher Komar. Lelaki itu muncul kembali tak lama se­ telah mereka membenamkan Marian di permakaman, penuh ke­ menangan, namun Margio tak juga sanggup mengayunkan golok, demi bayang-bayang tubuh telanjang Nuraeni dan Anwar Sadat. Kepala busuknya sendiri mencoba memahami sikap jumawa Komar bin Syueb, menatapnya dengan nada sedih yang sama, dan daripada didengki, wajah itu lebih tepat mesti dikasihani. Namun gelora kehendak menghentikan hidupnya tak juga mau hengkang, ditambah-tambah kala suatu pagi ia menemukan harim­ aunya. Selalu dirasainya, harimau itu hendak melesat dari tubuhnya dan menerkam Komar bin Syueb tepat di lehernya. 184

Beban antah-berantah semakin menggelayuti kepalanya, menghadapi si gadis Maharani yang nongol sehari setelah kematian Komar. Margio hampir merayakan seluruh pembebasan mereka, menghadapi hari cemerlang yang bakal dilakoni bertiga tanpa manusia laknat tersebut, sebelum ia menemukan Maha­ rani yang mengatakan cinta untuknya di malam ribut tersebut. Ia harus menjelaskan segalanya pada gadis ini, dan menghentikan ambisi mereka untuk meraih cinta satu sama lain, dan semakin berleretnya waktu, keadaan itu semakin mendesaknya. Maharani, selepas rol kedua diputar dan itu berarti mendekati satu jam mereka duduk saling mendekap dan mencoba saling mencium dengan hangat, mulai putus asa menghadapi sikap kikuk Margio, kini berhenti menyodorkan mulutnya, berhenti menyandarkan kepalanya, menatap lelaki itu dengan pandangan penuh tuduhan yang minta penjelasan. Margio tak menoleh, penuh rasa sesal dan salah, siap memperoleh hukuman yang ia sendiri tak tahu apa kejahatannya. “Katakan padaku, kau tak suka aku,” kata Maharani lagi, akhirnya, dan bahunya mulai berguncang, nyata ia secengeng ke­ banyakan gadis. Margio barulah menoleh, mendengar tangis yang deras itu, merengkuh tangannya, namun Maharani mencabut menjauhkan diri dan semakin deras menumpahkan kesedihan­ nya sendiri. Margio meraih bahunya, kembali Maharani meng­ elak, sikap ngambeknya tak lagi pura-pura, dan tak ada ragu ia merasa ditolak, dan sebab itu merasa perlu untuk menolak kembali. Kalut dengan keadaan yang tak terkendali, dan tak me­lihat jalan keluar lain, Margio mendengus dan tak berusaha untuk menghentikan keriuhan tersebut. “Ada yang tidak kau ketahui,” katanya. Kali ini suara itu nyata terdengar, di tengah suara mengerang si gadis. Maharani 185

tak terh­ entikan, tak dibuat tertarik oleh kalimat yang penuh rahasia, seolah penjelasan apa pun berakhir pada ujung yang sama, bahwa hubungan mereka omong kosong, bahwa pelukan dan ciuman tadi sia-sia, bahwa ungkapan cintanya mengapung tanpa makna, bahwa lelaki itu hanya akan berkata ia tak ingin memperoleh cinta apa pun darinya. Dan begitulah memang, gadis itu terlampau cerdas untuk mengerti ujung dari permainan kata-kata Margio, meski si lelaki masih perlu memperjelasnya, tepat di telinga Ma­harani, “Tak mungkin kita saling mencinta.” “Kenapa?” Dengan hidung merah dan lembab, si gadis men­ dongak. Rambutnya sebagian lengket di pipi yang banjir. Meman­ dang wajah itu membuat Margio kembali mundur, menyesali semua yang telah meluruh, berharap semua kejadian tak ada, untuk memiliki wajah yang memandang tersebut, kembali men­ cium bibirnya dengan kehangatan yang urung ia berikan, me­ meluk tubuhnya yang dulu tak terjamah. Tapi kini Maharani me­mandangnya lurus, menuntut jawab, dan ia akan bergeming seb­ elum semua penjelasan didatangkan kepadanya. Kembali Margio mendengus, dan deretan kalimat ini deras keluar dari mulutnya. “Ayahmu Anwar Sadat meniduri ibuku Nuraeni, dan lahirlah si gadis kecil yang mati di hari ketujuh ber­nama Marian, sebab ayahku mengetahuinya dan memukuli ibuku hingga Marian lahir bahkan telah sekarat.” Jelaslah itu pun sanggup menghentikan tangis si gadis, yang kini menganga dengan kata-kata yang bangsat dan tak sanggup dicernanya. Namun Margio telah mengatakan kebenaran tersebut, sebermakna khotbah Kyai Jahro di pengeras suara masjid setiap Jumat siang dan Maharani berkali mendengarnya, sesungguh para penyiar televisi membisikkan kebenaran- kebenaran ter­sembunyi. 186

Maharani berdiri, masih memandang lelaki itu serupa me­ micing pada makhluk pendusta namun ia tak mampu membuk­ tikan semua kebohongannya, tergeragap ingin melontarkan kata yang entah, sebelum tertinggal hanya menggigit bibir dan Margio balas menatapnya kirim isyarat bahwa semua itu benar adanya tanpa perlu ia berkisah tentang jendela kamar di mana ia berdiri dan di sana kedua orang itu bergumul saling membakar. Maha­ rani bisa membayangkan adegan itu, tergambar nyata di mata Margio, membuatnya mengayun langkah meninggalkan si lelaki yang tak beranjak. Kaki yang berselimut celana berpipa lebar tersebut memburu, menyeberangi jalan bahkan tanpa menoleh tak peduli walau mobil bakalan datang memecah-belahnya, menyapu matanya yang tak juga henti menumpahkan basah, memburu rumah dan itulah malam yang dikenang Anwar Sadat sebagai malam ketika anak bungsunya berlaku tak biasa. Diam tak bicara, tak menyentuh makan malam, mengurung diri di ka­ mar, sebelum pagi datang dan berkata ia hendak pergi. Margio sendiri pulang sebelum film berakhir, dengan perasaan lapang meski rasa sakit kehilangan gadis itu juga tak terperi. Ia duduk di teras rumahnya, memandang belukar bunga ibunya, dan berjanji semua kesialan hidup ini harus berakhir. Ia telah menyakiti hati seorang gadis, juga dirinya, tapi percayalah semua itu harus ditempuh, katanya menenang-nenangkan diri. Ia masih di sana ketika malam semakin dalam, dan rintik pertama mulai jatuh membasuh bumi. Ada hawa segar yang menenteramkan, dengan aroma debu basah mengapung. Mameh membuka pintu menyuruhnya masuk, tapi Margio masih ingin berada di sana. Mameh kembali masuk, Margio tenggelam dalam pusaran pe­ lamunan. Hujan semakin deras dan dingin, dengan air menggenang dari selokan. Ia berharap air itu tumpah semua dari langit, hingga 187

lusa tak ada lagi yang tersisa, dan ia akan pergi berburu babi. Meng­ingat itu semua menjadikannya bergairah, dan merapal hari-hari yang bakal cemerlang. Ia telah memiliki harimau itu, telah ke­hilangan ayah yang dengki, telah kehilangan Maharani yang mengganjal, dan semua itu cukup bagi hidupnya bersama Mameh dan ibu mereka. Ketika pagi datang, ia belum juga tidur, meski hujan telah reda, dan tahu dari angin yang berembus gadis itu memutuskan pergi. Sempat juga ia berharap untuk menemuinya, berdamai dengan­ nya, bahwa semua perkara bangsat ini tak datang darinya, namun takdirlah yang telah memutuskan. Ia tahu dari aroma yang meng­ alir, gadis itu masih bersimbah air mata, menenteng tas bergegas ke terminal bis, bahkan Anwar Sadat ditampik untuk mengantar­ kannya. Ia semestinya ada di sampingnya, seperti dulu mereka berimpit di bawah satu payung, menenteng tasnya, membantu­ nya naik pintu bis sambil berjanji akan berada di sana kala si gadis datang kembali, dan melambaikan tangan ketika mesin mengg­ eram dan roda berpusing menyentak aspal. Tapi ia tak di sana, dan tak hendak menemuinya, percaya segalanya telah usai, dan memperoleh pelajaran berharga bahwa cinta selalu memiliki sisinya yang paling menyakitkan. Matanya merah meski tak juga ia hendak tidur, sementara Mameh dan Nuraeni telah terjaga. Mameh membuat dapur hiruk pikuk, ruang itu telah menjadi kekuasaannya di tahun- tahun terakhir, sementara Nuraeni duduk di kursi depan dengan kopi manis hangat mengepul dibikinkan Mameh. Wajahnya jauh menyusut, lebih kisut dari masa-masa sedih Komar memukuli dirinya, seolah kematian Marian merupakan pemukul paling laknat dan maha rotan penggebuk kasur. Margio melihatnya dan bertanya dalam hati, tidakkah kematian Komar membayar 188

semua itu, dan pertanyaannya jelas tak butuh jawab, sebab ia bisa mem­baca di wajah yang mulai serupa tanah. Pemandangan itu memurungkan, maka selepas menemukan sepotong tahu dari meja makan, Margio pergi melayap tak hirau pada mata yang lelah, menyergap hangat matahari yang telah meninggi. Maharani tentunya telah di perjalanan, sebab ia melihat Anwar Sadat dengan kolor dan singlet Toko Mas ABC di warung serabi mengeluhkan anak perempuannya itu. Mereka bersitatap sebentar, dan dalam hati Margio berkata, hanya kau yang bisa membahagiakan ibuku. Ia tak mampir di warung itu, melangkah gontai ke rumah Mayor Sadrah dan bermain-main dengan ajak-ajak di sana. Mereka menyenangkan, tapi pikirannya terus be­renang ke Nuraeni dan Anwar Sadat, membikinnya gelisah. Sepanjang hari ia tak pulang, menerabas gang-gang kecil di perkampungan, berjumpa kawan namun tak banyak bicara. Ia hanya memakan jambu batu yang dipetiknya dari pekarangan pegadaian, serta mengendus rokok dari Agung Yuda. Tadinya ia hendak tidur di pos ronda, namun matanya tak juga mau ter­ pejam, dan kegelisahan datang bersama pikiran-pikiran aneh ten­ tang ibunya. Ia ingin membicarakan hal itu dengan Agung Yuda karibnya, tapi jengah dan malu, maka ia menunda-nunda. Mereka bermain- main di lapangan bola, berbaring melihat sayap merpati berkepak di kedalaman langit, sebelum menyeret si teman ke warung Agus Sofyan. Di sana ia tak juga sanggup berbagi cerita pada Agung Yuda, dan memaki diri seandainya Maharani ada bersamanya, barangkali mereka malahan bisa membahas perkara di otaknya. Inilah akhir dari semua pengelanaannya sepanjang hari itu, saat Margio akhirnya terdampar di halaman rumah Anwar Sadat. 189

Ia tak bersenjata, dan tak punya maksud membunuhnya, meski ia memang ingin bertemu dengannya untuk bercakap. Jika kera­ guan merongrong dirinya, itu lebih karena rasa malu daripada takut. Namun ketika dilihatnya pintu terbuka dan Anwar Sadat terlihat di sana, masih mengenakan pakaian yang sama sebagai­ mana hidup di otaknya sejak pagi, Margio datang dan meng­ hampirinya. Di depannya, tanpa membuang tempo sebab dirinya sadar waktu bisa melenyapkan seluruh nyali, ia berkata kepada lelaki itu, “Aku tahu kau meniduri ibuku dan Marian anak kalian,” kata­nya. Kalimat itu mengapung di antara mereka, Anwar Sadat pasi menatap wajahnya. Margio melanjutkan, “Kawinlah dengan ibuku, ia akan bahagia.” Tergagap Anwar Sadat menggeleng, dan dengan kata terpatah ia bergumam. “Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak.” Tatapan itu jelas mencela gagasan konyol Margio. Dan kalimat selanjutnya memberi penjelasan melimpah, “Lagi pula aku tak mencintai ibumu.” Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa. vvv 190

Tentang Penulis Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Ia menyelesaikan studi dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1999), dengan skripsi yang kemudian terbit menjadi buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999). Kumpulan cerita pendeknya meliputi Corat-coret di Toilet (2000), Gelak Sedih (2005) dan Cinta Tak Ada Mati (2005). Dua novelnya yang lain Cantik itu Luka (2002) dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar (2014). Ia rutin menulis jurnal di http:// ekakurniawan.com. 191

BACA JUGA CANTIK ITU LUKA Eka Kurniawan Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang keem- pat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberinya nama Si Cantik. “Inilah sebuah novel berkelas dunia! Membaca novel karya penga- rang Indonesia kelahiran 1975 dan alumnus Filsafat UGM ini, kita akan merasakan kenikmatan yang sama dengan nikmatnya membaca novel-novel kanon dalam kesusastraan Eropa dan Amerika Latin. Ke- cakapan Eka mengisahkan kejatuhan sebuah keluarga incest dengan titik pusat pengisahan pada tokoh Dewi Ayu (lahir dari ayah Belanda dan ibu Nyai) dalam gaya berkisah yang dengan enteng mencam- puradukkan realisme dan surealisme, mengawinkan kepercayaan- kepercayaan lokal dengan silogisme filsafat yang membobol semua tabu, dan memberikan hormat yang sama pada realitas sejarah dan mitos, merupakan pencapaian luar biasa mengingat novel ini meru- pakan novel pertamanya.” – Horison * Telah diterjemahkan ke Bahasa Jepang (Shinphusa,Tokyo) dan Malaysia (Marshall Cavendish, Kuala Lumpur); dan akan terbit dalam Bahasa Inggris (New Directions, New York). http://ekakurniawan.com/books/cantik-itu-luka


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook