Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Rumah Tangga yang Bahagia

Rumah Tangga yang Bahagia

Published by Digital Library, 2021-01-27 07:11:53

Description: Rumah Tangga yang Bahagia oleh Leo Tolstoi

Keywords: Leo Tolstoi

Search

Read the Text Version

4 WAKTU ITU MUSIM USPENSKY, jadi tak seorang pun yang merasa heran akan niatku untuk berpuasa. Seminggu itu dia tidak datang menjenguk kami, tetapi aku tidak terkejut atau cem as, pula tidak m arah padanya. Sebaliknya m alah aku girang dia tidak datang dan hanyalah pada hari ulang tahunku kuharapkan dia datang. Dalam seminggu itu aku bangun pagi-pagi betul setiap harinya, dan selagi bujang-bujang memasukkan kuda ke kandang, aku jalan-jalan sekeliling kebun, sendiri saja, sam bil m engingat-ingat dosa apakah yang telah kubuat pada hari-hari yang telah lalu, dan bertanya-tanya dalam diri tentang bagaim ana m elewatkan hari yang baru agar aku jangan sekali-kali berbuat dosa lagi hingga damai sejahteralah aku. Pada waktu itu rasa-rasanya begitu m udah bagiku untuk tidak m elakukan dosa apa pun. Kukira yang harus dilakukan setiap orang ialah berusaha barang sedikit.

44 Leo Tolstoi Biasanya bendi disuruh jalan dan aku naik ke dalam nya bersam a Katya atau salah seorang gadis yang ada, lalu kam i pergi m enuju gereja yang jauhnya tiga versta dari rum ah kam i. Setiap kali kumasuki pintu gereja aku berkata pada diri sendiri. “Rahm atilah m ereka yang m asuk dengan hati yang takut pada Tuhan,” lalu kucoba m endaki dua buah undakan yang ditum buhi rumput pada beranda muka gereja dengan perasaan seperti tadi. Pada saat itu tak lebih dari selusin wanita saleh dari kalangan petani dan pelayan rum ah yang m elakukan ibadat di gereja, dan aku berusaha m em balas m ereka yang m em bungkuk padaku dengan kerendahan hati. Akulah sendiri yang pergi ke tem pat penyim panan lilin (m erasa bahwa inilah cara yang sangat terpuji) untuk m enerim a beberapa batang lilin dari serdadu tua yang telah lebih dulu m engam bilnya, lalu ditaruhnya lilin itu di depan ikon- ikon. Lewat Pintu Gerbang Suci aku dapat m elihat kain selubung altar yang dulu disulam oleh ibu. Di situ, di tem pat ikon-ikon, berdiri dua buah patung m alaikat dari kayu dengan bintang di atas kepalanya, yang dulu ketika aku m asih kecil dem ikian besar tam paknya, serta burung m erpati dengan lingkaran kuning yang selalu menarik hati. Di sebelah muka choir, aku dapat melihat tem pat air suci yang sudah penyok, di situlah kebanyakan anak pelayan dan bujang dibaptis, begitu pula aku. Maka datanglah pendeta dalam jubah terbuat dari kain bekas penutup peti m ayat ayahku. Lalu ia m em bacakan doa kebaktian dengan suara yang sama seperti setiap kali ia membacakan doa kebaktian di rumah kam i, sewaktu m em baptis Sonya, sewaktu rekuiem ayah dan pada waktu upacara pem akam an ibu. Suara koster yang begitu-begitu juga, yang gem etar, datang dari choir, wanita bungkuk yang itu- itu juga, yang seingatku selalu ada di gereja pada setiap kebaktian, berdiri di dekat dinding dengan m ata yang selalu digenangi air mata tatkala memandang tak berkedip pada ikon, dengan tiga jarinya yang m enjepit setangan batis pabila ia m em buat tanda

Rumah Tangga yang Bahagia 45 salib, sem entara m ulutnya yang tak bergigi itu tak henti-hentinya b er kom a t -ka m it . Dan semua ini tidak lagi aneh bagiku, pula tak lagi kusukai, selain atas kenang-kenangan yang dibangkitkannya, yakni se- suatu yang di m ataku agung lagi suci serta m engandung m akna yang dalam sekali. Telingaku kupasang baik-baik buat setiap kata dalam doa yang dibacakan, sam bil berusaha m enanggapinya dengan jiwaku, kum ohon agar Tuhan m enjelaskannya pabila aku tak mengerti, dan mengarang doaku sendiri pabila aku tak mendengar. Sewaktu doa pengampunan sedang dibacakan, teringatlah aku akan m asa yang lam pau, m asa yang kekanak- kanakan lagi polos tampak seperti siang dan malam dibandingkan dengan keadaanku sekarang yang cantik gem ulai, sehingga aku merasa ngeri dengan diriku sendiri. Dalam pada itu aku pun m erasa pula bahwa sem ua itu akan diam puni, m alah sekiranya kulakukan dosa yang lebih banyak, m aka pengam punannya pun akan lebih manis lagi. Pabila pada akhir kebaktian pendeta berkata, “Rahm at Tuhan atas dirim u,” m aka seolah-olah ada rasa sejahtera yang berwujud jasm ani sedang m enghubungi diriku. Seolah-olah cahaya dan kehangatan m asuk dalam diriku. Sehabis kebaktian, pendeta itu m endatangi aku dan m enanyakan apakah dia perlu datang ke rumah kami buat membacakan doa kebaktian m alam , dan jam berapa pula. Kuucapkan banyak terim a kasih atas kebaikan hatinya, tetapi kukatakan bahwa aku akan datang sendiri kepadanya. “J adi Anda akan berlelah-lelah datang sendiri ke m ari?” tanyanya, tapi aku tidak tahu bagaim ana harus m enjawabnya agar tindak-tandukku terpelihara dari dosa karena keangkuhan. Sehabis Misa biasanya aku m enyuruh agar kudaku dibawa pulang, bila aku tak bersam a Katya, dan pulanglah aku sendirian, sambil dengan rendah hati membungkuk dalam-dalam kepada setiap orang yang kujum pai. Dan keinginanku yang tulus ikhlas

46 Leo Tolstoi untuk menolong, memberi nasihat dan berkorban bagi orang lain, telah m endorong aku untuk m em beri bantuan pada orang yang lagi m engangkat beban, atau m enolong m enggendongkan bayi, atau m elangkah ke dalam lum pur untuk m enyilakan orang lain berlalu. Pada suatu malam kudengar pemilik kebun bercerita bahwa Sem yon, salah seorang m uzhik kam i, telah datang untuk m inta papan kayu buat peti m ayat anaknya yang perem puan serta uang buat biaya upacara pem akam annya, dan pem ilik kebun itu m engatakan pula bahwa dia telah m em berinya. “Kalau begitu, m iskin sekali orang itu, bukan?” tanyaku. “Miskin sekali, Nona— sam pai garam pun tak terbeli olehnya,” jawabnya. Tiba-tiba saja hatiku serasa diiris, nam un rasa-rasanya hal itu m enggirangkan aku pula. Agar Katya tidak m en getahuin ya, kukatakan saja padanya bahwa aku akan pergi jalan-jalan. Lalu aku pergi ke atas untuk m engam bil sem ua uangku (tidak banyak tapi kuam bil sem ua). Sam bil m em buat tanda salib aku m enyelinap ke luar ke beranda m uka, lalu m enuju kam pung lewat kebun. Gubuk Sem yon ada di ujung. Tak seorang pun m em perhatikan aku naik ke jendela, kumasukkan uang itu ke dalam ambang jendela, sesudah itu kuketuk pintu. Pintu bergerit tatkala seseorang keluar dari dalam gubuk memanggil-manggil. Sam bil menggigil karena kedinginan dan ketakutan, aku lari pulang bagai seorang yang habis melakukan kejahatan. Aku ditanyai Katya dari m ana dan apa yang telah terjadi, akan tetapi aku tak m engerti m engapa dia m enanyakan itu, dan tak kujawab. Tiba-tiba, apa saja yang kulihat tam pak seperti m iskin dan keji. Aku m engunci diri dan berjalan hilir m udik di kam ar untuk beberapa lam anya, tak berdaya sam a sekali buat mengumpulkan kembali ingatanku atau menginsyai apakah yang telah kualam i. Kubayangkan betapa gem biranya keluarga Sem yon dan betapa berterim a kasihnya m ereka kepada orang yang telah

Rumah Tangga yang Bahagia 47 m em beri uang, lantas aku m enyayangkan karena tidak kuberikan uang itu kepada mereka langsung dengan tangan sendiri. Dan juga aku m engagak-agak apa gerangan yang bakal dikatakan Sergei Mikhailich andaikata dia tahu bahwa aku telah melakukan hal serupa itu, tapi aku merasa senang bahwa tak seorang pun m engetahuinya. Kurasakan kegem biraan sedang m eliputi diriku, dan setiap orang—term asuk diriku—tam pak seperti penuh dengan dosa, dan kulihat diriku dan setiap orang seperti tak berdaya, hingga pikiran tentang kem atian datang padaku laksana m im pi tentang kebahagiaan. Aku tersenyum , berdoa, m enangis. Betapa dam banya aku, betapa m enyala-nyala cintaku terhadap setiap orang yang ada di dunia ini pada saat itu, dan terhadap diri sendiri juga! An tara kebaktian dan kebaktian kubaca ayat-ayat In jil, dan isinya jadi lebih kupaham i. Sejarah Kehidupan Rasul jadi demikian sederhana dan kian mengharukan, dan kedalaman pikiran dan rasa cinta yang kutem ukan dalam ajarannya sem akin m endahsyatkan dan tiada hingganya. Akan tetapi betapa bersahaja dan sederhana apa pun yang kurasakan pabila kuletakkan Kitab Suci di sisiku dan kembali kuperiksa hidup di sekelilingku, dan kurenungkan itu! Berat sekali rasanya buat hidup tidak benar, dan betapa sederhananya buat m encintai dan dicintai orang. Setiap orang dem ikian baik terhadapku! Bahkan juga Sonya, yang tetap kuberi pelajaran, menjadi lain sama sekali. Dia berusaha untuk m engerti dan m engerjakan apa yang kuperintahkan, tidak lagi menjengkelkan. Setiap orang adalah untukku dan aku untuk mereka. Berpikir tentang m usuh-m usuh yang harus kum intai m aaf sebelum pengakuan, aku hanya teringat akan seseorang di luar rum ah kam i—seorang gadis tetangga yang kutertawakan setahun yang lalu di depan tam u-tam u lainnya, dan karena itu dia tak pernah datang lagi ke rum ah kam i. Kutulis surat

48 Leo Tolstoi untuknya, kuakui kesalahanku dan m inta m aaf. Dia m em balas suratku, dikatakannya bahwa ia m em aafkanku dan ia pun m inta dim aafkan. Aku m enangis karena gem bira pada waktu m em baca baris-baris kalim at yang sederhana dalam surat itu—baris-baris yang rasa-rasanya dem ikian m engharukan pada saat itu. Perawatku yang telah tua tak henti-hentinya m engucurkan air m ata ketika aku m inta m aaf kepadanya. “Mengapa m ereka dem ikian baik terhadapku?” kataku pada diri sendiri. “Apakah yang telah kulakukan hingga patutlah aku m endapat cinta yang demikian ini?” Maka aku pun teringat kepada Sergei Mikhailich, dan segera m em ikirkannya sam pai berjam -jam lam anya. Aku tak tahan untuk tidak m em ikirkannya, dan kurasa yang dem ikian itu bukanlah dosa. Akan tetapi aku tidak m em ikirkan dia dalam keadaan seperti m alam itu (yang ternyata aku telah jatuh cinta padanya)— namun memikirkan dia seperti memikirkan diriku sendiri, dengan demikian tanpa kusadari aku telah mempersatukan diriku dengan dirinya pada setiap pem ikiran tentang m asa depan. Perbawanya yang m em pengaruhi diriku tatkala aku ada di hadapannya lenyap sam a sekali pada saat-saat dem ikian ini. Aku m erasa diriku jadi setaraf dengannya, dan kurasakan itu dari keharuan batinku yang setinggi-tingginya, aku m engerti dia sedalam -dalam nya. Apa yang asing tadinya jadi jelas pada saat itu, aku menginsyai akan apa yang dikatakannya, yakni bahwa satu-satunya kebahagiaan dalam hidup ini ialah hidup untuk orang lain, dan aku m enyetujui sepenuhnya. Aku yakin bahwa kami bersama-sama akan hidup rukun dan bahagia untuk selama- lam anya. Aku tidak m elam unkan pergi ke luar negeri, juga tidak m em im pikan kem ewahan, m elainkan hidup yang sam a sekali lain, hidup rum ah tangga yang dam ai di pedalam an, hidup yang tak henti-hentinya berkorban dan cinta-m encintai antara satu dan lainnya, yang bersam aan dengan itu senantiasa m enyadari

Rumah Tangga yang Bahagia 49 akan adanya rahm at Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang dalam m enghadapi segala yang bakal tiba. Aku m enerim a Sakram en Roh Kudus pada hari kelahiranku, sebagaimana kurencanakan. Hatiku penuh dengan kegembiraan tatkala aku kem bali dari gereja pada hari yang kutakutkan itu—takut akan kesan apa pun yan g m un gkin m en guran gi kebahagiaanku. Baru saja aku sam pai di pintu depan, m au turun dari kendaraan, terdengarlah bunyi gem ertak kabriolet yang tak asing lagi di atas jembatan, kulihat Sergei Mikhailich. Ia mau mengucapkan selamat ulang tahun, dan kami masuk ke ruang tamu bersama-sama. Tak pernah aku demikian tenang dan percaya pada diri sendiri seperti pada waktu kehadirannya di pagi itu. Aku m erasa di dalam diriku ada suatu dunia baru yang takkan dim engerti olehnya, dan lebih tinggi dari yang ada padanya. Tak sedikit pun aku m erasa m alu. Ia tentunya m enyadari sebab- sebabnya, oleh karena biasanya ia tidak sebaik dan sem ulia itu sikapnya terhadapku. Aku pergi m enuju piano, tetapi ia m enguncinya dan m em asukkan kunci itu ke dalam sakunya. “J angan kauobral perasaanm u itu,” katanya. “Musik yang ada dalam jiwam u pada saat ini lebih indah dari apa pun yang ada di d u n ia .” Aku m erasa bersyukur, akan tetapi perasaanku terganggu juga sedikit karena dia begitu saja dengan m udahnya m engerti secara tepat akan apa yang ada dalam diriku, yang seharusnya kusem bunyikan kepada siapa pun. Sewaktu m akan sore dia m engatakan bahwa kedatangannya itu ialah untuk m engucapkan selamat ulang tahun kepadaku dan untuk mengucapkan selamat tinggal karena ia akan pergi ke Moskow pada hari berikutnya. Sam bil m engatakan begitu dia m elihat kepada Katya, kem udian m elirik kepadaku, dan aku dapat m enangkapnya bahwa dia takut akan adanya perubahan yang tercerm in dalam wajahku. Tetapi aku tidak terkejut dan kebingungan, bahkan tidak m enanyakan

50 Leo Tolstoi apakah perginya itu akan lam a. Aku telah tahu apa yang dia katakan, aku telah tahu dia tak akan pergi. Bagaim ana aku bisa tahu? Aku tak dapat m enerangkannya sekalipun terhadap diri sendiri, tetapi pada hari itu aku merasa bahwa aku mengetahui apa yang pernah dan akan terjadi. Rasa-rasanya aku seperti hidup dalam m im pi yang ajaib, di m ana segala yang terjadi telah terjadi lam a sebelum nya, dan aku pun telah m engetahui lam a sebelum nya, hal serupa itu pun akan terjadi lagi, dan aku tahu bahwa itu akan terjadi lagi. Ia m au terus pergi setelah m akan sore, tetapi Katya lelah sehabis Misa dan pergi berbaring. Dengan demikian, Sergei Mikhailich harus m en un ggu sam pai Katya ban gun un tuk mengucapkan selamat tinggal. Terlalu banyak sinar m atahari m enem bus ke dalam kam ar duduk, karena itu kam i pergi ke beranda. Begitu kam i duduk, m ulailah aku m em bicarakan dengan tenang sekali soal yang bakal m enentukan nasib cintaku. Aku m ulai berbicara tepat pada saat kami baru duduk, tidak lebih cepat dan tidak pula lebih lambat, dan sedikit pun tak pernah aku berbicara seperti itu sebelum nya, baik dalam caraku berbicara m aupun m engenai apa yang dibicarakan, alhasil tak ada rintangan apa pun yang menghalangi lidahku untuk berbicara. Tak tahulah aku dari mana aku m endapatkan pikiran yang tersusun dan dem ikian pasti, dem ikian tepat pilihan kata-katanya. Seolah-olah bukan aku yang berbicara pada waktu itu, m elainkan suara yang ada dalam diriku, yang bebas dari kem auanku. Dia duduk di hadapanku sam bil bersandar pada kisi-kisi, dicabutnya tangkai bunga lilak. Dan kini ia sedang m encabiki daun-daunnya. Ketika aku m ulai berbicara, dia lepaskan ranting lilak itu lalu disandarkannya kepalanya pada sebelah tangannya. Perbawa dirinya yang kuat telah m enjadikan dirinya seorang yang sam a sekali tenang atau siap sedia.

Rumah Tangga yang Bahagia 51 “Mengapa Anda akan pergi?” kataku perlahan-lahan dan sabar, sam bil terus m enatap lurus kepadanya. Ia tidak segera m enjawab. Kem udian sam bil m enjatuhkan pandangannya ke bawah, ia m enggum am , “Ada urusan.” Aku insyaf bahwa betapa sulit baginya untuk m em bohongi aku, terutam a kalau kuhadapkan pertanyaan yang dem ikian terus t er a n gn ya . “Anda tahu apa artinya hari ini bagiku,” kataku. “Ada berbagai sebab m engapa hari ini penting sekali. Bila kutanyakan m engapa Anda pergi, hal itu bukanlah sekadar untuk gagah-gagahan saja. Anda tahu, m eskipun tak usah kutanyakan itu, aku pun jadi m erasa tergantung pada Anda. Aku bertanya karena aku harus tahu. Mengapa Anda pergi?” “San gat berat bagiku un tuk m en gatakan alasan yan g sebenarnya tentang kepergianku,” jawabnya. “Minggu ini aku banyak m em ikirkan diriku dan dirim u, dan aku m em utuskan harus pergi. Kau m engerti apa sebabnya, dan sekiranya ada anggapan tentang diriku kuharap janganlah m endesak supaya aku m em bicarakannya lagi.” Ia m enggaruk dahinya dan m em ejam kan m atanya. “Sangat berat untukku ... tetapi kau m engerti.” J antungku mulai memukul keras. “Aku tidak m engerti,” kataku. “Aku tidak bisa m engerti, karena itu Anda harus m engatakannya... dem i aku, dem i hari ini, hari yang banyak artinya bagiku, katakanlah, aku siap m endengar apa saja yang bakal kudengar.” Ia menggeser, memandang padaku, dan kembali memetik t a n gka i. “Baiklah,” katanya, sejenak dia tam pak ragu-ragu sebelum m eneruskan kata-katanya dengan suara yang diusahakannya supaya jelas, nam un sia-sia. “Meskipun lucu dan tak m ungkin dinyatakan dalam kata-kata, m eskipun terasa sakit dalam diriku,

52 Leo Tolstoi akan kucoba m engatakannya.” Ia m engernyit seakan-akan badannya kesakitan. “Katakanlah,” kataku. “Marilah kita um pam akan,” katanya, “ada seorang laki- laki—kita sebut saja si A—dan ia sudah tua dan telah m engenyam kehidupan. Dan di situ ada seorang wanita—sebut saja si B—dan ia masih muda dan riang serta tak tahu apa-apa tentang manusia dan kehidupan. Disebabkan oleh keadaan keluarganya si laki-laki itu m enyayangi gadis itu seperti terhadap anaknya dan ia tidak takut akan mencintai si gadis dengan cara lain.” Ia berhenti. Aku m em biarkan dia m elanjutkannya. “Tetapi si A lupa bahwa si B itu m asih dem ikian m uda—hidup itu bagi si gadis m asih seperti berm ain.” Kini dengan tergagap- gagap dan tanpa m elihat padaku dia m eneruskannya, “Si laki-laki lupa bahwa lebih gam pang baginya m encintai gadis itu dengan cara lain, tetapi itu berarti bagi si gadis hanyalah berm ain-m ain. Si laki-laki m em buat kekhilafan dan tiba-tiba saja dia m erasa m em punyai perasaan yang lain, yang sam a sakitnya dengan m enyesali dosa, dan ia m erasa takut. Ia m erasa takut kalau-kalau hubungan persahabatan lama jadi rusak terganggu, dan karena itu ia memutuskan untuk pergi saja sebelum hal demikian terjadi.” Sam bil berkata begitu ia m enggosok m atanya sebentar dan dipejam kannya lagi. “Mengapa dia takut m encintai si gadis dengan cara lain?” tanyaku dengan pelan-pelan sekali, sam bil m engendalikan rasa hatiku dan m enahan diri supaya tetap tenang. Sudah barang tentu kedengarannya seperti m enyin dir karena dalam m em berikan jawabannya terbayang kepedihan hatinya yang luka, “Kau m uda, aku tidak. Kau m au berm ain, sedangkan aku membutuhkan sesuatu. Teruskanlah bermain, tetapi jangan dengan aku, karena aku seharusnyalah bersikap jujur terhadapm u, itu akan m enyakitkan hatiku dan m em buatku

Rumah Tangga yang Bahagia 53 jadi rikuh.... Itulah yang dikatakan si A,” tam bahnya. “Sem ua ini hanya om ong kosong, tentunya, tetapi kau sadar m engapa aku akan pergi. J anganlah kita bicarakan lagi soalnya. Kum ohon!” “Tidak! Tidak! Kita akan m em perkatakannya lebih banyak lagi,” teriakku, suaraku gem etar karena tangis. “Apakah si laki- laki mencintai gadis itu atau tidak?” Ia tidak m enyahut. “Sekiranya si laki-laki tak m encintai dia, m engapa berm ain- main dengan gadis itu, meskipun si gadis masih kecil ketika itu?” “Ya, ya, si A salah,” katanya buru-buru m enyela, “tetapi itulah akhir ceritanya, dan m ereka berpisah ... sebagai tem an.” “Tetapi itu m engerikan! Apakah tidak ada akhir ceritanya yang lain?” kugum am kan itu dengan sedikit nyaring, aku ngeri akan apa yang dikatakannya. “Ya, ada,” katanya, seraya m em indahkan tangannya dari m ukanya yang gelisah dan m em andang lurus padaku. “Ada dua akhir ceritanya. Hanya kum inta kau jangan m em otong-m otong, dengarkanlah dengan tenang. Konon,” ia m ulai sam bil berdiri dan tersenyum pahit, “katanya si A sudah kehilangan akal, tergila-gila pada si B, dan dem ikianlah dikatakannya kepada si gadis ... dan si gadis hanya m enyam but dengan tertawa. Bagi si gadis tam paknya lucu, tetapi bagi si laki-laki soal hidup dan mati.” Aku tertegun dan kata-kataku sudah ham pir di ujung lidah untuk m em otong pem bicaraannya, agar dia jangan m em ancing- m ancing aku begitu, tetapi tangannya diletakkannya di atas tanganku dan ditahannya aku. “Tun ggu,” katan ya, suaran ya gem etar. “Cerita lain n ya lagi mengatakan bahwa si gadis itu merasa kasihan kepada si laki-laki. Celakalah gadis itu—karena belum berpengalam an— m em bayangkan dirinya m encintai laki-laki itu, dan dia m au jadi istrinya. Tololnya lagi, si laki-laki percaya—ya, dia percaya betul—bahwa hidupnya akan dim ulai lagi dari segala-galanya.

54 Leo Tolstoi Tetapi tak lam a kem udian si gadis m enyadari bahwa dia m enipu si laki-laki dan si laki-laki menipu si gadis.... Tapi sudahlah, kita tak m au m em bicarakan lagi hal itu,” katanya m engakhirinya, dan m em ang dia tak bisa lagi m eneruskan ceritanya. Dan berjalanlah dia pulang balik sambil bungkam di hadapanku. Tadi ia m en gatakan “tak m au m em bicarakan n ya lagi”, tetapi dia kulihat sedang tegang sekali menunggu aku bicara. Ingin aku mengatakan sesuatu, tetapi kerongkonganku serasa tersum bat. Kulem parkan pandangan padanya—dia pucat dan bibir bawahnya gem etar. Aku m ulai m erasa kasihan kepadanya. Dengan m em ecahkan kesunyian yang sedang m enghim pit diriku, aku berusaha untuk mulai bicara lemah-lembut dengan suara yang sungguh-sungguh, takut kalau-kalau terputus di tengah ja la n . “Dan akhir cerita yang ketiga,” kataku, aku berhenti tetapi dia diam saja. “Akhir cerita yang ketiga ialah si laki-laki tidak m encintai si gadis serta m elukai hatinya dalam -dalam , sedangkan si laki-laki pergi sambil berpikir bahwa dia merasa betul dan malah dalam beberapa hal merasa bangga. Itu lucu buat kamu, tetapi tidak buat aku, aku m encintaim u sejak sem ula. Ya, aku m encintaim u,” aku m engulangnya, dan tatkala kukatakan ini, suaraku yang tadinya rendah dan sungguh-sungguh jadi m eninggi hingga m erupakan jeritan yang m enakutkan diriku. Ia berdiri berhadap-hadapan denganku, m ukanya pucat sekali, bibirnya kian gem etar, dua butir air m ata m enitik pada p ip in ya . “Sungguh m enyedihkan!” ham pir berteriak kukatakan itu, lem as karena gem as, m enderas air m ata. “Mengapa kam u begitu?” tanyaku, sam bil m au bangkit m eninggalkan dia. Akan tetapi dia m enahanku. Kepalanya m erunduk di atas lututku, bibirnya m encium tanganku yang gem etar dan basah oleh air m atanya. “O, Tuhan! Sekiranya aku tahu!” gum am nya.

Rumah Tangga yang Bahagia 55 “Men gapa kam u begitu? Men gapa kam u begitu?” aku terus m engulanginya nam un dalam hati aku m erasa bahagia— kebahagiaan yang takkan kem bali untuk selam a-lam anya. Lim a m enit kem udian Sonya lari ke atas untuk m enjum pai Katya, sam bil berteriak-teriak ke segen ap pen juru rum ah. Katanya, Masha akan kawin dengan Sergei Mikhailich.

5 TAK ADA ALASAN untuk m enangguhkan pernikahan kam i, tidak bagi dia tidak pula bagi aku. Mem ang, Katya ingin sekali pergi ke Moskow buat m em esan pakaian pengantin untukku. Begitu pun ibu Sergei Mikhailich ingin membelikan dia kereta baru dan perabotan baru sebelum pernikahan, juga mendandani rumah. Akan tetapi kam i berdua m endesak agar sem ua itu dilakukan nanti kalau benar-benar diperlukan. Sementara itu, kami berpendapat bahwa pernikahan sebaiknya dilangsungkan dua m inggu sesudah hari ulang tahunku, dengan diam-diam, tanpa pakaian pengantin, tanpa putra-putri pengiring pengantin, tanpa jamuan pada malam hari atau sam panye atau apa saja yang berupa pernak-pernik upacara adat perkawinan. Dia m engatakan padaku betapa ibunya merasa kurang puas oleh karena perkawinan dilakukan tanpa iringan m usik, tanpa koper-koper dan peti-peti serta rum ah yang didandani—tidak seperti perkawinan beliau dulu yang m enelan biaya sebanyak tiga puluh ribu rubel. Dikatakannya pula bahwa

Rumah Tangga yang Bahagia 57 ibunya m au m em eriksa peti-peti dalam gudang dan berunding dengan Maryushka secara rahasia m engenai urusan perm adani, kain tirai dan segala piring cangkir yang dianggapnya paling penting bagi kebahagiaan kami. Di rum ah kam i pun Katya dengan Kuzm inishna, perawat tua itu, berbuat hal yang sam a. Tak m ungkin bersenda gurau dengan Katya pada saat sedem ikian gawatnya. Katya yakin betul bahwa kalau kam i yang m engurus soal m asa depan itu, hanyalah akan terhanyut oleh perasaan yang m elam bung tinggi dan disibuki pula dengan hal-hal yang tak ada artinya, seperti biasanya dilakukan oleh orang yang sedang seperti kam i, m alah Katya yakin betul bahwa kebahagiaan kam i yang sebenarnya, tergantung pada cocok-tidaknya potongan dan jahitan kem eja kami, keliman taplak dan serbet. Pesan-pesan rahasia dikirimkan kian ke mari, berkali-kali, sehari sebelum persiapan dimulai. Dari luar, hubungan antara Katya dan Tatyana Sem yonovna, ibu Sergei Mikhailich, begitu luwes kelihatannya, nam un sebenarnya dapat dirasakan bahwa di situ ada sedikit persaingan yang diam -diam dan tawar-m enawar. Tatyana Sem yonovna, yang sekarang kukenal lebih baik, m erupakan seorang ibu rum ah tangga yang kenal betul adat sopan-santun, berbudi pekerti—seorang wanita yang halus gerak- geriknya sesuai dengan usianya yang telah lanjut. Sergei Mikhailich m encintainya bukan sekadar kewajiban terhadap seorang ibu, tetapi juga karena m enurut anggapannya wanita inilah yang paling baik, paling berbudi, paling pintar serta paling disayangi di muka bumi ini. Sang ibu senantiasa baik kepada kami, dan terutam a kepadaku, dan m erasa girang anaknya ketem u jodoh. Pabila aku berkunjung kepadanya, aku m erasa bahwa ia ingin sekali aku menginsyai bahwa anaknya itu pasangan yang baik, dan hendaknya aku m encam kannya dalam hati, m eskipun ketika

58 Leo Tolstoi itu kam i baru saja bertunangan. Aku m em aham i dia benar-benar, dan setuju dengannya. Dalam dua minggu terakhir itu, Sergei Mikhailich dan aku saling mengunjungi setiap hari. Ia suka datang untuk makan sore dan tinggal sampai jauh malam. Tetapi meskipun ia mengatakan bahwa dia tidak dapat hidup tanpa aku (dan aku tahu dia bicara benar), tidaklah pernah ia m enghabiskan waktunya sehari-harian buat m engawani aku, m elainkan ia tetap sibuk dengan urusannya sendiri seperti sediakala. Pada akhirnya hubungan kam i tidaklah berubah, ia tetap m em anggil aku Marya Alexandrovna dan pula tak pernah menciumku, sekalipun tanganku, begitu pula tak pernah cari kesempatan untuk tinggal berdua-dua dengan aku, m alah yang dem ikian itu dijauhinya. Tam paknya dia m enghindari hal-hal yang tak dikehendaki yang terbit dari gejolak hatinya yang rindu, yang dipandangnya sebagai sesuatu yang aib. Aku tidak tahu apakah dia atau aku yang telah berubah, tetapi sekarang aku m erasa bahwa aku setaraf dengannya. Aku sudah tidak lagi m enem ukan padanya apa yang kupandang sebagai kesahajaan yang m enarik hati, sekarang aku sering ingin m elihat dia sebagai bocah m anis yang penuh dengan kebahagiaan di hadapanku dan bukan sebagai laki-laki yang m enim bulkan rasa horm at dan keseganan pada diriku. “J adi beginilah sebenarnya orang ini!” pikirku. “Ia tak ada bedanya dengan aku—tak lagi ada bedanya.” Sekarang aku m erasa bahwa aku m engenali dia terus-m enerus—hingga aku m engerti padanya dengan lebih baik. Dan apa yang kulihat padanya tidaklah lain daripada kesederhanaannya yang m enyenangkan, yang cocok dengan aku. Bahkan rencananya tentang bagaim ana hidup berum ah tangga sam a saja dengan aku, hanyalah lebih jelas cara m enerangkannya. Ketika itu cuaca lagi buruk, dan ham pir seluruh waktu kam i habiskan di dalam rum ah. Pem bicaraan kam i yang paling m esra,

Rumah Tangga yang Bahagia 59 ialah di ruang tam u, di sudut antara piano dan jendela. Cahaya lilin m em antul pada kaca jendela yang kelam , dan di sana-sini, pada kaca jendela yang bersinar itu, hujan tak henti-hentinya m enitik untuk selanjutnya m engucur ke bawah. Suara hujan gemertak di atas atap dan suara air bergelucak di dalam talang, kelem baban m erem bes m asuk ke dalam jendela—ini sem ua hanyalah m enam bah kem eriahan, kecerahan, dan kegem biraan suasana. “Ada satu hal yang sejak lam a aku ingin katakan padam u,” ujarnya pada suatu sore tatkala kam i sedang duduk berdua di sudut kam ar yang kam i gem ari itu (sore itu ia m ulai datang terlam bat). “Aku terus-m en erus berpikir m en gen ai hal itu, sewaktu kau sedang bermain piano.” “J angan katakan apa-apa—aku tahu sem ua m eski kau tak m engatakannya,” kataku. Ia tersen yum . “Ya, ben ar juga—kita tak usah m em - b ica r a ka n n ya .” “Tidak, katakanlah apa itu?” “Baiklah, kalau begitu. Kau ingat kan, tentang cerita A dan B?” “Mana bisa lupa cerita yang dem ikian m enggelikan itu? Mem ang bagus m em bongkar apa-apa yang…” “Ya, sedikit saja aku lebih ketika itu, hancurlah kebahagiaanku karena ulah sendiri. Tetapi waktu itu pun sebenarnya aku tidak m engatakan hal yang sebenar-benarnya, dan itulah yang m engganggu pikiranku. Aku akan m enyelesaikan apa yang telah kumulai itu sekarang.” “Oh, jangan.” “Tak usah takut,” katanya tersenyum . “Yang kujelaskan hanyalah perkara diri sendiri. Kalau aku bicara, kuingin ada a la sa n n ya .” “Mengapa harus pakai alasan?” tanyaku. “Sam a sekali tak perlu itu.”

60 Leo Tolstoi “Tidak, bukan begitu. Dan dulu aku m em berikan alasan yang kurang baik. Ketika tiba di sini pada m usim panas ini, aku begitu yakin akan diri sendiri bahwa setelah kualam i segala kekecewaan dan kesalahan dalam hidup, maka cinta bagiku merupakan sesuatu yang tak m ungkin dan yang tinggal hanyalah tanggung jawab atas kelanjutan hidupku. Hingga sekian lama aku tidak mampu untuk m em aham i sifat perasaan yang ada dalam diriku terhadapm u, begitu pula terhadap akibatnya. Mengharap-harap sekalipun tak ada harapan. Namun, suatu hari kupikirkan kau akan jadi cantik jelita, lain hari, aku percaya pada ketulusan hatim u, dan entah apa yang harus kuperbuat. Akan tetapi sehabis m alam itu, kauingat, ketika kita jalan-jalan di dalam kebun, aku merasa takut akan diriku. Lalu kebahagiaanku sekarang ini, rasa-rasanya m elebihi apa yang kuharapkan—sangat jauh dari kem ungkinan yang ada. Coba pikirkan, apakah gerangan yang bakal terjadi andaikata aku tetap saja berharap-harap, sedangkan ternyata hasilnya sia-sia? Tentu saja pikiran itu hanyalah m engenai diriku sem ata-m ata, karena aku ini orang yang suka m em bikin sengsara diri sendiri.” Ia berhenti dan duduk m em andang padaku. “Akan tetapi, apa yang kukatakan ketika itu tidak sem uanya om ong kosong. Ada alasannya m engapa aku takut—m em ang sem estinyalah aku takut. Aku terlalu banyak m em inta darim u dan terlalu sedikit yang kuberikan padam u. Kau m asih anak-anak, baru berupa kuncup yang lagi m ulai m ekar. Cintam u cinta untuk pertam a kalinya, sedangkan aku….” “Katakan lah den gan jujur apakah….” kataku m em ulai, tetapi kem udian aku takut akan jawabannya. “Tidak, tak usah kaukatakan itu,” kataku, kutambahkan. “Maksudm u apakah aku pernah jatuh cinta sebelum ini? Bukan begitu?” tanyanya, begitu cepat dia m enangkap isi pikiran- ku. “Aku dapat m en gatakan n ya, tidak, tidak pern ah—tidak pernah m engalam i apa yang kurasakan sekarang ini….” Tetapi

Rumah Tangga yang Bahagia 61 di sini tam pak seperti ada kenang-kenangan yang pahit sedang m elintas dalam pikirannya. “Akan tetapi m eskipun dem ikian aku harus yakin bahwa hatim u jadi m ilikku pabila aku m encintaim u,” katanya sedih. “J adi, bukankah sudah sem estinyalah aku kaji dulu m asak-m asak sebelum kukatakan cintaku kepadam u? Apa yang bisa kuberikan padam u? Cinta, tak salah lagi.” “Apakah itu sedikit?” tanyaku, sam bil m enatap m atanya. “Sedikit sekali, sayang—terlalu sedikit untukm u,” jawabnya. “Kau rem aja lagi cantik. Sering kali aku tidak bisa tidur. Aku terlalu bahagia, aku terus-menerus memikirkan hidup kita bersam a. Telah lam a kukenyam kehidupan dan rasanya aku telah m endapatkan apa yang berm anfaat buat kebahagiaan—hidup tenang, m em encilkan diri di sini, di pedusunan, punya peluang buat m elakukan kebaikan terhadap orang lain—begitu m udahnya berbuat kebaikan buat m ereka yang tak m em butuhkannya, lalu bekerja, yang rasa-rasanya baru ada artinya kalau bisa m enikm ati waktu senggang, alam , buku, m usik, cinta dari seseorang yang tersayang—itulah cita-citaku tentang kebahagiaan, dan belum dapat kugam barkan apakah ada yang lebih bagus dari itu. Dan puncak dari segala-galanya—tem an hidup sem acam kau, sebuah keluarga, barangkali—tak lebih dari itu yang diingini seorang laki-laki.” “Ya,” aku m engiyakannya. “Terutam a laki-laki sem acam aku ini, yang sudah tidak m uda lagi,” ia m elanjutkannya. “Tetapi bukan kau. Kau belum lagi m engenyam kehidupan—kau m asih bisa m encari kebahagiaan dalam sesuatu, dan bisa saja m enem ukan sesuatu. Kau bisa saja berpikiran bahwa yang sekarang ini adalah kebahagiaan, oleh karena kau sedang mencintaiku.” “Tidak, aku selalu m enyukai kehidupan keluarga yang tenang, dan sem ua itulah yang aku m aui,” kataku. “Apa yang kaupikirkan, itulah pula yang selalu kupikirkan.”

62 Leo Tolstoi Ia tersenyum . “Kelihatannya saja begitu bagim u, Sayang. Itu belum cukup untukm u. Kau m asih m uda lagi cantik,” ulangnya sambil merenung. Aku gem as m en gapa dia tidak percaya padaku dan kelihatannya seperti m enyayangkan aku karena m asih m uda dan ca n t ik. “Kalau begitu m engapa kau m encintaiku?” kataku geram . “Apakah cintam u itu untuk kerem ajaanku atau untuk diriku?” “Tak tahu aku, tetapi aku m encintaim u,” jawabnya sam bil m enatap padaku dengan pandangan yang sungguh-sungguh dan mendesak. Aku tidak m enjawab, tetapi aku m enatap lurus-lurus ke dalam tatapannya. Suatu perasaan yang aneh m endadak m uncul di sekujur tubuhku—m ula-m ula aku berhenti m elihat kepada yang terdapat di sekelilingku, lalu wajahnya lenyap dan hanya sinar m atanya saja yang kian dekat kian dekat ke arahku, lalu m atanya itu ada dalam m ataku, dan segalanya m enjadi gelap— kupejamkan mataku kuat-kuat untuk menghindari perasaan nikm at dan rasa takut yang diterbitkan oleh tatapannya.... * CUACA J ADI CERAH sebelum hari perkawinan kam i. Malam pertam a m usim rontok yang cerah dan dingin datang m eng- gantikan hujan musim panas. Segala sesuatu basah, dingin, disinari m atahari, dan buat pertam a kalinya kebun terlihat dalam pem andangan m usim rontok—luas, cerah, nam un serba telanjang. Langit bersih, dingin, dan pucat. Aku pergi tidur, bahagia memikirkan bahwa besok pagi, pada hari perkawinan kami, cuaca akan bagus. Aku bangun bersam a terbitnya m atahari, dan sedikit terkejut dibarengi takut m em ikirkan yang bakal tiba di hadapanku.

Rumah Tangga yang Bahagia 63 Aku keluar, m asuk kebun. Matahari baru saja naik dan sedang m em ancarkan sinarnya yang berpendar-pendar m enem busi cabang-cabang pohon lim au yang kekuning-kuningan. J alan dusun tertutup daun-daun yang gem ersik. Buah ceri yang m engkerut pada sem ak-sem ak row an m em perlihatkan warnanya yang m erah m enyala pada tangkai yang daunnya tinggal sedikit, telah m ati dikerutkan oleh embun beku, pohon dahlia meranggas dan hitam. Buat pertam a kalinya em bun beku tam pak m em pertontonkan bunganya yang keperak-perakan di atas rerum putan yang hijau pucat dan di atas rum put burdock yang terinjak orang di dekat rum ah. Tak segum pal pun awan tam pak di langit yang bersih dan dingin, bahkan tak ada bekas-bekasnya. “Apa betul bisa terjadi hari ini?” aku bertanya pada diri sendiri, tak percaya pada rasa bahagia yang ada. “Apa betul besok pagi aku takkan lagi bangun di sini tetapi di rum ah yang asing itu, di rum ah yang berpilar di Nikolskoye? Apakah aku takkan lagi bercakap-cakap dengannya pada m alam hari bersam a Katya? Apakah aku takkan lagi duduk pada piano di sini, di kam ar duduk dengan dia di sam pingku? Atau m engantarkan dia sam pai ke pintu serta m engkhawatirkan keselam atannya tatkala ia pulang di m alam yang gelap?” Akan tetapi, kem arin dia m engatakan bahwa dia m asih akan datang untuk akhir kalinya, dan bahwa Katya telah m enyuruhku m encoba gaun pengantin dan berkata, “Sam pai besok.” Lalu untuk beberapa lam anya aku percaya itu, akan tetapi kem udian sangsi lagi. “Apa betul m ulai hari ini dan selanjutnya aku akan tinggal bersam a ibunya, tanpa Nadezha, Grigory tua, atau Katya? Apakah pada m alam hari aku takkan lagi m encium jururawatku yang tua dan m endengar m ulutnya m engucapkan ‘Selam at tidur Nona’, seperti selalu dikatakannya pabila ia tengah m em buat tanda salib ke atas badanku? Apakah aku takkan lagi m engajar Sonya atau berm ain dengannya atau m engetuk-ngetuk dinding kam arnya dan m endengar suara ketawanya yang cekikik-

64 Leo Tolstoi an? Apa betul hari ini aku akan m enjadi seorang yang asing bagi diriku sendiri, lalu suatu kehidupan baru akan terbuka di hadapanku sambil membawa perwujudan harapan dan mimpi- m im piku? Apakah betul kehidupan baru ini benar-benar buat selam a-lam anya?” Kutunggu Sergei Mikhailich dengan sabar, sangat berat untukku tinggal sendirian dengan pikiran-pikiranku itu. Ia datang lebih pagi dan hanya sesudah itulah aku m ulai percaya bahwa sejak hari itu untuk selanjutnya aku akan m enjadi istrinya, baru sejak saat itulah pikiran-pikiranku tak lagi menakut-nakuti aku. Sebelum waktu makan sore, kami pergi ke gereja untuk m enghadiri kebaktian buat ayahku. “Andaikata beliau m asih hidup!” pikirku ketika aku kem bali dari gereja, sam bil tanganku digenggam orang yang pernah jadi tem annya yang paling akrab. Tadi selam a berdoa, sam bil m enundukkan kepala hingga m enyentuh lantai gereja yang dingin, kubayangkan ayahku dem ikian hidupnya. Maka aku percaya sungguh-sungguh bahwa rohnya m engerti jiwaku dan ia m erestui pilihanku, bahwa sekarang bahkan rohnya sedang m elayang-layang di atasku. Aku pun m endengar ucapan restunya. Kenangan dan harapan, kegem biraan dan kesedihan, berpadu m enjadi satu hingga yang tinggal hanyalah perasaan syahdu dan m enyenangkan, selaras dengan udara tenang segar ini, dengan keheningan, padang terbuka, dan langit pucat bercahaya terang, tapi tak lagi panas bila m enyentuh pipi. Dalam pandangan m ataku laki-laki yang ada di sam pingku ini m engerti dan turut m erasakan apa yang sedang aku rasakan. Ia m elangkah pelan- pelan, sam a sekali tak berbicara, sedangkan m ukanya yang kulirik sebentar-sebentar tam pak seperti m em ancarkan perasaan syahdu yang sam a dengan yang aku rasakan—sebagian gem bira, sebagian sedih—serupa dengan yang ada dalam hatiku dan pada setiap yang ada di sekelilingku.

Rumah Tangga yang Bahagia 65 Tiba-tiba ia berbalik kepadaku, dan kulihat nyaris m engata- kan sesuatu. Terlintaslah dalam pikiranku, “Bisakah, apa yang akan dikatakannya itu lain daripada yang sedang kupikirkan?” Nam un ia m engatakan perihal ayahku, tanpa m enyebutkan nam anya, “Pada suatu kali pernah beliau m engatakan, ‘Nikahlah dengan anakku si Masha!’ Beliau sedang bergurau tentunya.” “Betapa ‘kan bahagia beliau sekarang!” jawabku, sam bil m enekan lengannya. “Ya, kau m asih kanak-kanak ketika itu,” dia m elangkah terus sam bil m enatap ke dalam m ataku. “Biasanya kukecup m atam u dulu, aku suka m atam u hanya karena m enyerupai m atanya, tak pernah terpikir bahwa matamu itu bagiku begitu indah demi mata itu sendiri. Pada waktu itu kupanggil kau Masha.” “Panggillah aku Masha sekarang.” “Mem ang baru saja,” katanya, “baru saja terpikir bahwa kau benar-benar m ilikku.” Dan tatapan yang tenang, bahagia, hinggap padaku. Kam i terus berjalan sepanjang jalan hutan yang jarang diinjak orang, lewat tunggul-tunggul jeram i, dan yang terdengar hanyalah langkah dan suara kami. Di sebelah kami, di seberang ngarai, tunggul-tunggul jeram i yang keperak-perakan m em bentang jauh sam pai ke hutan kecil yang gundul, dan sepanjang bentangan tunggul jerami itu, dengan diam-diam, seorang m uzhik sedang m em buat aluran hitam yang berangsur-angsur m elebar dengan bajak kayunya. Sekawanan kuda sedang m akan rum put di kaki bukit yang tam pak seperti dekat. Di sebelah lainnya, kelihatan ladang yang telah dibajak dan disem ai hingga ke dekat kebun, dan di belakangnya tam paklah rum ah kam i. Kini, em bun beku telah lumer sampai tanah pun jadi hitam, tetapi di sana-sini alur hijau tanaman gandum musim dingin mulai kelihatan. Matahari dingin m em ancarkan cahayanya yang gem ilang di atas segala yang tam pak. Dan ram at laba-laba m erentang di m ana-m ana,

66 Leo Tolstoi m elayang-layang, di udara, di sekitar kam i, dan m elekat di tunggul jeram i yang telah kering terbakar sinar m atahari, ram at itu pun sampai di mata dan rambut kami dan melekat di baju kam i. Pabila kam i bicara, suara kam i tergantung di udara yang diam tak bergerak seakan-akan hanya kam ilah yang ada di dunia ini—m enyendiri di bawah langit yang m elengkung biru tem pat m atahari bersinar berpendar-pendar dan m enyala-nyala nam un tak lagi panas sinarnya. Aku pun ingin m em anggil dia dengan sebutan m asa kecilnya, tetapi berat m en gatakan n ya. “Men gapa jalan cepat-cepat Seryozha?” kataku, dan m ukaku m erah padam . Dia m engendurkan langkahnya dan m em andang padaku, m asih dengan tatapannya yang kian m enyayang, wajahnya tam pak bahagia lebih dari yang sudah-sudah. Setiba di rumah kami, ibu Sergei Mikhailich dan para undangan sedang menunggu kami, karena itu kami pun tak lagi m enyendiri sam pai saat m eninggalkan gereja untuk kem udian naik kereta m enuju Nikolskoye. Ruangan di dalam gereja hampir kosong sama sekali. Di sisi sudut mataku, sang ibu berdiri tegak di atas permadani di choir. Katya m engenakan topi berpita ungu pada pinggirannya, di kedua belah pipinya tam pak butir-butir air m ata. Dua tiga orang pelayan rum ah m em andang padaku dengan pandangan yang serba ingin tahu. Aku tidak m elihat kepada Sergei Mikhailich, nam un kurasakan kehadirannya di sisiku. Kudengarkan tiap kata dalam doa dengan sungguh-sungguh dan kuulang kembali, akan tetapi dalam hatiku tak ada sam butan. Aku tak dapat m engucapkannya, lalu dengan jem u aku m em andang pada ikon-ikon, pada lilin-lilin, pada sulam an salib di punggung pendeta, pada ikonostatis, dan pada jendela, akan tetapi tak satu pun yang aku paham i. Yang kurasakan hanyalah bahwa ada suatu upacara yang sedang berlangsung untukku. Kem udian

Rumah Tangga yang Bahagia 67 pendeta m em balikkan badannya ke arah kam i dan m engingatkan bahwa ia telah mengkristenkan aku, dan bahwa kini Tuhan telah m em berkahi dia agar m engam bil aku sebagai istrinya. Katya dan ibu Sergei Mikhailich memberikan ciuman kepada kami, lalu kudengar Grigory m em anggil kereta kuda. Kem udian aku merasa heran dan khawatir, oleh sebab kuketahui bahwa segala sesuatunya usailah sudah, tak ada yang tak biasa, tak ada yang m enyerupai upacara yang berlangsung dalam hatiku. Dia dan aku berciuman, dan ciuman itu demikian janggal, demikian asing bagi cinta kam i! “Maka selesailah sudah,” pikirku. Kam i keluar m enuju pintu beranda gereja, dan bergem alah suara roda kereta kuda di bawah lawang portico yang m elengkung, dan di situ berhembuslah udara segar ke mukaku. Ia mengenakan topinya dan m em egang tanganku buat m em bantu aku m asuk ke dalam kereta. Dari jendela kereta, kulihat bulan membeku dan berkalang. Dia duduk di sisiku dan m enutup pintu kereta. Ada semacam rasa tertusuk dan sakit dalam hatiku. Perasaan terjamin oleh kehadirannya, kurasakan ham pir seperti m erendahkan derajat diriku. Kuden gar Katya berseru-seru supaya aku menutupi kepalaku, roda-roda kereta gemeletuk di atas batu- batu, kem udian di atas tanah yang em puk berangkatlah kam i. Aku m enghenyakkan diri ke sudut dan m elihat ke luar m elalui jendela kereta, m elihat ke arah ladang yang cerah jauh dan ke arah jalan yang m enjauh di bawah cahaya bulan yang dingin kelu. Aku tidak m elihat padanya, tetapi aku m erasa dia ada di dekatku. “Hanya begini saja saat yang kutunggu-tunggu itu?” pikirku, dan aku merasa seakan-akan diriku hina dina duduk sendirian di dekatnya. Aku berpaling kepadanya dengan m aksud m engatakan sesuatu, tetapi tak ada kata-kata yang keluar, aku m erasa seolah- olah kasih sayangku kepadanya jadi m enghilang diganti perasaan terluka dan takut.

68 Leo Tolstoi “Sam pai saat ini pun aku belum percaya bahwa hal ini benar- benar terjadi,” katanya lem ah lem but ketika m em balas lirikanku. “Ya, tetapi untuk sesuatu sebab aku m erasa takut,” kataku. “Apakah aku m en akutkan m u, Sayan g?” katan ya, sam bil m em egang tanganku serta m enundukkan kepalanya ke arah t a n ga n ku . Tanganku seperti tergeletak tak bernyawa dalam genggam annya, dan hatiku dingin. Akan tetapi ketika aku berkata dem ikian, jantungku m em ukul keras dan semakin keras, tanganku gemetar dan mencengkam pada tangannya. Aliran yang hangat m elanda sekujur tubuhku dan m ataku m encari m atanya dalam cahaya yang rem ang- rem ang. Seketika itu juga aku m erasa tak takut lagi kepadanya— bahwa ketakutan ini ternyata cinta—cinta baru, cinta yang lebih m esra dan lebih kuat dari cinta sebelum nya. Aku m erasa bahwa segenap diriku m iliknya, dan bahagialah aku karena kekuatannya menguasai diriku.

Bagian Kedua



6 HARI-HARI DAN MINGGU-MINGGU BERLALU, akhirnya dua bulan sudah kehidupan dusun yang tenang itu lewat dengan tak terasa. Berbareng dengan itu cinta, kem esraan, dan kebahagiaan selam a dua bulan itu rasanya cukuplah untuk seum ur hidup. Mim pinya dan m im piku, perihal bagaim ana selayaknya hidup di pedusunan, ternyata lain sam a sekali daripada yang kam i cita- citakan—m eskipun tidaklah jelek. Mem ang, apa yang kujum pai kini bukanlah hidup sebagaim ana kubayangkan sewaktu aku m asih jadi tunangannya, yakni hidup dengan kerja keras, penuh pengorbanan, dan bekerja untuk orang lain. Ini sebaliknya m alah, cinta yang ada hanyalah cinta untuk diri sendiri dan hasrat buat dicintai—keriangan yang tak terperikan serta tak berubah-ubah, lagi pula lupa terhadap segala yang ada di dunia ini. Kadang-kadang dia pergi ke kam ar kerjanya bersibuk diri dengan pekerjaan ini-itu. Kadang-kadang dia pergi ke kota untuk m engurus usahanya atau pergi berjalan-jalan ke sekitar

72 Leo Tolstoi tanah perkebunannya. Nam un aku m elihat bahwa agaknya berat baginya m eninggalkan aku. Dan kem udian diakuinya pula bahwa segala yang ada di dunia ini tam pak ham pa kalau tanpa aku, itulah sebabnya m engapa ia m erasa berat m eninggalkanku. Dem ikian pula aku. Aku m em baca, m enyibukkan diri dengan musik, dengan ibu mertua, pula dengan sekolah. Namun semua itu hanyalah karena ada sangkut-pautnya dengan dia serta untuk m enyenangkan hatinya. Akan tetapi, begitu aku m engerjakan yang lain, yang tidak sejalan dengan yang ada dalam pikirannya, hilanglah m inatku sam a sekali. Dan seperti aneh sekali tam paknya bahwa di dunia ini masih ada apa-apa lagi selain dia. Perasaan demikian boleh saja disebut picik, egois, namun dengan itu aku m erasa bahagia, m erasa di atas segala-galanya di dunia ini. Bagiku hanya dialah yang ada, dialah orang yang paling tak pernah salah di m uka bum i ini. Aku hidup hanya untuk dia, dan m enjadi orang yang dalam pandangan m atanya dialah yang m em ikirkan aku. Dan dia m enganggap akulah wanita yang paling elok dan paling baik di dunia ini, wanita yang dianugerahi segala sifat-sifat yang baik dan diusahakannya supaya wanita ini jadi seorang istri dem i seorang laki-laki yang tercakap dan terbaik di dunia. Pada suatu hari dia masuk kamar sewaktu aku sedang m engucapkan doa. Aku m elirik padanya sam bil terus berdoa. Dia duduk di kursi karena tidak m au m enggangguku, dan dibukanya buku. Akan tetapi aku m erasa bahwa dia m elihat padaku, dan m em andang ke sekitarku. Ia tersenyum , lantas tertawa. Aku tidak dapat melanjutkan berdoa. “Sudahkah kau berdoa?” tanyaku. “Ya, tetapi aku tidak m au m engganggum u. Aku akan keluar.” “Betulkah kau sudah berdoa?” Ia tidak m enyahut dan hendak keluar, tetapi aku m enahannya. “Ayolah berdoa, Sayang ... berdoalah untukku.”

Rumah Tangga yang Bahagia 73 Dia berlutut di sampingku dan mulailah merangkapkan tangannya secara kaku. Wajahnya tam pak sungguh-sungguh, tetapi dia diam saja, tak mengucapkan apa-apa. Sebentar- sebentar dia menoleh padaku, minta dibetulkan dan dibantu. Ketika selesai, tertawalah aku dan kulilitkan lenganku kepadanya. Mukanya m erah padam , lalu dicium nya tanganku. “Selalu kau! Selalu kau! Membuat aku kembali berumur sepuluh tahun.” Rum ah kam i m erupakan rum ah pedusunan yang tua, dalam rumah demikian ini beberapa keturunan pernah tinggal, bercinta dan saling menghormati. Segala sesuatu membangkitkan kenang- kenangan pada setiap yang berbau keluarga, yang sejak aku tinggal di situ aku pun term asuk di dalam nya. Tatyana Sem yonovria m elengkapi rum ah ini dengan perabotan yang sem uanya diatur m enurut gaya kuno. Sem ua yang ada di rum ah itu ham pir tak boleh dibilang m olek, m elainkan tum pah ruah, m ulai dari pelayan dan bujang sam pai perabotan dan barang m akanan, yang sem uanya kelihatan serba kokoh, bersih dan rapi, serta membangunkan perasaan takzim . Mebel di ruang duduk diatur secara sim etris, di situ potret-potret digantungkan di dinding, dan di lantai terhampar permadani hasil kerajinan. Di ruang tamu terdapat piano tua, m eja-m eja kecil dari dua m odel yang berlainan, sofa- sofa, lalu m eja-m eja yang bertatahkan warna keem asan. Mebel yang terbaik ada di kam arku, Tatyana Sem yonovna sendirilah yang m engaturnya dengan seteliti-telitinya. Di situ pun terdapat barang-barang dari pelbagai model, termasuk cermin jangkung yang pada m ulanya aku m alu m elihat diriku di dalam nya nam un kem udian jadi tem an yang kusayangi. Tatyana Sem yonovna tak pernah bicara keras-keras, nam un di rum ah itu segalanya berjalan seperti jarum jam sekalipun kelebihan pelayan. Akan tetapi pelayan yang berlebihan ini sem uanya m em akai sepatu bot yang tak bertum it dan tak berbunyi (Tatyana Sem yonovna punya anggapan bahwa cekitan

74 Leo Tolstoi sol sepatu dan ketukan tum itnya adalah suara yang paling tidak enak di dunia), dan semua orang ini merasa bangga akan jabatannya m asing-m asing. Mereka sem ua gem etar di hadapan nyonya tua, tetapi juga horm at dan takzim di hadapan suam iku dan aku, dan apa pun yang m ereka kerjakan dilakukannya dengan kesenangan yang luar biasa. Saban Sabtu lantai rum ah digosok dan permadani digebuki, pada hari pertama dalam setiap bulannya diadakan kebaktian, dan air diberkahi dengan doa. Pada hari pem berian nam a untuk Tatyana Sem yonovna dan untuk sang putra (kem udian aku juga, untuk pertam a kalinya pada m usim rontok) diadakan selamatan, dan semua tetangga diundang. Sem ua ini dilakukan kalau Tatyana Sem yonovna tidak lupa. Sang putra tak mau campur tangan dalam urusan rumah tangga, dia sendiri sibuk dengan kerja di ladang bersama para petani, dan dalam segala hal dia bekerja keras. Dia bangun pagi- pagi sekali, sekalipun dalam musim dingin, hingga ketika aku bangun dia sudah tidak ada. Biasanya dia m em erlukan pulang dulu buat makan siang bersama kami saja, dan hampir selalu pada waktu demikian, sehabis pusing dengan kerja berat di ladang, dia m enikm ati suasana perasaan yang khusus dan m e- nyenangkan, suasana hati yang kam i sebut “urakan”. Aku kerap bertanya kepadanya, ingin tahu apa yang dikerjakannya pagi itu, lalu dia ceritakan segala yang bukan-bukan hingga setengah m ati kam i tertawa terpingkal-pingkal. Adakalanya aku m endesak agar diberinya aku berita yang sungguh-sungguh, m aka diberinya aku sebuah—lalu dia berusaha m enahan senyum nya. Biasanya apa yang kulihat hanyalah m ata dan bibirnya saja bergerak-gerak— tak sedikit pun aku m engerti akan apa yang diterangkannya. Namun itu pun sudah cukup bagiku, asalkan telah melihat dia dan m endengar suaranya. “Apa saja yang telah kukatakan itu?” begitulah biasanya dia bertanya. “Ulangi.”

Rumah Tangga yang Bahagia 75 Akan tetapi tak satu pun yang dapat kuingat. Rasanya seperti aneh kalau bukan dia sendiri atau akulah yang dibicarakan itu m elainkan tentang sesuatu yang sam a sekali lain. Seakan-akan apa yang terjadi itu berlalu di dunia luar. Barulah di kem udian hari aku m ulai m engerti dan punya m inat dalam urusan pekerjaannya. Tatyana Sem yonovna tak pernah m eninggalkan kam arnya sebelum waktu makan sore, dia minum teh sendirian dan saban hari kami saling bertukar ucapan selamat pagi dengan perantaraan utusan-utusan. Dalam dunia kam i yang santai, riang lagi gem bira, suara dari pojok yang angker dan tertib itu dem ikian ganjil kedengarannya sam pai-sam pai sering kali aku tidak dapat menguasai diri. Dan tertawalah aku seketika itu juga apabila babunya, sam bil berdiri dengan tangan bersilang, m elaporkan dengan khidm at bahwa Tatyana Sem yonovna ingin m enanyakan perihal tidur kam i setelah jalan-jalan. Diberitahukannya pula bahwa dia sendiri merasa sakit pinggang semalam-malaman, dan anjing kam pung yang keparat itu m enggonggong terus sem alam - m alam an m engganggu tidurnya. Dia pun m enanyakan bagaim ana pendapat kam i tentang biskuit hari ini, dan diberitahukannya pula bahwa bukan Taras yang m em bakar kue itu m elainkan Nikolsha, untuk pertam a kalinya sebagai percobaan, dan sam a sekali tidaklah jelek terutam a krendelki-nya. Tetapi sayang, roti panggangnya ham pir hangus. Sebelum makan sore suamiku dan aku jarang bersama, aku bermain piano atau membaca, sedangkan dia menulis atau pergi lagi. Tetapi pada jam em pat biasanya kam i sekalian pergi ke ruang tamu. Maka m am an bertindaklah keluar dari kam arnya, dan para istri priyayi yang jatuh m iskin serta wanita- wanita saleh, yang senantiasa terdapat dua atau tiga orang di rum ah kam i, biasanya berm unculan. Setiap hari pada waktu yang tetap suam iku m engem pit lengan ibunya buat pergi m akan sore, dan sang ibu suka minta agar suamiku mengempit pula

76 Leo Tolstoi lenganku dengan tangannya yang lain, dan begitulah setiap kalinya kam i berjubel di pintu m em beri jalan satu sam a lainnya. Mam an -lah yang m em im pin m eja, dan obrolan yang diadakan sewaktu sedang makan sangat sopan dan tertib, malah boleh dikatakan agak khidmat. Namun kekhidmatan ini diringankan oleh obrolan antara aku dengan suam iku perihal soal yang biasa. Atau adakalanya oleh perdebatan antara sang putra dengan sang ibu, atau oleh sindiran-sindiran jenaka antara mereka satu sam a lainnya. Aku senang m endengarkan m ereka berdebat dan bergurau, oleh karena dengan cara demikianlah aku dapat m erasakan kecintaan di antara m ereka yang begitu dalam dan mesra. Setelah m akan sore m am an asyik m enyendiri duduk di kursi tangan di ruang duduk sambil melembutkan tembakau untuk dicium, atau memotong halaman-halaman buku baru, sedangkan suamiku membaca keras-keras atau pergi ke ruang tamu buat m ain piano. Kam i m em baca banyak pada waktu itu, tetapi m usiklah hiburan yang paling kam i gem ari. Musik m em beri dawai baru pada hati kami dan menambah baik kemampuan dalam m engem ukakan isi hati kam i m asing-m asing. Bila kum ainkan gubahan yang m enjadi kesayangannya, biasanya dia duduk jauh- jauh di sofa hingga aku ham pir tak dapat m elihatnya, dia m erasa m alu m em biarkan aku m em ainkan m usik yang berkesan di hatinya, dan perasaannya itu dicoba disem bunyikannya. Tetapi selalu pabila sedang tak diduga-duga olehnya, bangkitlah aku dari piano lalu pergi kepadanya sam bil m encoba m enangkap curahan perasaannya yang tersingkap pada wajahnya, pada m ata- nya yang bersinar-sinar nam un berlinangan air m ata, yang dicoba d it a h a n n ya . Acap kali m am an suka m engintip kam i pabila kam i sedang di ruang tam u. Akan tetapi, barangkali, ia m erasa takut juga kalau-kalau kam i m enjadi m alu karenanya. Dia berjalan m elewati

Rumah Tangga yang Bahagia 77 kam ar sam bil pura-pura m em perlihatkan m uka yang sungguh- sungguh. Namun aku tahu dia tidak ada keperluan apa-apa untuk m asuk ke dalam kam arnya, sebab tak lam a kem udian dia pun keluar lagi. Pada setiap kali seluruh perawat rumah berkumpul di ruang duduk pada sore hari, akulah yang m enuang tehnya. Kum pulan yang dem ikian khidm at di sekitar sam ovar yang m engkilap ini, cangkir-cangkir dan gelas-gelas yang beredar berkeliling ini, lam a m em buat diriku tersiksa. Taklah pantas rasanya, aku yang dem ikian m uda dan kecil ini m endapat kehorm atan untuk m em utar keran sam ovar yang begitu besar, m enaruh gelas-gelas di atas nam pan Nikita dan berkata, “Untuk Pyotr Ivanovich dan Marya Minichna,” dan kem udian bertanya, “Gulanya lagi?” Lalu sesudah itu aku pun harus m enyam paikan bongkahan gula untuk jururawat dan bujang-bujang yang m endapat hak istim ewa. “Bagus, bagus!” begitulah kerap kali suam iku berkata. “Benar-benar seperti nyonya rum ah yang sesungguhnya’’ dan kata-kata suamiku itu semakin membuat pikiranku tak keruan. Sesudah teh, m am an biasanya m enjejer-jejerkan kartu buat “m ancing” atau m enyuruh Marya Minichna m eram alkan nasibnya. Kem udian ia m encium kam i berdua dan m em buat tanda salib ke tubuh kami, maka kami pun pergi masuk kamar. Biasanya kam i duduk-duduk sam pai tengah m alam , dan itulah saat-saat yang paling baik dan m enyenangkan buat seluruh hari. Dia biasanya m enceritakan kehidupannya sem asa dulu, atau kami membuat rencana-rencana, dan kadang-kadang pembicaraan kami sampai ke soal-soal yang bersifat falsai. Kami berusaha berbicara pelan-pelan supaya tidak kedengaran sam pai ke atas—Tatyana Sem yonovna m inta supaya kam i tidur petang. Kadang-kadang, dengan perut keroncongan kam i pergi ke dapur untuk makan malam dengan makanan dingin, dan di bawah perlindungan Nikita makanlah kami di kamar duduk wanita.

78 Leo Tolstoi Hidup kami seperti orang asing di rumah besar ini, jiwa m asa lam pau yang kaku, serta wibawa Tatyana Sem yonovna kam i rasakan sebagai belen ggu. Bukan itu saja, m elain kan pelayan-pelayan tua, perabotan-perabotan, bahkan tirai-tirai m enim bulkan perasaan horm at dan takzim padaku—dengan disertai kesadaran bahwa ini bukanlah tem pat yang sebenarnya bagi kami, dan karena itu kami mesti hati-hati dan patuh selagi kam i, dia dan aku, tinggal di rum ah ini. Bila kuingat lagi sekarang, sadarlah aku bahwa m asih banyak hal m engenai rum ah ini—aturan yang tak pernah berubah yang m em batasi gerak- gerik setiap orang, dan di mana-mana terdapat barisan orang- orang yang hanya berm alas-m alasan dan serba ingin tahu—yang m enyesakkan dan bikin repot saja. Akan tetapi, dalam pada itu belenggu ini juga menambah besar cinta kami. Seperti aku, ia tak pernah m em biarkan dirinya tam pak tak senang. Malah sebaliknya, kelihatannya dia berusaha supaya ketidaksenangannya itu tidaklah tam pak. Setiap hari sehabis m akan sore, pelayan m am an yang gem ar m erokok, Dm itry Sidorov, suka masuk kamar kerja suamiku bila kami sedang di kamar tamu, dan dengan diam-diam ia mengambil tembakau dari dalam laci. Sungguh lucu melihat Sergei Mikhailich berjingkat-jingkat m engham piriku sam bil m engedip-ngedipkan m atanya, dengan telunjuk di bibirnya, m enahan diri supaya tidak tertawa, dan diajaknya aku m engintip Dm itry Sidorov, yang tidak m enyangka bahwa dia sedang diawasi. Maka—tanpa diketahuinya bahwa kam i ada di situ—Dm itry Sidorov itu pun keluarlah dari kam ar tersebut dengan gem bira karena yakin bahwa segala-galanya berjalan dengan beres. Sehabis itu suamiku suka mengatakan bahwa aku kelihatan cantik sekali, lalu dicium nya aku, seperti setiap kali dia punya kesem patan untuk m elakukan begitu. Kadang-kadang sikapnya yang tenang itu, yang tidak usil, yang tak m au am bil pusing, tidaklah m engenakkan perasaanku.

Rumah Tangga yang Bahagia 79 Kuanggap itulah kelem ahannya, nam un sekali-kali tak pernah kusadari bahwa sebenarnya aku pun dem ikian pula. “Seperti dia tak punya kem auan sendiri saja,” kataku dalam hati. “Mengapa, Sayang,” sahutnya pada suatu kali ketika kukata- kan padanya bahwa aku heran akan kelem ahannya itu, “m engapa aku harus ambil pusing akan semua itu pabila aku demikian bahagia? Adalah lebih m udah m em biarkan kelakuan diri sendiri daripada m em bengkokkan orang lain—sudah lam a aku yakin akan hal ini. Tak ada keadaan yang tak m em ungkinkan m erasa bahagia. Dan kita pun dem ikian pula, kau dan aku! Aku tak dapat m arah, untukku, sekarang, tak ada soal yang jelek—yang ada hanyalah kasih sayang dan kegirangan. Dan ingatlah, yang paling penting dari sem ua itu ialah le m ieux est l’ennem i du bien.1 Ketahuilah, bahwa pabila lonceng berbunyi atau ada surat yang tiba, diriku m erasa waswas dan cem as—dan tak ada yang bisa lebih baik daripada keadaan kita sekarang ini.” Aku m em percayainya, m eskipun tak m em aham inya. Aku m erasa bahagia dan apa pun yang tam pak padaku kuanggap m em ang begitulah sem estinya. Begitulah seharusnya bagi setiap orang, senantiasa, sekalipun yang terdapat di situ kebahagiaan lain—tidak lebih besar, m elainkan berlainan. Sesudah dua bulan kami hidup dengan cara demikian, datanglah m usim dingin yang m enggigilkan beserta salju. Dan meskipun suamiku tak mau jauh dariku, aku merasa kesepian. Aku m ulai m erasa bahwa hidup itu hanya m engulang-ulang saja— bahwa tak ada sesuatu yang baru dalam diriku dan dalam dirinya, dan bahwa kam i balik kem bali ke hal-hal yang lam a. Dia m ulai sibuk dengan urusannya sendiri tanpa aku, lebih dari yang sudah- sudah. Sedangkan aku m engkhayalkan bahwa dalam dirinya ada rahasia yang tak boleh aku tahu. Cintaku taklah berkurang, akan 1 Keadaan lebih baik m erupakan m usuh kebaikan.

80 Leo Tolstoi tetapi cinta itu berhenti sampai di situ saja, tak terus tumbuh, dalam pada itu perasaan baru yang m enggelisahkan m enyelinap dalam hati. Agaknya tidaklah cukup untuk sekadar bercinta saja sesudah tercapai puncak cintaku terhadapnya. Aku ingin lebih banyak gerak daripada arus hidup yang tenang seperti ini. Aku m enginginkan bahaya dan kegem paran. Aku ingin m engorbankan diriku sendiri dem i cinta. Tenagaku yang dem ikian m elim pah- lim pah ini tak punya jalan keluar dalam hidup kam i yang dem ikian tenang. Aku terjangkit penyakit m urung, yang kucoba sem bunyikan dari padanya, juga kualam i saat-saat kerinduan yang tak tertahankan serta kegairahan yang m enakutkan dia. Dia m engetahui hal itu sebelum nya, dan disarankan supaya aku pergi ke kota, akan tetapi aku m enentangnya. Aku m inta agar dia tidak mengubah atau menambal sulam kehidupan, agar dia tidak m engurangi kebahagiaan kam i yang ada. Dan m em ang aku bahagia, akan tetapi yang m enggangguku ialah bahwa kebahagiaanku itu taklah diperoleh dengan susah payah, tak ada pengorbanan sama sekali, sedangkan hasrat untuk bersusah payah dan untuk berkorban sedem ikian m enggoda diriku. Aku m encintai dia dan kuanggap bahwa diriku hanyalah untuknya, namun demikian aku ingin agar cintaku itu terlihat oleh semua orang, aku ingin agar orang-orang itu mencoba merintangi cintaku terhadapnya, lalu apa yang kem udian kudapatkan ialah bahwa usaha mereka itu sia-sia belaka. Pikiran dan juga perasaan kasih sayangku tetap ada, nam un di situ pun terdapat perasaan lain—perasaan rem aja, kebutuhan untuk m elakukan sesuatu yang menggemparkan karena tidak terdapat kepuasan dalam hidup kam i yang tenang. Mengapa dia katakan kami dapat pergi ke kota bilamana saja aku m enginginkannya? Andaikata dia tak berkata begitu, boleh jadi aku sadar bahwa perasaan yang m enggoda diriku itu m erupakan kedunguan dan kehinaan. Kesalahanku ialah tak

Rumah Tangga yang Bahagia 81 m enyadari bahwa kesem patan untuk berkorban sebagaim ana yang kurindukan itu letaknya bertentangan dengan perasaan yang ini. Perasaan bahwa aku bisa m enyelam atkan diriku sendiri dari kejem uan dengan hanya pindah ke kota saja. Perasaan dem ikian terus-menerus mengganggu diriku. Tetapi bersamaan dengan itu aku pun merasa kasihan dan malu untuk menjauhkan suamiku dari segala yang ia cintai, hanya dem i kepentinganku saja. Hari-hari melangkah dengan terseret-seret, salju bertimbun makin tinggi sekeliling rumah, mata kami tak pernah lepas m em andang satu sam a lainnya, kam i selalu bersam a-sam a. Sedangkan di kota, di tem pat-tem pat yang hiruk-pikuk, kerum unan orang-orang yang tahu apa arti kegem paran, penderitaan, dan keriangan tidaklah mau tahu terhadap kami dan terhadap kehidupan kam i yang m engalir dengan tenangnya. Hal yang paling jelek bagiku ialah perasaan bahwa kebiasaan- kebiasaan itu telah memaksa kehidupan kami jadi suatu bingkai kelazim an, bahwa cinta kam i bukannya bebas m alah jadi tunduk pada waktu, waktu yang dingin dan m em encilkan diri. Pagi-pagi kami gembira, sewaktu makan sore suasana resmi, malam hari, mesra. “Berkelakuanlah yang baik,” kataku kepada diri sendiri. “Adalah bagus untuk berkelakuan baik dan jujur seperti yang selalu dia peringatkan padaku, tetapi buat itu semua bukankah masih ada waktu? Ada hal lainnya yang m esti kulakukan kini, sedangkan aku pun punya kekuatan untuk m elakukannya.” Berkelakuan baik bukan lah hal yan g kuin gin kan —aku m en gin gin kan ke- gem paran. Aku ingin agar cintalah yang m engatur hidup dan bukan hidup yang m engatur cinta. Aku ingin pergi ke ujung tepi jurang yang curam bersam a dia, dan berkata, “Selangkah lagi aku maju, binasalah aku seketika.” Maka, pucat bagaikan m ayat, dia lantas m engangkatku dengan lengannya yang kuat

82 Leo Tolstoi dan mendekapku sejenak di atas karang curam hingga jantungku diam tak berdegup, sesudah itu dipayangnya aku pergi. Pikiran-pikiran demikian ini mempengaruhi kesehatanku dan m engacaubalaukan urat sarafku. Pada suatu pagi aku m erasa kurang sehat tidak seperti biasanya, dan dia pun pulang dari pekerjaannya dengan m uka yang m asam , yang jarang terjadi padanya. Segera wajahnya kuperhatikan, lalu kutanyakan sebabnya. Nam un dia tidak m engatakan apa-apa—katanya tidak baik untuk diceritakan. Lain kali baru aku tahu bahwa pada hari itu perwira polisi distrik, yang tidak senang pada suam iku, telah m em anggil beberapa orang m uzhik yang bekerja pada kami serta memperlakukan mereka dengan sewenang-wenang, dan m engancam nya pula. Suam iku tidak m au m enganggap sepi persoalannya, dan karena itu sangat m em engkalkan hatinya hingga dia tak m au m engatakannya kepadaku. Tetapi aku m engira bahwa dia m enganggapku seorang anak kecil yang takkan m am pu m engerti apa yang sedang dim asygulkannya. Aku m em balikkan badan dan berdiam diri. Marya Minichna yang tinggal bersam a kam i, kusuruh m enanyakan apakah dia m au m inum teh. Sehabis m inum teh, yang kusudahi dengan segera, kubawa Marya Minichna ke ruang tam u, dan m ulailah aku bicara keras- keras di situ tentang segala tetek-bengek, soal-soal kecil yang paling tidak kusenangi. Suamiku berjalan turun-naik tangga, sam bil sebentar-sebentar m elem parkan pandangannya ke arahku. Caranya itu m em buat diriku sem akin keras-keras berbicara, m alah tertawa-tawa segala. Sekaliannya seperti tam pak lucu—segala yang kukatakan dan segala yang dikatakan Marya Minichna. Akhirnya dia pun pergi ke ruang kerjanya tanpa berkata apa-apa, lalu m enutup pintu. Begitu dia pergi, begitu kerianganku lenyap, dem ikian cepatnya hingga m em buat Marya Minichna gelisah dan bertanya ada apa. Aku tidak m enyahut, duduk saja di sofa, nyaris m en a n gis.

Rumah Tangga yang Bahagia 83 “Apa yang dia jengkelkan?” aku bertanya-tanya. “Om ong kosong apa yang dianggapnya penting itu, tetapi apa yang tam pak padanya itu hanyalah segala yang tetek-bengek belaka. Walaupun dem ikian aku m alah dianggapnya takkan m engerti— dia m enghinaku karena harga dirinya serta kelebihannya dan ingin hanya dialah yang selalu benar. Tetapi aku pun benar kalau kukatakan bahwa aku jemu dan hampa akan kehidupan ini, karena itu aku ingin hidup, ingin bergerak terus. Aku ingin agar setiap hari, setiap m enit, ada hal-hal yang baru, sedangkan dia m au diam m elulu, dan diam nya itu bersam a aku pula. Dan alangkah m udah baginya m elakukan yang dem ikian itu! Dia takkan m au m em bawaku ke kota, dia hanya m enginginkan agar aku tetap seperti aku ini—sederhana, tenang, tak perlu jual tam pang. Dia m enasihatiku supaya aku sederhana, tetapi dia sendiri tidak sederhana. Macam itulah dia!” Benar-benar hatiku m erasa tertusuk, jengkel pula dibuatnya. Hal itulah yang m enjadikan hatiku waswas, karena itu aku pergi kepadanya. Dia sedang duduk di kam ar kerjanya, sedang m enulis. Ketika didengarnya langkahku, ia pun m em andangku sejenak dengan tenang dan tertib, kem udian m enulis lagi. Aku tak suka pandangan m ata yang dem ikian, karena itu aku tetap saja berdiri di situ di dekat m eja dan bukan m endekati dia. Kubuka buku, lalu kubukai halam an-halam annya. Ia m elem parkan pandangannya lagi ke arahku. “Apakah tidak m erasa enak badan, Masha?” tanya dia. Kubalas dengan dingin, “Mengapa m enanyakan? Apa m aksud basa-basi ini?” Dia m enggeleng-gelengkan kepalanya sam bil tersenyum tersipu-sipu dan m esra. Untuk pertam a kalinya aku tidak m em balas senyum nya itu. “Apa yang terjadi hari ini?” aku bertanya. “Mengapa kau tak m au m engatakannya?”

84 Leo Tolstoi “Tak ada yan g pen tin g. H an ya ada sedikit yan g tak m en gen akkan ,” jawabn ya. “Walaupun dem ikian baiklah ku- katakan sekarang. Dua-tiga orang m uzhik pergi ke kota….” Aku tidak m em biarkan dia m en eruskan kata-katan ya. “Men gapa kau tidak m en ceritakan n ya tadi sewaktu sedan g minum teh?” “Aku ingin m engatakannya, sayang sekali tadi aku sedang m ar ah .” “Tadi itulah aku ingin m endengarkannya, bukan sekarang!’ “Men ga p a ?” “Mengapa kau m engira bahwa aku tidak bisa berbuat apa- apa untukmu?” “Begitukah aku?” katan ya, sam bil m en jatuhkan tan gkai penanya. “Aku m erasa bahwa aku tidak bisa hidup tanpa kau. Kau m em bantuku dalam segala hal, segala, m alah bukan saja m em bantuku, tetapi kaulah yang m elakukan segalanya. Kau lin glun g!” katan ya tertawa. “Kau adalah seluruh hidupku. Segalanya bagus bagiku hanyalah karena kau ada di sini—karena aku membutuhkanmu.” “Ya, aku tahu itu—akulah anak m anis dan tersayang yang harus diam itu,” kukatakan itu dalam nada yang m em buat dia melongo melihat padaku, seperti baru melihatku untuk pertama kalinya saja. “Aku tidak m au diam . Itu sudah cukup ada pada dirim u—lebih dari cukup,” kutam bahkan. “Kalau begitu, baiklah,” buru-buru ia m em oton g pem - bicaraanku, seperti takut membiarkan aku mengakhiri kata- kataku, “apa m aum u sekarang….” “Sekarang aku tidak m au m enden garkan lagi soal itu,” kataku. Aku sebenarnya ingin m endengarkan, tetapi aku juga senang m engganggu ketenangannya. “Aku tidak m au berm ain- m ain dalam hidup—aku m au hidup, seperti kau.”

Rumah Tangga yang Bahagia 85 Rom an yang sakit dan perhatian yang tertekan tam pak pada wajahnya yang perasa. “Aku in gin diperlakukan sebagai sesam a. Aku in gin ….” Tetapi aku tak dapat m elanjutkannya—kesedihan seperti itulah, kesedihan yang dem ikian dalam itulah, yang tam pak sedang m eliputi dirinya. Dia diam beberapa saat. “Tetapi dalam hal apakah aku tidak m em perlakukanm u sebagai sesam a?” tanyanya. “Apakah karena aku dan bukan engkaulah yang pergi berurusan dengan polisi dan m uzhik- m uzhik yang m abuk itu?” “Bukan hanya itu.” “Cobalah m em aham i diriku, Sayang,” ia m elanjutkan kata- katanya. “Aku tahu bahwa rasa cem as selalu m enyakitkan hati. Aku sudah cukup m akan garam untuk m engetahui hal serupa itu. Aku m encintaim u dan karena itu aku tak betah untuk turut serta dalam kecem asanm u. Cintaku cinta untuk seum ur hidup, karena itu janganlah m engam bil sesuatu yang kupandang berharga dalam hidup ini.” “Kau selalu betul,” kataku tanpa melihat kepadanya. Aku kesal bahwa segala yang ada dalam hatinya jadi terang kembali dan tenang, sedangkan dalam hatiku masih terkandung kekesalan dan apa-apa yang serupa dengan kesebalan. “Masha! Apakah yang m enyulitkanm u?” katanya. “Soalnya bukanlah siapa di antara kita yang benar, m elainkan apakah yang berlainan itu. Mengapa engkau m arah padaku? J angan berkata dulu sebelum kaupikirkan betul-betul, sesudah itu baru m engatakan segala sesuatunya. Kau tak puas denganku, dan m ungkin itu betul, hanya saja terangkan dengan sejelas-jelasnya di mana letak kesalahanku.” Tetapi mana bisa aku membukakan seluruh isi hatiku kepadanya? Kenyataan bahwa ia m engerti seketika itu juga terhadap diriku, itulah pula yang m em buat diriku m erasa sebagai

86 Leo Tolstoi anak kecil kembali, bahwa aku tak dapat berbuat apa-apa, sekalipun dia tidak m elihatnya dan m enduga-duganya pula, m alah itulah yang sem akin m engacau-balaukan pikiranku. “Aku tidak m arah padam u,” kataku, “aku hanya jem u saja dan tidak m au jem u. Tetapi yang kaukatakan m em ang begitulah adanya dan kaulah yang benar.” Pada waktu m engatakan itu aku m em andang padanya. Tercapailah yang aku kehendaki—ketenangannya hilang, wajah- nya m em bayangkan hati yang sakit dan m engisyaratkan tanda b a h a ya . “Masha,” ia m ulai dengan suara yang rendah dan m enyerang. “Apa yang kita lakukan ini adalah soal yang sungguh-sungguh— apa yang kita putuskan ini adalah soal nasib kita. Aku bertanya padamu bukan untuk dijawab, tetapi untuk didengarkan. Mengapa engkau m au m enyiksa diriku?” Tetapi aku m enyelanya. “Apa pun yang kaukatakan m esti benar, aku tahu itu, dengan begitu kau tak perlu mengatakan apa pun,” sahutku dingin, seolah-olah bukan aku tetapi setanlah yang ada di ujung lidahku. “Sekiranya kautahu apa yang kaukatakan itu!” serunya. Dan menangislah aku seketika itu juga, namun hatiku merasa lega sesudahnya. Ia duduk di sisiku dan berdiam diri. Aku m erasa kasihan padanya dan m erasa m alu pula atas kelakuan diriku serta m enyayangkan perbuatanku itu. Mataku sedang tidak m elihat padanya, nam un aku m erasa bahwa tentunya m atanya sedang m en atapku tajam -tajam atau m en yala-n yala. Aku ten gadah, pandangan yang cakap dan lem but sedang ditujukan padaku, seolah-olah sedang m em inta m aaf. Aku pegang tangannya dan berkata, “Maafkan aku. Aku tak tahu apa yang telah kukatakan.” “Tidak, akulah yang salah, dan kaulah yang benar.” “Ap a ?”

Rumah Tangga yang Bahagia 87 “Kita m esti pergi ke St. Petersburg. Kita tak bisa berbuat apa- apa di sini.” “Terserahlah,” kataku. Dia memelukku dan menciumku. “Maafkan aku,” katan ya. “Aku telah berlaku tak adil t er h ad ap m u .” Pada m alam itu lam a sekali aku berm ain piano untuknya, sedangkan ia m elangkahkan kakinya m engitari kam ar sam bil m em bisikkan sesuatu pada dirinya. Kebiasaannyalah berbisik- bisik dem ikian dan kerap kali kutanyakan padanya apa yang sedang diucapkannya itu, dan dia selalu m engatakannya kepadaku— biasanya puisilah yang tengah diucapkannya itu atau sekadar menggumam-gumam saja, tetapi dia tak pernah memberitahukan apa yang sedang dipikirkannya. “Apa yan g sedan g kaubisikkan hari in i?” tan yaku. Dia berhenti, berpikir sebentar, dan sam bil tersenyum dikutipnya dua baris dari sajak Lerm ontov: Nam un si gila, dia pergi m encari badai Seolah taufan bisa m em beriny a perasaan dam ai! “Dia bukan hanya seorang laki-laki belaka—dia tahu segala- galanya!” pikirku. “Mana bisa aku tak m encintainya?” Aku berdiri, kupegang tangannya, dan m ulailah aku berjalan bersam anya, sam bil berusaha m enahan langkah. “Betul?” tanyanya, sam bil tersenyum padaku. “Ya,” gum am ku. Dan perasaan gem bira bahagia m elanda diri kami berdua. Mata kami berseri-seri dan langkah kami kian panjang kian panjang, semakin berjingkat-jingkatlah kam i berjalan. Begitulah cara kam i berjalan m elewati kam ar- kam ar, agar tidak m enim bulkan kegusaran pada Grigory dan keheranan pada m am an yang sedang “m ancing” di kam ar duduk.

88 Leo Tolstoi Sesam painya di kam ar m akan, berhentilah kam i, lalu saling berpandangan, kemudian meledaklah tertawa. Dua minggu kemudian, tepat sebelum liburan, kami sudah berada di St. Petersburg.

7 DENGAN MENGINAP SEMINGGU di Moskow dalam perjalanan kam i ke St. Petersburg, m aka jalan, kota-kota yang baru, kaum kerabatnya dan kaum kerabatku, sem ua itu lewat bagaikan dalam mimpi. Segala sesuatu begitu berlainan, begitu baru dan riang, begitu hangat dan cemerlang diterangi oleh kehadiran dan cintanya, sehingga kehidupan kam i yang tenang di desa tam paknya seperti serba udik dan bukan apa-apa. Yang m eng- herankan ialah sam butan m ereka. Tadinya aku m enyangka bahwa orang-orang bangsawan angkuh-angkuh dan dingin. Ternyata m ereka m enyam butku dengan keram ah-tam ahannya yang sejati dan hangat, baik m ereka yang tak kukenal m aupun kaum kerabat. Seolah-olah m ereka itu hanya m em ikirkan aku belaka—dengan menantikanku saja mereka tampak seperti bahagia. Tak disangka suam iku banyak pula kenalannya di kalangan kaum bangsawan, dan m enurut penglihatanku justru kenalan-kenalannya yang tak pernah diperlihatkan kepadakulah yang terbaik. Kerap kali

90 Leo Tolstoi rasanya aneh dan tak sedap didengar kritiknya yang pedas terhadap beberapa orang dari kalangan ini, yang begitu baik hati tam paknya dalam pandanganku. Aku tidak dapat m engerti mengapa dia memperlakukan mereka begitu dingin, atau m engapa dia berusaha m enghindari sebagian besar kenalannya, yang m enurut anggapanku pastilah m engasyikkan kalau sudah kenal. Kurasa, sem akin banyak kenalan orang baik-baik sem akin bagus, sedangkan mereka itu bukankah orang-orang baik juga? Sebelum kam i m eninggalkan dusun, dia berkata, “Setelah keluar dari sini, nanti kita akan seperti Croeso kecil, kita akan m erasa sengsara, sebab itu kita pun hanya akan tinggal di kota sam pai Paskah saja, dan jangan terlalu banyak m asuk dalam pergaulan kalau tidak mau tenggelam dalam hutang. Dan khusus untuk kau, aku tidak menginginkan....” “Un tuk apa m asuk dalam pergaulan ?” jawabku. “Kita hanyalah m au m engunjungi saudara-saudara kita dan m elihat sandiwara serta m endengarkan m usik yang bagus, sesudah itu kembali ke dusun sekalipun sebelum Paskah.” Tetapi tak lama sesudah kami tiba di St. Petersburg semua rencana itu lupalah sudah. Aku m endadak betah di dunia baru yang dem ikian m enarik hati ini, pula begitu banyak hal yang m enyenangkan sekeliling diriku, begitu banyak pem andangan baru yang m enarik hatiku, hingga lantas saja aku, m eski tak kusadari, terlepas dari segala masa lampauku, terlepas pula dari rencana-rencana yang kubuat di m asa yang lalu. “Tak jadi apa itu—hanya sekadar perm ulaan—inilah kehidup- an yang sebenarnya. Dan m asih banyak lagi di depanku!” begitulah pikirku. Keengganan dan kejem uan yang m em berati ketika aku di dusun lenyap bagaikan disulap. Cintaku kepada suam iku m akin tenang, aku m erasa tak perlu risau andaikata cintanya jadi berkurang kepadaku. Aku tak m enyangsikan lagi cintanya—setiap persoalan segera kupaham i, setiap perasaanku ditanggapinya,

Rumah Tangga yang Bahagia 91 setiap keinginan terpenuhi. Dan lagi sikapnya yang tenang itu seperti telah hilang tam paknya, atau sekurang-kurangnya tidak lagi mengganggu perasaanku. Dan aku merasa bahwa di samping cintanya yang lam a, di sini ia punya rasa kekagum an yang baru terhadapku. Sehabis berkunjung atau berkenalan dengan kenalan yang baru, ataupun sewaktu sedang di apartem en kam i pada sore hari, ketika aku bertugas selaku nyonya rum ah, dengan hati berdebar-debar karena takut membuat kesalahan, kerap kali dia berkata, “Nah, begitu! Tak usah takut-takut—bagus sekali apa yang kaulakukan itu!” Ini m em buat diriku m erasa am at bahagia. Dan kemudian, tak lama setelah kami tiba, dia menulis surat kepada ibunya, dan sewaktu aku dipanggilnya untuk m em bubuhkan sedikit pada surat itu, apa yang telah ditulisnya itu coba disem bunyikannya dariku hingga karena itulah aku m endesak supaya aku bisa juga m em bacanya. “Ibu tak pernah m engenal siapa Masha,” tulisnya. “Saya sendiri juga tidak. Begitu baik hati, m anis dan jelita, cerdas dan m ulia sebagai layaknya seorang bangsawan, dan sem ua itu begitu wajar, terpuji, dan ram ah-tam ah. Setiap orang tertarik padanya, term asuk aku sendiri. Aku m encintainya lebih dari yang sudah- sudah sekiranya yang dem ikian dapat terjadi.” “J adi, sem acam itulah diriku!” pikirku, dan hal itu m em - buat aku bahagia! Rasa-rasanya aku pun m akin m encintainya. Keten aran ku di lin gkun gan ken alan kam i di luar dugaan . Kudengar tentang diriku dari segenap penjuru. Di rum ah yang ini aku terutam a disenangi pam anku, di rum ah yang lain bibilah yang tergila-gila padaku, ada juga yang m engatakan bahwa di St. Petersburg tak ada wanita yang m enandingiku, m alah di antara wanita-wanita ada yang m eyakinkanku bahwa aku akan menjadi wanita paling jelita di dalam kalangan bangsawan bila aku m au. Putri D., teristim ewa, saudara sepupu suam iku yang sulung, teram at sayang kepadaku, dan m encum buiku lebih dari

92 Leo Tolstoi orang lainnya, hingga m em usingkan. Pertam a kalinya putri ini m engundangku agar aku hadir pada pesta dansa, dan m enanyakan kepada suamiku apakah dia tidak keberatan. Suamiku menoleh kepadaku, dan dengan senyum nya yang m asih kentara walaupun disem bunyikan dia bertanya kepadaku apakah aku ingin pergi. Aku m engangguk dan m ukaku jadi m erah padam . “Kau tak usah m erasa seperti telah m elakukan kejahatan hanya karena m engatakan ingin pergi,” katanya sam bil tersenyum wajar. “Tetapi kaukatakan bahwa kita tak usah m asuk ke dalam pergaulan, lagi pula kau tak m enyenanginya,” sahutku dengan senyum pem belaan. “Kita akan pergisekiranya kau benar-benar m enginginkannya,” ka t a n ya . “Tetapi aku tidak punya pikiran harus pergi.” “Tetapi kau ingin, ‘kan? Ingin sekali?” Aku tidak m enjawab. “Pergaulan tidaklah buruk, tetapi hasrat duniawi yang tak m au puas itulah yang buruk dan jelek. Kita akan pergi … pasti,” katanya tegas. Kam i pergi, dan hatiku bukan m ain girangnya. Di pesta dansa, lebih dari yang sudah-sudah, aku m erasa bahwa di tem pat itu akulah yang m enjadi pusatnya—bahwa ruang yang dem ikian besar itu serasa dinyalakan untukku saja, begitu pula m usik yang dimainkan, serta kerumunan orang-orang dalam pertemuan itu. Setiap orang, m ulai dari penata ram but dan pelayan wanita hingga para penari dan kakek-kakek yang berjalan hilir-m udik di ruangan itu tampak seperti sedang membicarakan aku atau memberitahu agar aku mengerti bahwa mereka mencintaiku. Um um nya pem bicaraan di pesta dansa itu, sebagaim ana yang disampaikan oleh sepupu suamiku, bahwa menurut anggapan m ereka aku ini benar-benar tak seperti wanita-wanita yang ada


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook