Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Candide

Candide

Published by Digital Library, 2021-01-29 15:19:46

Description: Candide oleh Voltaire

Keywords: Voltaire

Search

Read the Text Version

CANDIDE 135 Kelim a raja yang lain m endengarkan dengan penuh penger- tian. Masing-masing memberikan dua puluh sequin kepada Raja Theodore, untuk m em beli pakaian. Candide m enghadiahkan sebutir berlian yang bernilai dua ribu sequin. “Wah, siapa orang ini?” tanya kelim a raja, “yang m am pu m em berikan hadiah seratus kali lebih besar dari kita, dan yang m au m em berikannya?” Pada saat mereka keluar dari meja makan itu, ke hotel itu juga berdatangan pula em pat orang Yang Mulia, yang juga telah kehilangan negara m asing-m asing gara-gara perang, dan yang datang m enonton sisa karnaval Venesia. Nam un Candide tidak m engacuhkan tam u-tam u yang baru datang itu, dia hanya sibuk m em ikirkan rencananya m encari Cunegonde kekasihnya tercinta di Istanbul.

27 PERJALANAN CANDIDE KE ISTANBUL CACAMBO YANG setia itu telah m endapat izin dari pem ilik kapal bangsa Turki yang akan m engantar kem bali Sultan Ahm ed ke Istanbul bahwa dia boleh m engajak Candide dan Martin untuk turut m enum pang kapal itu. Kedua-duanya naik ke kapal, setelah berlutut di hadapan Yang Mulia sultan sengsara itu. Dalam perjalanan Candide berkata kepada Martin, “Kita telah berjum pa dengan enam orang raja yang diturunkan dari takhta. Kita telah m akan m alam bersam a m ereka, m alahan saya telah m em beri sumbangan kepada salah seorang di antara mereka. Mungkin ada banyak pangeran lain yang nasibnya jauh lebih jelek. Untunglah saya hanya kehilangan seratus kam bing, dan kini saya sedang terbang ke pelukan Cunegonde. Martin yang baik, sekali lagi terbukti bahwa Pangloss benar, segalanya berjalan baik.”

CANDIDE 137 “Mudah-m udahan,” sahut Martin. “Om ong-om ong,” kata Candide, “pengalam an kita di Venesia itu hampir tidak masuk akal. Tidak pernah orang melihat atau m endengar bahwa enam orang raja yang diturunkan dari takhta makan malam berbarengan di sebuah restoran.” “Ah, tidak ada yang luar biasa,” jawab Martin, “jika diban- dingkan dengan sebagian besar kejadian yang telah kita alam i. Bahwa raja dapat diturunkan dari takhta itu soal biasa. Mengenai kehorm atan yang telah kita dapat untuk m akan m alam bersam a m ereka, itu persoalan sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan.” Begitu m asuk di kapal, Candide m elom pat m em eluk bekas pelayannya, sahabatnya Cacam bo. “Ayo ceritakan,” katanya, “apa yang dilakukan Cunegonde sekarang? Apakah dia m asih tetap cantik jelita? Masih cintakah dia kepadaku? Dia sehat-sehat saja? Mungkin kau telah m em belikannya istana di Istanbul?” “Tuanku yang baik,” jawab Cacam bo, “kini Cunegonde m en- jadi tukang cuci piring di tepi Sungai Propontide, di istana pange- ran yang m em punyai sedikit sekali piring. Dia m enjadi budak belian di rum ah bekas penguasa yang bernam a Ragotski. Dalam pengasingannya, pangeran itu m endapat tiga ecu setiap hari. Nam un, satu hal yang lebih m enyedihkan lagi, adalah bahwa dia telah kehilangan kecantikannya, dan m enjadi bukan m ain jelekn ya .” “Ah, cantik atau jelek,” sam bung Candide, “saya kan pem uda baik-baik. Sudah m enjadi kewajibanku untuk tetap m encintainya. Tetapi dengan lim a atau enam juta yang kuberikan kepadam u, nasib buruk apakah yang telah m enjadikannya begitu jelek?” “Baiklah,” kata Cacam bo, “bukankah saya harus m em be- rikan dua juta kepada Senor don Fem ando d’Ibaraa, y Figueora, y Mascarenes, y Lam pourdos, y Souza, Gubernur Buenos Aires itu, agar m em peroleh izin untuk m engajak Cunegonde pergi? Dan ketahuilah bahwa perom pak telah m eram pas sisanya seluruhnya

138 Voltaire dari kam i secara gagah berani? Ketahuilah pula bahwa para perompak itu telah membawa kami ke tanjung Matapan, ke Milo, ke Nicarie, ke Samos, ke Petra, ke Dardanella, ke Marmara, ke Scutari? Cunegonde dan si Nenek m enjadi pelayan pangeran yang tadi telah saya ceritakan dan saya m enjadi budak sultan yang diturunkan dari takhta itu.” “Aduh betapa banyaknya peristiwa m engerikan yang terjadi begitu berentetan!” kata Candide. “Nam un bagaim anapun, karena saya m asih m em punyai beberapa butir berlian, pasti dengan m udah saya akan dapat m em bebaskan Cunegonde. Sayang sekali dia telah menjadi begitu jelek.” Kemudian, seraya menoleh kepada Martin, “Bagaimana pen- dapat Tuan,” tanyanya, “mana yang paling patut dikasihani di an- tara Sultan Ahmed, Kaisar Ivan, Raja Charles-Edward, atau saya?” “Saya tidak tahu,” kata Martin, “saya harus m engetahui kea- daan hati Tuan m asing-m asing untuk m engetahuinya.” “Ah, seandainya Pangloss ada di sini,” kata Candide, “dia pasti m engetahuinya, dan akan ditunjukkannya kepada kita.” “Saya tidak dapat m em bayangkan,” Martin m elanjutkan, “dengan tim bangan apa dia m ungkin akan m engukur kem alangan m anusia, dan m enilai dukacita m asing-m asing. Apa yang dapat saya sim pulkan hanyalah bahwa di m uka bum i ini ada jutaan m anusia yang seratus kali lebih patut dikasihani daripada Raja Charles-Edward, Kaisar Ivan, dan Sultan Ahm ed.” “Itu m ungkin benar,” kata Candide. Dalam waktu beberapa hari saja mereka sampai di kanal Laut Hitam. Mula-mula Candide menebus Cacambo dengan harga sangat mahal. Lalu tanpa membuang- buang waktu dia menumpang sebuah perahu dayung bersama dengan sahabat-sahabatnya, untuk pergi ke pantai Propontide, mencari Cunegonde, bagaimanapun jeleknya wanita itu.

CANDIDE 139 Dalam rom bongan pendayung itu, ada dua orang budak yang cara m endayungnya jelek sekali. Sekali-sekali juragan perahu m enyabetkan cam buk kulit kerbau beberapa kali pada bahu m ereka yang telanjang. Secara spontan Candide m em perhatikan lebih saksama serta mendekati mereka dengan penuh rasa kasihan. Beberapa garis wajah yang telah berubah bentuk itu tam pak m irip dengan Pangloss dan dengan pastor J esuit yang m alang, yakni baron m uda, kakak Cunegonde. Kem iripan itu m em buat hatinya terharu dan sedih. Dia m em andang m ereka dengan lebih teliti. “Sesungguhnya,” katanya kepada Cacam bo, “seandainya saya tidak m elihat dengan m ata kepala sendiri Tuan Guru Pangloss digantung, dan jika saya tidak pernah sial sam pai m em bunuh baron m uda itu, saya betul-betul akan m engira bahwa m erekalah yang m endayung perahu ini.” Mendengar kata “baron” dan “Pangloss”, kedua pekerja pak- sa itu berteriak keras-keras, terhenyak di bangku m ereka dan m em biarkan dayung m asing-m asing jatuh. J uragan perahu ber- lari menghampiri mereka, dan sabetan kulit kerbau itu menjadi berlipat ganda. “Hentikan! Hentikan! Tuan,” seru Candide, “saya akan m em - berikan berapa saja uang yang Tuan inginkan.” “Aduh, Candide-kah ini?” kata salah seorang pekerja paksa itu. “Betulkah ini Candide?” kata yang satu lagi. “Mim pikah aku?” kata Candide, “apakah aku benar-benar sedang bangun? Benarkah aku berada dalam perahu ini? Apakah orang ini betul baron yang telah saya bunuh? Apakah yang satunya lagi m em ang Tuan Guru Pangloss yang telah kulihat sendiri digantung?” “Mem ang betul, kam ilah ini, kam ilah ini,” jawab m ereka. “Wah! Inikah ahli ilsafat terbesar itu?” kata Martin.

140 Voltaire “Hei, Tuan Pem ilik kapal,” kata Candide, “berapa jum lah yang Tuan inginkan sebagai tebusan Tuan de Thunder-ten- tronckh, salah seorang baron terbesar di seluruh kekaisaran, dan sebagai tebusan Tuan Guru Pangloss, ahli metaisika yang paling mendalam di J erman?” “Anjing Kristen,” jawab juragan kapal, “m engingat kedua budak yang anjing Kristen adalah baron dan ahli met aisika, yang mungkin di negeri mereka merupakan jabatan mulia, beri aku lima puluh ribu sequin.” “Tuan akan m endapatkannya. Bawalah saya secepat kilat ke Istanbul, dan Tuan akan langsung saya bayar. Oh, tidak, bawalah saya ke tem pat Nona Cunegonde.” Pada tawaran Candide yang pertama juragan perahu itu telah mengarahkan perahu ke arah kota itu, dan dia m enyuruh orang-orang itu m endayung secepat burung menembus udara. Candide m em eluk baron dan Pangloss berulang kali. “Aduh, ternyata saya tidak m em bunuh Tuan, bagaim ana m ungkin? Dan Tuan Guru tercinta, bagaimana mungkin Tuan masih tetap hidup, padahal dulu sempat digantung? Dan mengapa Tuan berdua berada dalam perahu dayung di wilayah Turki ini?” “Betulkah bahwa adikku tercinta ada di negeri ini?” “Ya,” jawab Cacam bo. “J adi saya bisa bertem u lagi dengan Candide yang baik ini!” seru Pangloss. Can dide m em perken alkan Martin dan Cacam bo kepada mereka. Mereka berangkulan dan berbicara berbarengan. Perahu itu seakan-akan terbang. Mereka sudah masuk pelabuhan. Seorang Yahudi dim inta datang. Candide m enjual dengan harga lim a puluh ribu sequin sebutir berlian yang bernilai seratus ribu sequin. Orang Yahudi itu bersum pah dem i Nabi Ibrahim bahwa dia tidak sanggup m em berikan lebih dari itu. Candide langsung m em bayar uang tebusan baron dan Pangloss. Gurunya itu m enyem bah

CANDIDE 141 kaki orang yang m em bebaskannya dan m em banjirinya dengan air m ata. Baron m engucapkan terim a kasih dengan anggukan kepala, dan berjanji akan mengembalikan uang itu begitu ada kesempatan. “Betulkah adikku ada di Turki?” tanyanya. “Tak ada yang lebih m ungkin dari itu,” sam bung Cacam bo, “karena dia m em ang sedang m enjadi tukang cuci piring pangeran Tr a n sylva n ia .” Tak lam a kem udian dua orang Yahudi didatangkan lagi. Lalu Candide m enjual dua butir berlian lagi. Dan m ereka m enum pang perahu lain untuk m em bebaskan Cunegonde.

28 APA YANG TERJADI ATAS DIRI CANDIDE, CUNEGONDE, PANGLOSS, DAN LAIN-LAIN “MAAF, SEKALI lagi,” kata Candide kepada baron, “m aafkan saya, Bapak Pastor, karena telah m enancapkan pisau pada tubuh Ba p a k .” “Sudahlah, lupakan saja,” kata baron, “kuakui bahwa saya pun terlalu lekas m arah. Karena engkau ingin m engetahui m engapa secara kebetulan sekali saya berada di perahu dayung ini, akan saya ceritakan pengalam an saya. Setelah luka saya disem buhkan oleh pastor kesehatan dari kolese itu, saya diserang dan diculik oleh pasukan Spanyol. Saya dipenjarakan di Buenos Aires, pada saat ketika adikku baru saja pergi dari kota itu. Saya m em ohon agar diperbolehkan kembali ke Roma, untuk diperbantukan lagi kepada kepala gereja di sana. Saya kem udian ditunjuk m enjadi

CANDIDE 143 pastor tentara di Istanbul, diperbantukan kepada Duta Besar Prancis. Ketika baru delapan hari saya m em angku jabatan itu, pada suatu sore saya bertem u dengan seorang pengawal istana yang sangat tam pan. Hawa bukan m ain panasnya. Anak m uda itu ingin m andi. Saya m engam bil kesem patan untuk m andi juga. Saya tidak tahu bahwa seorang laki-laki Kristen tidak boleh berada dekat seorang pemuda Islam dalam keadaan telanjang, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai kejahatan besar. Seorang kadi menjatuhkan hukuman atas diriku dengan didera seratus kali pada telapak kaki, serta hukum kerja paksa di atas perahu dayung. Rasanya tak ada perlakuan tidak adil yang lebih m engerikan daripada hukum an itu. Om ong-om ong, saya ingin tahu mengapa adikku kini berada di dapur kepala negara Transylvania yang sedang m engungsi itu.” “Dan Tuan, Tuan Pangloss.” tanya Candide, “bagaim ana kisahnya, sehingga saya dapat bertem u dengan Tuan kem bali?” “Yah, m em ang benar engkau telah m elihat saya digantung. Sebetulnya rencananya saya akan dibakar. Tetapi engkau m asih ingat, ketika saya akan dipanggang, hujan turun dengan lebatnya. Angin bertiup sangat kencang, sehingga m ereka putus asa tidak dapat m enyalakan api. Maka saya digantung, karena m ereka tidak bisa berbuat lain. Seorang dokter bedah membeli tubuh saya, m em bawaku ke rum ahnya, dan m em bedahku. Mula-m ula dibuatnya goresan silang antara pusar dan tulang selangka. Pasti tidak pernah ada korban hukum gantung yang sedem ikian menderita seperti itu. Pelaksana keputusan agung Mahkamah Agam a, waktu itu berpangkat subdiakon, sebetulnya sangat m ahir membakar orang, namun dia tidak terbiasa menggantung orang. Talinya basah dan tidak dapat m elorot, lalu tersim pul sendiri. J adinya saya m asih bisa bernapas. Pada waktu m endapat goresan silang itu, saya berteriak keras-keras, sehingga dokter bedah itu terjengkang. Dia m engira telah m em bedah tubuh setan. Lalu

144 Voltaire dia melarikan diri sambil ketakutan setengah mati, malahan sam pai terjatuh-jatuh di tangga gara-gara terlalu kencang larinya. Mendengar teriakanku, istrinya bergegas m engham piri dari kam ar kerja sebelahnya. Perem puan itu m elihatku terbaring dengan goresan silang. Dia lebih ketakutan daripada suam inya, lalu melarikan diri, dan jatuh menimpa tubuh laki-laki itu. Setelah mereka tenang kembali, kudengar perempuan itu berkata kepada suam inya, ‘Mengapa pula engkau m em bedah tubuh seorang bidah? Apakah engkau tidak tahu bahwa setan selalu bercokol di tubuh orang-orang itu? Saya akan segera m enjem put pastor, agar setan itu diusir.’ Mendengar kata-kata itu saya m enggigil, dan dengan sisa kekuatan yang ada saya berteriak, ‘Kasihanilah saya!’ Akhirnya keberanian tukang bedah tubuh orang itu m uncul kem bali. Dijahitnya kem bali kulit saya. Bahkan istrinya pun m engurus saya. Lim a belas hari kem udian saya sem buh kem bali. Dokter bedah itu m encarikan saya pekerjaan, dan m enem patkan saya sebagai pelayan di rum ah Perwira Malta yang akan pergi ke Venesia. Karena tidak bisa m em bayar, m ajikan m enyuruhku bekerja pada seorang pedagang Venesia, dan saya m engikutinya ke Istanbul. “Pada suatu hari saya iseng-iseng m asuk ke sebuah m asjid. Di dalam nya hanya ada seorang im am tua dan seorang santri wanita yang sangat cantik yang sedang berdoa. Dadanya setengah terbuka. Di antara kedua ujung payudaranya ada karangan bunga tulip, mawar, anemon, renoncule, hy acinthe, dan kuping beruang. Dijatuhkannya karangan bunga itu. Saya m em ungutnya, serta m engem balikannya kepada wanita itu dengan cepat dan sikap horm at. Saya berlam a-lam a waktu m engulurkan bunga itu, sehingga sang im am m arah besar. Ketika m engetahui bahwa saya beragam a Kristen, dia berteriak m inta tolong. Saya dibawa m enghadap kadi. Saya didera seratus kali pada telapak kaki, dan dikirim untuk bekerja paksa di atas perahu dayung. Saya dirantai

CANDIDE 145 tepat dalam perahu dan bangku yang sam a dengan baron m uda ini. Di atas perahu ini hanya ada em pat orang dari Marseille, lim a orang pastor Napoli, dua orang rohaniwan lagi dari Corfou. Mereka mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi setiap hari. Baron itu beranggapan bahwa penderitaan yang dialam inya lebih tidak adil jika dibandingkan dengan yang terjadi atas diriku. Sedangkan saya sendiri berpendapat bahwa perbuatan mengembalikan satu karangan bunga ke dada seorang wanita m estinya lebih ringan hukum annya daripada yang telah dijatuhkan atas orang yang m andi telanjang bersam a seorang pengawal istana. Kam i berdebat terus-m enerus, sehingga selalu dihukum dengan dua puluh cambukan kulit kerbau setiap hari. Untunglah rangkaian peristiwa di dunia ini telah menggiringmu ke dalam perahu kami, sehingga kami dapat kau tebus.” “Nah, Tuan Guru yang baik,” kata Candide, “setelah Tuan digantung, dibedah, dicam buk, dan dipaksa m enjadi pendayung perahu ini, apakah Tuan tetap berpendapat bahwa segala sesuatu berjalan sebaik mungkin?” “Saya tetap berpegang pada pendapat saya yang pertam a,” sahut gurunya itu. “Bukankah saya ini ahli ilsaf at, tidak pantaslah kalau saya m enjilat ludah sendiri, m engingat bahwa Leibniz tidak m ungkin keliru, serta keselarasan yang telah ditakdirkan adalah hal yang paling indah di dunia, sebagaim ana juga m ateri yang abstrak dan konkret.”

29 BAGAIMANA CANDIDE BERTEMU KEMBALI DENGAN CUNEGONDE DAN SI NENEK CANDIDE, BARON, Pangloss, Martin, dan Cacam bo bergiliran menceritakan pengalaman mereka masing masing. Mereka pun mempersoalkan apakah peristiwa-peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling bergantung atau tidak di dunia ini. Mereka memperdebatkan masalah sebab dan akibat, tentang keburukan lahir dan batin, tentang kemerdekaan dan kebutuhan, tentang kedam aian yang dapat dirasakan apabila orang dikerjapaksakan di atas perahu di Turki. Sementara itu perahu mendekati pantai Propontide, dekat rum ah pangeran Transylvania. Pem andangan pertam a yang terlihat adalah Cunegonde dan si Nenek, yang sedang m enyangkutkan kain-kain lap pada tali jem uran. Baron pucat pasi m elihat pem andangan itu. Kekasih yang lem but, Candide, m undur tiga langkah karena terkejut m elihat

CANDIDE 147 Cunegonde-nya yang jelita telah berganti rupa m enjadi perem - puan berkulit kecokelatan, mata berkerut merut, dada kempis, pipi bergaris-garis, lengan merah-merah dan terkelupas. Namun secara kesatria dia segera maju menghampiri. Perempuan itu me- m eluk Candide dan kakaknya. Mereka pun m erangkul si Nenek. Candide segera m enebus kedua orang itu. Di wilayah yang dekat ke sana ada tanah-tanah pertanian. Si Nenek m engusulkan kepada Candide agar m enetap di situ, sem entara m enunggu nasib yang lebih baik bagi sem ua anggota rom bongan itu. Cunegonde tidak m enyadari bahwa rupanya telah m enjadi jelek, karena tak pernah ada yang m em beritahukan hal itu kepadanya. Dia m engingatkan Candide akan janjinya. Nadanya begitu m em erintah, sehingga Candide yang baik itu tidak berani m enolaknya. Maka disam paikannya kepada baron bahwa dia akan m enikah dengan adiknya. “Tak bakal saya m em biarkan dia m erendahkan derajatnya sendiri seperti itu,” kata baron, “juga kekurangajaranm u. Saya tidak mau disesali nanti karena dianggap bertanggung jawab atas pencemaran nama baik keluarga kami, gara-gara hal itu anak-anak adikku nanti tidak akan bisa tercatat sebagai anggota keluarga bangsawan J erm an. Tidak, adikku hanya boleh m enikah dengan seorang baron di lingkungan kekaisaran J erman.” Cun egon de bersim puh di kakin ya, dan m em ban jirin ya dengan air m ata, nam un kakaknya tak tergoyahkan. “Baron gila,” kata Candide, “saya telah m em bebaskanm u dari kerja paksa, telah m em bayar uang tebusanm u, juga untuk adikm u. Di sini adikm u itu m enjadi pencuci piring, dia jelek rupanya, nam un saya berbaik hati akan m enjadikannya istriku. Dan kau tetap punya kesom bongan untuk m enolak perm intaanku! Kalau saya tidak bisa m enahan m arahku, m ungkin akan kubunuh kau sekali lagi!”51 “Bunuh lagi kalau kau m au,” kata baron, “yang pasti, kau tidak akan bisa m engawini Cunegonde, selagi saya m asih hidup!” 51 Candide yang lembut ternyata akhirnya tak bisa menahan amarahnya.

30 PENUTUP J AUH DI lubuk hatinya sebenarnya Candide tidak m em punyai keinginan sam a sekali untuk m enikah dengan Cunegonde. Nam un sikap baron yang keterlaluan som bongnya itu m endorongnya untuk m elaksanakan pernikahan tersebut. Tam bahan lagi Cunegonde mendesak terus-menerus, sehingga dia tak dapat menghindar. Dim intanya nasihat-nasihat Pangloss, Martin, dan Cacam bo yang setia. Pangloss m enyusun sebuah laporan, yang m em buktikan bahwa baron tidak m em iliki hak apa-apa atas adiknya, dan menurut undang-undang mana pun di seluruh kekaisaran, Cunegonde bisa saja m enikahi Candide setiap saat. Nam un Martin m em buat usul yang khas: dia ingin m enceburkan baron itu ke dalam laut. Cacam bo m em utuskan akan m engem balikan baron itu kepada juragan perahu dan m em biarkannya m elakukan

CANDIDE 149 kerja paksa lagi, setelah itu mengirim dia kepada kepala gereja di Roma dengan kapal pertama. Pendapat itu diterima baik. Si Nenek pun m enyetujuinya. Adiknya tidak diberi tahu. Rencana itu dapat dilaksanakan dengan bantuan sedikit uang. Yang m enerim a upah merasa senang karena mendapat kesempatan menangkap seorang J esuit, dan menghukum kesombongan seorang baron J erm an . Kemudian Candide menikah dengan kekasihnya, dan hidup dikelilingi ahli ilsafat Pangloss, ahli ilsafat Mart in, Cacambo yang hati-hati, dan si Nenek. Wajar saja kalau orang membayangkan bahwa setelah mengalami sekian banyak bencana, dan berkat begitu banyak berlian yang telah diangkutnya dari tanah air orang-orang Inca kuno, mereka akhirnya dapat menikmati hidup yang paling menyenangkan. Namun mereka seringkali ditipu orang-orang Yahudi, sehingga yang tersisa hanyalah sebidang lahan pertanian yang kecil. Setiap hari istrinya bertambah jelek, judes, dan banyak tingkah. Si Nenek telah menjadi lumpuh, sifatnya lebih sulit lagi dari Cunegonde. Cacambo mengerjakan kebun, dan sekali-sekali pergi m enjual sayuran ke Istanbul. Dia terlalu lelah bekerja dan sering m engom eli nasibnya. Pangloss putus asa, karena tidak mendapat kesempatan untuk memamerkan kehebatannya di universitas-universitas J erm an. Sedangkan Martin merasa yakin bahwa di mana pun orang sama sengsaranya, m aka dia m enghadapi sem uanya dengan sabar. Candide, Martin, dan Pangloss kadangkala bertengkar gara- gara masalah metaisika dan moral. Di bawah jendela mereka sering terlihat lewat perahu-perahu yang ditumpangi para efendi, bacha, kadi yang akan diasingkan ke Mytilene, di Erzeroum. Kem udian terlihat berdatangan kadi lain, bacha lain, dan efendi52 yang m enggantikan m ereka yang diasingkan, sam pai datang giliran mereka sendiri untuk dibuang. Terlihat pula kepala- 52 Pejabat-pejabat inggi Turki.

150 Voltaire kepala yang dijejali jeram i53 yang akan dipersem bahkan kepada Baginda Yang Mulia. Tontonan-tontonan itu menambah bahan pembicaraan. Kalau tidak bertengkar, mereka merasa sedemikian bosan, sehingga pada suatu hari si Nenek berani berkata, “Saya merasa penasaran ingin mengetahui mana yang lebih menderita: diperkosa seratus kali oleh perompak Negro, mempunyai pantat yang dikerat, dipukuli dengan tongkat oleh serdadu Bulgaria, dicambuk dan digantung dalam upacara auto-da-fe, dibedah, atau melakukan kerja paksa mendayung perahu, pokoknya menjalani segala macam bencana yang kita semua telah alami, ataukah tinggal tenang-tenang di sini tanpa mengerjakan apa- apa?” “Mem ang itu pertanyaan penting,” kata Candide. Pembicaraan itu memunculkan gagasan-gagasan baru, terutam a Martin m enyim pulkan bahwa m anusia dilahirkan untuk hidup dalam guncangan-guncangan serta kekhawatiran- kekhawatiran, atau dalam kelesuan menekan yang ditimbulkan rasa bosan. Candide tidak begitu setuju, namun tidak berkata apa-apa. Pangloss mengakui bahwa dia selalu menderita, namun berhubung pernah mengemukakan bahwa segala sesuatu berjalan sebaik-baiknya, dia akan selalu mendukung gagasan itu, walaupun tanpa mempercayainya. Akhirnya terjadi suatu peristiwa yang bertambah meyakinkan Martin tentang prinsip-prinsipnya yang suram itu, yang membuat Candide menjadi lebih terom bang-ambing lagi dan yang cukup membuat Pangloss merasa kikuk. Pada suatu hari mereka mene- rima kedat angan Paquette dan Bruder Girolee di kebun mereka. Keadaan mereka sangat sengsara. Rupanya dulu dengan cepat mereka menghabiskan uangnya yang tiga ribu piastre itu. Mereka pernah berpisah, lalu akur lagi, bertengkar lagi, lalu masuk penjara, terus melarikan diri, dan akhirnya Bruder Girolee men- 53 Kepala pejabat yang dipenggal. Kalau datang dari jauh, otaknya dikeluar kan dulu, lalu dijejali jerami.

CANDIDE 151 jadi orang Turki. Paquette masih melanjutkan profesinya di mana- mana, namun tidak pernah mendapat hasil apa-apa lagi. “Dulu saya telah memperkirakan,” kata Martin kepada Candide, “bahwa hadiah Tuan itu akan segera habis, bahkan akan membuat mereka lebih menderita lagi. Tuan pun telah mengeruk jutaan piastre, Tuan dan Cacambo, namun Tuan pun tidak lebih berbahagia dari- pada Bruder Girolee dan Paquette.” “Wah, wah, rupanya Tuhan m enggiringm u ke tem pat kam i, anakku yang m alang,” ujar Pangloss kepada Paquette. “Tahukah engkau bahwa gara-gara engkau, saya telah kehilangan ujung hidung, satu mata dan satu telinga? Namun kau pun telah men- dapat ganjaran yang sam a pula! Dunia ini apa sebenarnya?” Kejadian itu telah mendorong mereka untuk berilsaf at lebih gencar lagi dari sebelum nya. Di sekitar wilayah itu ada seorang kiai yang sangat terkenal, yang dianggap sebagai ahli ilsafat terhebat di seluruh Turki. Mereka pergi m engunjunginya untuk m em inta nasihat. Pangloss m en jadi juru bicara. Dia bertan ya, “Pak Kiai, kam i datan g untuk m inta penjelasan, m engapa m akhluk aneh yang bernam a manusia diciptakan?” “Untuk apa kau turut cam pur?” jawab kiai itu. “Itu kan bukan u r u san m u .” “Tetapi, Kiai,” sanggah Candide, “soalnya di m uka bum i ini selalu terjadi begitu banyak keburukan.” “Apa pedulim u,” sahut Kiai, “peduli am at tentang kebaikan dan keburukan! Manakala Yang Mulia m engirim kan kapal ke Mesir, apakah Baginda akan am bil pusing bahwa tikus-tikus yang ada di kapal hidup senang atau tidak?” “J adi kita harus berbuat apa?” tanya Pangloss. “Tutup m ulut,” jawab Kiai.

152 Voltaire “Rasanya saya akan merasa bangga dapat berdiskusi dengan Kiai tentang sebab dan akibat,” sambung Pangloss, “juga tentang masalah dunia terbaik yang mungkin diciptakan, tentang asal mula keburukan, hakikat jiwa, dan keselarasan yang telah ditakdirkan.” Mendengar kata-katanya itu, Kiai membanting pintu di depan hidung mereka. Sementara mereka berbincang-bincang, beredar berita bahwa di Istanbul dua orang hakim dan seorang m ufti baru dicekik orang dan beberapa orang teman mereka telah dipenggal kepalanya. Bencana itu menjadi berita besar di mana-mana selama beberapa jam. Ketika pulang, Pangloss, Candide, dan Martin bertemu dengan seorang tua, yang sedang makan angin di pintu rumahnya, di bawah naungan pohon jeruk. Pangloss, yang selain selalu berpikir juga selalu ingin tahu, bertanya kepadanya siapa nama m ufti yang baru dicekik orang itu. “Saya tidak tahu sama sekali,” jawab kakek itu, “saya tidak pernah mengetahui nama m ufti ataupun perdana menteri. Saya pun tidak mendengar sama sekali peristiwa yang Tuan ceriterakan. Saya berpendapat bahwa pada umumnya mereka yang turut campur urusan-urusan umum kadangkala meninggal dalam keadaan sengsara, dan itu sudah sepantasnya. Saya sendiri tidak pernah mencari keterangan tentang apa yang terjadi di Istanbul. Saya cukup puas mengirimkan buah-buahan dari kebun yang kutanami untuk dijual di sana.” Setelah berkata demikian, orang-orang asing itu dipersilakannya masuk ke rumahnya. Dua orang anak gadisnya dan dua orang putranya menghidangkan beberapa jenis sorbet buatan sendiri, kaim ak dengan selai jeruk, buah jeruk, sitrun, lemon, nanas, kurma, kenari, dan kopi dari Moka yang sama sekali tidak dicampur dengan kopi kualitas buruk dari Batavia dan kepulauan sekitarnya. Setelah itu kedua anak gadis orang Islam yang baik itu mencipratkan wangi-wangian ke janggut Candide, Pangloss, dan Martin.

CANDIDE 153 “Tentunya Tuan m em iliki tanah luas yang subur,” kata Candide kepada orang Turki itu. “Saya hanya m em punyai dua puluh are saja,” jawab orang Turki itu, “saya m en gerjakan n ya bersam a an ak-an ak saya. Pekerjaan menjauhkan kita dari tiga keburukan: rasa bosan, dosa, dan kemiskinan.” Pada waktu pulang ke lahan pertaniannya, Candide m ere- nungkan kata-kata orang Turki itu. Dia berkata kepada Pangloss dan Martin, “Saya rasa orang tua tadi telah berhasil m em buat nasibnya lebih baik daripada keenam raja yang diturunkan dari takhta, yang telah m em beri penghorm atan kepada kita dengan makan malam bersama-sama.” “Mem ang kebesaran pada hakikatnya sangat berbahaya,” jawab Pangloss, “dem ikian m enurut laporan-laporan sem ua ahli ilsafat. Karena pada akhirnya Eglon, raja bangsa Moabites, telah dibunuh oleh Aod; Absalon digantung pada ram butnya dan di- tusuk dengan tiga tombak; Raja Nadab, putra J eroboam, dibunuh oleh Baza; Raja Ela oleh Zam bri; Ochosias oleh J ehu; Athalie oleh J oiada; raja-raja J oachim, J echonias, Sedecias terpaksa menjadi budak belian. Engkau pun tahu bagaim ana m eninggalnya Cresus, Astyage, Darius, Denys dari Siracusa, Pyrrhus, Persee, Annibal, J ugurtha, Arioviste, Cesar, Pom peius, Nero, Othon, Vitellius, Dom itien, Richard H. dari Inggris, Edward II, Henry VI, Richard III, Marie Stuart, Charles I, ketiga Raja Henri dari Prancis, Kaisar Henri IV? Kau tahu....” “Saya tahu juga,”kata Candide, “bahwa kita harus mengerjakan keb u n .” “Kau benar,” kata Pangloss, “karena, tatkala manusia berada di taman Eden di surga, dia ditempatkan di situ ut operatur eum , untuk bekerja di situ. Hal itu membuktikan bahwa manusia tidak dilahirkan untuk bermalas-malasan.”

154 Voltaire “Mari kita bekerja tanpa banyak berdiskusi,” usul Martin, “itulah satu-satunya cara agar hidup kita ini lebih tertanggungkan.” Seluruh anggota kelompok itu pun segera melaksanakan tu- juan terpuji itu. Setiap orang merealisasikan bakat masing-masing. Lahan itu banyak menghasilkan. Pada kenyataannya Cunegonde memang jelek sekali rupanya, namun dia berhasil menjadi tukang kue yang mahir. Paquette bisa menyulam. Si Nenek mengurus cucian. Bahkan sampai-sampai Bruder Girolee pun tak keting- galan berpartisipasi; dia menjadi tukang yang sangat trampil, dan bahkan menjadi orang baik-baik. Kadang- kadang Pangloss berkata kepada Candide, “Semua peristiwa saling terkait dalam dunia terbaik yang mungkin diciptakan, karena kan seandainya engkau tidak diusir dari istana yang indah dengan tendangan di pantat gara-gara cintamu untuk Nona Cunegonde, seandainya eng- kau tidak dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agama, seandainya engkau tidak menjelajahi Amerika dengan jalan kaki, seandainya engkau tidak menusuk baron dengan pedang, seandainya engkau tidak kehilangan semua kambing Eldorado itu, engkau mungkin tidak akan mengalami makan selai jeruk dan kenari di sini.” “Mem ang benar sekali,” jawab Candide, “nam un kita harus m engerjakan kebun kita.”54 54 Dalam ari sebenarnya Voltaire sendiri telah melaksanakannya di Les Délices, kemudian di Ferney. Dalam ari kiasan kita dapat memahaminya sebagai berikut: untuk mengimbangi kesengsaraan yang diimbulkan kondisi manusia, apabila perbuatan idak dapat dianggap sebagai “obat”, paling idak sebagai “hiburan” untuk melupakannya. Kesimpulan ini menunjukkan sikap pesimisme yang membangun, yang sangat berbeda dengan opimisme yang mengakhiri hikayat Voltaire lainnya, Zadig.



V O LT A I R E CANDIDE C andide, dongeng ilsafat sair yang ditulis oleh Voltaire, bercerita tentang seorang pemuda dari Westphalia bernama Candide dan kisahnya bertualang keliling dunia untuk menyelamatkan kekasihnya, Cunegonde. Candide merupakan seorang yang sangat opimisis meskipun dalam perjalanannya ia selalu menghadapi bencana dan musibah. Sifatnya itu didapat dari gurunya, Pangloss. Melalui novel ini, secara idak langsung Voltaire menyatakan bahwa dunia merupakan sebuah distopia dan kekejaman manusialah yang membuat dunia ini menjadi idak sempurna. SASTRA KPG: 59 16 01248 KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3, Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3359; Fax. 53698044, www.penerbitkpg.id KepustakaanPopulerGramedia; @penerbitkpg; penerbitkpg


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook