Dataran Tortilla 87 Tetapi Big J oe telah tertidur. Ia tak pernah betah tinggal diam terlalu lama tanpa jatuh tertidur. Rahm at Tuhan yang dirasakan oleh Pilon tak begitu nikm at lagi terasa kini, sebab ia tak bisa menceritakan hal itu kepada Big J oe. Tetapi ia tak ikut tidur, duduk m erenungi tem pat harta itu sam pai langit kelabu dan fajar m enyingsing dari balik tirai kabut. Ia melihat pohon-pohon mulai berbentuk, muncul dari kegelapan. Angin m ati dan kelinci-kelinci biru berlom patan keluar dari semak-semak, berlarian di tanah bertabur daun pinus. Mata Pilon terasa sangat berat, namun ia bahagia. Setelah terang ia m enendang Big J oe. “Ayo bangun. Mari kita pergi ke rum ah Danny. Hari telah siang.” Pilon m em buang kayu tanda salibnya, sebab tak diperlukan lagi. Ia pun m enghapus lingkaran pelindungnya. “Kita harus m enghapus sem ua tanda. Kita hanya boleh m engingat-ingat tem pat ini dari letak pohon- pohon dan batu-batu di sekitar sini.” “Mengapa tidak kita gali sekarang saja?” tanya Big J oe. “Bila kita gali siang hari, sem ua orang pasti datang ke m ari untuk membantu dan minta bagian.” Mereka dengan teliti m em perhatikan keadaan sekelilingnya. “Tiga batang pohon berdem petan di kanan, dua di kiri. Seke- lom pok sem ak di sana dan batu di sini. Itulah tandanya.” Mereka m engingat-ingat. Setelah yakin akan tanda-tanda itu m ereka meninggalkan hutan. Di rum ah Danny m ereka m enem ukan sahabat-sahabat yang kecapaian. “Kalian m endapatkan harta?” m ereka bertanya. “Tidak,” sahut Pilon cepat-cepat, untuk m enghindarkan jawaban terus terang dari Big J oe. “Hm , Pablo m engira ia m elihat cahaya tanda harta karun itu. Tapi ketika didekatinya, cahaya itu lenyap. Dan si Bajak Laut m elihat hantu seorang nenek-nenek yang m em bawa anjingnya yang telah m ati.”
88 John Steinbeck Si Bajak Laut tersenyum lebar. “Nenek-nenek itu berkata anjingku bahagia sekarang,” katanya. “Ini Big J oe Portugis,” Pilon m engucapkan pengum um an, “ia baru kembali dari ketentaraan.” “Halo, J oe.” “Enak benar rum ahm u ini,” kata si Portugis, duduk seenaknya di sebuah kursi. “J angan ganggu tem pat tidurku,” Danny m em peringatkan. Dari cara duduk Big J oe, ia bisa m enduga bahwa si Portugis itu akan tinggal di rum ahnya selam anya. Si Bajak Laut keluar, m engam bil gerobak dorongnya dan m asuk hutan untuk m encari kayu api. Kelim a orang lainnya ber- m alas-m alasan berbaring dalam sinar m atahari yang baru m uncul dari balik kabut. Dan tak berapa lam a m ereka tertidur nyenyak. Lewat tengah hari m ereka m ulai bangun. Malas sekali mereka menggeliat-geliat, bangkit, duduk, dan gelisah mem- perhatikan teluk jauh di bawah mereka. Sebuah kapal tanker bergerak perlahan m eninggalkan pelabuhan. Si Bajak Laut telah meninggalkan beberapa buah kantong di atas meja. Para sahabat itu membuka kantong-kantong tersebut, dan memakan makanan hasil pengum pulan si Bajak Laut. Big J oe sehabis m akan m en in ggalkan rum ah. “Sam pai ketem u nanti,” serunya pada Pilon. Pilon m em perhatikannya terus sam pai ia yakin bahwa Big J oe pergi m enuju Monterey dan bukannya naik ke arah hutan pinus. Seisi rum ah kem udian m erenungi berlalunya sore hari. Menjelang petang Big J oe telah pulang. Ia dan Pilon berunding di halam an rum ah, di luar pendengaran kawan-kawan yang lain. “Kita pinjam alat-alat gali dari Nyonya Morales,” kata Pilon. “Sebuah sekop dan beliung kulihat tersandar di kandang ayamnya.” Waktu hari telah gelap, m ereka berangkat. “Kam i akan m e- ngunjungi beberapa orang gadis, teman J oe Portugis,” Pilon ber-
Dataran Tortilla 89 pam itan pada kawan-kawannya yang lain. Mereka m erangkak m asuk ke halam an Nyonya Morales, m em injam alat-alat yang diperlukan. Kem udian dari sem ak-sem ak di pinggir jalan Big J oe mengambil guci berisi satu galon anggur. “Kau telah m enjual harta terpendam itu!” seru Pilon gusar. “Pengkhianat! Anjingnya anjing!” Big J oe cepat-cepat m enenangkannya. “Aku sam a sekali tak m em beritahukan di m ana harta kita tersem bunyi,” katanya m e- yakinkan, “aku hanya berkata ‘Kam i m enem ukan suatu harta terpendam , tapi akan kam i berikan pada Danny. Kalau Danny sudah m enjualnya, aku akan pinjam uang padanya dan aku bayar harga anggur ini’.” Pilon tercengang. “Dan m ereka percaya? Mereka m em berim u utang anggur ini?” “Yaa,” Big J oe ragu-ragu, “aku m eninggalkan sesuatu untuk bukti bahwa aku akan kem bali m em bayar utangku.” Secepat kilat Pilon m enyergapnya, m encengkeram batang lehernya. “Barang apa yang kau jadikan bukti?” “Hanya sehelai selim ut kecil, Pilon, hanya sehelai,” Big J oe meratap. Pilon m encoba m engguncang-guncang tubuh Big J oe. Tapi Big J oe begitu besar hingga dia sendirilah yang terguncang- guncang. “Selim ut siapa?” seru Pilon. “Katakan, selim ut siapa?” Big J oe terbata-bata m enjawab. “Hanya satu, punya Danny. Hanya satu. Dia punya dua. Kuam bil yang kecil. J angan sakiti aku, Pilon. Selim ut yang m asih ada lebih besar. Lagi pula Danny bisa m em peroleh kem bali selim utnya setelah kita gali harta ka- r u n n ya .” Pilon m engguncang-guncangnya lagi. Menendangnya de- ngan ketepatan dan tenaga luar biasa. “Babi!” bentaknya, “sapi busuk, m aling! Am bil kem bali selim ut itu. Kalau tidak kucabik- cabik badanm u!”
90 John Steinbeck Big J oe m encoba m enenangkan Pilon. “Kupikir, kita toh be- kerja untuk kepentingan Danny,” katanya ham pir tak terdengar. “Kupikir, nantinya Danny toh akan begitu gem bira, lagi pula nanti ia juga bisa m em beli seratus lem bar selim ut baru!” “Diam kau!” tukas Pilon. “Kau harus dapat m engam bil seli- m ut Danny yang itu-itu juga, kalau tidak kuhancurkan kepalam u dengan batu!” Ia m engam bil guci anggurnya, m em buka tutup dan m inum sedikit untuk m endinginkan kepalanya. Dan lagi ia menutup kembali guci itu rapat-rapat tanpa menawarkan sedikit pun kepada si Portugis. “Untuk pencurian ini kam u harus m eng- gali sendirian. Am bil alat-alat itu, ikuti aku.” Big J oe m enggerutu, tapi perintah Pilon diturutinya juga. Ia tak berani m elawan Pilon yang bersenjatakan kebenaran. Lam a baru m ereka berhasil m enem ukan tem pat harta terpen- dam mereka. Malam telah larut saat Pilon menunjuk pada tiga batang pohon dan berkata, “Di situlah!” Mereka mencari-cari sampai menemukan lekukan di tanah. Ada sedikit cahaya rem bulan m em bantu m ereka, sebab m alam itu langit bersih dari kabut. Karena kini ia tak akan turun tangan untuk m enggali, Pilon m enem ukan cara baru untuk m engam bil harta terpendam nya. “Kadang-kadang uang yang disem bunyikan itu dibungkus dalam karung,” katanya, “dan karena terlalu lam a karung itu m em busuk, m udah hancur. Bila kita gali langsung dari atas ke arah letak karung itu, pasti karung itu hancur, dan kita kehilangan sebagian isinya. Karenanya,” ia m em buat suatu lingkaran yang cukup be- sarnya m engelilingi lekukan di tanah itu. “Kau harus m enggali semacam selokan melingkar, sesuai dengan garis ini. Dengan cara itu kita bisa mencapai harta itu dari arah baw ah.” “Aku? Kau tak akan ikut m enggali?” tanya Big J oe. Kem arahan Pilon m eledak lagi. “Apa? Apakah aku ini pen- curi selim ut? Apakah aku m encuri sesuatu dari sahabat yang m em biarkan aku tinggal di rum ahnya?”
Dataran Tortilla 91 “Baiklah, aku pun tak sudi m engerjakan penggalian ini se- orang diri.” Big J oe m encoba m enentang. Pilon m engam bil potongan kayu yang m alam sebelum nya menjadi sebagian dari salib untuk pengusir hantu jahat. Dengan m em bawa potongan kayu itu ia m endekati Big J oe, dengan sikap m engancam . “Maling! Babi busuk, sahabat berhati dengki! Am bil sekop itu!” Keberanian Big J oe lenyap seketika, dan ia m em bungkuk, m engam bil sekop. Kalau saja hati nuraninya tidak begitu m erasa bersalah, pasti ia akan berontak. Tapi Pilon yang bersenjatakan kebenaran dan sepotong kayu besar cukup m enim bulkan rasa takut yang am at sangat. Big J oe sangat benci pekerjaan m enggali. Gerak sekopnya sam a sekali tidak m enarik untuk diperhatikan. Sasaran kerja yang dituju, yaitu m em indahkan segunduk tanah dari satu tem pat ke tem pat lain, bagi orang yang m em iliki pandangan luas, berarti sama sekali sia-sia. Seumur hidup pun kerja itu seolah-olah tak akan m em berikan hasil yang berm anfaat—toh segunduk tanah tetap merupakan segunduk tanah walaupun dipindahkan ke mana juga. Nam un alasan J oe lebih sederhana dari pandangan yang sedemikian mendalam. Ia memang tak suka menggali lubang. Ia m asuk tentara untuk berperang, tapi apa yang dikerjakannya dalam dinas ketentaraan hanyalah m enggali dan m enggali saja. Tetapi Pilon berdiri di situ. Setelah agak lam a selokan yang mengitari tempat harta itu barulah mulai terbentuk juga. Tak ada gunanya m encoba m engelakkan kerja itu dengan berpura- pura sakit, lapar, atau lem ah. Pilon sam a sekali tak punya belas kasihan. Dan setiap kali, kejahatan J oe mencuri selembar selimut selalu ditonjol-tonjolkannya. Betapapun ia m engeluh, m erintih, m em perlihatkan tangannya yang m ulai lecet, Pilon dengan tegas tetap m enyuruh ia m eneruskan m enggali. Tengah m alam tiba, galian Big J oe telah m encapai tiga kaki. Ayam -ayam jantan Monterey berkokok. Bulan terbenam di balik
92 John Steinbeck pucuk pepohonan. Dan akhirnya Pilon m em erintahkan untuk m ulai m enggali ke arah harta terpendam itu. Lem paran tanah yang dibuang oleh Big J oe kini m ulai jarang. Big J oe betul-betul lelah. Tepat sebelum fajar m enyingsing sekopnya terbentur pada suatu benda keras. “Aiii,” Big J oe berseru, “kita telah m enem ukannya, Pilon.” Benda itu besar, berbentuk persegi. Gugup keduanya m eng- gali kini, dalam kegelapan. Mereka belum dapat melihat benda yang sedang m ereka gali. “Hati-hati,” Pilon m em peringatkan, “jangan sam pai rusak.” Terang siang tiba sebelum benda itu muncul di atas permu- kaan tanah. Pilon m eraba-raba, logam kiranya. Dalam cahaya kelabu ia m encoba m elihatnya. Benda itu ternyata dari beton, berbentuk persegi, dan pada perm ukaannya terdapat lem pengan logam berwarna cokelat, bundar. Pilon membaca tulisan pada lempengan logam itu: SURVEI GEODESI AMERIKA SERIKAT +1915+ KETINGGIAN 600 KAKI Pilon duduk lem as di dalam lubang hasil galian Big J oe. “Bukan harta?” tanya Big J oe sayu. Pilon tidak m enjawab pertanyaan itu. Si Portugis m em eriksa tonggak beton itu, dahinya berkerut, berpikir keras. Ia berpaling pada Pilon yang sedang bersedih. “Mungkin lem pengan logam ini bisa kita ambil dan kita jual.” Pilon m em andang putus asa padanya. “J ohnny Pom -pom pernah menemukan benda seperti ini. J ohnny Pom-pom meng- am bil logam nya dan m enjualnya. Ia diancam hukum an setahun penjara karena menggali benda sebangsa ini. Setahun penjara dan denda dua ribu dolar.”
Dataran Tortilla 93 Hati Pilon terasa pedih sekali. Ingin sekali ia lenyap dari m uka bumi. Ia bangkit, keluar dari lubang. Mengambil sekelompok sem ak-sem ak untuk m em bungkus guci anggurnya dan m ulai ber- jalan menuruni bukit. Big J oe berlari-lari kecil m engejarnya, sedih. “Ke m ana kita kini?” tanya Big J oe. “Entahlah,” jawab Pilon. Hari telah terang-benderang waktu keduanya sam pai di pantai. Tapi Pilon tidak berhenti di situ. Ia berjalan terus sepan- jang pasir yang keras di bibir laut hingga Monterey tertinggal jauh di belakang, hingga hanya gosong pasir dan deburan om bak saja yang bisa jadi saksi kesedihan hatinya. Baru di tem pat itulah Pilon duduk di pasir kering, dihangatkan oleh sinar m atahari. Big J oe duduk di sam pingnya. Entah bagaim ana ia m erasa bahwa kese- dihan Pilon disebabkan oleh dosanya. Pilon mengeluarkan guci anggur dari selubung, membuka tutupnya dan m inum dengan tegukan panjang. Karena kesedihan adalah ibu sem ua perasaan lainnya, ia kem udian m em berikan guci anggur itu kepada si jahat Big J oe. “Khayalan kita begitu m uluk,” keluh Pilon, “im pian kita telah m enipu kita. Betapa seringnya aku berangan-angan m em bawa berkantong-kantong uang em as kepada Danny. Aku tahu benar betapa wajahnya berseri oleh kegem biraan. Ia pasti terkejut. Ia pasti tak percaya.” Ia m engam bil kem bali guci anggur dari Big J oe dan m inum dengan tegukan-tegukan besar. “Sem ua im pian itu lenyap. Habis tertiup angin dalam sem alam saja.” Matahari telah membuat pasir menjadi terlalu panas. Walau- pun ia sangat kecewa, Pilon merasa suatu kelicikan mulai me- nguasai dirinya, suatu kelicikan untuk m encari hal yang m eng- enakkan saja dari peristiwa yang benar-benar m enjatuhkan hatinya itu.
94 John Steinbeck Dalam pada itu Big J oe dengan tenang m inum anggur m e- lebihi takaran untuknya. Agak gusar Pilon m engam bil anggur itu dan minum berkali-kali. “Tetapi,” akhirnya Pilon mulai berilsafat, “mungkin tidak baik bagi Danny bila kita benar-benar menemukan harta terpen- dam itu. Selam a ini ia sangat m iskin. Harta yang berlim pah akan m em buatnya gila.” Big J oe m engangguk setuju. Anggur di dalam botol sudah mendekati habis. “Kebahagiaan lebih baik daripada kekayaan,” kata Pilon lagi, “bila kita ingin m em buat Danny bahagia, lebih baik jangan m em beri ia uang, kita beri hal-hal lain yang benar-benar dapat m em buatnya bahagia.” Big J oe m engangguk lagi, m encopot sepatunya. “Benar, yang penting kita harus m em buatnya bahagia.” Sedih Pilon berpaling pada Big J oe. “Kau hanyalah seekor babi. Tak layak hidup di antara m anusia,” katanya lem but. “Kau, yang m encuri selim ut Danny, haruslah ditem patkan di sebuah kandang babi dan diberi makan kulit kentang.” Dalam kehangatan matahari, mereka merasa mengantuk. Pilon juga m encopot sepatunya. “Sam a rata!” kata Big J oe, saat keduanya m enghabiskan ang- gur dalam guci. Pantai tempat mereka berbaring serasa bergelombang, naik turun dengan lem but. Pilon m enutupi m uka dengan jaketnya. Tak berapa lama ia pun tertidur. Matahari terus m elanglang langit. Air laut naik m enelan pesisir dan kemudian surut kembali. Sekelompok burung laut turun, m enyelidiki kedua orang yang sedang tidur itu. Seekor anjing gelandangan pun mendekat, menciumi mereka. Dua orang nyonya tua, yang sedang m engum pulkan kerang, m elihat Pilon dan Big J oe. Mereka segera bergegas pergi, takut kalau kedua
Dataran Tortilla 95 lelaki itu bangun m endadak dan bangkit nafsu berahinya karena m elihatnya. Keduanya setuju bahwa sungguh m em alukan, polisi tidak am bil tindakan terhadap orang-orang yang tidur seenaknya di sem barang tem pat. “Kedua orang itu m abuk,” salah seorang nyonya itu berkata. Tem annya berpaling, m elihat Pilon dan Big J oe yang telah jauh di belakang. “Binatang-binatang yang sedang m abuk,” sahut- nya setuju. Akhirnya m atahari terbenam di balik puncak-puncak pohon pinus di bukit yang m em unggungi kota Monterey. Pilon ter- bangun. Mulutnya terasa kering bagai tawas. Kepalanya pening, seluruh tubuh kaku karena pasir yang keras. Big J oe m asih juga m en d en gku r . “J oe!” panggil Pilon. Si Portugis itu terus juga lelap. Pilon bertopang dagu, memperhatikan laut. “Sedikit anggur akan enak sekali terasa di mulutku,” pikirnya. Ia menunggingkan guci anggur. Tak setitik pun an ggur keluar. Kem udian digeledahn ya sem ua sakunya, harap-harap cem as, siapa tahu saat ia tidur tadi suatu keajaiban terjadi pada salah satu kantongnya. Tapi ternyata tidak. Yang ada hanya sebuah pisau pena rusak yang tak bisa ditukarkan dengan segelas anggur (ia telah mencoba m enukarkannya lebih dari dua puluh kali). Ada juga m ata kail tertancap pada gabus, seutas benang kotor, sebuah gigi anjing, beberapa kunci yang tak cocok untuk benda apa pun. Pokoknya, seluruh benda yang dipunyainya saat itu tak ada satu pun yang berharga untuk ditukarkan dengan anggur pada Torelli. Bahkan kalau Torelli sedang sangat gila sekalipun ia akan menolak benda- benda tersebut. Ragu-ragu Pilon m em perhatikan Big J oe. “Malang sekali dia ini,” pikirnya, “bila si Portugis ini bangun m ulutnya pasti juga terasa sangat kering. Karenanya ia pasti akan sangat gem bira bila aku m enyediakan sedikit anggur untuknya.” Dengan kasar ia
96 John Steinbeck m endorong-dorong Big J oe. Ternyata Big J oe hanya m enggerutu tak keruan dan kem udian m eneruskan dengkurnya. Pilon m ulai bekerja. Diperiksanya seluruh saku Big J oe. Ia m enem ukan se- buah kancing celana dari tembaga, sekeping logam bertuliskan “Hidangan Lezat di Dutchm an”, em pat atau lim a batang korek api tak berkepala, sejum put tem bakau kunyah. Pilon duduk termenung lagi. Tak ada harapan lagi. Ia me- mang harus hancur kekeringan di pantai itu sementara kerong- kongannya m eratap m inta setetes anggur. Pandangan m atanya jatuh pada celana wol biru si Portugis. Pilon m eraba celana itu. “Bagus sekali kainnya,” pikirnya. “Me- ngapa orang Portugis kotor ini harus memakai celana dengan kain begini bagus sedangkan kawan-kawannya sem ua m em akai jean?” Kem udian terpandang olehnya bahwa celana itu tak cocok untuk ukuran Big J oe. Pinggangnya terlalu sem pit walaupun dua kancing telah dibuka. Ujung celana beberapa inci di atas bagian atas sepatu. “Seseorang dengan ukuran wajar pasti cocok untuk celana ini.” Pilon teringat kejahatan yang dilakukan Big J oe terhadap Danny, dan saat itu juga ia berubah m enjadi m alaikat pem balas dendam . Berani benar si Portugis hitam ini m enyia-nyiakan per- sahabatan Danny! “Kurang ajar betul dia,” geram Pilon. “Bila ia bangun nanti akan kuhajar dia sam pai m ati. Tetapi,” Pilon yang licik m ulai m engatur siasat, “kejahatannya adalah pencurian. Hukum an yang tepat adalah barangnya harus dicuri agar ia tahu rasanya orang kecurian. Hukum an yang tepat! Sam bil m eng- hukum kita juga m em berinya pelajaran!” Bahagia benar Pilon bisa sam pai pada pem ikiran itu. Betul-betul pem ikiran gem ilang! Dengan satu tindakan saja ia bisa m encapai banyak m em balas dendam Danny, m enghukum Big J oe, m em beri suatu pelajaran, dan juga mendapatkan sedikit anggur! Siapa bisa berpikir lebih bagus dari itu?
Dataran Tortilla 97 Dengan sekuat tenaga ia m endorong si Portugis. Big J oe m engibaskan tangannya seolah-olah sedang m engusir lalat. Ce- katan sekali Pilon m encopot celana Big J oe, m elipatnya, dan m em bawanya pergi. Torrelli sedang keluar. Nyonya Torelli yang m em bukakan pintu untuk Pilon. Pilon tam pak m encurigakan gerak-geriknya, nam un akhirnya ia m enunjukkan celana yang dibawanya. Nyonya Torelli m enggelengkan kepala dengan tegas. “Tapi lihat dulu,” bujuk Pilon, “kau hanya m elihat noda dan kotorannya. Lihatlah, betapa baiknya m utu kain yang tertutup kekotoran itu, Nyonya. Coba bayangkan. Bersihkan dulu noda noda ini, setrika lagi. Nah, kalau Torrelli datang. Mungkin ia cem- berut, diam saja. Tunjukkanlah celana yang bagus ini. Matanya akan bersinar. Ia tersenyum padam u. Ia m em elukm u! Apakah kebahagiaan itu terlalu m ahal bila harus dibayar hanya dengan satu galon anggur, Nyonya?” “Pantat celana ini tipis,” kata Nyonya Torrelli. Pilon m enerawangkannya ke depan lam pu. “Bisakah kau m e- lihat sesuatu yang m enem busnya? Tidak. Yang benar, pantatnya sudah tidak kaku lagi, enak dipakai.” “Tidak,” Nyonya Torreli tetap tegas. “Kau kejam sekali pada suam im u, Nyonya. Kau halangi dia m endapatkan kebahagiaan. Aku tak akan heran bila ia m encari wanita lain yang tidak berhati batu. Seperem pat galon saja, ya?” Perlawanan Nyonya Torrelli patah. Ia m em beri Pilon seper- em pat galon anggur. Pilon segera m em inum nya habis. “Kau telah m enghancurkan harga kesenangan,” Pilon berkata. “Celana itu berharga setengah galon, paling sedikit.” Hati Nyonya Torrelli sekeras batu. Setetes pun ia tak m au menambah anggur Pilon. Pilon termenung cemberut di dapur. “Betul-betul Yahudi!” gerutunya. “Ia m enipuku! Menipu celana Big J oe!”
98 John Steinbeck Sedih Pilon m em ikirkan sahabatnya yang ada di pantai. Apa yang bisa dilakukan Big J oe? Bila ia berani pergi ke kota tanpa celana pasti ia ditangkap polisi. Dan si wanita kikir ini, pantaskah ia m em iliki celana bagus itu? Ia yang secara kikir telah m enukar celana sahabat karib Pilon dengan seperempat galon anggur tidak enak? Pilon merasakan betapa amarah mulai membara di dada- nya, rasa m arah terhadap Nyonya Torrelli. “Aku akan pergi sebentar,” katanya pada Nyonya Torrelli tiba-tiba. Celana Big J oe tergantung dalam lem ari terbuka yang tertanam pada dinding di ujung dapur. “Selam at jalan,” kata Nyonya Torrelli tanpa berpaling, ia sedang sibuk masak untuk makan malam. Sam bil berjalan ke pintu Pilon berhasil m enyam bar bukan saja celana Big J oe, tetapi juga selim ut Danny yang tersim pan pula di tempat tersebut. Pilon kem bali ke pantai tem pat ia m eninggalkan Big J oe. Dari jauh ia melihat api unggun bersinar terang di pesisir dan beberapa sosok tubuh kecil duduk m engitarinya. Hari telah gelap, api unggun itu dijadikannya penunjuk jalan. Setelah dekat, tahulah ia bahwa yang m em buat api unggun adalah sekelom pok pandu putri. Pilon hati-hati mendekat. Lam a ia baru bisa m enem ukan Big J oe. Orang Portugis itu terbaring, separuh tertimbun di bawah pasir, kedinginan dan m enderita siksaan batin. Pilon m endekatinya dan m engulurkan cela n a n ya . “Pakailah, Big J oe. Dan bergem biralah karena kau dapat m em perolehnya kem bali.” Big J oe m enggeretakkan gigi karena kedinginan. “Siapa yang m encuri celanaku, Pilon? Berjam -jam aku berbaring di sini, tak berani bergerak takut ketahuan gadis-gadis itu.” Pilon berdiri di antara Big J oe dan pandu-pandu cilik yang sedang berlarian m engelilingi api unggun. Big J oe m engibaskan
Dataran Tortilla 99 pasir yang dingin dan lem bap dari kakinya, dan m em akai kem bali cela n a n ya . Mereka berjalan berdam pingan m enuju Monterey, di m ana deretan demi deretan lampu tampak melingkari bukit, dari kejauhan bagai untaian kalung perm ata. Gosong-gosong pasir bertebaran di pesisir bagai anjing-anjing yang tidur beristirahat. Air laut m enghem pas pantai sam bil berdesis-desis. Malam begitu dingin dan tenang. Kehangatan kehidupan m engundurkan diri sehingga terasa bahwa malam penuh ancaman pahit bagi setiap m anusia, ancam an yang m engatakan bahwa setiap orang berdiri sendiri di dunia ini, sebatang kara di antara sekian banyak saha- bat, tanpa penghiburan sedikit pun datang dari mana pun. Pilon m asih juga m erenungi nasibnya. Dan J oe si Portugis bisa m erasakan betapa peliknya m asalah yang dihadapi Pilon. Mereka berjalan terus, m asing-m asing m em bisu sam pai akhirnya Pilon berkata, “Dari peristiwa ini bisa kita am bil pelajaran bahwa sungguh tolol untuk m em percayai seorang wanita.” “Apa? J adi yang m encuri celanaku seorang perem puan?” m eledak am arah Big J oe. “Siapa dia? Katakan, akan kuinjak-injak sam pai m ati!” Pilon hanya m enggelengkan kepala sedih. Sesedih J ehovah yang waktu beristirahat di hari ketujuh, m enyaksikan betapa m enjengkelkan dunianya ini. “Ia telah dihukum ,” kata Pilon, “boleh dibilang ia m enghukum dirinya sendiri, jadi itulah cara terbaik. Perem puan itu berhasil m em iliki celanam u, m em belinya dengan perasaan tamak dan kikir. Dan kini ia telah kehilangan celanamu itu.” Hal-hal seperti ini sam a sekali di luar jangkauan daya pikir Big J oe. Ia m em utuskan untuk tidak m em ikirkan hal yang m em - bingungkan itu lebih lanjut. Tepat seperti yang diharapkan Pilon. Dengan rendah hati Big J oe berkata, “Terim a kasih karena kau telah berhasil merampas kembali celanaku, Pilon.” Tetapi Pilon
100 John Steinbeck begitu terbenam dalam ilsafat hingga ucapan terima kasih itu baginya tak berharga. “Ah, tak m engapa,” sahutnya, “dari keseluruhan peristiwa, hanya pelajaran itulah yang ada harganya.” J alan mulai mendaki, meninggalkan daerah pantai. Mereka melewati pabrik gas. Big J oe m erasa sangat bahagia bisa bertem an dengan Pilon. “Inilah seorang sahabat yang benar-benar m em perhatikan saha- batnya,” pikir Big J oe, “bahkan selagi tidur pun ia waspada, m en- jaga agar sahabatnya tidak m engalam i sesuatu yang tidak baik.” Ia memutuskan untuk berbuat suatu kebaikan bagi Pilon pada suatu hari nanti.
9 DANNY TERPIKAT OLEH MESIN PENGISAP DEBU DOLORES ENGRACIA RAMIREZ tin ggal seoran g diri di rum ahnya yang kecil di tepi atas Dataran Tortilla. Ia pem bantu rum ah tangga beberapa orang nyonya di Monterey. Ia anggota Putri Pribum i Daerah Barat Keem asan. Ia tidak cantik, nam un gerakannya selalu m em iliki suatu rangsangan gairah khusus. Dan suaranya yang bagai keluar langsung dari kerongkongan m erupakan penakluk hati pria. Matanya m enyinarkan cahaya nafsu yang bagi pria-pria, bagi siapa kenikm atan tubuh lebih penting, m erupakan ajakan yang m enarik dan tak bisa ditam pik. Ada waktunya, saat ia harus bekerja kasar, Dolores tak m em iliki daya tarik sedikit pun. Nam un waktu-waktu itu hanya sebentar. Sering kali ia dikelilingi selubung pikatan asmara sam pai ia diberi gelar si Manis Ram irez.
102 John Steinbeck Sungguh m enyenangkan m elihat kebinalan dalam dirinya mulai menggelora mencari mangsa. Ia menggelantungkan bagian atas tubuhnya pada pagar rum ahnya. Ia m enggerak-gerakkan pinggulnya dengan gerakan lem but, sesekali m erapat ke pagar, sesekali m undur bagai m enggelom bangnya laut di pantai m usim panas untuk kemudian kembali merapati pagar lagi. Siapa selain dia yang bisa m engisi begitu banyak arti terpendam dalam sebuah kalim at sederhana, “Ai, am igo. A’onde vas?” Mem ang biasanya suaranya kering m elengking, m ukanya keras dan tajam bagai kapak, bentuk tubuhnya bergum palan dan tabiatnya licik. Pribadinya yang lem but dan m enarik m uncul sekali atau dua kali dalam sem inggu, dan biasanya pada sore hari. Ketika si Manis m endengar berita bahwa Danny m enjadi seorang pewaris, ia m erasa gem bira. Ia m em im pikan dirinya m enjadi Nyonya Danny, seperti juga wanita lain di Dataran Tortilla. Sore-sore ia bersandar pada pagar, menunggu Danny lewat dan jatuh dalam perangkapnya. Tetapi untuk waktu yang sangat lam a perangkap itu tak berhasil m enangkap Danny. Yang terperangkap hanyalah orang-orang Indian atau paisano-paisano m iskin yang tak m em iliki rum ah, dan kebanyakan, pakaian saja m erupakan barang-barang curian yang rupanya jauh daripada layak. Si Manis tidak puas. Rum ahnya berada di sebelah atas bukit, di atas rum ah Danny, di daerah yang ham pir tak pernah dikunjungi Danny. Si Manis tak m au m erendahkan derajat turun langsung m encari Danny. Ia m erasa dirinya setaraf dengan nyonya-nyonya di Monterey yang segala tindak-tanduknya terikat tata susila. Bila saja Danny secara tak sengaja lewat di depan rum ahnya, bila saja ia m au m am pir sebentar untuk berbincang- bincang bagai dua sahabat lama, bila saja Danny mau bertamu... dan kemudian, bila saja kodrat alam terlalu kuat, dan ia pun sebagai wanita tak bisa m enguasai diri, apa m au dikata? Bila saja
Dataran Tortilla 103 itu sem ua terjadi, ia toh tak sengaja m elanggar tata susila? Lain soalnya kalau ia m eninggalkan perangkapnya di depan rum ah dan memburu Danny ke bawah. Berbulan-bulan ia m enunggu, sia-sia. Berbulan-bulan ia harus puas m elihat m akhluk apa saja bercelana yang kebetulan lewat. Namun jumlah jalan di Dataran Tortilla sangat terbatas. Tak bisa dihindarkan, suatu hari Danny harus lewat di depan rum ah Dolores Engracia Ram irez. Dan m em ang, suatu hari hal itu terjadi. Sebelum nya, sejak keduanya saling m engenal jauh sebelum Danny menerima warisan, tak pernah si Manis mendapat keun- tungan dari pertem uannya dengan Danny. Kali ini lain, sebab hari itu Danny menemukan satu tong paku tembaga di pantai, milik Perusahaan Perbekalan Pusat. Ia mengira tong itu benda terdam par yang boleh dim iliki oleh siapa saja yang m enem u- kannya sebab tak terlihat oleh seorang pegawai perusahaan yang m enjaganya. Danny m engam bil sem ua paku yang ada, m em asuk- kannya ke dalam sebuah karung. Kem udian ia m em injam gerobak dorong si Bajak Laut, dan m inta si Bajak Laut m engikutinya, sambil mendorong gerobak berisi paku itu ke kantor Perusahaan Perbekalan Barat. Paku itu berhasil dijualnya tiga dolar, sedang tong kayu bekas tem patnya diberikan kepada si Bajak Laut. “Baik untuk m enyim pan barang-barangm u,” katanya kepada si Bajak Laut. Si Bajak Laut am at senang atas pem berian Danny itu. Sehabis m enjual pakunya, dengan gem bira Danny m enuruni bukit dengan satu tujuan tepat di hatinya, kedai m inum Torelli. Namun ketika lewat di depan rumah Dolores ia tertegun. Suara Dolores yang sem anis dengungan kum bang itu m e- nyapanya, “Ai, am igo, a’onde vas?” Danny tertegun. Perubahan besar terjadi pada rencana se- m ula. “Oh, apa kabar, Manis?”
104 John Steinbeck “Apa pedulim u akan keadaanku? Tak pernah ada sahabatku yang m em perhatikan keadaan diriku,” si Manis m enyahut m anja, sem entara pinggulnya bergoyang lem but. “Apa m aksudm u?” tanya Danny. “Buktinya, seringkah sahabatku Danny bertam u ke rum ahku?” “He, bukankah sekarang ini aku bertam u padam u?” Si Manis m em buka sedikit pintu pagar. “Sudikah kau singgah untuk minum segelas kecil anggur demi persahabatan kita?” Danny lebih dari sudi, ia ikut m asuk ke dalam rum ah. “Apa yang kau lakukan di hutan itu?” tanya si Manis kem udian. Danny berbuat kesalahan besar. Ia membanggakan peristiwa jual-beli antara dirinya dan Perusahaan Perbekalan Barat di puncak bukit sana, di mana ia berhasil mengantongi tiga dolar. “Sayang anggurku hanya cukup untuk m engisi dua seloki kecil,” kata Dolores. Mereka duduk di ruang dapur si Manis, masing-masing mi- num segelas anggur. Tak lama kemudian Danny telah lupa da- ratan, mencoba merampas kehormatan si Manis dengan penuh kejantanan dan sem angat. Ia sangat terkejut, ternyata Dolores dengan kem auan luar biasa dan segala daya m elawan kem au- annya. Sangat berbeda dari kebiasaan, ukuran tubuh dan ke- m asyhuran nam a si Manis! Ini m em buat Danny m akin buas. Nafsunya m enyala berkobar. Nam un ia tak berhasil m endapatkan keinginannya. Ia benar-benar m arah. Baru waktu ia berpam itan untuk pulang segalanya jadi jelas baginya, sebab Dolores dengan suaranya yang sedikit serak itu berkata, “Mungkin kau m au bertam u lagi m alam nanti, Danny?” Mata si Manis terselubung kabut ajakan. “Kau tahu, siang-siang begini banyak m ata yang m enganggur. Tetanggaku cukup banyak,” ia m enerangkan lebih lanjut dengan lembut. Danny m engerti duduknya perkara. “Baiklah, aku akan ke mari lagi nanti,” ia berjanji.
Dataran Tortilla 105 Hari telah m enjelang sore waktu Danny kem bali m engayun- kan langkah ke arah kedai Torrelli. Binatang buas yang m engisi jiwanya tadi waktu m enghadapi tam pikan Dolores kini telah berubah m enjadi seekor beruang jinak penuh rasa cinta. “Akan kuhadiahkan seguci anggur untuk si Manis itu,” pikirnya. Di tengah jalan tanpa terduga-duga ia bertemu dengan Pablo. Pablo m em bawa dua batang gula-gula. Satu diberikannya pada Danny, dan tanpa diajak ia m engikuti langkah Danny. “Kau m au ke mana?” “Saat seperti ini kita harus m elupakan persahabatan,” sahut Danny tegas. “Aku akan m em beli anggur sedikit untuk seorang wanita. Kau boleh ikut. J uga boleh m inum , tapi kubatasi segelas. Aku sudah bosan m em beli anggur yang ternyata kem udian dihabiskan oleh kawan-kawanku sendiri.” Pablo juga setuju dan m em ang tak m enyenangkan bila m em - beli anggur untuk seorang kekasih tapi kemudian dihabiskan oleh kawan-kawan sendiri. Baginya yang lebih penting adalah rasa persahabatannya dengan Danny, dan bukan anggurnya. Mereka pergi ke kedai Torrelli. Danny membeli satu galon anggur, kemudian ia minum segelas sedang Pablo juga diberinya segelas. Danny m engaku bahwa ia sendiri m erasa m alu hanya m em beri segelas kecil kepada sahabatnya. Akhirnya ia menuangkan segelas lagi untuk Pablo, walaupun Pablo ber- sungguh-sungguh menolak pemberian itu. Mereka minum gelas yang kedua. Pikiran Danny m ulai berubah. “Tidak baik bagi wanita untuk m inum anggur terlalu banyak,” pikirnya. “Anggur m em buatnya sedikit sinting. Lagi pula anggur m em buat wanita kehilangan sebagian besar daya tariknya, hal-hal yang disenangi lelaki.” Karenanya, m ereka m inum beberapa gelas lagi. Kem udian terpikir bahwa setengah galon anggur m erupakan hadiah yang cukup besar bagi seorang kekasih, apalagi Danny juga akan memberikan suatu hadiah lain. Dengan teliti Pablo dan Danny
106 John Steinbeck mengira-kira batas setengah galon pada guci, dan meminum habis anggur yang berada di atas batas itu. Merasa telah cukup, Danny m enyem bunyikan guci anggurnya di bawah sem ak-sem ak dalam sebuah selokan kering. “Ayo ikut denganku m em beli sesuatu untuk hadiah, Pablo,” ajak Danny. Pablo tahu alasan di balik ajakan itu. Pertama memang Danny ingin ditem ani. Kedua Danny tak ingin m em biarkan Pablo lepas dari pandangan m atanya pada waktu anggurnya tersem bunyi di tem pat yang diketahuinya. Dengan langkah terhorm at dan badan tegap m ereka m enuruni bukit m enuju Monterey. Yang dituju adalah toko Perusahaan Pegadaian, Penanam an Modal, dan Perhiasan milik Tuan Simon. Nama toko itu m em batasi jenis barang yang dijual di situ, tapi di toko itu tersedia juga, saksofon, radio, senapan, pisau, alat m engail, dan uang logam tua. Sem uanya barang bekas, tetapi sem uanya lebih baik daripada barang baru, sebab kata pem iliknya barang-barang itu tak tertebus oleh pem iliknya. “Ada yang ingin Anda lihat?” tanya Tuan Sim on. “Ya,” jawab Danny. Pem ilik toko m ulai m engucapkan serentet daftar barang yang panjang dan beraneka ragam . Tetapi pem bicaraannya terputus. Danny tidak m em perhatikannya, ia sedang m em perhatikan se- buah m esin pengisap debu yang terbuat dari alum inium . Kantong debunya berwarna biru dan kuning. Kabelnya panjang, hitam dan mengkilap. Tuan Simon mengambil pengisap debu itu. Meng- usap-usapnya dan m undur untuk m enikm ati keindahannya. “Anda tertarik pada pengisap debu ini?” “Be r a p a ?” “Yang ini, em pat belas dolar.” Yang diucapkannya itu bukan harga sebenarnya, tetapi hanyalah pancingan untuk m enduga berapa uang yang dim iliki Danny. Danny sangat ingin m em iliki
Dataran Tortilla 107 mesin itu, besar dan mengkilap. Tak ada seorang ibu rumah tangga pun di Dataran Tortilla yang punya m esin pengisap debu. Dan saat itu Danny lupa bahwa di Tortilla tak ada listrik. Ia menaruh uangnya yang dua dolar di atas m eja, dan m enunggu ledakan beruntun yang disebabkan oleh uang itu, kem arahan, kem urkaan, kesedihan, kem iskinan, kehancuran, dan penipuan. Mengkilapnya si m esin ditonjolkan, warna indah kantong debunya, kabel yang begitu panjang, dan harga logam nya. Dan setelah ledakan dem i ledakan perasaan Tuan Simon berakhir, Danny berhasil keluar dengan membawa sebuah mesin pengisap debu. Mulai hari itu, untuk m elewatkan waktunya di sore hari, sering si Manis m em bawa ke luar m esin pengisap debunya, di- sandarkan pada sebuah kursi. Dan bila ada tetangga yang ke- betulan melihat, ia mendorong mesin itu mondar-mandir, untuk m em perlihatkan betapa m udahnya rodanya berputar, sem entara m ulutnya m enirukan suara derum an m esin. “Sahabatku seorang yang kaya,” kata si Manis m em bual, “kupikir tak lam a lagi ia akan m enyuruh orang m em asang kawat penuh listrik ke rum ah ini, dan dengan listrik dan m esin ini... zip, zip, zip, m udah saja m em buat rum ah bersih.” Tetangga dan tem an-tem annya m encoba m erem ehkan ha- diah itu, m ereka m engatakan, “Sayang sekali m esinm u ini tak bisa bekerja,” dan, “Kukira dengan sapu dan tem pat sam pah kita bisa membersihkan rumah lebih baik.” Tetapi jelas m ereka iri, dan rasa iri itu tak bisa m enggoyahkan kehadiran si mesin pengisap debu. Dengan memiliki mesin itu, kedudukan sosial si Manis melonjak jauh ke atas di Dataran Tortilla. Orang yang tak bisa m engingat nam anya m enyebutnya dengan “Dia yang punya m esin pengisap debu.” Sering bila saing- an-saingannya lewat, si Manis m enam pakkan diri di jendela, m endorong m esinnya m ondar-m andir, m enggum am keras- keras. Bahkan setiap hari, setelah ia m enyapu lantainya, ia pun
108 John Steinbeck mendorong mesin itu dengan teori bahwa bila saja ia dapat jatah listrik m aka hasilnya akan lebih baik. Tapi toh segala sesuatu tak bisa dicapai dengan serentak. Si Manis menimbulkan rasa iri pada berbagai rumah tangga di Dataran Tortilla. Tingkah lakunya pun jadi sedikit som bong, angkuh, sebagai layaknya seorang yang m em iliki sebuah m esin pengisap debu. Dalam setiap pembicaraan, selalu terselip kata ‘m esin pengisap debuku’. Misalnya, “Ram on lewat depan rum ahku pagi ini, waktu aku mendorong mesin pengisap debuku,” atau “Louis Meater teriris tangannya pagi ini, kira-kira tiga jam setelah aku mendorong mesin pengisap debuku.” Walaupun kini derajatnya m elonjak tinggi, ia sam a sekali tak m elupakan Danny. Setiap Danny datang, suara si Manis bertam bah serak-serak penuh perasaan. J uga lenggang-lenggoknya m akin tampak merangsang. Dan hampir tiap malam Danny selalu hadir di rumah si Manis. Mula-m ula sahabat-sahabatnya tak m enghiraukan ketidak- hadirannya setiap m alam . Pikir m ereka setiap orang m em ang punya hak untuk hal-hal kecil seperti soal wanita m isalnya. Tapi minggu-minggu berlalu tanpa perubahan. Dan hidup Danny yang sedikit terikat itu m ulai m enam pakkan pengaruh, ia sedikit gelisah dan tampak pucat. Ini membuat sahabat-sahabat Danny m erasa yakin, rasa terim a kasih si Manis terhadap pem berian Danny m em beri pengaruh buruk pada kesehatan dirinya. Sahabat-sahabat itu m ulai bertin dak. Bila Dan n y tidak mengunjungi si Manis, bergiliran Pilon, Pablo, atau J esus Maria mencoba merebut hati bunga Dataran Tortilla itu. Dengan senang hati si Manis menerima mereka, namun ia tetap setia kepada pria yang telah m enjunjungnya ke tingkat yang sedem ikian tinggi. Ia menerima pria lain sebagai persediaan untuk masa-masa mendatang, sebab ia tahu nasib mudah sekali berubah. Sementara ini hatinya sepenuhnya diperuntukkan hanya kepada Danny.
Dataran Tortilla 109 Usaha pertama gagal, sahabat-sahabat itu mulai membentuk suatu kelompok dengan tujuan tunggal menghancurkan si Manis. Mungkin juga dalam lubuk hatinya Danny m erasa m ulai bosan akan kasih si Manis, dan terkungkung oleh keharusan untuk selalu m engunjunginya. Mungkin juga ia akan m erasa senang bila bisa terbebas dari si Manis. Suatu sore, pukul tiga, Pilon, Pablo, dan J esus Maria, dengan diikuti oleh Big J oe Portugis pulang penuh kem enangan dari suatu perjuangan keras selama tiga perempat hari. Perjuangan berat mereka melibatkan seluruh kecerdikan Pilon, kelicinan Pablo, dan kelembutan serta rasa perikemanusiaan J esus Maria Corcoran. Big J oe tidak m enyum bangkan apa-apa. Berem pat m ereka pulang bagai pem buru yang puas setelah berhasil m em peroleh buruannya lewat pem buruan yang am at sulit. Dan di Monterey seorang Italia yang kebingungan sedikit demi sedikit sadar bahwa ia baru saja ditipu. Pilon membawa segalon anggur dibungkus rapat dalam daun sulur-suluran. Dengan gembira mereka melangkah masuk ke dalam rum ah, dan Pilon m eletakkan guci anggurnya di atas m eja. Danny terbangun dari tidurnya yang nyenyak, tersenyum dan m ulai m enyiapkan m angkuk-m angkuk m inum . Ia yang m enuangkan anggurnya. Keem pat sahabatnya m enjatuhkan diri di atas kursi masing-masing. Mereka amat lelah. Tanpa banyak bicara m ereka m enikm ati m inum an itu di ujung sore, waktu jedah yang penuh keanehan itu. Saat-saat seperti itu hampir setiap orang di Tortilla beristirahat dan memikirkan apa saja yang terjadi pada hari-hari lewat, m em perkirakan apa yang akan terjadi pada hari-hari m endatang. Banyak sekali bahan- bahan pem bicaraan yang m uncul di sore hari. “Cornelia Ruiz punya suam i baru pagi ini,” Pilon m ulai, “orangnya botak. Nam anya Kilpatrick. Kata Cornelia suam inya
110 John Steinbeck yang lam a telah tiga m inggu tidak pulang. Dan Cornelia tak m e- nyukai hal-hal seperti itu.” “Cornelia adalah wanita yang terlalu m udah berubah pen- dirian,” sam but Danny. Dengan senang ia m em ikirkan betapa teguh pendiriannya, pendirian yang diperkuat oleh sebuah m esin pengisap debu. “Ayah Cornelia lebih buruk lagi tabiatnya,” kata Pablo. “Ia sama sekali tak bisa tidak berdusta. Pernah ia berutang satu dolar padaku. Kukatakan hal itu pada Cornelia, tetapi dia diam saja.” “Mem ang begitulah,” Pilon m engangguk bersungguh-sung- guh. “Air cucuran atap jatuhnya ke pelim bahan juga.” Danny kembali mengisi mangkuk-mangkuk dengan anggur. Botol telah kosong. Dengan sedih ia m em eriksa kekosongan itu. J esus Maria, orang yang penuh perikem anusiaan itu, angkat bicara dengan nada tenang, “Hari ini aku bertem u dengan Susie Francisco, Pilon. Katanya, ram uan pem ikat yang kau berikan padanya m anjur sekali. Susie kini telah tiga kali dibonceng Charlie Guzm an dengan sepeda m otornya. Waktu m ula-m ula Guzm an m inum ram uan itu, dua kali, ia jadi sakit. Susie sudah mengira ramuanmu tak akan berhasil. Tapi Susie berkata kini kau boleh m inta kue padanya kapan saja engkau m au.” “Kau buat dari apa saja ram uan itu?” tanya Pablo. Pilon tam pak segan m em beri tahu rahasia ram uannya. “Tak bisa kukatakan sem uanya padam u. Tapi kukira yang m em buat Guzm an sakit adalah racun pohon oak yang juga kum asukkan ke dalam nya.” Anggur segalon itu habis terlalu cepat. Masing-m asing ke- enam sahabat itu dirongrong oleh rasa haus yang am at sangat. Pilon m em perhatikan kawan-kawannya dengan m ata separuh tertutup. Dan ham pir tak nam pak m ereka m engangguk. Kom - plotan itu sudah siap untuk bertindak.
Dataran Tortilla 111 Pilon m endeham . “Apa yang telah kau lakukan, Danny, se- hingga seluruh kota mentertawakan dirimu?” Danny tam pak khawatir. “Apa m aksudm u?” Pilon tertawa kecil. “Banyak orang berkata bahwa kau m em - beli sebuah mesin pengisap debu untuk seorang wanita. Orang- orang berkata mesin itu tak bisa bekerja bila kabel-kabel tidak dipasang di rum ah itu. Kabel-kabel listrik m ahal harganya. Karenanya orang-orang m enganggap sungguh lucu untuk m em - berikan hadiah yang tak berguna itu.” Danny gelisah. “Si wanita itu sangat m enyukai m esin pengisap debu itu.” Ia mencoba membela diri. “Begitu?” Pablo m engangguk-angguk. “Tentu saja ia suka, bahkan ia berkata pada semua orang kau berjanji akan memasang kabel dan listrik ke rum ahnya agar m esin itu bisa dipakai.” Danny m akin gelisah. “Dia bilang begitu?” “Begitulah apa yang kudengar dari orang-orang.” “Aku tak berjanji apa pun,” bantah Danny. “Kalau saja cerita itu tidak begitu lucu, pasti aku m arah pada orang-orang yang telah m entertawai sahabatku,” kata Pilon. “Apa yang akan kau lakukan bila si wanita itu m inta agar kau m em asang kabel ke rum ahnya?” tanya J esus Maria. “Akan kutolak m entah-m entah.” Pilon tertawa. “Ingin kusaksikan kau m enolak perm intaan seorang wanita. Apalagi wanita seperti itu.” Danny m erasa bahwa sem ua sahabatnya m enentangnya. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya putus asa. Pilon berpikir dalam -dalam , m enggunakan daya pikirnya yang praktis untuk m engatasi persoalan rum it itu. “Bila si wanita itu tak m em punyai m esin pengisap debu, pasti ia tidak akan membutuhkan kabel listrik.” Semua mengangguk setuju.
112 John Steinbeck “Karena itu,” kata Pilon selanjutnya, “paling tepat m esin itu harus kita ambil kembali.” “Oh, dia tak akan rela m elepaskannya,” tukas Danny. “Kam i akan m em bantum u,” kata Pilon. “Aku yang akan m eng- am bil m esinnya, dan sebagai gantinya kau boleh m enghadiahkan segalon anggur kepada wanita pujaanm u itu. Akan kujaga agar ia sam a sekali tak tahu bagaim ana dan ke m ana m esinnya hilang.” “Tetangga-tetangganya pasti m elihatm u.” “Oh, tidak, jangan khawatir,” kata Pilon. “Kau tinggal di sini saja, Danny, aku akan m engam bil m esin itu.” Danny menarik napas lega. Ia tak khawatir lagi, bila ditangani sahabat-sahabatnya pasti sem ua persoalan cepat beres. Sedikit sekali peristiwa di Dataran Tortilla yang tidak dike- tahui benar-benar oleh Pilon. Otaknya m encatat segala kejadian, bagaim anapun kecilnya, yang dilihat atau didengarnya. Ia tahu si Manis tiap pukul setengah lima sore tiap hari pergi ke toko. Rencananya bertum pu pada kebiasaan si Manis yang tak pernah berubah ini. “Lebih baik kau tak m engetahui sedikit pun tentang ren- canaku,” kata Pilon pada Danny. Pilon telah m enyiapkan sebuah kantong goni di pelataran. Dengan pisaunya ia m em otong sebatang dahan besar bercabang banyak dari sem ak m awar, dan dim asukkannya potongan sem ak mawar itu ke dalam kantong goni. Seperti telah diduganya, si Manis sedang tak ada di rum ah. “Aku toh bukannya m encuri,” pikir Pilon, “sebetulnya m esin itu m ilik Danny.” Hanya sesaat saja waktu dipergunakannya untuk m asuk ke dalam rumah si Manis, mengambil dan memasukkan mesin peng- isap debu ke dalam karung, dan mengatur kembali dahan-dahan mawar di atas mesin, lalu menutup mulut karung.
Dataran Tortilla 113 Ia berpapasan dengan si Manis di pintu pagar. Dengan sopan Pilon m engangkat topi dan berkata, “Aku m am pir sebentar untuk beristirahat.” “Mari m asuk dulu, Pilon,” ajak si Manis. “Tidak. Aku harus ke Monterey untuk suatu urusan. Ham pir t er la m b a t .” “Akan kau bawa ke m ana sem ak-sem ak m awar ini?” “Seseorang di Monterey m em esannya, m au m em belinya. Mawar yang bagus sekali. Lihat, betapa kuat batangnya.” “Kapan-kapan m am pirlah lagi, Pilon.” Tenang saja Pilon meninggalkan pekarangan rumah si Manis, sampai rumah itu tak terlihat dan tak mendengar suara jeritan kaget wanita itu. “Agaknya beberapa saat kem udian ia sadar bahwa benda kesayangannya hilang,” pikir Pilon. Separuh persoalan telah terselesaikan, kini sisanya. “Untuk apa m esin ini? Danny juga tak bisa m enggunakannya,” pikir Pilon. “Dan bila disim pan di rum ah Danny, pasti si Manis tahu bahwa Danny lah yang telah m encuri m esin itu. Dibuang saja? Sayang, sebab benda ini cukup berharga. Yang penting, benda ini harus lepas dari tangan kami, tetapi kami masih bisa mengambil keuntungan darinya.” Pem ecahan persoalan yang dihadapinya tercapai sudah. De- ngan langkah tetap Pilon menuruni bukit menuju rumah Torrelli. Mesin pengisap debu itu besar dan mengkilap. Waktu Pilon kembali dari rumah Torrelli, lalu mendaki bukit, kedua belah tangannya m asing-m asing m em bawa seguci anggur. Sahabat-sahabatnya m enerim a kedatangannya tanpa m eng- ucapkan sepatah kata pun. Pilon meletakkan sebuah guci di atas m eja, sedang guci yang lain ditaruhnya di atas lantai. “Aku bawakan untukm u sebuah hadiah agar kau berikan kepada kekasihm u,” kata Pilon pada Danny, “dan ini ada sedikit anggur untuk kita semua.”
114 John Steinbeck Para sahabatnya gem bira berkerum un, sebab kerongkongan m ereka telah serasa terbakar kehausan. Waktu galon yang per- tam a habis, Pilon m engangkat gelasnya, m elihat pancaran cahaya lilin lewat gelas itu. “Apa yang telah terjadi tak penting,” katanya, “tetapi dari segala kejadian, selalu ada sesuatu yang bisa kita pelajari. Dari peristiwa ini, pelajaran yang bisa kita tarik ialah, sebuah hadiah, terutama untuk seorang wanita, haruslah memiliki sifat yang tidak m em butuhkan hadiah selanjutnya. J uga kita tahu dari kejadian ini bahwa tidak baik m em beri suatu hadiah yang berharga, sebab bisa menimbulkan rasa tamak.” Galon pertama telah habis. Para sahabat memperhatikan Danny untuk m engetahui reaksi Danny. Sejauh itu Danny m asih menutup mulut saja, tetapi kini ia melihat bahwa semua saha- batnya m enunggu keputusannya. “Si wanita itu m em ang sangat m enyenangkan,” ia berkata perlahan, “ia m em iliki sifat pengasih alam iah. Tapi dem i Tuhan! Aku sudah bosan!” Ia m elanjutkan kata-katanya dengan m e- nyam bar guci di lantai dan m encabut tutupnya. Si Bajak Laut, duduk di sudut kam ar, di antara anjing-anjing- nya, tersenyum seorang diri dan dengan penuh kekagum an m eng- ulangi kata-kata Danny, “Dem i Tuhan, aku telah bosan!” Bagi si Bajak Laut rangkaian kata-kata itu terasa sangat indah. Mereka baru m enghabiskan separuh guci yang kedua. Bahkan baru dua lagu yang m ereka nyanyikan. Tiba-tiba saja m uncul J ohnny Pom -pom yang m uda itu. “Aku sedang berada di Torreli tadi,” kata J ohnny Pom -pom . “Oh, si Torrelli betul-betul m urka! Ia m enjerit-jerit m arah! Ia m em ukuli m ejanya keras-keras!” Keenam sahabat itu m engangkat m uka tanpa m enunjukkan perhatian yang berlebihan. “Ah, ada sesuatu yang terjadi? Apa pun yang terjadi m em ang Torrelli pantas m enerim anya.” “Ya, sering ia m enolak m em beri m inum an gratis sedikit saja pada langganan baiknya.”
Dataran Tortilla 115 “Ada apa si Torrelli?” tanya Pablo. J ohn n y Pom -pom m en erim a sem an gkuk an ggur. “Kata Torrelli ia baru saja membeli sebuah mesin pengisap debu dari Pilon. Dipasangnya m esin itu pada saluran listrik. Tapi m esin itu tak bisa bekerja. Maka dibukanya tem pat m esinnya, ternyata tem pat itu kosong, sam a sekali tak ada m esinnya! Torrelli ber- sumpah akan membunuh Pilon.” Pilon tam pak terkejut secara berlebih-lebihan. “Aku tak tahu bahwa m esin pengisap debu itu tak ada m esinnya,” ia berkata. “Tapi m em ang Torrelli pantas m engalam i peristiwa seperti ini, sebab harga benda itu paling sedikit tiga atau empat galon anggur, dan si kikir Torrelli hanya m em beriku dua galon.” Perasaan terima kasih terhadap Pilon masih menghangati dada Danny. Bibirnya berkecap-kecap m erasakan anggurnya. “Ah, anggur Torrelli ini m akin lam a m akin tidak enak saja rasa- nya. Dulu, waktu m utunya cukup tinggi, rasanya sudah seperti air kubangan babi. Kini bahkan si Charley March tak sudi m em i- num nya.” Para sahabat itu m erasa terbalas sedikit dendam nya terha- dap Torrelli. “Kupikir lebih baik di m asa datang kita m em beli anggur di tem pat lain saja,” kata Danny lagi, “kalau Torrelli tak m au m eng- ubah tabiatnya.”
10 KISAH SEDIH SEORANG KOPRAL J ESUS MARIA corcoran adalah m ercusuar perikem anusiaan. Hatinya begitu penuh rasa kasih. Ia selalu berusaha keras m eng- hibur m ereka yang bersedih, m em bantu m ereka yang m enderita, dan ikut berbahagia bila orang lain merasa senang. Tak pernah ia bersikap keras atau kejam . Hatinya siap diberikan kepada siapa saja yang m em butuhkannya. Otak dan kecerdikannya siap disum bangkan pada siapa saja yang kurang pandai dan cerdik. Dialah yang m enggendong J ose de la Nariz sepanjang em pat m il waktu kaki J ose patah. Dan ketika Nyonya Palochio kehi- langan kam bing kesayangannya, J esus Maria juga yang turun tangan m engikuti jejak kam bing itu, m enem ukannya di saat Big J oe Portugis akan m enyem belih si kam bing. J esus Maria m em batalkan niat Big J oe dan m em bawa si kam bing kepada
Dataran Tortilla 117 pem iliknya. J esus Maria juga yang m enolong m engam bil Charlie Marsh yang tak sadarkan diri berkubangkan kotoran dan air ken- cingnya sendiri—suatu perbuatan yang bukan saja m em butuhkan hati emas penuh kasih tetapi juga ketahanan diri terhadap benda- benda yang m enjijikkan. Di sam ping kem am puannya untuk selalu berbuat baik, J esus Maria juga punya bakat untuk selalu m enem ukan keadaan yang membutuhkan kebaikan hati. Begitu harum nya nam a J esus Maria hingga suatu kali Pilon pernah berkata, “Kalau saja J esus Maria anggota suatu gereja, pastilah Monterey akan m em peringati hari m atinya sebagai hari libur keagamaan.” Sumber kasih di dalam hati J esus Maria tak pernah kering. Setiap ia m elim pahkan kasih pada sesuatu, kasih yang keluar itu selalu disusul dengan luapan kasih lagi. J esus Maria punya kebiasaan untuk pergi ke kantor pos tiap hari. Pertam a karena di tem pat itu ia bisa bertem u dengan banyak kenalannya, kedua sebab di sudut kantor pos yang berangin keras itu ia dapat m elihat paha gadis-gadis yang gaunnya tersingkap oleh angin. J angan dikira bahwa sebab kedua itu timbul dari nafsu berahi J esus Maria. Baginya, paha gadis itu bagaikan lukisan indah bagi pem inat seni lukis, ataupun konser yang indah bagi peminat musik, semata-mata rasa seni. Suatu hari ia bersandar pada tiang kantor pos itu. Dua jam lewat tanpa seorang gadis pun muncul. Dan yang terpandang olehnya hanyalah sebuah adegan menyedihkan. Seorang polisi me- nuntun seorang pemuda berumur kira-kira enam belas tahun, si pemuda membawa seorang bayi terbungkus dalam selimut kelabu. Si polisi berkata, “Aku tak peduli, aku tak m engerti kata-kata- m u. Kau tak boleh duduk sepanjang hari di selokan itu. Kau harus kami urus.”
118 John Steinbeck Dan si pem uda, dengan bahasa Spanyol yang agak janggal dialeknya m enjawab, “Tetapi, Tuan, aku tak berbuat kesalahan. Mengapa aku Tuan tangkap?” Polisi tadi m elihat J esus Maria dan berseru, “Hai, paisano. Apa kata anak ini?” J esus Maria m endekat, bertanya pada si pem uda, “Bisakah aku menolongmu?” Gem bira sekali pem uda itu. “Aku ke m ari m encari pekerjaan. Beberapa orang Meksiko berkata di sini banyak pekerjaan. Aku sedang duduk beristirahat waktu orang ini datang, dan m enye- retku.” J esus Maria m engangguk, berpaling pada si polisi, “Apakah anak muda ini berbuat kejahatan?” “Tidak, tetapi dia duduk di dalam selokan di J alan Alvarado selama tiga jam.” “Dia sahabatku,” kata J esus Maria, “dia akan kuurus sendiri.” “Baiklah, asal jangan biarkan dia duduk di selokan lagi.” J esus Maria dan sahabat barunya berjalan m endaki bukit. “Kau akan kubawa ke rum ah di m ana aku tinggal. Di sana kau bisa m akan. Bayi siapa ini?” “Bayiku,” jawab si pem uda, “aku seorang kopral, dan ini bayiku. Ia sakit, tapi kalau ia sudah besar nanti ia akan m enjadi jen d er a l.” “Dia sakit apa, Tuan Kopral?” “Aku tak tahu. Pokoknya sakit.” Si Kopral m enunjukkan m u- ka bayinya, dan m em ang bayi itu tam pak sakit keras. Rasa iba J esus Maria m ulai bertim bun. “Rum ah tem pat ting- galku m ilik sahabatku Danny. Dia seorang baik hati, Tuan Kopral. Bila kita punya kesulitan, kepadanyalah kita m inta bantuan. Kita akan pergi ke rumahnya, dan Danny pasti memperbolehkan kau tinggal di sana. Sahabatku Nyonya Palochio punya seekor kambing. Kita akan meminjam susu kambing sedikit untuk bayimu.”
Dataran Tortilla 119 Terlihat senyum pertam a pada wajah si Kopral, senyum lega. “Senang sekali punya kawan baik hati,” katanya. “Di Torreon aku juga punya banyak kawan yang sudi berkorban apa saja untukku,” ia m em bual sedikit. “Aku juga punya kawan-kawan yang kaya, tapi tentu saja mereka tak tahu kebutuhanku.” Pilon m em buka pintu pagar rum ah Danny, dan bersam a- sam a m ereka m asuk. Di ruang tengah duduk Danny, Pablo, dan Big J oe Portugis, sedang m enunggu datangnya m akanan yang biasanya tiba secara ajaib. J esus Maria m em perkenalkan si Kopral, “Ini ada seorang prajurit m uda, seorang kopral. Ia m em - bawa bayi dan bayinya sakit.” Para sahabat itu bangkit cepat. Si Kopral m em buka selim ut yang m em bungkus bayinya. “Ya, bayi ini sakit,” kata Danny, “kita harus m em anggil se- orang dokter.” Si Kopral m enggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak suka dokter. Bayi ini tidak akan m enangis. Ia juga tidak banyak m akan. Mungkin kalau ia bisa beristirahat, ia akan sembuh.” Saat itu Pilon tiba. Ia m em eriksa bayi itu dan dengan pasti m enyatakan, “Bayi ini sakit.” Segera juga Pilon m em egang tam puk pim pinan. Disuruhnya J esus Maria ke rum ah Nyonya Palochio untuk m em injam susu kam bing. Big J oe dan Pablo m endapat tugas m encari kotak apel, m elapisinya dengan rum put dan m enutup rum put itu dengan kulit dom ba. Danny m enawarkan tem pat tidurnya tetapi ditolak. Si Kopral berdiri diam saja, tersenyum lem but m enyaksikan orang-orang ini sibuk untuk dirinya. Akhirnya bayinya terbaring di dalam kotak apel. Tetapi m atanya tam pak gelisah. Dan ia tak mau minum susu. Si Bajak Laut datang. Ia m em bawa sekantong ikan m akerel. Mereka m em asak ikan itu dan m akan m alam . Si bayi bahkan tidak mau makan ikan makerel. Sekali-sekali salah seorang di
120 John Steinbeck antara keenam sahabat itu bergegas untuk m elihat si bayi. Setelah makan malam selesai, mereka duduk mengelilingi perapian. Si Kopral m enutup m ulut rapat-rapat, tak m au bercerita ten- tang dirinya. Ini m em buat keenam sahabat itu agak tersinggung, tetapi m ereka tahu bahwa pada waktunya kelak pasti m ereka bisa m engetahui kisah hidupnya. Pilon, yang m enganggap pengetahuan itu bagaikan em as— harus digali dulu sebelum bisa didapat—m ulai m em ancing- m ancing, “J arang sekali kita m elihat prajurit yang sedem ikian m uda tetapi telah m em punyai seorang bayi.” Si Kopral hanya m enyeringai bangga. Pablo ikut turun tangan, “Bayi ini pastilah buah dari suatu jalinan asm ara. Dan itu berarti ia tergolong pada bayi yang terbaik, sebab segala yang terbaik tercurah padanya.” “Kam i juga pernah jadi tentara,” kata Danny, “bila kelak kam i mati, kami akan digotong dengan kereta meriam dan disertai upacara tembakan serentak.” Mereka m enunggu apakah si Kopral akan m enggunakan kesem patan yang telah m ereka buka itu. Dan benar juga, si Kopral segera m em balas, “Kalian telah begitu baik padaku. Kalian sebaik sahabat-sahabatku di Torreon. Ini bayiku, bayi istriku.” “Dan di m ana istrim u?” tanya Pilon. Si Kopral kehilangan senyum nya. “Ia di Meksiko.” Sejenak kem udian kem bali wajahnya cerah, “Aku bertem u dengan seorang lelaki yang m enceritakan hal yang aneh. Katanya kita bisa m em buat bayi kita tum buh m enjadi apa saja yang kita kehendaki. Dia berkata, ‘Katakan pada bayim u sesering m ungkin apa yang kau hendaki kelak bila ia telah dewasa. Dan pasti kehendakmu itu akan terkabul.’ Karenanya sesering m ungkin aku katakan pada bayiku ini, ‘Kau akan jadi jenderal.’ Apa pendapat kalian? Mungkinkah itu terjadi?”
Dataran Tortilla 121 Sem ua m engangguk sopan. “Mungkin juga,” kata Pilon, “aku belum pernah mendengar hal seperti ini.” “Dua puluh kali sehari aku berkata pada bayiku, ‘Manuel, kau akan jadi jenderal kelak. Tanda pangkatmu besar dan selem- pangm u indah. Pedangm u em as, kudam u putih bersih. Alangkah senangnya hidupm u kelak, Manuel!’ Kata orang tadi ia pasti akan jadi jenderal, bila kuulang-ulang terus hal itu.” Danny bangkit, pergi ke kotak apel tem pat si bayi tidur. “Kau akan jadi jenderal,” katanya pada si bayi, “bila kau dewasa kelak kau akan jadi jenderal.” Yang lain datang berkerum un untuk m elihat apakah kata- kata itu m em bawa akibat pada si bayi. Bajak Laut berbisik, “Kelak kau akan jadi jenderal,” dan ia berpikir-pikir dalam hati apakah hal yang sam a bisa berlaku terhadap anjing. “Bayi ini sakit keras,” kata Danny, “jangan sam pai ia kedingin- an.” Mereka kem bali ke tem pat duduk m asing-m asing. “Istrim u di Meksiko....” kata Pilon m em ancing lagi. Si Kopral m engerutkan kening, berpikir sejenak, kem udian tersenyum lebar. “Akan kuceritakan padam u. Ini bukannya cerita untuk orang-orang yang belum kita kenal, tetapi kalian adalah sahabatku. Aku seorang tentara dari Chihuahua. Begitu rajin aku m em bersihkan dan m em inyaki senapanku sehingga akhirnya aku berpangkat kopral. Kem udian aku kawin dengan seorang gadis cantik. Aku m erasa pasti kekasihku itu kawin denganku bukan karena aku kopral. Waktu itu aku m erasa pasti. Ia seorang gadis yang sangat cantik dan m asih m uda. Matanya begitu cem erlang, giginya sangat putih, ram butnya panjang kem ilau. Karenanya segera juga bayi ini lahir.” “Oh, alangkah senangnya bila aku bisa jadi engkau, “ kata Danny, “tak ada yang lebih menyenangkan daripada seorang bayi.”
122 John Steinbeck “Ya,” kata si Kopral, “aku pun gem bira. Dan kam i pergi ke gereja untuk m em baptis anakku. Aku m em akai selem pang waktu itu, walaupun sebetulnya tidak berhak. Dan ketika kam i keluar dari gereja, seorang kapten dengan lidah bahu dan selempang serta pedang perak melihat istriku. Tak lama kemudian istriku kabur. Aku pergi m enem ui kapten tadi dan berkata, ‘Kem balikan istriku.’ Tetapi dia m enjawab, ‘Agaknya kau tak sayang pada nya- wam u. Berani kau bicara tidak sopan pada kaptenm u?’” Si Kopral m engakhiri ceritanya dengan angkatan bahu putus asa. “Bangsat betul kapten itu!” seru J esus Maria. “Kem udian kau kum pulkan kawanm u, dan kau bunuh kapten itu?” tanya Pilon. Si Kopral agak kikuk. “Tidak, tak ada yang bisa kulakukan. Malam pertama setelah itu seseorang menembakku lewat jendela. Hari kedua entah bagaimana sepucuk meriam lapangan meletus, pelurunya begitu dekat lewat di sam pingku hingga anginnya membuat aku jatuh. Maka, terpaksa aku meninggalkan kotaku, m em bawa bayi ini.” Muka para sahabat itu m em bayangkan rasa geram , kem a- rahan dan kekejam an. Mata m ereka m enakutkan. Si Bajak Laut, di sudut m enggeram m arah yang diikuti oleh sem ua anjingnya. “Kalau saja kita berada di tem pat itu,” desis Pilon. “Kita buat si kapten m enyesal ia terlahir di dunia ini. Kakekku pernah m en- derita karena seorang pendeta. Kem udian diikatnya pendeta itu, telanjang bulat, di sebuah tonggak di dalam kandang. Setelah itu dilepaskannya seekor anak sapi yang sedang ingin m enyusu di kandang tersebut. Anak sapi itu m enyusu pada si pendeta! Oh, banyak cara untuk m enyiksa orang.” “Aku hanya seorang kopral,” kata si Kopral m uda itu, “aku terpaksa m elarikan diri.” Matanya berlinang m alu. “Apa daya se- orang kopral bila lawannya seorang kapten. Karenanya aku kabur,
Dataran Tortilla 123 dengan bayiku, Manuel. Di Fresno aku bertem u dengan orang yang m engajarkanku m em buat Manuel jadi apa yang kuingin- kan. Dua puluh kali sehari kukatakan pada Manuel, ‘Kau akan jadi jenderal. Tanda pangkatmu besar dan kau membawa pedang em as.’” Cerita sem acam ini sungguh sesuatu yang istim ewa, cerita sem acam ini m em buat kisah Cornelia Ruiz sam a sekali tak m e- narik dan tak berarti. Cerita si Kopral m enghadapkan keenam sahabat itu pada suatu tantangan yang harus segera dijawab dengan tindakan. Mereka dengan kagum memperhatikan kopral itu. Begitu m uda, tapi sudah m em punyai pengalam an yang hebat! “Oh, alangkah senangnya bila aku berada di Torreon hari ini juga,” desis Danny m enahan m arah, “Pilon pasti m em punyai suatu rencana yang bisa kita kerjakan. Sayang kita tidak bisa pergi ke sana.” Tidak seperti biasanya, bahkan Big J oe Portugis pun belum tidur, teringat oleh cerita si Kopral. Ia bangkit, pergi ke tem pat si bayi berbaring dan berkata, “Kau akan jadi jenderal.” Tetapi kem udian ia berseru, “He, lihat. Bayi ini aneh sekali!” Sem ua ber- gegas m endekat. Mem ang, gerakan bayi itu aneh, sekali-sekali m enarik dan m elem pangkan kaki kecilnya, tangannya m eraih- raih, tubuhnya m enggeletar. “Panggil dokter!” seru Danny gugup. “Panggil dokter!” Tetapi semua tahu bahwa hal itu telah terlambat. Maut makin mendekat. Mereka tahu tanda-tandanya. Putus asa m ereka m enyaksikan be- tapa bayi itu jadi kaku dan diam , m ulutnya terbuka. Bayi itu m ati. Dengan sedih Danny menutup kotak apel itu dengan selimut. Si Kopral term enung bagai patung, begitu terguncang hingga tak bisa bicara ataupun berpikir. J esus Maria m enepuk punggungnya, m engajaknya duduk kem bali. “Kau m asih m uda,” kata J esus Maria, “kau akan bisa m em buat bayi lebih banyak lagi.”
124 John Steinbeck Si Kopral m engeluh. “Manuel m ati. Ia tak akan bisa jadi jen- deral dengan selempang dan pedang emas.” Keenam sahabat itu m engucurkan air m ata. Di sudut, anjing- anjing m eringkik m enyedihkan. Si Bajak Laut m em benam kan kepalanya yang besar pada bulu Tuan Alec Thom pson. Dengan nada lembut, bagaikan doa seorang pendeta, Pilon berkata, “Kini kau sendirilah yang harus m em bunuh kapten itu. Kam i sangat m enghorm atim u karena kau telah m em buat suatu rancangan balas dendam yang begitu m ulia. Tetapi kini rancangan itu tak bisa dilakukan, dan kau sendiri yang harus m elakukan balas dendam itu. Kam i akan m em bantum u, apa yang kami bisa.” Dengan m ata kuyu si Kopral berpaling pada Pilon. “Balas dendam ? Mem bunuh kapten itu? Apa m aksudm u?” “He, kam i tahu benar apa yang kau rencanakan,” kata Pilon. “Kau ingin agar bayi ini tum buh besar dan m enjadi jenderal. Setelah jadi jenderal ia akan mencari kapten itu dan membu- nuhnya perlahan-lahan. Itu suatu rencana yang am at bagus. Yang m em butuhkan waktu penantian yang lam a sebelum pukulan terakhir. Kam i sangat m enghorm atim u karena kau telah begitu teliti membuat rencana.” Bingung sekali si Kopral m em perhatikan Pilon. “Apa-apaan ini? Aku tak ingin berbuat apa pun pada kapten itu. Ia seorang ka p t en !” Keenam bersahabat itu duduk, tercengang. Pilon tak sabar bertanya, “Lalu untuk apa kau ingin anakm u jadi jenderal? Untuk apa?” Si Kopral agak m alu. “Aku pikir, sudahlah m enjadi tugas seorang ayah untuk m enjaga agar anaknya hidup senang. Aku ingin agar Manuel m endapat lebih banyak kesenangan dalam hidup ini daripada aku.” “Hanya itu?” seru Danny.
Dataran Tortilla 125 “Yah,” sahut si Kopral, “istriku sangat cantik, dan juga bu- kannya golongan puta. Ia perem puan baik-baik, dan kapten itu m engam bilnya. Si kapten hanya m em punyai lidah bahu kecil, selem pang kecil dan pedangnya hanya berwarna perak. Kini bayangkan,” kata si Kopral sam bil m engem bangkan jari-jarinya, “bila kapten itu, yang hanya punya tanda pangkat kecil, selem pang kecil dapat m engam bil seorang seperti istriku, bayangkan apa yang bisa diam bil oleh seorang jenderal dengan selem pang besar dan pedang em as!” Semua tertegun diam ketika Danny dan Pilon dan Pablo dan J esus Maria dan si Bajak Laut dan Big J oe Portugis m encoba m engunyah cara berpikir si Kopral itu. Dan setelah sem ua sudah disarikan dalam benak masing-masing, mereka menunggu pendapat Danny. “Mem ang sungguh sayang,” kata Danny akhirnya, “bahwa sedikit sekali orangtua yang benar-benar m em ikirkan m asa depan anaknya. Kini kam i m erasa lebih sedih lagi, sebab dengan m atinya si bayi yang m em iliki ayah begitu baik terhadapnya, bayi itu kehilangan m asa depan yang sangat cem erlang.” Sem ua sahabatnya m engangguk setuju. “Kini, apa yang akan kau lakukan?” tanya J esus Maria, yang pertam a kali m enem ukan si Kopral. “Aku akan kem bali ke Meksiko. Aku seorang tentara sejati. Mungkin bila aku rajin m em inyaki senapanku, suatu hari aku bisa jadi perwira. Siapa tahu?” Keenam sahabat itu m em andang padanya dengan kagum . Mereka bangga berkenalan dengan seorang prajurit yang begitu hebat.
11 BIG JOE PORTUGIS DICINTAI WANITA BAGI BIG J oe Portugis untuk m erasakan cinta ia harus bekerja keras. Dan inilah salah satu kisah cintanya. Waktu itu Monterey sedang disiram hujan, sepanjang hari, bahkan pohon-pohon pinus di bukit juga basah kuyup. Tak ada seorang paisano Dataran Tortilla yang keluar rum ah, dari tiap cerobong asap rumah mengepul asap biru, asap biru bakaran kayu pinus yang m em buat udara terasa bersih, segar, dan wangi. J am lim a sore hujan berhenti beberapa saat. Big J oe Portugis yang telah seharian berlindung di bawah perahu dayung di pantai, keluar dari perlindungannya dan m engayunkan langkah m enuju rumah Danny di bukit. Ia kedinginan dan kelaparan. Tepat di pinggiran Dataran Tortilla langit mengucur lagi, hujan tercurah kem bali. Satu detik saja Big J oe telah basah
Dataran Tortilla 127 kuyup. Ia lari ke dalam rum ah yang terdekat, dan rum ah itu ternyata m ilik Tia Ignacia. Nyonya itu berum ur em pat puluh lim a tahun, seorang janda yang bertahan lam a serta m em iliki sedikit sukses dalam hidupnya. Biasanya ia selalu berm uka m asam dan ketus, sebab ia m em iliki terlalu banyak darah Indian, lebih dari yang dianggap wajar di Dataran Tortilla. Waktu Big J oe m asuk, Tia Ignacia baru saja m em buka tutup guci anggur m erah dan akan m enuangkannya ke dalam gelas untuk m enghangatkan perut. Ia m encoba m enyem bunyikan gucinya di bawah kursi, tetapi tak berhasil. Big J oe berdiri di lantai di depan pintu sambil mengeringkan tubuh. “Masuklah, keringkan dirim u,” perintah Tia Ignacia. Big J oe, tanpa m elepaskan m atanya dari guci anggur itu, m asuk. Hujan membuat atap seakan meraung-raung. Tia Ignacia membesarkan api tungku perapiannya. “Mau m enem aniku m inum segelas anggur?” “Ya,” jawab Big J oe. Sebelum anggur di gelasnya habis, m ata- nya telah kem bali ke guci tadi. Tiga gelas lagi dim inum nya sebelum ia sanggup mengucapkan sepatah kata, sebelum kebuasan di m atanya lenyap. Tia Ignacia sudah tak punya harapan, m enganggap anggur di gucinya hilang percum a. Satu-satunya jalan untuk m enguasai anggurnya, walaupun cum a sebagian, adalah m inum terus bersam a Big J oe. Baru pada gelas keem pat Big J oe tidak terlihat tegang lagi. “Ini bukan anggur Torrelli,” katanya. “Bukan, aku dapat anggur ini dari seorang wanita Italia, sahabatku,” kata Tia Ignacia sam bil m enuangkan lagi anggurnya. Senja turun. Tia Ignacia m enyalakan lam pu m inyak tanah dan m enam bah kayu perapian. Kalaupun anggurnya harus habis, baiklah, tapi ia harus m endapatkan sedikit keuntungan darinya.
128 John Steinbeck Ia m em perhatikan tubuh Big J oe yang tinggi besar dengan teliti. Sesuatu kehangatan m engisi dadanya. “Kasihan benar kau, kau telah bekerja terus dalam hujan lebat ini, ya?” kata Tia, “ayo, copotlah jaketm u, keringkan di sini.” Big J oe jarang sekali berdusta. Otaknya tak bisa segera m em buat suatu dusta. “Aku seharian berada di bawah perahu dayung di pantai, tidur.” “Tetapi seluruh tubuhm u basah kuyup.” Tia terus m em per- hatikan Big J oe, m enunggu sedikit tanggapan atas perhatiannya. Tapi wajah Big J oe tak m em perlihatkan perasaan apa pun, kecuali rasa lega telah lolos dari curahan hujan dan bahkan bisa minum anggur. Ia m engulurkan gelasnya, m inta diisi. Karena belum m akan sejak pagi, anggur m em berikan suatu pengaruh yang pasti pada dirinya. Tia Ignacia m encoba lagi. “Tak baik duduk dengan pakaian basah. Nanti kau m asuk angin. Ayo, m ari kutolong m em buka ja ket m u .” Big J oe tak beranjak dari kursinya. “Aku tidak apa-apa,” kata- nya bersikeras. Tia Ignacia m enuangkan segelas anggur lagi. Api di tungku m em buat suara berdesis, dan dengan suara m enderam nya hujan pada atap keduanya m enciptakan paduan suara yang m enye- n a n gka n . Big J oe sam a sekali tak m enunjukkan tanda-tanda untuk bersikap ram ah, sopan santun, atau sedikitnya m enunjukkan bahwa ia seorang tam u. Ia m inum anggurnya dalam tegukan- tegukan besar. Ia tersenyum tolol pada api di perapian. Ia m eng- goyang-goyangkan dirinya di kursinya. Rasa m arah dan putus asa tim bul pada Tia Ignacia. “Babi ini,” pikirnya, “binatang besar dan busuk ini. Lebih baik lagi kalau yang m asuk ke rum ah ini seekor sapi. Lelaki lain sedikitnya bisa bilang terima kasih.”
Dataran Tortilla 129 Big J oe m engulurkan gelas, m inta diisi lagi. Tia Ignacia m em bajakan diri untuk m encoba lagi. “Di sebuah rum ah kecil yang hangat, di m alam -m alam seperti ini, tim bul rasa bahagia,” ia berkata. “Bila hujan berdetik pada atap, dan api di tungku m em ancarkan kehangatan, tim bul kem esraan. Apakah kau tak bisa bersikap mesra?” “Ten t u .” “Mungkin cahaya lam pu m enyilaukan m atam u,” Tia Ignacia m endapat sedikit harapan, “bagaim ana kalau kupadam kan saja?” “Silakan,” kata Big J oe, “bila kau ingin m enghem at m inyak, sila ka n .” Tia Ignacia meniup lampu hingga padam. Ruangan itu segera tenggelam dalam kegelapan. Kem udian ia duduk kem bali, m e- nunggu tindakan kejantanan Big J oe. Ia m endengar kursi Big J oe bergoyang-goyang. Dari celah-celah tutup tungku m em ancar sedikit cahaya m enerangi sudut-sudut perabotan yang ada. Wa- laupun gelap, ruangan itu seakan-akan terang oleh kehangatan. Kursi Big J oe berhenti bergerak. Tia Ignacia m em persiapkan diri untuk m em berikan sedikit tanggapan bila Big J oe tergugah nafsu berahinya. Tetapi setelah m enunggu sekian lam a, tak terjadi apa- apa. “Coba pikirkan,” Tia Ignacia berbicara lagi, “bagaim ana kalau pada saat ini, pada saat badai sedang mengamuk ini, kau meng- geletar dalam suatu gubug atau berbaring kedinginan di bawah perahu. Untung tidak dem ikian. Kau kini duduk di kursi, m inum anggur berm utu tinggi, ditem ani seorang nyonya, sahabatm u.” Tiada jawaban dari Big J oe. Tia Ignacia tak bisa m elihat atau m endengar tam unya. Ia m em inum habis anggur di gelasnya, dan m em utuskan untuk m enyerang secara langsung, tak peduli lagi akan rasa m alu. “Sahabatku Cornelia Ruiz pernah berkata sering kali sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk berlindung
130 John Steinbeck dari hujan atau hawa dingin. Ia menghangatkan mereka dan m ereka jadi sahabat baiknya.” Terdengar suara gelas Big J oe jatuh ke lantai. Tetapi tak ada gerakan yang m enyusul jatuhnya gelas itu. “Mungkin ia sakit,” pikir Tia Ignacia, “m ungkin ia pingsan.” Ia bangkit, m enyalakan korek api dan m enyulut sum bu lam pu. Kem udian berpaling pada tam unya. Big J oe sedang tidur nyenyak. Kakinya terjulur jatuh ke depan. Kepalanya terkulai ke belakang, m ulutnya terbuka lebar. Tia Ignacia ternganga terkejut, heran. Lebih terkejut lagi waktu tiba-tiba Big J oe m eletuskan rangkaian dengkur yang dahsyat. Big J oe m em ang tak pernah bisa m enahan kantuk bila tubuhnya hangat dan nyam an. Beberapa saat Tia Ignacia tak tahu harus berbuat apa. Tetapi ia m ewarisi banyak sekali darah Indian. Ia tak m enjerit. Tidak. Walaupun kem arahan m em buat tubuhnya m enggeletar, dengan tenang ia bisa berjalan ke keranjang tem pat kayu api. Mem ilih sepotong kayu api, m enim bang-nim bang beratnya, m enukarnya dengan potongan lain yang lebih berat. Kem udian perlahan ia m endekati Big J oe Portugis. Hantam an pertam a jatuh pada punggungnya, m em buatnya terlem par dari kursi. “Babi!” baru kini Tia Ignacia m enjerit. “Sam pah kotor! Pergi kau! Kem bali ke kubanganm u sana!” J oe berguling di lantai. Pukulan kedua membuat lekukan berlum pur pada pantatnya. Big J oe bangun dari tidurnya, cepat- cepat. “Huh? Ada apa? Apa yang kau lakukan?” gum am nya bingung. “Kau akan tahu nanti!” teriak Tia Ignacia. Ia m em buka pintu lebar-lebar dan kem bali m endekati Big J oe. Big J oe terhuyung berdiri, dihujani terus dengan pukulan. Tongkat kayu itu m engenai punggungnya, bahunya, dan kepalanya. Ia lari keluar, m elindungi kepalanya dengan tangan.
Dataran Tortilla 131 “J angan!” pintanya. “J angan pukuli Aku! Apa sebabnya?” Tia Ignacia terus m em burunya dengan pukulan, m enggiring- nya sepanjang jalan di pekarangan sam pai m asuk ke jalan di depan rum ah yang berlum pur. Tia Ignacia tidak berhenti, terus m engejarnya. “Hey,” teriak Big J oe, “J angan!” Untuk m elindungi dirinya terpaksa Big J oe m enangkap tangan Tia. Tia m eronta hendak m em bebaskan diri dan m eneruskan m em ukuli Big J oe. “Oh babi! Oh, sam pah! Oh, sapi!” jerit Tia. Big J oe tak berani m elepaskan tangan Tia. Untuk lebih m em perkuat pertahanannya ia m em eluk tubuh wanita itu erat- erat. Dan saat itulah Big J oe jatuh cinta. Cinta bernyanyi dalam benaknya. Cinta m enderu di seluruh tubuhnya. Cinta m em buat tubuhnya m enggeletar bagai dilanggar topan. Ia terus m em eluk Tia erat-erat hingga m arah wanita itu lenyap. Setiap malam seorang polisi bersepeda motor selalu meronda daerah Monterey, untuk m encegah terjadinya kejahatan. Malam itu yang bertugas adalah J ake Lake, dengan jas hujan m engkilap oleh air hujan. Ia sedang merasa jengkel, kesal harus bertugas malam-malam begini. Tak apa bila ia harus bersepeda motor di jalan yang beraspal, tetapi ia pun harus m eronda jalan-jalan di Dataran Tortilla yang penuh lum pur. Lum pur kuning yang selalu m uncrat dan sukar dibersihkan. Lum pur yang m em buat m esin sepeda m otornya harus bekerja keras. Mendadak sontak J ake Lake m enghentikan m esinnya. Dua sosok tubuh m enjadi satu di lum pur. “He, apa-apaan ini?” teriak J ake Lake. “Dem i Setan!” Big J oe m em utar lehernya, m enengadah dari tanah untuk bisa m elihat polisi itu. “Hey, kau itu, J ake? J ake, kau toh akan m em bawa kam i berdua ke penjara. Banyak waktu untuk itu. Tunggu sebentar lagi, ya?”
132 John Steinbeck J ake Lake m em utar sepeda m otornya. “Kalian berdua, ting- galkan jalan ini. Salah-salah kalian dilindas mobil nanti.” Mesinnya m enderu di atas lum pur, dan cahaya lam punya menghilang di ujung jalan. Hujan masih merintik pada pepohonan di Dataran Tortilla.
12 DANNY DAN KAWAN-KAWAN MEMBANTU SI BAJAK LAUT MENEPATI KAUL SETIAP SORE si Bajak Laut m endorong gerobaknya yang ko- song m endaki bukit dan m asuk halam an rum ah Danny. Disan- darkannya gerobak itu pada pagar, ditutupinya dengan karung, ditanam nya kapaknya dalam tanah—sebab sem ua orang tahu kalau kapak ditanam , m aka bajanya bisa bertam bah keras. Terakhir sekali ia m asuk ke dalam rum ah, m erogoh kantong Bull Durham yang tergantung di lehernya, m engam bil uang talen penghasilannya hari itu dan m em berikannya kepada Danny. Danny dan si Bajak Laut, dan siapa saja yang kebetulan ada di rumah waktu itu, kemudian masuk ke kamar tidur, melangkahi alas-alas tidur yang bertebaran di atas lantai. Dengan disaksikan oleh paisano lainnya, Danny m engam bil kantong kanvas yang
134 John Steinbeck tersem bunyi di bawah bantalnya, m em asukkan uang talen si Bajak Laut itu. Dem ikianlah yang biasa terjadi setiap hari, selam a b er b u la n -b u la n . Kantong uang di bawah bantal Danny itu telah m enjadi pusat lam bang persahabatan, titik kepercayaan dan kekeluargaan mereka berputar. Mereka bangga akan uang itu, bangga karena m ereka cukup kuat untuk tidak m engganggunya. Tum buh rasa hormat pada diri sendiri, rasa puas, dari kebanggaan mereka m enjadi penjaga uang si Bajak Laut. Bagi seseorang, tak ada yang lebih m enyenangkan daripada bila ia dipercaya orang lain. Di benak m ereka uang si Bajak Laut telah kehilangan arti sebagai benda penukar. Memang, kadang-kadang mereka memimpikan berapa galon anggur yang bisa dibeli dengan uang itu, terutam a pada saat-saat perm ulaan si Bajak Laut m em percayakan uangnya pada m ereka. Lam a-kelam aan pikiran sem acam itu jarang sekali timbul. Mereka tahu, uang itu untuk membeli tempat lilin dari emas. Dan lilin itu akan dipersembahkan pada St. Francis dari Asisi. Mengecewakan Orang Suci jauh lebih buruk akibatnya daripada melanggar hukum. Suatu sore tersiar berita bahwa sebuah kapal milik penjaga pantai terdam par di dekat Carm el. Big J oe sedang pergi, untuk urusannya sendiri, tapi Danny, Pilon, Pablo, J esus Maria, dan kelim a anjingnya dengan gem bira berangkat m enuju Carm el. Tak ada yang lebih m enggem birakan bagi m ereka daripada m em unguti barang-barang yang terdam par di pantai. Ini m erupakan hal yang paling m enyenangkan di dunia. Mereka agak terlam bat, banyak orang yang telah m ulai m encari-cari di sepanjang pantai. Nam un m ereka cepat m enyusul keterlam batan itu. Sepanjang malam kelima sahabat itu menjelajahi setiap lekuk-liku daerah itu dan tum pukan barang-barang yang m ereka tem ukan cukup m enyenangkan, beberapa benda ringan, sekaleng m entega, beberapa peti kalengan, sebuah Bowditch yang basah, dua jaket
Dataran Tortilla 135 apung, satu tong air untuk perahu penyelam at, sepucuk senapan mesin. Tumpukan hasil pencarian mereka cukup memuaskan di- lihat dalam sinar pagi keesokan harinya. Untuk jerih payah itu, m ereka m enerim a im balan lim a dolar dari salah seorang penonton. Mereka terpaksa m enjual sem uanya, sebab tak mungkin membawa beban seberat itu sejauh enam mil di jalan menanjak menuju Dataran Tortilla. Karena hari itu si Bajak Laut tak m ungkin m enjual kayu, Danny m em berinya uang setalen yang segera disim pannya di kantong Bull Durham -nya. Mereka berjalan pulang. Lelah, tapi b a h a gia . Hari telah sore waktu m ereka m encapai rum ah Danny. Bagaikan upacara keagam aan si Bajak Laut m em berikan uang talenannya kepada Danny. Dan sem ua berkerum un m asuk ke kam ar tidur. Tangan Danny m eraba ke bawah bantalnya—dan tak m enem ukan apa-apa. Ia m em balik kasurnya. Kem udian perlahan-lahan ia berpaling pada kawan-kawannya, m atanya jadi sekejam m ata harim au m arah. Diperhatikannya m uka m ereka satu per satu. Dan pada tiap m uka dilihatnya rasa ketakutan dan bantahan yang tak bisa dipalsu. “Hm ,” geram nya, “hem .” Dan si Bajak Laut m ulai m enangis. Danny m enepuk bahunya, m em bujuknya, “J angan m enangis, Sahabatku. Kau pasti akan m em peroleh kem bali uangm u.” Diam -diam paisano-paisano itu keluar dari kam ar Danny. Danny pergi ke halam an, m engam bil sepotong kayu besar, sepanjang tiga kaki, dan m encoba m engayun-ayunkannya. Pablo pergi ke dapur, kem bali dengan pem buka kaleng yang m enye- ramkan dan penuh karat. Dari bawah rumah, J esus Maria menge- luarkan gagang sekop. Si Bajak Laut m elihat itu sem ua dengan mata terbelalak. Tak lama kemudian mereka telah duduk di ruang t en ga h .
136 John Steinbeck Si Bajak Laut m enunjuk ke kaki bukit dengan ibu jarinya. “Dia?” ia bertanya. Danny m engangguk perlahan. Matanya suram tapi m asih m em ancarkan m aut. Dagunya m enonjol ke depan, tubuhnya m e- lengkung sedikit, bagaikan seekor ular yang akan m em atuk. Si Bajak Laut pergi ke halam an, m engeluarkan kapaknya dari dalam tanah. Lam a m ereka duduk diam , tak berbicara, sem entara gelom - bang kemarahan terasa bergerak mengalun menelan mereka sem ua. Rum ah itu bagaikan batu karang yang akan diledakkan, saat sumbu dinamit sudah hampir habis. Sore berlalu, matahari terbenam di balik bukit. Seluruh Dataran Tortilla seakan diam dan menunggu. Mereka m endengar langkah kakinya di jalan, dan m asing- m asing m em pererat pegangan pada benda yang sedang m ereka pegang. Ragu-ragu J oe Portugis masuk. Ia membawa seguci ang- gur. Matanya gelisah m em perhatikan kawan-kawannya satu per satu, tetapi mereka tak mau melihat dia secara langsung. “Halo,” sapa Big J oe. “Halo,” jawab Danny. Ia bangkit, m enggeliat m alas. Ia tidak m elihat Big J oe. Ia tidak langsung m endekati Big J oe, tetapi bergerak m enyudut, seolah-olah akan m elewatinya. Waktu m e- reka telah berdampingan, dengan kecepatan patukan ular Danny m enghantam bagian belakang kepala Big J oe, begitu keras hingga kayunya patah. Big J oe roboh, pingsan. Tanpa bicara Danny mengeluarkan seutas tali kulit dari kan- tongnya, diikatnya ibu-jari tangan Big J oe erat-erat. “Kini air,” katanya kem udian. Pablo m engam bil seem ber air, m enyiram kannya ke m uka Big J oe. Big J oe m em utar kepalanya, m enjulurkan lehernya se- perti ayam , kem udian ia m em buka m ata, bingung m elihat pada kawan-kawannya. Mereka sam a sekali tidak m engucapkan apa-
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236