5 ST. FRANCIS MENGHUKUM PILON, PABLO, DAN JESUS MARIA SORE TIBA, selam bat-laun um ur m eram bati seorang yang ber- bahagia. Cahaya m atahari bersepuh keem asan. Air di teluk m akin m em biru, berhiaskan lesung pipit buatan riak yang berdebur di pantai. Pengail-pengail ikan—yang berkeyakinan bahwa ikan- ikan lebih m udah dikail di waktu pasang naik—m eninggalkan karang-karang tempat mereka bertengger. Mereka digantikan oleh nelayan-nelayan yang berkeyakinan bahwa ikan m udah dikail di waktu pasang surut. J am tiga angin berbelok, kini meniup lembut dari arah teluk, membawakan berbagai bau-bauan ganggang dan lumut laut. Para penambal jala di tanah-tanah lapang Monterey meletakkan pasaknya, dan m enggulung rokok. Di jalan-jalan di dalam kota
38 John Steinbeck tam pak nyonya-nyonya gendut diangkut dalam m obil-m obil yang terseok-seok untuk makan angin di tepi pantai atau minum gin di hotel Del Monte. Mata nyonya-nyonya itu m em bayangkan kelelahan dan kebijaksanaan yang biasa terlihat pada m ata babi. Di J alan Alvarado, Hugo Machado, si penjahit, m em asang tanda di pintu tokonya, “Pergi sebentar, 5 m enit” dan pulang untuk tidak kem bali lagi ke tokonya hari itu. Pohon-pohon pinus bergoyang bergelom bang. Ayam -ayam , lebih kurang seratus kandang ayam , di daerah itu bersama-sama meneriakkan keluhan atas nasib b u r u kn ya . Pilon dan Pablo duduk berteduh di balik semak-semak ma- war m erah Castille di halam an rum ah Torrelli. Mereka tenang- tenang saja minum anggur, membiarkan sore hari merambat berlalu selam bat tum buhnya ram but. “Ada untungnya kita tak m em bawa kedua galon anggur ini kepada Danny,” kata Pilon, “ia orang yang tak tahu batas kalau sedang minum anggur.” Pablo m engangguk setuju. “Danny m em ang tam pak sehat,” ia berkata, “tapi justru orang-orang yang tam paknya sehat itulah yang biasanya jatuh m ati setiap hari karena sakit. Contohnya si Rudolfo Kelling. Atau si Angelina Vasquez.” Di saat itu realisme Pilon muncul sebentar ke permukaan. “Rudolfo mati karena jatuh ke dalam penggalian batu di atas Paciic Grove,” ia term enung m enyesali sendiri kata-katanya terhadap J esus Maria, “dan Angelina m ati karena keracunan, m akan ikan kaleng. Tapi,” ia m em perlem but akibat dari pernyataannya, “aku tahu apa yang kau m aksudkan. Dan m em ang banyak juga orang- orang yang m enem ui ajalnya karena m em inum anggur m elebihi ukuran yang wajar.” Secara naluriah, dan tak tergesa-gesa, Monterey memper- siapkan diri untuk m enyam but m alam . Nyonya Guttierez m eng- iris-iris cabai kecil untuk saus enchilada. Rupert Hogan, penjual
Dataran Tortilla 39 m inum an keras, m encam pur ginnya dengan air untuk dihidangkan malam nanti, sehabis tengah malam. J uga ia mencampurkan sedikit lada pada wiskinya, untuk dihidangkan di awal m alam . Di balai dansa El Paseo, Bullet Rosendale m em buka sekotak kue-kue kering, m engaturnya bagaikan tali cokelat m engelilingi piring-piring kehorm atan. Perusahaan ‘Istana Obat’ m enggulung tirainya. Sekelom pok pria, yang m enghabiskan waktu sorenya bergerom bol di depan kantor pos untuk m enyapa orang-orang yang lewat kini bergerak ke stasiun untuk m enyaksikan kedatangan kereta api ekspres Del Monte dari San Francisco. Burung cam ar beterbangan dari pantai-pantai pengalengan ikan, terbang pulang ke batu-batu karang. Serangkaian burung pelikan m enyam bar- nyam bar laut dengan keras kepala, dalam usaha untuk m encari tem pat berm alam . Di kapal-kapal penjaring ikan nelayan-nelayan Italia m ulai m elipat jalanya pada penggulung. Nona Alm a Avarez, seorang nona berum ur sem bilan puluh tahun, seperti biasanya setiap hari menaruh serangkaian bunga pada patung Sang Perawan di dinding luar gereja San Carlos. Di desa Paciic Grove, dekat situ, yang penduduknya beragam a Methodist, kelom pok WCTU m engadakan rapat sam bil m inum teh. Organisasi buruh wanita itu m endengarkan pidato seorang nyonya tentang akhlak dan pelacuran di Monterey yang diucapkan berapi-api. Pem bicara m engusulkan agar dibentuk panitia untuk m enyelidiki dari dekat pusat-pusat kebejatan akhlak itu. Menurut dia, panitia baru harus dibentuk karena panitia lama telah terlalu sering mengunjungi tempat-tempat dimaksud. Matahari makin membarat dan bersemu jingga. Di bawah semak-semak mawar di halaman Torrelli, Pablo dan Pilon meng- habiskan galon pertama anggur mereka. Torrelli keluar dari ru- m ah, berangkat m enuju kedainya, tanpa m engetahui bahwa dua orang langganannya sedang bersem bunyi di bawah sem ak-sem ak. Pablo dan Pilon m enunggu hingga Torrelli lenyap dari pandangan
40 John Steinbeck di ujung jalan ke Monterey. Kem udian m ereka bangkit, dan dengan penuh kepercayaan m enggunakan segala kecerdikan untuk m erayu Nyonya Torrelli. Mereka m enepuk pantat nyonya itu, bersikap agak bebas dengan m em anggilnya “Belibis Genit”. Karena sem ua itu, Pablo dan Pilon m endapatkan m akan m alam yang m engenyangkan. Dan m ereka keluar rum ah m eninggalkan Nyonya Torrelli kusut m asai tapi beranggapan bahwa dirinya secantik bidadari. Malam telah tiba, lam pu-lam pu m ulai m enyala. J endela- jendela terang. Lam pu neon Monterey Theatre m enyinarkan berkedip-kedip, “Anak-anak neraka… Anak-anak neraka”. Seke- lom pok kecil orang-orang fanatik m ulai m engam bil tem pat pada batu-batu karang dingin, m ereka percaya bahwa ikan m udah dikail di waktu m alam . Kabut tipis datang bergulung-gulung m e- menuhi jalanan, bergantung pada cerobong-cerobong asap, dan tercium bau kayu-kayu pinus di perapian. Pablo dan Pilon kembali duduk di bawah semak-semak m awar. Nam un m ereka tak m erasa senyam an sebelum m akan m alam tadi. “Ah, di sini am at dingin,” keluh Pilon. Ia m eneguk anggurnya untuk m endapatkan kehangatan. “Lebih baik kita pulang. Di rum ah hangat,” kata Pablo. “Tetapi tidak ada kayu untuk perapian kita.” “Hm , kalau begitu, dengar. Bawalah anggur ini. Tunggu aku di pengkolan jalan ini,” kata Pablo. Ia m em enuhi janjinya, sete- ngah jam kemudian. Pilon menunggu di pengkolan itu dengan sabar, sebab ia tahu dalam beberapa hal ia tak bisa m em bantu sahabatnya. Sam bil menunggu, Pilon mengarahkan pandangan waspada ke arah Monterey, arah Torrelli tadi m enghilang. Ia tahu bahwa Torrelli seorang yang kuat, dan tak m udah m enerim a keterangan apa pun, walaupun disusun secara hati-hati dan dengan menggunakan kata- kata yang indah. Ditam bah lagi Pilon tahu Torrelli m em punyai
Dataran Tortilla 41 pandangan yang terlalu m uluk dan berlebih-lebihan terhadap hubungan suami-istri, seperti kebiasaan orang Italia. Tapi Pilon menunggu dengan sia-sia. Torrelli tidak muncul mengamuk. Dan Pablo telah m enem uinya. Dengan kagum Pilon m elihat bahwa sahabatnya itu m em bawa seikat besar kayu api dari gudang kayu Torrelli. Pablo sam a sekali tak m au m enceritakan apa yang telah diper- buatnya pada Nyonya Torrelli. Hanya waktu m ereka m encapai rum ah ia m ensitir kata-kata Danny, “Betul-betul m em uaskan, Belibis Genit itu.” Pilon mengangguk ke arah kegelapan, dan menanggapi de- ngan suatu ilsafat dalam, “Sungguh jarang sekali seseorang me nem ukan segala keperluannya di satu tem pat—anggur, m akanan, cin ta, dan kayu api. Kita harus selalu m en gin gat kebaikan Torrelli, Pablo, dia sungguh-sungguh patut kita kenal lebih baik lagi. Kapan-kapan kita beri hadiah kecil dia.” Pilon m enyalakan api di perapian. Kedua sahabat itu duduk di dekat api yang berkobar, m enghangatkan m angkuk m ereka yang berisi anggur. Malam itu, cahaya yang terpancar di rum ah m e- reka adalah cahaya suci. Pablo telah m em beli sebatang lilin untuk dipersembahkan pada St. Francis. Namun entah bagaimana mak- sud sucinya itu terlupa, dan kini lilin persem bahan itu m enyala indah di sebuah kerang, m em ancarkan cahaya yang m elem parkan bayang-bayang Pilon dan Pablo pada dinding. “Ke m ana saja J esus Maria, ya?” tanya Pilon. “Ia berjanji akan kem bali ke m ari. J anjinya sudah lewat. Aku tak tahu, apakah ia bisa dipercaya atau tidak,” jawab Pablo. “Mungkin ia terhalang sesuatu, Pablo. Dengan jenggotnya yang m erah dan hatinya yang lem but itu J esus Maria selalu m en- dapat kesulitan dari kaum wanita.” “Otaknya otak belalang,” kata Pablo, “tak pernah ia berhenti m enyanyi, berm ain, dan m eloncat-loncat. Ia tak pernah ber- su n ggu h -su n ggu h .”
42 John Steinbeck Tetapi m ereka tak usah m enunggu lam a. Belum sam pai bebe- rapa teguk m ereka m inum dari m angkuk yang kedua, J esus Maria terhuyung-huyung m asuk. Ia terpaksa m em egang kedua belah daun pintu agar tidak jatuh. Bajunya robek. Mukanya berdarah. Sebelah mata bengkak hitam. Pablo dan Pilon terkejut, m em burunya. “Sahabat kita! Dia luka! Dia jatuh dari tebing jurang! Dia dilindas kereta api!” Tiada nada mengejek pada kata-kata itu. Tapi bagi J esus Maria sakit sekali hatinya m endengarkannya. Dengan m atanya yang m asih baik ia m em elototi kedua kawannya dengan ganas. “Em ak kalian sapi tua bangka!” desisnya geram . Pablo dan Pilon mundur ketakutan mendengar sumpah se- rapah itu. “Sahabat kita pikirannya kacau!” “Pasti gegar otak!” “Beri dia sedikit anggur, Pablo.” J esus Maria duduk cemberut dekat perapian, membelai-belai m angkuknya. Kedua sahabatnya m enunggu dengan sabar sam pai ia m em buka m ulut lagi. Nam un agaknya J esus Maria tak ingin m enceritakan apa yang telah terjadi. Pilon m endeham -deham beberapa kali. Pablo memandang J esus Maria dengan pandang penuh pengertian dan kasihan. Tapi J esus Maria tetap bungkam. Merenungi perapian. Merenungi anggurnya. Merenungi lilin suci yang m enyala terang. Akhirnya ketidaksopanannya dalam m enutup m ulut m em buat Pilon m eninggalkan sopan-santunnya. Pilon tak mengerti mengapa ia sampai kehabisan kesabaran. “Prajurit-prajurit itu lagi?” tanyanya. “Ya,” geram J esus Maria, “m ereka datang sebelum waktunya!” “Pasti jum lah m ereka lebih dari dua puluh,” Pablo m encoba m enghibur, “sem ua orang tahu betapa bahayanya engkau bila berkelahi, dan kau sam pai sedem ikian tak keruan!” J esus Maria terlihat sedikit ramah oleh sanjungan ini.
Dataran Tortilla 43 “Mereka hanya em pat orang,” katanya. “Tetapi Arabella Gross membantu mereka. Ia memukul kepalaku dengan sebongkah batu.” Perasaan keadilan meledak di dalam dada Pilon. Dengan ketus ia berkata, “Kalau tidak salah, sahabat-sahabatm u ini telah memperingatkanmu, agar kau tidak bermain-main dengan pela- cur pengalengan ikan itu.” Ia berhenti sejenak, mengingat-ingat apakah benar ia pernah memperingatkan J esus Maria tentang itu. Dan ia merasa memang pernah. “Gadis-gadis kulit putih m urahan seperti dia tak punya hati, kawanku,” Pablo m enyela, “tetapi, benda kecil yang m engitari dada itu sudah kau berikan padanya?” J esus Maria merogoh saku. Mengeluarkan sebuah kutang m erah dari rayon, lusuh. “Belum ada waktu untuk m em berikan- nya,” katanya, “ham pir saja aku berikan, waktu peristiwa itu terjadi. Lagi pula ia belum kubawa m asuk ke dalam hutan.” Pilon mengendus-endus udara. Dan menggelengkan kepala, nam un dengan air m uka kagum sedikit. “Kau habis m inum wiski.” J esus Maria mengangguk. “Dari m ana kau dapat wiski?” “Dari prajurit-prajurit itu,” kata J esus Maria. “Mereka m en yem bun yikan wiski di dalam sebuah pipa selokan. Arabella tahu tem patnya. Aku diberi tahu. Para prajurit itu m elihat kam i saat kam i sedang m em inum nya.” Kisah J esus Maria kini m ulai terbentuk. Inilah yang disukai Pilon. Ia tak senang akan cerita yang dikisahkan secara lang- sung. Nikm atnya sebuah cerita terletak pada hal-hal yang tidak dikisahkan oleh si pem ilik cerita, hal-hal yang harus dibayang- kan sendiri oleh si pendengar berdasarkan pengalaman-peng- alam annya. Ia m engam bil kutang m erah itu dari pangkuan J esus Maria. Diraba-rabanya sebentar. Matanya tam pak m elam un. Namun sesaat kemudian bersinar dengan sinar kegembiraan.
44 John Steinbeck “Aku tahu!” serunya. “Kita berikan benda ini kepada Danny untuk dihadiahkan kepada Nyonya Morales!” Semua setuju, kecuali J esus Maria. Tapi J esus Maria merasa tak bisa berbuat apa-apa. Ia kalah suara. Pablo menghibur keka- lahan J esus Maria dengan m engisi anggur ke dalam m angkuknya. Setelah lewat beberapa saat, ketiga orang itu mulai menam- pakkan senyum . Pilon m enceritakan kisah sangat lucu tentang kakeknya. Ketiga sahabat itu m ulai gem bira. Mereka m enyanyi. J esus Maria mencoba berdansa untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tak merasa sakit. Permukaan anggur pada mangkuk makin lama makin turun. Sebelum habis, ketiga orang itu telah m erasa sangat m engantuk. Pilon dan Pablo terhuyung-huyung pergi ke tem pat tidur. J esus Maria berbaring seenaknya di lantai, dekat perapian. Api di perapian padam . Suara nyenyak orang tidur m engisi rum ah. Di kam ar depan hanya sebuah benda yang bergerak. Lilin yang telah diberkati itu. Nyalanya yang runcing naik turun dengan cepat. Nanti, lilin kecil ini akan memberi suatu pelajaran etik pada Pilon, Pablo, dan J esus Maria. Lilin itu, sebuah benda berbentuk tabung, dengan benang di tengahnya. Anda m ungkin berpendapat bahwa benda seperti itu hanya dikuasai oleh hukum ilm u alam , dan tidak oleh hukum lainnya. Segala tingkahnya, dibatasi oleh hukum alam tertentu tentang panas dan pem bakaran. Nyalakan sum bunya, lilinnya ikut terbakar dan m enarik sum bunya. Lilin itu m enyala sekian jam . Habis, padam . Peristiwa pem bakaran lilin selesai, dan lilin itu dilupakan, dianggap tidak pernah ada. Tapi jangan lupa, lilin yang ini telah diberkati. Pada suatu saat, di mana hati kecil bicara, atau mungkin oleh perasaan keagam aan yang tiba-tiba berkobar, Pablo telah berjanji untuk m em persem bahkannya kepada St. Francis. Inilah hal-hal yang membawa lilin ini keluar dari batas-batas hukum ilmu alam.
Dataran Tortilla 45 Lilin itu nyalanya m enuding ke surga, bagai seorang senim an yang m engorbankan dirinya untuk diangkat m enjadi orang suci. Lilin m akin lam a m akin pendek. Di luar rum ah, angin tiba- tiba bertiup, m asuk m elalui sebuah celah di dinding. Lilin itu tergoyang, m iring. Sebuah kalender sutra berada di dekatnya, bergambar wajah cantik seorang gadis mengintip ke luar dari kuntum setangkai m awar. Angin m eniupnya m enjauhi dinding, m enyentuh ujung nyala lilin. Api m enjilat sutranya, m eram bat cepat ke atas. Secabik kertas dinding m enyergap api tadi, dan jatuh pada setumpuk kertas koran. Di langit orang-orang suci dan syahid m em perhatikan kejadian di bum i. Wajah m ereka tegang, tapi penuh pengam punan. Lilin itu telah diberkati. Lilin itu m ilik St. Francis. Dan karena tak jadi dipersem bahkan secara sem estinya, St. Francis akan m em peroleh sebatang lilin besar sebagai gantinya. Sangat m ustahil untuk m enduga berapa nyenyaknya sese- orang tidur. Tetapi rasanya taklah terlalu keliru untuk m enga- takan bahwa Pablo, yang sedikit banyak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran, tidur lebih nyenyak daripada kedua orang kawannya. Karena tak ada alat untuk m engukur kenyenyakan, m aka di sini hanya bisa dinyatakan bahwa Pablo tidur am at sangat nyenyak sekali. Kobaran api m em anjat dinding, m encapai lubang-lubang kecil di atap, menerobos ke luar. Rumah itu segera terisi oleh deru api yang m engam uk. J esus Maria tidurnya gelisah. Ia m em i- ringkan tubuhnya, dan m asih tetap tidur dengan jaket terbuka, gerah. Saat itu sekeping sirap terbakar jatuh m enim pa m ukanya. Ia melompat berdiri, terkejut. Makin terkejut lagi waktu melihat kobaran api bergolak m engelilinginya. “Pilon!” ia berseru. “Pablo!” Ia lari ke kam ar tem an-tem annya. Menyeret m ereka. Mendorong m ereka ke luar rum ah. Pilon m asih mencengkeram kutang berwarna merah tadi.
46 John Steinbeck Mereka berdiri di luar, m enyaksikan rum ah yang diselubungi api. Pintu bertirai api. Dan melalui pintu itu mereka bisa melihat guci mereka di meja, masih berisi kira-kira dua inci anggur. Pilon m erasakan m unculnya sem angat kepahlawanan liar di dada J esus Maria. Cepat-cepat ia berteriak m encegah, “J angan! Relakan saja botol itu. Sebagai hukum an karena kita telah m eninggalkannya tadi.” Terdengar suara sirene, dan deru truk dengan persneling dua m enanjaki bukit dari arah kantor pem adam kebakaran Monterey. Mobil-mobil merah muncul, lampu sorot mereka menembus ke- gela p a n . Pilon berpaling pada J esus Maria. “Larilah ke rum ah Danny. Katakan rum ahnya terbakar. Cepat, J esus Maria!” “Mengapa bukan kau saja?” “Dengar,” kata Pilon, “Danny tidak tahu bahwa kaulah yang m enyewa rum ahnya. Dia m ungkin sangat m arah kepada aku dan Pablo.” J esus Maria m engerti. Ia lari ke rum ah Danny. Rum ah itu gelap. “Danny!” teriak J esus Maria. Tak ada jawaban. “Danny!” teriaknya lagi. Sebuah jendela terbuka di rumah Morales, di sebelah. Ter- dengar suara Danny kesal. “Gila, ada apa?” “Rum ahm u terbakar! Rum ah tem pat Pablo dan Pilon!” Sesaat Danny tidak m enyahut. Kem udian bertanya, “Apakah pemadam kebakaran sudah ke sana?” “Sudah,” teriak J esus Maria. Langit kini terang-benderang oleh kebakaran itu. Terdengar juga kem ertak kayu-kayu terbakar. “Huh, kalau pem adam keba- karan tak mampu berbuat apa-apa, aku disuruh apa oleh Pilon?” J esus Maria mendengar jendela itu dibanting, tertutup. Ia berpaling. Lari kem bali ke tem pat kebakaran. Agaknya saatnya kurang tepat untuk m em beri tahu Danny. Tapi bagaim ana ia
Dataran Tortilla 47 tahu Danny sedang sibuk? Tapi kalau Danny tidak m enyaksikan kebakaran itu, bisa juga ia marah. J esus Maria lega juga telah m em beri tahu Danny. Kini tanggung jawab terletak pada Nyonya Morales. Rum ah itu kecil. Angin banyak. Dindingnya sangat kering. Sejak kebakaran di Chinatown, rasanya tak ada api yang begitu cepat dan sempurna. Orang-orang pemadam kebakaran setelah m elihat kobaran api segera bekerja, m enyem prot pohon-pohon, sem ak-sem ak, dan rum ah-rum ah di sekitar tem pat itu. Kurang dari satu jam rum ah yang disewa Pilon itu telah habis. Kem udian semprotan diarahkan pada tumpukan abu, untuk memadamkan bara dan kayu-kayu yang m asih m enyala. Pilon, Pablo, dan J esus Maria berdiri berdampingan, mem- perhatikan sem uanya sam pai habis. Ham pir separuh penduduk Monterey, dan seluruh penduduk Dataran Tortilla (kecuali Danny dan Nyonya Morales) hadir di sana, m enikm ati pertunjukan gratis itu. Akhirnya setelah sem uanya habis, setelah tinggal asap putih keluar dari tum pukan arang saja yang terlihat, Pilon berpaling. Tanpa bicara lagi ia meninggalkan tempat itu. “Ke m ana kau?” tanya Pablo, berseru. “Aku pergi,” jawab Pilon, “ke hutan untuk m enyelesaikan tidurku. Kunasihatkan agar kalian pun m engikutiku. Kukira amatlah baik bila untuk beberapa waktu Danny tak melihat kita.” Kedua kawannya m engangguk setuju dan m engikuti Pilon. “Ini suatu pelajaran bagi kita, dan harus selalu kita ingat,” kata Pilon lagi. “Pelajaran itu, jangan sekali-kali m enaruh guci anggur yang masih berisi di dalam rumah.” “Lain kali,” sam but Pablo putus asa, “bila kau taruh guci itu di luar rum ah, seseorang pasti akan m encurinya.”
6 KAWAN-KAWAN DANNY BERSUMPAH MENGIKAT PERSAHABATAN MATAHARI LEPAS dari ketinggian pinus. Tanah m ulai hangat. Embun-embun mulai menguap dari daun-daun geranium. Danny keluar, menghangatkan diri di serambi, sambil memikirkan beberapa peristiwa. Dicopotnya sepatu, digerak-gerakkannya jari kaki pada papan-papan hangat serambi. Tadi pagi ia telah m enggunakan kakinya untuk berjalan ke bekas rum ahnya, yang kini tinggal setumpuk abu dan arang. Ia merasakan betapa ke- marahan mulai mendesak dalam dada, marah terhadap kesem- bronoan kawan-kawannya. Dan beberapa saat ia m erasa sedih juga kehilangan harta-bendanya, yang pernah m em perbesar nilai harta rohaninya. Ia m elihat tum pukan abu itu seperti m elihat runtuhnya derajat hidupnya sebagai seseorang yang m em iliki
Dataran Tortilla 49 sebuah rum ah yang disewakan. Nam un setelah perasaan ruwet itu lenyap, ia m endapatkan suatu perasaan lain, perasaan lega karena hilangnya salah satu beban dalam hidupnya. “Bila rum ah itu m asih ada, pasti aku m asih m em punyai rasa tam ak atas sewa rum ah,” pikirnya, “dan kawan-kawanku akan bersikap dingin terhadapku karena mereka berutang padaku. Kini, dengan lenyapnya rum ah itu, kam i kem bali bebas dan bahagia lagi.” Tetapi Danny tahu bahwa ia harus memarahi kawan- kawannya, kalau tidak m ereka akan bertam bah kurang ajar. Itulah yang sedang dipikirkannya waktu ia sedang duduk, m eng- ibas-ngibaskan tangan m engusir lalat. Kibasan yang lebih m eru- pakan peringatan daripada ancam an. Ia m enyusun apa saja yang akan dikatakannya kepada kawan-kawannya sebelum m ereka diterim a kem bali dalam lingkungan keakraban kasihnya. Ia harus m enunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang m udah diper- dayakan. Tapi ia ingin agar sem uanya itu bisa dilakukan secepat m ungkin. Agar ia cepat kem bali m enjadi Danny yang dicintai orang banyak, Danny yang selalu dicari oleh orang bila m ereka memiliki segalon anggur atau sepotong daging. Sebagai pemilik dua buah rum ah, orang m enyangka dia kaya, hingga banyak kali ia kehilangan kesem patan untuk kebagian rezeki. Pilon, Pablo, dan J esus Maria tidur lama sekali di hutan pinus. Mereka sangat capai. Betul-betul m alam yang m elelahkan. Tetapi akhirnya sinar m atahari jatuh pada wajah m ereka, dengan sepenuh kekuatan surya tengah hari. Sem ut-sem ut pun m ulai berjalan berarak melalui tubuh mereka. Dua ekor burung hinggap di tanah, memaki-maki mereka dengan berbagai sebutan. Tetapi yang m em buat m ereka terbangun bukan itu. Dua pasang manusia memilih tempat di balik semak-semak untuk suatu tam asya. Orang-orang itu m em buka sebuah keranjang tam asya besar berisi m akanan. Dan bau m akanan inilah yang
50 John Steinbeck membangunkan Pilon, Pablo, dan J esus Maria. Mereka bangun, bangkit, duduk. Dan kesadaran akan apa yang telah terjadi bagai meledak di antara mereka. “Bagaim ana api itu m ulai?” tanya Pilon langsung. Tak ada yang tahu. “Mungkin,” kata J esus Maria, “lebih baik bila kita ke kota lain untuk beberapa saat. Ke Watsonville atau Salinas. Keduanya kota- kota yang m enyenangkan.” Pilon m engeluarkan kutang m erah itu dari sakunya. Meng- usap kelem butannya. Diterawangnya benda itu pada cahaya m a t a h a r i. “Itu hanya m enunda-nunda persoalan saja,” kata Pilon ke- m udian. “Lebih baik bila kita sem ua m endatangi Danny. Meng- akui segala kesalahan, seperti anak-anak mengaku kepada bapak- nya. Dengan begitu ia tak akan bisa m arah tanpa diiringi rasa penyesalan juga. Lagi pula kita m em bawa hadiah untuk Nyonya Morales.” Kedua kawannya m engangguk setuju. Mata Pilon berkeliaran m enem bus sem ak-sem ak tebal di dekatnya, m enyam bar orang- orang yang sedang tam asya dan terutam a keranjang tam asya yang m enyebarkan bau telur bum bu yang m enusuk hidung. Hidung Pilon kem bang-kem pis. Ia tersenyum kosong. “Aku akan berjalan-jalan, kawan-kawan,” katanya, “tunggu aku dekat galian batu. Harap tahan diri, jangan diam bil keranjangnya.” Pablo dan J esus Maria dengan mata sedih memperhatikan Pilon menjauh, menerobos semak-semak dan pepohonan, m engam bil arah yang m em bentuk sudut siku-siku dengan arah tem pat keranjang tam asya. Pablo dan J esus Maria sam a sekali tidak terkejut waktu beberapa saat kemudian terdengar suara salak anjing, kokok ayam , ketawa m engikik, raungan kucing hutan, jeritan pendek, dan teriakan minta tolong dari kejauhan. Mereka tidak terkejut. Tapi orang-orang yang bertam asya itu
Dataran Tortilla 51 kaget setengah mati. Mereka semua, dua orang pria dan dua orang wanita, berlarian menuju ke arah suara-suara aneh itu. Pablo dan J esus Maria mematuhi permintaan Pilon. Mereka tak m engam bil keranjang tam asya besar itu. Nam un sejak saat itu baju dan topi m ereka m enyiarkan bau telur bum bu. J am tiga sore ketiga orang berdosa itu berjalan pelan menuju rum ah Danny. Tangan m ereka penuh dengan benda-benda untuk menghibur dan meredamkan kemarahan, jeruk, apel, pisang, botol-botol berisi zaitun dan acar, roti lapis ham , roti lapis telur, beberapa botol air soda, satu dus selada kentang, dan satu lembar koran Saturday Evening Post. Danny melihat mereka datang. Ia berdiri, mencoba meng- ingat-ingat apa saja yang sudah disusunnya untuk m elam piaskan kem arahan. Ketiga orang itu berdiri berjajar di depannya, m e- nundukkan kepala. “Anjing segala anjing!” m aki Danny. Kem udian ia m em aki m ereka sebagai “bajingan pencuri rum ah orang baik-baik”, dan “anak haram cum i-cum i”. J uga ia m em aki-m aki, m engatakan bahwa ibu m ereka sem ua sapi tua bangka, ayah m ereka dom ba tua renta. Pilon m em buka kantongnya, m enunjukkan roti yang ber- lapis ham. Danny terus mengamuk, mengatakan bahwa ia tak percaya lagi pada sem ua kawannya, bahwa kepercayaannya telah disalahgunakan dan rasa persahabatannya diperm ainkan sem ena-m ena. Saat itu ia m ulai m erasa sukar m enyusun kata- kata kemarahan, sebab Pablo telah mengeluarkan telur bumbu dari balik bajunya. Danny m encoba terus, m engutuk nenek m oyang ketiga sahabatnya, m eragukan kesucian sem ua pihak wanita, dan kekuatan semua pihak lelaki. Pilon m engeluarkan kutang m erahnya, m engacungkannya pada Danny. Kutang itu teranyun-ayun pada jarinya.
52 John Steinbeck Danny tak bisa bicara lagi, lupa sem uanya. Ia duduk di se- ram bi, sem ua kawannya ikut duduk. Sem ua bungkusan dibuka, dan m ereka m akan dengan perasaan tegang. Baru satu jam kem u- dian, setelah mereka selesai makan dan bersandar bermalas- malasan, dengan otak kosong tak memikirkan apa-apa kecuali kekenyangan perut, Danny bertanya acuh tak acuh seolah berke- naan dengan suatu hal yang tak bersangkut-paut dengan dirinya, “Bagaim ana asal m ula kebakaran itu?” “Kam i tak tahu,” Pilon m enerangkan. “Kam i sedang tidur nyenyak. Mungkin m usuh-m usuh kam i yang m em bakar.” “Mungkin,” kata Pablo berlagak alim , “jari-jari Tuhan telah bekerja.” “Siapa yang bisa m em bantah dan m engelak bila Tuhan m elaksanakan kehendak-Nya?” J esus Maria m enam bahkan. Pilon m engulurkan kutangnya, m enyatakan bahwa benda itu untuk hadiah kepada Nyonya Morales. Danny terlihat sulit sekali untuk bicara. Ia memperhatikan kutang itu tanpa minat, kem udian berkata bahwa kawan-kawannya terlalu berlebihan dalam m enanggapi Nyonya Morales. “Dia bukannya wanita yang patut diberi hadiah,” katanya lagi, “sering kali kita jadi terikat oleh seseorang wanita karena kita beri wanita itu sepasang kaus kaki.” Ia tak mau mengatakan terus terang bahwa sejak rumah- nya terbakar, hubungannya dengan Nyonya Morales jadi dingin. Nyonya Morales tak tertarik pada orang yang hanya m em punyai satu rumah. Danny juga tak mau menerangkan bahwa sebetul- nya ia gem bira Nyonya Morales telah m em utuskan hubungan. “Baiklah akan kusim pan saja benda ini,” kata Danny, “m ungkin berguna kelak untuk seseorang.” Malam tiba, cuaca gelap. Mereka masuk ke dalam rumah, dan m enyalakan perapian kedap udara. Sebagai bukti pengam - punannya, Danny m engeluarkan satu quart grappa, dan m em - bagi kehangatannya dengan kawan-kawannya.
Dataran Tortilla 53 Mereka dengan m udah m enyesuaikan diri dengan tata hidup baru ini. “Sayang sekali ayam -ayam Nyonya Morales m ati sem ua,” kata Pilon. Tapi bahkan di bidang ini pun tak ada halangan untuk meng- harap kebahagiaan. “Dia akan m em beli lagi dua lusin ayam , hari Senin ini,” kata Danny. Pilon tersenyum lega. “Ayam -ayam Nyonya Soto bukan jenis yang baik. Sudah kuberi tahu supaya diberi m akan kulit kerang, tapi tak diperhatikannya.” Mereka bersam a-sam a m em inum habis grappa itu. Cukup untuk menimbulkan perasaan manis persahabatan. “Senang sekali m em punyai banyak kawan,” kata Danny. “Dunia ini terasa sunyi, bila tak ada kawan untuk diajak ber- bincang-bincang atau untuk menghabiskan grappa.” “Atau m enghabiskan roti lapis,” tam bah Pilon cepat-cepat. Pablo m asih belum lenyap sam a sekali rasa penyesalannya, se- bab ia telah bisa m eraba-raba sedikit kehendak surgawi yang m e- nyebabkan kebakaran itu. Lam at-lam at ia m erasa ada hubungan antara lilin persem bahan dan hukum an Tuhan. “Di seluruh dunia sedikit sekali sahabat seperti engkau, Danny. Sedikit sekali orang yang m endapatkan penghiburan begini besar.” Sebelum Danny terbenam dalam arus serangan kawan- kawannya ia cepat-cepat m em beri peringatan, “Aku ingin kalian tak m engusik-usik tem pat tidurku,” perintahnya. “Tem pat tidurku itu hanya diperuntukkan untuk diriku sendiri. Mengerti?” Tak ada yang m enyebutkan secara terus terang, nam un masing-masing mengetahui dengan jelas bahwa mulai saat itu m ereka akan tinggal di rum ah Danny. Pilon lega sekali, kekhawatiran karena uang sewa lenyap, kekhawatiran karena utang hilang. Ia bukan lagi penyewa, tetapi tam u. Dalam hati ia sangat berterim a kasih atas terjadinya keba- karan itu.
54 John Steinbeck “Kita sem ua akan bahagia di sini, Danny,” katanya, “di m alam hari kita akan duduk-duduk mengelilingi api. Sahabat-sahabat kita datang berkunjung. Dan kadang-kadang kita mungkin bisa minum anggur demi persahabatan kita.” Dan J esus Maria, terdorong oleh rasa berterima kasih, terlepas kata mengucapkan sebuah janji maut. Mungkin ia dipengaruhi oleh grappa. Atau ingatan tentang kebakaran. Atau telur bumbu. Dia merasa bahwa hari itu ia menerima hadiah banyak sekali. Dan ia ingin juga m em beri hadiah. Tak terasa ia berdeklam asi, “Mulai saat ini, jadilah beban kita, jadilah tugas kita untuk tetap menjaga agar di rumah Danny selalu tersedia makanan. Tugas kitalah menjaga agar sahabat kita ini tak pernah kela p a r a n .” Pilon dan Pablo terkejut, tetapi terlambat. J anji itu telah di- ucapkan, sebuah janji yang bagus dan m elam bangkan kem urahan hati. Tidak bisa tidak, m ereka yang telah lolos dari hukum an itu harus m elaksanakan. Tak akan ada yang bisa m enghapus janji tadi. Bahkan J esus Maria segera sadar, betapa beratnya janji yang diucapkannya. Satu-satunya harapan adalah m udah-m udahan Danny segera lupa akan kata-katanya. “Sebab,” pikir Pilon, “bila janji ini dipaksakan berlaku, hal itu lebih buruk daripada m enyewa. Hal itu berarti perbudakan!” Tapi m ulutnya berkata, “Kam i bersum pah, Danny!” Mereka duduk mengelilingi perapian dengan mata penuh air m ata. Cinta m ereka satu sam a lain terasa ham pir tak tertahankan. Pablo m engusap m atanya yang basah dengan punggung ta- ngan. Dan ia m engulangi kata-kata Pilon, “Kita akan berbahagia tinggal di sini.”
7 DANNY DAN KAWAN-KAWAN MENOLONG SI BAJAK LAUT HAMPIR SEMUA orang m elihat si Bajak Laut tiap hari, ada yang m enertawainya, ada yang iba padanya, tapi tak ada yang tahu benar tentang dirinya, dan tak ada yang ingin turun tangan untuk m engetahui kehidupannya. Ia bertubuh besar, berdada bidang, jenggotnya lebat, hitam , kusut m asai. Ia selalu m em akai jean dan kem eja biru, dan tak pernah m em akai topi. Bila di kota ia m em akai sepatu. Tiap bertem u dengan orang dewasa m ata Bajak Laut itu m enyusut, m enyinarkan pandangan ketakutan seekor binatang yang ingin lari tapi tak berani berpaling. Dari pandang m atanya inilah sem ua orang paisano di Monterey berpendapat bahwa otak Bajak Laut itu tak beres, tak tum buh sesubur tum buh tubuhnya. Ia dijuluki Bajak Laut karena jenggotnya. Tiap hari ia mendorong kereta dorong di sepanjang jalan di kota, menjual
56 John Steinbeck kayu api. Dan ia selalu diikuti lim a ekor anjing yang selalu ber- gerom bol dekat kakinya. Enrique agak m irip anjing pem buru tapi ekornya berbulu tebal. Pajarito berwarna cokelat dan berbulu keriting, dan hanya kedua hal inilah yang terlihat pada Pajarito. Rudolph seekor anjing yang oleh sem ua orang disebut “Anjing Am erika”. Fluff sejenis anjing bulldog bertubuh kecil. Dan Tuan Alec Thom pson tam paknya keturunan anjing Airedale. Mereka selalu dengan setia m engikuti si Bajak Laut, patuh dan horm at, selalu berusaha m em buatnya bahagia. Bila si Bajak Laut duduk beristirahat, sem ua m encoba duduk di pangkuannya, m inta digaruk telinganya. Ada orang-orang yang hanya tahu bahwa si Bajak Laut pagi-pagi sekali berkeliaran di J alan Alvarado, beberapa orang m elihatnya m encari kayu api di hutan, ada orang yang hanya tahu ia m enjual kayu api, tapi tak ada seorang pun, kecuali Pilon, yang tahu segala kegiatan si Bajak Laut. Pilon tahu sem ua orang dan tahu semua hal tentang semua orang. Si Bajak Laut tinggal di sebuah kandang ayam sebuah rumah kosong di Dataran Tortilla. Ia tak mau tinggal di rumah kosong itu sebab m erasa dirinya tak layak. Anjing-anjingnya tidur m engelilinginya dan m enidurinya. Bagi si Bajak Laut hal ini cukup m enyenangkan. Anjing-anjing itu m em buat dirinya hangat di m alam -m alam dingin. Bila kakinya dingin, ia tinggal m eletakkannya pada perut Tuan Alec Thom pson. Kandang ayam itu begitu rendah hingga si Bajak Laut terpaksa m erangkak agar bisa m asuk ke dalam nya. Pagi-pagi sekali, sebelum fajar m enyingsing, si Bajak Laut keluar, m erangkak dari kandang ayam nya. Anjing-anjingnya ikut, menegakkan bulu mereka dan bersin-bersin dalam kedinginan pagi. Bajak Laut m em im pin m ereka m em asuki Monterey, berjalan di sepanjang sebuah gang. Em pat atau lim a restoran m em punyai pintu belakang pada lorong ini. Si Bajak Laut m em asuki m asing-
Dataran Tortilla 57 m asing pintu, m asuk ke dalam dapur yang hangat dan penuh bau makanan. Tukang-tukang masak dengan menggerutu m em berinya bungkusan-bungkusan sisa m akanan. Mereka tak mengerti mengapa mereka mau begitu bermurah hati. Selesai m engunjungi sem ua dapur restoran itu, si Bajak Laut dengan tangan penuh bungkusan pergi ke J alan Monroe, ke sebuah tanah lapang, dan anjing-anjingnya kegirangan m engelilinginya. Si Bajak Laut m em buka bungkusan-bungkusannya, m em beri makan anjing-anjing itu. Dari tiap bungkusan ia mengambil roti atau sepotong daging, tetapi bukan yang terbaik. Anjing- anjingnya duduk berkeliling, m enjilati bibir dengan gugup, siap m elom pat m enunggu m akanan. Anehnya, m ereka tak pernah berebut, atau berkelahi. Anjing-anjing itu tak pernah berkelahi sesam anya, tapi secara bersatu m ereka selalu m enyerang hewan apa saja yang m ereka jum pai di Monterey. Sungguh suatu pem andangan yang m enyenangkan m elihat kelim a anjing tak keruan jenis itu m em buru anjing-anjing peliharaan yang berharga mahal bagaikan memburu kelinci. Waktu sarapan mereka selesai, matahari telah terbit. Si Bajak Laut m erenungi langit yang m ulai m em biru. J auh di bawahnya terlihat kapal-kapal berm uatan kayu m ulai angkat sauh. Terdengar bunyi lonceng apung dari Tanjung Cina. Anjing- anjingnya duduk di sekitarnya dan sibuk dengan tulang-tulang. Si Bajak Laut seakan-akan m erasakan datangnya hari siang m elalui indra pendengarannya. Matanya sam a sekali tak bergerak, nam un nyata sekali ia sadar akan segala apa yang terjadi di sekelilingnya. Tangannya yang besar-besar tak lepas-lepas m em belai anjing- anjingnya, jari-jem arinya m em berikan garukan nyam an pada bulu-bulu kasarnya. Kira-kira setengah jam kem udian si Bajak Laut pergi ke sudut lapangan, dibukanya karung-karung yang m enutupi kereta dorongnya dan digalinya kapak dari tem pat ia m em endam benda itu setiap m alam . Lalu ia berangkat pergi
58 John Steinbeck m endaki bukit, m endorong gerobak dorongnya m asuk hutan, sam pai didapatinya sebatang pohon m ati yang penuh ranting- ranting kering. Menjelang tengah hari ia berhasil mengumpulkan setum puk kayu api, kem udian, m asih juga diikuti oleh kelim a anjingnya, ia m ulai m enyusuri jalan-jalan di kota sam pai kayu apinya terjual dengan harga dua puluh lim a sen. Seluruh pola kehidupannya di atas m asih m ungkin diikuti, nam un tak seorang pun yang bisa m em beri keterangan, apa yang diperbuatnya dengan uangnya yang dua puluh lim a sen itu. Ia tak pernah m em belanjakannya. Dan di m alam hari, di bawah perlindungan ketat kelim a anjingnya, ia m asuk ke dalam hutan. Agaknya di hutan itulah disem bunyikannya uang talen yang didapatnya setiap hari. Mungkin sudah beratus-ratus keping. Entah di m ana, yang pasti ia m em punyai harta tersem bunyi, sejumlah besar tumpukan uang talen! Pilon m engetahui hal ini dari hasil pem ikirannya sendiri. Ia m em ang m em punyai otak sangat encer. Tak secercah rahasia kehidupan sahabat-sahabatnya bisa lolos dari penyelidikannya. Dan ia sangat berbahagia bila berhasil menggali rahasia-rahasia itu dari relung-relung otak sahabatnya dengan m enarik kesim pulan dari pertim bangan-pertim bangan pem ikiran logis, dan bukannya dengan bertanya secara langsung. Seperti cara pem ikirannya tentang harta si Bajak Laut ini. Pilon berpikir seperti berikut, “Setiap hari si Bajak Laut itu m em peroleh sekeping uang talenan. Bila orang m em beli kayunya dengan dua keping uang ketip dan sekeping uang kelip, ditukarkannya uang itu ke sebuah toko, dan ia minta sekeping uang talen. Ia tak pernah membeli apa pun. Kesim pulannya, ia pasti m enyem bunyikan sem ua uangnya.” Pilon mencoba mengira-ngira berapa jumlah uang simpanan si Bajak Laut. Selam a beberapa tahun kehidupan si Bajak Laut tak pernah berubah. Enam hari dalam sem inggu ia berjualan kayu api, dan pada hari Minggu pergi ke gereja. Pakaiannya adalah
Dataran Tortilla 59 pem berian orang-orang yang m enaruh belas kasihan, begitu pula m akanannya setiap hari. Beberapa lam a Pilon m engutak-atik berapa kira-kira jum lah uang si Bajak Laut, nam un akhirnya ia m enyerah. “Paling sedikit uang Bajak Laut itu sekitar seratus dolar,” pikirnya. Sudah lam a, sebetulnya, Pilon m em ikirkan sem ua ini. Nam un baru setelah janji tolol dan sembrono hendak memberi makan Danny diucapkan, pikiran tentang harta sim panan si Bajak Laut mendapatkan suatu perhatian khusus dalam benak Pilon. Untuk m encapai pendekatan yang dikehendakinya, Pilon m enyiapkan otaknya pada suatu pem ikiran yang panjang dan m engagum kan. Mula-m ula dibuat hatinya iba kepada si Bajak Laut. “Kasihan sekali dia. Otaknya betul-betul tak sem purna,” dem ikianlah perm ulaan pem ikiran Pilon. “Tuhan tidak m eng- anugerahinya dengan otak yang sesuai dengan besar tubuhnya. Bajak Laut itu sam a sekali takkan m am pu m engurus keperluan hidupnya. Coba saja lihat, ia tinggal di atas tum pukan kotoran dalam sebuah kandang ayam . Makanannya hanyalah sisa-sisa yang hanya patut untuk m akanan anjing. Pakaiannya koyak- koyak dan com pang-cam ping. Dan karena otaknya tak beres, uangnya disem bunyikan olehnya!” Dem ikianlah, dengan titik tolak rasa iba hati yang diper- siapkannya secara teliti itu, Pilon langsung bergerak m enuju sasaran. “Bukankah suatu am al kebajikan yang agung,” dem ikian pikir Pilon selanjutnya, “untuk m em bantunya m engerjakan hal- hal yang takkan m am pu dilakukannya sendiri? Mem belikannya pakaian yang cukup, m em berinya m akanan yang patut? Tapi, aku tak punya uang untuk keperluan itu, padahal aku ingin se- kali m enolongnya. Apa dayaku untuk m em buat cita-citaku ini t er la ksa n a ?” Bagus, segala sesuatunya telah beres. Bagaikan seekor kucing yang telah berjam -jam m enunggu untuk m enerkam seekor burung
60 John Steinbeck gereja, Pilon m elancarkan serangan terakhir. “Aku tahu!” hatinya bersorak. “Pem ecahannya m udah saja. Si Bajak Laut m em punyai uang, tapi tak punya otak untuk m em belanjakannya. Tapi aku punya otak yang cukup baik. Aku akan m enyum bangkan otakku un tuk segala kebutuhan n ya! Kusum ban gkan otakku den gan cum a-cum a! Itulah am alku yang terbesar untuk m em bantu manusia tak berotak sempurna ini.” Tak pernah Pilon begitu gem ilang m encari jalan penyelesaian suatu persoalan. Bagaikan seorang senim an yang sangat bangga atas hasil karyanya, ia ingin m em am erkan karya itu pada sese- orang. “Akan kukatakan hal ini pada Pablo,” akhirnya ia berpikir. Nam un sejenak kem udian ia ragu-ragu. Apakah Pablo cukup jujur? Bukankah ada kem ungkinan Pablo akan m enyelewengkan sebagian uang itu untuk kepentingan pribadinya? Akhirnya Pilon m em utuskan untuk tidak m engam bil risiko, setidak-tidaknya tidak dalam tahap-tahap perm ulaan rencananya. Benar-benar m engherankan untuk m engetahui bahwa dasar setiap hal yang buruk dan jahat biasanya putih bagai salju. Benar- benar m enyedihkan untuk m endapatkan bahwa bagian-bagian tersem bunyi pada tubuh m alaikat suci sebetulnya busuk dim akan kusta. Semoga Pilon dianugerahi kehormatan dan kedamaian, sebab ia berhasil menunjukkan pada dunia bahwa pada setiap hal yang jahat pasti terdapat pula secercah kebaikan. Ia pun tidak buta—suatu kekurangan yang dim iliki oleh banyak orang suci— atas kenyataan bahwa banyak hal yang baik m engandung unsur- unsur kejahatan. Sungguh sayang Pilon tak m em iliki ketololan, atau kesombongan diri, atau ketamakan untuk mengharapkan hadiah diangkat sebagai seorang orang suci. Bagi Pilon cukuplah bila am alnya diim bali dengan kehangatan cinta persahabatan. Malam itu juga ia m engunjungi kandang ayam tem pat tinggal si Bajak Laut dan sem ua anjingnya. Danny, Pablo, dan J esus Maria yang sedang duduk m engelilingi perapian m elihatnya
Dataran Tortilla 61 berangkat, nam un m ereka tak bertanya apa pun. Mereka hanya mengira bahwa Pilon sedang dimabuk cinta, atau mengetahui di m ana ia bisa m endapatkan sedikit anggur. Yang m ana pun alasannya, m ereka tak berhak cam pur tangan sam pai nanti Pilon sendiri yang bercerita. Hari telah gelap, tapi Pilon membawa sepotong lilin dalam sakunya, agar nanti ia bisa m elihat air m uka si Bajak Laut saat ia m enyam paikan kabar gem biranya. J uga Pilon m em bawa sepotong besar kue gula, pemberian Susie Francisco. Susie bekerja pada sebuah pabrik roti. Pilon m em berinya sebuah ram uan untuk m em ikat cinta Charlie Gusm an. Charlie pegawai kantor telegram , yang biasa pergi berkeliling dengan m engendarai sebuah sepeda motor. Susie sudah siap-siap dengan sebuah topi pet, untuk dipakainya m enghadap ke belakang pada kepalanya, kalau-kalau Charlie sudi m engajaknya m em bonceng pada sepeda m otornya. Sebagai im balan untuk ram uannya itu Pilon diberi kue gula. Dan Pilon berpendapat m ungkin si Bajak Laut m enyukai kue itu. Malam sangat gelap. Hati-hati Pilon berjalan di gang-gang yang m em batasi tanah-tanah kosong dan kebun-kebun yang membelukar tak terawat. Anjing galak m ilik Galvez m uncul, m enggeram m engancam Pilon dari halam an rum ah Galvez. Pilon m em bujuk anjing itu dengan pujian-pujian, “Anjing baik,” bisiknya, “anjing m anis,” yang m erupakan dusta tulen. Betapapun, dusta itu term akan oleh anjing galak itu, yang m undur m asuk kem bali ke dalam halam an t u a n n ya . Akhirnya sam pai juga Pilon ke tanah kosong tem pat si Bajak Laut tinggal. Kini ia harus sangat hati-hati. Bila anjing-anjing si Bajak Laut curiga sedikit saja akan keselam atan tuannya, m ereka akan m erupakan pasukan penyerang. Begitu Pilon menginjakkan kaki pada batas tanah kosong itu, terdengar sudah geram ancaman anjing-anjing itu.
62 John Steinbeck “Bajak Laut,” Pilon berseru, “ini sahabatm u, Pilon. Aku ingin bicara sedikit denganmu.” Tak terdengar jawaban. Namun geraman mengancam tadi telah berhenti. “Bajak Laut, ini aku, Pilon.” Terdengar suara rendah dan tak bersahabat m enyahut, “Pergilah. Aku sedang tidur. Anjing-anjingku tidur. Di sini gelap sekali. Pilon, pergilah tidur sana.” “Aku m em bawa lilin,” jawab Pilon, “nyalanya akan m em buat rum ahm u seterang siang. Aku juga m em bawa sebuah kue gula yang besar, untukm u.” Terdengar gerisik lem ah dari dalam kandang ayam . Dan Ba- jak Laut itu m enjawab, “Kalau begitu, ke m arilah. Aku akan ber- kata kepada anjing-anjing ini bahwa kau sahabat.” Ketika m aju m endekat lewat sem ak belukar, Pilon m endengar si Bajak Laut berbicara lem but kepada an jin g-an jin gn ya, m enerangkan bahwa yang datang hanyalah Pilon yang tak akan m encelakakannya. Pilon m erangkak m asuk, m elewati pintu yang am at rendah, m em antik korek dan m enyalakan lilinnya. Si Bajak Laut duduk di atas lantai tanah, dikelilingi anjing- anjingnya. Enrique m enggeram , dan terpaksa harus dibujuk lagi oleh si Bajak Laut. “Yang ini tidak secerdik yang lain,” kata si Bajak Laut ram ah. Matanya m em ancarkan sinar bagaikan m ata seorang anak-anak yang gem bira oleh suatu perm ainan baru. Bila ia tersenyum , giginya yang putih cem erlang dalam cahaya lilin. Pilon m engulurkan kantong kuenya. “Kue ini pasti sangat kau sukai,” katanya. Si Bajak Laut m enerim a kantong itu dan m elihat ke dalam nya, lalu tersenyum gem bira, m engeluarkan kuenya. Anjing-anjingnya juga tersenyum , m enatap m ukanya, m enggerak-gerakkan kaki dan m enjilat-jilat bibir m asing-m asing. Si Bajak Laut m em otong kue tadi m enjadi tujuh bagian sam a besar. Sepotong diberikannya
Dataran Tortilla 63 kepada Pilon, tam unya. “Sekarang Enrique,” katanya kem udian. “Dan Fluff. Dan Tuan Alec Thom pson.” Setiap anjing m enerim a bagian m asing-m asing, m enelannya, dan m enunggu pem berian selanjutnya. Nam un Bajak Laut m em akan potongan kue yang terakhir. “Tak ada lagi,” ia berkata pada anjing-anjingnya. Seketika itu juga binatang-binatang tersebut membaringkan diri, tidur. Pilon duduk di tanah dan m endirikan lilin di depannya. Si Bajak Laut m enyelidikinya dengan pandang m ata bertanya. Pilon tetap m enutup m ulut, m em beri kesem patan otak si Bajak Laut sim pang siur karena seribu satu pertanyaan. Akhirnya ia berkata juga, “Kau m em buat sahabat-sahabatm u khawatir.” Mata si Bajak Laut m em belalak tercengang. “Aku? Sahabat- sahabatku? Sahabat yang m ana?” Pilon m elem butkan suaranya. “Kau m em punyai banyak sa- habat yang m em ikirkan keadaanm u. Mereka tak m au berkunjung ke m ari, karena kau m em punyai harga diri yang tinggi. Mereka mengira kau pasti tersinggung bila mereka datang ke mari, di kandang ayam ini, m elihatm u berpakaian com pang-cam ping, makan sampah bersama anjing-anjingmu. Sahabat-sahabatmu khawatir kalau-kalau cara kehidupan yang sedem ikian ini akan membuatmu sakit.” Si Bajak Laut m engikuti setiap patah kata dengan m enahan napas dan tercengang, sedangkan otaknya sulit sekali disuruh m engerti tentang hal-hal yang baru itu. Ia serta-m erta percaya pada sem ua kata itu, sebab Pilon-lah yang m engucapkannya “Aku m em punyai banyak sahabat?” bisiknya heran. “Tapi tak kusadari hal itu. Dan aku membuat sahabat-sahabatku khawatir? Aku tak tahu, Pilon. Bila aku tahu, pastilah aku tak akan m em buat m ereka khawatir.” Ia m enelan ludah, m encoba m enyem bunyikan perasaan hatinya. “Begini, Pilon. Anjing-anjingku senang tinggal di sini. Aku senang tinggal di sini karena m ereka senang tinggal di
64 John Steinbeck sini. Aku tak pernah berpikir hal ini m em buat sahabat-sahabatku khawatir.” Mata si Bajak Laut sebak air m ata. “Begitulah keadaannya,” kata Pilon, “caram u hidup sungguh membuat hati sahabat-sahabatmu gelisah.” Si Bajak Laut m enundukkan kepala, m encoba m enjernihkan pikiran. Tetapi seperti biasanya, bila ia m encoba m em ecahkan suatu persoalan otaknya terasa lum puh, tak bisa m em berinya pertolongan sedikit pun kecuali rasa putus asa. Ia berpaling pada anjing-anjingnya untuk m encari perlindungan, nam un m e- reka telah tidur, sebab mereka mengira persoalan ini bukanlah tanggung jawab m ereka. Kem bali ia m enatap m ata Pilon. “Coba katakan apa yang harus kulakukan, Pilon. Aku tak tahu bagaim ana harus berbuat.” Ini terlalu m udah. Pilon m erasa sedikit m alu karena si Bajak Laut terlalu m udah ditundukkan. Ham pir ia tak m eneruskan rencananya. Tapi kem udian ia sadar bahwa ia pasti akan sangat m enyesal bila rencana m ulia itu tidak m enjadi kenyataan. “Sahabat-sahabatm u m iskin sem ua,” kata Pilon . “Mereka ingin m em bantum u, tapi tak punya uang. Bila kau punya uang tersem bunyi, keluarkanlah. Belilah pakaian yang baik. Makanlah m akanan yang bukan sisa orang lain. Keluarkanlah uang yang kam u sem bunyikan, Bajak Laut.” Sambil berbicara Pilon memperhatikan dengan teliti air muka si Bajak Laut. Mula-m ula tam pak m ata si Bajak Laut m em an- carkan sinar curiga. Kem udian terlihat m ata itu m em bayangkan kesuraman. Saat itu juga Pilon tahu jelas dua hal, pertama, si Bajak Laut benar-benar m enyim pan sejum lah besar uang, kedua, sulit sekali untuk menguras keterangan tentang uang tersebut. Hal yang kedua itu m em buat Pilon gem bira. Tantangan yang tangguh untuk beradu keuletan cara berpikir! Kem bali si Bajak Laut m em andang Pilon, dan pada m atanya terbayang kecerdikan, yang disokong oleh akal kewaspadaan ber- dasarkan pengalam an. “Aku tak punya uang sedikit pun, Pilon.”
Dataran Tortilla 65 “Tapi tiap hari, sahabatku, kulihat kau m em peroleh uang setalen dari daganganm u kayu api, dan tak pernah kau m em beli suatu pun.” Kali ini otak si Bajak Laut bekerja baik. “Aku m em berikannya pada seorang wanita tua,” katanya. “Aku tak punya sim panan uang sedikit pun.” Dengan pernyataan itu ia m enutup rapat per- soalan itu. “Kalau begitu aku harus m enggunakan kecerdikanku,” pikir Pilon. Bakat alam yang dipunyainya harus dipergunakan. Ia bangkit, m engam bil lilinnya. “Aku hanya ingin m engatakan bahwa sahabat-sahabatm u m erasa khawatir,” katanya, “bila kau tak mau membantu, kami pun tak bisa memberikan pertolongan p ad am u .” Cahaya m anis m uncul kem bali di m ata si Bajak Laut. “Ka- takan pada mereka bahwa aku sehat-sehat saja,” ia memohon, “suruh m ereka datang m engunjungiku. Aku tak akan m erasa ter- singgung. Aku akan gem bira bila m ereka m au berkunjung, kapan saja. Katakanlah hal itu pada m ereka, Pilon.” “Baiklah,” kata Pilon kering, “tapi m ereka tak akan m erasa tenang sebelum kau mau mengubah cara hidupmu.” Ia meniup lilinnya dan pergi m asuk ke dalam kegelapan. Ia yakin si Bajak Laut pasti tak akan m em buka rahasia tem pat persem bunyian uangnya. Tem pat itu harus diketahui dengan kecerdikan, uangnya diam bil dengan kekerasan, kem udian barang-barang yang akan m em perbaiki hidup si Bajak Laut diberikan secara paksa. Hanya itu satu-satunya jalan. Mulai hari itu Pilon lebih ketat lagi memperhatikan gerak- gerik si Bajak Laut. Ia m engikuti Bajak Laut ke dalam hutan m encari kayu api. Ia bersem bunyi dalam kegelapan m alam di luar kandang ayam tem pat tinggal si Bajak Laut. Kadang-kadang diajaknya si Bajak Laut berbicara panjang lebar. Nam un rahasia harta tersem bunyi itu sedikit pun tidak tersingkap. Mungkin harta
66 John Steinbeck itu tersim pan di dalam kandang. Atau di tengah hutan, di tem pat yang hanya dikunjungi oleh si Bajak Laut pada m alam hari. Habis juga kesabaran Pilon, setelah hari-hari dan malam- m alam panjang dilaluinya tanpa hasil. Ia tahu, ia harus m enda- patkan bantuan dan nasihat. Siapa lagi yang sanggup m em ban- tunya kecuali sahabat-sahabatnya, Danny, Pablo, dan J esus Maria? Siapa lagi kecuali m ereka yang m em punyai otak lebih cerdik dan siasat lebih jitu? Siapa lagi yang lebih m udah larut di dalam rasa iba kecuali mereka? Pilon mengajak mereka berkomplot, namun terlebih dahulu ia m em beri m ereka persiapan seperti dia sendiri m enyiapkan diri untuk tugas m ulia yang dihadapinya. Mula-m ula ia m enceritakan kepapaan si Bajak Laut, kelem ahannya, dan akhirnya, pem ecahan persoalannya. Begitu sam pai pada pem ecahan persoalan, sem ua sahabatnya kejangkitan rasa m urah hati yang parah. Wajah m ereka bagai bersinar oleh cahaya kebaikan hati. Pablo berpikir m ungkin harta si Bajak Laut berjum lah sekitar seratus dolar. Rasa bahagia mereka karena akan memberi pertolongan pada m akhluk yang lem ah otak segera disalurkan pada kobaran sem angat dalam m enyusun siasat. “Kita harus selalu m engawasinya,” usul Pablo. “Tetapi aku telah lam a m engawasinya,” bantah Pilon, “tanpa hasil. Mungkin ia m erayap ke luar dari gubuknya di tengah m alam . Dan kita tak akan bisa m engikutinya dari dekat sebab ia selalu dijaga oleh anjing-anjingnya. Sulit sekali.” “Kau telah m enggunakan berbagai cara untuk m eyakinkan dirinya?” tanya Danny. “Sudah. Apa saja yang terpikir olehku.” Akhirnya J esus Maria-lah, si m anusia berhati em as itu, yang m endapatkan jalan keluarnya. “Mem ang sulit bila ia tetap tinggal di kandang ayam itu. Tapi bagaim ana kalau ia tinggal di sini, bersam a kita? Mungkin kewaspadaannya jadi berkurang oleh
Dataran Tortilla 67 kebaikan hati kita padanya. Atau kalau tidak akan lebih m udah bagi kita untuk m engikutinya bila ia pergi di m alam hari.” Semua memikirkan usul J esus Maria itu. “Kadang-kadang m akanan sisa yang diterim anya dari res- toran-retoran m asih ham pir utuh,” kata Pablo. “Pernah kulihat dia m akan sepotong bistik yang baru dim akan sedikit sekali oleh pem esannya.” “Mungkin sekali uang sim panannya m endekati dua ratus dolar,” Kata Pilon. Danny m enyatakan keberatannya, “Tetapi anjing-anjing itu, ia pasti mengajak mereka.” “Anjing-anjing itu patuh padanya,” kata Pilon. “Kau buat saja suatu garis batas di sudut, dan katakan pada si Bajak Laut ‘J aga jangan sampai anjingmu keluar dari garis ini.’ Ia akan memberi perintah pada mereka, dan mereka akan tinggal di dalam garis itu.” “Pernah kulihat si Bajak Laut itu suatu pagi m endapat sepo- tong besar kue. Hanya sedikit lem bap oleh kopi,” kata Pablo. Persoalan telah terpecahkan dengan sendirinya. Seisi rum ah m em bentuk sebuah panitia. Dan panitia itu m engunjungi si Bajak La u t . Sem pit sekali di dalam kandang ayam si Bajak Laut. Mereka harus duduk berdesak-desakan. Bajak Laut m encoba m enyem - bunyikan rasa bahagianya dengan sedikit bersungut-sungut. “Cuaca sangat buruk,” ia m encoba m em ulai percakapan. Ke- m udian, “Kau pasti tak percaya, m ungkin, bahwa aku m endapatkan seekor kutu sebesar telur merpati di leher Rudolph.” Dan ia me- rendahkan diri dengan m enonjolkan kekurangan rum ahnya, se- perti layaknya seorang tuan rum ah, “Tem pat ini terlalu sem pit. Tak layak untuk dikunjungi sahabat-sahabat. Nam un di sini ha- ngat dan nyam an, terutam a untuk anjing-anjing.”
68 John Steinbeck Pilon angkat bicara. Ia berkata rasa khawatir para sahabatnya makin menjadi-jadi, mereka sangat khawatir akan kesehatan si Bajak Laut. Kalau saja si Bajak Laut sudi tinggal serum ah dengan mereka, pastilah hati mereka bisa tenang. Tetapi kalau tidak, su- dah pasti mereka akan mampus menanggung rasa khawatir. Pernyataan Pilon benar-benar m erupakan goncangan hebat di hati si Bajak Laut. Mem bisu ia m erenungi telapak tangannya. Dan ia berpaling pada anjing-anjingnya untuk m inta bantuan. Nam un binatang-binatang itu m enghindari pandangan m atanya. Akhirnya ia m engusap air m ata kebahagiaan dari m atanya dengan punggung tangan, m engusap punggung tangannya dengan jeng- gotnya dan bertanya dengan suara lem but, “Bagaim ana dengan anjing-anjingku? Kalian juga ingin m ereka tinggal bersam a dalam satu rum ah? Kalian juga sahabat anjing-anjing?” Pilon m engangguk. “Ya, anjing-anjingm u juga boleh ikut dengan kam i. Kam i sediakan sebuah sudut khusus untuk m ereka.” Si Bajak Laut m em iliki harga diri yang tinggi. Ia takut kalau- kalau ia tak bisa m enguasai dirinya. “Pergilah kalian,” ia m e- m ohon, “pulanglah. Besok aku akan pergi ke rum ah kalian, dan tinggal bersama kalian.” Sem ua tahu perasaan hati si Bajak Laut. Mereka m erangkak ke luar, m eninggalkan si Bajak Laut sendirian. “Ia pasti akan bahagia tinggal bersam a kita, Bajak Laut itu,” kata J esus Maria. “Kasihan benar dia, lam a m enanggung kesepian,” Danny ikut bicara, “bila dari dulu aku tahu, sudah pasti sejak lam a ia kuajak tinggal di rum ahku. Bahkan bila ia tak punya harta tersem bunyi seka lip u n .” Api kegem biraan m em bakar hati m ereka sem ua. Dengan cepat m ereka dapat m enyesuaikan diri pada susunan hubungan kekeluargaan yang baru itu. Dengan sebatang kapur biru Danny membuat garis melengkung membatasi sudut kamar
Dataran Tortilla 69 tengah. Di tempat itulah anjing-anjing harus berada bila mereka ada di dalam rum ah. J uga di tem pat itulah si Bajak Laut tidur, bersam a anjing-anjingnya. Memang rumah terasa jadi agak sempit, dengan lima orang manusia dan lima ekor anjing. Tapi Danny dan kawan-kawan tak ada yang m enggerutu. Dari sejak sem ula m ereka telah yakin bahwa undangan m ereka pada si Bajak Laut untuk hidup ber- sam a diilham i oleh m alaikat yang tanpa m engenal lelah selalu memperhatikan garis kehidupan mereka, melindungi mereka dari segala dosa. Setiap pagi, jauh sebelum kawan-kawannya bangun, si Bajak Laut telah m eninggalkan rum ah. Mengunjungi restoran-restoran serta rumah-rumah makan di dekat dermaga. Tentu saja diiringi oleh sem ua anjingnya. Bajak Laut adalah orang yang m udah sekali menerbitkan rasa iba di hati orang lain. Hasil dari perjalanan m enjelang subuh itu selalu jauh lebih banyak daripada saat ia tinggal sendirian di kandang ayam . Danny dan kawan-kawannya m enerim a dan m em anfaatkan hasil jerih payah si Bajak Laut tiap pagi, ikan-ikan segar, potongan-potongan kue, roti-roti busuk yang belum dijam ah m anusia, daging yang dengan bantuan sedikit soda bisa dihilangkan warna hijaunya. Banyak lagi. Hidup mereka kini benar-benar terjamin dari sudut pangan. Dan kesudian mereka untuk menerima pemberiannya sangat menyentuh perasaan si Bajak Laut. Ia jadi terharu, lebih terharu dari yang diakibatkan oleh hal-hal lain yang mereka lakukan untuknya. Melihat orang-orang itu makan makanan pemberiannya, si Bajak Laut bagaikan melihat malaikat-malaikat pujaannya. Di malam hari mereka duduk mengelilingi perapian, memper- bincangkan segala peristiwa yang telah terjadi di Dataran Tortilla. Suara m ereka seperti suara m alas dewa-dewa yang kekenyangan. Mata si Bajak Laut kagum m engikuti setiap gerak bibir para pujaannya. Dan sekali-sekali bibirnya pun bergerak-gerak,
70 John Steinbeck m em bisikkan apa yang diucapkan kawan-kawannya, m engulang- ulang kata-kata m utiara itu. Pandang m ata si Bajak Laut bahkan m enerbitkan rasa iri pada anjing-anjingnya. Bila m alam larut, sem ua sudah tidur, keadaan rum ah gelap gulita, si Bajak Laut tak bosan-bosannya m em ikirkan kawan- kawannya ini. Hangat oleh him pitan anjing-anjing yang m enge- lilinginya, dengan penuh kebahagiaan ia berulang kali berkata dalam hati bahwa mereka ini benar-benar kawan-kawan sejati. Orang-orang ini begitu m encintainya sehingga m ereka m eng- khawatirkan kesehatan dirinya saat ia hidup sendirian. Sungguh suatu hal yang sangat m engherankan kenyataan itu, ham pir- ham pir tak bisa dipercaya. Pem bicaraan Pilon dulu selalu ter- ngiang-ngiang dalam telinganya. Kini gerobak dorongnya tersan- dar di halam an rum ah Danny. Ia m asih berjualan kayu, nam un agaknya ia begitu takut kehilangan kesem patan m endengarkan kata-kata m utiara yang runtuh dari bibir sahabat-sahabatnya serta menikmati kehangatan cinta mereka, hingga tak sempat ia m engunjungi tem pat persem bunyian harta karunnya untuk m enyim pan hasil penjualan setiap hari. Mereka sangat baik hati, sahabat-sahabatnya itu. Mereka m em perlakukannya dengan penuh sopan santun. Nam un selalu ada saja salah seorang di antara m ereka yang m engawasinya, wa- laupun dengan sikap yang sangat tidak m encolok. Bila ia pergi ke hutan, salah seorang di antara m ereka m enem aninya, duduk bersandar pada sebatang pohon ketika si Bajak Laut bekerja. Bila ia m em buang hajat ke sungai kering di belakang rum ah, hal terakhir yang dilakukannya setiap m alam , Danny atau Pablo atau Pilon atau J esus Maria secara sukarela m enyertainya pula— agaknya agar ia tak pernah kesepian. Dan di m alam -m alam hari, ia harus sanggup merangkak ke luar rumah tanpa sedikit pun m enim bulkan suara, agar tidak diikuti oleh sebuah bayangan yang m em buntutinya terus.
Dataran Tortilla 71 Selam a sem inggu Danny dan kawan-kawan hanya m eng- awasinya saja. Tetapi akhirnya m ereka bosan tinggal diam . Me- reka tahu tindakan langsung juga tak boleh dilakukan. Maka suatu malam pokok pembicaraan di sekitar perapian berkisar pada kebaikan dan keburukan dari harta yang disem bunyikan. Pilon yang m em ulai pem bicaraan itu. “Aku punya seorang pam an yang sangat kikir. Ia m enyem bunyikan sem ua uang em as- nya di hutan. Suatu waktu ia ingin m enghitung uang itu. Ternyata sem ua telah lenyap. Agaknya telah dicuri orang. Pam anku saat itu sudah sangat tua. Melihat uangnya hilang ia tak bisa m enahan diri. Mati m enggantung diri!” Pilon m elirik wajah si Bajak Laut. Dan dengan puas ia m elihat bahwa ceritanya m eninggalkan bekas pada wajah itu. Danny juga m elihat perubahan wajah si Bajak Laut. Ia m e- lanjutkan pem bicaraan Pilon. “Kakekku, yang punya rum ah ini, juga m enyem bunyikan uangnya. Dipendam di dalam tanah. Aku tak tahu pasti jum lahnya. Tapi ia terkenal kaya, jadi uangnya m ungkin sekitar tiga em pat ratus dolar. Kakek m enggali lubang yang am at dalam dan m enaruh sem ua uangnya di sana kem udian m enim bunnya dengan tanah. Di atas tim bunan disebarkan daun- daun pinus, hingga lubang itu tak tampak sama sekali. Namun waktu ia mengunjungi tempat itu sekali lagi, lubang itu telah terbuka, dan uangnya hilang.” Bibir si Bajak Laut m engikuti setiap patah kata yang sedang diucapkan. Wajahnya tam pak ketakutan. Dengan gugup tangannya m eraba-raba bulu leher Tuan Alec Thom pson. Danny dan kawan- kawannya saling berpandangan. Dan m ereka m engalihkan pem bicaraan pada kehidupan cinta Cornelia Ruiz. Ketika sem ua sudah tidur, si Bajak Laut diam -diam m erang- kak ke luar rum ah. Anjing-anjingnya m erangkak m engikutinya. Dan Pilon m erangkak pula m engikuti m ereka. Si Bajak Laut bergerak cepat sekali dalam kegelapan hutan, melompati balok-
72 John Steinbeck balok dan sem ak-sem ak tanpa banyak kesukaran. Pilon harus bersusah payah m engikutinya. Baru berjalan dua m il, Pilon telah kehabisan napas, baju dan kulitnya terkoyak-koyak oleh duri. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, dan baru sadar bahwa di sekelilingnya teram at sunyi. Tak ada suara gerakan si Bajak Laut m aupun anjing-anjingnya. Pilon m enunggu, m em asang telinga, m encari-cari. Nam un Bajak Laut lenyap bagai ditelan bum i. Dua jam habis waktu Pilon di dalam hutan itu. Dengan tangan ham pa ia pulang. Capai sekali. Dan di rum ah dilihatnya si Bajak Laut telah tidur nyenyak, dikelilingi anjing-anjingnya. Anjing-anjing itu m engangkat kepala waktu Pilon m asuk. Pilon m erasa seakan-akan m ereka tersenyum m engejek. Pagi harinya sebuah pertem uan rahasia berlangsung di dekat sungai kering di belakang rumah. “Sam a sekali tak m un gkin un tuk m en gikutin ya,” Pilon m elapor, “dia lenyap. Dia bisa m elihat dalam gelap, dia m engetahui setiap batang pohon di hutan. Kita harus m encari cara lain.” “Tak cukup bila yang m em buntutinya cum a seorang,” usul Pablo, “bila kita bersam a-sam a m engikutinya, kem ungkinan salah seorang di antara kita bisa menemukan tempat persembu- n yia n n ya .” “Kita bicara lagi tentang harta tersem bunyi m alam ini,” kata J esus Maria, “hanya saja kita buat lebih seram . Seorang wanita kenalanku akan memberiku sedikit anggur,” ia menambahkan, “m ungkin dengan sedikit anggur di dalam perutnya si Bajak Laut itu tak akan m udah untuk m elenyapkan diri begitu saja.” Usul J esus Maria diterima. Sahabat wanita J esus Maria m em berinya satu galon anggur penuh. Tak terkirakan kegem biraan si Bajak Laut m alam itu. Ia duduk bersam a sahabat-sahabatnya, dengan sem angkuk anggur di tangan, m encicipinya sedikit-sedikit sam bil m endengarkan segala perkataan m ereka. Kegem biraan sem acam itu jarang
Dataran Tortilla 73 dijum painya. Ingin sekali ia m em eluk sem ua sahabatnya ini, m enyatakan betapa ia sangat m encintai m ereka. Tetapi ia tahu ia tak bisa melakukan hal itu, sebab pasti mereka mengira ia mabuk. Ingin sekali ia m elakukan sesuatu yang hebat untuk m enyatakan cin t a n ya . “Malam kem arin kita bicara tentang penyem bunyian uang,” kata Pilon, “hari ini aku teringat pada seorang kem enakanku. Ia sangat pandai. Ia tahu benar tem pat m enyem bunyikan uang yang tak m ungkin bisa ditem ui oleh orang lain. Disem bunyikannya sem ua uangnya di tem pat itu. Mungkin kalian pernah m elihat kem enakanku itu. Ia orang yang selalu berkeliaran m erangkak- rangkak di sekitar dermaga mengemis ikan. Dialah kemenakanku. Uang yang disem bunyikannya telah dicuri orang.” Rasa kekhawatiran kem bali terbayang pada wajah si Bajak La u t . Cerita dem i cerita dikisahkan. Makin lam a nasib yang m e- nim pa orang yang m enyem bunyikan uang m akin buruk. “Mem ang,” kata Danny, “bila kita punya uang banyak lebih baik bila kita simpan dekat-dekat dengan kita. J adi bisa kita guna- kan sekali-sekali, bisa kita berikan pula sedikit-sedikit kepada sahabat-sahabat kita.” Mereka sem ua m em perhatikan wajah si Bajak Laut selam a cerita-cerita seram tadi dibeberkan. Sungguh aneh, pada saat cerita m ulai keterlaluan seram nya, rasa khawatir lenyap dari wajah si Bajak Laut digantikan oleh suatu senyum kelegaan. Bah- kan waktu m ereka telah kehabisan cerita tam pak si Bajak Laut gem bira sekali, m enghabiskan anggurnya. Mereka kecewa. Semua rancangan kandas. Sakit hati mereka. Setelah berbaik hati dan berm urah hati, hasilnya cum a begini. Agaknya si Bajak Laut terlalu bebal untuk bisa m enduga m aksud baik m ereka. Masing-m asing m enghabiskan anggurnya dan dengan murung pergi tidur.
74 John Steinbeck Sedikit sekali yang bisa terjadi di m alam hari tanpa sepenge- tahuan Pilon. Walaupun seluruh anggota tubuhnya tidur nyenyak, telinganya m asih sadar dan terbuka lebar. Ia m endengar si Bajak Laut dan anjingnya hati-hati sekali m erayap ke luar rum ah. Pilon m elom pat bangun, m em bangunkan kawan-kawannya yang lain. Sekejap saja keem patnya m engikuti si Bajak Laut m enuju hutan. Malam gelap pekat saat mereka mulai masuk hutan. Empat sekawan itu berulangkali terpaksa menubruk pohon, ter- jerat semak-semak. Tetapi mereka maju terus, mengikuti suara langkah si Bajak Laut di depan. Sam pailah di tem pat di m ana Pilon kehilangan jejak m alam sebelum nya. Dan seperti m alam itu, m endadak saja m alam jadi sunyi senyap, tak terdengar suara si Bajak Laut. Hanya suara bisik-bisik hutan dan angin m alam samar-samar. Mereka mencari ke berbagai penjuru, ke setiap sem ak-sem ak. Si Bajak Laut telah lenyap tak berbekas. Akhirnya m ereka putus asa. Kedinginan, penuh kecewa, lelah setengah m ati, m ereka m ulai m engayunkan langkah pulang, ke luar hutan. Fajar telah m enyingsing waktu m ereka m eninggalkan tepi hutan. Matahari telah m enyinari teluk di bawah sana. Dan Monterey telah mengepulkan asap pagi. Si Bajak Laut telah m enunggu di seram bi rum ah. Ia turun ke halam an, m enyam but m ereka dengan senyum bahagia. Nam un keem pat sekawan itu tak m enyahut, dengan wajah m uram m ereka m elewati si Bajak Laut dan m asuk ke rum ah. Di atas m eja m ereka m elihat sebuah kantong kanvas, besar. Si Bajak Laut m endekati m ereka. “Pilon,” katanya, “aku telah berdusta padam u. Aku berkata aku tak punya uang. Itu karena aku takut. Sebab aku belum kenal betul sahabat-sahabatku. Kalian telah bercerita, bagaim an a harta yan g tersem bun yi biasanya lenyap dicuri orang. Dan aku takut. Baru m alam tadi aku m endapatkan cara terbaik untuk m enyelam atkan hartaku.
Dataran Tortilla 75 Aku yakin, uangku pasti am an bila dijaga oleh sahabat-sahabatku. Tak akan ada yang bisa m encuri uangku.” Em pat sekawan itu m em andang terkejut pada si Bajak Laut. “Am bil uangm u, sem bunyikan kem bali di hutan,” kata Danny gugup, “kam i tak ingin m elihatnya!” “Tidak,” kata si Bajak Laut, “tak am an bila aku yang m enyem - bunyikan. Aku akan m erasa bahagia bila kalian sudi m enjaganya. Coba saja, telah dua m alam ini aku m erasa ada yang m engikutiku m asuk ke dalam hutan. Pasti ada yang ingin m encuri uangku.” Walaupun pukulan itu terasa telak di hati Pilon, ia cukup cerdik untuk tanpa berkedip berkata, “Tapi sebelum uang ini kau serahkan pada kami, apakah kau tak ingin mengambilnya sedikit?” Licin sekali ia mencari kesempatan. Si Bajak Laut m enggelengkan kepala. “Tidak. Tidak bisa. Uang ini semua telah kujanjikan untuk suatu persembahan. J um lahnya ham pir seribu uang talen. Bila genap seribu keping aku akan membeli sebuah tempat lilin dari emas untuk kuper- sem bahkan pada St. Francis dari Asisi. Sebab, dulu aku m em - punyai seekor anjing. Anjing itu sakit. Dan aku berjanji untuk mempersembahkan setangkai tempat lilin emas untuk lilin seribu hari bila anjing itu bisa sem buh. Dan,” Bajak Laut m enebarkan tangannya, “anjing itu sem buh.” “Anjing yang m ana itu? Salah satu di antara yang ini?” tanya Pilon mendesak. “Tidak. Setelah sem buh anjing itu m ati terlindas truk,” jawab Bajak Laut. Lenyap sudah sem ua harapan untuk dapat m enyelewengkan uang si Bajak Laut. Dengan enggan Danny dan Pablo m engangkat karung berisi talenan perak itu ke dalam kam ar m enaruhnya di bawah bantal Danny. Mungkin kelak m ereka bisa m endapatkan kenikm atan dari kenyataan bahwa ada setum puk harta di balik bantal itu. Namun saat itu benar-benar terasa betapa pahit
76 John Steinbeck kekalahan m ereka. Tapi apa boleh buat. Kesem patan yang sangat baik ini terpaksa mereka lepaskan. Si Bajak Laut berdiri di hadapan m ereka, dengan air m ata kebahagiaan m enggenang, sebab ia telah m em buktikan cintanya kepada para sahabatnya. “Bayangkan saja, bertahun-tahun aku terbaring sendirian di kandang ayam itu, tak m engenal sedikit pun rasa bahagia,” katanya, “dan kini... oh, kini aku sangat berbahagia!”
8 MENCARI HARTA KARUN GAIB KALAU SAJ A ia seorang pahlawan, pastilah J oe Portugis m e- rasakan betapa tersiksanya kehidupan dalam ketentaraan. Tetapi ia tertolong oleh kenyataan bahwa ia adalah Big J oe Portugis, yang berpengalam an penuh dalam penjara Monterey. Kenyataan ini m enyelam atkan dirinya dari kewajiban untuk m em buktikan cinta tanah airnya. J uga m eyakinkan dirinya, bahwa hari-hari harus dilewati separuhnya untuk tidur dan separuhnya untuk bangun, tahun-tahun juga harus dilewati separuhnya untuk berada di dalam penjara dan separuhnya di luarnya. Sepanjang m asa peperangan, J oe Portugis lebih banyak m enghabiskan wak- tunya di dalam penjara daripada di luar. Dalam kehidupan sipil, seseorang dihukum karena menger- jakan sesuatu. Tetapi aturan dalam kehidupan ketentaraan lain. Seseorang bisa juga dihukum karena tak melakukan sesuatu. Ini
78 John Steinbeck benar-benar membuat J oe Portugis bingung. Ia tak member- sihkan senapannya, ia tak m encukur jenggot, dan sekali atau dua kali, waktu cuti, ia tak kem bali ke tangsi. Sem uanya m endapat hadiah hukuman. Di samping itu semua, J oe Portugis tak bisa m eninggalkan sifatnya untuk berbantah dulu bila disuruh m e- ngerjakan sesuatu, m em persoalkan apakah tugasnya itu betul- betul perlu dilakukan atau tidak. Dalam kehidupan biasa, ia m enghabiskan separuh waktunya di dalam penjara. Sebagai tentara selama dua tahun, delapan belas bulan ia meringkuk dalam tahanan. Dan ia juga merasa tidak puas akan layanan di dalam penjara m iliter. Di penjara Monterey selalu saja ia m em punyai tem an, dan ia pun boleh berm alas-m alasan. Di penjara militer tak ada waktu untuk bersenang-senang, bekerja terus! Di Monterey hanya satu tuduhan yang selalu dikenakan padanya, Mabuk dan Bertingkah Laku Tidak Sopan. Tuduhan- tuduhan yang diterim anya dalam ketentaraan begitu beraneka ragam hingga bahkan sampai selepas dari dinas tentara ia masih juga bingung. Waktu perang selesai, dan tentara-tentara dipulangkan ke kam pung halam annya, Big J oe m asih harus m enghabiskan m asa tahanannya yang enam bulan. Ia dihukum karena, “Mabuk waktu bertugas. Mem ukul seorang sersan dengan kaleng m inyak tanah. Tak m au m engakui nam a, pangkat, dan kesatuannya (ia lupa waktu itu, jadi sem ua tak diakuinya). Mencuri dua kaleng kacang rebus dan m inggat dengan naik kuda seorang Mayor”. Bila saja waktu itu perang besar belum selesai, pastilah Big J oe dihukum tem bak. Ia pulang ke Monterey jauh setelah veteran-veteran perang lainnya tiba dan sam butan terhadap mereka telah tak berbekas. Waktu Big J oe turun dari kereta api ia m em akai jas panjang tentara, jaket, dan celana wol biru.
Dataran Tortilla 79 Monterey tidak berubah. Kecuali bahwa kini berlaku larangan penjualan minuman keras. Tetapi larangan ini sama sekali tak berpengaruh pada kedai minum Torrelli. J oe menukarkan jas panjangnya dengan satu galon anggur, dan ia m ulai m encari sahabat-sahabat lam anya. Malam itu ia tak menemui sahabat-sahabat sejati, namun Monterey tak kekurangan sahabat-sahabat palsu yang berhati busuk, germ o-germ o dan m akelarnya. Mereka selalu siap untuk m enarik orang m asuk ke dalam rum ah pelacuran. Dan J oe, yang sama sekali tak begitu susila, tak keberatan ditarik masuk ke rumah pelacuran, ia bahkan senang. Baru beberapa jam berlalu, anggurnya telah habis. Ia tak punya uang. Germ o dan tukang-tukang pukul m encoba m e- nyuruh J oe pergi, tapi ia tak m au. Ia nyam an di situ. Waktu mereka mencoba mengusir J oe dengan kekerasan, J oe tentu saja gusar. Ia menghancurkan semua perabotan dan jendela, m enyebabkan gadis-gadis setengah telanjang berham - buran lari keluar dari rumah itu. Sebagai tambahan dari keri- butan itu Big J oe m em bakar rum ah tersebut. Mem ang, sam a sekali tak baik untuk menghadapkan J oe pada godaan. Ia sama sekali tak punya daya penolak. Akhirnya seorang polisi datang dan m em bawanya pergi. J oe bernapas lega. Kini ia m enem ukan kem bali dunianya. Ia cepat diadili. Dengan memakan waktu sangat pendek dan tanpa juri. Hukum an tiga puluh hari penjara dijatuhkan padanya. Dan J oe dapat kembali menikmati tidur di atas balai-balai kulit. Sepersepuluh dari m asa hukum annya dihabiskannya dengan tidur lelap. Si Portugis sangat m enyukai penjara Monterey. Di tem pat itu ia bisa berkenalan dengan berbagai macam manusia. Dan bila ia bisa cukup lam a tinggal di situ, pastilah akhirnya seluruh tem annya m endapat giliran untuk m enem aninya, sebab selalu
80 John Steinbeck ada saja di antara m ereka yang juga harus m eringkuk di situ. Tapi waktu cepat sekali berlalu. Sedih juga saat ia harus meninggalkan penjara. Namun kesedihan itu sedikit bisa dihibur oleh pikiran bahwa amat mudah untuk kembali lagi ke tempat tersebut. Ia ingin kem bali ke rum ah pelacuran lagi, tapi ia tak punya uang ataupun anggur. Ia menjelajahi jalan-jalan, mencari Pilon atau Danny atau Pablo, tapi tak dapat m enem ukan m ereka. Kata sersan polisi di penjara ia telah lama tak menahan mereka. “Mungkinkah m ereka telah m ati?” pikir si Portugis. Dengan sedih ia mengunjungi kedai Torrelli, tapi Torrelli tidak m au bersikap ram ah pada orang yang tak punya uang ataupun barang yang bisa ditukar. Torrelli hanya bilang bahwa kini Danny telah memiliki sebuah rumah di Dataran Tortilla, di m ana ia tinggal bersam a tem an-tem annya. J oe merasa sangat rindu pada mereka. Sore hari ia berjalan menuju Tortilla, hendak mengunjungi Danny dan Pilon. Hari telah gelap saat ia melihat Pilon sedang berjalan tergesa-gesa. “Ai, Pilon. Aku hendak m engunjungim u!” “Halo, J oe Portugis,” Pilon tidak berhenti, “dari mana saja kau?” “J adi tentara,” sahut J oe. Agaknya Pilon tak punya waktu. “Aku harus pergi dulu.” “Aku ingin ikut denganm u,” kata J oe. Pilon kini berhenti, m em perhatikan J oe. “Lupakah kau malam apa ini?” “He, m alam apa?” “Malam St. Andrew.” Si Portugis tertegun. Pada m alam St. Andrew setiap paisano yang kebetulan tidak berada dalam penjara bertebaran berkeliaran di dalam hutan. Menurut kepercayaan m ereka, pada m alam St. Andrew sem ua harta karun yang terpendam dalam tanah akan m enyinarkan sinar lem but di atas tanah. Dan m ereka juga percaya bahwa banyak sekali harta terpendam di hutan. Monterey
Dataran Tortilla 81 terlalu sering mengalami peperangan di masa dua ratus tahun yang silam , dan setiap kali pasti ada saja harta berharga yang ditanam di dalam tanah. Malam itu cerah sekali. Pilon saat itu bukanlah Pilon yang berhati keras seperti biasanya. Sekali-kali m uncul Pilon yang idealis, Pilon si pemurah hati. Malam itu ia mengemban tugas berdasarkan kasih. “Kau boleh ikut denganku, Big J oe Portugis. Tapi bila kelak kita m enem ukan harta terpendam , akulah yang berhak m enen- tukan buat apa harta itu. Bila kau tak setuju, kau boleh pergi sen- diri m encarinya.” Big J oe bukanlah orang yang ahli m enggunakan otaknya sendiri. “Aku ikut denganm u, Pilon,” katanya. “Aku tak peduli apa yang akan kau buat dengan harta itu nanti.” Malam telah m enyelubungi hutan saat kaki m ereka m ulai berjalan di atas kelem butan tebaran daun pinus. Pilon yakin m alam itu m alam yang paling tepat. Kabut tipis m elayang tinggi di langit dan di balik kabut bulan bersinar m em beri cahaya sam ar- sam ar ke seluruh hutan. Segalanya tam pak m elem but. Segalanya tam pak khayali. Batang-batang pohon bukannya tegas padat hitam , tapi lem but bagai bayangan. Sem ak-sem ak tak berbentuk dan seakan-akan bergerak-gerak. Hantu-hantu berkeliaran ma- lam ini. Mereka bebas. Tak usah takut akan kecurigaan manusia, sebab m alam ini adalah m alam hantu-hantu. Hanya orang tolol sajalah yang tak m em percayainya. Sekali-sekali Big J oe dan Pilon berpapasan dengan pencari- pencari lain yang berjalan bersim pang siur di antara pohon- pohon. Mereka semua menundukkan kepala, bergerak tanpa suara, tak mengucapkan sepatah kata sapaan. Mungkin di antara m ereka bukannya m anusia, siapa tahu? Big J oe dan Pilon yakin bahwa banyak di antara nyawa orang m ati kem bali turun ke bum i di m alam St. Andrew, untuk m elihat jangan sam pai tim bunan
82 John Steinbeck harta mereka diganggu. Pilon memakai medalion bergambar orang suci pelindungnya, dipakainya di luar baju, untuk penolak m ara. Karenanya ia tak takut pada hantu. Big J oe berjalan dengan jari bersilang membentuk Salib Suci. Mereka memang takut. Tapi m ereka yakin telah cukup m em iliki pelindung. Angin bertiup, dan kabut tersingkap dari wajah bulan. Kabut yang berjalan itu m em buat sem ua benda yang ada di hutan seolah-olah juga berjalan perlahan, tak bersuara, bagai kucing-kucing raksasa hitam. Pucuk pepohonan berbisik-bisik, membicarakan nasib manusia dan meramalkan kematian. Pilon tahu, tidaklah baik kiranya m endengarkan pem bicaraan m ereka. Tak baik untuk m engetahui apa yang akan terjadi di m asa yang akan datang. Lagi pula bisikan pepohonan itu bisikan tak suci. Ia segera m engalihkan perhatian telinganya dari bisikan-bisikan itu. Ia m ulai berjalan berkelak-kelok m enjelajahi hutan. Big J oe m engikutinya terus bagaikan seekor anjing setia. Berkali-kali m ereka berpapasan dengan orang lain, tanpa m enyapa, tanpa bersuara, dan hantu-hantu pun berpapasan dengan mereka. Sirene kabut mulai mendengung di Tanjung, jauh di bawah m ereka. Nadanya m enyedihkan, bagai m eratapi kapal-kapal yang telah hancur kandas di karang, dan kapal-kapal yang m ungkin akan m enyusul m ereka kelak. Tubuh Pilon gemetar dan kedinginan, walaupun malam itu hawa sesungguhnya hangat. Ia m engucapkan Salam Maria tanpa bersuara. Mereka berpapasan dengan seseorang, bagaikan bayangan kelabu, pun tanpa m enyapa. Satu jam berlalu, m asih juga Pilon dan Big J oe m ondar- m andir tak tentu tujuan, segelisah hantu-hantu yang m em enuhi tempat itu. Tiba-tiba Pilon tertegun. Tangannya m eraba tangan Big J oe. “Kau lihat itu?” bisiknya.
Dataran Tortilla 83 “Ma n a ?” “Itu, di depan.” “Ya-a-a. Agaknya benar.” Seakan tampak sejalur sinar lembut biru memancar dari tanah kira-kira sepuluh m eter dari tem patnya berdiri. “Big J oe,” bisiknya, “carilah dua tangkai ranting, kira-kira tiga atau em pat kaki panjangnya. Aku tak boleh berpaling. Sinar itu mungkin hilang.” Pilon tetap berdiri tegang, tak bergerak sedikit pun. Sementara itu Big J oe m encari ranting yang diperlukannya. Pilon m endengar kawannya m em atahkan dahan dari sebatang pohon pinus. Ia juga m endengar gem ertak Big J oe m em bersihkan dahan itu. Pilon sendiri tak bergerak dan tak berkedip. Ia tetap mengawasi cahaya lem but di depannya. Cahaya itu kadang-kadang lenyap, tapi tim bul lagi. Kadang-kadang m alah ia tak yakin bahwa penglihatannya benar. Ia m asih belum m engedipkan m ata ketika akhirnya Big J oe m enyodorkan dua batang kayu. Pilon m em buat tanda salib dengan kedua kayu itu. Dengan m em egang salib, ia m elangkah m aju, m engangkat salibnya agak jauh di depan tubuhnya. Makin dekat, cahaya itu m akin m elenyap. Tetapi ia telah m enandai asal m ula cahaya itu. Sebuah lekukan yang bundar perm ukaannya ditaburi daun-daun pinus. Pilon m eletakkan salib kayunya pada lekukan tersebut. Dan ia berkata, “Apa saja yang terpendam di sini adalah m ilikku. Pergilah, hai hantu-hantu jahat. Pergilah, jiwa orang-orang yang m em endam harta ini. In N om en Patris el Filius et Spiritu Sancti*,” dan ia menarik napas lega, duduk di tanah. “Kita telah m endapatkan harta itu, Big J oe, oh, Sahabat,” ia berseru, “bertahun-tahun aku m encari, baru sekarang berhasil.” “Ayo kita gali saja,” usul Big J oe. * Demi Tuhan dan Putra-Nya, dan Roh Suci.
84 John Steinbeck Dengan agak gusar Pilon m enggelengkan kepala. “Meng- galinya? Saat hantu-hantu bebas berkeliaran? Keadaan kita di sini saja sesungguhnya sudah sangat berbahaya. Kau tolol sekali, Big J oe. Kita akan duduk di sini sam pai pagi tiba. Kem udian kita tandai tempat ini. Dan besok malam kita mulai menggali. Tak akan ada orang lain yang bisa m elihat sinar yang tadi, sebab kini tem pat ini telah kita lindungi dengan sebuah salib. Besok m alam barulah am an bagi kita untuk m enggalinya.” Kini m alam terasa lebih m enyeram kan, saat m ereka duduk diam di atas taburan daun pinus itu. Tetapi salib buatan Pilon seakan memancarkan kehangatan kesucian dan rasa aman, bagai suatu api unggun. Seperti layaknya api unggun, salib itu hanya m em beri kehangatan pada bagian depan tubuh. Punggung mereka tetap saja dirongrong oleh dingin dan rasa takut akan hantu-hantu jahat yang terus saja berkeliaran. Pilon bangkit dan membuat lingkaran besar mengelilingi tanda salib sam bil m enggum am , “J angan sam pai ada m akhluk jahat pun yang sanggup m elewati garis ini. Dengan nam a J esus Yang Maha Suci.” Ia duduk kem bali, m erasa lebih am an lagi. Begitu pun Big J oe. Mereka telah dilindungi oleh lingkaran yang mengelilingi mereka itu. Masih kedengaran langkah-langkah hantu yang berkeliaran, dengan cahaya-cahaya kecil terpancar dari sosok tubuh m ereka yang tem bus cahaya. Lingkaran perlin- dungan m ereka cukup tangguh. Tak ada suatu pun yang jahat, baik dari dunia ini atau dunia m ana pun, sanggup m elintasinya. “Akan kau apakan uangm u nanti?” tanya Big J oe. Pilon m em andang agak m enghina pada Big J oe. “Kau pasti tak akan sanggup m enem ukan harta terpendam , Big, sebab caranya saja kau tak tahu. Aku tak boleh m enggunakan harta yang kutem ukan ini untuk keperluanku sendiri. Begitu aku punya m aksud untuk m em akainya bagi keperluanku pribadi, hartanya akan menjauh masuk makin dalam ke dalam bumi hingga tak
Dataran Tortilla 85 m ungkin bisa kugali lagi. Bukanlah begitu caranya. Harta ini kugali dan akan kuberikan pada Danny.” Segala idealism e yang ada pada Pilon m uncul sem ua. Ia m enceritakan betapa baik hati Danny pada kawan-kawannya. “Dan kam i tak pernah m em balas budinya,” Pilon berkata, “kam i tak m em bayar sewa. Kadang-kadang kam i m abuk dan m enghancurkan perabotan. Bila kam i m arah, kam i berkelahi d en ga n n ya . Kam i m aki-m aki dia. Oh, kam i benar-benar sekelom pok bangsat jahat, Big J oe. Karena itu kam i, yaitu Pablo, J esus Maria, si Bajak Laut, dan aku m em buat suatu rencana. Kam i berem pat berada di hutan ini malam ini. Mencari harta terpendam untuk diberikan pada Danny. Ia begitu baik hati, Big J oe. Ia begitu pe- m urah, dan kam i jahat sem ua. Tetapi bila kam i bawakan padanya sebuah karung berisi harta, pastilah ia akan sangat gembira. Hanya karena hatiku bersih dari rasa tam ak sajalah m aka aku berhasil menemukan harta ini.” “Kau tak akan m engam bil sedikit pun dari harta ini?” tanya Big J oe tak percaya. “Bahkan hanya untuk m em beli satu galon a n ggu r ?” Saat itu Pilon sam a sekali bersih dari Pilon yang licik. “Tidak. Tidak sepeser pun! Sem uanya untuk Danny. Sem uanya!” J oe sangat kecewa. “Ah, aku sudah capai m engikutim u ke mari. Dan segelas anggur pun aku tak akan dapat.” “Kalau uang ini telah ada di tangan Danny,” kata Pilon hati- hati, “m ungkin saja ia akan m em beli sedikit anggur. Tentu saja aku tak akan minta agar ia membeli anggur, sebab harta ini selu- ruhnya m ilik Danny. Tapi kupikir ia akan m em beli anggur. Dan bila kau bersikap baik terhadapnya, pasti kau diberinya segelas.” Big J oe terhibur, karena ia tahu benar sifat Danny sejak dulu. Ia juga berpendapat bahwa mungkin Danny akan membeli anggur tidak hanya sedikit, tapi pasti banyak.
86 John Steinbeck Malam terus berlalu. Bulan terbenam dan hutan gelap gulita kini. Mambang kabut mejerit-jerit dan meratap. Sepanjang m alam hati Pilon sam a sekali tak pernah goyah, sedikit pun tetap bersih. Bahkan ia dapat juga berkhotbah sedikit pada Big J oe, seperti layaknya orang yang baru saja bertobat. “Sangat m enguntungkan bagi kita bila sekali-kali kita bisa berhati baik dan derm awan,” kata Pilon, “sebab tindakan itu akan mengumpulkan bahan-bahan untuk rumah kita di kerajaan surga. Bukan itu saja, tindakan sem acam itu juga akan m endapatkan hadiah sewajarnya di dunia ini. Dengan berbuat baik kita akan m erasa nyam an dan hangat, seperti hangatnya perut kita oleh sam bal pedas. Roh Kudus m enyelim uti kita bagaikan lem butnya selim ut bulu unta. Aku m em ang jarang berbuat baik, Big J oe. Aku mengakui hal itu secara tulus.” Big J oe m engetahui benar-benar. “Aku m em ang jahat,” Pilon m eneruskan penuh sem angat, jalan lurus di m ata Tuhan itu m em buatnya gem bira, “aku sering berdusta, sering m encuri, sering m enipu. Aku pernah berzina, dan mengucapkan nama Tuhan secara sia-sia.” “Aku juga,” Big J oe ikut bicara dengan gem bira. “Dan apa hasilnya, Big J oe? Aku dirongrong oleh perasaanku sendiri. Aku tahu bahwa aku pasti pergi ke neraka. Nam un saat ini aku sadar, bahkan bagi seorang durhaka yang paling berat pun pintu pengam punan m asih terbuka. Aku belum pernah mengaku dosa kepada pendeta, namun aku telah bisa merasakan betapa bahagianya m enggem birakan hati Tuhan. Telah kurasakan berkat-Nya pada diriku. Bila engkau pun m au m engubah cara hidupm u, Big J oe, bila kau m au m enghentikan m abuk-m abukan, berkelahi dan bermain dengan pelacur di rumah Dora Williams, kau pun juga akan bisa m erasakan betapa nikm atnya berkat pemberian Tuhan padamu.”
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236