Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Published by Nur Hasbi, 2021-11-05 04:04:17

Description: Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Keywords: esai sastra

Search

Read the Text Version

Catatan Pengantar Tidur i

Catatan Pengantar Tidur Karya : Mufti Wibowo Desain Sampul & Tata Letak : Yusuf Muhammad Iqbal Penerbit : SIP Publishing (Anggota IKAPI) Jl. Curug Cipendok Km.1 Kalisari, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh buku tanpa izin penerbit dan penulis ISBN : Cetakan Pertama, Juli 2021 Ukuran Buku: A5 Halaman: vi + 118 Isi di luar tanggung jawab percetakan ii

Prakata S aya berbahagia dengan terbitnya buku yang merangkum 28 esai ringan yang saya tulis sejak 2017 hingga awal 2021 ini. Kesemuanya adalah esai dan atau resensi yang pernah terpublikasi di media, baik cetak maupun daring. Untuk itu, saya ingin menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada redaktur media Suara Merdeka, Minggu Pagi, Radar Banyumas, Basabasi.co, Iqra.id, dan maarifnujateng.or.id yang telah memberikan ruang publikasi atas catatan-cacatan tersebut sehingga berjumpa dengan pembacanya. Tentu saja catatan-catatan ini tidak melulu memproyeksi preferensi selera personal. Seringnya ia adalah respons atas fenomena di lingkungan tempat tinggal, kerja, hingga hobi, yang mengambil sudut pandang personal belaka. Menulis catatan ringan dengan sekali duduk adalah semacam lanjutan dari tradisi atau kebiasaan yang dimulai semasa SMP. Catatan Pengantar Tidur iii

Tuhan telah begitu bermurah kepada saya dengan karunia cinta kepada hobi yang kerap mendatangkan keberuntungan baik material maupun prestis—untuk tak mengatakan sisi minornya. Mempertemukan saya dengan orang-orang istimewa yang selalu mendukung dalam menekun hobi sehingga lahir buku ini. Mereka adalah keluarga, sahabat, guru-guru, hingga murid-murid. Buku ini adalah persembahan cinta, ungkapan terimakasih dan hormat saya bagi mereka. Penulis iv

Daftar Isi Prakata...........................................................................................iii Daftar Isi........................................................................................v Membaca Aib dan Nasib: Menelanjangi Diri...............................1 Catatan Pengantar Tidur................................................................5 Estetika Maskulin..........................................................................10 Sejarah itu Kreativitas...................................................................15 Isolasi dan Pembaca yang Malas..................................................19 Membaca Penyair Purbalingga Bekerja........................................23 Tasbih Ndoro Habib dalam Frame Sastra Pesantren.....................28 Tamasya ke Masa Lalu..................................................................32 Yang Mungkin dari Sang Keris.....................................................36 Bahaya Laten Kampanye Literasi.................................................40 “Marwah” Penulis.........................................................................45 Guru dan Lokalitas Sumber Belajar..............................................50 Belajar Mencintai Hujan...............................................................54 Satire Orang-orang Oetimu..........................................................58 Usia Puisi Dharmadi......................................................................62 Santri: Agen Organik Multikulturalisme.......................................66 Sihir Guru Agus.............................................................................70 Tafsir Sunyi....................................................................................74 Catatan Pengantar Tidur v

Literasi Sekolah: Ekspektasi dan Strategi.....................................78 Personalitas dan Spiritualitas Ahmad Tohari.................................82 Manusia Ironi alam Air Mata Manggar........................................87 Seni Penginyongan dalam Wacana Politik....................................92 Narasi Ibu: Politik, Wayang, dan Sajak.........................................96 Puisi dan Pemimpin.......................................................................100 Ironi Kemerdekaan dalam Novel Jprut Karya Putu Wijaya.........105 Baturraden dan Mitos Putus Cinta yang Terlupakan.....................110 Seruan Literasi dalam Cantik Itu Luka..........................................114 Tentang Penulis.............................................................................119 vi

Membaca Aib dan Nasib: Menelanjangi Diri P erjalanan dari Purbalingga ke Purwokerto—biasa saya tempuh dalam rentan waktu yang kurang lebih sama untuk memindahkan satu mug kopi ke lambung— kemarin terasa sangat panjang dan berbelit seperti kusutnya alur nasib yang menjerat tokoh-tokoh rekaan Minanto dalam novel Aib dan Nasib. Saya sadar, membuka tulisan dengan kalimat kompleks tentu bukan pilihan yang bijak. Pun saya tidak memungkiri bahwa kalimat pembuka itu sesungguhnya secara mental cacat logika. Pasalnya, saya telah membandingkan dua entitas yang bebenda dengan kriteria yang tak memadai, seperti ungkapan: membandingkan apel dengan jeruk. Yang baru pembaca ketahui dari kedua hal itu adalah “perjalanan saya yang bertitik tolak Purbalingga menuju Catatan Pengantar Tidur 1

Purwokerto”. Sementara, yang pembaca belum ketahui—dan memang belum saya informasikan—dalam perjalanan yang panjang dan berbelit itu saya mengambil jeda untuk memenuhi (meskipun terlambat) sebuah undangan dari seorang kawan. Untuk itu, saya mesti mengubah rute hingga melipatgandakan jarak tempuh. Dengan fakta itu, saya mesti menempuh waktu perjalanan yang lebih lama, satu setengah kali lipat. Selain faktor yang bisa dijelaskan secara fisika itu, ada hal subtil turut menyumbang peran. Ya, ia adalah kenangan. Saya terakhir kali menempuh rute itu sepuluh tahun lalu saat masih berstatus pelajar SMA. Sepanjang jalan itu, saya berkendara lebih lambat—selain karena lupa-lupa ingat—rekaman memeori masa SMA dalam gulungan film sephia dalam kilasan-kilasan peristiwa berkesan membuat saya masyuk. Ada kalanya saya tersenyum dan mengumpat sendiri. Celakanya, kepala tak diciptakan hanya untuk menyimpan kenangan yang memulu indah. Mengenai kenangan yang tak melulu indah itu—untuk tak mengatakan lebih banyak tragisnya—mengingatkan saya pada Aib dan Nasib yang belum lama ini saya tuntas baca. Membaca pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 ini mengingatkan saya pada spirit yang sama yang dalam Telembuk- nya Kedung Darma R. atau Dawuk-nya Mahfud Ikhwan. Ketiganya menggarap ide dan penonjolan aspek sarana cerita yang secara intens nyaris bisa dikatakan serupa. 2

Tentu saja fakta cerita dalam fiksi dengan realitas adalah dua hal yang berbeda. Namun demikian, pengarang akan bekerja dengan hukum-hukum yang ia cerap dari realitas itu sendiri untuk kemudian dimodifikasi sebagaimana fungsi perangkat lunak pada gawai. Penting bagi pengarang, keberhasilan sebuah fiksi sangat ditentukan seberapa pengarang itu bisa mengambil jarak dari teks. Dengan kata kunci itu, karya sastra akan dibebaskan dari distorsi apa-apa yang bergentayangan luar teks yang kerap kali bertanggung jawab sebagai pihak yang menyandera kemerdekaan berpikir kritis pembaca. Aib dan Nasib adalah sebuah novel antihero. Minanto berhasil mendeskripsikan sebuah latar budaya dengan persoalan- persoalan sosial di dalamnya yang rumit secara apik dan cukup rapi. Kemiskinan dan kebodohan adalah kata kunci untuk mendeskripsikan sebuah latar yang menjadi tempat hidup para tokoh dalam Aib dan Nasib. Maka, pembaca akan menjumpai seorang tokoh tukang becak sangat miskin yang meninggalkan jasad cucunya yang mati secara sia-sia. Intensi Minanto memasukkan isu rendahnya kesadaran akan kesehatan mental dalam novelnya terasa begitu kuat. Persoalan remaja yang tak mendapat akses berekspresi di arena publik yang terkontrol adalah kritik atas rawannya mereka menjadi pelaku dan atau korban krminal. Isu buruh migran dalam konteks globalisasi terasa sekali ironinya. Kenaifan bangsa yang Catatan Pengantar Tidur 3

mengimani mazhab demokrasi yang justru dikhianati dan didistorsi praktik proseduralnya. Lagi, kegamangan manusia di negera ketiga di hadapan kemajuan teknologi. Tak cukup, relijiusitas tanpa spiritualitas. Secara elaboratif, alur nasib yang dijalani (banyak) tokoh utamanya bergerak dari wilayah domestik untuk kemudian bergerak ke ruang publik yang lebih kompleks, negara. Pada akhirnya, ada gugatan yang saya tangkap secara implisit—dan itu benar-benar mengganggu. Bagaimana Minanto mengakhiri novelnya dengan sama sekali tidak ada ruang untuk berkecambahnya benih kacang optimisme alih-alih dikuasai serumpun belukar frustasi. Saya khawatir, jangan-jangan itu yang benar-benar terjadi dalam kehidupan yang sedang saya jalani alih-alih luput dari amatan. Kata kunci untuk memutus semua rantai aib dan nasib (buruk) itu adalah kematian—yang diwakili tiga tokoh—dalam waktu yang bersamaan. Kematian yang sebenarnya menjadi pengggerak alur cerita dalam novel ini. Beberapa menit setelah sampai di Purwokerto, saya bersiap menyalakan komputer untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan administratif yang “selalu” tertunda. Celaka, wajah Minanto yang menyeringai bagai miyangga yang muncul dari lubuk Serayu menyeruak lalu bertanya dengan lagak (guru) bahasa Inggris logat Idramayu: Does the curriculum in our school enough provide optimism? 4

Catatan Pengantar Tidur S ebagai orang yang kerap dilanda kesulitan tidur, saya punya cara jitu memanggil rasa kantuk, membaca. Jika tidur orang berpuasa saja dapat bernilai ibadah, bagaimana dengan aktivitas membaca yang disebut-sebut sebagai perintah pertama—dalam tradisi keilmuan Islam. Tentu, dalam konteks ini, membaca yang bermakna secara spiritual telah mengalami pergeseran secara pragmatis—bahkan substansinya. Jika bersepakat bahwa membaca karya sastra yang mensyaratkan dimensi estetik dan imajinatif itu tidak termasuk dalam perkara yang membatalkan atau berpotensi mengurangi kualitas (ibadah) puasa, pembaca bisa menuntaskan bacaan ini. Atau, cobalah sekadar untuk mengundang kantuk. Pada awal puasa tahun ini, rak buku saya baru saja kedatangan penghuni baru. Tak seperti biasanya, ketiga buku baru itu tak perlu menunggu waktu lama bercokol di rak atrean. Ketiganya seolah Catatan Pengantar Tidur 5

mendesak untuk saya tuntaskan. Tak ada alasan khusus, ketiga buku itu ditulis atau menghimpun tulisan dari kawan-kawan penulis Banyumas Raya. Bagi saya, kerja (kreatif) penulisan sastra serupa dengan laku ritual penganut agama, berada dalam ruang privat. Narasi-narasi yang mengiringi sebuah karya sastra sesungguhnya tak lebih dari sesuatu yang berdiri sendiri di luarnya. Kalau pun terpisah, tak berarti masing-masing entitas tak saling mempengaruhi sebab dibentuk dari materi gen yang sama. Dengan begitu, pembaca akan tehindar dari labelisasi yang justru membunuh naluri kritis dalam diri pembaca, semisal mitos Pram adalah penulis realisme sosial, Chairil yang humanis universal, atau Abdul Hadi WM penyair sufi. Sangat sulit membayangkan pembaca kritis-kreatif akan lahir dari model penarikan kesimpulan deduktif semacam itu. Kembang Glempang 2 Berselisih dua hari sebelum awal Ramadan 1442 H, dihelat bedah buku bertajuk Kemblang Glempang 2. Konon, buku setebal 328 halaman itu menghimpun karya pilihan penulis se-Banyumas Raya yang pernah terpublikasi di harian Radar Banyumas dan majalah berbahasa (Jawa) Penginyongan Ancas; berupa cerpen, puisi, cerkak, dan geguritan. Sekaligus sebagai pembedah, hadir begawan Bambang W. dan Arif H. 6

Saya adalah salah seorang yang turut dalam kegembiraan yang terasa makin langka belakangan ini—sebab pandemi. Kegembiraan itu bermula dari “gugatan” yang saya tulis dalam esai bertajuk “Seni Penginyongan dalam Wacana Politik” yang terpublikasi di Suara Merdeka edisi 6 Oktober 2019 silam. Saya “menuntut” kelahiran Kembang Gelampang edisi lanjutan sebagai jawaban atas keraguan yang mengiringi Kembang Glepang (pertama) yang sulit untuk dipisahkan dari kelindan narasi politik (baca: pilkada). Dengan alasan itu, Kembang Glempang 2 menjadi sesuatu yang patut dirayakan—tanpa menafikan lubang-lubang yang masih perlu untuk ditambal untuk edisi 3, 4, 5, dst(?) SMBRMJ Sejumlah Metode Bagaimana Rindu Menerkam Jantungmu adalah tajuk buku puisi terbaru Ryan Rachman. Lebih dari sekadar kesan puitik, pembaca telah diberi sinyal hadirnya unsur retorika parodik di dalamnya. Yang puitik dan parodik itu sesungguhnya ekspresi genuine sang penyair. Ke-96 puisi di dalamnya dapat dikategorisasi menjadi dua tema utama. Uniknya, kategorisasi ini akan turut menentukan pola strategi estetika Ryan Rachman dalam mengolah ide— sedikitnya pada pemilihan sudut pandang, diksi, hingga retorika yang khas. Catatan Pengantar Tidur 7

Arena pertama adalah arena romantik yang memproyeksi “dunia kecil” aku lirik sebagai subjek dalam relasi organiknya dengan kekasihnya. Secara berulang-ulang, pembaca bisa menemukan kehadiran “kekasih” sang penyair yang bernama Ayu. Dalam teori kekerasan simbolik, yang dilakukan Ryan Rachman dengan menulis puisi adalah praktik berwacana demi tujuan mempertahankan posisinya yang dominan dalam relasi cinta dengan kekasihnya. Lain hal saat kita membaca puisi Ryan Rachman yang bermain di arena yang lebih “luas”, realitas dunia objektif. Dalam arena itu, ia mengubah kesadaran bahasanya sesuai dengan peran sosiologisnya. Pengetahuan ekologis dan gagasan humanisme menjadi sudut pandang aku lirik yang menggugat dalam puisi. Seperti dalam puisi “Bukit Banjaran, Selepas Hujan”. Ryan Rachman menampakkan maskulinitas dalam motif yang lain dari sebelumnya. Jika sebelumnya kita membicarakan ia berwacana untuk melanggengkan posisinya dalam relasi cinta, pada puisi “Bukit Banjarang, Selepas Hujan” ia berwacana untuk menandingi—merobohkan wacana modernisme yang menciptakan manusia ironi yang oleh Ryan Rachman sebut sebagai “orang kota megalomaniak.” 8

BDKPT Bujuk Dicinta, Kenangan Pun Tiba adalah novel karangan Eri Setiawan, seorang guru cum penulis kelahiran Banjarnegara. Novel ini mengeksplorasi hubungan organik dua tokoh utamanya dalam pendekatan psikologis yang dominan. Eri bertutur secara lancar dengan sudut pandang orang ketiga. Alur begerak secara liniar dalam kronologi waktu dengan penutup terbuka yang menimbulkan kesan twist. Dengan argumentasi itu, sangat dimungkinkan Eri telah menyiapkan rencana sekuen keduanya. Tantangan terbesar dari pemilihan sudut pandang ketiga adalah diperlukan kelincahan narator untuk menyelami setiap karakter tokoh. Ketika narator mendeskripsikan pikiran dan perasaan tokoh perempuan, sangat terasa narator berpijak dalam perspektif laki-laki (sangat mungkin adalah altern pengarang). Bias itu juga tampak dalam penokohan yang stereotip antara tokoh lak- laki dan perempuan yang lazim kita kenal dalam budaya patriarkhi. Catatan minor itu dapat dinafikan begitu saja dengan sebuah argumentasi bahwa novel ini lahir dengan kesadaran pengarang yang menyasar segmen pembaca spesifik, remaja akhir atau dewasa awal. Have nice dream. Catatan Pengantar Tidur 9

Estetika Maskulin Ryan Rachman S ejumlah Metode Bagaimana Rindu Menerkam Jantungmu Bagaimana Rindu Menerkam Jantungmu adalah tajuk buku puisi terbaru Ryan Rachman yang memuat 96 puisi. Tajuk itu diambil dari salah satu judul puisi di dalamnya tentu mempertimbangkan kesan puitik. Lebih dari sekadar kesan puitik, pembaca telah diberi sinyal hadirnya “parodi” di dalamnya. Yang puitik dan parodik itu sesungguhnya ekspresi genuine penyair yang sedang mengesankan diri sedang “bermain-main” dengan kata-kata, dalam dunia imajiner. Dunia imajiner itu adalah dua arena yang dibedakan kekhasannya secara tematik. Dengan kata lain, ke-96 puisi itu dapat dikategorisasi menjadi dua tema utama. Uniknya, kategorisasi ini akan turut menentukan pola strategi estetika Ryan Rachman dalam mengolah ide—sedikitnya pada pemilihan sudut pandang, diksi, hingga retorika yang khas. 10

Pertama adalah arena romantik yang memproyeksi “dunia kecil” aku lirik sebagai subjek dalam relasi organiknya dengan kekasihnya. Secara berulang-ulang, pembaca bisa menemukan kehadiran “kekasih” sang penyair yang bernama Ayu. pagi tadi aku baru menanam pohon mawar di halaman,/ Ayu. sebab, meski kemarau, sejak beberapa hari di dusun/ini turun hujan, hanya rinai. aku tanam dua jenis yang/bibitnya aku pinta dari tetangga depan rumah dan/sebelah rumah. satu merah, lainnya jambon.// Penggalan bait pertama puisi “Menanam Mawar” cukup kiranya memberi kilasan betapa Ryan Rachman bekerja dengan ketelitian dalam memilih diksi. Diksi pagi, menanam, pohon, rinai, atau rumah yang bermakna emotif itu sekaligus menyiratkan kedalaman yang tenang dan jernih. aku menaruh harap pada tanah dan hujan rinai agar/pohon mawar itu berakar dan tumbuh besar. Tunas-tunas/daun muncul lalu menghijau. bila tak ada aral melintang,/beberapa putaran purnama, kuncup-kuncup mawar akan/mekar. salah satunya akan kusunting untukmu.// Pada bait kedua puisi “Menanam Mawar”, pemilihan retorika dan sudut pandang menyiratkan sifat maskulin penyair yang mendominasi. Penting untuk digarisbawahi, dominasi yang dilakukan bersifat soft—itu dapat dijelaskan dengan mencermati pilihan diksi. Dengan kesadaran bahasa yang tentu saja Catatan Pengantar Tidur 11

terotomatisasi—karena ia bekerja di ruang bawah sadar—dalam puisinya, penyair jauh dari kesan memosisikan kekasihnya sebagai pihak yang didominasi dalam relasi cinta alih-alih ditempatkan sebagai objek (gagasan) ideal. Pada titik ini, saya cukup berani menyimpulkan puisi “Menanam Mawar” sebagai puisi yang mengusung estetika romantis. Dalam teori kekerasan simbolik, yang dilakukan Ryan Rachman dengan menulis puisi adalah praktik berwacana demi tujuan mempertahankan posisinya yang dominan dalam relasi cinta dengan kekasihnya. Lain hal ketika kita membaca puisi Ryan Rachman yang bermain di arena yang lebih “luas”, realitas dunia objektif. Dalam arena itu, ia mengubah kesadaran bahasanya sesuai dengan peran sosiologisnya. Pengetahuan ekologis dan gagasan humanisme menjadi sudut pandang aku lirik yang menggugat dalam puisi. Aku menemukanmu. Terkulai. Suatu pagi. Di labirin/ membusuk. Selepas hujan. Di bukit sampah. Di jantung/Banjaran. Mengorek otak. Membasuk mata. Nanar/berpayung sendu. Mengingat pada suatu janji. Memuntah/dari mulut-mulut merasa sakti. Tentang bahagia dan sejahtera. … Sampah orang-orang kota megalomaniak terus saja/menggungung. Kau yang tekepung aroma surga. Seperti/halimun. Diam-diam membunuhmu. Lalu kau yang/meronta. Mungkin bisa didiamkan dengan sarapan janji manis lagi? 12

“Bukit Banjaran, Selepas Hujan” adalah judul puisi yang memotret karut-marutnya tata kelola sampah di Purbalingga. Kepada pembaca, penyair memberikan intensi yang tegas, menggugat atas ketidakberpihakan pembuat kebijakan politik pada mereka yang papa. Diksi terkulai, membusuk, menggoreng, nanar, memuntakan misalnya mengingatkan kita pada formula puisi pamflet yang khas itu. Ekspresi yang demikian membuat puisi lebih dari teks yang sekadar untuk dinikmati “di kamar”, tetapi juga membawa visi menggungat, kritis, hingga memancing reaksi. Kesan ironi—untuk menggambarkan kebuntuan, kebanalan, kemarahan—dalam puisi diperkuat dengan kalimat retoris di ujung bait. Sekali ini, Ryan Rachman menampakkan maskulinitas dalam motif yang lain dari sebelumnya. Jika sebelumnya kita membicarakan ia berwacana untuk melanggengkan posisinya dalam relasi cinta, pada puisi “Bukit Banjarang, Selepas Hujan” ia berwacana untuk menandingi—merobohkan wacana modernisme yang menciptakan manusia ironi yang oleh Ryan Rachman sebut sebagai “orang kota megalomaniak.” Selain temuan yang telah panjang lebar teruraikan, puisi- puisi Ryan Rachman memiliki aksentuasi Purbalingga (Jawa) yang khas. Pembaca bisa menemukan deretan diksi ginuine yang “sengaja” dirembaskan sebagai formula estetika. Puisi-puisi pada halaman-halaman menjelang akhir memberi kesan menghadirkan Catatan Pengantar Tidur 13

diferensiasi yang cukup terasa, semisal “pengaburan” pada aspek tata bahasa antara yang lisan dengan yang lisan. Puisi “Selasa Pagi” bahkan menjadi satu-satunya puisi yang mengambil jalan estetika paling berbeda, gaya absud yang “menolak” otoritas kamus yang sangat mungkin terinspirasi estetika Afrizal itu. Jika harus memberi catatan setelah Sejumlah Metode Bagaimana Rindu Menerkan Jantungmu, saya mengandaikan Ryan Rachman segera mememukan satu metode yang ajek untuk merumuskan setiap kerinduannya. Kalau saya lebih terkesan dengan puisi-puisi romantisnya, itu semata urusan selera pribadi. Tabik. 14

Sejarah itu Kreativitas D i toko buku, calon pembaca mungkin saja akan tersesat untuk sementara waktu sebelum selesai membaca Sejarah Nyeri. Tentus saja ilustrasi itu berlebihan. Saya bermaksud mengatakan itu adalah efek “yang diharapkan” dari pemilihan sebuah judul buku. Ya, Yuditeha memperlakukan “sejarah” tidak sebagaimana Ben Anderson atau Hegel, sebagai misal. “Sejarah” bagi Yuditeha adalah kata yang dipungut dan diolah sedemikian rupa dalam proses kreatif lahirnya sebuah cerpen. Menarik dicermati pilihan unsur kata “sejarah” menjadi templat frasa judul pada setiap cerpen yang termaktub dalam Sejarah Nyeri. Pembaca akan disuguhi cerita-cerita yang dipantulkan dari realitas: peristiwa Mei 98, tabu di lingkungan gereja, issu terorisme, hingga dekonstruksi atas folklor untuk menyebut beberapa yang menonjol secara impresi. Catatan Pengantar Tidur 15

Yang membuat cerita-cerita itu berbeda dari realitas itu sendiri adalah kesadaran pengarang untuk mengolah fakta cerita dan pemilihan sarana cerita yang tepat dengan pertimbangan- pertimbangan estetis—sesuatu yang pasti ditunjang dengan penguasaan teknik kepengarangan. Yuditeha berhasil dengan formulanya dan mereproduksi cara yang serupa pada beberapa cerita, itu tampak nyata dari permaian plot yang diakhiri dengan penutup terbuka hingga pemilihan mempersonifikasi benda mati sebagai narator atau sudut pandang, sebagai beberapa misal. Yuditeha tidak tak ingin memenjara cerita yang ia gubah dalam motif-motif di luar teks. Lebih dari pada itu, tema yang diangkat dalam Sejarah Nyeri tidak berorientasi pada segment pembaca spesifik. Pembaca bisa merasakan kesungguhan Yuditeha untuk membebaskan teks untuk ditafsir pembaca karena teks-teks itu bertulang punggung pada konflik yang kuat selain ekplorasi plot dan pemilihan sudut pandang. Yuditeha menggunakan strategi estetika yang cukup variatif dalam kesembilan belas cerpennya. Meski pembaca bisa membuat beberapa katagori spesifik sebagai ciri penanda, misal kuatnya gaya tutur realis dengan ending kejut, sementara gaya semirealis (untuk tak menafikan percampuran magis di dalamnya) dengan ending terbuka; secara repetitif mengekplorasi sisi kejiwaan juga tingkah dan lingkungan untuk pengarakteran—sembari mengesampingkan dialog yang acap tak cukup berhasil memukau. Yuditeha tampak 16

lebih nyaman menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai narator. Kita tentu tahu, sejarah adalah tentang sudut pandang. Bagi penguasa politik, penyusunan kurikulum sejarah di sekolah selalu memancarkan bias melanggengkan kekuasaan. Lantas, “sejarah” versi Yuditeha berpihak kepada kepentingan siapa: ideologi atau politikkah, atau seni atau agamakah, ataukah ekonomi? Bagi saya semua faktor itu berkait kelindan pada diri setiap penulis. Kadang, kita melihat salah satu faktor itu lebih determinan lalu dengan gegabah dan kriteria yang tidak terukur membuat generalisasi. Kalaupun penulis memiliki motif-motif spesifik dalam berkarya, apakah itu akan mendistorsi ototitas pembaca yang telanjur meninggalkan bangkai sang penulis di rak bukunya sebelum membacanya? Usai membaca Sejarah Nyeri, saya tergelitik membuat kalimat tesis untuk karya-karya yang pernah terpublikasi sebelumnya: adakah korelasi beragam variasi teknik dan tema pada setiap cerpen dalam Sejarah Nyeri berangkat dari kesadaran Yuditeha untuk menyesuaikan karakter media (untuk tak mengatakan selera redaktur/kurator) yang memuplikasi karya tersebut? Sebagai gambaran, saya mengajukan “Sejarah Sabun”, “Sejarah Titit”, dan “Sejarah Toilet Gereja” sebagai bahan diskusi. Ketiganya notabene pernah dimuat media sastra daring yang sama. Dari segi tema dan strategi estetika, ketiganya menunjukkan Catatan Pengantar Tidur 17

kedekatan secara genetis. Tegas ketiganya berlainan dengan cerpen-cerpen yang pernah pernah memenangi lomba dan atau terpublikasi di media lain semisial “Sejarah Nyeri” dan “Sejarah Lampu Merah”. Sejarah Nyeri seolah hanya ingin menjawab pertanyaan bagaimana seorang Yuditeha begitu produktif dalam berkarya alih- alih menunjukkan kekhasannya yang tegas bilamana dibandingkan mastro cerpen macam Budi Darma atau Seno Gumira atau Putu Wijaya. 18

Isolasi dan Pembaca yang Malas A wal Desember, saya dinyatakan terpapar virus covid-19. Dengan berbekal catatan medis, saya mengisolasi diri. Dalam ruang isolasi, saya membekali diri dengan setumpuk buku dan laptop. Alasan membawa buku mesti dipahami karena saya bukan dari golongan penikmat musik pun film yang intens. Yang terpikirkan tentang buku-buku itu adalah membayar hutang-hutang yang bertumpuk. Sejak dibeli—entah kapan—saya menumpuknya di rak antean. Secara acak, saya mencomot beberapa buku: tiga novel Iwan Simatupang dan Jostein Gaarder, buku puisi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 Irma Agryanti, Persekutuan Aneh Leonard Blusse, Agama Manusia Rabindranath Tagore, serta buku esai Goenawan Mohamad Seni, Politik, dan Pembebasan. Berselisih jam dengan pemberitahuan hasil tes pcr swab, saya merampungkan Persekutuan Aneh yang saya baca dengan sangat Catatan Pengantar Tidur 19

alot sejak beberapa minggu sebelum isolasi. Saya cukup banyak menyelesaikan buku-buku yang lebih tipis dalam rentan waktu membaca buku sejarah itu. Buku yang saya harapkan akan menjadi banyak embrio bagi tulisan-tulisan saya pada masa yang akan datang. Dengan semangat itu, saya berpikir laptop akan berguna di ruang isolasi. Membaca Merahnya Merah dan Ziarah membuat saya makin meyakini Iwan adalah salah satu penulis paling penting dalam sastra Indonesia. Esai-esai Goenawan Mohammad mengingatkan saya lagi pada perdebatan Manikebu dan Lekra yang “menolak” usang. Puisi-puisi dalam Anjing Gunung membuat saya makin percaya sebagai orang yang gagal “mencipta” puisi. Dan untuk alasan itu, saya pernah membuat keputusan penting: meninggalkan puisi untuk mengakrabi prosa. Impuls yang hadir pertama kali ketika menekuri karangan Umar Kayam hingga Pram untuk tugas kuliah. Saya sangat bahagia dipertemukan dengan Agama Manusia untuk mengenali Tagore dalam konsep laku spiritual, seorang Asia yang pernah diganjar nobel. Lalu, bagaimana dengan Dunia Sophie? Pembaca tentu bisa menebak apa yang sering dialami pembaca yang malas bukan? Hmm Hari pertama isolasi, ponsel saya bergetar seiring notifikasi email masuk. Email itu melampirkan bukti transfer honor tulisan yang saya tidak ketahui pemuatannya. Seperti kebiasaan, saya akan memamerkan tulisan yang terpublikasi di media sosial. Pada kesempatan itu juga, saya mendeklarasikan status kesehatan saya yang terpapar covid-19. Dengan begitu, saya ingin meyakinkan 20

penyintas virus covid-19 di sudut bumi mana pun untuk tidak risau, melawannya dengan perkara-perkara yang menyenangkan, sebab ia bukan aib. Mulanya, saya berharap isolasi akan mempertemukan saya dengan ritme menulis yang menghilang sejak September tahun ini. Sesuatu yang saya tekuni sejak pertengahan 2018. Sialnya, hingga masa isolasi berakhir, saya hanya sekali menyalakan laptop. Itu pun hanya untuk beberapa menit mengedit sebuah naskah lama yang tiga hari kemudian terpublikasi. Saat “mogok” menulis, beberapa tulisan lama saya secara kebetulan terpublikasi. Medio Oktober s.d. November 2020, saya mempublikasi enam tulisan yang setara dengan separuh UMK Purbalingga—dengan catatan dua di antaranya tanpa honor. Itu honor untuk penulis dan media kelas medioker di Indonesia—alasan bagi pemula seperti saya yang hanya akan menjadikan menulis sebagai hobi yang sesekali membawa peruntungan ekonomi. Perlu lebih banyak keberuntungan daripada sekadar hal teknis untuk menembus redaksi media arus utama nasional—setidaknya saya beberapa kali mendapat durian runtuh itu. Sebagian dari honor tulisan biasa saya tukar dengan buku-buku yang kemudian hanya akan masuk rak atrean dan memperpanjang list hutang baca. Begitulah nasib buku di tangan pembaca yang malas bukan? Masa dua tahun memberi saya pemahaman bahwa konsistensi berkarya tak menjadi faktor tunggal eksistensi yang notabene berusia sepekan (untuk koran, misalnya). Dua faktor lain adalah jumlah media yang terbatas dan jumlah penulis yang Catatan Pengantar Tidur 21

terus bertambah. Karena keterbatasan itu, sejak akhir 2019, saya menyasar media daring. Saya merasa beruntung karena sejak awal tidak membatasi diri pada satu jenis tulisan. Enam puluhan karya yang tepublikasi dalam dua tahun, hampir separuhnya adalah cerpen dan sama dengan jumlah esai dan resensi, sementara hanya satu digit di antaranya adalah puisi yang memalukan jika harus saya pamerkan. Serunya mekuni hobi yang banyak membawa keberuntungan ini adalah, pada musim-musim tertentu, para penulis itu akan saling mengomentari karya dan tingkah sesama penulis, ada yang berteriak lantang, sementara yang lain cuma bisik-bisik. Saya biasanya hanya akan menjadi penonton yang malas. Lebih penting bagi saya mencari cara mencicil hutang bacaan di rak atrean untuk kemudian menemukan lagi ghirah menulis. Jika Anda sedang membaca catatam ini, percayalah, ini adalah tulisan pertama sejak September tahun 2020, hampir 21 hari setelah saya selesai dari masa isolasi yang membuat garis timbangan makin ke kanan. Begitulah. 22

Membaca Penyair Purbalingga Bekerja D i tengah Pulau Jawa yang tak sejengkal pun memiliki garis pantai, tapi dianugerahi kesuburan tanah, tuah Gunung Slamet dan lembah sungai yang memanjang, sedikitnya Serayu, Klawing, dan Tambra. Dari tanah Purbalingga itulah lahir tiga penyair yang dalam rentan 2018 s.d. 2020 menelurkan buku puisi (dalam urutan kronologis) Air Mata Manggar, Babad Tulah dan Ayo Menari sebelum Mati. Ketiga penyair itu adalah Arif Hidayat, Teguh Trianton, dan Windu Setyaningsih. Mereka dengan sadar memadupadankan aspek estetik dalam karya sastra dengan motif-motif di luar sastra yang—tak jarang lebih dominan—bertanggung jawab dalam membentuk karakter kepenyairan. Dengan begitu, puisi-puisi mereka menjadi cermin semangat zamannya. Catatan Pengantar Tidur 23

Setiap pagi, setiap aku minum kopi,/napasku dihubungkan oleh sinyal satelit/untuk bisa sampai pada impian cahayamu yang masih dingin./Aku berjalan dengan bayang-bayang melampaui batas/dan tak bisa membedakan diriku dengan kenyataan,/hingga aku berada dalam diriku dan tak bisa keluar.//Aku berjalan dengan anak-anak yang terjebak permainan,/anak-anak yang tak menemukan jiwanya dari orangtua mereka./Anak-nak itu lahir dari pemberitahuan yang menyenangkan/seperti kabar surga dari Tuhan./Aku membaca surat kabar yang secepat angin/dan merasa memiliki dunia tanpa membagi dengan sesiapa/ pun/... Bagian puisi “Internet” karya Arif Hdayat di atas adalah lukisan manusia fatalis yang terserap ke dalam logika objek (internet, gadget, tv, fashion, komoditi, gaya hidup, dll) yang tidak dapat menjelaskan dirinya. Manusia fatalis dibentuk oleh kondisi fatalitas, yaitu, saat segala sesuatu (konsep, argumen, sistem atau objek) berkembang ke arah titik ekstrem, kondisi itu terus didorong sampai pada titik setiap konsep, komunikasi, informasi, sistem, atau objek kehilangan logikanya. Alih-alih memperlihatkan kemajuan peradaban yang mendistorsi kemanusiaan, Arif Hidayat menawarkan jalan pembebasan atas kuasa moderitas itu sendiri melalui puisi-puisinya. Tawaran itu adalah jalan asketis untuk membaca sejarah. Sebab, manusia modern adalah ahistoris, yang terputus dari sejarahnya. Pada titik ini, puisi menemukan katarsisnya. B 24

Romantisme adalah kata kunci paling elaboratif untuk menggambarkan Babat Tulah. Pembaca bisa membaca penyair memproyeksikan dunia yang ditafsirkan dengan sudut pandang subjek kolektif (identitas kulturalnya)—terutama pada puisi-puisi bertiti mangsa mutakhir. Visualisasi atas objek-objek alam untuk mengungkapkan suasana menjadi identitas kepernyairan Teguh Trianton yang lain. Argumentasi itu setidaknya terbaca dari penggalan puisi “Kinang” berikut: Sirih. Aku tidak akan memeberimu sirih/yang tumbuh pada pohon berlumut/di sulur nasibku yang getas.//Pinang. Di antara keping yang terbelah/ada jarak; aku berdiam dalam debar jantungku/sendiri membiaran cinta membebaskan diri/dari puisi dan prasangka airmata.//Aku telah meminang hatiku sendiri/ untukmu, dikunyah dalam doa,/dengan daun sirih, dan akad yang/ condong setengah tengadah pada malam.// Pembaca akan memahami puisi ini jika dibekali pengetahuan kinang adalah sebuah tradisi mengunyah daun siri dan buah pinang serta kapur yang konon pernah hidup di Purbalingga. Bisanya, dilakukan perempuan dewasa. Informasi itu bisa memberi petunjuk lanjutan pada pembaca bahwa aku-lirik sedang berdialog dengan seorang perempuan dewasa, yang sangat mungkin adalah sosok ibu. Hal menarik yang bisa dibaca dari puisi-puisi dengan titi mangsa mutakhir dalam Babad Tulah yang membedakannya Catatan Pengantar Tidur 25

dengan puisinya yang lebih tua adalah kelenturan bahasa. Yang saya maksud adalah kecenderungan Teguh Trianton untuk berpuisi secara prosaik. Tentu dengan risiko mengubah gaya kepenulisannya yang pada awalnya mengandalkan diksi rapat dan ketat. B Bagaimana dengan dengan Windu Setyaningsih? Ayo Menari sebelum Mati menjanjikan perjumpaan pembaca dengan puisi- puisi suasana yang bertulang punggung pada kecanggihan akrobat bahasa—metafora—untuk menyuarakan secara universal apa-apa yang subjektif atau personal dalam diri penyair. alur deritaku bermula dari tidur/entah penyakit atau sihir/tapi aku khawatir sangkaan orang tentang penyihir/sedang aku hanya koki/di dapur,/air api pisau wajan hanyalah perangkat/gula garam penyedap/menyulap hambar-nikmat//…//dalam kegelapan asap/ kepanikan melumpuhkanku/terlihat hanya dandang membara, kesatan!/ketakutanku adalah lalai dan lengah/gaji dipotong utang tak tertolong/itu masalah besar/penderitaan/kehancuran// Penggalan puisi “Penyakit Tidur” di atas cukup memberi kita kilasan suasana yang didominasi kemurungan—kematian, perpisahan, rasa sakit, dsb. Windu Setyaningsih berhasil memberi kesan puisi-puisinya yang berjarak dari nihlisme—meski tak cukup kuat untuk disebut menawarkan optimisme—dengan rasa sinkretisme yang cukup dominan. 26

Saya merasa perlu menambahkan satu informasi yang menyebut Windu Setyaningsih sebagai bagian dari Wanita Penulis Indonesia—komunitas yang tentu memiliki ideologi yang khas. Setidaknya, puisi “Rahasia Hati Perempuan” dan “Ngangsak” menjadi puisi yang menampung rembasan ideologi yang khas itu. Catatan Pengantar Tidur 27

Tasbih Ndoro Habib dalam Frame Sastra Pesantren G us Dur pernah menyebut novel Name Is Asher Lev karya Chaim Potok sebagai rujukan karya sastra yang mengusung spiritualitas sebagai gagasan. Secara substantif, novel itu mendedah dan memproyeksikan spritritualitas Yahudi. Alih-alih terjebak pada tradisi pesantren yang profan (baca: formalistik), Gus Dur mengandaikan sastra pesantren mesti menganggakat gagasan spiritual. Spiritualitas itulah yang kiranya menggerakkan Gus Mus dan atau Cak Nun, pada masanya, muncul dengan puisi-puisi “siasat” untuk melawan rezim yang korup dan represif. Dengan gagasan yang serupa, Ahmad Tohari, melahirkan novel Kubah dan Orang-orang Proyek, sebagai misal. Saya agak ragu dengan paragraf pembuka di atas, namun merasa perlu memasukan bahkan meletakkanya di awal karena 28

sejak awal Tasbih Ndoro Habib: Serta Dua Huruf yang Aku Cinta lahir dari kesadaran para penulisnya yang diikat oleh pandangan dunia pesatren. Dengan kata lain, mereka adalah subjek kolektif yang memproyeksikan nilai-niai yang hidup di habitat sosial yang menempa mereka ke dalam buku. Yang demikian itu diperkuat dengan fakta bahwa sebagian bentuk yang berupa prosa—untuk tidak menyebut dua pertiga yang memilih jalan puisi—memiliki struktur yang homolog dengan realitas sosial pesatren. Dengan sederet temuan itu, buku ini menguatkan apa yang diniatkan para penulisnya untuk dijadikan fragmen tak terpisahkan dari kesatuan jagad pesatren. Selama ini, kita mengentahui, dalam tradisi pesatren ada figur kiai dan santri dengan pola relasi yang khas, patron dan klien; ketiga penulis—yang menyebut diri santri—menambah tradisi baru dalam pola relasi lama itu, tradisi itu bernama ngaji-literasi. Literasi yang dimaksud adalah menulis sebagai respon kreatif setelah mengaji. Bisa dikata menulis bagi ketiga penulis buku ini adalah pertanggungjawaban inteletualitas sekaligus moral setelah proses transfer ilmu dari kiai ke santri. Dengan bahasa yang bersahaja, ketiga penulis menyebut Tasbih Ndoro Habib: Serta Dua Huruf yang Aku Cinta sebagai wasilah silaturamhi santri kepada guru. Setelah membiacarakan hal-hal yang ndakik, saya ingin berbagi pengalaman menarik yang menyapa dan menggelitik selama menekuri huruf demi huruf buku ini. Tasbih Ndoro Habib: Catatan Pengantar Tidur 29

Serta Dua Huruf yang Aku Cinta bagi saya adalah buku yang memiliki kelamin ganda. Seperti sudah saya singgung sebelumnya, buku ini terdiri atas dulu jenis tulisan, puisi dan prosa—penyebutan prosa saya maksudkan untuk tidak menyebutnya sebagai cerpen atau fiksi secara umum. Keanehan berikutnya, tidak tertera siapa penulis pada setiap karya. Menyitir Dimas Indiana Senja—dalam kata penutupnya— penulis bermaksud menyatukan karya itu dengan pembaca. Mungkin yang dimaksud dengan kedekatan itu adalah kedekatan yang serupa cara kerjanya dengan tradisi sastra lisan, folklore yang anonimus. Lebih jauh—meminjam istilah yang akrab dengan sosok Cak Nur—para penulis seperti ingin merelatifkan keakuannya, sikap menghamba di hadapan Illahi alih-alih mementingkan substansi. Siapa saja yang mengenal Gus Dur atau Cak Nun, pasti paham betapa keduanya adalah pemilik joke-joke kelas wahid. Dalam pengertian tertentu, selera humor mereka itu memiliki fungsi praktisnya, yaitu sebagai “jurus rahasia” yang melengkapi khazanah keilmuan yang otoritatif. Selera humor yang berkorelasi dengan kematangan emosional dan spiritual sering kali menjadi pelumas saat diplomasi menemui jalan buntu. Joke atau humor terbukti tak kalah dari kolom-kolom di koran dan panggung teater saat keduanya impoten karena amputasi dan beredel. 30

Selain itu, kisah seribu satu malam dari Baghdad yang masyhur itu adalah sumber ispirasi yang tak pernah kering dan hidup dalam tradisi pesantren. Pada hampir keseluruhan prosa dalam Tasbih Ndoro Habib: Serta Dua Huruf yang Aku Cinta adalah bentuk anekdot dengan tokoh santri yang jenaka. Lebih daripada itu, di dalamnya memuat pesan-pesan spiritualitas yang khas, sufistik. Sedangkan pada puisi-puisinya (karya yang mendominasi dalam buku) justru lebih plural dalam bersuara; sekalipun didominasi romantisme aku-lirik dalam menafsir semestanya dengan usaha menarik garis lurus vertikal untuk sampai pada titik koordinat transendental. Di akhir catatan ulasan ini, saya tidak cukup berani untuk mengafirmasi atau menegasikan bahwa Tasbih Ndoro Habib: Serta Dua Huruf yang Aku Cinta telah menjawab tantangan Gus Dur mengenai sastra pesantren. Tapi, saya cukup berani untuk mengatakan ketiga penulis berada dalam jalur yang benar dalam menjalankan misi memperkaya khazanah literasi dalam frame pesantren dengan segala pandangan dunianya yang khas. Catatan Pengantar Tidur 31

Tamasya ke Masa Lalu M embaca Putri Ayu Limbasari dan Legenda-legenda Purbalingga membuat saya seakan dilempar ke masa kecil. Dengan kalimat itu, saya ingin mengatakan pada pembaca betapa berharga buku ini, bagi saya sebuah katarsis— betapapun makna kata itu terasa lebih besar dari yang saya maksudkan. Tamasya istimewa untuk anak dusun seperti saya tak perlu neka-neka, tidak ke Disneyland, bukan ke Dubai, tapi cukup dengan mendengarkan cerita-cerita ajaib dari orang-orang tua, terutama mbah dari Ibu. Kemudian, saat mbah dari ayah saya meninggal, saya baru mengetahui, ia mewariskan sebuah naskah autobiografi dalam bentuk yang sangat sederhana, tulis tangan. Kebetulan berikutnya, mbah saya ini punya ikatan khusus dengan desa Limbasari. Saya membayangkan secara liar kecantikan Putri Ayu Limbasari dan kesaktian saudara lelakinya yang diam-diam membuat saya iri bukan main. Bagaimana seorang perempuan 32

yang saat mandi, selendangnya membentuk lengkung pelangi; seorang lelaki memiliki kesaktian bisa hidup lagi setelah tubuhnya dimutilasi menjad empat bagian. Belakangan, saya sering meminjam khasanah folklor di Banyumas raya dalam tulisan saya, sebagai alusi atau parodi. Ada kesenangan saat melakukannya. Dari mereka, saya banyak berhutang khazanan sastra lisan. Tapi ada sialnya, saya termasuk buruk dalam hal menghafal sehingga tak cukup banyak hal saya rekam dengan baik. Beruntung sekali, saya dipertemukan dengan buku yang disusun oleh Rahayu Pujiutami. Mbah Kakung dari ibu saya adalah pengagum Jaka Tingkir. Tentu dia tak pernah mengatakannya, tapi dia paling sering menceritakan sosoknya. Bertahun-tahun kemudian, saya mencari literatur sejarah tentang sosok yang juga akrab disebut Mas Karebet. Hingga kemudian, saya menyimpulkan Jaka Tingkir adalah sosok ispiratif, simbol perjuangan sekaligus kesuksesan. Dalam konteks Banyumas, motif yang sama dimiliki mereka yang mengagumi Jaka Kaiman. Dalam khazanah sastra mutakhir, kita mengenal nama Iksaka Banu. Lebih dari sekadar merekam peristiwa yang tercatat dalam manuskrip sejarah, Iksaka Banu berhasil menghidupkan manuskrip-manuskrip itu dengan pemilihan sarana cerita yang apik dan proporsional. Pembaca jauh dari kesan membaca laporan peristiwa yang membosankan alih-alih membaca sebuah karya sastra yang barang tentu menawarkan imajiasi berkelas. Putri Ayu Catatan Pengantar Tidur 33

Limbasari dan Legenda-legenda Purbalingga masih belum sampai pada level Teh dan Penghianat, sebagai misal. Pola-pola yang khas sastra lisan masih tampak menonjol ketika ditranskripsikan ke bentuk tulis. Tentu itu bisa dipahami sebagai upaya menjaga orisinalitas cerita. Orang tua “generasi baru” memiliki kesadaran literasi yang relatif meningkat. Hal itu yang menjelaskan jumawanya buku cerita anak—dan tentu penulisnya—dibandingkan buku dan penulis sastra serius di hadapan industri. Kita bisa melihat data statistik industri perbukuan nasional pada tahun-tahun ke belakang. Kenapa saya membicarakan itu, adanya gejala mengkhawatirkan anak-anak yang “dipaksa” orang tua untuk lebih mengakrabi kebudayaan asing alih-alih kebudayaan nasional—kita tidak akan membicarakan betapa biasnya definisi kebudayaan nasional kita. Saya sepakat kita sangat perlu membaca buku-buku terjemahan dari penulis asing yang mumpuni alih-alih penulis- penulis lokal yang justru lebih asik menulis sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Kehadiran Putri Ayu Limabasari dan Legenda- legenda Purbalingga menunjukkan betapa kaya kebudayaan nasional kita. Yang perlu kita catat, buku ini hanya besifat lokal, Purbalingga. Bisa dibayangkan betapa kaya kebudayaan Indonesia yang teridiri atas 34 provinsi dan 514 kabupaten dan kota. Kita bisa mengapitalisasinya untuk “menandingi” infiltrasi kebudayaan pop global macam K-Pop yang meranjingi hampir semua remaja Indonesia hari ini. 34

Putri Ayu Limabasari dan Legenda-legenda Purbalingga membuat saya merasa berhutang kebahagiaan karena kesempatan bertamasya ke masa lalu. Celakanya, sekarang, saya malah dihantui perasaan “ngenes” sebab disadarkan telah alpa dalam kewajiban mewarisan identitas kultural yang autentik kepada generasi muda hari ini. Kabar baiknya—kita mesti bersyukur karenanya— tanggung jawab itu telah ditanggung Rahayu Pujiutami dengan pundaknya. Rahayu yang diwasilahi Rahayu. Catatan Pengantar Tidur 35

Yang Mungkin dari Sang Keris K embalinya artefak Naga Siluman—betapa pun diragukan beberapa pihak sebagai peninggalan Pangeran Diponegoro—dari Belanda ke tanah air seperti ingin menjumpai takdirnya yang lain di tanah Jawa. Takdir yang lain itu adalah pemenang kedua sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2019. Novel gubahan Panji Sukma bertajuk Sang Keris yang rilis di awal tahun 2020 dengan misi menjumpai takdirnya di tangan pembaca sebelum mendapat penghakiman yang “membumi” daripada penilaian “melangit” para pandita, juri. Membaca Sang Keris, saya menjumpai sederet impresi yang rasanya sulit untuk saya abaikan begitu saja. Kesan itu tentu saja memiliki motif “yang mungkin”. Dimulai ketika saya tidak memiliki alasan memasukkan satu paragraf pun untuk mendeskripsikan garis besar cerita sebagai lazimnya—jika ini layak disebut—ulasan. Saya lebih suka menyebut Sang Keris terdiri atas fragmen-fragmen 36

sejarah yang dihubungkan oleh sebuah garis imajiner plot bernama keris. Sedikitnya, tidak kentara motif untuk mendekonstruksi wacana yang mapan dalam teks sejarah. Fragmen-fragmen itu justru terkesan hanya diperalat sebagai deskripsi latar untuk mengokohkan bangunan cerita yang memosisikan sosok keris sebagai tokoh utama. Keris sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan dalam mistisme Jawa. Keris yang secara faktual diakui sebagai warisan budaya dunia nonbendawi oleh UNICEF pada 2005 silam secara ciamik dipersonifikasi sebagai tokoh oleh pengarang. Walhasil, keris itu memiliki indera, nafsu, bahkan pikiran, yang bisa mengendalikan sang pemiliknya. Tentu bukan perkara baru dalam tradisi bersastra, baik dunia maupun di Indonesia, ketika seorang penulis fiksi menjadikan benda atau makhluk hidup selain manusia menjadi tokoh dalam cerita. Usaha untuk menghidupkan yang tak bernyawa itu menjadi surut keautentikannya di hadapan pembaca dengan bekal pengetahuan mistisme-Jawa alih-alih menganggapnya sebagai kerja kreatif penulis semata. Dus, penggarapan Sang Keris bisa jadi dimaknai sekadar mimesis belaka alih-alih sebuah upaya pengerahan teknik bermotif estetik. Betapapun demikian, Sang Keris menyajikan permainan perpindahan PoV secara rapi dan presisi adalah kerja yang patut diapresiasi. Catatan Pengantar Tidur 37

Sebagai pembaca, saya tidak menemukan ungkapan yang lain untuk mengafirmasi apa yang dikatakan Basuki Teguh Wahyono bahwa Sang Keris tanpa sadar menuntun pembacanya kepada semadi. Bagi saya, Sang Keris layaknya mesin pengisap debu yang membawa batin saya hadir di sebuah museum dengan nuansa kalasik, sejuk, sekaligus sunyi yang magis. Sebuah latar yang ideal untuk sebuah kontempasi bukan? Di museum imajiner itulah, saya mendapat kesenangan sekaligus terasing. Mungkin, itu adalah sinisme sentimental yang menemukan ekspresinya yang paling tajam untuk menggoncang batin: siapa saya hari ini? Sesuatu yang aneh sebab saya berdarah Jawa, kedua orang tua saya Jawa. Dari impresi itulah kemudian saya menyimpulkan Sang Keris adalah novel penuh berkah untuk orang yang kadang lebih bangga dengan identitas manusia global— betapa pun menggelikan, itu adalah wajah manusia di era disrupsi, penuh ironi. Keris sebagai simbol kekuatan (baca: kuasa) dalam kosep Jawa dapat membantu pembaca untuk membongkar motif penulis yang secara implisit memproyeksikan bagaimana Jawa mendefinisikan kekuasaan—sesuatu yang saya pikir pernah dijelaskan baik Ben Anderson. Kekuasaan dalam perspektif Jawa adalah sesuatu yang turun dari langit. Sesuatu yang dari langit adalah hakikat, maka dia harus diwadahi, dialah fungsi keris yang memanifestasikan kekuatan sekaligus kekuasaan. Maka, keris dibuat dengan teknis- mekanis yang sedemikian rigid. Tak sembarang orang dapat membuatnya. 38

Alusi-alusi dari kitab sejarah yang membicarakan Jawa menjadi sandi yang sengaja dipararelkan sebagai petunjuk bagi pembaca untuk memahami garis imajiner plot. Plot yang dikesankan, eksplisit, melompat-lompat tak beraturan. Sang Keris sepertinya memang ditakdirkan untuk mengambil tanggung jawab berat sebagai duta yang bertugas mengenalkan alam pikir Jawa pada generasi hari ini. Sebuah motif atau kesadaran produksi karya sastra yang hanya mungkin dilakukan oleh ia yang mencintai Jawa, ia yang memiliki dan dimiliki Jawa. Yang paling menarik bagi saya, Panji Sukma tampak lebih memilih latar dalam tiga fase sejarah yang ditandai interaksi Jawa dengan kebudayaan baru—dengan nilai-nilainya. Ketiga fase itu adalah masa feodal pra-Islam, feodal Islam, dan pascafeodal atau Indonesia modern. Saya menduga motif glorifikasi Jawa dalam Sang Keris adalah jawabannya. Saya merasa kehilangan variabel penting yang bertanggung jawab atas kebangkrutan moral elit Jawa pada masa peralihan kultur bercocok tanam ke industri yang ditandai penetrasi imperialisme dan kolonialsme Barat. Dapat dimengerti ketika seorang penulis memilih sebagian dan mengabaikan yang lain, sementara dia telah mengganti kekosongan itu dengan sebuah konklusi elaboratif yang menuntut afirmasi dari pembaca: betapa Jawa begitu luwes, akomodatif, terhadap nilai-nilai baru, baik itu filsafat, ideologi, maupun agama. Bukan begitu? Catatan Pengantar Tidur 39

Bahaya Laten Kampanye Literasi i S eorang guru di sekolah swasta di Purwokerto dibuat penasaran saat menyimak sebuah fabel yang diceritakan oleh seorang siswinya di depan kelas. Itu adalah waktu semua siswa unjuk kebolehan menceritakan secara lisan sebuah fabel yang dibuatnya sendiri atau menceritakan ulang apa yang sudah dibaca atau dilihatnya dari berbagai sumber. Usut punya usut, guru itu menemukan kesamaan-kesamaan latar dan peristiwa dalam cerita dengan realitas sosial sang anak di sekolah. Dugaan itu tak meleset, seusai sang pencerita menutup ceritanya, guru yang penasaran itu langsung menyerbunya dengan pertanyaan. 40

“Ceritamu bagus banget,” seraya mengacungkan dua jempol, “kamu dapat cerita itu dari mana?” Dengan sigap, tapi malu-malu karena pujian sang guru, ia menjawab, “Cerita itu dari internet, terus aku tambah-tambahin sendiri.” Guru itu makin terkagum karena menyadari muridnya yang satu itu telah melampaui apa yang dicapai sebagian banyak teman-temannya selama belajar, memodifikasi cerita. Setelah melempar pujian-pujian yang sedikit berlebihan, guru itu memberi tantangan lain kepada muridnya. Guru itu meminta ia mengetik cerita karangannya itu untuk kemudian disunting guru itu sebelum dipublikasi di portal website sekolah. Pembaca bisa mengakses di link berikut: smpmuh1pwt.sch.id Guru itu bernostalgia—semasa SMA, ia pernah hampir tidak naik kelas. Dengan syarat khusus, akhirnya ia naik kelas. Salah satu syarat itu adalah menulis sebuah cerpen. Tak dinyana, di hari pertama masuk sekolah, cerpen yang diketiknya di kantor tempat bapaknya bekerja, dipanjang di mading sekolah. Tentu saja, itu dilakukan guru bahasa Indonesianya, Ag Andoyo Sulyantoro. Seorang murid, pada akhirnya, harus menjadi seorang guru, tentu dengan caranya sendiri, bukan menjadi gurunya pada masa lalu. Hal itulah yang sang guru pelajari dari seniornya di Komunitas Bunga Pustaka. Catatan Pengantar Tidur 41

ii Beberapa waktu terakhir, lini masa akun media sosial guru itu—yang kebanyakan penggiat literasi sastra di wilayah Barlingmascakeb—ramai membiacarakan fenomena mutakhir; bermunculannya penulis dan penerbit buku yang sebanyak cendawan di musim penghujan. Tentu saja ungkapan itu sedikit berlebihan, tapi semua orang lebih menyukai yang demikian itu bukan, ehe Apa yang salah dengan fenomena itu? Tentu saja kita bisa melihatnya dari berbagai sudut pandang. Nyatanya, industri perbukuan kita semakin baik dari masa ke masa, terutama dari segi kuantitas judul maupun jumlah eksemplar yang berkait dengan sistem distribusinya. Hal yang menggembirakan itu diperkuat infrastruktur yang menunjang perkembangan literasi seperti perpustakaan dan ruang baca di instansi-instansi daerah. Kita bisa menengok data, jumlah penerbit dan infrastruktur di Indonesia dalam kurun dua dekade terakhir mencapai angka yang mengesankan. Namun, dari sekian judul buku yang diterbitkan, ada sebuah bahaya laten yang tak disadari. Buku-buku yang terbit itu didominasi oleh buku-buku pelajaran sekolah, keagamaan, dan buku anak. Untuk buku sastra berlabel bestseller adalah karya dari nama-nama penulis yang secara kualitas dapat dikatakan belum dapat disejajarkan penulis kaliber dunia. Sementara karya 42

para penulis mapan di tanah air hanya memiliki segelintir segmen pembaca saja. Soal lain dari segi penerbit dan distribusi buku tanah air adalah dimonopoli segelintir korporasi. Sialnya, korporasi itu bekerja semata atas nama prinsip kapitalisme yang sangat sedikit memberi ruang bagi idealisme. Hal ini tentu saja menjadi lingkaran setan karena diperparah sistem perpajakan yang tidak memihak penulis. Penulis kita patut iri kepada Malaysia yang menjamin kehidupan para penulis; juga kepada Vietnam yang melakukan akselarasi industri perbukuan setelah sempat belajar pada kita. Hal urgen yang harus menjadi catatan dalam pembicaraan ini adalah betapa berbahayanya jika urusan perbukuan (baca: budaya nasional) diserahkan pada industri yang tak akan segan mem-by pass nilai-nilai ideal.Apakah nilai-nilai ideal itu? Saya menyepakati karya sastra, misalya, mesti memuat dua hal: menghibur sekaligus bermanfaat. Kedua hal itu mesti dipegang teguh oleh penulis dalam proses kreatifnya. Untuk itu, penulis harus menyadari tugas kepenulis, memperkaya diri dengan wawasan sehingga karyanya memberi sumbangsih bagi kemanusiaan sekaligus menemukan bentuk-bantuk ekspresi yang baru dengan ekperimen. Penulis muda bisa belajar pada Pram—yang sebagaimana juga diyakini Saut Situmorang—bahwa seorang peulis harus melek sejarah dan melek politik agar tulisannya tidak berjarak dengan realitas dunia. Pun, kita bisa belajar pada kegigihan Jokpin Catatan Pengantar Tidur 43

atau Afrizal Malna dalam mencari bentuk ekspresi baru alih-alih mengekor para senior. Hanya sampai di situ tugas penulis; setelah karya itu dipublikasi—entah di media massa atau buku—karya itu telah menjadi milik pembaca (baca: khalayak). Kata seorang strukturalis ternama, Roland Barthes, sang penulis telah mati pada saat itu. Yang menilai sebuah karya itu baik atau tidak, bernilai atau sebaliknya adalah pembaca. Pembaca yang ditulis dengan huruf /P/ bukan /p/ adalah mereka yang bekerja dengan metode dan prinsip- prinsip ilmiah hingga menghasilkan apresiasi karya yang kritis. Kritikus sastra inilah benteng terakhir penjaga marwah sastra. Kalau kritikus berjarak, itu bisa jadi pertanda kerja mereka yang objektif. Penulis menjawab kritik cukup dengan melahirkan karya baru yang lebih bermutu alih-alih sibuk menjawab kritik tanpa landasan teoretis yang memadai. 44


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook