“Tentu saja,” jawab Pak Tua ringan. “Bolehnya aku menggunakannya?” Pak Tua terdiam. “Aku sudah muak dengan permainan haram ini, aku tak ingin mati bersamanya, lebih tak ingin lagi mati di tanganmu. Ijinkanlah aku mati dengan berjuang, berjuang keluar dari ruangan terkutuk ini.” Apa yang sedang dipikirkan oleh ulama ini? Posisinya di atas angin. Negara belanjaannya memang tidak sebanyak Atheis, tapi semuanya strategis. Si Atheis yang mulai kehabisan uang saja harus rela menjual dua negaranya setengah harga demi membayar denda ketika berhenti di Andalusia. Bagaimana tidak, di atas petak Andalusia telah didirikan sebuah hotel, dendanya melambung jadi berkali-kali lipat. Ketiga pemain lain sudah berpikiran ngeri, pasti tak lama Pak Tua akan membunuh ulama itu. Tapi ternyata tidak. Benar katanya tadi, dia memang sedang ingin sekali bermain-main. Semakin menegangkan permainannya, pasti semakin menyenangkan. Maka dijentikkanlah jarinya hingga pintu itu kembali terbuka. Seorang laki-laki berkostum hitam masuk. Pak Tua mengucapkan sepatah kalimat bahasa negerinya, mungkin hanya Nyonya Rockev yang disini mengerti 51
apa maksudnya. Laki-laki itu kembali keluar, menutup pintu, dan tak lama kembali dengan membawa pedang Sang Ulama, pedang silver bermata safir biru mengkilat di pangkalnya, indah sekali. 52
Mata Dadu Enam 53
Tiga Hari yang Lalu Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, negeri Justisia adalah negara Islam baru di utara Benua Hitam, Benua Afrika-nya dunia kalian. Pusat pemerintahan negeri ini berada pada kota latar cerita kita selanjutnya, Kota Tripoli. Tiga hari sebelum Sang Ulama mengangkat pedangnya di dalam ruangan hitam pekat itu, ia tengah menapaki anak demi anak tangga istananya, menuju lantai atap. Sesampainya disana, ternyata atap tersebut tidak kosong. Seorang pemuda bersayap mekanis-otomatis tengah menerawang langit malam melalui teropong bintangnya. Sayap? Ya, sayap. Sayap mekanis-otomatis yang dapat menerbangkan manusia. Pemuda itu sendiri yang menciptakannya. Sejak kecil dia memang mengidolakan manusia pertama di muka bumi yang berhasil terbang, Abbas Ibn Firnas. Dalam kondisi terbentang, panjang sayap tersebut dapat mencapai empat meter. Tapi jika tidak digunakan, sayap itu dapat dilipat dan masuk ke dalam tas karbon di punggung pengguna. Macam falcon dalam serial komik 54
Marvel, hanya saja yang ini jauh lebih keren dan artistik. Rangka bajanya ditutupi bulu-bulu putih sintetis. Jika pemuda itu terbang sambil mengenakan gamis putih, sudah mirip gambaran malaikat yang Rasul umat muslim pernah ceritakan. Pemuda itu adalah adik kandung Sang Ulama sekaligus Menteri Riset dan Teknologi Justisia, Venus Aldebaran. Lantai atap ini memang tempatnya bereksplorasi setiap malam. Mengembangkan dan memperbaiki sayap mekanisnya, menyapa rembulan yang semakin hari semakin sempurna bulatnya, mengamati bintang gemintang dan benda-benda langit lain, serta menjadikan lantai ini sebagai landasan pacu sebelum dia take off berkeliling Tripoli. Sang Ulama tahu persis Venus pasti ada disini. Jelas sudah kalau Sang Ulama memang sengaja mencarinya. “Assalamualaikum Dik,” Sapa Sang Kakak, kemudian duduk di kursi yang menganggur, beberapa langkah di belakang Venus. “Wa’alaikumussalam,” balas Venus sambil tetap berkonsentrasi dengan teropongnya. Selang dua detik, ia 55
menoleh ke belakang, menatap raut wajah gelisah Sang Kakak dengan penuh simpati. “Ada apa Kak?” Tanya Venus sambil mendekati tembok pembatas, mencari tempat bersandar. “Barusan Raja Bangsa Rum menelepon,” jawab Sang Kakak parau. Venus tercengang, menatap kosong ke arah kakaknya sambil menelan ludah. “Mereka memohon kerjasama untuk menyerang Kaum Atheis,” sambung Sang Ulama. “Kakak serius?” Tanya Venus sambil mengernyitkan dahi. Venus de javu, lantas mencoba mencari di laci-laci otaknya, dan akhirnya dapat. Dulu Nabi umat muslim pernah meramalkan kejadian ini. Kalian juga dapat menemukan sabda beliau di awal halaman buku ini kok. “Lantas apa jawaban Kakak?” Tanya Venus. “Bersedia,” jawab Sang Kakak singkat. Venus menghela napas panjang, duduk di atas tembok pembatas, kemudian meneguk cokelat panas dalam cangkir putih yang tergeletak di sampingnya. “Lalu kapan penyerangan itu akan dimulai?” Venus kembali bertanya. 56
“Insha Allah minggu depan.” *** Selepas perbincangan Sang Ulama dengan Venus di lantai atap istana, Sang Ulama segera menggelar rapat kabinet untuk merancang strategi terbaik. Tiga jam digodok, akhirnya diputuskan bahwa Justisia hanya akan menyumbang 50 orang prajurit saja (Yang sudah-sudah, 50 prajurit lebih dari cukup untuk memenangkan peperangan). Sebenarnya mudah saja bagi mereka untuk mengambil keputusan tersebut. Lima belas menit awal rapat, keputusan ini sudah disepakati. Seratus enam puluh lima menit sisanya mereka pakai untuk membahas strategi yang lebih penting: skenario selanjutnya. Apa yang harus mereka lakukan setelah mereka menang? Kemudian ketika salah seorang dari Bangsa Rum akan menyombongkan dirinya di atas bukit, siapa sekiranya orang yang nanti akan membunuhnya? Lantas bagaimana strategi mereka dalam memerangi Bangsa Rum pada peperangan selanjutnya? Semua umat muslim jelas mempercayai sabda-sabda Rasulnya. Kalau memang benar yang akan terjadi esok adalah apa yang Rasul ramalkan, maka skema itu pasti 57
terjadi. Tetapi tetap ada kemungkinan bahwa skema tersebut belum terjadi pada perang esok bukan? Mungkin di masa yang akan datang. Hanya saja jika tujuh hari ke depan skema tersebut memang terjadi, mereka tetap tidak bisa menduga bagaimana detail kejadian- kejadian tersebut. Benang merahnya memang sudah jelas, tapi skenario detailnya? Hanya Allah yang tahu. Pasti Sang Sutradara terbaik punya skenario yang diluar dugaan, alur cerita yang sangat menakjubkan. Mereka penasaran campur takut-takut membahasnya. Berandai- andai, menduga-duga. Senang janji-janji Rasul ribuan tahun silam akan segera terwujud. Cemas karena mereka ditunjuk sebagai pemeran utamanya. Takut karena jika skenario tersebut benar-benar terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa kiamat sudah semakin dekat. *** Tiga Hari Kemudian Waktu melesat secepat Venus mengepakkan sayapnya di langit Tripoli (Percayakah kalian kalau saya bilang sayap itu dapat terbang secepat kilat?). H-4 pertempuran tetap tidak ada persiapan yang berarti dari lima puluh mujahid 58
terpilih. Mereka tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Bahkan panglima perang mereka, Karel, sejak dua hari lalu malah asyik berlibur ke Andalusia, memacu kuda besinya dalam kompetisi balap motor paling bergengsi di dunia. Mungkin kedengarannya seperti bercanda, tapi faktanya memang demikian: Pembalap yang pernah dibahas pada awal cerita adalah seorang panglima perang negara Justisia. Mungkin kedengarannya seperti bercanda, tapi kenyataannya: Sang juara kompetisi balap motor dunia dua tahun terakhir adalah pemegang panji-panji Ar- Rayan (bendera perang umat muslim) yang sepanjang karir belum pernah menjatuhkannya. Ya, sejak negeri ini berdiri, berkali-kali di fitnah, berkali-kali di serang, Justisia selalu menang dalam setiap peperangan. Selalu menang. Subhanallah. Tapi apa yang terjadi pada hari itu sungguh diluar dugaan. Selepas shalat dhuha sekitar pukul tujuh pagi, pemimpin Negeri Justisia (yang sepanjang cerita lebih kita kenal sebagai Sang Ulama) menghilang. Istrinya sekalipun tak tahu kemana sang suami pergi. Lima jam setelah kehilangannya, para petinggi negara mulai merasa ada yang tidak beres. Pasukan pengaman 59
pemimpin negara kalang kabut mencari beliau. Semakin runyam masalah karena panglima tentara selaku penanggung jawab keamanan negara mereka justru sedang bersenang-senang di atas aspal panas nun jauh di seberang benua sana. Dalam kondisi segenting ini, keputusan-keputusan penting berada di tangan wakil pimpinan Justisia, Sayaf Al-Farouq. Sayaf adalah Mantan Presiden Libya, negara yang saat ini menjadi jantung kota Justisia. Tiga puluh tahun lebih tua dibandingkan Sang Ulama, Sayaf selalu menjadi pagar bagi ide-ide Sang Ulama yang terlampau batas, penasehat bagi keputusan-keputusan penting, serta penerang bagi langkah-langkah yang buntu. Sayaf segera mengadakan rapat internal di markas intelejen Justisia. Setiap sudut negeri coba dijelajahi, semua negara tetangga coba dihubungi. Dua jam pencarian, mulai banyak kepingan-kepingan puzzle yang terangkai. Rekaman CCTV seputar istana menangkap perilaku mencurigakan dari dua petugas kebersihan yang bertugas di seputaran Masjid dekat Istana. 60
“Maafkan kelalaian saya dalam mengemban amanah ini, Pak Wakil Pimpinan. Saya siap mempertanggung jawabkannya,” respon Umar, pemimpin Pasukan Pengaman Pimpinan, terhadap video tersebut. “Sudahlah, kalau urusan tanggung-menanggung jawab, si pembalap itu lebih pantas disalahkan,” jawab Sayaf sambil melambaikan tangan ke arah Umar. “Biar nanti ku cengkeram lehernya, kubawa terbang mengitari sirkuit tempat dia biasa latihan balapan, lalu kuhempaskan ke tanah dari ketinggian sepuluh meter,” timpal Venus geram. Umar tertawa getir. Tawanya memelan sampai hilang setelah melihat raut wajah semua orang yang ternyata tetap serius. “Ayo, Umar, lekas lacak keberadaan kedua petugas kebersihan itu,” perintah Sayaf taktis. Umar menghela napas panjang, bersyukur Sayaf menyelamatkannya dari situasi aneh tadi. *** Berpusing-pusing mencari, yang dicari ternyata tengah duduk dengan tangan terborgol di salah satu kursi jet pribadi mewah. Satu menit lalu kondisinya lebih 61
mengenaskan, kepalanya juga ditutup oleh kain hitam. Beruntung permohonan melepas penutup kepala Sang Ulama dikabulkan. “Tapi sepuluh menit sebelum landing kau harus memakainya lagi!” Ucap salah satu petugas kebersihan yang tertangkap basah kamera tadi pagi. Sang Ulama mengangguk mantap. Kekuatan terbesar Sang Ulama adalah mempengaruhi orang lain. Dia sangat pandai dalam memilih kalimat- kalimat persuasif. Akhlaknya yang mulia membuat orang lain mudah luluh, percaya, dan ia kuasai. Terbukti, tak sampai lima menit kemudian, borgol Sang Ulama telah dilepaskan. Urusan mengundang Sang Ulama untuk menemui Pak Tua pemilik Bank Mulia itu memang tidak semudah mengundang pemimpin negara lain. Perlu kalian ingat bahwa Justisia tidak pernah sekalipun kalah dalam peperangan. Mana takut mereka dengan dua pegawai Bank Mulia, meskipun Bank itu menguasai hampir separuh dunia. Saya bocorkan sedikit rahasia ya, pernyataan bahwa sayap Venus dapat membawa manusia terbang secepat kilat itu benar adanya. 62
Ditambah fakta bahwa Venus adalah pemegang rekor Olimpiade Panahan (nilai sempurna tanpa meleset satu rondepun!) dua tahun silam, bisa kalian tebak sendiri berapa ratus musuh yang dapat ia bunuh hanya dalam satu menit. Sang Ulama tidak kalah gesit. Dalam setiap pertempuran, pedang bermata batu safir biru milik Sang Ulama mampu memenggal lima puluh kepala musuh hanya dalam satu detik! Kecepatan dan ketangkasan itu juga dimiliki prajurit-prajurit mereka. Dalam setiap peperangan, sebagian prajurit menggunakan sayap serupa milik Venus, terbang bersamanya, sedangkan sebagian sisanya berkuda, berjuang bersama Sang Ulama lewat jalur darat. Karel? Hanya di lintasan saja dia cepat. Di medan perang, meskipun dia adalah pemimpin pasukan, posisinya selalu berada paling belakang, menjaga panji Ar-Rayan, mengatur strategi peperangan. Strategi yang sejauh ini selalu berhasil memukul mundur lawan. Selalu berhasil, kecuali pagi ini. Dengan licik Bank Mulia memanfaatkan kelengahan salah satu pejuang muslim ketika ia shalat. 63
“Kau merasa berhasil menangkapku saat aku lengah? Ketahuilah saudaraku, saat aku Shalat, aku hanya lengah terhadap dunia. Tapi fokus terhadap akhirat! Surga di depan mataku, malaikat disisiku!” Ucap Sang Ulama, mencoba menguasai dua utusan Bank Mulia itu. Yang diajak bicara mulai kecut senyumnya. *** Tadi pagi, tepat ketika Sang Ulama takbir, kedua utusan Bank Mulia itu menyuntikkan obat bius ke punggungnya, macam Abu Lu’luk yang membunuh Amirul Mu’minin Umar bin Khattab ra ribuan tahun silam, hanya mengganti pisau bermata dua dengan jarum suntik. Tak berselang lama, mata Sang Ulama mulai berkunang- kunang. Kepalanya terasa sangat berat. Ketika mulai terhuyung, ia mencoba menggapai pedang di sebelah kanannya. Sayang, ia terlanjur jatuh terlebih dahulu. Dengan sisa-sisa kesadaran ia memeluk pedangnya erat- erat. Membuat kedua utusan Bank Mulia terpaksa memasukkan Sang Ulama ke dalam tong sampah satu paket bersama pedangnya. 64
Dengan santai mereka berdua mendorong tong sampah berroda itu untuk dimasukkan ke dalam truk sampah, kemudian sesegera mungkin keluar dari kompleks istana menuju landasan pacu tempat jet mereka parkir. *** “Kenapa wajahmu santai sekali Pak? Kau sedang diculik!” Ucap salah satu utusan Bank Mulia geram setelah mereka bercakap-cakap empat jam lebih. Percakapan yang tidak lazim. Si penculik bercerita tentang sadisnya kronologi penculikkan, Sang Ulama malah tertawa seperti habis dikerjai oleh sahabat karib. Si penculik menggertak, Sang Ulama malah menceramahi, menakut-nakuti mereka dengan neraka. Di jam kelima, kedua utusan Bank Mulia mulai tidak kuat mental. Sekali dua mereka keceplosan berucap ‘Tidak mungkin! Serius?’ atau ‘Masa?’. Raut muka mereka sudah sangat berbeda dibandingkan lima jam lalu. Pada jam ke enam percakapan, para penculik mulai berkaca-kaca. Jam ketujuh, mereka sempurna takluk. Bahkan salah satunya sudah berani bercerita tentang anak istrinya yang telah meninggal dunia. Sang Ulama 65
dengan bijak membesarkan hatinya. Bilang kalau kehidupan anak istrinya baru saja dimulai. Menjanjikan bahwa jika si penculik bertaubat, tidak menutup kemungkinan bisa menyeret keluarga mereka ke surga, memberikan janji-janji masa depan yang lebih baik, masa depan yang sebenarnya. Jam ke delapan, mereka bertiga menangis bersama. Sang Ulama sempurna menguasai dua utusan Bank laknat ini. Tidak ada jam kesembilan. Baru lima belas menit mereka menangis, pesawat jet itu keburu mendarat. “Wahai amirul Justisia, bimbing aku bersyahadat,” ucap salah satu penculik yang kemudian menunduk dalam sambil menangis kencang. Wajah Sang Ulama berbinar penuh empati. Bukan hanya menguasai, kali ini Sang Ulama berhasil menyadarkan. “Ashadu Alla,” ucap Sang Ulama patah-patah, kemudian ditirukan oleh kedua penculik. Iya, keduanya. Penculik yang tadi meminta dibimbing syahadatpun menoleh ke arah rekannya, kemudian memeluknya dan menangis bersama. 66
“Ayo, ayo, ulangi, Ashadu Alla,” Sang Ulama kembali membimbing mereka hingga kalimat syahadat tuntas mereka berdua ucapkan. *** Lima menit kemudian pesawat sempurna mendarat. Dari jendela jet dekat Sang Ulama, terlihat dua mobil mewah terparkir. Di sebelahnya berdiri enam orang berpakaian hitam pekat. “Tunggu dulu disini, amirul Justisia,” ucap salah satu penculik, kemudian keduanya bergegas menuju pintu pesawat dan menyiapkan senjatanya. Sang Ulama masih tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan, yang jelas, kondisinya kini sangat bebas, tangan tak terborgol dan kepala tak tertutup. Ancaman penculik yang mewajibkan Sang Ulama mengenakan borgol dan penutup kepala lagi sepuluh menit sebelum mendarat? Telah menguap entah kemana. Bahkan pedang bermata batu safir biru itu ada di gendongannya. Sekali dua tebas, dua orang ini bisa meregang nyawa. Tapi, subhanallah, ketika pintu jet terbuka, mereka berdua justru menembaki kawan mereka. Empat orang 67
terbunuh, dua lagi berhasil bersembunyi ke belakang mobil. Suasana menegang. Baku tembak dua lawan dua terjadi, meskipun lebih banyak saling bersembunyi. Sang Ulama mendekat ke dua penculik yang telah menjadi muallaf itu. “Apakah kau bisa keluarkan jurus pedang secepat kilatmu itu, amir?” Tanya salah satu muallaf. “Sayang, tanpa pasukanku, aku hanya prajurit pedang biasa, lamban dan tidak bernas. Percaya atau tidak, mereka adalah sumber kekuatanku,” Sang Ulama menjelaskan sambil menghela napas panjang. Kedua muallaf itu malah tidak mengerti apa maksud kalimat Sang Ulama. “Habislah kita, dari balik mobil itu, mereka pasti memanggil bala bantuan,” desah salah satu penculik. “Tenang, aku juga bisa mendatangkan bala bantuan,” Ucap Sang Ulama. Ia menghunuskan pedang, kemudian menekan batu safir biru di pangkalnya. Amboi, ternyata batu indah itu adalah sebuah tombol. Sekali tekan, tiga device berbunyi: satu ransel karbon Venus, satu ponsel Sayaf, dan satu lagi jam tangan Karel. 68
*** “Umar, segera lacak!” Seru Sayaf setelah ransel karbon Venus dan ponsel miliknya berdering. Lima menit mencari, Umar menemukan koordinat lokasi Sang Ulama. “Bandara District of Columbia, Benua Putih Pak,” ucap Umar. “Venus, segera pimpin pasukan kesana. Umar, segera hubungi Karel sampai tersambung, bagaimanapun caranya! Tanpa dia bisa apa kita?” Perintah Sayaf tegas. Ya, tanpa Karel, pasukan Justisia hanyalah pasukan biasa. Jangankan bom nuklir, pesawat tempur saja mereka tidak punya. Percaya atau tidak, Karel-lah kunci kemenangan mereka. Karel-lah kunci kecepatan- kecepatan kilat mereka. Sayang, Sang Kunci justru baru saja memulai balapan di Sirkuit Andalusia. Jam tangan? Jelas ia tinggal. Berkali- kali anggota tim memberikan isyarat untuk pit stop lewat pit board? Jelas ia abaikan. Bodoh sekali jika ia berhenti balapan di saat seru seperti ini, salip menyalip melawan Luca, rival terberatnya. 69
Tanpa Karel, butuh delapan jam bagi Venus dan pasukannya untuk sampai ke Bandara District of Columbia. Sayangnya, bala bantuan utusan Bank Mulia hanya butuh lima menit. Lima buah mobil range rover melesat kencang mendekati pesawat jet. Baku tembak kembali terjadi. Naas, tidak sampai lima menit, kedua muallaf kehabisan peluru. Mereka bertiga terpojok, kembali masuk ke dalam jet tempur, duduk di kursi paling belakang. Lima perwakilan pasukan musuh menyusul masuk ke dalam jet. “Amir, aku belum pernah solat sekalipun,” ucap salah satu penculik sambil menangis. Koleganya ikut menangis, lebih kencang malah. Kini, kelima musuh itu sudah berada tepat dihadapan mereka bertiga, menodongkan pistol. Sang Ulama yang duduk diantara mereka berdua menggenggam tangan mereka kuat-kuat. “Percayalah, Allah maha pengampun!” Seru Sang Ulama. Sejurus kemudian, seberondong peluru ditembakkan. Tidak Sang Ulama tidak mati. Pak Tua pemilik Bank Mulia memang meminta utusannya untuk membawa 70
Sang Ulama kehadapannya hidup-hidup. Kedua muallaf –lah yang meregang nyawa. Sang Ulama meneteskan air mata sambil mendesahkan kalimat duka. Sejurus kemudian, Sang Ulama menghunuskan pedangnya, membabat mereka berlima dengan mudah. Jelas tak ada perlawanan, karena melawan dengan pistol sama saja dengan membunuhnya. Sang Ulama keluar dari pesawat, menghadapi dua puluh tujuh musuh lainnya. Dua puluh tujuh tangan kosong melawan satu orang bermodalkan pedang. Meski tidak cepat, Sang Ulama tetap lincah menebas satu demi satu musuhnya. Ketika enam orang musuh telah meregang nyawa, salah satu musuh berhasil menendang tangan kanan Sang Ulama, membuat pedangnya jatuh tersungkur. Jadilah pertempuran menyisakan satu lawan dua puluh satu orang, semuanya tangan kosong. Satu pukulan berhasil Sang Ulama sarangkan, tiga tinju mendarat ke perutnya. Satu tendangan berhasil melumpuhkan dua orang musuh, empat tonjokkan mendarat di punggungnya. Tak sampai lima menit kedua puluh satu musuh berhasil meringkusnya. Borgol dan 71
penutup kepala kembali membebat Sang Ulama yang kini sudah tak sadarkan diri. 72
Mata Dadu Tujuh 73
Kembali ke ruangan hitam pekat tadi, ruangan tempat Sang Ulama, si Atheis, si Tentara, dan Nyonya Rockev bermain monopoli. Pak Tua masih fokus mengawasi. Pintu masih terbuka setelah salah satu bawahan Pak Tua masuk, membawakan pedang bermata batu safir biru ke dalam ruangan. Tadi Sang Ulama sendiri yang memintanya. Masih ingat kan? “Bolehkah aku memberikan semua asetku dalam permainan ini kepada Jenderal Ar-Rasyd?” Pinta Sang Ulama lagi. Sang Tentara kaget namanya disebut. “Wahai Amirul Justisia yang lebih ku hormati daripada ayahku sendiri, daripada pemimpin negeriku sendiri, tolong pikirkan lagi matang-matang. Berapa orang yang akan kehilanganmu?” Bujuk si Tentara (yang ternyata bernama Rasyd) setengah berbisik kepada Sang Ulama. Yang dibujuk tetap bergeming. “Boleh,” jawab Pak Tua singkat. Nyonya Rockev dan si Atheis terperanjat mendengarnya. Si Atheis jadi yang pertama protes. Urusan ini jelas tidak adil baginya. Ia sedang terpojok, dan sekarang Pak Tua justru mengijinkan empat negara Sang Ulama diberikan 74
kepada Rasyd secara cuma-cuma? Itu berarti dengan uang yang masih melimpah, Rasyd kini memiliki delapan negara, sedangkan si Atheis sendiri (setelah menjual dua negerinya karena kehabisan uang) hanya memiliki tujuh negara! Nyonya Rockev juga ikut protes. Betapa tidak, dia hanya memiliki lima buah negara, yang sebelumnya cukup di atas angin, sekarang malah berbalik menjadi yang paling miskin! Tapi Pak Tua tidak peduli. Dia justru meneriaki Sang Ulama untuk secepatnya pergi sebelum dia berubah pikiran. Pintu masih terbuka, pedang masih dipegang oleh laki-laki ajudan tadi. Sang Ulama berdiri dari kursinya, melangkah pelan menuju pedangnya, lalu mengambilnya. Ia menunduk dalam sambil menimang- nimang pedangnya. “Hei Atheis, harusnya empat hari lagi pedang ini memenggal kepalamu!” Seru Sang Ulama. “Kenyataannya kau duluan yang mati dalam peperangan ini,” jawab si Atheis ringan. Mereka bercakap-cakap padahal saling membelakangi. “Islam belum habis! Aku bisa saja mati, tapi Allah tetap hidup!” Balas Sang Ulama. 75
“Hei, Ulama, siapapun namamu, jangan bodoh. Sudah kubilang diluar sana penjagaan jauh lebih ketat, satu pedang tak cukup!” Nyonya Rockev berbaik hati kembali mengingatkan. Mukanya sangat cemas. Tapi si Ulama tak mengacuhkannya. “Jenderal,” panggil Sang Ulama. “Ya pemimpinku?” Jawab Rasyd patah-patah. “Kusisakan Pak Tua dan Atheis itu untukmu, jadi menanglah!” Mendadak mata Jenderal berkaca-kaca, wajahnya memerah, ia mengangguk mantap, meskipun Ulama itu tetap membelakanginya, tidak melihat anggukannya. Sang Ulama menunduk, berdoa, mungkin untuk terakhir kalinya. Tak lama ia melangkah pasti keluar ruangan. Ulama itu kaget setelah melangkah keluar. Ia tahu tempat ini, tapi bagaimana mungkin dia ada disini? Dan benar saja, dihadapannya ada puluhan ajudan menodongkan senjata ke arahnya. Suara senjata api bersahutan. Satu-dua peluru berhasil ia hindari, tiga- empat tebasan berhasil ia lancarkan ke ajudan-ajudan itu, lima-enam ajudan jatuh bergelimpangan. Peluru ketiga mulai berhasil melukainya, disusul peluru keempat dan kelima. Langkahnya semakin gontai, tebasannya tak 76
terarah lagi. Tak sampai satu detik puluhan peluru bersarang ke tubuhnya. Sang Ulama tersungkur. Teriakannya masih terdengar sampai ke dalam ruangan. Jenderal menangis tergugu sambil menutup wajahnya. 77
Mata Dadu Delapan 78
Game on! Ketiga pemain yang tersisa tetap harus melanjutkan permainan. Rasyd memang di atas angin, tapi kondisi psikisnya jelas telah terusik. Seiring waktu berjalan, ia semakin pulih, dan justru semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan. Tiga dari empat negara pemberian Sang Ulama memang sangat membantu, karena tiga hotel telah berdiri di atas masing-masing negara. Dua kali si Atheis kena jebakan, dua kali pula ia harus menjual beberapa tanahnya. Beruntung bagi Nyonya Rockev, setiap tanah yang dijual si Atheis mampu disinggahi dan dibeli olehnya. Pegawai Bank memang jagonya dalam urusan bisnis semacam ini. Kondisi terkini: Jenderal Ar-Rasyd memiliki sembilan negara, empat buah hotel dan dua buah rumah. Nyonya Rockev merangkak naik, kini telah memiliki sembilan negara, satu buah hotel, dan dua buah rumah. Si Atheis semakin terpojok dengan empat negara, tanpa hotel, tanpa rumah, dan uang seadanya. Giliran si Atheis mengocok dadu. Tujuh. Wajahnya semakin pucat, kemudian ia melangkahkan bidak putih ke... aissh, Andalusia lagi. Celaka sudah. Uangnya jelas tak cukup untuk membayar 79
sewa tanah berhotel itu. Lagi-lagi ia harus menjual tanahnya. *** “Braak!” Si Atheis menyapu meja permainan dengan tangannya. Bidak-bidak, kartu, serta rumah dan hotel berhamburan ke lantai. Tak hanya itu, ia merenggut tabletphone dari tangan nona cantik di dekatnya, memukul-mukulkan benda tersebut ke sudut meja, sampai layarnya pecah. Belum sempat Pak Tua mempersiapkan senjatanya, dengan cekatan si Atheis mengambil serpihan kaca layar tablet paling tajam dan besar, kemudian memeluk leher nona cantik itu dari belakang, mengancam akan membunuhnya menggunakan serpihan kaca tersebut. “Omong kosong Pak Tua! Ini semua pasti sudah kau skenario!” Teriak si Atheis. Nampaknya ia frustasi berat melihat sisa-sisa hartanya yang mengenaskan. Pak Tua hanya tertawa. Ternyata sangat menyenangkan melihat mereka bermain monopoli, tingkahnya aneh-aneh, pikirnya. “Aku tahu apa yang terjadi di luar sana! Pasti peperangan kan? Aku tahu, bangsa Rum dan umat muslim akan menyerang negeriku empat hari lagi! Aku yakin kau 80
pasti sengaja melakukan ini semua untuk mempercepat semuanya kan?!” Teriakkan si Atheis semakin membuat nona dipelukannya ketakutan. Kedua nona yang lain serta Nyonya Rockev mencoba menjauh dari orang gila itu, menjaga jarak. Rasyd hanya berdiri mematung, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan apa yang dapat ia lakukan. “Aku hanya ingin menyaksikan kalian mengendalikan peperangan ini. Kalianlah yang sedang berperang. Setiap kalian saling mengalahkan, saling mencaplok daerah kekuasaan, di luar sana, pasukan-pasukan kalian benar- benar berperang!” Jawab Pak Tua yang semakin lebar senyumnya. “Dan sekarang kau membuatku kalah Pak Tua! Pasti ada yang sengaja kau atur di atas meja ini! Mungkin dadunya, mungkin tablet ini!” Balas si Atheis sambil mengacung- acungkan serpihan layar tablet di tangannya. Yang dibentak malah tertawa terpingkal-pingkal. Asal si Atheis tahu saja, diluar sana, skenario pembelian negaranya selalu diuntungkan. Dasar tidak tahu terima kasih, benak Pak Tua. “Bodohnya kau, untuk apa pula aku repot-repot melakukannya? Kalau tidak suka sudah kutembak kau 81
dari tadi!” Ucap Pak Tua sambil menarik pelatuk pistolnya. “Aku disini hanya ingin bermain-main, sahabatku,” imbuhnya. “Turunkan senjata itu, atau aku bunuh wanita ini!” Ancam si Atheis. Bukannya menurut, Pak Tua justru mengacungkan pistolnya ke arah si Atheis. Nona cantik itu melotot ketakutan. “Aku tak main-main!” Teriak si Atheis. Kini serpihan kaca di tangannya benar-benar ia goreskan ke leher nona malang itu. “Dor!” Dahi si Atheis berlubang. Darah terciprat kemana- mana, lantas kemudian ia dan nona cantik itu tersungkur jatuh. Nona itu mendelik, napasnya tercekat. Rasyd menyambanginya secepat kilat, mengangkat dan memindahkan wanita itu ke atas meja, kemudian mencoba memberikan pertolongan pertama. “Tolong bantu! Jangan diam saja!” Gertaknya kepada para penonton. Tubuh ketiga wanita yang digertak semakin gemetar tak karuan. Patah-patah mereka mendekati korban, mencoba membantu. Salah satu nona memberikan napas buatan. Mengerikan, satu dua napas 82
buatan dihembuskan, luka di leher korban justru mengeluarkan darah bercampur gelembung udara. Yang lain meringis melihatnya. “Ayo kita lanjutkan pertandingan saja,” ujar Pak Tua jengah melihat keributan di atas meja. Sayang tak ada yang menggubris. Ia mendongak sambil menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah,” untuk kali pertama Pak Tua berdiri dari kursinya, kemudian melangkah mendekati keributan. “Ayo kita bawa dia ke tempat yang lebih baik,” kini semua orang di dalam ruangan menoleh ke arah Pak Tua yang hanya berjarak tiga langkah dari meja. “Jenderal, tolong gendong dia,” sambungnya. Punya hati juga orang tua ini, pikir Rasyd. Tanpa menunggu lama, Rasyd menggendong wanita itu, kemudian membalikkan badan, bersiap membawanya ke arah pintu. Tapi yang ia temui setelah balik badan adalah sosok Pak Tua yang tengah mengacungkan pistol ke arahnya. “Dor!” *** 83
Rasyd berdiri mematung, menatap luka menganga di pelipis nona cantik. Darah mengalir deras, membasahi tangannya yang perlahan menurunkan nona itu ke lantai. Pak Tua menyeringai puas. Tapi seringainya tak bertahan lama. Selepas menurunkan jenazah nona cantik, Rasyd menerkam buas orang tua dihadapannya. Pak Tua terjengkang, pistol di tangannya terlempar jauh ke belakang. Rasyd duduk di atas perut Pak Tua sambil memukuli wajah keriput itu bertubi-tubi. Sayang, tak sampai lima detik serombongan ajudan sudah masuk ke dalam ruangan. “Jangan tenggak!” Perintah Pak Tua. Mulutnya sudah hancur berdarah-darah, mana bisa mengucapkan huruf M dan B. Tapi para ajudan mengerti. Lima orang dengan tangan kosong segera berlari ke arah Rasyd dan meringkusnya. *** Butuh lima belas menit sampai akhirnya Rasyd dapat kembali duduk dengan tenang—dibawah todongan pistol tiga orang ajudan—dan luka bonyok Pak Tua selesai diobati. Setelah kondisi normal, dua nona cantik yang tersisa segera menata ulang papan permainan beserta pernak-perniknya. Tabletphone mencatat semua manuver pemain, sehingga tidak sulit untuk memulai 84
ulang permainan meskipun papannya telah jatuh berantakan. Suka tidak suka, permainan ini harus diselesaikan. *** Kalau kalian menganggap permainan monopoli hanyalah adu keberuntungan, kalian salah besar. Di meja ini, dua orang terbaik tengah bertemu untuk memperebutkan taruhan terbesar sepanjang sejarah. Di sudut hijau, Jenderal Rasyd sangat hebat dalam menyusun strategi peperangan. Sedangkan di sudut merah, Nyonya Rockev unggul dalam hal transaksi ekonomi. Dari segi perancangan taktik, Rasyd unggul jauh. Selain berpengalaman dalam memimpin pasukan militer, kecerdasannya juga diatas rata-rata. Lulusan terbaik akademi militer Negeri Atlantis, IPK 4,0 ketika melanjutkan studi S2 strategi peperangan di Benua Putih, serta Doktor termuda yang mampu menyelesaikan studi ilmu pemerintahan di almamater yang sama, sudah cukup membuktikan kalau IQ Rasyd selevel diatas jenius. Berkali-kali nalurinya tepat dalam mengambil keputusan. Harus beli atau tidak, menjual kartu bebas penjara atau menyimpannya, membeli rumah atau memilih berhemat, dia selalu mampu 85
mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Sedangkan Nyonya Rockev cenderung lebih ragu-ragu dan lambat, apalagi setiap langkahnya selalu ia hitung menggunakan analisis ekonomi tingkat tinggi. Tapi analisis ekonomi tingkat tinggi milik Nyonya Rockev jelas bukan sebuah kelemahan. Siapa yang berani meragukan bankir terbaik di Bank nomor satu dunia? Dari segi akurasi perhitungan keuangan, tak ada yang dapat mengalahkannya, bahkan sejak bidak di atas papan masih empat buah. Nyonya Rockev selalu menghitung brake event point suatu pembelian negara, menggambar cash flow diagram dalam angan-angannya, meramalkan chance of winning secara periodik, baru kemudian mengambil keputusan. Plan A saja tidak cukup baginya. Ketika kompleks J incarannya malah dibeli orang lain, sesegera mungkin ia luncurkan rencana cadangan. Strategi tersebut memang membuat dia terlihat labil, tetapi sebenarnya tetap mengarah ke satu tujuan: menang. Permainan berjalan menegangkan. Jumlah aset mereka nyaris berimbang. Nominal uang di tangan Nyonya Rockev memang jauh lebih banyak, tapi jebakan hotel Rasyd ada dimana-mana. Empat-lima kali Rasyd membayar sewa tanah, satu kali Nyonya Rockev terjebak 86
dengan nominal sewa sepuluh kali lebih besar dari yang Rasyd sebelumnya bayar. Rasyd semakin tersenyum lebar, sedangkan Nyonya Rockev semakin gusar. Langkah Nyonya itu semakin lamban, pasti pikirannya semakin kompleks. Jika dia kalah, maka... “Errrgh,” mendadak Nyonya Rockev mendesah pelan sambil menempelkan kepalanya ke meja. Ia baru sadar kalau permainan ini bukan sekedar berhasil menguasai dunia atau tidak. Permainan ini juga akan menentukan, ia tetap hidup atau tidak. Perlahan air mata membasahi permukaan meja. Nyonya Rockev menangis sesenggukan. Rasyd menatap iba, entah lebih iba kepada nyonya itu atau dirinya sendiri. Yang jelas tak sampai satu jam lagi satu nyawa akan hilang, entah milik siapa. Sedangkan satu lainnya akan memimpin separuh dunia, entah pula siapa. “Maaf Nyonya, bukannya aku tidak kasihan terhadap wanita, tapi aku tetap harus melawanmu. Bagaimanapun, mengalah darimu sama saja dengan membunuh diriku sendiri, dan dalam agamaku bunuh diri adalah shortcut menuju neraka [4],” Rasyd mencoba menenangkan. Tangisan Rockev justru semakin kencang. 87
“Dari tadi aku juga sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bersekongkol denganmu untuk menumbangkan Pak Tua itu,” sambung Rasyd. “Tapi lihatlah, bahkan sekarang ada tiga pistol tambahan yang menodong kepalaku.” Pungkasnya. Nyonya Rockev tetap menangis. “Sekarang ayo sama-sama berjuang untuk kemenangan masing-masing. Percayalah aku tidak bermaksud membunuhmu, begitu pula kau, aku yakin sama. Siapapun yang kalah, Pak Tua itulah yang akan menembak kita.” Rasyd terus menenangkan Nyonya Rockev. Dua nona cantik sembunyi-sembunyi ikut meneteskan air mata. Pak Tua? Semakin lama seringainya semakin lebar, sepertinya ia puas sekali. Satu menit berselang, Nyonya Rockev mulai mengangkat wajahnya, mengangguk takjim ke arah Rasyd, mengusap air mata di pipi, kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. Pertandingan kembali dilanjutkan. Sayang, otak Nyonya Rockev telah dipenuhi oleh bayang-bayang kematian. Semua hitungannya berantakan, bentuk cash flow diagram dalam kepalanya sudah tak jelas lagi. Manuver-manuvernya justru 88
membuat bidak merah semakin terpojok. Sudut matanya semakin basah. Semakin Rasyd di atas angin, semakin ia tak tega menatap wajah sang rival. But the game must go on. Bidak Rasyd terus melangkah pasti diatas papan. Giliran Nyonya Rockev mengocok dadu, angka sebelas. Bidak merah berhenti di tanah termahal, yang sayangnya adalah milik Rasyd: Negeri Matahari. Kabar buruknya adalah Rasyd telah memasang dua buah hotel di tanah tersebut. Nyonya Rockev terjebak. Ia coba menjual seluruh tanah yang ia miliki, mengais-ngais uang sisa, menjumlahkannya. Naas, harta Nyonya Rockev belum cukup untuk membayar sewa. Game over. Nyonya Rockev tersenyum menatap Rasyd. Kini justru Rasyd yang menitihkan air mata. Dari jauh, terdengar suara Pak Tua menarik pelatuk senjata. Rasyd mengangkat lima jari ke arah Pak Tua, maksudnya tunggu sebentar. “Maukah kau bersyahadat sebelum ini semua berakhir?” Tanya Rasyd kepada Nyonya Rockev. Yang ditanya menggeleng. Kini genangan air di pelupuk mata Rasyd sempurna tumpah. Tuhan, satu nyawa lagi menolak surga- Mu. 89
“Aku punya Tuhanku sendiri, Rasyd,” senyum di bibir Nyonya Rockev semakin lebar. Rasyd menurunkan lima jarinya. “Selamat tinggal Rasyd,” ucap Nyonya Rockev. Setidaknya ia bisa pergi sambil tersenyum, pikir Rasyd. “DOR!” 90
Mata Dadu Sembilan 91
Mata Rasyd terbelalak. Ia menunduk dan kini semakin tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Dadanya bersimbah darah. Panas, panas sekali. Rasanya seperti tersedak telur rebus matang bulat-bulat. Sempurna tertelan oleh tenggorokan, masuk ke paru-paru, menyumbat saluran pernapasan. Kini telur itu seperti menembakkan ribuan jarum, menyebar dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sakit, sakit sekali. Kembali melihat ke depan, senyum Nyonya Rockev semakin lebar. Sayang, pandangan Rasyd semakin buram. Lambaian tangan Nyonya Rockev terlihat samar tepat sebelum akhirnya Rasyd hanya mampu melihat gelap. Satu mujahid kembali berpulang. *** Hakikatnya, tidak ada orang yang mencintai kejahatan. Lambat laun, kita mencoba mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki diri. Saya kira semua orang seperti itu, saya kira hakikat semua orang sama, sampai saya menemukan jawaban: ‘ternyata tidak’. Ya, ternyata ada. Ya, ternyata ada. Ternyata ada orang (bahkan kaum) yang mencintai kejahatan seperti mereka mencintai Tuhan mereka. Ternyata ada orang (bahkan kaum) yang akan selalu merasa benar ketika berbuat 92
salah. Hatinya sekeras batu, bahkan Tuhan sendiri yang mendeskripsikannya dalam kitab suci [1]. Salah satu orang dari kaum tersebut berada di dalam ruangan ini, tersenyum puas melihat lawan terakhirnya mati. “Hebat sekali aktingmu, sayang,” puji Pak Tua dari jauh. Senyum Nyonya Rockev semakin mengembang. Ia berdiri dari kursi, melangkah mendekati Pak Tua sambil melepas rambut palsu yang sedari tadi menempel di kepalanya. Pak Tua mengambil satu setel kemeja dan celana hitam dari laci mejanya, menyodorkannya ke arah Nyonya Rockev. “Kau dengar tadi? Bangkai itu menyuruhku bersyahadat,” ucap Nyonya Rockev ringan sambil melepas seragam kantornya. Pak Tua tertawa puas. Busa yang sedari tadi menempel di dada Nyonya Rockev ikut terjatuh bersama dengan lepasnya seragam. Tawa Pak Tua makin keras. Dengan cekatan Nyonya Rockev— yang ternyata laki-laki itu—berganti pakaian. Tak sampai satu menit, tampilannya sudah berubah seratus delapan puluh derajat: tampan dan berwibawa. “Ehm, kau yakin akan memberikan semuanya untukku?” Tanya Nyonya Rockev. Suaranya berubah drastis, jauh lebih berat. 93
“Berapa kali aku bilang, aku sudah bosan,” balas Pak Tua. Nyonya Rockev membelai pipi Pak Tua, kemudian mencium bibirnya. “Terimakasih Tuan Rockev-ku sayang, hati-hati di surga,” ucap Nyonya ke Tuannya. *** Nyonya Rockev versi laki-laki melangkah pasti keluar ruangan hitam pekat itu, menyusuri beberapa lorong, diberi ucapan selamat oleh beberapa orang, kemudian berjalan menuju sebuah balkon. Balkon yang istimewa. Podium megah memenuhi balkon tersebut. Sementara itu Pak Tua –yang ternyata bernama Tuan Rockev—meminta semua ajudan dan nona-nona cantik keluar dari ruangannya. Ia terdiam sejenak, menikmati sunyi dan gelapnya ruangan, lantas tertawa puas, keras sekali. Perlahan ia menarik pelatuk senjatanya, menempelkan pucuk senjata ke pelipis, Kemudian membunuh dirinya sendiri. *** Kembali ke balkon tadi, balkon yang istimewa. Balkon yang berada di lantai tiga Gedung Putih, pusat pemerintahan negeri Benua Putih, menghadap langsung 94
ke lapangan luas yang penuh sesak oleh lautan manusia. Kini, Nyonya Rockev telah berdiri di podium. Mengetuk mikrofon satu dua kali, kemudian menarik napas panjang. “Wahai kaumku, Bangsa Rum,” ucapnya lantang. Suara gaduh jutaan manusia di bawah mendadak senyap. “Salib telah menang!” 95
“Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Rum dalam keadaan aman. Lalu kalian akan berperang bersama mereka melawan suatu musuh dari belakang mereka. Maka kalian akan selamat dan mendapatkan harta rampasan perang. Kemudian kalian akan sampai ke sebuah padang rumput yang luas dan berbukit-bukit. Maka berdirilah seorang laki-laki dari kaum Rum lalu ia mengangkat tanda salib dan berkata, ‘Salib telah menang’. Maka datanglah kepadanya seorang lelaki dari kaum muslimin, lalu ia membunuh laki-laki Rum tersebut. Lalu kaum Rum berkhianat dan terjadilah peperangan, dimana mereka akan bersatu menghadapi kalian di bawah 80 bendera, dan di bawah tiap-tiap bendera terdapat dua belas ribu tentara.” Rasulullah Muhammad SAW (HR. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan imam Ibnu Majah). 96
Prolog “Salib telah menang!” Sontak jutaan manusia yang berdesakan di lapangan luas itu bersorak gembira. Belum para penonton layar kaca di seluruh dunia, tidak terhitung berapa milyar hembusan napas lega yang tercipta detik itu. Tapi sorak-sorai tak berlangsung lama. Entah dari arah mana, datanglah kepada Nyonya Rockev seorang laki- laki dari kaum muslimin, yang dalam sekedipan mata telah mendorong wanita jadi-jadian itu sampai terjatuh dari ketinggian sembilan meter, tewas seketika. Sebagian besar penonton terkejut dan berteriak histeris. Laki-laki itu adalah Karel. Gemetaran ia memegang mikrofon di hadapannya. “Wahai bangsa Rum yang berkhianat,” Karel menghela napas panjang, membuat kalimatnya tersendat. “Dan Kaum Mulia yang berhati batu,” 97
“Serta delapan puluh negara yang akan memusuhi Islam,” Karel kembali terhenti. Kali ini helaan napasnya amat panjang. “Kami akan membinasakan kalian!” 98
Daftar Pustaka References [1] Q.S Al-Maidah: 13. “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka kami melaknat mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [2] Q.S Al-Kahf: 86. “Hingga keika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana ditemukannya suatu kaum (tidak beragama). Kami berfirman, Wahai 99
Zulkarnain! Engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan (mengajak beriman) kepada mereka.” [3] Q.S. Al-Kahf: 83-110. “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Akan kubacakan kepadamu kisahnya (83).” –Silahkan baca sendiri lanjutannya. Kalau sempat, baca Al-Kahf dari awal sampai akhir tiap Jumat ya, agar Allah menyinari langkah kalian hingga jumat berikutnya. [4] Q.S. An-Nisa: 29-30. “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha penyayang kepadamu (29). Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (30).” 100
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103