Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Contoh Skripsi Mixed Method

Contoh Skripsi Mixed Method

Published by Kuliah Landung, 2020-11-25 11:25:12

Description: Contoh Skripsi Mixed Method

Search

Read the Text Version

29 2. Faktor Penyebab Stres Kerja Griffin dan Moorhead (2014) mengidentifikasi empat faktor penyebab individu mengalami stres kerja, yaitu: a. Task Demands (Tuntutan Tugas) Tuntutan tugas merupakan penyebab stres yang terkait dengan pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh individu. Masing-masing pekerjaan dapat memunculkan tingkat stres yang berbeda. Di luar tekanan terkait tugas tertentu, aspek lain dari pekerjaan dapat menimbulkan ancaman fisik terhadap kesehatan seseorang. Selain itu, kurangnya perasaan aman terhadap pekerjaan merupakan tuntutan tugas lain yang dapat menyebabkan stres. Kelebihan beban kerja juga dapat menyebabkan stres pada individu. Kelebihan beban berupa individu memiliki terlalu banyak tugas untuk dilakukan, terlalu sedikit waktu untuk melaksanakannya, atau individu percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan tersebut. b. Physical Demands (Tuntutan Fisik) Tuntuan fisik suatu pekerjaan adalah persyaratan fisik pada pekerja, yakni fungsi dari karakteristik fisik tempat dan tugas fisik yang melibatkan pekerjaan. Tuntutan fisik pada pekerjaan, di antaranya suhu yang terlalu ekstrem, pekerjaan

30 yang berat, desain kantor, pencahayaan yang buruk, permukaan kerja yang tidak memadai, serta kerja shift dapat menyebabkan gangguan bagi individu karena mempengaruhi aktivitas tidur dan waktu luang individu tersebut. c. Role Demands (Tuntutan Peran) Tuntutan peran juga dapat menimbulkan stres kerja. Peran merupakan sekumpulan perilaku yang diharapkan terkait dengan posisi tertentu dalam kelompok atau organisasi. Individu-individu dalam suatu organisasi mengharapkan seseorang dalam peran tertentu bertindak dengan cara tertentu. Individu akan melihat ekspektasi peran kemudian mencoba untuk menjalankan peran tersebut. Akan tetapi, “kesalahan” mungkin saja terjadi dalam proses ini, sehingga menghasilkan masalah yang memicu stres kerja, yaitu ambiguitas peran, konflik peran, dan peran yang berlebih. 1) Role Ambiguity (Ambiguitas Peran) Ambiguitas peran muncul ketika peran yang dijalankan individu tidak jelas. Dalam pengaturan kerja, ambiguitas peran dapat muncul dari deskripsi pekerjaan yang buruk, instruksi yang tidak jelas dari atasan, atau instruksi yang tidak jelas dari rekan kerja. Hal tersebut

31 memungkinkan individu atau pekerja tidak tahu harus berbuat apa. 2) Role Conflict (Konflik Peran) Konflik peran terjadi ketika pesan dan isyarat dari orang lain tentang peran tersebut jelas tetapi kontradiktif atau berlawanan. Misalnya, jika atasan mengatakan bahwa untuk maju, individu harus bekerja lembur pada akhir pekan, sedangkan pasangan individu tersebut mengatakan lebih banyak waktu dibutuhkan di rumah bersama keluarga. Oleh karena itu, konflik peran dapat terjadi. Konflik intra-peran dapat terjadi ketika individu mendapatkan tuntutan yang bertentangan dari sumber yang berada dalam konteks peran yang sama. Misalnya, ketika atasan mengatakan perlu menekan bawahan untuk mengikuti aturan kerja yang baru. Pada saat yang sama, bawahan menunjukkan bahwa mereka mengharapkan aturannya diubah. Konflik intrasender terjadi ketika satu sumber mengirimkan pesan yang jelas tetapi kontradiktif. Misalnya, pada suatu pagi atasan mengatakan tidak ada lagi lembur untuk bulan depan, tetapi setelah makan siang ia memberitahu seseorang untuk bekerja lembur pada malam yang sama. Konflik peran dapat terjadi

32 dalam berbagai situasi dan dapat menyebabkan berbagai konsekuensi yang merugikan, termasuk stres kerja, kinerja yang buruk, dan turnover. 3) Role Overload (Peran Berlebih) Peran yang berlebih terjadi ketika ekspektasi terhadap peran tersebut melebihi kemampuan individu. Misalnya, seorang atasan memberi seorang karyawan beberapa tugas utama sekaligus sambil meningkatkan beban kerja regular, karyawan tersebut mungkin akan mengalami peran yang berlebih. Selain itu, peran yang berlebih juga dapat terjadi ketika individu mengambil terlalu banyak peran pada satu waktu. Misalnya, individu yang berusaha untuk bekerja ekstra keras dalam pekerjaannya, mencalokan diri sebagai dewan sekolah, serta menjadi anggota komite di gereja, mungkin akan mengalami peran yang berlebih. d. Tuntutan Interpersonal Tuntutan interpersonal terdiri dari tekanan kelompok, gaya kepemimpinan, dan konflik interpersonal. Tekanan kelompok dapat berupa tekanan untuk membatasi pengeluaran, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok, dan lain sebagainya. Individu yang merasakan kebutuhan yang kuat

33 untuk berbeda dari ekspektasi kelompok (seperti untuk mendapatkan kenaikan gaji atau promosi) akan mengalami stres kerja, terutama jika penerimaan kelompok juga penting bagi individu tersebut. Gaya kepemimpinan juga dapat menyebabkan stres kerja. Misalnya, seorang karyawan membutuhkan banyak dukungan sosial dari pemimpinnya. Akan tetapi, pemimpinnya cukup kasar dan tidak memberikan dukungan pada karyawan tersebut. Maka, karyawan tersebut akan merasa stres dalam menjalankan pekerjaannya. Kepribadian dan perilaku yang bertentangan juga dapat menyebabkan stres kerja. Konflik dapat terjadi ketika dua orang atau lebih harus bekerjasama walaupun kepribadian, sikap, dan perilaku mereka berbeda. Misalnya, seorang karyawan senang memiliki lingkungan kerja yang tenang dan damai mungkin akan mengalami stres kerja jika ditugaskan berdekatan dengan seseorang yang pekerjan mengharuskannys berbicara di telepon hampir sepanjang hari. 3. Dampak Stres Kerja Griffin dan Moorhead (2014) menyatakan dampak stres terhadap organisasi, yaitu penurunan kinerja, penarikan diri, dan perubahan sikap negatif.

34 a. Penurunan Kinerja Salah satu konsekuensi akibat terlalu banyak stres pada karyawan adalah penurunan kinerja. Penurunan kinerja karyawan dapat mengakibatkan kualitas kerja yang buruk atau penurunan produktivitas. b. Penarikan Diri Bagi organisasi, terdapat dua bentuk penarikan diri paling signifikan, yaitu absensi dan berhenti. Individu- individu yang keulitan mengatasi stres kerja cenderung mengaku sakit atau mempertimbangkan untuk meninggalkan organisasi untuk selamanya. Selain itu, karyawan dapat menarik diri secara psikologis dengan berhenti memedulikan organisasi dan pekerjaannya. c. Perubahan Sikap Negatif Dampak lain dari stres kerja adalah perubahan sikap menuju arah yang negatif. Kepuasan kerja, moral, dan komitmen organisasi, serta motivasi untuk bekerja pada tingkat yang tinggi dapat terganggu. Akibatnya, individu mungkin cenderung mengeluh tentang hal-hal yang tidak penting, hanya melakukan pekerjaan secukupnya, dan lainnya.

35 Stres kerja juga memberikan dampak terhadap individu, yaitu perilaku, psikologis, dan medis (Griffin & Moorhead, 2014). a. Perilaku Dampak stres kerja terhadap perilaku individu dapat membahayakan individu yang sedang stres atau orang lain. Dampak tersebut dapat berupa penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, rawan kecelakaan, agresi, kekerasan, dan gangguan nafsu makan. b. Psikologis Dampak psikologis stres kerja berkaitan dengan kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Ketika individu mengalami terlalu banyak stres di tempat kerja, individu tersebut mungkin menjadi depresi atau mendapati diri mereka terlalu banyak atau kurang tidur. Stres juga dapat menyebabkan masalah keluarga dan kesulitan seksual. c. Medis Dampak medis dari stress kerja dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik individu. Masalah kesehatan yang diakibatkan oleh terlalu banyak stres, yaitu penyakit jantung, stroke, sakit kepala, sakit punggung, tukak lambung dan gangguan perut dan usus terkait, serta kondisi kulit seperti jerawat dan gatal-gatal.

36 II. Landasan Teori A. Work-Family Conflict 1. Definisi Work-Family Conflict Work-family conflict merupakan konflik yang terjadi di antara peran keluarga dan pekerjaan, di mana tekanan dari masing- masing peran saling berlawanan (Greenhaus & Beutell, 1985). Kemunculan work-family conflict disebabkan oleh tekanan atau kebutuhan yang datang bersamaan pada kedua peran, yakni pekerjaan dan keluarga (Greenhaus, 2006). Ketimpangan peran pada wilayah pekerjaan dan keluarga menyebabkan efektivitas salah satu peran terhalang oleh peran lainnya (Greenhaus, 2006). Greenhaus (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa tuntutan peran yang dapat menimbulkan work-family conflict, yaitu keterbatasan waktu atau energi yang dimiliki untuk peran yang lain, adanya tekanan yang dibawa ke peran yang lain, adanya perilaku pada salah satu peran yang berdampak negatif terhadap peran lainnya. Greenhaus (2006) membagi work-family conflict ke dalam dua arah, yaitu work interference with family life (WIF) dan family interference with work life (FIW). Tuntutan pekerjaan terhadap keluarga termasuk durasi bekerja, jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel, keterlibatan psikologis dalam pekerjaan, serta aturan di dalam pekerjaan, seperti beban peran, konflik peran, dan ambiguitas pekerjaan (Greenhaus, 2006). Beberapa tuntutan tersebut

37 menghasilkan WIF karena memberikan pengaruh terhadap waktu atau energi yang dikhususkan untuk keluarga, ketegangan yang terjadi pada ranah keluarga, atau perilaku yang tidak pantas terjadi pada anggota keluarga (Greenhaus, 2006). Kemudian, terdapat tuntutan keluarga yang mencampuri ranah pekerjaan. Tuntutan keluarga ini termasuk adanya anak kecil, waktu yang dikhususkan untuk keluarga, serta keterlibatan psikologis pada peran keluarga. Tuntutan-tuntutan tersebut memiliki kemungkinan menghasilkan FIW karena mempengaruhi waktu atau energi yang diberikan untuk ranah pekerjaan, ketegangan yang dialami ketika bekerja, atau adanya perilaku yang tidak pantas pada peran pekerjaan (Greenhaus, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Williams, Suls, Alliger, Learner, & Wan (1991; dalam Smither, 1994) mengenai work-family conflict pada ibu bekerja memukan hasil bahwa stres dapat terjadi ketika tuntutan dari salah satu peran dapat mengganggu perilaku pada peran lainnya. Cascio (2006; dalam Hidayati, 2015) mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik yang terjadi pada diri individu ketika mengalami permasalahan pada satu peran yang menyebabkan individu tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik pada peran lainnya. Kuswardi dan Haryanti (2014) mengatakan bahwa work-family conflict merupakan keadaan di mana adanya gangguan yang dialami seseorang akibat salah satu peran tidak

38 terpenuhi sehingga menyulitkan partisipasi seseorang pada peran lainnya. Selain itu, Ashar dan Harsanti (2016) mendefinisikan work- family conflict sebagai keadaan di mana tekanan dari peran pekerjaan tidak sesuai dengan peran yang dijalani di dalam keluarga sehingga menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran lainnya. Berdasarkan pemaparan dari beberapa tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi dari work-family conflict adalah suatu keadaan ketika individu merasakan tuntutan dari satu peran menyebabkan peran lainnya terganggu sehingga individu tidak dapat berfungsi dengan baik atau memaksimalkan dirinya pada peran yang lain. 2. Aspek Work-Family Conflict a. Time-Based Conflict Time-based conflict merupakan waktu yang diberikan pada salah satu peran dan tidak dapat dibagi pada peran yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Bartolome dan Evans (1979; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) mengatakan bahwa time- based conflict memiliki dua bentuk, yakni (1) tuntutan waktu berkaitan dengan keanggotaan seseorang pada salah satu peran yang secara fisik sulit untuk memenuhi harapan yang muncul dari peran yang lain, (2) tuntutan waktu juga dapat

39 menyebabkan seseorang terlalu senang terhadap salah satu peran meskipun individu tersebut berusaha untuk memenuhi tuntutan pada peran yang lain. Sumber-sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah jumlah waktu bekerja dalam satu minggu (Burke et al., 1980b; Keith & Schafer, 1980; Pleck et al., 1980; dalam Greenhaus & Beutell, 1985), frekuensi lembur, jumlah kehadiran, dan peralihan pembagian kerja yang tidak teratur (Pleck et al., 1980; dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Selain itu, menurut Pleck et al. (1980; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel juga dapat menghasilkan work-family conflict. Sedangkan sumber konflik yang berasal dari ranah keluarga berupa karakteristik peran keluarga membuat individu membagi waktu untuk kegiatan keluarga dalam jumlah yang banyak (Greenhaus & Beutell, 1985). Herman dan Gyllstrom (1977; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan bahwa individu yang telah menikah dan menjadi orang tua akan mengalami work-family conflict lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah dan tidak menjadi orang tua. b. Strain-based Conflict Strain-based conflict muncul ketika salah satu peran mengalami ketegangan sehingga mempengaruhi kinerja peran

40 yang lain dan sulit untuk memenuhi tuntutan pada peran tersebut (Greenhaus & Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan dapat berupa rendahnya dukungan yang diberikan pemimpin (Jones & Butler, 1980; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) serta tekanan pekerjaan baik fisik dan psikologis (Pleck et al., 1980; dalam Greenhaus 1985). Selain itu, Burke et al. (1980b; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) mengatakan bahwa stresor pekerjaan yang berkaitan dengan work-family conflict adalah perubahan penilaian individu terhadap lingkungan kerja, terbatasnya partisipasi dalam kegiatan, tekanan dalam komunikasi, serta pemusatan perhatian pada pekerjaan. Tekanan pada pekerjaan dapat membuat individu merasakan kelelahan, ketegangan, kekhawatira, atau frustrasi sehingga individu sulit untuk mencapai kepuasan pada ranah yang bukan pekerjaan (Bartolome & Evans, 1980; dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Beutell dan Greenhaus (1982; dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan bahwa wanita yang berfokus pada karier akan mengalami konflik antara peran pekerjaan dan keluarga karena perbedaan sikap antara suami dan istri mengenai peran keluarga dapat menimbulkan ketegangan di dalam keluarga. Perbedaan pendapat mengenai status pekerjaan istri dapat melemahkan dukungan di antara keduanya dan menghasilkan stres (Greenhaus & Beutell, 1985).

41 c. Behavior-based Conflict Pola perilaku dalam suatu peran mungkin tidak cocok dengan harapan perilaku pada peran yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan perilaku untuk memenuhi harapan dari peran yang lain, maka individu akan mengalami konflik pada peran-peran yang dijalani (Greenhaus & Beutell, 1985). 3. Arah Work-Family Conflict a. Work Interference with Family (WIF) Tuntutan yang berasal dari ranah pekerjaan dapat menghasilkan WIF karena mempengaruhi jumlah waktu serta tenaga yang dapat dialihkan pada keluarga, ketegangan yang dialami pada ranah keluarga, atau adanya perilaku yang tidak pantas pada keluarga, dan semua hal yang menghalangi kinerja seseorang pada peran keluarga (Greenhaus, 2006). Tuntutan pada ranah pekerjaan ini termasuk lamanya bekerja dalam satu hari, jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel, keterlibatan psikologis seseorang pada pekerjaan, keamanan pekerjaan, dan berbagai macam stresor yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti konflik interpersonal, keamanan pekerjaan, beban peran

42 yang berlebihan, konflik peran, serta ambiguitas peran (Bella & Frone, 2005; Frone, 2003). b. Family Interference with Work (FIW) Tuntutan dari ranah keluarga dapat menghasilkan FIW karena dapat mempengaruhi jumlah waktu serta tenaga yang dapat diberikan pada pekerjaan, ketegangan yang dialami di tempat kerja, atau adanya perilaku yang tidak pantas di tempat kerja, dan semua hal yang menghalangi kinerja seseorang pada peran pekerjaan (Greenhaus, 2006). Tuntutan keluarga yang dapat menghasilkan FIW termasuk adanya anak kecil, waktu yang diberikan untuk keluarga, keterlibatan psikologis seseorang pada peran keluarga, dan stresor lain yang yang berasal dari ranah keluarga, seperti ketegangan, kesulitan interpersonal, konflik, dan ambiguitas (Greenhaus, 2006). Tabel 1. Bentuk dan Arah Work-Family Conflict menurut Lingard dan Francis (2009) Time- Work-to-family Family-to-work based conflict conflict Pekerjaan menyita Kehidupan pribadi waktu yang mengambil waktu seharusnya individu yang individu

43 curahkan pada berikan untuk keluarga; pekerjaan; Bekerja lembur Meluangkan waktu untuk memenuhi bekerja untuk waktu pengumpulan memenuhi janji temu tugas yang penting perawatan kesehatan ketika anak orang tua mengikuti acara pentas seni Perasaan negatif Perasaan negatif yang muncul pada yang muncul pada domain keluarga pekerjaan akibat akibat pekerjaan; masalah keluarga; Merasakan emosi Larut dalam masalah yang terkuras akibat keluarga ketika pekerjaan membuat bekerja seseorang sulit untuk terlibat dalam Strain- domain keluarga; based Ketegangan dan kecemasan seseorang pada pekerjaan menyebabkan seseorang menjadi mudah marah atau tidak sabar ketika di rumah; Larut dalam masalah pekerjaan ketika berada di rumah

44 Perilaku yang Perilaku yang digunakan di tempat digunakan di rumah kerja tidak layak tidak pantas ketika untuk dilakukan di dilakukan di tempat rumah; bekerja; Strategi pemecahan Kepercayaan bahwa Behavior- masalah di tempat efektivitas pekerjaan based kerja digunakan mengharuskan untuk menyelesaikan seseorang untuk masalah pribadi menjadi “orang yang dengan anggota berbeda” kepada keluarga orang yang ada di sekitar anggota keluarga mereka 4. Tipe Work-Family Conflict Carlson Kacmar, dan Williams (2000) mengatakan bahwa kombinasi antara aspek work-family conflict (time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict) dan arah work- family conflict (work interference with family dan family interference with work) menghasilkan enam tipe konflik, yaitu (1) time-based WIF; (2) strain-based WIF; (3) behavior-based WIF; (4) time-based FIW; (5) strain-based FIW; dan (6) behavior-based FIW.

45 5. Dampak Work-Family Conflict Menurut Ashar dan Harsanti (2016) work-family conflict memberikan dampak pada tiga ranah, yaitu (1) dampak pada individu seperti berkurangnya kualitas bekerja dan kehidupan rumah tangga, ketegangan dan stres, gangguan kesehatan, tidak harmonisnya hubungan dengan anggota keluarga lainnya, (2) dampak pada organisasi yaitu berkurangnya komitmen karyawan pada pekerjaan yang menyebabkan tingginya tingkat turnover, (3) dampak pada keluarga yaitu kualitas hidup dan pernikahan. B. Work-Family Balance 1. Definisi Work-Family Balance Work-family balance merupakan penilaian individu terhadap efektivitas dan kepuasan yang dirasakan pada ranah pekerjaan dan keluarga yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupannya (Greenhaus & Allen, 2011). Individu menentukan efektivitas dalam peran yang dijalani melalui standar kerja dari dalam diri, mengukur kepuasan dari setiap peran yang dijalankan, dan menentukan konsistensi efektivitas dan kepuasan dengan nilai yang dianut dalam setiap peran (Greenhaus & Allen, 2011). Menurut Greenhaus dan Allen (2011), efektivitas merupakan suatu keadaan ketika seseorang menjadi produktif dan berfungsi baik dalam melakukan peran atau menyeimbangkan peran-perannya. Selain itu, Greenhaus dan Allen

46 (2011) memberikan pandangan mengenai kepuasan, yaitu perasaan bahagia, senang, dan positif mengenai peran atau keseimbangan antar peran. Individu yang berfokus pada pekerjaan dan keluarga akan menempatkan keduanya pada pusat kehidupan individu tersebut dan memperoleh rasa identitasnya (Greenhaus & Allen, 2011). Individu yang berfokus pada pekerjaan dan keluarga akan meletakkan tekanan yang sekiranya setara pada kedua peran sehingga memperoleh rasa diri dari pencapaian serta pengalaman (Greenhaus & Allen, 2011). Grzywacz dan Carlson (2007) mengatakan bahwa work- family balance merupakan tercapainya harapan terhadap peran yang telah dirundingkan bersama pasangan dalam ranah pekerjaan dan keluarga. Keefektifan seseorang dalam kehidupan pribadi maupun bidang pekerjaan merupakan hal yang diperlukan untuk work-family balance (Carlson, 2009). Clark (2000; dalam Handayani, 2013) memandang work-family balance sebagai keadaan di mana individu merasakan kepuasan pada peran keluarga dan pekerjaan dengan konflik yang sedikit. Selain itu, Voydanoff (2005; dalam Carlson, 2009) mengonsepkan work-family balance sebagai penilaian terhadap pekerjaan yang bertemu dengan tuntuan keluarga dan sebaliknya sehingga keikutsertaan individu pada kedua peran dapat berjalan efektif. Work-family balance merupakan persepsi bahwa kegiatan bekerja dan tidak bekerja dikaitkan dengan usaha untuk

47 mempertahankan keseimbangan dan keselarasan hidup seseorang serta dapat mempromosikan pertumbuhan (Poulose & Sudarsan, 2014). Schulzt dan Schulzt (2010) menemukan bahwa konflik yang terjadi dalam usaha memenuhi keseimbangan antara tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan dialami oleh pria dan wanita. Akan tetapi, kesulitan yang lebih besar dalam menyeimbangkan tuntutan pada beberapa peran dirasakan oleh wanita (Schulzt & Schulzt, 2010). Wanita yang bekerja dan berkeluarga memegang dua pekerjaan, yaitu bekerja di luar rumah seperti bekerja di kantor, toko, atau yang lainnya, dan melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, tanggung jawab utama keluarga terdapat pada wanita (Schulzt & Schulzt, 2010). Meta analisis Casper, Wayne, Vaziri, DeHauw, & Greenhaus (2018), menunjukkan empat hal yang sering ditemukan dalam memaknai keseimbangan yaitu keefektifan, kepuasan, kesehatan, serta keterlibatan dan tema paling umum yang muncul adalah keterlibatan. Dalam penelitiannya, Greenhaus dan Allen (2011) mengungkapkan keterlibatan sebagai penyebab terjadinya keseimbangan, sedangkan Casper et al., (2018) melihat keterlibatan sebagai elemen makna keseimbangan. Work-family balance diartikan sebagai keseimbangan kerja-tidak kerja, bukan hanya individu bekerja dan berkeluarga yang merasakan work-family

48 balance, tetapi juga individu yang belum menikah. Hal ini berbeda dari konsep Greenhaus dan Allen yang berfokus pada pekerjaan dan keluarga (Casper et al., 2018). Keseimbangan kerja-tidak kerja didefinisikan sebagai sebuah penilaian terhadap rasa senang pada peran bekerja juga peran tidak bekerja (Casper et al., 2018). Perasaan senang tersebut dapat muncul dari pengalaman afektif, keterlibatan individu, serta efektivitas yang dirasakan dan sepadan dengan nilai yang melekat pada kedua peran. (Casper et al., 2018). Dalam penelitian Wayne, Butts, Casper, & Allen (2015), balance dipandang sebagai penilaian seseorang terhadap pekerjaan dan keluarga yang saling mempengaruhi. Keadaan ini disebut sebagai global balance, yang terdiri dari dua tipe; balance satisfaction dan balance effectiveness (Wayne et al., 2015). Balance satisfaction berkaitan dengan sikap dan kinerja yang dapat memunculkan respon emosi, menyalurkan energi, serta perilaku langsung terhadap individu (Wayne et al., 2015). Di sisi lain, balance effectiveness dipandang sebagai konstruk penilaian diri dan mengacu pada cara individu menilai kemampuan serta nilai-nilai mereka pada ranah kehidupan yang berbeda (Wayne et al., 2015). Penilaian diri melibatkan pemikiran serta kepercayaan individu tentang harapan yang telah direncanakan bersama rekan kerja dan keluarganya (Wayne et al., 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Wayne et al. (2015) menemukan bahwa keberadaan conflict dan

49 enrichment memberikan kontribusi pada global balance (yaitu balance satisfaction dan balance effectiveness). Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi work- family balance adalah keadaan di mana individu merasa efektif, puas, dan senang dalam menjalani setiap perannya, serta dapat memenuhi harapan pada setiap peran dengan jumlah konflik yang sedikit. 2. Aspek Work-Family Balance Valcour (2007) mengemukakan pendapatnya mengenai komponen work-family balance. Baginya, komponen work-family balance terdiri dari dua hal, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif merupakan penilaian terhadap keberhasilan individu dalam memenuhi tuntutan baik dari peran pekerjaan dan keluarga. Selanjutnya, pada komponen afektif dibutuhkan perasaan positif atau emosi yang dihasilkan oleh penilaian terhadap keberhasilan seseorang dalam memenuhi tuntutan dari kedua peran. Penelitian Valcour (2007) menemukan bahwa jam kerja merupakan hal yang penting bagi pekerja dengan kontrol yang rendah. Hal ini dapat memicu penurunan work-family balance yang dikarenakan oleh peningkatan jam kerja. Sebaliknya, pada pekerja

50 yang memiliki kontrol tinggi terhadap jam bekerja, tidak akan berpengaruh pada work-family balance. Dengan demikian, Valcour (2007) menyimpulkan bahwa jam bekerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan work-family balance. Di sisi lain, kompleksitas pekerjaan individu dan kemampuan mengendalikakn waktu bekerja memiliki hubungan dengan work-family balance (Valcour, 2007). Kompleksitas pekerjaan dapat digunakan untuk mengatur tuntutan pekerjaan dan keluarga serta meningkatkan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan peran. Kemampuan penyelesaian masalah yang meningkat dan menyelesaikan tugas- tugas sulit dapat dilihat pada penilaian diri positif, tingkat motivasi, dan kepuasan yang lebih tinggi (Valcour, 2007). Kemampuan mengendalikan waktu bekerja dapat meningkatkan kapasitas seseorang dalam memenuhi tuntutan peran pekerjaan dan keluarga tanpa menitikberatkan pada salah satu peran. Kompleksitas pekerjaan dan pengendalian waktu bekerja dapat mencegah berkurangnya sumber psikologis seseorang, seperti perasaan positif, tenaga, dan harga diri yang dapat meningkatkan kepuasan seseorang. Greenhaus (2003) mengidentifikasi tiga aspek pada work- family balance, yaitu time balance, involvement balance, dan satisfaction balance.

51 a. Time Balance Time balance merupakan adanya jumlah waktu yang sama yang diberikan oleh individu pada peran pekerjaan dan keluarga. Ketika individu memberikan waktu yang banyak pada kedua peran, maka akan menunjukkan time balance atau keseimbangan waktu yang positif. Akan tetapi, ketika individu hanya memberikan waktu yang sedikit dan terbatas pada kedua peran pekerjaan dan keluarga, akan menunjukkan keseimbangan waktu yang negatif. b. Satisfaction Balance Satisfaction balance merupakan keadaan di mana seseorang memiliki tingkat kepuasan yang sama pada peran pekerjaan dan peran keluarga. Individu yang merasakan kepuasan dalam menjalankan peran-perannya akan mengalami pencapaian tujuan yang lebih besar daripada yang lain dan pencapaian tujuan tersebut berkaitan dengan kesejahteraan individu. Sedangkan, tidak seimbangnya kepuasan antara pekerjaan dan keluarga mampu menghasilkan tekanan karena tidak menemukan kebutuhan atau nilai yang sama besarnya dengan peran yang lain. c. Involvement Balance Involvement balance merupakan keadaan di mana seseorang memiliki tingkat keterlibatan psikologis yang setara

52 pada peran pekerjaan dan keluarga. Menurut Barnett dan Hyde (2001; dalam Greenhaus 2003) keterlibatan atau involvement dalam peran ganda dapat menjaga seseorang dari dampak negatif pengalaman pada satu peran. Seseorang yang menunjukkan keseimbangan keterlibatan pada peran-peran yang dijalani, akan dapat mengurangi konflik kronis pada peran- peran tersebut (Marks & MacDermid, 1996; dalam Greenhaus, 2003). 3. Faktor-faktor Work-Family Balance Greenhaus dan Allen (2011) mengatakan bahwa individu akan merasakan work-family balance ketika individu tersebut merasa efektif dan puas dalam menjalankan peran-perannya serta sesuai dengan nilai-nilai kehidupannya. Oleh karena itu, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi work-family balance. Poulose dan Sudarsan (2014) merangkum beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family balance dalam tabel 2 berikut:

53 Tabel 2. Faktor yang Mempengaruhi Work-Family Balance menurut Paulose dan Sudarsan (2014) Individual Organizational Other factors Societal factors factors 1. Personality factors 2. Well-being 3. Emotional 1. Work 1. Childcare 1. Gender intelligence arrangemen- responsibilit- 2. Job type ts ies 3. Age 2. Work life 2. Family 4. Experie- balance support nce policies and 3. Number of 5. Marital programmes children status 3. Work 4. Spouse 6. Income support employment 7. Type of 4. Job stres 5. Family family 5. Technology quarrel 8. Number 6. Role conflict 6. Low spouse of 7. Role support depende- ambiguity 7. Expectations nts 8. Working for affection hours and 9. Inflexibility openness of the work schedule Greenhaus dan Allen (2011) melihat work-family conflict merupakan salah satu anteseden work-family balance. Ketika individu mengalami konflik karena pekerjaan mengganggu keluarga, efektivitas dan kepuasan individu pada domain keluarga dapat menurun. Sebaliknya, ketika individu mengalami konflik

54 karena keluarga mengganggu pekerjaan, maka efektivitas dan kepuasan individu pada domain pekerjaan menjadi berkurang. Parasuraman dan Greenhaus (2002; dalam Poulose & Sudarsan, 2014) mengatakan bahwa karakteristik kepribadian dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk berinteraksi dan bereaksi terhadap sebuah situasi. Individu dengan kepribadian proaktif dapat mengambil langkah untuk memperoleh dukungan dan terlibat dalam perubahan peran atau negosiasi untuk menekan work- family conflict (Aryee, Srinivas & Tan, 2005; dalam Poulose & Sudarsan, 2014). Selain itu, Frone (2003) juga mengatakan bahwa berbagai karakteristik kepribadian dapat dipahami sebagai sumber individu untuk menangkap kecenderungan dalam menghadapi masalah pada domain pekerjaan dan domain keluarga secara aktif sehingga dapat mengurangi work-family conflict. Di sisi lain, Frone (2003) menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family balance, yaitu behavioral involvement, psychological involvement, dan work and family social support. Behavioral involvement menunjukkan jumlah waktu yang diberikan pada domain pekerjaan dan domain keluarga. Ketika individu lebih banyak mencurahkan waktu pada salah satu peran, maka waktu yang tersedia untuk memenuhi peran yang lainnya akan menjadi lebih sedikit. Kemudian, psychological involvement menunjukkan tingkat identitas individu dengan peran

55 sosial dan memandangnya penting bagi konsep diri individu tersebut. Tingginya tingkat psychological involvement menyebabkan individu lebih sibuk secara mental atau lebih fokus pada satu peran daripada peran lainnya sehingga keterlibatan individu menjadi lebih sulit pada peran yang lain. Selanjutnya, work and family social support dikatakan sebagai sumber potensial yang dapat mengurangi work-family conflict. Dukungan sosial dari pekerjaan diperoleh dari atasan dan rekan kerja yang suportif serta tidak memberikan tuntutan berlebihan dan menyebabkan pekerja harus tetap bekerja walaupun di rumah. Selain itu, dukungan sosial yang diterima dari keluarga diperoleh dari pasangan yang suportif atau anggota keluarga lain yang memberikan bantuan terhadap tuntutan yang berasal dari domain keluarga. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan yang membuat individu sibuk dengan masalah pada domain keluarga di tempat kerja 4. Dampak Work-Family Balance Tercapainya work-family balance akan memberikan dampak pada individu pada domain pekerjaan dan domain keluarga (Poulose & Sudarsan, 2014). Hobson, Delunas, dan Kesic (2001; dalam Poulose & Sudarsan, 2014) mengatakan bahwa ketika individu mampu menyeimbangkan peran-perannya, maka individu tersebut akan mengalami peningkatan produktivitas dan meningkatkan

56 kepuasan pada pekerjaan. Selain itu, individu akan mencapai kepuasan kehidupan, kepuasan keluarga, kepuasan pernikahan, serta meningkatkan kinerja dalam domain keluarga. Wayne (2015) juga mengatakan bahwa individu yang mengalami kesesuaian pekerjaan dan keluarga dengan nilai kehidupannya, percaya terhadap rekan kerja, dan mendapat dukungan dari organisasi untuk peran dalam keluarga akan mempromosikan keseimbangan yang dapat meningkatkan kelekatan terhadap organisasi dan sikap kerja yang baik. Selain itu, apabila individu merasa lebih seimbang dan menemukan harapan yang lebih baik pada pekerjaan dan keluarga, akan mengalami kepuasan keluarga yang lebih tinggi dan menunjukkan kinerja yang lebih baik di dalam keluarga (Wayne, 2015). C. Dinamika Hubungan Work-Family Conflict dan Work-Family Balance pada Ibu Bali yang Bekerja Menjalankan peran ganda bukanlah hal yang asing bagi masyarakat saat ini, begitu pula dengan ibu Bali. Bekerja merupakan aspek penting dalam kehidupan seseorang, termasuk wanita karena dapat membantu meringankan beban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (Jones, McGrattan & Maunelli, 2002; dalam Papalia, 2008). Ibu Bali bekerja menjalankan tiga peran dalam kehidupannya, yaitu peran domestik (ibu dan istri), peran produktif (pekerja), dan peran sosial

57 (krama adat istri) (Suyadnya, 2009). Dalam menjalankan seluruh perannya, ibu Bali bekerja akan menghadapi berbagai tugas atau tuntutan, baik sebagai ibu dan istri, pekerja, maupun krama adat istri. Tuntutan-tuntutan pada peran-peran yang dijalani dapat menimbulkan konflik peran atau work-family conflict pada ibu Bali bekerja, terutama ketika peran-peran tersebut menuntut pemenuhan dalam waktu yang bersamaan (Kesumaningsari & Simarmata, 2014). Work-family conflict merupakan konflik yang terjadi antara peran keluarga dan pekerjaan, di mana tekanan dari kedua peran saling berlawanan (Greenhaus & Beutell, 1985). Tuntutan yang berasal dari peran pekerjaan dan dapat menyebabkan kinerja individu pada peran keluarga menjadi tidak maksimal disebut sebagai work interference with family (WIF). Selanjutnya, tuntutan yang berasal dari peran keluarga dan dapat menyebabkan kinerja individu pada peran pekerjaan tidak maksimal disebut sebagai family interference with work (FIW). Ibu Bali bekerja yang mengalami konflik akibat peran pekerjaan mengganganggu kinerjanya pada peran keluarga (WIF) dapat memengaruhi kualitas kehidupan mereka. Dari segi waktu (time-based WIF), konflik dapat terjadi ketika ibu Bali bekerja memiliki jam kerja yang panjang untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga menyita waktu yang seharusnya dicurahkan untuk keluarga. Selanjutnya, dari segi ketegangan yang muncul (strain-based WIF), konflik dapat terjadi ketika ibu Bali bekerja mengalami permasalahan di tempat kerjanya

58 yang mengakibatkan perasaan negatif muncul saat ibu Bali bekerja berada di rumah. Kemudian, dari segi perilaku (behavior-based WIF), yaitu ketika ibu Bali bekerja menerapkan perilaku di tempat kerja yang tidak layak untuk diterapkan di rumah. Selain itu, ibu Bali bekerja yang merasakan konflik akibat peran keluarga mengganggu kinerjanya pada peran pekerjaan (FIW) juga dapat memengaruhi kualitas kehidupan mereka. Dari segi waktu (time-based FIW), konflik akan muncul ketika kehidupan pribadi atau keluarga menyita waktu yang seharusnya ibu Bali bekerja berikan pada pekerjaannya. Selanjutnya, dari segi ketegangan yang muncul (strain-based FIW), yaitu munculnya perasaan negatif di tempat kerja karena ibu Bali bekerja larut dalam masalah keluarga. Kemudian, pada segi perilaku (behavior-based FIW), yaitu ketika ibu Bali bekerja menggunakan perilaku di rumah yang tidak pantas diterapkan di tempat kerja. Tingginya tingkat work- family conflict yang dimiliki oleh ibu Bali bekerja dapat memberikan dampak negatif pada keluarga, organisasi, dan individu itu sendiri. Konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga (work-family conflit) yang terjadi seperti yang telah dipaparkan di atas dapat diminimalisir dengan cara berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam setiap peran yang dijalani sehingga individu dapat menyeimbangkan setiap perannya. Efektivitas dan kepuasan yang dirasakan oleh individu dalam menjalani peran pekerjaan dan peran keluarga merupakan definisi dari work-family balance (Greenhaus & Allen, 2011). Selain

59 itu, work-family balance juga dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan keselarasan hidup dan menyeimbangkan tuntutan pada peran pekerjaan dan peran keluarga (Poulose & Sudarsan, 2014). Individu yang memiliki tingkat work-family balance yang tinggi akan merasakan dampak positif pada peran pekerjaan dan peran keluarga, seperti merasa puas dan memiliki kinerja yang baik pada peran-peran tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ibu Bali bekerja yang tidak dapat mengatasi berbagai tuntutan dari peran-peran yang dijalani akan mendekatkan ibu Bali bekerja pada keadaan work- family conflict. Ketika ibu Bali bekerja mengalami konflik yang sedikit dan mampu menyeimbangkan tuntutan pada setiap perannya, maka ibu Bali bekerja akan memiliki tingkat work-family balance yang tinggi dan dapat berfungsi penuh serta merasakan kepuasan dalam setiap peran yang dijalaninya. Sebaliknya, ketika ibu Bali bekerja mengalami banyak konflik dan tidak mampu menyeimbangkan setiap tuntutan pada setiap perannya, maka ibu Bali bekerja akan memiliki tingkat work- family balance yang rendah.

60 D. Skema Penelitian Gambar 1. Skema Penelitian Hubungan Work-Family Conflict dan Work-Family Balance pada Ibu Bali yang Bekerja Ibu Bali yang bekerja Work-Family Conflict • WIF (time based-, strain based-, behavior based-) • FIW (time based-, strain based-, behavior based-) • Tidak dapat mengatasi Dapat mengatasi Stres kerja Work-Family Balance E. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran stres kerja yang dialami oleh ibu Bali bekerja? Selain itu, hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara work-family conflict dan work-family balance pada ibu Bali yang bekerja.

61 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Di dalam penelitian, terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan penelitian yaitu menggambarkan, membuktikan, mengembangkan, menemukan, dan menciptakan (Sugiyono, 2017). Jenis-jenis penelitian yang biasa digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Selain itu, terdapat pula jenis penelitian yang menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif, yakni mixed methods. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian mixed methods, yaitu menggabungkan antara metode kualitatif dengan metode kuantitatif yang digunakan secara bersama-sama untuk memperoleh data yang lebih valid, reliabel, komprehensif, dan objektif (Sugiyono, 2017). Selain itu, mixed methods diasumsikan dapat memberikan data yang lebih lengkap daripada hanya dengan menggunakan salah satu metode (Creswell, 2013). Di dalam penelitian mixed methods, tipe penelitian terbagi menjadi dua, yaitu sequential dan concurrent. Tipe penelitian sequential, yakni tipe penelitian di mana peneliti menggunakan metode penelitian secara berurutan pada waktu yang berbeda (Sugiyono, 2017). Terdapat dua jenis tipe sequential, yaitu explanatory sequential dan exploratory sequential. Tipe penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah concurrent, yaitu kondisi di mana peneliti menggabungkan metode kualitatif dan metode kuantitatif secara bersama-sama yang digunakan untuk memperoleh data

62 yang lebih lengkap dan lebih memahami masalah penelitian (Sugiyono, 2017). Kekuatan tipe concurrent adalah menggabungkan setiap keunggulan data, di mana data kuantitatif dapat memberikan generalisasi dan data kualitatif menawarkan eksplorasi maka pemahaman yang diciptakan akan menjadi lebih lengkap (Creswell, 2011). Penelitian ini menggunakan desain penelitian survei yang bertujuan untuk menggali informasi mengenai sikap, pendapat, atau keyakinan akan suatu hal pada sampel yang mewakili populasi tertentu (Supratiknya, 2015). Desain penelitian survei bersifat sederhana sehingga dapat memudahkan peneliti untuk memeriksa dan memudahkan responden dalam menjawab. Selain itu, desain survei juga memungkinkan melihat keadaan populasi berdasarkan sampel. B. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian merupakan ibu Bali yang bekerja. Menurut Sugiyono (2017), populasi adalah subjek atau objek yang memiliki karakteristik tertentu yang telah ditetapkan oleh untuk dipelajari atau diteliti. Sedangkan sampel merupakan bagian yang representatif sehingga dapat mewakili karakteristik tertentu pada populasi dan nantinya akan digeneralisasi pada populasi tersebut (Sugiyono, 2017). Oleh karena itu, sampel penelitian harus sesuai dengan karakteristik atau ciri-ciri yang sama dengan populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu Bali yang bekerja. Ibu Bali bekerja memiliki karakteristik, seperti wanita beragama Hindu,

63 bertempat tinggal di Bali, telah menikah, tergabung ke dalam sebuah banjar, serta melaksanakan pekerjaan agar mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, ibu Bali bekerja menjalani tiga peran, yaitu peran domestik (ibu dan istri), peran produktif (pekerja), dan peran sosial (krama adat istri). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian untuk menentukan sampel adalah convenience sampling yang termasuk dalam nonprobability sample. Convenience sampling merupakan prosedur pengambilan sampel di mana peneliti memilih partisipan karena mereka bersedia dan tersedia untuk dipelajari (Creswell, 2011). Supratiknya (2015) menambahkan bahwa nonprobability sample dipilih berdasarkan kemudahan peneliti dalam mengakses sampel. Pemilihan nonprobability sample dilakukan berdasarkan keterbatasan peneliti, yakni ketidakmampuan peneliti dalam menjangkau ibu Bali bekerja yang tersebar pada delapan kabupaten di Provinsi Bali karena tidak terdapat sanak saudara atau orang terdekat yang berada pada kabupaten tertentu. C. Penelitian Kualitatif 1. Peran Peneliti Pada penelitian ini, peneliti memiliki peran penting yaitu sebagai instrumen kunci (Supratiknya, 2015). Hal ini berarti bahwa peneliti memliki peran yang penting dalam pengambilan data (Supratiknya, 2015). Di samping itu, peneliti juga memiliki peran untuk membaca setiap respon para subjek dan mengolah data yang telah diperoleh.

64 Dalam hal ini, peneliti dibantu oleh beberapa ibu Bali bekerja dan sanak saudara yang bekerja pada beberapa instansi yang terdapat di wilayah Kabupaten Badung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar untuk menyebarkan kuesioner, setelah itu peneliti mengumpulkan kuesioner yang telah disebar untuk dibaca dan dianalisis. Pada penelitian ini, peneliti tidak memiliki ikatan kedekatan dengan sebagian besar subjek, hanya saja peneliti dan para subjek bertempat tinggal di provinsi yang sama yaitu Provinsi Bali. Dalam hal ini, peneliti tidak dapat melaksanakan wawancara lanjutan kepada para subjek dikarenakan oleh pandemi Covid-19. Potensi buruk yang dapat muncul dalam penelitian ini adalah timbulnya perasaan takut atau perasaan-perasaan lain pada diri subjek karena tidak percaya diri dengan jawabannya dalam mengisi kuesioner. Upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk memastikan bahwa para subjek tidak merasa takut dalam mengisi kuesioner adalah memberikan penjelasan pada informed consent, berupa tidak ada pendapat yang benar maupun salah dan para subjek dapat mencurahkan pikiran, perasaan, dan pendapatnya mengenai peran-peran yang selama ini dijalani.

65 2. Refleksi Peneliti Penelitian ini berangkat dari keingintahuan peneliti terkait peran- peran yang dijalani oleh para ibu Bali yang memilih untuk bekerja. Peneliti melihat di lingkungan tempat tinggal peneliti mayoritas ibu Bali memilih untuk membangun usaha sendiri. Selain itu, peneliti melihat kegiatan adat di wilayah tempat tinggal peneliti sangat kental sehingga para ibu Bali yang bekerja akan memberikan waktunya untuk menghadiri setiap kegiatan adat. Akan tetapi, hal ini tidak sama dengan wilayah lain, di mana sanak saudara peneliti yang tinggal di wilayah yang berbeda dapat bekerja pada perusahaan swasta dan tidak selalu hadir pada kegiatan adat yang ada di wilayahnya. Peneliti sendiri merupakan wanita beragama Hindu yang tinggal di Bali dan memiliki seorang ibu yang menjalankan peran pekerja serta krama adat istri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti, karena apabila peneliti tidak dapat memposisikan diri sebagai pihak netral, maka akan memungkinkan timbulnya bias. 3. Metode dan Alat Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan terstruktur yang bertujuan untuk memperoleh data dari responden (Supratiknya, 2014). Pada bagian penelitian kualitatif, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan terbuka. Penelitian

66 dengan kuesioner terbuka merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan untuk melihat pemikiran-pemikiran subjek melalui komentar yang dituliskan dan menuangkan pemikiran-pemikiran di luar pertanyaan tertutup (Creswell, 2011). Peneliti memutuskan menggunakan kuesioner terbuka di dalam penelitian ini karena ingin melihat pemikiran para ibu Bali bekerja yang tidak dapat diungkapkan melalui pertanyaan tertutup mengenai peran-peran yang dijalani oleh ibu Bali yang bekerja. Peneliti mulai menyusun daftar pertanyaan terbuka pada 3 Desember 2019 dengan jumlah lima buah pertanyaan yang berasal dari variabel work-family balance dan mengandung ketiga aspek work- family balance (time balance, satisfaction balance, dan involvement balance). Salah satu contoh pertanyaan terbuka pada variabel work- family balance adalah “Bagaimanakah cara Anda membagi waktu antara pekerjaan dan kegiatan adat seperti menyama braya? Ceritakanlah”. Pertanyaan lainnya dapat dilihat pada lampiran halaman 145-146. Selanjutnya, terdapat delapan buah pertanyaan yang berasal dari variabel work-family conflict dan mengandung ketiga aspek work- family conflict (time-based, strain-based, dan behavior-based). Salah satu contoh pertanyaan terbuka pada variabel work-family conflict adalah “Apakah yang akan Anda lakukan ketika pekerjaan berbenturan dengan kegiatan adar seperti menyama braya?”. Pertanyaan-pertanyaan work-family conflict lainnya dapat dilihat pada lampiran halaman 147-

67 148. Setelah menyusun pertanyaan, peneliti meminta bantuan kepada dosen pembimbing skripsi untuk memeriksa pertanyaan penelitian sebelum diedarkan kepada para subjek. Setelah dosen pembimbing skripsi menyatakan kuesioner terbuka layak untuk disebarkan, kemudian peneliti mencetak kuesioner yang selanjutnya akan disebarkan kepada ibu Bali bekerja. 4. Metode Analisis Data Pada bagian kualitatif, peneliti menggunakan metode analisis tematik yang digunakan untuk menganalisis data dengan tujuan melihat pola atau tema-tema yang muncul melalui data yang telah diperoleh (Braun & Clarke, 2006). Hal tersebut sesuai dengan tujuan peneliti yakni untuk melihat tema-tema dalam pemaknaan peran pada ibu Bali yang bekerja. Peneliti memperoleh data kualitatif berdasarkan kuesioner terbuka yang disebarkan kepada para ibu Bali bekerja guna melihat pandangan-pandangan mereka terhadap peran-peran yang dijalani selama ini. Tabel 3. Tahapan Melakukan Analisis Tematik menurut Braun dan Clarke (2006) Tahap Deskripsi Pada tahap ini, peneliti melakukan 1. Mengenali data penyalinan data apabila diperlukan, membaca dan membaca kembali data

68 yang telah diperoleh, dan mencatat ide awal yang ditemukan. Setelah membaca data yang diperoleh, peneliti mulai memberikan kode secara sistematis pada data yang telah diperoleh, kemudian menyusun data Menghasilkan yang relevan dengan masing-masing 2. kode. Pada tahap ini, peneliti kode awal menggunakan MAXQDA 2018 sebagai 3. Mencari tema alat bantu dalam memberikan kode pada setiap respon yang diberikan oleh para subjek. Selanjutnya, menyusun kode menjadi tema yang potensial. Peneliti mengumpulkan seluruh data yang relevan dengan setiap tema potensial. Pada dasarnya, peneliti mulai menganalisis kode dan mempertimbangkan kode-kode yang berbeda dapat digabungkan untuk membentuk tema yang menyeluruh.

69 Pada tahap ini, peneliti memeriksa 4. Meninjau tema kembali tema yang sudah dibentuk dan menghasilkan “peta” analisis tematik. Pada tahap ini, peneliti memperbaiki Mendefinisikan spesifikasi setiap tema dan keseluruhan 5. dan menamakan cerita yang diceritakan analisis tersebut tema sehingga menghasilkan definisi dan nama yang jelas untuk setiap tema. Pada tahap penulisan laporan, hasil analisis memberikan cerita yang singkat, koheren, logis, tidak berulang, Menghasilkan dan menarik dari cerita yang 6. diceritakan. Narasi analisis laporan menyediakan deskripsi data dan membuat argumen sehubungan dengan pertanyaan penelitian. Berikutnya, peneliti berencana menyajikan hasil analisis kualitatif sebelum peneliti membahas hasil yang ditemukan pada penemuan kuantitatif. Hasil analisis kualitatif yang hendak disajikan adalah jawaban dari pertanyaan penelitian, yaitu gambaran stress kerja pada ibu Bali bekerja yang disebabkan peran ganda.

70 5. Validitas dan Reliabilitas Data a. Validitas Data Peneliti melakukan beberapa strategi untuk menguji validitas data penelitian. Strategi pertama adalah thick description atau deskripsi mendalam dan rinci yang dilakukan oleh peneliti terkait setting atau lingkungan penelitian dan tema-tema yang di temukan di dalam penelitian. Strategi ini dilakukan untuk memperlihatkan hasil-hasil penelitian yang lebih realistik dan mendalam (Supratiknya, 2015). Strategi kedua yang digunakan peneliti adalah bias yang dituliskan dalam bentuk refleksi diri peneliti. Strategi ini dilakukan untuk mengklarifikasi kemungkinan interpretasi penelitian dibentuk atau dipengaruhi oleh latar belakang pribadi peneliti, seperti gender, budaya, sejarah, dan asal-usul sosioekonomi (Supratiknya, 2015). b. Reliabilitas Data Strategi yang digunakan oleh peneliti untuk menguji data penelitian adalah memeriksa berulang kali hasil kuesioner terbuka agar tidak terjadi kesalahan serius selama proses transkripsi. Selain itu, peneliti juga membandingkan data dengan kode-kode yang telah dirumuskan untuk menghindari pergeseran definisi kode-kode yang terjadi selama proses pengodean.

71 D. Penelitian Kuantitatif 1. Variabel Penelitian Variabel-variabel pada penelitian ini adalah work-family conflict dan work-family balance, sebagai berikut: Variabel Bebas : Work-Family Conflict Variabel Teritkat : Work-Family Balance 2. Definisi Operasional 2.1.Work-Family Conflict Work-family conflict merupakan keadaan ketika individu merasakan adanya tuntutan dari salah satu peran sehingga menyebabkan pemenuhan pada peran lainnya terganggu dan menyebabkan individu tidak dapat berfungsi dengan baik atau memaksimalkan dirinya pada peran yang lain. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan skala work-family conflict yang diadaptasi dari Carlson, Kacmar, dan Williams (2000). Skala tersebut terdiri dari 18 item yang mencakup keenam tipe work-family conflict, yaitu time-based work interference with family, time-based family interference with work, strain-based work interference with family, strain-based family interference with work, behavior-based work interference with family, dan behavior-based family interference with work. Pada skala ini, tingkat work-family conflict pada ibu Bali bekerja, dapat dilihat dengan menjumlahkan skor total

72 subjek. Semakin tinggi skor total subjek maka semakin tinggi tingkat work-family conflict pada diri subjek. 2.2.Work-Family Balance Work-family balance merupakan kondisi ketika individu merasa efektif, puas, dan senang dalam menjalani setiap perannya, serta dapat memenuhi harapan pada setiap peran dengan jumlah konflik yang sedikit. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan skala work-family balance yang diadaptasi dari Bintang dan Astiti (2016). Skala tersebut terdiri dari 28 item yang mencakup tiga aspek work- family balance yang dikemukakan oleh Greenhaus (2003), yaitu: a. Time balance yaitu kesetaraan jumlah waktu yang diberikan individu pada peran pekerjaan dan peran keluarga. b. Satisfaction balance adalah kondisi ketika seseorang memiliki tingkat kepuasan yang sama pada peran pekerjaan dan keluarga. c. Involvement balance merupakan keadaan ketika individu memiliki tingkat keterlibatan psikologis yang setara pada peran pekerjaan dan keluarga. Pada skala ini, tingkat work-family balance pada ibu Bali bekerja, dapat dilihat dengan menjumlahkan skor total subjek. Semakin tinggi skor total subjek maka semakin tinggi tingkat work-family balance pada diri subjek.

73 3. Metode dan Alat Pengambilan Data Kuantitatif Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan terstruktur yang bertujuan untuk memperoleh data dari responden (Supratiknya, 2014). Pada penelitian kuantitatif, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Kuesioner yang telah disusun akan disebarkan kepada ibu Bali yang bekerja. Jenis skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala likert. Skala likert adalah salah satu metode penskalaan yang disusun untuk mengukur atribut psikologis, di mana responden diminta untuk menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuannya terhadap sebuah pernyataan. Skala kuantitatif yang akan digunakan pada penelitian ini adalah: 3.1.Skala Work-Family Conflict Skala work-family conflict yang digunakan pada penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari alat ukur yang disusun oleh Carlson et al. (2000) yang terdiri dari 18 item. Pertimbangan peneliti menggunakan alat ukur milik Carlson et al. (2000) adalah alat ukur tersebut merupakan rekomendasi yang diberikan oleh Greenhaus J. H. sebagai penulis jurnal Work-Family Conflict. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, berikut hasil uji reliabilitas pada masing-masing tipe, yaitu time-based work interference with family memiliki reliabilitas sebesar 0.87; time-based family interference with work memiliki reliabilitas sebesar 0.79; strain-based work

74 interference with family memiliki reliabilitas sebesar 0.85; strain- based family interference with work memiliki reliabilitas sebesar 0.87; behavior-based work interference with family memiliki reliabilitas sebesar 0.78; dan behavior-based family interference with work memiliki reliabilitas sebesar 0.85. Skala work-family conflict ini memiliki 18 item yang terdiri dari 3 item untuk mengukur time-based work interference with family, 3 item untuk mengukur time-based family interference with work, 3 item untuk mengukur strain-based work interference with family, 3 item untuk mengukur strain-based family interference with work, 3 item untuk mengukur behavior-based work interference with family, dan 3 item digunakan untuk mengukur behavior-based family interference with work. Salah satu contoh item pada skala ini adalah “Melaksanakan upacara adat sering membuat saya tidak terlibat di tempat bekerja yang dapat membantu karier saya”. Alat ukur ini menggunakan skala likert dengan skor 1 (apabila sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (apabila sangat setuju). Pilihan jawaban pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Pemberian Skor pada Skala Work-Family Conflict Respon Item Favorable Nilai Respon Sangat Tidak Setuju (STS) 1 Tidak Setuju (TS) 2 Netral (N) 3 Setuju (S) 4 Sangat Setuju (SS) 5

75 Berikut gambaran persebaran item pada skala Work-Family Conflict seperti yang tertera pada tabel 4.1.: Tabel 4.1. Sebaran Skala Work-Family Conflict Kategori Favorable Jumlah Time-based work interference with family 4, 9, 18 3 Time-based family interference with work 10, 1, 13 3 Strain-based work interference with family 7, 3, 15 3 Strain-based family interference with work 17, 2, 14 3 Behavior-based work interference with family 5, 16, 6 3 Behavior-based family interference with work 8, 12, 11 3 18 Total 3.2.Skala Work-Family Balance Skala work-family balance diadaptasi dari alat ukur yang telah disusun oleh Bintang dan Astiti (2016) yang terdiri dari 28 item. Pertimbangan peneliti menggunakan skala milik Bintang dan Astiti (2016) dikarenakan skala ini mencakup ketiga aspek work-family balance milik Greenhaus, yaitu time balance, satisfaction balance, dan involvement balance. Selain itu, berdasarkan hasil uji reliabilitas, skala ini memiliki reliabilitas sebesar 0.911 (Bintang & Astiti, 2016). Skala work-family balance ini memiliki 28 item yang terdiri dari 10 item untuk mengukur aspek time balance, 8 item untuk mengukur satisfaction balance, dan 10 item digunakan untuk mengukur involvement balance. Salah satu contoh item pada skala

76 ini adalah “Saya kehilangan konsentrasi kerja saat tidak menghadiri kegiatan adat”. Alat ukur ini menggunakan skala likert dengan skor 1 (apabila sangat tidak setuju) sampai dengan 4 (apabila sangat setuju). Pilihan jawaban pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Pemberian Skor pada Skala Work-Family Balance Respon Nilai Respon Nilai Item Favorable Respon Item Unfavorable Respon Sangat Tidak Sangat Tidak 1 Setuju (STS) 4 Tidak Setuju (TS) Setuju (STS) 2 Setuju (S) 3 3 Sangat Setuju (SS) 2 Tidak Setuju (TS) 4 1 Setuju (S) Sangat Setuju (SS) Berikut gambaran persebaran item pada skala Work-Family Balance seperti yang tertera pada tabel 5.1: Tabel 5.1. Sebaran Skala Work-Family Balance Aspek Favorable Unfavorable Jumlah Time balance 16, 17, 19, 28 9, 10, 14, 21, 10 Satisfaction 3, 5, 11, 13 23, 25 balance Involvement 6, 7, 20, 22 8 balance 2, 8, 15, 24, 1, 4, 12, 18 10 26, 27 28 Total

77 4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 4.1.Validitas Alat Ukur Uji validitas digunakan untuk melihat sejauh mana alat ukur mampu memberikan hasil yang akurat sesuai dengan atribut psikologis yang akan diukur (Supratiknya, 2014). Supratiknya (2014) menyatakan tiga jenis atau tipe validitas, yaitu validitas isi atau content validity, validitas terkait kriteria atau criterion-related validity, dan validitas konstruk atau construct validity. Penelitian ini menggunakan validitas isi yang bertujuan untuk melihat relevansi skala dalam mengukur sasaran ukur. Dalam validitas isi dibutuhkan penilaian dari pakar atau expert judgement (Supratiknya, 2014). Kedua skala dalam penelitian ini telah tervalidasi oleh expert judgement saat peneliti asli menyusun alat ukurnya. Kemudian, peneliti meminta bantuan dosen pembimbing skripsi sebagai expert judgement untuk menilai kesesuaian skala dengan konstruk yang akan diukur. Pada kuesioner terbuka, peneliti juga meminta bantuan kepada dosen pembimbing skripsi untuk melihat kesesuaian pertanyaan yang hendak diajukan dengan hal yang ingin dilihat lebih dalam oleh peneliti. Selain itu, karena skala work-family conflict yang diadaptasi menggunakan Bahasa Inggris, maka peneliti dibantu oleh beberapa ahli Bahasa Inggris untuk melakukan proses translation, kemudian melakukan back-translation, lalu membandingkan kedua bagian

78 Bahasa Inggris yaitu skala asli dan hasil back-translation untuk melihat kesetaraan kedua bagian tersebut. Setelah dinyatakan setara, peneliti dibantu oleh dosen pembimbing skripsi untuk menyesuaikan skala dengan konteks Budaya Bali. 4.2.Reliabilitas Alat Ukur Uji reliabilitas ditujukan untuk melihat konsistensi hasil pengukuran apabila skala tersebut diberikan berulang kali pada suatu populasi atau kelompok (Supratiknya, 2014). Untuk menciptakan alat ukur dengan kualitas yang baik, maka perlu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Skala Work-Family Balance menggunakan salah satu cara untuk mengukur reliabilitas, yaitu Alpha Cronbach. Jika koefisien reliabilitas menunjukkan kesalahan pengukuran yang semakin kecil, maka semakin reliabel atau konsisten alat ukur tersebut. Sedangkan, apabila koefisien reliabilitas menunjukkan kesalahan yang semakin besar, maka semakin tidak reliabel atau tidak konsisten alat ukur tersebut (Azwar, 2010; dalam Bintang & Astiti, 2016). Skala Work-Family Balance ini memiliki nilai Alpha sebesar 0.911. Pada skala Work-Family Conflict menunjukkan hasil reliabilitas sebagai berikut time-based work interference with family memiliki reliabilitas sebesar 0.87; time-based family interference with work memiliki reliabilitas sebesar 0.79; strain-based work


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook