23. Pande K. Trimayuni “Purnama di Bulan Vaisakha” Purnama di bulan Vaisakha Terindah dari seribu bulan Saat Sang Buddha mencapai siddhi Bahwa ada yang lebih penting melampaui eksistensi Belajar diri tentang kebenaran hakiki Hamparan langit menyelimuti bumi, mungkinkah dibagi-bagi Atas nama kuasa diri Aku berdoa untukmu yang teradili Cahaya purnama senantiasa menyertai Menyerupa bayangan di pagi hari Mencari makna dalam kelebatan kisi kisi Menggapai takdir pada namamu yang tergarisi Adakah gunanya nasib diratapi Ada kala gerhana datang Kilau purnama tiada sampai ke bumi Para sadhu menangis tersedu Purnama tetaplah satu yang itu Meski sejuta ingin membuatnya menjadi batu Benar dan salah berjalan diatas lidi Niat diri siapa yang berhak menguji Dengarkanlah suara hati 41
Purnama Vaisakha ini Dalam nada lagu ku berseru Restu semesta menderu Bagi jiwa jiwa yang tetap berkhidmat dalam sendu Semoga keadilan berpihak padamu *** 42
24. Agus Purwadianto “Forensik” Senja di kawasan penuh pesona jejak lorong sunyi menjadi telapak keceriaan jelajah harian, ruang ruang senyap menjadi gemericik keramaian nalar, lototan mata menerpa keindahan huruf demi huruf kertas visum, guratan tandatangan di atas sumpah keilmuan memuncaki kelegaan rasa, anggit persembahan karya mengawal tatih-tatih ikhtiar keadilan, Ratapan rasa kehilangan yang tercinta menemani ketegaran senyum merona, gelegak amarah kerabat mengiringi kesyahduan logika kalimat-kalimat lirih semua atas nama korban kaku terdiam dalam bisu suara asa keadilan diartikulasikan pelan-pelan, hampir semua harmoni penjelasan meredakan ketegangan, sesekali hardikan menembus telinga membelai nurani, sesekali aroma formalin menyeruak menyapa indera penghidu, Kematian memicu peragaan hentakan rasa, dari insan sekitar pemilik jasad tersisa, dari simbol keperkasaan berbalik ketiadaan, dari popularitas sosok menukik ke lenyap, 43
dari lintasan puncak cita-cita kandas ke nadir, di tengah gemuruh syak wasangka penanda keberakhiran, atau rudapaksa perlukaan, adakah ulah kejahatan ? Mulut-mulut mungil bergumul melantunkan sisipan idea peraihan keadilan, yang hijrah dari keutamaan pengobatan, sebagai pewujud pengabdian kemanusiaan, kendati lewat otopsi dan deretan pemeriksaan kedokteran. Jakarta, 5 Mei 2021 44
25. I Ketut Surajaya “Aku Milikmu” Kenapa mengabdi? Karena aku memiliki dan dimiliki Keluarga, dan masyarakat, rakyat, dan negara Rumangsa melu handarbeni Aku lindungi Amankan ancaman musuh-musuhmu Yang membumi hanguskan Melu hangrungkebi Aku tulus Mawas diri, introspeksi, retrospeksi Koreksi, perbaikan Mulat sarira hangrasa wani Aku kaya tanpa harta rela padamu Aku batasi kecukupan diri utamakan Kesejahteraan masyarakat Sugih tanpa banda Aku takkan kerahkan bala tentara Aku suka, nari nyanyi dan cengkerma Bermitra kamu, diplomasi warung kopi Ngelurug tanpa bala 45
Aku menang tanpa kalahkan dan malukan kamu Aku ungguli tanpa rugikan kamu Aku ambil ikan kolammu, tanpa keruhkan airmu Aku menang tanpa ngasarake Aku memberi padamu, tapi tak kehilangan Aku ikhlaskan aku percaya, weweh tanpa kelangan Aku raja dan ratu kebenaran Adil, bijaksana, ambeg paramartha Aku pandita taat tapa brata elak glamor duniawi Aku blaka jujur, sahaja, tekun, polos, aku petani Aku pemberi tauladan, sesuluhmu, aku guru Aku memimpin dan jadi milikmu Depok, 14 Februari 2021 I Ketut Surajaya 46
26. Mustari Irawan “Anak-Anak Cinta Sekolah” Anak-anak yang matanya belahan dunia adalah anak-anak kita yang cinta sekolah lahir dari cinta dan air mata bunda seperti kita dengar gemuruh suara jantungnya Di lereng gunung mereka punya bahasa seperti isyarat cuaca, daun yang luruh satu-satu kehidupan belantara di antara gugur musim di tepi pantai mereka punya debur ombak kehidupan yang lekat tertulis di pasir Adakah kita mendengar suara-suara ketawa dan harapan tangan yang menggapai-gapai menuliskan huruf-huruf cinta yang setia di mata Anak-anak yang matanya belahan dunia seperti hampir kita lupakan saja hari-harinya yang kosong adalah gelas kehidupan yang kita tuang dengan rencana teknologi yang rumit Ke mana mereka akan berangkat ke mana mereka akan kembali suatu saat langkahnya kita punya tapi tidak masa depannya 47
kenangannya kita punya tapi tidak pikirannya,- kemana? Di tepi sungai mereka menyimpan suara-suara gelisah di arah perjalanan usia berjuta nama sia-sia di dalam hutan mereka adalah sebuah ketidaktentuan mencari gerak dan tanah pijak harapan Adakah kita sempat berpikir dan mencatat kesalahan yang banyak kita lupakan untuk kemudian terjaga dari alpa sejarah yang menuding marah Kitakah itu yang bergulat dengan urat napasnya kitakah itu yang mengalir bersama darahnya anak-anak yang tangisnya menetes dari mimpi bunda Anak-anak yang tumbuh merdeka seperti akasia harus tumbuh tegak menembus langit cakrawala dengan akar-akarnya kokoh mendesak bumi dengan dahan-dahannya menunjuk ke delapan arah Anak-anak yang matanya belahan dunia adalah anak anak yang rajin bangun pagi menatap matahari dan berkata, \"inilah sebuah negeri demokrasi negeri pagi hari.” 1981-1999 48
27. Hudan Nur “Seka Air Matamu!” DUKA BILA DIBASAHI AKAN SEMAKIN PERIH– : prelude cahaya –Muara Kalikoa aku meminjam remah huruf yang berserak antara pion dan karamunting. Tuhan tak sebercanda itu bukan? memintamu duduk menukil almanak lama, menyuruhmu melingkari tanggal-tanggal, menunda perjalanan. Sementara dadaku membusung, rapalan kata prasetia sudah terlempar. dan kepongahan membilas hubungan yang berjarak. Gumbuk kata membongkar kadar hayat, senandung kakawin terasa bising dalam ingatan. aku masuki ngalau, batu-batu cadas. hari dikemudikan janji, semua akan purba. Ya, cahaya semakin dalam aku masuki pendarmu, mataku semakin perih. adakah mata air yang bisa kau basahi? bila air itu memuarakan pejaka, ngarai penantian yang membasuh mata luka. Tibalah kita di kumpulan huruf yang kau sebut kalimat aku menunduk, melihat genangan mata air. 49
Apakah alir bisa menunda kedangkalan sementara riak telah mematri, memejamkan matanya. menyimpan sunyi yang kau sebut basah. Mengemasnya di bawah kariwaya, akar-akar usia. Banjarbaru, 14 Mei 2021 ——- 50
28. Leila Mona Ganiem “Doa Mencintai Tubuh” Ika sahabatku, menulis doanya... \"Oh Tuhan, hantarkan diri hamba agar tidak selalu terganggu dengan provokasi yang menyakitkan yang membuat hamba merasa benci pada kaki dan perut hamba\" Ika, Bombardir media, teman, fashion, model yang bilang kalau 'mereka tahu' sosok ideal tubuh perempuan itu seperti apa, Hingga perusahaan kosmetik dengan janji suci tentang krim yang mampu mempermuda kulit secara alami … berserakan setiap saat Seru …. menikmati imajinasi mereka…. Dalam diskusi kita sepakat pada konsep yang melegakan \"terimalah tubuhmu karena itu akan menjadi milikmu seumur hidupmu\" Untuk itu, mari mensyukuri dan menikmati karya Tuhan yang sempurna Tak perlu senantiasa sibuk dengan penuuuuh ketelitian Menelisik bagian-bagian mana yang perlu permak. Butuh biaya besar dan waktu sangat banyak untuk menjaga tubuh seperti model Bahkan mengikis rasa syukur kita pada Sang Pencipta 51
Perut yang tak lagi rata bak model karena usia atau melahirkan, itu proses alami yang indah... menerima bagian tubuh adalah fitrah manusiawi. Kaki yang lebar dan kerutan disudut mata atau bibir adalah refleksi kematangan, kebijaksanaan dan keindahan.... Tak mungkin kulit seseorang akan senantiasa seperti bayi. Dan tak adil andai kita mendamba keranuman remaja sementara kita menikmati masa guna yang lebih panjang. Tetapi Ika, tanpa upaya apapun, menerima proses alami yang perlahan hadir... adalah sebuah kenaifan. Kita diberi Tuhan fitrah seni…. Bagai arsitek, designer, pelukis, pemahat, atau perias. Bisakah kita menyela sekilas waktu produktif berkarya Untuk merawat, menata dan memanjakan jasad ini? Namun mari kita menikmatinya dengan cinta... Dengan penuh syukur memiliki apa yang kita miliki Tanpa beban, tanpa kecemasan akan usia, tanpa pemujaan berlebih pada susunan tubuh bak gitar spanyol tanpa gerutu pada symbol yang hampir tiap detik dimunculkan di depan mata melalui layar gadget oleh pekerja kreatif dari multinasional corporation. Hidup adalah pilihan, Ika... Mari kita membuat pilihan secara bijak. Puisi Revisi, 16 Mei 2021 52
29. Prijono Tjiptoherijanto “Stasiun Ikebukuro” Gadis bertopi merah muda di pojok stasiun mata memandang lurus ke depan tampak menyimpan harapan dan kekuatiran pengeras suara meneriakkan pengumuman kedatangan dan keberangkatan silih berganti Sang gadis mulai resah, topi berada dalam dekapan perlahan tetapi pasti melangkah meninggalkan halaman stasiun, langkahnya gontai tatapan kosong, entah apa yang dipikirkan Tokyo, April 2014 53
30. Kurniawan Junaedhie “Taplak Perca Untuk Nenek di Surga” Hari itu air sumur naik ke ambin, dan saya mendengar nyanyi nenek seperti kalimat yang patah, dan hancur. Hari itu saya melihat matahari terbang di dapur nenek. Malamnya saya melihat bulan mengambang di kolam ikan. Saya ingin berenang di kolam itu, tapi bulan itu menyelam ditiup oleh sajak-sajakku yang muram. Saya juga mendengar bunyi jantung berdebar saat kayu bakar berkobar di dapur nenek. Tapi ada juga kulihat, air mata sayu yang mengilir di pipi dan menggantung di dagu Di kampung nenek yang suram, hujan turun pelahan, dan angin berkesiur lamban. Tak ada kegembiraan. Hanya bayangan senyum nenek yang menghibur hatiku yang nganga karena luka. Betapa ingin aku menjahit aneka peristiwa aneh yang bagai mozaik itu, menjadi sehelai taplak perca yang menghiasi meja makan nenek. Mungkin akan kuberikan kelak, saat bertemu Nenek di surga. 2021 ————— 54
31. Karel S. Dourman “Sandykala” Gurat jingga di kala senja menebar warna merah sahaja Halimun mendekap bentala gundah Semilir bayu sendu Asmaraloka semesta berduka Merona senja Mentari semburat merah Swastamita senyum pesona Sandyakala menjelma Mentari hangat mulai sirna Ditelan ufuk menyelam sukma pasrah Atma tembus cakrawala Seorang ayah tinggalkan putri semata wayang derana Wariskan kisah cinta kasih sesama selesa amerta Ejawantah indah eunoia Elegi hening kepergian iring Kantata gulana bergema Litani lokananta syahdu bergema 55
Nayanika anak tercinta Mata berlinang sembab membisu Peluk tubuh membeku haru Sandyakala Lihatlah tetes airmata Dekap sukma ringkih Kuatkan tapak Tuntun arah kaki melangkah Lambaian hela tangan kian jauh menjauh seiring mentari tenggelam pergi Sentuhan suara lembut masih terngiang Lagu kenangan belum usai Sesak mengguncang dada terisak kelu Mengapa engkau tinggalkan aku? Aku masih rindu pangkuanmu Bintaro. 15.05.21. kareldhs #inmemorium 56
32. Ahmad Syafiq “72 Jam” Udara yang tampak hampa kini bernilai nyawa Nafas dengan diafragma kini perlu dihela Oksigen barang langka dihemat sekuat tenaga Catatan kehidupan dan kenangan migrasi entah kemana Masa depan apalagi, kami sedang memperjuangkan setiap jam menit dan detiknya Sekilas demi sekilas wajah-wajah orang tercinta mengintip di bulatan kecil jendela Tapi sekarang belum saatnya, kami hanya punya 72 jam saja Itupun hasil kalkulasi sederhana Mungkin malah kurang Tak mungkin lebih tanpa kemurahan yang Maha Kuasa Kebesaran semesta tenggelam dalam luasnya cakupan doa Hantaman di dada makin terasa Tekanan dimana-mana Di urat nadi, pembuluh darah dan juga kepala 72 jam entah sudah berkurang berapa Sampai sudah kami pada saat dimana kenangan adalah satu- satunya Harapan bagi doa yang kami lantunkan Kegelapan tak lagi bermakna Ia menjelma gerbang cahaya Bagi kami yang tetiba merasa ringan Saat bergandengan dengan 52 manusia Ksatria yang sedang mengukir nama 57
Pada dingin dasar samudera Ini adalah cinta, pasti cinta Dikirim oleh keluarga dan orang sedunia Perlahan kami terpejam, berat beban kami tak lagi rasakan. Hanya damai. Depok 28 April 2021 58
Search