Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Gempusta-UmarMansyur

Gempusta-UmarMansyur

Published by Iip Musrifah, 2020-12-07 06:41:34

Description: Gempusta-UmarMansyur

Search

Read the Text Version

GEMPUSTA: UPAYA MENINGKATKAN MINAT BACA1 Umar Mansyur Universitas Muslim Indonesia [email protected] Abstrak: Rendahnya budaya literasi di Indonesia masih menjadi masalah serius yang sedang dihadapi pemerintah. SDM Unggul, Indonesia Maju, sebagai visi presiden 2019-2024 seharusnya menjadi pemantik pemangku kebijakan di sektor pendidikan untuk menghasilkan inovasi peningkatan literasi dan minat baca masyarakat, terutama di era disrupsi sekarang ini. Minat baca yang tinggi bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan daya nalar, karena mampu mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Namun, strategi pengembangan minat baca yang dilakukan, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, belum memperlihatkan hasil yang maksimal. Secara umum, beberapa fakta menunjukkan minat baca masyarakat cenderung menurun. Suatu hal yang kontradiktif jika dibandingkan laju penggunaan internet yang trennya justru menaik. Sarana yang dapat meningkatkan minat baca sebagai sumber informasi belajar adalah perpustakaan. Hampir di semua lembaga pendidikan memiliki perpustakaan yang memadai dan malah tidak sedikit telah terakareditasi unggul. Oleh karena itu, diperlukan upaya memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan, salah satunya adalah Gempusta atau Gerakan Gemar ke Perpustakaan. Sebagai gerakan penyadaran kolektif yang mengajak masyarakat, terutama peserta didik dan guru/dosen, agar gemar ke perpustakaan dan mengintegrasikan proses pembelajaran dengan kegiatan-kegiatan literasi. Melalui Gempusta, peserta didik diberikan pembiasaan menjadikan perpustakaan sebagai sumber belajar dan sebagai pusat pengembangan minat baca bagi masyarakat secara luas. Kata kunci: minat baca; perpustakaan; gempusta PENDAHULUAN Sejarah mencatat bahwa peradaban umat manusia yang maju tidak dibangun hanya dengan mengandalkan sumber daya alam yang melimpah, melainkan dengan membangun sumber daya manusia yang literat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa dengan budaya literasi dan kecerdasan yang tinggi menunjukkan kemampuan bangsa tersebut dalam berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif, sehingga dapat memenangi persaingan global. Hal ini sejalan dengan tujuan dan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang tertera dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar tahun 1945, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbicara Sumber Daya Manusia (SDM), data yang dikeluarkan World Bank tahun 2018 menyebutkan kualitas SDM Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara. Di tahun yang sama, Business World juga memaparkan bahwa peringkat daya saing SDM Indonesia berada di ranking 45 dari 63 negara. Peringkat ini masih kalah dari dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, yang masing-masing berada diperingkat 13 dan 22. Maka dari itu, tema pembangunan SDM selalu menjadi tantangan yang besar bagi bangsa Indonesia. Pilihan strategi pembangunan yang berfokus pada pembangunan SDM sangatlah tepat, mengingat Indonesia saat ini berada dalam periode Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang menuntut SDM yang terampil dan unggul agar memiliki daya saing tinggi dan berkonstribusi dalam pembangunan bangsa (Sugiarto, 2019). Hal ini kemudian dijadikan dasar pencanangan visi presiden tahun 2019-2024 yang digaungkan pada 1 Disajikan pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia II (Narasi II) Himaprodi FBS UNM 2019 Tanggal 16–17 November 2019, Menara Phinisi UNM Makassar

peringatan HUT RI ke-74, yakni SDM Unggul, Indonesia Maju. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa fokus pemerintahannya di periode 2019-2024 ialah pembangunan SDM. Visi tersebut menjadi sangat penting sebagai langkah awal bagi kemajuan Indonesia dalam menciptakan lompatan-lompatan kemajuan. Oleh karena itu, semua pihak dan berbagai pemangku kepentingan harus saling bersinergi dan berkontribusi agar dapat mempercepat terwujudnya visi Indonesia Maju. Salah satu pondasi dasar menciptakan SDM Indonesia yang unggul adalah menumbuhkan budaya literasi dan minat baca di tengah masyarakat. Budaya literasi, khususnya baca-tulis, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, karena ilmu pengetahuan sejatinya dihasilkan melalui aktivitas membaca dan menulis. Di semua negara-negara maju juga memiliki budaya literasi yang tinggi, tidak hanya berlangsung di lingkungan pendidikan formalnya saja, melainkan sudah menjadi tradisi atau budaya dalam masyarakatnya. Literasi menjadi kunci bagi kemajuan suatu bangsa, karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diraih dengan memiliki kemampuan membaca yang tinggi, bukan dengan menyimak atau mendengarkan. Kemampuan berliterasi masyarakat, khususnya para peserta didik di lembaga pendidikan formal, tentunya berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang diharapkan berujung pada kemampuan masyarakat dalam memahami dan mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Sebuah kemampuan berpikir yang sangat diperlukan di era disrupsi saat ini dengan persoalan budaya literasi yang masih rendah. Persoalan rendahnya literasi di Indonesia merupakan masalah serius yang sedang dihadapi pemerintah. Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya telah meluncurkan berbagai program literasi di tengah masyarakat, seperti Gerakan Indonesia membaca (GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), serta Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun demikian, hingga saat ini, fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat tergolong masih rendah. Tingkat minat baca masyarakat menurut beberapa hasil survei juga masih menunjukkan fakta yang memprihatinkan. Suatu hal yang sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan laju penggunaan internet dan media sosial yang trennya justru semakin menaik. Tidak dapat dimungkiri bahwa pikiran yang kritis lahir dari kebiasaan membaca dalam mempertanyakan segala sesuatu. Sayangnya, hal seperti ini belum menjadi kebiasaan cara berpikir yang baik, karena tingkat literasi yang masih sangat rendah. Minat baca yang rendah mengakibatkan kemampuan berpikir kritis juga turut rendah, sehingga saat menerima beragam informasi akan sulit mencerna dan memilah mana informasi yang benar dan yang bohong. Atas dasar inilah penyebaran hoaks atau berita bohong sangat menjamur di Indonesia. Bagaimana tidak? Intensitas mengakses internet dan media sosial sangat tinggi, sementara budaya literasi dan daya berpikir kritis lemah. Di lingkup pendidikan formal, sejauh ini strategi pengembangan minat baca di sekolah ataupun perguruan tinggi memang belum memperlihatkan fungsinya dalam mengintegrasikan kegiatan pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya gemar membaca. Sementara, di semua perguruan tinggi memiliki perpustakaan yang memadai, dan malah tidak sedikit telah terakareditasi unggul. Di perpustakaan peserta didik dapat belajar secara mandiri dan memanfaatkan waktu luang karena tersedia bermacam-macam buku referensi dan sumber informasi lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan.

MENGINTIP MINAT BACA DI INDONESIA Minat dalam KBBI (2016b) diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu dengan gairah atau semangat. Sementara itu, membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang berkaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia. Sebagai keterampilan dasar yang dimiliki setiap orang, membaca menjadi penunjang kemampuan dasar manusia lainnya, yaitu menulis dan berbicara. Hal ini menandakan bahwa minat baca yang tinggi juga akan meningkatan kemampuan seseorang dalam menulis ataupun berbicara. Menurut Mansyur (2018) minat baca adalah tingkat kesenangan yang kuat karena adanya dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan membaca untuk memperoleh informasi, serta menimbulkan kesenangan dan manfaat bagi dirinya. Pada dasarnya, minat baca tumbuh karena adanya dorongan dari diri masing-masing. Namun demikian, lingkungan juga menjadi faktor utama tumbuhnya minat baca seseorang, sehingga untuk meningkatkannya perlu kesadaran setiap individu serta lingkungan yang mendukung. Berbicara mengenai minat baca, peringkat minat baca Indonesia berdasarkan World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya unggul dari Botswana, sebuah negara bekas jajahan Inggris yang terletak di Benua Afrika. Dibandingkan dengan negara- negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 36, diikuti Malaysia dan Thailand yang masing-masing di peringkat 53 dan 59 (Kompas, 2016). Empat tahun sebelumnya, tahun 2012, UNESCO pernah melansir data mengenai indeks tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 penduduk hanya terdapat satu orang yang memiliki minat baca. Secara khusus, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 menyajikan data bahwa pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain matematika dan sains) di tingkat sekolah menengah berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara yang berpartisipasi. Pada PISA tahun 2012 peserta didik Indonesia turun menjadi peringkat ke-64 dengan skor 396 dari skor rata-rata 496 (OECD, 2014). Dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah sejatinya belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat (Kemendikbud, 2016a). Sebenarnya budaya membaca di Indonesia memang bukanlah sebuah tradisi yang diwariskan nenek moyang. Indonesia juga relatif belum lama dinyatakan bebas dari buta aksara. Sistem pemerintahan penjajah tentu tidak memungkinkan masyarakat dapat membaca. Belanda baru membuka pendidikan formal untuk kaum pribumi setelah diselenggarakannya Politik Etisch. Itu pun hanya sebatas bagi kaum bangsawan saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Kasiyun (2015) bahwa budaya peninggalan nenek moyang pada umumnya adalah tradisi menyimak. Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, dapat bertahan semalam suntuk menyaksikan pagelaran wayang. Tradisi Macapat, sebuah buku dibaca seseorang dalam situasi tertentu dan disimak oleh orang. Tradisi kelahiran bayi juga dibacakan Serat Yusuf dan disimak oleh banyak orang. Karya tulis Mahabharata dan Serat Menak menjadi populer justru setelah diangkat ke dalam sastra lisan yang diperdengarkan dalam pagelaran wayang dan kentrung.

PERPUSTAKAAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR Di masa sekarang, sarana yang dapat meningkatkan minat baca masyarakat dan sebagai sumber informasi belajar adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan suatu unit kerja dari sebuah lembaga yang berupa tempat menyimpan koleksi bahan pustaka penunjang proses pendidikan yang diatur secara sistematis. Dalam KBBI (2016b), perpustakaan diartikan sebagai tempat atau gedung yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan. Menurut Zuliarso & Februariyanti (2013), keberadaan perpustakaan sangat diperlukan agar semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar tanpa batasan umur dan status sosial. Perpustakaan diharapkan menjadi pusat kegiatan pengembangan minat baca dan kebiasaan membaca. Perpustakaan mempunyai tanggung jawab besar terhadap peningkatan dan pengembangan minat dan kegemaran membaca. Akan tetapi, Nurbatra dkk. (2017) mengungkapkan bahwa keberadaan perpustakaan di Indonesia secara umum belum merata hingga ke tingkat satuan terkecil masyarakat. Penggunaan perpustakaan di tingkat kabupaten juga belum tentu dapat dimaksimalkan masyarakan yang masih memiliki tingkat minat baca yang rendah. Di lingkungan lembaga pendidikan, keberadaan perpustakaan seyogiayanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia pendidikan. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa standar sarana prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat olah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Jadi, perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat penting dalam menunjang proses pembelajaran. Dengan memanfaatkan perpustakaan secara maksimal, peserta didik diharapkan terbiasa dengan aktivitas membaca, memahami pelajaran, mengerti maksud dari sebuah informasi dan pengetahuan, serta menghasilkan karya tulis yang bermutu. Kebiasaan membaca buku yang dilakukan siswa ataupun mahasiswa akan meningkatkan daya nalar dan pola pikirnya dalam menjalani kegiatannya sehari-hari. Lantas, bagaimana kondisi kepustakaan dan perpustakaan di Indonesia? Menurut Sugihartati (dalam Jawa Pos, 2016) rata-rata buku yang diterbitkan di Indonesia mencapai 30.000 judul setiap tahun. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa peringkat perpustakaan Indonesia di tingkat dunia malah menunjukkan fakta yang menggembirakan karena berada di peringkat 36. Indonesia dalam pembangunan perpustakaan justru jauh di atas Korea Selatan (peringkat 42), Malaysia (peringkat 44), Jerman (peringkat 47), Belanda (peringkat 53), dan Singapura (peringkat 59). Atas dasar fakta mengenai kondisi perpustakaan di Indonesia tersebut, maka beberapa pihak sangat tegas membantah anggapan yang masih mengatakan bahwa minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Salah satunya dari Perpustakaan Nasional. Humas Perpusnas, Agus Sutoyo, mengatakan bahwa tiap hari ada sekitar 900 orang yang menyambangi perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi buku, membaca atau sekadar mendaftar menjadi anggota. Justru yang menjadi persoalan menurutnya adalah akses masyarakat terhadap bahan bacaan (Viva, 2014). Namun demikian, keberlimpahan buku-buku yang ada tidak mampu dijangkau dan dinikmati oleh masyarakat di daerah, khususnya bagi sekolah-sekolah di pelosok.

Demikian juga dengan sarana perpustakaan yang sudah memadai tadi justru masih tidak selaras dengan meningkatnya minat baca masyarakat. Meskipun jumlah perpustakaan yang dibangun semakin banyak, rupanya literasi masyarakat nyatanya juga belum meningkat. Terbukti dari beberapa survei yang telah dikemukakan di bagian awal, yang menunjukkan fakta bahwa minat baca di Indonesia masih rendah. Selain itu, pada umumnya perpustakaan kurang mendapat tempat di hati masyarakat atau kurang diminati (Rahadian dkk., 2014). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, tidak banyak peserta didik yang memanfaatkan waktu luang atau jam-jam pelajaran yang kosong untuk berkunjung ke perpustakaan. Terkadang perpustakaan dikunjungi oleh para mahasiswa hanya jika ingin menyelesaikan tugas akhir (skripsi), yang memang sangat memerlukan berbagai data dan informasi terkait penelitiannya. Selain itu, kadang juga para siswa berkunjung ke perpustakaan hanya jika gurunya berinisiatif memindahkan kegiatan pembelajaran di perpustakaan. Hal-hal tersebut semakin membuktikan bahwa perpustakaan belum mampu dimanfaatkan sebagai sarana dan sumber belajar. Jika buku-buku yang diterbitkan sudah cukup melimpah, sarana perpustakaan juga memadai, lantas apa yang salah? Mengapa minat baca masyarakat masih rendah? Dalam hal ini, penulis merumuskan beberapa faktor. Pertama, kualitas buku bacaan. Puluhan ribu buku yang diterbitkan setiap tahun rupanya masih belum mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Hal ini disebabkan sebagian besar buku-buku yang beredar tersebut membuat sebagian besar orang yang membacanya cenderung hilang selera karena kurang berkualitas. Buku-buku yang kualitasnya bagus jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan buku yang kualitasnya buruk. Bagi pembaca pemula, akan merasa malas membaca, contohnya, jika bahasanya sulit dipahami, sehingga yang ada malah muncul rasa bosan terhadap buku. Padahal, minat baca muncul salah satunya jika timbul rasa suka terhadap hal-hal yang melingkupi sebuah buku, seperti sampul yang menarik, judul yang provokatif, narasi isi yang tersaji secara memukau, ataukah hanya sebatas suka dengan sosok penulisnya. Kedua, harga buku yang berkualitas cenderung mahal. Harus diakui, di Indonesia, buku-buku yang berkualitas tinggi ataupun best seller yang dipasarkan di toko-toko buku dipastikan juga memiliki harga yang mahal. Meskipun seseorang memiliki minat untuk membaca tetap tidak akan terbaca karena ketidakmampuannya untuk membelinya. Sebenarnya masalah ini dapat teratasi karena di perpustakaan “yang besar” biasanya selalu meng-update dalam menyediakan buku, baik buku baru, buku langka, dan juga buku yang berkualitas bagus. Akan tetapi, perpustakaan yang besar itu tidak semuanya dapat diakses masyarakat karena hanya tersedia di kota-kota besar. Ketiga, minat baca telanjur rendah. Pada prinsipnya, sesuatu yang digemari juga pasti diminati. Jika memang masyarakat memiliki kegemaran dengan buku, pasti juga memiliki minat yang tinggi untuk membaca buku. Hal yang sederhana misalnya, ketika berkunjung ke mal bersama keluarga, adakah niat masuk ke toko buku? Pun jika masuk ke toko buku dan membeli buku, sudahkah menyelesaikan membacanya? Kapan terakhir kali ke perpustakaan? Belum lagi internet dan media sosial yang banyak menyita waktu, khusunya para remaja. Keempat, program-program literasi umumnya hanya seremonial. Hingga saat ini sudah banyak program literasi yang telah dicanangkan, baik oleh pemerintah maupun yang bersifat swadaya masayarakat. Contohnya, Gerakan Indonesia Membaca

(GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, terkadang program-program tersebut hanya dilaksanakan secara seremonial dan simbolis saja, seperti pemasangan poster-poster dan semacamnya, demi memenuhi indikator penilaian borang akreditasi, sebagai sekolah yang telah menerapkan program literasi pemerintah. GEMPUSTA (GERAKAN GEMAR KE PERPUSTAKAAN) Hampir di semua negara-negara maju memiliki budaya literasi yang baik. Tidak hanya berlangsung di lingkungan pendidikan formalnya saja, melainkan sudah menjadi kebiasaan dan budaya di dalam masyarakatnya. Minat baca menduduki posisi penting bagi kemajuan suatu bangsa, dan lembaga pendidikan turut berperan menumbuhkan minat baca peserta didik. Budaya membaca dan menulis semestinya sudah menjadi tradisi akademis di lembaga pendidikan. Untuk itu, di setiap sekolah dan perguruan tinggi berkewajiban menyediakan sarana perpustakaan yang memadai dalam menunjang peningkatan minat baca dan karya tulis peserta didik. Masih rendahnya budaya literasi masyarakat membuktikan bahwa proses pendidikan belum mampu mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan selama ini juga belum berfungsi sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Di sinilah peran perpustakaan, guru, dan dosen dalam memacu dan memotivasi peserta didik untuk gemar membaca dan produktif menulis. Sejauh ini, strategi pengembangan minat baca di sekolah dan perguruan tinggi memang belum memperlihatkan fungsinya dalam mengintegrasikan kegiatan pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya gemar membaca. Sementara, hampir di semua perguruan tinggi telah memiliki perpustakaan yang memadai. Mahasiswa dapat belajar secara mandiri dan memanfaatkan waktu luang di perpustakaan yang menyediakan beragam buku referensi dan sumber informasi lainnya. Ada beberapa gagasan penulis tawarkan sebagai upaya meningkatkan minat baca dan budaya literasi peserta didik dan masyarakat secara luas. Pertama, tanamkan gemar membaca sejak dini. Keterampilan membaca ataupun menulis bukanlah faktor keturunan, melainkan kebiasaan yang ditirukan dan dilakukan secara kontinu. Oleh karena itu, budaya membaca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini. Dalam hal ini, faktor keluarga memang sangat berperan penting. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan para orang tua yang sejak dini selalu menyisihkan waktu untuk melakukan aktivitas membaca bersama dengan anak. Sebaiknya anak-anak atau peserta didik juga diberi stimulan agar minat baca itu muncul dari dalam diri anak itu sendiri. Upaya meningkatkan minat baca anak dengan memaksa membaca buku sebanyak- banyaknya juga tidak akan efektif. Kedua, ciptakan lingkungan ramah buku. Minat pada hakikatnya dapat diubah, berubah, atau bahkan menghilang. Begitu juga dengan minat seseorang membaca buku juga dapat dibentuk, dapat menguat, melemah, atau bahkan hilang sama sekali. Minat baca akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah dengan buku. Terutama bagi para mahasiswa, sebaiknya bergaullah dengan orang-orang yang gemar membaca. Mulailah membeli atau meminjam buku yang disukai. Bacalah buku itu di waktu dan di tempat yang tepat. Selain itu, bagi peserta didik yang meraih prestasi di bidang literasi, sebaiknya diberi penghargaan dan memajang karya-karya

tulisnya di area sekolah. Dengan demikian, peserta didik akan termotivasi untuk gemar membaca dan produktif menghasilkan karya tulis karena merasa memiliki kesempatan memperoleh penghargaan. Ketiga, lembaga pendidikan harus berperan. Di lembaga pendidikan, guru, dosen, dan pustakawan berperan penting meningkatkan minat baca peserta didik dan masyarakat sekitar. Guru/dosen dan pustakawan tentu harus terlebih dulu memiliki minat baca yang tinggi. Keteladanan haruslah ditunjukkan kepada peserta didik dan masyarakat sekitar. Apabila guru/dosen dan pustakawan tidak memiliki minat baca yang tinggi, mustahil dapat diikuti oleh para peserta didik. Sekolah sebaiknya juga konsisten menentukan alokasi waktu untuk kegiatan-kegiatan literasi, seperti yang tertuang dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Selain itu, perguruan tinggi memiliki kewajiban menjalankan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian masyarakat. Para dosen dan mahasiswa dapat mengambil peran melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan cara merancang program-program kreatif dan inovatif yang bertujuan menumbuhkan budaya literasi dan minat baca masyarakat secara luas. Keempat, berkolaborasi melakukan inovasi kreasi literasi. Dalam mewujudkan masyarakat cerdas dan literat, semua pihak sebaiknya berkolaborasi dalam menjalankan program-program literasi yang inovatif dan dirancang secara kreatif. Pelaksanaan program-program literasi yang ada sebaiknya juga dijalankan secara kontinu dan komprehensif. Untuk itu, masing-masing pihak, baik keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum, harus mendukung gerakan literasi dalam mewujudkan masyarakat yang literat dan berkarakter sehingga adaptif terhadap perkembangan zaman. Kelima, memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Hampir di semua lembaga pendidikan telah memiliki sarana perpustakaan yang memadai. Maka dari itu, yang dibutuhkan tinggal memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan sebagai sarana dan sumber belajar peserta didik. Dalam hal ini, perpustakaan harus dijadikan sebagai wahana belajar yang menarik dan menyenangkan. Selain itu, pemanfaatan perpustakaan di sekolah dan perguruan tinggi harus diintegrasikan dengan kegiatan pembelajaran, khususnya bagi para guru dan dosen Bahasa Indonesia. Salah satu program yang dapat dilakukan adalah Gerakan Gemar ke Perpustakaan atau bisa disingkat GEMPUSTA. GEMPUSTA merupakan sebuah gerakan penyadaran kolektif untuk mengajak para peserta didik (siswa dan mahasiswa), guru, dan dosen agar senantiasa memiliki kegemaran beraktivitas di perpustakaan, sehingga perpustakaan menjadi pusat pengembangan minat baca dan kebiasaan membaca. Peserta didik harus dipahamkan bahwa perpustakaan merupakan sumber belajar yang penting dalam menunjang proses pembelajaran. Para pendidik, khususnya guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan dosen mata kuliah umum Bahasa Indonesia yang sangat relevan dengan keterampilan membaca dan menulis, sebaiknya merancang sebuah kegiatan pembelajaran yang tidak hanya berlangsung di kelas, tetapi juga dapat dilaksanakan di perpustakaan. Selanjutnya, pelaksanaan Gempusta juga sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan dan proses pembelajaran di kelas. Hal ini dilakukan agar waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan program tersebut tidak menganggu dari alokasi waktu kegiatan pembelajaran mata pelajaran lain yang telah terjadwal di sekolah maupun perguruan tinggi. Selain itu, dapat disusun beberapa format tugas yang menunjang kegiatan berkunjung ke perpustakaan dan kegiatan literasi penunjang lainnya yang dilaksanakan secara bersama-bersama.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam menjalankan program Gempusta, antara lain: 1. Melakukan kunjungan ke perpustakaan secara seremonial sebagai ajang bagi para pustakawan untuk tampil dalam memberikan penjelasan dan pemahaman kepada peserta didik mengenai fasilitas yang tersedia beserta fungsi dan manfaat yang dapat diperoleh. 2. Adanya kewajiban meminjam buku di perpustakaan, baik buku-buku yang relevan dengan materi pembelajaran maupun yang tidak relevan, dan menentukan tenggat waktu selesai membacanya, sehingga semakin menambah referensi dan wawasan pererta didik, dan pihak perpustakaan juga terbantu dengan ramainya lalu lintas peminjaman buku. 3. Memberikan tugas secara berkelompok untuk meresensi buku-buku yang berkualitas bagus yang ada di perpustakaan, kemudian memaparkannya secara bergantian di dalam kelas, sehingga dapat merangsang minat dan keinginan peserta didik yang lain untuk turut membaca buku tersebut. 4. Membuat tugas penulisan daftar pustaka dari berbagai jenis referensi yang ada di perpustakaan, seperti buku-buku, jurnal, majalah, karya tulis ilmiah, dan sebagainya, sehingga khasanah pengetahuan peserta didik mengenai sumber rujukan menjadi semakin beragam dan luas. 5. Kegiatan Gempusta harus didukung oleh pihak sekolah atau perguruan tinggi dan pengelola perpustakaan, sehingga pelaksanaannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Apalagi jika dilaksanakan tidak hanya pada pelajaran Bahasa Indonesia saja, tetapi juga pada pelajaran yang lain. Keberadaan sarana perpustakaan di lembaga pendidikan memang sangat penting karena kegiatan pembelajaran dapat berjalan efektif jika tersedia sumber rujukan. Para tenaga pendidik, khususnya guru/dosen Bahasa Indonesia, sebaiknya kreatif dan inovatif dalam mengorganisasi kegiatan pembelajarannya, seperti program Gempusta. Oleh karena itu, melalui perpustakaan, dengan segala sumber informasi yang ada di dalamnya akan sangat membantu para siswa dan mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan dan minat bacanya. Tentu saa tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan, serta demi terwujudnya visi pemerintah, yakni terbangunnya SDM Indonesia yang unggul, menuju Indonesia yang maju. PENUTUP Pengembangan budaya literasi di masyarakat menjadi kunci pembangunan SDM Indonesia, terutama di era disrupsi saat ini. Minat baca masyarakat yang tinggi dapat meningkatkan pemahaman dan daya nalar dalam mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Namun, strategi pengembangan minat baca yang dilakukan, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, belum memperlihatkan hasil yang maksimal untuk menjadikan semua warganya gemar membaca. Masih rendahnya minat baca di Indonesia tentu tidak semata-mata disebabkan sarana perpustakaan yang tidak memadai, melainkan karena minimnya kesadaran masyarakat mengenai peran dan fungsi perpustakaan. Maka dari itu, semua pihak sebaiknya menyosialisasikan pentingnya membaca agar intens berkunjung ke perpustakaan dan memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan sebagai sumber informasi. Selain itu, secara bersama-sama mengambil

peran dalam merancang program-program literasi yang kreatif dan inovatif. Salah satunya adalah Gempusta atau Gerakan Gemar ke Perpustakaan. Sebagai gerakan penyadaran kolektif yang mengajak masyarakat, terutama para peserta didik dan guru atau dosen, agar gemar ke perpustakaan dan mengintegrasikan proses pembelajaran dengan kegiatan-kegiatan literasi. Melalui Gempusta, peserta didik diberikan pemahaman dan pembiasaan untuk menjadikan perpustakaan sebagai sumber belajar yang penting dalam menunjang proses pembelajaran. Dengan demikian, perpustakaan dapat menjadi pusat pengembangan minat baca dan kebiasaan membaca bagi masyarakat secara luas. DAFTAR RUJUKAN Jawa Pos. (2016). Perpustakaan Banyak, Literasi Rendah. (https://www.pressreader. com/Indonesia/jawa-pos/20160414/281629599434194, Diakses 25 Oktober 2019). Kasiyun, S. (2015). Upaya Meningkatkan Minat Baca sebagai Sarana untuk Mencerdaskan Bangsa. Jurnal Pena Indonesia (JPI), 1(1), 79-95. Kemdikbud. (2016a). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. _________. (2016b). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kompas. (2016). Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia. (https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada. di.urutan.ke-60.dunia, Diakses 25 Oktober 2019). Mansyur, U. (2016). Bahasa Indonesia dalam Belitan Media Sosial: Dari Cabe-Cabean Hingga Tafsir Al-Maidah 51. In Prosiding Seminar Nasional & Dialog Kebangsaan dalam Rangka Bulan Bahasa 2016 (pp. 145-155). FIB Unhas. Mansyur, U. (2018 Maret 14). Mahasiswa dan Dosen UMI Serukan Gerakan Gempusta. Tribun Timur, 10. Mansyur, U. (2018). Korelasi Minat Baca dengan Kemampuan Menulis Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UMI. Multilingual: Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan, 17(1), 11-22. Nurbatra, L., Hartono, H., Wardani, A., & Masyhud, M. (2017). Peningkatan Literasi Masyarakat melalui Pengadaan & Pengelolaan Majalah Dinding di Taman Bacaan Masyarakat Wacan. Seminar Nasional Sistem Informasi (SENASIF), 1(1), 175-184. OECD. (2014). PISA 2012 Results in Focus. Programme for International Student Assessment, 1–44. http://doi.org/10.1787/9789264208070-en. Rahadian, G., Rohanda, & Anwar, R.K. (2014). Peranan Perpustakaan Sekolah dalam Meningkatkan Budaya Gemar Membaca. Jurnal Kajian Informasi dan Perpustakaan, 2(1), 27–36. Sugiarto, E. C. (2019). Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Menuju Indonesia Unggul. (https://setneg.go.id/baca/index/pembangunan_sumber_daya_manusia sdm_menuju_indonesia_unggul, Diakses 25 Oktober 2019). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Viva. (2014). Tersuruk karena Minat Baca Buruk. (https://www.viva.co.id/ indepth/sorot/570376-tersuruk-karena-minat-baca-buruk, Diakses 7 Oktober 2019). Zuliarso, E., & Februariyanti, H. (2013). Sistem Informasi Perpustakaan Buku Elektronik Berbasis Web. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, 18(1), 46–54.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook