0
1
“Kasih sayang itu tidak perlu diumbar-umbar, hanya perlu ditunjukkan.” 2
Prolog Gadis remaja yang bahkan terbilang sangat beruntung, hidup bagai seorang putri di kerajaan antah berantah. Kebahagiaan tentunya sudah menjadi bagian dalam dirinya. Tetapi mengapa kini ia terlihat duduk dengan wajah menangis. Air mata terus berlinang di pipinya, tidak ada tanda-tanda Bahagia sedikitpun. Kekayaan material tidak menjadi solusi bagi dirinya, bahkan bisa dibilang itu hanyalah suatu beban. Baik itu dalam kehidupan pribadi maupun bersosial. Hidup menyendiri telah menjadi bagian dari dirinya. Ia merasa bahkan orang tuanya terlihat tidak menginginkan keberadaannya itu. Padahal ia mencoba untuk menjadi gadis pintar, ia mencoba untuk mengganti penampilannya menjadi seseorang yang lebih sederhana dan tidak banyak meminta. Tetapi mengapa masih dan masih saja ia tidak dapat mengundang perhatian orang tuanya itu. Perlahan air matanya mengalir dengan begitu meyakinkan membasahi pipinya. Mengalir tanpa suara menyamai sunyinya rumah gadis itu. Kesepian kian menghantui pikiran gadis remaja itu. Dirinya berasal dari keluarga yang kaya akan material, akan tetapi hingga kini ia tidak tahu apakah orang tuanya benar-benar menginginkan kehadirannya atau tidak. Bermain dan bercanda-tawa Bersama orang tua hanya akan menjadi angan-angan gadis itu sejak kecil. Ia hanya berharap agar orang tuanya menyadari kehidupannya, ia ingin mempunyai keluarga yang normal. Apakah itu terlalu sulit untuk dicapai? Atau itu hanya dapat menjadi impian belaka serta menjadi suatu kecemburuan bagi yang memiliki hal itu? - Nadira Mila Angel – 3
1 KRIIING!!KRIIING!! Untuk kesekian kalinya alarm itu berbunyi berusaha membangunkan pemiliknya sejak dari tadi. Kamar yang luas dan lengang. Kamar yang terlalu luas untuk hanya seorang gadis remaja berusia 15 tahun. KRIING!! KRIING!! Lagi-lagi alarmnya berbunyi berusaha membuyarkan mimpi indahnya. Dengan berat dirinya membuka mata, mengerjap berharap ada suatu keajaiban. Tetapi seperti biasa, kedua orang tuanya telah hilang bagai ditelan bumi. Mengira masih jam setengah enam, dengan santai dia kembali menutup mata dan masuk ke dalam dunia mimpi. KRIIING!!! Lagi-lagi alarm itu berbunyi, bunyi yang begitu memekakkan telinga. Dengan berat hati, Adira perlahan menggerakkan tangan menggapai alarm itu dan mematikannya. “Meng-gang-gu saja.” “Lebih tenang.” Katanya perlahan tetapi memiliki makna mendalam. Kedua matanya telah sembab karena seharian menangis kemarin malam. Kini hal terburuk telah menungguku lagi, Sekolah. Adira kemudian meringkuk dan membungkus dirinya lagi dalam selimut. Adira memohon agar tidak ada yang menyadari dirinya masih ada di rumah, di kamarku menghindari hari ini. Dirinya berusaha untuk kembali ke dalam dunia mimpi. Tetapi lagi-lagi ada yang mengganggu. Tok! Tok! Tok! Ketokan pintu yang diakhiri dengan suara buka pintu yang dilakukan oleh pelayan rumah tanggaku. 4
“Non, sudah siang ini. Ayo bangun biar ke sekolah.” Katanya dengan sopan dan lembut. “Masih ngantuk aku, Mbok.” Jawab Adira yang telah mengenali betul suara orang yang membuka pintu. “Ayo sudah pagi loh non, nanti telat.” Serunya lagi. “Baiklah, Mbok.” Jawabnya sambil dengan malas meninggalkan kasur. “Memangnya sekarang jam berapa sih?” Dumelnya sambil melihat ke arah jam dinding di kamarnya yang ternyata sudah menunjukkan waktu setengah tujuh pagi . Kurang dari tiga puluh menit sekolahnya sudah bel tanda masuk. Hal itu benar-benar membuat Adira panik dan bergesa-gesa mempersiapkan diri. “Mbok, kok gak bangunin Adira sih?! Udah telat nih akunya.” Kata Adira dengan sedikit melampiaskan setiap kekesalan yang dia punya. Hal itu cukup merusak paginya. “Maaf neng, saya juga kesiangan bangunnya, abis semalem ada sinetron bagus banget, udah gitu cowoknya ganteng pula, neng” ujarnya dengan sedemikian polos. “Udah ah bosen dengerin sinetron mulu, kalo gitu mbok cepetan buatin Adira sarapan ya udah telat nih soalnya” balas Adira dengan cepat tanpa memedulikan hal lain yang dilakukan Mbok Asih. Langsung Adira menuju ke dalam kamar mandi. *** Adira tinggal di rumah yang terbilang besar sekali di tengah-tengah komplek yang cukup dikenal dengan isi rumah orang-orang kaya. Tetapi yang membedakannya adalah keluarga Adira adalah keluarga terkaya dan rumah terbesar di kompleks itu. Sebenarnya rumah ini adalah rumah lama mereka, rumah yang mereka tinggal kurang lebih saat Adira masih berusia 6 tahun. Tetapi itu sudah lama sekali dan banyak hal yang telah terjadi termasuk dengan renovasi rumah yang membuat rumah ini menjadi sebesar sekarang. Tak hanya itu, lahan yang dipakai juga bertambah. Dengan kata lain orang tua Adira membeli empat petak tanah yang seluas rumah lain, lalu menyatukannya menjadi satu seperti sekarang ini. Dalam rumah ini, orang tua Adira membayar begitu banyak orang untuk bekerja sebagai pelayan. Lalu menyewa beberapa sopir sesuai 5
keperluan masing-masing. Kurang lebih tiga, satu untuk Ayah Adira, satu untuk Ibu Adira, dan satu khusus untuk Adira. Lalu ada juga Mbok Asih yang tadi membangunkan Adira. Mbok Asih dulunya pelayan rumah di keluarga Ibu Adira. Kemudian setelah Ibu Adira menikah, ibu Adira meminta Mbok Asih untuk tinggal bersamanya. Mbok Asih adalah satu-satunya orang yang disayangi dan mengerti segalanya tentang Adira ketimbang kedua orang tuanya yang lebih memedulikan karier dan pekerjaannya. Karena seperti biasa kedua orang tuanya pada saat ini telah berada di depan laptopnya masing-masing di ruangan dan kantor yang berbeda, pastinya. Hari ini adalah hari pertamanya bersekolah di Jakarta. Untung sekali Adira pindah dua minggu setelah awal tahun ajaran. Ini menjadi kali kedua ia pindah sekolah setelah menjadi seorang anak SMA karena pekerjaan ibunya yang selalu saja berpindah-pindah. Ibu adalah seorang pengacara cukup terbilang papan atas. Sedangkan ayah, pekerjaannya selalu memaksa dirinya bepergian Tetapi ayah selalu saja pergi sendiri. Ayah adalah seorang pengusaha, perusahaan yang dia punya berada di berbagai wilayah di dunia. Adira dengan keduanya bertemu saat mereka baru memulai karier masing-masing. Ibu sempat membantu ayah dalam masalah sebagai seorang pengacara, hingga keduanya akhirnya menuju ke jenjang lebih serius. Hanya saja entah mengapa setelah Adira lahir hubungan keduanya sedikit melebar. Apalagi keduanya terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sekarang ayah sedang bisnis di luar negeri. Ada masalah yang terjadi di cabang perusahaannya di Australia. Tetapi keduanya telah berjanji bahwa ini klai terakhir mereka pindah. Janji kata mereka. Hal itu tidak membuat Adira takut atau kagok, karena dirinya sudah pernah tinggal di sini sebelumnya. *** 10 menit kemudian. Adira telah terlihat siap dengan seragam barunya. Ia telah terlihat rapi dengan rambut yang terikat kuat ke belakang dan juga tidak lupa kacamatanya. Ia juga telah siap dengan tas bawaannya dan segala perlengkapannya. 6
Langkah demi langkah Adira menuruni tangga rumahnya dari kamarnya di lantai dua ke lantai dasar. Sampai di lantai dasar, Adira mengebut berlari ke arah dapur. “Mbok, sarapannya sudah belom? Laper sudah Adiranya!” Seru Adira bertanya. “Sudah sudah, neng.” Kata Mbok Asih memberikan sepotong roti bertaburan meses cokelat kepada Adira. “Ini juga bekal buat hari ini.” Katanya lagi memberikan kotak makan. “Makasih, Mbok” balas Adira memakan sarapannya sambil mulai berjalan menuju ke arah garasi tempat mobil diparkirkan. “Neng, kok gak digerai sih rambutnya, rambutnya neng kan bagus biar kayak di sinetron-sinetron sudah” Tanyanya dengan polos diakhiri dengan cekikikan. “Ciih, boro-boro dibilang cantik nanti malah dibilang kayak kuntilanak” Ujar Adira dengan memutarkan bola mata kesal. ‘Selalu saja Mbok Asih menghubungkan segala sesuatunya dengan sinetron yang seringkali ia tonton.’ Pikir Adira. Ia berjalan menuju ke garasi mobil, muncul seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi yang sedang memberi respek kepada Adira. “Selamat pagi, Nona Adira. Apakah sudah sudah siap berangkat?” Sapanya kepada Adira. Lalu dibalas dengan anggukkan Adira. “Akan lebih baik jika sudah menunggu di depan pintu depan rumah.” Katanya sedang mempersiapkan mobil. “Baiklah.” Jawabnya meninggalkan pria itu menuju ke pintu depan. Cukup beberapa waktu saja untuk mempersiapkan mobil. Pria itu mengendarai mobil menjemput Adira yang telah berdiri dan siap ke sekolah. Dengan langkah yang berat, dirinya menginjak mobil yang biasa mengantarnya ke sekolah. *** ‘Akankah semuanya baik-baik saja nanti? Aku takut orang-orang akan mendekatiku karena mengenal orang tuaku. Lalu mereka akan menjauhiku karena personality-ku yang sangat introvert.’ Pertanyaan itu telah menghantuinya sejak kemarin malam yang membuatnya susah sekali tidur nyenyak dan hampir membuatnya telat pagi ini. 7
Ketakutan selalu menghantui diri Adira. Hari ini ia memulai langkah baru lagi bersekolah di SMA Cahaya Bangsa. Sekolah yang terbilang sebagai sekolah favorit dan unggul. Sekolah yang hanya diisikan oleh murid- murid yang kaya atau pintar. Entah mengapa di posisi itu Adira termasuk ke dalam keduanya. Padahal kenyataan itulah yang sebenarnya membuat hidupnya susah. Adira hanya ingin orang-orang mengenalnya hanya karena dirinya sendiri. Lalu tetap bersedia berteman dengan dirinya yang sangat susah menjalin hubungan pertemanan. *** Sepanjang perjalanan Adira terus saja termenung melihat keluar jendela. Dia terus saja menghelakan napas secara kasar. Kalau saja dia dapat memilih, Adira ingin sekali ikut program homeschooling. Jalanan sudah ramai akan para pengendara mobil. Mereka yang berdesakan untuk pergi menjalankan urusannya. Banyak anak juga terlihat berusaha dengan cepat masuk ke sekolah agar tidak terlambat. Setelah mengendarai mobil selama lima menit. Sekolah Adira telah terlihat terbangun kokoh begitu besar dan yang pasti lebih besar dari rumah Adira. Mobil yang dikendarai Adira telah berada di depan gerbang sekolah. Perasaan takut kembali menghantui pikiran Adira, sehingga membuatnya terpaku diam menatap keluar. “Nona Adira, sudah sampai sudah” seru supir Adira yang membuyarkan lamunannya. “Oh, iya pak, makasih ya pak” kata Adira. Dengan berat hati dirinya melangkah keluar mobil. Dirinya melangkah dengan berat dan perlahan. Tiba ia sudah mencapai di tengah- tengah sekolah bel sekolah berbunyi dengan nyaring memekakkan telinga. Bel yang juga menghancurkan seluruh blok-blok geng yang ada di situ. Adira tetap mencoba sekuat tenaga melanjutkan langkahnya sambil ditatap dengan berbagai maksud oleh para siswa yang lain. Menakutkan. Sekali lagi, Adira teringat dan merasa takut kejadian selama kejadian-kejadian selama beberapa tahun terakhir akan terulang kembali. Mereka, teman sekelas Adira yang lama hanya terus mengatakan ‘Adira, kamu pinter deh, boleh nyontek gak’ ada juga ‘kan Adira baik, pinjem bukunya ya’ dan pada akhirnya mereka hanya memanfaatkan Adira. 8
Adira menuju tempat administrasi, mendaftar ulang dirinya. Ruang guru terlihat sepi, guru-guru telah pergi ke ruang kelasnya masing-masing dan sudah mulai belajar. Ruang guru yang sangat luas. Tentunya luas, terutama karena ini termasuk ke dalam sekolah favorit Setelah selesai mendaftar ulang, salah seorang guru datang menghampiri Adira. “Siapa nama panggilanmu? Nadira atau mungkin yang lain?” kata pak guru dengan penuh senyuman. “Biasanya di rumah saya seringkali di panggil Adira, Bapak boleh panggil saya Nadira jika bapak mau” jawab Adira memberikan senyuman termanisnya membalas bapak guru itu. “Nama saya Pak Tian, saya akan mengajarmu di pelajaran matematika, kamu akan berada di kelas 10IPA – 4, kelasnya berada di ujung lorong ini.” Katanya lagi dengan ramah dan senyum yang tak henti terpampang di wajahnya. Mereka berdua berjalan menuju ujung lorong, terdengar suara riuh kelas dari jauh. ‘Pak Tian terlihat seperti guru yang baik’ ‘Dan aku pikir kelasku akan menjadi tempat yang berisik.’ Pikirnya dalam hati. Sekarang Adira dan Pak Tian telah berada di depan kelas 10IPA – 4. Terdapat kertas yang tertempel di depan pintu. Tertulis nama-nama siswa sesuai dengan huruf alpabet. Ternyata itulah adalah daftar nama kelas yang akan dimasuki Adira. Ada satu nama yang terlihat familiar ‘Nathalia Anggita Mawar’. “Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.” Serunya dengan suara yang superkecil. “Bapak harap kamu sudah siap untuk perkenalanmu nanti.” Serunya membuka pintu kelas dengan perlahan, tetapi dengan meyakinkan. “Selamat Pagi anak-anak, pagi hari ini kita kedatangan anak baru, silahkan masuk, Adira.” Serunya menghentikan seluruh keriuhan kelas dan menjadikannya pusat perhatian. “Pagi pak!” Seru anak-anak dengan kompak. Adira perlahan masuk ke kelas. Murid yang lain benar-benar menaruh perhatiannya ke arah Adira. “Halo.” Seru Adira pelan. “Silakan perkenalkan nama lengkap, panggilan, tanggal lahir, umur, tempat tinggal, dan hobi.” Ujar Pak Tian sekali lagi memberi instruksi perkenalan bagi Adira. 9
“Nama saya Nadira Mila Angel, biasanya Adira, saya lahir pada tanggal 20 Desember 2005, umur saya 15 tahun, saya tinggal di Perumahan Melati jalan Primasari sudah. 17, dan hobi saya membaca buku, mohon bantuannya semua.” Jelas Adira dengan panjang lebar di depan seluruh anggota kelas 10IPA-4. “Adira, kamu boleh duduk di sebelah Thalia.” Ujar Pak Tian sambil menunjukkan ke salah satu tempat duduk yang kosong di sebelah seorang gadis remaja yang bernama Thalia. Lalu Pak Tian pergi meninggalkan kelas dan kelas kembali riuh seperti sebelumnya lagi. ‘Dari kelihatannya sepertinya dia anak yang popular.’ Pikirnya. Adira lalu berjalan ke arah tempat duduk yang telah ditunjuk oleh Pak Tian tadi. “Hei anak baru, rumahmu itu yang paling besar itu kan?” Tanya seorang anak laki-laki yang langsung saja menghampiri meja Adira. Kemudian dengan sedikit menunduk Adira membalas pertanyaan itu dengan anggukan kecil. “Gila sih, rumah lo itu gede banget.” Serunya lagi. “Oh, rumah gede itu.” “Oh, yang itu gue juga tahu itu, gila sudah gede banget rumahnya. Itu beneran rumah lu?” “Rumah lu itu?” dan semua pertanyaan yang sama terulang terus- menerus. Adira hanya membalas semua pertanyaan itu dengan anggukan dan menghela napas panjang berharap semua ini segera berakhir. Hampir setiap saat teman barunya melontarkan hal sama berulang kali, semua yang hanya berhubungan dengan rumah dan kekayaan. Benar-benar menyebalkan. *** “Adira, lo tidak ingat sama gue?” Kata seorang perempuan yang duduk tepat di sebelahnya tiba-tiba. Dengan segera Adira memerhatikan murid cantik itu dan mengupas setiap memori yang ada di dalam benaknya. Seketika terlukis wajah seorang anak kecil yang tersenyum manis kepadanya. Lalu beberapa detik kemudian Adira berkata “Anggi!”. Cukup mengejutkan bagi Adira bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang harus dia tinggalkan karena tugas ibunya yang mengharuskan Adira sekeluarga pindah. Adira langsung saja mendaratkan 10
pelukan hangatnya kepada Anggi. Tapi bukannya balas memeluk Adira, gadis itu langsung melepaskan diri dari pelukan Adira. “Kita ngomongnya sudah gue-lo sudah ya, dan tolong panggil gue Thalia sudah” katanya dengan raut wajah yang sedikit berubah setelah Adira kembali memanggilnya dengan sebutan ‘Anggi’. “Oh, Baiklah” Kata Adira yang sedikit merasa kaget karena Thalia tidak seperti dirinya yang dulu yang suka sekali berpelukan bersama. *** Adira dan Thalia pertama kali bertemu saat keduanya berusia 6 tahun. Keduanya baru saja memulai jalan baru mereka sebagai murid SD. Mereka masuk di sekolah yang sama dan berakhir di kelas yang sama juga. Pertama kali mereka berdua berbicara adalah saat kelas mereka sedang bermain di taman sekolah. Adira dan Thalia saat itu sedang bermain di tempat yang berbeda. Thalia di kerumuni oleh banyak orang, banyak teman sekelasnya yang senang dengan keberadaan Thalia. Sedangkan di sisi lain, Adira hanya seorang diri memainkan ayunan serta mainan yang ia bawa dari rumah. Mainan itu adalah mainan kesukaannya sejak kecil, yaitu Barbie. Tetapi yang yang membuatnya berbeda adalah Barbie milik Adira dikenal sebagai limited edition export. Karena hal itulah, Adira dan Thalia mulai dekat. Apalagi hampir setiap orang tua Adira tidak ada di rumah, Adira akan pergi untuk bermain bahkan menginap di rumah Thalia. Banyak orang yang benar-benar mengira mereka teman baik. Sampai dibilang kembar terpisah, begitulah sebutannya. Lalu dua tahun berjalan dengan lancar, pekerjaan ibu Adira berada di ambang kegagalan. Hal itu mengakibatkannya keharusan ibu Adira untuk mengambil pekerjaan dimanapun dan kapanpun itu. Karena itu tepat di saat Adira naik ke kelas 3 SD, Adira dan ibunya harus pergi meninggalkan Thalia. Tetapi entah mengapa tanpa ia sadari senyum yang Thalia berikan kepada Adira berbeda dengan senyum-senyumnya yang sebelumnya. Senyumannya seperti memiliki maksud tertentu. Tetapi ia tidak peduli akan hal itu. Kesenangan telah melanda di hati Adira. Ia berpikir semua akan sangat menakutkan untuk mengulang kejadian itu ke empat kalinya. Ia kembali menghembuskan napas lega. ‘Seperti kali ini akan menjadi lebih baik.’ Pikirnya kemudian. 11
2 “Hei! Kalian malah teriak-teriak berisik. Kalian tahu tidak itu mengganggu pelajaran kelas lain!” Seru seorang guru berteriak dari pintu kelas. Tanpa disadari kelas Adira benar-benar menjadi pusat masalah di pagi ini. Ternyata guru yang menjadi pengajar di pelajaran pertama tidak datang, dan seharusnya ketua kelas meminta tugas dari guru-guru yang masih ada di ruang guru. “Hee…Menyebalkan sekali sih, Pak Geri.” Desah seorang gadis yang duduk di bangku depan Adira. “Dia itu guru sejarah. Nanti kita juga akan mendapat pelajarannya. Gue kasih tahu sudah ya, Pak Geri itu guru yang galak banget. Pokoknya guru killer deh.” Seri gadis itu lagi kini kepada Adira sambil membalikkan ke belekang. Satu jam penuh kelas Adira tidak didampingi oleh siapapun guru. Untuk tiga puluh menit kelas Adira memang terbilang dia karena harus mengerjakan tugasnya. Tetapi setelah itu mereka kembali ditegur oleh salah satu guru lain yang beruntung sedang berada di dekat situ. “Adira, kamu ngerti pekerjaan ini gak?” Tanya Thalia tiba-tiba. “Eh, iya. Aku sudah belajar beberapa hari yang lalu sendiri. Jadi kurang lebih aku bisa mengerjakannya sekarang.” Jelas Adira. “Oh, Gue gak ngerti sama sekali sudah, boleh kerjain bareng gak?” Tanya lagi dan langsung menarik kursi ke arah meja Adira tanpa menunggu jawaban Adira. “Eh, iya boleh.” Jawab Adira kecil. 12
Tanpa disadari hal yang terlihat adalah hanya Adira yang mengerjakan, sedangkan Thalia hanya menunggu jawaban dari Adira. KRIIING!!! KRIIING!!! Bel tanda memasuki jam istirahat. Adira masih belum terbiasa dengan suasana baru ini ingin tetap tinggal dan makan sendirian di kelas. Diirnya memakan bekal yang telah dipersiapkan oleh Mbok Asih. Setiap teman sekelanya telah berhamburan pergi entah kemana. Dengan sedih hati, Adira melahap bekalnya. Sekalipun dirinya tak memiliki nafsu makan, ia harus tetap mengisi perutnya yang kosong itu. Kelas hanya diisi oleh beberapa siswa saja, itupun juga mereka berkumpul ber-geng. Keribut para siswa yang lain berlalu-lang di lorong begitu terdengar dari ujung sampai ujung. Semua itu bertahan selama dua puluh menit kedepan. Tetapi lagi-lagi Adira kembali menghela napas panjang. *** KRIIING!!!KRIIING!!! Istirahat telah selesai semua murid yang beradi di lorong berdesakan masuk ke kelasnya masing-masing. Begitu pula dengan teman- teman Adira yang sudah mulai duduk di bangkunya masing-masing. Kini guru-guru telah memasuki kelasnya masing-masing. Kelas Adira mendapatkan giliran Bu Renata, guru bahasa inggris. ‘Selamat pagi anak-anak.” Sapanya riang mengelilingi kelas. “Oh, sudah pasti anak baru itu. Halo saya Ibu Renata, kedepannya saya akan mengajar bidang studi Bahasa Sudah. Oh iya, perlu diingat saya tahu siapa kedua orang tua sudah, tetapi tolong jangan coba-coba menjadikan diri orang tua sudah sebuah tameng persembunyianmu.” Katanya tegas berkenalan dengan Adira. Langsung Adira berdiri dari tempat duduknya dan sedikit menundukkan kepalanya. “Halo bu, nama saya Nadira Mila Angel, biasa dipanggil Adira.” Jawab Adira tegang dan kemudian duduk kembali. “Siapa pula yang mau berlindung di bawah sayap mereka itu. Mereka bahkan tidak peduli dengan keberadaanku dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Itu pula yang aku ingin hilangkan dari kehidupanku.” Dumel Adira kecil. 13
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar bagaimana susunan membuat laporan percobaan menjadi sebuah makalah Bahasa Sudah.” Katanya kemudian. “Karena itu, saya mau kalian bekerja berdua-dua dan melakukannya di rumah, saya akan memilihkan partner-partner kalian.” Lanjutnya yang kemudian dibalas dengan desahan pasrah anak-anak karena partner mereka akan dipilih oleh Bu Renata. Setelah kira-kira lima menit Bu Renata telah membuat satu kelas yang berisi tiga puluh anak menjadi lima belas kelompok. “Kelompok 1 Maddy dan Edward, kelompok 2 Annie dan Kevin, Kelompok 3 Adrien dan Stephanie, Kelompok 4 Caleb dan Rebecca...dan terakhir kelompok 12 Nathalia dan Nadira.” Katanya setelah membagi semua siswa sama rata. Thalia tersontak kaget mendengar namanya disebut bersamaan dengan nama teman masa kecilnya itu. Merasa tak terima, tapi apa boleh buat Bu Renata adalah seorang yang berpegah teguh atas apa yang telah ia katakan. “Saya ingin kalian menganalisis masalah yang terjadi sekarang- sekarang ini yang mudah saja, seperti anak-anak yang banyak menghabiskan waktu bermain gadget dibandingkan lingkungan sekitarnya, atau remaja yang harus berhenti sekolah karena untuk membantu kehidupan finansial keluarga, atau bisa juga perbedaan kepedulian orang tua antara anak dan karier-nya. “Pilihlah masalah yang apa saja, cari tahu latar belakang mengapa masalah itu terjadi, apa yangmenjadi dampak. Perlu ditekankan dampak yang kalian tulis beritahu-lah dari sudut pandang apa kalian melihat dampak itu dirasakan. Lalu lakukanlah sebuah research berikan fakta dan argument kalian mengenai masalah yang kalian bawakan. “Kemudian berilah tanggapan kalian kedepannya, apa yang harus dilakukan dan dari sudut pandang apa kalian gunakan untuk mennyelesaikannya. Beri kesimpulan di akhir halaman. “Pengumpulan akan saya tepatkan sebulan dari sekarang. Saya harap sudah mengerjakannya dengan sepenuh hati. Perlu saya tekankan makalah ini akan saya gunakan untuk mengisi tiga nilai, pertama nilai proyek, kedua nila portofolio, danyang ketiga nilai ulangan. Gunakan kata-kata yang baik dan benar. Jika ada pertanyaan tanyakan setelah selesai sesi pembelajaran ini. Itu saja dari saya. Ayo kita berlanjut ke materi kita sebelumnya.” Jelas Ibu Renata panjang lebar. Pelajaran Bahasa Sudah di mulai setelah penjelasan yang begitu panjang dari Ibu Renata. Dua jam penuh kelas Adira diisikan oleh pelajaran 14
ini. Suasan yang begitu tenang dan sepi. Atau bisa dibilang menguji adrenalin, terlihat dengan jelas setiap anak tidakberani menyahut satu katapun pada jam pelajaran ini. Menakutkan. KRIIING!!! KRIIING!! Waktu berjalan begitu lama untuk berganti dari pelajaran Bahasa Sudah ke pelajaran matematika. Seperti yang sudah dibilang tadi pagi, Pak Tian-lah yang akan mengajar pelajaran itu. Pelajaran matematika berjalan dengan baik. Sesuai dengan prediksi Adira, Pak Tian adalah orang yang dikenal guru muda yang kekinian dan memiliki cara mengajar yang seru, tidak lupa murid yang lain selalu bilang Pak Tian termasuk ke dalam guru yang sangat-sangat-lah baik. *** KRIING!! Bel pulang sekolah telah berbunyi. Seruan murid menggelagar sepanjang lorong. Waktu berjalan dengan cepat hingga akhirnya waktu pulang sekolah tiba. Seluruh siswa telah mempersiapkan barang bawaannya dan bersiap-siap untuk pulang. Beberapa diantara mereka sedang membicarakan tentang tugas bahasa inggris dari Bu Renata. Sedangkan tak terjadi apapun antara Adira dan Thalia. Membutuhkan selang beberapa waktu hingga akhirnya Thalia memutuskan untuk memulai percakapan diantara mereka. “Dir, kita sudah sudah tugas bahasa inggrisnya? Kerjain di rumah lo sudah dong, okay?” tanya Thalia dengan mencoba menarik tangan Adira. “Okay.” Kata Adira dengan anggukan yang sedikit terlihat kaku. “Sekarang sudah ya, biar lebih cepat sudah selesainya.” Ujarnya lagi. Mereka berdua jalan berdampingan di lorng. Beberapa siswa yang lain sibuk melihat ke arah Adira dan Thalia. Entaha apa yang menjadi Adira pusat perhatian lagi.Lalu ada seseorang yang membisikkan sesuatu yang cukup terdengar sampai ke telinga Adira. “Dia bukannya anak yang tinggal di rumah gede itu yaa?” “Oh, dia yang orang kaya banget itu ya.” “Gue sering denger itu tentang dia.” “Gue denger dia sering pindah-pindah sekolah karena kerjaan orang tuanya.” Dan semua bisikan yang lain, baik itu dari anak seangkatannya atau dari kakak kelasnya. 15
Adira berharap untuk dapat setidaknya me-nonfungsi-kan telinganya untuk sementara waktu, agar tidak mendengar ocehan orang- orang. *** Mereka berdua telah tiba di area depan sekolah. Seperti biasa mobil milik Adira telah siaga sejak lama di depan sekolah. Pria paruh baya yang telah menyupirkannya telah menunggu di samping mobil. “Nona Adira, selamat siang.” Sapanya tersenyum. “Selamat siang, apakah bapak sudah menunggu lama tadi?” Tanya Adira. “Tidak apa-apa nona.” “Oh, apakah sudah akan membawa teman sudah ke rumah hari ini?” Tanyanya kemudian, dan lalu menunjukka ke araha Thalia yang kemudian dibalas anggukan oleh Adira. “Dir, gue ikut sama lo ya. Biar langsung kita ke rumah lo ngerjain tugasnya.” Seru Thalia yang lagi-lagi tidak menunggu jawaban Adira. “Baiklah nona-nona, silakan masuk.” Kata pak sopir itu membukakan pintu kepada Adira dan Thalia. “Tidak usah susah-susah membukakan pintu, aku bisa membukanya sendiri pak.” Kata Adira. Tetapi pak sopir itu hanya tersenyum sebagai balasan atas pendapat Adira itu. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian mobil Adira-pun meluncur ke jalan raya dan hening menyelimuti seluruh bagian mobil. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara Adira dan Thalia. Adira hanya melihat-lihat jalan, sedangkan Thalia sibuk dengan handphone-nya sedari tadi. Perjalanan dari sekolah ke rumah hanya membutuhkan waktu lima menit. Jalanan tidak begitu ramai danpadat, kebanyakan orang masih sibuk di depan laptop mengurusi masalah perkantoran masing-masing. Mereka telah sampai di depan gerbang rumah Adira. Gerbang yang tingginya melebihi tinggi 3,5 meter. Entah alsan apa yang digunakan orang tua Adira untuk membuat gerbang setinggi itu. Seperti biasa pak sopir tentu harus membuka jendela mobil dan menyapa para penjaga gerbang. Hingga akhirnya gerbang rumah Adira lalu terbuka. 16
Butuh waktu lagi untuk benar-benar sampai di depan rumah Adira. Hingga akhirnya pak sopir turun dan membukakan pintunya kembali untuk Adira dan Thalia. Setelah turun, Adira masih berterima kasih kepada sang pak sopir, sedangkan Thalia langsung saja masuk ke dalam rumahnya seperti menjadi seorang pemilik rumah sebenarnya. Beberapa menit Adira mempersiapkan perlengkapan untuk kerja kelompoknya, akhirnya mereka memulainya. Adira memutuskan untuk memakai salah satu kamar baca di lantai dasar. Kamar itu dilengkapi dengan dua komputer dan jaringan internet yang hanya khusuh untuk kamar itu saja. Tetapi Adira tetap membawa laptop miliknya sendiri. Memang awalnya mereka mengerjakannya bersama, tapi itu hanya berjalan selama dua puluh menit ke depan. Selanjutnya hanya Adira yang terus-menerus berada di depan laptop menulis berbagai macam kata-kata untuk makalah. Lalu di sisi lain, Thalia dengan santai memainkan kembali laptopnya. Sekatar dua jam kemudian, tugas mereka sudah setengah selesai berkat buatan Adira. “Anggi, sudah aku sudah ngerjain dikit tugas inggris kita. Masih ada setengah lagi sih, tai kita lanjutin kapan-kapan ya.” Kata Adira dengan semangat. “Plis deh, jangan panggil gue ‘Anggi’ lagi gue bilang, inget dong Adira.” Katanya dengan nada yang terdengar sedikit ketus. “Maaf Thalia, hanya saja aku belum terbiasa dengan hal itu. Setengahnya maukah kamu melakukannya?” Tanya Adira selembut mungkin agar memperbaiki suasana menegangkan ini. “Adira sayang, gue sama sekali enggak bisa beginian. Nanti lo sudah deh yang sudah terus gue yang print tugasnya. Setujuh ya!” Serunya. “Em…Baiklah kalau begitu, Ang- Thalia maksudku” Kata Adira dengan cepat meralat panggilan teman masa kecilnya ini. Kini dirinya menyadari, teman masa kecilnya ini bukanlah yang seperti dulu lagi. ‘Dia telah berubah, begitupun dengan diriku.’ Pikirnya kemudian. Jam kayu berbunyi kencang menunjukkan sudah pukul lima sore menandakan bahwa Thalia sudah harus balik pulang. “Gue boleh gak dianterin sama sopir lo yang tadi itu? Sudah malem sudah, ya!” Tanyanya. “Eh, gak sudah deh.” Balas Adira. “Ayo dong, gak asyik ah.” Katanya lagi. 17
“Em, yaudah deh.” Jawab Adira kemudian dan segera pergi sebentar untuk memberitahu sang pak sopir. Thalia kemudian membereskan semua barang bawaannya, mulai dari handphone, changer, earphone, dan hal yang lain yang sebenarnya tidak berkepentingan dengan kerja kelompok ini. Adira kemudian mengantar Thalia sampai ke depan pintu rumahnya, di sana pak sopir yang tadi sudah menunggu. “Makasih, sahabat gue yang paling pinter dan juga paling baik.” Katanya yang mengejutkan Adira karena Thalia juga melayangkan sebuah pelukan hangat kepada Adira. “Em… Sama-sama. Hati-hati di jalan.” Balas Adira kaku. “Oh iya, mulai besok lu harus mulai ngomong sama gue pakai sebutan lo-gue. Gak jaman sudah yang namanya aku-kamu di usia segini.” Katanya lagi dan melambaikan tangan masuk ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian mobil itu telah hilang keluar dari wilayah besar rumah Adira. Kemudian Adira masuk ke dalam rumah dan suasana menjadi seperti semula. Sunyi. Tidak ada yang yang menyenangkan untuk di lakukan. Begitu pula tidak ada siapaun yang dapat diajaknya untuk berbincang. Semua masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Lagi-lagi dan entah sudah keberapa kalinya Adira menghelakan napas panjang dan menuju ke kamarnya di lantai dua. KLIK! Bunyi kunci pintu terdengar, dengan gontai Adira berjalan ke arah kasur dan menghempaskan dirinya. “Hari yang begitu melelahkan.” Katanya pelan. 18
3 Keesokan harinya, semua masih sama-sama saja. Tidak ada yang berubah. Ibunya sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi. Dirinya tidak mau diganggu oleh siapa pun saat ia bekerja. Ibu Adira hanya akan keluar jika ia merasa lapar. Lalu dengan ayahnya, kabar terakhir yang ia berikan bahwa dirinya belum dapat pulang dalam waktu dekat. Untuk di sekolah tidak ada hal menarik lainnya terjadi juga. Adira pindah setelah beberapa bulan awal masuk tahun ajaran baru. Hal itu menyebabkan Sebagian temannya sudah terbiasa satu sama lain. Dengan kata lain mereka sudah memiliki perkumpulannya masing-masing. Banyak anak yang juga penasaran dengan keberadaan Adira. Baik itu kakak kelas atau anak-anak dari kelas sebelah. Mereka biasanya berkerumunan menunggu di depan pintu kelas. Karena Adira yang jarang sekali keluar kelas. Dirinya hanya keluar saat mau pulang, ke toilet, dipanggil guru, dan juga ke perpustakaan. Tetapi dicelah-celah seperti itu juga banyak siswa yang lain mencuri kesempatan untuk berbicara dengannya. Mereka hanya bertanya apakah Adira benar-benar tinggal di rumah yang besar itu dan hal-hal yang berhubungan dengan material dan kekayaan. “Menyebalkan” Dumelnya tanpa sengaja. Semua itu sama seperti setiap kejadian sekolah milik Adira. Semua orang menjadikannya sebagai pusat perhatian, menjadikannya bintang. Lalu 19
setelah using dan tua semua orang meninggalkannya dan mengabaikannya. Selalu seperti itu. Hanya satu tempat yang dapat dijadikannya sebagai tempat tenangnya, yaitu Gudang sekolah. Memang terdengar aneh, tetapi itulah kenyataannya. Tempat itu sebenarnya tidak bisa terbilag sebagai gudang, di situ hanya terdapat berbagai barang-barang yang tidak terpakai. Para siswa ke situ hanya untuk mengambil atau membuang barang-barang. Adira selalu ke situ saat banyak orang berkerumunan ingin bertanya akan kehidupannya. ‘Membosankan. Hidup dibayang-bayang orang tua itu menyebalkan. Mengapa banyak orang yang mau kehidupan seperti ini? Apa yang menjadikannya sesuatu yang istimewa?’ Kurang lebih begitulah kata- kata yang setiap hari muncul di pikirannya. Selain itu, pelajaran sekolah sudah terbilang berat. Apalagi kebanyakan waktu Adira pakai untuk pindah dari sekolah yang sat uke sekolah yang lain. Karena itu, Adira lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar membaca materi sekolah dibandingkan ikut orang tuanya ke acara perayaan apapun yang berbau bisnis. Hal itu hanya akan membuat Adira bosan setengah mati. Lagi-lagi Adira harus menghafalkan guru-guru baru lagi. Dirinya juga harus mengejar ketinggalan pelajaran ditambah lagi teman sekelas Adira terkadang meminta Adira untuk diajari. Tetapi tentunya pembicaraan itu tidak akan bertahar lama. Hanya sampai mereka semua sudah puas dengan rasa penasarannya itu. Bahkan sekarang dapat terlihat orang-orang mulai mengabaikannya keberadaan Adira. *** “Adira, lu sudah ngerjain PR Kimia-nya Bu Inggrid belum?” Tanya seseorang kepada Adira. “Sudah, Tasya.” Jawab Adira kepada gadis itu yang bernama Tasya teman sekelasnya. ‘Boleh pinjem gak nih? Bentar doang kok, aku cumin pengen cocokin aja. Nih liat punya aku, rasanya aku kurang yakin gitu.” Katanya kemudian. “Oh, yang ini itu tinggal dimasukin sesuai rumus yang dikasih kemarin. Lalu setelah dapat tinggal cari yang sama hasilnya dengan di opsi 20
jawaban itu. Tapi kalau mau pinjam ini.” Kata Adira menjelaskan dan diakhiri memberikan buku yang berisikan PR Kimia-nya itu. “Oh, enggak aku udah ngerti kok. Aku salah hitung aja. Makasih, Dir.” Katanya kemudian meninggalkan Adira. “Hei…Harusnya y aitu kesempatan kamu untuk pake gue-lo. Kan gue udah bilang harus biasain diri make bahasa gaul gitu. Kita di Jakarta loh, kan malu kalo masih make aku-kamu kalau bukan ke pacar.” Kata seseorang yang telah berdiri di hadapan Adira. “Oh, Hai Ang- Thalia. Selamat pagi.” Sapaan pagi Adira ke sahabat masak kecilnya ini “Pagi.” Jawabnya singkat. “Dira, gue juga mau pinjem dong PR Kimia lo. Kemaren gue ketiduran jadi lupa ngerjain. Please ya PLEASE.” Serunya memelas. “Ini bukunya.” Kata Adora menyodorkan PR-nya itu. Dengan cepat Thalia menyalin ulang jawaban dari PR milik sahabat kecilnya itu. Lalu seseorang kembali datang ke hadapannya. “Adira kamu gak apa-apa gitu dia nyontek PR kamu?” Tanya Tasya melihat kejadian itu. “Oh enggak.” Jawabnya sambil tersenyum riang. ‘Tidak mungkin Anggi akan meninggalkanku, 21ngkat.’ Pikirnya berusaha menepis ketakutan itu. Ketakutan yang memang ketakutan terbesarnya untuk berpindah-pindah sekolah. Tetapi kejadian itu telah berulang-ulang kali terjadi. Hal yang sebenarnya ditakutkan oleh Adira. *** Kehadiran Adira selalu saja mengundang banyak orang. Terutama kaum perempuan. Setiap pagi Adira diantar oleh sopirnya dnan turun, masuk ke wilayah sekolahan. Orang-orang akan melihat ke arah Adira, seperti pertama kali Adira mendaftar ke sekolah ini. Telah dikatakan Adira menjadi pusat perhatian tidak hanya satu 21ngkatan, tetapi juga satu sekolah. Bahkan bisa dibilang tidak hanya terkenal di kalangan siswa, Adira sempat menjadi bahan pembicaraan guru- guru di ruang guru. Menyeramkan sekali hidupnya. Apalagi Pak Tian sebagai wali kelas-nya yang terkadang sudah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan guru-guru akan diri Adira. Beberapa guru takut karena kekayaan yang dimiliki keluarga Adira, sebagianya lagi 21
bisa dibilang kesal karena tidak suka anak-anak dari keluarga kaya yang kebanyakan semena-mena di sekolah ini. Tetapi hal itu tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiran Adira, tentunya. Apalagi dirinya masih bingung apa yang menjadi keharusan untuk dilakukan diantara suatu hubungan persahabatan. *** Hari demi hari telah berlalu semenjak kepindahan Adira di sekolah barunya itu. Sekarang dirinya telah memasuki satu bulan dua minggu. Waktu telah cukup lama berlalu, tapi entah mengapa teman Adira hanyalah Thalia seorang diri. Setiap kali ada teman yang ingin mengobrol bersama dengannya selalu dipotong oleh tatapan Thalia yang begitu tajam. Tak hanya itu, jika dilihat lebih sering Thalia seperti ingin memiliki Adira sendirian. Tatapannya itu selalu menunjukkan wajah ‘Ini orang gue, cumin gue doang yang boleh make dia.’ Mematikan. Setiap pagi datang, Adira telah menyiapkan buku PR-nya untuk dipinjamkan ke Thalia. Teman sekelasnya terkadang merasa kasihan dengan dirinya, tapi apa boleh buat Adira terlihat tidak apa-apa jika dilihat dari jauh. Lagi-lagi dan lagi-lagi. “Dir, gue boleh pinjem buku PR Biologi dong, kan hari ini Pak Arnold pelajaran pertama, harus buru-buru nih gue.” Katanya dengan gesit mengambil buku PR sejarah milik Adira yang telah terletak di mejanya. Sedangkan Adira hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman yang tak akan dilihat oleh Thalia. Terkadang teman-teman sekelasnya sering membicarakan diri Adira. Kini dirinya sering dipandang temannya dengan pandangan belas kasihan, tetapi hal itu tidak mengubah apapun. Teman sekelasnya selalu saja bingung kenapa Adira mau saja dimanfaatkan oleh Thalia. Padahal sebenarnya Adira tak pernah tahu kalau hal benar-benar sedang terjadi di antara dirinya dengan Thalia. Bahkan seperti ada jarak yang menyeramkan antara Thalia dan teman yang lain, seperti ada rasa ketakutan. Tetapi tentu saja Adira tidak benar-benar langsung mempercayakan hal itu. Apalagi karena Thalia sering bermain ke rumahnya, yang dipikir sesuatu hal yang sering dilakukan sebagai seorang sahabat. “Hai Dir, hari ini aku ke rumahmu dong main-main gitu,sekalian buat tugas dong ya sahabatku yang baik, pinter, kaya lagi yakan Dira?” Kata Thalia dengan penuh antusiasme yang meledak-ledak. 22
Tatapan yang ditunjukkan Thalia kepada Adira sebenarnya tak bisa ditolak lagi. Jadi mau bagaimanapun jawaban Adira tetap seperti biasanya. “Iya boleh kok.” Kata Adira kemudian. “Gue tahu kok lu itu pasti bakal memperbolehkan gue buat ke rumah lu, gue ke kantin dulu ya Dira, pulang sekolah ketemuan di gerbang pintu sekolah sekalian aku nebeng ke rumah lu ya!” Kata Thalia yang sudah melenggang pergi tanpa menunggu jawaban sepatah katapun dari Adira setelah dirinya memeluk tangan dan tubuh mungil milik Adira. Tanpa disangka dari kejauhan seseorang telah lama tak sengaja mendengar pembicaraan singkat antara kedua sahabat itu. Tiba-tiba saja seseorang itu tersenyum kemudian tertawa meninggalkan tempat persembunyiannya tadi. “Cukup menarik. Adira-kah?” Kata seseorang lelaki kelas sebelah melalui kelas Adira sambil tersenyum yang begitu menggetarkan hati sekumpulan gadis se-angkatannya. *** KRIIING!!!KRIIIING!!KRIIIING!!! “Akhirnya selesai juga.” Seru semuanya. Bel pulang sekolah telah mengisi kesunyian di jam pelajaran Bahasa di kelas Adira. Pelajaran yang selalu saja diisi dengan ketegangan yang luar biasa menakutkan. Semuanya tampak begitu gesit mempersiapkan diri untuk pulang. Begitu pula dengan Thalia yang tak sabar menumpang di rumah Adira, entah untuk apa. “Adira, kita ketemu di depan ya! Aku mau ngobrol bentar sama teman.” Serunya melenggang pergi yang dibalas dengan anggukan kecil Adira. Adira merapikan barang-barangnya. Beberapa temannya sudah menghilang pergi, ada yang sendiri, ada juga yang berduaan, dan ber-geng seperti biasanya. Tetapi Adira masih santai dan perlahan merapikannya. Kelas Adira berada di ujung lorong lantai dua, membutuhkan waktu yang banyak juga untuk mencapai depan gerbang. Banyak orang berdesakan turun, karena itu Adira lebih baik menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari kelas. Setelah 10 menit berlalu, lorong depan telah lengang. Tidak ada suara siswa berdesakan turun. Baru di saat itulah Adira keluar dan menuju gerbang. 23
Setelah Adira tiba di depan pintu gerbang sekolah membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk menunggu Thalia keluar. Sedangkan Thalia hanya dapat meminta maaf yang diselangi dengan tawanya tanpa dosa kepada Adira. Hanya saja lagi-lagi Adira dengan begitu mudah memaafkan perilaku Thalia yang sudah pasti dihancurkan banyak orang yang berpura- pura menjadi seorang Adira. Selama perjalanan Adira hanya dapat memandang pemandangan di luar ,sedangkan Thalia begitu fokus dengan telepon selulernya itu. Jarak sekolah ke rumah Adira tak membutuhkan waktu yang lama, sehingga kini mereka telah tiba di pekarangan rumah Adira. Dengan jalan yang penuh sigap dan senyum yang sumringah Thalia keluar dari Adira dan meluncur langsung ke depan pintu rumah Adira. “Selamat datang, neng Adira, eh ada neng Thalia juga ayo masuk- masuk silakan jangan malu-malu.” Kata mbok dengan senyum cerianya yang selalu terpampang di wajahnya. Mereka kemudian menuju ke ruang belajar yang dulu pernah keduanya gunakan untuk mengerjakan tugas bersama. “Aku beres-beres dulu ya, Thalia.” Kata Adira. “Hmm…” Sahut Thalia acuh tak acuh dan masih fokus dengan handphone itu *** 30 menit kemudian “Anggi, eh Thalia maksudnya aku udah selesai tugasnya ini kamu mau pinjem laptop aku kan? “ kata Adira dengan penuh kelembutan. “Adira mulai sekarang lo harus biasakan memanggil nama gue Thaaa-Liii-aa, nama ‘Anggi’ itu terlalu kampungan tahu.” Katanya sambil mengeja namanya sendiri. “Dira kamu tahu kan lo paling lemah sama pelajaran ini, lagian kita kan mau ngerjain bareng.” Katanya memelas. Tentunya dengan senang Haiti Adira akan membantu Thalia. Hanya saja yang berlangsung tidak seperti kata ‘membantu’ Thalia lebih ke ‘Membuatkan’ untuk Thalia. Karen aseperti biasa Thalia telah asyik dengan dunia ke-sosmed-an dia. Dua jam kemudian. 24
Thalia masih saja sibuk dengan gadget-nya , sedangkan pemilik rumah sendiri sedang mengerjakan tugas yang baru saja diberikan pagi tadi di sekolah. Begitu pula setelah Adira selesai mengerjakannya, Adira bahkan sudah beralih dari laptop ke buku novelnya. Sebenarnya Adira memiliki handphone, bahkan kedua orang tuanya tidak akan menolak untuk membelikan Adira handphone keluaran terbaru, tetapi hal itu terjadi jika Adira memintanya. TEN!TEN!! Suara kemarah terdengar dari klakson mobil. Terdengar suara klakson mobil yang menghapus kesunyian wilayah rumah Adira. Tak disangka Thalia telah main di rumah Adira selama hampir tiga jam dan kini kedua orang tuanya telah menjemput anak semata wayangnya ini. Sekalipun dari mata ibunya terdapat kemarahan yang begitu besar dan sejuta kalimat yang dipersiapkan ibunya untuk Thalia karena bermain ke rumah temannya tanpa memberitahunya terlebih dahulu. “Yah, harus pulang lagi. Padahal baru juga sebentar.” Resahnya malas. Dengan langkah gontai Thalia membereskan barang bawaannya dan harus meninggalkan rumah yang dianggap sebagai rumah impian semua orang kecuali Adira sendiri. Thalia juga berpelukan dengan Adira sekalipun pelukan darinya terlihat seperti paksaan. “Dadah sahabatku yang paling baik, pinter, kaya dan the best-lah pokoknya.” Katanya lagi. “Dadah.” Balas Adira pendek dan diakhiri dengan lambaian tangannya. Kini mobil yang dinaiki Thalia telah hilang menuju gerbang utama ke rumah mereka. Sedangkan Adira telah kembali seorang diri di rumahnya yang super megah dan luas bak raja dan ratu di negeri dongeng. “Haa…Sepi sekali ya.” Katanya kecil. Kepergian Thalia disambut dengan rintikan air mata Adira yang entah mengapa mengalir begitu mulus diwajahnya yang sebenarnya sangat manis dan cantik melebihi wajah yang dimiliki Thalia. Lalu Adira melangkahkan kakinya masuk ke kamarnya kembali. Sekalipun Thalia hanya duduk sendirian sibuk memainkan handphone-nya, hal itu tidak membuatnya marah. Kehadiran Thalia sudah memberi begitu banyak kebahagiaan bagi Adira. Setiap pagi dengan keseharian Adira meminjamkan buku PR-nya sendiri ke Thalia, selalu mendapat perhatian banyak orang termasuk seseorang yang tanpa sengaja mendengar percakapan antara Adira dan 25
Thalia. Tetapi hingga detik ini Adira sama sekali belum mengetahui bahwa ada yang sedang menyelidikinya secara diam-diam. Seseorang yang selalu saja melihat dari kejauhan kelas dan bahkan tidak pernah bertegur sapa dengan Adira. Seseorang yang misterius. Benar- benar misterius. *** Diary tersayang, Hari ini Anggi kembali bermain ke rumahku. Siapa sangka aku akan bertemu dengan sahabat kecilku sekarang? Memang tidak ada yang tahu apa yang terjadi ke depannya. Sekalipun dia sibuk sendiri akan dunianya, hal itu tidak membuatku marah atau sedih. Rasanya seperti ini terhibur kembali di tengah kesunyian ini. Apalagi mama yang masih sibuk sedari tadi di ruang kerjanya. Entah apa yang seharian dia lakukan di depan laptop, apakah matanya tidak pernah sakit? Menyebalkan. Begitu juga papa yang bahkan masih sibuk di luar negeri, dia hanya selalu bertanya “Mau oleh-oleh apa ini? Biar papa beliin.” Hanya itu yang bisa dia katakan. Padahal yang aku inginkan adalah kebersamaan keluarga yang sudah seharusnya normal dimiliki setiap keluarga. Entah bagaimana hari esok aku hanya mengharapkan hal yang baik terjadi. Diaryku - Nadira Mila Angel – 26
4 Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Perayaan pertama di tahun ajaran baru sudah tiba. Semua terlihat bersemangat mencoba membawa kelasnya menjadi seorang pemenang di akhir acara nanti. Para panitia juga telah menyiapkan acara sedemikian menarik. Mulai dari diawali dengan Upacara Bendera jam tujuh pagi. Awalnya semuanya terlihat malas dan mengantuk. Terutama karena Hari Kemerdekaan bertempatan di Hari Sabtu. Hari yang dianggap sebagai peristirahatan selama lima hari menuntut ilmu. Berpanas-panasan di tengah lapangan tentunya membuat mood mereka tambah jelek.Tetapi kemudian wajah-wajah malas itu berubah semangat setelah upacara selesai. Lalu acara selanjutnya disambut dengan adanya kumpul bersama di aula, kita bersama-sama menyanyikan Lagu Nasional. Lagu-lagu mulai dari Indonesia Raya, Hari Merdeka, dan juga diakhiri dengan anak Band yang mengiringi kita memnyanyikan lagu ‘Merah Putih Teruslah Kau Berkibar’ dari Cokelat. Semangat mereka kembali pulih setelah menyanyikan lagu-lagi itu, walaupun salah satu alasannya karena berkumpul di ruangan ber-AC. Kemudian semuanya berpindah lokasi ke lapangan kedua. Lapangan ini biasa digunakan untuk tambahan lapangan, jika lapangan utama di tengah sekolah terpakai. Walaupun lapangan kedua ini tidak terlihat secara pasti sebagai lapangan. Tempat ini berbentuk persegi panjang dengan bertanah. 27
Untungnya saja kemarin tidak turun hujan, kalau tidak mereka akan bermain di lapangan berlumpur seharian penuh. Tetapi sayangnya di sisi lain, Adira terlihat tidak begitu bersemangat. Sejak selesai upacara Adira hanya duduk di pinggir, melihat- lihat kesenangat teman-temannya. Sudah kesekian kalinya ia menghela napas, wajah bosannya terpampang jelas di wajahnya. Mood yang ia miliki ini karena masalah yang ia hadapi di rumah. *** Sehari sebelumnya. “Mom, Apakah mom belum selesai kerjanya?” Tanya Adira yang sedang berdiri di depan ruang kerja Ibunya. “Ya, Aku masih bekerja sayang.” Jawabnya tanpa menoleh ke arah Adira sedikitpun. MAtanya masih terus-menerus meghadap ke depan laptopnya. Terlihat dari jauh banyak sekali kertas yang berserakan, sepertinya Ibu Adira baru memasuki masa kesulitan lagi. “Apakah mom akan sempat makan bersamaku malam ini?” Tanya Adira lagi yang terlihat berusaha melakukan perbincangan antara ibu dan anak. Walaupun lagi-lagi Ibu Adira “Maafkan aku, sepertinya untuk hari ini aku tidak bisa. Aku juga akan lembur tidak tahu secara pasti sampai jam berapa.” Katanya masih sibuk dengan kertas-kertas di sekitarnya. “Aku akan menunggu.” Balas Adira bersikeras kepada Ibunya untuk makan malam bersama. Tetapi kemudian Ibu Adira menyadair hal yang aneh dari Adira, ia tidak pernah melihat Adira yang bersikukuh akan sesuatu. Ibu Adira lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Adira yang maish saja di depan pintu. “Sayang, maafkan aku jika aku tidak sering bersama denganmu. Tapi kamu tidak kan bahwa ini pekerjaanku.” Katanya sambil memeluk erat Adira. Selama beberapa menit mereka berdua berpelukan. Lalu Ibu Adira melepas pelukan itu dan melihat ke wajah Adira. “Setelah semua ini selesai aku akan menghabiskan waktu seharian denganmu, okay?” Katanya kemudian meyakinkan Adira. Mendengar hal itu membuat Adira terdiam sejenak, hingga akhirnya ia menghela napas dan mengangguk. Adira lalu keluar ruang kerja ibunya, menutup into dan meninggalkan tempat itu. Langkahnya yang malas, ia mengira ibunya 28
mungkin saja akan menemaninya jika ia sedikit bersikukuh akan keinginannya. Nyatanya tidak terjadi apa-apa. Adira kembali masuk ke kamar dan mengunci kamarnya lagi. Ia membendam dirinya ke dalam kasur dan membiarkan wajahnya terlinang air mata. Ia sudah tidak memiliki keinginan untuk makan malam lagi, nafsu makannya telah hilang sempurna. Tetapi lagi-lagi waktu menyendirinya diganggu oleh Mbok Asih. “Non Adira, makan yuk.” Katanya mengetok pintu menyadari kamar Adira dikunci dari dalam. “Aku tidak mau makan, lagi tidak ada nafsu makan, Mbok.” Jawab Adira tidak menggerakkan badannya sedikitpun. “Non, ayo makan. Nanti lapar loh.” Seru Mbok Asih yang berusaha memastikan Adira makan malam. Dengan terpaksa akhirnya Adira menggerakkan badannya, menuju ke kamar mandi. “Baiklah, Mbok. Tunggu saja di ruang makan aku akan turun.” Balasnya setelah terdiam beberapa saat. Adira kemudian mengelap wajahnya yang terkena air mata tangisannya. Ia juga mencuci wajahnya agar terlihat lebih segar, dan tidak terlihat wajah sehabis menangis. Setelah memastikan wajahnya kembali semula, dengan langkah gontai ia kemudian membuka kunci kamarnya. Perlahan ia menuruni tangga ke lantai bawah, menuju ruang makan. Ruang yang begitu besar, diisi meja makan yang cukup panjang. Walaupun hanya digunakan oleh tiga orang saja. Dengan hati sedih Adira makan malam sendiri lagi dan lagi. Entah sudah berapa kalinya Adira makan malam sendiri dan entah sudah keberapa kalinya ibunya memakai alas an untuk lembur lagi. Malam itu rasanya sunyi, sedih, dan menakutkan. Ketakutan karena kesendirian yang dialami Adira. Ia menutup harinya dengan kesedihan yang tidak bisa ia selesaikan lagi. *** Kembali di perayaan Hari Kemerdekaan. Anak-anak sekelas Adira sudah mendapatkan bagiannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka berusaha mati-matian untuk menang, beberapanya lagi pasrah dan melakukannya dengan santai tanpa peduli menang atau kalah. 29
Adira kebagian ke dalam lomba yang tidak diminati lagi. Sudah seringkali ia rasakan hal yang seperti ini. Adira mengikuti lomba memasukkan paku ke dalam botol. Bukan teman-temannya tidak mau, hanya Adira saja yang tidak kebagian. Sehingga Adira berakhir mengkuti permainan itu. Ia sebenernya tidak benar-benar tahu bagaimana cara memainkannya, tetapi ia berharap dapat melakukannya dengan baik nanti. Thalia juga terlihat tidak tertarik mengikuti perlombaan, ia hanya mengikuti perlombaan Tarik tambang. Perlombaan itu diikuti oleh laki-laki dan perempuan. Lomb aitu diisi oleh 10 peserta, dari peserta itu akan di bagi 5 perempuan dan 5 laki-laki. Dari jauh terlihat banyak kaum laki-laki yang bersemangat dengan perlombaan ini. Mungkin dari semua perlombaan yang ada, hanya ini yang paling banyak diminati. Terlihat juga para perempuan berkerumunan meneriaki teman sekelasnya, memberi semangat. “Bukan aku sekali.” Desah Adira kemudian. Lalu Adira berdiri dan berusaha mencari run-down acara untuk seharian ini. Ia berjalan mencari-cari, hingga akhirnya ia menemukannya di depan pintu kelas seniornya kelas 12. Banyak siswa yang melihat dirinya di depan pintu, beberapa memperhatikan Adira dan sedetik kemudian membalikkan kepala meninggalkannya Adira. Kejadian itu terus-menerus berlangsung, hingga akhirnya Adira tidak tahan dengan rasa malunya itu dan beranjak pergi meninggalkan kelas itu. Padahal ada seseorang yang baru saja mau menghampiri Adira. “Padahal baru juga mau ngobrol.” Kata orang itu pelan. Perlombaan Adira akan dimulai sedikit lagi, ia bersiap-siap pergi ke lapangan. Perlombaan yang sedang berlangsung adalah perlombaan balpa karung. Banyak orang yang menertawakan teman-temannya yang kesulitan melompat-lompat di dalam karung. Ada juga teman-teman sekelas yang meneriaki merek ayang berlomba, menyemangati mereka. Adira kemudian clingak-celinguk mencari seseorang. Lalu matanya menangkap teman masa kecilnya itu yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki yang tidak kpernah ia lihat. ‘Mereka terlihat cocok bersama.’ Pikir Adira melihat Thalia dengan seorang lelaki itu. Tiba-tiba ada pengumuman. “Bagi siswa yang mengikuti lomba memasukkan paku ke dalam botol segera menemui panitia di tengah lapangan.” Teriak salah satu panitia acara. 30
Mendengar pengumuman itu, Adira langsung pergi berjalan ke arah tengah lapangan dan menemui salah satu senior panitia itu. Mereka membantu Adira dalam mempersiapkan diri. Adira mendapat bagian kelompok kedua, ia akan berlomba setelah kelompok satu selesai mendapatkan dua orang tercepat. Adira melihat orang- orang yang memainkannya dan akhirnya mengerti cara memainkannya. Setelah kelompok pertama selesai gilirankelompok Adira yang berlomba. Tetapi sepertinya keberuntungan tidak berada di pihak Adira, ia berada di posisi ketiga. Sedikit lagi harusnya Adira bisa masuk ke dalam babak selanjutnya. *** 13.40 Setelah perlombaan itu, tidak ada kegiatan lagi yang harus dilakukan Adira. Tetapi panitia tidak memperbolehkan siapapun pulang dan hal itu malah membuat Adira tambah bosan. Terdengar di telingan Adira kelasnya hanya memenangkan satu permainan, yaitu Tarik tambang di urutan ketiga. Beruntungnya mereka menang, terlihat sekilas senior-senior mereka berukuran raksasa dan sangat kuat. Tetapi tetap saja Adira ingin sekali cepat-cepat pulang. Ia sedang tidak mood akan hal-hal yang terjadi hari ini. “Cepat saja beritahu pemenangnya.” Kata Adira pelan. Cepat sekali terkabul, keinginan Adira. Begitu ia berkata demikian, para para panitia telah berada dipanggung dan seketika menjadi pusat perhatian. Siswa yang duduk di aula terdiam dari keriuhan barusan. Panitia sudah membawa kertas yang berisikan pemenang perlombaan dari pagi hingga siang tadi. “Baiklah sekarang waktunya kita mengumumkan pemenang- pemang perlombaan ini.” Kata panitia itu. “Mari kita lihat, pemenang perlombaan bakiak, Juara 3 diaraih oleh kelas…11 IPS-2, Juara 2 diraih oleh kelas…12 IPA-1, dan Juara 1…diraih oleh kelas…12 IPA-4. Selamat!” Katanya mengumumkan pemenang perlombaan pertama. Setiap perwalikan kelas telah berjalan ke depan, menerima hadiah dari panitia dan berfoto bersama. 31
Pengumuman terus berlanjut hingga pengumuman perlombaan Tarik tambang. “Juara 3 diraih oleh kelas…10IPA-4, Juara 2 diraih oleh kelas 10IPA-3, Juara diarih oleh kelas…10IPS-1. Selamat, sepertinya juara Tarik tambang kali ini dikuasai oleh anak-anak kelas 10, bagaimana ini senior- senior?” Kata panitia itu mengomentari dan langsung disoraki teriakan dari anak-anak kelas 12. Perwakilan kelas Adira pun maju ke panggung untuk menerima hadiah, tidak terlalu menarik untuk dilihat. Tetapi dilihat ada seorang lelaki yang maju ke depan, lelaki yang tampan dan memesona untuk setiap kaum hawa. ‘Kayaknya dia anak kelas sebelah.’ Pikir Adira dalam hati. Lalu setelah pemberitahuan hadiah selesai, seluruh siswa mulai bubar masuk ke kelas masing-masing. Mereka mulai membereskan barang bawaan, satu per satu siswa berpulangan. Adira dengan cepat merapikan bawaannya dan melesat pergi ke pintu gerbang. Ia ingin cepat-cepat ke kamarnya lagi dan membendam dirinya di kasur kesayangannya. “Menyebalkan.” Katanya pelan dan pasti. *** Ia masuk ke kamar, mengunci kembal dirinya. Lalu membuka tempat rahasianya yang menyembunyikan buku, kembali ia mengambil alat tulisnya dan mulai menceritakan isi hatinya kepada kertas di buku itu. Alat tulis mulai menari-nari di sela tangannya. Hanya buku itulah yang dapat ia percaya, bahkan melebihi kedua orang tuanya itu. Entah bahkan Adira tidak merasa ada hubungan yang baik selain hanya status diantara kedua orang tuanya itu. Diary tersayang, Tidak kusangka aku masih tidak bisa melupakan hari kemarin. Aku merasa tidak enak selama hari ini. Aku tidak suka mengikuti acara seperti ini. Tetapi entah mengapa mama menyuruhku untuk tetap ikut ke sekolah. Menyebalkan sekali. Ibu bahkan tidak menemaniku makan, dia tidak terlihat peduli akan diriku. Mengapa sekarang ia bersusah-susah menyuruhku untuk tetap bersekolah? MENYEBALKAN. 32
Aku menangis lama sekali tadi malam, rasanya seperti broken heart saja. Padahal aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku hanya berharap sedikit. Aku hanya memiliki keinginan sepele, yang bahkan tidak perlu didapat dengan mengeluarkan uang. Aku hanya ingin mom ikut makan malam bersamaku. AKU KESEPIAN. Diary tersayangku, Nadira Mila Angel 33
5 Akhir bulan September. Hari ini sekolah Adira, SMA Cahaya Bangsa sedang mengadakan pekan ujian. Karena itu suasana sekolah benar-benar mengeluarkan aura kesedihan. Seluruh penjuru sekolah sunyi suram. Walaupun hanya beberapa pelajaran saja yang dimasukkan ke daftar yang akan diujiankan. Pelajaran yang telah diajarkan oleh gurunya selama 2-3 bulan akan diujiankan. Seperti biasa tentu Adira lebih mempersiapkan diri daripada Thalia. Dapat dilihat dari tatapan Thalia yang begitu gelisah sedari tadi memutar-mutarkan pensil yang ada di tangannya. Pekan ujian membutuhkan waktu seminggu penuh. Setiap harinya mereka menjalankan setidaknya dua ujian. Wajah murung terpampang dimana-mana, tidak sama halnya dengan Adira yang terlihat mudah dan tidak ada hambatan mengerjakan soal-soal yang diberikan. Pekan ujian dilakukan dengan membagi ke ruang ujian. Cara pembagiannya adalah dengan absen nama. Seperti anak absen satu sampai lima dari kelas 10-12 di dalam satu ruangan. Adira dan Thalia duduk berdekatan di satu ruangan, mereka depan-belakangan. Adira duduk di kursi terdepan, sedangkan Thalia duduk di sebelah kirinya. Tak hanya mereka berdua, tepat di belakang Adira seorang lelaki seangkatan mereka tak bosan-basannya menatap dari belakang kepala Adira. Setiap gerak-gerik Adira mengundang senyum bagi lelaki itu. Diri adira yang tenang, pendiam, dan kalem itu selalu menjadi kekaguman bagi lelaki itu. Ia berharap agar dapat berkenalan dan berteman dengannya. 34
‘Akan menarik jika aku bisa mengenalnya.’ Begitulah yang dipikirkan lelaki itu. Mereka ditempatkan di ruang 5, di lantai dasar dekat dengan ruang guru. Ada tiga puluh siswa di dalamnya, dan kebanyakan kakak-kakak kelas- lah yang menguasai ruangan itu. *** Setiap harinya anak IPA dan IPS akan mendapatkan ujian dengan mata pelajaran yang berbeda di jam pertama, sedangkan untuk jam kedua akan disamakan. Sehingga hari pertama anak IPA akan mendapatkan ujian Matematika, dan anak IPS akan mendapatkan Ekonomi. Kemudian untuk jam kedua, mereka akan mendapatkan mata pelajaran Bahasa Inggris. Hari pertama benar-benar terlihat semangat, semua orang memperlihatkan semangatnya yang begitu membara. Banyak kakak-kakak kela syang Saling diskusi sebelum ujian dimulai. Tangan mereka penuh dengan kertas-kertas materi. Memusingkan walaupun hanya melihat mereka. Berbeda halnya dengan Thalia, yang sedari tadi merasa hanya bosan berbincang dengan teman-temannya yang datang kemari ke ruangan ini. Thalia terlihat acuh tak acuh dengan ujian ini, entah apa yang ada di pikirannya itu apapun rencananya itu. Sedangkan untuk lelaki itu, sepertinya ia kelihatan sedang membicarakan sesuatu materi dengan teman sekelasnya itu. Kemudian datanglah hari kedua, anak IPA akan dipertemukan dengan kertas ujian Kimia dan anak IPS bertemu dengan kertas Sosiologi. Lalu waktu berjalan dan keduanya mendapatkan ujian Bahasa Indonesia. Jika dilihat semangat mereka masih tetap membara di hari kedua. Bahkan beberapa diantara mereka yakin mendapatkan nilai terbaik. Lalu tiba di hari ketiga, IPA dengan pelajaran Fisika dan IPS dengan pelajaran Sejarah dan dilanjutkan dengan jam kedua mengerjakan ujian mata pelajaran PPKn. Entah dari kelihatannya, semangat siswa sudah mulai menurun. Bahkan banyak yang sudah mulai mengeluh akan ujian yang mereka kerjakan ini. Walaupun diantara mereka sudah mengeluh di hari pertama. Hanya saja berbeda dengan Adira, yang masih terkendali mengerjakan ujian di hari ketiga ini. “Dua hari lagi dan semua mimpi buruk ini berakhir.” Kata Thalia yang duduk di sebelah Adira dan dibalas dengan senyuman Adira. Memang 35
tidak hanya Thalia yang berkata seperti itu, bahkan kebanyakan berasal dari kakak-kakak kelas seruangan dengan Adira. Hari ke empat sudah tiba begitu cepat. Semua murid sudah mulai bosan. Beberapa diantara mereka mengerjakan dengan cepat dan mulai bosan, lalu tertidur di ruangan. Bahkan ada yang sampai dimarahi oleh guru pengawas. Hari itu anak IPA mendapatkan pelajaran Biologi, dan anak IPS mendapatkan pelajaran Geografi. Lalu jam kedua keduanya mendapatkan pelajaran Agama. Setiap anak merasa terlepas bebannya sedikit mengingat besok adalah hari terakhir mereka melaksana pekan ujian ini. Semangat siswa berganti menunggu kehadiran hari esok, pertanda akhir dari mimpi buruk ini. Kemudian hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua orang terlihat senyum dan ceria. Entah itu dapat dinilai bagus atau tidak. Hari terakhir diisi dengan ujian pelajaran lintas minat setiap jurusan. Anak IPA mendapatkan pelajaran Sejarah, dan anak IPS mendapatkan matematika. Lalu di jam kedua, kedua jurusan melaksanakan ujian komputer yang tentunya secara *** 3...2...1... KIRIING!!KRIING! terdengar hingga ke ruang 5, ruang dimana Adira ditempatkan. “Akhirnya selesai juga.” Seru Thalia. Hari ini adalah hari terakhir mereka semua ujian. Keriuhan dimana- mana, baik dari angkatan Adira maupun dari kelas senior dan juga juniornya. Dalam hitungan detik semuanya kini telah hilang lenyap entah kemana. Ada yang sudah bergabung dengan teman-temannya dari ruangan lain, ada yang juga berlari cepat-cepat keluar. Adira masih asyik membereskan barang bawannya, sedangkan Thalia telah pergi lebih dulu meninggalkan Adira seorang diri. Dalam ruang 5, di ruang Adira serakang itu hanya tinggal dua-tiga orang saja yang masih di situ. ‘Oh iya, hari ini aku janji mau minta diajarin Kimia sama Pak Ilham ya. KOk aku bisa lupa, untung tadi pagi aku sudah bilang pak sopir buat jemput sedikit lebih telat dari biasanya.’ Pikirnya dalam hati. Adira kemudian mengeluarkan modul Kimia yang telah diberikan Pak Ilham. Buku yang tipis, tetapi agak besar sudah memnuhi tangan Adira 36
ditambah dengan buku dan alat tulisnya. Adira terlihat kewalahan dengan bawaannya itu. Sehingga…BUK! Modul Kimia milik Adira tak sengaja tergelincir dari tangannya dan kini telah berada di lantai setelah menimbulkan suara yang begitu keras untuk seisi ruangan. “Maaf.” Sahut Adira kepada para penghuni kelas dan kembali membereskan Modulnya yang masih berisikan kertas-kertas yang telah berserakan dimana-mana. Tetapi sepertinya siswa yang lain hanya menatap sekilas ke arah Adira, dan sedekit kemudian mereka kembali asyik dengan topik pembicaraan masing-masing. Walaupun dengan kata lain tidak ada yang berniat menolong Adira. Terlihat dengan jelas Adira kesulitan mengambil kertas-kertas berserakan itu, bahkan ada yang tercecer jauh. Terlihat dari belekang seorang lelaki yang sedari tadi sepertinya menunggu Adira meninggalkan ruangan. Yang kemudian berdiri dan berjalan ke arah Adira. Lalu- “Nih, buku kamu.” Katanya mengundang tatapan banyak orang dan memberika senyuman manis diakhir. “Eh, Terima kasih.” Jawab Adira yang mendongak kaget dan menunduk kembali merapikan bukunya. “Jangan terlalu formal, kit aini sebaya kan.” Katanya yang masih berada di samping Adira. Tetapi Adira masih saja dalam keadaan menunduk menghiraukan lelaki itu. “Bagaimana ujian hari ini? Apakah menurutmu soalnya susah? Bagiku sepertinya lumayan mudah, tapi entah bagaimana aku tidak bisa benar-benar mendapatkan nilai serratus ya..” Katanya lagi kemudian. Adira hanya menanggapi hal itu dengan senyum dan anggukan kecil. Terlihat dari wajahnya dia sangat bingung harus menjawab apa. Karena itu, Adira mencoba meninggalkan lelaki yang kini berdiri di hadapannya. “Hei, tunggu…Kita belum pernah berkenalan bukan? Namaku Nathan dari kelas 10IPA-3, kalau kamu?” Katanya dengan nada penuh rasa penasaran yang mudah sekali ditebak oleh Adira. Kata-kata itu tentu membuat Adira kaget, seseorang yang bahkan bukan sekelasnya ingin berkenalan dengan dirinya. Sungguh keajaiban yang luar biasa terjadi. “Eh… Namaku Nadira Mila Angel dari kelas 10IPA-4.” Kata Adira kemudian memperkenalkan dirinya kepada lelaki ini, walau masih dalam keadaan menunduk. Hal itu kemudian mengundang tawa kecil dari lelaki yang berada di depan Adira. 37
“Kalau begitu, boleh aku panggil ‘Mila’ gak?” Tanya lelaki itu kemudian tanoa bosan menunjukkan senyumannya yang manis itu. Bahkan bisa dibilang mematikan bagi para kaum gadis seusia mereka. Tetapi tidak terlihat sedikitpun rasa kejenuhan yang didapat dari wajah lelaki itu, ia terlihat tidak memiliki tujuan apapun terhadap Adira. Tujuan seperti mengulik informasi penting keluarga mereka, atau mungkin suatu informasi yang bersifat privasi. ‘Sepertinya aku bisa percaya dia. Nathan’ Pikirnya kemudian. Sebagai jawaban Adira memberikan anggukan yang sedikit lebih terlihat dari biasanya ia berikan kepada Thalia setiap Thalia meminjam buku PR-nya. Lalu Adira tertawa kecil dan tersenyum. “Ah, aku duluan.” Kata Adirakemudian pergi melewati Nathan. “Kamu mau ngapain emang?” Tanya Nathan yang akan mengikuti Adira terus-menerus. “Ke kantor guru.” Jawab Adira singkat. “Eh, kamu mau dimarahin?” Tanya Nathan terkaget. “Aku ingin meminta Pak Ilham mengajari sesuatu yang kurang aku mengerti.” Jawabnya lagi. “Oh, pelajaran kimia. Kamu tau aku bisa mengajarimu kapan- kapan. Akan lebih mudah bukan jika seorang teman yang mengajarimu sesuatu? Tapi itu tergantung apa yang kamu tanyakan sih.” Katanya lagi. “Teman?” Serunya kaget dan dibalas dengan tawa Nathan yang benar-benar memesona. “Tentu saja kita sudah menjadi teman, kita sudah berkenalan, yak an?” Katanya yang diberi anggukan oleh Adira dengan tatapan yang mantap. “Kita berteman.” Kata Adira lagi. Dan dibalas anggukan mantap Nathan. Setelah perbincangan tentang pertemanan ini, mereka kemudian tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Keadaan diantara mereka terlihat sedikit canggung. “Jadi bagaimana menurutmu? Apakah kita akan belajar bersama kapan-kapan?” Tanyanya memecahkan keheningan yang canggung itu. Tampaknya Adira sedang memikirkan memilih untuk belajar bersama Nathan atau bertanya saja ke Pak Ilham. Lalu akhirnya ia memutuskan. “Baiklah.” Kata Adira kemudian Karena hal itu, Adira berakhir kembali ke ruangannya untuk mengambil barang bawaannya. Saat mereka tiba, kelas sudah benar-benar kosng, hanya barang milik Adira dan Nathan yang tersisa di kelas. Bahkan 38
sudah ada beberapa office boy yang merapikan kelas untuk mengunci kelas nanti. *** Keduanya berakhir jalan berduaan menuju gerbang depan sekolah. Sekolah sudah tenggelam dalam kesunyian. Hanya terdengar beberapa orang yang sibuk membersihkan kelas. Begitu pula guru-guru seluruhnya telah sempurna berada di ruang guru. Sepertinya mereka akan mengadakan rapat mengenai pekan ujian ini. Sepanjang perjalanan mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, bahkan mungkin saja kejatuhan jarum pentul terdengar cukup jelas. Tetapi dalam kesunyian itu, Nathan terlihat mencuri-curi oandangan ke arah Adira. Sedang Adira hanya tertunduk malu, karena ini pertama kalinya ia berjalan berduaan dengan orang lain selain Thalia. Apalagi orang lain ini adalah seorang pria yang wajahnya beigut memesona. ‘Pasti banyak yang suka dengannya.’ Pikirnya yang tiba-tiba membuat dirinya tersipu malu. Pipinya berubah merah padam, memalukan. Adira menuntuk malu menutup rasa malunya itu agar tidak diketahui oleh Nathan. Tanpa tersadar keheningan itu membawa mereka tepat ke depan pintu gerbang. Sekolah benar-benar sudah kosong melompong. Tidak ada satupun siswa yang terlihat lagi. Terlihat dua mobil terparkir di depan gerbang sekolah. Salah satu mobil itu milik Adira, lalu yang satunya pasti milik Nathan “Dah, aku duluan... Ibuku telah menjemputku, semoga kita dapat berbincang lagi di lain waktu.” Kata Nathan setelah berada di halaman sekolah. Adira hanya menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan. Kini Nathan telah masuk ke dalam mobil Fortuner milik ibunya. TEN!TEN! “Non Adira sudah selesai. Mari pulang.” Sapanya sambil membukakan pintu di mobil. “Maafkan aku karena terlalu lama pulang.” Katanya dengan penuh penyesalan. “Tak apa Nona Adira, sudah menjadi tugas saya mengantar-jempu anda.” Jawabnya dengan penuh baik hati. “Makasih Pak” kata Adira. Lalu terlintas satu pertanyaan… 39
“Oh, iya pak. Apakah ibu tahu aku pulang sedikit telat?” “Tentu nyonya tahu, Nona Adira.” “Apakah ibu marah?” “Nyonya hanya mengangguk kepada saya.” Pembicaraan itu diakhiri dengan desahan kecil dari Adira. ‘Tak ada gunanya memikirkan hal itu.’ Pikirnya. Adira lalu kembali mencoba memutar-balikkan waktu dimana ia pertama kalinya berbincang dengan seorang lawan jenisnya. Hatinya sangat berdebar-debar, bahkan dirinya sempat mengira ia tak bisa menghirup oksigen. “Nathan.” gumamnya tanpa sadar terdengar oleh si supir. “Eh, Nona kenapa ya? Non sebut sesuatu tadi kurang jelas saya gak dengar, boleh tolong di ulang lagi tidak?” Tanya si supir. “Oh, enggak kok pak, saya cuman lagi ingin minum kopi susu di café favorit saya, boleh tidak pak?” kata Adira dengan penuh kebohongan. Si sopir mengira Adira sedang mengatakan sesuatu hal yang cukup penting, padahal memang itulah kenyataannya. “Oh, tentu saja Nona Adira.” Jawabnya kemudian mengikuti scenario kebohongan Adira. Mereka akhirnya mampir sebentar untuk membeli minuman yang diinginkan Adira. Lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. Sehingga hanya memakan waktu sebentar saja untuk mampir ke situ. Lalu setelah selesai membeli mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah. Perjalan ke rumah dipenuhi dengan senyuman di wajah Adira. Tentu kesenangannya tidak akan pernah habis atas apa yang telah ia adapatkan hari ini. Teman Baru. *** Dear Diary, Hari ini hari terakhirku melakukan pekan ujian, hari ini juga hari yang pasti selalu kuingat di dalam benakku. Salah satu lelaki di angkatanku mengajakku berbincang dengannya. Bahkan dia tidak merasa bosan sekalipun aku hanya menjawab dengan begitu singkat. Dirinya juga mau mengajakku berbincang lagi dengannya di lain waktu. Perlu diketahui namanya Nathan dan dia anak kelas 10IPA-3, kelas di sebelahku. Dari penampilan yang terlihat hidungnya yang mancung dan sedikit terlihat berdarah campuran pastinya membuat dirinya populer di 40
kelasnya. Aku senang aku akhirnya memiliki teman lain selain Thalia, terutama ini adalah lawan jenisku. Hal yang lebih baiknya lagi bukan aku yang memulai pertemanan ini. Beruntungnya aku. Tapi apakah aku harus menceritakan hal ini kepada Thalia? Mungkinkah dia akan senang terhadapku? Atau bahkan memarahiku seperti yang terjadi di antara diriku dan Timothy? Ingatkan saat Timothy hanya ingin melambaikan tangan menyapaku, Thalia menasihatiku untuk tidak begitu dekat dengan lelaki di sekolah ini karena mereka semua itu gak berguna. Salamku untuk diary tercinta Nadira Mila Angel 41
6 Hari demi hari berlalu, Adira dan teman-teman sekelasnya bahkan seangkatannya telah mendapatkan pekan ujian yang telah mereka jalani sekitar dua minggu yang lalu. Beberapa siswa telah dipanggil untuk dinasihati oleh guru untuk belajar lebih giat lagi, dan Thalia juga termasuk di dalam siswa yang nilainya digaris-bawahi. Tidak ada banyak hal yang terjadi di kelas, hanya hal-hal biasa seperti rutinitas Thalia yang meminjam PR milik Adira. Walaupun sebenarnya Semakin hari semakin sering Nathan mampir di depan kelas Adira, tak pernah lebih dari itu. Semakin hari pelajaran semakin memusingkan bagi beberapa teman di kelas, tapi sepertinya hal itu tidak terjadi pada Adira. Selama beberapa hari ini Adira dan Nathan hanya dapat berkontak mata, senyum lalu saling melewati tanpa ada satu patahpun kata yang terlontarkan dari bibir yang begitu memesona bagi para kaum hawa. Tapi entahlah apakah Adira masih berpikir hal yang terjadi kemarin itu benar- benar terjadi atau hanya imaajinasinya saja. Tetapi walaupun itu hanya imajinasi Adira, kesenangan tetap tidak pernah bosan menghantui hari-hari Adira. Hari-hari Adira terlihat lebih beraura senang disbanding dengan biasanya. Terkadang bahkan ia tersenyum ke beberapa teman sekelas yang menyapanya di pagi hari. Senyuman yang bahkan tidak disangka-sangka orang akan teracuni bagi para kaum adam. Karena itu semakin hari, teman sekelasnya terutama para lelaki mulai sering menyapa Adira. Walaupun Adira merasa ada hal yang aneh dibalik semua itu. 42
Lalu pergantian materi juga dilakukan, bahkan lebih dikatakan pergantian level ke level yang lebih sulit. Wajah kusut siswa tidak pernah hilang setiap harinya terutama saat mata pelajaran utama bagi para anak IPA dan IPA. *** KRIIING!! KRING!! Hari yang melelahkan diganti begitu cepat dengan sorak kemenangan. Bel berbunyi mencoba memberitahu kepada mereka bahwa waktunya istirahat, baik bagi para murid begitu juga dengan para guru. Tadi pagi Adira diberi sarapan dengan porsi makan siang, sehingga kini ia tidak merasa lapar sama sekali. Ia akhirnya berpikir untuk pergi ke perpustakaan, mencari kemungkinan buku yang akan dia pinjam. Adira sedang ingin meminjam buku untuk mengisi waktu kesendiriannya di rumah. Sehingga untuk pertama kalinya ia keluar dair kelas, selain waktu pulang sekolah atau urusan-urusan penting lainnya tentu saja. Perpustakaan berada di dekat ruang guru. Ruangan yang cukup luas bagi para pecinta rangkaian tulisan. Ada guru yang bertugas menjadi pengawas perpus. Beberapa anak terlihat sedang asyik di dalam dunia imajinasi masing-masing. Adayang sedang mencari-cari buku yang ingin mereka pinjam. Kebanyakan penghuni perpus itu tidak dikenali oleh Adira. Kemudian, Adira mencoba mencari dan membaca sinopsis buku yang ia anggap menarik untuk ia pinjam. Sekitar sepuluh menit ia telah menelusuri setiap bilik rak-rak buku yang tengah berjejer. Kini ia telah mendapat 3 buku yang akan ia pinjam untuk meluangkan waktu sorenya di rumah tanpa ada seorangpun yang menemani dirinya. Ia kemudian menuju ke arah pengawas perpus untuk mendaftarkan buku-buku yang hendka ia pinjamkan itu. “Wow, tiga buku. Pasti kamu gemar sekali membaca.” Kata guru itu kepada Adira. “Eh, iya bu.” Balas Adira dengan sedikit kaku. Setelah selesai meminjam Adira kemudian berjalan keluar kembali menuju ke kelasnya yang berada di lantai dua. Tiga buku telah berada di dekapannya siap untuk ia baca nanti. 43
Ia kemudian menyusuri lorong-lorong. Tapi tanpa di sengaja seseorang berlari begitu kencang dan sedang menoleh ke belakang. Seperti tidak melihat ada seseorang yang sedang berada di lorong itu. BUK! Tabrakan yang sedikit terdengar menyakitkan. Terdengar suara gebrakan buku dan seorang perempuan yang sedang merintih sakit, memegang tangannya yang tertimpa si lelaki yang siapa dengan ceroboh menabraknya dari depan. “Eh, maaf-maaf banget, gue gak sengaja, gue gak lihat lu tadi pas gue berlari, ada yang sakit gak?” Tanya si lekaki itu menyesal sambil membantu Adira berdiri dengan sempurna, lalu mengambil ketiga buku yang telah Adira pinjam. Kemudian tangan lelaki itu seperti menyodorkan sesuatu, ternyata itu kacamata Adira yang terjatuh. Sekarang ia dapat melihat dengan jelas wajah wajah lelaki yang menabrak Adira telah terlihat lebih jelas di depannya. Kacamata miliknya tak sengaja terjatuh saat lelaki itu menabraknya, sehingga ia tak dapat begitu mengenali siapa yang telah menabraknya tadi. Kacamata Adira sepertinya membuat lelaki itu tidak dapat langsung mengenali waah Adira. “Eh, Mila.” Katanya yang kini sudah mengenali wajah Adira setelah Adira menggunakan kacamatanya. Adira-pun menyadari seseorang yang menabraknya adalah seseorang yang ia kenali, Nathan . “Baca apatuh banyak banget kelihatannya.” Katanya setelah beberapa lama hening di antara mereka. “Hanya buku yang berkisah tentang seorang perempuan pemalu berteman dengan lelaki yang sangat girang, seperti kisah romansa biasanya.” Kata Adira. Cerita yang bahkan terlihat seperti cerita hidup Adira kini. Baru kali ini ia berbicara begitu banyak kepada seseorang. Bahkan kepada Thalia saja ia hanya mau berbicara beberapa potong kata. Nathan terlihat mengerti dengan garis besar yang diceritakan Adira, dilihat dari kepalanya yang tidak berhenti mangut-mangut sedari tadi. “Wow, kukira kamu gak bakal mau berbicara denganku, keren kamu suka cerita-cerita seperti itu ya?” Tanyanya lagi merasa dirinya tak sia- sia melakukan pendekatan beberapa hari lalu di ruang ujian bersama Adira. “Terlihat aneh kah?” Tanya Adira kemudian. “Eh-, tidak-tidak, ya… aku jadi tau kesukaanmu- gitulah.” Katanya terdengar seperti orang yang sedang grogi, seperti orang yang sedang tersipu malu. 44
“Kamu gak makan bekal ya? Biasanya aku lihat kamu makan dulu baru melakukan hal yang lain” Tanya Nathan mengalihkan perhatian dari suasana canggung barusan. Walaupun pertanyaan itu terdengar seperti Nathan seringkali memata-matai Adira. “Memangnya aku tidak boleh meminjam buku? Lagipula bagaimana kamu tahu aku sering makan bekalku? Kelasku kan di ujung lorong.” Tanya Adira merasa ada kejanggalan dari kata Nathan barusan. “Gak kok, soalnya aku biasa sering ngajak beberapa teman dari kelasmu gitu. Adalah yang aku kenal, kami temenan baik gitu. Jadi seringa ja ngeliat kamu makan bekalmu di kelas gitu.” Katanya dengan gugup mencoba menutupi kejanggalan itu. Tapi itulah kenyataannya Nathan Merasa tertarik untuk mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis mungil di hadapannya ini, Adira. “Oh ya, kamu berteman baik ya sama Thalia?” Tanyanya ragu membuka topik pembicaraan mereka yang baru. Adira terlihat kaget mendengar nama ‘teman baik’nya itu disebut. “Iya, mungkin saja seperti kelihatannya.” Kata Adira menanggapi pertanyaan dari Nathan. Dari kelihatanya Adira seperti tidak mau melanjutkan percakapan dengan topik ini. Lalu kecanggungan diam diantara keduanya lagi. Mereka lalu berdiam diri sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya karena tak ada topik pembicaraan yang terlintas di benak Nathan, kini dirinya dengan berat hati harus mengakihiri perbincangan mereka kali ini. “Mila aku duluan ya kalau begitu, besok-besok mungkin kita bisa berbincang lagi.” Katanya melambaikan tangan kepada Adira dan kemudian meninggalkannya. Adira masih terdiam di posisinya. Ia masih berpikir apakah ini salah satu imajinasinya lagi atau tidak. Ia melihat dari kejauhan punggung seorang laki-laki yang sangat memikat hati remaja seusianya. Kejadian yang langka. Sungguh sebuah keajaiban Adiira dapat bertemu dan bahkan berbincang dengan Nathan. Adira kembali ke kelas dengan senyuman terulas di wajahnya. Orang-orang dapat dengan mudah bahwa Adira telah mendapatkan sesuatu yang baik barusan. Tentu saja sesuatu yang sangat SANGAT BAIK. 45
Ia sudah tak sabar untuk pulang dan menuliskan perasaan ini kepada teman baik yang tidak akan pernah membocorkan rahasia-rahasianya, diary. Teman yang bahkan mengalahkan teman nyatanya. Dengan cepat hari berlalu, Adira bergegas pulang. Walaupun hal itu terlihat janggal di mata Thalia. Sepenjang perjalanan pulang Adira tidak henti-hentinya menghapus senyuman manis itu. Bahkan orang-orang rumah terlihat kaget dengan ekspresi yang dipasang oleh Adira. Hari ini dia pulang dengan hati yang cukup gembira. Ia tidak memedulikan orang rumah yang sedari tadi menanyakan apa maksud ekspresi itu. Ia merasa hanya dirinya seorang menguasai dunia. Setengah berlari Adira melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Ia masuk ke kamar mengunci rapat pintunya. Memastikan tidak ada orang yang dapat masuk. Lalu dengan hati-hati mengeluarkan buku kecil yang menjadi teman curhatnya sejak lama. Dengan cepat tangannya telah menari-nari membentuk suatu tulisan, dari kata-kata, menjadi suatu kalimat, lalu paragraf, dan jadilah cerita perasaannya hari ini di sekolah. *** Hai diary tersayang, Hari bertemu lagi denganku hari ini. Entah akankah aku menemukan seseorang yang setidaknya menandingi dirimu. Kau yang selalu mengunci rapat setiap rahasiaku, dan kau yang takkan pernah meninggalkan diriku apapun kejadiannya. Hari ini aku ingin bercerita kembali akan seseorang yang baru-baru ini selalu muncul di benakku, Nathan. Kali ini aku bertemu dengannya, hanya saja dia yang duluan mengenalku. Sungguh mengejutkan bukan! Bahkan Nathan kelepasan membilang aku yang biasanya makan bekal di kelasku seorang diri. Dia seperti memata-mataiku, melihatku dari jauh, keren sekali. Tak kusangka ada yang mau melihat diriku yang telah seperti ini. Pendiam, pemalu, sangat introvert, dan segala hal seperti seorang gadis pinter yang cupu di drama- drama pada umumnya. Tapi aku berpikir akankah hal itu terulang kembali, aku berbincang dengannya, bukan karena hal yang tidak diinginkan terjadi seperti tadi siang aku tertabrak. Sungguh badannya yang besar itu menimpaku, aku sedetik merasa diriku kempis bagai dilindas truk saja badanku. Aku hanya bisa berharap kalau suatu hari nanti, kami akan bertemu dan berbincang lebih lama hari ini. Bahkan kalau mungkin menjadi 46
sahabatku yang kedua setelah Thalia. Sepertinya sudah dulu untuk hari ini ya diaryku tersayang, kamu yang selalu sabar mendengar setiap ocehan kata yang terlontar dari mulutku. Salamku untuk diary tersayang Nadira Mila Angel 47
7 Bulan November telah tiba. Bahkan telah berlalu sepuluh hari dari hari pertama bulan itu. Lagi-lagi perayaan baru telah tiba. Hari ini SMA Adira sedang merayakan Hari Pahlawan yang bertempatan pada tanggal 10 November. Sekolah telah membentuk panitia yang ditugaskan membuat perayaan ini meriah dan mau diikuti oleh semua siswa. Seluruh siswa terlihat riang dan gembira. Mereka berusaha melepas penat, karena pembelajaran yang mulai padat kembali. Apalagi bagi anak kelas 12 yang sudah memasuki masa-masa Try Out. Karena itu para panitia berusaha agar memberikan yang terbaik bagi senior mereka di tahun terakhir mereka ini. Banyak sekali permainan yang disiapkan, mulai dari fashion show, make up, cerdas cermat, lomba band, melukis, membaca puisi, dan teater. Banyak lomba menarik itu telah disiapkan secara matang. Semua siswa terlihat bersemangat, terutama dengan lomba bad yang menjadi lomba yang paling ditunggu-tunggu. Lomba-lomba ini juga dilakukan sebagai salah satu ajang talent show sekolah. Sehingga mereka dapat melakukan lomba dengan bertemakan bebas, kurang lebih dengan sedikit unsur kepahlawanannya tentu saja. Hanya saja yang membingungkan disuasana menyenangkan seperti ini justru membuat Adira semakin ingin mendekapkan dirinya di dalam kamarnya. Aura sekolah saat ini sangat bertolak belakang dengan sifat Adira. Hingga akhirnya Adira duduk di pojokan ruangan dimana telah banyak orang bersiap-siap untuk memulai lomba melukis. Adira bisa saja mengikutinya lomba itu, tapi di dalam hatinya sedang tidak ada kemauan untuk melakukan apapun yang lebih memberatkan jiwa sosialnya. Sungguh 48
menyedihkan sekali memiliki jiwa sosial yang begitu rendah seperti Adira. Tambah lagi dia juga tidak memiliki persiapan apapun untuk ikut lomba. Tiba-tiba ada yang menyodorkan kertas dan alat-alat untuk melukis. Dengan bingung Adira berdiri dan melihat siapa yang memberikanya hal-hal yang berhubungan dengan melukis ini. Seketika Adira terkegat kecil dengan siapa yang menyodorkan alat- alat itu. Tentu saja, teman yang hanya pernah mengobrol dengannya paling banyak adalah Thalia dan satu lagi… “Nathan, kenapa kasih aku alat melukismu ke aku.” Kata Adira menyadari Nathan-lah yang memberikan seperangkat alat untuk melukis. Adira terlihat kebingunan dengan alat-alat yang disodorkan Nathan. ‘Untuk apa pula dia memberikan aku ini.’ Pikinya begitu. “Kevin, ini ada satu orang lagi yang mau ikut lomba melukis, masih bisa ikut kan?” Teriak Nathan yang masih berdiri di sebelah Adira tidak memdulikan pertanyaan yang dilontarkan Adira itu. Terlepas dari kekagetan Adira diberi alat-alat melukis, ditambah lagi sekarang keterkejutannya akan teriakan Nathan. “Yo Than, biasa kok. Masih banyak tempat yang kosong langsung isi aja.” Kata seseorang yang bernama Kevin, entahlah itu siapa menurut Adira. Dari kelihatannya ia trmasuk ke salah satu panitia pengurus acara kali ini. Tanpa ragu-ragu Nathan menarik tangan Adira dan mengajaknya untuk duduk di salah satu tempat yang kosong dimana berdiri di depannya sebuah kanvas yang sudah siap untuk dilukis. Tentu saja hal itu membuat adira terkaget setengah mati. Apa yang akan dilakukan Nathan itu. Wajah kesal Adira telah terpasang sejak tadi, dan membuat Nathan salah tingkah dengan itu. “Aku tahu aku melakukan hal ini tanpa menanyakan pendapatmu terlebih dahulu, tapi aku yakin kamu bisa melakukan hal ini, aku akan berada di belakang bersama dengan teman-temanku yang lain, setelah waktu habis aku akan menjemputmu, Okay!” Katanya dengan panjang lebar dengan wajah memelas yang dapat membuat seluruh gadis remaja teracuni ramuan jatuh cinta. “Mau apa kamu menjemputku? Memangnya kamu mau mendaftarkaku apalagi?” Tanya Adira yang masih ada sedikit keterkejutan yang terpasang di wajah Adira. Merasa tidak terima diberlakukan seperti ini, tetapi apa boleh buat mungkin hal ini dapat melatihn dirinya melukis dengan lebih baik lagi. 49
Search