Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Edisi Vol III No. I April 2016

Edisi Vol III No. I April 2016

Published by munand84, 2017-09-19 23:12:57

Description: Jurnal Perikanan Tropis

Search

Read the Text Version

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 DEWAN REDAKSI JURNAL PERIKANAN TROPIS Penanggung Jawab Rektor Universitas Teuku Umar Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan PembinaKetua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Ketua Penyunting/Redaktur Afrizal Hendri, S.Pi, M.Si Sekretaris Nabila Ukhty, S.Pi, M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Sugeng Heri Suseno Prof. Dr. Sukendi Prof. Dr. Muchlisin ZA Penyunting Pelaksana/Editor Hafinuddin, S.Pi, M.Sc Arif Nasution, S.Pi, M.Si Perancang Sampul Irwandi, S.Kom.I Penerbit Universitas Teuku Umar Alamat Redaksi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku UmarJln. Kampus Alue Peunyareng, Kecamatan Meurebo, Meulaboh 23615, Aceh Barat, Indonesia CP: 0811673480, 081378081300, Web: www.utu.ac.id, E mail: [email protected] Perikanan Tropis terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober yangberisi artikel ilmiah hasil penelitian atau kajian bidang berkaitan dengan perikanan dalamartian luas (budidaya perairan, perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, manajemensumberdaya perairan, ilmu kelautan, sosial ekonomi perikanan), ilmu perairan, maupunmasalah-masalah lainnya yang relevan dengan masalah perikanan

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55721. Pemodelan Dinamika Arus Perairan Indonesia Yang Disebabkan Oleh 1 Angin 11 Ika Kusumawati..................................................................................................2. Kajian Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Kerang Air Tawar (Anodonta sp) di Kawasan Hilir Sub Das Krueng Meureubo, Aceh Barat Munandar, Alwis Alamsyah ...............................................................................3. Performa Rumput Laut, Gracilaria gigas, Pada Sistim Budidaya Laut 20 dan Tambak Farah Diana ........................................................................................................4. Perkembangan Ovarium Ikan Wader Pari (Rasbora lateristriata 32 Bleeker, 1854) Pendekatan Histologi Zulfadhli .............................................................................................................5. Kepadatan dan Sebaran Teritip (Amphibalanus spp.) di Pelabuhan 40 Kota Dumai Muhammad Arif Nasution, Al Mudzni ..............................................................6. Rekayasa Salinitas Media Pemeliharaan Sebagai Upaya Domestikasi 54 Ikan Giru (Amphiprion ocellaris) Yang Berasal Dari Kepulauan Simeulue Sufal Diansyah, Munandar, Afrijal ....................................................................7. Efektivitas Induksi Reproduksi Macrobachium rosenbergi Betina 64 Dengan Kombinasi Ablasi Unilateral dan Suplementasi Vitamin E Inayatsyah, Rahmawati Nasution .......................................................................8. Fertilisasi dan Daya Tetas Telur Ikan Tawes (Puntius javanicus) Dari 77 Sperma Pasca Penyimpanan Pada Temperatur 4oC Nuri Lismawati, Afrizal Hendri, Mahendra .......................................................9. Analisis Pendapatan Nelayan Pada Kapal Motor 5-10 GT di Kabupaten 85 Aceh Barat Daya Zuriat ..................................................................................................................10. Preferensi Konsumen Terhadap Produk Hasil Laut (Studi Kasus 95 Restoran Seafood Mjm Kota Palu, Sulawesi Tengah) Mohamad Gazali ................................................................................................

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572PEMODELAN DINAMIKA ARUS PERAIRAN INDONESIA YANG DISEBABKAN OLEH ANGIN CURRENT DYNAMICS MODELLING OF INDONESIAN WATERS WITH WIND AS THE INDEPENDENT VARIABLE Ika Kusumawati Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi: [email protected] Abstract Research on current dynamics modelling in Indonesian waters with windemployed as independent variable has been observed. The purpose of this study was tomodel the hydrodynamic equations due to the influence of the wind in Indonesia watersin the form of visualization described consisting of wind circulation pattern and patternof current movement in the west and east monsoon season. To analyze the data obtainedduring the study, researchers used a descriptive approach. The results showed that thewest wind season (December, January, and February) blow from the northeast to thesouthwest then turning southeast. Whereas the east wind season (June, July, andAugust) blows from the southeast to the northwest and then turn to the northeast. On thesurface layer shows the current movement in general follows the movement of the winddirection in which the current speed is very dominant occurred in some waters, such asthe Karimata Strait, the Java Sea, the South China Sea, and the Arafuru Sea. Thedominant current velocity in the layer of 100-200 m in the water of eastern equator andthe South China Sea in the west season has recorded a current speed reaches 20 cm /s. while in the east monsoon which occurs in the equatorial waters of the eastern part, inthe Maluku Sea, the Seram Sea and nearby the Arafuru Sea current velocity reaches40cm / s.Keywords: Current Dynamics, Modelling of Indonesian Waters, WindI. Pendahuluan Indonesia secara geografis terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dandua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Stewart, 2002). Hal inimenyebabkan perairan Indonesia mempunyai tinggi permukaan air yang berbeda,sehingga arus laut dari Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia dengan debit airyang sangat besar, lebih dari 15.000.000 m3/s (Djamil, 2006). Pertukaran air dari dua samudera tersebut dengan kombinasi rupa bumi dasar lautyang bervariasi topografinya juga mengakibatkan banyak terdapat lokasi upwelling dimana naiknya massa air dari lapisan bawah ke lapisan permukaan. Massa air yang naikini mempunyai suhu yang dingin, salinitas yang rendah dan membawa zat-zat haraseperti fosfat dan nitrat yang sangat diperlukan oleh plankton. Daerah upwellingmerupakan daerah yang memiliki potensi perikanan laut sangat besar ( Mann and lazer,1991). 1

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Angin merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai peranan pentingdalam interaksi antara laut dan atmsofer sehingga mendapat perhatian tidak hanyadalam penelitian meteorologi saja tetapi juga dalam penelitian kelautan. Bagi dinamikaperairan laut terutama di lapisan permukaan angin merupakan sumber energi utama.Transfer energi dari angin permukaan ke laut akan menyebabkan terjadinya gelombanglaut dan arus permukaan laut (Wyrtki, 1961; Nontji, 2005; Arief, 1994; Dahuri et al,1996). Informasai tentang pola arus dan angin dari lapangan tidak mungkin diperolehsecara lengkap. Simulasi dinamika oseanografi dapat memprediksi kuantitas fisik ditempat yang diinginkan, dengan menggunakan persamaan differensial parsial yangdikenal dengan “Navier Stokes”. Persamaan differensial untuk dinamika oseanografidiperoleh dengan memperhatikan beberapa fenomena fisika seperti hukum kekekalanmassa, hukum Newton, gaya gravitasi, gaya Coriolis, gesekan angin, dan tekananatmosfer (Pond and Pickard, 1983). Dengan demikian penelilitian ini merupakan salah satu cara yang sangat efisiendalam menjaga dan eksplorasi sumber daya laut yang ada di dalamnya, sehinggagerakan massa air yang dilalui di perairan Indonesia dapat diketahui. Penelitian inibertujuan menentukan pergerakan arus dan sirkulasi angin pada musim barat dan musimtimur.II. Metode Penelitian Penelitian ini dilakasanakan pada Agustus 2007 – Februari 2008. Pengolahandata dilakukan dilakukan Laboratorium Ilmu Kelautan. Dalam melaksanakan penelitianini digunakan seperangkat komputer sebagai alat bantu untuk menyelesaikan persamaansecara numerik dan pembuatan visualisasi hidrodinamika laut. Perangkat lunak(software) yang digunakan adalah bahasa program fortran 77 dan GMT under linux.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yaitu memberigambaran umum tentang pola umum sirkulasi angin permukaan berdasarkan hasilpengolahan data.Penelitian akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:1. Menentukan dan memasukkan data syarat batas pasang surut yang terdiri dari Amplitudo dan fase dengan resolusi 1° (Zahel et al, 2000) diinterpolasi menjadi resolusi 10’.2. Memodelkan hidrodinamika untuk mendapatkan u,v,w dan . Domain model wilayah meliputi 94° 30’ BT-145° 30’ BT dan 15° 30’ LU-14° 30’ LS. Dalam penelitian ini, model didiskritisasi 10’ dalam arah x dan y. Dalam arah vertikal, model terbagi menjadi 11 lapisan berdasarkan data Levitus, 0-10 m, 10-20 m, 20-30 m, 30-50 m, 50-100 m, 100-200 m, 200-500 m, 500-1000 m, 1000-2000 m, 2000-5000 m, 5000-12000 m. Langkah waktu diatur pada t = 600 dt (Zahel et al., 2000).3. Memodelkan arus akibat angin bulanan (Rizal, 2004). 2

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Persamaan Dasar Hidrodinamika LautGaya-gaya utama yang mempengaruhi dinamika oseanografi (Pond and Pickard,1983) terdiri atas:1. Gravitasi, yang mencakup gaya oleh matahari, bulan, dan planet lainya. Percepatan gravitasi yang digunakan adalah g = gbumi + Ω x (ΩxR) =9,8 m/dt2.2. Gesekan angin, untuk arah tangensial berupa gesekan dan arah normal berupatekanan.3. Tekanan atmosfer (dari udara) dan tekanan air laut termasuk perbedaan densitas akibat perbedaan salinitas dan temperatur. (1) Ftekanan = -α  p4. Seismic yang berasal dari kegiatan tektonik di dasar laut.5. Gaya Coriolis terjadi ketika benda bergerak lurus diamati oleh objek yang bergerakrotasi (pengamat diam dibumi). Atau gaya palsu pada bidang yang bergerak ketikagerakannya diobservasi terhadap bumi yang berputar. Di mana bagian bumi utarabergerak ke kanan dan bagian bumi selatan bergerak kearah kiri. Perbedaan gerakanini disebabkan karena adanya perbedaan antara gerakan kutub dan gerakan equator.Fcoriolis = -2ΩxV (2)6. Gaya gesek baik yang terjadi antara air dan dasar laut maupun air laut dengan airlaut (turbulensi). Besarnya gaya gesek akibat turbulensi tersebut sebanding dengankonstanta konstanta turbulensi A.Fturbulensi = A  2 •V (3)Definisi gaya yang digunakan untuk dinamika oseanografi ialah gaya persatuanmassa. Sehingga dimensi gaya yang digunakan berdimensi percepatanLT-2. Oleh karena itu definisi gaya persatuan massa adalahF = a = dV (4) dtPersamaan air laut yang menggunakan gaya persatuan massa dinamakan persamaankecepatan. Karena V merupakan fungsi posisi dan waktu V = V(x,y,z,t), makaF = dV = V + V dx + V dy + V dz dt t x dt y dt z dt= V + u V + v V + w V (5) t x y zlaju perubahan lokal suku konvektifRuas kanan persamaan (5) terdapat suku lokal berupa V dan suku yang tberubah terhadap posisi yang dinamakan suku konvektif.Bila seluruh gaya dijumlahkan diperoleh persamaan dasar dinamika oseanografi(Pond and Pickard, 1983).F = Ftekanan + Fcoriolis + Fgrafitasi + Fgesekan + Flainnya 3

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 (6)F = dV = -α  p – 2ΩxV + g + A  2 •V + Flainnya dtIII. Hasil dan Pembahasan3.1 Arus Menurut letaknya arus dibedakan menjadi arus permukaan, arus pada kedalamantertentu, dan arus bawah. Arus permukaan adalah arus yang bergerak di permukaan laut,di mana arah arus permukaan memiliki hubungan yang erat dengan angin. Sedangkanarus bawah adalah arus yang bergerak di bawah permukaan laut yang sangat berkaitandengan gesekan dasar. Aliran arus yang terjadi pada setiap lapisan akan berbeda-beda.Berikut ini beberapa pola arus pada lapisan yang berbeda, yaitu arus permukaan, aruspada lapisan 100-200 m, dan arus pada lapisan dasar. Arus dari masing-masing lapisanakan di gambarkan berdasarkan musim, musim barat diwakili oleh bulan Februari danmusim timur diwakili oleh bulan Agustus (Rizal, 2004).3.1.1 Arus Permukaan pada Musim Barat dan Musim Timur Gambar 1 pada musim barat menunjukkan bahwa arus dari Samudera Pasifikmengalir ke arah barat laut di bagian utara khatulistiwa menuju ke Laut Mindanoa, LautSulawesi, Laut Sulu, dan Laut Cina Selatan. Pada daerah khatulistiwa, arus dariSamudera Pasifik masuk ke Laut Halmahera, Laut Maluku, Selat Makasar, dan SelatKarimata. Hal ini sejalan dengan gambaran Wyrtki (1961) menguatnya aruskhatulistiwa utara dan melemahnya arus khatulistiwa selatan. Di Selat Karimata arus masuk melalui Laut Cina Selatan dengan kecepatan 100-120 cm/s. Arus dari Selat Karimata menuju ke Selat Malaka, Selat Sunda, dan LautJawa. Arus di Selat Sunda menuju ke Samudera Hindia. Di Laut Jawa arus dengankecepatan 100 cm/s mengalir ke Laut Flores dan Laut Banda. Di Laut Banda arus dariSelat Makasar, Laut Maluku, dan Laut Halmahera bergabung mengalir ke arah tenggaramelalui Laut Arafuru dengan kecepatan 100 cm/s. Arus Laut Timor yang merupakanmasukan dari Samudera Hindia juga menuju ke arah tenggara dengan kecepatan arus60-80 cm/s. Arus yang mengalir pada musim barat mengikuti arah angin yang bertiupdari timur laut ke arah barat daya kemudian berbelok ke arah tenggara. Arus permukaan pada bagian selatan khatulistiwa mengalir dari tenggara dantimur diperlihatkan pada Gambar 1. arus dari tenggara menuju ke Samudera Hindiamelewati Laut Arafuru dan Laut Timor. Sedangkan arus dari timur mengalir ke LautArafuru dengan kecepatan 80 cm/s menuju ke Laut Banda. Dari laut Banda arusberpencar mengalir ke Laut Jawa, Selat Makasar, Laut Maluku, dan Laut Halmahera. DiLaut Jawa arus dengan kecepatan 100-120 cm/s keluar menuju Samudera Hindiamelalui Selat Sunda. Kecepatan arus di Selat Karimata mencapai 140 cm/s, arus inimerupakan arus masukan dari Laut Jawa. Dari Selat Karimata arus keluar munuju SelatMalaka dan Laut Cina Selatan. Di bagian utara khatulistiwa arus dari Laut Cina Selatan, Selat Makasar, LautMaluku, dan Laut Halmahera mengalir ke arah timur yaitu Samudera Pasifik. PadaSamudera Pasifik arus ini menuju ke arah timur laut dan tenggara. Arah arus pada bulan 4

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572ini dapat dikatakan bergerak berlawanan dengan arah angin yang bertiup dominan ketimur laut. Hal ini dapat diakibatkan oleh mulai menguatnya arus khatulistiwa selatandan melemahnya arus khatulistiwa utara (Wyrtki, 1961) yang memungkinkanmenguatnya Mindanao Eddy. Gambar 1. Pola arus permukaan pada bulan Februari (Musim Barat) Agustus (Musim Timur).3.1.2 Arus Lapisan 100-200 m pada Musim Barat dan Musim Timur Pola pada musim barat (Gambar 2) arus di Laut Jawa mengalir ke barat. Arus inimenuju ke arah tenggara yaitu Samudera Hindia keluar melalui Selat Sunda. Arus diLaut Banda cukup kuat, tidak sebanding dengan yang dapat ke luar melewati LautMaluku, Laut Seram, dan Laut Arafuru. Akibatnya air di Laut Banda ini akanmenumpuk dan akhirnya tenggelam (sinking). Di bagian utara khatulistiwa arus munujuke arah timur laut dengan kecepatan 20 cm/s. Sedangkan pada musim timur (Gambar 2)memperlihatkan arus di Laut Jawa mengalir ke timur. Di Laut Banda arus kuat yang keluar menuju Laut Flores dan Laut Timor hingga terjadi kekosongan yang tidaksepenuhnya dapat tergantikan oleh arus permukaan sekitarnya. Dan akibatnya, air padalapisan bawah naik ke permukaan (upwelling) hingga membuat Laut Banda subur. Padamusin timur arus di bagian utara khatulistiwa berbalik arah menuju ke arah tenggaradengan kecepatan 40 cm/s. 5

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gambar 2. Pola arus lapisan 100-200 m pada bulan Februari (Musim Barat) dan Agustus (Musim Timur).3.1.3 Arus Lapisan Dasar pada Musim Barat dan Musim Timur Pada musim barat (Gambar 3) arus yang mengalir pada bulan Februari tidakkonsisten ke satu arah saja. Arus menuju ke arah barat laut, barat daya, dan timur laut,tetapi lebih dominan menuju ke timur laut. Di Selat Malaka dan Selat Sunda arus lautmengalir ke luar menuju ke Samudera Hindia. Pada Selat Karimata hingga ke LautFlores bisa dijumpai arus dengan kecepatan sekitar 60 cm/s. Arus Laut Jawa secaraumum mengalir dari barat ke timur. Laut Maluku menerima arus yang datang dari LautBanda. Di Laut Banda, arus dari Laut Flores mengalir masuk. Sebagian arus inikemudian mengalir ke sebelah utara Pulau Buru masuk ke Laut Seram dan dari sinimelewati Laut Halmahera terus masuk ke Samudera Pasifik. Sebagian lagi arusbergerak di sebelah selatan Pulau Seram dan masuk ke Laut Arafuru. Lapisan yang sudah tidak terpengaruh angin, pergerakan arus berjalan denganlambat. Pada Musim Barat di Laut Banda Arus keluar pada kedalaman sekitar 1.000 mke Samudera Hindia melalui Laut Timor dan merayap sampai ke Madagaskar. Dapatpula diketahui bahwa meskipun aliran arus berjalan lambat tetapi sudah cukup untukmemberi ventilasi atau pertukaran air pada palung-palung terdalam sekalipun. Bulan Agustus pada musim timur (Gambar 3) arah arus telah di Laut Jawaberbalik sepenuhnya menuju ke barat laut yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatandengan kecepatan 20-40 cm/s, tapi di sepanjang pantai utara Flores sampai KepulauanAlor terdapat arus yang masih tetap menuju ke tenggara, barat daya, dan selatan. Samaseperti pada musim barat di Selat Malaka dan Selat Sunda arus laut mengalir ke luarmenuju ke Samudera Hindia. Tomosada (1989) mendapatkan bahwa arah dari arusmusim di Selat Sunda bervariasi, meskipun secara umum dapat dikatakan bahwaarahnya tetap menuju ke arah Lautan Hindia. Laut Maluku menerima arus yang datang 6

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572dari utara Irian yang terlebih dulu melingkari ujung selatan Halmahera untuk kemudianberbelok ke utara dan kembali ke Samudera Pasifik. Di pesisir utara Irian terdapat ArusKhatulistiwa Selatan dari Samudera Pasifik yang arusnya kuat menuju ke barat. Gambar 3. Pola arus lapisan dasar pada bulan Februari (Musim Barat) dan Agustus (Musim Timur).3.2 Angin Perairan Indonesia yang berada di daerah sekitar khatulistiwa dan secarageografis terletak antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudera, Hindia danPasifik, sangat dipengaruhi oleh angin Musim. Angin Musim di atas perairan Indonesiamengalami pembalikan arah dua kali dalam setahun. Pembagian ini lebih dikenaldengan :1. Musim Barat (Desember - Februari)2. Musim Timur (Juni-Agustus)3.2.1 Angin Musim Barat Selama periode ini (Gambar. 4) di daerah yang membentang dari ujungSumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian anginbertiup dari barat ke timur. Sedangkan di daerah yang mencakup sebagian besarSumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin datang dari arah timur Laut. Hal inisejalan dengan pola angin dalam Prawirowardoyo (1996). 7

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Desember Januari Februari Gambar 4. Sistem angin di Perairan Indonesia pada bulan Desember-Februari3.2.2 Angin Musim Timur Di daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali,Lombok, Nusa Tenggara sampai Irian angin bertiup dari timur ke barat (Gambar 5).Dalam Prawirowardoyo (1996) di daerah yang mencakup Sumatera lainnya danKalimantan Barat angin datang dari arah barat daya ke arah timur laut. 8

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Juli Juli Agustus Gambar. Sistem angin di Perairan Indonesia pada bulan Juli-AgustusIV. Kesimpulan1. Pola angin Hellerman pada musim barat (Desember, Januari, dan Februari) dan musim timur (Juni, Juli, dan Agustus).2. Arus permukaan pada musim barat mengalir dari Samudera Pasifik ke arah tenggara melalui Laut Arafuru. Sedangkan pada musim timur arus yang masuk ke Samudera Pasifik mengalir ke arah timur laut dan tenggara. Arah arus pada musim timur dapat dikatakan bergerak berlawanan dengan arah angin yang bertiup dominan ke timur laut.3. Kecepatan arus yang dominan pada lapisan 100-200 m terjadi di perairan khatulistiwa bagian timur dan sekitar Laut Cina Selatan pada musim barat di mana kecepatan arus mencapai 20 cm/s. Sedangkan pada musim timur selain terjadi di 9

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 perairan khatulistiwa bagian timur juga terjadi di Laut Maluku, Laut Seram, dan sekitar Laut Arafuru di mana kecepatan arus mencapai 40 cm/s.4. Kecepatan arus yang dominan pada lapisan dasar terjadi diperairan yang sama. Pada musim barat di Laut Arafuru dan Laut Timor kecepatan arus 20 cm/s. Di Laut Cina Selatan hingga ke Laut Jawa terjadi arus dengan kecepatan 20-70 cm/s. Sedangkan pada musim timur di Laut Arafuru dan Laut Timor kecepatan arus mencapai 20-60 cm/s. Di Laut Cina Selatan hingga ke Laut Jawa terjadi arus dengan kecepatan 20-40 cm/s.5. Ketiga lapisan di atas menunjukan bahwa arus laut Indonesia lebih banyak mendapatkan air dari Samudera Pasifik. Meskipun Indonesia berbatasan langsung dengan Samudera Hindia namun ternyata samudera ini hanya mempunyai peranan kecil sekali pergerakan arus di Perairan Indonesia.Daftar PustakaArief D. 1994. Sirkulasi Arus Laut. Diktat Kursus Oseanografi bagi Perwira TNI-AL, LON-LIPI. Jakarta. hlm.11.Djamil, S. A., 2006, Negeri Di Batas Dua Samudra Menggenggam Urat Nadi Ekonomi Dunia, http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=126. Tanggal Download 15 Mai 2007Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengeloaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. hlm.36.Mann KH, Lazier JRN. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems. Blackwell Scientific Publications. Cambridge. p.164.Nontji A. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.2005. hlm.45.Pond S, Pickard LG. 1983. Introductory Dynamical Oceanography. Second Edition. Pergamon Press. New YorkPrawirowardoyo S. 1996. Mereorologi, Penerbit ITB, Bandung.Rizal S. 2004. Modelling of Tides in the Southeast Asian Waters, Preprint submitted to Elsevier Science, Marine and Fishery Studies, Syiah Kuala University, Banda Aceh.Stewart RH. 2002. Intoduction to Physical Oceanography. Departement Oceanography. Texas A&M University.Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the South East Asian Waters. Published by the Scripps Institution of Oceanography. University of California. San Diego. C.A. 195 pp.Zahel W, Gavinko JH, Seiler U. 2000. Angular Momentum and Energy Budget of a Global Ocean Tide Model with Data Assimilation. GEOS 20. 400-413. 10

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT MERKURI (Hg) PADA KERANG AIR TAWAR (Anodonta sp) DI KAWASAN HILIR SUB DAS KRUENG MEUREUBO, ACEH BARAT STUDY OF HEAVY METAL CONTENT OF MERCURY (HG) IN FRESHWATER SHELLS (Anodonta sp) IN THE DOWNSTREAM SUB DAS KRUENG MEUREUBO REGION, WEST ACEH Munandar1), Alwis Alamsyah1) 1Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi: [email protected] Abstract One source of mercury pollution came from gold mining was done by thecommunity from gold processing through amalgamation. Heavy metals that present inthe waters will undergo deposition process and accumulate in marine animals then endup in humans. Meureubo upstream region is one of the locations that still carried out thegold mining activities used mercury. That condition is one potential factor that cancontaminate the waters. This study was conducted in October-November 2014.Sampling was taked in Meureubo River and the mercury content analysis was carriedout in the Laboratory of Research and Standardization Industry (Baristan) Banda Aceh.The laboratory analysis results showed that the total mercury (Hg) of heavy metals inthe freshwater mussels samples (Anodonta sp) on RP station is 0,074 ppm, PP illustrates0,042 ppm and PA confirms 0.304 ppm. Furthermore, the total mercury (Hg) of heavymetals in the sample freshwater on RP station around 0.0005085 mg/l, PP 0.0001792mg/l and PA 0.0006711 mg/l. The results showed that the samples of freshwatermussels (Anodonta sp) and the water samples which taken at three stations (RantauPanjang, Pasi Pinang, Pasi Aceh) were positive for mercury (Hg).Keywords: Aquatic organisms, Mercury, PollutionI. Pendahuluan Pencemaran adalah perubahan sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidakdikehendaki pada tanah, udara, dan air. Perubahan tersebut dapat menimbulkan bahayabagi kehidupan manusia atau organisme lainnya. Pencemaran terjadi apabila terdapatganguan dalam daur materi yaitu apabila laju produksi suatu zat melebihi lajupembuangan atau penggunaan zat tersebut (Umar, 2001). Organisme yang mengalami dampak secara langsung dari pengaruh limbah ataupencemaran terhadap badan air adalah organisme yang tergolong dalam kelompokakuatik. Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk kesuatu lokasi makaakan terjadi perubahan pada lokasi tersebut, perubahan dapat terjadi pada organismeyang hidup pada lokasi serta lingkungan yang berupa faktor kimia dan fisika (Sartika,2002). Kondisi alam sebenarnya dalam keseimbangan yang beraturan, membentuk matarantai yang berhubungan satu sama lainnya, sehingga apabila salah satu komponennyaterganggu maka akan berpengaruh pada komponen yang lainnya. 11

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang berbahaya karenabersifat toksik jika dalam jumlah besar dan dapat mempengaruhi berbagai aspek dalamperairan baik aspek ekologis maupun aspek biologi (Umar, 2001). Logam- logam yangmencemari perairan laut banyak jenisnya, diantaranya yang cukup banyak adalahkadmium (Cd) dan logam timbal (Pb). Kedua logam tersebut bergabung bersamadengan merkuri (Hg) sebagai the big three heavy metal yang memiliki tingkat bahayatertinggi pada kesehatan manusia, selain itu ketiga logam tersebut yang paling seringditemukan sebagai bahan pencemar logam yang ada di alam (Suhendrayatna, 2001). Keberadaan merkuri di lingkungan dapat berasal dari berbagai aktivitas manusiayang menghasilkan limbah merkuri sehingga konsentrasi merkuri di lingkungan dapatmeningkat (Purnawan et al, 2013). Salah satu aktifitas manusia yang dapat merusaklingkungan adalah proses pengolahan emas secara amalgasi. Pada proses amalgamasiemas yang dilakukan oleh rakyat secara tradisional, merkuri dapat terlepas kelingkungan pada tahap pencucian dan penggarangan. Pada proses pencucian, limbahyang umumnya masih mengandung merkuri dibuang langsung ke badan air. Hal inidisebabkan merkuri tersebut tercampur/terpecah menjadi butiran-butiran halus yangsifatnya sukar dipisahkan pada proses penggilingan yang dilakukan bersamaan denganproses amalgamasi, sehingga pada proses pencucian merkuri dalam ampas terbawamasuk ke sungai. (Widhiyatna, 2005). Sungai Mereubo merupakan suatu aliran sungai yang hulunya di PanteCeureumen yang masyarakatnya melakukan kegiatan dulang emas secara tradisional.Logam berat yang ada dalam perairan akan mengalami proses pengendapan dan akanterakumulasi dalam biota laut yang ada dalam perairan baik melalui insang maupunmelalui rantai makanan dan akhirnya akan sampai pada manusia. Fenomena ini dikenalsebagai bioakumulasi atau biomagnifikasi. Menurut Fauziah et al. (2012), jenis kerang-kerangan merupakan jenis organisme khas yang dapat mengakumulasi logam berat,dikarenakan kerang mempunyai mobilitas yang rendah sehingga adanya logam berat didalam tubuhnya dipandang dapat mewakili keberadaan logam berat yang terdapatdihabitatnya. Menurut Ermin et al. (2008) menyatakan bahwa lingkungan perairan, sepertisungai dan laut, akan terakumulasi melalui proses magnifikasi biologis dalam biota airatau laut, dan terserap dalam sedimen, serta membahayakan hasil perikanan. Salahsatunya adalah kerang (Anodonta sp), bersifat filter feeder yang hidup menetap,sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari tempat hidupnya.Melalui penelitian ini, peneliti akan mengkaji tingkat pencemaran merkuri (Hg) dikawasan hilir sub DAS Krueng Meureubo dengan menggunakan kerang (Anodonta sp)sebagai indikator biologi dan tingkat konsentrasi merkuri (Hg) pada kawasan hilir subDAS Krueng Meureubo. 12

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572II. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2014. Tahapanpenelitian terdiri dari dua tahapan, yaitu pengambilan sampel dan pengukurankandungan logam berat.2.1 Pengambilan SampelPengambilan sampel dilakukan di kawasan hilir sub DAS Krueng Meureubo dananalisis kandungan Merkuri dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan StandardisasiIndustri (BARISTAN) Banda Aceh. Titik pengambilan sampel pada tiga lokasi berbedayaitu Pasi Pinang, Rantao Panjang, dan Pasi Aceh. Peta penelitian dapat dilihat padaGambar 1 berikut : Pasi Aceh Rantao Panjang Pasi Pinang Gambar 1. Peta Lokasi (Sumber Bappeda Aceh Barat) Sampel kerang diambil sendiri oleh peneliti di kawasan hilir Sub DAS KruengMeureubo yang dibagi menjadi 3 stasiun yaitu di desa : Pasi Pinang, Ranto Panjang, danPasi Aceh. Dasar pengambilan sampel di tiga tempat berbeda karena:1. Pasi pinang: merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) terakhir yang di aliri dan apabila sampai pada titik terjauh masih tercemar merkuri maka terdapat kemungkinan biota sungai dari sekian desa pasi pinang tersebut mengalami pencemaran merkuri (Hg).2. Ranto panjang; merupakan tempat yang paling banyak ditemukannya biota sungai (kerang) oleh masyarakat sekaligus tempat penjualan kerang.3. Pasie Aceh ; sangat berdekatan dengan peninggalan penambangan emas sertatempat penjualan kerang oleh masyarakat. 13

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.2 Pengukuran Logam Berat Pengambilan sampel disetiap desa minimal tiga titik dan jumlah kerang 5-10ekor pada setiap titik. Sampel kemudian dianalisis di Laboratorium Balai KesehatanBanda Aceh. Metode pengukuran logam berat menggunakan Atomic AbsorptionSpectrophotometry (AAS) yaitu pengukuran berdasarkan penguapan larutan sampel,kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas(Hutagalung, 1985). Parameter utama yang diamati adalah konsentrasi logam beratmerkuri (Hg) pada kerang dan perairan Krueng Meurebo. Data yang diperoleh dari hasil analisis logam berat dibandingkan dengan tabelstandar normal konsentrasi ketentuan baku mutu kandungan logam berat pada airmenurut standar Indonesia yang dilaporkan oleh Palupi dan WHO. Nilai indekskonsentrasi merkuri (Hg) untuk air tawar adalah 0.08 ppm . Sedangkan kadarmaksimum cemaran logam berat merkuri (Hg) yang diizinkan dan boleh dikonsumsipada berbagai jenis pangan secara umum 0,1 ppm (Wahyu et al. 2008).III. Hasil dan Pembahasan Sampel kerang dan air pada setiap stasiun di kawasan hilir sub DAS diukurkandungan logam beratnya menggunakan metode uji Atomic AbsorptionSpectrophotometry (AAS). Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Balai Riset danStandarisasi Industri Banda Aceh, kerang air tawar (Anodonta sp) dan sampel air yangada di 3 stasiun kawasan Meureubo yang terindentifikasi adanya kandungan merkuri(Hg). Hasil uji AAS terhadap kandungan merkuri (Hg) pada sampel kerang (Anodontasp) di kawasan hili sub DAS Kreung Meureubo dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1 Hasil uji Hg pada kerang air tawar (Anodonta sp) di Krueng Meureubo Kode Nama Tempat Penggunaan Merkuri (Hg) FrekuensiSampel Negatif PositifStasiun Rantau Panjang 0,074Stasiun Pasie Pinang 0,042Stasiun Pasie Aceh 0,304 Kerang air tawar dari masing-masing titik pengambilan sampel terdeteksimengandung logam berat merkuri (Hg). Nilai konsentrasi Hg pada kerang air tawaryang diambil dari stasiun Rantau Panjang dan Pasie Pinang masih di bawah batas bakumutu yang ditetapkan oleh WHO, yaitu di bawah 0,1 ppm. Sedangkan kerang air tawaryang diambil pada stasiun Pasie Aceh memiliki kandungan merkuri yang telah melewatibatas baku mutu WHO, yaitu sebesar 0,304 ppm. Berdasarkan nilai tersebut maka dapatdikatakan bahwa kandungan merkuri pada kerang (Anodonta sp) yang berasal daristasiun Pasie Aceh sudah melewati batas maksimum kandungan logam berat layakkonsumsi, batas baku mutu untuk merkuri (Hg) tersebut adalah 0,1 ppm (Wahyu et al.2008). 14

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Kerang air tawar (Anodonta sp) yang terdapat pada stasiun III memilikikandungan merkuri (Hg) yang tertinggi diantara stasiun yang lain. Tingginya persentasilogam berat merkuri (Hg) pada stasiun III Pasie Pinang dikarenakan kaki aliran hilir subDAS krueng Meureubo memasuki titik stasiun III Pasie Aceh. Pada daerah hulu aliransungai Meurebo terdapat kegiatan pengolahan tambang emas tradisonal dan adanyapenambangan batu bara. Pengukuran kandungan logam berat merkuri (Hg) juga dilakukan pada sampelair dari masing-masing stasiun pengambilan sampel. Kandungan merkuri (Hg) darimasing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun stasiun sampel air tawar diwilayah kawasan Hilir sub DAS Krueng Meureubo dapat dilihat pada tabel 2 di bawahini.Tabel 2 Hasil uji Hg pada sampel air tawar dari sungai meureubo Kode Nama tempat Cemaran Merkuri (Hg) FrekuensiSampel Negatif Positif 0,0005085 0,0001792Stasiun 1 Rantau Panjang √ 0,0006711Stasiun 2 Pasie Pinang √Stasiun 3 Pasie Aceh √ Kandungan merkuri (Hg) pada semua titik stasiun penelitian terdeteksi, hal inimembuktikan bahwa perairan Krueng Meureubo terdapat logam berat. Namun,kandungan merkuri (Hg) di perairan Kreung Meureubo masih sesuai baku mutu yangditetapkan WHO tahun 2008 yaitu 0,08 ppm. Pada setiap stasiun juga dilakukanpengecekan terhadap kualitas air. Parameter yang dikaji diantaranya adalah suhu, pH,dan DO. Dari hasil kajian terhadap kualitas air dapat dilihat pada Tabel 3.Tabel 3 Parameter Kualitas Air Kode Parameter Kualitas AirSampel Suhu pH DOStasiun 1 25 oC 7 9.24 (mg/l)Stasiun 2 26 oC 7 8.21 (mg/l)Stasiun 3 26 oC 7 8.44 (mg/l) Suhu merupakan salah satu parameter penting bagi kehidupan organismedisungai maupun lautan, karena banyak berperan dalam metabolisme,perkembangbiakan dan proses fisiologis organisme (Effendi, 2003). Adapun suhu diKrueng Meurebo sebesar 26 0C, termasuk pada kategori suhu yang cukup baik untukmendukung kehidupan yang ada di dalamnya. Namun demikian suhu yang tinggi akanmemberikan efek negatif, disebabkan energi akan lebih banyak digunakan untukmempertahankan hidup dari pada untuk pertumbuhan atau berkembang biak (Marganof,2007). Nilai pH Kreung Meureubo relatif sama yaitu 7. Variasi pH berada pada keadaan 15

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572stabil yang berarti biota-biota diperairan Kreung Meureubo masih dapat melakukanhidupnya secara normal. Kandungan oksigen terlarut di stasiun I sebesar 9.24 mg/l, stasiun II 8.24 mg/l,stasiun III 8.44 mg/l. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/l, oksigen terlarutsudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Berdasarkandata yang diperoleh, untuk sampel air pada stasiun I memiliki nilai DO yang lebih tinggidari pada nilai DO stasiun II dan stasiun III, karna pada pada stasiun I air berintraksidengan oksigen dari udara secara tidak langsung, dikarenakan adanya tumbuh-tumbuhan atau sampah dipermukaan air tersebut. Hasil penelitian kerang (Anodonta sp.), air tawar tingkat persentase merkuri(Hg) pada stasiun III (49%) lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun I (38%) danstasiun II (13%). Tingginya persentase logam berat merkuri (Hg) pada stasiun III PasieAceh, disebabkan karena aliran sungai Meurebo berada pada lokasi yang lebih huludibandingkan stasiun lainnya . Daerah hulu aliran Krueng Meureubo terdapat kegiatanpengolahan tambang emas tradisonal dan juga penambangan batu bara. Pada riset ini, jumlah sampel kerang air (Anodonta sp) yang dianalisis berjumlah15 berasal dari 3 stasiun. Sedangkan sampel air terdiri dari 3 botol air yang bersumberdari stasiun yang sama dengan kerang air (Anodonta sp) di kawasan Krueng Meureubo.Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa dari 3 stasiun sampel kerang air tawar(Anodonta sp) dan sampel air tawar teridentifikasi mengandung merkuri (Hg). Adapunbesarnya kadar merkuri yang terkandung pada masing-masing sampel tersebut dapatdiketahui melalui metode AAS dan langsung terbaca pada layar monitor AAS tersebut. Hasil observasi terhadap kerang air tawar (Anodonta sp) dan parameter kualitasair dari 3 stasiun yang berada di kawasan sub DAS Krueng Meureubo, di antaranyaterindetifikasi positif mengandung merkuri (Hg) yaitu dengan kode sampel RP, PP danPA. Kandungan merkuri (Hg) tersebut diasumsikan berasal dari penambang emastradisional yang berada disekitar kawasan Krueng Meureubo. Merkuri digunakansebagai bahan untuk memisahkan antara emas dengan bahan material lainnya. selainkandungan emas. Penggunaan bahan tambahan merkuri (Hg) dapat merugikankesehatan dan lingkungan apabila pengelolaan limbahnya tidak ditanggulangi secarabaik. Hal seperti ini diperparah oleh rendahnya pengetahuan masyarakat dalammengolah bahan merkuri (Hg) (Wahyu et al. 2008). Kebiasaan masyarakat dalammengolah tambang emas, belum beroritentasi pada keamanan dan kelestarianlingkungan. Pada umumnya, masyarakat penambang emas lebih berorientasi padaberapa besarnya keuntungan yang diperoleh, sehingga aspek utama dalam memeliharakesehatan diri dan lingkungan terabaikan. Pengetahuan masyarakat dalam mengelolaemas masih terbatas. Sedangkan, keracunan dan pencemaran lingkungan diantaranyadisebabkan oleh kelalaian dan ketidaktahuan masyarakat dalam pengolahan usahatambang tersebut (Widodo, 2006). Wulandari et al. (2004) menyatakan bahwa pola pencemaran logam berat padaspesies perairan bersifat unik untuk setiap jenis logam berat dan untuk setiap spesiesperairan yang dicemarinya. Logam berat dengan massa atom lebih kecil umumnya lebih 16

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572cepat menyebar dan mencemari dari pada logam berat dengan massa atom lebih besar.Spesies perairan yang bersifat pasif (ikan demersal, ikan karang, dan jenis keranglainnya) juga lebih mudah mengakumulasi logam berat lebih banyak dari pada spesiesyang bersifat aktif dan bermigrasi pada areal yang luas. Dalam kaitan ini, maka kegiatantersebut sudah tidak aman untuk dilakukan, selain karena logam berat tersebutmengganggu perkembangbiakan, secara ekonomis, juga dapat menurunkan kualitastangkapan masyarakat pencari kerang air tawar (Anodonta sp). Status tercemar (Hg)tersebut juga memberi indikasi bahwa beban limbah yang dibuang dari industri yangbermuara di sungai telah berada pada taraf yang membahayakan (Murthy, 2009), Mustaruddin (2011) menyatakan bahwa merkuri termasuk bahan pencemar yangpaling berbahaya dalam kegiatan perikanan tangkap karena terus mengakumulasihingga mencapai kondisi jenuh, menganggu perkembangbiakan kerang air tawar(Anodonta sp), dan menetap secara permanen di tubuh kerang air tawar (Anodonta sp),sehingga menurunkan mutu gizi dan berdampak degeneratif bila dikonsumsi. DirektoratJenderal Pengawasan obat dan Makanan (POM) No. 03725/SK/VII/89 menetapkanbatas maksimum cemaran logam berat dalam makanan, untuk merkuri (Hg) adalah 0,5ppm (Harizal, 2006). Sedangkan menurut Wahyu (2008) kadar maksimum Hg yangdiizinkan dan boleh dikonsumsi pada berbagai jenis pangan adalah 0,1 ppm dan pada airsungai sebesar 0,08 ppm. WHO (World Health Organization) 2011 menetapkan batasanmaksimum yang lebih rendah yaitu 0,0001 ppm untuk air dan batas maksimum cemaranlogam berat dalam makanan 0,01 ppm. Toksisitas merkuri pada manusia dibedakan menurut bentuk senyawa Hg yaituinorganik dan organik. Keracunan inorganik Hg ditandai dengan gejala tremor padaorang dewasa, kemudian berlanjut dengan tremor pada otot muka, yang kemudianmerambat ke jari-jari dan tangan. Bila keracunan berlanjut tremor terjadi pada lidah,berbicara terbata-bata, berjalan terlihat kaku dan hilang keseimbangan. Selain toksisitasHg inorganik, bentuk Hg organik juga menimbulkan toksisitas yang sangat berbahaya,contoh kasus toksisitas metil merkuri adalah kasus ”minamata disease” yangmenimpabaik pada orang dewasa maupun anak kecil yang terjadi di Jepang . Sistemsaraf pusat adalah target organ dari toksisitas metil merkuri tersebut dengan gejala yangditimbulkan sebagai berikut:1. Gangguan saraf sensorik; paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha.2. Gangguan saraf motorik; lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat, dan sulit berbicara.3. Gangguan lain; gangguan mental, sakit kepala, hipersalivasi (Darmono, 2001). Bedasarkan Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuk ataudimasukannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam air atauudara, atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia atau 17

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsilagi sesuai dengan peruntukannya (Kristanto, 2002). Dalam hal ini bagi sebagai pelakuindustri tambang emas tradisional agar tidak membuang limbah industri khususnyalogam berat merkuri (Hg) di DAS Kawasan Kecamatan Meureubo dan bagi masyarakatkonsumen harus berhati-hati terhadap adanya pencemaran bahan logam berat merkuri(Hg) yang terkandung pada jenis kerang air tawar tersebut (Kristanto, 2002).IV. KesimpulanDari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :1. Kandungan logam berat merkuri (Hg) total pada sampel kerang air tawar (Anodonta sp) pada stasiun RP 0,074 ppm, PP 0,042 ppm, dan PA 0,304 ppm.2. Kandungan logam berat merkuri (Hg) total pada sampel air tawar pada stasiun RP 0,0005085 mg/l, PP 0,0001792 mg/l dan PA 0,0006711 mg/l.3. Kandungan logam berat merkuri pada kerang air tawar di stasiun III Pasie Aceh telah melampaui baku mutu untuk dikonsumsi atau melewati batas baku mutu 0,1 ppm yang telah ditetapkan, sedangkan pada stasiun I Rantau panjang dan stasiun II Pasie Pinang masih di bawah batas baku mutu yang telah ditetapkan sebesar 0,1 ppm.4. Kandungan logam berat merkuri pada sampel air tawar di perairan Krueng Meureubo belum melampaui batas baku mutu untuk layak dikonsumsi yang telah ditetapkan WHO sebesar 0,08 ppm untuk air tawar.Daftar PustakaDarmono (2001). Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia (UI) Press. Jakarta.Effendi H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.Ermin K W, Andayani W, dan Sumartono A. (2008). Metil Merkuri dalam Kerang Hijau (Mytilus viridis L.)dari Pasar Pelelangan Ikan Muara Angke: Sebelum dan Setelah Pemasakan. Indonesian Journal of Chemistry, 9 (1), 77 – 83.Fauziah A R, Boedi S R, dan Yudi C. (2012). Korelasi ukuran kerang darah (Anadara Granosa) dengan konsentrasi logam berat merkuri (Hg) di Muara Sungai Ketingan, Sidoarjo, Jawa Timur. Journal of Marine and Coastal Science, 1(1): 34 – 44.Harizal (2006). Studi Konsentrasi Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Kerang Hijau (Perna Viridis l) Sebagai Bio Monitoring Pencemaran Di perairan Pantai. [Skripsi]. Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas Brawijaya. Malang.Hutagalung H P. (1985). Raksa (Hg). X, 3. Lembaga Oseanografi Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 9 dan 102. Jakarta.Kristanto P. (2002). Ekologi Industri. Andi offset. Yogyakarta.Marganof (2007). Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatra Barat. Laporan hasil penelitian, Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. 18

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Murthy L N. (2009). Monitoring of cadmium accumulation in cephalopods processed in Gujarat Coast. Journal of Asian Fisheries Science, 22:319-330.Mustaruddin N. (2011). Karakteristik perairan dalam kaitannya dengan pengembangan usaha perikanan pelagis besar di Kabupaten Aceh Jaya. Buletin PSP, 20.69.Purnawan S, Sikanna R, Prismawiryanti. (2013). Distribusi logam merkuri pada sedimen laut di sekitar Muara Sungai Poboya. Jurnal of Natural Science, 2 (1): 18-24 (ISSN: 2338-0950).Sartika A. (2002). Profil Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) dan Tembaga (Cu) dalam Kupang Beras (Tellina versicolor) (Studi Kasus pada Kupang Beras yang dipasarkan di Keraton Pasuruan). [Skripsi]. Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember.Suhendryatna (2001). Bioremoval Logam Berat dengan Menggunakan Mikroorganisme Suatu Kajian Kepustakaan (Heavy Metal Bioremeval by Micriorganisme: A Literatur Study). di sampaikan pada Seminar On-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21, 1-14 Februari 2001, Seminar Forum PPI Tokyo Institute Of Technology.Surat Keputusan Menteri (1998). Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep-02/Menklh/I/1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Jakarta.Umar M T. (2001). Kandungan logam berat tembaga (Cu) pada air, sedimen, dan kerang Marcia Sp. di Teluk Parepare Sulawesi Selatan. Jurnal Natur Indonesia, 2(2).Wahyu W, Astiana S, Raymond J R. (2008). Efek Toksin Logam. Bandung.WHO (World Health Organization). 2011. Guidelines for drinking-water quality, fourth edition. ISBN 978 92 4 154815 1. Printed in Malta.Widhiyatna D. (2005). Pendataan penyebaran merkuri akibat usaha pertambangan emas di Daerah Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. A Review. Indonesian Journal of Chemistry, 12 (1): 51-53.Widodo (2006). Optimalisasi Pengolahan Bijih Emas Cara Amalgamasi di Kecamatan Waluran Kabupaten Sukabumi, UPT Loka Uji Teknik Penambangan Jampang Kulon - LIPI Sukabumi, h.4-17.Wulandari E, Herawati Y, dan Arfiati D. (2004). Kandungan logam berat Pb pada air laut dan tiram Saccostrea glomerata sebagai bioindikator kualitas perairan Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan, 1: 10-14. 19

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572PERFORMA RUMPUT LAUT, Gracilaria gigas, PADA SISTIM BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAK PERFORMANCE OF SEAWEED, Gracilaria gigas, AT SEA CULTURE AND PONDS SYSTEMS Farah Diana11Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Gracilaria gigas is one of seaweed species the from red algae type(Rhodophyceae) producsy agarofit, G. gigas have the high fiber and good for health.The research aims to analyze the performance of production, yield and quality of G.gigas seaweed cultivated in the sea and in the ponds. The cultivation of G. gigas inponds was held in Sekotong, west Lombok by broadcast method in 1500 m2 plantingarea. While cultivation in the sea was held in Gerupuk Bay, Central Lombok by Long-line method the 1250 m2. Parameters measured include the performance of seaweed ,and water quality . While water quality parameters measured are temperature , salinity ,pH , NO3 - N , NO2 - N , NH3 - N , PO4 - P and brightness were taken on days 0 , 10 ,20 and 30. Based on the research results obtained performance parameters seaweedcultivation consisting of productivity of cultivation, the total number thalus ( JT ) , thenumber of thalus secondary ( JTS ) , the number of thalus tertiary ( AAC) and the indexof branching ( IP ) from seaweed cultivated on two habitats different , namely marineand pond. The average productivity of Gracilaria . gigas were in cultivation in the seathat is 12.72 % , whereas in ponds with an average of 4.00% . Total thalus on Gracilariagigas cultured in ponds is high ( 86.56 ) than in the sea ( 80.40 ). Branching index isclosely related to the availability of nutrients and nutrient in the formation of new cells ,in which the N content in ponds is higher than in the sea . In addition , the number oftertiary thalus.Keywords : Gracilaria gigas, performance, seaweed cultureI. Pendahuluan Rumput laut merupakan tumbuhan tingkat rendah berupa thallus (batang) yangbercabang-cabang, dan hidup di laut dan tambak dengan kedalaman yang masih dapatdicapai oleh cahaya matahari. Salah satunya adalah G. gigas yang merupakan salah satuspesies rumput laut yang umum dibudidayakan di tambak sebagai penghasil agar(agarofit). Di indonesia G. gigas umumnya dibudidayakan di tambak, karenakandungan agarnya, sehingga spesies ini digolongkan pada penghasil agarofit. Padaawalnya perkembangan industri agar, G. gigas hanya dikumpulkan dari alam dengantujuan untuk menutupi keterbatasan suplai dari jenis rumput yang dianggap sebagaipenghasil utama agar yaitu, Gelidium sp. Namun karena kebutuhan akan spesies inisemakin meningkat, maka di Chili dikembangkan teknik budidayanya di tambakmaupun di perairan laut khususnya pada teluk tertutup. Teknik budidaya tersebut yangkemudian menyebar ke berbagai negara seperti Cina, Korea, Indonesia, Namibia, 20

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Filipina, dan Vietnam yang diaplikasikan untuk spesies asli G. gigas dari masing-masing negara tersebut (McHugh 2003). Teknologi budidaya rumput laut yang berkembang di masyarakat saat iniumumnya masih bersifat tradisional. Bibit yang digunakan masih berasal dari indukanyang sama dan tidak dilakukan seleksi bibit, pola tanam dan siklus produksi kurangmenjadi perhatian, sehingga kualitas rumput laut yang dihasilkan semakin menurun.Metode budidaya yang umumnya diaplikasikan oleh pembudidaya antara lain metodelong-line, lepas dasar, rakit serta brodcast pada budidaya di tambak. Saat inipermasalahan yang umumnya dihadapi dalam budidaya rumput laut jenis G. gigasantara lain sulitnya memperoleh bibit yang berkualitas, kondisi cuaca yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi, kurangnya nutrien diperairan, serta serangan hama,penyakit ice-ice dan ikan-ikan pemakan rumput laut (Chen Jia Xin 1989). Rumput lautjenis G. gigas memiliki habitat asli di laut. Di alam G. gigas hidup dengan caramenempel pada substrat dasar perairan atau benda lainnya pada daerah pasang surut.Bahkan pada musim-musim tertentu rumput laut jenis ini banyak terdampar di pantaikarena hempasan gelombang dalam jumlah yang sangat besar dan berakibat tidak cukupuntuk produksi. Gracilaria tersebar luas disepanjang pantai daerah tropis (Anggadiredja1992). Gracilaria umumnya tumbuh di perairan yang mempunyai rataan terumbukarang melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang, pecahan koral dan batukarang pada perairan dengan dasar berpasir dibawah area pasang surut (Terada & Ohno2000; Hirotoshi 1978). Hingga saat ini hasil budidaya G. gigas di tambak belum dapat mencukupi pasarterutama industri agar-agar akan G. gigas kering sebagai bahan baku utama penghasilagar. Intensifikasi budidaya G. gigas hingga saat ini terus digalakkan guna mencukupikebutuhan industri agar-agar. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi G. gigasadalah dengan cara budidaya di laut. Untuk memenuhi taraf hidup bagi masyarakatnelayan maupun pesisir, maka dilakukan budidaya di laut. Selain dapat memenuhipermintaan pasar juga akan berperan melestarikan lingkungan, terutama sumber dayarumput laut, sebagai salah satu komoditas internasional (Anonymous 2005), yangmenghasilkan rumput laut berkualitas baik. Potensi rumput laut di Indonesiamempunyai prospek yang cukup cerah, karena diperkirakan terdapat 555 spesies rumputlaut yang tersebar di perairan Indonesia dengan total luas lahan perairan yang dapatdimanfaatkan sebesar 1,2 hektar. Rumput laut merupakan bahan baku dari berbagaijenis produk olahan bernilai ekonomi tinggi, sebagai pewarna makanan dan tekstik, jugadapat digunakan sebagai produk pangan maupun non pangan, seperti agar-agar,keraginan dan alginat. Indonesia memiliki perairan luas dan mendukung budidaya rumput laut. Beberapakendala masih dihadapi dalam pengembangan industri rumput laut antara lainketersediaan bibit bermutu, pengetahuan dan ketrampilan para pembudidaya dalammenghasilkan rumput laut berkualitas baik. Berdasarkan habitat aslinya yaitu di laut,perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui produktifitas G. gigas yang dibudidayakan 21

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572di tambak, dan perbedaannya dari segi kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan hasilbudidaya di laut.II. Metode Penelitian Bibit rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Gracilariagigas dari di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Budidaya dilakukan di laut dan ditambak. Budidaya rumput laut di laut menggunakan metode Long-line dengan unitbudidaya 25x50 m2, sedangkan budidaya di tambak dengan metode broadcast.Budidaya berlangsung selama satu siklus dengan masa pemeliharaan 30 hari sesuaikebiasaan masyarakat pembudidaya rumput laut di lokasi tersebut. Selama masapemeliharaan dilakukan pengontrolan 10 hari sekali. Selama penelitian dilakukanpengujian terhadap sampel air laut dan tambak dari lokasi budidaya yang diambil padahari ke-0, 10, 20 dan 30. Parameter uji yang diamati selama penelitian meliputi :kualitas rumput laut (rendemen agar, CAW, kadar air, serat kasar dan kadar abu), agar(viskositas, kekuatan gel, derajat putih, titik jendal, titik leleh dan kadar sulfat),produktifitas rumput laut Gracilaria gigas, indeks percabangan (branching index)rumput laut dan, kualitas perairan lokasi budidaya. Seluruh data dianalisis menggunakan uji nilai tengah statistika deskriptif (t-test).Hubungan parameter kualitas air dan indeks percabangan dianalisis denganmenggunakan metode cluster analysis dan analisis komponen utama (principalcomponent analysis).III. Hasil dan Pembahasan3.1. Performa Rumput Laut Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan parameter performa budidayarumput laut yang terdiri atas produktifitas budidaya, jumlah total thalus (JT), jumlahthalus sekunder (JTS), jumlah thalus tersier (JTT) dan indeks percabangan (IP) darirumput laut yang dibudidayakan pada dua habitat yang berbeda, yaitu laut dan tambak. Produktifitas Gracilaria gigas yang dibudidaya di laut tiga kali lipat lebih tinggi(12,72 %) dibandingkan dengan yang budidaya di tambak (Gambar 1). Menurut Kadidan Atmadja (1988) budidaya Gracilaria gigas di laut terjadi pembesaran sel akibatadanya tekanan pasang surut dan arus, dan menurut Dawes (1981) di laut terjadi responstruktural pada algae terhadap cahaya yang mengakibatkan perbedaan morfologi,reproduksi, fisiologi dan sitoplasmik sehingga pertumbuhan memanjang dan selmembesar maka tekanan turgor didalam sel akan mudah masuk dan menyebabkanthallus sekunder yang dibudidayakan di laut juga lebih tinggi (36,20). Sedangkan ditambak pertumbuhan lebih kearah reproduktif (membangun sel baru menjadi individubaru dengan memperbanyak sel generatif). Dawes et al (1981) menyatakan budidayarumput laut Gracilaria gigas pada kondisi lingkungan yang berbeda akan menghasilkanproduktifitas yang berbeda akan menghasilkan produksi yang berbeda. Walaupun G.gigas merupakan habitat asli di laut, namun di tambak juga dapat di produksi denganmetode dan budidaya yang berkembang saat ini. 22

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gambar 1. Performa rumput laut Gracilaria gigas Jumlah thalus pada Gracilaria gigas yang dibudidaya di tambak tinggi (86,56)dibandingkan dengan di laut (80,40), demikian jumlah thalus tersier (54,07) dan indekspercabangan (18,38). Menurut Pickering et al (1995), indeks percabangan eratkaitannya dengan ketersediaan nutrient dan unsur hara dalam pembentukan sel baru,dimana kandungan N di tambak lebih tinggi dibandingkan dengan di laut. Selain itu,jumlah thalus tersier dua kali lipat lebih tinggi di tambak (54,07) dibandingkan dengandi laut (38,70), hal ini berhubungan erat dengan indeks percabangan. Habitat asli dari rumput laut G. gigas di alam adalah di laut. Pada penelitian inibudidaya G. gigas ditanam pada dua habitat yang berbeda, yaitu ditambak dan di laut.Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya rumput laut dengan metode long-line dilaut menghasilkan pertambahan bobot basah yang lebih tinggi di bandingkan denganmetode tebar pada tambak. Pada metode long-line menunjukkan produktivitas rumputlaut yang lebih tinggi dibandingkan di tambak. Pada budidaya rumput laut di perairantambak yang memiliki kandungan nutrien relatif tinggi, kualitas air cukup berpengaruhpada kualitas agar yang dihasilkan oleh rumput laut. Hal ini disebabkan nutrien yangdiserap oleh rumput laut memberikan peluang terjadinya proses pertumbuhan ke arahreproduktif, pada saat terbentuknya spora yang baru pada percabangan sekunderterjadinya perbanyakan sel sehingga terbentuk sel-sel baru serta terbentuknya talustersier. Hal ini berpengaruh pada terbentuknya percabangan rumput laut laut yang lebihbanyak. Menurut Dawes (1981), unsur hara dibutuhkan sebagai salah satu bahan dasaruntuk menyusun energi guna memnuhi kebutuhan metabolisme. Tingginya nutrien ditambak disebabkan oleh adanya buangan feses ikan yang akan diserap oleh rumput lautuntuk membentuk sebagai sumber nutrien dalam pembentukan sel baru. Banyaknyanutrien dan unsur hara akan meningkatkan kualitas agar, karena nutrien yang diserap 23

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572oleh rumput laut akan membentuk selulosa, polisakarida dan galaktosa pada rumputlaut. (Dawes 1981).3.2. Hubungan parameter lingkungan perairan di laut dengan performa dankualitas rumput laut Gracilaria gigas Tingkat keeratan antara indeks percabangan dengan variabel kualitas air di lautdigambarkan pada gambar 2. Variabel-variabel yang memiliki korelasi positif denganindeks percabangan yaitu, kecerahan, NO3, NH3-N, dan DO. Berdasarkan nilai koefisienkorelasinya, ada dua variabel memiliki hubungan korelasi yang tinggi dengan indekspercabangan pada rumput laut yaitu kecerahan (0,34) dan DO (0,24). Variabel-variabel yang berkorelasi negatif dengan indeks percabangan padarumput laut yaitu PO4-P, pH, salinitas dan suhu (Gambar 2). Diantara variabel-variabeltersebut terdapat tiga variavel yang memiliki nilai korelasi yang tinggi yaitu salinitas(0,87), PO4-P (0,31) dan pH (0,14). Dari hasil korelasi antara indek percabangan dan parameter kualitas air di lautmenunjukkan kecerahan berhubungan positif dengan indek percabangan hali inidisebabkan karena, kemampuan adaptasi G. gigas di laut terhadap cahaya sangat baik.Cahaya yang masuk ke perairan baik dalam jumlah banyak atau sedikit dapatdimanfaatkan untuk pertumbuhannya. Kim & Hum (dalam Hoyle 1975) menyatakanbahwa G. gigas, G. verrucosa dan G. foliifera memiliki toleransi yang tinggi terhadapcahaya yang berlebihan, keduanya dapat tumbuh pesat pada kedalaman 5 cm.Gambar 2. Koefisien korelasi antara indek percabangan rumput laut Gracilaria gigas dengan parameter kualitas air Semakin tinggi tingkat kecerahan semakin rendah tingkat percabangan dan padarumput laut yang di budidaya di laut pertumbuhan G. gigas lebih memanjang. 24

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Sedangkan rendahnya fosfat di perairan disebabkan sumber fosfat yang lebih sedikit diperairan, karena fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporel maupunspasial (Raikar et al. 2000). Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam prosesfotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yangdiperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Widyorini (2010) menyatakan bahwacahaya menyediakan energi bagi terlaksananya fotosintesis, sehingga kemampuanpenetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat menentukan distribusi vertikalorganisme perairan. Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya adalahkecerahan perairan. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1m. Air yang keruh(biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari didalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Hal ini akan berdampakburuk terhadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Guanzon 2003). Kisaran fosfat yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0,051-1,00ppm (Indriani dan Sumiarsih 1997). Karena fosfor merupakan unsur hara yang pentingyang dibutuhkan oleh rumput laut. Semakin rendah fosfat yang ada di perairan, makasemakin rendah percabangan yang terbentuk, hal ini disebabkan fosfat adalah faktorpendukung dalam pembentukan talus rumput laut. Pertumbuhan Gracilaria di lautsangat bagus, akan tetapi rendahnya fosfat akan menghambat pembentukan talus yangbaru, akibat respon struktural yang mengakibatkan pembesaran sel. Fosfor merupakansalah satu pembentuk daun pada tanaman, akan tetapi pada rumput laut merupakanpembentukan talus, yang menghasilkan sel-sel yang baru. Dari hasil korelasi nitrat berhubungan positif dengan indek percabangan, karenatingginya kadar nitrat pada perairan alami biasanya jarang melebihi 0,1 mg/1,sedangkan kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan eutrofikasi yangselanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (Gerung &Yuo 2009). Lebih lanjut lagi, Ahda et al. (2005), menyebutkan bahwa kadar nitratterendah untuk pertumbuhan alga berkisar 0,3-0,9 mg/l. Amoniak di laut juga bekorelasipositif dengan percabangan, hal ini disebabkan kandungan amoniak di laut sangatrendah, karena amoniak berperan sebagai pembentuk protein dan urea pada rumput laut( Chen Jia Xin 1989). Amoniak merupakan sumber nitrogen utama di perairan, akantetapi amonium lebih disukai oleh tumbuhan sebagai sumber nitrogen. Hasil korelasi pHmenunjukkan nilai yang negatif pada indeks percabangan. Semakin tingginya pH, makapertumbuhan rumput laut akan semakin rendah, karena pH berperan sebagai penunjangkelangsungan hidup pada G. gigas. Sedangkan korelasi dengan salinitas, semakinrendah salinitas, maka tingkat pertumbuhan semakin rendah. G. gigas merupakanrumput laut yang bersifat euryhalin, salinitas untuk pertumbuhan yang optimal untukGracialria berkisar 10-28 ppt (Anggadiredja 1998). Salinitas di perairan berperansebagai proses fisologis, reproduksi, morfologi dan termasuk dalam laju fotosintesis. Semakin tinggi oksigen terlarut di perairan, maka pertumbuhan akan rumput lautsemakin bagus. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas pada pertumbuhan rumputlaut, kurangnya oksigen akan menghambat petumbuhan rumput laut ( Ahda et al. 2005).Hasil korelasi suhu berhubungan negatif pada indeks percabangan. Di perairan suhu erat 25

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572kaitannya dengan laju fotosintesis disamping cahaya dan kandungan nutrien di perairan(Dawes 1981). Suhu air yang rendah dan tingginya salinitas yang terjadi di laut diakibatkan oleh perubahan cuaca yang terjadi ketika penelitian, dan mengakibatkanrendahnya tingkat percabangan rumput laut di laut. Perubahan cuaca akanmengakibatkan suhu perairan rendah karena perubahan iklim yang terjadi pada perairan.3.3. Hubungan parameter lingkungan perairan di tambak dengan performa dankualitas rumput laut G. gigas Tingkat keeratan antara indeks percabangan dengan variabel kualitas air ditambak digambarkan pada Gambar 9. Variabel-variabel yang memiliki korelasi positifdengan indeks percabangan yaitu, kecerahan, PO4-P, pH, salinitas dan DO. Berdasarkannilai koefisien korelasinya, variabel yang memiliki hubungan korelasi dengan indekspercabangan pada rumput laut yaitu kecerahan (0,34), PO4-P (0,66) dan DO (0,62). Variabel-variabel yang berkorelasi negatif dengan indeks percabangan padarumput laut yaitu NO3, NH3-N, dan suhu (Gambar 9). Diantara variabel-variabeltersebut terdapat dua variabel yang memiliki nilai korelasi yang tinggi yaitu NH3-N(0,95) dan NO3 (0,85).Gambar 3. Koefisien korelasi antara indeks percabangan rumput laut G. gigas dengan parameter kualitas air di tambak Dari hasil korelasi antara indek percabangan dan parameter kualitas air di tambakmenunjukkan kecerahan berhubungan positif dengan indeks percabangan. Hal ini sangatberhubungan dengan pertumbuhan talus rumput laut, sebab rendahnya kecerahanmengakibatkan cahaya yang masuk kedalam perairan berkurang. Intensitas cahayamatahari yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalamproses fotosintesis. Dalam fotosintesis rumput laut sangat membutuhkan cahaya dan 26

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572apabila aktifitas fotosintesisnya terganggu akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidakoptimal. Sebagai contoh adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkantanaman menjadi putih, karena hilangnya protein yang dibutuhkan untuk hidup. Cahayayang berlebihan akan merusak aktifitas enzim yang bekerja untuk menghasilkan proteinuntuk membentuk polisakarida yang akan disalurkan untuk agar. Menurut Widyorini(2010), cahaya matahari adalah sumber energi dalam proses fotosintesis. Pada prosesfotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan danperkembangan. Cahaya menyediakan energi bagi terlaksananya fotosintesis, sehinggakemampuan penetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat menentukan distribusivertikal organisme perairan. Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya adalahkecerahan perairan. Fosfat diperlukan rumput laut untuk pertumbuhan thalus yang akan membentuksel-sel baru untuk pertumbuhan pada rumput laut. Fosfat dalam perairan berperan untukpertumbuhan dan perkembangan rumput laut, semakin tingginya fosfat makapercabangan yang terbentuk akan semakin tinggi, di tambak fosfat sangat tinggi. Fosfatdapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun spasial karena fosfat yanglebih sedikit di perairan menurut Chakraborty (2012). Kisaran fosfat optimal untukpertumbuhan rumput laut adalah 0,051-1,00 ppm (Indriani dan Sumiarsih 1997). Dari hasil korelasi nitrat berhubungan negatif dengan indek percabangan, karenanitrat merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut,semakin tingginya nitrat maka semakin rendah pertumbuhan terhadap rumput laut.Menurut Sukomulyo (1989); kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapatdisebabkan oleh limbah yang berasal dari kosmetik, pertanian, peternakan dan indistri.Apabila nitratnya rendah maka akan cukup baik dimana dapat mendukung aktifitasbiologis organisme perairan dan pertumbuhan rumput laut. Amoniak yang tinggi dalam perairan akan menyebabkan racun bagi pertumbuhanrumput laut dan akan menghambat pembentukan sel baru. Sumber amoniak dalamperairan berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogenanorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi organik. Derajat keasaman atau pH merupakan kondisi kimia air yang berperan dalampertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut Trono (1983), bahwa pengaruhpH bagi organisme sangat besar dan penting. Rendahnya pH akan menekan lajupertumbuhan bahkan tingkat keasaman dapat mematikan asam tidak ada lajureproduksi. Sebaliknya pH yang tinggi akan mempercepat reproduksi dan fisiologis sirumput laut tersebut. Kondisi pH pada saat penelitian relatif stabil dan berada padakisaran normal yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput lautmemperbanyak pertumbuhan. Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumputlaut. Rumput laut jenis G. gigas masih dapat hidup dengan baik walaupun kondisiperairan keruh, rumput laut ini masih mampu menyerap pigmen dan beradaptasi denganbaik (You & Gerung 2007). 27

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Oksigen dihasilkan dari rumput laut dan menjadi kelanjutan kehidupan biotaperairan karena dibutuhkan oleh hewan dan bakteri untuk respirasi. Fitoplankton jugamembantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktusiang hari sebagai hasil dari fotosintesis. Tingginya DO di tambak dapat menghambatterjadinya proses fotosintesis, hal ini diduga oleh Nussinovitch (1997) yang menyatakanbahwa sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat diatmosfer (35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton.Menurut Zatnika (1997) kondisi oksigen terlarut yang optimal dibutuhkan oleh G. gigasberkisar antara 3-8 mg/l. Suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhanrumput laut. Chakraborty & Santra (2008) menyatakan bahwa rumput laut tumbuh danberkembang dengan baik pada perairan yang memiliki kisaran suhu 26-33 oC.Hubungan suhu dengan indeks percabangan adalah, pada saat suhu perairan tinggi makapercabangan akan semakin rendah. Hal ini pada budidaya di tambak suhu yang adaselama penelitian berkisar antara 25-28 oC. Pengaruh suhu terhadap fisiologisorganisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesisdisamping cahaya dan konsentrasi fosfat (Cochrane 2009). Perbedaan suhu akan naikdengan meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Kecepatanfotosintesis akan konstan pada produksi maksimal, tidak tergantung pada energimatahari lagi sampai pada reaksi enzim (Pace 2005). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh kualitas perairan baik di laut maupundi tambak. Pada penelitian ini kualitas agar sangat terkait dengan indeks percabangan,ini terbukti dari banyaknya thalus di tambak akan meningkatkan kualitas agar ditambak. Hal ini menunjukkan bahwa agar sangat erat kaitannya dengan indekspercabangan, semakin tinggi indeks percabangan, semakin tinggi agar yang dihasilkan.Sedangkan parameter lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan performa rumputlaut adalah suhu, DO, PO4-P dan NH3-N, sedangkan yang jauh kaitannya adalah NO3-N.Indeks percabangan merupakan bagian terpenting pada thalus, semakin tinggi thalusyang dihasilkan maka semakin tinggi agar yang didapatkan. Tingginya performa ditambak disebabkan oleh perbedaan karakteristik perairan, salinitas, substrab, kekeruhan,unsur hara dan nutrient pada tambak dan laut (Gambar 5). Kualitas rumput laut tidaklepas dari kondisi perairan yang didukung oleh indeks percabangan pada budidaya ditambak lebih tinggi, sehingga kualitas yang dihasilkan di tambak lebih unggul dari padadi laut. Paparan dari intensitas cahaya yang diterima oleh rumput laut selama penelitiansangat optimal karena pada periode tersebut kondisi cuaca selalu cerah dan tidak adahujan. Menurut Kadi dan Atmadja (1998), intensitas sinar matahari merupakan faktorpembatas dalam proses fotosintesis. Makin besar intensitas cahaya matahari, makaproses fotosintesis dapat berjalan semakin cepat pula dan pada akhirnya akanmeningkatkan biomassa rumput laut. Selain intensitas cahaya, arus dan gelombang jugaberperan pada pertumbuhan rumput laut, karena arus dan gelombang berpengaruhterhadap ketersediaan nutrien di perairan. Menurut Mubarak et al. (1990), kisaran suhu 28

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572perairan yang optimal untuk budidaya rumput laut adalah 25-30 oC. Menurut Raikar etal. (2001) Pada beberapa spesies Grailaria spp. dari perairan tropis dan sub tropismenunjukkan peningkatan laju pertumbuhan dengan semakin meningkatnya intensitascahaya. Suhu perairan selama pelaksanaan penelitian juga sangat mendukung, dimanasuhu air berkisar antara 25,1-26,2 oC yang masih termasuk dalam kriteria optimumuntuk budidaya rumput laut. Fluktuasi suhu yang sangat kecil tersebut mengindikasikankondisi suhu perairan yang cukup stabil. Hasil penelitian Raikar et al. (2001)menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian maksimum pada beberapa spesiesGracilaria spp. yang berasal dari Malaysia dan India dicapai pada suhu 25-30 oC, danpada spesies asal Jepang dicapai pada suhu 20-25 oC (Mubarak et al. 1990) kisaran suhuperairan yang optimal untuk budidaya rumput laut adalah 25-30 oC. G. gigas ditemukanmelimpah di perairan laut dengan fluktuasi suhu berkisar antara 20-27 oC (Raikar et al.2010). Fluktuasi suhu perairan Teluk Gerupuk yang relatif rendah tersebutmengindikasikan kondisi perairan yang cukup stabil dan optimal. Kisaran salinitas yang diperoleh pada lokasi penelitian yaitu 34,07-35,14 ppt.Kisaran tersebut masih termasuk dalam kisaran yang sesuai untuk budidaya rumput laut.Berdasarkan SNI 7579.2:2010 yaitu 28-34 ppt, atau 32-34 ppt yang merupakankatergori sangat sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Mubarak et al. (1990).Perairan Teluk Gerupuk tidak terlalu banyak mendapatkan masukan air tawar, karenatidak banyaknya sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Selain itu beberapa sungaiyang terdapat di sekitar lokasi tersebut mengalami kekeringan selama penelitianberlangsung, sehingga salinitas air di Teluk Gerupuk relatif stabil. Pada budidaya di tambak kegiatan budidaya dilakukan sepanjang tahun denganmetode tanam yang berbeda juga. Budidaya rumput laut di laut dengan menggunakanmetode long-line sedangkan, di tambak dengan metode tebar (broadcast) yangmenyebabkan rumput laut tidak bebas mengambil oksigen dalam kondisi dasar perairan.Pada tambak aktifitas budidaya yang sangat terbatas dan harus melakukan perlakuankhusus seperti pemupukan dan lain sebagainya, budidaya di tambak dengan polikulturantara rumput laut dan bandeng akan meningkatkan kandungan nutrisi dan unsur harayang tinggi, tetapi oksigen yang tersedia rendah. Rumput laut mengeluarkan oksigendalam bentuk banyak dan mnyerap karbon dioksida yang tinggi. Untuk tumbuh danberkembang, Gracilaria membutuhkan cahaya, karbondioksida, oksigen dan nutrisi.Cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis, yaitu karbondioksida akan diubah menjadikarbo-hidrat (senyawa organik). Sebaliknya, oksigen dibutuhkan untuk respirasi ataumerombak senyawa yang mempunyai molekul besar menjadi senyawa-senyawa denganmolekul yang lebih kecil dan energi. Hasil pengukuran kualitas air pada media tambak menunjukkan salinitas 25 ppt,suhu 28 oC, pH 7,3, DO 6,9, NH3-N 0,358, NO2-N 0,005, NO3-N 0,7, PO4-P 0,42 dankecerahan 40 cm. Kondisi ini merupakan kondisi optimal untuk tumbuh danberkembangnya Gracilaria (Trono et al. 1983, Effendi 2003) menyatakan kisaran suhuoptimal untuk pertumbuhan Gracilaria antara 15-30 ppt. Suhu dibawah 10oC 29

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572pertumbuhan Gracilaria lambat, dan suhu diatas 35oC Garcilaria tidak tumbuh danberkembang. Chen Jia Xin 1989 melaporkan bahwa pada suhu 30 oC, pertumbuhanharian G. verrucosa di Guangdong dan Hainan adalah 0,1-0,2 cm/hari, tetapi apabilasuhu air lebih rendah menjadi 28oC, pertumbuhan harian naik menjadi 0,4-0,5 cm/hari.Tetapi apabila kisaran suhu antara 15-25 oC, pertumbuhan Gracilaria bisa lebih tinggimenjadi 1 cm/hari. Gracilaria membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi untukdapat berfotosintesa secara optimal. Gracilaria membutuhkan intensitas cahayamatahari yang tinggi untuk dapat berfotosintesa secara optimal. Kisaran nilai kecerahanperairan yang antara 0,5-1,5 m, memberikan pertambahan panjang antara 5-5,5 cmselama 10 hari pemeliharaan pada suhu air 17oC di China (Chen Jia Xin 1989).IV. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Rata-rata produktifitas Gracilaria. gigas yang di budidaya dilaut yaitu 12,72 %,sedangkan di tambak dengan rata-rata 4,00 %. Jumlah thalus pada Gracilaria gigasyang dibudidaya di tambak tinggi (86,56) dibandingkan dengan di laut (80,40),demikian jumlah thalus tersier (54,07) dan indeks percabangan (18,38). Berdasarkanhasil korelasi parameter kualitas air dan indek percabangan, ternyata kualitas rumputlaut yang dibudidaya di laut dipengaruhi oleh kecerahan, NO3-N, NH3-N dan DO.Sedangkan pada budidaya di tambak dipengaruhi oleh kecerahan, PO4-P, pH, salinitasdan DO.4.2. Saran Pengembangan kawasan budidaya Gracilaria gigas dapat dilakukan di tambakuntuk meningkatkan produksi, kualitas rumput laut, dan kualitas agar oleh masyarakatatau petani rumput laut.Daftar PustakaAnggadiredja JT. 1993. Nilai Protein dan Asam Amino Beberapa Jenis Makro-Algae Laut. Jakarta: BPP Teknologi/ Kantor Negara Riset dan Teknologi, Direktorat Pengkajian Ilmu Kehidupan.Armisén R, Galatas F. 2000. Agar. Di dalam Phillips GO, Williams PA (eds). Handbook of Hydrocolloids. England: Woodhead Publishing Limited.Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia 01-2690-1998: Rumput Laut Kering. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional.Chen Jia Xin, 1988. Gracilaria Culture In China. Network of Aquaculture Centres In Asian National Inland Fisheries Institute Kasetsart University Campus Bangkhen, Bangkok, Thailand.Cochrane K, De Young C, Soto D, BahriT(eds.). 2009. Climate Change Implications For Fisheries And Aquaculture: Overview Of Current Scientific Knowledge. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 530. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 212p.Dawes, CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons, Inc. Canada. 628p.Durairatnam M, de Brito Medeiros TM, de sena AM. 1990. Studies on The Yiel And Gel Stength Of Agar From Gracilaria Domingensis Sonder Ex Kuetzing 30

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 (Gracilariales, Rhodophyta) following the addition of calcium. Proc. Int. Seaweed Symp. 13: 551-553.FAO Food and Agriculture Organization of the United Station. 1987. The Wild Harvest and Culture of the Economically Important Species of Gelidium in Clile. www. Fao.org. [4 November 2008].Kadi A dan Atmadja, W.S. 1988. Rumput Laut (Algae): Jenis, Reproduksi, produksi, Budidaya dan Pasca panen. Puslitbang Oseanografi. LIPI. 71 p Jakarta.McHugh DJ. 2003. A guide to seaweed industry. FAO Fisheries Technical Paper No. 441. FAO. Rome. 105p.Murti AW. 2007. A Guide To The Seaweed Industry. www. Fao.org/seaweed. [3 Mei 2013).Pickering TD, Gordon ME, Tong LJ. 1995. A preliminary trial of a spray culture technique for growing the agarophyte Gracilaria chilensis (Gracilariales, Rhodophyta). Aquaculture 13. pp 43-49.Terada R, Ohno M. 2000. Notes on Gracilaria (Gracilariales, Rhodophyta) from Tosa Bay and adjacent waters I: Gracilaria chorda, Gracilaria gigas and Gracilaria incurvata.Bull. Mar. Sci. Fish., Kochi Univ. No. 20, pp 81-88.Towle AG. 1973. Carrageenan. Di dalam Industri Gums. Whistler RL (ed). New York: Academic Press.Zatnika A, 1997. Profil Industri Rumput Laut Indonesia. Tim Rumput Laut BPPT. BPPT, Jakarta. 31

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN WADER PARI (Rasbora lateristriata Bleeker, 1854): PENDEKATAN HISTOLOGITHE DEVELOPMENT OF OVARIAN WADER PARI FISH (Rasbora lateristriata Bleeker, 1854): HISTOLOCAL APPROACH Zulfadhli1 1Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondesi : [email protected] Abstract This study was to determinte of development ovarian wader pari fish (Rasboralateristriata) as part of the process of reproduction, which is the basic for information toR. lateristriata management. This study was done in october 2014 - april 2015 atHistology and Embryology Animal Laboratory of Gadjah Mada University. The objectof the research was larva R. lateristriata with average weight of 0.02 grams. They werekept during 3 months. The result data of histology were analized and observed discusseddescriptively. The results of observation showed that ovarian R. lateristriata indicatedasincronous development patterns. The development of ovarian in the 1st month was atthe chromatin nucleolar phase, while perinucleolar phase appeared in the 2nd and 3rdmonth.Keywords: Rasbora lateristriata, develompment, ovarian, histologyI. Pendahuluan Ikan wader pari (Rasbora lateristriata) merupakan ikan air tawar, yang hidup dialam liar seperti sungai atau sawah. Penyebaran ikan wader di indonesia sangat luas,antara lain Sumatra, Jawa, Kalimatan, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi (Budiharjo,2002). Ikan wader bisa dijadikan alternatif bahan pangan baru yang yang penting bagimasyarakat sebagai ikan konsumsi dengan cita rasa daging yang lezat, sehingga dinilaisebagai ikan “liar” yang mempunyai potensi ekonomi tinggi. Tingginya permintaanpasar menjadikan eksploitasi ikan wader sangat tinggi, sehingga dikhawatirkan ikan initerancam keberadaannya di alam. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut denganusaha domestikasi dan budidaya intesif ikan wader, dengan harapan kedepannya parapenjual ikan tidak lagi menangkap di habitat alami yang menyebabkan ikan waderterancam keberadaannya. Di sisi lain, informasi penting dan mendasar biologi ikanseperti perkembangan gonad yang merupakan bagian dari proses reproduksi belumtersedia. Ovarium merupakan organ reproduksi pada ikan betina. Proses perkembangangonad betina pada ikan teleostei dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktorinternal seperti kinerja hormon dan faktor eksternal dapat berupa kondisi lingkungandan asupan makanan (Norris, 2007). Pengamatan tahap perkembangan gonad dapatdilakukan secara mikroskopis (histologi). Keunggulan pengamatan secara histologidapat memberikan informasi yang akurat dan mendetail di tingkat jaringan. Kajian yangberhubungan dengan perkembangan ovarium ikan yang pengamatannya dilakukan 32

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572secara histologi sudah banyak dilakukan oleh peneliti, seperti pada Zebrafish (Clellandet al., 2009); Cyprinus carpio (Shabanipour & Hossayni, 2010); Melichthys niger(Branco et al., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ovarium ikan wader parisebagai bagian dari proses reproduksi, yang merupakan informasi dasar dalampengelolaan ikan wader pari. Dengan harapan memberikan informasi berupa pola/tipeperkembangan ovarium dan fase perkembangannya.II. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2014 sampai april 2015 bertempatdi Laboratorium Histologi dan Embriologi Hewan Fakultas Biologi Universitas GadjahMada.2.2. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan wader pari (RasboraLateristriata) sebagai hewan uji. Bahan-bahan pembuatan preparat histologi (larutanBouin, Alkohol (30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 96%, absolut), Akuades, Toluol, Parafin,Xylol, Mayer albumin, Ehrlich hematoxylin, Eosin Y, larutan Acid fuchsin 0,1%,larutan PMA 1%, larutan Mallory, Entelan, kertas label, kertas penghisap, dan pakanikan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium sebagai wadah,serok, selang, aerasi, ember, dissecting set, cawan petri, timbangan analitik, silet, botolflakon, oven, mikrotom putar (RMT-20), pisau mikrotom, holder kayu, kuas, pisauscalpel, kaca benda, cover gelas, hot plate, pipet, layar LCD (Philips 191EL 19”),mikroskop cahaya dan kamera (Canon Eos 1100d).2.3. Prosedur Penelitian2.3.1. Pemeliharaan ikan Pemeliharaan ikan selama penelitian dalam akuarium dengan ukuran 30x20x15cmyang diisi air sebanyak 70%. Air yang digunakan berasal dari PDAM dan telahdiendapkan selama 2 hari. Aerasi dipasangkan pada setiap akuarium untuk menyuplaioksigen terlarut. Ikan yang digunakan merupakan larva wader pari (RasboraLateristriata) dengan berat rata-rata 0,02 gram. Sampel ikan uji diaklimasi dalam wadahpemeliharaan terlebih dahulu. Pemeliharaan ikan dalam akuarium dilakukan selama 3bulan. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari (pagi hari pukul 07.00-07.30wib, siang hari pukul 12.00-12.30, sore hari pukul 17.00-17.30 wib) secara ad libitum.Pakan yang diberikan berupa pelet merek takari, dengan kandungan nutrisi yaitu:protein 30 %, lemak 3 %, serat 4 %, abu 12 %, kadar air 12 %. Pengelolaan kualitas airdilakukan dengan penyifonan dan pergantian air. Penyifonan dilakukan untukmembuang kotoran didasar akuarium menggunakan selang kecil, dilakukan sebelumpemberian pakan. Pergantian air 1-2 hari sekali sebanyak 25% dari total volume air. 33

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.3.2. Pembuatan Preparat Histologi Perkembangan ovarium diamati dengan pembuatan preparat histologismenggunakan metode parafin. Pewarnaan menggunakan Hematoxylin Eosin (HE).Pengambilan data dengan pengamatan fase perkembangan, perhitungan proporsi dandiamter folikel ovarium.Prosedur pembuatan preparat histologis adalah : 1. Jaringan target (ovarium) Secara serial, bagian badan ikan yang digunakan untuk pembuatan preparat, bagian kepala dan ekor dibuang. 2. Fiksasi Upaya mempertahankan struktur jaringan sampel. Menggunakan bouin, fiksatif selama ±24 jam. 3. Pencucian (washing) Menggunakan alkohol 70% sampai warna kuning berkurang. 4. Dehidrasi Menggunakan alkohol bertingkat, yaitu:  Alkohol 70% : 4x30 menit  Alkohol 80% : 2x30 menit  Alkohol 90% : 2x30 menit  Alkohol 96% : 1x30 menit  Alkohol absolut : 1x30 menit 5. Clearing (dealkoholisasi) Penarikan alkohol dari jaringan dengan toluol. Sebelum ke toluol jaringan dari alkohol absolut diletakan dulu dikertas hisap. Clearing di toluol selama ±12 jam. 6. Infiltrasi Upaya menyusupkan parafin ke dalam jaringan sampel. Prosesnya dalam oven (inkubator) dengan temperatur 55o - 60oC.  Campuran toluol parafin (1:1) :30 menit  Parafin I : 50 menit  Parafin II : 50 menit  Parafin III : 50 menit 7. Embedding Penanam jaringan dalam parafin padat. Buat kotak-kotak kecil dari karton, tuang parafin murni cair ke dalam kotak tersebut, dengan cepat pindahkan jaringan yang telah diinfiltrasi tadi kedalam kotak yang berisi parafin cair tersebut, atur letak preparat sesuai potongan. 8. Sectioning Iris blok parafin dengan scalpel, permukaan yang akan diiris dengan pisau mikrotom berbentuk segi empat teratur. Tempelkan blok parafin pada holder kayu. Pasang holder dengan blok parafin tersebut pada mikrotom. 34

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Persiapa sebelum section : kotak tempat pita preparat, kuas untuk mengambil coupes dari pisau mikrotom, pisau scalpel, kapas yang dicelup xylol untuk membersihkan pisau mikrotom. Selanjutnya atur ketebalan irisan (6 mikron) lalu mulai section.9. Afiksing Penempelan jaringan hasil irisan (coupes) pada gelas benda dengan mayer albumin, dengan cara: kaca benda yang telah dioles mayer albumin, ditetesi aquadest secukupnya, letakkan sejumlah coupes diatas aquadest tersebut. Kaca benda kemudian diletakkan diatas hot plate dengan suhu 400C - 450C. Letak coupes diatur, sisa aquadest dihisap dengan pipet, biarkan sampai kering, baru disimpan dalam map preparat, pewarnaan dilaksanakan sebaiknya sesudah 24 jam.10. Staining Deparafinasi dengan mencelupkan kaca benda yang telah ada coupes tersebut dalam xylol minimal selama 10 menit untuk menghilangkan parafin. Pewarnaan Ehrlich Hematoxylin – Eosin (HE) : Kaca beda dari xilol dihisap xilolnya dengan kertas filter. Lalu celupkan ke dalam alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30% dan akuades. Selanjutnya masukan ke Ehrlich Hematoxylin selama 3-7 detik. Cuci dengan air mengalir selama 10 menit, celup ke dalam aquadest, alkohol 30%, 40%, 50%, 60% 70%, lalu masukan kedalam Eosin selama 1-2 menit. Selanjutnya celupkan ke alkohol 70%, 80%, 90%, 96% lalu pel diantara kertas filter, kemudian masukan ke xilol minimal 10 menit.11. Mounting Merupakan proses penutupan sediaan dengan cover gelas. Sediaan dari xilol ditetesi entelan kemudian ditutup dengan cover gelas. Tunggu sampai kering.12. Pembacaan sediaan Menggunakan mikroskop.2.4. Analis Data Data histologi ovarium ikan wader pari (Rasbora lateristriata) dianalisis dandibahas secara deskriptif.III. Hasil dan Pembahasan Ovarium ikan wader pari merupakan organ reproduksi yang terletak di lateralsaluran pencernaan dan tepat di dekat pneumatocyst. Ovarium pada ikan wader pariberjumlah sepasang dan pada saat kondisi matang ovarium akan memanjang danmemenuhi rongga abdomen. Perkembangan ovarium ikan wader pari dapat dilihat padaGambar 1. 35

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Perbesaran 20x Perbesaran 200xA 200 µm 50 µm A 4 1 2 3 aB 200 µm 50 µm B 4 a b 1 c 3 C 2C 200 µm 4 b 1d 2 50 µm 3Gambar 1. Perkembangan ovarium ikan wader pari (Rasbora lateristriata) A=bulan pertama, B=bulan kedua, C=bulan ketiga. 1=ovarium, 2=liver, 3=usus, 4=gelembung renang. a= fase kromatin nukleolar, b= fase perinuklear, c= tunika albuginea, d= nukleolus. Pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE). Berdasarkan hasil penelitian, ovarium ikan wader pari setiap bulan mengalamiperkembangan dari bulan pertama sampai bulan ketiga. Pengamatan perkembanganovarium ikan wader pari dilakukan dengan pengamatan struktur histologis, diameter danjumlah persentase folikel ovarium. Pengamatan struktur histologis ovarium ikan waderpari pada bulan pertama menunjukkan fase perkembangan yang sama, yaitu fase I,sedangkan pada bulan kedua dan ketiga menunjukkan pola asinkronous. Polaasinkronous merupakan pola perkembangan folikel telur dalam satu ovarium beradapada fase yang berbeda pada waktu yang bersamaan (Tyler & Sumpter, 1996). Hal inisama seperti pada ikan zebra dewasa yang memiliki pola ovarium asinkronous. Ovarium 36

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572ikan zebra mulai berkembang pada umur 10 hari setelah menetas dan ikan menjadimatang secara seksual pada umur 3 bulan (Clelland et al., 2009). Pada bagian luar ovarium ikan wader pari terdapat selaput pembungkus yangsangat tipis disebut tunika albuginea. Rahmawati (2014) dalam penelitiannyamenyebutkan bahwa tunika albuginea pada ikan wader pari tersusun oleh sel pipihberlapis. Menurut Clelland et al., (2009) ovarium ikan zebra terdiri dari epitel tipis,oogonium dan folikel yang mengandung oosit dikelilingi oleh sel-sel somatik danjaringan interstitial (stroma). Berdasarkan hasil pengamatan struktur histologis ovarium, terdapat dua faseperkembangan ovarium ikan wader pari dalam penelitian ini. Pertama fase kromatinnukleolar dan kedua fase perinuklear (Gambar 1). Fase kromatin nukleolar dicirikandengan ukuran sel kecil dengan kisaran diameter berkisar 6-25 µm. Ovum terlihatbergerombol dan inti mendominasi bagian sel dengan sitoplasma sedikit. Sel bersifatbasofilik dan bagian inti selnya terlihat lebih gelap dibandingkan sitoplasmanya. Bagianinti terdapat kromatin dalam jumlah banyak sehingga terpulas lebih gelap. Sedangkanfase perinuklear merupakan fase perkembangan selanjutnya dari fase kromatinnukleolar. Pada fase ini diameter sel berkisar antara 22-114 µm. Ovum berbentukpolihedral dengan inti sel membulat atau oval. Sitoplasma sel bersifat basofiliksedangkan bagian inti sel bersifat kurang basofilik. Pada fase ini dijumpai adanyavesikula germinalis, yaitu nukleoli yang berjumlah banyak dan terletak di tepi inti.Perkembangan folikel ovarium bulan pertama berada pada fase kromatin nukleolar,sedangkan fase perinuklear mulai terlihat pada pemeliharaan bulan 2 dan bulan 3(Gambar 1). Persentase jumlah folikel ovarium bulan pertama 100% di dominasi oleh sel mudaatau fase kromatin nukleolar, selanjutnya pada bulan kedua jumlah folikel lebih banyakdidominasi oleh fase kromatin nukleolar (fase 1= 63,21% : fase 2= 36,79%), sedangkanpada bulan ketiga lebih banyak didominasi oleh fase perinuklear (fase 1= 48,52% : fase2= 51,48%). Hasil pengukuran diamater folikel ikan wader pari secara keseluruhan faseI berkisar 6-25 µm dan fase II berkisar 22-114 µm. Diameter oosit ikan wader pariberbeda bila dibandingkan dengan diameter oosit pada ikan mas (Cyprinus carpio) danikan trigger hitam (Melichthys niger). Menurut Shabanipour & Hossayni (2010)diameter oosit ikan mas (Cyprinus carpio) fase I: diameter rata-rata sekitar 60 µmsedangkan fase II diameter rata-rata oosit sekitar 160 µm. Pada ikan trigger hitam(Melichthys niger) fase I: diameter berkisar 6-23 µm sedangkan fase II: diameterberkisar 24-83 µm (Branco et al., 2013). Menurut Shinozaki, 2008 dalam Branco(2013) setiap spesies tampaknya memiliki karakteristik diameter oosit tersendiri.Abascal & Madinah (2005) menambahkan bahwa terminologi dan fitur yang digunakanuntuk membedakan dan mengidentifikasi tahap yang berbeda dari formasi oosit dapatbervariasi menurut penulis dan spesies yang dipelajari. Menurut Clelland et al., (2009) diferensiasi ovarium, proses perkembanganfolikel, pematangan oosit dan ovulasi adalah peristiwa kompleks yang memerlukankoordinasi. Proses perkembangan gonad betina pada teleostei dipengaruhi oleh faktor 37

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572internal dan eksternal. Faktor internal seperti kinerja hormon dan faktor eksternal dapatberupa kondisi lingkungan dan asupan makanan. Mekanisme hormonal padaperkembangan ovarium yaitu: Otak memproduksi GnRH (Gonadotropin ReleasingHormone) yang bekerja di hipofisis untuk menstimulasi sekresi LH (LuteinizingHormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). Gonadotropin, selanjutnyameregulasi folikulogenesis. Tahap pertumbuhan terjadi di bawah kendali FSHsementara fase maturasi terjadi di bawah pengaruh LH (Patino et al., 2001). SelanjutnyaNorris (2007) menambahkan bahwa FSH merupakan hormon yang berperan dalammesintesis estrogen selama masa perkembangan folikel.IV. Kesimpulan4.1. Kesimpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil kajian “Perkembangan ovarium ikanwader pari (R. lateristriata): pendekatan histologi” adalah perkembangan ovarium ikanwader pari menunjukkan pola/tipe perkembangan ovarium Asinkronous. Perkembanganovarium pada pemeliharaan bulan pertama berada pada fase kromatin nukleolar,sedangkan fase perinuklear mulai terlihat pada pemeliharaan bulan 2 dan bulan 3.4.2. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan tentang perkembangan ovarium ikan wader pariyang pemeliharaannya lebih dari 3 bulan sampai ovarium matang seksual.Daftar PustakaAbascal, F. J. and Medina A. 2005. Ultrastructure of oogenesis in the bluefin tuna, Thunnus thynnus. Journal of Morphology. 264: 149-160.Budiharjo, A. 2002. Seleksi dan potensi budidaya jenis-jenis ikan wader dari genus Rasbora. Biodiversitas. 3 (2): 225-230.Branco, I.S.L., Viana, D.L., Felix, R.T.S., Veras, D.P., and Hazin, F.H.V. 2013. Oocyte development and ovarian maturation of the black triggerfish, Melichthys niger (Actinopterygii: Balistidae) in Sao Pedro e Sao Paulo Archipelago, Brazil. Neotropical Ichthyology. 11(3): 597-606.Clelland, E. and Peng, C. 2009. Endocrine/paracrine control of zebrafish ovarian development. Molecular and Cellular Endocrinology. 312: 42–52.Norris, D.O. 2007. Vertebrate Endocrinology. 4th ed. Elsevier. USA. pp: 372-391Patino, R., Yoshizaki, G., Thomas, P., and Kagawa, H., 2001. Gonadotropic control of ovarian follicle maturation: the two-stage concept and its mechanisms. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology. 129: 427–439.Rahmawati, S. 2014. Indeks Gonadosomatik Dan Struktur Histologi Gonad Ikan Wader Pari (Rasbora lateristriata Bleeker, 1854) Pada Tahap Perkembangan Pra Dewasa dan Dewasa. Skripsi. Fakultas Biologi. UGM. Yogyakarta.Shabanipour, N., and Hossayni, S.N. 2010. Histological and ultrastructural study of Zona Radiata in oocyte of common carp Cyprinus carpio (Linnaeus 1758). Micron. 41: 877–881. 38

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Tyler, C.R. and J.P. Sumpter. 1996. Oocyte Growth and Development In Teleost. Rev. Fish Biology and Fisheries. 6: 287-318. 39

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572KEPADATAN DAN SEBARAN TERITIP (Amphibalanus spp.) DI PELABUHAN KOTA DUMAIBARNACLE (Amphibalanus spp.) DENSITY AND DISTRIBUTION IN THE PORT OF DUMAI Muhammad Arif Nasution1, Al Mudzni2 1Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh 23615 2Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 Korespondensi : [email protected] Abstract Barnacle (Amphibalanus spp.) density and distribution implemented inSeptember-November 2013 in the port of Dumai, Riau, which aims to explore thecauses of inequality in the spatial distribution of density Barnacles (Amphibalanus spp).in different media attachment were influenced by marine environmental conditions inthe port of Dumai. Barnacle density observation method in this study is the stratifiedrandom sampling method using wood, fiber and iron as a media attachment. The resultsshowed the existence of inequality Barnacle density (Amphibalanus spp). on the mediaattachment with different types and colors. The highest average Barnacle density wasfound in colorless timber, which ranges between 265-506 ind/m2. While the lowestaverage Barnacle density was found in white fiber and it ranged between 25-68 ind/m2.Keywords: Bernacle, distribution, density.I. Pendahuluan Tingginya aktivitas maritim di pesisir timur Pulau Sumatera sebagai bagian dariperairan laut Selat Malaka, menuntut keberadaan pelabuhan laut. Pelabuhan lautmenjadi penghubung antara aktivitas darat dan aktivitas perairan. Namun pada tiang-tiang pelabuhan di daerah yang terdapat di sepanjang pesisir timur Pulau Sumateraterdapat organisme-organisme yang menempel dan bersifat merusak. Teritipmerupakan salah satu spesies hewan yang umum dijumpai di tiang pelabuhan-pelabuhandi Kota Dumai yang sejak dulu sudah meresahkan, hal ini disebabkan dari waktu kewaktu pertumbuhan teritip terus meningkat dan dikhawatirkan akan merusak tiang-tiangpada pelabuhan ini. Teritip (Amphibalanus spp.) merupakan biota dari filum Crustacea, ordo Sessiliadan family Balanidae yang hidupnya menempel secara permanen pada susbstrat salahsatunya dinding tiang penyangga dermaga. Secara alami Teritip banyak dijumpai dilaut. Sudah sejak lama Teritip menjadi masalah yang sangat serius. Kemampuannya dantempat hidupnya yang menempel pada substrat memiliki sifat yang dapat merusak danmemperpendek umur suatu bangunan (Nontji, 2001). Penempelan atau biofouling Teritip ini ditemui di pesisir timur Pulau Sumatrayang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Aktivitas perairan laut di wilayahtersebut yang dikenal sangat padat dan didukung oleh keberadaan pelabuhan ataudermaga yang dapat dijumpai di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatra, salah satunya dipelabuhan Kota Dumai, Provinsi Riau. Pengelolaan dan pemanfaatan pelabuhan- 40

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572pelabuhan tersebut tidak terlepas dari permasalahan. Salah satunya adalah keberadaanorganisme yang hidup menempel pada tiang pelabuhan, seperti Teritip. Hasil observasi prapenelitian, secara visual pelabuhan-pelabuhan di pesisir timurPulau Sumatra mengalami biofouling dengan kepadatan Teritip yang lebih tinggidibandingkan pelabuhan-pelabuhan di pesisir barat. Penempelan Teritip tidak meratapada sisi kiri dan kanan tiang pelabuhan. Selain itu, distribusi kepadatan Teritip tersebutjuga tidak merata baik secara horizontal maupun vertikal pada tiang-tiang pelabuhan.Menurut Mudzni (2010), rata-rata kepadatan Teritip Balanus spp. pada tiang PelabuhanPendaratan Ikan (PPI) Purnama Kota Dumai secara vertikal ke bawah perairan semakinmeningkat, sedangkan secara horizontal, kepadatan Teritip tersebut lebih tinggi padabagian tiang pelabuhan yang terlindung dari perairan laut lepas dibandingkan padabagian tiang pelabuhan yang menghadap ke perairan laut lepas. Observasi prapenelitian dan penelitian yang telah dilakukan tersebut terbatas padakepadatan Teritip dari genus Balanus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terkaitpenyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan Teritip pada tiang-tiangpelabuhan. Diperkirakan perbedaan kondisi lingkungan perairan air laut merupakanfaktor utama terjadinya ketidakmerataan tersebut. Apabila diteliti lebih lanjut secara ruang (spasial), dapat diketahui penyebabterjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan Teritip pada tiang-tiang pelabuhan,sehingga bermanfaat bagi penanganan masalah biofouling yang terjadi pada pelabuhankhususnya pesisir timur Pulau Sumatra, seperti Kota Dumai. Pada bagian tiangpelabuhan atau kapal yang ditempeli oleh Teritip dalam jumlah tinggi dapat diberipenanganan yang lebih intensif seperti pemberian bahan antifouling yang dapatmenghambat penempelan dan pertumbuhan Teritip. Tulisan ini memaparkan hasil telaah mengenai sebaran Teritip Amphilanus spp dipelabuhan Kota Dumai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebarankepadatan teritip intertidal pada jenis dan warna media penempelan yang berbeda.Selain itu, juga untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip intertidal secara vertikal danhorizontal di perairan pelabuhan Kota Dumai. Dengan mengetahui hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untukpenanganan masalah biofouling yang terjadi pada bangunan di pesisir pantai dan kapal-kapal laut khususnya di perairan laut Kota Dumai..II. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan November 2013 ditiga pelabuhan yang berada di Kota Dumai, yakni Pelabuhan Pelindo 1, PelabuhanPendaratan Ikan (PPI) Purnama dan Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh (Gambar1). Identifikasi plankton dan parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Ekologidan Manajemen Lingkungan Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan,Universitas Riau, sedangkan identifikasi Teritip dilakukan di Laboratorium BiologiLaut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 41

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gambar 1 Lokasi Penelitian di Kota Dumai, Provinsi Riau Media (plat) penempelan Teritip dipasang atau diikat pada tiang (pondasi)pelabuhan yang telah ditentukan sebagai tiang pengamatan. Media penempelan tersebutdipasang selama dua bulan atau 60 hari. Kepadatan Teritip dihitung dengan cara melihatindividu Teritip yang berada pada media (plat) penempelan. Media penempelan tersebutdiangkat atau dilepaskan dari tiang (pondasi) pelabuhan setelah 60 hari dari waktupemasangan. Metode penarikan sampel yang digunakan untuk melihat kepadatan Teritip adalahmetode acak stratifikasi (stratified random sampling method) yang mengacu padaTanjung (2010). Pengamatan dilakukan pada tiang pelabuhan yang dibagi atas 2 stasiun.Stasiun 1 terletak pada tiang di bagian pelabuhan yang tertutup (terlindung) dari lautlepas dan Stasiun 2 terletak pada tiang di bagian pelabuhan yang menghadap ke lautlepas. 42

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gambar 2 Pembagian stasiun dan substasiun berdasarkan bahan media penempelan Pada setiap stasiun terdapat 6 substasiun atau tiang pengamatan (Gambar 2).Substasiun akan dibagi menjadi 3 berdasarkan jenis media penempelan yang dipasangpada tiang substasiun tersebut. Dua substasiun pertama dipasang media penempelandengan bahan kayu, 2 substasiun selanjutnya dipasang media penempelan dengan bahanbesi dan 2 substasiun terakhir dipasang media penempelan dengan bahan fiber.Penentuan stasiun serta substasiun berdasarkan bahan media penempelan ditunjukkanpada Gambar 2. Pada setiap substasiun selanjutnya dipasang 12 titik pengamatan yang dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan warna media penempelan. Empat titik pengamatanpertama adalah media penempelan yang diberi warna merah. Empat titik pengamatanselanjutnya adalah media penempelan yang diberi warna putih dan 4 titik pengamatanterakhir adalah media penempelan yang tidak diberi pewarna.Gambar 3 Pemasangan media penempelan atau titik pengamatan pada substasiun 43

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Secara vertikal pada substasiun atau tiang pengamatan, setiap warna mediapenempelan dibagi kembali menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berada padabagian tiang yang dipengaruhi pasang surut air laut, sedangkan kelompok ke dua beradapada bagian tiang yang selalu terendam air laut. Penentuan pemasangan mediapenempelan atau titik pengamatan pada substasiun diperlihatkan pada Gambar 3. Sampel Teritip yang menempel dilepaskan dari media penempelan dandimasukkan ke dalam botol untuk diawetkan dengan larutan alkohol 90%. Pengawetandilakukan agar bentuk cangkang dan tubuh Teritip dalam kondisi baik pada saatidentifikasi berlangsung. Selain itu, penghitungan dilakukan pada saat permukaan lautberada pada rata-rata pasang surut terendah di hari pengambilan data. Distribusi spasialTeritip Amphibalanus spp. ditelaah menggunakan Analisis Koresponden(Correspondence Analysis/CA) (Bengen, 2000) dengan bantuan program Statistica 6.III. Hasil dan Pembahasan3.1. Sebaran Karakteristik Lingkungan Secara umum, paramater biofisika kimiawi perairan pada 3 pelabuhan tidak jauhberbeda (Tabel 1). Hal ini terkait dengan karakteristik pesisir yang juga tidak jauhberbeda, baik itu substrat maupun vegetasi yang terdapat di sepanjang pesisir KotaDumai.Tabel 1 Parameter kualitas perairan pada 6 stasiun di Kota Dumai SST Currents Speed Salinity Turbidity Nitrate Phosfate (mg/l) (mg/l) Port Station pH 0,2104 0,0044 0,2313 0,0066 (°C) (m/s) (‰) (NTU) 0,2938 0,0066 0,1875 0,0044 Pelindo 1 1 8 30 0,5 27 2 0,3458 0,0088 2 8 28 0,3 28 2 0,35 0,0066PPI Purnama 1 7 30 0,4 27 2 2 7 30 0,2 27 2 1 7 29.5 0,7 25 1Angkatan Laut Bangsal Aceh 0,7 27 3 2 7 29 Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisika kimia lingkunganpesisir Kota Dumai pada matriks korelasi menunjukkan informasi penting yangmenggambarkan korelasi antara parameter yang terpusat pada dua sumbu utama, yaituF1 (44,67%) dan F2 (26,60%) dengan ragam total 71,27%. Diagram lingkaran korelasiparameter biofisika kimia lingkungan dan stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2(Gambar 9 kiri) menunjukkan parameter salinitas, pH dan kekeruhan mempunyaikontribusi yang besar dalam pembentukan sumbu 1 (F1) positif, sedangkan kecepatanarus, nitrat dan fosfat mempunyai kontribusi besar dalam pembentukan sumbu 1 (F1)negatif. 44

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gambar 4 Sebaran karakteristik lingkungan Diagram sebaran stasiun penelitian berkaitan dengan parameter biofisika kimiawilingkungan pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 4 kanan) membentuk 3 kelompok individu(stasiun), yang masing-masing memiliki karakteristik biofisika kimia lingkunganberbeda. Kelompok individu pertama yang terdiri atas stasiun 1 (P1S1) dan stasiun 2pelabuhan Pelindo I (P1S2) yang dicirikan oleh salinitas, pH (8) dan kekeruhan (2NTU) yang tinggi. Kedua stasiun pada pelabuhan Pelindo I memiliki nilai pH yangtinggi diperkirakan terjadi karena adanya aktivitas antropogenik, yaitu bongkar-muatbahan CPO dan perawatan dermaga pada saat dilakukan pengamatan. Kelompok individu kedua terdiri atas stasiun 1 PPI Purnama (P2S1), stasiun 1(P3S1) dan stasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh (P3S2) yang dicirikan oleh kecepatanarus, nitrat dan fosfat yang tinggi. Kadar nitrat dan fosfat yang tinggi disebabkan olehkarena ketiga stasiun ini berdekatan dengan permukiman penduduk dan daratan,sehingga ada suplai air tawar dari daratan, terutama pada saat surut yang kemungkinanmembawa limbah domestik maupun limbah pertanian (pupuk). Selain itu, prosesdekomposisi serasah juga dapat memengaruhi tingginya kadar nitrat dan fosfat.Folkowski & Raven (1997) menyatakan pasokan nutrien termasuk nitrat dan fosfat padaekosistem perairan terjadi dalam dua jalur, yaitu dekomposisi senyawa-senyawa organikmenjadi anorganik oleh organisme dekomposer dan pasokan dari sungai. Lebih lanjutHutagalung et al. (1997) menyatakan kadar nitrat dan fosfat umumnya semakin tinggi di 45

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572kawasan perairan muara. Salah satu penyebab peningkatan kadar nitrat adalahmasuknya limbah domestik atau pertanian yang umumnya banyak mengandung nitratdan fosfat. Selanjutnya, stasiun 1 dan stasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh jugamemiliki kecepatan arus yang tinggi (0,7 m/s) yang disebabkan letaknya yangberdekatan dengan muara. Kelompok individu ke tiga terdiri atas stasiun 2 PPI Purnama (P2S2) yangdicirikan oleh kelimpahan fitoplankton dan suhu yang tinggi. Tingginya kelimpahan dansuhu pada stasiun ini disebabkan stasiun ini berada pada perairan terbuka, sehinggaintensitas cahaya matahari yang masuk ke badan air juga lebih tinggi dan secara tidaklangsung memengaruhi suhu perairan di stasiun ini. Intensitas cahaya yang tinggimerupakan faktor lingkungan pendukung meningkatnya kelimpahan fitoplankton diperairan (Brotowidjoyo et al., 1995 dan Sachlan, 1982).3.2. Kepadatan Teritip Amphibalanus spp Kepadatan Amphibalanus spp. pada setiap lokasi penelitian sangat beragam, baikmenurut jenis media penempelan atau pun warna media penempelan. Selain itu,keragaman kepadatan Amphibalanus spp. juga terjadi pada media penempelan yangdipasang secara vertikal (perbedaan tingkat pasang surut) dan horizontal (perbedaanstasiun penelitian). Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan tertinggi Amphibalanus spp.terdapat pada media penempelan dengan jenis kayu yang tidak diberi pewarna atauwarna asli. Secara horizontal, rata-rata kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 1pelabuhan Pelindo I dan stasiun 1 PPI Purnama. Secara vertikal, rata-rata kepadatantertinggi terjadi pada tingkat kedalaman 3 (tinggi rata-rata surut harian, yaitu 0,9 m) dantingkat kedalaman 2 (tinggi rata-rata pasang harian, yaitu 2,7 m). Hasil penghitungankepadatan Amphibalanus spp. pada media kayu, fiber dan besi ditunjukkan padaGambar 6, 7 dan 8..Gambar 5 Morfologi cangkang Teritip Amphibalanus spp. a = keseluruhan cangkang, b = scuta (kiri = eksternal, kanan = internal), c = terga (kiri = eksternal, kanan = internal. 46

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media kayu terdapat padastasiun 2 pelabuhan Pelindo I, yaitu 506 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapatpada media kayu yang tidak diberi warna (Gambar 6a), sedangkan rata-rata kepadatanterendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I, yaitu 78 ind/m2. Kepadatanterendah tersebut terdapat pada media kayu dengan warna putih.Gambar 6 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada media kayu, (a.) Pelabuhan Pelindo I, (b.) PPI Purnama dan (c.) Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh. Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada media kayu dipengaruhi oleh adanyakompetisi perebutan ruang dengan biota lain. Biota yang memiliki pengaruh besarterhadap kepadatan Amphibalanus spp. pada media kayu dalam penelitian ini adalahcacing laut (marine borer worm) yang menyebabkan tidak ditemukannya Teritip yangmenempel pada bagian media kayu yang terdapat lubang gerek (bore holes). Selain itu,serangan cacing laut juga berpengaruh terhadap usia media kayu. Serangan cacing lautditandai oleh adanya penggerekan yang mula-mula tegak lurus terhadap serat kayu,kemudian membelok sejajar serat kayu. Secara terus menerus organisme inimemperpanjang lubang gereknya di dalam kayu dan dinding salurannya dilapisi zatkapur. Intensitas serangan yang tinggi pada kayu akan menunjukkan kepadatan populasiorganisme tersebut di dalam kayu. Serangan ini disebut dengan serangan Teredinidae(Muslich & Sumarni, 2005). 47


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook