Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Prof. Mahatma Kufepaksi

Prof. Mahatma Kufepaksi

Published by wisataonline, 2021-09-01 04:50:29

Description: 32 Prof. Mahatma Kufepaksi

Search

Read the Text Version

Yang saya hormati: Ketua, Sekretaris dan para anggota Senat Universitas Lampung Rektor dan para Pembantu Rektor Universitas Lampung Dekan dan para Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Lampung Dosen, mahasiswa dan karyawan Universitas Lampung Para pejabat pemerintah maupun swasta, tokoh masyarakat Lampung Para hadirin dan handai taulan sekalian yang saya hormati Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu Pertama tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya kita diberi kesehatan dan kesempatan untuk hadir dalam Rapat Senat Universitas Lampung yang terhormat ini. Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Selanjutnya, perkenankan saya menyampaikan rasa terima kasih saya kepada Ketua, Sekretaris dan seluruh anggota Senat Universitas Lampung yang telah memberi kesempatan dan kehormatan pada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung dihadapan para hadirin sekalian. Pada hari yang bersejarah dalam karir saya sebagai tenaga pengajar, ijinkanlah saya menyampaikan pidato yang berjudul: Pengaruh Perilaku Overconfident Dalam Pengambilan Keputusan Investasi di Pasar Modal, Aplikasi Self Deception Theory Dalam Dunia Praktek Hadirin yang sekalian yang saya hormati, Pokok bahasan yang akan saya sampaikan dalam pidato saya ini menyangkut proses pengambilan keputusan investasi di pasar modal. Sebagaimana diketahui, setiap saat investor harus segera mengambil keputusan untuk mengamankan posisi investasinya di tengah situasi yang penuh dengan ketidak-pastian. Gaya pengambilan keputusan investor cukup bervariasi dalam praktek, dipengaruhi oleh karakter investor yang bersangkutan. Kharakter seseorang investor sebenarnya dapat dideteksi dari perilakunya yang muncul dalam kegiatan kesehariannya, terutama ketika menghadapi berbagai permasalahan yang berbasis ketidak-pastian, yang mengandung risiko. Sebenarnya, setiap hari orang menghadapi berbagai permasalahan dalam menjalani kegiatan kesehariannya, dan tanpa disadari telah menjalani serangkaian proses pengambilan keputusan. Seringkali pengambilan keputusan dilakukan dengan cepat ketika menghadapi situasi yang rutin

atau situasi yang sifatnya mudah diprediksi. Pertimbangan rational seringkali menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dalam situasi yang mudah diprediksi, dan atau yang memiliki derajat/tingkat ketidakpastian relatif rendah. Efek pembelajaran dalam menghadapi situasi yang demikian akan menciptakan pengalaman, yang selanjutnya secara normatif akan mempermudah orang mengambil keputusan ketika menghadapi permasalahan dengan karakter yang kurang lebih sama. Sementara itu, fakta menunjukkan bahwa dalam menjalankan kegiatan rutinnya. manusia, sebagai mahluk hidup yang dibekali akal (kompetensi cognitif) dan perasaan (emosi), seringkali berperilaku tidak konsisten dalam menghadapi permasalahan yang sejenis dalam waktu yang berbeda sehingga menghasilkan solusi yang beragam. Ketidak konsistenan perilaku ini menimbulkan keberadaan sifat manusia yang tidak rasional. Perilaku manusia yang tidak konsisten dapat lebih mudah dideteksi ketika mereka menghadapi masalah yang sulit, dan tidak pasti. Sebagai ilustrasi, ketika menghadapi situasi yang relatif mudah, orang cenderung lebih cepat dan lebih mudah mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional yang bisa dipahami orang lain; namun ketika menghadapi permasalahan yang rumit yang penuh ketidakpastian seringkali orang mengambil jalan pintas yaitu memposisikan atau memperlakukan permasalahan yang sulit sebagai masalah yang ringan atau rutin. Upaya untuk mereduksi kadar atau derajat kesulitan tersebut seringkali diyakini sebagai teknik yang tepat untuk mengatasi permasalahan, padahal tidak semua permasalahan memiliki karakteristik, dimensi dan tingkat kesulitan yang sama dan belum tentu membutuhkan penanganan yang sama pula. Bila orang lebih menyukai model pengambilan keputusan yang terkesan menggampangkan atau meremehkan seperti ini maka cepat atau lambat mereka akan terjebak/terperangkap oleh ilusi yang mereka ciptakan sendiri sehingga menghasilkan keputusan bias yang membawa konsekwensi kesalahan dan tidak mampu memecahkan permasalahan secara komprehensip seperti yang telah dibuktikan oleh temuan-temuan penelitian psikologi, antara lain Tversky dan Kahneman (1971), Kahneman et al. (1982). Para hadirin yang saya hormati, Sebelum membahas kharakter manusia yang tidak rasional, ada baiknya saya perlu singgung keberadaan kharakter manusia yang rational dalam dunia nyata. Neumann dan Morgenstern (1944) mengatakan bahwa seseorang dikatakan rasional jika dan hanya jika terdapat fungsi utilitas, yang didefinisikan sebagai possible outcome (kemungkinan hasil) yang diperoleh dari setiap preferensi manusia, yang ditentukan berdasarkan upaya mereka dalam memaksimalkan nilai fungsi utilitasnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang secara sadar akan berusaha untuk mengejar dan memaksimalkan utility

(manfaat). Aksioma Neumann dan Morgenstern ini mendapat banyak kritik karena konstruksi rationalitas yang mereka bangun sangat lemah terkait dengan model matematis yang digunakan dan anggapan bahwa orang bersifat rasional dan risk averse. Para ahli mengungkapkan bahwa teori expected utility yang dikembangkan dengan menggunakan model matematis untuk mempermudah abstraksi dan simplifikasi dari dunia realistis ternyata tidak menjamin bahwa teori ini menjadi pedoman yang reliable bagi perilaku manusia atau memperoleh optimalisasi praktis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya, orang tidak selalu mengikuti aksioma rasional tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak selalu berperilaku rasional, tidak selalu menghindari risiko terutama ketika menghadapi situasi yang memiliki derajat ketidak-pastian yang relatif tinggi. Dengan demikian, aksioma ini lebih banyak bersifat normatif karena orang tidak mungkin diharapkan untuk selalu bersikap rasional penuh. Sangatlah tidak mungkin mengharapkan semua pelaku ekonomi berperilaku rasional pada saat dan tempat yang bersamaan karena masing-masing pelaku ekonomi memiliki ekspektasi yang berbeda-beda mengikuti tingkat pengetahuan mereka yang beragam. Pada tahun 1957, Herbert Simon mempublikasikan konsep bounded rationality sebagai alternatif dasar proses pengambilan keputusan matematis seperti yang sering digunakan dalam ilmu ekonomi dan ilmu ilmu sosial lainnya. Konsep bounded rationality merupakan pemahaman dalam proses pengambilan keputusan bahwa rasionalitas individu dibatasi oleh informasi yang mereka miliki, kemampuan kognitif dan jumlah satuan waktu yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Kemunculan bounded rationality ini seperti menyadarkan semua orang bahwa pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan kemampuan kognitif sehingga mereka memiliki kemampuan prediksi yang tidak sempurna terhadap event atau peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Keterbatasan kemampuan dalam memproses informasi ini disertai dengan keterbatasan dalam mengkompilasi data serta keterbatasan waktu akan menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan. Orang akan berperilaku rasional dalam batas kemampuannya, dan tidaklah realistis untuk mengharap atau menganggap manusia berperilaku rasional secara penuh. Oleh karena itu, tidaklah heran ketika orang berpikir dan berperilaku diluar batas kemampuannya ini akan menghasilkan keputusan yang tidak rational. Fenomena ketidak-rasionalan pelaku pasar ini sebenarnya menjadi cikal bakal lahirnya ilmu keuangan keperilakuan (behavioral finance). Munculnya fenomena ketidak-rationalan pasar tidak menyurutkan pengembangan ilmu keuangan fundamental yang dilandasi oleh paradigma rationalitas pasar, terutama

setelah Fama (1970) menyampaikan hipotesis pasar efisien. Menurut Fama (1970), pasar akan selalu efisien karena harga saham akan merefleksikan informasi yang berkembang dan memasuki pasar sehingga menciptakan harga keseimbangaan baru yang tidak memberi kesempatan pelaku pasar untuk memperoleh keuntungan yang tidak normal. Paradigma pasar efisien yang dikemukakan oleh Fama (1970) tersebut memiliki asumsi bahwa pelaku pasar bersifat rational. Selanjutnya, ketika pasar bersifat rational maka investor akan bersifat risk averse (menghindari risiko). Kajian paradigma pasar efisien (kalangan fundamentalis) lebih banyak menggunakan pendekatan atau model statistik- ekonometrika yang rumit. Hal yang menjadi pertanyaan banyak orang saat itu adalah apakah benar pasar selalu berpikir dan bertindak rational? Bila benar bahwa pasar bersifat rational, tetapi mengapa penelitian empiris menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu pelaku pasar bertindak sebagai risk taker, bukan risk averter sehingga hal ini tentunya melanggar asumsi rationalitas pasar? Apakah pendekatan dan model statistik ekonometri dapat dipertanggungjawabkan untuk menjelaskan fenomena pasar? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya bisa diperoleh jika orang mau mengakui adanya fakta yang menyatakan bahwa sebagian pelaku pasar bertindak tidak rasional. Perilaku pasar yang tidak rasional ini menjadi bahasan dari ilmu keuangan keperilakuan yang berkembang di tahun-tahun berikutnya. Bapak dan Ibu hadirin yang saya muliakan, Sejarah Ilmu Keuangan Keperilakuan Menurut Olsen (1998), cikal bakal behavioral finance (ilmu keuangan keperilakuan) pada dasarnya dimulai ketika Professor OK Burrell dari University of Oregon (USA) melakukan penelitian keuangan dengan pendekatan baru pada tahun 1951 yang berjudul ‘Possibility of an Experimental Approach to Investment Studies. Artikel ini membahas tentang pentingnya penelitian eksperimen untuk menguji teori. Penelitian yang menggunakan pendekatan yang relatif baru ini nampaknya mulai diikuti oleh peneliti lain, antara lain Professor Scott Bauman yang pada tahun 1967 mempublikasikan hasil risetnya yang berjudul Scientific Investment Analysis: Science or Fiction?” dan Professor Paul Slovic yang mempublikasikan studi proses investasi yang lebih detail dalam perspektif keperilakuan yang berjudul “Psychological Study of Human Judgment” pada tahun 1972. Studi tokoh-tokoh keuangan ini menunjukkan bahwa pelaku ekonomi ternyata tidak hanya mempertimbangkan faktor utilitas, rationalitas dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga faktor emosi, suasana bathin, mood dan faktor psikologi lainnya. Fakta penelitian mereka menunjukkan bahwa kehadiran pelaku pasar yang tidak rasional di pasar modal sulit sekali dibantah. Sebenarnya, perilaku manusia yang tidak nomal, menyimpang dan tidak rational ini merupakan kajian domain ilmu psikologi; namun ketika investor menunjukkan perilaku

perdagangan yang tidak rasional maka para peneliti mau tidak mau juga perlu mempertimbangkan temuan-temuan penelitian psikologi untuk mendukung penelitian keuangan yang mereka lakukan. Artikel dan tulisan akademik terkait dengan fenomena ketidak-rationalan pasar ternyata tidak menunjukkan perkembangan yang memuaskan sampai dengan akhir tahun 1980an karena para peneliti masih terbelenggu oleh sekat-sekat paradigma rasional yang masih sangat kuat mempengaruhi topik-topik penelitian keuangan. Apalagi saat itu, paradigma pasar efisien yang diajukan oleh Fama (1970) sedang \"marak” atau dengan kata lain sedang ”naik daun”. Para peneliti masih merasa enggan memasuki ”habitat keperilakuan” yang relatif baru dan mereka nampaknya lebih nyaman mengandalkan data-data keuangan sekunder, meskipun teknik pengumpulan dan sumber datanya memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan penelitian yang bias. Sebaliknya, metodologi eksperimen yang digunakan oleh kalangan behaviorist sebagai dasar penelitian masih belum dapat meyakinkan peneliti fundamentalis sebagai sarana atau tool utama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan risetnya, apalagi subyek risetnya adalah responden yang tidak rasional. Oleh karena itu, topik penelitian yang berbasis behavioral ini seringkali diabaikan dan tidak mendapatkan simpati dalam jajaran riset akademik. Paradigma rasional-fundamental justru menganggap topik-topik penelitian keuangan yang berbasis aspek keperilakuan (psikologi) kehilangan muatan akademisnya. Seiring dengan perjalanan waktu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa peneliti fundamentalis seringkali menghadapi kendala dalam menjelaskan hasil risetnya yang cenderung bersifat anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh teori ekonomi standar atau teori pendukungnya. Mereka umumnya kecewa berat, ”galau, bete”, kalau tidak mau dikatakan ”frustrasi”, ketika penelitian mereka yang berbasis calendar effect, size effect, announcement based effect cenderung menghasilkan output yang aneh dan tidak mampu menjelaskan dan menjawab problem riset yang diajukan. Mereka cenderung gagal menguji hipotesis yang diajukan dan membiarkan hasil risetnya sebagai riset yang tidak memuaskan dan mengklasifikasikan penelitian tersebut sebagai penelitian anomali. Kegalauan para peneliti semakin memuncak seiring dengan semakin banyaknya penelitian yang berakhir dengan anomali sehingga merekapun mulai meragukan kemampuan ilmu keuangan tradisional (fundamental) dalam menjelaskan faktor penentu harga sekuritas. Pada awal perkembangan behavioral finance di periode pertengahan tahun 1980an, para peneliti mulai aktif mengikuti temuan-temuan penelitian psikologi yang sedang

berkembang saat itu dan kemudian mencari bukti apakah faktor-faktor tersebut tercermin pada perilaku investor di dalam perdagangan saham. Pada saat itu, para peneliti merasa penasaran apakah investor irasional benar-benar ada di pasar modal. Menjelang pertengahan tahun 1980an, artikel behavioral finance menjadi trend setter penelitian yang spektakuler di kalangan akademisi setelah Werner De Bondt dan Richard Thaler (1985) mempublikasikan hasil penelitian mereka yang menghebohkan karena menjungkir- balikkan kedigdayaan, kehebatan (superioritas) paradigma hipotesis pasar efisien. Penelitian mereka membuktikan bahwa pasar saham yang saat itu diasumsikan terdiri dari investor yang rasional, ternyata juga dihuni oleh investor tidak rasional. Mengacu pada hasil temuan penelitian psikologi bahwa orang cenderung bereaksi lebih ketika mengakses informasi yang dramatis (overreaction phenomena), mereka menguji apakah perilaku ini juga muncul di pasar modal. De Bondt dan Thaler menunjukkan bahwa setelah menerima informasi pasar yang dramatis, saham-saham yang biasanya menghasilkan return rendah (the loser), berbalik arah menjadi penghasil return yang tinggi (the winner). Demikian sebaliknya. Pembalikan arah (price reversal) ini dipahami pasar sebagai koreksi terhadap reaksi pasar yang berlebihan yang ditunjukkan sebelumnya. Reaksi yang berlebihan ini menunjukkan bahwa investor berperilaku tidak rational. De Bondt dan Thaler (1985) telah menginspirasi peneliti lain untuk mengikuti jejak mereka. Ketidakrasionalan pasar yang disampaikan De Bondt dan Thaler (1985) ini menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan dan perkembangan behavioral finance di masa-masa berikutnya yang ditandai oleh semakin banyaknya tokoh peneliti keuangan yang mulai tertarik untuk mempublikasikan hasil penelitian mereka, antara lain Robert Shiller dari Yale University, Josef Lakonishok dari University of Illinois serta Meir Statman dan Hersh Shefrin dari Santa Clara University Pada tahap perkembangan selanjutnya, banyak peneliti melakukan riset-riset akademik yang secara intensif membahas pengaruh faktor-faktor psikologis pada pengambilan keputusan investasi dibidang keuangan, diantaranya Thaler (1988) yang membahas tentang winner’s curse (kekecewaan pemenang), Benartzi and Thaler (1995) yang membahas tentang rasa takut kehilangan/kerugian yang berlebihan (myopic loss aversion), Hawawini dan Keim (2000) yang membahas size effect; Banerjee (1992) dan Bikchandani, Hirsleifer dan Welch (1992) yang membahas tentang perilaku herding atau ikut-ikutan, Odean (1999) yang membahas tentang perilaku overconfident. Akhirnya, setelah lebih memahami dan menyadari bahwa pengambilan keputusan investasi tidak hanya mempertimbangkan faktor kompetensi saja, tetapi juga aspek psikologi, banyak peneliti yang tertarik dan tidak lagi merasa canggung atau ragu untuk meneliti dan mengamati perilaku-perilaku yang tidak standar di pasar keuangan dan pasar modal.

Sering dengan perjalanan waktu, ilmu keuangan keperilakuan (behavioral finance) terus berkembang yang ditandai dengan semakin beragamnya penelitian terhadap perilaku investor yang tidak rasional di pasar saham. Perkembangan ini tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan penelitian yang berbasis ilmu psikologi, yang seringkali menjadi acuan dalam penelitian keuangan di pasar saham. Temuan-temuan penelitian psikologi akan menjadi pupuk yang akan menyuburkan penelitian keuangan keperilakuan. Kumpulan penelitian psikologi karya Kahneman, Slovic dan Tverky (1982) bahkan menjadi rujukan bagi peneliti behavioral finance. Momentum temuan penelitian psikologi ini digunakan oleh kalangan behaviorist sebagai amunisi baru untuk membuktikan eksistensi ketidak rasional investor di pasar modal. Setidaknya ada dua julukan atau istilah yang biasa digunakan para peneliti untuk menyebutkan investor yang tidak rasional, misal Kyle (1985) menyebut investor tidak rasional sebagai unsophisticated investors, sedangkan Black (1986) menyebutnya sebagai noise trader. Sementara itu, paradigma hipotesis pasar efisien juga terus berkembang dengan tetap mempertahankan asumsi pasar yang rasional. Kedua pendekatan ilmu keuangan ini tidak perlu diperdebatkan dan perlu diposisikan sebagai ilmu yang saling melengkapi sehingga dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap terhadap fenomena yang terjadi di pasar. Disisi lain, kalangan praktisipun memberi respon yang positif terhadap hasil riset yang berbasis keperilakuan sehingga mereka mengingatkan kalangan akademisi untuk lebih bersikap realistik terhadap eksistensi perilaku investor tidak rasional di pasar modal dan pasar keuangan. Hasil riset keperilakuan ini dapat digunakan sebagai bahan renungan atau refleksi diri bagi seluruh investor dan praktisi di pasar modal, lembaga lembaga keuangan dan entitas lain yang setiap kali bergaul dengan ketidakpastian untuk bersikap lebih berhati-hati dalam mengontrol rasionalitasnya. Definisi perilaku overconfident Hadirin sekalian yang saya hormati, Penjelasan saya terkait dengan ketidak rasionalan investor di pasar modal menjadi entry point bahasan pidato saya pada hari ini yaitu keberadaan investor yang overconfident, investor yang ke-pede-an, investor yang memiliki rasa percaya diri yang berlebihan di pasar modal. Fenomena overconfident merupakan kecenderungan orang untuk memberi penilaian yang berlebihan pada ketepatan pengetahuan dan informasi yang dimiliki sehingga menghasilkan keputusan yang tidak akurat (Lichtenstein dan Fischhoff, 1977; Taylor dan Brown, 1988; Russo dan Schoemaker, 1999). Oleh karena itu, orang yang overconfident memiliki kecenderungan mempersepsikan diri memiliki kemampuan atau

pengetahuan melebihi orang lain. Dengan kata lain, mereka cenderung mempersepsikan diri memiliki kemampuan di atas rata-rata (capability above average) sehingga menghasilkan keputusan yang tidak akurat, bias. Banyak studi telah mengungkap dan menjelaskan pengaruh perilaku overconfident yang menghasilkan keputusan yang bias. Kahneman dan Tversky (1995) memberi contoh, antara lain adanya fakta yang menunjukkan bahwa orang merasa overconfident terhadap kemampuannya dalam menyerap dan memahami materi bacaan dalam waktu singkat, orang merasa overconfident tentang berapa lama penderita penyakit dapat bertahan hidup, perusahaan mana yang akan bangkrut, mahasiswa mana yang akan lulus ujian sekolah dst. Orang nampaknya cenderung lebih percaya pada keputusannya sendiri yang bias dibandingkan dengan prediksi yang didasarkan pada pengukuran yang lebih obyektif, rasional yang mempertimbangkan beberapa kendala atau faktor-faktor non teknis yang bisa saja mengganggu atau bahkan menggagalkan prediksi atau target yang diharapkan. Orang yang overconfident umumnya tidak akan mengenal konsep bounded rationality bahwa keterbatasan cognitif akan membatasi gerak dan kemampuan berpikir seseorang. Menurut Slovic dan Fischhoff (1977), perilaku overconfident dikelompokkan dalam dua kategori yaitu foresight bias dan hindsight bias atau knew it all along. Foresight bias merupakan kecenderungan orang untuk berperilaku overconfident terhadap prediksi atau peristiwa yang akan terjadi di masa datang, sedangkan hindsight bias merupakan kecenderungan orang berperilaku overconfident terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Orang yang memiliki hindsight bias cenderung mengklaim keberhasilan orang lain ditentukan oleh kontribusi atau perannya dan cenderung mengklaim kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh pengaruh orang lain, bukan karena kinerjanya yang buruk. Hindsight bias terjadi berkaitan dengan masalah cognitive (pola pikir) yang dilandasi oleh perilaku heuristik yaitu perilaku orang untuk mengambil kesimpulan atau bertindak dengan cara menyederhanakan masalah setelah mengamati atau mengalami peristiwa- peristiwa yang terjadi pada periode sebelumnya. Di samping itu, perilaku hindsight bias juga dapat terjadi karena pengaruh faktor motivasi yaitu upaya seseorang untuk menunjukkan kemampuan diri agar kelihatan bagus, hebat dimata orang lain. Orang cenderung memberi probabilitas keyakinan yang lebih tinggi ketika mereka dalam posisi hindsight bias dibanding foresight bias, meskipun beberapa penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya (Agans dan Shaffer, 1994; Christensen et al., 1991). Pada umumnya orang akan berperilaku hindsight bias ketika mengambil keputusan terhadap informasi yang bersifat almanak (informasi yang sudah terjadi) atau ketika menghadapi tugas yang tidak biasa dilakukan. Orang yang overconfident (ke-pede-an) secara umum akan mempersepsikan diri atau beranggapan telah melakukan kegiatan dengan benar, termasuk melakukan prediksi dengan tepat dan akurat. Mereka cenderung mengkonfirmasi semua informasi yang konsisten dengan keyakinan mereka dan mengabaikan informasi yang bertentangan

dengan keyakinan mereka. Mereka seringkali tidak mau memperhatikan kritik atau menerima umpan balik, saran yang sebenarnya dapat digunakan untuk mengontrol rationalitas keyakinan mereka. Disamping itu, perilaku overconfident muncul tanpa rencana sehingga orang tidak sadar telah mempraktekan atau mengaplikasinya. Perilaku ini terjadi umumnya diawali dengan upaya atau tindakan yang cenderung mereduksi atau menurunkan tingkat kesulitan permasalahan yang dihadapi (atau menganggap telah memiliki pengalaman dimasa lalu) sehingga terkesan meremehkan risiko. Ketika orang meremehkan risiko maka tindakannya menjadi tidak hati-hati, sembrono dan tidak akurat sehingga akhirnya akan menghasilkan kerugian karena target tidak tercapai, sebagaimana telah dibuktikan oleh berbagai penelitian psikologi (Burson et al., 2006; Kruger dan Dunning, 2002 dan Flannelly, Flannelly, 2000). Para hadirin yang saya muliakan. Fenomena ini pada hakekatnya menunjukkan bahwa mereka yang mempraktekkan perilaku overconfident telah melakukan pengelabuan/penipuan diri (self deception) karena kemampuan diatas rata-rata yang dipersepsikan ternyata tidak dapat dibuktikan. Dengan kata lain, orang yang overconfident tidak dapat membuktikan kehebatan kemampuannya dan selanjutnya mereka akan mencari beribu alasan untuk menjustifikasi kegagalannya. Pembentukan perilaku overconfident ini dijelaskan oleh Teori Pengelabuan (Penipuan) Diri yang dikembangkan oleh Trivers (2004). Teori ini menjelaskan dan memprediksi bahwa ketika seseorang tidak sadar mempersepsikan diri memiliki kemampuan di atas rata-rata, maka pola pikirnya akan mengarahkan dan mengelola persepsinya ini sedemikian rupa sehingga cenderung mencari informasi yang mendukung perilakunya dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan perilakunya. Pada tahapan ini, sesungguhnya dia telah terperangkap atau terjebak pada pembentukan keyakinan yang keliru (false belief) yang selanjutnya akan mengarah kepada pembentukan perilaku overconfident yang memiliki substansi “pengelabuan/penipuan diri atau self deception.” Menurut Trivers (2004), perilaku overconfident timbul karena pada umumnya manusia tidak dapat mengontrol kemampuan yang sebenarnya secara sempurna sehingga setiap individu selalu berpikir bahwa mereka lebih baik (lebih pandai, lebih kuat) dibandingkan dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan demikian, orang cenderung berpretensi mengetahui segala sesuatu yang ada dalam lingkungannya, walaupun kenyataannya adalah hal yang sebaliknya. Mengapa orang berperilaku overconfident? Secara umum, orang tidak menyadari mempraktekkan perilaku overconfident karena mereka mengolah dan menginterpretasi informasi secara keliru atau bias. Kekeliruan dalam mengolah dan menginterpretasi informasi ini bermuara pada keterbatasan atau rendahnya tingkat pengetahuan (kompetensi). Berbagai temuan penelitian psikologi menunjukkan bahwa kekeliruan atau bias dalam pengolahan informasi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Griffin dan Tversky (1992) dan Slovic et al. (1977), orang akan berperilaku overconfident karena adanya kecenderungan orang untuk tidak

menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki didasari oleh asumsi dan sumber informasi yang tidak jelas, tidak pasti dan tidak valid. Dengan kata lain, orang yang berpengetahuan rendah memiliki potensi untuk berperilaku overconfident. Hasil penelitian Dawes (1988) menemukan bahwa ketika terkontaminasi dengan confirmation bias, maka seseorang dapat berpotensi overconfident. Confirmation bias adalah kekeliruan yang timbul ketika seseorang mengkonfirmasi pendapat atau hipotesis tanpa mencari informasi lain yang tidak mendukungnya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa orang berperilaku overconfident karena gagal mengingat kemungkinan adanya hipotesis pesaing (rival hypothesis) sehingga keputusan didasarkan pada memory. Jika tidak mampu lagi mengingat hipotesis pesaing maka orang cenderung overconfident pada hipotesisnya sendiri (Fischhoff, 1982; Weinstein, 1998). Selanjutnya, Einhorn dan Hogart (1978) menemukan bahwa orang berpotensi overconfident karena bekerjanya “self fulfilling effect” atau self attribution bias yaitu prinsip pembenaran diri bahwa kesuksesannya disebabkan oleh kemampuannya sendiri dan mengabaikan peran orang lain yang juga memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam membantunya mencapai kesuksesan. Sebaliknya, bila gagal, dia cenderung mengklaim kegagalan yang dialami disebabkan oleh peran orang lain. Bapak dan ibu yang saya muliakan, Setelah kita semua memahami kerugian yang bisa timbul karena perilaku overconfident, perlu dicermati kondisi-kondisi apa saja yang bisa memicu pembentukan perilaku ini dalam praktek pengambilan keputusan investasi. Penelitian psikologi menemukan bahwa orang cenderung berperilaku overconfident ketika menghadapi situasi yang sulit dan penuh ketidakpastian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika menghadapi persoalan yang sulit dan penuh ketidakpastian, orang cenderung berperilaku overconfident, sebaliknya orang berpotensi memiliki kecenderungan untuk berperilaku underconfident ketika menghadapi permasalahan yang mudah (Lichtenstein dan Fischhoff, 1977, Juslin et al., 1999, Soll dan Klayman, 2004). Selanjutnya, Oskamp (1965) menemukan bahwa jenis tugas yang tidak memiliki umpan balik atau memiliki umpan balik yang tidak segera dapat direspon cenderung mendorong orang tanpa disadari untuk mempraktekkan perilaku overconfident. Ketika seseorang tidak memperoleh umpan balik dari kegiatan yang dilakukannya maka dia cenderung menilai kinerjanya sudah benar dan tepat karena dirinya tidak memperoleh tanggapan atau respon dari pihak lain. Dengan demikian, dia akan bersifat subyektif dalam menilai kinerjanya sendiri. Cara berpikir subyektif yang berlebihan akan meningkatkan probabilitas kebenaran penilaiannya sehingga membentuk perilaku overconfident.

Kharakter/ ciri orang yang overconfident Selanjutnya, bagaimana cara mengetahui keberadaan perilaku overconfident dalam diri seseorang? Ada beberapa signal yang dapat dipakai untuk mendeteksi keberadaan perilaku ini. Pertama, orang yang overconfident cenderung tidak mengenal ketidakpastian. Menurut Pitz (1974), orang yang overconfident pada umumnya tidak menyadari bahwa diri mereka tidak memiliki kemampuan kognitif (pengetahuan) yang memadai untuk melaksanakan tugas tertentu. Orang yang overconfident umumnya cenderung memposisikan pengetahuannya terlalu tinggi dan cenderung mereduksi tingkat kesulitan yang dihadapi sehingga mereka memiliki tendensi tidak mengenal ketidakpastian. Mereka umumnya mempersepsikan diri mampu mengatasi atau menyelesaikan masalah sesulit apapun. Meskipun demikian, pengetahuannya yang terbatas akan memaksa dan mengarahkannya untuk menawarkan jumlah alternatif solusi yang relatif sedikit, bahkan cenderung menawarkan solusi tunggal. Kalau mereka merasa memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentu mereka akan menawarkan banyak solusi alternatif karena semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka seharusnya semakin banyak pula alternatif solusi yang ditawarkannya. Hal ini membuktikan bahwa perilaku overconfident mencerminkan perilaku penipuan diri karena sebenarnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai dan akurat seperti yang mereka persepsikan. Kedua, orang yang overconfident cenderung tidak mengenal keterbatasan. Hasil penelitian Russo dan Schoemaker (1992) menunjukkan bahwa orang yang rasional akan menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin sadar bahwa dirinya memiliki keterbatasan pengetahuan. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka ia akan menyadari bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan membuatnya menjadi semakin bijak dan menjadi semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan. Konsekuensinya, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang dalam arti yang sebenarnya (bukan karena adanya titel atau gelar yang tidak jelas perolehannya), maka ia akan cenderung mengendalikan tingkat keyakinannya sedemikian rupa sehingga mampu bersikap menahan diri untuk tidak memberikan probabilitas yang tinggi terhadap kebenaran penilaiannya. Sikap ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku overconfident. Berbeda dengan orang yang rasional, orang yang berperilaku overconfident cenderung tidak mengenal keterbatasan sehingga mereka mempersepsikan diri selalu mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Nofsinger (2002) mengkonfirmasi penelitian Russo dan Schoemaker (1992) dengan menyatakan bahwa orang yang overconfident secara tidak sadar menciptakan ”kontrol ilusi” (illusion of control) yaitu ilusi yang menunjukkan bahwa mereka tanpa sadar mempersepsikan diri seolah-olah memiliki tingkat pengetahuan yang prima sehingga merasa mampu mengontrol dan mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang tidak pasti dimasa datang. Orang yang berperilaku overconfident umumnya tidak menyadari bahwa dirinya memiliki tingkat pengetahuan yang terbatas sehingga cenderung menghasilkan keputusan yang bias dan tidak akurat. Setelah mengalami kesalahan berulang, orang yang overconfident akhirnya akan menyadari bahwa dirinya telah melakukan penipuan diri karena tidak memiliki tingkat pengetahuan yang memadai seperti yang dipersepsikannya. Ketiga, orang yang overconfident umumnya memiliki penilaian yang terlalu sensitif terhadap bukti atau peristiwa yang ekstrim dan tidak sensitif terhadap validitasnya. Griffin dan Tversky, (1992) mengatakan bahwa untuk menilai keyakinan diperlukan berbagai macam bukti. Bukti yang dapat dipakai untuk menilai keyakinan seseorang terhadap suatu obyek atau masalah tertentu adalah kekuatan bukti (the strength of evidence) yang diukur dari ekstrim tidaknya bukti dan bobot dari bukti itu sendiri atau validitas prediksinya (the weight of evidence). Semakin ekstrim dan valid suatu bukti, semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang. Kombinasi antara kekuatan (the strength) dan bobot (validitas) bukti akan membentuk tingkat keyakinan yang obyektif. Meskipun demikian, ketika seseorang dihadapkan pada bukti yang ekstrim, umumnya orang cenderung tidak menggunakan variabel lain untuk mengontrol validitas prediksinya. Jika seseorang terlalu sensitif terhadap bukti yang ekstrim dan tidak sensitif terhadap validitas prediksinya maka dia akan cenderung menjadi overconfident. Dengan kata lain, ketika kekuatan bukti (berupa informasi atau bukti yang ekstrim) lebih dominan dibanding validitasnya maka orang akan cenderung berperilaku overconfident. Sebaliknya, ketika validitas bukti lebih dominan dibanding kekuatan bukti maka orang cenderung menjadi underconfident. Keempat, orang yang yang overconfident cenderung menunjukkan kinerja prediksi yang lebih buruk justru setelah memperoleh peningkatan kemampuan, misal melalui training. Penelitian Kagel dan Levin (1986) menemukan bahwa ketika memperoleh feed back berupa training, orang yang overconfident cenderung melakukan kesalahan yang lebih banyak, kinerja prediksinya menjadi lebih tidak akurat. Seharusnya, ketika mendapat tambahan kompetensi atau kemampuan, yang bersangkutan dapat menurunkan tingkat kesalahan sehingga meningkat pula tingkat ketepatan prediksinya. Berbeda dengan orang yang lebih pandai, yang umumnya dapat mengontrol emosinya, menunjukkan kinerja yang lebih baik setelah mendapat training peningkatan kompetensi.

Penelitian Perilaku Overconfident di Pasar Modal Perilaku overconfident bisa muncul dan dipraktekkan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, artinya orang dengan profesi apapun tanpa disadari bisa terjebak mempraktekkan perilaku ini sepanjang persyaratan terjadinya perilaku ini terpenuhi. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah perilaku overconfident ini juga dipraktekkan di pasar modal. Hasil penelitian eksperimen menunjukkan bahwa perilaku overconfident ternyata sangat mempengaruhi keputusan investor saat melakukan investasi. Mengacu pada penelitian psikologi bahwa orang yang overconfident cenderung melakukan kegiatan yang berlebihan, ternyata investor yang overconfident terbukti melakukan kegiatan perdagangan secara berlebihan. Penelitian Kufepaksi (2011) menunjukkan bahwa investor yang overconfident terbukti memberi bobot yang berlebihan pada kemampuannya sehingga cenderung tidak dapat mengontrol kemampuannya ketika mengamati pergerakan harga saham yang berurutan mengikuti trend tertentu. Bila mereka mengamati saham tertentu yang menunjukkan kecenderungan harga yang meningkat maka mereka cenderung memperkirakan harga saham akan meningkat lagi di periode selanjutnya. Oleh karena itu, mereka secara tidak sadar meningkatkan jumlah frekuensi perdagangannya sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka melakukan transaksi perdagangan yang terlalu banyak (berlebihan). Akhirnya, mereka harus menanggung biaya transaksi yang banyak pula. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odean (1999), Barber dan Odean (1999) Beberapa penelitian psikologi menunjukkan bahwa kaum pria cenderung lebih overconfident dibanding kaum wanita (Lundeberg et al., 1994; Deaux dan Farris, 1977). Menurut Lenney (1977), perbedaan rasa percaya diri di antara kaum pria dan wanita ditentukan oleh ketidakjelasan umpan balik (feedback). Ketika umpan balik segera muncul (tersedia), maka kaum wanita tidak kalah dibandingkan dengan kaum pria dalam melakukan prediksi. Sebaliknya, ketika umpan balik tidak tersedia atau tersedia dalam keadaan yang tidak pasti, kaum wanita kelihatan memiliki kemampuan yang lebih rendah, atau bahkan kelihatan lebih tidak percaya diri dibanding pria. Selanjutnya, umpan balik dalam perdagangan saham sangat ambigu, mengandung ketidakpastian yang relatif tinggi sehingga diprediksi kaum pria akan lebih percaya diri dibanding kaum wanita dalam melakukan perdagangan saham. Hasil penelitian Jianakoplos dan Bernasek (1998) menemukan bahwa kaum wanita lebih bersifat risk averse (menghindari risiko) dalam pengambilan keputusan investasi di bidang keuangan dibanding kaum pria. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Felton et al. (2003) yang menunjukkan bahwa kaum pria lebih berani mengambil risiko dalam memilih investasi dibanding kaum wanita. Hal ini disebabkan

oleh karakter kaum pria yang lebih bersifat optimis dalam melihat masa datang. Bukti empiris di pasar modal menunjukkan bahwa investor pria lebih bersifat overconfident dibanding investor wanita (Barber dan Odean, 2001). Sementara itu, Deaves et al. (2004) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan level overconfidence yang signifikan antara pria dan wanita. Penelitian Kufepaksi (2010) mensupport penelitian Deaves et al. (2004) Para hadirin sekalian, Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya terperangkap oleh perilaku overconfident, maka saran terbaik apa untuk dirinya? Sebagaimana telah dibahas dalam penelitian- penelitian psikologi, orang yang terperangkap oleh perilaku overconfident perlu melakukan koreksi dengan mencari umpan balik, masukan atau saran dari orang lain untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan di masa datang. Pada umumnya, setelah memperoleh umpan balik (feedback), orang yang berperilaku overconfident akan mengetahui kesalahan yang telah dilakukannya. Pada tahap ini, orang yang bersangkutan akan menyadari bahwa dirinya ternyata telah terjebak untuk memberi penilaian yang berlebihan pada ketepatan tingkat pengetahuannya sendiri, melebihi tingkat pengetahuan yang sebenarnya serta mengabaikan informasi informasi lain yang tersedia sehingga dia cenderung mengambil keputusan yang tidak akurat. Pada posisi ini, orang baru menyadari bahwa dirinya sebenarnya memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah dari yang dipersepsikannya sehingga pada hakekatnya dirinya telah melakukan atau mengimplementasikan perilaku penipuan diri. Penutup Bapak dan ibu undangan yang berbahagia, Pelajaran yang bisa dipetik dari penelitian berbasis overconfident adalah bahwa pengambil keputusan, baik keputusan investasi maupun keputusan apapun, perlu berhati-hati agar tidak mempraktekkan perilaku overconfident (ke-pede-an) ini. Hasil penelitian psikologi telah membuktikan bahwa orang yang memiliki kompetensi rendah lebih rentan dan lebih mudah mempraktekkan perilaku ini sehingga saran terbaik adalah jadilah orang yang berilmu yang mengikuti falsafah ilmu padi, semakin merunduk semakin berisi. Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak pula yang tidak kita ketahui. Semakin tinggi ilmu diharapkan akan menjadi orang yang bijak, yang mau mendengarkan nasihat atau pendapat orang lain. Sepanjang kita tidak mau mendengarkan orang lain, saya khawatir kita akan terperangkap dan tanpa disadari telah mempraktekkan perilaku overconfident. Bila perilaku overconfident tidak dapat dikelola dengan baik maka akan menimbulkan sikap sombong. Allah SWT tidak akan suka pada hambaNYA yang sombong. Jadi, pada kesempatan yang baik ini, marilah kita introspeksi diri untuk mendeteksi apakah kita termasuk golongan orang yang overconfident. Kita harus confident (percaya diri, pede), itu benar karena tanpa keyakinan untuk berhasil, kita tak akan termotivasi menjadi insan

pelaku ekonomi yang lebih baik. Kita harus percaya diri (pede, confident), tanpa harus menjadi kepedean (overconfident). Bapak dan Ibu yang saya muliakan, Pada sidang yang terhormat ini, ijinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih saya kepada pihak-pihak yang telah membantu saya hingga mencapai jenjang gelar akademik tertinggi ini Pertama, Syukur Alhamdulillah, saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Allah SWT, yang telah memberi kekuatan bathin dan membimbing saya serta melatih kesabaran saya sehingga saya bisa tegar, kuat dalam mengatasi masa-masa sulit, baik ketika menjalani proses belajar didalam dan diluar negeri maupun ketika pulang mengabdi dan meniti karier sebagai tenaga akademik di FEB Unila. Terima kasih , ya Rob, tanpa ijin Mu dan ridhoMu, saya tidak akan pernah sampai di posisi puncak jenjang akademik ini. Kedua, ucapan terima kasih saya sampaikan pada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas pengangkatan saya sebagai Guru Besar Ilmu Manajemen Keuangan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung terhitung mulai tanggal 1 September 2013 dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No: 122108/A4.3/KP/2013 tanggal 2 September 2013. Ucapan terima kasih juga sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto M.S. selaku Rektor Universitas Lampung yang telah memberi kesempatan pada saya untuk berdiri disini saat ini dihadapan peserta sidang yang terhormat ini. Khusus untuk PR I, Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.Sc. dan mantan PR II, Ibu Ir. Sulastri Ramli, M.P., saya ucapkan terima kasih karena telah memperjuangkan saya untuk mencapai jenjang Guru Besar ini. Kepada mantan Rektor Unila, Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.S. dan mantan PR I, Prof. Dr. Ir. Tirza Hanum, M.Sc. yang terus memotivasi dan membantu saya mengawal proses pengajuan Guru Besar, saya ucapkan terima kasih. Kepada PR II Unila, Dr. Ir. Dwi Haryono, M.S. dan sahabat saya, PR III Unila, Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. serta Dekan FEB Unila, Prof.Dr.Satria Bangsawan, S.E., M.S. dan jajarannya, yang telah membantu hingga terselenggaranya rapat senat kali ini, saya ucapkan terima kasih. Pada kesempatan ini juga, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada guru- guru saya di SD Karang Sari I, Semarang; SMP Domenico Savio Semarang (terutama Bro. Michael, pak Slamet) dan SMA Loyola I Semarang (terutama pak Ruslan, Romo Markus Wanandi). Berkat bimbingan beliau semua, saya memiliki persiapan yang cukup untuk menjadi mahasiswa Kampus Biru, UGM Yogyakarta. Terima kasih kepada Almarhum Bp.

Dr. Bambang Riyanto, dosen pembimbing skripsi saya yang telah memberi dasar ilmu keuangan yang saya tekuni sampai sekarang. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Elyas Elyasiani, dosen pembimbing saya ketika kuliah di program doktor Temple University, Philadelphia, USA serta tim promotor disertasi saya, Prof. Dr. Marwan Asri, M.B.A.; Prof. Dr. Jogiyanto HM, M.B.A. dan Prof. Dr. Faturrochman M.Si. Prof. Marwan lah yang yang mengenalkan Ilmu Keuangan Keperilakuan (Behavioral Finance) pada saya, meskipun saat itu teman-teman kampus meremehkan kesahihan ilmu keuangan baru tersebut, sedangkan Prof. Jogiyanto banyak membantu terkait dengan metodologi dan pemanfaatan statistika dalam desertasi saya. Prof Faturrochman lah yang meminta saya untuk kuliah di fakultas pascasarjana Psikologi UGM untuk memperdalam teknik penelitian eksperimen. Saya beruntung, saya dibebaskan bayar SPP karena saat itu Prof.Faturrochman adalah Direktur Program Pascasarjana Psikologi UGM. Oleh karena itu, saya haturkan ribuan terima kasih pada dosen-dosen saya tersebut. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga saya sampaikan kepada Almarhum Alhusniduki Hamim, S.E., M.Sc. yang menerima lamaran saya untuk menjadi dosen di FE Unila. Almarhum telah memberi kesempatan pada saya untuk menempuh studi lanjutan ke USA. Setelah pulang ke tanah air, beliaupun masih memberi perhatian dan bahkan mempercayai saya untuk membidani lahirnya PJK Unila dan mempercayai saya untuk memimpin dan mengelola STIE Lampung. Beliau jugalah yang mendorong saya untuk melanjutkan studi di program doktor. Beliau terus memantau dan menanyakan kelulusan saya di program doktor UGM sampai menjelang wafatnya. Beliau ingin agar saya bisa segera bergabung membangun FEB Unila. Demikian juga kepada Bpk. Samsuddin TA, S.E., M.S. yang seringkali menasehati saya dalam melangkah meniti karir di Unila. Kepada Bpk. Dr. HM. Faddel Djauhar S.E. dan Ibu, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya pada keluarga saya, terutama ketika saya sedang menyelesaikan program doktor di UGM Yogyakarta. Terima kasih saya ucapkan juga pada Bapak Alm. A Latif Siregar, S.E., M.U., yang telah menempa dan memberi contoh pada saya untuk menjadi dosen yang profesional dan bertanggung jawab. Terima kasih, Kak Hairi Fasyah, S.E., M.M., tidak hanya sekedar sebagai kakak, tetapi juga sebagai sahabat, beliau telah banyak membantu saya, terutama ketika saya menemui kesulitan untuk mendanai penelitian disertasi saya yang diluar perkiraan saya. Kepedulian beliau terhadap saya sekeluarga tidak akan pernah terlupakan. Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada Bpk Sudanar, S.E., yang selalu perhatian dan prihatin kepada saya karena beliau adalah salah satu orang yang tahu apa yang menjadi keinginan saya selama mengabdi di Unila

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pada sahabat sahabat saya, antara lain Hidayat Wiweko, S.E., M.Si., yang mengajak saya masuk menjadi dosen di FE Unila. Terima kasih atas saran dan ide-idenya selama ini, dan sahabat Donny Prianto, S.E., yang selalu meneguhkan hati saya untuk tetap tegar menghadapi cobaan. Alhamdullillah, kita tetap menjalin persahabatan semenjak kuliah di Kampus Biru UGM. Selanjutnya, terima kasih saya sampaikan pada sahabat saya, Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H; Armin Yasir, S.H., M.H.; Dr. Fakih S.H., M.H.; Dr. Einde Evana, S.E., M.Si., Akt; Dr. Irham Lihan, S.E., M.Si.; Dr. I Wayan Suparta, S.E., M.Si; Yuliansyah, M.S.A, Ph.D., Susi, M.B.A, Ph.D; Dr. Sri Hasnawati S.E., M.E. serta Pak Iban Sofyan, S.E., M.E., yang selalu saja punya waktu untuk saya ajak diskusi, dan senantiasa mengingatkan saya untuk mengurus jenjang Guru Besar dan menanyakan sampai dimana proses Guru Besar saya. Juga pada sahabat saya, Pak Dariyus, S.E., M.M., yang selama ini bisa memahami posisi saya, terima kasih kawan. Pada kesempatan yang bahagia ini, saya juga ucapkan terima kasih pada sahabat saya, Ibu Maria Evi Nan Dewi, S.H., yang ikut membantu dan mendukung diselenggarakannya acara ini. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian sahabat-sahabat saya itu. Saya juga ucapkan terima kasih pada Kabag.Kepegawaian Unila (Dirzon, S.E., M.M.) dan jajarannya, Kasubag Kepegawaian FEB Unila dan jajarannya (mas Herwan Suseno, S.E., pak Karthoni dan bu Hudaiyah) yang bekerja keras dengan tulus ikhlas membantu saya sejak awal hingga keluarnya SK Guru Besar. Kepada keluarga besar saya, terutama ayah dan ibu saya, rangkaian ucapan terima kasih tidak akan pernah berhenti dari hati saya yang paling dalam. Saya masih ingat betapa ibu dan bapak saya prihatin terhadap nasib dan karir saya, apakah masih bisa jadi profesor. Sekarang saya jawab, bisa, tapi sayang, beliau berdua sudah tiada. Walaupun sudah tiada, ajaran dan nilai-nilai kebesaran jiwa, disiplin dan kerendahan hati dari almarhumah ibu masih terus saya pupuk dan semangat berani, pantang menyerah dan tanggung jawab dari almarhum bapak masih terus saya pelihara untuk mewujudkan harapan beliau berdua ketika memberi nama saya Mahatma yang berarti Jiwa Besar. Mudah-mudahan apa yang saya capai hari ini dapat memberi kebahagiaan abadi untuk beliau berdua dialam keabadian. Saya juga ingin sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Oom saya, dosen saya di FE UGM, Dr. Harsono, M.Sc., karena beliau adalah orang pertama yang memperkenalkan dan menawari saya pekerjaan sebagai dosen di almamater saya, UGM Yogyakarta. Beliau pesan, kalau saya jadi dosen FE UGM, potensi belajar ke luar negeri terbuka lebar. Waktu itu, saya tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang tenaga akademik, karena memang bukan itu sasaran hidup saya. Saya katakan waktu itu,

bahwa saya tidak ingin sekolah keluar negeri tetapi saya ingin jalan-jalan ke luar negeri. Walaupun demikian, berkat dorongan yang kuat dari beliau, saya tidak hanya sekedar mendapat kesempatan sekolah ke luar negeri, tetapi juga jalan-jalan ke luar negeri dan bahkan sekarang sudah mencapai jenjang akademik Guru Besar. Alhamdullillah. Setelah menjalani proses perenungan yang mendalam, saya baru menyadari bahwa sebenarnya Allah SWT mentakdirkan saya sebagai seorang tenaga akademik, namun waktu itu saya belum bisa menangkap signalNya. Kepada Oom Oom dan tante tante saya, saya ucapkan terima kasih atas supportnya ketika saya putuskan untuk menjalani hidup sebagai dosen di tanah sebrang. Kepada adik-adik saya, Ir. Mahendra Wikawiwaha, Mahadi Krodharma S.E., Maheni Sukma Hayati S.H. , saya ucapkan terima kasih atas sikap hormat dan perhatian yang diberikan, terutama ketika saya menjalani pendidikan baik di UGM maupun di Amerika Serikat. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberi berkah dan hidayahNYa kepada seluruh keluarga kita. Amin. Kepada kedua mertua saya, Bapak R. Soenardi (alm) dan Ibu R.A.Titik Samsumarwati (alm), saya ucapkan terima kasih atas dorongan beliau berdua agar saya bisa mencapai jenjang akademik tertinggi. Saya ucapkan terima kasih atas doa bapak dan ibu karena doa itu sudah dikabulkan Allah SWT. Saya juga bersyukur karena diberi kesempatan dan ijin untuk bisa menjalani hidup bersama putri beliau, Rr. Retno Wardani BSc. Kepada kakak dan adik-adik ipar saya: Yati, Ir. Suharyadi, mbak Eni, mbak Heri (alm) dan mas Ir. Hadi Kartono, adik Agus Widodo S.E., M.Si., Akt dan adik Nita Erliana Pratiwi,Bc.Kn., adik Ir. Hermawan Adi Pramono, Ir. Fauziah Noor, saya ucapkan terima kasih atas doa dan supportnya sehingga saya berhasil menyandang gelar profesor. Kepada istri saya tercinta, Rr. Retno Wardani, B.Sc., yang telah berketetapan hati memilih saya untuk menemaninya sepanjang hidupnya, saya ucapkan terima kasih. Pada kesempatan yang berbahagia ini, ijinkan saya menyampaikan rasa cinta dan penghargaan saya atas pengorbanannya yang tidak tergantikan selama menjalani hidup sebagai istri saya. Tanpa dukungan, dan pengertian serta doa yang tiada henti dari istri saya, tidak akan mungkin saya mencapai derajat akademik tertinggi ini. Oleh karena itu, saya ingin mempersembahkan gelar professor ini kepada istri saya yang setia menemani saya dan terus memberi dorongan untuk mencapai keberhasilan ini. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak setiap saat bisa menemani terutama ketika saya harus mengikuti tugas belajar ke luar negeri, khususnya saat belajar di program doktor, demi untuk mencapai kebahagiaan di hari ini. Mudah-mudahan keberhasilan ini dapat

mengganti pengorbanan selama ini dan dapat digunakan sebagai kado indah ulang tahun perkawinan kami yang ke 27 yang jatuh pada tanggal 6 Desember 2013 mendatang. Kepada anak-anak saya, Daniar Utomo Retmadi S.E. (Denny), Debby Mastrinda Retmadi (Debby) serta Deddy Narendra Retmadi (Deddy), papa ucapkan terima kasih atas pengertian dan pengorbanan serta ketegaran kalian yang luar biasa selama ini. Semoga Allah SWT selalu memberi jalan kesuksesan juga buat anak-anak semua. Amin. Tidak lupa, ucapan terima kasih ini juga saya sampaikan kepada semua pihak yang tanpa pamrih membantu proses ini dari awal sampai dengan akhir. Terlalu panjang untuk menyebut mereka satu persatu. Keberhasilan saya mendapatkan jenjang Guru Besar ini juga merupakan kesuksesan seluruh warga Unila, khususnya FEB Unila. Insya Allah, kita akan terus berjuang untuk mencapai Top Ten University di tahun 2025. Mudah-mudahan Allah SWT memberi umur panjang pada kita semua untuk menuntaskan karya kita. Amin. Wabilahi taufik walhidayah, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh.

DAFTAR PUSTAKA Agans, R.P., and Shaffer, L.S , 1994, “ The Hindsight Bias: the Role of the Availability Heuristic and Perceived Risk.” Basic and Applied Social Psychology, 15, 439-449 Barber, M, Brad and Terrance Odean, 1999, “The Courage of Misguided Convictions”, Financial Analysts Journal, November/December, 41-54 Barber, Brad., and Terrance Odean., 2001, ”Boys Will be Boys: Gender, Overconfidence, and Common Stock Investment”, The Quarterly Journal of Economics, 261-292 Bernartzi, S and Thaler, R. 1995 Myopic Loss Aversion and The Equity Premium Puzzle, Quarterly Journal Of Economics, 110: 73-92 Burson, A,K., Larrick, P, R., Klayman, J.2006, Skilled or Unskilled, but Still Unaware of It: How Perceptions of Difficulty Drive Miscalibration in Relative Comparisons. Journal of Personality and Social Psychology, 90 (1), 60-77 Black, Fisher .1986. Noise. Journal of Finance, 41:529-43 Christensen-Szalanski, J.J.J. and William, C. F., 1991, “The Hindsight Bias: a Meta Analysis. Organizational Behavior and Human Decision Processes”, 48, 147-168 Dawes, R.M., 1988. Rational Choice in an Uncertain World, CA: Harcourt Brace Jovanovich. Deaves, Richard., Erik Luders and Guo Ying Luo., 2004, ”An Experimental Test of The Impact of Overconfidence and Gender on Trading Activity”, Working Paper De Bondt, Werner., and Richard Thaler., 1985. Does the Stock Market Overreact? Journal of Finance, 40: 793-805. Deaux, Kay., and Elizabeth Farrish., 1997. Attributing Causes for One’s Own Performance: The Effect of Sex, Norms, Outcomes. In Brad Barber and Terrance Odean (Eds), Boys Will Be Boys (eds): Gender, Overconfidence and Common Stock Investment. Einhorn, H.J. and Hogarth, R.M., 1978, “Confidence on Judgement: Persistence of The Illusion of Validity.” Psychological Review, 85, 395-416 Fama, E.,1970, Efficient capital markets: A review of theory and empirical work. Journal of Finance, 25, 383 – 417. Fischhoff, Baruch., 1982, “For Those Condemned to Study The Past: Heuristics and Biases in Hindsight”. In Daniel Kahneman, Paul Slovic, and Amos Tversky, eds:Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases, Cambridge University Press, Cambridge and New York). Felton, James., Gibson, Bryan., and David M Sanbonmatsu., 2003, ”Preference for Risk in Investing as a Function of Trait Optimism and Gender”, Journal of Behavioral Finance Vol 4, no 1, 33-40 Flannelly, L , Flannelly, K.2000, Reducing People’s Judgment Bias About Their Level of Knowledge.The Psychological Record, 50, 587-600 Griffin, Dale and Amos Tversky., 1992, ”The Weighing of Evidence and The Determinants of Confidence”, Cognitive Psychology, 24, 411 -435

Hawawini, G., and D. Keim.2000. The Cross Section of Common Stock Returns: A Review of the Evidence and Some New Findings, in Keim, D.B. and W.T. Ziemba, Security Market Imperfections in Worldwide Equity Markets (Cambridge University Press, 2000). Jianakoplos, A, Nancy., and Alexandra Bernasek., 1998, ”Are Women More Risk Averse?” Economic Inquiry, XXXVI, October, 620 -630. Juslin, P., Wennerholm, P. and Olsson, H. 1999, Format Dependence in Subjective Probability Calibration. Journal of Experimental Psychology : Learning, Memory, and Cognition, 25, 1038-1052 Kagel, J.H., Levin, D. (1986) The Winner’s curse and public information in common value auction. American Economic Review, 76, 894-920. Kahneman, Daniel, Paul Slovic and Amos Tversky. 1982. Judgement Under Uncertainty: Heuristics and Biases. New York: Cambridge Universityu Press Kahneman, Daniel, and Amos Tversky. 1995. Conflict Resolution : A Cognitive Perspective”. In K .Arrow, R.H. Mookin, L.Ross, A.Tversky, and R.Wilson (Eds)., Barriers to Conclict Resolution, 44-60, New York: Norton Kruger, J., Dunning, D. 2002. Unskilled and unaware - but why? A reply to Kruger and Mueller .,2002. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 189-192. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self- assessments. Journal of Personality and Social Psychology. 77, 1121-1134 Kufepaksi, Mahatma .2010. Investor Overconfident Dalam Penilaian Saham: Perspektif Gender Dalam Eksperimen Pasar, Kinerja, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Vol 14 No 2, 131-150, 2010 ----------2011, The Patterns of Prediction, Trade, and Transfer of Wealth from Overconfident Investors in The Capital Market: A Case Study in an Experimental Setting,” International Journal of Behavioural Accounting and Finance, Vol 2, No 3-4, 289-309, 2011 Kyle, A. 1985. Continous auctions and insider trading, Econometrica, 47: 1315-36 Lundeberg, Mary., Paul W Fox., Judith Punccohar., 1994, ”Highly Confident but Wrong: Gender Differences and Similarities in Confidence Judgements”, Journal of Educational Psychology, LXXXVI, 114-121 Lenney, Ellen., 1977, ”Women’s Self Confidence in Achievement Settings” Psychological Bulletin, LXXXIV, 1-13. Lichtenstein, Sarah., Fischhoff, Baruch., 1977, “Do Those Who Know More Also Know More About How Much They Know”, Organizational Behavior and Human Performance 20, 159-183. Neumann, John von and Morgenstern, Oskar Theory of Games and Economic Behavior. Princeton, NJ. Princeton University Press. 1944, sec.ed. 1947, th.ed. 1953. Nofsinger, John., 2002. The Psychology of Investing, Prentice Hall, New Jersey Odean, Terrance. .1999, Do Investors Trade Too Much?, American Economic Review, 89, December, 1279-1298. Olsen, R. 1996. Implications of Herding Behavior, Financial Analysts Journal, July/August, 37- 41 Oskamp, Stuart., 1965, “Overconfidence in Case Study Judgments”, Journal of Consulting Psychology, vol 29, no 3, 261-265. Pitz, G.F., 1974, “Subjective Probability Distribution for Imperfectly Known Quantities”. In Lichtenstein, Sarah; Fischhoff, Baruch and Lawrence D Phillips (Eds), Calibration of Probabilities: The State of the Art to 1980, 1982.

Russo, Edward., and Paul H Schoemaker., 1992, “Managing Overconfidence”, Sloan Management Review, 7-17. Simon, HA. (1957). Models of Man. John Wiley and Sons., New York Soll, Jack., and Joshua Klayman., 2004, “Overconfidence in Interval Estimates”, Journal of Experimental Psychology, Learning, Memory and Cognition, vol 30, no 2, 299-314. Slovic, P, and Fischhoff, B, 1977, “On the Psychology of Experimental Surprises. Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance, 3, 544-551 Taylor, S., Brown, J.D. (1988) Illusion and Well Being: A Social Psychological Perspective on Mental Health. Psychological Bulletin, 103, 193- 210. Thaler, Robert. 1988. Winner's Curse. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Trivers, Robert., 2004, “The Elements of A Scientific Theory of Self Deception.” Annals New York Academy of Science, 907, 114-131 Tversky, Amos and Daniel Kahneman. 1971. “Believe in the Law of Small Numbers” Psychological Bulletin, 105-110. Tversky, Amos, and Daniel Kahneman. (1974). Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science 185, 1124-1131. Trivers, Robert., 2004, “The Elements of A Scientific Theory of Self Deception.” Annals New York Academy of Science, 907, 114-131 Tversky, Amos., and Daniel Kahneman., 1974, “Judgement Under Uncertainty: Heuristics and Biases”, Science, 185, 1124-1131. Weinstein, N.D., 1998, “References on Optimistic Biases About Risk, Unrealistic Optimism, and Perceived Invulnerability”. In Thomas Gilovich, Dale Griffin and Daniel Kahneman (eds), Heuristics and Biases, The Psychology of Intuitive Judgment. New York: Cambridge University Press

BIODATA Nama : Mahatma Kufepaksi NIP : 19600426 1987 03 1 001 Tempat/Tgl. Lahir: Yogyakarta, 26 April 1960 Pekerjaan : Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, Bandar Lampung Alamat Kantor : Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Jl. Sumantri Brojonegoro No 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung Alamat Rumah : Jl. Bung Tomo No 1, Gedung Air, Bandar Lampung Telpon : Rmh: 0721-255037; HP: 081927917555 E-mail : [email protected] Nama istri : Retno Wardani Nama anak : Daniar Utomo Retmadi, SE, dinas di Bank Danamon, Solo Debby Mastrinda Retmadi, kuliah di Jrsn Manajemen FEB Unair, Surabaya Deddy Narendra Retmadi , kuliah di Jrsn Manajemen FEB Unair, Surabaya RIWAYAT PENDIDIKAN 1966 - 1972 Sekolah Dasar Negeri Karang Sari I, Semarang 1973 – 1975 Sekolah Menengah Pertama Domenico Savio, Semarang 1976 – 1979 Sekolah Menengah Atas Loyola, Semarang 1979 - 1985 Sarjana Ekonomi (S1) Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1989 - 1990 The Economics Institute at Boulder Colorado, USA. 1990 - 1992 MSc, University of Illinois at Urbana Champaign, USA 1995 Overseas Training Program for Job Placement Center – University of Florida at Tallahassee, Florida, USA 2004 - 2005 Sandwich Program at Temple University, Philadelphia, USA 2007 Doktor Ilmu Keuangan, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan Yudicium Cumlaude RIWAYAT PEKERJAAN 1986 - sekarang Dosen Tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung 1994 – 2002 Ketua STIE Lampung, Bandar Lampung 1994 – 2002 Director of Unila Job Placement Center (Pusat Jasa Ketenagakerjaan Unila) 2012 – sekarang Anggota Komite Pemantau Risiko PT Bank Lampung PUBLIKASI ILMIAH - Dampak Penyaluran Dana BUMN Bagi Pengembangan Usaha Kecil di Lampung, Jurnal Akuntansi & Manajemen, STIE YKPN Yogyakarta April 2002, ISSN 0853-1269 - Speed of Adjusment dan Target Dividend Pay Out Ratio Pada Perusahaan Publik di Indonesia, Utilitas, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Vol. 13 No.2, Juli 2005 ISSN 0854-47610

- Potensi Kebangkrutan Perusahaan Publik dalam Industri Manufaktur: Studi Kasus di Bursa Efek Jakarta tahun 2000, Jurnal Ekonomi Bisnis - Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, Tahun 10 No 3 Desember 2005 - Overconfident Behavior in a Security Market, The Implication of Self Deceptive Behavior in Price Discovery Processes, a Market Experiment, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, FEB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol 23 , No 1, 77-97, 2008 - The Contribution of Self Deceptive Behaviour on Price Discovery, An Experimental Approach, Asia Pacific Management Review, Vol 13, No 1, 419-433, 2008 - Perilaku Penipuan Diri di Bursa Saham, Buku Referensi, Penerbit: BPFE Universitas Lampung, Bandar Lampung Cetakan Pertama, Juli 2008 ISBN 978-979-17015-6-3 - The Effect of the Quality of Information on Overconfident Decision: The Evidence of Self Deception in Indonesian Capital Market, A Case Study in an Experimental Setting.” The International Journal of Management and Innovation, volume 2, Issue 1, 2010 - The Effect of Feedback on Overconfident Investors, Experimental Evidences of Self Deception in Indonesian Capital Market.” The International Journal of Management and Innovation, volume 2, Issue 2, 2010 - Investor Overconfident Dalam Penilaian Saham: Perspektif Gender Dalam Eksperimen Pasar, Kinerja, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Vol 14 No 2, 131-150, 2010 - Do Overconfident Investors Trade Excessively in the Capital Market, Evidences in an Experimental Research Setting.” Journal of Economy and Business”, FEB UGM, Vol 26, No 2, 201-218, 2011 - The Impact of Overconfidence and Gender on Trading Activity: How Well Do Investors Assess Probability? World Review of Entrepreneurship Management and Sustainable Development, Vol 7, No 4, 2011 - The Patterns of Prediction, Trade, and Transfer of Wealth from Overconfident Investors in The Capital Market: A Case Study in an Experimental Setting,” International Journal of Behavioural Accounting and Finance, Vol 2, No 3-4, 289-309, 2011 INTERNATIONAL CONFERENCE - The 13th Asia Pacific Management Conference, Melbourne, Australia, November’07 - 2008 POSCO Asia Forum, Seoul, Korea, May’08 PENGHARGAAN - Penerima Anugerah Satya Lencana Karya Satya 20 tahun dari Presiden Republik Indonesia, 9 Agustus 2010 - Pemenang Best Paper Award JEBI, 2008 dengan artikel: Overconfident Behavior in a Security Market, The Implication of Self Deceptive Behavior in Price Discovery Processes – a Market Experiment, yang diselenggarakan oleh Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, FEB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 28 Maret 2008 - Dosen Teladan I, Tingkat Fakultas Universitas Lampung, tahun 2013


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook