Kata pengantar    Bismillahirromannirrohim    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh    Yang Saya Hormati,    Bapak Gubernur Provinsi Lampung atau yang mewakili  Bapak Bupati/Walikota se Provinsi Lampung, atau yang mewakili  Bapak Ketua dan anggota Dewan Penyantun Universitas Lampung  Bapak Rektor Universitas Lampung  Bapak/Ibu Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Lampung  Bapak/Ibu Pembantu Rektor, Dekan , Pembantu Dekan, Ketua Lembaga, Direktur  Pascasarjana, dan Kepala UPT di Lingkungan Universitas Lampung  Bapak/Ibu Undangan Sipil dan Militer  Ibu-Ibu Darmawanita Persatuan Universitas Lampung  Bapak/Ibu Dosen, karyawan, alumni, dan adik-adik mahasiswa Universitas Lampung  Sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin yang saya muliakan.             Puji Syukur marilah tiada henti-hentinnya kita panjatan ke hadirat Allah Subhanahu  Wataala atas segala limpahan rahmat, karunia, dan hidayah Nya kepada kita semua, sehingga  kita masih diberikan nikmat sehat dan iman untuk dapat hadir dan bersilaturahmi di Aula  GSG Universitas Lampung ini. Hari ini merupakan hari yang paling bersejarah dan sangat  membahagiakan bagi saya dan keluarga, karena pada hari ini saya diberi kesempata untuk  menyampaikan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biologi Tanah di  hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Lampung dan hadirin mulia.             Ucapan terimaksih yang tulus dan penghargaan yang tinggi saya haturkan kepada  hadirin terhormat yang bersedia meluangkan waktu untuk hadir, mengikuti, serta menyimak  dengan sabar uraian saya tentang : PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK  MEMAKSIMALKAN PERAN BIOTA TANAH DALAM MENDUKUNG PERTANIAN  BERKELANJUTAN.             Diharapkan melalui pidato ini dapat memberikan gambaran dan meningkatkan  pemahaman mengenai peran biota tanah dalam menghasilkan produk pertanian yang aman  dan ramah lingkungan.  Melalui pengelolaan sumberdaya lahan yang arif dan bijakasana, biota tanah dapat  diberdayakan secara maksimal sehingga lahan pertanian dapat berproduksi secara lestari dan  sinambung.
PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK MEMAKSIMALKAN PERAN        BIOTA TANAH DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN                                                                 Oleh                                         Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si.                                                                         Pidato Ilmiah                                      Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biologi Tanah                                      Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bandar lampung,                                                                            14 Oktober 2010    1. PENDAHULUAN              Tanah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan makhluk hidup di  alam semesta. Secara edapologis tanah merupakan media tumbuh tanaman dan habitat bagi  beraneka ragam biota tanah, baik mikro, meso, maupun yang berukuran makro. Pengelolaan  ekosistem tanah yang tepat akan dapat meningkatkan aktivitas biota tanah yang terlibat langsung  maupun tidak langsung dalam siklus hara dan penyerapan hara bagi tanaman. Berbagai bentuk  modifikasi habitat tanah perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang tepat bagi biota tanah  untuk beraktivitas, sehingga dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan guna memenuhi  kebutuhan pangan, sandang, papan, dan energi bagi kehidupan manusia.              Untuk pemenuhan kebutuhan pangan, pola budidaya tanam sudah mulai diterapkan baik  secara tradisional maupun intensif. Di era tradisional, pola bercocok tanam berpindah-pindah dari  suatu tempat ke tempat yang lain, mencari tempat yang subur dikenal dengan perladangan  berpindah atau “shifting cultivation”. Seiring berjalan waktu, jumlah penduduk terus meningkat  secara ekponensial, sedangkan peningkatan produksi pertanian tidak berjalan secara selaras. Hasil  sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah sekitar 205,1 juta  jiwa, meningkat menjadi 235 juta jiwa pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi 273 juta pada  tahun 2025 (BPS, 2010).              Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, harus diiringi dengan pemenuhan kebutuhan  pangan, untuk itu sejak tahun 1970-an Indonesia sudah melakukan intensifikasi pertanian melalui  “revolusi hijau”. Kegiatan utama yang biasanya berkaitan dengan pertanian intensif adalah  peningkatan frekuensi gangguan fisik, misalnya pembukaan hutan, pembuangan atau pembakaran  sisa tanaman, pengolahan tanah, serta penggunaan senyawa xenobiotik seperti pupuk kimia dan  pestisida.              Revolusi hijau (pertanian kimiawi) yang merangsang tanaman untuk berproduksi maksimal  dengan mengandalkan bahan kimiawi, berangsur-angsur mulai dikurangi. Hal ini berkaitan erat  dengan bahan-bahan kimia ikutan yang tertinggal pada produk pertanian dapat menggangu  kesehatan manusia. Selain itu pula penggunaan senyawa kimia dapat meracuni biota tanah bukan  sasaran (non target). Oleh karena itu pada beberapa dekade terakhir, ahli biologi tanah dan  agronomi mulai tertarik untuk mempelajari keberadaan dan fungsi biota tanah, serta interaksinya  dengan lingkungan abiotik dalam menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan.
II. EKOSISTEM TANAH SEBAGAI HABITAT BIOTA TANAH              Ekosistem adalah suatu kesatuan dinamis yang terdiri dari berbagi spesies makhluk hidup  yang berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik (Odum, 1993).  Masing-masing komponen di dalam ekosistem menjalankan fungsi /proses tertentu yang saling  berkaitan dan bergantung satu dengan lainnya. Kehadiran, kelimpahan, dan penyebaran suatu  spesies dalam ekosistem ditentukan oleh ketersediaan sumber energi serta kondisi faktor kimia dan  fisik yang berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut.    2.1. Relung (Niche) Biota Tanah              Setiap biota tanah menempati ruang dan cara tertentu untuk bertahan hidup dalam suatu  habitat. Relung (niche) menunjukkan posisi dan peran biota tersebut di dalam habitat, dapat di  dalam atau di antara partikel tanah (Gambar 1).                    Rambut Akar        Partikel tanah  Nematoda       Komplek                                                         Flagelata  Liat-Bahan Organik              Kolontai nBaamktaenri          Amoeba                                                     Ciliata               Spora dan Hifa Jamur           Hifa Mikoriza  Spora dan Hifa aktinomisetes        Sel Tanaman      Terdekomposisi    Gambar 1. Sebaran biota di dalam tanah    Biota tanah menempati relung yang sesuai dengan ukuran tubuhnya (mikrobiota < 200 µm,  mesofauna 0,2 – 10 mm, dan makrobiota > 10 mm) dan umumnya terkonsentrasi pada :    1. Daerah sekitar akar (Rizosfer).            Rizosfer merupakan daerah sempit (±2 mm) di sekitar permukaan akar yang sifat-sifatnya  (kimia, fisika, dan biologis) masih dipengaruhi oleh aktivitas perakaran (Lynch dan Whips, 1990).  Di daerah rizosfer terakumulasi eksudat-eksudat akar berupa asam-asam organik yang memiliki
massa molekul rendah seperti asam amino, fenolik, gula, dan vitamin. Eksudat akar akan  memberikan pengaruh langsung pada kehidupan mikrobiota di rizosfer yaitu sebagi sumber energi.  Dibandingkan dengan bahan organik tanah, eksudat akar menyediakan sumber energi yang mudah  diserap oleh mikrobiota tanah, sehingga mengakibatkan banyak mikrobiota yang terakumulasi di  daerah rizosfer. Eksudat akar yang terakumulasi di rizosfer sangat tergantung pada jenis tanaman,  semakin beragam jenis tanaman maka akan semakin beragam pula mikrobiota yang terakumulasi di  rizosfer (Marschner et al., 2001). Umumnya bakteri banyak dijumpai di daerah rizosfer, karena  bakteri merupakan mikrobiota yang mampu hidup dengan memanfaatkan bentuk karbohidrat  sederhana (glukosa) (Marschner and Rengel, 2003). Selain itu protozoa dan nematoda pemangsa  bakteri juga banyak terakumulasi di daerah rizosfer. Hasil penelitian Niswati et al. (2008)  menunjukkan bahwa aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat pada pertanaman jagung tertinggi  dijumpai di daerah rizosfer dibandingkan dengan tanah disekitarnya.    2. Seresah Tanaman.            Biota tanah yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dikelompokkan ke  dalam biota heterotrof. Keberadaan biota tersebut sangat bergantung pada bahan organik yang  terakumulasi di permukaan tanah. Fungi merupakan dekomposer utama pada seresah tanaman, hal  ini berkaitan erat dengan komposisi kimia seresah tanaman. Seresah tanaman didominasi oleh  senyawa karbohidrat kompleks yang resisten terhadap pelapukan, misalnya selulosa, hemiselulosa  dan lignin. Sedangkan bakteri lebih menyukai seresah dengan kandungan nitrogen tinggi dan  senyawa karbon sederhana. Di dalam ekosistem tanah, seresah tanaman merupakan sumber energi  bagi biota tanah dalam sistem jaringan makanan “ food web”.           Mesofauna dan cacing tanah juga termasuk biota yang memperoleh makanan dari bahan  organik. Oleh karena itu mesofauna dan cacing tanah epigeik juga banyak dijumpai pada seresah  tanaman. Peran dari kelompok biota ini adalah memperluas bidang permukaan seresah. Cacing  dan mesofauna tanah, memecah seresah menjadi ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya fungi dan  aktinomisetes memanfaatkan karbon seresah sebagai sumber energi.    3. Humus           Senyawa humat merupakan senyawa kompleks, hasil dekomposisi bahan organik dengan  kandungan senyawa organik yang resisten terhadap pelapukan, antara lain sellulosa, hemiselulosa,  dan lignin. Hanya fungi dan aktinomisetes, terutama Streptomyces yang mempunyai kemampuan  dalam mendegradasi bahan organik dengan kandungan lignin yang kompleks dan berkontribusi  dalam pembentukan humus yang stabil (Alexander, 1991).    4. Permukaan agregat tanah.           Aktivitas biologis, khususnya bakteri aerobik dan fungi lebih besar di permukaan agregat  tanah daripada di dalam agregat tanah.    5. Ruang antar agregat tanah.           Arthropoda dan nematoda, serta biota tanah yang sensitif terhadap kekeringan banyak hidup  pada ruang antar agregat yaitu pada pori makro yang berisi air.
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Biota dalam Ekosistem Tanah           Biota tanah perlu makan dan habitat yang kondusif, dan dalam kasus biota yang hidup  bersimbiosis maka diperlukan inang agar mereka dapat bertahan hidup. Kesediaan bahan organik  sebagai sumber energi bagi biota dan kondisi lingkungan abiotik yang sesuai untuk pertumbuhan  biota, dapat mempertahankan keberadaan biota dalam tanah.           Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan biota dalam ekosistem tanah antara lain :    1. Tersedianya sumber energi (sumber makanan).           Setiap tipe biota tanah membutuhkan sumber energi, substrat, dan sumber hara yang berbeda  dalam siklus hidupnya. Berdasarkan sumber energi yang dibutuhkan oleh biota tanah, biota tanah  dapat dikelompokkan menjadi heterotrof dan autotrof. Biota kelompok heterotrof adalah biota yang  membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi, dan kelompok autotrof memperoleh energi  berasal dari sinar matahari (fototrof) dan dari hasil oksidasi senyawa kimia disebut khemotrof (Paul  dan Clark, 1989). Sebagai sumber energi bagi biota heterotrof, kualitas dan variasi bahan organik  perlu diperhatikan untuk mendukung keragaman biota yang ada di dalam tanah.    2. Keasaman           Keasaman tanah sangat berpengaruh terhadap populasi dan keragaman biota tanah.  Sebagian besar biota tanah menyukai pH netral bekisar antara 5,5-8,0 untuk beraktivitas. Bakteri  penambat nitrogen simbiosis, Rhizobium, optimal pada kisaran pH 6,0-7,0, bakteri penambat  nitrogen non-simbiosis, Azotobacter, optimal pada kisaran pH 7,0-7,5 (Buchanan dan Gibsons, 1974)  dan Pseudomas, bakteri yang sering digunakan untuk bioremediasi dan pengendalian hayati  penyakit tanaman tidak dapat tumbuh pada kondisi asam (pH 4,5). Begitupula dengan cacing  tanah, cacing tanah dapat berkembang biak dengan baik pada pH netral atau agak sedikit basa,  dengan kisaran pH optimal 6-7,2. Walaupun tersedia bahan organik sebagai sumber energi, tetapi  pada kondisi tanah asam, cacing tanah tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik (Yusnaini  et al., 2008). Namun demikian, ada juga biota tanah yang dijumpai pada pH tanah berkisar 1-13.  Sebagian besar fungi toleran terhadap pH rendah, oleh karena itu fungi banyak dijumpai pada  tanah-tanah asam.    3. Aerasi           Aerasi tanah mencerminkan keadaan oksigen di dalam tanah. Tanah yang beraerasi baik akan  mempunyai cadangan oksigen untuk respirasi biota tanah. Pada tanah-tanah beraerasi baik, biota  aerob menggunakan oksigen untuk mengoksidasi atau menguraikan senyawa organik. Namun,  ketika oksigen tidak tersedia, pada tanah dengan kondisi tergenang, organisme anaerob obligat  mendominasi di sekitar permukaan akar. Hampir semua aktinomisetes memerlukan oksigen untuk  pertumbuhannya, kecuali Agromyces dan Micromonospora.    4. Temperatur           Temperatur tanah berpengaruh terhadap aktivitas biologis, serta kecepatan proses kimia, dan  fisika di dalam tanah. Mikrobiota tanah umumnya dikelompokkan berdasarkan toleransinya  terhadap temperatur tanah, yaitu: psikrofilik (rendah), mesofilik (sedang) dan termofilik (panas)  (Alexander, 1991). Sebagai contoh, Aktinomisetes banyak dijumpai pada tanah yang lebih panas  dibandingkan bakteri, dan tidak dapat tumbuh pada temperatur 5o C. Tempertur optimum untuk  pertumbuhan aktinomisetes berkisar antara 26-37oC, tetapi aktinomisetes termofilik dapat dijumpai  pada timbunan kompos dengan temperatur berkisar 55-65oC, sedangkan Protozoa, biota mesofilik,
tidak mampu bertahan hidup pada temperatur tinggi. Begitupula dengan cacing tanah,  pertumbuhan dan penetasan kokon menghendaki temperatur 15-25oC.    5. Kelembaban           Kelembaban tanah sangat berhubungan erat dengan kandungan air yang ada di dalam tanah.  Secara umum aktivitas mikrobiota tanah berlangsung optimal pada kadar air tanah ¾ kapasitas  lapang atau setara dengan 30 kPa. Biota makro yang sangat terpengaruhi oleh kelembaban adalah  cacing tanah. Hal ini karena tubuh cacing tanah mengandung air sekitar 75-90% dari bobot  tubuhnya, dan pada kondisi kering, cacing tanah akan mengeluarkan sebagian cairan tubuhnya ke  dalam tanah untuk bertahan hidup. Aktivitas dan kemampuan reproduksi cacing tanah berkurang  dengan semakin berkurangnya kandungan air tanah.    2.3 Dampak Perubahan Ekosistem terhadap Biota Tanah           Pada ekosisitem alami, kondisi ekosistem berada dalam keseimbangan, artinya ekosistem  tersebut telah mantap (homeostatis), sehingga mempunyai daya tahan yang besar terhadap  gangguan. Alih fungsi lahan menjadi berbagai macam peruntukan untuk pemenuhan kebutuhan  manusia, akan berdampak terhadap perubahan ekosistem. Sebagai contoh di Indonesia dalam dua  dekade terakhir tercatat penurunan areal hutan menjadi lahan pertanian intensif mencapai 18,37 %  (Bakosurtanal, 2001). Peningkatan areal pertanian tertinggi pada penggunaan areal untuk  pertanian lahan kering mencapai 49, 72%, perumahan 35, 65 %, perkebunan 27,13 % dan lahan  sawah 5,70 %. Indikasi yang sama juga terjadi di Provinsi Lampung, dalam kurun waktu 20 tahun  (1970-1990) alih fungsi hutan menjadi pertanaman monokultur, dalam hal ini perkebunan kopi  mencapai 44% dari total areal secara keseluruhan di daerah berlereng Sumberjaya (Syam et al., 1999).  Alih fungsi lahan menjadi berbagai macam peruntukan, berakibat terhadap perimbangan ekosistem  di dalam tanah. Perubahan dari ekosistem alamiah mejadi ekosistem binaan dalam hal ini  ekosistem pertanian (agroekosistem) akan berpengaruh terhadap lingkungan abiotik maupun  biotik di dalam tanah.           Biota tanah, termasuk mikrobiota (bakteri, fungi, aktinomisetes, dan alga), mikrofauna  (protozoa dan nematoda), mesofauna (acarina, collembola, cacing pipih), dan makrofauna  (serangga, cacing tanah, dan laba-laba) (Coleman et al., 2004) membutuhkan habitat yang khusus  untuk beraktivitas. Apabila terjadi gangguan terhadap habitat akibat alih fungsi lahan, maka  habitat tersebut tidak sesuai lagi untuk biota tersebut, sebagai akibat biota akan mati atau  bermigrasi ke tempat lain.           Perubahan habitat tanah sebagai pengaruh langsung dari alih fungsi lahan akan berpengaruh  terhadap biota tanah yang ada dalam ekosistem tersebut. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan  pertanian intensif melalui tebas dan bakar akan berakibat terhadap berkurangnya biota tanah  (Ahlgreen, 1974) dan keragaman fungi arbuskular mikoriza (Arif et al., 1999; Yusnaini, 2009a) (Tabel  1).
Tabel 1. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah dan keragaman fungi arbuskular              mikoriza (Yusnaini, 2009a)    Penggunaan Lahan Genus FAM       Spesies FAM         Spora FAM 300 g-1    Hutan Primer     Glomus          G.etunicatum                  25                                   G.constrictum                 43  Hutan Sekunder   Sclerosystis    G.aggregatum                  15                   Scutelospohora  Sc.rubiformis                  2                                   Scutelosphora sp.1            11                   Glomus          Scutelosphora sp.2             9                                   G.etunicatum                   4                   Sclerosystis    G.constrictum                 54                                   G.aggregatum                   1  Pertanaman kopi  Acaulospora     Glomus sp.1                    1  muda             Glomus          Sc.rubiformis                  2  ( < 2 tahun)                     Sc. pachycaulis                1                                   A.tuberculata                 31                   Sclerosystis    G.etunicatum                  56                                   G.constrictum                139  Pertanaman kopi tuaGlomus        G.aggregatum                 189  (> 15 tahun)                     Glomus sp.2                    4                                   Sc.rubiformis                 10  Kebun campuran Glomus            Sc. Pachycaulis                1                                   G.etunicatum                  18                                   G.constrictum                 30                                   G.aggregatum                  12                                     G.etunicatum                  16                                   G.constrictum                 77                                   G.aggregatum                   3              Selain itu pula pola pertanian yang intensif akan berdampak terhadap penurunan populasi  mesofauna dan cacing tanah (Matsumoto, Niswati dan Yusnaini, 2000) (Tabel 2).
Tabel 2. Populasi mesofauna dan cacing tanah pada berbagai penggunaan lahan di Gunung Batin,               Lampung Tengah (Matsumoto, Niswati dan Yusnaini, 2000).    Penggunaan lahan        Mesofauna Tanah 100 -1 mL tanah    Semak-semak         259 81 134                           134                                                           128  Perkebunan Karet    104 62 61                            303                                                           37  Perkebunan Coklat   184 35 46    Pertanaman Ubikayu  65  77 47              Rendahnya populasi dan keragaman biota tanah pada agroekosistem dibandingkan  ekosistem alami disebabkan adanya pengelolaan yang intensif pada agroekosistem. Pengolahan  tanah, pemupukan, dan penggunaan pestisida secara intensif akan berpengaruh terhadap iklim  mikro sebagai habitat biota tanah. Biota tanah, makan, tumbuh, dan bereproduksi di dalam  lingkungan tanah yang sesuai untuk pertumbuhannnya.    III. PERAN BIOTA DALAM EKOSISTEM TANAH              Biota tanah merupakan bagian dari ekosistem pertanian (agroekosistem) maupun ekosistem  hutan yang berperan penting dalam memelihara kesehatan tanah, fungsi ekosistem, dan produksi  pertanian. Interaksi antara biota tanah dengan habitatnya, sumber makan dan inang, serta antara  lingkungan kimia dan fisik tanah perlu diperhatikan untuk mengontrol aktivitas biota didalam  menjalankan perannya pada agroekosistem untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan.               Berdasarkan perannya di dalam ekosistem tanah, biota dikelompokkan sebagai berikut:    3.1. Agregasi Tanah           Asosiasi antar akar tanaman dengan fungi pembentuk mikoriza, terutama fungi arbuskular         mikoriza membentuk hifa eksternal di dalam tanah. Hifa eksternal menghasilkan lem         hidrofobik (hydrophobic glue) yang dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi agregat         tanah yang mantap (Wright and Upadhyaya, 1998), lebih lanjut disebutkan bahwa akar dan         hifa merupakan pemantap agregat makro (> 250 µm) seperti yang tergambar pada Gambar 2.         Selain itu, cacing tanah dan rayap juga memainkan peranan penting dalam perbaikan struktur         tanah. Cacing tanah anesik dalam aktivitasnya dapat membuat lubang di dalam tanah yang         akan meningkatkan porositas tanah, sehingga laju aliran permukaan dan erosi tanah menjadi         berkurang (Ketterings et al., 1997).
Akar tanaman                                Sisa tanaman & fungi                               Debu-Mikroagregat                                Mikrostruktur liat                              Partikel organik                              yang d kolonisasi                              oleh fungi saprofit                              Hifa mikoriza                             Ruang pori ; polisakariddaa                             & agen pengikat lain nya    Gambar 2. Diagram pembentukan agregat tanah (Miller dan Jastrow, 1998)
Gambar 3. ……    3.2. Dekomposer bahan organik.           Dekomposisi bahan organik yang terjadi secara alamiah banyak melibatkan biota yang ada di         dalam tanah. Biota tanah memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan (energi),         melalui mekanisme makan memakan sebagai rantai makanan dalam suatu ekosistem tanah         (Gambar 3). Melalui mekanisme ini unsur hara yang terdapat di dalam bahan organik menjadi         tersedia bagi tanaman. Setiap kelompok biota memainkan peran yang berbeda dalam         mendekomposisi bahan organik. Bakteri perombak merupakan kelompok terbesar yang         mengkonsumsi senyawa karbon sederhana. Selanjutnya fungi mengubah substrat organik         kompleks seperti lignin dan selulosa menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan oleh biota         lainnya (Carrol dan Wicklow, 1992). Sebagai contoh , Tabel 3., fungi Tricoderma recei         mempunyai kemampuan dalam mendekomposisi onggok yang memiliki kandungan serat         tinggi (Yusnaini, Novpriansyah dan Sutopo, 1998). Bahan organik yang resisten terhadap         pelapukan seperti chitin, sellulosa dan hemisellulosa didekomposisi oleh kelompok         aktinomisetes, misalnya Streptomyces, berperan penting dalam degradasi lignin pada timbunan         kompos. Cacing tanah epigeik yang hidup di permukaan tanah, juga berperan dalam         dekomposisi insitu melalui fragmentasi dan pelumatan fisik seresah, tanpa mengubah susunan         kimianya. Tabel 4, memperlihatkan bahwa cacing tanah dapat digunakan sebagai aktivator         dalam percepatan pengomposan bahan organik melalui teknik vermicomposting (Yusnaini,         2009c).
3.2. Dekomposer bahan organik.           Dekomposisi bahan organik yang terjadi secara alamiah banyak melibatkan biota yang ada di         dalam tanah. Biota tanah memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan (energi),         melalui mekanisme makan memakan sebagai rantai makanan dalam suatu ekosistem tanah         (Gambar 3). Melalui mekanisme ini unsur hara yang terdapat di dalam bahan organik menjadi         tersedia bagi tanaman. Setiap kelompok biota memainkan peran yang berbeda dalam         mendekomposisi bahan organik. Bakteri perombak merupakan kelompok terbesar yang         mengkonsumsi senyawa karbon sederhana. Selanjutnya fungi mengubah substrat organik         kompleks seperti lignin dan selulosa menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan oleh biota         lainnya (Carrol dan Wicklow, 1992). Sebagai contoh , Tabel 3., fungi Tricoderma recei         mempunyai kemampuan dalam mendekomposisi onggok yang memiliki kandungan serat         tinggi (Yusnaini, Novpriansyah dan Sutopo, 1998). Bahan organik yang resisten terhadap         pelapukan seperti chitin, sellulosa dan hemisellulosa didekomposisi oleh kelompok         aktinomisetes, misalnya Streptomyces, berperan penting dalam degradasi lignin pada timbunan         kompos. Cacing tanah epigeik yang hidup di permukaan tanah, juga berperan dalam         dekomposisi insitu melalui fragmentasi dan pelumatan fisik seresah, tanpa mengubah susunan         kimianya. Tabel 4, memperlihatkan bahwa cacing tanah dapat digunakan sebagai aktivator         dalam percepatan pengomposan bahan organik melalui teknik vermicomposting (Yusnaini,         2009c).    3.3. Simbiosis           Interaksi antara akar tanaman dengan biota yang ada di dalam tanah dapat terjadi karena         tanaman mngeluarkan eksudat yang terakumulasi di permukaan akar. Eksudat akar tersebut         digunakan oleh biota tanah sebagai sumber energi. Sebagai contoh bakteri penambat nitrogen,         Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan dapat menambat (memfiksasi)         nitrogen yang ada di atmosfer dan mengubahnya menjadi amonia. Jumlah nitrogen yang         dikonversi dari proses penambatan sangat bergantung pada tanaman inang, bakteri (simbion),         dan lingkungan abiotik. Penambatan nitrogen secara simbiosis berperan penting dalam         mengurangi penggunaan pupuk nitrogen. Begitupula simbiosis antara fungi pembentuk         mikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan         (Yusnaini et al., 1999) meningkatkan serapan fosfor, nitrogen, dan kalium (Yusnaini et al., 2001;         Niswati et al., 1996), dan memperbaiki agregat tanah (Miller dan Jastrow, 2000).    3.4. Bioremediasi.           Bioremediasi adalah strategi atau proses detoksifikasi (menurunkan tingkat racun) dalam         tanah atau lingkungan lainnya dengan menggunakan biota tanah atau tanaman. Melalui         proses biodegradasi, mineralisasi, dan kometabolisme, biota di dalam tanah dapat mengurangi         pengaruh buruk kontaminan di dalam tanah (Young dan Cerniglia, 1995). Contoh mikrobiota         yang banyak digunakan dalam bioremediasi tanah tercemar dari kelompok bakteri antara lain         Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Bacillus, Nocardia, Pseudomonas dan fungi seperti
Trichoderma, Rhodotorula, Mirtirella, dan Aspergillus (Young dan Cerniglia, 1995). Lebih lanjut         disebutkan bakteri Geobacter metallireducens mampu mereduksi logam berat uranium yang         berasal dari limbah tambang emas.    IV. PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK MEMAKSIMALKAN PERAN BIOTA         TANAH             Memilih praktik tertentu dalam budidaya tanaman untuk mengaktifkan peran biota dalam  meningkatkan produksi tanaman yang maksimal tanpa harus mengurangi kerusakan sumberdaya  alam dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :    4. 1. Meningkatkan Kandungan Bahan Organik             Bahan organik di dalam tanah selain merupakan sumber energi bagi biota tanah, juga  berperan sangat penting dalam memperbaiki kesuburan kimia, fisik, dan biologis tanah. Perbaikan  sifat kimia dan biologis tanah terutama diperankan oleh bahan-bahan non-humus (non-humified  materials), sedangkan perbaikan sifat fisik tanah diperankan oleh bahan humus. Tersedianya bahan  organik dalam tanah berarti pula tersedianya sumber karbon dan energi bagi mikrobiota tanah  yang perannya sangat dominan dalam proses perombakan bahan organik (Young dan Ritz, 2000).  Penambahan bahan organik dapat berupa bahan organik insitu yang berasal dari seresah tanaman  ataupun sisa tanaman sebelumnya, maupun penerapan pupuk kandang, pupuk hijau atau kompos.  Banyak hasil penelitan menunjukkan bahwa penambahan bahan organik dapat meningkatkan  aktivitas dan biomassa karbon mikroorganisme (Niswati dan Yusnaini, 2008), kandungan nitrogen  dan fosfor dalam tanah (Perruci, 1990), aktivitas enzim (Yusnaini et al., 2007), keragaman fungi  arbuskular mikoriza (Yusnaini, 2009a), populasi cacing tanah (Yusnaini dan Niswati, 2008) dan  mesofauna tanah (Yusnaini et al., 2009) (Gambar 4).              Penambahan bahan organik ke dalam tanah selain dapat meningkatkan keanekaragaman  biota tanah yang menguntungkan, juga dapat menekan perkembangan patogen akar (Hoitink,  1998).
Mesofauna Tanah (dm-3)250 Colembola                                                                                                                 Acarina           200 Lain-lain           150           100             50              0                   K0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7                                                 Perlakuan Pupuk    Gambar 4. Jumlah tiap Ordo Mesofauna Tanah akibat perlakuan pupuk organik kotoran ayam (B1),                  Glyricidium (B2), upuk anorganik (B3) dan kombinasinya (B4= 75% kotoran ayam +25%                  pupuk inorganik; B5= 50% kotoran ayam+50% pupuk inorganik; B6=75% Glyricidium +25%                  pupuk inorganik; dan B7= 50% Glyricidium+50% pupuk inorganik) (Yusnaini et al., 2009)    4.2. Pengolahan Tanah              Olah tanah merupakan suatu tindakan manipulasi mekanik untuk memperbaiki kondisi  tanah bagi pertumbuhan tanaman. Tindakan mekanik untuk memperbaiki sifat fisik tanah melalui  pengolahan tanah dalam meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman, sudah biasa  digunakan dalam teknik budidaya tanaman sejak ratusan tahun yang lalu. Pada dasarnya olah  tanah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan persemaian, pengendalian  gulma, dan hama (Clapperton et al., 2003). Tetapi, di samping itu, olah tanah juga dapat merusak  struktur tanah, mempercepat dekomposisi dan hilangnya bahan organik, meningkatkan ancaman  erosi, merusak habitat biota yang bermanfaat, dan menyebabkan pemadatan tanah. Oleh karena itu  sejak dua dekade lampau, sistem olah tanah intensif sudah mulai dikurangi dan beralih ke olah  tanah konservasi (olah tanah minimum) dan tanpa olah tanah. Hal ini didukung banyak hasil  penelitian yang membandingkan sistem olah tanah intensif dengan olah tanah konservasi  menunjukkan bahwa produksi tanaman tidak berkorelasi dengan sitem olah tanah yang diterapkan,  tetapi lebih kepada perbaikan kondisi lingkungan tanah yang diciptakan oleh olah tanah tersebut  (Carter, 1994; Utomo et al., 2001).              Selain itu pengolahan tanah dalam (deep flow) dengan menggunakan alat-alat berat akan  berakibat terhadap pemadatan tanah. Pemadatan tanah akan mengurangi jumlah udara, air, dan  ruang yang tersedia untuk akar dan biota tanah. Sebagai akibat langsung dari pemadatan tanah,  biota tanah dan akar tanaman yang menempati ruang pori tanah, populasinya menjadi berkurang.  Penggunaan alat berat dalam pengolahan tanah akan mengurangi relung (niche) bagi  microarthropoda tanah, terutama Collembola (Schrader and Lingnau, 1997).
Olah tanah konservasi, merupakan salah satu komponen praktik pertanian konservasi dan  dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan olah tanah lengkap. Olah tanah konservasi dan  tanpa olah dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi terhadap kandungan bahan organik  tanah dan kandungan karbon organik dalam tanah, serta populasi dan keragaman biota tanah  (Utomo et al., 1997; Yusnaini et al., 2004) (Tabel 5)              Selain itu, sistem olah tanah konservasi secara tidak langsung dapat mengurangi emisi gas  CO2 dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil .    4.3. Pengurangan Penggunaan Sumber Hara Kimiawi              Efisensi penggunaan unsur hara dapat mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan  ke dalam tanah. Hal ini sangat penting untuk keberlanjutan produksi pertanian pada tanah-tanah  marjinal. Tanah marjinal didominasi oleh tanah-tanah tua dengan tingkat pelapukan lanjut (ultisol  dan oxisol), yang umumnya dicirikan oleh rendahnya kandungan unsur hara dan bahan organik  tanah serta bereaksi asam. Pertanian intensif dengan hanya menggunakan pupuk kimia secara terus  menerus tidak cukup untuk mendapatkan produksi yang optimal. Penambahan bahan organik yang  berkualitas (bahan organik dengan nisbah C/N rendah), misalnya Azolla, Glyricidium, Sesbania,  Flemingia, dan Mucuna dapat memperbaiki sifat kimia tanah (Erfandi et al., 2003) sehingga dapat  mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan ke dalam tanah (Yusnaini, Anas, dan Sutopo,  1995) dalam meningkatkan produksi tanaman.              Selain itu pula pengaktifan simbiosis Rhizobium dengan tanaman kacangan merupakan salah  satu alternatif untuk mengurangi jumlah pupuk nitrogen (Hairiah dan Van Noordwijk, 2009) dan  fosfor yang ditambahkan ke dalam tanah (Niswati, 2004).    4.4. Pemanfaatan Pestisida Alami              Pemanfaatan pestisida sintetis, selain dapat mengontrol hama dan penyakit tanaman juga  dapat menimbulkan masalah baik terhadap manusia maupun terhadap lingkungan. Beberapa  spesies mikrobiota tanah telah terbukti dapat berperan sebagai pengendali hayati hama penyakit  tanaman. Bakteri Bacillus thruringiensis (Bt), telah ditemukan sejak tahun 1911, tetapi baru  dkembangkan pada tahun 1950 an, bermanfaat sebagai pestisida alami untuk mengontrol  pertumbuhan lepidoptera, larva koleoptera, maupun diptera (lalat dan nyamuk) (Cranshaw, 2010).  Kemampuan Bt sebagai pengendali hama disebabkan oleh protein kristal yang diproduksinya.  Apabila Bt termakan oleh serangga, di dalam sistem pencernaan serangga protein kristal akan larut  melepaskan protein “  endotoxin” yang akan diaktiviasi oleh enzim protease pada sistem  pencernaan serangga. Aktivisi ini mengakibatkan larutnya (lysis) dinding sel serangga, sehingga  serangga akan mati (Sarjeet, Elizabeth dan Patricia, 1992).    4.5. Penutupan Tanah              Menjaga agar tanah tetap tertutup dapat dilakuan dengan meninggalkan residu tanaman  pada permukaan tanah (mulsa) atau dengan menanam tanaman penutup tanah. Tanah yang  terbuka, tanpa penutupan berupa vegetasi ataupun mulsa akan sangat rentan terhadap angin dan  erosi air, serta pengeringan dan pengerasan tanah. Selain untuk menutup tanah, vegetasi penutup
tanah juga menyediakan bahan organik tambahan secara terus-menerus, baik berasal dari akar  tanaman maupun dari akumulasi seresah pada permukaan tanah. Akumulasi seresah pada  permukaan tanah akan melindungi tanah dari radiasi sinar matahari, dan tumbukan air hujan  sehingga akan menyediakan habitat yang kondusif bagi biota tanah.              Penutup tanah yang ditanaman di antara tanaman utama penting untuk memperbaiki  aktivitas biota tanah yang berkaitan dengan daur hara tanah (Boyer et al., 1996 ; Dinesh et al., 2003;  Yusnaini et al., 2007). Selain itu, penutupan tanah oleh tanaman dapat mengurangi keberadan  gulma (Michellon and Perret, 1995), misalnya penutupan tanah dengan Mucuna dapat menekan  pertumbuhan alang-alang. Keuntungan lain dari penutupan tanah, terutama tanaman kacang-  kacangan (legume cover crop) adalah dapat meningkatan kandungan nitrogen tanah. Sebagai contoh  Mucuna dapat menambat nitrogen sebanyak 80-150 kg per hektar per tahun (Buckless et al., 2000).  Penanaman tanaman penutup tanah secara merata, atau diantara baris tanaman kopi menggunakan  Paspalum conjugatum dapat menurunkan pengaruh buruk dari tumbukan butiran hujan sehingga  dapat mengurang erosi pada permukaan tanah (Afandi et al., 2002), memperbaiki ikim mikro tanah  sebagai niche bagi biota tanah, meningkatkan populasi cacing tanah (Yusnaini et al., 2006; Ceballos  and Fragoso, 2004) dan keanekaragaman fungi arbuscular mikoriza (Nonaka et al., 1999).
4.6. Diversifikasi Pertanaman              Diversifikasi tanaman pada permukaan tanah sangat menguntungkan bagi biota tanah  karena setiap tanaman menyumbang struktur akar yang unik dan jenis residu yang berbeda ke  tanah. Tanaman yang berbeda akan menghasilkan eksudat yang berbeda, yang akan menstimulasi  keanekaragaman biota di dalamnya. Pertanaman campuran atau rotasi tanaman dapat  meningkatkan keragaman biota yang ada di dalam tanah. Hal ini berkaitan dengan kontribusi dari  eksudat akar. Diversifikasi tanaman dalam suatu areal pertanaman dari waktu ke waktu, tidak  hanya meningkatkan keragaman tumbuhan, tetapi juga jenis serangga, mikrobiota, mesofauna dan  fauna tanah yang hidup di dalam agroekosistem. Selanjutnya keragaman biota tanah dapat  membantu mengontrol populasi serangga, dan sistem pertanaman campuran dapat menurunkan  pertumbuhan gulma dan menekan serangan hama penyakit bagi tanaman.    V. DAMPAK PENGELOLAAN BIOTA TANAH DALAM AGROEKOSISTEM    5.1. Ekonomi          Secara ekonomi, pengelolaan agroekosistem secara biologis dengan memanfaatkan secara  maksimal peran biota tanah berdampak terhadap efisensi penggunaan hara. Efisiensi penggunaan  hara dalam tanah dapat mengurangi biaya penggunaan pupuk kimia. Pengurangan penggunaan  pupuk kimia dapat dilakukan apabila dekomposisi bahan organik dan siklus hara di dalam tanah  berjalan dengan baik dengan bantuan biota yang ada di dalam tanah. Di samping itu pula dengan  aktifnya biota tanah memainkan perannya dalam memperbaiki struktur tanah, terutama cacing  tanah, dapat mengakibatkan air dan unsur hara tertahan lebih lama di dalam tanah. Pengaktifan  biota tanah yang bersimbiosis dengan akar tanaman dalam meningkatkan ketersediaan dan  pelarutan hara di dalam tanah juga dapat mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan ke  dalam tanah. Substitusi pupuk kimia oleh pupuk organikpun dapat berakibat terhadap  pengurangan biaya yang dibutuhkan. Peran biota tanah tidak hanya terlibat dalam siklus  biogeokimia hara, tetapi juga dapat mengontrol penyakit tanaman, sehingga dalam mengurangi  jumlah pestisida yang masuk dalam agroekosistem.    5.2. Ketahanan dan Keamanan pangan              Mengelola tanah secara biologis dapat mengaktifkan peran biota tanah dalam meningkatkan  produksi dan kualitas tanaman pada agroekosistem. Peningkatan produksi dan perbaikan kualitas  hasil dilakukan dengan mengontrol penggunaan pestisida untuk menekan serangan hama dan  penyakit tanaman. Selain itu, efisiensi. penggunaan hara dapat meminimalisir penggunaan pupuk  kimia dalam meningkatkan produktivitas pertanian.              Sistem bertani dengan input kimia rendah dapat meningkatkan aktivitas biota tanah,  sehingga produktivitas lahan-lahan pertanian dapat digunakan secara lestari dan sinambung dalam  memenuhi kebutuhan pangan bagi manusia. Di samping itu, dengan meminimalisir penggunaan  senyawa kimia baik berupa pupuk maupun pestisida akan mengurangi senyawa ikutan beracun  yang tertinggal pada produk-produk pertanian.    5.3. Lingkungan
Pengelolaan biota di dalam agroekosistem akan berdampak terhadap perbaikan kualitas  tanah. Melalui peran biota tanah sebagai pendekomposer bahan organik, terlibat langsung dalam  siklus hara, dan perbaikan struktur tanah, akan dapat mengurangi pengunaan bahan-bahan kimia  dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Di samping itu kelompok mikrobiota tertentu dapat  berperan dalam mengkonversi kontaminan yang masuk ke dalam tanah menjadi bahan yang  kurang berbahaya atau tidak beracun. Melindungi dan mengaktifkan biota tanah dapat membantu  meminimalisir polusi tanah dan kerusakan lahan yang disebabkan oleh senyawa xenobiotik yang  masuk ke dalam tanah.    VI. PENUTUP              Tanah merupakan habitat bagi akar tanaman dan biota tanah yang banyak memberikan  kontribusi dalam memelihara produktivitas di dalam agroekosistem. Berbagai upaya dilakukan  untuk mempertahankan produk pertanian tanpa merusak ekosistem tanah, salah satunya dengan  mengelola tanah secara bijaksana. Pengelolaan tanah secara bijaksana lebih ditujukan untuk  mengoptimalkan keberadaan dan aktivitas biota tanah dalam memperbaiki sifat kimia, dan fisika  tanah serta proses-proses biologis yang terjadi di dalam tanah. Kehadiran biota tanah dapat  membantu mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mengefisiensikan penggunaan hara,  dan peningkatan kualitas lingkungan melalui pengurangan dampak negatif yang disebabkan oleh  penggunaan senyawa xenobiotik. Melalui pengelolaan sumberdaya lahan yang arif dan bijakasana,  biota tanah dapat diberdayakan secara maksimal sehingga lahan pertanian dapat berproduksi  secara lestari dan sinambung.    VII. DAFTAR PUSTAKA    Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. utomo, M. Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil erosion under            coffee trees with different weeds managements in humid tropical hilly area of Lampung,            South Sumatra, Indonesia. J. Jpn. Soc. Soil Phys. 91: 3-14.    Arif, M. A. S., S. Yusnaini, A.Niswati, A.Setiawan, K.Tuchida, Katau, Taoji, Y.and Nonaka, M. 1999.            Population of Arbuscular Mychorrizal Fungsi (AMF) on Different Land Use in Sumatra,            Indonesia: Comparison of AMF Spore Numbers In Primary Forest, Secondary Forest, Fields            Growing Coffee, and Native Grass. Microb. Environ. 14: 9-17.    Ahlgreen, I.F. 1974. The effect of fire on soil organism. In Fire and Ecosystems. T.T. Kozlowski and         I.F. Ahlgreen (eds.). Academic Press, New York. pp 47-72.    Alexander, M. 1991. Introduction to Soil Microbiology. Krieger Publishing Company. Malabar.    Bakosurtanal. 2001. Neraca Sumberdaya Lahan Spasial Nasional. Pusat Survei Sumberdaya Alam         Barat. Bakosurtanal. 80 hlm.    Boyer, J., R. Michellon, A. Chabanae, G. Reversat, and R. Tibere. 1999. Effect of trefoil cover crop         and earthworm inoculation on maize crop and soil organisms in Reunion Island. Biol. Fert.         Soil 28: 364-370.    Branco, H. and Lal, R. 2008. Principles of Conservation Management.. No Tillage-Farming (Ch.8).         Springer Verlag. Netherlands. 195 pp.    Buckles, D., B. Triomphe, and G. Sain. 1998. Cover crops in Hillside Agriculture: Farmer Innovation         with Mucuna. IDRC/CIMMYT, Otawa. Canada.
Carrol, G.C and D.T.Winclow. 1992. The Fungal Community:Its Organization and Role in the         Ecosystem. Marcel Dekker, Inc. New York.    Carter, M.R. 1994. Strategies to overcome impediments to adaption of conservation tillage. In :         Conservation Tillage in Temperate Agroecosystems. M.R Carter (ed.) CRC Press Inc. USA.         pp. 3-19.    Ceballos, A.I.O., and C. Fragoso. 2004. Earthworm population under tropical maize cultivation: The         effect of mulching with velvetbean. Biol. Fert. Soil: 39-    Clapperton, M.J., K.Y. Chan, and F.J. Larney, 2003. Managing the Soil Habitat for Enhanced         Biological Fertility. Abbott and D.V. Murphy (eds.). Soil Biological Fertility “ A Key to         Sustainable Land Use in Agriculture”. Kluwer Academic Publisher. Netherlands . pp. 81-98.    Coleman, D.C., D.A. Crossley Jr., and P.A. Hendrix. 2004. Fundamental of Soil Ecology. Second         edition. Elsevier, San Diego.    Cranshaw,  W.S.  2010.  Bacillus  thuringiensis.    http://www.ext.colostate.edu/publs/insect/05556.html. Diakses tanggal 29 September 2010.    Dinesh, R., M.A. Suryanaarayana, and S.C. Sheeja. 2004. Long-term influence of leguminous cover         crop on the biochemical properties of sandy clay loam fluventic sulfacuent in a humid tropical         region in India. Soil Till. Res. 77:69-77.    Sarjeet, S.G., A.C. Elizabeth, and V.P. Patricia. 1992. The mode of action of Bacillus thuringiensis         endotoxins. Ann. Rev. Ent. 37:615-634.    Erfandi, D., U. Kurnia, dan I. Juarsah. 2003. Pemanfaatan bahan organik dalam perbaikan sifat fisik         dan kimia tanah ultisols. Pros. Sem. Nas. Pendayagunaan Tanah Masam. PUSLITANAK.         Hal 77-86.    Erenstein, O. 2003. Smallholder conservation farming in the tropics and sub-tropics: a guide to the         development and dissemination of mulching with crop residues and cover crops. Agric. Ecos.         Environ. 100: 17-37.    Garcia-Torres, L. 2002. Summary of the Workshop on Soil Protection and Sustainable Agriculture         organized by the EU Commission DG Environment and the DG Environmental Quality of the         Spanish Ministry of Environment (Soria, Spain).    Hairiah, K and M. van Noordwijik,. 2009. Managing of soil organic matter in agroforestry system         for healthy farming. Proc. Development of Integrated Pest Management in Asia and Africa.         University of Lampung. pp. 193-207.    Hoitink, H.A.J.1998. Basis for the control of soil borne plant pathogens with compost. Annu. Rev.         Phytopathol. 24: 93-114.    Jastrow, J.D., and R.M. Miller. 2000. Mycorrhizal Fungi Influence Soil Structure. Y. Kapulnik and         D.D. Douds, Jr. (eds.) Arbuscular Mycorrhias : Physiology and Function. Kluwer Academic         Publisher. Dordrecht/Boston/London, pp 3-18.    Ketterings, Q.M., J.M. Blair, and J.C.Y. Marinissen. 1997. Effect of earthworms on soil aggregate         stability and carbon and nitrogen storage in legume cover crop agroecosystem. Soil Biol.         Biochem. 29: 401-408    Lynch J.M. and J.M. Whipps. 1990. Substrate flow in the rhizophere. Plant Soil 129: 1-10.    Marschner, P. and Z. Rengel 2003. Contribution of Rhizosphere Interaction to Soil Biological         Fertility. L.K. Abbott and D.V. Murphy (eds.). Soil Biological Fertility “ A Key to Sustainable         Land Use in Agriculture. Kluwer Academic Publisher. Netherlands, pp 81-98.
Marschner P , C.H. Yang, R. Lieberei, and D.E. Crowley 2001. Soil and plant species effects on         bacterial community composition in the rhizosphere. Soil Biol. Biochem. 30: 1437-1445.    Miller, R.M. and J.D. Jastrow. 2000. Mycorrhizal fungi influence in soil structure. In Arbuscular         Mycorrhizas: Physiology and Function. Y. Kapulnik and D.D Douds Jr. (eds.) Kluwer         Academic Publishers. Dordrecht, Netherlands, pp. 3-18.    Metting, F.B. 1993. Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker, Inc. New York. 590 pp.    Niswati, A. dan S. Yusnaini. 2008. Perubahan biomassa karbon mikroorganisme tanah dan produksi         jagung akibat pemberian pupuk organik dan pupuk kimia. J. Penel. Pert. Terapan, 8 (3):122-         128.    Niswati,A., Dermiyati, dan S. Yusnaini. 2008. Populasi mikroroganisme pelarut fosfat dan P-         tersedia pada rhizosfir beberapa umur dan jarak dari pusat perakaran tanaman jagung (Zea         mays L.). J. Tanah Trop. 13(2):123-129.    Niswati, A., S. Yusnaini, M. Utomo, H.A. Asnuri, and A.I. Wirawan. 1997. Long-term conservation         tillage effects on mesofauna and mycorrhizal density in Lampung. International Workshop on         Biological Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in the Humid Tropics. Brawijaya         University. Malang. pp 63-65.    Niswati, A. 2004. Kandungan nitrogen dan fosfor pada kedelai yang di inokulasi Rhizobium dan         Mikoriza pada berbagai dosis TSP di tanah Ultisol. J. Tanah Trop. 10 (1): 14-54.    Nonaka, M., K. Tuchida, M.A.S. Arif, S. Yusnaini, and A. Niswati. 1999. Effect of Indigenous         arbuscular mycorrhizae fungsi (AMF) on the growth of coffee. Proceeding of International         Symposium “Can Biological Production Harmonize With Environment? Reports from         Research Sites in Asia”. Japan October 19- 20 ,1999. pp. 243-246.    Odum, E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.    Paul E.A and F.E. Clark 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. New York         USA.    Schrader, S. and M. Lingnau. 1997. Influence of soil tillage and soil compaction on microarthropods         in agricultural land. Pedobiologia, 41: 202-209.    Syam, T., H. Nishide,. A.K. Salam,. M. Utomo, A.K Mahi,. J. Lumbanraja, S.G Nugroho, and M.         Kimura. 1997: Land use change in a hilly area of south Sumatra, Indonesia (from 1970 to 1990).         Soil Sci. Plant Nutr. 43 (3) : 587-599.    Utomo, M., I.S. Banuwa, A. Niswati, S. Yusnaini, H.A. Asnuri, and I.G.M. Suase. 1997. Long-term         conservation tillage effects on earthworm and soil agregates. International Workshop on         Biological Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in the Humid Tropics. Brawijaya         University. Malang, pp. 26-28.    Utomo, M, F.X.susilo, D.R.J. Sembodo, R.H. Ismono, K. Setiawan, I.G. Swibawe, and S. Yusnaini.         2003. Weed, Mycorrhizae, and Economics of Round Up Ready Hybrid Corn (Zea mays) grown         under conservation versus full tillage systems in Lampung, Indonesia. Proc. Nineteenth
Asian_Pasific Weed Science Society Conference “ Weed Science, Agricultural Sustainability         and GMOS”. Manila, Philipines . pp. 529-535.    Wright, S.F., and A. Upadhyaya. 1998. A Survey of soils for aggregate stability and glomalin, a         glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil, 198: 97-107.    Young, L.Y., and C.E. Cerniglia .1995. Microbial transformation and degradation of toxic organic         chemicals. Wiley-Liss, New York.    Young, I.M., and K. Ritz. 2000. Tillage, habitat space and function of soil microbes. Soil Till. Res. 53:         201-213.    Yusnaini, S. 2009a. Pengaruh pembukaan hutan dengan cara tebas bakar terhadap jumlah dan         keragaman mikoriza vesicular arbuskular di daerah berlereng Sumberjaya Lampung Barat.         Sem. Nas. Agroforestri sebagai pemanfaatan lahan berkelanjutan di masa depan.         Bandarlampung 7 mei 2009. pp. 124-131.    Yusnaini, S. 2009b . Keberadaan mikoriza vesicular arbuskular pada pertanaman jagung yang diberi         pupuk organik dan inorganik jangka panjang. J. Tanah Trop. 14(3):253-260.    Yusnaini, S. 2009c. Vermicomposting of Biodegradable Organic wastes Using Esenia fetida and         Lumbricus rubellus. Proc.Int.Conf. for Development of IPM in Asia and Africa. Bandarlampung         7-9 Desember 2009, pp. 298-302    Yusnaini, S., A. Niswati dan Dermiyati. 2010. Populasi dan Keragaman Mesofauana Tanah pada         Pertanaman Jagung yang diberi pupuk Organik dan Inorganik Jangka Panjang. Abstrak. Sem.         Nas. Keragaman Hayati Tanah 1. Bandar Lampung, 7-8 Juli 2010.    Yusnaini, S dan A. Niswati. 2008. Populasi cacing tanah pada pertanaman jagung diberi pupuk         organik dan inorganik jangka panjang. J. Penel. Pert. Terapan, 8 (3):109-115.    Yusnaini, S., M.A.S. arif, M.Utomo, and A. Niswati. 2004. Effect of long term conservation tillage         and nitrogen fertilization on soil mesofauna and earthworm. Proced. of Conservation and         Sustainability Management of Below Ground Biodiversity (BGBD) in Indonesia. Bogor, pp.19-         25.    Yusnaini, S, A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The changes of earthworm population         and chemical properties of tropical soils under different land use systems. J. Trop. Soil.         13(2):131-137.    Yusnaini, S., ,M.A.S. arif, S.G. Nugroho, A.K. Salam and M. Nonaka. 2007. Activities of Soil         enzyme in corn field enriched with manure. J. ISSAAS. 13(1): 18-25.    Yusnaini, S., S. G. Nugroho, A. Niswati, Afandi, S. Matsumoto, and M. Nonaka. 2006. Effect of         plant cover management on earthworm activities in hilly coffee plantation of Sumberjaya,         South Sumatra, Indonesia. J. Trop.Soil, 12 (2): 151-158.    Yusnaini, S., S.G Nugroho, Sudarsono dan I. Anas. 1995. Peranan Azolla dalam mensubstitusi         kebutuhan N anorganik pada padi sawah Var. IR 64. J. Tanah Trop. 1(1): 32-37.
                                
                                
                                Search
                            
                            Read the Text Version
- 1 - 21
 
Pages: