Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Prof. Sri yunaini

Prof. Sri yunaini

Published by wisataonline, 2021-09-01 04:50:17

Description: 26 Prof. Sri yunaini

Search

Read the Text Version

Kata pengantar Bismillahirromannirrohim Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Yang Saya Hormati, Bapak Gubernur Provinsi Lampung atau yang mewakili Bapak Bupati/Walikota se Provinsi Lampung, atau yang mewakili Bapak Ketua dan anggota Dewan Penyantun Universitas Lampung Bapak Rektor Universitas Lampung Bapak/Ibu Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Lampung Bapak/Ibu Pembantu Rektor, Dekan , Pembantu Dekan, Ketua Lembaga, Direktur Pascasarjana, dan Kepala UPT di Lingkungan Universitas Lampung Bapak/Ibu Undangan Sipil dan Militer Ibu-Ibu Darmawanita Persatuan Universitas Lampung Bapak/Ibu Dosen, karyawan, alumni, dan adik-adik mahasiswa Universitas Lampung Sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin yang saya muliakan. Puji Syukur marilah tiada henti-hentinnya kita panjatan ke hadirat Allah Subhanahu Wataala atas segala limpahan rahmat, karunia, dan hidayah Nya kepada kita semua, sehingga kita masih diberikan nikmat sehat dan iman untuk dapat hadir dan bersilaturahmi di Aula GSG Universitas Lampung ini. Hari ini merupakan hari yang paling bersejarah dan sangat membahagiakan bagi saya dan keluarga, karena pada hari ini saya diberi kesempata untuk menyampaikan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biologi Tanah di hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Lampung dan hadirin mulia. Ucapan terimaksih yang tulus dan penghargaan yang tinggi saya haturkan kepada hadirin terhormat yang bersedia meluangkan waktu untuk hadir, mengikuti, serta menyimak dengan sabar uraian saya tentang : PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK MEMAKSIMALKAN PERAN BIOTA TANAH DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN. Diharapkan melalui pidato ini dapat memberikan gambaran dan meningkatkan pemahaman mengenai peran biota tanah dalam menghasilkan produk pertanian yang aman dan ramah lingkungan. Melalui pengelolaan sumberdaya lahan yang arif dan bijakasana, biota tanah dapat diberdayakan secara maksimal sehingga lahan pertanian dapat berproduksi secara lestari dan sinambung.

PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK MEMAKSIMALKAN PERAN BIOTA TANAH DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN Oleh Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bandar lampung, 14 Oktober 2010 1. PENDAHULUAN Tanah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan makhluk hidup di alam semesta. Secara edapologis tanah merupakan media tumbuh tanaman dan habitat bagi beraneka ragam biota tanah, baik mikro, meso, maupun yang berukuran makro. Pengelolaan ekosistem tanah yang tepat akan dapat meningkatkan aktivitas biota tanah yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam siklus hara dan penyerapan hara bagi tanaman. Berbagai bentuk modifikasi habitat tanah perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang tepat bagi biota tanah untuk beraktivitas, sehingga dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan energi bagi kehidupan manusia. Untuk pemenuhan kebutuhan pangan, pola budidaya tanam sudah mulai diterapkan baik secara tradisional maupun intensif. Di era tradisional, pola bercocok tanam berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, mencari tempat yang subur dikenal dengan perladangan berpindah atau “shifting cultivation”. Seiring berjalan waktu, jumlah penduduk terus meningkat secara ekponensial, sedangkan peningkatan produksi pertanian tidak berjalan secara selaras. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah sekitar 205,1 juta jiwa, meningkat menjadi 235 juta jiwa pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi 273 juta pada tahun 2025 (BPS, 2010). Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, harus diiringi dengan pemenuhan kebutuhan pangan, untuk itu sejak tahun 1970-an Indonesia sudah melakukan intensifikasi pertanian melalui “revolusi hijau”. Kegiatan utama yang biasanya berkaitan dengan pertanian intensif adalah peningkatan frekuensi gangguan fisik, misalnya pembukaan hutan, pembuangan atau pembakaran sisa tanaman, pengolahan tanah, serta penggunaan senyawa xenobiotik seperti pupuk kimia dan pestisida. Revolusi hijau (pertanian kimiawi) yang merangsang tanaman untuk berproduksi maksimal dengan mengandalkan bahan kimiawi, berangsur-angsur mulai dikurangi. Hal ini berkaitan erat dengan bahan-bahan kimia ikutan yang tertinggal pada produk pertanian dapat menggangu kesehatan manusia. Selain itu pula penggunaan senyawa kimia dapat meracuni biota tanah bukan sasaran (non target). Oleh karena itu pada beberapa dekade terakhir, ahli biologi tanah dan agronomi mulai tertarik untuk mempelajari keberadaan dan fungsi biota tanah, serta interaksinya dengan lingkungan abiotik dalam menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan.

II. EKOSISTEM TANAH SEBAGAI HABITAT BIOTA TANAH Ekosistem adalah suatu kesatuan dinamis yang terdiri dari berbagi spesies makhluk hidup yang berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik (Odum, 1993). Masing-masing komponen di dalam ekosistem menjalankan fungsi /proses tertentu yang saling berkaitan dan bergantung satu dengan lainnya. Kehadiran, kelimpahan, dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh ketersediaan sumber energi serta kondisi faktor kimia dan fisik yang berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. 2.1. Relung (Niche) Biota Tanah Setiap biota tanah menempati ruang dan cara tertentu untuk bertahan hidup dalam suatu habitat. Relung (niche) menunjukkan posisi dan peran biota tersebut di dalam habitat, dapat di dalam atau di antara partikel tanah (Gambar 1). Rambut Akar Partikel tanah Nematoda Komplek Flagelata Liat-Bahan Organik Kolontai nBaamktaenri Amoeba Ciliata Spora dan Hifa Jamur Hifa Mikoriza Spora dan Hifa aktinomisetes Sel Tanaman Terdekomposisi Gambar 1. Sebaran biota di dalam tanah Biota tanah menempati relung yang sesuai dengan ukuran tubuhnya (mikrobiota < 200 µm, mesofauna 0,2 – 10 mm, dan makrobiota > 10 mm) dan umumnya terkonsentrasi pada : 1. Daerah sekitar akar (Rizosfer). Rizosfer merupakan daerah sempit (±2 mm) di sekitar permukaan akar yang sifat-sifatnya (kimia, fisika, dan biologis) masih dipengaruhi oleh aktivitas perakaran (Lynch dan Whips, 1990). Di daerah rizosfer terakumulasi eksudat-eksudat akar berupa asam-asam organik yang memiliki

massa molekul rendah seperti asam amino, fenolik, gula, dan vitamin. Eksudat akar akan memberikan pengaruh langsung pada kehidupan mikrobiota di rizosfer yaitu sebagi sumber energi. Dibandingkan dengan bahan organik tanah, eksudat akar menyediakan sumber energi yang mudah diserap oleh mikrobiota tanah, sehingga mengakibatkan banyak mikrobiota yang terakumulasi di daerah rizosfer. Eksudat akar yang terakumulasi di rizosfer sangat tergantung pada jenis tanaman, semakin beragam jenis tanaman maka akan semakin beragam pula mikrobiota yang terakumulasi di rizosfer (Marschner et al., 2001). Umumnya bakteri banyak dijumpai di daerah rizosfer, karena bakteri merupakan mikrobiota yang mampu hidup dengan memanfaatkan bentuk karbohidrat sederhana (glukosa) (Marschner and Rengel, 2003). Selain itu protozoa dan nematoda pemangsa bakteri juga banyak terakumulasi di daerah rizosfer. Hasil penelitian Niswati et al. (2008) menunjukkan bahwa aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat pada pertanaman jagung tertinggi dijumpai di daerah rizosfer dibandingkan dengan tanah disekitarnya. 2. Seresah Tanaman. Biota tanah yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dikelompokkan ke dalam biota heterotrof. Keberadaan biota tersebut sangat bergantung pada bahan organik yang terakumulasi di permukaan tanah. Fungi merupakan dekomposer utama pada seresah tanaman, hal ini berkaitan erat dengan komposisi kimia seresah tanaman. Seresah tanaman didominasi oleh senyawa karbohidrat kompleks yang resisten terhadap pelapukan, misalnya selulosa, hemiselulosa dan lignin. Sedangkan bakteri lebih menyukai seresah dengan kandungan nitrogen tinggi dan senyawa karbon sederhana. Di dalam ekosistem tanah, seresah tanaman merupakan sumber energi bagi biota tanah dalam sistem jaringan makanan “ food web”. Mesofauna dan cacing tanah juga termasuk biota yang memperoleh makanan dari bahan organik. Oleh karena itu mesofauna dan cacing tanah epigeik juga banyak dijumpai pada seresah tanaman. Peran dari kelompok biota ini adalah memperluas bidang permukaan seresah. Cacing dan mesofauna tanah, memecah seresah menjadi ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya fungi dan aktinomisetes memanfaatkan karbon seresah sebagai sumber energi. 3. Humus Senyawa humat merupakan senyawa kompleks, hasil dekomposisi bahan organik dengan kandungan senyawa organik yang resisten terhadap pelapukan, antara lain sellulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hanya fungi dan aktinomisetes, terutama Streptomyces yang mempunyai kemampuan dalam mendegradasi bahan organik dengan kandungan lignin yang kompleks dan berkontribusi dalam pembentukan humus yang stabil (Alexander, 1991). 4. Permukaan agregat tanah. Aktivitas biologis, khususnya bakteri aerobik dan fungi lebih besar di permukaan agregat tanah daripada di dalam agregat tanah. 5. Ruang antar agregat tanah. Arthropoda dan nematoda, serta biota tanah yang sensitif terhadap kekeringan banyak hidup pada ruang antar agregat yaitu pada pori makro yang berisi air.

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Biota dalam Ekosistem Tanah Biota tanah perlu makan dan habitat yang kondusif, dan dalam kasus biota yang hidup bersimbiosis maka diperlukan inang agar mereka dapat bertahan hidup. Kesediaan bahan organik sebagai sumber energi bagi biota dan kondisi lingkungan abiotik yang sesuai untuk pertumbuhan biota, dapat mempertahankan keberadaan biota dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan biota dalam ekosistem tanah antara lain : 1. Tersedianya sumber energi (sumber makanan). Setiap tipe biota tanah membutuhkan sumber energi, substrat, dan sumber hara yang berbeda dalam siklus hidupnya. Berdasarkan sumber energi yang dibutuhkan oleh biota tanah, biota tanah dapat dikelompokkan menjadi heterotrof dan autotrof. Biota kelompok heterotrof adalah biota yang membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi, dan kelompok autotrof memperoleh energi berasal dari sinar matahari (fototrof) dan dari hasil oksidasi senyawa kimia disebut khemotrof (Paul dan Clark, 1989). Sebagai sumber energi bagi biota heterotrof, kualitas dan variasi bahan organik perlu diperhatikan untuk mendukung keragaman biota yang ada di dalam tanah. 2. Keasaman Keasaman tanah sangat berpengaruh terhadap populasi dan keragaman biota tanah. Sebagian besar biota tanah menyukai pH netral bekisar antara 5,5-8,0 untuk beraktivitas. Bakteri penambat nitrogen simbiosis, Rhizobium, optimal pada kisaran pH 6,0-7,0, bakteri penambat nitrogen non-simbiosis, Azotobacter, optimal pada kisaran pH 7,0-7,5 (Buchanan dan Gibsons, 1974) dan Pseudomas, bakteri yang sering digunakan untuk bioremediasi dan pengendalian hayati penyakit tanaman tidak dapat tumbuh pada kondisi asam (pH 4,5). Begitupula dengan cacing tanah, cacing tanah dapat berkembang biak dengan baik pada pH netral atau agak sedikit basa, dengan kisaran pH optimal 6-7,2. Walaupun tersedia bahan organik sebagai sumber energi, tetapi pada kondisi tanah asam, cacing tanah tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik (Yusnaini et al., 2008). Namun demikian, ada juga biota tanah yang dijumpai pada pH tanah berkisar 1-13. Sebagian besar fungi toleran terhadap pH rendah, oleh karena itu fungi banyak dijumpai pada tanah-tanah asam. 3. Aerasi Aerasi tanah mencerminkan keadaan oksigen di dalam tanah. Tanah yang beraerasi baik akan mempunyai cadangan oksigen untuk respirasi biota tanah. Pada tanah-tanah beraerasi baik, biota aerob menggunakan oksigen untuk mengoksidasi atau menguraikan senyawa organik. Namun, ketika oksigen tidak tersedia, pada tanah dengan kondisi tergenang, organisme anaerob obligat mendominasi di sekitar permukaan akar. Hampir semua aktinomisetes memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, kecuali Agromyces dan Micromonospora. 4. Temperatur Temperatur tanah berpengaruh terhadap aktivitas biologis, serta kecepatan proses kimia, dan fisika di dalam tanah. Mikrobiota tanah umumnya dikelompokkan berdasarkan toleransinya terhadap temperatur tanah, yaitu: psikrofilik (rendah), mesofilik (sedang) dan termofilik (panas) (Alexander, 1991). Sebagai contoh, Aktinomisetes banyak dijumpai pada tanah yang lebih panas dibandingkan bakteri, dan tidak dapat tumbuh pada temperatur 5o C. Tempertur optimum untuk pertumbuhan aktinomisetes berkisar antara 26-37oC, tetapi aktinomisetes termofilik dapat dijumpai pada timbunan kompos dengan temperatur berkisar 55-65oC, sedangkan Protozoa, biota mesofilik,

tidak mampu bertahan hidup pada temperatur tinggi. Begitupula dengan cacing tanah, pertumbuhan dan penetasan kokon menghendaki temperatur 15-25oC. 5. Kelembaban Kelembaban tanah sangat berhubungan erat dengan kandungan air yang ada di dalam tanah. Secara umum aktivitas mikrobiota tanah berlangsung optimal pada kadar air tanah ¾ kapasitas lapang atau setara dengan 30 kPa. Biota makro yang sangat terpengaruhi oleh kelembaban adalah cacing tanah. Hal ini karena tubuh cacing tanah mengandung air sekitar 75-90% dari bobot tubuhnya, dan pada kondisi kering, cacing tanah akan mengeluarkan sebagian cairan tubuhnya ke dalam tanah untuk bertahan hidup. Aktivitas dan kemampuan reproduksi cacing tanah berkurang dengan semakin berkurangnya kandungan air tanah. 2.3 Dampak Perubahan Ekosistem terhadap Biota Tanah Pada ekosisitem alami, kondisi ekosistem berada dalam keseimbangan, artinya ekosistem tersebut telah mantap (homeostatis), sehingga mempunyai daya tahan yang besar terhadap gangguan. Alih fungsi lahan menjadi berbagai macam peruntukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia, akan berdampak terhadap perubahan ekosistem. Sebagai contoh di Indonesia dalam dua dekade terakhir tercatat penurunan areal hutan menjadi lahan pertanian intensif mencapai 18,37 % (Bakosurtanal, 2001). Peningkatan areal pertanian tertinggi pada penggunaan areal untuk pertanian lahan kering mencapai 49, 72%, perumahan 35, 65 %, perkebunan 27,13 % dan lahan sawah 5,70 %. Indikasi yang sama juga terjadi di Provinsi Lampung, dalam kurun waktu 20 tahun (1970-1990) alih fungsi hutan menjadi pertanaman monokultur, dalam hal ini perkebunan kopi mencapai 44% dari total areal secara keseluruhan di daerah berlereng Sumberjaya (Syam et al., 1999). Alih fungsi lahan menjadi berbagai macam peruntukan, berakibat terhadap perimbangan ekosistem di dalam tanah. Perubahan dari ekosistem alamiah mejadi ekosistem binaan dalam hal ini ekosistem pertanian (agroekosistem) akan berpengaruh terhadap lingkungan abiotik maupun biotik di dalam tanah. Biota tanah, termasuk mikrobiota (bakteri, fungi, aktinomisetes, dan alga), mikrofauna (protozoa dan nematoda), mesofauna (acarina, collembola, cacing pipih), dan makrofauna (serangga, cacing tanah, dan laba-laba) (Coleman et al., 2004) membutuhkan habitat yang khusus untuk beraktivitas. Apabila terjadi gangguan terhadap habitat akibat alih fungsi lahan, maka habitat tersebut tidak sesuai lagi untuk biota tersebut, sebagai akibat biota akan mati atau bermigrasi ke tempat lain. Perubahan habitat tanah sebagai pengaruh langsung dari alih fungsi lahan akan berpengaruh terhadap biota tanah yang ada dalam ekosistem tersebut. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif melalui tebas dan bakar akan berakibat terhadap berkurangnya biota tanah (Ahlgreen, 1974) dan keragaman fungi arbuskular mikoriza (Arif et al., 1999; Yusnaini, 2009a) (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah dan keragaman fungi arbuskular mikoriza (Yusnaini, 2009a) Penggunaan Lahan Genus FAM Spesies FAM Spora FAM 300 g-1 Hutan Primer Glomus G.etunicatum 25 G.constrictum 43 Hutan Sekunder Sclerosystis G.aggregatum 15 Scutelospohora Sc.rubiformis 2 Scutelosphora sp.1 11 Glomus Scutelosphora sp.2 9 G.etunicatum 4 Sclerosystis G.constrictum 54 G.aggregatum 1 Pertanaman kopi Acaulospora Glomus sp.1 1 muda Glomus Sc.rubiformis 2 ( < 2 tahun) Sc. pachycaulis 1 A.tuberculata 31 Sclerosystis G.etunicatum 56 G.constrictum 139 Pertanaman kopi tuaGlomus G.aggregatum 189 (> 15 tahun) Glomus sp.2 4 Sc.rubiformis 10 Kebun campuran Glomus Sc. Pachycaulis 1 G.etunicatum 18 G.constrictum 30 G.aggregatum 12 G.etunicatum 16 G.constrictum 77 G.aggregatum 3 Selain itu pula pola pertanian yang intensif akan berdampak terhadap penurunan populasi mesofauna dan cacing tanah (Matsumoto, Niswati dan Yusnaini, 2000) (Tabel 2).

Tabel 2. Populasi mesofauna dan cacing tanah pada berbagai penggunaan lahan di Gunung Batin, Lampung Tengah (Matsumoto, Niswati dan Yusnaini, 2000). Penggunaan lahan Mesofauna Tanah 100 -1 mL tanah Semak-semak 259 81 134 134 128 Perkebunan Karet 104 62 61 303 37 Perkebunan Coklat 184 35 46 Pertanaman Ubikayu 65 77 47 Rendahnya populasi dan keragaman biota tanah pada agroekosistem dibandingkan ekosistem alami disebabkan adanya pengelolaan yang intensif pada agroekosistem. Pengolahan tanah, pemupukan, dan penggunaan pestisida secara intensif akan berpengaruh terhadap iklim mikro sebagai habitat biota tanah. Biota tanah, makan, tumbuh, dan bereproduksi di dalam lingkungan tanah yang sesuai untuk pertumbuhannnya. III. PERAN BIOTA DALAM EKOSISTEM TANAH Biota tanah merupakan bagian dari ekosistem pertanian (agroekosistem) maupun ekosistem hutan yang berperan penting dalam memelihara kesehatan tanah, fungsi ekosistem, dan produksi pertanian. Interaksi antara biota tanah dengan habitatnya, sumber makan dan inang, serta antara lingkungan kimia dan fisik tanah perlu diperhatikan untuk mengontrol aktivitas biota didalam menjalankan perannya pada agroekosistem untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan. Berdasarkan perannya di dalam ekosistem tanah, biota dikelompokkan sebagai berikut: 3.1. Agregasi Tanah Asosiasi antar akar tanaman dengan fungi pembentuk mikoriza, terutama fungi arbuskular mikoriza membentuk hifa eksternal di dalam tanah. Hifa eksternal menghasilkan lem hidrofobik (hydrophobic glue) yang dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi agregat tanah yang mantap (Wright and Upadhyaya, 1998), lebih lanjut disebutkan bahwa akar dan hifa merupakan pemantap agregat makro (> 250 µm) seperti yang tergambar pada Gambar 2. Selain itu, cacing tanah dan rayap juga memainkan peranan penting dalam perbaikan struktur tanah. Cacing tanah anesik dalam aktivitasnya dapat membuat lubang di dalam tanah yang akan meningkatkan porositas tanah, sehingga laju aliran permukaan dan erosi tanah menjadi berkurang (Ketterings et al., 1997).

Akar tanaman Sisa tanaman & fungi Debu-Mikroagregat Mikrostruktur liat Partikel organik yang d kolonisasi oleh fungi saprofit Hifa mikoriza Ruang pori ; polisakariddaa & agen pengikat lain nya Gambar 2. Diagram pembentukan agregat tanah (Miller dan Jastrow, 1998)

Gambar 3. …… 3.2. Dekomposer bahan organik. Dekomposisi bahan organik yang terjadi secara alamiah banyak melibatkan biota yang ada di dalam tanah. Biota tanah memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan (energi), melalui mekanisme makan memakan sebagai rantai makanan dalam suatu ekosistem tanah (Gambar 3). Melalui mekanisme ini unsur hara yang terdapat di dalam bahan organik menjadi tersedia bagi tanaman. Setiap kelompok biota memainkan peran yang berbeda dalam mendekomposisi bahan organik. Bakteri perombak merupakan kelompok terbesar yang mengkonsumsi senyawa karbon sederhana. Selanjutnya fungi mengubah substrat organik kompleks seperti lignin dan selulosa menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan oleh biota lainnya (Carrol dan Wicklow, 1992). Sebagai contoh , Tabel 3., fungi Tricoderma recei mempunyai kemampuan dalam mendekomposisi onggok yang memiliki kandungan serat tinggi (Yusnaini, Novpriansyah dan Sutopo, 1998). Bahan organik yang resisten terhadap pelapukan seperti chitin, sellulosa dan hemisellulosa didekomposisi oleh kelompok aktinomisetes, misalnya Streptomyces, berperan penting dalam degradasi lignin pada timbunan kompos. Cacing tanah epigeik yang hidup di permukaan tanah, juga berperan dalam dekomposisi insitu melalui fragmentasi dan pelumatan fisik seresah, tanpa mengubah susunan kimianya. Tabel 4, memperlihatkan bahwa cacing tanah dapat digunakan sebagai aktivator dalam percepatan pengomposan bahan organik melalui teknik vermicomposting (Yusnaini, 2009c).

3.2. Dekomposer bahan organik. Dekomposisi bahan organik yang terjadi secara alamiah banyak melibatkan biota yang ada di dalam tanah. Biota tanah memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan (energi), melalui mekanisme makan memakan sebagai rantai makanan dalam suatu ekosistem tanah (Gambar 3). Melalui mekanisme ini unsur hara yang terdapat di dalam bahan organik menjadi tersedia bagi tanaman. Setiap kelompok biota memainkan peran yang berbeda dalam mendekomposisi bahan organik. Bakteri perombak merupakan kelompok terbesar yang mengkonsumsi senyawa karbon sederhana. Selanjutnya fungi mengubah substrat organik kompleks seperti lignin dan selulosa menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan oleh biota lainnya (Carrol dan Wicklow, 1992). Sebagai contoh , Tabel 3., fungi Tricoderma recei mempunyai kemampuan dalam mendekomposisi onggok yang memiliki kandungan serat tinggi (Yusnaini, Novpriansyah dan Sutopo, 1998). Bahan organik yang resisten terhadap pelapukan seperti chitin, sellulosa dan hemisellulosa didekomposisi oleh kelompok aktinomisetes, misalnya Streptomyces, berperan penting dalam degradasi lignin pada timbunan kompos. Cacing tanah epigeik yang hidup di permukaan tanah, juga berperan dalam dekomposisi insitu melalui fragmentasi dan pelumatan fisik seresah, tanpa mengubah susunan kimianya. Tabel 4, memperlihatkan bahwa cacing tanah dapat digunakan sebagai aktivator dalam percepatan pengomposan bahan organik melalui teknik vermicomposting (Yusnaini, 2009c). 3.3. Simbiosis Interaksi antara akar tanaman dengan biota yang ada di dalam tanah dapat terjadi karena tanaman mngeluarkan eksudat yang terakumulasi di permukaan akar. Eksudat akar tersebut digunakan oleh biota tanah sebagai sumber energi. Sebagai contoh bakteri penambat nitrogen, Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan dapat menambat (memfiksasi) nitrogen yang ada di atmosfer dan mengubahnya menjadi amonia. Jumlah nitrogen yang dikonversi dari proses penambatan sangat bergantung pada tanaman inang, bakteri (simbion), dan lingkungan abiotik. Penambatan nitrogen secara simbiosis berperan penting dalam mengurangi penggunaan pupuk nitrogen. Begitupula simbiosis antara fungi pembentuk mikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (Yusnaini et al., 1999) meningkatkan serapan fosfor, nitrogen, dan kalium (Yusnaini et al., 2001; Niswati et al., 1996), dan memperbaiki agregat tanah (Miller dan Jastrow, 2000). 3.4. Bioremediasi. Bioremediasi adalah strategi atau proses detoksifikasi (menurunkan tingkat racun) dalam tanah atau lingkungan lainnya dengan menggunakan biota tanah atau tanaman. Melalui proses biodegradasi, mineralisasi, dan kometabolisme, biota di dalam tanah dapat mengurangi pengaruh buruk kontaminan di dalam tanah (Young dan Cerniglia, 1995). Contoh mikrobiota yang banyak digunakan dalam bioremediasi tanah tercemar dari kelompok bakteri antara lain Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Bacillus, Nocardia, Pseudomonas dan fungi seperti

Trichoderma, Rhodotorula, Mirtirella, dan Aspergillus (Young dan Cerniglia, 1995). Lebih lanjut disebutkan bakteri Geobacter metallireducens mampu mereduksi logam berat uranium yang berasal dari limbah tambang emas. IV. PENGELOLAAN EKOSISTEM TANAH UNTUK MEMAKSIMALKAN PERAN BIOTA TANAH Memilih praktik tertentu dalam budidaya tanaman untuk mengaktifkan peran biota dalam meningkatkan produksi tanaman yang maksimal tanpa harus mengurangi kerusakan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : 4. 1. Meningkatkan Kandungan Bahan Organik Bahan organik di dalam tanah selain merupakan sumber energi bagi biota tanah, juga berperan sangat penting dalam memperbaiki kesuburan kimia, fisik, dan biologis tanah. Perbaikan sifat kimia dan biologis tanah terutama diperankan oleh bahan-bahan non-humus (non-humified materials), sedangkan perbaikan sifat fisik tanah diperankan oleh bahan humus. Tersedianya bahan organik dalam tanah berarti pula tersedianya sumber karbon dan energi bagi mikrobiota tanah yang perannya sangat dominan dalam proses perombakan bahan organik (Young dan Ritz, 2000). Penambahan bahan organik dapat berupa bahan organik insitu yang berasal dari seresah tanaman ataupun sisa tanaman sebelumnya, maupun penerapan pupuk kandang, pupuk hijau atau kompos. Banyak hasil penelitan menunjukkan bahwa penambahan bahan organik dapat meningkatkan aktivitas dan biomassa karbon mikroorganisme (Niswati dan Yusnaini, 2008), kandungan nitrogen dan fosfor dalam tanah (Perruci, 1990), aktivitas enzim (Yusnaini et al., 2007), keragaman fungi arbuskular mikoriza (Yusnaini, 2009a), populasi cacing tanah (Yusnaini dan Niswati, 2008) dan mesofauna tanah (Yusnaini et al., 2009) (Gambar 4). Penambahan bahan organik ke dalam tanah selain dapat meningkatkan keanekaragaman biota tanah yang menguntungkan, juga dapat menekan perkembangan patogen akar (Hoitink, 1998).

Mesofauna Tanah (dm-3)250 Colembola Acarina 200 Lain-lain 150 100 50 0 K0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 Perlakuan Pupuk Gambar 4. Jumlah tiap Ordo Mesofauna Tanah akibat perlakuan pupuk organik kotoran ayam (B1), Glyricidium (B2), upuk anorganik (B3) dan kombinasinya (B4= 75% kotoran ayam +25% pupuk inorganik; B5= 50% kotoran ayam+50% pupuk inorganik; B6=75% Glyricidium +25% pupuk inorganik; dan B7= 50% Glyricidium+50% pupuk inorganik) (Yusnaini et al., 2009) 4.2. Pengolahan Tanah Olah tanah merupakan suatu tindakan manipulasi mekanik untuk memperbaiki kondisi tanah bagi pertumbuhan tanaman. Tindakan mekanik untuk memperbaiki sifat fisik tanah melalui pengolahan tanah dalam meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman, sudah biasa digunakan dalam teknik budidaya tanaman sejak ratusan tahun yang lalu. Pada dasarnya olah tanah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan persemaian, pengendalian gulma, dan hama (Clapperton et al., 2003). Tetapi, di samping itu, olah tanah juga dapat merusak struktur tanah, mempercepat dekomposisi dan hilangnya bahan organik, meningkatkan ancaman erosi, merusak habitat biota yang bermanfaat, dan menyebabkan pemadatan tanah. Oleh karena itu sejak dua dekade lampau, sistem olah tanah intensif sudah mulai dikurangi dan beralih ke olah tanah konservasi (olah tanah minimum) dan tanpa olah tanah. Hal ini didukung banyak hasil penelitian yang membandingkan sistem olah tanah intensif dengan olah tanah konservasi menunjukkan bahwa produksi tanaman tidak berkorelasi dengan sitem olah tanah yang diterapkan, tetapi lebih kepada perbaikan kondisi lingkungan tanah yang diciptakan oleh olah tanah tersebut (Carter, 1994; Utomo et al., 2001). Selain itu pengolahan tanah dalam (deep flow) dengan menggunakan alat-alat berat akan berakibat terhadap pemadatan tanah. Pemadatan tanah akan mengurangi jumlah udara, air, dan ruang yang tersedia untuk akar dan biota tanah. Sebagai akibat langsung dari pemadatan tanah, biota tanah dan akar tanaman yang menempati ruang pori tanah, populasinya menjadi berkurang. Penggunaan alat berat dalam pengolahan tanah akan mengurangi relung (niche) bagi microarthropoda tanah, terutama Collembola (Schrader and Lingnau, 1997).

Olah tanah konservasi, merupakan salah satu komponen praktik pertanian konservasi dan dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan olah tanah lengkap. Olah tanah konservasi dan tanpa olah dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi terhadap kandungan bahan organik tanah dan kandungan karbon organik dalam tanah, serta populasi dan keragaman biota tanah (Utomo et al., 1997; Yusnaini et al., 2004) (Tabel 5) Selain itu, sistem olah tanah konservasi secara tidak langsung dapat mengurangi emisi gas CO2 dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil . 4.3. Pengurangan Penggunaan Sumber Hara Kimiawi Efisensi penggunaan unsur hara dapat mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan ke dalam tanah. Hal ini sangat penting untuk keberlanjutan produksi pertanian pada tanah-tanah marjinal. Tanah marjinal didominasi oleh tanah-tanah tua dengan tingkat pelapukan lanjut (ultisol dan oxisol), yang umumnya dicirikan oleh rendahnya kandungan unsur hara dan bahan organik tanah serta bereaksi asam. Pertanian intensif dengan hanya menggunakan pupuk kimia secara terus menerus tidak cukup untuk mendapatkan produksi yang optimal. Penambahan bahan organik yang berkualitas (bahan organik dengan nisbah C/N rendah), misalnya Azolla, Glyricidium, Sesbania, Flemingia, dan Mucuna dapat memperbaiki sifat kimia tanah (Erfandi et al., 2003) sehingga dapat mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan ke dalam tanah (Yusnaini, Anas, dan Sutopo, 1995) dalam meningkatkan produksi tanaman. Selain itu pula pengaktifan simbiosis Rhizobium dengan tanaman kacangan merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi jumlah pupuk nitrogen (Hairiah dan Van Noordwijk, 2009) dan fosfor yang ditambahkan ke dalam tanah (Niswati, 2004). 4.4. Pemanfaatan Pestisida Alami Pemanfaatan pestisida sintetis, selain dapat mengontrol hama dan penyakit tanaman juga dapat menimbulkan masalah baik terhadap manusia maupun terhadap lingkungan. Beberapa spesies mikrobiota tanah telah terbukti dapat berperan sebagai pengendali hayati hama penyakit tanaman. Bakteri Bacillus thruringiensis (Bt), telah ditemukan sejak tahun 1911, tetapi baru dkembangkan pada tahun 1950 an, bermanfaat sebagai pestisida alami untuk mengontrol pertumbuhan lepidoptera, larva koleoptera, maupun diptera (lalat dan nyamuk) (Cranshaw, 2010). Kemampuan Bt sebagai pengendali hama disebabkan oleh protein kristal yang diproduksinya. Apabila Bt termakan oleh serangga, di dalam sistem pencernaan serangga protein kristal akan larut melepaskan protein “  endotoxin” yang akan diaktiviasi oleh enzim protease pada sistem pencernaan serangga. Aktivisi ini mengakibatkan larutnya (lysis) dinding sel serangga, sehingga serangga akan mati (Sarjeet, Elizabeth dan Patricia, 1992). 4.5. Penutupan Tanah Menjaga agar tanah tetap tertutup dapat dilakuan dengan meninggalkan residu tanaman pada permukaan tanah (mulsa) atau dengan menanam tanaman penutup tanah. Tanah yang terbuka, tanpa penutupan berupa vegetasi ataupun mulsa akan sangat rentan terhadap angin dan erosi air, serta pengeringan dan pengerasan tanah. Selain untuk menutup tanah, vegetasi penutup

tanah juga menyediakan bahan organik tambahan secara terus-menerus, baik berasal dari akar tanaman maupun dari akumulasi seresah pada permukaan tanah. Akumulasi seresah pada permukaan tanah akan melindungi tanah dari radiasi sinar matahari, dan tumbukan air hujan sehingga akan menyediakan habitat yang kondusif bagi biota tanah. Penutup tanah yang ditanaman di antara tanaman utama penting untuk memperbaiki aktivitas biota tanah yang berkaitan dengan daur hara tanah (Boyer et al., 1996 ; Dinesh et al., 2003; Yusnaini et al., 2007). Selain itu, penutupan tanah oleh tanaman dapat mengurangi keberadan gulma (Michellon and Perret, 1995), misalnya penutupan tanah dengan Mucuna dapat menekan pertumbuhan alang-alang. Keuntungan lain dari penutupan tanah, terutama tanaman kacang- kacangan (legume cover crop) adalah dapat meningkatan kandungan nitrogen tanah. Sebagai contoh Mucuna dapat menambat nitrogen sebanyak 80-150 kg per hektar per tahun (Buckless et al., 2000). Penanaman tanaman penutup tanah secara merata, atau diantara baris tanaman kopi menggunakan Paspalum conjugatum dapat menurunkan pengaruh buruk dari tumbukan butiran hujan sehingga dapat mengurang erosi pada permukaan tanah (Afandi et al., 2002), memperbaiki ikim mikro tanah sebagai niche bagi biota tanah, meningkatkan populasi cacing tanah (Yusnaini et al., 2006; Ceballos and Fragoso, 2004) dan keanekaragaman fungi arbuscular mikoriza (Nonaka et al., 1999).

4.6. Diversifikasi Pertanaman Diversifikasi tanaman pada permukaan tanah sangat menguntungkan bagi biota tanah karena setiap tanaman menyumbang struktur akar yang unik dan jenis residu yang berbeda ke tanah. Tanaman yang berbeda akan menghasilkan eksudat yang berbeda, yang akan menstimulasi keanekaragaman biota di dalamnya. Pertanaman campuran atau rotasi tanaman dapat meningkatkan keragaman biota yang ada di dalam tanah. Hal ini berkaitan dengan kontribusi dari eksudat akar. Diversifikasi tanaman dalam suatu areal pertanaman dari waktu ke waktu, tidak hanya meningkatkan keragaman tumbuhan, tetapi juga jenis serangga, mikrobiota, mesofauna dan fauna tanah yang hidup di dalam agroekosistem. Selanjutnya keragaman biota tanah dapat membantu mengontrol populasi serangga, dan sistem pertanaman campuran dapat menurunkan pertumbuhan gulma dan menekan serangan hama penyakit bagi tanaman. V. DAMPAK PENGELOLAAN BIOTA TANAH DALAM AGROEKOSISTEM 5.1. Ekonomi Secara ekonomi, pengelolaan agroekosistem secara biologis dengan memanfaatkan secara maksimal peran biota tanah berdampak terhadap efisensi penggunaan hara. Efisiensi penggunaan hara dalam tanah dapat mengurangi biaya penggunaan pupuk kimia. Pengurangan penggunaan pupuk kimia dapat dilakukan apabila dekomposisi bahan organik dan siklus hara di dalam tanah berjalan dengan baik dengan bantuan biota yang ada di dalam tanah. Di samping itu pula dengan aktifnya biota tanah memainkan perannya dalam memperbaiki struktur tanah, terutama cacing tanah, dapat mengakibatkan air dan unsur hara tertahan lebih lama di dalam tanah. Pengaktifan biota tanah yang bersimbiosis dengan akar tanaman dalam meningkatkan ketersediaan dan pelarutan hara di dalam tanah juga dapat mengurangi jumlah pupuk kimia yang ditambahkan ke dalam tanah. Substitusi pupuk kimia oleh pupuk organikpun dapat berakibat terhadap pengurangan biaya yang dibutuhkan. Peran biota tanah tidak hanya terlibat dalam siklus biogeokimia hara, tetapi juga dapat mengontrol penyakit tanaman, sehingga dalam mengurangi jumlah pestisida yang masuk dalam agroekosistem. 5.2. Ketahanan dan Keamanan pangan Mengelola tanah secara biologis dapat mengaktifkan peran biota tanah dalam meningkatkan produksi dan kualitas tanaman pada agroekosistem. Peningkatan produksi dan perbaikan kualitas hasil dilakukan dengan mengontrol penggunaan pestisida untuk menekan serangan hama dan penyakit tanaman. Selain itu, efisiensi. penggunaan hara dapat meminimalisir penggunaan pupuk kimia dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Sistem bertani dengan input kimia rendah dapat meningkatkan aktivitas biota tanah, sehingga produktivitas lahan-lahan pertanian dapat digunakan secara lestari dan sinambung dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi manusia. Di samping itu, dengan meminimalisir penggunaan senyawa kimia baik berupa pupuk maupun pestisida akan mengurangi senyawa ikutan beracun yang tertinggal pada produk-produk pertanian. 5.3. Lingkungan

Pengelolaan biota di dalam agroekosistem akan berdampak terhadap perbaikan kualitas tanah. Melalui peran biota tanah sebagai pendekomposer bahan organik, terlibat langsung dalam siklus hara, dan perbaikan struktur tanah, akan dapat mengurangi pengunaan bahan-bahan kimia dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Di samping itu kelompok mikrobiota tertentu dapat berperan dalam mengkonversi kontaminan yang masuk ke dalam tanah menjadi bahan yang kurang berbahaya atau tidak beracun. Melindungi dan mengaktifkan biota tanah dapat membantu meminimalisir polusi tanah dan kerusakan lahan yang disebabkan oleh senyawa xenobiotik yang masuk ke dalam tanah. VI. PENUTUP Tanah merupakan habitat bagi akar tanaman dan biota tanah yang banyak memberikan kontribusi dalam memelihara produktivitas di dalam agroekosistem. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan produk pertanian tanpa merusak ekosistem tanah, salah satunya dengan mengelola tanah secara bijaksana. Pengelolaan tanah secara bijaksana lebih ditujukan untuk mengoptimalkan keberadaan dan aktivitas biota tanah dalam memperbaiki sifat kimia, dan fisika tanah serta proses-proses biologis yang terjadi di dalam tanah. Kehadiran biota tanah dapat membantu mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mengefisiensikan penggunaan hara, dan peningkatan kualitas lingkungan melalui pengurangan dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan senyawa xenobiotik. Melalui pengelolaan sumberdaya lahan yang arif dan bijakasana, biota tanah dapat diberdayakan secara maksimal sehingga lahan pertanian dapat berproduksi secara lestari dan sinambung. VII. DAFTAR PUSTAKA Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. utomo, M. Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil erosion under coffee trees with different weeds managements in humid tropical hilly area of Lampung, South Sumatra, Indonesia. J. Jpn. Soc. Soil Phys. 91: 3-14. Arif, M. A. S., S. Yusnaini, A.Niswati, A.Setiawan, K.Tuchida, Katau, Taoji, Y.and Nonaka, M. 1999. Population of Arbuscular Mychorrizal Fungsi (AMF) on Different Land Use in Sumatra, Indonesia: Comparison of AMF Spore Numbers In Primary Forest, Secondary Forest, Fields Growing Coffee, and Native Grass. Microb. Environ. 14: 9-17. Ahlgreen, I.F. 1974. The effect of fire on soil organism. In Fire and Ecosystems. T.T. Kozlowski and I.F. Ahlgreen (eds.). Academic Press, New York. pp 47-72. Alexander, M. 1991. Introduction to Soil Microbiology. Krieger Publishing Company. Malabar. Bakosurtanal. 2001. Neraca Sumberdaya Lahan Spasial Nasional. Pusat Survei Sumberdaya Alam Barat. Bakosurtanal. 80 hlm. Boyer, J., R. Michellon, A. Chabanae, G. Reversat, and R. Tibere. 1999. Effect of trefoil cover crop and earthworm inoculation on maize crop and soil organisms in Reunion Island. Biol. Fert. Soil 28: 364-370. Branco, H. and Lal, R. 2008. Principles of Conservation Management.. No Tillage-Farming (Ch.8). Springer Verlag. Netherlands. 195 pp. Buckles, D., B. Triomphe, and G. Sain. 1998. Cover crops in Hillside Agriculture: Farmer Innovation with Mucuna. IDRC/CIMMYT, Otawa. Canada.

Carrol, G.C and D.T.Winclow. 1992. The Fungal Community:Its Organization and Role in the Ecosystem. Marcel Dekker, Inc. New York. Carter, M.R. 1994. Strategies to overcome impediments to adaption of conservation tillage. In : Conservation Tillage in Temperate Agroecosystems. M.R Carter (ed.) CRC Press Inc. USA. pp. 3-19. Ceballos, A.I.O., and C. Fragoso. 2004. Earthworm population under tropical maize cultivation: The effect of mulching with velvetbean. Biol. Fert. Soil: 39- Clapperton, M.J., K.Y. Chan, and F.J. Larney, 2003. Managing the Soil Habitat for Enhanced Biological Fertility. Abbott and D.V. Murphy (eds.). Soil Biological Fertility “ A Key to Sustainable Land Use in Agriculture”. Kluwer Academic Publisher. Netherlands . pp. 81-98. Coleman, D.C., D.A. Crossley Jr., and P.A. Hendrix. 2004. Fundamental of Soil Ecology. Second edition. Elsevier, San Diego. Cranshaw, W.S. 2010. Bacillus thuringiensis. http://www.ext.colostate.edu/publs/insect/05556.html. Diakses tanggal 29 September 2010. Dinesh, R., M.A. Suryanaarayana, and S.C. Sheeja. 2004. Long-term influence of leguminous cover crop on the biochemical properties of sandy clay loam fluventic sulfacuent in a humid tropical region in India. Soil Till. Res. 77:69-77. Sarjeet, S.G., A.C. Elizabeth, and V.P. Patricia. 1992. The mode of action of Bacillus thuringiensis endotoxins. Ann. Rev. Ent. 37:615-634. Erfandi, D., U. Kurnia, dan I. Juarsah. 2003. Pemanfaatan bahan organik dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah ultisols. Pros. Sem. Nas. Pendayagunaan Tanah Masam. PUSLITANAK. Hal 77-86. Erenstein, O. 2003. Smallholder conservation farming in the tropics and sub-tropics: a guide to the development and dissemination of mulching with crop residues and cover crops. Agric. Ecos. Environ. 100: 17-37. Garcia-Torres, L. 2002. Summary of the Workshop on Soil Protection and Sustainable Agriculture organized by the EU Commission DG Environment and the DG Environmental Quality of the Spanish Ministry of Environment (Soria, Spain). Hairiah, K and M. van Noordwijik,. 2009. Managing of soil organic matter in agroforestry system for healthy farming. Proc. Development of Integrated Pest Management in Asia and Africa. University of Lampung. pp. 193-207. Hoitink, H.A.J.1998. Basis for the control of soil borne plant pathogens with compost. Annu. Rev. Phytopathol. 24: 93-114. Jastrow, J.D., and R.M. Miller. 2000. Mycorrhizal Fungi Influence Soil Structure. Y. Kapulnik and D.D. Douds, Jr. (eds.) Arbuscular Mycorrhias : Physiology and Function. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht/Boston/London, pp 3-18. Ketterings, Q.M., J.M. Blair, and J.C.Y. Marinissen. 1997. Effect of earthworms on soil aggregate stability and carbon and nitrogen storage in legume cover crop agroecosystem. Soil Biol. Biochem. 29: 401-408 Lynch J.M. and J.M. Whipps. 1990. Substrate flow in the rhizophere. Plant Soil 129: 1-10. Marschner, P. and Z. Rengel 2003. Contribution of Rhizosphere Interaction to Soil Biological Fertility. L.K. Abbott and D.V. Murphy (eds.). Soil Biological Fertility “ A Key to Sustainable Land Use in Agriculture. Kluwer Academic Publisher. Netherlands, pp 81-98.

Marschner P , C.H. Yang, R. Lieberei, and D.E. Crowley 2001. Soil and plant species effects on bacterial community composition in the rhizosphere. Soil Biol. Biochem. 30: 1437-1445. Miller, R.M. and J.D. Jastrow. 2000. Mycorrhizal fungi influence in soil structure. In Arbuscular Mycorrhizas: Physiology and Function. Y. Kapulnik and D.D Douds Jr. (eds.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, Netherlands, pp. 3-18. Metting, F.B. 1993. Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker, Inc. New York. 590 pp. Niswati, A. dan S. Yusnaini. 2008. Perubahan biomassa karbon mikroorganisme tanah dan produksi jagung akibat pemberian pupuk organik dan pupuk kimia. J. Penel. Pert. Terapan, 8 (3):122- 128. Niswati,A., Dermiyati, dan S. Yusnaini. 2008. Populasi mikroroganisme pelarut fosfat dan P- tersedia pada rhizosfir beberapa umur dan jarak dari pusat perakaran tanaman jagung (Zea mays L.). J. Tanah Trop. 13(2):123-129. Niswati, A., S. Yusnaini, M. Utomo, H.A. Asnuri, and A.I. Wirawan. 1997. Long-term conservation tillage effects on mesofauna and mycorrhizal density in Lampung. International Workshop on Biological Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in the Humid Tropics. Brawijaya University. Malang. pp 63-65. Niswati, A. 2004. Kandungan nitrogen dan fosfor pada kedelai yang di inokulasi Rhizobium dan Mikoriza pada berbagai dosis TSP di tanah Ultisol. J. Tanah Trop. 10 (1): 14-54. Nonaka, M., K. Tuchida, M.A.S. Arif, S. Yusnaini, and A. Niswati. 1999. Effect of Indigenous arbuscular mycorrhizae fungsi (AMF) on the growth of coffee. Proceeding of International Symposium “Can Biological Production Harmonize With Environment? Reports from Research Sites in Asia”. Japan October 19- 20 ,1999. pp. 243-246. Odum, E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Paul E.A and F.E. Clark 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. New York USA. Schrader, S. and M. Lingnau. 1997. Influence of soil tillage and soil compaction on microarthropods in agricultural land. Pedobiologia, 41: 202-209. Syam, T., H. Nishide,. A.K. Salam,. M. Utomo, A.K Mahi,. J. Lumbanraja, S.G Nugroho, and M. Kimura. 1997: Land use change in a hilly area of south Sumatra, Indonesia (from 1970 to 1990). Soil Sci. Plant Nutr. 43 (3) : 587-599. Utomo, M., I.S. Banuwa, A. Niswati, S. Yusnaini, H.A. Asnuri, and I.G.M. Suase. 1997. Long-term conservation tillage effects on earthworm and soil agregates. International Workshop on Biological Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in the Humid Tropics. Brawijaya University. Malang, pp. 26-28. Utomo, M, F.X.susilo, D.R.J. Sembodo, R.H. Ismono, K. Setiawan, I.G. Swibawe, and S. Yusnaini. 2003. Weed, Mycorrhizae, and Economics of Round Up Ready Hybrid Corn (Zea mays) grown under conservation versus full tillage systems in Lampung, Indonesia. Proc. Nineteenth

Asian_Pasific Weed Science Society Conference “ Weed Science, Agricultural Sustainability and GMOS”. Manila, Philipines . pp. 529-535. Wright, S.F., and A. Upadhyaya. 1998. A Survey of soils for aggregate stability and glomalin, a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil, 198: 97-107. Young, L.Y., and C.E. Cerniglia .1995. Microbial transformation and degradation of toxic organic chemicals. Wiley-Liss, New York. Young, I.M., and K. Ritz. 2000. Tillage, habitat space and function of soil microbes. Soil Till. Res. 53: 201-213. Yusnaini, S. 2009a. Pengaruh pembukaan hutan dengan cara tebas bakar terhadap jumlah dan keragaman mikoriza vesicular arbuskular di daerah berlereng Sumberjaya Lampung Barat. Sem. Nas. Agroforestri sebagai pemanfaatan lahan berkelanjutan di masa depan. Bandarlampung 7 mei 2009. pp. 124-131. Yusnaini, S. 2009b . Keberadaan mikoriza vesicular arbuskular pada pertanaman jagung yang diberi pupuk organik dan inorganik jangka panjang. J. Tanah Trop. 14(3):253-260. Yusnaini, S. 2009c. Vermicomposting of Biodegradable Organic wastes Using Esenia fetida and Lumbricus rubellus. Proc.Int.Conf. for Development of IPM in Asia and Africa. Bandarlampung 7-9 Desember 2009, pp. 298-302 Yusnaini, S., A. Niswati dan Dermiyati. 2010. Populasi dan Keragaman Mesofauana Tanah pada Pertanaman Jagung yang diberi pupuk Organik dan Inorganik Jangka Panjang. Abstrak. Sem. Nas. Keragaman Hayati Tanah 1. Bandar Lampung, 7-8 Juli 2010. Yusnaini, S dan A. Niswati. 2008. Populasi cacing tanah pada pertanaman jagung diberi pupuk organik dan inorganik jangka panjang. J. Penel. Pert. Terapan, 8 (3):109-115. Yusnaini, S., M.A.S. arif, M.Utomo, and A. Niswati. 2004. Effect of long term conservation tillage and nitrogen fertilization on soil mesofauna and earthworm. Proced. of Conservation and Sustainability Management of Below Ground Biodiversity (BGBD) in Indonesia. Bogor, pp.19- 25. Yusnaini, S, A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The changes of earthworm population and chemical properties of tropical soils under different land use systems. J. Trop. Soil. 13(2):131-137. Yusnaini, S., ,M.A.S. arif, S.G. Nugroho, A.K. Salam and M. Nonaka. 2007. Activities of Soil enzyme in corn field enriched with manure. J. ISSAAS. 13(1): 18-25. Yusnaini, S., S. G. Nugroho, A. Niswati, Afandi, S. Matsumoto, and M. Nonaka. 2006. Effect of plant cover management on earthworm activities in hilly coffee plantation of Sumberjaya, South Sumatra, Indonesia. J. Trop.Soil, 12 (2): 151-158. Yusnaini, S., S.G Nugroho, Sudarsono dan I. Anas. 1995. Peranan Azolla dalam mensubstitusi kebutuhan N anorganik pada padi sawah Var. IR 64. J. Tanah Trop. 1(1): 32-37.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook