Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Prof Nikmah

Prof Nikmah

Published by wisataonline, 2021-09-02 01:02:27

Description: 62 Prof Nikmah

Search

Read the Text Version

Oleh Nikmah Rosidah PIDATO PENGUKUHAN Disampaikan pada Sidang Senat Penerimaan Jabatan Profesor/Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung 18 Maret 2020 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2020 Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | i

ii | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | iii

iv | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Pertama-tama perkenankan saya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan sekaligus amanah kepada saya untuk mengemban jabatan mulia sebagai guru besar bidang hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Alhamdulillahirobilalamin,segalapujibagiAllah Swt dimanaatas rahmat, nikmat, petunjukdan ridho-Nya Pidato PengukuhanProfesor/GuruBesar denganjudul “Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia” ini dapat disusun dengan baik. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi sebelumnya. Sebagai generasi penerus bangsa, maka sudah sepatutnya anak mendapatkan perhatian khusus dari orangtua, masyarakat dan negara. Dahulu tindak pidana cenderung dilakukan oleh orang dewasa. Namun akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan berbagai tindakan anak yang memenuhi unsur pidana. Perlu digaris bawahi bahwa setiap tindakan anak dipengaruhi oleh faktor diluar dirinya yang menyebabkan keresahan jiwa sehingga mendorong anak melakukan tindakan-tindakan negatif bahkan memenuhi unsur pidana. Anak sebagai pelaku juga sebagai korban tindak pidana.Berkaitan dengan hal itu, diperlukan sarana hukum yang mampu mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Sarana hukum ini diperlukan untuk menghindarkan anak dari stigma buruk peradilan pidana, dimana setiap orang yang masuk dalam proses sistem peradilan pidana identik dengan pejahat. Namun tidak demikian dengan anak pelaku tindak pidana, dalam menangani perkara pidana anak perlu memperhatikan kondisi khas anak yang berbeda dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | v

yang labil, anak sebagai aset bangsa, dan anak mempunyai potensi. Salah satu solusi untuk menghindarkan anak dari stigma buruk sistem peradilan pidana, yakni memberikan alternatif penyelesaian perkara pidana anak dengan pendekatan kepentingan terbaik bagi anak yang dikenal dengan pendekatan restoratif justice (keadilan restoratif). Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak khusunya kepada pimpanan Universitas Lampung dan pimpinan Fakultas Hukum serta pihak terkait yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah berpartisipasi sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku pidato pengukuhan guru besar ini. Bandar Lampung, 18 Maret 2020 Penulis Prof. Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. NIP 195501061980032001 vi | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Kata Pengantar........................................................................................ iii Daftar Isi .................................................................................................... v A. Pendahuluan........................................................................................ 1 B. Konsep Restoratif Justice .................................................................. 9 C. Diversi Sebagai Wujud Restoratif Justice Dalam Penyelesaian 23 Perkara Anak Di Indonesia ............................................................... 56 D. Penutup ................................................................................................ Daftar Pustaka.......................................................................................... 64 Riwayat Hidup .......................................................................................... 67 Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | vii

viii | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Oleh Nikmah Rosidah Bismilahirrahmanirrahim Yang Terhormat Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia, Yang Terhormat Bapak/Ibu Ketua dan para anggota Senat Universitas Lampung, Yang Terhormat Bapak Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Lampung, Yang Terhormat Bapak Gubernur Lampung atau yang mewakili, Yang Terhormat Bapak Walikota Bandar Lampung atau yang mewakili, Yang Terhormat Bapak/Ibu Dekan Fakultas Hukum dari berbagai Universitas yang tergabung dalam Badan Kerjasama Wilayah Indonesia bagian Barat (BKS-Barat), mohon maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Yang Terhormat Bapak/Ibu Rektor dan Dekan Fakultas Hukum dari berbagai Universitas di Provinsi Lampung, mohon maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Yang Terhormat Bapak/Ibu para Profesor/Guru Besar dari berbagai fakultas hukum di Indonesia, mohon maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Yang Terhormat Bapak/Ibu para Undangan dari berbagai dinas dan instansi di Provinsi Lampung mohon maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Yang Terhormat Bapak/Ibu para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Lampung. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 1

Yang Terhormat para Profesor/Guru Besar dan seluruh Dosen serta Tenaga Kependidikan di lingkungan Universitas Lampung. Yang Terhormat para Alumni dan para mahasiswa Program Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Lampung. Yang Terhormat Ibu-Ibu Pengurus Dharma Wanita Persatuan Universitas Lampung. Yang Terhormat para hadirin dan tamu undangan. Assalamu’ alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas hidayah, taufiq serta seizinNya sehingga saya dapat menyampaikan Pidato Pengukuhan Profesor/Guru Besar di bidang Hukum Pidana dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Lampung. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW semoga kita mendapat safa’atnya di hari akhir nanti, amin ya robal alamin. Ketua Senat, Rektor beserta jajaran dan Hadirin yang saya hormati 2 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

A. Pendahuluan Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak, anak yang memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Menurut Maidin Gultom setiap anak harus mendapatkan pembinaan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter.1 Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi 1 Maidin Gultom. 2008.Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung:Refika Aditama. hlm.27. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 1

yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak pidana.2 Permasalahan terkait anak selalu menjadi perbincangan. Masalah anak nakal (delinkuen) merupakan persoalan yang cukup kompleks dalam penanggulangannya, padahal delinkuensi anak dari waktu ke waktu terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan itu dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang terlibat dalam kejahatan narkoba, perkelahian pelajar, pencurian dan kejahatan-kejahatan lainnya.Anak sebagai pelaku tindak pidana disebut dengan anak yang delinkuen ataudalam hukum pidana dikatakan sebagai juvenile delinquency. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak dibawah umur 18 Tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak.3 Anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan suatu permasalahan yang krusial. Karena anak sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa pada diri seorang anak terdapat kecenderungan jiwa yang labil. Kecenderungan ini dalam aplikasinya seringkali diwujudkan dalam perilaku kritis, agresif atau bahkan menunjukkan sikap yang anti sosial. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, khususnya keluarga dan lingkungan sekitarnya.4Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (sarana penal) telah dilakukan, tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan, bahkan timbul persoalan dimana pelaku-pelaku kejahatan anak yang dijatuhi pidana mengulangi lagi kejahatan-kejahatannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sejak tahun 2011 hingga 2019 KPAI menerima laporan kasus anak yang 2 M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999.Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 22. 3Romli Atmasasmita. 1983. Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung: Armico. Hlm. 40. 44Nikmah Rosidah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak Di Indonesia (Sebuah Pendekatan Hukum Progresif).Semarang: Pustaka Magister. Hlm. 4. 2 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

berhadapan dengan hukum sebanyak 11.492 kasus.5Pada tahun 2018 kasus anak berhadapan dengan hukum menduduki urutan pertama yaitu mencapai 1.434 kasus. Total anak binaan pada tahun 2018 sebanyak 3.200 orang di seluruh Indonesia.6Data tersebut memperbarui laporan UNICEF yang menyatakan sekitar 4.325 anak- anak ditangkap dan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia, sebagian dari mereka (84%) ditahan bersama-sama orang dewasa. Sebagai tambahan, 9.440 anak-anak ditangkap dan menantikan sidang Pengadilan ditempatkan di dalam Rumah Tahanan Negara. Sebagian besar dari anak yang bermasalah dengan hukum 84%-90% dikirim ke Pengadilan dan ke penjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan sangat memprihatinkan karena minimnya akses pada pendidikan, kesehatan dan fasilitas bagi anak yang bermasalah dengan hukum pada saat mengisi waktu senggang.7 Dewasa ini, sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.8Indonesia telah memiliki aturan khusus tentang perlindungan anak yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sungguhpun kita telah memiliki seperangkat aturan yang baik namun masih dirasa kurang efektif dalammenyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. 5M. Reza Sulaiman. https://www.suara.com/health/2019/07/23/071000/anak-berhadapan- dengan-hukum-potret-buram-perlindungan-anak-di-indonesia?page=all. Diakses pada tanggal 4 November 2019 Pukul 21:31 WIB. 6Astri,Muthia,Rezky.https://kbr.id/nasional/012019/kasus_anak_terjerat_hukum_meningkat__ini _yang_harus_dilakukan/98656.html. Diakses pada tanggal 4 November 2019 Pukul 21:35 WIB. 7Laporan Tim Need Assesment di Lapas dan Rutan 2011. 8 Nandang Sambas. 2010. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia.Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 25. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 3

Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU No. 11 Tahun 2012 pada Pasal 1 angka 3, yaitu anak anak yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Tindak pidana yang dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lainnya, namun bukan berarti dapat disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang ditimbulkan olehnya.9Dewasa ini anak pelaku tindak pidana seakan akrab di telinga masyarakat melalui berbagai pemberitaan baik media cetak maupun media elektronik. Data Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung menunjukan sejak tahun 2015 hingga tahun 2018, terdapat 22.730 perkara pidana khusus anak pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi sebagaimana grafik di bawah ini: 6018 4585 2015 6388 5740 2016 2017 2018 Grafik 1.Jumlah perkara anak pada Pegadilan Tinggi 2015-2018 Sumber: Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung 9Rahmaeni Zebua. 2014. Analisis Diversi dan Restoratif Justice Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Medan: FH USU. Hlm. 2. 4 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Berdasarkan catatan KPAI pada tahun 2015, terdapat 1065 kasus anak berhadap dengan hukum sebagaimana grafik berikut ini: Anak korban bunuh diri 50 100 150 200 250 Anak korban penculikan Anak korban laka lantas Anak korban pembunuhan Anak korban kekerasan psikis Anak pelaku aborsi Anak pelaku kepemilikan sajam Anak pelaku pencurian Anak pelaku kekerasan seksual Anak pelaku kekerasan fisik 0 Grafik 2. Data anak berhadapan dengan hukum 2015 Sumber: kpai.go.id Selanjutnya berdasarkan catatan KPAI, pada Tahun 2018 jumlah anak pelaku tindak pidana mencapai 3.048. Provinsi Lampung sendiri merupakan salah satu daerah dengan tingkat kekerasan anak yang cukup tinggi. Pada Tahun 2019 tercatat 75 orang (24,27%) anak pelaku kekerasan di Pronvinsi Lampung. Sedangkan kekerasan yang dialami anak di Provinsi Lampung sendiri didominasi oleh kekerasan seksual, sebagaimana grafik berikut ini: Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 5

250 232 200 150 100 69 48 50 0 4 7 6 21 Grafik 3. Anak korban kekerasan menurut jenis kekerasan di Provinsi Lampung 2019 Anak merupakan subjek hukum dan aset bangsa yang sudah seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang berpotensi turut berperan dalam pembangunan nasional. Namun kepentingan terbaik bagi anak nampaknya hanya sebatas slogan saja, faktanya sistem peradilan pidana anak selama ini belum sepenuhnya berhasil memberikan perlindungan, pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana cenderung pada pembalasan. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukun dan HAM RI, pada tahun 2019 terdapat 2.756 anak pidana yang berada di 33 Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, sebagaimana tabel berikut: No KANWIL Jumlah Anak Pidana 1 KANWIL Aceh 49 2 KANWIL Bali 27 3 KANWIL Bangka Belitung 32 4 KANWIL Banten 174 5 KANWIL Bengkulu 89 6 KANWIL DIY 18 7 KANWIL DKI Jakarta 30 8 KANWIL Gorontolo 2 9 KANWIL Jambi 68 10 KANWIL Jawa Barat 263 11 KANWIL Jawa Tengah 88 6 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

12 KANWIL Jawa Timur 311 13 KANWIL Kalimantan Barat 70 14 KANWIL Kalimantan Selatan 65 15 KANWIL Kalimantan Tengah 21 16 KANWIL Kalimantan Timur 126 17 KANWIL Kepulauan Riau 48 18 KANWIL Lampung 218 19 KANWIL Maluku 18 20 KANWIL Maluku Utara 11 21 KANWIL Nusa Tenggara Barat 41 22 KANWIL Nusa Tenggara Timur 61 23 KANWIL Papua 16 24 KANWIL Papua Barat 3 25 KANWIL Riau 179 26 KANWIL Sulawesi Barat 14 27 KANWIL Sulawesi Selatan 175 28 KANWIL Sulawesi Tengah 12 29 KANWIL Sulawesi Tenggara 57 30 KANWIL Sulawesi Utara 21 31 KANWIL Sumatera Barat 84 32 KANWIL Sumatera Selatan 173 33 KANWIL Sumatera Utara 192 Jumlah 2.756 Tabel 1. Anak pidana pada 33 KANWIL KEMENKUMHAM tahun 2019 Lahirnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menghadirkan konsep restorative justice yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara pidana. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Restorative Justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi dimulai dari korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 7

penegak hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat menyelesaikan konflik (Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun). Restorative justice merupakan proses diversi yang bertujuan untuk pemulihan bukan untuk pembalasan, namun sistem retributif masih sangat kental digunakan oleh aparat penegak hukum.10 Selanjutnya 80%perkara yang diperiksa di sidang, tuntutan yang diajukan oleh Jaksa masih didominasidengan tuntutan berupa pidana penjara yang dikenakan terhadap 268 Anak.11 Hal inimenunjukkan masih tingginya kecenderungan Jaksa menggunakan pidana penjaradibandingkan dengan pidana alternatif lain, meskipun pidana alternatif lain sebenarnyadimungkinkan untuk dijatuhkan. Implikasi dari tingginya angka penuntutan pidanapenjara adalah tingginya pula angka penjatuhan pidana penjara terhadap Anak. Jenis Tuntutan Dalam Perkara Anak 2% 17% Pidana dengan syarat 1% Pelatihan kerja 80% Pembinaan dalam lembaga Penjara Grafik 4. Jenis tuntutan dalam perkara anak Sumber: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) 2019. Melihat kenyataan yang ada, penyelesaian kasus yang dilakukan olehanak masih sama dengan orang dewasa yaitu melalui proses peradilan. Hasilnya akan memberikan cap terhadapanak sebagai narapidana yang dikhawatirkan dengan keadaan tersebut akan memberikan dampak negatif yang dapat mempengaruhi mental dan jiwa sianak. Dan tujuan pemidanaan untuk memanusiakan 10Ayu Eza Tiara dan M. Retza Biliansyah.Potret Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Kepolisian (2013-2016). Jakarta: LBH Jakarta. Hlm. 76. 11 Genoveva Alicia K.S. Maya Erasmus A.T. Napitupulu. Anak dalam Ancaman Penjara: Potret Pelaksanaan UU SPPA 2018 (Riset putusan peradilan Anak se-DKI Jakarta 2018).2019. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Hlm. 15. 8 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

manusia tidak akan tercapai lagi karena prosedur dan cara yang kurang tepat penggunaannya. Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifatdasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Solusinya adalah Restorative justice. Restorative justice merupakan terobosan baru dalam penyelesaian perkara anak di Indonesia, mengingat berbagai dampak atau pengaruh negatif, sebagai akibat diperhadapkannya anak dengan proses peradilan pidana formal tersebut, merupakan pelanggaran atas hak-hak dasar/ asasi anak. Pelanggaran hak asasi anak inipun terjadi, sejak dimulainya proses peradilan terhadap dirinya (anak). Anak tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan menyimpangnya, namun tanpa harus dilanggar hak- haknya.12 Ketua Senat, Rektor beserta jajaran dan Hadirin yang saya hormati B. Konsep Restoratif Justice Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan masalah tindak pidana. Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif 12Beniharmoni Harefa. “Diversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Hukum, 3 (3). (2004). Hlm. 2. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 9

terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.13 Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.14 Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu Victim Offender Mediation (VOM), Family Group Conferencing (FGC), Circles, Restorative Board.15 13 Albert Eglash. 1977. Beyonde Restitution: Creative Restitution. Lexington: Massachusset-USA. hlm 95. yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk. 2013.Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif. 14Ibid. Hlm. 30. 15Marlina.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: Refika Aditama.Hlm. 181. 10 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Konvensi negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Restoratif justice (keadilan restoratif) merupakan alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.16Keadilan restoratif atau restorative justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecah-kan masalah, dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan.17Restoratif justice (keadilan restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.18Ukuran keadilan menurut konsep restoratif justice tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku, namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.19 Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasilanya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah 16Nikmah Rosidah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak Di Indonesia (Sebuah Pendekatan Hukum Progresif).Semarang: Pustaka Magister. Hlm. 103. 17Apong Herlina. “Restoratif Justice”. Jurnal Kriminologi Indonesia.” 3 (3). (2004). Hlm. 19. 18Nikmah Rosidah. Ibid. 19Marlina. 2007. Peradilan Anak Indonesia. Bandung: Pustaka Abadi. Hlm. 91. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 11

akan mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. Konsep restoratif justice telah membawa pergeseran paradigma keadilan dalam hukum pidana, khususnya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Pemidanaan yang mulanya menekankan pada pembalasan (retributive), kini berubah ke arah perbaikan (restoratif). Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia saat ini. Masyarakat internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum. Sistem peradilan anak yang dahulu berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutif (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi), hanya memberikan wewenang kepada negara yang di delegasikan kepada aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Pelaku anak dan korbannya sedikit sekali di berikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara kepada pelaku. Karena itu tidak heran apabila tindak kriminal yang dilakukan anak semakin meningkat. Karena di penjara mereka justruh mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Menurut Jim Considene, salah satu pelopor restoratif justice mengemukan bahwa keadilan retributive dan restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan pengrusakan harus digantikan dengan restoratif justice (keadilan restoratif), yang berdasarkan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, dan pengampunan.20 Dasar hukum Restorative Justice terdapat pada Pasal 24 ayat (1) KovenanHak-Hak Sipil dan Politik menentukan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perrlindungan, karena statusnya sebagai anak di bawah umur 20Nikmah Rosidah. Ibid. Hlm 104. 12 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

seharusnya dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi Hakim untuk menghentikan perkara anak. Putusan demikian sah diberikan karena Hakim diberikan kebebasan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Beijing Rules Butir 11.1 menetapkan pengalihan proses hukum formal ke jalur penyelesaian nonformal melalui penerapan model restorative justice dalam menangani perkara anak, dapat dilakukan oleh Hakim. Restorative justice dapat dijadikan rujukan bagi Hakim untuk menyelesaikan perkara anak. Beijing rulesmemberikan perlindungan maksimal kepada masa depan anak karena mengandung asas-asas: 1. Kepentingan terbaik bagi anak adalah prioritas. 2. Peradilan pidana sebisa mungkin dihindarkan. 3. Segala bentuk intervensi seminimal mungkin dilakukan. 4. Polisi, Jaksa, Hakim dan Aparat penegak hukum lainnya sebisa mungkinmenggunakan kebijakan/diskresi dalam menangani perkara anak. 5. Kriminalisasi dan penghukuman anak harus dihindarkan kecuali terjadikerusakan yang serius terhadap anak atau orang lain. 6. Bantuan hukum harus segera diberikan tanpa biaya. Indonesia telah mengadopsi konsep restorative justiceke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang biasa disebut diversi. Namun dasar hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan diversi dan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, baik dalam peraturan perundang-undangan internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional, antara lain adalah : 1) Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak); 2) The United Nations standard Minimum Rules Of The Administration Of Juvenille Justice (The Beijing Rules); Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 13

3) The United Nations Rules Of The rotection of Juvenille Deprived Of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya); 4) The United Nations Guidelines For The Oervention Of Juvenille Deliquency (The Riyadh Guidelines); 5) International Convenant On Civil and Political Rights (Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik); 6) Undang-Undang Dasar 1945; 7) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 8) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 9) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 10) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 11) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia; 12) Telegram Rahasian (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi bagi Kepolisian; 13) Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No : SE- 002/j.a/1989 tentan Penuntutan Terhadap Anak. Konsep restoratif justice dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dinyatakan dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan keadilan restoratif wajib diupayakan pada setiap tingkat pemeriksaan di mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Dalam konsep restoratif justice, penyelesaian konflik di dasarkan atas partisipasi masyarakat. Kasus yang melibatkan anak tidak selalu di proses secara hukum, cukup diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi dampak pada anak yang berkonflik dengan hukum yang kadang lebih buruk dari pelaku kriminalnya. Menurut Rika Saraswati, pada prinsipnya restorative justice mengakui 3 pemangku kepentingan (stake holders) yaitu korban, 14 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

pelaku, dan komunitas dalam menentukanpenyelesaian perkara anak. Melalui restorative justice, maka ada upayauntuk mempertemukan korban dan pelaku dalam rangka mengupayakanpemulihan bagi korban. Di sisi lain, pelaku dibebani kewajiban untukmempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban dan komunitasserta bertanggungjawab untuk mengakui kejahatannya dan jika mungkin,memulihkan penderitaan korban.21 Pendekatan restorative justice ini sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Pasal 40 ayat (1) KHA yang menentukan bahwa “Negara-negara pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai denganpeningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadsap hak asasi manusia dan kebebasan dari orang-orang lain dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengembalian anak pada peran konstruktif dalam masyarakat”. Restorative justice adalah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Selain itu, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berpikir yang dapan digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justicemakna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah Negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya 21Rika Saraswati. 2009. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 125. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 15

hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut. Tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal,mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyarawarahpun bekerja dalam masyarakat. Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan- keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.22 Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (forma dan materiil) saja. Restorative justice harus juga di amati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.23 Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep restorative justice. Dalam tulisannya, Bagir Manan menguraikan substansi restorative justice, yaitu membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat sebagai stakeholders yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua 22Lilik Purwastuti Yudaningsih. “Penanganan Perkara Anak Melalui Restoratif Justice.” Jurnal Ilmu Hukum. (2014). Hlm. 69-70. 23Bagir Manan. 2008. Restoratif Justice (Suatu Perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran Dalam Dekade Terakhir. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI. Hlm. 8. 16 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

pihak (win-win solutions). Konsep restorative justice (keadilan restoratif) sebenarnya telah lama di praktekkan oleh masyarakat adat di Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila terjadi tindak pidana oleh seseorang (termasuk anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan keinsyafan dan pemaafan. Restorative justice dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Mediasi penal dalam hukum pidana mempunyai tujuan mulia pada penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalam masyarakat. Secara konseptual, dikatakan oleh Stefanie Trankle dalam Barda Nawawi Arief: Mediasi penal yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut: a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbearbeitung) Tugasmediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum danmendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkanpada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflikitulah yang dituju oleh proses mediasi. b. Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung) Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dsb. c. Proses informal (Informal Proceeding/Informalitat) Mediasi penalmerupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindariprosedur hukum yang ketat. d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and autonomousparticipation/Parteiautonomie/Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebihsebagai subjek yang Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 17

mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuanuntuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.24 Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum restorative justice (keadilan restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum. Dalam mediasi penal maupun dalam restorative justicemengedepankan konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal utama dalam penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui dalam model penyelenggaraan restorative justice, sebagaimana dikatakan oleh DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur: a. Victim Offender Mediation (VOM: Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dankorban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator dalampertemuan tersebut; b. Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalambentuk ini terdapat perbedaan, yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanyamelibatkan pelaku dan mkorban langsung (primary victim), tetapi jugakorban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekatkorban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alas an pelibatan parapihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena dampak baik langsungmaupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau mereka memilikikepedulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah sertamereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan prosesdan tujuan akhirnya. c. Circles yaitu suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannyapaling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yangbukan hanya korban, pelaku, 24Barda Nawawi Arief. 2009. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister. Hlm. 21. 18 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

keluarga atau mediator saja tapi juga anggotamasyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut. 25 Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restorative justice tersebut pada dasarnya merupakan bentuk- bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari nilai dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat.Perkara-perkara pidana yang dapat diselesaikan diluar pengadilan melalui mediasi penal adalah sebagai berikut: 1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk katagori delik aduan, baikaduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relative. 2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancamanpidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP). 3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk katagori “pelanggaran”, bukan“kejahatan” yang hanya diancam dengan pidana denda. 4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana dibidang hukumadministrasi yang menempatka sanksi pidana sebagai ultimum remedium. 5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk katagori ringan/serba ringandan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukandiskresi. 6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan dan tidak diproses kepengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yangdimilikinya. 7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk katagori pelanggaran hukumpidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat. Penyelesaian perkara pidana anak yang berorientasi pada kepentingan pelaku sebagaimana menjadi tujuan pendekatan 25 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur. 2011. Mediasi Penal : Penerapan Restoratif Justice Di Pengadilan Anak Di Indonesia. Bandung: Indi Publishing. Hlm. 9. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 19

restorative justice, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat yang melekat pada dirinya. Restorative justice merupakan upaya untuk memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan martabatnya. Adapun syarat syarat-syarat restorative justice sebagai berikut: 1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku. 2. Persetujuan dari pihak korban/keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan pelaku. 3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. 4. Kualifikasi tindak pidana ringan dan pelaku belum pernah di hukum.26 Susan Sharpe mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice, yaitu : 1. Restorative justice invites full participation and consensus. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibnnya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memcah persoalan tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku akan diikutkan, apabila tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional; 2. Restorative justice seeks to heat what is broken. Restorative Justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulian korban atas tindak pidana yang menimpanya. Namun pelaku juga membutuhkan penyembuhan, 26Nikmah Rosidah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak Di Indonesia. Semarang: Pustakan Magister. Hlm. 107. 20 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan mereka dan ketakutan. 3. Restorative justice seeks full and direct accountability. Restorative Justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided. Restorative Justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mengingtegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depannya yang lebih cerah. 5. Restorative justice seeks to sterghten the community in order to prevent futher harms. Restorative Justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenanrnya bagi semua orang. 27 Peradilan pidana anak dengan restorative justice bertujuan untuk : a. Mengupayakan perdamaian antara korban dan pelaku; b. Mengutamakan proses penyelesaian di luar peradilan; c. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; d. Menanamkan rasa tanggung jawab anak; e. Mewujudkan kesejahteraan anak; f. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; g. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; h. Menghindari stigma negatif; 27 Marlina. 2011.Hukum Penitensier. Bandung: Refika Aditama.Hlm. 74. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 21

i. Meningkatkan keterampilan hidup anak.28 Perkembangan komposisi hasil pendampingan terhadappenyelesaian ABH selama tahun 2017-2018, penyelesaian perkara ABH telah dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya penyelesaian ABH melalui diversi dibanding penyelesaian lainnya, sebagaiman gambar berikut ini: Gambar 1. Perkembangan komposisi hasil pendampingan anak berkonflik dengan hukum Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali kepada kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan keputusan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip the best interest of the children. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa peradilan anak juga belum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya seperti yang diharapkan baik untuk kesejahteraan anak atau untuk melindungi kepentingan anak, dalam prakteknya cenderung membekaskan stigma atas diri anak. proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan hingga ditempat pembinaan. 28 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM. 2009.Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak. Jakarta. 22 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Stigma tersebut yaitu adanya ketentuan bagi narapidana anak keharusan untuk dibina dan dimasukkan kepada lembaga pemasyarakatan, pengaruh buruk proses peradilan pidana anak dapat berupa: 1) Trauma akibat perlakuan aparat penegak hukum pada setiap tahapan 2) Stigma atau cap jahat pada diri sipelaku sehingga anak tersebut selalu dikhawatirkan akan berbuat jahat; 3) Anak dikeluarkan dari sekolah. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan restorative justice membawa dampak yang positif terhadap penanganan perkara anak, adanya pemisahan dan pengaturan yang tegas tentang anak yang berhadapan dengan hukum yang meliputi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi saksi tindak pidana. Penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum selama ini proses penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak penyelesaian perkara anak dapat diselesaiakan di luarPeradilan menggunakan pendekatan restorative justice yang mengutamakan pemulihan keadaan dari pada pembalasan dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak demi kesejahteraannya. Ketua Senat, Rektor beserta jajaran dan Hadirin yang saya hormati C. Diversi Sebagai Wujud Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia Perlindungan anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus dilakukan olehseluruh unsur negara kita. Bentuk-bentuk perlindungan anak ini pun dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat melalui peraturan-peraturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara. Namun dalam perjalanan panjangnya, hingga saat ini apa yang diamanatkan dalam undang- Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 23

undang tersebut terkendala dengan sarana dan prasarana yang disediakan oleh Pemerintah. Misalnya penjara khusus anak yang hanya ada di kota-kota besar. Hal ini tentusaja menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan olehundang-undang dan konvensi hak anak tersebut. Selain itu, kurangnya sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan kepada aparat penegak hukum termasuk kepolisian hingga ke jajaran paling bawah menyebabkan tidak efektifnya pemberian perlindungan hukum terhadap anak. Tindak pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dan ada kesan kerap kali mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang melaukan tindak pidana. Banyak kuantitas anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan pidana. Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa hingga ke tahap persidangan oleh hakim serta pelaksanaan putusan hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan. Situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak, ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin professional dalam melakukan kejahatan.29 Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, senantiasaharus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di 29Imran Adiguna, dkk. “Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana.” Makasar: FH UNHAS. 24 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan diversi. Diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal atau menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan anak. atau menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.30 Artinya tidak semua masalah perkara anak nakal mesti diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilandemi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban. Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal. Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan dan pemberian kesempatan kepada pelaku untuk berubah.31 Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia (President Crime Commission) di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).32Ide diversi dicanangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ)atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4 yang 30 Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 158. 31Ibid. Hlm. 16. 32Marlina.2010.Pengantar Konsep Diversi dan Resotative Justice. Medan: USU Press.Hlm.10. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 25

terkandung pernyataan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus dialihkan ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non-pemerintah. Menurut Robert M. Bohm, sasaran yang jelas harus tercapai dalam penerapan suatu diversi adalah menghindari anak terlibat dalam suatu proses peradilan pidana.33 Prinsip-prinsip ide diversi menurut SMRJJ sebagai berikut: 1. Ide diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal. 2. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim serta lembaga lain yang menangani kasus-kasus anak ini, menurut kebijakaan mereka sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip yang terkandung di dalam The Beijing Rules ini. 3. Pelaksanaan ide diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua atau walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan ide diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan ide diversi tersebut. 4. Pelaksanaan ide diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi seperti pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan dan ganti rugi kepada korban.34 Selanjutnya dalam rule 11 The Beijing Rules tentang diversi, menjelaskan bahwa: 1. Diversi sebagai suatu program yang menghilangkan tahapan proses peradilan formil bagi seorang terdakwa dan menggantinya dengan suatu kebijakan berbasis pola pelayanan sosial kemasyarakatan. Program ini sudah diterapkan secara luas baik 33 Robert & Keith Haley. 2002.Introduction Criminal Justice. Callifornia-USA: Glencoe McGraw Hill.Hlm. 494. 34Nikmah Rosidah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak Di Indonesia. Semarang: Pustaka Magister. Hlm. 95-96. 26 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

secara formal maupun informal di berbagai sistem hukum di banyak negara. 2. Maksud dari penerapan program diversi ini adalah untuk menghilangkan efek negatif yang timbul dari penerapan prosedur formil maupun administratif dalam sistem peradilan pidana konvensional. Sehingga dalam banyak kasus bentuk kebijakan alternatif ini di anggap sebagai langkah yang paling tepat dan akan memberikan hasil optimal terutama dalam kasus-kasus tindak pidana yang tergolong ringan atau tidak serius. Pihak keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakatnya sendiri turut memberikan dukungan dan dapt bersikap dengan sewajarnya atau tidak membesar-besarkan masalah. 3. Diversi dapat diterapkan oleh kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga lain yang berwenang dan terkait seperti pengadilan, tribunal, lembaga maupun dewan (representasi dari kelompok masyarakat). Penerapan diversi tidak selalu dibatasi secara sempit hanya untuk kasus-kasus sepele saja. 4. Pelaksanaan diversi harus memperoleh persetujuan pelanggar hukum berusia muda atau orang tua/wali nya terhadap langkah- langka diversi yang disarankan. Namun demikian, persetujuan ini tidak dapat dibiarkan tak tersanggah, karena persetujuan ini dapat saja diberikan karena keputusasaan belaka di pihak remaja itu. Hal ini perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Remaja tidak boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-program diversi.35 Peraturan perundang-undangan yang ada selama ini dirasakan masihbelum mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sehingga diperlukan suatu pembaharuan. Menurut Barda Nawawi, sebetulnya usaha pembaharuan hukum di Indonesia sudah di mulai sejak lahirnya UUD 1945. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin di capai seperti yang telah di rumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia 35Ibid. Hlm. 97-98. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 27

dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Inilah garis kebijakan umum yang menjadi landasan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia. Haltersebut pula yang mendasari dan menjadi tujuan dari pembaharuan hukum, termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana dan penanggulangankejahatan.36 Indonesia telah memiliki aturan khusustentang perlindungan anak yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Indonesia baru secara tegas mengakomodir proses penyelesaian perkara pidana anak melalui jalur diversi, di tahun 2012. Ketentuan diversi diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berdasarkan UU SPPA, diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari proses perampasan kemerdekaan, mendorongmasyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak. Berikut skema pelaksanaan diversi pengalihan sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak:37 36 Barda Nawawi Arif. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP Baru. Jakarta: Kencana. Hlm. 34. 37Beniharmoni Harefa. “Diversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Hukum. 1 (1). (2015). Hlm. 4. 28 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

Penerimaan Perkara Penyelidikan/ Penyidikan; Penuntutan; Persidangan Pengadilan Menerima dan Program disetujui Diversi Diversi Proses musyawarah Diteruskan ke hakim, BAPAS Proses pelaku/ortu, korban, Seanjutnya LSM, dinsos, masyarakat Penolakan Diversi Peran penting diversi (pengalihan) sangat dirasakan utamanya dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi anak. Saat anak melakukan tindak pidana, maka harus ada penyelesaian. Penyelesaian perkara melalui jalur peradilan pidana formal, mempunyai dampak buruk dalam perkembangan anak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sejak saat penyelidikan/ penyidikan di kepolisian hak-hak anak berpotensi dilanggar. Berlanjut pada tahap penuntutan oleh penuntut umum hingga sidang di pengadilan. Pada sidang di pengadilan anak berpeluang besar dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan. Bahkan dampak buruk berlanjut disaat anak berada di lembaga pemasyarakatan. Sekolah kejahatan dan stigmatisasiberpotensi didapatkan anak. Oleh sebab itu, menempatkan anak dalam proses peradilan pidana formal harus dihindari, karena melanggar hak-hak asasi anak. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 29

Proses peradilan pidana Anak Melakukan Program diversi/ proses formal (penyelidikan/ Tindak Pidana musyawarah hakim, pu, bapas penyidikan; penuntutan; persidangan pengadilan) Penyelesaian Perkara pelaku/ortu, korban, lsm, Pidana Anak dinsos dan masyarakat Memiliki dampak buruk Proses kekeluargaan, bagi perkembangan fisik mengandung nilai-nilai dan psikis anak keadilan restoratif Berpotensi melanggar Demi kepentingan terbaik anak hak-hak asasi anak (the best interest of the child) Melindungi hak-hak asasi anak diantaranya : hak atas kelangsungan hidup (survival), hak untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection) dan hak untuk berpartispasi dalam kehidupan masyarakat (participation). Penyelesaian perkara pidana anak melalui jalur diversi, dilakukan dengan penuh nilai-nilai kekeluargaan. Oleh sebab itu, diversi akan menjauhkan anak dari dampak-dampak buruk yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan dan masa depan anak. Diversi kiranya lebih memperhatikan hak-hak asasi anak. Diversi dijiwai oleh prinsip keadilan restoratif (restoratif justice) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan keadilan restoratif, meliputi : 1) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang ini; 30 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

2) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; 3) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Mengaitkan antara kondisi Indonesia saat ini sebenarnya memiliki mekanisme penyelesaian hukum yang berdasarkan kearifan lokal (local wisdom). Sila Keempat Pancasila adalah suatu nilai yang sangat memungkinkan untuk mempraktikan keadilan restoratif karena musyawarah lebih menekankan jalan terbaik dan kebaikan untuk bersama, bukan jalan menang dan kalah sebagai cerminan kelompok yang kuat dan lemah. Implementasi keadilan restoratif tidak akan sulit dilaksanakan khususnya untuk pelaku delikuensi anak apabila kembali kepada akar filosofi bangsa dan penghargaan akan eksistensi hukum adat sebagai hukum dasar nasional. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan dalam Panja RUU SPPA, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya diversi haruslah diberi sanksi. Proses diversi ditiap tingkatan pemeriksaan diberi waktu selama 30 hari pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu kesepakatan diversi. Hal ini juga berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang hanya menyiratkan mengenai pelaksanaan diversi ini sebagai implementasi diskresi penegak hukum.Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan tindak pidana maka tidak wajib diupayakan Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 31

diversi, hal ini memang penting mengingat bahwa ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindak pidana berat, sedangkan merupakan pengulangan tindak pidana baik itu sejenis ataupun tidak maka anak tersebut tidak perlu lagi untuk diselesaikan lewat diversi. Pengulangan tindak pidana menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun meskipun tidak melalui tahap diversi namun diusahakan ditiap tingkat pemeriksaannya wajib mengutamakan keadilan restoratif. Hal ini juga dapat dilihat dari pengenaan pidana dan tindakan yang diberikan sebagai hukuman bagi mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 71 undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pidana bagi anak terdiri atas: (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan oleh anak adalah sebagai berikut : a. Pengembalian kepada orang tua/wali; b. Penyerahan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa; 32 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

d. Perawatan di LPKS; e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. Pencabutan surat izin mengemudi; g. Perbaikan akibat tindak pidana. Pertimbangan dalam memberikan sanksi hukuman baik berupa pidana atau tindakan diserahkan kewenangannya kepada hakim terkecuali kepada anak yang berada di bawah usia 14 (empat belas) tahun wajib dikenai tindakan.Substansi yang mendasar di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Perlindungan anak tersebut benar-benar membutuhkan partisipasi secara penuh oleh berbagai pihak, sebagai berikut : a. Anak Yang Berhadapan dengan Hukum; b. Orang tua atau Wali; c. Bantuan Hukum; d. Petugas Kemasyarakatan; e. Penyidik Anak; f. Penuntut Umum Anak; g. Hakim Anak; h. Lembaga Pemasyarakatan Anak; i. Masyarakat. Selanjutnya proses peradilan pidana anak, maka setiap tingkatan peradilan wajib melaksanakan proses diversi. Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, proses diversi sendiri wajib memperhatikan : a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 33

Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentangSistem Peradilan Pidana Anak,Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. 1. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum Perkembangan masyarakat dan teknologi dewasa ini secara tidaklangsung juga mempengaruhi tingkat kejahatan yang terjadi dengan berbagai modusnya kecendrungan peningkatan kejahatan ini dapat kita lihat dari pemberitaan di media masa baik cetak maupun media elektronik, kejahatan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak baik mereka sebagai pelaku ataupun sebagai korban dari suatu tindak pidana. Banyaknya kasus anak yang berhadapan dengan hukum tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat anak sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi oleh negara. Kecendrungan peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak tersebut dengan beragam modusnya harus segera diatasi. Romli Atmasasmita dalam Wagiati Soetodjo, berpendapat bahwa permasalahan anak dapat dilihat dari dua hal yakni intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak adalah sebagai berikut:38 1) Yang termasuk intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah : a) Faktor intelegensia; b) Faktor usia; c) Faktor kelamin; d) Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2) Yang termasuk ekstrinsik adalah : a) Faktor rumah tangga; b) Faktor pendidikan dan sekolah; 38 WagiatiSoetodjo. 2006.Hukum Pidana Anak. Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm. 17. 34 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

c) Faktor pergaulan anak; d) Faktor mass media. Dari berbagai faktor yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa ada banyak kemungkinan seorang anak untuk melakukan kenakalan atau kejahatan yang akibat perbuatannya tersebut berakibat pada proses hukum dan peradilan yang dalam Undang- undang disebutkan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam penanganan dan upaya perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut mempunyai permasalahan yang cukup luas tidak hanya akibat dari perbuatan si anak yang mengakibatkan adanya korban akan tetapi jauh dari pada hal tersebut mengapa anak sampai melakukan perbuatan pidana yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Proses peradilan yang harus ditempuh oleh anak sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya membawa dampak bagi perkembangan sianak, tahapan-tahapan dari setiap proses peradilan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan anak memakan waktu yang cukup panjang dantidak jarang terjadi penyimpangan dan ketidak adilan dari setiap prosestersebut. Hak-hak anak yang melekat dan dilindungi oleh undang- undang sering kali diabaikan proses peradilan dirasa masih kurang melindungi kepentingan terbaik bagi anak sehingga diperlukan upaya lain dalam peneyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak hanya dapat diselesaikan melalui proses peradilan akan tetapi juga dapat diselesaikan di luar proses peradilan pidana atau yang dikenal dengan diversi yang mana penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasann yang dikenal dengan pendekatan keadilan restorative justice. (Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak). Dalam undang-undang sistem peradilan anak tersebut menegaskan adanya kewajiban bagi aparat penegak hukum Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 35

untuk mengupayakan diversi terlebih dahulu dengan mengedepankan keadilan restoratif khusus untuk anak yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dalam menyelesaikan perkara anak. Penyelesaian di luar proses peradilan tersebut diharapkan mampu memberikan rasa keadilan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. 2. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalahsebagai upaya untuk melindungi anak dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi, hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang melakukan suatu tindak pidana seperti yang kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan yang semakin meningkat tentunya sangat memprihatinkan yang mana pelakunya tidak hanya orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak, pada dasarnya perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa tidak ada perbedaan hanya saja perbedaan itu terlihat dari pelakunya yang masih di bawah umur dan yang sudah dewasa. Disamping itu juga niat/tujuan antara anak dan orang dewasa dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya juga berbeda.39 Beberapa alasan dasar pemikiran tentang perlunya diversi bagi pelaku anak (anak yang berkonflik dengan hukum), antara lain sebagai berikut: a. Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas mungkin; b. Memperbaiki luka-luka karena kejadian tersebut kepada keluarga, korban, dan masyarakat; c. Kerjasama dengan pihak orangtua, pengasuh, dan diberi nasehat hidup sehari-hari; d. Melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk bertanggungjawab; 39Dheni Wahyudhi, “Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Melalui Pendekatan Restoratif Justice”, Jurnal Ilmu Hukum, (2015), hlm. 148-149. 36 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

e. Berusaha untuk mengumpulkan dana untuk restitusi kepada korban; f. Memberikan tanggungjawab anak atas perbuatannya, dan memberikan pelajaran tentang kesempatan untuk mengamati akibat-akibat dan efek kasus tersebut; g. Memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan menjaga agar tetap bersih atas catatan kejahatan; h. Mengurangi beban pada pengadilan dan lembaga penjara; dan i. Pengendalian kejahatan anak/remaja.40 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, memberikan batasan usia terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yakni: “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak mencantumkan dengan tegas apa saja yang menjadi hak-hak anak dalam peradilan pidana yakni: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yangkejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat danmartabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upayaterakhir dan dalam waktu yang paling singkat; 401. Help juvenils lern from their mistake through early intervention: 2. Repairs the harm caused to familes, victims and community: 3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life: 4. Equips and encourages juvenelis to make responsible decisions: 5. Creates a mechanism to collect restitution for victims; 6. Hold youth accountable for the oppurtunity to keep their record clean; 7. Allows eligible offenders the oppurtunity to keep their record clean; 8. Reduces burden on court sistem and jails; 9. Curbs juvenile crime.http://www/co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017. Diakses pada tanggal 8 November 2019 pukul 21:53 WIB. Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 37

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif,tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yangdipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. Dalam proses peradilan pidana anak hak-hak anak harus mendapatkan perlindungan dari setiap tingkatan proses peradilan pidana anak perlindungan diberikan sebagai salah satu bentuk penghormatan hak asasi anak. Dalam perkembangannya proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ini mengalami perubahan yang mendasar yakni pengaturan secara tegas mengenai “keadilan restoratif dan diversi”. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam ketentuan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak mencantumkan dengan tegas bahwa: 1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatanKeadilan Restoratif. 2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecualiditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkunganperadilan umum; dan 38 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampinganselama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelahmenjalani pidana atau tindakan. 3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud padaayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak diversi bertujuan: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam penyelesaiannya melibatkan semua pihak yang meliputi peran orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab dalam peningkatan kesejahteraan anak, serta perlindungan khusus terhadap anak yang bersangkutan. Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi yaitu semua pihak yang terkait dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,masyarakat dan pihak terkait untuk mencari solusi yang terbaik bagi anak tanpa ada unsur pembalasan. Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan menggunakan pendekatan keadilan restorativejustice penyelesaian yang melibatkan semua pihak dan secara bersama-sama mengatasi perkara dan mencari solusi yang terbaik terhadap perkara yang dihadapi anak dengan demikian perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Diversi bagi pelaku anak adalah untuk menyediakan alternatif yang lebih baik di banding dengan prosedur resmi beracara di pengadilan. Anak pelaku tindak pidana akan dilibatkan dalam kegiatan terarah dan terinteraksi dalam kelompok yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan mengubah cara pandang mereka terhadap sistem dan penegakan hukum positif Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia | 39

yang ada, meningkatkan rasa percaya diri, mengajarkan pada mereka cara-cara berkomunikasi/berinteraksi dengan lingkungan sosial secara lebih baik dan meningkatkan kemampuan mereka dalam hal pengambilan keputusan. Tujuan dari diversi adalah menghindarkan anak tersebut dari prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi kemungkinan terjadinya residivisme di masa mendatang. Diversi merupakan sebuah sistem yang memberikan kesempatan yang lebih baik bagi para pelaku kejahatan ringan yang baru pertama kali menjalankan aksinya, di banding dengan pemberian hukuman berupa pidana penjara. Dengan adanya program diversi ini maka masyarakat juga dapat turut berperan dalam membantu perkembangan diri si pelaku anak serta kembali menerima sebagai masyarakat yang baik. Di sisi lain, pemerinta juga lebih leluasa dan efektif dalam pemberian ganti rugi maupun perbaikan terhadap kerusakan yang disebabkan ulah si pelaku, memberikan terapi terhadap penderita ketergantungan alkohol dan obat terlarang atau memberikan konsultasi kesinambungan terhadap pelaku yang mengidap kelebihan jiwa atau kendala psikologis lainnya. Dalam hal ini, apabila program diversi dapat berjalan lancar dan menunjukkan kemajuan berarti serta di dukung oleh partisipasi aktif warga masyarakat, maka biaya-biaya yang adapun dapat diturunkan secara berangsur dan bahkan mungkin di tiadakan sama sekali. Diversi merupakan program bagi mereka penjahat pemula yang masih berpotensi untuk di bina, bukan bagi mereka para residivis.41 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kategori kenakalan perbuatanyang telah dilakukan oleh sianak. Kategori tersebut tujuannya untuk mengelompokkan kejahatan menjadi tiga (tiga) yaitu sebagai berikut: a. Kejahatan tingkat ringan, perbuatan yang tergolong pada tingkat kejahatan ringan adalah sebagaiberikut pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka,atau kerusakan ringan pada harta benda. 41Nikmah Rosidah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak Di Indonesia. Semarang: Pustaka Magister. Hlm. 100. 40 | Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Anak Di Indonesia


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook