Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Prof. Muhammad AKIB

Prof. Muhammad AKIB

Published by wisataonline, 2021-09-01 04:51:19

Description: 38 Prof. Muhammad AKIB

Search

Read the Text Version

AKTUALISASI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Jalan Menuju Keberlanjutan Ekologi dan Kesejahteraan Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. PIDATO PENGUKUHAN Disampaikan pada Sidang Penerimaan Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 25 Februari 2015 PENERBIT UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015

AKTUALISASI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Jalan Menuju Keberlanjutan Ekologi dan Kesejahteraan @Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H.,M.Hum. Hak Cipta 2015, pada penulis Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia Oleh Universitas Lampung Bandar Lampung, Februari 2015 Bandar Lampung, Penerbit Universitas Lampung, 2015 vi, 51 hlm. 14,8 cm x 21 cm Hak cipta dilindungi Undang-Undang. All rights reserved Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjaramasing‐masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah iii

iv Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim Assalaamu’alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh, Salam sejahtera untuk kita semua, Tabik pun, Yang saya hormati dan muliakan: • Rektor/ketua Senat Universitas Lampung, • Sektretaris, Anggota Senat dan para Guru Besar Universitas Lampung, • Para Wakil Rektor, Dekan, Direktur Program Pasca- sarjana dan Ketua Lembaga, Kepala Biro, Wakil Dekan, Wakil Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Doktor dan Magister, Kepala UPT, Ketua dan Sekretaris Jurusan di lingkungan Universitas Lampung, • Para Dosen, karyawan, dan mahasiswa Universitas Lampung, • Para tamu undangan, keluarga dan para hadirin yang berbahagia, serta rekan-rekan dari Universitas lain yang berkenan hadir pada hari ini. Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk dapat mengikuti acara sidang terbuka Senat Universitas Lampung dalam acara pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar tetap Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah v

Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dengan tulus saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kehadiran bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara. Semoga kita selalu mendapatkan ridho dan perlindungan dari Allah SWT. Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan pidato pengukuhan saya dengan judul: \"AKTUALISASI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: Jalan Menuju Keberlanjutan Ekologi dan Kesejahtera- an”. Judul pidato ini sesuai dengan bidang keilmuan saya: Ilmu Hukum Lingkungan, sebagai bagian dari Ilmu Hukum Administrasi. Semoga pidato ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan kebijakan pemerintah menuju keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan. vi Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

AKTUALISASI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Jalan Menuju Keberlanjutan Ekologi dan Kesejahteraan Oleh Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 25 Februari 2015 Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, I. POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DAN PROBLEMA- TIKA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH Secara global permasalahan lingkungan bukan hal yang sama sekali baru. Hanya saja ia baru mendapat perhatian serius di hampir semua negara—terutama dari aspek hukum dan kebijakan--mulai sekitar tahun 1970-an, yaitu setelah diadakannya United Nation Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia, pada tahun 1972. Permasalahan lingkungan yang selama ini terjadi juga tidak hanya menjadi monopoli negara maju atau negara industri, tetapi juga terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya berbagai perma- salahan lingkungan, baik global maupun nasional adalah Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 1

dampak negatif dari berbagai kegiatan atau aktivitas pembangunan. Untuk itulah sejak pertemuan Stockholm (1972) hingga Rio de Janeiro (1992) secara global- internasional telah disepakati kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam laporan- nya kepada PBB yang berjudul “Our Common Future”, oleh The World Commission on Environment and Development (WCED) ditegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.1 Kebijakan tersebut juga telah ditindalanjuti oleh Indonesia menjadi kebijakan nasional dan telah dilengkapi dengan berbagai instrumen hukumnya. Baik kebijakan lingkungan global maupun nasional memiliki arah dan tujuan yang ingin dicapai. Arah dan tujuan dari setiap kebijakan hukum lingkungan itulah yang kemudian lebih dikenal dengan politik hukum lingkungan. Politik hukum lingkungan nasional secara mendasar memiliki dua arah dan tujuan sekaligus, yaitu keberlanjut- an ekologi dan sekaligus kesejahteraan. Hal ini secara konstitusional terdapat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Ayat (3) berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 1WCED, Hari Depan Kita Bersama, (Judul asli Our Common Future), Terjemahan Bambang Sumantri, (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 13. 2 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Ketentuan tersebut memang belum merumuskan secara jelas politik hukum lingkungan. Pasal tersebut juga belum memberikan batasan yang tegas dan jelas makna dan lingkup hak menguasai negara, sehingga seakan memberikan tugas dan tanggung jawab negara yang sangat besar tanpa ada kontrol dari rakyat sebagai esensi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di samping itu, aspek keberlanjutan dan perlindungan daya dukung ekosistem bumi, air, dan kekayaan alam tidak tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.2 Hal ini sangat wajar, karena maksud awal (original intens) dirumuskannya pasal ini adalah mengenai penguasaan negara atas sumber daya alam dalam konteks perekonomian nasional, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu “diamankan” dari penguasaan perseorangan atau badan hukum perdata (terutama oleh pihak asing). Kendati demikian, sesuai dengan sifat UUD sebagai general principles atau general norm, maka konsepsi politik hukum pengelolaan lingkungan dapat saja ditarik dari rumusan pasal tersebut. Secara gramatikal frase “dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” memiliki makna bahwa negara sebagai pengelola SDA. Sebagai pengelola, negara bertanggung jawab meme- lihara keberlanjutannya untuk mewujudkan kemakmuran 2Mas Ahmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 99. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 3

rakyat secara berkelanjutan pula.3 Untuk itulah ketentuan tersebut sebelum perubahan UUD 1945 telah menjadi satu-satunya rujukan awal politik hukum lingkungan di Indonesia pada saat itu. Ketua senat dan hadirin yang saya hormati, Politik hukum lingkungan semakin jelas melalui rumusan Pasal 33 ayat (4) yang menegaskan bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip... berkelanjutan, ber- wawasan lingkungan...”.4 Ketentuan tersebut memberikan landasan bagi penyelenggara negara agar kegiatan perekonomian negara tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ketentuan tersebut juga merupakan konsti- tusionalisasi dua kebijakan negara yang saling terkait, yaitu kebijakan ekonomi dan kebijakan lingkungan, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi5 dan konstitusi lingkungan.6 3Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2013), hlm. 46-47; Muhammad Akib, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah Menuju Pengaturan Hukum Yang Berorientasi Keberlanjutan Ekologi”, Disertasi, (Semarang: PDIH Undip, 2011), hlm. 141. 4Sebelum amandemen ketentuan Pasal 33 UUD 1945 hanya terdiri dari tiga ayat. Ayat (4) dan ayat (5) merupakan penambahan ada amandemen keempat sehingga menjadi lima ayat. Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) tidak mengalami perubahan (sama seperti pada saat disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945). 5Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 74. 6Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 4. 4 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Spirit dari dua kebijakan negara itulah yang seharusnya menjadi “bintang pemandu” dalam setiap kebijakan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, termasuk dalam peyelenggaraan otonomi daerah. Kebijakan hukum tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang mengaktualisasikan spirit politik hukum lingkungan yang demikian, niscaya akan membe- rikan dampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan. Hal di atas selaras dengan pendapat Ribbot, bahwa desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.7 Dengan demikian secara konseptual otonomi daerah seharusnya memberikan dampak positif bagi lingkungan hidup. Pendapat Ribbot paralel dengan pendapat A. Sonny Keraf, bahwa ada empat alasan otonomi daerah akan lebih menguntungkan bagi lingkungan hidup. Pertama, otonomi daerah mendekatkan pengambilan kebijakan dan keputusan publik dengan rakyat di daerah, sehingga akan lebih sesuai dengan kondisi lingkungan di daerah. Kedua, ada kontrol lebih langsung dan lebih cepat, bahkan lebih murah, dari masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan di daerah terhadap kebijakan lingkungan. Ketiga, kepentingan masyarakat lokal yang terkait dengan lingkungan hidup, akan lebih diperhatikan dan diakomo- dasi. Keempat, nasib daerah ditentukan oleh daerah itu sendiri, sehingga pemerintah daerah dan masyarakat 7Jesse C. Ribot, Waiting for Democracy, The Politics of Choice in Natural Resource Decentralization, (Washington DC: World Resorces Institute, 2004), hlm. 8. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 5

setempat akan sangat serius mengantisipasi setiap kemungkinan yang terkait dengan lingkungan hidup.8 Sebaliknya, kebijakan otonomi daerah yang bersifat eksploitatif dan economic oriented, niscaya akan membawa kehancuran lingkungan dan kemelaratan. Tampaknya arah dan orientasi yang terakhir inilah yang masih menjadi problematika mendasar dalam pengelolaan lingkungan dalam konteks otonomi daerah. Sejak otonomi daerah digulirkan tahun 1999 hingga sekarang, kondisi lingkungan tidak lebih baik dari sebelumnya. Kerusakan dan pencemaran lingkungan masih terjadi dan cenderung meningkat, terutama kerusakan hutan dan pencemaran air. Sebagai contoh di sektor kehutanan, jika pada kurun tahun 1982-1990 kerusakan hutan hanya 900.000 hektar/tahun, maka antara tahun 1990-1997 meningkat menjadi 1,8 juta hektar/tahun dan meningkat lagi menjadi 2,83 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2000 (awal otonomi daerah). Sementara pada kurun waktu tahun 2000-2006 kerusakan hutan masih mencapai 1,08 juta hektar/tahun.9 Bahkan penelitian terbaru Matthew Hansen dari University of Maryland, Sejak 2000 hingga 2012, hutan utama di Indonesia telah hilang sebanyak 6.020.000 hektar per tahun. Data ini sekaligus mengkon- firmasi bahwa Indonesia kini mengalahkan Brasil sebagai juara bertahan dalam deforestasi atau penebangan hutan tertinggi di dunia.10 Untuk Lampung, pada tahun 2008 8A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 199-200. 9Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan 2008, Jakarta: Kemen- terian Kehutanan, 2009. 10http://www.tempo.co/read/news/2014/07/01/095589444/keru- sakan-hutan-indonesia-terus-meningkat, Diakses 25 Januari 2015. 6 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

tingkat kerusakan hutan mencapai 65,47% dan sedikit menurun pada tahun 2013 menjadi 54,15% dari luasan hutan 1.004.735 hektar.11 Hutan mangrove Indonesia yang pada tahun 1993 luasnya tercatat mencapai 3,7 juta hektar, pada tahun 2005 hanya tersisa 1,5 juta hektar. Kondisi terumbu karang Indonesia turun drastis hingga 90 % dalam 50 tahun terakhir.12 Di sektor pertambangan, banyak usaha pertambangan yang mengakibatkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan. Sekitar 70 % kerusakan lingkung- an di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan.13 Berbagai bencana alam seperti tanah longsor dan banjir juga terjadi di berbagai daerah. Problematika tersebut semakin kompleks seiring dengan banyaknya produk hukum otonomi daerah yang belum merefleksikan politik hukum lingkungan, lemahnya wewenang dan kelembagaan serta kerja sama antardaerah dalam pengelolaan lingkungan. Akibatnya otonomi daerah yang secara teoretik seharusnya memberikan dampak positif bagi lingkungan, dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Untuk itulah di era baru otonomi daerah yang sudah memasuki tahun ke-16, politik hukum lingkungan sudah sangat mendesak untuk diaktualisasikan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. 11Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013. 12Naskah Akademik RUU Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 22 Mei 2009. 13http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Per- sen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang, Diakses 25 Januari 2015. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 7

Ketua Senat, undangan, dan hadirin yang saya muliakan II. AKTUALISASI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Berbagai problematika di atas menuntut semua pihak, khususnya penyelengara negara (pusat dan daerah) untuk mengaktualisasikan politik hukum lingkungan yang berorientasi keberlanjutan ekologi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Aktualisasi tersebut menurut saya setidaknya meliputi empat aspek yang akan diuraikan di bawah ini. 1. Legislasi Daerah Berbasis Keberlanjutan Ekologi Pembentukan legislasi daerah berbasis keberlanjutan ekologi (green legislation) telah diamanahkan secara jelas dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH-2009). Pasal 44 UUPPLH-2009 berbunyi: Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Ketentuan tersebut berfungsi sebagai basic principle dan sekaligus penyelaras (harmonizing) dalam pemben- tukan semua produk hukum nasional dan daerah. 8 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Sebelum era baru otonomi daerah,14 produk hukum otonomi daerah dapat dikatakan belum berorientasi keberlanjutan ekologis. Mulai dari UU No. 1 Tahun 1945 hingga UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, belum ada penyerahan secara khusus urusan lingkungan kepada daerah. Beberapa urusan sektor terkait yang diserahkan kepada daerah, umumnya hanya mengatur aspek teknis dan pemanfaatan SDA. Pada saat itu otonomi daerah tidak lebih sebagai formalitas untuk disebut sebagai sebuah negara demokrasi. Otonomi daerah yang menurut Bagir Manan dikatakan sebagai ujung tombak untuk mewujudkan kesejahteraan,15 ketika itu sesungguhnya belum pernah terlaksana. Menurut saya ada beberapa alasan yang menyebabkan produk hukum otonomi daerah pada periode ini belum mengatur secara khusus tentang lingkungan. Pertama, karena sistem pemerintahan daerah yang dianut cenderung sentralistik sehingga hampir semua urusan pemerintahan menjadi kewenangan pusat. Kedua, karena produk hukum otonomi daerah dikeluarkan berdasarkan Pasal 18 UUD 14Dikatakan sebagai era baru, karena sebenarnya otonomi daerah telah dimulai sejak UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Setelah itu secara keluar UU pengganti yaitu UU No. 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 15Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: FH UII, 2001), hlm. 26. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 9

1945 lama yang materi muatannya sangat sederhana dan memberikan semacam mandat blangko kepada pembentuk undang-undang yang akan diisi sesuai kehendak politik yang dominan pada saat tertentu.16 Ketiga, karena pada saat itu belum ada arahan politik hukum lingkungan yang jelas. Sementara Pasal 33 UUD 1945 lebih dimaknai sebagai konstitusi ekonomi17 dibandingkan sebagai konstitusi lingkungan atau konstitusi hijau.18 Sementara itu UULH belum terbentuk. Keempat, sebagai negara yang baru merdeka, maka hampir semua kebijakan pemerintah, termasuk dalam bidang otonomi daerah tidak lepas dari orientasi untuk mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, kebijakan lingkungan mulai diatur dalam berbagai produk hukum otonomi daerah. Hanya saja secara substansial ada beberapa permasalahan hukum, antara lain disharmonis antara kebijakan otonomi daerah dengan politik hukum lingkungan. Arah dan orientasi politik hukum lingkungan belum diimplementasikan dalam produk hukum otonomi daerah, terutama produk hukum daerah. Di satu sisi politik hukum lingkungan telah berkembang ke arah pengaturan hukum yang holistik- ekologis, tetapi di sisi lain pengaturan lingkungan dalam 16Ibid., hlm. 4. 17Konstitusi ekonomi adalah konstitusi yang memuat kebijakan negara di bidang ekonomi (Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010). 18Konstitusi lingkungan atau konstitusi hijau adalah konstitusi yang memuat kebijakan negara di bidang lingkungan hidup (Lihat Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., Op. Cit. hlm. 4). 10 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

produk hukum otonomi daerah cenderung parsial, administratif-kewilayahan, dan economic oriented. Baik dalam UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, maupun UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan urusan lingkungan terfokus pada “pengendalian lingkungan” dan pola pem- bagiannya cenderung administratif-kewilayahan. Padahal di banyak tempat justru wilayah ekosistem lebih luas dari batas wilayah administrasi.19 Berbagai produk hukum daerah pun, cenderung economic oriented. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk hukum daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) dan sedikit sekali yang mengatur pengeloaan dan perlindungan lingkungan.20 Tidak sedikit pula Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, sehingga dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa antara tahun 2002-2009 misalnya, tercatat 1.105 Perda yang dibatalkan.21 Selanjutnya sejak 2009 ada sekitar 9.000 Perda 19Noer Fauzi, dkk., Otonomi Daerah Sumber Daya Alam dan Lingkungan, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 8-9. 20Temuan penelitian terhadap Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh tiga kabupaten/kota di Provinsi Lampung (Bandar Lampung, Tanggamus, dan Lampung Timur) antara tahun 1999-2009, dari 445 Perda yang dikeluarkan ternyata sekitar 146 (30%) mengatur tentang PDRD. Jumlah tersebut merupakan Perda yang paling banyak dibandingkan dengan Perda lainnya (Muhammad Akib, “Politik Hukum...”, Disertasi, Op., Cit., hlm. 303; Muhammad Akib, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan dan Refeksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah”, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 3, Desember 2009, hlm. 576). 21http://www.kemendagri.go.id/basis-data/2010/03/05/daftar- perda-dan-kep-kdh-yang-dibatalkan-thn-2002-2009, Diakses 26 Januari 2015. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 11

bermasalah yang harus dievaluasi Kementerian Dalam Negeri, dan umumnya terkait dengan PDRD.22 Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, Untuk mewujudkan legislasi daerah berbasis keberlanjutan ekologi, menurut saya ada enam hal yang harus dilakukan. Pertama, mengubah paradigma berpikir (mindset) penyelenggara negara dari economic oriented menuju ecologically sustainable oriented. Keberhasilan pembangunan yang hanya diukur dari sisi ekonomi, hanya akan menghasilkan kesejahteraan sesaat. Banyak contoh negara yang kaya akan SDA, tetapi karena “salah urus” maka rakyatnya tetap miskin. Azerbaijan misalnya, pada awal ke-20 merupakan negara eksportir minyak terbesar di dunia, sehingga membuat banyak orang menjadi kaya tetapi banyak warganya yang tetap miskin, bahkan kota Baku di Azerbaijan yang dahulu kaya akan minyak kini menjadi kota yang kotor akibat mesin-mesin tua yang tak berguna sehingga dijuluki “black town”. Nigeria, dan Venezuela, juga merupakan contoh negara yang kaya minyak tetapi banyak rakyatnya yang tetap miskin.23 Kedua, meningkatkan pemahaman legislator tentang prinsip pengelolaan lingkungan dan aspek hukumnya. Melalui upaya ini niscaya akan terwujud program- program aksi yang pro lingkungan dan dukungan instrumen hukumnya melalui pembentukan Perda. 22http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi-9.000-perda- bermasalah-digelar-sampai-2014-1, Diakses 26 Januari 2015. 23Ahmad Erani Yustika, Perekonomian Indonesia, Suatu Dekade Pasca- krisis Ekonomi, (Malang: FE UB, 2007), hlm. 259-260. 12 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Dalam kaitannya dengan kedua hal di atas, maka pendidikan lingkungan dan hukum lingkungan sangatlah relevan. Selain itu, tidak kalah pentingnya bahwa rekrutmen pegawai dan calon anggota legislatif yang memiliki visi dan komitmen ekologis, juga sangat dibutuhkan. Ketiga, memperkuat mekanisme koordinasi dan harmonisasi dalam pembentukan produk hukum daerah. Saat ini tidak diatur mekanisme tersebut dalam pembentukan produk hukum daerah di bidang lingkungan. Koordinasi hanya diperlukan dalam hal pembentukan produk hukum bidang RPJPD/RPJMD, APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang. Dalam UU Pemerintahan Daerah juga tidak diatur keterlibatan Kanwil Hukum dan HAM dalam proses pembentukan Perda. Keempat, ditaatinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam pembuatan produk hukum daerah. Kelima, diterapkannya prinsip-prinsip good environmental governance dalam pembentukan produk hukum daerah. Asas-asas tersebut menurut Mas Ahmad Santosa meliputi: pemberdayaan masyarakat, transparansi, desentralisasi yang demokratis, pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan, pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat setempat, kejelasan (clarity), konsistensi dan harmonisasi, dan memiliki daya penegakan (enforceability).24 24Mas Ahmad Santosa, Op. Cit., hlm. 100-102. 13 Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Keenam, memperkuat kerja sama dengan pihak perguruan tinggi, baik dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui kerja sama di bidang pendidikan dapat ditumbuhkan kesadaran dan pemahaman pejabat, legislator, dan masyarakat pada umumnya tentang nilai dan prinsip dasar pengelolaan lingkungan dan aspek hukumnya. Kerja sama di bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sudah dilakukan perlu ditingkatkan, terutama dari sisi substansi untuk keberlanjutan ekologi. Dalam lima tahun terakhir, (pasca keluarnya UUPPLH-2009), kerja sama antara pemerintah daerah dan DPRD dengan pihak perguruan tinggi sudah mulai meningkat. Kerja sama yang paling banyak adalah dalam pembuatan Naskah Akademik dan pelibatan tenaga ahli di DPRD. Sayangnya dalam kerja sama tersebut belum banyak yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lingkungan hidup. Ketua Senat dan hadirin yang saya muliakan, 2. Penguatan Kewenangan Daerah di Bidang Lingkungan Hidup Penguatan kewenangan daerah sangat penting, karena menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan. Secara yuridis di dalam kewenangan melekat hak dan kewajiban.25 Dalam konteks otonomi daerah, menurut 25Lihat pendapat P Nicolai et. al., sebagaimana diikutip oleh Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 136; F.A.M Stroink, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi (Terjemahan Ateng Syafrudin), (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 24. 14 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Bagir Manan hak mengandung pengertian kekuasaan daerah untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.26 Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut tentu harus didasarkan pada wewenang yang sah, karena menjadi tolok ukur keabsahan tindak pemerintahan. Philipus M. Hadjon berpendapat, bahwa setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas wewenang yang sah,27 yaitu yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Demikian juga Hench van Maarseven, bahwa wewenang itu selalu harus ditunjukkan dasar hukumnya.28 Tindakan pemerintahan yang tidak didasarkan pada wewenang yang sah merupakan tindakan sewenang-wenang (willekeur). Dalam realitasnya wewenang daerah dalam penge- lolaan lingkungan seringkali tidak jelas dan lemah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya dasar hukum pemberian wewenang tersebut. Sementara wewenang daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga sangat terbatas pada pengendalian lingkungan, bukan pengelolaan lingkungan secara utuh-menyeluruh (holistik). Pengaturan kewenangan daerah di bidang lingkungan dalam produk hukum otonomi daerah sudah diatur sejak 26Bagir Manan, Loc. Cit. 27Philipus M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih”, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum, (Surabaya: FH Universitas Airlangga, 10 Oktober 1994), hlm. 7. 28Josef M. Monteiro, “Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan”, Jurnal Hukum Pro Justisia, April 2008, Volume 26 No. 2, hlm. 131. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 15

UU No. 22 Tahun 1999 hingga UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya kewenangan tersebut lebih didominasi oleh bidang “pengendalian dampak lingkungan” dan dalam beberapa hal bersifat administratif-kewilayahan. Dengan demikian otonomi daerah bidang lingkungan hidup lebih dimaknai sebagai otonomi dalam bidang pengendalian dampak lingkungan, dan bukan dalam pengelolaan lingkungan secara utuh. Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, Bertitik tolak dari temuan di atas, ada beberapa pemikiran untuk memperkuat kewenangan daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertama, wewenang daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945, harus secara rinci dalam UU tentang pemerintahan daerah dan/atau UU tentang pengelolaan lingkungan. Model pembagian secara rinci (ultra virus model) ini sudah diterapkan sejak berlakunya UUPPLH- 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014. Model pembagian secara ultra virus tentu sangat cocok untuk negara demokrasi baru seperti Indonesia, terutama untuk menghindari konflik kewenangan antara pusat dan daerah. Sayangnya pembagian wewenang di kedua undang-undang ini tidak sama. Untuk itu masih memerlukan proses harmonisasi, yang hasilnya dapat dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Kedua, lingkup wewenang daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya terfokus pada “pengendalian lingkungan” atau “pengendalian dampak lingkungan”. Wewenang daerah harus meliputi semua aspek secara utuh 16 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, hingga pengawasan dan penegakan hukum. Ketiga, pola pembagian wewenang daerah meng- gunakan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem harus menjadi mainstream dalam pembagian wewenang antara pusat dan daerah. Mainstream ini tidak hanya digunakan dalam produk hukum di bidang lingkungan hidup. Tidak pula hanya digunakan dalam produk hukum di bidang otonomi daerah. Pola pembagian dengan pendekatan ekosistem juga harus digunakan dalam produk hukum sektoral yang terkait, seperti kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan, dan seterusnya. Keempat, pola pembagian wewenang yang tetap memberikan peluang hak inisiatif daerah. Peluang hak inisiatif daerah harus tetap dibuka untuk mengatasi keterbatasan wewenang yang telah diatur dalam undang- undang. Gagasan ini selaras dengan salah satu esensi otonomi daerah yaitu untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk menyeleng-garakan urusan pemerintahan sesuai dengan karakter dan kepentingan masyarakat di daerah. Selain itu, gagasan ini selaras dengan pendapat Bagir Manan, bahwa bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap penting bagi daerah.29 29Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 249. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 17

Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, 3. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lingkungan Daerah Kuatnya wewenang yang diberikan kepada daerah, pelaksanaannya juga memerlukan kelembagaan lingkungan yang kuat. Oleh karena itu kelembagaan lingkungan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan lingkungan. Sebagaimana dikatakan Magda Lovei dan Charles Weise, bahwa kelembagaan lingkungan sebagai “the adminis- trative and institutional framework is an inherent part of the environmental management system”.30 Kelembagaan lingkungan juga sebagai “the main pillars of environmental administration.31 Pada tingkat nasional kelembagaan lingkungan yang utama saat ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kelembagaan yang dibentuk diawal pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, merupakan penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan.32 Dari perspektif hukum lingkungan administrasi, bahwa penggabungan tersebut kurang tepat. Pertama, karena keduanya memiliki sifat yang berbeda. KLH merupakan kementerian yang melaksanakan tugas koordinasi antarinstansi (non- portfolio), sementara Kementerian Kehutanan bertugas melaksanakan kebijakan secara teknis operasional 30Magda Lovei dan Charles Weise, sebagaimana dikutip Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), hlm. 166. 31Ibid. 32Dasar hukum pengabungan adalah Peraturan Presiden No. 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja 18 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

(portfolio). Dengan demikian akan terjadi konflik kepentingan antara perlindungan lingkungan dan pemanfaatan kawasan hutan. Kedua, penggabungan dua kementerian tersebut seakan bahwa persoalan lingkungan hanya terkait dengan kehutanan. Padahal, persoalan lingkungan terkait dengan banyak aspek lainnya, seperti pertambangan, perikanan, kelautan, dan tata ruang. Untuk memperkuat kapasitas kelembagaan ling- kungan nasional, ada beberapa model yang saya tawarkan. Pertama, kementeriannya tetap bernama Kementerian Lingkungan Hidup”, tetapi tugas dan fungsinya yang diperkuat dengan memberikan kewenangan yang bersifat portfolio. Kedua, KLH diberi tugas bidang tata ruang sehingga nomenklatur kemen-teriannya menjadi “Kemen- terian Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang”. Ini akan lebih baik, karena tata ruang merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan. Ketiga, kelembagaan lingkungan yang semula bernama KLH digabung dengan kementerian yang mengurusi SDA sebagaimana dianut di Filipina. Di sana kementeriannya bernama Departement of Environmental and Resources (DENR). Kementerian ini membawahi beberapa biro atau dewan, yaitu: Environ- mental Management Bureau (EMB); the Pollution Adjudication Board (PAB); the special concerns office; the Forest Management Bureau; the Lands Management Bureau; the Mines and Geo-Sciences Bureau; dan the Protected Areas and Wildlife Bureau.33 33Enrico G. Valdez, “Chapter 12: Philippines”, dalam Terri Mottershead, Environmental Law and Enforcement in the Asia-Pacific RIM, (Hongkong, Singapore, Malaysia: Sweet & Maxwell Asia, 2002), hlm. 377. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 19

Dari ketiga model di atas, maka yang paling ideal adalah model yang ketiga, yaitu urusan pengelolaan lingkungan dan SDA berada pada satu kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan SDA. Tentu saja dalam jangka pendek hal ini agak sulit dilakukan, karena selain “banyak kepentingan” yang harus dipadukan, penataan organisasinya juga tidak mudah. Oleh karena itu, model yang paling realistis adalah yang kedua, yaitu “Kementerian Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang”. Model ini pun akan kuat, jika tugas dan fungsinya meliputi aspek koordinatif dan sekaligus pelaksana kebijakan secara teknis operasional. Mengenai kelembagaan lingkungan daerah, secara umum berbentuk lembaga teknis berupa badan atau kantor. Hal ini sesuai dengan ketentuan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 061/163/SJ/2008 dan SE- 01/MENLH/2008. Meskipun demikian, data KLH hingga tahun 2012 tercatat dari 513 kelembagaan lingkungan di daerah, masih ada 40 (7,80%) lembaga yang berbentuk lain-lain.34 Persoalan hukumnya bahwa sebagai lembaga teknis, maka tugas dan fungsi badan atau kantor juga lemah. Ia hanya bertugas merumuskan kebijakan teknis dan pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bukan sebagai pelaksana kebijakan. Tugas dan 34Asdep Kelembagaan Lingkungan, KLH, Kebijakan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lingkungan Daerah, Disampaikan pada Rapat AsistensiTeknis Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Daerah, Yogjakarta, 26- 27 Mei 2012. 20 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

fungsi ini pun semakin lemah, karena kewenangan badan atau kantor lingkungan daerah lebih terfokus pada aspek “pengendalian dampak lingkungan”. Sementara tugas dan fungsi lainnya yang lebih luas dan operasional, justru ada pada kelembagaan sektor yang berbentuk dinas-dinas daerah. Kelembagaan lingkungan daerah secara umum juga belum didasarkan pada tipologi daerah, seperti daerah rawan bencana, daerah padat industri, daerah konservasi, dan lain- lain. Selain itu, lemahnya kapasitas kelembagaan lingkungan daerah juga disebabkan oleh tidak jelasnya tata hubungan kelembagaan baik sesama kelembagaan di daerah maupun antara pusat dan daerah. Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, Bertitik tolak dari kelemahan di atas, maka untuk peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan daerah menurut saya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, kelembagaan lingkungan diberikan tugas dan wewenang yang luas, mulai dari perencanaan sampai pada pengawasan dan penegakan hukum. Dengan demikian kelembagaan lingkungan tidak terkesan mengurusi “isu coklat” (brown issue), apalagi selama ini hanya terfokus pada tugas dan fungsi koordinasi. Mengenai bentuk kelembagaan bisa saja tetap sebagai lembaga teknis berbentuk badan atau kantor, tetapi dilengkapi tugas sebagai perencana dan sekaligus pelaksana kebijakan. Dari perspektif hukum lingkungan administrasi, maka salah satu instrumen untuk memperkuat kapasitas kelembagaan tersebut dengan memberikan kewenangan izin tertentu kepada lembaga tersebut. Jika merujuk Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 21

UUPPLH-2009, maka izin tersebut bernama “Izin Lingkungan”. Melalui kewenangan ini, maka kapasitas kelembagaan akan semakin kuat, karena sekaligus melekat wewenang pengawasan dan penegakan hukum. Apalagi menurut UUPPLH-2009, bahwa izin lingkungan menjadi syarat terbitnya izin usaha dan/atau kegiatan. Yang perlu menjadi perhatian, bahwa izin lingkungan ini pun seharusnya mengintegrasikan beberapa jenis izin lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup. Di Belanda misalnya, dikenal perizinan lingkungan terpadu (integrale milieuverguning) yang menyatukan enam jenis izin yaitu: (1) Hinderwet, (2) de Wet luchtverontreiniging, (3) de Wet geluidhinder, (4) de Afval-stoffenwet, (5) de Wet chemische afvalstoffen, dan (6) de Wet bodembescherming yang selanjutnya disebut sebagai “de Wm-vergunning”.35 Merujuk pada ketentuan perizinan lingkungan di Belanda, maka dalam izin lingkungan di Indonesia setidaknya dapat mengintegrasikan izin HO, izin mengeluarkan emisi dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak, izin pembuangan limbah (gas, padat, cair), izin pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), dan izin lokasi. Kedua, pembentukan kelembagaan lingkungan daerah juga harus memperhatikan tipologi daerah dan kemampuan daerah. Tidak semua lembaga lingkungan daerah memiliki fokus tugas yang sama, karena permasalahannya belum tentu sama, sumber daya, sarana dan prasarana, bahkan angarannya pun mungkin tidak sama. Sebagai contoh, kelembagaan lingkungan Lampung 35Suparto Wijoyo, Refleksi...Op. Cit., hlm. 310 dan 348. 22 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Barat yang merupakan daerah konservasi dan pesisir seharusnya tidak sama dengan Kota Bandar Lampung sebagai daerah padat penduduk dan industri, terutama jasa perdagangan dan pendidikan. Ketiga, diaturnya secara jelas tata hubungan kelembagaan lingungan, baik antarkelembagaan di daerah maupun antara kelembagaan daerah dengan kelembagaan di pusat. Lingkup tata hubungan tersebut tergantung pada sifat urusan pemerintahan dan level kelembagaan. Secara umum tata hubungan tersebut meliputi hubungan koordinasi, hubungan pembinaan dan pengawasan, dan hubungan kerja sama. Dalam rangka melaksanakan urusan dekonsen-trasi, maka bentuk hubungan kelembagaan pusat dan provinsi adalah hubungan koordinasi. Sementara dalam rangka melaksanakan urusan yang bersifat otonomi, maka tata hubungan pusat dan daerah atau antara provinsi dengan kabupaten/kota dapat meliputi semua jenis hubungan tersebut. Untuk hubungan kelembagaan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota, mencakup hubungan koordinasi dan kerja sama. Ketua senat, bapak-Ibu dan hadirin yang saya hormati, 4. Pengembangan Kerja Sama Antardaerah di Bidang Lingkungan Menguatnya otonomi daerah telah menyebabkan terjadinya fenomena etnosentrisme berupa egoisme lokal atau daerah. Salah satu fakta yang merefleksikan egoisme daerah ini adalah munculnya berbagai konflik antar- daerah, di antaranya bersumber dari pemanfaatan SDA. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 23

Berikut ini beberapa contoh konflik antardaerah yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam: a. Kabupaten Salatiga dan Kabupaten Semarang. Inti konflik bahwa petani hanya memperoleh sebagian kecil dari air Umbul Senjoyo, sementara pipa-pipa besar melintang melalui lahan mereka. b. Kabupaten Boyolali dan Kota Surakarta. Masyarakat sekitar Umbul Sungsang menolak pemanfaatan air untuk PDAM Surakarta. c. Pemda Bukit Tinggi dan warga Sungai Tanang, Kabupaten Agam. Inti konflik bahwa Warga Sungai Tanang menuntut bagi hasil dari PDAM Bukit Tinggi yang memperoleh air dari Sungai Tanang Kabupaten Agam. d. Pemda Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan mengancam menaikkan tarif air PDAM untuk Kabupaten Badung setelah Kabupaten Badung berencana menghentikan distribusi PAD-nya. e. Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon Kabupaten Kuningan menuntut Kota Cirebon membayar kompensasi pemanfaatan air dari Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan. f. Pemerintah Kabupaten Kendal dan Pemerintah Kota Semarang. Pemerintah Kabupaten Kendal mengancam memutus saluran air untuk PDAM jika tuntutan kenaikan harga air dari Umbul Boja tidak dipenuhi. g. Pemerintah Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta. Pemerintah Kabupaten Tangerang mengancam memutus saluran air untuk PDAM jika tuntutan kenaikan harga tidak dipenuhi. h. Nelayan asal Kabupaten Pekalongan dan masyarakat Masalembo. Masyarakat sekitar Masalembo melarang 24 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

nelayan asal Kabupaten Pekalongan untuk menangkap ikan di sekitar perairan Masalembo.36 Akar masalah dari konflik tersebut adalah bersumber dari kemorosotan lingkungan dan kelangkaan SDA. Sesuai dengan teori “scarce resource wars”, bahwa seseorang, sekelompok orang atau bangsa akan saling berebut, bahkan berkelahi atau berperang untuk mempertahankan dan mengamankan akses dan kontrol atas sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau survival; semakin langka sumberdaya, semakin dahsyat perebutannya.37 Konflik tersebut juga disebabkan karena tidak adanya kerja sama antardaerah dalam bidang lingkungan dan SDA. Melalui kerja sama antardaerah, maka berbagai potensi dan permasalahan lingkungan dapat dikelola dan diatasi secara bersama. Dengan demikian, kerja sama antardaerah merupakan instrumen penting untuk menjaga keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, dan mencegah konflik antardaerah. Salah satu persoalan mendasar adalah belum adanya pengaturan hukum secara khusus tentang kerja sama antardaerah di bidang lingkungan. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya diatur kerja sama daerah secara umum (Pasal 363-369). Sesuai ketentuan Pasal 363 ayat (1) UU ini, maka tujuan kerja 36M. Baiquni dan R. Rijanta, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Dalam Era Otonomi dan Transisi Masyarakat (Pemahaman Teoritis dan Pemaknaan Empiris), http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/ view/2414, Diakses 29 Januari 2014.; Fahmi Fahriza, Konflik Air Minum Antardaerah, Suara Karya Online, Kamis, 27 Agustus 2009. 37M. Baiquni dan R. Rijanta, Ibid. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 25

sama adalah untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai akibat- nya, kerja sama yang berkembang saat ini lebih berorientasi ekonomi dibandingkan keberlanjutan ekologi. Ketua senat, undangan dan hadirin yang saya muliakan, Menurut saya kerja sama antardaerah sudah semakin mendesak untuk dilakukan, karena kualitas lingkungan cenderung menurun dan semakin terbatasnya SDA. Jika tidak dikelola bersama, niscaya konflik antardaerah akan semakin meningkat pula. Untuk itu diperlukan instrumen hukum yang secara spesifik mengatur kerja sama di bidang lingkungan. Konsep pengaturan hukum yang harus dikembangkan mengenai kerja sama antardaerah di bidang lingkungan hidup setidaknya meliputi hal-hal berikut ini. Pertama, lingkup kerja sama adalah urusan lingkungan yang menjadi kewenangan daerah, terutama urusan lingkungan yang kriteria eksternalitasnya lintas daerah. Selain itu, urusan tersebut memang lebih efektif dan menguntungkan jika dikerjasamakan. Kedua, adanya keterpaduan antara prinsip kerja sama antardaerah pada umumnya dengan prinsip pengelolaan lingkungan. Prinsip kerja sama pada umumnya yang utama antara lain: efisiensi, efektifitas, dan saling menguntungkan. Sementara prinsip dasar pengelolaan lingkungan, terutama prinsip tanggung jawab negara, kelestraian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, keadilan, keanekaragaman hayati dan ekoregion. Penerapan asas yang terakhir (ekoregion) sangat tepat untuk mengatasi ego sektoral atau 26 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

ego daerah, apalagi akhir-akhir munculnya berbagai konflik antardaerah yang bersumber dari perebutan SDA. Ketiga, kerja sama antardaerah harus didasarkan alas hukum yang jelas, sehingga jelas dasar pelaksanaan dan penyelesaian-nya jika terjadi perselisihan di kemudian hari. Bentuk hukum kesepakatan kerjasama ini setidaknya mencakup dua tahap, yaitu tahap awal berupa memorandum of understanding (MoU) dan tahap pelaksanaan melalui memorandum of action (MoA) atau yang lebih dikenal dengan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK). Melalui SPK inilah diatur secara tegas subyek, obyek, lingkup, hak dan kewajiban, jangka waktu, pengakhiran, keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan. Keempat, adanya peran pemerintah dan pemerintah provinsi dalam mekanisme kerjasama antardaerah. Peran ini belum diatur dengan jelas dalam PP No. 50 Tahun 2007 dan Permendagri No. 22 Tahun 2009. Padahal yang menjadi objek kerjasama adalah isu-isu strategis yang bersifat lintas batas daerah. Pelibatan provinsi dan/atau pemerintah dalam kerja-sama antardaerah dalam pengelolaan lingkungan adalah sejalan dengan pendekatan ekosistem yang harus menjadi landasan atau basis utama dalam kerja sama di bidang lingkungan. Kelima, diaturnya model dan format kelembagaan kerjasama antardaerah dalam bidang lingkungan hidup. Idealnya model-model pengelolaan lingkungan, seperti model pengelolaan berbasis pendekatan DAS, model pengelolaan sampah terpadu, model pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dan lain-lain terintegrasi dalam penerapan model-model kerja sama antardaerah. Format kelembagaan kerja sama antar-daerah dapat berupa: (1) Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 27

Sekretariat Kerja Sama, (2) Forum Koordinasi, atau (3) Badan Kerja Sama. Ketua senat, undangan dan hadirin yang saya hormati, III. INTEGRASI PRINSIP EKOKRASI DAN OTONOMI DAERAH: JALAN MENUJU KEBERLANJUTAN EKOLOGI DAN KESEJAHTERAAN Secara konseptual yang dimaksud dengan ekokrasi (ecocracy) adalah kekuasaan negara atau pemerintah yang didasarkan pada kedaulatan yang diberikan oleh lingkungan. Dalam konsep ini termuat makna bahwa lingkungan dipandang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan.38 Oleh karena itu, maka penyelenggara negara pun harus tunduk pada prinsip- prinsip ekokrasi, seperti keberlanjutan, kelestarian, dan keserasian lingkungan hidup. Agar konsep ekokrasi dapat dijalankan dalam sistem bernegara, maka perlu dijabarkan dalam konstitusi suatu negara. Konstitusi yang memuat kebijakan lingkungan inilah yang kemudian dikenal dengan kontitusi hijau (green constitution). Semakin besar kadar muatan konstitusi tentang lingkungan hidup, maka semakin pantas disebut sebagai konstitusi hijau. Kini hampir semua negara telah menuangkan kebijakan lingkungannya dalam konstitusi. Sampai tahun 2004-2005 Tim Hayward mencatat lebih dari seratus negara telah memuat ketentuan lingkungan di dalam 38Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., Op.Cit., hlm. 120. 28 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

konstitusi,39 termasuk Indonesia. Setelah itu masih banyak konstitusi yang telah diubah dan memasukkan ketentuan lingkungan, misalnya Konstitusi Perancis (2006), Konstitusi Equador (2008), dan Kontitusi Bolivia (2009). Sebagai salah satu negara yang konstitusinya termasuk kategori green constitution, adalah melalui penuangan norma hukum lingkungan melalui Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) memuat prinsip perlindungan HAM atas lingkungan hidup, sedangkan Pasal 33 ayat (4) memuat prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Kedua prinsip inilah yang sekaligus menjadi politik hukum lingkungan tertinggi di Indonesia. Sebagai politik hukum lingkungan tertinggi, maka ia harus menjadi kaidah penuntun dalam setiap kebijakan yang terkait dengan lingkungan hidup. Dalam konteks otonomi daerah, maka prinsip-prinsip ekokrasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, juga harus menjadi penuntun dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di bidang lingkungan hidup. Dengan demikian, melalui pengintegrasian prinsip ekokrasi, akan terwujud legislasi hijau (green legislation) di bidang otonomi daerah, wewenang daerah yang luas di bidang lingkungan (green authority), kelembagaan lingkungan daerah yang kuat (green institution), dan berkembang dan kuatnya 39Tim Hayward, Constitutional Environmental Rights, (New York: Oxford University Press, 2005), hlm. 4. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 29

kerja sama antardaerah di bidang lingkungan hidup (green inter-regional cooperation). Semua konsep hijau tersebut di atas tidak akan berjalan dengan baik, kalau tidak didukung oleh pendanaan atau anggaran lingkungan yang memadai (green budgetting). Pengalokasian anggaran lingkungan yang memadai, di antaranya juga tergantung pada komitmen dan visi penyelenggara negara, termasuk legislator di bidang lingkungan hidup. Pada akhirnya, jika prinsip ekokrasi tersebut diintegrasikan dalam kebijakan otonomi daerah, maka otonomi daerah tidak sekedar mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah, tetapi sekaligus keberlanjutan ekologi. Melalui keberlanjutan ekologi ini pula, akan terwujud kesejateraan secara berkelanjutan. Pimpinan sidang dan hadirin yang saya muliakan, Pada bagian akhir pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara, lebih khusus lagi bidang Ilmu Hukum Lingkungan, pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, izinkanlah saya menutup pidato ini dengan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Berbagai problematika lingkungan yang terjadi (bahkan cenderung meningkat) di era otonomi daerah, menyimpulkan bahwa spirit politik hukum lingkungan yang berorientasi perlindungan dan keberlanjutan ekologi belum direfleksikan atau diaktualisasikan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Aktualisasi politik hukum lingkungan dalam penyeleng- garaan otonomi daerah setidaknya meliputi empat aspek, yaitu: membangun legislasi daerah berbasis 30 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

keberlanjutan ekologi, memperkuat kewenangan daerah di bidang lingkungan hidup, peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan daerah, dan pengembangan kerja sama antardaerah di bidang lingkungan hidup. 3. Prinsip-prinsip ekokrasi yang kemudian dijabarkan sebagai politik hukum lingkungan dan diintegrasikan dengam prinsip dan tujuan otonomi daerah, niscaya menjadi jalan mewujudkan keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan secara berkelanjutan. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 31

DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal, dan Makalah Akib, Muhammad, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkung- an dan Refeksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah”, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 3, Desember 2009. -------------, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2013. Anonim, Naskah Akademik RUU Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 22 Mei 2009. Asdep Kelembagaan Lingkungan, KLH, Kebijakan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lingkungan Daerah, Disampaikan pada Rapat AsistensiTeknis Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Daerah, Yogjakarta, 26-27 Mei 2012. Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. -------------, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Fauzi, Noer, dkk., Otonomi Daerah Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. Hadjon, Philipus M., “Fungsi Normatif Hukum Adminis- trasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih”, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru 32 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

Besar Ilmu Hukum, Surabaya: FH Universitas Airlangga, 10 Oktober 1994. Hayward, Tim, Constitutional Environmental Rights, New York: Oxford University Press, 2005. Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan 2008, Jakarta: Kementerian Kehutanan, 2009. Keraf, Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. -------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: FH UII, 2001. Monteiro, Josef M., “Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan”, Jurnal Hukum Pro Justisia, April 2008, Volume 26 No. 2. Ribot, Jesse C, Waiting for Democracy, The Politics of Choice in Natural Resource Decentralization, Washington DC: World Resorces Institute, 2004. Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003. Santosa, Mas Ahmad, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta: ICEL, 2001. Stroink, F.A.M, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi (Terjemahan Ateng Syafrudin), Bandung: Refika Aditama, 2006. Valdez, Enrico G., “Chapter 12: Philippines”, dalam Terri Mottershead, Environmental Law and Enforcement in the Asia-Pacific RIM, Hongkong, Singapore, Malaysia: Sweet & Maxwell Asia, 2002. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 33

WCED, Hari Depan Kita Bersama, (Judul asli Our Common Future), Terjemahan Bambang Sumantri, Jakarta: PT. Gramedia, 1988. Wijoyo, Suparto, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, Surabaya: Airlangga University Press, 2006. Yustika, Ahmad Erani, Perekonomian Indonesia, Suatu Dekade Pasca-krisis Ekonomi, Malang: FE UB, 2007. Media Cetak/Elektronik/Website Baiquni, M. dan R. Rijanta, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Dalam Era Otonomi dan Transisi Masyarakat (Pemahaman Teoritis dan Pemaknaan Empiris),http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/ view/2414, Diakses 29 Januari 2014.; Fahriza, Fahmi, Konflik Air Minum Antardaerah, Suara Karya Online, Kamis, 27 Agustus 2009. http://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi-9.000-perda- bermasalah-digelar-sampai-2014-1, Diakses 26 Januari 2015. http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/1731337 5/70.Persen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.T ambang, Diakses 25 Januari 2015. http://www.kemendagri.go.id/basisdata/2010/03/05/da ftar-perda-dan-kep-kdh-yang-dibatalkan-thn-2002- 2009, Diakses 26 Januari 2015. http://www.tempo.co/read/news/2014/07/01/0955894 44/keru-sakan-hutan-indonesia-terus-meningkat, Diakses 25 Januari 2015. 34 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

UCAPAN TERIMA KASIH Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan pada sidang penerimaan jabatan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara, perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Pertama-tama perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah memberikan kepercayaan untuk mengangkat saya sebagai guru besar. Saya akan berusaha untuk meng- hormati kepercayaan tersebut dengan maksimal. Selanjutnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Yth: a. Rektor Universitas Lampung, Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., yang telah mengizinkan saya melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. b. Senat dan Para Guru Besar Universitas Lampung, yang telah memperkenankan saya untuk menjadi Guru Besar. c. Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Bagian Hukum Adminitrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah memberikan dukungan dalam pengusulan Guru Besar saya. d. Yang Mulia Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. dan Prof. Dr. F.X Adji Samekto, S.H.,M.Hum., masing-masing sebagai Promotor dan Co-Promotor saya ketika Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 35

mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang. e. Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan seluruh pengelola PDIH yang telah banyak membantu saat mengikuti Program Doktor di Undip. f. Semua guru-guru saya mulai dari SDN 1 Karta, Kabupaten Tulang Bawang Barat, SMEA Negeri Kotabumi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, dan PDIH Undip, yang telah banyak mencurahkan ilmu dan suri tauladan kepada saya. g. Ayahanda Alm. Hasanudin dan Ibunda Almarhumah Isyah, yang telah membesarkan dan mendidik saya hingga dapat seperti sekarang ini. h. Ayahanda mertua Alm. Hi. Raden Jauhari Ilyas dan Ibunda Hj. Yangani, yang selalu bangga atas keberhasilan saya. i. Secara khusus saya sampaikan terima kasih kepada Istri saya tercinta: Hj. Nirwana, SKM., MKM. dan ketiga putra-putriku: Andhika Ariefrahman Akib, S.T., Vidia Meiranda Akib, S.Ked., dan Salsabila Nadhifa Akib, atas segala kesabaran, doa, dan menantikan keberhasilan saya. j. Yang saya sayangi Kakanda/Ayunda/Adinda: Alm. Aliyuni, Alm. Ahmad Syahperi, Dra. Monalisa, M.Pd., Ir. Tabrani Mahfi, M.P., Agustinawati, SKM, Abdurrahman, S.Ag., Marhendra Jalyas, S.T., M.I.P., Marlia Eka Putri, S.H., M.H., terimakasih atas doa dan dorongan semangat yang diberikan pada saya. k. Para senior dan rekan sejawat di Fakultas Hukum Universitas Lampung: Dr. Khaidir Anwar, S,H., M.H., Dr. 36 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

H.S. Tisnanta, S.H., M.H., Dr. Yuswanto, S.H.,M.H., Yulia Neta, S.H. M.H, Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H., Dr. Hamzah, S.H., M.H., Rudy, S.H., LLM, LLD., Dr. Budiyono, Dr. M. Fakih, Dr. Erna Dewi, S.H., M.H, Dr. Nikmah Rosyidah, S.H., M.H., Dr. Eddy Rifai, S.H.,M.H., dan seluruh rekan-rekan di Fakultas Hukum yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. l. Yth. seluruh karyawan Fakultas Hukum dan Rektorat, khususnya Bagian Kepegawaian yang membantu memperoses pengusulan pangkat dan Guru Besar saya. m.Yang saya cintai adik-adik para mahasiswa Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung. Pimpinan sidang dan hadirin yang saya muliakan, Sebagai akhir kata terimalah ucapan terima kasih saya kepada para hadirin semua yang telah dengan sabar mendengarkan pidato saya. Semoga bermanfaat bagi pengembangan ilmu, pemerintah, dan masyarakat. Wabillahitaufikwalhidayah Wassalamu’alaikum Wr, Wb. Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 37

RIWAYAT HIDUP A. JATI DIRI 1. Nama : Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. 2. NIP : 196309161987031005 3. Tempat/ Tgl Lahir : Karta, 16 September 1963 4. Jenis Kelamin : Laki-Laki. 5. Agama : Islam. 6. Pekerjaaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. 7. Pangkat/Gol. : Pembina Tk I/IV B. 8. Bidang Keahlian : Ilmu Hukum Administrasi Negara/ Hukum Lingkungan. 9. Alamat Kantor : Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung. 10. Alamat Rumah : Perum KORPRI Blok E5 No. 21, Sukarame-Bandar Lampung, Telp. 0721-771994. HP. 08127902728 11. Status Perkawinan : Kawin. 12. Isteri : Nirwana, SKM., MKM. 13. Anak : 1. Andhika Ariefrachman Akib, S.T. (Mhs S2 ITB) 2. Vidia Meiranda Akib, S.Ked. (Mhs FK UB, Malang) 3. Salsabila Nadhifa Akib (Siswa SMAN 9 Bandar Lampung) B. PENDIDIKAN FORMAL 1. SD : SD Negeri No. 1 Karta, Kecamatan Tulang Bawang Udik Kab. Tulang Bawang Barat (Lulus Tahun 1975) 2. SMP : SMP Dayamurni di Menggala, 38 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

3. SMA Kab. Tulang Bawang (Lulus Tahun 1979) 4. SH (S1) : SMEA Negeri Kotabumi (Lulus Tahun 1982) 5. M. Hum. (S2) : Fakultas Hukum Universitas Lampung (Lulus 1986) 6. Doktor Ilmu : Program Pascasarjana Universitas Hukum (S3) Airlangga (Lulus 1994) : Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, (Lulus 2011) C. PENDIDIKAN LAINNYA 1. Diklat Prajabatan Golongan III, Universitas Lampung, Bandar Lampung (29/02/1988 s.d. 28/03/1988); 2. Penataran Metode Penelitian Hukum, Universitas Lampung (22/08/1988 s.d 10/09/1988); 3. Penataran Hukum Lingkungan, Eks Kerja sama Indonesia-Belanda, Universitas Airlangga, Surabaya (1994, 1995, 1996); 4. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Kerja sama IPB- CRMP, Bogor, 1998; 5. Kursus AMDAL Tipe A, Pusat Studi Lingkungan Universitas Lampung, Bandar Lampung (13 s.d 25 September 1999); 6. Kursus AMDAL Tipe B, Pusat Studi Lingkungan Universitas Lampung, Bandar Lampung (16/10/2000 s.d 11/11/2000); 7. Kursus Teknik Penilaian Pengadaan Barang/Jasa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar Lampung (25 s.d. 27 Mei 2004); 8. Diklat Peningkatan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar Lampung (06 s.d. 14 September 2006); 9. Workshop Penyusunan Perda di Bidang Lingkungan Hidup, Kerja sama KLH-Bapedalda Propinsi Lampung, Bandar Lampung, 2006; Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 39

10. Sandwich-Like Program, University of Wollongong, New South Wales, Australia, 2009; 11. Lokakarya Penulisan Buku Teks, Fakultas Hukum Unila, 2011. 12. Workshop Penulisan Buku Ajar, Fakultas Hukum Unila, (19 – 20 Nopember 2013); 13. Workshop Penelitian Socio-Legal, Kerja sama PKKPHAM FH Unila – Epistema Institute, Bandar Lampung, 13 – 14 Juni 2014; 14. Workshop Penulisan Jurnal Internasional, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 13 Nopember 2014; D. RIWAYAT JABATAN FUNGSIONAL DAN KEPANGKATAN 1. Jabatan Fungsional: : (TMT, 01 Agustus 1989); a. Asisten Ahli Madya : (TMT, 01 Oktober 1991); b. Asisten Ahli : (TMT, 01 Januari 1995); c. Lektor Muda : (TMT, 01 April 1998); d. Lektor Madya : (TMT, 01 Januari 2001); e. Lektor : (TMT, 01 April 2006); f. Lektor Kepala 2. Pangkat dan Golongan Ruang: a. Penata Muda, Gol. III/a (TMT, 01 Maret 1987); b. Penata Muda Tk. I, Gol. III/b (TMT, 01 April 1992); c. Penata, Gol. III/c (TMT 01 April 1995); d. Penata Tk. I, Gol. III/d (TMT 01 Oktober 1998); e. Pembina, Gol. IV/a (TMT 01 Oktober 2002); f. Pembina Tk. I, Gol. IV/b (TMT 01 Oktober 2006); 3. Jabatan Struktural: a. Sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Lampung (2001-2005) dan (2006-2007); b. Ketua Sub Program Hukum Kenegaraan Pascasrajana Magister Hukum Unila, (September 2011-Desember 2013); c. Wakil Direktur Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni Program Pascasarjana Universitas Lampung (Januari 2014-sekarang) 40 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

E. PENGALAMAN MENGAJAR: 1. Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Lampung: a. Hukum Lingkungan, b. Hukum Sumber Daya Alam, c. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan, d. Hukum Penataan Ruang; dan e. Filsafat Hukum 2. Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung: a. Hukum Lingkungan; b. Hukum dan Kebijakan Publik, c. Politik Hukum, dan d. Sejarah Hukum, 3. Magister Kenotariatan dan Program Doktor KPK Unila- Undip: a. Teori Hukum 4. Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung: a. Kebijakan dan Hukum Lingkungan; F. SEMINAR, SIMPOSIUM, LOKAKARYA 1. Seminar Nasional Penegakan Hukum Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (19 – 20 Juni 2014) (Peserta); 2. International Conference on Law, Business & Governance, Bandar Lampung University (22 – 24 Oktober 2013), (Pemakalah); 3. Pelatihan Peningkatan Mutu Penelitian Dosen Fakultas Hukum Unila (17 – 18 Nopember 2013), (Peserta); 4. Diskusi Publik “Access to Justice: A Restatement”, Pembicara: Ward Barenschot (Universitas Leiden), Amru Walid Batubara (Kanwil Kumham Provinsi Lampung), Rudy, LL.D. (FH Unila), Fakultas Hukum Unila (16 September 2013), (Peserta); 5. Diskusi Publik “Securing Land Rights: Land Conflicts In Democratizing Indonesia” Pembicara: Willem van der Muur (Universitas Leiden), Dr. H.S. Tisnanta (FH Unila), Kerja sama PKKPHAM FH Universitas Lampung dan KITLV Leiden, 15 Agustus 2013, (Peserta); Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 41

6. Seminar Nasional Program Sandwich-Like, Dirjen Dikti, Kemendiknas, Semarang, (2010); 7. Seminar Internasional “A Comparative Legal Study on Some Specific Issues in Malaysia and Indonesia”, Kerja sama Undip dan Pemerintah Malaysia, Semarang, 2008 (Peserta). 8. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Daya Aparatur Negara, Kerja sama FH Undip dengan Kantor Menpan, di Semarang, 2008 (Peserta). 9. Seminar Nasional Keterbukaan Informasi, Kerja sama FH Undip dengan Kantor Menpan, di Semarang, 2007 (Peserta). 10. Seminar Nasional Sinergi Membangun Rezim Anti Pencucian Uang Yang Efektif di Indonesia, Kerja sama Unila dengan PPATK, Bandar Lampung, 2006 (Peserta). 11. Lokakarya Hasil Penelitian Studi Dinamika isi dan Implementasi Peraturan Daerah Berkaitan dengan hak- Hak Masyarakat Miskin, Perempuan dan Anak, serta Kelompok Marjinal lainnya di Propinsi Lampung, Diselenggarakan Justice for The Poor, World Bank, Jkt, di Bandar Lampung, 2006 (Pemateri). 12. Lokakarya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Bagian Hukum Internasional, Diselenggarakan Kerja sama Bagian HI dengan Heds Project, Bandar Lampung, 2006 (Pemateri). 13. Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian PTK dan PPKP, Diselenggarakan Ditjen Dikti, Yogyakarta, 2006 (Moderator). 14. Lokakarya Penyusunan Proposal Penelitian dan PKM (Program Hibah A2 Dikti), Diselenggarakan FMIPA Unila, Bandar Lampung, 2006 (Pemateri). G. PENELITIAN 1. Identifikasi dan Evaluasi Produk Hukum Daerah Provinsi Lampung Dalam Pengelolaan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda, Penprinas MP3EI 2014, Tahun Ketiga (Ketua Peneliti). 2. Identifikasi dan Evaluasi Produk Hukum Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda, Penprinas MP3EI 2013, Tahun Kedua (Ketua Peneliti). 42 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara

3. Pengaturan Status Hukum Tanah Timbul dan Model Pengelolaannya Pada Wilayah Pesisir Desa Margasari Kecamatan Labuan Maringgai Lampung Timur, Hibah Bersaing, 2013 (Anggota Peneliti). 4. Identifikasi dan Evaluasi Produk Hukum Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda, Penprinas MP3EI 2012, Tahun Pertama (Ketua Peneliti). 5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang- undangan Mengenai Pendaftaran Tanah, Kerjasama FH Unila dan BPN, 2012 (Anggota Peneliti). 6. Model Kebijakan Hukum Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Pendekatan Ekosistem dan Tipologi Daerah, Hibah Stranas 2009 (Ketua Peneliti). 7. Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Provinsi Lampung, Hibah Stranas 2009 (Anggota Peneliti). 8. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Hibah Doktor Undip 2009 (Ketua Peneliti). 9. Kajian Hukum Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan di Era Otonomi Daerah dan Implementasinya di Provinsi Lampung, DIPA PNBP Unila 2008 (Ketua Peneliti). 10. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Hibah Pemda Provinsi Lampung, 2008 (Ketua Peneliti). 11. Kajian Pengembangan Pengaturan Untuk Mendukung Pertumbuhan Kapasitas Lembaga Penelitian dan Pengembangan Perguruan Tinggi, Kerja sama Lemlit Universitas Lampung dengan Kementerian Ristek, 2007 (Ketua Peneliti). 12. Kajian Ketentuan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing, Kerja sama Lemlit Universitas Lampung dengan Kementerian Ristek, 2007 (Anggota Peneliti). 13. Penyusunan database Perda Online Kota Bandar Lampung, Kerja sama dengan Pemda Kota Bandar Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah 43

Lampung, Kerja sama Lemlit Unila dengan Pemkot Bandar Lampung, 2006 (Ketua Peneliti). 14. Studi Kelayakan Pemekaran Kabupaten Lampung Barat, Kerja sama Pemda Lampung Barat-Lemlit Unila, Kerja sama Lemlit Unila dengan Pemda Kabupaten Lampung Barat, 2006 (Anggota Peneliti). 15. Penyusunan Amdal Rencana Pembangunan Jaringan Transmisi 150 Kv New Tarahan-Sribawono, Kerja sama Lemlit Unila dengan PT. PLN (Persero) UPT P3B Tanjung Karang, 2005 (Ketua Peneliti). 16. Eksistensi dan Posisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah, BAPEKKI-Departemen Keuangan, Jakarta, 2005 (Anggota Peneliti). 17. Dinamika Implementasi Peraturan Daerah: “Studi atas Isi dan Implementasi Perda yang Berkaitan dengan Hak-hak Masyarakat Miskin, Perempuan dan Anak, serta Kelompok Marjinal Lainnya di Propinsi Lampung”, Kerja sama Lemlit Unila dengan World Bank, 2004 (Anggota Peneliti). 18. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai Timur Lampung Selatan, Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas RI, Tahun Kedua, 2004 (Anggota Peneliti). 19. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai Timur Lampung Selatan, Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas RI, Tahun Pertama, 2003 (Anggota Peneliti). 20. Penyusunan Naskah Akademis Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Propinsi Lampung, Kerja sama Lemlit Unila dengan Bapedalda Propinsi Lampug, 2003 (Ketua Peneliti). 21. Penyusunan Sistem dan Prosedur Penyusunan dan Pelaporan Anggaran, Kerja sama Lemlit Unila dan Bappeda Propinsi Lampung, 2003 (Anggota Peneliti). 22. Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Pelaksaannya di Propinsi Lampung, DIKs Unila, 2002 (Ketua Peneliti). 44 Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook