Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Roshinta-Sempurna Bukan Milik Kita (SKRIPSI KLIP 2022)

Roshinta-Sempurna Bukan Milik Kita (SKRIPSI KLIP 2022)

Published by Roshinta Dewi, 2022-12-14 14:03:13

Description: Roshinta-Sempurna Bukan Milik Kita (SKRIPSI KLIP 2022)

Search

Read the Text Version

KATA PENGANTAR Buku ini adalah kumpulan naskah cerpen yang saya buat secara pribadi maupun ketika mengikuti forum kepenulisan. Tulisan-tulisan ini sekaligus sebagai setoran harian selama mengikuti KLIP (Kelas Literasi Ibu Profesional). Tahun 2022 merupakan tahun pertama saya bisa menyelesaikan kelas di KLIP hingga ke tahap skripsi. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa bagi saya. Konsistensi menulis selama satu tahun menghasilkan buku kumpulan cerita pendek ini sebagai skripsi KLIP. Ada 14 cerita pendek yang berisi berbagai kisah dengan karakter utama yang berbeda-beda. Namun, sebagian besar adalah kisah yang terjadi pada wanita dewasa yang juga seorang ibu. Sebagai penulis pemula, karakter yang dekat dengan kehidupan saya sehari-hari adalah karakter-karakter yang saya pilih. Bukan tanpa sebab, dengan menggali ide dari lingkungan yang dekat, maka proses riset akan lebih mudah saya lakukan. Saya yakin dalam penyusunan buku ini, masih banyak kekurangan di sana-sini. Semoga buku ini dapat menjadi langkah awal bagi saya untuk lebih mengembangkan kemampuan dalam menulis cerita pendek, atau bahkan tulisan fiksi lainnya di masa yang akan datang. Salam, Roshinta Dewi Aryani 1

DAFTAR ISI Semoga Dia Jodohku ...........................................................................................3 Luka Hati Andini .............................................................................................. 10 Prasangka Rengganis....................................................................................... 15 Perjuangan Amat Mude ................................................................................... 18 Randa Tapak Tepi Jalan .................................................................................. 23 Bulir Mencoba Terbang................................................................................... 31 Pria Nastar Keranjang ..................................................................................... 39 Kisahku di Warmindo...................................................................................... 42 Kisah Pilu Si Budak Cinta ............................................................................... 46 Akad Nikah Diana............................................................................................. 49 Kisahku dan Sepatu Biru ................................................................................ 53 Anugerah yang Istimewa ................................................................................ 55 Gadis Venus Masa Bodoh ................................................................................ 59 Merindu Naungan............................................................................................. 63 Keterikatan yang Tumbuh Tanpa Disadari.................................................. 66 Kebersamaan dan Masa Tua........................................................................... 70 2

Semoga Dia Jodohku Sepasang kekasih bergandengan menyusuri deretan outlet barang-barang bermerek di ruang tunggu bandara. Pencahayaan benderang menampakkan jelas wajah mereka yang tersenyum dan tertawa disela obrolan. “Sayang, ke sini dulu deh.” Si wanita menarik tangan pasangannya untuk masuk ke salah satu outlet tas kulit merek luar negeri. “Beli tas lagi? Kan baru dua minggu yang lalu beli tas baru,” ujar si pria sambil tetap mengikuti ke mana arah si wanita menariknya. “Ada flash sale, lumayan kan diskon 20%. Itu di rak atas ada hand bag warna burgundy. Kamu tahu kan, aku habis beli sepatu baru warna itu juga. Pasti cocok.” *** Mobil Innova brown metallic berhenti di area dropoff keberangkatan domestik terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Seorang pria paruh baya berseragam biru tua keluar dari mobil menuju bagasi belakang. Disusul oleh dua pria lainnya, seorang membawa messenger bag di tangannya, seorang lagi membawa tas selempang yang tersampir nyaman di pundaknya. “Makasih Pak Abdi, langsung balik kantor aja!” ujar pria yang memakai tas selempang selagi menerima koper dari bagasi mobil. “Baik Pak Andre, Pak Leo, saya pamit ya. Semoga perjalanan lancar.” “Oke Pak Abdi, hati-hati,” sahut pria satunya yang bernama Leo. Langit jingga mulai meredup menuju malam, angin sepoi bertiup menerbangkan bungkus permen yang terlihat satu dua di jalanan aspal. Kumandang adzan mulai terdengar, pertanda maghrib telah tiba. Bandara termegah di Indonesia itu tampak sibuk. Para calon penumpang dan pengantar berjalan cepat sambil menarik koper atau menenteng tas travel. Seorang ibu memarahi anaknya yang berlarian. Di sebelahnya, wanita muda berpakaian kasual dengan kaus putih dipadu celana jin, jaket dan ransel besar di pundak tampak berjalan santai. 3

Pria bernama Andre berperawakan sedang, kulit coklat, rambut hitam klimis dengan wax yang sepertinya tak pernah absen. Wajah bersih dengan tubuh atletis yang dibalut kemeja panjang berwarna biru muda. Rekannya, Leo berkulit putih layaknya aktor tampan di drama Korea. Tubuhnya tinggi, dengan perut buncit yang sedikit menonjol. Rambut cepak hitam kecoklatan yang tak perlu usaha lebih untuk membuatnya tetap di posisinya. Mereka berjalan menuju pintu masuk Gate 5, melewati deretan trolley bandara yang berjajar rapi di pinggir pembatas. Tampak sebuah pintu bertuliskan “Masuk/Entry” diikuti area Security Check Point 1 dengan metal detector dan mesin pemindai x-ray. Orang-orang tampak sibuk memindahkan koper, tas, dan barang lainnya dari trolley ke conveyor mesin x-ray. Andre menuju check point sebelah kiri dan Leo di sebelah kanan. Tak seperti Leo yang sibuk melepas ikat pinggang, jam tangan, handphone, meletakkannya di baki dan memasukkannya ke mesin pemindai, Andre terlihat lebih santai. Semua benda yang mungkin terdeteksi di walkthrough metal detector sudah masuk ke tas selempangnya. “Masukin tas aja dulu, nanti juga dilepas lagi pas masuk ruang tunggu,” anjur Andre. “Iya sih, kok gue lupa mulu ya. Kayak baru pertama masuk bandara aja. Hahaha …,” urai Leo tertawa sembari memasukkan ikat pinggang dan barang lainnya ke tas. “Mesin check in mandiri apa ke counter?” tanya Andre. “Gue bawa koper agak gede, istri banyak titipan. Masukin bagasi jadi,” jelas Leo. “Oke, aku ke mesin check in aja, mau lanjut sholat maghrib. Ketemu di restoran prasmanan yang biasa ya.” Area check in yang sangat luas semakin menunjukkan kemegahan bandara ini. Penerangan di langit-langit yang tinggi, papan informasi yang dilengkapi lampu, aneka patung logam yang menambah indah interior. Ada satu karya seni yang cukup menarik perhatian, buntalan-buntalan dengan motif sarung beraneka warna, ditumpuk menjadi satu hingga menjulang beberapa meter tingginya. Konon karya berbahan alumunium itu terinspirasi dari orang zaman dahulu yang bepergian membawa buntalan untuk menaruh barang bawaan. Deretan area counter check in dari A hingga F dibagi sesuai jenis maskapai penerbangan. Setiap area berjajar lebih dari sepuluh meja check in, meski tidak semuanya dibuka, tergantung banyaknya penerbangan pada hari itu. Mesin-mesin self check in juga 4

berjajar rapi di setiap area, memudahkan bagi mereka yang tidak membawa bagasi untuk mencetak sendiri boarding passnya. Sementara Leo mengantre dengan puluhan penumpang lainnya di meja check in, Andre berjalan menuju mesin check in mandiri sesuai maskapai yang mereka naiki. Dua orang wanita muda di depannya sibuk berdiskusi tentang cara pengoperasian mesin itu. Tampaknya ini pengalaman pertama bagi mereka. “Ini pencet yang ini kan ya?” ucap wanita berjilbab hitam. “Iya kayaknya ini check list-check list aja,” sahut wanita berjilbab biru. “Ini pilih apa? Booking reference, e-ticket number, barcode?” Melihat kedua wanita itu kebingungan, Andre maju untuk membantu. “Klik yang ini aja mbak, booking reference, nanti masukkan kode booking tiket yang sudah dibeli.” “Makasih banyak mas,” ujar kedua wanita itu. Andre berjalan menuju boarding gate sembari menggenggam boarding pass yang dicetaknya tadi. Tertulis nama Andre Sandriawan, Flight GA812 Gate 16, Boarding time 20.15, dan keterangan lain seperti nomor kursi, tanggal keberangkatan, kota asal dan kota tujuan. Gerbang megah berbentuk asimetris yang artistik dengan papan informasi bertuliskan Gate 11-28 sudah tampak di depannya. Dia mempersiapkan boarding pass dan kartu identitas untuk ditunjukkan kepada petugas di Security Check Point 2. Selanjutnya proses pengecekan sama seperti sebelumnya, tak memakan waktu lama karena Andre hanya membawa koper cabin berukuran kecil dan tas selempang. Di sebelah kiri tampak papan informasi prohibited items bergambar benda-benda yang dilarang dibawa ke pesawat. Ada juga kotak transparan yang berisi gunting kuku dan benda logam lain seperti gunting kecil atau silet. Golongan benda tajam meski berukuran kecil tidak boleh dibawa ke cabin pesawat, jika tetap ingin membawanya, harus diletakkan di koper bagasi. Memasuki ruang tunggu, terlihat deretan toko-toko layaknya pusat perbelanjaan. Tak hanya tempat makan dan toko oleh-oleh, banyak juga toko pakaian dan pernak- pernik bahkan toko buku. Andre segera menuju eskalator turun untuk sholat maghrib di mushola. Di lantai bawah, dia kembali disambut dengan outlet-outlet barang-barang branded merek luar negeri. Dulu istrinya sangat menyukai area ini, berjalan-jalan sambil terkadang membeli tas atau sepatu yang menarik perhatiannya. 5

Melihat travelator kembali mengingatkannya pada wanita yang dinikahinya empat tahun silam. Alyssa Paramitha, wanita cantik berambut panjang, berkulit putih mulus yang selalu menggemaskan ketika berbicara, membuat Andre tak pernah bisa menolak permintaannya. “Pakai ini aja, biar cepet. Capek sayang, jalannya,” ujar Alyssa manja sambil berdiri di travelator, eskalator datar yang mempersingkat waktu berjalan kaki menuju gate yang jauhnya bisa mencapai satu kilometer. Bandara memiliki banyak kenangan bagi Andre, pekerjaan sebagai auditor di salah satu bank mengharuskannya sering bepergian ke kota-kota lain untuk melakukan audit di bank cabang. Terkadang dia harus menetap beberapa minggu di satu kota. Pulang ke rumah selama seminggu dan kembali bepergian. Pada awal pernikahan mereka, Alyssa sering menemani Andre dinas luar kota sambil jalan-jalan. Tahun berlalu dan Alyssa tak lagi melakukannya, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk istirahat di rumah. Tiga tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Langit-langit bermotif segitiga dwiwarna tampak seperti berlian berkilauan. Petugas bandara berkeliling memakai segway bertenaga listrik dengan roda sebagai alat transportasi personal yang memudahkan dan mempersingkat waktu menuju lokasi tertentu. Tampak pula mobil golf yang membawa ibu hamil, bayi atau lansia. Ruang tunggu keberangkatan domestik yang terdiri dari 28 gate ini tak hanya luas, megah, dan cantik, namun juga cukup jauh dan melelahkan untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Mushola itu cukup bersih dengan karpet dan AC, hanya ada 2 pria yang sholat di sana. Andre menuju tempat wudhu dan segera menunaikan sholat jamak maghrib dan isya. Dia berjanji menemui Leo di restoran prasmanan langganan mereka. Tak perlu menunggu makanan dimasak, pelanggan hanya tinggal mengambil atau memilih nasi, lauk dan sayur yang berjajar di meja. Pilihan yang tepat ketika tidak punya banyak waktu. “Ayam bakar taliwangnya sudah tinggal 3 potong, coba cek ke dapur, refillnya sudah siap belum.” Seorang wanita berumur pertengahan tigapuluhan memberi instruksi kepada staf restoran. Papan merah dengan tulisan “Selera Rasa” warna kuning tampak mencolok. Restoran prasmanan itu cukup ramai. Ada enam meja terisi dari total sepuluh meja. “Bu, ayamnya habis. Stok mentahnya juga sudah habis,” ujar staf yang baru keluar dari dapur. Ayam bakar taliwang adalah lauk best seller di restoran itu. 6

“Oh, gitu. Ya sudah, keluarkan yang ada aja, hari ini ada beberapa penerbangan malam. Sebentar lagi pasti banyak yang mau makan.” Andre menyusuri ruang tunggu menuju restoran. Ruangan itu sangat mewah dipenuhi berbagai fasilitas, kursi bersandaran kaki yang berjajar menghadap dinding kaca dengan pemandangan landasan pesawat, sofa-sofa merah untuk menonton tv kabel, playground yang dipenuhi anak-anak bermain. Para orang tua yang duduk di kursi sekitar, mengawasi anak mereka. Muda mudi bercengkerama di kursi-kursi sebelah charging station sambil menunggu baterei handphone penuh, orang-orang yang lebih tua menikmati kursi pijat elektronik bertipe vending machine yang bisa digunakan dengan memasukkan sejumlah uang. “Sorry gue duluan yak,” ujar Leo setelah Andre meletakkan tak selempang di kursi di depannya. Leo sampai lebih dulu di restoran prasmanan dan sudah memilih makan malamnya. “Oke, nggak papa. Aku ambil makanan dulu,” sahut Andre berjalan menuju meja prasmanan, mengambil nasi merah, tumis pare, orek tempe dan ikan nila bakar. Memesan jeruk hangat dan membayar di kasir. “Seminggu selesai nggak kira-kira? Pengen ke Berastagi nih, nginep semalam kan lumayan sebelum balik ke sini.” Leo memulai obrolan setelah Andre duduk di depannya. “Enggak dicariin istri nanti?” ucap Andre menanggapi sambil melanjutkan mengunyah makan malamnya. “Gampang, yang penting oleh-oleh aman. Risol gogo, bolu meranti, bika ambon, sama satu lagi dia minta sarung bantal sofa etnik apa ya, katanya kreasi tenun khas Medan. Lagi jadi tren di temen-temen arisannya.” “Boleh deh, nanti koordinasi sama Pak Burhan aja biar disiapin akomodasi ke Berastagi. Aku juga sudah lama nggak refreshing.” “Tapi bro, btw loe nggak ada rencana nikah lagi? Udah setahun lho.” Pikiran Andre menerawang ke kejadian tahun lalu yang meluluhlantakkan rumah tangganya. Andre pergi dinas luar kota selama dua minggu, tetapi karena pekerjaan sudah selesai, dia memutuskan pulang dua hari lebih awal tanpa memberitahu istrinya, ingin membuat kejutan. Tak disangka, dialah yang lebih terkejut. Turun dari pesawat, Andre menuju area pengambilan bagasi untuk mengambil oleh-oleh. Di seberang, tampak 7

Alyssa menggandeng seorang pria dan bersandar mesra sambil menunggu bagasi pesawat yang belakangan diketahui berangkat dari Labuan Bajo. Naik pitam, Andre merangsek maju ke arah mereka berdua. Kehebohan kejadian di bandara ketika itu, masih bercokol di ingatannya. Ternyata Alyssa selingkuh di belakangnya. Tanpa rasa bersalah, Alyssa mengajukan perceraian dengan alasan Andre tidak memberinya cukup nafkah batin karena terlalu sering bepergian. Proses gugatan yang panjang dan melelahkan, berakhir dengan persetujuan Andre untuk bercerai dan memenuhi tuntutan Alyssa tentang pembagian harta. “Nanti deh, tunggu jodoh,” jawab Andre sekenanya. “Eh, aku mau beli cemilan buat di pesawat, mau?” lanjut Andre sambil berdiri. “Boleh, sosis solo aja, dua. Perut udah nggak mau diajak kompromi nih.” Restoran prasmanan itu juga menyediakan jajanan tradisional seperti sosis solo, lemper, aneka gorengan, cemilan manis seperti mendut, lemet, dan lainnya. Andre memilih beberapa kue, meminta staf restoran membungkusnya dan menuju kasir untuk membayar. Namun, tatapannya terpaku pada seorang wanita cantik yang sedang berbicara dengan staf kasir. Meski sudah 18 tahun berlalu, dia tak pernah melupakan mata itu, senyum itu, gigi gingsul dan lesung pipi yang hanya sebelah. “Prita?” Wanita itu menoleh, menelisik dan mencoba mengingat-ingat sosok pria yang baru saja memanggil namanya. “Andre? Andre Sandriawan kelas 2E SMA Pelita Surya?” ujar wanita itu terkaget. “Ya ampun, kok bisa ketemu di sini?” lanjutnya. “Aku yang mau nanya lho, kok baru lihat kamu di sini, padahal aku sering banget makan di restoran ini,” sahut Andre. “Owh, pelanggan setia rupanya. Iya, aku baru stand by di sini seminggu. Ini usaha milikku, kebetulan manajernya lagi cuti melahirkan, jadi sementara aku yang ngawasin.” Prita Mediana, cinta pertama semasa SMA yang tiba-tiba pindah ke Jakarta dari kota kecil bernama Magelang. Tidak bertemu belasan tahun tak membuatnya lupa, meski tampak menua, aura cantik tetap terpancar dari wajahnya. Hanya sesekali mereka bertukar kabar melalui media sosial group alumni. Wanita sukses dan mandiri yang memiliki beberapa usaha kuliner, dan hingga kini masih mempertahankan status single. 8

“Boleh minta nomer whatsapp? Siapa tahu bisa ngobrol-ngobrol mengenang masa lalu.” “Boleh dong,” sambut Prita tersenyum. “Tinggal di mana sekarang?” lanjut Prita. “Di Jakarta Selatan, tapi ya gini nih. Lebih sering ke bandara. Hahaha….” “Kamu sendiri tinggal di mana sekarang?” lanjut Andre. “Jakarta Timur, daerah Cijantung. Mainlah kapan-kapan. Bawa keluarga juga boleh. Biar saling kenal.” “Aku, udah cerai Prit. Lagi sendiri sekarang. Kamu gimana? Tinggal sama keluarga ya di Cijantung?” “Oh, sorry. Nggak maksud.” Prita tampak canggung. “Aku tinggal sendiri, papa sama mama sudah nggak ada Ndre.” “Turut berduka ya. Kapan-kapan hangout bareng ya. Ngobrol di café gitu. Mengenang masa lalu.” “It’s fine. Udah lama juga kok. Wah, boleh deh. Kabar-kabar ya.” Obrolan sekejap itu membawa percikan di hati masing-masing. Benih-benih rasa yang dahulu tak sempat tumbuh mulai memiliki kesempatan untuk berbunga. Prita dan Andre bertukar nomor telepon dan berjanji akan saling mengabari. Andre berjalan menuju gate 16 dengan senyum tersungging di wajahnya. Bertemu kembali dengan wanita yang dahulu dia impikan menjadi jodohnya. *** SELESAI *** 9

Luka Hati Andini Hari ini jalanan yang kulalui tak sepadat biasanya. Aku berbelok memasuki area parkir tanpa antrian berarti. Aroma obat-obatan menyeruak ketika kulangkahkan kali di lorong gedung tempatku bekerja. Tak heran orang menyebutnya bau rumah sakit, aromanya memang khas. Aku adalah seorang dokter, entah kenapa aku memilih profesi ini. Seingatku, dulu aku memiliki cita-cita sederhana. Menjadi Guru. “Hari ini kita ada 6 operasi ya Bu,” ujarku pada Bu Ida, perawat khusus anestesi yang selalu mendampingiku di ruang operasi. “Iya dok, 3 pasien bedah umum, 1 pasien bedah tulang, 1 pasien bedah caesar dan 1 pasien bedah anak,” jawab Bu Ida sambil mengecek papan jadwal. “Dokter Andini sudah sarapan? Mau saya pesankan nasi rames di kantin?” “Enggak usah Bu, sudah makan bubur ayam tadi.” Di rumah sakit ini ada 3 dokter spesialis anestesi, dan aku satu-satunya dokter wanita, memang tidak banyak yang mengambil spesialis anestesiologi. Tetapi aku menyukainya, setiap kali mengoperasikan mesin anestesi, aku merasa seperti pilot. Aku mengawali pagi itu dengan mengunjungi ruang ICU, ada 1 pasien gagal jantung dengan mesin ventilator terpasang di tubuhnya. Kami melakukan prosedur intubasi beberapa hari yang lalu. Kudengar, dia adalah seorang pria tua kaya yang hidup sendiri. Istrinya sudah meninggal, dan kedua anaknya hidup di luar negeri. Amerika dan korea kalau aku tak salah dengar. Kulangkahkan kaki di sepanjang lorong yang sepi. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengecek mesin anestesi sebelum jadwal operasi. Mesin ini mencampur gas anestetik yang akan dihirup pasien dan disalurkan ke paru-paru. Aku menggunakannya untuk prosedur anestesi umum atau bius total pada operasi-operasi berat. “Trakeostomi ya dok, bayi 28 hari. Agak sulit mungkin,” kata dokter Adrian, dokter utama operasi kali ini. Pasien adalah seorang bayi perempuan cantik yang mengalami gangguan saluran pernapasan kongenital, bawaan lahir. Pada prosedur anestesi, usia pasien sangat berpengaruh. Pasien usia dewasa muda misalnya 17 tahun, tentu rencana anestesi akan 10

berbeda dengan pasien di atas usia 50 tahun atau pasien dengan komplikasi penyakit bawaan seperti ginjal dan lainnya. Suasana cukup intens di ruang operasi, para dokter dan perawat sangat berhati-hati dengan setiap gerakan. Tubuh mungil itu harus menahan serangkaian proses menyakitkan demi tetap bertahan hidup. Sambil memantau jalan napas dan kondisi pasien, aku terus berdo’a dalam hati, agar bayi mungil itu mampu bertahan dengan baik. “Alkhamdulillah, prosedur operasi berjalan lancar. Mari kita pantau terus kondisinya ya Bu.” Samar-samar kudengar dr. Adrian memberitahu wali pasien tentang hasil operasi. Aku ikut lega mendengarnya. Meskipun masih single di usia 34 tahun, aku sudah sangat mendambakan memiliki seorang bayi. “Ada operasi darurat dok, pasien kecelakaan sepeda motor,” ucap Bu Ida. Aku sedang berada di ruang istirahat ketika itu. Sudah biasa bagiku mendapat telepon atau panggilan untuk operasi darurat seperti ini. Dokter anestesi memang harus selalu siap ketika ada panggilan, karena jumlah kami juga tidak banyak dan jumlah operasi seringkali tidak bisa diprediksi. Aku membaca berkas pasien sambil bersiap ke ruang operasi. Anggara Surya Adi, 36 tahun, pasien kecelakaan, cedera tulang belakang. Nama itu tidak asing, pikiranku segera melayang ke kejadian 4 tahun lalu. “Maaf, aku tak tahu harus berkata apa. Sungguh, aku mencintaimu!” “Mencintaiku kau bilang, lalu bagaimana dia bisa hamil, ha?” jeritku pilu. Dunia serasa runtuh seketika. Sebulan sebelum pernikahan, calon suamiku berkata dia menghamili seseorang. Dokter bedah dan seluruh tim sudah bersiap di ruang operasi, perasaanku tidak enak. Apa mungkin ada nama dan usia yang sama persis. Ketika kulihat ibunya di lorong ruang operasi, terjawab sudah. Dia memang pria yang pernah sangat kucintai, tetapi juga pria yang menorehkan luka hati. “Oke, sudah. Kita tutup sekarang ya.” Kudengar dr. Bram berbicara dengan asistennya. Ada retakan pada tulang belakang, dan beberapa pecahan tulang akibat benturan keras. Operasi berjalan lancar dan dokter bersiap menutup daerah operasi. Malam ini terasa sangat panjang, kenangan-kenangan lama kembali menghambur di pikiranku. Kami bertemu 7 tahun yang lalu, pertemuan tak sengaja kalau bisa kubilang. Aku masih dokter baru, dan belum mengambil pendidikan spesialis. Ketika itu, mas 11

Angga aku biasa memanggilnya, dirawat sekitar satu minggu di rumah sakit karena demam berdarah. Kami bertemu setiap hari, sebagai dokter dan pasien. Setelah keluar dari rumah sakit, mas Angga sering menghubungiku. Beberapa kali mengajakku bertemu. Awalnya aku menanggapi dengan dingin, namun dia sangat gigih. Dan aku merasa nyaman dengannya. “Andini, aku menyukaimu. Semenjak pertemuan pertama kita di rumah sakit,” ucap mas Angga suatu hari. Kami sedang duduk di bawah pohon setelah bermain wahana halilintar di sebuah wisata taman bermain. Perasaan itu, masih kuingat hingga hari ini, senyumanku mendengar ungkapan hatinya menjadi pertanda hubungan kami dimulai. Mas Angga adalah orang yang sangat perhatian, tidak romantis, tetapi perhatian. Menurunkan pijakan kaki sepeda motor agar aku dapat membonceng dengan nyaman. Membelikan minuman kesukaanku ketika menjemputku pulang dari rumah sakit. Banyak perhatian-perhatian kecil yang sangat kurindukan ketika akhirnya kami tak lagi bersama. “Aku bersedia mas, aku mau, sangat. Aku sudah menantikan hari ini,” jawabku ketika akhirnya mas Angga mengajakku menikah. Aku memang sangat ingin menikah, aku ingin segera memiliki bayi. Memikirkan pernikahan membuatku tersenyum setiap harinya. Kami mulai mencari gedung, vendor pernikahan, studio foto, penjahit kebaya pengantin. Semua berjalan lancar. Orang tua kamipun sangat setuju. Hingga suatu sore, ketika kami mengambil undangan pernikahan di percetakan, kulihat gelagat tak biasa padanya. Berkali kali dia menerima telepon dan berbicara dengan nada emosi. Dia mengantarku pulang tanpa banyak bicara. Sepanjang jalan hanya terdiam, memandang ke depan dengan wajah bingung dan cemas. Aku tak berani bertanya, aku tahu dia akan bicara, asal aku memberinya waktu. Mas Angga selalu begitu, dan aku memahaminya. “Andini, mas mau bicara,” ucapnya membuka percakapan. Wajahnya terlihat cemas. “Kamu tahu Indah kan, teman kerja mas.” Ya, tentu saja aku tahu Indah. Gadis manis berlesung pipi yang baru satu tahun ini bergabung dengan divisi mas Angga. Junior yang selalu bersamanya ketika dinas keluar kota. Tetapi, kenapa dia membahas Indah. Apakah ada hal buruk terjadi padanya, pikirku saat itu. “Indah hamil, sudah 4 minggu,” ujarnya melanjutkan. 12

“Hah? Kan dia belum menikah mas. Trus gimana? Lelakinya mau tanggung jawab?” Hening, dia tak berkata apa-apa. Aku menunggu dengan perasaan berdebar yang aneh. Aku tak boleh berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin mas Angga, aku percaya padanya. Mungkin rekan kerja mereka yang lain. “Maafin mas Andini.” Kenangan pahit hari itu, mungkin akan tetap menghuni salah satu ruang di ingatanku. Empat tahun telah berlalu, dan aku masih belum mampu menjalin hubungan baru. Terkadang, aku menyalahkan diriku sendiri karena terlalu sibuk dengan pendidikan spesialisku sehingga mas Angga merasa terabaikan. Tetapi aku tahu, dialah yang bersalah, merekalah yang bersalah. Menikungku dari belakang. Bukan aku, bukan. Pagi ini, aku malas sekali beranjak dari tempat tidurku. Semalaman aku tak dapat memejamkan mata. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya. Setelah semua yang terjadi, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Tak mungkin aku acuhkan saja, ibunya mas Angga selalu baik padaku. Setidaknya aku harus menunjukkan sedikit perhatianku. “Dok, pasien yang operasi bedah tulang belakang kemarin gimana dok kondisinya?” tanyaku pada dr. Bram di dekat meja perawat. “Kebetulan saya kenal dengan keluarganya.” “Kemungkinan paraplegia dok, kelumpuhan pinggang ke bawah. Tetapi perawatan lebih lanjut nanti dengan dr. Sartika dari bagian saraf,” kata dr. Bram menjelaskan. “Apa masih ada harapan untuk sembuh kembali ya dok?” tanyaku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. “Harapan tentu ada dokter Andini, kita hanya harus berusaha maksimal. Kasusnya tidak terlalu berat, kita do’akan saja,” ucap dr. Bram mengakhiri obrolan kami. Di waktu istirahatku, aku menyempatkan diri menjenguk mas Angga. Aku berbicara dengan ibunya yang tampak sangat lelah. “Nak Andini, terima kasih sudah menyempatkan ke sini,” kata ibu mas Angga. “Ibu sekeluarga minta maaf ya, atas kejadian yang sudah-sudah.” “Iya Bu sudah berlalu kok Bu. Gimana kabar Ibu?” tanyaku. “Ibu baik nak, mungkin ini karma buat Anggara karena pernah jahat sama nak Andini. Semenjak bercerai, dia lebih sering menghabiskan waktu bersama klub motornya.” Mas Angga bercerai, kukira dia hidup bahagia bersama Indah dan anak mereka. 13

“Setelah kejadian itu, Anggara menikah dengan nak Indah. Tetapi rumah tangga mereka tak bertahan lama. Tak sampai setahun. Beberapa bulan setelah nak Indah keguguran, perceraian itu terjadi.” Pikiranku melayang di masa bahagia kami. Mas Angga tidak jahat, dia hanya salah jalan. Aku menari dengan pikiranku sendiri. Mengingat rasa itu, mengingat betapa aku punya rencana masa depan yang indah bersamanya. Menyadari bahwa aku, tak pernah berhenti mencintainya. Tetapi dia memberi luka. Dia tak pantas untuk terus dicintai. Anehnya kini, luka itu ternyata tak sesakit dahulu. Cintaku membuatnya tak terasa lagi. Aku masih ingin bersamanya. Meskipun aku tahu betapa sulitnya mendampinginya saat ini. Aku tetap ingin bersamanya. Meski mungkin, cintanya tak sama lagi padaku. Aku masih tetap ingin bersamanya. “Andini….” Dia membuka matanya dan menatapku setengah terkejut. “Mas Angga.” Aku tersenyum, aku tahu yang kuinginkan. Dan aku akan menghadapi resikonya. *** SELESAI *** 14

Prasangka Rengganis Tubuh rapuh itu lemas memandang dua garis merah yang terpampang samar pada test pack di tangannya. Tangisnya pecah memenuhi kamar mandi berukuran 2x3 meter sederhana dengan bak mandi plastik dan kloset jongkok berwarna biru muda. Rengganis, wanita muda berusia pertengahan dua puluhan dengan rambut sebahu, tubuh mungil dan kulit sawo matang terus terisak di kamar mandi rumah kontrakannya. Sudah lebih sebulan dia terlambat datang bulan. Mendung bergelayut di atas rumah, bergegas Rengganis meninggalkan bayam yang sedang dipetiknya dan menuju halaman belakang. Suara tangisan tak digubrisnya, dia harus menyelamatkan cucian terlebih dahulu. Setelah jemuran aman, Rengganis segera merengkuh putrinya yang merangkak tertatih mengejar sambil menangis. Bayi berusia 8 bulan itu adalah pengisi hari-harinya yang sepi dikala suaminya pergi dinas luar kota seperti saat ini. Rengganis kembali ke dapur, melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Putrinya yang bernama Alya Dewi Kinasih telah terlelap setelah kenyang meminum ASI yang berlimpah. Rengganis seorang wanita berpendidikan, dia sudah bersiap belajar tentang laktasi dan bertekad memberikan ASI pada putrinya hingga usia 2 tahun. Dia bersiap memasak, hari ini sang suami pulang dari dinas lapangan. Pekerjaan sebagai staf Quality Control di perusahaan konstruksi pra cetak sering kali mengharuskannya pergi ke lapangan karena ada produk cacat yang perlu perbaikan di tempat. “Assalamu’alaikum ….” Pintu rumah kontrakan itu terbuka, pria muda dengan rambut hitam, hidung mancung dan kulit cokelat yang mulai menghitam karena panas matahari memasuki rumah. Bagus, suami Rengganis yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua. “Maaf ya, kemalaman. Tadi ngantar bos-bos dulu, baru Pak Abdi ngantar aku sekalian balikin mobil ke kantor,” ucap Bagus sambil membuka kancing kemejanya dan berjalan ke keranjang cucian. “Masak apa? Tadi Mas sudah makan sih di perjalanan, tapi kalau kamu masak Mas makan lagi deh.” Bagus mengintip ke kamar, melihat putri kecilnya yang nyenyak tertidur di kasur busa ukuran 160x200 yang diletakkan begitu saja di lantai. 15

“Sayur bayem aja Mas, sama tempe goreng, tahu goreng, sambal,” jawab Rengganis sambil mengaduk teh manis hangat untuk suaminya. Pikiran Rengganis kembali kepada garis merah di test pack tadi pagi. Dia tak berani memberitahu suaminya. Kehamilan pertama saja sudah menjadi kontroversi di keluarga sang suami, khususnya ibu mertuanya. Belum sebulan menikah kok sudah hamil? Rumah juga masih ngontrak… Kata-kata ibu mertua kembali terngiang di benaknya. Apalagi setelah Rengganis memutuskan resign dari pekerjaannya di sebuah pabrik otomotif demi menjadi ibu penuh waktu dan mengurus anak. Entah berapa bulan lamanya ibu mertua mendiamkannya karena keputusan sepihak itu. Bukan sepihak sih sebenarnya, karena sudah melalui diskusi alot di antara suami istri itu. “Mas, besok mau dimasakin apa? Aku mau jalan pagi sama Alya sekalian ke tukang sayur,” tanya Rengganis setelah mereka merdua berada di peraduan. “Enggak usah, kamu aja. Besok Mas mau ke rumah ibu, gaji bulan ini sudah ditransfer. Uang belanja sudah Mas transfer juga ya ke rekeningmu.” Bagus adalah satu-satunya pencari nafkah setelah Rengganis berhenti bekerja. Ekonomi saat ini yang sedang morat marit karena pandemi berdampak juga pada gaji suaminya yang berkurang. Padahal, Bagus masih harus mengirim jatah bulanan untuk ibu dan adiknya. Tentu bukan waktu yang tepat untuk menambah anak. *** “Kamu lagi seneng ya, kayaknya gemukan. Nggemesin deh buncitnya,” canda Bagus suatu hari sambil mencubit perut samping Rengganis tanpa curiga. “Eh, nggak boleh loh bilang cewek gemukan. Nanti baper mogok masak,” protes Rengganis tersenyum menutupi kecemasan di wajahnya. Gelembung busa bertebaran di lantai kamar mandi hingga ke dapur. Rengganis yang baru keluar kamar langsung terkejut dan berlari. Dia lupa mematikan keran ketika merendam pakaian, busa detergen tumpah ruah hingga keluar. Rengganis terpeleset, tubuh bagian belakangnya menghantam lantai keramik dapur. Perutnya menegang, rasa nyeri yang menusuk menghinggapinya. Tertatih bangun, mematikan keran, mengamankan Alya ke ruang depan, dan menelepon suaminya. 16

Alya dititipkan di rumah ibu mertua, mereka menuju rumah sakit. Sepanjang jalan Rengganis terus menangis, pertama kalinya dia sangat menginginkan bayi itu dan takut kehilangannya. Bagus yang syok tak bisa berkata banyak. Rengganis dilarikan ke UGD (Unit Gawat Darurat), dokter jaga langsung memanggil dokter spesialis kandungan untuk memeriksa kondisi janin. Rengganis dibawa ke ruang periksa dengan kursi roda. Kemudian dokter melakukan pengecekan dengan mesin USG (Ultrasonografi). Jantung Rengganis berdebar kencang menunggu hasil pemeriksaan kandungannya. “Ibu, usia kandungan 14 minggu, masih sangat rentan. Beruntung janin masih bisa diselamatkan. Untuk saat ini saya berikan terapi hormon dan obat penguat kandungan, sambil kita observasi ya,” jelas dokter SpOG yang menanganinya. Rengganis kembali terisak, Bagus memeluknya erat. Merasakan kegelisahan sang istri yang selama ini dipendamnya sendiri. Rengganis dan Bagus kembali ke UGD untuk menunggu ruang rawat inap dipersiapkan. Tak berapa lama terdengar dering telepon. “Gimana kondisi istrimu?” “Alhamdulillah nggak papa Bu, Rengganis hamil. Janin di kandungannya selamat.” Bagus menerima telepon dari ibunya. “Syukur Ya Allah, anak itu rezeki. Suruh Rengganis jaga baik-baik. Kalau capek Alya bisa dititip di rumah Ibu, biar bisa istirahat.” Rengganis mendengar obrolan suami dan ibu mertuanya di telepon. Ternyata selama ini dia dipenuhi prasangka. Kehamilannya tidak dianggap beban, melainkan anugerah. *** SELESAI *** 17

Perjuangan Amat Mude Mak bilang, aku pernah tinggal di rumah ini, mungkin aku tak seberapa ingat, masa itu aku masih kecil katanya. Pagar mewah warna emas, dipadu ornamen tombak runcing warna hijau tua. Kuintip di celahnya, nampak taman hijau dengan bermacam tumbuhan dan bunga beraneka warna. “Misi bang, mo numpang tanya. Ini benar rumah Bapak Raja Muda?” tanyaku pada abang-abang yang sedang menyapu di halaman rumah itu. “Iya mas betul, masnya ini siapa ya?” jawab dia sopan. “Aku Amat Mude Bang, mau ketemu bapak Raja Muda.” Abang berkaus biru itu berjalan menjauh, aku menunggu di luar pagar dengan sabar. Tak berapa lama ia kembali dan mengantarku menuju rumah. Memang elok benar rumah itu, sekilas pandang sudah nampaklah kalau orang kaya yang tinggal. Tembok warna putih, dengan pagar balkon berukir menambah kesan elegan rumah dua lantai itu. “Assalamu’alaikum Pakcik, saya Amat Mude, anak Raja dan Permaisuri Negeri Alas.” Aku memberi salam kepada paman yang baru kujumpai setelah lebih dari lima belas tahun. “Wa’alaikumsalam, Amat Mude, sudah dewasa kau, tampan dan gagah. Rupanya mak kau sudah menyampaikan permintaan Pakcik,” kata pakcik membuka obrolan. “Iya Pakcik, mak bilang Pakcik butuh bantuan.” “Benar, istriku – makcikmu sedang sakit keras. Sudah berobat ke mana-mana tak ada hasil. Kabarnya ada obat yang sedang dalam penelitian, dan mungkin bisa menyembuhkan penyakit makcikmu.” Pakcik menghela nafas dan melanjutkan, “Pakcik tak ada anak laki-laki, badanpun sudah renta, tak mampu lagi pergi jauh. Jika kau bisa menemukan obat itu dan menyelamatkan makcik, perusahaan akan menjadi milikmu.” “Insya Allah Pakcik, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan obat itu.” *** 18

Aku berjalan menuju sungai, membawa pancing, ember dan umpan. Duduk di tepian, bersiap melempar kail dan joran. Jika dapat ikan, siang ini aku bisa makan enak, sisanya mak bisa jual ke pasar. “Mak, dapat banyak hari ini. Ayo kita ke pasar mak.” “Kau tak capek, baru pulang sekolah langsung memancing. Sekarang malah mau ikut ke pasar,” kata mamak sambil menata ikan yang akan kami bawa. “Tak apa, aku senang bantu mak. Bisa dapat bonus kue timpan. Hehehe ….” Mak selalu menyisihkan sedikit uang dari menjual ikan untuk membelikan kue timpan kesukaanku. “Permaisuri? Apa saya tak salah lihat?” Seorang pria yang nak beli ikan, terkejut melihat mamak. Itu pertemuan pertama kami dengan pak Saudagar, teman bisnis ayahandaku. Melihat kondisi kami yang miskin dan tinggal di gubuk reyot, pak Saudagar membantu kami pindah ke rumah yang lebih layak. Memberi modal untuk aku dan mamak berdagang. Mak sangat pandai menilai perhiasan, terutama emas. Kami pun memulai usaha toko emas. Sepuluh tahunlah kalau tak salah hitung, toko emas kami sudah punya cabang dengan keuntungan yang lebih dari cukup untuk hidup kami berdua. *** Sesampainya di rumah, lekas kuceritakan kepada mamak pertemuanku dengan pakcik tadi. “Pakcik memintaku mencarikan obat kanker untuk makcik yang sedang sakit parah mak,” ceritaku pada mamak. Mak menunduk, kesedihan tampak menyelimuti wajahnya yang sudah tua dan penuh keriput. “Kau tahu Nak, ayahmu dan mamak menunggu bertahun-tahun hingga akhirnya kami memperolehmu. Ayahmu pemimpin yang bijaksana dan selalu mementingkan kesejahteraan para pegawainya di perusahaan mie instan yang dirintis ketika dia masih muda.” Mamak mulai meneteskan air mata. Dia meneruskan kalimatnya, “Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Setelah mamak melahirkanmu, hanya beberapa tahun berselang ayahmu sakit-sakitan dan kemudian meninggal. Maafkan mamak yang tak mampu melindungi perusahaan yang diwariskannya untukmu.” 19

“Enggak mak, aku berterima kasih mak tetap kuat meski harus mengasuhku sendirian. Sekarang aku sudah dewasa, aku akan memperjuangkan hak waris perusahaan ayahanda.” Aku mulai susun rencana nak cari obat yang dimaksud pakcik. Segala upaya kukerahkan untuk mencari informasi tentang obat itu. Kawanku yang jadi dokter kasih saran untuk menghubungi staf peneliti di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Sejak mula dapat tugas ini, aku tahu tak akan mudah, tetapi aku harus berjuang, demi janjiku pada mamak. *** Lenggang Raye, pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih berjalan setengah bungkuk. Entah memang cara jalannya macam itu atau karena tinggi tubuhnya. Beberapa waktu lalu kawanku memberi nomor kontak dan fotonya, baik hati pula dia mau menemuiku. Aku melambaikan tangan padanya, dia pun mendekat ke arahku. “Bapak Lenggang Raye? Saya yang kemarin hubungi Bapak.” Aku mempersilakan dia duduk, kami janji temu di rumah makan dekat kantornya. “Selamat siang, saya Lenggang Raye. Mohon maaf saya tidak punya banyak waktu dan harus kembali sebelum jam makan siang berakhir,” ujarnya padaku. “Tak apa Pak, terima kasih sekali bapak mau temui saya.” Aku melanjutkan, “Saya Amat Mude, nak bertanya tentang Tisotumab Vedotin.” Keningnya berkerut. “Saya tidak tahu anda mendapat informasi itu dari mana, tetapi obat ini masih dalam penelitian, dan belum bisa dikomersilkan,” ucap Lenggang Raye menolak tegas. “Saya mohon Pak, makcik saya menderita kanker ovarium dan sangat butuh obat itu. Pakcik pemimpin perusahaan mie instan Salamie, dia bersedia membayar berapapun.” “Sebentar, perusahaan mie instan Salamie? Amat Mude, apakah anda putra Raja Negeri Alas?” Dia nampak kaget. Ternyata Lenggang Raye adalah teman ayahanda sewaktu muda. Ayah orang yang baik dan sering membantunya. Akhirnya, untuk membalas budi Lenggang Raye bersedia membantu. 20

“Jika memang sangat mendesak, nak Amat bisa hubungi Ibu Niwer Gading. Dia adalah kepala peneliti untuk obat ini. Saya akan bantu.” Lenggang Raye menemaniku menemui Niwer Gading, wanita muda berkacamata yang tampak sangat pintar. Dijelaskannya padaku tentang obat itu dan sejauh mana tingkat keefektifannya berdasarkan uji manusia tahap awal. “Obat ini sudah siap, namun masih banyak proses yang harus kami lalui sampai memenuhi izin edar dan bisa digunakan secara bebas. Sejauh ini efeknya cukup bagus untuk kanker ovarium. Tisotumab Vedotin bekerja seperti kuda Troya, menghancurkan sel kanker dari dalam,” jelasnya. Mataku tak bisa lepas dari wajahnya, meski bukan itu tujuanku ke sini, tak bisa kutampik aku ingin kenal wanita ini lebih jauh. “Pada dasarnya saya bisa membantu mendaftarkan makcik anda menjadi pasien uji. Tentunya dengan pra syarat dan berbagai tes yang harus dilakukan terlebih dahulu,” jelasnya kembali. Menempuh perjalanan dari Aceh ke Jakarta akhirnya membuahkan hasil. Aku memang ingin mengambil kembali perusahaan ayahanda, tetapi aku juga ingin makcik kembali sehat. Bagaimanapun, dia adalah keluarga. Sebelum berangkat ke Jakarta, mamak memanggilku untuk membicarakan sesuatu. Wajah tuanya nampak ragu, seolah menyimpan rahasia besar, yang akhirnya aku pun tahu. “Amat Mude, mak mau kau dengarkan baik-baik kisah ni,” ujar mamak membuka kisahnya. “Sebelum kau berusaha keras nak bantu istri pakcik, makcikmu, mamak perlu kasih kau tahu cerita yang sudah bertahun-tahun mak simpan sendiri.” Kata-kata mak mengagetkanku, ada rahasia apa yang disimpannya sampai bertahun-tahun lamanya. “Rumah yang kau datangi untuk menemui pakcik itu, dahulu adalah rumah kita. Rumah yang dibangun ayahandamu. Banyak kenangan bahagia keluarga kita masa tinggal di sana. Kau mungkin bertanya-tanya kenapa kita tinggal di rumah kecil, sementara rumah yang dibangun ayahandamu ditempati pakcik dan keluarganya.” Mak menghela nafas panjang, berusaha menguatkan diri nak lanjutkan ceritanya. 21

“Ketika ayahandamu meninggal, kau masih sangat kecil. Mak tak mengerti apapun soal perusahaan. Awalnya, pakcik membantu dengan mengambil alih kepemimpinan agar perusahaan bisa tetap berjalan. Namun, semakin lama pakcik dan makcik mulai menguasai semua harta peninggalan ayahandamu. Hingga akhirnya, suatu sore makcik datang. Menyuruh mamak berkemas dan keluar dari rumah. Pakcikmu membawa surat rumah yang ternyata sudah beralih nama ke pakcik. Mereka mengusir kita berdua, dan mamak terpaksa pergi menggendongmu di sore hujan sambil mencari tempat berteduh.” Mak mulai meneteskan air mata mengingat masa itu. “Mak tahu, makcikmu dan keluarganya mendesak pakcik untuk melakukan hal itu kepada kita berdua. Sekarang makcikmu sakit keras, mak sudah lama memaafkan mereka. Tetapi mak pikir kau perlu tahu kisah ini. Sekarang kau yang putuskan, akan melanjutkan membantu makcik atau tidak,” ujar mamak menyudahi ceritanya. Amarah sempat memuncak di dada, mendengar kejamnya keluarga pakcik kepada mamak. Tetapi, melihat mamak selama ini yang hidup damai, aku yakin mamak memang sudah benar-benar memaafkan mereka. Aku pun sempat curiga, aneh rasanya mamak hidup susah padahal keluarga ayahanda kaya raya. Kini aku hanya bertekad mengambil alih hak waris kepada pakcik. Nampaknya, makcik dan pakcik sudah sadar dan berniat tulus memperbaiki kesalahannya di masa lalu. *** Kulangkahkan kaki keluar dari gedung bertingkat itu, membawa dua pikiran yang berlarian di benakku. Perjuangan, dan tak disangka, wanita idaman. *** SELESAI *** 22

Randa Tapak Tepi Jalan “Sudah tho nduk, diterima saja niat baik bulikmu.” Aminah terus mendesak putri tertuanya itu. “Jodoh, rezeki, umur itu di tangan Gusti Allah Bu. Mbok ndak usah geger.” Santi tak acuh. “Lha wong cuma kenalan aja lho ya, mbok dateng dulu.” “Duda Bu, umurnya juga jauh sama aku, mosok ibu tega. Nanti kalau sudah waktunya, kan ya ada yang cocok Insya Allah.” Aminah tak kuasa memaksa putrinya. Entah sudah berapa kali saudara-saudara ibunya berusaha mengenalkan Santi dengan laki-laki. Berharap ada yang bisa berlanjut ke pernikahan. Santi adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Adiknya − Kartika, sudah terlebih dahulu menikah. Lulus SMK, Kartika bekerja di pabrik garmen, dan bertemu dengan suaminya di sana. Gita adik terkecil mereka yang paling cantik dan paling cerdas lebih beruntung lagi. Setelah menamatkan pendidikan D1 Administrasi, dia bekerja sebagai karyawan honorer di Dinas Sosial, dan bertemu jodoh dengan seorang PNS. Pesta pernikahannya paling meriah, keluarga jauh semua hadir. Tak ada yang terlalu peduli dengan kenyataan bahwa Santi dilompati untuk kedua kalinya. Sinar matahari menyisip terang di antara awan. Hawa sejuk menyelisir kulit tangan Santi. Selasa adalah hari liburnya di minggu itu. Santi tak mau repot-repot keluar rumah, dan memilih duduk bersantai memperhatikan orang lalu lalang di depan rumahnya. Perkampungan padat penduduk dengan jalan sempit yang hanya mampu dilewati 1 mobil dan motor. Jika ada mobil berpapasan, salah satu harus menepi ke pinggir cor beton penutup got. Tak ada pemilik rumah yang rela membagi sedikit lahan untuk jalan. Bahkan kalau bisa malah membuat pagar menjorok keluar memakan jalan umum. “Eladalah nduk, dikasih tahu kok yo 1ngeyel. Gak boleh duduk di depan pintu, seret jodoh,” hardik Mbah Mijah tetangga Santi yang sering lewat depan rumahnya. Entah sekedar ke warung atau ke tempat cucunya yang hanya berjarak beberapa ratus meter. “Nggih mbah,” sahut Santi memaksakan senyum. Sudah bertahun-tahun dia mendengar kata-kata itu. Mbah Mijah yang masih menganut kepercayaan mitos Jawa tak pernah luput mengingatkannya yang sering duduk di depan pintu sambil memegang 23

piring makan atau sekedar ngemil. Seperti halnya pagi itu, Santi bersandar di kusen pintu rumahnya sambil menyeruput teh dan menikmati pisang yang baru digorengnya selepas sarapan. Hanya tiga orang yang tinggal di rumah itu, Santi, bapaknya dan ibunya yang selalu sibuk di pojok ruang tamu tempat mesin jahit berada. Bukan penjahit profesional, hanya mengerjakan daster, baju tidur atau mukena dari konveksi home industri. Biasanya Aminah mengambil kain yang sudah potongan, menjahitnya menjadi pakaian utuh sesuai pola, lalu mengembalikan ke juragan konveksi dan mengambil kain baru. Upahnya tak seberapa, tetapi cukup untuk menambah uang belanja. “Mbah Mijah itu lho Bu, kok ya ndak bosen tiap lewat mesti ngomongin jodoh. Dari aku SD sampai sekarang sudah 28 tahun masih aja 2dilokne kalau duduk di depan pintu. Apa hubungannya coba, duduk depan pintu sama seret jodoh.” Santi bersungut mengeluhkan nenek tetangga yang bernama mbah Mijah. “Ya kan niatnya baik, supaya kamu ndak menghalangi jalan orang lewat. Sekalian ngingetin supaya ikhtiar biar cepet dapet jodoh,” sahut Aminah menenangkan. *** Matahari sedang terik-teriknya, angin panas berhembus merontokkan daun ketapang di depan rumah. Santi berjalan keluar untuk berangkat kerja, hari ini dia masuk shift malam. Rumahnya yang terletak di gang mengharuskannya berjalan kaki menuju jalan raya untuk naik angkot. Mbah Mijah tampak berjalan ke arahnya. Meski enggan, Santi masih punya sopan santun untuk menyapa tetangganya itu. “Berangkat kerja tho nduk?” sapa mbah Mijah. “Iya mbah, mari mbah duluan.” Santi tergesa ingin menyudahi obrolan basa-basi itu. “Mbah habis 3rewang tempate Ripah, mau ada acara lamaran anaknya − si Amel,” jelasnya tanpa diminta. Mbah Mijah melanjutkan, “Kamu kapan nduk San, paling tua lho kamu di desa sini yang belum nikah.” “Nunggu jodohnya mbah,” sahut Santi singkat. “Salahmu juga, sudah mbah ingetin berkali-kali, jangan suka duduk di depan pintu. Bener kan sekarang, seret jodoh. Adik-adikmu saja sudah nikah duluan.” 24

“Ndak ada hubungannya mbah, jodoh sama pintu.” “Lha kok ngeyel tho kamu. Coba buktikan! Kalau kamu bisa dapat jodoh sebelum lebaran haji, mbah ngaku salah wis, Nggak bakal ngelokne kamu lagi,” tantang mbah Mijah pada Santi. Darahnya mendidih, kesal, amuk, berontak yang sudah disimpannya rapat-rapat tak mampu lagi dibendung. Entah kesambet apa, Santi menyanggupi tantangan dari mbah Mijah. “Mbah lihat ya nanti!” Santi menjawab tantangan. *** Kejadian adu mulutnya dengan mbah Mijah terus bercokol di benaknya. Sepanjang perjalanan angkot ke minimarket, tempatnya bekerja sebagai kasir, masalah jodoh ini terus mengganggunya. “Mas, kiri mas,” ujar Santi menghentikan sopir angkot di persimpangan. Tujuannya masih lurus sekitar 200 meter, namun jalur angkot yang ditumpanginya itu ke arah kiri. Santi harus berganti angkot lain jika ingin berhenti tepat di jalan depan minimarket. Demi menghemat ongkos, Santi lebih memilih berjalan kaki. Sepanjang jalan yang dilewatinya, tampak tanaman randa tapak yang tumbuh asal. Warna kuning bunga itu cukup mencolok di antara rumput liar. Setiap kali melihat bunga kecil yang juga dikenal dengan nama dandelion itu, Santi teringat pada dirinya sendiri. Rapuh, mudah terbawa angin dan hilang dari pandangan mata. Tak banyak yang melirik, tak ada yang peduli, kesepian, terabaikan. Meski bunganya yang kecil cukup menawan, tak ada yang mau repot-repot menanamnya di rumah. Masih banyak bunga lain yang lebih indah dan sedap dipandang. “Cek stok dulu sambil bersih-bersih, sebentar lagi briefing pagi.” Pak Gatut, manajer toko memberi instruksi kepada para pegawai yang baru datang. Minimarket itu terletak di jalan yang tidak terlalu besar, dekat dengan pasar kecamatan. Hanya ada 4 pegawai, dua laki-laki dan 2 perempuan, Santi salah satunya. Manajer toko hanya datang mengecek 2x sehari, pada saat pergantian shift. Selebihnya dia akan berkeliling ke cabang lain di sekitar kecamatan itu. 25

Siswa sekolah dasar berlarian, guru piket akan segera menutup gerbang. Santi menyapu teras, diliriknya anak-anak yang berbaris di halaman sekolah dasar yang terletak di seberang minimarket, bersiap senam pagi. Pikirannya tak bisa lepas dari tantangan mbah Mijah. Membawa jodoh sebelum lebaran haji sungguh hal yang tidak mungkin. Kenalan laki-laki saja dia tak punya, teman-teman kerjanya sudah menikah. Sedangkan teman sekolahnya banyak yang merantau keluar kota, hanya beberapa yang tetap bertahan mencari penghidupan di kota kecil ini. Namun mereka pun sudah menikah. Sebulan lagi sudah ramadhan, di mana dia harus mencari kenalan sebelum lebaran haji. “Dik, kamu ndak punya mas tho? Atau tetangga gitu yang cowok?” tanya Santi pada pegawai minimarket yang lebih muda darinya − Afroh. “Ada, tapi anaknya sudah kelas 3 SD. Kenapa tho mbak? Mau nyari gebetan ya?” ledek Afroh sambil cengengesan. Santi tampak putus asa, dia tak tahu bagaimana memulai misinya untuk mencari jodoh. Mematahkan mitos tentang susah jodoh karena suka duduk di depan pintu menjadi tujuannya sekarang. Santi bukannya tak ingin menikah, pilih-pilih lelaki, atau jual mahal, hanya saja memang belum ketemu yang cocok. Fisiknya juga bukan kategori jelek, kulit sawo matang dengan bibir mungil dan hidung sedang, tidak mancung namun tidak pesek, alis matanya yang tebal hampir menyatu di dahinya. Dia hanya tidak banyak bicara, lebih karena berhati-hati dan menjaga kesopanan. Cara berpakaiannya pun sopan, memakai kaos lengan panjang, celana panjang dan kerudung jika keluar rumah. “Instal aplikasi kencan aja mbak. Nanti bisa cari 4match yang profilnya kita sukai.” Afroh memberi saran sambil sibuk merapikan produk skincare di area rak dekat kasir. Santi membeliak, seolah menemukan oase di tengah gurun. “Gimana-gimana, aplikasi kencan online? Pakai HP?” Afroh menghentikan aktivitasnya, mengambil smartphone dari kantong dan menunjukkan pada Santi. “Iki lho mbak, Super Cupid. Instal ini, nanti bikin akun trus kasih foto. Isi profil kayak gender, umur, pekerjaan, kegemaran. Ada juga filter tentang match atau calon teman yang kita inginkan, seperti umur, jarak tempat tinggal, bahasa.” Afroh menjelaskan tentang aplikasi kencan online yang ada di handphonenya. Obrolan itu berakhir dengan rencana 26

pergi ke taman kota selesai shift untuk mengambil foto, tak lupa Afroh memulaskan make up tipis demi memperoleh foto yang ciamik untuk Santi. Merasa ada secercah harapan, tanpa ragu Santi langsung upgrade aplikasi ke versi premium untuk mendapatkan semua fitur yang tersedia. Seminggu pertama, Santi hanya berani menggeser-geser profil pengguna dan sesekali memberi like. Ada beberapa pria yang menarik perhatiannya. Memang di awal pengaturan, Santi sudah menentukan teman seperti apa yang dicarinya, jarak lokasi tinggal maksimal 50 kilometer dan rentang usia 25 tahun hingga 35 tahun. Santi tidak mau direpotkan oleh anak-anak sekolah umur belasan tahun atau para duda di atas 40 tahun. Tujuannya jelas, mencari jodoh. Kamar tidur berukuran 3x3 meter itu gelap, siluet dipan tua dengan kasur busa berukuran queen tampak membayang, di sudut ruangan ada meja tinggi dengan kursi kayu. Beberapa buku, alat tulis, charger dan botol lotion berderet dengan bedak tabur dan satu buah lipstik. Lampu dinyalakan, si pemilik kamar menghambur ke kasur setelah melempar tasnya ke meja. Kamar yang dulunya ditempati bertiga, kini praktis menjadi miliknya sendiri. Tak sabar Santi segera membuka aplikasi Super Cupid, kegeraman barunya. Setelah dua minggu menggunakan aplikasi itu, Santi mulai sering bertukar pesan singkat dengan beberapa pria. Namun tidak semua bertahan lama. Ada yang tiba- tiba menghilang tanpa kabar. Ada yang sejak awal sudah terdeteksi mesum karena sering melontarkan kata-kata tak senonoh. Bahkan obrolan pesan singkat dengan seorang pria bernama Deon membuatnya geleng-geleng kepala. Deon: “Hai, kamu suka nonton film nggak?” Santi: “Iya, suka. Kenapa?” Deon: “Rekomendasiin dong, film atau series yang bagus.” Santi: “Coba nonton ini, ini, terus itu juga bagus, yang terbaru ini, jangan lupa ini juga nih.” Deon: “Oke noted, makasih ya!” Obrolan berakhir, dan Deon tak pernah menghubunginya lagi. Santi sudah tidak lagi menggubris tingkah para pengguna aplikasi yang aneh-aneh. Hatinya mulai tertambat pada seorang pria. Danu namanya, pria ramah yang setia mendengarkan cerita Santi. Bekerja sebagai kepala mekanik di dealer sepeda motor memberi kesan mapan, tidak terlalu jauh untuk digapai, namun sudah memiliki 27

penghasilan tetap. Mereka sudah sering bertelepon, bahkan beberapa kali video call. Santi tak sabar ingin bertemu, jarak lokasi rumah mereka tak sampai 20 kilometer. “Hari minggu besok gimana? Itu satu-satunya libur hari Minggu yang kudapat dalam tiga bulan ini. Nanti ketemu di rumah makan Santri aja, tengah-tengah. Ndak begitu jauh dari rumahmu atau rumahku.” Santi mengusulkan pertemuan pertama mereka. Tak terdengar suara dari seberang. “Dan, gimana? Bisa kan? Aku udah ndak sabar pengen ketemu kamu.” “Eh, iya gimana Minggu ya. Bisa sih kayaknya. Aku usahakan ya, jam sepuluh pagi ya.” Akhirnya suara Danu terdengar. *** “Nduk, masih lama tho di kamar mandinya? Bapak mau ke kelurahan ini, dipanggil Pak Lurah.” Wanto berdiri di depan pintu kamar mandi yang sudah satu jam tertutup. “Hari Minggu kok masuk tho Pak?” tanya Aminah kepada suaminya yang bekerja sebagai staf kebersihan dan umum di kantor kelurahan. “Iya, katanya pesanan meja pak lurah yang baru sudah mau sampai. Harusnya Senin baru dari Jepara, ternyata ini malah sudah mau datang.” Santi keluar dari kamar mandi dan langsung memelesat masuk ke kamar. Memilih pakaian kasual warna netral, dipadu celana jeans, kerudung hitam dan jaket. Bergegas memakai pelembab, bedak tipis dan lipstik warna pink kalem, satu-satunya yang dia miliki. Perlu berganti angkot dua kali hingga sampai ke rumah makan Santri. Jam di dinding belum juga menunjuk pukul sepuluh. Santi sengaja datang lebih awal, memesan es jeruk dan menunggu dengan gelisah. Jarum jam mulai bergerak, rumah makan yang tadinya sepi kini mulai ramai dikunjungi pelanggan. Tak terasa jam makan siang telah tiba, dan Santi masih tetap sendiri di mejanya. Danu yang ditunggunya tak kunjung datang. Nomornya tak bisa dihubungi, hanya centang satu. Telepon juga tidak nyambung. Santi menghabiskan seminggu berikutnya untuk mencari kontak media sosial Danu. Media sosail yang dia yakini milik Danu terlihat aktif, dengan sedikit keraguan Santi mengirim DM ke akun tersebut, menanyakan tentang nomornya yang tak dapat 28

dihubungi. Dia menjawab singkat, kartu SIMnya rusak. Santi merasakan gelagat tak jelas, dia pun meminta Afroh untuk mencoba mengecek. “Dik, coba tolong chat nomor ini. Pakai nomor kamu.” “Siapa mbak ini?” “Kenalan di Super Cupid, tiba-tiba ngilang,” jelasku kesal. Afroh mencoba mengirim pesan singkat seolah salah sambung, dan ternyata centang dua. “Wah, masuk mbak San. Nomormu diblokir ini mbak, ghosting berarti dia.” Santi sangat terpukul, sudah satu bulan lebih dia berkenalan dan rutin berkirim pesan dengan Danu. Respon yang diberikannya sangat positif, obrolan mereka nyambung. Bahkan kesukaan mereka mirip, nasi pecel, komik detektif, warna hijau. Danu juga sering melontarkan candaan yang membuat Santi tersipu. Ketika tiba kesempatan bertemu, Santi sungguh tak mengira jadinya akan seperti ini. Kecewa, dia menghapus akun dan aplikasi kencan online di smartphone-nya. Menangis sejadi-jadinya di sela sholatnya. “Duh Gusti, apa iya ini takdir saya. Apa iya semua gara-gara mitos duduk di depan pintu? Hamba percaya padaMu, tolong dekatkan jodoh yang Engkau persiapkan untuk hamba, pertemukan hamba dengannya,” tangis Santi di setiap do’anya. *** Tak terasa ramadhan sudah memasuki hari ke dua puluh, Santi berangkat bekerja seperti biasa. Memulai aktivitasnya di minimarket dengan menyapu teras dan area parkir. Suara sepeda motor terdengar mendekat, tak berapa lama terdengar pula suara anak menangis. Anak SD yang berlari ke sekolah terpeleset di depan minimarket. Seorang pria memarkirkan sepeda motornya di depan Santi dan bergegas menolong anak itu. Dia memetik bunga dan daun randa tapak di tepi jalan, melumatkannya dan menempelkannya di lutut yang berdarah. Santi tak bisa menepis rasa penasarannya, memberanikan diri bertanya pada pria itu. “Mas, itu tadi bunganya buat apa?” tanya Santi pada pria tinggi kurus berkulit cokelat gelap tersebut. 29

“Buat mencegah infeksi mbak, mengurangi memar juga,” jawabnya. “Oh, gitu ya mas. Baru tahu saya.” “Bunga randa tapak itu herbal yang bagus lho mbak, banyak manfaatnya. Saya sering merebusnya untuk ibu yang punya diabetes. Meski kelihatannya liar dan tak berguna, bunga ini tangguh lho. Bahkan bisa hidup di atas tebing, terus bisa untuk mengobati sakit perut, gangguan hati, dan lain-lain.” Pria itu berjalan masuk ke minimarket, Santi mengikutinya dengan mata bersinar. Berharap ini jawaban atas do’a-do’a yang rajin ia panjatkan di sepertiga malam. *** SELESAI *** 1 Suka membantah 2 Ditegur, dikomentari 3 Bekerja membantu acara hajatan di rumah tetangga 4 Pasangan kencan 30

Bulir Mencoba Terbang Bulir berjalan ke arahku dengan mata berlinang, tidak berlari, hanya berjalan biasa setengah menunduk. Tidak biasanya dia pulang bermain sambil menangis. Sudah satu tahun dia tinggal bersama keluarga kami. Anak pertamaku Mardian, menjadi teman sekamar sekaligus teman sekelasnya. Masih jelas dalam ingatanku hari pertama Bulir menginjakkan kaki di rumah ini. Penolakan Mardian membuat semuanya semakin sulit untukku. Mengurus anak laki-laki yang menginjak remaja tidaklah mudah, dan aku harus mengurus dua anak yang mendekati usia pubertas. Belum lagi mengurus Atikah, anak keduaku yang masih balita. *** Telepon itu datang dari orang tak kukenal, dengan memakai nomor handphone kakak perempuanku Sarmini. Belakangan aku tahu dia adalah pak RT di tempat tinggal Sarmini. Kakakku itu sudah lama merantau, pulang hanya menikah dan kembali ke Sumatera Utara, tepatnya di kebun sawit daerah Tangkahan. Sudah hampir sepuluh tahun kami tidak bertemu. Aku bahkan hanya mengetahui dari foto bahwa dia memiliki seorang anak laki-laki seusia Mardian. “Apa benar ini saudari Safitri?” kata suara di seberang. “Iya benar, ini handphone kakak saya ya Pak? Maaf, bapak siapa ya? ada apa ya Pak?” tanyaku khawatir. “Ada kabar duka dik, ibu Sarmini dan suaminya bapak Abdul kecelakaan sepeda motor, tertabrak truk sawit. Keduanya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.” Kabar itu sungguh mengguncang, handphone di tanganku hampir saja terlepas. Berita yang tak disangka itu sungguh pukulan berat bagiku. Kami hanya dua bersaudara, sama-sama perempuan. Orang tua sudah lama tiada, akulah satu-satunya keluarga terdekatnya. Uang tabungan untuk Mardian masuk SMP terpaksa diambil untuk membeli tiket pesawat. Madiun tidak ada bandara, aku harus naik travel ke Surabaya untuk bisa sampai bandara dan naik pesawat ke Medan. Meski ini bukan pertama kalinya aku naik pesawat, tetapi ini kali pertama aku pergi sendiri. 31

Seminggu lebih kuhabiskan waktu di rumah kontrakan kakakku dekat kebun sawit. Pengurusan pemakaman dibantu warga sekitar, bahkan untuk urusan kepolisian terkait kecelakaan. Akhirnya aku bertemu muka dengan keponakanku satu-satunya, Bulir. Nama yang unik dan tidak biasa. Perawakannya kecil untuk anak usia 10 tahun, kurus, berkulit gelap dan rambut kemerahan khas anak kebun. Semenjak hari pertama aku tiba, dia terus menangis, murung, berteriak, melamun, dan berbagai ekspresi kalut dan kehilangan. *** “Kamu kenapa Bulir? Ada yang jahatin kamu?” tanyaku menghampirinya. “Aku tak mau bermain dengan mereka lagi,” katanya merajuk. “Dibilangnya aku ini anak yatim piatu miskin, tak bisa main bola, tak punya bola bagus.” “Eh, gak boleh bilang gitu. Kamu anak baik, kita menabung dulu, nanti pasti bisa beli bola yang bagus. Gak cuma bola, kamu bisa beli apapun yang kamu mau.” “Adit punya bola baru, bagus, seperti punya pemain bola di tv. Aku mau pinjam pun tak boleh, katanya kalau rusak aku tak mampu ganti, karena yatim piatu miskin.” “Sudah-sudah, ayo bantu bulik kupas bawang. Nanti kita setor ke rumah makan di ujung jalan, dan uangnya ditabung,” ujarku berusaha menenangkan hatinya. Bulir sangat berbeda dengan Mardian anakku, setiap pulang sekolah dia selalu menghabiskan waktu di lapangan. Awalnya kupikir dia menghindar bertemu dengan anak-anakku. Mardian sudah cukup marah harus berbagi kamar dengan anak lain yang bahkan tak dikenalnya. Tiba-tiba ibunya berkata, anak itu akan tinggal bersama dan dia harus berbagi kamar dan barang-barangnya. “Kenapa lagi si Bulir mak? Ribut karo sopo maneh sih cah iku?” Mardian duduk di sebelahku sambil membawa buku kesukaannya. “Iku si Adit, jare ditumbasne bal anyar. Bulir dikatain.” “Bulir juga sih aneh, banyak maunya, sudah bagus-bagus kita tampung di rumah ini.” “Hush, kok bilang gitu. Mas, Bulir itu kakak sepupu kamu, bukan orang lain,” ujarku kepada Mardian. Meski sudah setahun tinggal bersama, dia masih belum sepenuhnya menerima Bulir. 32

“Udah ah, emak selalu belain dia.” Mardian bersungut dan beranjak. Kakakku Sarmini, meninggalkan anak semata wayangnya tanpa warisan berarti. Rumah mereka masih ngontrak, tabungan tak ada, hanya sebuah sepeda motor yang menjadi kendaraan mereka bekerja dan pergi ke kota membeli kebutuhan. Sepeda motor itu dibayar 5 juta oleh tetangganya, barang-barang yang bisa dijual aku pasrahkan kepada tetangga dekat untuk dijual. Alhamdulillah, sisa kontrakan yang masih 3 bulan, uangnya dikembalikan oleh si pemilik rumah. Aku kumpulkan dan kubuatkan tabungan untuk Bulir. Malam itu kami berkumpul di meja makan seperti biasa, meski hanya menyantap sayur sop dan tempe goreng, aku selalu membiasakan anak-anak untuk makan bersama. “Enggak mau tayul, ndak inak.” Atikah, anak bungsuku yang berusia 4 tahun menyorongkan mangkuk berisi sayur sop. “Rewel kamu, makan aja sih yang ada,” ucap Mardian memarahi adiknya. “Sayur bagus lho buat perut, biar Atikah kenyang, bisa main terus,” ujarku membujuk. Sejak kecil Atikah memang susah makan, entah sudah berapa banyak saran yang aku ikuti, dari bu bidan desa, dari para tetangga, dari internet juga aku coba. Meski tinggal di desa, ibu-ibu di sini juga main sosmed. Sepertinya hanya aku yang cukup kuper dan jarang menyimak internet. Maklum, hp kentang, sering lemot, error, kuotanya juga terbatas. “Assalamu’alaikum….” Suamiku baru pulang bekerja, dan tampak membuka gerbang. “Wa’alaikumsalam Mas, mau mandi dulu atau langsung makan malam? Anak-anak baru saja mulai,” ujarku menyambutnya. “Lapar Dik, makan dulu saja ya.” Acara makan malam selalu saja riuh, Atikah yang berlarian ke sana kemari menolak makan. Mardian yang sering emosi melihat tingkah adiknya ikutan berteriak-teriak. Hanya satu orang yang selalu tampak tenang tak bersuara. Bulir. Namun, malam itu tampak berbeda. Dia duduk gelisah di kursi makan sambil sesekali meremas celana pendeknya, mengerutkan kening, seolah ingin mengucap sesuatu. “Aku mau ikut klub bola.” Tanpa babibu kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. 33

Suamiku Hamdan tampak hampir tersedak tempe goreng yang sedang dikunyahnya. Aku mencoba bersikap setenang mungkin. “Bisa dijelasin ke bulik nak. Mau ikut apa tadi?” Bulir menarik nafas dalam, memantapkan apa yang akan dikatakannya. “Aku mau daftar klub bola, aku mau ikut Turnamen Sepak Bola Liga Anak di Gor Pangeran Timoer Caruban.” Terhenyak, aku pun tak bisa berkata-kata. Bulir yang selalu diam ketika di rumah, dari mana dia tahu ada turnamen, apalagi minta daftar klub bola. “Nanti bulik bicarakan dulu ya sama Paklik,” ujarku kemudian. “Pak Tama, guru olahraga di sekolah bilang, aku berbakat main bola. Adit yang suka ceng-cengin aku itu, masih kalah jago.” “Wah iyakah, Pak Tama bilang gitu? Berarti bulik harus tanya-tanya dulu ya ke Pak Tama, soal klub bola ini.” “Apa apaan sih emak, gak usah ditanggepin. Ngelunjak deh kamu Lir. Kamu pikir emak bapak punya duit apa? Ikut klub bola dipikir murah apa? Kalau minta seenak jidat,” hardik Mardian berapi-api. “Mas, cukup. Gak boleh ngomong gitu.” Bulir angkat kaki dan keluar dari rumah, meninggalkan piringnya yang masih tersisa seperempat nasi dan secuil tempe goreng. Aku tahu dia pasti berada di tempat biasa. Di bawah pohon jambu di samping rumah ada amben bambu tempat biasanya kami ngisis ketika udara sedang panas-panasnya. Itulah satu-satunya tempat di rumah ini yang didatanginya untuk bisa sendirian. Rumah kami kecil, dengan gerbang besi yang sudah berkarat di sana sini. Di samping rumah tersisa tanah pekarangan yang tak seberapa. Bangunan rumahnya sendiri hanya terdiri dari ruang tamu merangkap ruang tv dan ruang keluarga, sekaligus tempat menyetrika baju. Dua kamar tidur yang masing-masing hanya muat dipan dan lemari. Dapur dengan meja makan seadanya, dan satu kamar mandi. “Mas, mak minta tolong, lembutlah sedikit kepada saudaramu. Bulir anak yatim piatu, sudah tidak punya siapa-siapa selain kita.” “Tadi kamu sudah keterlaluan Mardian, minta maaf kepada Bulir. Tak pantas bicara sekasar itu,” ujar mas Hamdan menegur. 34

“Ah, sudahlah.” Mardian melempar sendok yang dipegangnya, dengan marah berjalan masuk ke kamarnya. Air mata hampir menetes di pelupuk mataku, sesak menyeruak di dada ini. Sudah satu tahun, dan Mardian masih belum bisa menerima Bulir. Kedatangan Bulir ke rumah ini tidak hanya menjadi pukulan bagi anak-anakku, tetapi bagiku dan mas Hamdan juga. Ekonomi kami yang pas-pasan menjadi PR terbesar. Gaji bulanan sebagai staf administrasi sekolah harus cukup untuk membiayai sekolah dua orang anak, belum lagi kebutuhan Atikah. Aku hanya ibu rumah tangga biasa tanpa keahlian, pekerjaan sampingan mengupas bawang untuk rumah makan dan memasang mata boneka dari pengrajin, bahkan tak cukup untuk belanja dua hari. Kami berdua jatuh bangun berhemat demi keluarga ini tetap terpenuhi kebutuhannya. Mana mampu kami membayar biaya klub sepak bola. “Mas, ini gimana?” “¬Mbuh Dik, aku yo bingung.” Malam itu tak ada lagi perbincangan, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Mardian sudah tidur lebih dahulu. Jauh malam Bulir baru masuk ke dalam rumah. “Bulir, sini duduk sama bulik.” Aku mengajak Bulir yang baru mengunci pintu untuk duduk di depan tv, di sebelahku. “Sebelumnya, bulik mau berterima kasih kepada kamu. Akhirnya kamu bisa bicara terus terang kepada bulik. Selama satu tahun kamu tinggal di sini, kamu hanya menerima, tak pernah minta apa-apa sama bulik,” ucapku membuka obrolan. “Aku suka kali main bola. Kalau main bola aku bisa ketawa, tak perlu banyak cakap hanya lari ngejar bola.” “Ya sudah, kamu tidur dulu sekarang. Nanti coba bulik pikirkan ya.” *** Dilema berkecamuk dalam pikiranku, aku ingin menjadi pengganti ibu bagi Bulir. Meski kami tidak merencanakannya, tetapi Bulir praktis masuk ke rumah ini sebagai anak angkatku. Aku tak pernah menyatakan akan mejadi pengganti ibunya, kakakku Sarmini. Namun, dalam hati aku berusaha sekuat tenaga untuk menganggapnya anak sendiri. Memperlakukannya sama seperti Mardian dan Atikah. Apa iya aku harus mencari 35

hutangan untuk memasukkannya ke klub sepak bola, mas Hamdan pasti tidak akan setuju. Ketika Mardian meminta kami untuk memasukkannya les menggambar digital, kami menolaknya dengan alasan biaya. Rasanya tidak adil jika aku harus mencari hutangan demi memasukkan Bulir ke klub bola. “Mas, rencananya aku mau ke sekolahan menemui Pak Tama,” kataku sambil menyiapkan sarapan untuk mas Hamdan. Anak-anak sudah berangkat sekolah dan Atikah masih terlelap setelah subuh tadi ikut sibuk merecokiku di dapur. “Gak usah dianggap serius lah, paling besok juga sudah lupa si Bulir itu,” ujarnya acuh. “Semalam aku sudah bicara dengannya, dan sepertinya sepak bola ini adalah hal yang penting baginya. Jika dengan fokus bermain bola dan masuk klub bola, bisa menjadi pelipur lara bagi Bulir, aku ingin mengusahakannya Mas.” Mas Hamdan terdiam sejenak, merenung dan berkata, “Ya sudah, nanti kita coba usahakan, yang penting jangan sampai Mardian merasa iri. Kamu sangat memperhatikan Bulir, aku tidak mau anak-anak merasa ibunya pilih kasih.” *** Bulir sekolah di SD yang sama dengan Mardian, waktu itu aku mengurus surat pindah sekolah dengan dibantu Pak RT tempat tinggalnya di Tangkahan. Salah satu Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Madiun yang tampak biasa saja, hanya beberapa kilometer dari rumah. Anak-anak biasanya berjalan sedikit hingga ke jalan raya dan naik angkutan satu kali. Aku berjalan memasuki gerbang sekolah dan bertanya kepada tukang kebun yang merangkap menjadi penjaga sekolah, meminta izin bertemu Pak Tama guru olahraga kelas 4. Pria paruh baya itu mengantarku ke ruang tamu sekolah dan memintaku menunggu. Tak berapa lama seorang guru pria berpakaian olahraga masuk ke ruangan. Usianya mungkin sekitar 30 tahun dengan perawakan tinggi besar layaknya olahragawan. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” “Selamat pagi, sebentar ya Pak,” ucapku terburu sembari mengejar Atikah yang tiba-tiba berlari ke lapangan sekolah. “Saya Safitri, wali kelas Bulir 4A.” 36

“Iya Bu, gimana?” “Kemarin Bulir memberitahu saya dia ingin belajar sepak bola dan masuk klub, kata Pak Tama dia punya bakat.” “Oh, iya betul. Bulir sangat berbakat Bu. Dia dengan mudah mengendalikan bola, berbagai teknik dasar sudah dikuasainya. Dribbling, shooting, passing, bahkan intercepting atau teknik merebut bola yang biasanya sulit dikuasai, Bulir dengan cekatan melakukannya di lapangan.” “Jadi menurut Pak Tama, bulir harus masuk klub bola?” “Jika saya diminta memberi masukan, saya akan sangat mendukung Bulir memperdalam bakatnya. Satu-satunya cara adalah dengan memiliki pelatih yang intens mengajarinya. Saya sendiri hanya guru olahraga biasa, saya tidak memiliki kemampuan sebaik pelatih sepak bola di klub.” Aku terdiam sambil merenung, tampaknya pak guru ini memahami kekhawatiranku. “Saya paham, memasukkan anak ke klub bola bukanlah hal yang mudah, selain butuh komitmen, waktu, juga biaya yang tidak sedikit.” “Iya benar Pak, kami masih memikirkan tentang biayanya,” ucapku jujur. “Jika ibu berkenan, saya bisa membantu mendaftarkan Bulir ke program seleksi beasiswa. Ada beberapa perusahaan yang memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan memberikan beasiswa olahraga untuk anak berbakat. Khusus sepak bola, ada beberapa klub yang bekerja sama dengan program tersebut, yang paling dekat ada Madiun Junior FC.” Aku tak bisa menyembunyikan binar di mataku, ada setitik harapan. Segera kuucapkan terima kasih dan meminta tolong pak Tama untuk mendaftarkan Bulir ikut seleksi. *** Siang ini, aku mendapati gelagat yang tak biasa antara Mardian dan Bulir. Tumben sekali, pulang sekolah mereka menonton tv berdua sambil asik membahas sesuatu. Lepas ashar seperti biasa Bulir berpamitan hendak main bola di lapangan desa. Aku tak bisa menahan lagi rasa penasaran dan langsung memberondong Mardian dengan pertanyaan. 37

“Ada kejadian apa mas, kok kayaknya hari ini akur banget sama Bulir. Nonton tv bareng lagi, seneng deh emak liatnya.” “Mak, tadi di sekolah ada cerita. Aku gak nyangka sih, ternyata Bulir mbelani aku,” kata Mardian mulai bercerita. “Biasalah, itu si Adit biang kerok ngadu domba aku sama Burhan. Pas pelajaran gambar, Adit numpahin cat ke tasnya Burhan. Lha kok dia nuduh aku, goro-goro aku pas lewat situ. Katanya Aku ndorong Adit sampai cat di tangannya tumpah. Mak ngerti dewe, Burhan badannya segede apa. Kalau dihantam lak yo babak belur aku. Untungnya Bulir maju pasang badan, dia mbelani aku. Anak lain pada diem aja, lha wong bapaknya Adit wakil kepala sekolah.” “Alhamdulillah, akhirnya kamu sekarang tau kalau Bulir itu anak baik. Mak seneng kalian bisa sahabatan,” ucapku sambil tersenyum. Malam itu, seusai makan malam aku menceritakan usul Pak Tama. Bulir sumringah mendengarnya, dia berjanji akan berlatih keras untuk mempersiapkan seleksi. *** Hari yang ditunggu tiba, pertandingan seleksi beasiswa klub bola akan diadakan sore ini di GOR. Bulir tampak tegang sedari pagi, tetapi mantap ingin lolos. Penonton di tribun tidak terlalu banyak, hanya orang tua pemain dan beberapa pelatih, ada juga guru- guru olahraga dan para pencari bakat. “Pemain bernomor punggung 25 menggiring bola menuju gawang lawan dan gooollll.” Suara komentator membahana ketika Bulir menendang bola dan masuk ke gawang. Aku pun tak bisa menahan diri, ikut berdiri dan bersorak. Pertandingan seleksi telah usai, kami sekeluarga bersorak kegirangan ketika akhirnya diumumkan bahwa nomor punggung 25 atas nama Bulir Sagala lolos menjadi salah satu penerima beasiswa klub sepak bola. Akhirnya Bulir bisa mencoba terbang menggapai cita-cita. *** SELESAI *** 38

Pria Nastar Keranjang “Buk, Iren ke rumah Tika ya,” ucapku kepada ibu. “Loh, bukannya mereka ada arisan keluarga,” kata ibu menimpali. “Oh, itu udah kemarin Buk, hari keempat lebaran.” “Ya sudah, hati-hati. Jangan pulang sore-sore ya!” “Iya Buk.” Aku mencium tangan ibu dan menyambar kunci sepeda motor. Tika adalah teman dekatku semenjak SMP, rumahnya tak begitu jauh, hanya10 menit berkendara dengan sepeda motor. Meskipun aku kuliah di luar kota, aku selalu menyempatkan ke rumahnya di waktu liburan seperti ini. Tetapi kali ini berbeda, ada misi khusus. Mengais nastar keranjang sisa lebaran buatan ibunya Tika. Nastar adalah kue lebaran kesukaanku. Tidak hanya di waktu lebaran, hari biasapun aku dengan senang hati memakannya. Ibuku lebih suka membeli nastar premium buatan bakery terkenal yang aroma butternya semerbak di setiap gigitan. Tetapi, nastar keranjang buatan ibunya Tika punya rasa klasik yang unik. Itulah sebabnya aku selalu buru-buru ke rumahnya. Biasanya hari kelima mereka sudah santai di rumah, tamu-tamu juga sudah selesai berkunjung. “Tik, siapa tuh?” tanyaku pada Tika segera setelah kami duduk lesehan di dalam tokonya. Mereka memanfaatkan area depan rumahnya sebagai toko kelontong sederhana dan warung telepon. Kami biasa mengobrol di sana sambil melipat paper bag untuk hajatan, salah satu usaha keluarga mereka juga. Tepat di seberang tempat kami duduk adalah ruang tamu. Bapak dan ibu Tika sedang mengobrol dengan beberapa tamu, sepertinya mereka adalah satu keluarga. “Gak tahu, teman bapak katanya,” sahut Tika acuh. Aku terus memperhatikan keluarga itu, bukan tanpa sebab. Salah seorang tamu yang sepertinya pria muda, mungkin beberapa tahun lebih tua dariku terus menerus mengambil nastar keranjang di meja. Meskipun dia tertawa sambil mengobrol dengan asyik, tangannya tak henti mencomot nastar dari toples. Mulutku manyun, kesal karena targetku hari ini untuk membawa setoples nastar keranjang sepertinya hanya akan jadi angan. Sekarang saja nastarnya tinggal separuh toples. 39

*** Masa liburan telah usai, dan aku kembali ke kampus. Sesekali teringat kejadian di rumah Tika. Jika dipikir-pikir, pria nastar keranjang itu cukup menarik. Dengan kaca mata dan lesung pipinya ketika tersenyum, tanpa sadar membuatku terus mengingat pertemuan tak terduga tersebut. “Ren, proposal kerja praktek jadinya gimana nih?” panggil Stevi membuyarkan lamunanku. Bulan depan kami sudah harus mulai magang kerja praktek di perusahaan, jadi bulan ini proposal perizinan sudah harus selesai. “Udah, kata Dinding besok kita ke PT.X buat nyerahin proposal,” jawabku. Pukul 07.00 WIB aku dan kedua teman kuliahku sudah bersiap berkumpul di depan kos. Kami akan menuju PT.X dengan mengendarai sepeda motor. Satu jam perjalanan, sampailah di tempat yang dituju. Setelah meminta izin kepada security, kami diantar menuju ruang kantor. Seminggu sebelumnya Dinding sudah sempat berbicara dengan penanggung jawab di sini terkait kerja praktek. Jadi kami tinggal datang dan mengurus izin resminya. “Mari silakan duduk,” seorang pria paruh baya yang sepertinya kepala bagian di situ mempersilakan kami masuk dan duduk di depannya. Belakangan kuketahui namanya adalah Pak Burhan. Perusahaan ini adalah salah satu perusahaan yang memproduksi beton pracetak. Pak Burhan menjelaskan tentang aktivitas perusahaan secara singkat. Kami bertiga kuliah di jurusan Teknik Industri dengan peminatan studi yang berbeda, sehingga kami ditempatkan di bagian yang berbeda pula. “Sebentar ya, saya panggilkan Pak Angga. Beliau ini nanti akan membantu adik-adik selama kerja praktek di sini.” Pak Burhan menjelaskan sembari menekan nomor extension telepon di mejanya. Tak berapa lama, pintu ruangan terbuka. Seorang pria muda berkacamata memasuki ruangan. Aku mengenalinya. Yup, si pria nastar keranjang. Jantungku hampir melompat dari tempatnya. Aku tak akan melupakan lesung pipinya yang bahkan menonjolkan diri ketika dia berbicara. Angga, nama yang manis. Dia tersenyum padaku lalu berkata, “Mari ikut saya berkeliling.” 40

Kami berkeliling pabrik sambil mengobrol. Pak Angga sangat ramah, dia menjelaskan aktivitas produksi sambil berbicara santai dengan kami bertiga. Rasanya seperti jodoh, ketemu lagi dengan si pria nastar keranjang. Aku yakin dia mengingatku, sepanjang jalan dia seolah memberikan perhatian khusus padaku. “Saya nggak nyangka loh, bisa ketemu Pak Angga lagi di sini, seperti takdir,” kataku tanpa basa-basi. Dia terdiam, mengernyitkan dahi dan berkata, “Maaf, apa kita pernah ketemu ya?” Mukaku memerah menahan malu, rasanya ingin langsung kabur saja. Dasar Pria Nastar Keranjang, ternyata aku hanyalah sebilah cerita lewat yang bahkan tak memiliki tempat di ingatannya. *** SELESAI *** 41

Kisahku di Warmindo Ini adalah duniaku. Dunia Warmindo, di mana tiga klan besar berkuasa. Klan Rotun penguasa roh tumbuhan, klan Jigo penguasa roh hewan, dan klan Sakata penguasa roh bumi. Aku, hanya gadis desa anak petani yang tak masuk dalam ketiga klan itu. Hanya mereka yang terlahir dengan roh penjaga di tubuhnya yang menjadi anggota klan. Roh penjaga itulah yang memberi mereka kekuatan. Kupandang nanar gerbang hijau bersulur itu dengan sebelah sepatu di genggamanku. Sepatu kaca yang tak bisa dipakai, karena hanya sebelah. Itulah tujuanku berada di sini, mencari pasangannya. “Kau tak apa?” tanyanya padaku yang nyaris terjatuh. Sebuah sulur tanaman melingkar di pinggangku. Beban di pundakku membuatku terpeleset. Kulihat sulur itu keluar dari telapak tangannya. Itulah awal pertemuan kami. “Aku ingin melihat kotamu. Kapan kau mengajakku ke sana?” tanyaku. “Entahlah, aku belum menemukan ide. Kalau ketahuan ayahku, aku berhubungan dengan gadis desa tanpa roh penjaga, bisa dipingit aku,” jawabnya. “Memang apa istimewanya sih punya kekuatan, toh kalian hanya menggunakannya untuk bersenang-senang.” Aku bersungut meratapi nasibku yang hanya gadis biasa yang jatuh cinta pada anak pembesar klan Rotun. Kumantapkan diri menuju gerbang itu, para penjaga segera menghampiriku. “Punya kartu masuk?” tanya penjaga itu padaku. Setiap orang yang keluar masuk kota klan Rotun harus menunjukkan tanda semacam kartu akses. Untung saja aku ingat meminjamnya pada tetanggaku yang bekerja sebagai pembantu di kota itu. Kebetulan dia sedang pulang kampung dan lagi cuti. “Permisi, kantor pemerintahan di sebelah mana ya Bu?” tanyaku pada seorang penjaja kue. “Freya?” Sebuah suara mengagetkanku. Tangannya menarikku ke lorong di balik sebuah toko. “Bagaimana kau bisa ke sini?” tanyanya panik. “Kara, akhirnya aku menemukanmu,” ucapku penuh haru, di depan pria yang kurindukan. 42

“Pulanglah, aku akan menemuimu. Di sini berbahaya, saudara-saudaraku bisa melihatmu. Jika kau bertemu ayahku, aku tak tahu apa yang akan terjadi.” Lagi-lagi dia membahas ayahnya, seolah dunia akan runtuh jika aku bertemu dengannya. Pria tua berjenggot yang katanya adalah pemimpin di klan Rotun. Aku tak takut padanya, aku hanya tak punya kekuatan untuk melawannya. Para lelaki di desaku tak ada yang berani melawanku. Meski tubuhku mungil, tetapi aku cukup gesit dan jago berkelahi. Tinggal berdua hanya dengan ibuku mengharuskanku mampu menjaga diri sendiri. “Tidak, aku tak akan pulang dengan tangan kosong. Akan kupastikan sepatu kaca di tanganku ini menemukan pasangannya.” Sepatu, awal mula masalah ini terjadi. Suatu hari, Kara menyelinap dari rombongannya yang sedang berada di rumah Kakek Guru. Sesepuh keluarga mereka yang kini tinggal di balik gunung di dekat desaku. “Aku membawakanmu sesuatu, yang sangat indah dan pasti kau suka,” ucapnya ketika menemuiku. Kara mengeluarkan sebuah kotak berisi sepasang sepatu kaca yang berkilauan. Tak sempat aku menerima kotak itu, seseorang memergoki kami. Deon, salah satu kakak Kara. “Apa yang kalian lakukan? Ayah sedang berjalan ke sini. Apa itu di tanganmu?” tanya Deon. “Pergilah dahulu, kita akan bertemu lagi,” ucap Kara sambil berlari ke tempat kakaknya tanpa sempat menutup kotak yang dibawanya. Sebelah sepatu kaca itu terjatuh. Aku memungutnya dan berlari sembunyi di balik pohon. Kulihat pak tua berjenggot memarahi Kara, mungkin itu ayahnya. Samar kudengar mereka membahas sepatu. Ternyata sepatu itu adalah salah satu warisan dari keluarga ibu Kara. Ayahnya mengamuk karena Kara mengambilnya tanpa izin, dan bahkan menghilangkan pasangannya. “Ayo kita bertemu ayahmu, kita katakan yang sesungguhnya. Katakan kau mencintaiku dan ingin bersamaku,” ucapku memelas. “Tidak sesederhana itu Freya. Ada satu kisah tentang para klan yang mungkin belum kau ketahui. Dahulu kala, kami bukan hanya terdiri dari tiga klan, tetapi empat. Klan keempat bernama Ranu, klan penguasa roh air. Mereka tinggal di daerah utara dekat lautan. Tetapi klan itu kini tak ada lagi. Anggota mereka menikah dengan orang biasa 43

tanpa roh penjaga. Sehingga semakin lama, keturunan pemilik kekuatan air menjadi punah. Ibuku adalah salah satu sisa-sisa keturunan terakhir. Itulah kenapa, ayahku sebagai pemimpin klan Rotun harus menjaga garis keturunan kami, dan melarang seorangpun dari anggota klan untuk menikah dengan manusia biasa tanpa roh penjaga,” ucapnya menutup kisahnya. “Aku akan membujuk ayahku, aku berjanji. Pulanglah dahulu.” Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, melangkah gontai kembali ke desaku. Sudah jauh-jauh kemari dengan sandal jepit yang hampir putus, namun tak ada hasil yang kudapat. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, haruskah aku menyerah dengan cinta ini. Sungguh sakit rasanya. Seperti kata pepatah, cinta deritanya tiada akhir. “Buk, aku harus bagaimana. Rasanya sudah terlambat untuk berhenti,” ucapku sendu sambil menyandarkan kepalaku di pangkuan ibuku. “Ada satu kisah yang belum kau tahu tentang ayahmu.” Ibuku mengelus kepalaku sambil menerawang memulai kisahnya yang selama ini dirahasiakannya dariku. “Ayahmu bukan orang biasa nak. Kamipun menikah tanpa restu dari kakekmu. Karena itulah ayahmu diusir dari keluarganya, dan tinggal di desa kecil ini bersama kita. Ayahmu adalah anak laki-laki terakhir dari pemimpin klan Ranu, penguasa roh air.” Aku terhenyak, dan bergegas menuju lemari pakaian, tempatku menyimpan sepatu kaca itu. “Buk, kata Kara sepatu ini adalah warisan milik klan Ranu,” kataku menunjukkan sepatu kaca itu pada ibuku. “Bagaimana bisa ada padamu nak? Ini adalah sepatu yang dahulu digunakan kakak- kakak perempuan ayahmu untuk membangkitkan kekuatan roh penjaga mereka,” ujar ibuku terkejut. “Pergilah, temui cintamu. Tunjukkan pada mereka bahwa kau bukan orang biasa!” Keesokan harinya aku bergegas menuju gerbang hijau bersulur itu lagi. Kali ini aku memakai pakaian terbaikku, dan sandal baru pemberian ibuku hasil menjual sayuran di pasar. Tak perlu waktu lama, akupun sampai di balairung kota tempat pemimpin klan Rotun berada. Kara yang melihatku langsung berlari menghampiri. Membujukku untuk kembali. Tetapi aku tak bergeming, aku punya rencana. 44

“Kamu mengenalnya? Bawa masuk dong temannya, diajak makan itu di belakang,” ujar pak tua berjenggot yang adalah ayah Kara. Tak kukira dia akan menyambutku dengan ramah. Tak seperti cerita Kara, ayahnya ternyata tidak menyeramkan. “Begini Pak, saya Freya kekasih Kara. Saya kemari ingin meminjam sepatu kaca dari klan Ranu. Kebetulan ayah saya adalah keturuan klan, jadi saya ingin mencoba mengaktifkan roh penjaga di tubuh saya,” ujarku tanpa basa-basi. Tak menghiraukan keterkejutan di wajah Kara, aku menunjukkan sebelah sepatu kaca yang kubawa. Ayah Kara yang ternyata bernama Pak Gali tak banyak berkata-kata. Ia hanya menyuruh Kara mengambil sebelah sepatu kaca yang ada padanya. Pusaran air keluar dari tangan kananku begitu sepasang sepatu kaca indah itu melekat cantik di kedua kakiku. *** SELESAI *** 45

Kisah Pilu Si Budak Cinta Kejadian hari itu tak lantas pergi begitu saja dari ingatanku. Meski sudah empat bulan berlalu, mimpi buruk selalu menghantuiku. Jangan-jangan aku target berikutnya. Aku benar-benar tak habis pikir, kenapa polisi tak ada yang percaya padaku. Mereka bilang aku hanya meracau. Sebagian besar orang di negara ini pasti tahu Kecap Merk Merak Hijau. Kecap legendaris favorit para ibu. Ayahku adalah CEO sekaligus pemilik saham terbesar di perusahan kecap tersebut. Usaha keluarga yang secara turun temurun terus diwariskan. Secara mengejutkan, aku menemukan ayahku yang sudah tak bernyawa di rumah kami di suatu sore ketika aku baru pulang bepergian dengan kekasihku. “Maaf sayang aku terlambat, sudah pesan makan?” ucap Panji kekasihku. Kami berjanji bertemu di cafe sore itu sepulang kerja. Malam ini kami akan nonton film bersama. Panji adalah segalanya bagiku, hanya dia yang kumiliki saat ini. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya dan selalu berada di sampingku. Saat-saat bersamanya seperti inilah yang mampu membuatku sedikit bernafas dan melupakan tragedi yang menimpaku. “Aku masih gak habis pikir, kenapa kasus ayahku disimpulkan sebagai kematian serangan jantung karena overdosis obat penenang?! Padahal ayahku sudah jarang meminumnya, rasanya aneh tiba-tiba ayahku minum obat itu setelah di hari yang sama bertengkar hebat dengan pamanku,” ucapku pada Panji. “Kau lihat sendiri kan, ketika menjemputku di hari itu. Ayah dan Paman berdebat hebat mengenai menjual saham perusahaan. Aku yakin pamanku adalah dalang dibalik kematian mendadak ayahku.” “Sudah, tenang dulu. Lupakan sejenak yuk, bioskop sudah dibuka,” ucap Panji seraya menuntunku menuju ruang teater. Film hari itu cukup menghibur, Panji kekasihku memang paling paham aku suka komedi romantis. Bahkan dia sering menawarkan diri menemaniku menonton drama- drama romantis bersama di hari libur kami. Kegiatan yang pastinya tidak disukai sebagian besar pria. Dia juga sering menjemputku dan mengantarku berbelanja tanpa banyak mengeluh. Entah bagaimana aku akan menjalani hidup tanpa Panji. Pria ideal 46

yang perhatian dengan tampilan fisik menawan, ditambah dengan latar belakang pekerjaan yang menjanjikan. Aku akan menikah dan hidup bahagia dengannya, persetan dengan warisan dan perusahaan kecap keluarga. Hari minggu aku berjanji bertemu dengan Panji untuk melihat-lihat vendor pernikahan. Hingga matahari hampir terbenam, aku tak mendapat kabar darinya. Beberapa jam kemudian barulah dia menelepon, ada masalah darurat dengan pekerjaan terkait laporan penting. Sehingga kami harus menunda rencana hari itu. “Aku udah browsing-browsing model gaun untuk pesta resepsi, gimana menurutmu?” tanyaku pada Panji sambil memperlihatkan foto-foto gaun pernikahan. “Hmm… bagus kok, sepertinya cocok,” jawabnya acuh sambil kembali sibuk dengan smartphonenya. Aku sudah menunggu beberapa bulan untuk menunda membahas pernikahan hingga kasus kematian ayahku mereda. Tetapi kini ketika kami sudah mampu membahasnya, Panji malah terkesan cuek dan terlalu santai. Dia bahkan berjanji akan mempertemukanku dengan keluarganya, tetapi hingga kini setiap kali kutanya dia selalu beralasan. Ayahnya sedang di luar negeri, ibunya sedang di luar kota, dan segudang alasan lainnya. Sampai suatu ketika, dia mengirim pesan mengejutkan. “Aku tak bisa menikah, carilah pria lain.” Dia menghilang begitu saja, keluar dari perusahaannya, keluar dari hidupku dengan cara yang paling menyakitkan. Aku kalut, pikiranku tak menentu. Sendirian menghadapi derita ini membuatku linglung. Berbulan-bulan mengurung diri di rumah, kewarasanku mulai terganggu. Seringkali ketika bangun dari tidur, pikiranku kosong. Ingatan tentang kematian ayahku, ingatan tentang Panji berputar-putar, memburam dan kemudian hilang. Pagi ini kudapati diriku terbangun di sebuah ruangan serba putih. Tembok bercat putih dengan satu dipan dan kasur yang dibalut seprai putih bersih. Hanya ada 1 lemari sederhana dan 1 meja di ujung ruangan. Samar kudengar obrolan dua perempuan berseragam putih di depan jendela kamar ini. “Pasien baru ya? Sepertinya orang kaya, cantik dan masih muda,” ujar perempuan pertama yang memakai jilbab. 47

“Iya, baru masuk seminggu ini. Kasihan deh. Ayahnya meninggal dibunuh, pakai racun. Penyelidikan polisi, katanya tunangannya yang membunuh ayahnya. Kasus balas dendam. Orang tua si tunangan dulunya bunuh diri karena tercekik hutang, perusahaannya bangkrut gara-gara CEO perusahaan kecap Merak Hijau, ya ayahnya si gadis ini,” jawab perempuan satunya yang berambut sebahu. “Oh, jadi selama ini si tunangan hanya memanfaatkan si pasien ini gitu ya?” “Sepertinya begitu. Setelah mendengar kenyatannya, dia shock dan jadi linglung. Akhirnya sama pamannya dimasukkan ke rumah sakit jiwa.” *** SELESAI *** 48

Akad Nikah Diana Pria itu menggenggam tangannya, menatapnya dalam. Setelah sekian tahun mereka lalui bersama, kini dia yakin menginginkan gadis itu menjadi pendampingnya. “Maaf, perlu waktu lama. Maukah kau menikah denganku?” ucap pria itu. Sang gadis yang bernama Diana memandangnya, air mata bahagia menggenang di pelupuk. Kekasihnya itu selalu menunda pernikahan karena masih ingin menabung untuk membahagiakan orang tuanya. Ingin membeli rumah untuk keluarganya nanti. Dia hanyalah pegawai biasa dengan gaji sedikit di atas UMR. Perlu waktu bertahun-tahun baginya hingga siap berumah tangga. “Tentu, Fadli aku mau. Tak perlu mas kawin mewah, tak perlu pesta mewah. Akad nikahpun sudah cukup bagiku,” sahut Diana. “Oke, minggu depan aku ke rumahmu ya. Kita minta izin bapak dan ibumu.” Diana memacu sepeda motor dengan senyuman di wajahnya. Beruntung dia bertemu pria pekerja keras yang berbakti kepada orang tuanya seperti Fadli, terlebih dia sangat menghargai wanita. Diana bekerja sebagai staf administrasi sebuah perusahaan garmen, pekerjaan yang cukup baik mengingat dia hanya lulusan SMK. Suatu hari Fadli mendatangi perusahaan tempat Diana bekerja, sebagai perwakilan supplier. Merasa saling cocok dan akhirnya menjalin hubungan. Minggu pagi, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Diana sudah memberi tahu bapak dan ibunya kalau Fadli mau datang ke rumah. “Jadi begini Pak, Bu, saya berniat meminang Diana untuk menjadi istri saya. Kami mohon restu dari bapak dan ibu,” ucap Fadli meminta izin. “Alkhamdulillah, Insya Allah ibu dan bapak sangat setuju nak Fadli. Apa sudah ditentukan tanggal pernikahannya?” sahut ibu Diana. “Insya Allah nanti keluarga saya akan datang kemari Bu, untuk membicarakan terkait tanggal dan pesta pernikahan.” Waktu berlalu begitu cepat, satu per satu persiapan pernikahan telah dilaksanakan. Resepsi sederhana dengan adat Jawa Tengah akan diadakan di rumah Diana. Undangan mulai dipesan, sewa baju pengantin dan make up, studio foto, tenda dan lainnya. 49


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook