dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali     Yuga. Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan     ajaran ajarannya sebagai bentuk moderasi. Dalam ajaran     agama Hindu yang terpenting adalah susila, yaitu bagaimana     menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia,     yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan.  4. Dalam Agama Budda esensi ajaran moderasi beragama     dapat dilihat dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal     dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya,     yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua     keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan     mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai     pencerahan sempurna.  5. Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama     Khonghucu. Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan     luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata yin     yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan     spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup     dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap     ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu     yang berlebihan           Dengan demikian bisa dipahami bahwa moderasi  beragama adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan  umat beragama, karena dalam kehidupan beragama, umat  butuh yang namanya sikap-sikap yang saling menghormati,  toleransi dan sebagainya antar umat beragama sehingga ketika  terjadi dinamika permasalahan antar umat beragama, maka  pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi pemeluknya melalui  konsep moderasi beragama bisa menjadi solusi mengatasi  permasalahan tersebut dan tidak berkembang menjadi  permusuhan dan perpecahan    134 Moderasi Beragama
Urgensi moderasi beragama di Indonesia         Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah    sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal itu adalah  sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan  alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka  kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat  bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam  kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam  etnis, suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah  bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka  kesatuan syari‟at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai  hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat  (ummatan wahidah), Allah menciptakan berbagai agama.  Keberagaman dalam beragama adalah sunnatullah sehingga  keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja ( Ali dalam  Fahri dan Zainuri, 2019:96)           Berkenaan kemajemukan/keberagaman tersebut bisa  dilihat di Indonesia ini, mengingat Indonesia dengan  keragamannya, meliputi suku, budaya, tradisi, bahasa, sampai  kepada keragaman agamanya dan hal ini seringkali  menimbulkan konflik disebabkan perbedaan tersebut dengan  berbagai faktor yang melingkupinya. Oleh karenanya,  dibutuhkan sebuah langkah yang progresif dalam menangani  isu-isu keragaman yang sewaktu-waktu bisa meledak dan  menimbulkan kerugian yang besar (Islam, 2020:38).           Tidak kalah besar dampaknya adalah konflik keragaman  agama, mengingat konflik yang ditimbulkan akabit konflik  agama sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan pertikaian  dan perpecahan, apalagi isu isu terkait agama sangat rentan dan  memunculkan polemik akibat ulah personal atau kelompok  yang tidak bertanggungjawab dan hanya memanfaatkan                                                              Zaedun Na‟im 135
dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan mereka,  sehingga ini kiranya dibutuhkan solusi yang tepat mengatasi  hal tersebut dengan cara menumbuhkan dan mengamalkan  nilai-nilai moderasi beragama. Hal ini perlu mengingat dengan  adanya moderasi beragama umat akan menjadi lebih santun  dan bijak dalam menyikapi permasalahan isu isu agama yang  berkembang dan tidak mudah terpancing isu isu tersebut,  sehingga kerukunan umat beragama akan tetap terjaga.           Sehingga dalam hal ini perlu kiranya diperlukan  pemahaman tentang apa saja pilar agar bisa terwujudnya suatu  moderasi, Menurut Quraish Shihab dalam (Zamimah, 2018)  melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar  penting yakni (Fahri dan Zainuri, 2019:97):  1. Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama,beberapa       makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil     dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Adil juga     berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya.     Adil juga berarti moderasi „tidak mengurangi tidak juga     melebihkan”  2. Kedua, pilar keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada     suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian     yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar     tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan     terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan     berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam penafsiran     Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang     pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya     keseimbangan tak dapat terwujud keadilan  3. Ketiga, pilar toleransi. Toleransi adalah batas ukur untuk     penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima.     Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus    136 Moderasi Beragama
dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah     penyimpangan yang dapat dibenarkan           Dari pilar-pilar moderasi diatas, ada salah satu pilar yang  mungkin sudah familiar, yakni pilar toleransi, karena selama ini  sudah sering didengar dari arahan atau himbauan tokoh agama,  ataupun pemerintah untuk mengedepankan sikap toleransi  antar umat beragama. Dan itu tujuannya adalah terwujudnya  moderasi beragama. Sehingga hal ini sangat penting sekali  untuk terus dilakukan oleh antar umat beragama.           Toleransi sebagai indikator moderasi beragama ingin  melihat sejauh mana seseorang yang beragama bisa menerima  orang lain yang berbeda faham dan keyakinan dalam beragama,  sekaligustidak mengganggu orang lain yang berbeda tersebut  untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga  menyampaikan pendapatnya (Junaedi, 2019: 396)           Konsep moderasi beragama menjadi sangat penting  karena sikap tersebut akan mendorong kepada sikap beragama  yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan  penghormatan terhadap praktik keagamaan orang lain yang  memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan  tengah dalam praktik beragama tersebut akan menghindarkan  seseorang dari sikap ekstrem yang berlebihan, fanatik dan  sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama adalah  solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub  ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi serta di sisi lain  liberal atau ekstrem kiri (Kemenag RI. Moderasi beragama,  2019:18)           Menurut Ghufron, (2016) konflik sosial berkedok agama  sering terjadi. Misalnya saja, pada 17 Juli 2015, kasus kekerasan  pecah di Tolikara, Papua, dimana satu masjid dibakar oleh  kelompok yang tergabung dalam pemuda Gereja Injil di                                                              Zaedun Na‟im 137
Indonesia atau GIDI. Tiga bulan setelahnya, di tahun 2015  juga, konflik semacamnya terjadi di Kabupaten Singkil,  Nanggroe Aceh Darussalam, dua gereja dihancurkan dan  dibakar oleh sekelompok muslim. Pemicu utama dari kedua  kasus itu karena sama-sama mengklaim bahwa menurut  geografis keberadaan wilayahnya harus dikuasai oleh arus  utama pemeluk agama yang paling dominan, dan membatasi  ruang gerak umat agama lain dalam menjalankan aktivitas  peribadatannya (Islam, 2020: 40)           Kedua peristiwa tersebut hanya sebagian contoh dari  banyaknya peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari isu  pluralitas agama yang terjadi di Indonesia, dimana hal tersebut  merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama yang  lain dengan berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Isu-isu  tersebut sangat rentan terjadi ketika faktor pemicunya muncul  kembali ke permukaan, maka dari itu solusi terkait  permasalahan tersebut harus selalu diupayakan bersama agar  seluruh agama dapat menjalankan ajaran agamanya secara  khusuk dalam artian tanpa ada gangguan dari pihak atau  kelompok keagamaan lainnya.(Islam, 2020: 40)           Sehingga dalam hal ini wajah agama tergantung pada  pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti dua sisi  mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai  kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan  ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan,  dan kebangsaan. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan  daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak-  porandakan sebuah keharmonisa (Junaedi, 2019:394)           Dengan demikian moderasi beragama di Indonesia  sangatlah penting untuk terus diupayakan dan dikembangkan  agar antar umat beragama bisa hidup berdampingan dengan    138 Moderasi Beragama
damai tanpa adanya perselisihan-perselisihan lebih-lebih kearah  tindakan anarkis, dan itu bisa teratasi jika umat beragama bisa  mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan benar dan  adanya sikap saling menghormati dan toleransi antar umat  beragama.    Penutup         Moderasi beragama bagi Indonesia adalah suatu    keharusan dan sangat diperlukan, mengingat di negeri ini  beraneka ragam agama, sehingga adanya moderasi beragama  bisa terus terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dan  melalui moderasi beragama, umat akan hidup berdampingan  dengan baik tanpa adanya gangguan dalam aktivitas  menjalankan tuntunan ajaran agama yang dianutnya           Hal ini menjadi sangat penting agar kerukunan antar  umat bergama tetap terjaga dengan baik dan menjadikan umat  beragama lebih arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan-  permasalahan antar umat Bergama.    Daftar Pustaka  Al Azhari, M. Luthfi Afif. Moderasi Islam dalam Dimensi           Berbangsa, Bernegara Dan Beragama         PerspektifMaqashid Asy-Syari‟ah (Jurnal Intelektual:         Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol.10 No.1         2020,  Fahri, Mohamad dan Ahmad Zainuri. Moderasi Beragama di         Indonesia. (Intizar, Vol. 25 No. 2, 2019)  Islam, Khalil Nurul. Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas         Bangsa: TinjauanRevolusi Mental Perspektif Al-Qur‟an         (KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial dan         Keagamaan. Vol 13No. 1. 2020)                                                              Zaedun Na‟im 139
Junaedi, Edi. INILAH MODERASI BERAGAMA         PERSPEKTIF KEMENTERIAN AGAMA. (Jurnal         Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2, 2019)    Kementerian Agama RI. Moderasi beragama. (Jakarta: Badan         Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019)    Sutrisno, Edy. Aktualisasi Moderasi Beragamadi Lembaga         Pendidikan (Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1, 2019)    Syarkhun, Mukhlas dan Moh. Arifin. Jembatan Islam-Barat.         (Jogjakarta: PS, 2015)    140 Moderasi Beragama
Biografi Penulis       Zaedun Na‟im, M.Pd.I. Penulis sebagai dosen tetap di  STAI Ma‟had Aly Al-Hikam Malang dan sebagai keetua  program studi (Kaprodi) Manajemen Pendidikan Islam (MPI).  Pada tahun 2020 melanjutkan program doktoral (S3) prodi  Manajemen Pendidikan Islam di UIN Maulana Malik Ibrahim  Malang. Penulis Juga aktif sebagai tenaga pendidik di  pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang. Selain sebagai tenaga  pendidik, penulis juga menjadi editor in chief jurnal EVALUASI  dan LEADERSHIP Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAI  Ma‟had Aly Al-Hikam Malang, serta menjadi editor atau  reviewer beberapa jurnal nasional di perguruan tinggi.  Beberapa karya buku yang telah ditulis masih berupa buku  kolaborasi yang berjudul: Manajemen Pendidikan  Kontemporer: prinsip dasar, administrasi, dan operasionalisasi,  Manajemen Pendidikan: tinjauan teori dan praktis, Kapita Selekta:  manajemen dan kepemimpinan pendidikan, Manajemen pendidikan:  strategi peningkatan mutu pembelajaran di era new normal,  Manajemen Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan: prinsip  dasar, strategi dan implementasi, Strategi dan Metode                                                              Zaedun Na‟im 141
Pembelajaran Era Society 5.0 di Perguruan Tinggi.  Email:[email protected], no.Hp; 082330512288.    142 Moderasi Beragama
Menenun Kembali Kerukunan Antaragama  Yang Kian Tergerus Ditengah Badai  Intoleransi    Hironimus Bao Wolo, S.Fil., M.Hum  Dosen Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka    Catatan Awal    N  egara Indonesia merupakan sebuah negara yang     penuh dengan keanekaragaman baik suku,     agama, ras dan antar golongan. Realitas     keanekaragaman ini tentunya tak terbantahkan    oleh siapa pun. Realitas ini tentunya secara in se memberikan    warna tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di    Indonesia. Tentunya ketika bangsa lain berbicara tentang    Indonesia, satu hal yang tak bisa diabaikan dalam pembicaraan    mereka adalah soal keanekaragaman. Singkatnya, ketika    berbicara tentang Indonesia, kita berbicara tentang kenyataan    diri yang penuh dengan perbedaan.    Kenyataan diri yang penuh dengan perbedaan tersebut,    pada hakikatnya bukan mengarahkan orang pada perselisihan,    permusuhan, perpecahan dan perdebatan tanpa ujung.                                       Hironimus Bao Wolo 143
Perbedaan pada hakikatnya menyadarkan setiap individu untuk  saling menghargai dan saling memahami. Kesadaran untuk  saling menghargai dan saling memahami dalam perbedaan,  akan menghantarkan setiap individu pada pemuliaan dirinya  sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.           Nilai-nilai baik yang terbingkai dalam nilai saling  menghargai dan memahami dalam perbedaan, hemat penulis  sejauh ini masih belum sepenuhnya direalisasikan secara baik  oleh setiap individu. Masih ditemukan perdebatan,  pertentangan, percekcokan bahkan saling menjatuhkan satu  sama lain karena ingin menunjukkan bahwa sukunya lebih baik  dari pada suku yang lain; agamanya lebih baik dan benar dari  pada agama orang lain; rasnya lebih unggul dibandingkan  dengan ras orang lain; atau golongannya lebih hebat  dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Realitas ini  menunjukkan dengan jelas bahwa perbedaan dianggap sebagai  sumber konflik dan hal ini masih ditemukan di jagad Ibu  Pertiwi ini. Menjadi pertanyaan: Apakah realitas ini terus  dibiarkan dan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan?    Menenun Kembali Kerukunan Antaragama yang Kian  Tergerus di Tengah Badai Intoleransi             Bertolak dari pertanyaan di atas: Apakah realitas ini terus  dibiarkan dan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan?  Jawabannya tentu saja tidak! Saya coba mengerucutkan  problem perbedaan ini pada konteks beragama di Indonesia.  Problem kehidupan beragama di Indonesia hingga kini masih  menjadi kenyataan yang terus dipersoalkan, bahkan terkadang  menyita energi untuk menyelesaikannya.           Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah  menggariskan secara tegas soal kebebasan dalam menjalankan    144 Moderasi Beragama
agama masing-masing. Negara memeberikan jaminan  kemerdekaan kepada tiap individu untuk memeluk agamanya  masing-masing dan beribadat menurut agama dan  kepercayaannya itu. Penekanan ini menunjukkan bahwa setiap  individu memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan  kebebasan beragamanya tanpa diintimidasi oleh orang lain.  Namun perlu diingat bahwa kebebasan tersebut bukan dalam  arti kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan  yang terkontrol dan dapat dipertanggungjawabkan.  Kemerdekaan beragama bagi setiap individu secara yuridis  telah dilegitimasi, namun dalam tataran implementasinya  sering mendapat hambatan dan tantangan. Masih ditemukan  persinggungan antara satu agama dengan agama yang lainnya.  Masih ditemukan percekcokan antara satu agama dengan aliran  kepercayaan yang lainnya. Kenyataan ini hingga kini masih  menjadi problem yang belum terselesaikan.           Kasus Slamet Jumianto yang diusir di Desa Pleret karena  beragama Katolik; Kasus penghentian secara paksa upacara  Piodalan umat Hindu yang terjadi di Bantul; Kasus indekos  khusus muslim di Yogyakarta dan kasus bom bunuh diri serta  pelbagai kasus intoleransi lainnya, telah menunjukkan dengan  jelas bahwa toleransi dalam kehidupan beragama masih sangat  memperihatinkan.           Penulis pernah pernah menulis sebuah artikel yang  menyoroti kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh okunum  yang tidak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan agama.  Artikel tersebut diberi judul: Bom Bunuh Diri dan Klaim Membela  Tuham. Pada intinya artikel tersebut menguraikan dengan jelas  soal bagaimana sebagai individu yang ber-Tuhan, kita tidak  bisa merampas ke-Maha-an Tuhan dan meletakkannya ke  dalam diri kita untuk membela Tuhan. Tuhan sama sekali tidak                                                        Hironimus Bao Wolo 145
butuh dibela. Tuhan hanya mengharapkan umat-Nya untuk  menginternalisasikan ajaran-Nya dalam bentuk perbuatan-  perbuatan baik (bdk. Bao Wolo, 2019: 60-63).           Setiap agama tentunya mengajarkan setiap pemeluknya  untuk melakukan kebajikan-kebajikan dalam seluruh  kehidupannya. Kebajikan-kebajikan tersebut sebenarnya  menjadi inti dari kebenaran ajaran agama. Hemat penulis,  agama (lembaga) itu adalah wadah yang manyatukan para  pemeluknya dan bukannya agama sebagai Tuhan. Terkadang  para pemeluknya salah memposisikan keberadaan agama  sebagai sesuatu yang sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan  ajaran-ajaran Tuhan. Ketika agama diposisikan demikian, maka  tidak heran kebenaran-kebenaran dari ajaran agamanya sering  dibelokkan untuk melakukan tindakan intoleransi. Pada titik  ini, agama dijadikan tameng untuk membenarkan tindakan  jahat.             Penulis sangat setuju dengan ulasan yang disampaikan  oleh Norbertus Jegalus tentang cara baru perjumpaan agama-  agama yang ada di Indonesia. Jegalus menandaskan bahwa  sejauh ini cara perjumpaan agama-agama di Indonesia masih  dalam tataran etis ko-eksistensi. Tataran etis ko-eksistensi  hanya menekankan pada kesamaan hak bagi tiap agama untuk  hidup berdampingan secara rukun dan damai semata. Oleh  sebab itu, bagi Jegalus, hal tersebut sama sekali tidak memadai  lagi, apabila menghadapi kenyataan baru tentang  fundamentalisme agama. Ko-eksistensi hanya menekankan  kesamaan setiap agama dalam mewujudkan isi ajarannya  bahkan perwujudan isi ajarannya dalam bentuk yang paling  ekstrem, misalnya bom bunuh diri. Menghadapi kenyataan ini,  maka Jegalus kemudian memunculkan satu pendekatan baru  yakni pro-eksistensi. Pendekatan pro-eksistensi menekankan    146 Moderasi Beragama
pada kehidupan bersama dengan penganut yang linnya. Pro-  eksistensi lebih menitik-beratkan pada budaya kehidupan dan  bukannya pada kematian. Agama tidak hanya sebatas hidup  berdampingan secara damai semata, tetapi harus juga saling  memberikan perhatian pada kelestarian kehidupan. Kelestarian  kehidupan tersebut bukan semata antar para pemeluk agama  yang sama, tetapi juga kelestarian kehidupan bagi umat yang  berbeda agama. Tanggung jawab tiap pemeluk agama atas  kehidupan menjadi inti dari pro-eksistensi (Jegalus, 2011: v-vii).           Kerukunan dan merawat kehidupan antar umat  beragama merupakan tanggung jawab bersama. Setiap individu  yang berbeda tentunya harus menyadari bahwa “saya dan  kamu adalah kita”. Kesadaran ini penting untuk dipupuk agar  kehidupan terus diagungkan. Inilah ciri manusia yang  berbudaya dan beradab dalam sebuah bangsa. Dengan  demikian, “bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa  yang selalu menjunjung tinggi kemanusiaan” (Bao Wolo, 2019:  97). Nilai-nilai kemanusiaan harus mendapat tempat yang  istimewa dalam menjalin kerukunan antar umat beragama.  Tanpa hal ini, harapan untuk hidup bersama secara rukun dan  damai hanyalah sebuah wacana belaka.           Perjumpaan dengan agama lain di bumi Indonesia ini  adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dielakan oleh siapapun.  Perjumpaan tersebut tentunya menjadi sebuah kebahagiaan  besar karena lewat perjumpaan dalam perbedaan, setiap orang  mampu membuka diri dan saling menghargai. Ketika masing-  masing orang yang berbeda keyakinan tersebut sudah  membuka diri dan saling menghargai, maka dialog antar umat  agama bisa terealisasikan. Ketika dialog antar umat beragama  telah tercapai, maka tidak ada tempat bagi intoleransi.                                                        Hironimus Bao Wolo 147
Penulis sangat tertarik dengan sosok almarhum Gus Dur  karena kerendahan hati dan keterbukaannya pada iman dan  keyakinan orang lain. Beliau menjadi salah satu tokoh yang  membuka kran kebebasan bagi tiap agama dan kepercayaan di  Indonesia untuk mengekspresikan imannya di tataran publik.  Hal ini dilakukan ketika beliau menjabat sebagai presiden.  Tentunya pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Gus  Dur adalah sosok pejuang yang humanis. Beliau mampu  meruntuhkan tembok-tembok pemisah antara satu agama  dengan agama yang lainnya; satu kepercayaan dengan  kepercayaan yang lainnya. Beliau menyadari bahwa perbedaan  itu pada dasarnya bukan sebagai ajang lahirnya konflik atau  sumber permusuhan, melainkan perbedaan tersebut adalah  anugerah yang menyadarkan setiap manusia untuk saling  menghargai.           Gus Dur telah memberikan teladan bagi kita semua  bagaimana membuka diri dan menghargai perbedaan di antara  para pemeluk agama yang berbeda. Oleh sebab itu, hidup  berdampingan dan saling menghargai satu sama lain adalah  langkah yang paling penting dalam menenun kembali  kerukunan antaragama di Indonesia. Sikap sering  mempersoalkan iman dan kepercayaan orang lain adalah  tindakan yang keliru dan perlu diluruskan agar tidak menjadi  sumber lahirnya intoleransi.    Catatan Akhir         Saya menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan    terkenal dari Presiden Soekarno sebagai berikut:         Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi         Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan         jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Nusantara    148 Moderasi Beragama
dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.         Ingatlah wahai saudara-saudara musuh yang terberat itu         adalah rakyat sendiri. Rakyat yang mabuk akan budaya         luar yang kecanduan agama yang rela membunuh bangsa         sendiri demi menegakkan budaya asing, jangan mau         diperbudak oleh semua ini. Tetaplah bersatu padu         membangun negeri ini tanpa pertumpahan darah         (https://www.youtube.com/watch?v=8VTACLyzvlY).         Bertolak dari pernyataan Soekarno di atas, saya coba  menarik kesimpulan sambil mengaitkannya dengan toleransi  antaragama di Indonesia bahwa setiap orang diberi kebebasan  untuk menjalankan agama dan keimanannya tetapi harus  membumi dengan adat budaya nusantara. Artinya bahwa cara  menghayati iman dan kepercayaan kita harus selaras dengan  adat budaya Indonesia yang sarat akan nilai dan makna. Adat  budaya nusantara pada intinya sangat menjunjung tinggi nilai  kemanusiaan atau pro-eksistensi dalam bahasa Jegalus, harus  mampu meresapi cara beragama kita. Cara beragama kita yang  lebih mengedepankan nilai kemanusiaan akan menghantarkan  setiap umat beragama hidup dalam kerukunan dan kedamaian.  Ketika cara beragama kita telah dikembalikan pada rel yang  benar, maka benih-benih permusuhan, perselisihan dan sikap  ekstrem bisa dilenyapkan. Selamat menggaungkan toleransi dan  menegakkan nilai kemanusiaan di antara perbedaan dalam cara  beragama.    Daftar Pustaka  Bao Wolo, Hironimus. (2019). Mengurai Jejak-Jejak Negeriku.           Kebumen: CV. Intishar Publishing.                                                        Hironimus Bao Wolo 149
Jegalus, Norbertus. (2011). Membangun Kerukunan Beragama dari         Ko-Eksistensi sampai Pro-Eksistensi. Maumere: Penerbit         Ledalero.    https://www.youtube.com/watch?v=8VTACLyzvlY.Diunduh         tanggal 6 Januari 2020.    150 Moderasi Beragama
Biografi    Hironimus Bao Wolo, lahir di Watoone, Kecamatan  Witihama, Kabupaten Flores Timur pada tanggal 17 Januari  1986. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Sekolah Tinggi  Filsafat Katolik (STFK) Ledalero (2011) dan Strata 2 Ilmu  Hukum (Ketatanegaraan) pada Universitas Atma Jaya  Yogyakarta (2015). Sejak tahun 2015bekerja sebagai dosen  pada Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL).  Pernah menulis buku “Mengurai Jejak-Jejak Negeriku”  (Penerbit Intishar Publishing); Menulis artikel dengan judul:  “Mendaur Ulang” Kesabaran di Tengah Pandemi Covid-19  (Diterbitkan dalam buku yang berjudul: Menyukat Kesemenjanaan  Kita. Penerbit Komunitas Guru Menulis Tahun 2020); Menulis  artikel dengan judul: “Quo Vadis Pembelajaran Online di  Tengah Pandemi Covid-19” (Diterbitkan dalam buku yang  berjudul: Covid-19 di Mata Dosen, Sebuah Antologi Opini. Penerbit  CV. Pena Persada Tahun 2020); dan artikel berjudul: “Covid-                                                        Hironimus Bao Wolo 151
19: Membongkar Zona Nyaman Rutinitas Harian”  (Diterbitkan dalam buku yang berjudul: Kuat Melawan Corona.  Penerbit CV. Litera Tahun 2020).    152 Moderasi Beragama
MEMBENTUK PRIBADI TOLERAN DI  PUSARAN KERAGAMAN INDONESIA  Tanggapan Atas Hujair AH. Sanaky    Nur Kholik, S.Pd.I., M.S.I.  Mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta    T  epatnya 13 Agustus 2020, semua orang di     institusi (lembaga) kampus UII Yogayakarta     khususnya „berduka” setelah mendapatkan kabar     meninggalnya salah saru Sang revolusioner    pendidikan Islam kontemporer (Hujair AH. Sanaky). Tampak    hampir semua lapisan (masyarakat, mahasiswa, para tokoh, dan    aktivis) memadati rumahnya di Perum Minomartani Sleman    berta‟ziah (mendo‟akan almahrum) begitu pula dengan penulis    sebagai mahasiswanya turut hadir memberikan penghormatan    terakhir (tak‟zim murid kepada guru). Bagi penulis ia    merupakan salah satu dosen yang tawwadu‟ (rendah hati)    sampai-sampai semua orang yang pernah mengenyam    pendidikan di Pascasarjana FIAI UII di buat seperti “teman    sejawat” olehnya, ketika pembelajaran (diskusi) mudah       Nur Kholik 153
dimengerti bahkan boleh jadi banyak orang (mahasiswa)  “terhipnotis”-terpengaruh terhadap sikap dan pemikiran  progresif-kritisnya dalam bidang apapun khusus pendidikan  Islam, yang ia tumpahkan dalam perkuliahan, artikel-artikel,  buku-buku, media, bahkan seminar-seminar.           Melihat demikian penulis terasa terilhami teori atau  pendekatan penubuhan (embodiment) pemikiran abstrak  terikat dengan tubuh. Secara umum tubuh merekrut struktur  saraf yang menjadi pusat pemrosesan sensorik dan motorik  melakukan kesimpulan yang membentuk pola berpikir abstrak.  Kemudian penubuhan pengetahuan terkait fenomena,  terepresentasikan dalam bentuk bagaimana ia  mempertahankan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.  Keterlibatan lingkungan melibatkan sifat dasar pengungkapan  dari representasi manusia, gilirannya akan mempengaruhi  proses interaktif-internal sistem tubuh, interaksi tidak hanya  input yang diproses menjadi output tindakan, tetapi juga  memiliki pengaruh pada input berikutnya. (Bickhard,2008)           Sehingga konteks kepemimpinan embodiment sebagai  perspektif dimana pengetahuan dihasilkan dan direpresen-  tasikan dalam sistem dinamis-kompleks yang bergantung pada  otak, pengalaman fisiologis seseorang, dan lingkungan  seseorang untuk menciptakan informasi. Kepemimpinan  karismatik para-pendidik dan tokoh elit agama misalnya, dapat  dikatakan embodiment berkontribusi pada penjelasan tentang  mengapa pemimpin karismatik dapat membangkitkan otoritas  “nafsu” untuk terus belajar. Ketika para “pengikut”  membentuk kesan seorang pemimpin, mereka  menggambarkan melalui ekspresi non-verbal seperti  penampilan, dan ekspresi mimik tubuh, serta persepsi ciri-ciri  kompetensi, aura, dan kepercayaan terhadap pemimpin dapat    154 Moderasi Beragama
dinilai dari wajah, yang mana secara positif dikaitkan dengan  persepsi pengikut tentang karisma atau aura. Artinya,  kepemimpinan merupakan salah satu sumber nilai penting,  mampu menjunjung budaya “politik” keberagaman masyarakat.  (Fahmi Khumaini, 2020)           Tak luput dari lintas pemikirannya ketika dalam sebuah  seminar “Membangun Relasi Simbiosis Negara Demokrasi dan  Agama” digelar Redaksi Jurnal Millah PPs FIAI UII. Hujair,  menyatakan dalam gerakan politik Indonesia, relasi anatar  agama dan negara era-reformasi, rupanya terus mengalami  “ketegangan” seakan terus tarik menarik dalam pusaran politik.  Sebagian berpendapat negara dan agama menyatu;  sebagaimana diwakili kalangan teokrasi. Pemahaman  kelompok ini menganggap pemerintah dijalankan berdasarkan  atas firman-firman Tuhan baik dalam aspek kehidupan (ibadah)  maupun dalam konteks sosial-bernegara sehingga negara  dilaksanakan atas titah (perintah) Tuhan. Berbeda dengan  kelompok sekuler, hukum atau negara ditentukan atas  kesepakatan manusia, bukan berdasarkan agama bahkan titah  Tuhan. Walaupun dalam pelaksanaan-nya kemungkinan  norma-norma tersebut bertenangan dengan norma agama.  (Purwata,2017)           Potret itulah, sehingga melahirkan berbagai produk  pemikiran kebangsaan terlebih menimbulan kontra-produktif.  Lugas Hujair sebenarnya hubungan agama dan negara dapat  dilihat dari tiga sudut pandang yaitu; oposisi, alienasi, dan  integrasi. Sehingga dalam mencari konsep dan cakrawala  keilmuan Islam terkait kehidupan, tentu selain merumuskan  relasi simbiosis agama dan negara demokrasi dalam lintasan  klasik hingga kontemporer, juga merespon dinamika hubungan  antara agama dan negara demokrasi dalam bingkai                                                                 Nur Kholik 155
kemajemukan dan merumuskan kontribusi dalam  pengembangan kajian ke-Islaman secara umum. Hal itu bisa  melalui penggalian para-pemikiran Islam yang bernuansa ke-  Indonesiaan sebagai pijakan merespon persoalan-persoalan  kemanusiaan, kebangsaan, keumatan dalam bidang keagamaan,  budaya, pendidikan, dan sebagainya. (Purwata, 2017)           Dalam ungkapannya Taylor dikutip Bernard Andene  Risakotta, menyatakan kita tidak dapat memahami bagaimana  menangani keragaman tanpa memahami bagaimana  modernitas yang berbeda-beda di bentuk oleh imajinari sosial  yang berbeda pula yang sering disandarkan pada keyakinan  agama. Modernitas di Indonesia misalnya, tentu berbeda  dengan modernitas di Malaysia, atau di Amerika Serikat.  Karena imajinari sosial berbeda dengan teori sosial dan tidak  dapat dinyatakan sebagai sehimpunan gagasan yang telah  terdefinisikan. Sebaliknya, didalamnya terdapat tatanan moral  yang didasarkan pada kisah tentang makna masyarakat kaitanya  dengan normatif tentang realitas, karena imajinari sosial  mempunyai dua aspek yang saling terintegrasi yaitu;  hermeneutis (visi tatanan moral) dan preskriptif (cara hidup).  Lanjut, Taylor mengungkapkan “imajinari sosial bukan  seperangkat ide-ide, melainkan apa yang dimungkinkannya  melalui praktik-praktik masyarakat menjadi masuk akal”.  (Bernard,2015).           Atas dasar tersebut sepakat jika dikatakan sebagian kaum  “reformis” dari beragam mazhab mengenai pentingnya  kebebasan dan pembebasan spiritual bagi visi tradisi mereka  sekalipun dengan cara yang berbeda. Agama sendiri jika  dipahami secara benar, sejatinya mengajak dari seksisme dan  patriarki menuju kesetaraan dan kebebasan. Masyarakat  Indonesia (multi-budaya) atau keragaman kultur mengandung    156 Moderasi Beragama
unsur yang beragam dan sarat nilai-nilai kearifan. Dalam  konteks membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial  yang kokoh, \"nilai-nilai kearifan\" seperti \"kearifan sosial dan  \"kearifan budaya\" dapat dijadikan sebagai benang pengikat  upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar Individu atau  kelompok. Melalui \"kearifan sosial\" dan \"kearifan budaya\"  berusaha mengeleminir perselisihan dan konflik budaya yang  kurang kondusif, tatanan kehidupan sosial masyarakat yang  multikultural akan terwujud dalam perilaku saling  menghormati, menghargai perbedaan dan menjaga satu  dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan. (Sanaky,  2005). Tentunya ekspresi sikap keberagamaan yang ekslusif  (mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak), tentu  dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama.           Lebih spesifik Hujair mengungkapkan;         “Indonesia is a pluralistic and multicultural nation,         inhabited by a variety of races, ethnicities, cultures and         religions. This natural diversity will be a valuable         manifestation when properly directed toward a         conducive condition. On the contrary, when it is not         directed to the proper pattern, this diversity will lead to         a clash of civilizations, often resulted in bloody conflicts,         which creates disunity and social disintegration. With the         diversity of race, ethnicity, culture, and religion,         education should provide an overview and moral ideals         of religion contextually. Educational process thus         requires a review of rigid and less humanist religious         doctrines that have been held so far. The plurality of         religions and beliefs are no longer understood as the         potential for unrest, but the potential to implement their         teachings for the sake of humanity. All religions should         claim to build a civilization, peace and human safety.”         (Sanaky,2017)                                                                 Nur Kholik 157
Melihat kondisi demikian nampak gagasan Hujair dalam  membentuk pribadi toleran harus diawali dengan disain  kurikulum dan pendidik/guru. Faktanya, kurikulum dan  pendidik dalam praktiknya berjalan sendiri-sendiri, seolah tidak  saling berkait atau berdialog. Dalam proses pembelajaran  misalnya pendidik menempati kedudukan yang sangat penting  karena bagaimana berlangsungnya proses pembelajaran itu  lebih banyak diwarnai rancangan program pembelajaran yang  dilakukan atau dibuat pendidik. Agar sikap toleransi dapat  dikembangkan di kalangan peserta didik atau siswa, pendidik  hendaknya dapat merancang kegiatan pembelajaran yang  berpengaruh terhadap pengembangan sikap tersebut. Disitulah  letak perlu melakukan sinkronisasi kurikulum dan proses  pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan budaya dan  perilaku toleran. Pengembangan budaya toleran ke-seluruh  aspek kehidupan masyarakat, menghargai keperbedaan,  membudayakan semangat pluralisme, serta praktik yang  menyentuh masalah umat manusia, baik bersifat politik, sosial,  maupun budaya, dan mengembangkan konsep pendidikan  yang menghargai potensi manusia yang beradab, haruslah  menjadi parameter desain pendidikan keagamaan.           Melalui puncak itu, pendidikan keagamaan harus bisa  memutar anggapan kaum-kaum yang menyatakan “lembaga  pendidikan penyebab terjadinya berbagai kasus kekerasan atas  nama agama di tengah masyarakat”. Ironi jikalau pendidikan  keagamaan “Islam khususnya” dituding menjadi mesin  pencetak intoleransi, radikalisme dan terorisme pada peserta  didik. Banyaknya pelaku terorisme dan radikalisme Islam yang  melibatkan kaum muda terpelajar, baik pelajar, mahasiswa  maupun lulusan perguruan tinggi menjadi penguat dari  berbagai tuduhan minor itu.    158 Moderasi Beragama
Berangkat dari realitas di atas dapat ditarik benang  merah dalam membentuk sikap toleran pusaran moderasi  keagamaan, tertitik pada desain kurikulum yang bersifat  pluralis/toleran dan bagaimana pendidik mengimplemen-  tasikan pembelajaran. Secara spesifik Hujair, menyatakan;  secara “ekstrim” meskipun kurikulumnya didisain anti-  toleransi sekalipun tetapi, jika dijalankan pendiidk/guru yang  berpandangan pluralis, pesan-pesan yang disampaikan akan  pluralis pula dan begitu pula sebaliknya. Disitulah terlihat  bahwa pendidik mempunyai otoritas penting dalam proses  pembelajaran. (Sanaky,2017)           Tandasnya, Hujair menyatakan;         “Berbagai upaya deradikalisasi pendidikan agama tidak         akan bermakna signifikan atau bahkan sia-sia, jika tidak         diimbangi dengan kesiapan pendidik agama (selaku         pelaksana dan perancang pengajaran), baik pada aspek         paradigma keagamaanya maupun metode pengajarannya;         dari doktrinasi menuju dialogis. Sayangnya sebagaimana         dikemukakan aspek guru nyaris tidak diperhatikan         sebagai persoalan yang mendesak untuk dibenahi”.         (www. Sanaky.com)         Langkah yang tidak kalah penting dilakukan adalah  aspek rekrutmen pendidik/guru baru yang harus  mengedepankan perspektif keagamaan calon pendidik/guru  yang pluralis dan toleran. Memulai pembenahan  pendidik/guru dari hulunya (melalui seleksi ketat) tentunya  tidak hanya efektif tapi juga efesien dalam memecahkan  persoalan intoleransi pendidik/guru agama. Jika kegiatan-  kegiatan seperti ini dilakukan secara intens dan serius maka  akan memberikan ruang terjadinya perubahan maindset para  pendidik/guru; dari paham anti-pluralis menjadi pluralis dan  toleran. Melalui kerangka berpikir tersebut, untuk mewujudkan                                                                 Nur Kholik 159
pendidikan toleransi, pendidikan di sekolah (madrasah) perlu  diorientasikan pada tataran moral action-psikomotor, agar  peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi  (competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki  kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai  dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. Lickona dikutip  Hujair berpendapat untuk mendidik moral anak sampai pada  moral action-psikomotor diperlukan tiga proses pembinaan  berkelanjutan, mulai dari proses moral knowing, moral feeling,  hingga sampai pada moral action. (www.Sanaky.com)           Dimana ketiganya harus dikembangkan-berdialog secara  terpadu dan seimbang, sehingga potensi peserta didik dapat  berkembang secara optimal, terpenting dalam aspek: a)  kecerdasan intelektual; memiliki kecerdasan, pintar,  kemampuan membedakan yang “baik dan buruk”, “benar dan  salah”, serta menentukan mana yang mempunyai sifat  maslahah; b) kecerdasan emosional; yakni kemampuan  mengendalikan emosi, menghargai keperbedaan, mengerti dan  memahami perasaan orang lain, serta mampu bekerja dengan  orang lain; c) kecerdasan sosial, memiliki kemampuan  berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja  sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain; d)  kecerdasan spritual, memiliki iman yang anggun, merasa selalu  diawasi Allah Swt, gemar berbuat baik, disiplin, sabar, ikhtiar,  jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih; e) kecerdasan  kinestetik, yakni menciptakan keperdulian terhadap dirinya dan  orang lain, menerima perbedaan, dan sebagainya. (Sanaky,2017)           Disitulah, pendidikan agama diharuskan memungkinkan  tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan, sehingga bisa  bersama bergandengan tangan membangun dunia baru yang  lebih bermakna bagi seluruh manusia. Bagaimanapun    160 Moderasi Beragama
pendidikan keagamaan “poros utama”, harus mampu  mencetak atau melahirkan generasi muda yang mempunyai  paradigma berfikir tentang persaudaraan dan kebersamaan,  untuk bersama membangun peradaban baru yang lebih  bermakna bagi seluruh manusia.    Daftar pustaka  Bickhard, Mark. 2008. Is Embodiment N ecessary?, dalam           Cognitive Science: An Embodied Approach, Paco Calvo         dan Antoni Gomila (ed), Amsterdam: Elsevier.    Khumaini, Fahmi. Pesantren Dan Embodiment: Simbol         Identitas Dan Otoritas Dalam Pedagogi Islam, makalah,         Proram Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakartam,         2020.    Lihat, What‟s that Thing Called Embodiment?, Proceedings of    the Annual Meeting of the Cognitive Science Society,    25(25),             2003,    https://escholarship.org/uc/item/60w6v9jz, hlm. 1309.    Purwata, Heri Membangun Hubungan Harmonis Agama Dan    Negara,             https://Www.Jogpaper.    Net/2017/12/16/Membangun-Hubungan-Harmonis-    Agama-Dan-Negara/.    Sanaky, Hujair AH. 2015. Pembaruan Pendidikan Islam,         Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat         Madani Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.                        Nur Kholik 161
The Role Of Religious Education In Forming Tolerant         Individuals, Indonesian Journal of Interdisciplinary         Islamic Studies (IJIIS) Vol. 1, No. 1 (2017).    Peran Pendidikan Keagamaan dalam Pembentukan Pribadi         Toleran, www.sanaky.com    Pendidikan Multikulturalisme dan Budaya Bangsa,         UNISIANO. 58/XXVIII/IV/2005.    Radikalisme Agama Dalam Perspektif Pendidikan, Millah, Vol.         XIV, No. 2, Februari 2015.    162 Moderasi Beragama
Biografi           NUR KHOLIK, S.Pd.I., M.S.I. Lahir pada tanggal 27  Desember 1990 di Sidimulyo. Anak kelima dari delapan  bersaudara dari pasangan Bapak Khalimi dan Ibu Siti  Ma‟sumah. Pendidikan pertama dimulai dari Madrasah  Ibtidaiyah umbirejo Kec. Negeri Katon, Kab. Pesawaran, dan  diselesaikan pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke MTs  Roworejo Kec. Negeri Katon, yang diselesaikan pada tahun  2005. Kemudian 2006 melanjutkan Sekolah Menengah Atas di  SMA N 1 Negeri Katon, Kec. Negeri Katon Kab. Pesawaran,  selesai pada tahun 2009. Pada tahun 2010 meneruskan  pendidikan S.1 ke Perguruan Tinggi Islam pada Jurusan  Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan keguruan  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung,  selesai pada tahun 2014.Kemudian melanjutkan Program  Pascasarjana Strata 2 (S2) pada tahun 2014 di Fakiltas Ilmu  Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Selesai  tahun 2016.                                                                 Nur Kholik 163
Saat ini, penulis berdomisili di Yogyakarta, sedang  menempuh program Doktor di kampus UIN Sunan Kalijaga  TA. 2019/2020 sambil mengisi kesibukan juga mengajar di  Universitas AlmaAta Yogyakarta dan Lembaga Pendidikan  Ma‟arif Yogyakarta. Sebenarnya sudah sebagai Dosen Tetap di  salah satu Perguruan Tinggi Islam Swasta di Provinsi Lampung,  yaitu Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam (STEBI)  Lampung. Sejak tahun 2018. Sejumlah karya-karyanya yang  telah dipublikasikan diantaranya dalam bentuk jurnal dan buku  seperti; dalam buku; 1) Jombang-Mesir (Kajian terhadap Islam  Liberal Abdurrahman Wahid dan Pendidikan Islam di  Indonesia; 2) Enigmatik: Revolusi Paradigma Ke-Islaman  Nahdlatul Ulama; 3) Terobosan Baru; Membentuk Manusia  Berkarakter di Abad 21, Ulasan Pemikiran Al-Attas; 4)  Mazhab Pembebasan Pendidikan, Ulasan Pemikiran Gus Dur,  5) Antologi; Hadits Tarbawi; 6) Manifesto; Modernisasi  Pendidikan Islam, Ulasan Pemikiran Soekarno; 7) Never Dies:  Alternative Eduation, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan  Islam Dalam Ruang Publik; 8) Interkoneksi Islam Liberal Dan  Pendidikan Islam Abdurrahman Wahid; 9) Integrasi Politik  Islam Dan Negara Di Indonesia; 10) Revitalisasi Nilai-Nilai  Pancasila; Ikhtiar Awal Membangun Pendidikan Karakter; 11)  Politik Dan Kebijakan Kementerian Agama (Upaya  Membangun Prfesionalisme Guru dan Dosen); Sedangkan  dalam bentuk Jurnal ilmiah, diantaranya: 1) Implementasi  Pendekatan Santifik Upaya Membangun Sikap Kritis Peserta  Didik Pada Pembelajaran Aqidah Akhlak (Di Mts Sudirman  Jimbaran, Semarang), 2) Analisis Program Peningkatan  Kesejahteraan Masyarakat di Rumah Zakat Yogyakarta; dan 3)  Mendapatkan pengahargaan (Sertifikat) sebagai BEST PAPER  dengan tema Pengelolaan Zakat Produktif (Studi Atas    164 Moderasi Beragama
Kebijakan Pemerintah Melalui BAZNAS D.I.Yogyakarta)  nomor 14/Pan-Seminas-EI/XII/2019. Penulis bisa dihubungi  melalui: #email: [email protected]#                                                                 Nur Kholik 165
Revitalisasi Pendidikan Karakter Pondok  Pesantren dalam Menyukseskan Moderasi  Beragama    A. Samsul Ma’arif, S.Pd., M.Pd.  Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Kandidat Doktor  PAI UNISMA  [email protected]    S           ecara umum Pendidikan adalah usaha sadar dan              terencana yang dilakukan oleh pendidik untuk              melaksanakan pembelajaran secara aktif dalam              rangka menggembangkan potensi-potensi yang    dimiliki oleh peserta didik, agar peserta didik tersebut memiliki    kedalaman spiritual, kepribadian yang baik, pengendalian diri    yang baik, akhlakyang baik serta keterampilan hidup untuk    bekal hidup di masyarakat, bangsa dan Negara(Undang    Undang Sisdiknas).Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan    bahwa tujuan utama dari pendidikan itu sendiri adalah peserta    didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan yang tinggi supaya    memiliki keseimbangan antara kebutuhan lahiriyah dan    batiniyah.    166 Moderasi Beragama
Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 55 Tahun  2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan  Keagamaan.Tujuan dari Pendidikan Keagamaan secara umum  adalah terselenggaranya sebuah proses pembelajaran yang  mengerti, memahami dan menghargai serta mengamalkan  ajaran agamanya dan menjadi ahli agama yang memiliki  keluasan ilmu, inovatif, kreatif, kritis guna mendukung proses  mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang berakhlak  mulia, bertaqwa kepada Tuhan dan beriman kepadaNya. Pada  pasal 10 diterangkan bahwa Pendidikan keagamaan  menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari  ajaran agama.Dan dapat diketahui bersama bahwa pesantren  menyandarkan keilmuan mereka kepada Sumber Primer  Hukum Islam (Al-Qur‟an dan Al-Hadits) disamping Sumber  Hukum Islam Sekunder (Ijmak dan Qiyas), karena pesantren  merupakan lembaga Pendidikan Keagamaan Islam.           Data di lapangan menyebutkan bahwa masalah  pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks karena disetiap  pundi pundinya masih terdapat berbagai macam persoalan  yang belum terselesaiakan dengan baik. Belum ditambah  dengan banyaknya degradasi moral yang terjadi di dunia pelajar  seperti free sex, perkelahian antar pelajar, perjudian,  perampokan, pencurian, perpisahan sekolah yang dirayakan  dengan mabuk-mabukan, pelajar yang bangga dengan pakaian  bikini dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan  pemahaman beragama yang radikal, yang menginginkan  perubahan dengan kekerasan dengan mengesampingkan sifat  humanitis di dalam kehidupan.           Untuk mengatasi degradasi moral serta pemahaman  radidal diatas diperlukanlah moderasi beragama.Moderasi  menurut KBBI memiliki arti pengurangan kekerasan.                                                           A. Samsul Ma‟arif 167
Sedangkan secara istilah moderasi adalah pandangan hidup  yang mengedepankan sikap toleran, berada di tengah diantara  dua pemahaman yang berseberangan untuk tidak mendominasi  sikap dan sifat yang akan diambil (Amin, 2014). Moderat akan  mengutamakan kemaslahatan ummat, daripada fanatik pada  salah satu pemahaman.Senada dengan pendapat diatas,  Kementerian Agama memberikan empat indikator moderasi  beragama yaitu (a) komitmen kebangsaan diwujudkan dengan  mengutamakan NKRI, (b) toleransi terhadap sesama atau  antar agama, (c) anti-kekerasan terhadap siapapun, dan (d)  akomodatif terhadap budaya lokal demi menjaga lestarinya  budaya Indonesia. Keempat indikator ini digunakan sebagai  tolok ukur keberhasilan moderasi beragama yang ada di  Indonesia (Balitbang, 2019).           Pondok Pesantren Miftahul Jannah selaku salah satu  lembaga Pendidikan Keagamaan Islam yang berada di Jalan  Wukir Temas Batu menerapkan pendidikan karakter dalam  upaya menyukseskan moderasi beragama.Pondok Pesantren  ini diasuh oleh KH Muhammad Nur Kholish, S.H dimana  penulis telah mengeyam pendidikan pesantren disana kurang  lebih tujuh tahun.Dalam merevitalisasi pendidikan karakter,  pesantren ini mengambil landasan yuridis yang berlaku di  Indonesia, tentunya dengan tetap mensanadkan keilmuan pada  kitab-kitab turats.           Menurut Thomas Lickona dalam Maskuri Bakri (2017)  mendefinisikan karakter bahwa: \"orang yang berkarakter  sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara  bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui  tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati  orang lain dan karakter mulia lainnya\". Pengertian di atas mirip  dengan apa diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa \"karakter itu    168 Moderasi Beragama
erat dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus  dilakukan\"           Pada dasarnya pendidikan karakter merupakan salah satu  dari pendidikan akhlak yang telah dikumandangkan nabi sejak  zaman dahulu.Para asatidz di pesantren tidak perlu bingung  dan kebakaran jenggot dalam menanggapi hal ini.Asatidz  cukup dengan lugas mendidik akhlak mahmudah di pesantren  melalui kitab kitab yang masyhur seperti akhlak al-banin, akhlak  al-banat, irsyaadul ibad, nashoihu diniyah dll. Tujuan akhir akhlak  dan pendidikan karakter sesungguhnya memilii kesamaan  yakni terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang memiliki  keseimbangan antara kebahagiaan kehidupan dunia dan  akhiratnya, tidak jomplang satu dengan lainnya, serta tidak  menabrak aturan syariat Islam dan aturan kenegaraan (Ma‟arif  dan Junaedi, 2020):           Ada delapan belas karakter yang harus ditanamkan  seorang pendidik kepada peserta didik, yaitu karakter relegius,  jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,  demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah  air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar  membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab  (Puskur Kemdiknas, 2011). Pondok Pesantren Miftahul  Jannah Batu merevitalisasi kedelapan belas karakter yang  dicanangkan pemerintah melalui berbagai kegiatan-kegiatan  sebagai berikut:  1. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter religius dilakukan         melalui pelaksanaan sholat 5 waktu dengan berjamaah,       melaksanakan ngaji sesuai jadwal dan melakukan amal       shalih lain seperti puasa senin kamis, menghafalkan ayat       alqur‟an dan beberapa kitab turats, aktif dalam Peringatan                                                           A. Samsul Ma‟arif 169
Hari Besar Islam (PHBI) seperti peringatan isro‟ mikroj,       maulid nabi,dsb  2. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter jujur dilakukan       melalui kegiatan melaksanakan sholat 5 waktu secara tepat       waktu dan membeli barang apapun baik di kantin maupun       di toko sesuai dengan tarif yang berlaku.  3. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter toleransi       dilakukan melalui tidak membedakan suku,ras, warna kulit,       dan lain lain. Mengutamakan persatuan dan kesatuan       dalam mencari ilmu, menghargai pendapat orang lain  4. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter disiplin dilakukan       melalui mengawali dan mengakhiri kegiatan pembelajaran       di pesantren sesuai dengan waktunya  5. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter kerja keras       dilakukan melalui santri belajar sungguh sungguh dalam       mencari imu di pesantren, pantang menyerah dan       mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh asatidz  6. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter kreatif dilakukan       melalui berbagai macam upaya mengerjakan tugas dari       asatidz dengan caranya sendiri, tanpa harus sama dengan       temannya. Hal ini untuk mengajarkan kepemilikan       berbagai macam cara/metode dalam menyelesaiakan tugas       yang sama.  7. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter mandiri dilakukan       melalui santri semangat belajar mandiri baik di kamar       santri, perpustakaan pesantren maupun diskusi antar       santri, supaya mendapatkan pemahaman agama yang luas  8. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter demokratis       dilakukan melalui terbukanya pemikiran santri melalui       diskusi, musyawarah mufakat daam mengambil pelbagai       kebijaka dalam pesantren    170 Moderasi Beragama
9. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter rasa ingin tahu       dilakukan melalui santri yang lebih aktif bertanya kepada       asatidz pada saat kegiatan pembelajaran diniyah pesantren,       mungkin juga santri mengunjungi asatidz di luar jam       pembelajaran jika merasa di kelas di rasa kurang    10. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter semangat       kebangsaan dilakukan melalui santri yang mau mengenal       budaya dari pelbagai suku yang ada di Indonesia, supaya       merekatkan persatuan dan kesatuan diantara mereka    11. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter cinta tanah air       dilakukan melalui dokrin bahwa NKRI harga mati. Santri       wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik       Indonesia. Melalui upacara bendera dan mengetahui       sejarah serta meneladani sejarah para pahlawan,       merupakan sarana yang sangat bagus untuk mewujudkan       rasa cinta tanah air.    12. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter menghargai       prestasi dilakukan melalui santri yang aktif memberikan       penghargaan kepada mereka yang menduduki rangking 1       pada pendidikan diniyah pesantren. Seorang santri yang       berkarakter akan melaksanakan Ujian Tengah Semester,       Ujian Akhir Semester dan lain-lain secara jujur dan akan       menerima hasil dengan legowo.    13. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter       bersahabat/komunikatif dilakukan melalui sifat santri       yang supel, suka bersenda gurau, diskusi ringan antar santri,       bermain sepak bola dan lain sebagainya agar tercipta rasa       persahabatan diantara santri.    14. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter cinta damai       dilakukan melalui santri berjabat tangan dan       mengucapkan salam saat bertemu dengan santri lain,                                                           A. Samsul Ma‟arif 171
bersalaman kepada dewan asatidz dengan harapan       mengambil barokah ilmunya, tidak memperebutkan       sesuatu yang tidak perlu diperebutkan antar santri.  15. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter gemar membaca       dilakukan melalui santri yang suka membaca kitab wajib       yang ia pelajari serta memperbanyak khazanah ilmu       pengetahuan diperpustakaan maupun pinjam kitab para       senior  16. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter nilai peduli       lingkungan dilakukan melalui melakukan reboisasi di       sekitar pesantren dengan penanaman pohon, bunga dan       tanaman lain. Disamping untuk aspek penghijauan,pohon       juga memberikan sirkulasi udara yang sejuk dan       menyegarkan untuk mendukung situasi dan kondisi       belajar di pesantren.  17. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter nilai peduli sosial       dilakukan melalui kegiatan bakti sosial baik pada       masyarakat sekitar maupun kepada masyarakat umum       (biasanya satu tahun satu kali), santri tolong menolong       dalam mengerjakan tugas di luar ujian resmi demi       pemahaman yang komprehensif  18. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter tanggung jawab       dilakukan melalui santri yang siap bertaggung jawab       apabila melakukan sebuah kesalahan,berani menerima iqob,       dan tidak menyalahkan pihak lain.           Ada lima komponen di dalam pesantren yaitu Kyai,  Santri, Pondok, Masjid dan Pengajaran kitab Islam klasik  (Dhofir, 2019: 79). Santri diharapkan mampu menggantikan  peran Kyai dimasa depan. Ada sebuah prasasti yang  mengatakan bahwa sesungguhnya kata santri dalam bahasa    172 Moderasi Beragama
Arab terdiri dari lima huruf dan memiliki makna yang  mendalam seperti ada dalam gambar berikut ini:           Dari definisi diatas saja seorang santri secara tidak  langsung telah melaksanakan pendidikan karakter itu sendiri.  Seorang santri sejati yang pertama ia lakukan adalah senantiasa  mencari ridho Allah SWT. Santri akan serius belajar setiap hari,  karena ia mengikrarkan dirinya siap meneruskan ajaran-ajaran  yang diajarkan oleh sang Kyai. Dengan senang hati, ia akan  menjahui semua kemaksiatan untuk berproses menjadi  muttaqin. Keinginan tinggi seorang santri adalah masuk syurga  kelak di akhirat, diwujudkan dengan husnul khatimah di akhir  kehidupanya.Oleh karena itu santri selalu dan selalu  mengupayakan dirinya untuk menggapai kebahagiaan Dunia  dan Akhirat,terjadi keseimbangan diantara kedua alam tersebut.           Islam moderat adalah nilai-nilai islam yang dibangun  atasdasar pola pikir yang lurus dan pertengahan (i‟tidal  danwasath). Menurut Yusuf al-Qardhawi, wasathiyah (moderat)  merupakan salah satu karakteristik yang tidak dimilikiideologi  lain (Sumarto, 2019).Pemahaman moderat menyeru kepada  dakwah Islamyang toleran, menentang segala bentuk  pemikiran yangliberal dan radikal.Liberal dalam arti memahami  Islamdengan standar hawa nafsu dan murni logika yang  cenderungmencari pembenaran yang tidak ilmiah. Dan Radikal  dalam arti mendakwahkan Islam dengan cara kekerasan/  anarkis.Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam Rahmatan Lil                                                           A. Samsul Ma‟arif 173
Alamiin, yang selalu mengedepankan sifat persatuan, kasih  sayang dan jauh dari individualis dan mengedepankan  kepentingan kelompok tertentu.           Upaya pencegahan radikalisme agama tidak boleh  setengah-setengah.Kyai danAsatidz selaku pendidik harus  mengoptimalkan gerakan radikalisasi mulai dari lingkungan  rumah, sekolah, dan pergaulan peserta didik. Saat ini banyak  lembaga pendidikan yang modern dan liberal sehingga mudah  dimasuki paham-paham radikal. Oleh karena itu, jika generasi  muda mendapat pendidikan agama dan umum yang baik,  secara otomatis paham radikal akan terbendung dengan  sendirinya (Prasetiawati, 2017).Tujuan moderasi pendidikan  Islam itu adalah untuk membentuk manusia yang bertanggung  jawab terhadap dirinya dan masyarakat guna tercapainya  kebahagiaan dunia dan akhirat.Dengan demikian, tujuan akhir  dari pendidikan agama Islam itu karena semata-mata untuk  beribadah kepada Allah SWT. Dengan cara berusaha  melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan  larangan-Nya (Hawi, 2014)           Islam moderat Indonesia merujuk pada komunitasIslam  yang menekankan pada perilaku normal (tawassuth)dalam  mengimplementasikan ajaran agama yang merekategakkan;  mereka toleran terhadap perbedaan pendapat,menghindari  kekerasan, dan memprioritaskan pemikiran dandialog sebagai  strateginya. Gagasan-gagasan semisal Islampribumi, islam  rasional, islam progresif, islam transformatif,islam liberal, islam  inklusif, islam toleran dan islam pluraldapat dikategorikan  sebagai Islam moderat Indonesia (Sumarto, 2019).Islam sendiri  mendukung moderasi beragama melalui firman Allah SWT  yang ada di dalam Alqur‟an, diantaranya Surat al-Maidah ayat  77, al-Hudd ayat 77 dan al-Mumtahanah ayat 6.    174 Moderasi Beragama
Dari paparan diatas, penulis mengambil dua kesimpulan  yaitu (1) Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren mampu  mencetak generasi santri yang moderat dan cinta damai  dengan sejumlah karakter yang telah diinternalisasikan dalam  kehidupan pesantren, (2) untuk memahami moderasi beragama  diperlukan ilmu yang banyak dan luas. Muslim yang baik akan  selalu berusaha untuk menebarkan kedamaian dan keselamatan  dimanapun ia berada.    Daftar Pustaka  Amin, Abd. Taif Muhammad. “Prinsip dan Fenomena           Moderasi Islam dalam Tradisi Hukum Islam”, Jurnal Al         Qalam, Vol. 20, (2014) 24-40    Balai Litbang Kemenag RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta:         Balai Litbang Kemenag RI 2019    Bakri, Maskuri, & Werdaningsih, D. 2017. Membumikan Nilai         Karakter Berbasis Pesantren, Belajar dari Best Practice         Pendidikan Karakter Pesantren dan Kitab Kuning. Cet.         II. Jakarta: Nirmana Media    Dhofier, Zamakhsyari. 2019. Tradisi Pesantren: Studi         Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa         Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES    Hawi, Akmal. 2014.Kompetensi Guru Pendidikan Agama  Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada    Prasetiawati, Eka “Menanamkan Islam Moderat Untuk         Menanggulangi Radikalisme Di Indonesia,” Fikri : Jurnal                                                           A. Samsul Ma‟arif 175
Kajian Agama, Sosial Dan Budaya 2, no. 2 (27         Desember 2017): 523–70    Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang         Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan    Puskur Kementerian Pendidikan Nasinal. 2011. Pedoman         Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan         Pengalaman di Satuan Rintisan. Jakarta: Kementerian         Pendidikan Nasional    Ma‟arif, A.Samsul dan Muhammad Rifqi Junaidi.“Teori         Kontruksi Sosial Dan Penerapannya pada Pendidikan         Karakter di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin         Tasikmadu Malang” Konferensi Nasional Pendidikan         Islam. Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang.         2020 (17-29)    Sumarto dan Emmi Kholilah Harahap. “Mengembangkan         Moderasi Pendidikan Islam Melalui Peran Pengelolaan         Pondok Pesantren”, Jurnal RI„AYAH, Vol. 4 No. 01         Januari-Juni 2019    Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Bahasa         Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan         Nasional    Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20         Tahun 2003    176 Moderasi Beragama
Biografi                               A. SAMSUL MA’ARIF, S.Pd.,                             M.Pd. merupakan Dosen Tetap                             Bahasa Arab pada Jurusan Ilmu Al-                             Qur‟an dan Tafsir Fakultas Syariah                             Universitas Islam Negeri Maulana                             Malik Ibrahim Malang.Ia dilahirkan di                             Malang pada 22 Mei 1986. Mengenyam                             S1 Pendidikan Bahasa Arab                             Universitas Negeri Malang 2009, S2                             Pendidikan Bahasa Arab Universitas  Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2011 dan S3  Pendidikan Agama Islam Multikultural di Universitas Islam  Malang (semester 3). Ia Lulus Sertifikasi Dosen Profesional  bidang Pendidikan Bahasa Arab 2012.Menjadi presenter di  beberapa Seminar Nasional dan Internasional dan  menjalankan program pengabdian masyarakat.Menulis tentang                                                           A. Samsul Ma‟arif 177
kebahasaaraban dan Pendidikan Agama Islam di beberapa  jurnal nasional bereputasi. Menulis buku al-Arabiyah li al-Hayah  jilid III dan IV(2018), Buku Pintar Ungkapan Praktis Empat  Bahasa (2018), Buku Bahasa Arab untuk Ekonomi Islam  (2019). Untuk korespondensi bisa melalui e-mail:  [email protected] / HP 0856 3838 921.    178 Moderasi Beragama
Moderasi Aplikasi Fikih Ekonomi Syariah di  Indonesia     Jaharuddin, S.E., M.E.   Program Studi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,   Universitas Muhammadiyah Jakarta    P ernah merasa bingung tentang hukum suatu                   perkara dalam ekonomi islam?, ada yang                   membolehkan, ada pula yang tidak                   membolehkan. Ada yang berjuang mendirikan                   bank, pasar modal, asuransi, farmasi, hotel,   fashion, rumah sakit, makanan dan minuman, pariwisata, tour   and travel, properti, bisnis dan berbagai sendi kehidupan   berbasis syariah.            Inilah saatnya semua sendi kehidupan di warnai dengan   berbagai inspirasi nilai agama, salah satu alasannya karena   sistim yang lama terbukti menghasilkan krisis demi krisis yang   terus berulang. Ekonomi islam adalah penerapan konsep-   konsep al-Qur‟an dan hadis, baik langsung maupun tidak   langsung dalam aktivitas ekonomi, dengan kata lain, ayat dan   hadis menjadi inspirasi pertama dalam menjalankan aktivitas   ekonomi. (Jaharuddin, et al, 2019).                                                                   Jaharuddin 179
Ekonomi islam, bukan alternatif tapi solusi, terbukti  memberikan kontribusi terbaik di zamannya, ekonomi islam  bukanlah ilusi utopis, sesuatu yang sangat mungkin  direalisasikan dan terbukti ampuh menjawab tantangan dan  kebutuhan pada zamannya.Zaman memang berubah, teknologi  dan informasi terus berkembang semakin kencang, dan  diyakini ekonomi islam tetap relevan dan semakin ampuh  menjawab perkembangan zaman, informasi dan teknologi.           Disisi lain, tidak sedikit yang ragu dengan ekonomi islam,  misalnya ekonomi islam itu adalah ekonomi normatif,  ekonomi tradisional yang di tambal sulam dengan nilai islam,  ekonomi islam itu secara empiris positivistik belum terbukti  ampuh, bahkan ada yang mengatakan tidak syariahnya bank  syariah, tidak syariahnya asuransi syariah, bisnis islam itu cuma  tambal sulam dari bisnis tradisional, properti syariah, tapi bank  nya konvensional, pasar modal syariah dan bank itu tetap saja  yang di untungkan adalah kapitalis, pemilik modal besar.           Sekolah Islam, pondok pesantren, masjid sebagiannya  masih mengunakan rekening bank tradisional (konvensional),  bahkan ada pula yang mengatakan sama aja antara tradisional  (konvensional) dengan syariah. Sebagian yang mengeluarkan  pendapat seperti ini, terkadang bukanlah orang sembarangan,  ustadz, tokoh atau seseorang bergelar tinggi di perguruan  tinggi, ustadz alumni kampus di timur tenggah, atau praktisi  yang bertahun tahun bekerja di bank tradisional (konvensional)  dan hijrah ke bank syariah, dan hijrah lagi menjadi anti bank.           Begitulah uniknya perjuangan ekonomi islam di  Indonesia, berhadapan dengan yang phobi islam, dan juga  perlu berdiskusi panjang yang tidak berkesudahan dengan yang  berbeda pendapat tentang ekonomi islam di Indonesia.  Tantangan sebagai bangsa besar di dunia, dengan potensi    180 Moderasi Beragama
ekonomi islam besar di dunia, dan sangat mungkin menjadi  pusat ekonomi, keuangan dan bisnis islam dunia.           Bagi akademisi dan peneliti perbedaan pendapat, adalah  sesuatu yang biasa, karena bagi akademisi, terus mencari  “masalah” untuk dijadikan latar belakang penelitian, seringkali  para dosen, peneliti, mahasiswa di kampus-kampus diharuskan  baca berpuluh puluh, bahkan ratusan buku dan jurnal agar  mendapatkan “masalah” untuk dijadikan bahan penelitian,  dicarikan jalan keluarnya dalam bentuk penelitian. Jadi bagi  akademisi, perbedaan pendapat itu malahan memudahkan  sebagian pekerjaannya.           Namun bisa jadi berbeda dengan masyarakat awam,  perbedaan pendapat yang tidak berkesudahan di bidang  ekonomi, keuangan dan bisnis syariah membingungkan, dan  butuh arah dan solusi yang tepat.Untuk memberikan panduan  sederhana agar masyarakat awam tidak bingung tentang  hukum muamalah di bidang ekonomi, keuangan dan bisnis  syariah, berikut langkah sederhana:  1. Perbedaan pendapat terus akan ada.              Perbedaan pendapat akan terus ada, seiring     berkembangnya ekonomi, keuangan dan bisnis syariah,     maka diperlukan keluasan hati dalam menghargai     pandangan yang berbeda. Tidak perlu terlalu bersemangat     untuk menyatukan perbedaan, karena masing-masing     mempunyai latar belakang dan dalilnya. Jadi berlapang dada     saja.              Melakukan dialog dan diskusi boleh saja, tidak perlu     ada target orang lain sependapat, seirama dalam gerak     perjuangan ekonomi syariah, masing-masing punya     porsinya masing-masing, dan berbaik sangka semua pihak                                                                  Jaharuddin 181
akan membutuhkan, ingin bahkan menjadi pejuang     ekonomi syariah pada saatnya masing-masing.  2. Dalam muamalah itu lebih banyak yang boleh dan     sedikit yang haram.              Dalam muamalah kaidah dasarnya adalah “Al-Ashl Fi     al-Mu‟amalati al-Ibahatu Illa an Yadulla dalil ala tahrimiha”     (hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh     dilakukan kecualiada dalil yang mengharamkannya),     memberi makna, jauh lebih banyak yang boleh dari pada     yang diharamkan di bidang muamalah, memberikan     landasan untuk berkreasi dan bertindak luas, bidang apapun     yang anda tekuni.              Abbas Arfan (2013), adalima asassebagai teori yang     membentuk hukum-hukum dalam bidang ekonomi: (1).     Taba‟dul al-Mana‟fi yaitu segala bentuk kegiatanmuamalah     harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak-     pihakyang terlibat. (2). Asas pemerataan dan keadilan yaitu     asas yang berupaprinsip keadilan dalam bidang muamalah     yang menghendaki agar harta tidakhanya dikuasai oleh     segelintir orang sehingga harta itu harus     didistribusikansecara merata diantara masyarakat baik kaya     maupun miskin. (3). Keridaan dan kerelaan, asas ini     menyatakan bahwa setiapbentuk muamalat antar muslim     atau antar pihak harus berdasarkan kerelaanmasing-masing.     (4). Tidak adanya penipuan atau dapat dikatakan     asaskejujuran dalam bertransaksi. (5). Asas kebaikan dan     ketaqwaan yang dalam hal ini muslimharus melakukan     segala hal untuk kebaikan dan peningkatan     ketaqwaannyakepada Allah SWT.    182 Moderasi Beragama
3. Mengacu pada pendapat ulama yang kompeten,     bermusyawarah dengan ahli di bidang lain, dan     mempunyai wewenang (otoritas) untuk memutuskan.            Faktanya dalam kehidupan, untuk memutuskan satu     persoalan di bidang muamalah, dibutuhkan ahli dibidang     lain yang mumpuni ilmunya, agar tahu persis detil perkara     yang sedang dibahas, untuk itu membahas perkara     muamalah membutuhkan ahli dari berbagai disiplin ilmu,     dan berdiskusi bahkan berdebat dalam memutuskan. Jadi     dibutuhkan ulama yang kompeten, mereka bermusyawarah     dan diberikan otoritas untuk memutuskan.            Dalam hal ini, di Indonesia, untuk perkara ekonomi,     keuangan dan bisnis syariah, maka fatwa dari Dewan     Syariah Nasional (DSN) adalah menjadi rujukan utama.     Karena DSN kumpulan orang orang ahli agama dan ahli di     bidang ekonomi, keuangan dan bisnis syariah.            Jika ada yang berpandangan berbeda dengan fatwa     Dewan Syariah Nasional (DSN), maka masyarakat     menghormati pandangan tersebut, namun untuk dijadikan     rujukan operasional pakailah fatwa yang telah di putuskan     oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Jika ada perkara yang     belum diputuskan, diperbolehkan memintakan fatwa ke     Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Untuk melihat     fatwa-fatwa terbaru bisa di lihat di www.dsnmui.or.id            Sangat banyak ustadz yang punya kompetensi     membahas perkara muamalah, namun untuk dijadikan     rujukan dalam aktivitas industri dan kemasyarakatan,     kompetensi saja tidak cukup, perlu di ikuti dengan     bermusyawarah dengan berbagai ahli disiplin ilmu lainnya,     yang mengerti persis perkara yang dibahas, dan mempunyai                                                                  Jaharuddin 183
                                
                                
                                Search
                            
                            Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
 
                    