dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran ajarannya sebagai bentuk moderasi. Dalam ajaran agama Hindu yang terpenting adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan. 4. Dalam Agama Budda esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai pencerahan sempurna. 5. Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu. Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu yang berlebihan Dengan demikian bisa dipahami bahwa moderasi beragama adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan umat beragama, karena dalam kehidupan beragama, umat butuh yang namanya sikap-sikap yang saling menghormati, toleransi dan sebagainya antar umat beragama sehingga ketika terjadi dinamika permasalahan antar umat beragama, maka pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi pemeluknya melalui konsep moderasi beragama bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan tersebut dan tidak berkembang menjadi permusuhan dan perpecahan 134 Moderasi Beragama
Urgensi moderasi beragama di Indonesia Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal itu adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari‟at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama adalah sunnatullah sehingga keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja ( Ali dalam Fahri dan Zainuri, 2019:96) Berkenaan kemajemukan/keberagaman tersebut bisa dilihat di Indonesia ini, mengingat Indonesia dengan keragamannya, meliputi suku, budaya, tradisi, bahasa, sampai kepada keragaman agamanya dan hal ini seringkali menimbulkan konflik disebabkan perbedaan tersebut dengan berbagai faktor yang melingkupinya. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah langkah yang progresif dalam menangani isu-isu keragaman yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan kerugian yang besar (Islam, 2020:38). Tidak kalah besar dampaknya adalah konflik keragaman agama, mengingat konflik yang ditimbulkan akabit konflik agama sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan pertikaian dan perpecahan, apalagi isu isu terkait agama sangat rentan dan memunculkan polemik akibat ulah personal atau kelompok yang tidak bertanggungjawab dan hanya memanfaatkan Zaedun Na‟im 135
dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan mereka, sehingga ini kiranya dibutuhkan solusi yang tepat mengatasi hal tersebut dengan cara menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai moderasi beragama. Hal ini perlu mengingat dengan adanya moderasi beragama umat akan menjadi lebih santun dan bijak dalam menyikapi permasalahan isu isu agama yang berkembang dan tidak mudah terpancing isu isu tersebut, sehingga kerukunan umat beragama akan tetap terjaga. Sehingga dalam hal ini perlu kiranya diperlukan pemahaman tentang apa saja pilar agar bisa terwujudnya suatu moderasi, Menurut Quraish Shihab dalam (Zamimah, 2018) melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni (Fahri dan Zainuri, 2019:97): 1. Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama,beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adil juga berarti moderasi „tidak mengurangi tidak juga melebihkan” 2. Kedua, pilar keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam penafsiran Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya keseimbangan tak dapat terwujud keadilan 3. Ketiga, pilar toleransi. Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus 136 Moderasi Beragama
dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan Dari pilar-pilar moderasi diatas, ada salah satu pilar yang mungkin sudah familiar, yakni pilar toleransi, karena selama ini sudah sering didengar dari arahan atau himbauan tokoh agama, ataupun pemerintah untuk mengedepankan sikap toleransi antar umat beragama. Dan itu tujuannya adalah terwujudnya moderasi beragama. Sehingga hal ini sangat penting sekali untuk terus dilakukan oleh antar umat beragama. Toleransi sebagai indikator moderasi beragama ingin melihat sejauh mana seseorang yang beragama bisa menerima orang lain yang berbeda faham dan keyakinan dalam beragama, sekaligustidak mengganggu orang lain yang berbeda tersebut untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga menyampaikan pendapatnya (Junaedi, 2019: 396) Konsep moderasi beragama menjadi sangat penting karena sikap tersebut akan mendorong kepada sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan terhadap praktik keagamaan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama tersebut akan menghindarkan seseorang dari sikap ekstrem yang berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama adalah solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi serta di sisi lain liberal atau ekstrem kiri (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:18) Menurut Ghufron, (2016) konflik sosial berkedok agama sering terjadi. Misalnya saja, pada 17 Juli 2015, kasus kekerasan pecah di Tolikara, Papua, dimana satu masjid dibakar oleh kelompok yang tergabung dalam pemuda Gereja Injil di Zaedun Na‟im 137
Indonesia atau GIDI. Tiga bulan setelahnya, di tahun 2015 juga, konflik semacamnya terjadi di Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dua gereja dihancurkan dan dibakar oleh sekelompok muslim. Pemicu utama dari kedua kasus itu karena sama-sama mengklaim bahwa menurut geografis keberadaan wilayahnya harus dikuasai oleh arus utama pemeluk agama yang paling dominan, dan membatasi ruang gerak umat agama lain dalam menjalankan aktivitas peribadatannya (Islam, 2020: 40) Kedua peristiwa tersebut hanya sebagian contoh dari banyaknya peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari isu pluralitas agama yang terjadi di Indonesia, dimana hal tersebut merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama yang lain dengan berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Isu-isu tersebut sangat rentan terjadi ketika faktor pemicunya muncul kembali ke permukaan, maka dari itu solusi terkait permasalahan tersebut harus selalu diupayakan bersama agar seluruh agama dapat menjalankan ajaran agamanya secara khusuk dalam artian tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok keagamaan lainnya.(Islam, 2020: 40) Sehingga dalam hal ini wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak- porandakan sebuah keharmonisa (Junaedi, 2019:394) Dengan demikian moderasi beragama di Indonesia sangatlah penting untuk terus diupayakan dan dikembangkan agar antar umat beragama bisa hidup berdampingan dengan 138 Moderasi Beragama
damai tanpa adanya perselisihan-perselisihan lebih-lebih kearah tindakan anarkis, dan itu bisa teratasi jika umat beragama bisa mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan benar dan adanya sikap saling menghormati dan toleransi antar umat beragama. Penutup Moderasi beragama bagi Indonesia adalah suatu keharusan dan sangat diperlukan, mengingat di negeri ini beraneka ragam agama, sehingga adanya moderasi beragama bisa terus terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dan melalui moderasi beragama, umat akan hidup berdampingan dengan baik tanpa adanya gangguan dalam aktivitas menjalankan tuntunan ajaran agama yang dianutnya Hal ini menjadi sangat penting agar kerukunan antar umat bergama tetap terjaga dengan baik dan menjadikan umat beragama lebih arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan- permasalahan antar umat Bergama. Daftar Pustaka Al Azhari, M. Luthfi Afif. Moderasi Islam dalam Dimensi Berbangsa, Bernegara Dan Beragama PerspektifMaqashid Asy-Syari‟ah (Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol.10 No.1 2020, Fahri, Mohamad dan Ahmad Zainuri. Moderasi Beragama di Indonesia. (Intizar, Vol. 25 No. 2, 2019) Islam, Khalil Nurul. Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: TinjauanRevolusi Mental Perspektif Al-Qur‟an (KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan. Vol 13No. 1. 2020) Zaedun Na‟im 139
Junaedi, Edi. INILAH MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF KEMENTERIAN AGAMA. (Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2, 2019) Kementerian Agama RI. Moderasi beragama. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019) Sutrisno, Edy. Aktualisasi Moderasi Beragamadi Lembaga Pendidikan (Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1, 2019) Syarkhun, Mukhlas dan Moh. Arifin. Jembatan Islam-Barat. (Jogjakarta: PS, 2015) 140 Moderasi Beragama
Biografi Penulis Zaedun Na‟im, M.Pd.I. Penulis sebagai dosen tetap di STAI Ma‟had Aly Al-Hikam Malang dan sebagai keetua program studi (Kaprodi) Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Pada tahun 2020 melanjutkan program doktoral (S3) prodi Manajemen Pendidikan Islam di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis Juga aktif sebagai tenaga pendidik di pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang. Selain sebagai tenaga pendidik, penulis juga menjadi editor in chief jurnal EVALUASI dan LEADERSHIP Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAI Ma‟had Aly Al-Hikam Malang, serta menjadi editor atau reviewer beberapa jurnal nasional di perguruan tinggi. Beberapa karya buku yang telah ditulis masih berupa buku kolaborasi yang berjudul: Manajemen Pendidikan Kontemporer: prinsip dasar, administrasi, dan operasionalisasi, Manajemen Pendidikan: tinjauan teori dan praktis, Kapita Selekta: manajemen dan kepemimpinan pendidikan, Manajemen pendidikan: strategi peningkatan mutu pembelajaran di era new normal, Manajemen Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan: prinsip dasar, strategi dan implementasi, Strategi dan Metode Zaedun Na‟im 141
Pembelajaran Era Society 5.0 di Perguruan Tinggi. Email:[email protected], no.Hp; 082330512288. 142 Moderasi Beragama
Menenun Kembali Kerukunan Antaragama Yang Kian Tergerus Ditengah Badai Intoleransi Hironimus Bao Wolo, S.Fil., M.Hum Dosen Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka Catatan Awal N egara Indonesia merupakan sebuah negara yang penuh dengan keanekaragaman baik suku, agama, ras dan antar golongan. Realitas keanekaragaman ini tentunya tak terbantahkan oleh siapa pun. Realitas ini tentunya secara in se memberikan warna tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tentunya ketika bangsa lain berbicara tentang Indonesia, satu hal yang tak bisa diabaikan dalam pembicaraan mereka adalah soal keanekaragaman. Singkatnya, ketika berbicara tentang Indonesia, kita berbicara tentang kenyataan diri yang penuh dengan perbedaan. Kenyataan diri yang penuh dengan perbedaan tersebut, pada hakikatnya bukan mengarahkan orang pada perselisihan, permusuhan, perpecahan dan perdebatan tanpa ujung. Hironimus Bao Wolo 143
Perbedaan pada hakikatnya menyadarkan setiap individu untuk saling menghargai dan saling memahami. Kesadaran untuk saling menghargai dan saling memahami dalam perbedaan, akan menghantarkan setiap individu pada pemuliaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Nilai-nilai baik yang terbingkai dalam nilai saling menghargai dan memahami dalam perbedaan, hemat penulis sejauh ini masih belum sepenuhnya direalisasikan secara baik oleh setiap individu. Masih ditemukan perdebatan, pertentangan, percekcokan bahkan saling menjatuhkan satu sama lain karena ingin menunjukkan bahwa sukunya lebih baik dari pada suku yang lain; agamanya lebih baik dan benar dari pada agama orang lain; rasnya lebih unggul dibandingkan dengan ras orang lain; atau golongannya lebih hebat dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Realitas ini menunjukkan dengan jelas bahwa perbedaan dianggap sebagai sumber konflik dan hal ini masih ditemukan di jagad Ibu Pertiwi ini. Menjadi pertanyaan: Apakah realitas ini terus dibiarkan dan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan? Menenun Kembali Kerukunan Antaragama yang Kian Tergerus di Tengah Badai Intoleransi Bertolak dari pertanyaan di atas: Apakah realitas ini terus dibiarkan dan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan? Jawabannya tentu saja tidak! Saya coba mengerucutkan problem perbedaan ini pada konteks beragama di Indonesia. Problem kehidupan beragama di Indonesia hingga kini masih menjadi kenyataan yang terus dipersoalkan, bahkan terkadang menyita energi untuk menyelesaikannya. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah menggariskan secara tegas soal kebebasan dalam menjalankan 144 Moderasi Beragama
agama masing-masing. Negara memeberikan jaminan kemerdekaan kepada tiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penekanan ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya tanpa diintimidasi oleh orang lain. Namun perlu diingat bahwa kebebasan tersebut bukan dalam arti kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terkontrol dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemerdekaan beragama bagi setiap individu secara yuridis telah dilegitimasi, namun dalam tataran implementasinya sering mendapat hambatan dan tantangan. Masih ditemukan persinggungan antara satu agama dengan agama yang lainnya. Masih ditemukan percekcokan antara satu agama dengan aliran kepercayaan yang lainnya. Kenyataan ini hingga kini masih menjadi problem yang belum terselesaikan. Kasus Slamet Jumianto yang diusir di Desa Pleret karena beragama Katolik; Kasus penghentian secara paksa upacara Piodalan umat Hindu yang terjadi di Bantul; Kasus indekos khusus muslim di Yogyakarta dan kasus bom bunuh diri serta pelbagai kasus intoleransi lainnya, telah menunjukkan dengan jelas bahwa toleransi dalam kehidupan beragama masih sangat memperihatinkan. Penulis pernah pernah menulis sebuah artikel yang menyoroti kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh okunum yang tidak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan agama. Artikel tersebut diberi judul: Bom Bunuh Diri dan Klaim Membela Tuham. Pada intinya artikel tersebut menguraikan dengan jelas soal bagaimana sebagai individu yang ber-Tuhan, kita tidak bisa merampas ke-Maha-an Tuhan dan meletakkannya ke dalam diri kita untuk membela Tuhan. Tuhan sama sekali tidak Hironimus Bao Wolo 145
butuh dibela. Tuhan hanya mengharapkan umat-Nya untuk menginternalisasikan ajaran-Nya dalam bentuk perbuatan- perbuatan baik (bdk. Bao Wolo, 2019: 60-63). Setiap agama tentunya mengajarkan setiap pemeluknya untuk melakukan kebajikan-kebajikan dalam seluruh kehidupannya. Kebajikan-kebajikan tersebut sebenarnya menjadi inti dari kebenaran ajaran agama. Hemat penulis, agama (lembaga) itu adalah wadah yang manyatukan para pemeluknya dan bukannya agama sebagai Tuhan. Terkadang para pemeluknya salah memposisikan keberadaan agama sebagai sesuatu yang sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan ajaran-ajaran Tuhan. Ketika agama diposisikan demikian, maka tidak heran kebenaran-kebenaran dari ajaran agamanya sering dibelokkan untuk melakukan tindakan intoleransi. Pada titik ini, agama dijadikan tameng untuk membenarkan tindakan jahat. Penulis sangat setuju dengan ulasan yang disampaikan oleh Norbertus Jegalus tentang cara baru perjumpaan agama- agama yang ada di Indonesia. Jegalus menandaskan bahwa sejauh ini cara perjumpaan agama-agama di Indonesia masih dalam tataran etis ko-eksistensi. Tataran etis ko-eksistensi hanya menekankan pada kesamaan hak bagi tiap agama untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai semata. Oleh sebab itu, bagi Jegalus, hal tersebut sama sekali tidak memadai lagi, apabila menghadapi kenyataan baru tentang fundamentalisme agama. Ko-eksistensi hanya menekankan kesamaan setiap agama dalam mewujudkan isi ajarannya bahkan perwujudan isi ajarannya dalam bentuk yang paling ekstrem, misalnya bom bunuh diri. Menghadapi kenyataan ini, maka Jegalus kemudian memunculkan satu pendekatan baru yakni pro-eksistensi. Pendekatan pro-eksistensi menekankan 146 Moderasi Beragama
pada kehidupan bersama dengan penganut yang linnya. Pro- eksistensi lebih menitik-beratkan pada budaya kehidupan dan bukannya pada kematian. Agama tidak hanya sebatas hidup berdampingan secara damai semata, tetapi harus juga saling memberikan perhatian pada kelestarian kehidupan. Kelestarian kehidupan tersebut bukan semata antar para pemeluk agama yang sama, tetapi juga kelestarian kehidupan bagi umat yang berbeda agama. Tanggung jawab tiap pemeluk agama atas kehidupan menjadi inti dari pro-eksistensi (Jegalus, 2011: v-vii). Kerukunan dan merawat kehidupan antar umat beragama merupakan tanggung jawab bersama. Setiap individu yang berbeda tentunya harus menyadari bahwa “saya dan kamu adalah kita”. Kesadaran ini penting untuk dipupuk agar kehidupan terus diagungkan. Inilah ciri manusia yang berbudaya dan beradab dalam sebuah bangsa. Dengan demikian, “bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa yang selalu menjunjung tinggi kemanusiaan” (Bao Wolo, 2019: 97). Nilai-nilai kemanusiaan harus mendapat tempat yang istimewa dalam menjalin kerukunan antar umat beragama. Tanpa hal ini, harapan untuk hidup bersama secara rukun dan damai hanyalah sebuah wacana belaka. Perjumpaan dengan agama lain di bumi Indonesia ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dielakan oleh siapapun. Perjumpaan tersebut tentunya menjadi sebuah kebahagiaan besar karena lewat perjumpaan dalam perbedaan, setiap orang mampu membuka diri dan saling menghargai. Ketika masing- masing orang yang berbeda keyakinan tersebut sudah membuka diri dan saling menghargai, maka dialog antar umat agama bisa terealisasikan. Ketika dialog antar umat beragama telah tercapai, maka tidak ada tempat bagi intoleransi. Hironimus Bao Wolo 147
Penulis sangat tertarik dengan sosok almarhum Gus Dur karena kerendahan hati dan keterbukaannya pada iman dan keyakinan orang lain. Beliau menjadi salah satu tokoh yang membuka kran kebebasan bagi tiap agama dan kepercayaan di Indonesia untuk mengekspresikan imannya di tataran publik. Hal ini dilakukan ketika beliau menjabat sebagai presiden. Tentunya pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Gus Dur adalah sosok pejuang yang humanis. Beliau mampu meruntuhkan tembok-tembok pemisah antara satu agama dengan agama yang lainnya; satu kepercayaan dengan kepercayaan yang lainnya. Beliau menyadari bahwa perbedaan itu pada dasarnya bukan sebagai ajang lahirnya konflik atau sumber permusuhan, melainkan perbedaan tersebut adalah anugerah yang menyadarkan setiap manusia untuk saling menghargai. Gus Dur telah memberikan teladan bagi kita semua bagaimana membuka diri dan menghargai perbedaan di antara para pemeluk agama yang berbeda. Oleh sebab itu, hidup berdampingan dan saling menghargai satu sama lain adalah langkah yang paling penting dalam menenun kembali kerukunan antaragama di Indonesia. Sikap sering mempersoalkan iman dan kepercayaan orang lain adalah tindakan yang keliru dan perlu diluruskan agar tidak menjadi sumber lahirnya intoleransi. Catatan Akhir Saya menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan terkenal dari Presiden Soekarno sebagai berikut: Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Nusantara 148 Moderasi Beragama
dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini. Ingatlah wahai saudara-saudara musuh yang terberat itu adalah rakyat sendiri. Rakyat yang mabuk akan budaya luar yang kecanduan agama yang rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing, jangan mau diperbudak oleh semua ini. Tetaplah bersatu padu membangun negeri ini tanpa pertumpahan darah (https://www.youtube.com/watch?v=8VTACLyzvlY). Bertolak dari pernyataan Soekarno di atas, saya coba menarik kesimpulan sambil mengaitkannya dengan toleransi antaragama di Indonesia bahwa setiap orang diberi kebebasan untuk menjalankan agama dan keimanannya tetapi harus membumi dengan adat budaya nusantara. Artinya bahwa cara menghayati iman dan kepercayaan kita harus selaras dengan adat budaya Indonesia yang sarat akan nilai dan makna. Adat budaya nusantara pada intinya sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan atau pro-eksistensi dalam bahasa Jegalus, harus mampu meresapi cara beragama kita. Cara beragama kita yang lebih mengedepankan nilai kemanusiaan akan menghantarkan setiap umat beragama hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Ketika cara beragama kita telah dikembalikan pada rel yang benar, maka benih-benih permusuhan, perselisihan dan sikap ekstrem bisa dilenyapkan. Selamat menggaungkan toleransi dan menegakkan nilai kemanusiaan di antara perbedaan dalam cara beragama. Daftar Pustaka Bao Wolo, Hironimus. (2019). Mengurai Jejak-Jejak Negeriku. Kebumen: CV. Intishar Publishing. Hironimus Bao Wolo 149
Jegalus, Norbertus. (2011). Membangun Kerukunan Beragama dari Ko-Eksistensi sampai Pro-Eksistensi. Maumere: Penerbit Ledalero. https://www.youtube.com/watch?v=8VTACLyzvlY.Diunduh tanggal 6 Januari 2020. 150 Moderasi Beragama
Biografi Hironimus Bao Wolo, lahir di Watoone, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur pada tanggal 17 Januari 1986. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero (2011) dan Strata 2 Ilmu Hukum (Ketatanegaraan) pada Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2015). Sejak tahun 2015bekerja sebagai dosen pada Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL). Pernah menulis buku “Mengurai Jejak-Jejak Negeriku” (Penerbit Intishar Publishing); Menulis artikel dengan judul: “Mendaur Ulang” Kesabaran di Tengah Pandemi Covid-19 (Diterbitkan dalam buku yang berjudul: Menyukat Kesemenjanaan Kita. Penerbit Komunitas Guru Menulis Tahun 2020); Menulis artikel dengan judul: “Quo Vadis Pembelajaran Online di Tengah Pandemi Covid-19” (Diterbitkan dalam buku yang berjudul: Covid-19 di Mata Dosen, Sebuah Antologi Opini. Penerbit CV. Pena Persada Tahun 2020); dan artikel berjudul: “Covid- Hironimus Bao Wolo 151
19: Membongkar Zona Nyaman Rutinitas Harian” (Diterbitkan dalam buku yang berjudul: Kuat Melawan Corona. Penerbit CV. Litera Tahun 2020). 152 Moderasi Beragama
MEMBENTUK PRIBADI TOLERAN DI PUSARAN KERAGAMAN INDONESIA Tanggapan Atas Hujair AH. Sanaky Nur Kholik, S.Pd.I., M.S.I. Mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta T epatnya 13 Agustus 2020, semua orang di institusi (lembaga) kampus UII Yogayakarta khususnya „berduka” setelah mendapatkan kabar meninggalnya salah saru Sang revolusioner pendidikan Islam kontemporer (Hujair AH. Sanaky). Tampak hampir semua lapisan (masyarakat, mahasiswa, para tokoh, dan aktivis) memadati rumahnya di Perum Minomartani Sleman berta‟ziah (mendo‟akan almahrum) begitu pula dengan penulis sebagai mahasiswanya turut hadir memberikan penghormatan terakhir (tak‟zim murid kepada guru). Bagi penulis ia merupakan salah satu dosen yang tawwadu‟ (rendah hati) sampai-sampai semua orang yang pernah mengenyam pendidikan di Pascasarjana FIAI UII di buat seperti “teman sejawat” olehnya, ketika pembelajaran (diskusi) mudah Nur Kholik 153
dimengerti bahkan boleh jadi banyak orang (mahasiswa) “terhipnotis”-terpengaruh terhadap sikap dan pemikiran progresif-kritisnya dalam bidang apapun khusus pendidikan Islam, yang ia tumpahkan dalam perkuliahan, artikel-artikel, buku-buku, media, bahkan seminar-seminar. Melihat demikian penulis terasa terilhami teori atau pendekatan penubuhan (embodiment) pemikiran abstrak terikat dengan tubuh. Secara umum tubuh merekrut struktur saraf yang menjadi pusat pemrosesan sensorik dan motorik melakukan kesimpulan yang membentuk pola berpikir abstrak. Kemudian penubuhan pengetahuan terkait fenomena, terepresentasikan dalam bentuk bagaimana ia mempertahankan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. Keterlibatan lingkungan melibatkan sifat dasar pengungkapan dari representasi manusia, gilirannya akan mempengaruhi proses interaktif-internal sistem tubuh, interaksi tidak hanya input yang diproses menjadi output tindakan, tetapi juga memiliki pengaruh pada input berikutnya. (Bickhard,2008) Sehingga konteks kepemimpinan embodiment sebagai perspektif dimana pengetahuan dihasilkan dan direpresen- tasikan dalam sistem dinamis-kompleks yang bergantung pada otak, pengalaman fisiologis seseorang, dan lingkungan seseorang untuk menciptakan informasi. Kepemimpinan karismatik para-pendidik dan tokoh elit agama misalnya, dapat dikatakan embodiment berkontribusi pada penjelasan tentang mengapa pemimpin karismatik dapat membangkitkan otoritas “nafsu” untuk terus belajar. Ketika para “pengikut” membentuk kesan seorang pemimpin, mereka menggambarkan melalui ekspresi non-verbal seperti penampilan, dan ekspresi mimik tubuh, serta persepsi ciri-ciri kompetensi, aura, dan kepercayaan terhadap pemimpin dapat 154 Moderasi Beragama
dinilai dari wajah, yang mana secara positif dikaitkan dengan persepsi pengikut tentang karisma atau aura. Artinya, kepemimpinan merupakan salah satu sumber nilai penting, mampu menjunjung budaya “politik” keberagaman masyarakat. (Fahmi Khumaini, 2020) Tak luput dari lintas pemikirannya ketika dalam sebuah seminar “Membangun Relasi Simbiosis Negara Demokrasi dan Agama” digelar Redaksi Jurnal Millah PPs FIAI UII. Hujair, menyatakan dalam gerakan politik Indonesia, relasi anatar agama dan negara era-reformasi, rupanya terus mengalami “ketegangan” seakan terus tarik menarik dalam pusaran politik. Sebagian berpendapat negara dan agama menyatu; sebagaimana diwakili kalangan teokrasi. Pemahaman kelompok ini menganggap pemerintah dijalankan berdasarkan atas firman-firman Tuhan baik dalam aspek kehidupan (ibadah) maupun dalam konteks sosial-bernegara sehingga negara dilaksanakan atas titah (perintah) Tuhan. Berbeda dengan kelompok sekuler, hukum atau negara ditentukan atas kesepakatan manusia, bukan berdasarkan agama bahkan titah Tuhan. Walaupun dalam pelaksanaan-nya kemungkinan norma-norma tersebut bertenangan dengan norma agama. (Purwata,2017) Potret itulah, sehingga melahirkan berbagai produk pemikiran kebangsaan terlebih menimbulan kontra-produktif. Lugas Hujair sebenarnya hubungan agama dan negara dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu; oposisi, alienasi, dan integrasi. Sehingga dalam mencari konsep dan cakrawala keilmuan Islam terkait kehidupan, tentu selain merumuskan relasi simbiosis agama dan negara demokrasi dalam lintasan klasik hingga kontemporer, juga merespon dinamika hubungan antara agama dan negara demokrasi dalam bingkai Nur Kholik 155
kemajemukan dan merumuskan kontribusi dalam pengembangan kajian ke-Islaman secara umum. Hal itu bisa melalui penggalian para-pemikiran Islam yang bernuansa ke- Indonesiaan sebagai pijakan merespon persoalan-persoalan kemanusiaan, kebangsaan, keumatan dalam bidang keagamaan, budaya, pendidikan, dan sebagainya. (Purwata, 2017) Dalam ungkapannya Taylor dikutip Bernard Andene Risakotta, menyatakan kita tidak dapat memahami bagaimana menangani keragaman tanpa memahami bagaimana modernitas yang berbeda-beda di bentuk oleh imajinari sosial yang berbeda pula yang sering disandarkan pada keyakinan agama. Modernitas di Indonesia misalnya, tentu berbeda dengan modernitas di Malaysia, atau di Amerika Serikat. Karena imajinari sosial berbeda dengan teori sosial dan tidak dapat dinyatakan sebagai sehimpunan gagasan yang telah terdefinisikan. Sebaliknya, didalamnya terdapat tatanan moral yang didasarkan pada kisah tentang makna masyarakat kaitanya dengan normatif tentang realitas, karena imajinari sosial mempunyai dua aspek yang saling terintegrasi yaitu; hermeneutis (visi tatanan moral) dan preskriptif (cara hidup). Lanjut, Taylor mengungkapkan “imajinari sosial bukan seperangkat ide-ide, melainkan apa yang dimungkinkannya melalui praktik-praktik masyarakat menjadi masuk akal”. (Bernard,2015). Atas dasar tersebut sepakat jika dikatakan sebagian kaum “reformis” dari beragam mazhab mengenai pentingnya kebebasan dan pembebasan spiritual bagi visi tradisi mereka sekalipun dengan cara yang berbeda. Agama sendiri jika dipahami secara benar, sejatinya mengajak dari seksisme dan patriarki menuju kesetaraan dan kebebasan. Masyarakat Indonesia (multi-budaya) atau keragaman kultur mengandung 156 Moderasi Beragama
unsur yang beragam dan sarat nilai-nilai kearifan. Dalam konteks membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, \"nilai-nilai kearifan\" seperti \"kearifan sosial dan \"kearifan budaya\" dapat dijadikan sebagai benang pengikat upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar Individu atau kelompok. Melalui \"kearifan sosial\" dan \"kearifan budaya\" berusaha mengeleminir perselisihan dan konflik budaya yang kurang kondusif, tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku saling menghormati, menghargai perbedaan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan. (Sanaky, 2005). Tentunya ekspresi sikap keberagamaan yang ekslusif (mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak), tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Lebih spesifik Hujair mengungkapkan; “Indonesia is a pluralistic and multicultural nation, inhabited by a variety of races, ethnicities, cultures and religions. This natural diversity will be a valuable manifestation when properly directed toward a conducive condition. On the contrary, when it is not directed to the proper pattern, this diversity will lead to a clash of civilizations, often resulted in bloody conflicts, which creates disunity and social disintegration. With the diversity of race, ethnicity, culture, and religion, education should provide an overview and moral ideals of religion contextually. Educational process thus requires a review of rigid and less humanist religious doctrines that have been held so far. The plurality of religions and beliefs are no longer understood as the potential for unrest, but the potential to implement their teachings for the sake of humanity. All religions should claim to build a civilization, peace and human safety.” (Sanaky,2017) Nur Kholik 157
Melihat kondisi demikian nampak gagasan Hujair dalam membentuk pribadi toleran harus diawali dengan disain kurikulum dan pendidik/guru. Faktanya, kurikulum dan pendidik dalam praktiknya berjalan sendiri-sendiri, seolah tidak saling berkait atau berdialog. Dalam proses pembelajaran misalnya pendidik menempati kedudukan yang sangat penting karena bagaimana berlangsungnya proses pembelajaran itu lebih banyak diwarnai rancangan program pembelajaran yang dilakukan atau dibuat pendidik. Agar sikap toleransi dapat dikembangkan di kalangan peserta didik atau siswa, pendidik hendaknya dapat merancang kegiatan pembelajaran yang berpengaruh terhadap pengembangan sikap tersebut. Disitulah letak perlu melakukan sinkronisasi kurikulum dan proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan budaya dan perilaku toleran. Pengembangan budaya toleran ke-seluruh aspek kehidupan masyarakat, menghargai keperbedaan, membudayakan semangat pluralisme, serta praktik yang menyentuh masalah umat manusia, baik bersifat politik, sosial, maupun budaya, dan mengembangkan konsep pendidikan yang menghargai potensi manusia yang beradab, haruslah menjadi parameter desain pendidikan keagamaan. Melalui puncak itu, pendidikan keagamaan harus bisa memutar anggapan kaum-kaum yang menyatakan “lembaga pendidikan penyebab terjadinya berbagai kasus kekerasan atas nama agama di tengah masyarakat”. Ironi jikalau pendidikan keagamaan “Islam khususnya” dituding menjadi mesin pencetak intoleransi, radikalisme dan terorisme pada peserta didik. Banyaknya pelaku terorisme dan radikalisme Islam yang melibatkan kaum muda terpelajar, baik pelajar, mahasiswa maupun lulusan perguruan tinggi menjadi penguat dari berbagai tuduhan minor itu. 158 Moderasi Beragama
Berangkat dari realitas di atas dapat ditarik benang merah dalam membentuk sikap toleran pusaran moderasi keagamaan, tertitik pada desain kurikulum yang bersifat pluralis/toleran dan bagaimana pendidik mengimplemen- tasikan pembelajaran. Secara spesifik Hujair, menyatakan; secara “ekstrim” meskipun kurikulumnya didisain anti- toleransi sekalipun tetapi, jika dijalankan pendiidk/guru yang berpandangan pluralis, pesan-pesan yang disampaikan akan pluralis pula dan begitu pula sebaliknya. Disitulah terlihat bahwa pendidik mempunyai otoritas penting dalam proses pembelajaran. (Sanaky,2017) Tandasnya, Hujair menyatakan; “Berbagai upaya deradikalisasi pendidikan agama tidak akan bermakna signifikan atau bahkan sia-sia, jika tidak diimbangi dengan kesiapan pendidik agama (selaku pelaksana dan perancang pengajaran), baik pada aspek paradigma keagamaanya maupun metode pengajarannya; dari doktrinasi menuju dialogis. Sayangnya sebagaimana dikemukakan aspek guru nyaris tidak diperhatikan sebagai persoalan yang mendesak untuk dibenahi”. (www. Sanaky.com) Langkah yang tidak kalah penting dilakukan adalah aspek rekrutmen pendidik/guru baru yang harus mengedepankan perspektif keagamaan calon pendidik/guru yang pluralis dan toleran. Memulai pembenahan pendidik/guru dari hulunya (melalui seleksi ketat) tentunya tidak hanya efektif tapi juga efesien dalam memecahkan persoalan intoleransi pendidik/guru agama. Jika kegiatan- kegiatan seperti ini dilakukan secara intens dan serius maka akan memberikan ruang terjadinya perubahan maindset para pendidik/guru; dari paham anti-pluralis menjadi pluralis dan toleran. Melalui kerangka berpikir tersebut, untuk mewujudkan Nur Kholik 159
pendidikan toleransi, pendidikan di sekolah (madrasah) perlu diorientasikan pada tataran moral action-psikomotor, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. Lickona dikutip Hujair berpendapat untuk mendidik moral anak sampai pada moral action-psikomotor diperlukan tiga proses pembinaan berkelanjutan, mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. (www.Sanaky.com) Dimana ketiganya harus dikembangkan-berdialog secara terpadu dan seimbang, sehingga potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, terpenting dalam aspek: a) kecerdasan intelektual; memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang “baik dan buruk”, “benar dan salah”, serta menentukan mana yang mempunyai sifat maslahah; b) kecerdasan emosional; yakni kemampuan mengendalikan emosi, menghargai keperbedaan, mengerti dan memahami perasaan orang lain, serta mampu bekerja dengan orang lain; c) kecerdasan sosial, memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain; d) kecerdasan spritual, memiliki iman yang anggun, merasa selalu diawasi Allah Swt, gemar berbuat baik, disiplin, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih; e) kecerdasan kinestetik, yakni menciptakan keperdulian terhadap dirinya dan orang lain, menerima perbedaan, dan sebagainya. (Sanaky,2017) Disitulah, pendidikan agama diharuskan memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan, sehingga bisa bersama bergandengan tangan membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh manusia. Bagaimanapun 160 Moderasi Beragama
pendidikan keagamaan “poros utama”, harus mampu mencetak atau melahirkan generasi muda yang mempunyai paradigma berfikir tentang persaudaraan dan kebersamaan, untuk bersama membangun peradaban baru yang lebih bermakna bagi seluruh manusia. Daftar pustaka Bickhard, Mark. 2008. Is Embodiment N ecessary?, dalam Cognitive Science: An Embodied Approach, Paco Calvo dan Antoni Gomila (ed), Amsterdam: Elsevier. Khumaini, Fahmi. Pesantren Dan Embodiment: Simbol Identitas Dan Otoritas Dalam Pedagogi Islam, makalah, Proram Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakartam, 2020. Lihat, What‟s that Thing Called Embodiment?, Proceedings of the Annual Meeting of the Cognitive Science Society, 25(25), 2003, https://escholarship.org/uc/item/60w6v9jz, hlm. 1309. Purwata, Heri Membangun Hubungan Harmonis Agama Dan Negara, https://Www.Jogpaper. Net/2017/12/16/Membangun-Hubungan-Harmonis- Agama-Dan-Negara/. Sanaky, Hujair AH. 2015. Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara. Nur Kholik 161
The Role Of Religious Education In Forming Tolerant Individuals, Indonesian Journal of Interdisciplinary Islamic Studies (IJIIS) Vol. 1, No. 1 (2017). Peran Pendidikan Keagamaan dalam Pembentukan Pribadi Toleran, www.sanaky.com Pendidikan Multikulturalisme dan Budaya Bangsa, UNISIANO. 58/XXVIII/IV/2005. Radikalisme Agama Dalam Perspektif Pendidikan, Millah, Vol. XIV, No. 2, Februari 2015. 162 Moderasi Beragama
Biografi NUR KHOLIK, S.Pd.I., M.S.I. Lahir pada tanggal 27 Desember 1990 di Sidimulyo. Anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Khalimi dan Ibu Siti Ma‟sumah. Pendidikan pertama dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah umbirejo Kec. Negeri Katon, Kab. Pesawaran, dan diselesaikan pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke MTs Roworejo Kec. Negeri Katon, yang diselesaikan pada tahun 2005. Kemudian 2006 melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Negeri Katon, Kec. Negeri Katon Kab. Pesawaran, selesai pada tahun 2009. Pada tahun 2010 meneruskan pendidikan S.1 ke Perguruan Tinggi Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung, selesai pada tahun 2014.Kemudian melanjutkan Program Pascasarjana Strata 2 (S2) pada tahun 2014 di Fakiltas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Selesai tahun 2016. Nur Kholik 163
Saat ini, penulis berdomisili di Yogyakarta, sedang menempuh program Doktor di kampus UIN Sunan Kalijaga TA. 2019/2020 sambil mengisi kesibukan juga mengajar di Universitas AlmaAta Yogyakarta dan Lembaga Pendidikan Ma‟arif Yogyakarta. Sebenarnya sudah sebagai Dosen Tetap di salah satu Perguruan Tinggi Islam Swasta di Provinsi Lampung, yaitu Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam (STEBI) Lampung. Sejak tahun 2018. Sejumlah karya-karyanya yang telah dipublikasikan diantaranya dalam bentuk jurnal dan buku seperti; dalam buku; 1) Jombang-Mesir (Kajian terhadap Islam Liberal Abdurrahman Wahid dan Pendidikan Islam di Indonesia; 2) Enigmatik: Revolusi Paradigma Ke-Islaman Nahdlatul Ulama; 3) Terobosan Baru; Membentuk Manusia Berkarakter di Abad 21, Ulasan Pemikiran Al-Attas; 4) Mazhab Pembebasan Pendidikan, Ulasan Pemikiran Gus Dur, 5) Antologi; Hadits Tarbawi; 6) Manifesto; Modernisasi Pendidikan Islam, Ulasan Pemikiran Soekarno; 7) Never Dies: Alternative Eduation, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Ruang Publik; 8) Interkoneksi Islam Liberal Dan Pendidikan Islam Abdurrahman Wahid; 9) Integrasi Politik Islam Dan Negara Di Indonesia; 10) Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila; Ikhtiar Awal Membangun Pendidikan Karakter; 11) Politik Dan Kebijakan Kementerian Agama (Upaya Membangun Prfesionalisme Guru dan Dosen); Sedangkan dalam bentuk Jurnal ilmiah, diantaranya: 1) Implementasi Pendekatan Santifik Upaya Membangun Sikap Kritis Peserta Didik Pada Pembelajaran Aqidah Akhlak (Di Mts Sudirman Jimbaran, Semarang), 2) Analisis Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Rumah Zakat Yogyakarta; dan 3) Mendapatkan pengahargaan (Sertifikat) sebagai BEST PAPER dengan tema Pengelolaan Zakat Produktif (Studi Atas 164 Moderasi Beragama
Kebijakan Pemerintah Melalui BAZNAS D.I.Yogyakarta) nomor 14/Pan-Seminas-EI/XII/2019. Penulis bisa dihubungi melalui: #email: [email protected]# Nur Kholik 165
Revitalisasi Pendidikan Karakter Pondok Pesantren dalam Menyukseskan Moderasi Beragama A. Samsul Ma’arif, S.Pd., M.Pd. Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Kandidat Doktor PAI UNISMA [email protected] S ecara umum Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh pendidik untuk melaksanakan pembelajaran secara aktif dalam rangka menggembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik, agar peserta didik tersebut memiliki kedalaman spiritual, kepribadian yang baik, pengendalian diri yang baik, akhlakyang baik serta keterampilan hidup untuk bekal hidup di masyarakat, bangsa dan Negara(Undang Undang Sisdiknas).Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan utama dari pendidikan itu sendiri adalah peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan yang tinggi supaya memiliki keseimbangan antara kebutuhan lahiriyah dan batiniyah. 166 Moderasi Beragama
Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.Tujuan dari Pendidikan Keagamaan secara umum adalah terselenggaranya sebuah proses pembelajaran yang mengerti, memahami dan menghargai serta mengamalkan ajaran agamanya dan menjadi ahli agama yang memiliki keluasan ilmu, inovatif, kreatif, kritis guna mendukung proses mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang berakhlak mulia, bertaqwa kepada Tuhan dan beriman kepadaNya. Pada pasal 10 diterangkan bahwa Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.Dan dapat diketahui bersama bahwa pesantren menyandarkan keilmuan mereka kepada Sumber Primer Hukum Islam (Al-Qur‟an dan Al-Hadits) disamping Sumber Hukum Islam Sekunder (Ijmak dan Qiyas), karena pesantren merupakan lembaga Pendidikan Keagamaan Islam. Data di lapangan menyebutkan bahwa masalah pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks karena disetiap pundi pundinya masih terdapat berbagai macam persoalan yang belum terselesaiakan dengan baik. Belum ditambah dengan banyaknya degradasi moral yang terjadi di dunia pelajar seperti free sex, perkelahian antar pelajar, perjudian, perampokan, pencurian, perpisahan sekolah yang dirayakan dengan mabuk-mabukan, pelajar yang bangga dengan pakaian bikini dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan pemahaman beragama yang radikal, yang menginginkan perubahan dengan kekerasan dengan mengesampingkan sifat humanitis di dalam kehidupan. Untuk mengatasi degradasi moral serta pemahaman radidal diatas diperlukanlah moderasi beragama.Moderasi menurut KBBI memiliki arti pengurangan kekerasan. A. Samsul Ma‟arif 167
Sedangkan secara istilah moderasi adalah pandangan hidup yang mengedepankan sikap toleran, berada di tengah diantara dua pemahaman yang berseberangan untuk tidak mendominasi sikap dan sifat yang akan diambil (Amin, 2014). Moderat akan mengutamakan kemaslahatan ummat, daripada fanatik pada salah satu pemahaman.Senada dengan pendapat diatas, Kementerian Agama memberikan empat indikator moderasi beragama yaitu (a) komitmen kebangsaan diwujudkan dengan mengutamakan NKRI, (b) toleransi terhadap sesama atau antar agama, (c) anti-kekerasan terhadap siapapun, dan (d) akomodatif terhadap budaya lokal demi menjaga lestarinya budaya Indonesia. Keempat indikator ini digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan moderasi beragama yang ada di Indonesia (Balitbang, 2019). Pondok Pesantren Miftahul Jannah selaku salah satu lembaga Pendidikan Keagamaan Islam yang berada di Jalan Wukir Temas Batu menerapkan pendidikan karakter dalam upaya menyukseskan moderasi beragama.Pondok Pesantren ini diasuh oleh KH Muhammad Nur Kholish, S.H dimana penulis telah mengeyam pendidikan pesantren disana kurang lebih tujuh tahun.Dalam merevitalisasi pendidikan karakter, pesantren ini mengambil landasan yuridis yang berlaku di Indonesia, tentunya dengan tetap mensanadkan keilmuan pada kitab-kitab turats. Menurut Thomas Lickona dalam Maskuri Bakri (2017) mendefinisikan karakter bahwa: \"orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya\". Pengertian di atas mirip dengan apa diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa \"karakter itu 168 Moderasi Beragama
erat dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan\" Pada dasarnya pendidikan karakter merupakan salah satu dari pendidikan akhlak yang telah dikumandangkan nabi sejak zaman dahulu.Para asatidz di pesantren tidak perlu bingung dan kebakaran jenggot dalam menanggapi hal ini.Asatidz cukup dengan lugas mendidik akhlak mahmudah di pesantren melalui kitab kitab yang masyhur seperti akhlak al-banin, akhlak al-banat, irsyaadul ibad, nashoihu diniyah dll. Tujuan akhir akhlak dan pendidikan karakter sesungguhnya memilii kesamaan yakni terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang memiliki keseimbangan antara kebahagiaan kehidupan dunia dan akhiratnya, tidak jomplang satu dengan lainnya, serta tidak menabrak aturan syariat Islam dan aturan kenegaraan (Ma‟arif dan Junaedi, 2020): Ada delapan belas karakter yang harus ditanamkan seorang pendidik kepada peserta didik, yaitu karakter relegius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab (Puskur Kemdiknas, 2011). Pondok Pesantren Miftahul Jannah Batu merevitalisasi kedelapan belas karakter yang dicanangkan pemerintah melalui berbagai kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter religius dilakukan melalui pelaksanaan sholat 5 waktu dengan berjamaah, melaksanakan ngaji sesuai jadwal dan melakukan amal shalih lain seperti puasa senin kamis, menghafalkan ayat alqur‟an dan beberapa kitab turats, aktif dalam Peringatan A. Samsul Ma‟arif 169
Hari Besar Islam (PHBI) seperti peringatan isro‟ mikroj, maulid nabi,dsb 2. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter jujur dilakukan melalui kegiatan melaksanakan sholat 5 waktu secara tepat waktu dan membeli barang apapun baik di kantin maupun di toko sesuai dengan tarif yang berlaku. 3. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter toleransi dilakukan melalui tidak membedakan suku,ras, warna kulit, dan lain lain. Mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam mencari ilmu, menghargai pendapat orang lain 4. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter disiplin dilakukan melalui mengawali dan mengakhiri kegiatan pembelajaran di pesantren sesuai dengan waktunya 5. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter kerja keras dilakukan melalui santri belajar sungguh sungguh dalam mencari imu di pesantren, pantang menyerah dan mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh asatidz 6. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter kreatif dilakukan melalui berbagai macam upaya mengerjakan tugas dari asatidz dengan caranya sendiri, tanpa harus sama dengan temannya. Hal ini untuk mengajarkan kepemilikan berbagai macam cara/metode dalam menyelesaiakan tugas yang sama. 7. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter mandiri dilakukan melalui santri semangat belajar mandiri baik di kamar santri, perpustakaan pesantren maupun diskusi antar santri, supaya mendapatkan pemahaman agama yang luas 8. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter demokratis dilakukan melalui terbukanya pemikiran santri melalui diskusi, musyawarah mufakat daam mengambil pelbagai kebijaka dalam pesantren 170 Moderasi Beragama
9. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter rasa ingin tahu dilakukan melalui santri yang lebih aktif bertanya kepada asatidz pada saat kegiatan pembelajaran diniyah pesantren, mungkin juga santri mengunjungi asatidz di luar jam pembelajaran jika merasa di kelas di rasa kurang 10. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter semangat kebangsaan dilakukan melalui santri yang mau mengenal budaya dari pelbagai suku yang ada di Indonesia, supaya merekatkan persatuan dan kesatuan diantara mereka 11. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter cinta tanah air dilakukan melalui dokrin bahwa NKRI harga mati. Santri wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui upacara bendera dan mengetahui sejarah serta meneladani sejarah para pahlawan, merupakan sarana yang sangat bagus untuk mewujudkan rasa cinta tanah air. 12. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter menghargai prestasi dilakukan melalui santri yang aktif memberikan penghargaan kepada mereka yang menduduki rangking 1 pada pendidikan diniyah pesantren. Seorang santri yang berkarakter akan melaksanakan Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester dan lain-lain secara jujur dan akan menerima hasil dengan legowo. 13. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter bersahabat/komunikatif dilakukan melalui sifat santri yang supel, suka bersenda gurau, diskusi ringan antar santri, bermain sepak bola dan lain sebagainya agar tercipta rasa persahabatan diantara santri. 14. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter cinta damai dilakukan melalui santri berjabat tangan dan mengucapkan salam saat bertemu dengan santri lain, A. Samsul Ma‟arif 171
bersalaman kepada dewan asatidz dengan harapan mengambil barokah ilmunya, tidak memperebutkan sesuatu yang tidak perlu diperebutkan antar santri. 15. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter gemar membaca dilakukan melalui santri yang suka membaca kitab wajib yang ia pelajari serta memperbanyak khazanah ilmu pengetahuan diperpustakaan maupun pinjam kitab para senior 16. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter nilai peduli lingkungan dilakukan melalui melakukan reboisasi di sekitar pesantren dengan penanaman pohon, bunga dan tanaman lain. Disamping untuk aspek penghijauan,pohon juga memberikan sirkulasi udara yang sejuk dan menyegarkan untuk mendukung situasi dan kondisi belajar di pesantren. 17. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter nilai peduli sosial dilakukan melalui kegiatan bakti sosial baik pada masyarakat sekitar maupun kepada masyarakat umum (biasanya satu tahun satu kali), santri tolong menolong dalam mengerjakan tugas di luar ujian resmi demi pemahaman yang komprehensif 18. Pelaksanaan pembelajaran nilai karakter tanggung jawab dilakukan melalui santri yang siap bertaggung jawab apabila melakukan sebuah kesalahan,berani menerima iqob, dan tidak menyalahkan pihak lain. Ada lima komponen di dalam pesantren yaitu Kyai, Santri, Pondok, Masjid dan Pengajaran kitab Islam klasik (Dhofir, 2019: 79). Santri diharapkan mampu menggantikan peran Kyai dimasa depan. Ada sebuah prasasti yang mengatakan bahwa sesungguhnya kata santri dalam bahasa 172 Moderasi Beragama
Arab terdiri dari lima huruf dan memiliki makna yang mendalam seperti ada dalam gambar berikut ini: Dari definisi diatas saja seorang santri secara tidak langsung telah melaksanakan pendidikan karakter itu sendiri. Seorang santri sejati yang pertama ia lakukan adalah senantiasa mencari ridho Allah SWT. Santri akan serius belajar setiap hari, karena ia mengikrarkan dirinya siap meneruskan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh sang Kyai. Dengan senang hati, ia akan menjahui semua kemaksiatan untuk berproses menjadi muttaqin. Keinginan tinggi seorang santri adalah masuk syurga kelak di akhirat, diwujudkan dengan husnul khatimah di akhir kehidupanya.Oleh karena itu santri selalu dan selalu mengupayakan dirinya untuk menggapai kebahagiaan Dunia dan Akhirat,terjadi keseimbangan diantara kedua alam tersebut. Islam moderat adalah nilai-nilai islam yang dibangun atasdasar pola pikir yang lurus dan pertengahan (i‟tidal danwasath). Menurut Yusuf al-Qardhawi, wasathiyah (moderat) merupakan salah satu karakteristik yang tidak dimilikiideologi lain (Sumarto, 2019).Pemahaman moderat menyeru kepada dakwah Islamyang toleran, menentang segala bentuk pemikiran yangliberal dan radikal.Liberal dalam arti memahami Islamdengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderungmencari pembenaran yang tidak ilmiah. Dan Radikal dalam arti mendakwahkan Islam dengan cara kekerasan/ anarkis.Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam Rahmatan Lil A. Samsul Ma‟arif 173
Alamiin, yang selalu mengedepankan sifat persatuan, kasih sayang dan jauh dari individualis dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Upaya pencegahan radikalisme agama tidak boleh setengah-setengah.Kyai danAsatidz selaku pendidik harus mengoptimalkan gerakan radikalisasi mulai dari lingkungan rumah, sekolah, dan pergaulan peserta didik. Saat ini banyak lembaga pendidikan yang modern dan liberal sehingga mudah dimasuki paham-paham radikal. Oleh karena itu, jika generasi muda mendapat pendidikan agama dan umum yang baik, secara otomatis paham radikal akan terbendung dengan sendirinya (Prasetiawati, 2017).Tujuan moderasi pendidikan Islam itu adalah untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat guna tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.Dengan demikian, tujuan akhir dari pendidikan agama Islam itu karena semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan cara berusaha melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya (Hawi, 2014) Islam moderat Indonesia merujuk pada komunitasIslam yang menekankan pada perilaku normal (tawassuth)dalam mengimplementasikan ajaran agama yang merekategakkan; mereka toleran terhadap perbedaan pendapat,menghindari kekerasan, dan memprioritaskan pemikiran dandialog sebagai strateginya. Gagasan-gagasan semisal Islampribumi, islam rasional, islam progresif, islam transformatif,islam liberal, islam inklusif, islam toleran dan islam pluraldapat dikategorikan sebagai Islam moderat Indonesia (Sumarto, 2019).Islam sendiri mendukung moderasi beragama melalui firman Allah SWT yang ada di dalam Alqur‟an, diantaranya Surat al-Maidah ayat 77, al-Hudd ayat 77 dan al-Mumtahanah ayat 6. 174 Moderasi Beragama
Dari paparan diatas, penulis mengambil dua kesimpulan yaitu (1) Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren mampu mencetak generasi santri yang moderat dan cinta damai dengan sejumlah karakter yang telah diinternalisasikan dalam kehidupan pesantren, (2) untuk memahami moderasi beragama diperlukan ilmu yang banyak dan luas. Muslim yang baik akan selalu berusaha untuk menebarkan kedamaian dan keselamatan dimanapun ia berada. Daftar Pustaka Amin, Abd. Taif Muhammad. “Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam dalam Tradisi Hukum Islam”, Jurnal Al Qalam, Vol. 20, (2014) 24-40 Balai Litbang Kemenag RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Balai Litbang Kemenag RI 2019 Bakri, Maskuri, & Werdaningsih, D. 2017. Membumikan Nilai Karakter Berbasis Pesantren, Belajar dari Best Practice Pendidikan Karakter Pesantren dan Kitab Kuning. Cet. II. Jakarta: Nirmana Media Dhofier, Zamakhsyari. 2019. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES Hawi, Akmal. 2014.Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Prasetiawati, Eka “Menanamkan Islam Moderat Untuk Menanggulangi Radikalisme Di Indonesia,” Fikri : Jurnal A. Samsul Ma‟arif 175
Kajian Agama, Sosial Dan Budaya 2, no. 2 (27 Desember 2017): 523–70 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Puskur Kementerian Pendidikan Nasinal. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman di Satuan Rintisan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Ma‟arif, A.Samsul dan Muhammad Rifqi Junaidi.“Teori Kontruksi Sosial Dan Penerapannya pada Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Tasikmadu Malang” Konferensi Nasional Pendidikan Islam. Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang. 2020 (17-29) Sumarto dan Emmi Kholilah Harahap. “Mengembangkan Moderasi Pendidikan Islam Melalui Peran Pengelolaan Pondok Pesantren”, Jurnal RI„AYAH, Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2019 Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 176 Moderasi Beragama
Biografi A. SAMSUL MA’ARIF, S.Pd., M.Pd. merupakan Dosen Tetap Bahasa Arab pada Jurusan Ilmu Al- Qur‟an dan Tafsir Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.Ia dilahirkan di Malang pada 22 Mei 1986. Mengenyam S1 Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Malang 2009, S2 Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2011 dan S3 Pendidikan Agama Islam Multikultural di Universitas Islam Malang (semester 3). Ia Lulus Sertifikasi Dosen Profesional bidang Pendidikan Bahasa Arab 2012.Menjadi presenter di beberapa Seminar Nasional dan Internasional dan menjalankan program pengabdian masyarakat.Menulis tentang A. Samsul Ma‟arif 177
kebahasaaraban dan Pendidikan Agama Islam di beberapa jurnal nasional bereputasi. Menulis buku al-Arabiyah li al-Hayah jilid III dan IV(2018), Buku Pintar Ungkapan Praktis Empat Bahasa (2018), Buku Bahasa Arab untuk Ekonomi Islam (2019). Untuk korespondensi bisa melalui e-mail: [email protected] / HP 0856 3838 921. 178 Moderasi Beragama
Moderasi Aplikasi Fikih Ekonomi Syariah di Indonesia Jaharuddin, S.E., M.E. Program Studi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Jakarta P ernah merasa bingung tentang hukum suatu perkara dalam ekonomi islam?, ada yang membolehkan, ada pula yang tidak membolehkan. Ada yang berjuang mendirikan bank, pasar modal, asuransi, farmasi, hotel, fashion, rumah sakit, makanan dan minuman, pariwisata, tour and travel, properti, bisnis dan berbagai sendi kehidupan berbasis syariah. Inilah saatnya semua sendi kehidupan di warnai dengan berbagai inspirasi nilai agama, salah satu alasannya karena sistim yang lama terbukti menghasilkan krisis demi krisis yang terus berulang. Ekonomi islam adalah penerapan konsep- konsep al-Qur‟an dan hadis, baik langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas ekonomi, dengan kata lain, ayat dan hadis menjadi inspirasi pertama dalam menjalankan aktivitas ekonomi. (Jaharuddin, et al, 2019). Jaharuddin 179
Ekonomi islam, bukan alternatif tapi solusi, terbukti memberikan kontribusi terbaik di zamannya, ekonomi islam bukanlah ilusi utopis, sesuatu yang sangat mungkin direalisasikan dan terbukti ampuh menjawab tantangan dan kebutuhan pada zamannya.Zaman memang berubah, teknologi dan informasi terus berkembang semakin kencang, dan diyakini ekonomi islam tetap relevan dan semakin ampuh menjawab perkembangan zaman, informasi dan teknologi. Disisi lain, tidak sedikit yang ragu dengan ekonomi islam, misalnya ekonomi islam itu adalah ekonomi normatif, ekonomi tradisional yang di tambal sulam dengan nilai islam, ekonomi islam itu secara empiris positivistik belum terbukti ampuh, bahkan ada yang mengatakan tidak syariahnya bank syariah, tidak syariahnya asuransi syariah, bisnis islam itu cuma tambal sulam dari bisnis tradisional, properti syariah, tapi bank nya konvensional, pasar modal syariah dan bank itu tetap saja yang di untungkan adalah kapitalis, pemilik modal besar. Sekolah Islam, pondok pesantren, masjid sebagiannya masih mengunakan rekening bank tradisional (konvensional), bahkan ada pula yang mengatakan sama aja antara tradisional (konvensional) dengan syariah. Sebagian yang mengeluarkan pendapat seperti ini, terkadang bukanlah orang sembarangan, ustadz, tokoh atau seseorang bergelar tinggi di perguruan tinggi, ustadz alumni kampus di timur tenggah, atau praktisi yang bertahun tahun bekerja di bank tradisional (konvensional) dan hijrah ke bank syariah, dan hijrah lagi menjadi anti bank. Begitulah uniknya perjuangan ekonomi islam di Indonesia, berhadapan dengan yang phobi islam, dan juga perlu berdiskusi panjang yang tidak berkesudahan dengan yang berbeda pendapat tentang ekonomi islam di Indonesia. Tantangan sebagai bangsa besar di dunia, dengan potensi 180 Moderasi Beragama
ekonomi islam besar di dunia, dan sangat mungkin menjadi pusat ekonomi, keuangan dan bisnis islam dunia. Bagi akademisi dan peneliti perbedaan pendapat, adalah sesuatu yang biasa, karena bagi akademisi, terus mencari “masalah” untuk dijadikan latar belakang penelitian, seringkali para dosen, peneliti, mahasiswa di kampus-kampus diharuskan baca berpuluh puluh, bahkan ratusan buku dan jurnal agar mendapatkan “masalah” untuk dijadikan bahan penelitian, dicarikan jalan keluarnya dalam bentuk penelitian. Jadi bagi akademisi, perbedaan pendapat itu malahan memudahkan sebagian pekerjaannya. Namun bisa jadi berbeda dengan masyarakat awam, perbedaan pendapat yang tidak berkesudahan di bidang ekonomi, keuangan dan bisnis syariah membingungkan, dan butuh arah dan solusi yang tepat.Untuk memberikan panduan sederhana agar masyarakat awam tidak bingung tentang hukum muamalah di bidang ekonomi, keuangan dan bisnis syariah, berikut langkah sederhana: 1. Perbedaan pendapat terus akan ada. Perbedaan pendapat akan terus ada, seiring berkembangnya ekonomi, keuangan dan bisnis syariah, maka diperlukan keluasan hati dalam menghargai pandangan yang berbeda. Tidak perlu terlalu bersemangat untuk menyatukan perbedaan, karena masing-masing mempunyai latar belakang dan dalilnya. Jadi berlapang dada saja. Melakukan dialog dan diskusi boleh saja, tidak perlu ada target orang lain sependapat, seirama dalam gerak perjuangan ekonomi syariah, masing-masing punya porsinya masing-masing, dan berbaik sangka semua pihak Jaharuddin 181
akan membutuhkan, ingin bahkan menjadi pejuang ekonomi syariah pada saatnya masing-masing. 2. Dalam muamalah itu lebih banyak yang boleh dan sedikit yang haram. Dalam muamalah kaidah dasarnya adalah “Al-Ashl Fi al-Mu‟amalati al-Ibahatu Illa an Yadulla dalil ala tahrimiha” (hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecualiada dalil yang mengharamkannya), memberi makna, jauh lebih banyak yang boleh dari pada yang diharamkan di bidang muamalah, memberikan landasan untuk berkreasi dan bertindak luas, bidang apapun yang anda tekuni. Abbas Arfan (2013), adalima asassebagai teori yang membentuk hukum-hukum dalam bidang ekonomi: (1). Taba‟dul al-Mana‟fi yaitu segala bentuk kegiatanmuamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak- pihakyang terlibat. (2). Asas pemerataan dan keadilan yaitu asas yang berupaprinsip keadilan dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta tidakhanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus didistribusikansecara merata diantara masyarakat baik kaya maupun miskin. (3). Keridaan dan kerelaan, asas ini menyatakan bahwa setiapbentuk muamalat antar muslim atau antar pihak harus berdasarkan kerelaanmasing-masing. (4). Tidak adanya penipuan atau dapat dikatakan asaskejujuran dalam bertransaksi. (5). Asas kebaikan dan ketaqwaan yang dalam hal ini muslimharus melakukan segala hal untuk kebaikan dan peningkatan ketaqwaannyakepada Allah SWT. 182 Moderasi Beragama
3. Mengacu pada pendapat ulama yang kompeten, bermusyawarah dengan ahli di bidang lain, dan mempunyai wewenang (otoritas) untuk memutuskan. Faktanya dalam kehidupan, untuk memutuskan satu persoalan di bidang muamalah, dibutuhkan ahli dibidang lain yang mumpuni ilmunya, agar tahu persis detil perkara yang sedang dibahas, untuk itu membahas perkara muamalah membutuhkan ahli dari berbagai disiplin ilmu, dan berdiskusi bahkan berdebat dalam memutuskan. Jadi dibutuhkan ulama yang kompeten, mereka bermusyawarah dan diberikan otoritas untuk memutuskan. Dalam hal ini, di Indonesia, untuk perkara ekonomi, keuangan dan bisnis syariah, maka fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah menjadi rujukan utama. Karena DSN kumpulan orang orang ahli agama dan ahli di bidang ekonomi, keuangan dan bisnis syariah. Jika ada yang berpandangan berbeda dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), maka masyarakat menghormati pandangan tersebut, namun untuk dijadikan rujukan operasional pakailah fatwa yang telah di putuskan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Jika ada perkara yang belum diputuskan, diperbolehkan memintakan fatwa ke Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Untuk melihat fatwa-fatwa terbaru bisa di lihat di www.dsnmui.or.id Sangat banyak ustadz yang punya kompetensi membahas perkara muamalah, namun untuk dijadikan rujukan dalam aktivitas industri dan kemasyarakatan, kompetensi saja tidak cukup, perlu di ikuti dengan bermusyawarah dengan berbagai ahli disiplin ilmu lainnya, yang mengerti persis perkara yang dibahas, dan mempunyai Jaharuddin 183
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203