Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Moderasi Beragama

Moderasi Beragama

Published by JAHARUDDIN, 2022-01-27 00:26:21

Description: Buku tulisan bersama dari berbagai perspektif. Diantaranya tentang urgensi pengembangan pendidikan perdamaian bagi generasi Z, Mega Project Bhineka Tunggal Ika: Perawatan toleransi dalam pendidikan berbasis rumah tangga, Kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun rasa persaudaraan negara RI, Membumikan moderasi beragama di lembaga pendidikan islam pada masyarakat multicultural, moderasi aplikasi fikih ekonomi syariah di Indonesia, dll.
Menarik untuk dibaca, segera miliki.

Keywords: Moderasi Beragama,Toleransi

Search

Read the Text Version

Membumikan Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan Islam pada Masyarakat Multikultural Hadirman Dosen Institut Agama Islam Negeri Manado E ksistensi moderasi beragama di lembaga pendidikan pada daerah-daerah dengan situasi masyarakat yang multikultural menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan, karena lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk mewujudkan moderasi beragama. Seperti diungkapkan (Sofiuddin, 2018:357) bahwa moderasi beragama dapat direalisasikan melalui berbagai aspek, salah satunya adalah dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai tempat untuk mendidik generasi muda bangsa, sangat rentan dengan lahirnya paham-paham radikalisme, ekstrimisme, dan liberalisme (band. Yunus dan Salim, 2018). Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu berbenah untuk mengantisipasi. Salah satunya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moderasi kepada peserta didik. Bahkan, lembaga pendidikan Islam, seperti sekolah- sekolah yang basiskan Islam, harus mempersiapkan generasi muda 34 Moderasi Beragama

bangsa, melalui pendidikan di sekolah “moderat” dalam bingkai masyarakat multikultural. Demikian pula, identitas kebangsaan yang multikultural harus menjadi pintu masuk untuk memperkokoh kerukunan dan toleransi, baik dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan lingkup spasial terbatas (lembaga pendidikan Islam) sudah sepatutnya menjaga moderasi beragama, dalam bingkai “moderasi beragama”. Bahkan, moderasi beragama dapat menjadi solusi masyarakat multikultural(Darlis, 2017:251). Masyarakat multikultural memposisikan perbedaan agama, etnik, budaya, dan bahasa yang terdapat pada individu-individu dalam lembaga pendidikan harus dapat dikelola dengan, saling terbuka, menerima perbedaan antara satu dengan lainnya. Demikian pula, semangat multikultralisme di lembaga pendidikan harus terus dipupuk, dipelihara, dan dibina dalam upaya wujudkan dan memperkuat, bangsa (Indonesia) yang mentasbihkan dirinya sebagai bangsa yang majemuk (multikultural) (band.Soedirjarto, 2008:579). Label masyarakat multikulturaldi Indonesia, banyak daerah dilekatkan dengannya, misalnya daerah Kota Manado, Kota Palangkaraya, Kota Denpasar, Kota Makassar, Kota Yogyakarta, dan sebagainya. Pada posisi ini, kabuaten/kota ini tentu huni oleh masyarakat dengan beragam agama, budaya, etnik, dan bahasa. Keberadaan masyarakat Islam di tengah masyarakat multikultural, moderasi beragama menjadi kata kunci untuk menampilkan wajah Islam yang santun dan toleran. Demikian pula halnya, implementasi moderasi beragama di lembaga pendidikan Islam di daerah-daerah multikultural tersebut dapat tergambar dengan jelas posisi keagamaan Islam di tengah masyarakat multikultural. Hal ini selaras pandangan, bahwa moderasi beragama sebagai jalan tengah beragama bagi masyarakat yang multikultural. Bahkan, kedua kota ini sangat kaya dengan kearifaan lokalnya, sehingga akan melahirkan wajah Hadirman 35

moderasi beragama dalam bingkai harmoni antara Islam dan kearifan lokal (Kemenag, 2016:65). Bahkan, untuk membangun spririt multukulturalisme di Indonesia, salah satunya melalui pendidikan multikultural di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal (Suputra, 2006:76). Tulisan ini sebagai upaya menarasikan dan membumikan moderasi beragama yang terekam dalam aktivitas lembaga pendidikan Islam. Kajian ini dapat memberikan gagasan berkaitan dengan eksplorasi moderasi beragama pada lembaga pendidikan yang terdapat di tengah-tengah kehidupan masyarakat multikultural. Dengan demikian, masyarakat termasuk lembaga pendidikan semakin dewasa untuk menerima dan mengakui perbedaan, yang semestinya menjadi “simbol perekat” dalam upaya merawat kemajemukan dalam bingkai masyarakat multikultural. Secara etimologi, kata moderasi berasal kata moderation (bahasa Inggris), atau dalam bahasa Arab wasatiyah (moderasi/moderat), yang bermakna sikap seseorang yang tidak berlebihan atau sikap jalan tengah. Seseorang yang memiliki sikap dan perilaku yang moderat berarti dalam diri orang tersebut memiliki perilaku/sikap wajar, sikap biasa dan atau tidak ekstrim dan liberal (band. Yunus dan Salim, 2018:189). Sementara itu, Pransiska dan Faiqah (2018:48) mengatakan bahwa moderasi beragama (Islam) sebagai sebuah pandangan/sikap yang dalam dirinya selalui berupaya berposisi di tengah-tengah dari dua sikap dan perilaku yang berbebda dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap dan perilaku tersebut tidak mendominasi dalam kognisi seseorang. Beberapa penelitian berkaitan dengan moderasi beragama (Islam) di lembaga pendidikan Islam dan umum bermanfaat untuk penanamanan nilai-nilai agama (Islam) yanbg moderat. Di antaranya penelitian yang dilakukan Rusmayani (2008) mengungkapkan bahwa penanaman nilai dan sikap moderasi Islam bagi siswa di Bali, dan menemukan bahwa Sekolah Dasar (SD) umum di Bali, khususnya SD 36 Moderasi Beragama

Negeri dengan pendidik dan siswa mayoritas Hindu namun siswanya ada yang beragama Islam. Karena adanya siswa-siswa yang beragama Islam, maka didatangkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengajar tentang Islam. Menariknya, guru PAI sekolah umum di Bali memiliki sikap yang luwes dalam berinteraksi dengan koleganya yang berbeda agama sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan ketersinggungan. Sikap guru PAI inilah yang juga diajarkan kepada siswa-siswa Muslim di Bali, untuk menjadi Muslim yang moderat, tidak radikal dan liberal. Darlis (2017) mengungkapkan bahwa perkembangan dan dinamikan keragaman yang ada pada bangsa yang multikultural, seperti Indonesia. Masyarakat yang multikultural sangat rentan dengan konflik. Menurutnya, dalam kehidupan masyarakat yang multikultural, moderasi Islam menjadi salah satu cara untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Pendidikan moderasi Islam sebenarnya integral dalam aspek- aspek keagamaan Islam, yakni akidah, syariah, tafsir, tasawuf, dan dakwah. Lebih lanjut dikatakan bahwa moderi asalah ajaran inti agama Islam. Sebagai paham keagamaan Islam moderat memiliki relevansi dengan keberagaman segala aspek kehidupan, seperti agama, budaya, bahasa, dan sebagainya. Pransiska dan Faiqah (2018) menguraikan tipologi Islam yang ada di Indonesia. Kemudian pada uraian selanjutnya mengetengahkan Islam sebagai agama damai, model moderasi beragama (Islam) ala Indonesia (ditinjau dari paradigma dan gerakan/aksi) yang dilakukan, serta upaya untuk mengawal dan membumikan visi moderasi bergama (Islam) di Indonesia. Moderasi beragama (Islam) memiliki peran yang penting dalam mendialogkan antara Islam dan modernitas. Konsep moderasi beragama (Islam) merupakan konsep yang terkait dengan ajaran Islam dalam membentuk pribadi dan karakter, serta perilaku muslim sebagai ummatan wasathan. Hadirman 37

Yunus dan Salim (2018) menjelaskan bahwa dewasa ini siswa- siswa di sekolah memiliki kerentanan untuk terjangkiti atau terpapar radikalisme, ekstrimis, dan liberalisme. Radikalisme, ekstrimisme, dan liberalisme agama (khususnya wajah Islam) dewasa ini mulai merasuki ke dalam dunia generasi muda/siswa SMA. Upaya penangkalan paparan radikalisme, liberalisme, dan radikalisme di lembaga persekolahan diperlukan langka-langkah antisipatif yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas untuk mengajarkan siswa menjadi pribadi yang berpikir dan berperilaku moderat, berkarakter moderat, humanis, dengan wajah Islam yang rahmatan lil a‟lamin. Sofiuddin (2018) menguraikan bahwa paradigma pendidikan Islam moderat menarik minat pengamat, peneliti dan ahli pendidikan Islam. Moderat dalam pendidikan Islam dapat terealisasi dengan memiliki akidah (yang bersumber pada Alquran dan hadis) yang benar dan bersikap toleransi (kemauan berpegang teguh pada pandangan pribadi serta memiliki pengertian pada pandangan orang lain yang berbeda dengannya). Lebih lanjut diungkapkan bawah untuk mengimplementasikan Islam moderat. Implementasi pembelajaran moderasi Islam di lembaga pendidikan masih memiliki sejumlah kendala, mmm yang tidak mampu mengikuti arus perkembangan dan perubahan kurikulum. Menumbuhkan moderasi beragama di lembaga pendidikan pada masyarakat multikultural memerlukan upaya yang sungguh- sungguh dari lembaga pendidikan Islam. Selain itu, semangat multikulturalisme dalam pendidikan Islam harus terus disuarakan dan diajarkan dalam lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam sebagai institusi sosial, di dalamnya ada kepemimpinan, kurikulim, interaksi belajar mengajar, materi pelajaran dan sebagainya menjadi sarana untuk mengimplementasikan moderasi beragama. 38 Moderasi Beragama

Tilaar (2008) mengatakan bahwa pendidikan adalah institusi sosial yang bertalian erat dengan organisasi lembaga pendidikan, kepemimpinan, kurikulum, proses belajar-mengajar, dan kontrol sosial, termasuk kontrol terhadap implementasi pendidikan yang moderat (pen.). Mappasiara (2018:192) bahwa al-tarbiyah (pendidikan) merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya. Transformasi pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik tersebut agar terbentuk keimanan, ketakwaan, budi pekerti luhur, dan kepribadian yang luhur. Pendidikan Islam adalah suatu proses pemberian bimbingan dan pengajaran kepada peserta didik dalam upaya menumbuhkembangkan kualitas dan potensi peserta didik. Potensi- potensi tersebut adalah (a) iman, (b) intelektual, (c) kepribadian, dan (d) keterampilan peserta didik agar memiliki wawasan hidup yang berlandaskan Islam dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, anggota keluarga, warga masyarakat, maupun warga bangsa (Mappasiara, 2018:194). Demikian pula, pendidikan Islam yang mengantarkan pelajarnya bersikap moderat perlu tegak berdiri untuk memayungi berbagai jajaran realitas disharmoni sosial. Bahkan, pembinaan sikap moderat di lembaga pendidikan harus dilakukan secara kompherensif dan mencerminkan kesejatian nilai-nilai Islam (Sofiuddin, 2018:359). Lebih lanjut Sofiuddin (2018:362) mengungkapkan bahwa untuk dapat merealisasikan moderasi Islam di lembaga pendidikan membutuhkan materi, metode pengajaran sebagai pendekatan yang humanis-rasional. Bahkan, transformasi pendidikan Islam moderat dapat digunakan pendekatan fikih hukum, fikih dakwah, dan fikih politik. Ketiga pendekatan ini diarahkan untuk mentransmisikan ajaran Islam secara persuasif dan fleksibel sesuai dengan pemahaman agama seseorang yang didik. Hadirman 39

Azra (2003:41) mengungkapkan bahwa multikulturalisme merupakan pandangan dunia yang dapat diterjemahkan dalam kebijaksanaan kebudayaan yang menekankan terhadap penerimaan terhadap realitas pluralitas dan keragaman dalam kehidupan masyarakat. Saputra (2006:76-77), untuk membangun multikulturalisme di Indonesia, ada beberap upaya dapat dilakukan, yakni: (1) melalui pendidikan multikultural, (2) melalui prinsip lintas-budaya, (3) melalui prinsip kesetaraan dan keterbukaan yang kritis (terbuka pada budaya luar). Pelly (2003) dalam (Darlis, 2017:251), masyarakat multikultural adalah masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti lembaga pendidikan (kota, kabupaten, kampus, bahkan sekolah) yang individu-indivudu di dalamnya terdiri atas agama, etnik, budaya, bahasa yang berberbeda-beda dalam kesederajatan. Sementara itu, Rante dan Gunawan (2011:212), mengungkapkan bahwa masyarakat multikultural bersifat heterogen tidak homogen, di mana individu-indivisu di dalamnya memiliki hubungan sosial yang toleran, serta dengan sukarela menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara aman dan damai. Masyarakat multikultural dalam tulisan ini adalah keadaan masyarakat di dalamnya terdiri atas agama, etnik, budaya, bahasa yang berberbeda-beda dan saling berinterasi dalam kesamaan dan kesederajatan, serta memiliki hak dan peluang yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Rusmayani (2008:790) mengungkapkan bahwa penanaman nilai-nilai moderasi yang ideal kepada siswa-siswa di sekolah merupakan suatu upaya sistematis dan terencana untuk dapat membimbing, melatih, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan keagamaan yang moderat, serta spririt keagamaan siswa (akidah, tauhid, ibadah, dan akhlak). Penanaman nilai-nilai moderasi beragama (Islam) tersebut muaranya adalah diamalkan dalama kehidupan sehari-hari dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. 40 Moderasi Beragama

Lebih lanjut Rusmayani (2008:793) mengungkapkan bahwa penanaman nilai-nilai moderasi beragama (Islam) pada siswa perlu dilakukan dengan arif dan hati-hati agar tidak terjadi tafsiran-tafsiran yang berbeda pada saat mereka berinteraksi dengan siswa lain yang beragama lain. Terkait dengan moderasi Islam dilembaga pendidikan Islam, Thoha (2000:6) mengungkapkan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam yang dapat dijadikan sebagai barometer terciptanya moderasi beragama (Islam), serta memungkinkan diajarkan kepada siswa adalah berkaitan dengan: (a) pengajaran moderasi dalam keimanan, (b) pengajaran moderasi dalam ibadah, (c) pengajaran moderasi dalam akhlak. Moderasi beragama (Islam) dipahami tempatkan sebagai paham keagamaan keislaman yang mengejewantahkan ajaran Islam yang fundamental. Bahkan, moderasi beragama (Islam) menjadi wahana untuk mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah. Demikian pula dalam menyikapi perbedaan (agama maupun aliran kepercayaan) Islam moderat selalu mengedepan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran agama masing-masing. Muaranya adalah berbagai persoalan sosial- kemasyarakatan dapat diselesaikan dengan cara-cara elegan, kepala dingin, serti tidak anarkis/eskstim (Darlis, 2017:231). Lebih lanjut, Darlis (2017:233-234) mengungkapkan bahwa kemoderatan dalam Islam dalam disiplin ilmu akidah, fikih, tafsir, pemikiran, tasawuf, dan dakwah. Sehingga dalam perkembangannya akan melahirkan (1) moderasi akidah Islam, (2) moderasi akidah Islam, (3) moderasi fikih Islam, (4) moderasi tafsir Islam, (5) moderasi pemikiran Islam, (6) moderasi tasawuf Islam, dan (7) moderasi dalam dakwah Islam. Penanaman moderasi beragama (Islam) di lembaga pendidikan Islam dipahami sebagai upaya sekolah dan guru untuk mengajarkan kepada siswa perilaku hidup yang moderat, tidak radikal dan liberal. Hadirman 41

Moderasi Islam diajarkan dengan hati-hati dan sabar, serta dijelaskan pada aspek-aspek/batasan-batasan yang memungkinkan siswa bisa moderat. Dengan moderasi Islam yang ajarkan kepada siswa tersebut, akan terpatri pada anak terhadap wajah Islam yang santun, toleran, dan rahmatan lil alamin. Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. (2003). Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqafah, Vol. I, No. 2, 2003 Darlis. (2017). “Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural”, dalam Jurnal Rausyah Fikr, Vol. 13, No.2 Desember 2017. Kemenag RI, (2014). Radikalisme dan Tantangan Kebangsaan. Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam. Mappasiara. (2018). “Pendidikan Islam (Pengertian, Ruang Lingkup, dan Epistemologinya”, dalam Jurnal Inspiratif Pendidikan, Vol. VII, No.1, Januari-Juni 2018. Pransiska, Toni dan Nurul Faiqah. (2018). “Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam” Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai”, dalam Jurnal Ilmiah Keislaman Al-Fikra, Vol. 17, No.1 Januari-Juni 2018. Rusmayani, (2008). “Penanaman Nilai-Nilai Moderasi Islam Siswa Sekolah Umum”. Makalah disampaikan dalam Annual Coference for Muslim Sholars di UIN Sunan Ampel Surabaya, 21-22 April 2008. 42 Moderasi Beragama

Saputra, Pande Made. (2006). “Identitas Etnis dan Otonomi Daerah dalam Membangun Multikulturalisme di Indonesia, dalam I.G.B Pujaaswata (ed.) Wacana Antropologi. Denpasar: Fakultas Sastra Unud. Soedirjarto, (2008).”Terselenggaranya Satu Sistem Pendidikan Nasional (untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Kemajemukan Kebudayaan Nasional”, dalam Kenedi Nurhan (ed.), Industri Budaya, Budaya Industri. Jakarta: Badan Pekerja Konggres Kebudayaan Nasional. Sofiuddin, (2018). “Transformasi Pendidikan Islam Moderat dalam Dinamika Keumatan dan Kebangsaan”, dalam Jurnal Dinamika Penellitian: Komunikasi Sosial Keagamaan, Vo. 18, No.02, November 2018. Tilaar, H.A.T. (2008). “Manajemen Pendidikan Nasional yang Menjiwai UUD 1945”, makalah dalam KONAS PI, Bali, 17-18 November 2008. Yunus, Y., & Salim, A. (2018). Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA. Al- Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 181-194. Hadirman 43

Biografi Penulis Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum. lahir 10 Juli 1982 di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna (kini Muna Barat), Provinsi Sulawesi Tenggara. Menamatkan SD 1 Lawa (1995), SLTP Matakidi (1998), SMA Negeri 1 Lawa (2001). Menempuh pendidikan sarjana di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah FKIP Halu Oleo (2006). Gelar magister Linguistik (tamat 2009) dan doktor Kajian Budaya (tamat 2013) diperoleh dari Universitas Udayana. Peserta Sandwich-Like Dikti di Universitas Leiden-Belanda selama 4 bulan (September-Desember tahun 2013). Perjalanan karier sebagai dosen di IAIN Manado, sejak tahun 2016 s.d. sekarang. Menjabat Ketua Program Studi Sosiologi Agama FUAD IAIN 44 Moderasi Beragama

Manado (2019 s.d sekarang). Wakil Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PD PM) Kota Manado (2020 s.d sekarang). Mengampuh mata kuliah bahasa Indonesia, filologi dan studi naskah sejarah, arkeologi agama/Islam, dan sejarah lisan. Selain mengajar, aktif juga menulis dan menyunting jasa naskah buku (puluhan buku). Karya buku: (1) Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (2016); (2) Nyanyian Mistis Dedaunan (2016); (3) Tradisi Lisan Katoba pada Guyub Tutur Etnik Muna (2019); (3) Tradisi Katoba pada Masyarakat Etnik Muna: Makna, Nilai, dan Strategi Pelestariannya (2020); (4) Pengembangan Pertanian dan Peternakan Berbasis Kearifan Lokal dan Agro- Tekno Ekologis (2020); (5) Ekolinguistik: Konsep, Metode, dan Aplikasi (2020); dan (6) Tradisi Lisan Kabhanti pada Masyarakat Etnis Muna: Dimensi Ekologis, Kelisanan, dan Formula (2020); dan (7) Kabhanti Wuna: Ruang Imaji, Ideologi, dan Makna Sosio-Ekologis (2020). Website: hadirman.com dan kontak jasa konversi/penyuntingan buku: 085237210027. Hadirman 45

Moderasi Beragama dan Lembaga Pendidikan Islam Dr. Ishak Wanto Talibo, M.Pd.I. Dosen Institut Agama Islam Negeri Manado B angsa Indonesia sebagai negara dengan komposisi umat Islam paling banyak di duniamenjadi titik sentral dunia terkait dengan pelaksanaan moderasi beragama. Moderasi beragama sangat penting dalam kaitannya dengan keberagamaan bangsa dari aspek agama, suku, adat, bahasa, budaya, dan sebagainya. Dalam konteks ini, moderasi beragama harus dipahami dan ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap masyarakat, apa pun suku, etnis, budaya, dan agama saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan mereka (Akhmadi, 2019:49). Moderasi beragama secara hakikat tidak bermakna mencampuradukan kebenaran masing-masing agama dengan menghilangkan identitas atau jati diri masing-masing. Akan 46 Moderasi Beragama

tetapi, dalam moderasi beragama, masing-masing orang berkeyakinan diluar keyakinan atau agama yang mesti dihormat dan diakui keberdaannya.Oleh karena itu, kita perlu terus menerus bertindak dan beragama dengan cara moderat. Selain itu, antarpenganut agama menjunjung tinggi sikap hidup toleran antara satu dengan lainnya. Hal ini selaras dengan pandangan Fauzi (2018:233) bahwa moderasi beragama selalu mengedepankan sikap toleran, saling menghargai dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab. Sutrisno (2019:330) menyatakanbahwa moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik, dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif/ekstrem kanan dan liberal/ekstrem kiri. Quraish Sihab dalam (Zamimah, 2018; Fahri dan Zainuri, 2019:97) menyatakan bahwa salah satu pilar moderasi beragama adalah toleransi. Toleransi dalam pengertian ini adalah batas ukuran untuk menambah atau mengurangi sesuatu dapat diterima. Toleransi berupa penyimpangan yang semula harus dilakukan menjadi batas dilakukan, atau penyimpangan yang dapat ditoleransi/dibenarkan. Hal ini ditegaskan kembali Kenda (2019:26) bahwa toleransi dalam konteks moderasi beragama dipahami sebagai setara dalam pandangan, bersikap positif, dan menghargai orang lain dalam Abdul Jalil 47

menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia. Selain itu, dengan adanya pemahaman moderasi beragama yang baik, sikap saling menghormati, menghargai, dan menerima di tengah-tengah keragaman budaya, suku, etnis, bahasa, agama, dan kebebasan berekspresi. Bahkan, dengan adanya sikap toleransi dalam balutan moderasi beragama, warga suatu masyarakat/komunitas dapat hidup saling berdampingan secara damai, rukun, saling bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Lembaga pendidikan Islam yang dapat memberi ruang pada terciptanya moderasi beragama erat kaitanya dengan perkembangan dan respon lembaga tersebut dengan perkembangan zaman. Lembaga pendidikan yang dikelola secara modern relatif dapat memberikan ruang yang lebih luas untuk terciptanya pendidikan Islam yang moderat. Terkait dengan lembaga pendidikan Islam yang dikelola secara modern, Nata (2018:315) menguraikan ciri-cirinya sebagai berikut. 1. Memiliki visi, misi, dan tujuan yang dibangun dan ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan (dikatomi) antara ilmu agama dan ilmu umum, termasuk ilmu eksakta dan ilmu sosial. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut bertolak dari sifat dan karakteristik ajaran Islam yang berorientasi pada mutu yang unggul (the best quality), terbuka, demokratis, egaliter, inklusif, berorientasi ke masa depan, menghargai perbedaan pendapat, toleransi, sesuai fitrah manusia, dan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dantempat. 2. Memiliki kurikulum yang didasarkan pada pandangan tentang tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, dunia dan akhirat. Kurikulum ini terus 48 Moderasi Beragama

dikembangkan dari waktu ke waktu sejalan dengan tuntutan masyarakat, perkembangan ilmupengetahuan sertatuntutanduniakerja. 3. Didukung oleh proses belajar-mengajar yang berbasispada pemberdayaan siswa yaitu proses belajar-mengajar yang lebih interaktif, inspiratif, menggairahkan, menantang, memotivasi peserta untuk aktif, menumbuhkan prakarsa, kreativitas, kemandirian, sesuai dengan bakat dan minat, serta memberikan keteladanan. Melalui proses belajar- mengajar yang demikian, diharapkan dapat melahirkan peserta didik yang unggul, terberdayakan, serta penuh percaya diri. 4. Didukung oleh tenaga pendidikan dan kependidikan profesional yaitu sumber daya manusia yang selain memiliki keilmuan yang luas dan mendalam, yang didukung oleh latar belakang pendidikan yang relevan berasal dari perguruan tinggi yang recognize, juga memiliki keterampilan untuk mengajarkan atau mengamalkan ilmunya itu, serta didukung kepribadian yang baik dan etos kerja yang tinggi. Kriteria tenaga pendidik dan kependidikan yang demikian itu saat ini dijadikan standar penerimaan pegawai oleh lembaga pendidikan Islam yang unggul. 5. Memiliki calon peserta (input) yang unggul yang diseleksi dengan ketat. Seleksi ini dilakukan melalui seleksi administrasi, seleksi kompentensi, bakat dan minat, serta seleksi dasar-dasar keilmuan yang dilakukan secara lokal, maupun nasional. Seleksi ini dilakukan oleh tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya, dan dilakukan secara konsisten, objektif, dan transparan. Seleksi seperti dilakukan berbagai lembaga pendidikkan Islam yang unggul. Dengan input yang unggul dan dipadu dengan proses Abdul Jalil 49

pembelajaran yang memberdayakan sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat dihasilkan lulusan yang unggul dan bermutu tinggi. 6. Memiliki sarana dan prasarana yang sesuai standar nasional pendidikan yang baik, seperti ruang belajar yang baik dan mencukupi, tempat berolah raga, tempat ibadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi dan berekspresi, serta sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Pemenuhan sarana dan prasarana ini diupayakan oleh lembaga pendidikan Islam yang modern dengan menggalang bantuan dana pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, serta dari berbagai sumber dana lainnya. 7. Memiliki sistem pengelolaan yang profesional dan andal yang berkaitan dengan penyusunan program tahunan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, perbaikan, dan penilaian. Berbagai komponen yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti sarana dan prasarana, kurikulum, sumber daya manusia, biaya, lingkungan, dan sebagainya, dipastikan berjalan secara profesional dan andal. 8. Memiliki lingkungan yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan belajar-mengajar dan lainnya, yang memadai.Dengan lingkungan pendidikan yang demikian itu, diharapkan akan menimbulkan rasa betah, inspirasi, kreatif, dan inovasi para siswa. Lingkungan yang demikian itu, diwujudkan dengan suasana akademik yang kental, tradisi ilmiah yang tinggi, serta dengan menerapkan program lima K yaitu kebersihan, ketertiban, keamanana, keindahan, dankenyamanan. 50 Moderasi Beragama

Tantangan terbesar lembaga pendidikan Islam adalah mendidik peserta didik agar bersikap toleran dan membumikan moderasi beragama di dalamnya. Haryani (2020:148) mengatakan bahwa tantangan lembaga pendidikan Islam dalam mempromosikan nilai toleransi dan penghargaan keragaman agama tidak terletak pada sebatas persoalan kurikulum, melainkan pada kemampuan kepemimpinan di lembaga pendidikan Islam dalam mengelola lingkungan dan ruang publik lembaga pendidikan yang mendorong kekebasan dan tradisi berpikir kritis. Dalam konteks ini, kepemimpinan di lembaga pendidikan Islam perlu memahami materi untuk menangkal intoleran dan menghentikan penyebarannya baik melalui tulisan maupun lisan. Hal ini dapat mengantisipasi bertumbuh- kembangnya paham intoleran dan antikebhinekaan. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan Islam berperan dan berfungsi dalam pengembangan masyarakat yang moderat (Wekke, 2013). Bahkan, lembaga pendidikan Islam dapat menjadi pilar dalam membumikan dan memperkuat gagasan moderasi beragama. Idealnya, lembaga pendidikan Islam tidak semata-mata menjadi sarana penyebaran keagamaan (Islam), atau sarana untuk melakukan Islamisasi bagi orang-orang yang berada di luar paham Islam. Akan tetapi, lembaga pendidikan Islam harus memberikan dampat yang positif dan menghadirkan rasa keadilan dalam dimensi pendidikan keagamaan yang moderat. Lembaga pendidikan seyogianya berusaha menghadirkan pendidikan moderasi beragama. Bila lembaga pendidikan sudah melakukan dan mempraktikan pelaksanaan agama yang moderat dalam lembaga pendidikan tersebut, akan lebih mudah peserta didiknya mengimlementasikannya pada Abdul Jalil 51

masyarakat luas. Dengan demikian, moderasi beragama di lembaga pendidikan harus dipahami secara kontekstual dan aplikatif. Bahkan, moderasi beragama di lembaga pendidikan Islam diharapkan dapat menjawab berbagai problematika dan keberagaman dan peradaban global. Murtadlo (2019) dalam (Haryani, 2020:155-156) dalam kajiannya tentang moderasi beragama pada lembaga pendidikan keagamaan dan Seminari di Jawa Timur merekomendasikan perlunya pendidikan moderasi beragama dikenalkan kepada anak muda sedini mungkin. Hal ini penting agar generasi muda Indonesia mengenal perbedaan, kergaman, dan siap untuk hidup bersama. Peran guru di lembaga pendidikan Islam sangat penting dalam mengenalkan moderasi beragama. Sedikit guru agama memberi peluang berkembangnya paham intoleran, maka dari itu akan menyumbang berkembangnya radikalisme agama dalam masyarakat luas. Kaitan moderasi beragama dengan lembaga pendidikan Islam diungkapkan pula Sutrisno (2019:341) yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan (Islam) sangat tepat menjadi “laboratorium moderasi beragama”. Sekolah/madrasah sebagai institusi pendidikan dapat menumbuhkan pola pikir moderasi beragama dalam kondisi bahwa pandangan eksklusif dan esktremisme kekerasan dalam jubah agama akan merusak sendi-sendi kehidupan dan kebangsaan yang majemuk. Lembaga pendidikan menjadi sarana tepat guna menyebarkan sensitivitas peserta didik pada ragam perbedaan. Widodo dan Karnawati (2019:11) mengungkapkan bahwa dalam konteks moderasi beragama dan lembaga pendidikan, Islam moderat yang diyakni umat Islam dapat membuahkan pemikiran untuk membuat kurikulum di 52 Moderasi Beragama

lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan moderasi beragama di Indonesia. Sauqi Futaqi dalam Widodo dan Karnawati (2019:12) menyatakan bahwa menggagas suatu pendekatan kurikulum pendidikan Islam yang moderat dengan menggunakan pendekatan: (1) kontributif yaitu dengan menyisipkan konten tertentu dalam mata pelajaran seperti tokoh-tokoh Isalam dari Nusantara; (b) adiktif yaitu dengan menambah konten, tema dan perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasar, tujuan, dan karakteristik kurikulum; (c) transformatif yaitu dengan mengubah tujuan mendasar, struktur, dan perspektif kurikulum, sehingga memungkinkan peserta didik melihat konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai sudut pandang; dan (d) aksi sosial yaitu mencakup semua elemen pendekatan transformatif namum menambahkan komponen yang mengharuskan peserta didik membuat keputusan dan mengambil tindakan yang terkait dengan konsep dan masalah yang dihadapi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan Islam, idealnya menjadikan manusia saling menghargai perbedaan dan membumikan moderasi beragama. Lembaga pendidikan Islam seyogianya mentransmisi pengetahuan kepada peserta didiknya yang memiliki konten keterbukaan, moderasi, dan kedamaian, bukan ketertutupan, ekstrem, dan kekerasan. Lembaga pendidikan Islam sejatinya menjadi lahan tersemainya gagasan kebangsaan, menanamkan nilai-nilai keragaman, membawa pesan agama dengan lebih damai, dan menebarkan cinta pada kemanusiaan. Hal ini, dapat terwujud apabila ada kurikulum yang berorientasi pada moderasi beragama. Abdul Jalil 53

Daftar Pustaka Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia. Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 45- 55. Fahri, Mohamad dan Ahmad Zainuri. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia. Jurnal Intizar, Vol. 25, No. 2, Desember 2019. Fauzi, Ahmad. (2018). Moderasi Islam, untuk Peradaban dan Kemanusiaan. Jurnal Islam Nusantara, Vol. 02. No. 02 Juli-Desember 2018. Haryani, Elma. (2020). Pendidikan Moderasi Beragama untuk Generasi Milineal: Studi Kasus „Lone Wolf‟ pada Anak di Medan. Edukasi-Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 18 (2), 2020, 145-158. Nashuddin. (2020). Aktualisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Merevitalisasi Pemahaman Moderasi pada Lembaga Pendidikan di Indonesai. Shemata-Jurnal Pacasarnana IAIN Mataram, Vol 9, No,1 (2020) Nata, Abuddin. (2018). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Pranadamedia Group. Sutrisno, Edy(2019). Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan. Jurnal Mimas Islam, Vol. 12. No.2 (2019). 54 Moderasi Beragama

Tim Penyusun Kemenag. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kementrian Agama RI. Wekke, Ismail Suardi. 2013. “Lembaga Pendidikan sebagai Pilar Dakwah di Wilayah Minoritas Muslim” dalam Jurnal Dakwah Alhikam, Vol. 4, No. 2 (2013). Widodo, Priyantoro dan Karnawati. (2019). Moderasi Agaama dan Pemahaman Radikalisme di Indonesia. Pasca- Jurna Teologia dan Pendidikan Agama Kristen, Volume 15, Nomor 2, Oktober 2019. Abdul Jalil 55

Biografi Penulis Dr. Ishak Wanto Talibo, M.Pd.I. dilahirkan di Binjeita, Kabupaten Bolaang Mangondow, pada tanggal 9 Oktober 1968. Ia menempuh pendidikan dasar pada Sekolah Dasar Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah tamat tahun 1980. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SMP Negeri Bolang Itang tahun 1983. Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Kotamobagu diselesaikan tahun 1987. Gelar sarjana lengkap (Drs.) bidang Pendidikan Agama Islam diperolehnya di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Gorontalo pada tahun 1992. Gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I.) diraihnya di Program Pascasarjana IAIN Alauddin Ujung Pandang (kini UIN Alauddin Makassar) tahun 2006. Gelar Doktor diselesaikan pada tahun 2016 di UIN Alauddin Makassar. 56 Moderasi Beragama

Sejak tahun 2002 sampai sekarang, penulis menjadi dosen tetap di Jurusan Tarbiyah STAIN Manado (kini IAIN Manado). Di lingkungan IAIN Manado, ia beberapa kali dipercaya memegang jabatan antara lain Ketua Program Diploma tahun 2003, Sekretaris Jurusan Tarbiyah tahun 2004 dan 2007, Ketua Program Ketua Program Studi Manajemen Islam tahun 2008 s.d. 2010, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam tahun 2014 s.d. 2018, Wakil Dekan III FTIK tahun 2019, dan Kepala Pusat Studi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LP2M IAIN Manado tahun 2019 s.d. sekarang. Selain itu, penulis mengikuti pengembangan dan penguatan kapasitas LP2M se-Indonesia di beberapa perguruan tinggi di Bangkok-Thailand pada tahun 2019. Karya ilmiahnya berupa artikel hasil penelitian dan pemikiran konseptual, dimuat di berbagai jurnal ilmiah dan prosiding. Ia juga telah menerbitkan beberapa buku antara lain: Perencanaan Pengajaran Suatu Pedoman Praktis (STAIN Manado Press, 2013), Fungsi Manajemen dan Aplikasinya pada Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Penerbit LP2M IAIN Manado, 2015). Abdul Jalil 57

Laboratorium Kebinekaan (Sebuah RefleksiPraktik “Moderasi Beragama” Pada Institusi Sekolah di Kendari) Abdul Jalil, S.H.I., M.A., M.E.I Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo D iskursus multikulturalisme bukan hanya sekedar pemahaman atas makna dari multikulturalisme, tetapi jauh lebih penting adalah pengejawantahan dari multikulturalisme itu sendiri yakni sebuah praktik langusng, bagaimana seseorang ketika melihat contoh- contoh di lapangan atau pengalamannya selama berinteraksi dengan lingkungan yang syarat dengan perbedaan, bahkan bersentuhan langsung dalam isu-isu multikulturalisme, yang bersangkutan dapat menerimanya sebagai sebuah keniscayaan. Misalnya dalam sebuah pencalonan tertentu dalam berdemokrasi, adanya pemberian ruang yang sama kepada setiap individu untuk memilih dan dipilih setelah yang bersangkutan mempunyai syarat umum yang dikehendaki aturan, meskipun yang bersangkutan berangkat dari kelompok 58 Moderasi Beragama

yang kecil atau minoritas. Kemudian jika dalam proses demokrasi tersebut kelompok minoritas menjadi pemenagnya, maka hal yang paling tepat adalah memberikan dukungan penuh atas kemenagan tersebut karena publik juga mempercayainya. Ide yang serupa pernah diteliti oleh Jalil (2017) dengan sebuah judul penelitian Praktik Multikulturalisme di Sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa praktik ibadah sejak dini mampu memberikan nilai lebih kepada peserta didik setingkat Sekolah Dasar dengan memahami agama yang dipeluknya sejak dini. Selain itu, terminologi laboratorium menunjuk tempat yang menjadi rujukan atau praktik tentang sesuatu dengan alat-alat atau perangkat yang lengkap, adanya para ahli dan para peserta untuk praktik tentang sesuatu. Sebuah misal, masjid UIN Sunan Kalijaga, para pendiri lebih menggunakan jargon laboratorium agama, hal ini terilhami dari konsepnya Amin Abdullah yakni perlunya konsep integratif-interkonektif, yaitu menghubungkan ilmu agama dengan ilmu umum sehingga namanya menjadi Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya (Abdullah, 2006). Kata ini juga digunakan oleh kemendikbud dengan sebutan Laboratorium Kebinekaan, yang menyajikan keberagaman bahasa dan sastra daerah di seluruh Indonesia. Jika ditelusuri lebih lanjut, di balik keberagaman bahasa daerah tersebut ditemukan adanya berbagai kesamaan, misalnya kesamaan dalam hal kosakata. Berikut isi dari labbineke ini: Peta persebaran bahasa daerah di Indonesia; Contoh 200 kosakata dasar swadesh, yaitu kosakata terkait budaya dasar dari berbagai bahasa daerah di Indonesia; Video tuturan sastra lisan, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat dari berbagai daerah di Indonesia; Pohon kekerabatan bahasa hasil analisis Abdul Jalil 59

kekerabatan antarbahasa daerah di Indonesia dan Ekspresi dan transkripsi berbagai bahasa daerah di Indonesia (https://labbineka.kemdikbud.go.id/bahasa/tentang). Adapun moderasi beragama berarti dimaknai perlunya beragama secara moderat, tengah-tengah, wasathiyah, tidak condong kanan atau kiri, dengan tanpa menghilangkan substansi seseorang dalam beragama. Lebih tepatnya adalah sikap seseorang terhadap praktik agama seseorang maupun terhadap keagamaan dirinya. Sudah banyak istilah ini digunakan oleh perguruan tinggi Islam atau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, termasuk para penelitinya, misalnya Akhmadi (2019), hasilnya menunjukkan bahwa dalam kehidupan multikultural diperlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Diperlukan sikap moderasi beragama berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Penelitian lain Fahri, M., & Zainuri, A. (2019), hasilnya menunjukkan bahwa radikalisme atas nama agama dapat diberantas melalui pendidikan Islam yang moderat dan inklusif. Hali ini dapat ditunjukkan dengan sikap berkeseimbangan, lurus dan tegas/i‟tidal, toleransi, egaliter, musyawarah, dan penuh kedamaian serta inovatif dan dinamis. Sebuah Refleksi Atas Praktik Lapangan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Baruga Kota Kendari menurut hemat penulis merupakan “Laboratorium Kebhinekaan” mengingat di SDN ini setiap hari Jumat telah melakukan praktik beribadah bagi pemeluknya. Siswa-siswi SDN 1 Baruga setiap Jumat melakukan praktik sembahyang 60 Moderasi Beragama

atau salat dengan nyaman. Bagi siswa-siswi SDN yang beragama Islam (muslim) melakukan praktik beribadah di halaman sekolah karena jumlah siswa-siswi sekitar 600an, maka praktik ibadahnya di halaman sekolah yang biasa digunakan untuk upacara bendera. Sementara bagi yang Kristen-Protestan dan Kristen Katholik dijadikan menjadi satu ruang kelas dengan didampingi guru agama Kristen/Protestan untuk melakukan ibadah juga. Adapun bagi yang beragama Hindu juga melakukan praktik ibadah di ruang kelas dengan dipandu guru agama Hindu. Praktik ibadah tersebut ternyata sudah ada sejak tahun 2000 dan hanya inisiatif dari pimpinan institusi yang kemudian diteruskan pada pimpinan berikutnya. Kebijakan ini bukan karena ada instruksi atau surat edaran dari dinas pendidikan pemerintah kota Kendari. Bisa jadi memang praktik ibadah semacam ini perlu diapresiasi terutama bagi mereka yang memimpikan kehidupan yang damai, karena tidak semua sekolah-sekolah memberlakukan praktiki ibadah. Satu hal yang memprihatinkan bahwa pembelajaran agama yang hanya beberapa jam saja di ruang kelas tentu dianggap kurang dan tidak mampu membentuk karakter siswa-siswi yang beragama secara baik, mereka dapat beragama sejak dini dengan tetap bisa hidup berdampingan dengan temannya yang beragama lain. Kondisi ini yang kemudian ditangkap oleh pimpinan sekolah kemudian diamini oleh para pendidik di SDN 1 Baruga. Dari sini telah disepakati bahwa perlunya inisiatif penambahan jam tambahan agama melalui praktik-praktik beragama agar siswa-siswi lebih mencintai agamanya sejak dini. Menumbuhkan rasa cinta dan pemaknaan agama yang dianutnya adalah sebuah ijtihad besar yang harus didukung. Abdul Jalil 61

Pembinaan Multikulturalisme Nilai-nilai multikulturalisme di SDN 1 Baruga tidak hanya dipraktikkan dilingkungan sekolah semata, melainkan juga diluar sekolah, hal ini dapat dilihat ketika ada pertemuan- pertemuan yang diselenggarakan oleh komite sekolah. Selain juga melalui pembinaan pemahaman multikulturalisme di dalam lingkungan keluarga. Orang tua siswa-siswi yang tergabung dalam anggota komite sekolah membuat program yang biasa dilakukan oleh sekolah lain, hanya pada SDN 1 Baruga lewat Family Gathering, penanaman nilai-nilai multikulturalisme dapat berkembang dengan baik. Biasanya nilai-nilai universal yang semua agama juga mengajarkannya menjadi tolak ukur pembinaan. Seperti halnya ulas-asih terhadap sesama, tenggang rasa, dan saling menghargai satu sama lain. Bagi siswa-siswi yang Katholik relevansi pemahaman agama terkait dengan nilai multikulturalisme di luar sekolah, misalnya dengan melaksanakan apel bersama, melaksanakan rekoleksi (pendalaman iman) Paskah dan Imtaq setiap hari jumat di sekolah. Pada saat yang lain, pemahaman siswa-siswi dalam memahamai multikulturalisme adalah pada proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Negara, Agama dan Sosiologi. Secara tidak langsung, tanpa adanya pemberian materi tentang keberagaman melalui pelajaran di sekolah, mereka sudah menyadari betapa pentingnya kita sebagai makhluk sosial menjaga keharmonisan dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik dan perpecahan sehingga kita dapat hidup berdampingan. Meskipun ada jarak yang membatasi tetapi tetap saja hal itu tidak boleh menjadi pemicu timbulnya rasa benci dan hal-hal yang membawa kita kepada perpecahan. Dalam kegiatan proses belajar mengajar 62 Moderasi Beragama

pun tidak pernah ada singgungan mengenai „perbedaan‟, pada saat belajar mereka tetap belajar dengan normal tanpa ada masalah apapun. Kesadaran para Siswa/siswi tentang pentingnya toleransi telah mereka dapatkan dari keluarga. Keluarga merupakan agen sosial yang utama dalam proses pembentukkan kepribadian anak. Oleh karena itu, keluarga utamanya Orang Tua tentu harus selalu memberikan pengertian dan contoh yang baik kepada anak-anak mereka. Kemudian lingkungan pergaulan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi cara pandang seorang anak terhadap sesuatu hal yang sangat sensitive. Siswa/siswi pada Institusi Sekolah, sama sekali tidak melihat perbedaan sebagai suatu hal yang menjadi penghalang mereka untuk bersosialisasi. Sebagai minoritas, para siswa/siswi tidak merasa dikucilkan ataupun merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Bagi mereka, semua adalah sama dan tidak ada saling membeda-bedakan. Saling menghargai, menghormati dan toleransi adalah kunci agar tidak terjadi konflik atau perselisihan. Bentuk-bentuk toleransi lain yang diterapkan oleh siswa- siswi adalah pada saat perayaan natal, para siswa-siswi merayakan natal bersama dan mengundang teman siswa-siswi dari agama lain untuk makan bersama di rumah dan saling bertukar hadiah. Respon yang didapatkan dari siswa-siswi agama lain adalah respon yang positif, seperti mengucapkan selamat hari natal kepada siswa Katolik yang merayakan natal. Selain itu, sikap keimanan juga diterapkan oleh siswa-siswi Katolik pada saat pendalaman iman di gereja. Sementara keterlibatan agama lain terutama dalam peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad, mereka siswa-siswi selain Islam Abdul Jalil 63

adalah membawa kado atau kue dari rumah, kemudian dihimpun menjadi satu dengan kado atau kue dari siswa-siswi keseluruhan untuk kemudian dibagikan secara merata. Selain itu, gerakan sedakah setiap Jum‟at Rp.1000,00 (seribu rupiah) yang ditaruh di kotak infak masjid sekolah atau mushola dapat digunakan saat-saat peringatan hari besar Islam disekolah. Simpulan Belajar beragama sejak dini tentu akan melahirkan sikap pendewasaan beragama secara matang. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam praktik-praktik ibadah untuk siswa-siswi setingkat Sekolah Dasar memang dijadikan menjadi satu ruang karena lebih pada praktik berdoa, baik dalam memulia pelajaran maupun makan bersama. Hampir setiap hari ini yang dilakukan, maka mereka akan hafal bahkan paham betul pentingnya berdoa dalam setiap memulai kegiatan. Sementara bagi setingkat SMA seperti SMAN 1 Kendari, kedua siswa- siswi yang beragama Kristen dan katholik sudah dipisah karena wilayah yang disampaikan sudah meningkat, paling tidak mulai membaca kitab suci yang biasa mereka baca di setiap sembahyang. Untuk yang beragama Islam, baik yang tingkat SD maupun SMA biasanya dilapangan, selain memang jumlahnya paling banyak juga diperlukan gerakan seperti saat melaksanakan aktivitas salat. Selain praktik ibadah, juga ada siraman rohani oleh peserta didik yang sudah dijadwalkan. Bagi mereka yang tidak mengikutinya atau telah, biasanya ada perlakukan yang berbeda. Selain harus langsung menyesuaikan saat datang atau diliar pagar, juga akan dapat sanksi berupa membersihakan waterclose/kamar kecil juga beberapa halaman yang masih banyak ditemukan sampah. 64 Moderasi Beragama

Saran Faktor terberat yang sampai saat ini saya rasakan sebagai pengampu mata kuliah multikulturalisme adalah ada nuansa atau rasa yang kurang totalitas dalam melakukan penelitian lapangan, terutama isu-isu moderasi beragama atau multikulturalisme, utamanya bagi mereka yang secara pemahaman keagamaanya kurang kuat, model praktik kuliah lapangan seperti ini tidak sepenuhnya mudah. Bukti ini bisa dilihat ketika dibagikan kelompok dengan melakukan penelitian berupa konsep pemahaman multikulturalisme secara merata. Sudah pasti, jumlah peneliti atau mahasiswa antropologi termasuk peserta didik yang akan diteliti, secara kuantitas muslim lebih banyak, maka ketika dibagi rata, terutama yang muslim melakukan penelitian dengan melihat praktik ibadah siswa-siswi yang beragama selain Islam atau sebaliknya, tidak secara langsung diterima. Masih ditemukan beberapa peneliti atau mahasiswa yang beragama Islam menolak pembagian ini. Padahal dalam konteks ilmu antropologi, seharusnya berani melakukan penelitian diluar kebiasaan kita atau meneliti orang lain agar unsur obyektifnya bisa dipertanggungjawabkan, baik bagi aspek etik maupun emik. Daftar Pustaka Abdullah, M. A. (2006). Islamic studies di perguruan tinggi: pendekatan integratif-interkonektif. Pustaka Pelajar. Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia. Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 45-55. Abdul Jalil 65

Fahri, M., & Zainuri, A. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia. Intizar, 25(2), 95-100. Jalil, Abdul (2017) Praktik Multikultualisme di Sekolah Dalam prosiding Konferensi 60 Tahun Antropologi Indonesia dengan tema: Refleksi Kontribusi 60 Tahun Antropologi untuk Indonesia oleh Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi FISIP, UI. https://labbineka.kemdikbud.go.id 66 Moderasi Beragama

Biografi Penulis Saya adalah Abdul Jalil, sejak tahun 2015 menjadi bagian dari keluarga besar Universitas Halu Oleo Kendari sebagai Tenaga Pengajar di Antropologi Fakultas Ilmu Budaya. Pendidikan S1 saya, dari Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga dengan gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) dari jurusan AhwalSyakhsiyyah (AS) lulus tahun 2004. S2 saya MasterofArt (M.A) dari Antropologi UGM lulus tahun 2010, selain juga memiliki Magister Ekonomi Islam (MEI) tahun 2012 dari pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Keuangan dan Perbankan Syari‟ah. Beberapa karya dapat dikunjungi pada link dibawah ini: https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=7drz1hIAAAAJ Abdul Jalil 67

Merawat Keragaman Merayakan Perbedaan: Pengalaman Dari Yogya Ilyas Yasin, S.Ag., M.MPd. Dosen STKIP Yapis, Dompu, NTB) P ada November-Desember 2010 saya berkesempatan mengikuti Short Course Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Yogyakarta. Kegiatan ini diperuntukkan bagi para dosen muda di lingkungan Diktis Kemenag bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi umum maupun agama di Tanah Air seperti UI, UNJ, serta dengan beberapa UIN/IAIN sendiri. Meski waktu normal kursus singkat ini hanya berlangsung dua bulan, namun meletusnya Gunung Merapi pada awal November itu---yang juga menewaskan sang juru kunci Mbah Marijan---menyebabkan jadwal kegiatan molor sampai pertengahan Januari 2011. Kendati jarak Merapi demgam UGM cukup jauh (sekitar 60 KM), namun abu vulkanik yang disemburkannya memaksa kami, 18 peserta, 68 Moderasi Beragama

harus bergabung dengan ribuan gelombang pengungsi agar keluar sementara waktu dari Yogya. Saya, bersama dengan dua teman peserta lainnya, memilih mengungsi ke kerabat di Jakarta. Pihak otoritas menyatakan Yogya cukup aman tapi muntahan lahar Merapi menyebabkan seluruh wilayah Kota Pelajar itu tertutupi debu. Di atas atap bangunan maupun di jalan-jalan debu putih yang menempel cukup tebal. Di samping berpotensi menimbulkan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), abu vulkanik ini juga mengeluarkan bau belerang yang cukup menyengat sehingga orang harus menggunakan masker jika keluar rumah. Aktivitas ekonomi, pendidikan dan pemerintahan bisa dikatakan lumpuh karena orang enggan keluar rumah. Di jalanan juga terlihat sepi kecuali satu dua kendaraan serta kesibukan sejumlah elemen, termasuk mahasiswa, yang menggalang bantuan maupun menawarkan bantuan masker kepada warga yang dipusatkan di Balairung UGM. Tetapi yang membuat kami pasrah dan akhirnya harus benar-benar meninggalkan Yogya adalah urusan perut. Hampir semua warung makan, termasuk warung di dekat kos, tempat kami menikmati „Sarmento‟ (Sari Mi Telor) maupun bubur kacang ijo, tutup. Berhari-hari warung milik Si Akang orang Sunda ini tidak kunjung buka sehingga pilihannya ya...harus ikut ngungsi. Setelah hampir dua pekan „kabur‟ ke Jakarta dan „batuk‟ Merapi mereda barulah kegiatan kami bisa dilanjutkan. Selama mengikuti kegiatan ini, secara kebetulan saya dengan rekan peserta Abdul Manaf Tubaka, dosen Sosiologi Agama IAIN Ambon, satu indekos di belakang kampus CRCS UGM, Ngaglik, Sleman. Tapi dari tempat kos sederhanalah inilah kali pertama saya mencoba menyelami kosmologi hidup orang Jawa maupun dalam konteks Yogya sebagai „the city of Ilyas Yasin 69

tolerance‟. Terus-terang, meski tergolong pemamah buku waktu kuliah di Makassar dulu, tapi saya tetap mengalami kesulitan memahami apalagi menghayati secara sublim pandangan dunia (world-view) orang Jawa. Modal hobi membaca zaman kuliah, ditambah melihat filsafat hidup „aneh‟ Mas Karyo yang meyakini adanya hubungan antara memelihara burung dengan rezeki dalam serial TV paling populer era 1990-an “Si Doel Anak Sekolahan” hanya sedikit memberi saya wawasan bahwa orang Jawa atau masyarakat Jawa itu memiliki “pandangan kosmologis yang unik, punya sistem kekerabatan yang rumit dan kompleks, serta menjunjung harmoni”. Kurang lebih itulah gambaran saya tentang masyarakat Jawa, sebuah gambaran abstrak yang tentu saja tetap sulit saya cerna. Di sisi lain, kuatnya pengaruh Sri Sultan dan Keraton Yogya dalam struktur maupun kultur masyarakat Jawa membuat saya makin tak mengerti: kok bisa ya dalam alam demokrasi seperti sekarang orang masih mau tunduk dan hidup di bawah monarki? Kok mau-maunya mereka menjalani hidup dalam kepatuhan feodalistik? Ketidakmengertian saya tidak kunjung berubah bahkan ketika pertama kali saya berkunjung dalam rangka sebuah studi banding ke Keraton Yogya pada 2004. Melihat para abdi dalem yang berpenampilan khas Jawa---menggunakan blankon, tanpa alas kaki bahkan sebagian tak berbaju (laki-laki), apalagi mendengar penjelasan bahwa mereka tidak mengharapkan upah demi pengabdian mereka kepada Keraton, membuat saya makin „gagal paham‟. Begitu pula dengan sikap mas sopir taksi yang saya tumpangi saat mengikuti kursus singkat pada 2010 itu. Bersamaan dengan hangatnya status „keistimewaan Yogyakarta‟---karena pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ngotot hendak memaksakan Pilkada terhadap posisi gubernur DIY, 70 Moderasi Beragama

sedangkan sebelumnya secara otomatis melekat dalam diri Sultan----sang sopir secara sinis mencibir bahwa SBY itu tidak mengerti kebudayaan masyarakat Yogya. Dia juga memplesetkan nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi „Sumber Bencana Yogya‟. Selain kamar yang saya tempati dan Abdul Manaf, masih terdapat lima kamar lain yang juga ditempati mahasiswa dan satu kamar lagi yang tidak berpenghuni. Sedangkan pemilik kos Bu Asih dan suaminya---yang biasa kami sapa Pakde dan Bude---tinggal di rumah yang tersambung dan berhadapan dengan deretan kamar-kamar kos yang disewakan itu. Menjelang Natal pada 2010 itu Pakde kedatangan rombongan tamu sekeluarga dari Jakarta. Rupanya mereka adik perempuan Pakde beserta suami dan anaknya yang „mudik‟ merayakan Natal. Keluarga ini kemudian menempati salah satu kamar kosong kos tadi. Di samping tempat tidur dan perabotan lainnya, dari dalam kamar saya melihat saudara perempuan Pakde itu mengeluarkan dan membersihkan patung Bunda Maria dan tanda salib. Di pagi Natal itu keluarga baru ini pun bersiap-siap hendak berangkat mengikuti kebaktian di gereja terdekat. Meski tinggal dan bekerja di Jakarta tapi keluarga muda ini berpenampilan sederhana layaknya orang Jawa udik. Sang istri berkebaya murahan dan putrinya berusia 5 tahun dirias seadanya, sedangkan suami bercelana hitam dan memakai batik lengan panjang. Kulit dan wajah suami terlihat hitam legam---pertanda kerasnya perjuangan hidup di Ibukota. Dari cerita Bude saya tahu kalau adik ipar dan suaminya tersebut bekerja di sebuah panti asuhan Katolik di Jakarta. Sesaat darah saya terkesiap karena baru sadar kalau keluarga Jawa ini kawin campur. Meski adiknya sudah Ilyas Yasin 71

mengikuti agama suaminya tapi Pakde dan istrinya ini terlihat rukun dan sayang dengan saudaranya. Bahkan seorang keponakan perempuannya yang masih mahasiswa dan menempati salah satu kamar kos di situ, di pagi itu dan dengan wajah tulus nan sumringah, menyalami dan ikut memberikan ucapan selamat Natal kepada keluarga yang berbeda keyakinan ini. Padahal Pakde dan Bude termasuk Muslim yang taat. Bude misalnya, setiap pekan rajin mengikuti pengajian Muhammadiyah di sekitar kampungnya. Keluarga Pakde juga saya perhatikan cukup akrab dengan tetangga di depan kos yang---belakangan baru saya tahu---juga beragama Katolik. Mereka sesekali terlibat dalam percakapan, saling menyapa dan canda dalam bahasa Jawa halus. Nyaris tidak terlihat sekat- sekat psikologis karena perbedaan keyakinan. Pakde sendiri, dalam kesehariannya, juga menampilkan pribadi orang Jawa: ramah, murah senyum, bicaranya pelan dan santun. Di rumah joglo kecil nan sederhana yang ditempatinya, bahkan kerap bocor kala hujan ini Pakde---yang kerjanya serabutan----terlihat hidup tenang dan bahagia dengan istri terkasihnya---bu Asih---beserta Wulan, puteri bungsunya yang masih duduk di kelas dua SMP. Kendati kemiskinan menderanya, tapi saya tetap menangkap aura kedamaian pada keluarga Jawa ini. Setiap pagi, dengan ramah Bude selalu menawarkan saya segelas kopi ditemani pisang goreng hangat. Kala siang atau malam sunyi, dari ruang tamu sayup-sayup terdengar alunan lembut suara Pakde yang menyanyikan tembang-tembang Jawa. Meski tidak sepenuhnya saya pahami, tapi nada-nada melankolis itu menembus kamar kos saya serta menebarkan aura kedamaian. Terasa tenang dan menentramkan. Adem. Dalam pekatnya malam bumi terasa damai. Indah sekali. Tembang-tembang Jawa Pakde 72 Moderasi Beragama

mengingatkan saya pada tokoh Romo, yang suka menyanyikan lagu Jawa, dalam serial drama “Losmen” tahun 1980an yang dibintangi Mathias Muchus. Sebagai orang dari suku Bima-Dompu, atau bahkan bagi orang non Jawa umumnya, tentu saja perkawinan beda agama dalam pandangan saya saat itu adalah persoalan besar. Seperti beberapa daerah lain dimanaidentitas keislaman menyatu dengan identitas kesukuan (Lombok, Banjar, Bugis, Makassar, Betawi, Padang dan Aceh) tentu saya tidak paham kalau masyarakat Jawa memiliki pandangan kosmologis tersendiri. Jika dalam suku-suku di atas ikatan kekerabatan itu disatukan atau dipertemukan oleh “agama” maka dalam konteks masyarakat Jawa justru sebaliknya: ikatan kekerabatan itu disatukan oleh “budaya”. Itulah sebabnya mengapa orang Jawa tetap bisa akur dan harmonis meski berbeda agama atau keyakinan karena mereka merasa tetap berasal dari akar budaya yang sama (common culture). Dengan kata lain, secara sederhana dapat dikatakan bahwa “agama”---dalam kesadaran kosmologis orang Jawa--- ditundukkan di atas “budaya”. Sedangkan bagi kaum Muslim non-Jawa, unsur perekat itu bukan budaya melainkan agama. Itulah sebabnya bagi Muslim non-Jawa, meski berasal dari kelompok etnis atau kewarganegaraan yang berbeda, namun mereka langsung merasa „bersaudara‟ karena dipersatukan oleh “agama” (Islam} itu tadi. Sebaliknya, jika seorang Muslim telah berpindah keyakinan (murtad) maka garis kekerabatan itu biasanya terputus dengan sendirinya, meski dengan saudara kandung sekalipun. Ini sesuai dengan doktrin, sebagaimana dalam rumusan fiqih Islam klasik, bahwa seorang yang telah murtad bukan saja kehilangan sejumlah haknya--- antara lain hak waris dan hak perwalian---melainkan Ilyas Yasin 73

juga diancam dengan hukuman dibunuh. Nah, apakah dalam kehidupan kaum Muslim Bima-Dompu kontemporer mereka masih berpegang pada prinsip-prinsip ini, kiranya menarik untuk diteliti. Tetapi secara subjektif, seiring dengan isu HAM maupun fakta sejumlah kecil Muslim Bima-Dompu telah melakukan perkawinan campur, saya melihat mulai terjadi pergeseran pandangan dalam menyikapi realitas perkawinan beda agama. Sikap yang mulai longgar juga terlihat dari realitas profesi pelepas hutang alias membungakan uang di tengah masyarakat. Dahulu profesi rentenir merupakan profesi yang dianggap kotor, buruk dan dikecam masyarakat Bima-Dompu. Profesi yang biasa digambarkan sebagai “lintah darat” tersebut dipandang hina dan keji karena dinilai bertentangan dan diharamkan Islam---agama yang dianut secara ketat dan mayoritas masyarakat Bima-Dompu. Faktanya saya melihat bahwa profesi tersebut juga sudah mulai banyak dilakoni oleh Muslim Bima-Dompu, termasuk oleh mereka yang tergolong taat beragama, bahkan diantaranya sudah bergelar “haji” dan “ummi”. Beberapa diantaranya malah berangkat haji dengan hasil profesi sebagai rentenir itu. Nah, pergeseran sikap masyarakat Bima-Dompu terhadap profesi rentenir ini, sekali lagi, saya kira merupakan tema riset sosiologi yang cukup menantang. Benarkah corak keislaman mereka kian permissif? Apakah pergeseran sikap itu dipengaruhi oleh pragmatisme ekonomi semata atau merupakan bentuk rasionalisasi atas realitas kemodernan yang mengepung mereka? Atau jangan-jangan pergeseran sikap itu karena kemampuan rentenir mentransformasikan dirinya dari kesan „sangar‟ dan „kejam‟ menjadi lebih „manusiawi‟ dan „sosial‟ sebagaimana temuan Heru Nugroho dalam Uang, 74 Moderasi Beragama

Rentenir, dan Hutang Piutang di Jawa (2001)? Cukup mencengangkan temuan Heru dalam buku yang berasal dari riset disertasinya di Jerman tersebut, karena keterlibatan serta donasi yang sering diberikan para rentenir dalam berbagai kegiatan sosial maupun keagamaan di masyarakat (seperti menyumbang untuk pembangunan mesjid) secara perlahan telah berhasil mengubah persepsi negatif profesi rentenir menjadi profesi yang akhirnya bisa “diterima” oleh masyarakat. Di sini terlihat bagaimana logika agama, logika ekonomi dan logika sosial itu menunjukkan wataknya yang dinamis. Selain nilai harmoni yang ditunjukkan keluarga Jawa Pakde di atas, saya juga terkesima dengan pengalaman pribadi Prof JB. Binawaratma, salah satu dosen kami di CRCS-UGM itu. Saat di kelas beliau bercerita memiliki seorang puteri kecil berusia 5 tahun. Karena berdomisili di tengah komunitas Muslim di Yogya, dia membiarkan puterinya bergaul dan bermain dengan teman-temannya yang Muslim, tanpa segregasi apapun, termasuk belajar ngaji di Taman Pendidikan Quran (TPQ) di lingkungan tempat tinggalnya. Ketika puterinya minta dibelikan buku Iqra maupun jilbab pun diturutinya. Ketika saya tanya alasannya, dengan gaya khas Yogya beliau menjawab santai dan pelan sambil tersenyum “Saya tidak ingin merusak kebahagian puteri saya, Mas. Toh nanti kalau besar dia akan ngerti sendiri kok”. Bagi orang non Jawa kedua pengalaman di atas barangkali terlalu ekstrem. Bagaimana mungkin perkawinan beda agama dapat diterima sebagai sesuatu yang absah, atau membebaskan anak belajar kitab suci agama lain? Dalam kaitan ini pula, apakah fatwa MUI yang melarang umat Muslim mengucapkan selamat Natal kepada saudaranya yang Kristiani dipatuhi, saya kira juga menarik diteliti. Jangan-jangan fatwa itu Ilyas Yasin 75

kalah cepat dibandingkan dengan dinamika, kesadaran dan sikap keberagaman masyarakat kita. Artinya, ketika MUI menganggap ucapan Natal itu sebagai sesuatu yang membahayakan akidah Islam, sebagian besar umat Muslim malah menganggap sebaliknya. Menurut pengamatan saya, seiring kian tingginya kesadaran multikultural di tengah masyarakat, ucapan selamat Natal tidak lagi dipahami sebatas sikap etis atau basa-basi sosial semata tetapi makin dimaknai sebagai keharusan moral dalam menjaga semangat kebhinekaan. Menanggapi fatwa itu misalnya, pada sebuah grup WhattsApp(WA) seorang kawan saya Jawa Muslim, menjelang malam Natal 2017 menulis “Aku mengakui bahwa kebahagiaan teman-temanku yang merayakan hari raya keagamaannya membuatku bahagia. Alasannya sederhana saja, Aku meyakini bahwa mereka juga makhluk Gusti-ku. Lalu bagaimana itu bisa menggeser akidahku? Tentu saja sikap moderat semacam ini bukanlah hal baru apalagi buat umat Muslim yang terdidik. Di kalangan NU sikap yang menekankan pentingnya rendah hati dan toleransi juga sudah lama terinternalisasi di kalangan warga nahdliyin, misalnya ungkapan salah satu tokoh NU Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya “Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, alasan bahwa dia adalah “manusia” ciptaan Allah Swt saja sudah cukup.” Saya tidak tahu apakah sikap prasangka dan ujaran kebencian ataukah pesan-pesan perdamaian dan harmoni ala Yogya yang akan menjadi arus-utama sikap keberagamaan masyarakat Indonesia masa depan. Yang saya tahu bahwa tren intoleransi di negeri ini sedang memasuki usia hamil tua. 76 Moderasi Beragama

Daftar Pustaka Heru Nugroho. 2001. Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ilyas Yasin 77

Biografi Penulis Ilyas Yasin yang lahir di Ranggo Dompu, NTB, pada 13 September 1973 adalah seorang jurnalis dan akademisi di STKIP Yapis Dompu, NTB. Menyelesaikan S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang (1997) dan S2 Manajemen Pendidikan di UNINUS Bandung atas beasiswa Kemenag RI (2010). Sebelumnya menjadi dosen tidak tetap di STAIN Mataram, STAI Muhammadiyah Bima, STAI dan STKIP Al-Amin Dompu. Aktif menulis sejak mahasiswa dan menjadi redaktur pelaksana tabloid mahasiswa Washilah IAIN Alauddin. Beberapa tulisannya pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat, Suara Hidayatullah, harian Pelita, Terbit, Fajar, Washilah, Pedoman Rakyat, Lombok Post, Inti Rakyat, DompuBicara.com, TofoNews.com, PelitaNews.com dan lainnya. Pernah menjadi wartawan Dompu Realita, Ekspresi Rakyat, koresponden DeteksiPost dan Info Dompu Kumparan.com. Pada 2010 mengikuti short course Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan selama dua bulan di CRCS-UGM, Yogyakarta dan Program Magang Dosen 78 Moderasi Beragama

Kemenristek Dikti selama enam bulan di Unpad, Bandung, pada 2013. Beberapa bukunya yang sudah terbit Modernisme Islam: Gagasan dan Kritik (2011), Islam dan Feminisme: dari Teologi Tulang Rusuk sampai Teologi Rok Mini (2011), Percik-percik Pemikiran Pendidikan (2014), dan antologi Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia (2018), Virus Corona dan Dampaknya dalam Berbagai Tinjauan Perspektif (2020) dan Narasi Perempuan dan Interseksionalitas (2020). Menaruh minat pada isu keislaman, pendidikan multikultural dan gender. Ilyas Yasin 79

Peranan Moderasi Beragama Dalam Menghadapi Fanatisme Sri Mulyono, S.E,M.M Dosen Manajemen Bisnis Syariah Institut Daarul Qur‟an Jakarta N egara Indonesia merupakan masyarakat yang beraneka ragam budaya dengan berbagai ciri kemajemukannya. Keanekaragaman ini terdiri atas perbedaan budaya, agama, ras, bahasa, suku, tradisi dan sebagainya. Dalam masyarakat multikultural sering terjadimya konflik antar kelompok budaya yang berdampak pada kerukunan hidup. Moderasi beragama dalam keanekaragaman umat untuk mewujudkan kerukunan umat beragama perlu adanya pemahaman dan kepedulian akan kesadaran multibudaya yang menghormati perbedaan, kemajemukan dan keinginan berinteraksi dengan siapa saja secara adil dan bijaksana. Maka diperlukan sikap moderasi dalam beragama yaitu berupa pengakuan atas keberadaaan pihak lain memiliki toleransi, menghormati perbedaan pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak orang lain dengan cara pemaksaan.(Akhmadi, 2019) 80 Moderasi Beragama

Secara konsep, moderasi beragama berasal dari kata moderasi. Kata moderasi diambil dari bahasa Inggris moderation (oxford, 2000, 820) yang berarti sikap sedang, sikap yang tidak berlebih-lebihan, dan tidak memihak. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2005, 751) kata „moderasi‟ berasal dari kata moderat yang artinya mengacu kepada makna perilaku atau perbuatan yang wajar dan tidak menyimpang, berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah, pandangannya cukup, dan mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.Dilihat dari pengertian secara umum, moderasi beragama artinya mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu. Perilaku keagamaan yang berdasarkan pada nilai-nilai keseimbangan tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian, moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana sikap seimbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak lain. Perilaku moderasi beragama menunjukkan sikap toleran, menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan. Dalam buku yang berjudul “Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr alMu‟āshir”, Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa cara berpikir dan bersikap moderasi yang paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan, yang akan sangat membantu kesejahteraan individu dan masyarakat. Hal ini Sri Mulyono 81

dikarenakan wasathiyyah merupakan wujud dari esensi kehormatan moral dan kemuliaan Islam (Zuhaili, 2006, 583). Adapun pengertian wasathiyyah dalam terminologi Islam, secara terperinci dijelaskan Yusuf Al-Qardawi sebagai sebuah sikap yang mengandung pengertian sikap adil, yang berkonsekuensi kualitas kesaksian dapat diterima. Secara sosiologis moderasi beragama pada dasarnya lahir sebagai antitesa terhadap perkembangan Islam ekstrimis yang memonopoli kebenaran diri maupun kelompoknya sebagai manifestasi kebenaran Tuhan, bahkan sebagian kelompok Islam menganggap dirinya yang paling benar dan selain diluar dirinya dapat dipandang salah semuanya. Demikian betapa pentingnya moderasi beragama ditengah keberagaman masyarakat dewasa ini.(Dakir & Anwar, 2019) Toleransi dan moderasi di Indonesia merupakan suatu wacana yang akhir-akhir ini sangat banyak dibicarakan. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tidak terkecuali lembaga-lembaga pendidikan sangat aktif membangun narasi tersebut(Mahyuddin, Pikahulan, & Fajar, 2020) Implementasi moderasi beragama di Indonesia: Ada tiga bagian implementasi moderasi beragama di Indonesia yaitu: 1. Moderasi yang berhubungan dengan komitmen bernegara. Komitmen bernegara merupakan hal yang sangat penting untuk melihat bagaimana kesetiaan pada konsensus dasar kebangsaan terutama yang berkaitan dengan simbol Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berseberangan dengan Pancasila. Sebagai bagian dari komitmen bernegara adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang ada dalam konstitusi dan regulasi di bawahnya. Jika seseorang 82 Moderasi Beragama

kehilangan komitmen pada kesepakatan-kesepakatan berbangsa, bisa diduga orang tersebut kehilangan watak moderatnya. 2. Penguatan toleransi, baik toleransi sosial, politik, maupun keagamaan. Toleransi merupakan sikap untuk memberikan ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan dalam menerima perbedaan. A gree in disagreement (setuju dalam perbedaan) disertai dengan sikap respect (hormat), penerimaan (acceptance) orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, serta kemampuan berpikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy) terhadap orang yang berbeda adalah nilai-nilai penting yang ada dalam toleransi. Sebagai suatu sikap dalam menghadapi perbedaan, toleransi menjadi fondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasihanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa antara lain bisa diukur dari sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya. Aspek toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, tetapi bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, budaya dan sebagainya. 3. Radikalisme di sini dipahami sebagai suatu ideologi dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial Sri Mulyono 83


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook