REFLEKSI PERCIKAN PERMENUNGAN PENDIDI
IKAN
REFLEKSI Percikan Permenungan Pendidikan i
ii
Amin Hidayat & Miladiyah Susanti REFLEKSI Percikan Permenungan Pendidikan “Apa kabar hatiku, cermin hidupku? Masihkah bening, atau justru berubah ujud, sehingga tak lagi bisa menunjukkan kebenaran dari luar sana?” Sekapur Sirih: Drs. Takdir Widagdo, SH., M.Si. Ketua PGRI Kabupaten Banyumas iii
Refleksi Penulis : Amin Hidayat & Miladiyah Susanti Pemeriksa Aksara : Sang Putri Pesona Penyunting : Subandi Desain Sampul : Wahab Desain Isi : Kuputarung Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Penerbit Aksara Indonesia Jln. Sukaria No. 17 Nanggulan Maguwoharjo - Yogyakarta 55282 Telepon (0274) 433 2080 [email protected] Hotline SMS 081391630363 Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Refleksi Yogyakarta: Aksara Indonesia, 2019 xii + 93 hlm.; 14,5 x 21 cm ISBN: 978-602-8294-12-6 Cetakan Pertama, Februari 2019 iv
Pengantar Penerbit Suatu kehormatan dan kegembiraan bagi kami, bisa kembali berperan serta menerbitkan karya para pendidik yang mempunyai gagasan-gagasan cerdas di bidang pendidikan, terutama jika mengingat tulisan yang mengupas dunia pendidikan yang ditulis oleh pendidik itu sendiri. Buku ini berisi kumpulan refleksi yang disajikan dalam kemasan nyentrik dengan mengambil tokoh pewayangan sebagai ikon kisah fakta sebagai bahan renungan refleksi diri yang kental dengan simbolis, sindiran dan sentilan. Kami tidak melakukan perubahan besar ter- hadap karya-karya yang terkumpul dalam buku ini. Sebagai penerbit, kami harus bertanggung jawab atas orisinalitas karya. Buah pemikiran tak lekang oleh waktu. Masih relevan sebagai wacana untuk dikaji. Rangkaian tulisan yang terhimpun dalam buku ini bisa dikatakan sebagai hamparan kecil mozaik pemikiran yang dikembangkan oleh penulis. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan menyangkut pergulatan arus pikiran dan lontaran gagasan di seputar dunia pendidikan yang memiliki nuansa universal dan abadi. Dengan mengandalkan bahasa sederhana, akan terasa kesegaran gagasan yang disampaikannya. v
Tak berlebihan kiranya karya ini, kami persembahkan untuk siapa saja yang ingin menggali khazanah pemikiran anak bangsa, khususnya pemikiran di bidang pendidikan yang masih kering akan pemikiran yang ditulis oleh kalangan pendidik itu sendiri. Semoga pemikiran- pemikiran Amin Hidayat dan Miladiyah Susanti ini, bisa memberikan kontribusi wacana. Selamat membaca!! Yogyakarta, Januari 2019 Aksara Indonesia vi
Pengantar Penulis Syukur alhamdulillah, akhirnya buku ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak, khususnya penerbit yang selalau memberi motivasi dan dukungan. Buku ini berisi kumpulan refleksi yang disajikan dalam kemasan nyentrik. Hal ini semata untuk menggugah semangat literal. Tokoh pewayangan acap kali sebagai ikon kisah fakta dan fiksi (faksi). Esensinya sebagai bahan renungan refleksi diri yang kental dengan simbolis, sindiran dan sentilan. Syarat dengan potret sosial di masyarakat yang viral saat itu. Konten sama sekali tidak ada niatan politis, berbau sara ataupun “saru”. Sangat dimungkinkan sajian ayat, hadist ataupun yang terkait dengan keyakinan, ada salah ketik, persepsi ataupun makna yang tersurat, mohon kesediannya untuk kritik dan saran membangunnya. Harapan penulis, buku ini memberi andil sebagai salah satu referensi untuk bercermin. Semoga bermanfaat. Purwokerto, Januari 2019 Amin Hidayat Miladiyah Susanti vii
Guru Hebat adalah Guru Bijaksana Sekapur Sirih Ketua PGRI Kabupaten Banyumas Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri. Bagaimana dengan guru hebat? M. Furqon Hidayatullah dalam bukunya Guru Sejati (2009: 127), guru mendidik dengan hati merupakan pemahaman yang paling utama agar aktivitas hidup peserta didik berjalan dengan benar. Mengingat suatu aktivitas dapat dinilai benar atau salah, tergantung pada niat dan maksud suara hatinya. Peran hati terhadap seluruh anggota dan organ tubuh dapat diibaratkan seperti raja dengan prajuritnya. Semua bekerja atas dasar perintahnya dan tunduk kepadanya. Sebagaimana tersurat dalam hadist Nabi SAW sebagai berikut : Hati adalah raja anggota tubuh. Dan anggota tubuh adalah prajuritnya. Apabila raja baik, maka baik pulalah para prajuritnya. Dan apabila raja busuk, maka busuk pulalah para prajuritnya (HR. Bukhari dan Muslim). Guru hebat dalam pembelajaran menyitir pendapat W. James Popham dan Rva L. Baker (2005 :6), lahir bukan dari pertanyaan “Apakah yang akan saya lakukan?” Yang seharusnya ditanyakan oleh setiap guru kepada dirinya sendiri yaitu, “Perubahan apakah yang saya inginkan dalam diri siswa siswa saya?” viii
Minimal ada 7 indikator, pembelajaran dikategorikan berkualitas oleh guru hebat, yaitu: mendidik dengan hati, menantang, menyenang- kan, mendorong eksplorasi, memberi pengalaman sukses, me- ngembangkan kecakapan berpikir dan Inspiratif. Masih ingat Oemar Bakrie? Baca: refleksi Oemar Bakrie. Oemar Bakrie tinggal menjadi legenda. Sebutan pahlawan tanpa tanda jasa yang melekat dengan sosoknya pun, hilang terkubur bersama matinya sang Guru Oemar Bakrie. Umar Bakri Jr (junior) yang meng- gantikan, tampil lebih elegan, jauh dari peluh, tak lagi kepanasan. Ia kini selalu bermobil (meski second), menyematkan beberapa gelar di sekitar namanya, dan menjinjing gadget canggih ala seorang pro- fesional. Umar Bakri Jr tidak lagi pusing memikirkan susu anak, karena seluruh keringatnya telah terbayar tunai dengan gaji dan tunjangan sertifikasi guru. Ongkos sebuah profesionalisme bagi si Umar Bakri Jr, sudah lebih dari cukup, tinggal mampukan guru-guru jaman NOW untuk bisa bersyukur, merefleksi diri, berdedikasi unggul dan berkomitmen tangguh? Alhamdulillah, buku Refleksi ini telah hadir di tengah kita, patut menjadi referensi bagi Bapak dan Ibu guru. Sehebat apapun guru dalam menghadapi dinamika hidup harus tetap berkaca, merefleksi diri. Selanjutnya menimba cermin dari orang lain. Jadilah sosok figur yang arif. Dengan demikian guru hebat adalah guru yang bijaksana. Purwokerto, Januari 2019 Ketua PGRI Kabupaten Banyumas Drs.Takdir Widagdo, SH. M.Si. ix
Daftar Isi Pengantar Penerbit ~ v Pengantar Penulis ~ vii Sekapur Sirih Ketua PGRI Kabupaten Banyumas ~ viii Berubah Wujud ~ 1 Kisah Katak Kecil ~ 4 Umar Bakrie jr ~ 6 Miris ~ 8 Cermin ~ 10 Guru ~ 13 Nuh ~ 16 Jaman Edan ~ 19 Guru Utama ~ 22 Balon ~ 24 Imam Syafi,i Bukan Guru Biasa ~ 26 Sangkuni Duta ~ 29 Role Model ~ 31 PPDB ~ 34 Tidak Perlu Risau ~ 37 Galau Kurikulum Baru ~ 39 Banjir Dana Hindari Bencana ~ 42 x
Guru Demo ~ 45 Pisau Bermata Dua ~ 47 Dana Bos ~ 49 Kelinci Percobaan ~ 51 Ingin Jadi Presiden ~ 53 Ironis ~ 55 Brownis Spesial ~ 57 Siswa Paling Jujur ~ 59 Pasrah ~ 61 MOS ~ 63 Malu ~ 65 Guru Honorer ~ 67 Berdoa ~ 69 UKG ~ 71 Ramalan Jayabaya ~ 73 Oplosan ~ 75 BSM ~ 77 Dinamika Hidup ~ 79 Predator Anak ~ 81 Merasa Benar ~ 83 Maaf Memaafkan ~ 85 Kiblat Sendiri ~ 87 Ketajaman Nalar ~ 89 Full Day School ~ 91 Penulis ~ 93 xi
xii
BERUBAH WUJUD “…apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” Hari ini, sesaat renungkan penggalan kalimat dalam QS. Al-Hajj: 46 itu. Sekejap alihkan perhatian dari drama tanpa akhir tentang keserakahan para Korawa berebut kekuasaan dan harta, untuk melihat jauh ke dalam diri, lalu bertanya, “Apa kabar hatiku, cermin hidupku? Masihkah bening, atau justru buram sehingga tak lagi bisa menunjukkan kebenaran dari luar sana?” Hari ini, kita awali dengan merenung. Sebab, merenung (dalam rangka mencari ilmu) sesaat, lebih besar nilainya daripada amal- amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk, yaitu manusia dan jin (HR. Ibnu Majjah). Hari ini, ketika hampir setiap waktu tersaji pentas drama tentang keserakahan. Ketika kehidupan sosial politik penuh intrik sekedar untuk mendapatkan perhatian, pujian, atau bahkan dukungan sebelum menduduki jabatan publik. Persis yang dilakukan raksasa- raksasa jelek Korawa. Tetapi hari ini, tokoh serakah dan loba itu bukanlah para raksasa Korawa, melainkan para ksatria tampan yang disegani, berpendidikan, memiliki jabatan, dan hampir selalu memiliki trackrecord gemilang. 1
Patut kita bertanya, kenapa tokoh utamanya berubah wujud? Pejabat pemerintah, wakil rakyat, bahkan para pegawai negeri sipil (PNS), yang belakangan penghasilannya dilipatgandakan dari uang negara. Terhenyak kita menyaksikan betapa sikap rakus dan serakah tak mam-pu tertutupi seragam kebanggaan atau pakaian mahal. Nafsu mereka membuncah saat menghadapi jamuan makan. Tanpa malu, berebut mengambil, lalu melahap seluruh hidangan yang tersaji. Tak peduli dengan tangan kanan, tangan kiri, atau bahkan dua tangan maju bersamaan, sambil duduk atau berdiri, mereka terus menjejali mulut dengan makanan, sampai-sampai kucing dan tikus got pun tak bisa menemukan sisa makanan yang bisa dijilati dari piring bekas mereka. Mereka sangat kelaparan, walau perutnya sudah buncit nyaris pecah pun kenyang tak datang. Hari ini, patut jika kita bertanya, “Apanya yang salah?” Dahulu rakus, kasar, tamak, loba, dan sifat-sifat buruk lainnya diidentikkan dengan orang bodoh tak berpendidikan. Sampai saat ini sistem pen- didikan kita sudah terlalu sering diubah dalam rangka perbaikan. Stan- dar nilai maupun materi pelajaran bagi anak sekolah pun semakin tinggi yang diproyeksikan mampu bersaing menghadapi tantangan dunia masa depan. Fasilitas pendidikan juga semakin mudah dan terjangkau. Jika belasan tahun lalu ijazah S1 bisa diraih hanya bila mengikuti proses panjang di menara gading universitas/perguruan tinggi di beberapa kota besar, sekarang bisa didapat ‘cuma’ dengan mengikuti ‘les’ seminggu sekali di banyak tempat bahkan sampai di kecamatan. Dahulu program wajib belajar hanya sembilan tahun, ke depan target 12 tahun. Semestinya sifat rendahan itu juga tergerus. Hari ini pula, kita sadar harus kembali melakukkan evaluasi. Per- baikan sistem pendidikan kembali menjadi salah satu ujung tombak harapan. Pendidikan yang tak lagi mendewakan kecerdasan otak me- nomorduakan hati. Pendidikan yang menyelaraskan olah akal dengan asah perasaan kepribadian. Pendidikan yang menyeimbangkan antara keteladanan, keaktifan otak mempelajari alam, dengan sikap qonaah sebagai wujud pemahaman atas nilai ketuhanan. Pendidikan yang 2
memungkinkan seseorang mengenali dirinya sendiri secara utuh, karena sejatinya barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenali Tuhannya. Seperti para kesatria Pandawa yang dikenal sakti mandraguna tetapi tak pernah jumawa, memiliki sifat-sifat mulia sebagai buah dari sistem pendidikan yang selaras antara ilmu kanuragan (kecerdasan dan ketrampilan) dengan gemblengan ilmu serta laku kebatinan (sikap, kepribadian, dan ketuhanan). Hari ini, mungkin masih menjadi mimpi bahwa pendidikan kita mampu melahirkan kembali para ksatria Pandawa. Tetapi sepuluh tahun lagi, atau berpuluh-puluh tahun ke depan di negeri ini, akan jarang ada pertunjukan kerakusan para raksasa berperut buncit yang saling sikut berebut daging rakyat jelata. 3
KISAH KATAK KECIL Kisah ini diramu dari salah satu ice breaker pada kegiatan ToT tahun 2011. Pada suatu hari ada sekumpulan katak kecil yang akan berlomba mencapai puncak sebuah menara. Pe- nonton berjubel mengelilingi menara untuk menyaksikan hiburan langka ini. Perlombaanpun dimulai. Sejujurnya tak satupun penonton percaya dan meyakini bahwa katak-katak kecil itu akan ada yang ber- hasil mencapai puncak menara. “Suatu hal yang mustahil”, pikir me- reka. Terdengar penonton berkomentar, “Oh, jalannya terlalu susah… mereka jelas tidak akan bisa sampai ke puncak!”. Sisi lain berteriak, “Tidak mungkin ada yang berhasil… menaranya terlalu tinggi!”. Kenyataan, katak-katak kecil mulai berjatuhan, ada beberapa dari mereka yang tetap semangat perlahan-lahan semakin tinggi dan tinggi. Penonton terus bersorak, “ Terlalu susah, tak seekorpun yang akan berhasil!” “Ya benar, pasti mereka akan kelelahan dan jatuh!” penonton lain menimpali. Dugaan penonton benar, satu persatu katak-katak kecil itupun kelelahan, menyerah dan jatuh. Tapi, ada satu katak kecil yang bertahan melangkah hingga se- makin mendekati puncak menara. Dia tak kendor semangat, tak kenal menyerah kalah. Akhirnya yang lain berguguran, kecuali seekor katak kecil yang begitu berusaha keras dan menjadi satu-satunya yang ber- hasil sampai ke puncak. Penontonpun bersorak bercampur haru dan heran, “Kok bisa?” Semua katak kecil yang lain penasaran dan ingin tahu resep katak kecil itu bisa sukses. Seekor peserta akhirnya 4
bertanya kiat keberhasilan sehingga mempunyai kekuatan mencapai tujuan. Ternyata katak kecil yang menjadi pemenang itu TULI. Refleksi yang dapat diambil dari cerita ini adalah jangan sekali- kali mendengar kata orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif ataupun pesimistis, karena mereka akan mengambil sebagian besar “mimpi” kita. Intinya, kita bersifat “tuli” jika ada orang mengatakan bahwa kita tidak bisa atau tidak mungkin sukses/ berhasil. …. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri sendiri … (Ar Ra’d/13:11). Kebanyakan orang gagal meraih cita-citanya bukan karena tidak mampu, karena tidak berkomitmen ( Zig Ziglar, motivator). Bila Anda berfikir akan kalah, Anda sudah pasti kalah (Arnold Palmer). Buatlah usaha Anda berhasil dengan satu-satunya cara: kerja keras (Mark Cuban). Penghargaan tertinggi untuk kerja keras seseorang bukanlah apa yang ia hasilkan, tetapi bagaimana ia berkembang karenanya (John Ruskin). Hendaknya kita selalu berfikir, I can do this ! 5
UMAR BAKRIE Jr Masih ingat Oemar Bakrie? Sosok berpeluh usai mengayuh sepeda kumbang yang terseok-seok di jalan berlubang? Bagaimana ekspresinya ketika di jalan berpapasan de- ngan anak murid yang menyapanya, “Selamat pagi, Pak!” sambil ter- senyum dari balik kaca mobil yang lalu mendahuluinya? Oemar Bakrie tinggal menjadi legenda. Cuma dongeng pengantar tidur tentang dedikasi seorang guru yang hampir selalu harus menelan getir ludah sendiri, karena tergencet harga dirinya. Kisah nyata yang mengharu biru dan membuncahkan empati luar biasa itu, sudah ber- lalu. Sepeda kumbangnya ikut menjadi rumpon. Sebutan pahlawan tanpa tanda jasa yang melekat dengan sosoknya pun, hilang terkubur bersama matinya sang Guru Oemar Bakrie. Umar Bakri Jr (junior) yang menggantikan, tampil lebih elegan, jauh dari peluh, tak lagi kepanasan. Ia kini selalu bermobil (meski second), menyematkan beberapa gelar di sekitar namanya, dan menjinjing gadget canggih ala seorang profesional. Umar Bakri Jr tidak lagi pusing memikirkan susu anak, karena seluruh keringatnya telah terbayar tunai dengan banyak tunjangan, juga kemudahan. Ia tampilkan dirinya sebagai profesional sejati, de- ngan kerap datang ke seminar, workshop, diklat, atau kegiatan-kegiatan ilmiah lain. Tetapi alih-alih memenuhi persyaratan profesional, ia justru ‘membeli’ , mencantumkan namanya tebal dan besar di sampul depan, lalu dengan bangga mengupload ‘karya besarnya’ di media. Ongkos sebuah profesionalisme bagi si Umar Bakri Jr, terlalu tinggi. Gaji plus-plus yang jumlahnya bahkan tak sanggup singgah 6
dalam mimpi Bapak Oemar Bakrie itu, tidak juga mencukupi. Ia kembali mencari peluang tambahan pendapatan. Di kelas ia berganti seragam menjadi pedagang, menjual berbagai penunjang pengajaran kepada murid-murid. Untuk menarik konsumen, suatu saat sebelum mengajar ia berkata lantang, “Kalau tidak memakai buku ini (dagangannya -red), nilai kalian jelek.” Seketika dagangannya laris manis, kantongnya pun kian tebal. Ia tak peduli di luar sana si murid harus memangkas uang bekal, atau para orang tua yang kembali nyengir getir karena merasakan biaya sekolah terlalu mahal, sementara si Umar Bakri Jr bertingkah seolah lupa pada sejarah orang tuanya, Bapak Oemar Bakrie. Sudahlah! Yuk kita renungkan! “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Alloh kepada mereka?” (Alloh berfirman) “Tidakkah Alloh lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNYA)?” (QS. al-An’am: 53). Wallohu’alam 7
MIRIS Alhamdulillah Anakku… usai sudah galau gara-gara ujian nasionalmu yang kacau tapi langkah belum usai, tuk terus menapaki lorong panjang keilmuan menuju kearifan, menyongsong janji Sang Maha Pandai “Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadalah:11) Kadang Ibu miris menyaksikan ironi di sekitarmu. Di jalan, di pa- sar, di gedung-gedung pemerintahan, bahkan di gedung DPR sekali- pun, kau bisa menggelar acara tawuran. Tak satu tempat pun steril dari kekerasan, merefleksikan adanya kearifan. Cermati satu satu! Jalanan menjadi akses bagi setiap orang. Tempat yang paling umum dan bebas bagi setiap orang. Lelaki-perempuan, tua-muda, berpen- didikan-buta ilmu, kaya-kere, pejabat-penjahat, bahkan orang gila pun berhak di jalan. So,wajar jika jalanan menjadi panggung paling kacau. Pasar, itu layaknya kebun binatang. Monyet, ulat, harimau, babi, ular, bahkan buaya mencari penghidupan. Mereka hanya dianugerahi naluri untuk bertahan hidup, sekedar asal perut kenyang dan bisa me- neruskan keturunan. Logis jika di pasar berlaku hukum rimba, bahkan jauh lebih kejam daripada yang terjadi di belantara pedalaman Kali- mantan, karena binatang-binatangnya berbekal akal dan pengetahuan. Belakangan, gedung-gedung pemerintahan dan wakil rakyat juga menjadi ajang pentas banyak lakon tak terpuji. Tawuran ala parlemen, pat gulipat pejabat, bahkan transaksi ‘seksi’ seakan menjadi tema sampingan di tengah sidang dewan. Padahal, tempat itu semestinya 8
diperuntukkan bagi orang dengan kriteria tertentu. Setidaknya mereka harus berpredikat ‘terpelajar’, ilmuwan, bahkan sebagian bertitel akademik lebih panjang dari nama pemberian orang tua. Seharusnya tempat-tempat itu menjadi kiblat bagi banyak tindakan arif bijaksana, yang mencerminkan ketinggian derajat para pemilik ilmu pengetahuan. Kenyataannya, justru di situlah predator-predator paling rakus bersarang. Ternyata titel kesarjanaan dan hebatnya akal tak serta-merta membuat manusia menjadi lebih bijaksana dibandingkan primata-primata penghuni rimba. Momen paling miris baru saja tertangkap lensa kamera. Betapa sejatinya negeri ini masih berada dalam masa jahiliah, hingga praktik perbudakan ala Firaun berlangsung subur cuma beberapa jengkal jaraknya dari pusat pemerintahan. Anakku, jangan sesaat pun kau lengah untuk terus melihat dan berpikir. Semua itu hanya salah satu potret kecil tentang gagalnya misi pendidikan. Setidaknya kau menjadi paham bahwa pendidikan kita belum mampu mengubah manusia menjadi lebih beradab. Kau camkan itu, sambil terus berusaha menguasai sebanyak mungkin ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Lalu ketika otakmu lelah, istirahatlah, biarkan nuranimu menjelajah gugusan bintang untuk memahami kebijakan semesta ini. Sebuah benda pusaka bisa menjadi sangat berbahaya ketika ber- ada di tangan orang yang salah. Begitu juga ilmu, jika tak seimbang antara logika otak, kearifan hati, dan kebijakan sikap dan perilaku, ilmu pengetahuan bukannya meningkatkan derajat kehidupan, me- lainkan justru menghancurkannya. Entah sampai kapan pendidikan kita akan membuat Ibu nyaman saat mempercayakan bekal masa depanmu kepada sekolah. Kuri- kulum baru akankah menjadi jawaban? Atau cuma kembali menjadi proyek coba-coba seperti sebelumnya? Entahlah Nak, yang pasti saat di sekolah kau ikuti saja aturannya…. 9
CERMIN T“Bismillaah..laaillahailallooh” uhan Yang Agung hadir dalam jiwa, saat bibir bergetar mengucap asmaNYA, memurukkan kesombongan yang selalu mengangkang ke dasar kesadaran tentang kuasaNYA, me- nafikan segala yang indah terlihat mata, mengais puing damai di tengah masyarakat hedonis. Itu juga yang sedang dipraktikkan Gareng, Petruk, dan Bagong belakangan ini, atas nasihat Romo Semar, bapak sekaligus guru tunggal bagi mereka. Ketiganya, juga anak-anak batur lainnya, tak pernah berkesempatan belajar dari guru-guru terbaik di berbagai padepokan seperti para majikan. Guru utama bagi mereka hanyalah alam. Lalu sang Romo yang sejatinya adalah salah satu dari dua mahaguru, sesekali menasihati, menunjukkan sejarah sebagai pelajaran, atau menyentil jika mereka nakal. Kini, mereka sedang diajak melakukan meditasi. Kawah Candradimuka yang menjadi pusat pendadaran terhebat di negeri ini masih bergolak. Bukan oleh ketatnya persaingan para cantrik yang berpacu menguasai berbagai teknik ilmu tingkat tinggi, melainkan karena sistemnya berantakan. Kong kalingkong Begawan korup seperti Drona dan seorang makelar bernama Sengkuni, telah mengacaukan tatanan lembaga keilmuan, menebarkan prasangka dan kebencian di antara para cantrik bangsawan. Mereka juga memben- tangkan jalan terjal penuh onak duri bagi anak-anak Semar dan batur lainnya, yang tidak memungkinkan bagi mereka sampai di pusat pen- dadaran bernama Kawah Candradimuka seperti para majikan. 10
Romo Semar yang biasanya memilih diam, akhirnya bertindak setelah menyaksikan kecurangan-kecurangan yang semakin terkoor- dinir, pelan tapi pasti menyebar masuk dalam sistem, layaknya kanker menggerogoti tubuh. Ia yang tak pernah menonjolkan diri, bergerak memperbaiki Kawah Candradimuka dari orang-orang korup. Meski agak terlambat, harus mengait nama-nama yang sangat berpengaruh hingga sulit disentuh, upayanya patut diapresiasi. Setidaknya satu langkah positif berani telah dilakukan sesepuh punakawan, yang me- milih menanggalkan status tertinggi sebagai dewa di kahyangan lalu menjadikan dirinya batur di bumi, hanya agar bisa mendidik keluarga Pandawa menjadi ksatria-ksatria lurus dan tangguh itu. Belakangan, Romo Semar kian meradang ketika menyaksikan de- kadensi moral telah mengikis habis keluguan anak-anak. Data-data tentang kejahatan oleh anak bertambah setiap hari. Kualitas kejahatan- nya pun kian meningkat. Betapa bocah-bocah yang semestinya masih dalam masa bermain telah mampu melakukan perbuatan keji, me- rampas, mencuri, berkelahi, bahkan sampai membunuh. Tak sampai di situ, sebagian di antaranya juga piawai menjual diri lalu menjadi mucikari, melego teman-teman hanya demi bisa tampil trendi, komplit dengan pegangan gadget terkini. Buru-buru Romo Semar menarik tangan ketiga anaknya kembali masuk rumah. Bersama mereka melihat peristiwa yang terjadi, lalu diajak diskusi. Ia tak mengumbar nasihat yang membosankan, hanya mengutip nasihat Lukman yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Alloh akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Alloh Mahahalus, Mahateliti.” (QS. Luqman:16). “Le, anak-anakku, ketahuilah bumi sudah tua. Banyak yang sudah keblinger. Tapi kalau kita mau tetap ngaji kalimasada (kalimat sya- hadat), Gusti Alloh pasti melindungi. Puasakan tubuhmu, puasakan inderamu! Buka mata batinmu. Saat perut kelaparan, seluruh indera lemah, lihat dengan cermat seperti apa wajahmu, seberapa busuk 11
borok di tubuhmu, lalu bagaimana harus segera mengobati,” tegas Romo Semar. Begitulah ia memilih posisi, sebagai batur yang mendidik dengan jujur, lurus, dan tulus. Batur yang menjadikan bendoronya orang terhormat dan bermartabat, menjaga lalu mengembangkan sosok unik anak-anaknya tetap dalam kesederhanaan hingga menjadi pribadi-pribadi dengan kelebihan masing-masing. Batur yang selalu memulai langkahnya dengan, “Bismillaah, laillaahailallooh” Ke mana sosok Romo Semar sekarang? 12
GURU Si Thole tampak gamang menjejakkan kaki pertamanya di sekolah baru. Dengan seragam baru, rautnya bangga menjadi siswa SMA favorit berbekal NEM SMP nyaris sempurna. Tapi, jauh di sudut batinnya muram, sekusam sepatu yang sudah dipakai satu tahun lebih. Semangatnya sedikit kusut, selusuh tas bututnya. Kepalanya tegak, tetapi matanya redup. “Apa aku bisa bersaing di sekolah ini, Yu? Yang kutahu, setiap murid sekolah favorit mengikuti les privat. Biayanya mahal banget,” gumam Thole di hadapan Mbakyu sebelum berangkat tadi. “Le, kalau kamu belajar sungguh-sungguh di sekolah juga di rumah, tak perlu khawatir. Modal kamu tu otak cemerlang, buat apa buang uang di luar sekolah sekedar agar bisa lulus ujian? Memang ngga gampang, Le, tapi buktinya di SMP kamu juga bisa,” hibur Mbakyu. Kalimat Mbakyu masih panjang, mengekor si Thole yang meng- hilang di ujung jalan. “Belajarlah berkali-lipat lebih keras dari temanmu! Gurumu hanya ada di dalam kelas. Di luar itu, jangan harap ada yang membantu. Bahkan gurumu tak kan mau memberi jam tambahan cuma-cuma. Sekarang saja kudengar banyak guru yang stres, tertekan harus memenuhi beban mengajar 24 jam perminggu tatap muka, pusing mengikuti uji kompetensi, parno dengan sistem kenaikan pangkat/jabatan, sampai kebingungan mengimplementasikan kurikulum. Mungkin mereka lupa bahwa sejatinya itulah konsekuensi dari gaji plus-plus yang telah diterima, 13
yang bahkan telah membuat masyarakat termasuk para guru sepuh (yang sudah pensiun) ngiler dan merasa kurang dihargai. Satu pesanku, Le, jangan terlalu berharap ketemu ‘Pahlawan (Tanpa Tanda Jasa)’ lagi. Mereka sudah mati bersama hilangnya aroma apek nasi beras kupon dari menu para guru. Guru sudah sejahtera, tapi kehilangan ketulusan. Gaya hidupnya kian menjauhi sahaja meng- arah materialistis, sehingga setiap tetes keringat di luar kelas harus dihitung ulang, lalu struknya dikomplain kepada pemerintah, atau wali murid. So, jika kamu bilang butuh tambahan belajar pada gurumu, dia akan menjawab, “Datanglah ke rumah, nanti diberi les tambahan.” Bila sudah begitu, kamu juga harus paham bahwa di balik tatapan yang penuh perhatian, senyum manis dan sentuhannya, tersembunyi ka- limat, “Bayarnya boleh setiap kali tatap muka, atau perbulan.” Le, guru juga manusia, makhluk yang telanjur cenderung kepada kegembiraan dan bangga terhadap diri sendiri. Selalu mengeluh dan mengaduh saat kekurangan, tetapi segera lupa diri dan merasa su- perior ketika diberikan sedikit saja kebaikan. Baik sekarang tegakkan wajahmu, tataplah dengan pasti masa depanmu! Lantunkan takbirmu lantang di hari Fitri, sebab, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” (QS. Al-Baqarah:216). Kini saatnya, murid boleh mengingatkan guru agar “… berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk rang-orang yang bersyukur,” (QS. al-A’raf:144). Kalau perlu, usai sholat Ied ajak mereka melongok kembali cara beribadah yang diajarkan Kanjeng Nabi saw, “Sholatlah kamu seperti sholatnya orang yang tidak akan pernah kembali lagi (mati).” Le, jangan ragu untuk menyelamatkan gurumu dari gulungan gelombang gaya hidup hedonis! Sesekali senandungkan puisi tentang derita ruh yang raganya terkungkung kemewahan. Bisikkan pula bahwa dunia tak lebih cuma sekepal nasi bagi yang kelaparan, secawan air bagi yang kehausan, selembar baju hangat bagi yang kedinginan, dan sebatang pohon rimbun bagi yang kepanasan. Seringlah 14
mengajak mereka berdiskusi tentang makna firman Tuhan, “Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya,” (QS. Maryam:40). Semangat, Le! Semoga kelak kembali banyak guru yang hidup dengan berpegang teguh pada prinsip, jujur dalam dakwah, dan sungguh-sungguh dalam menjalankan risalah. 15
NUH Alkisah, kapal Nuh kekar, tegak di tengah gurun pasir, jauh dari bibir lautan. Ke dalamnya masuk segala jenis makhluk, masing-masing berpasangan. Mereka diperintahkan ber- lindung di dalam kapal, yang menurut sang Nabi akan segera melaku- kan pelayaran terhebat, mengarungi air bah terdahsyat sepanjang sejarah, yang bahkan akan menenggelamkan bukit dan gunung, merombak total tatanan kehidupan. Orang-orang menganggap sang Nabi telah hilang ingatan, se- hingga ngawur membuat kapal besar di tempat yang jauh dari tepi lautan. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga sama, menolak seruan agar masuk ke kapal, karena keangkuhan logika tanpa iman pada Yang Maha Perkasa. Sang Nabi pun tak sanggup memaksa orang- orang terdekatnya untuk mempercayai berita dari Sang Maha Ghaib. Singkat cerita, maha bencana air bah itu benar datang. Seketika air membuncah dari setiap jengkal tanah, hingga dalam sekejap seluruh daratan, bukit, bahkan gunung tenggelam, dan tak satu pun makhluk selamat kecuali yang telah berada di dalam kapal. Sang Nabi sempat menangis menyaksikan isteri dan anak-anaknya binasa. Namun seketika pula ia ditegur Tuhan, bahwa setiap yang menolak ajakannya sesungguhnya bukanlah keluarganya. Sang Nabi pun terkulai, menghempaskan seluruh kesombongannya, lalu berdoa “Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari memohon kepadaMu sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak mengampuniku dan tidak merahmatiku, niscaya aku termasuk orang yang rugi” (QS. Hud:47). Doa yang seyogyanya selalu dipahami dalam setiap tarikan nafas. Doa yang memungkinkan Tuhan 16
hadir dan menyatu dengan hidup kita, hingga selamat dari jebakan- jebakan halus alur kehidupan. Kisah sang Nabi yang konon berusia hingga 900 tahun itu, me- nunjukkan betapa sulit memperbaiki sebuah tradisi buruk. Tak cukup rentang waktu ratusan tahun, meski hanya untuk menyampaikan satu perkara, yaitu, “Sembahlah Alloh dan bertakwalah kepadaNYA!” Mungkinkah bencana besar seperti itu terulang? Wallohu’alam. Kita lihat partikel mikron terdekat saja, dunia pendidikan. Bukankah pendidikan kita masih karut marut, terombang-ambing mencari jati diri? Belum ada kesepakatan tentang bentuk pendidikan terbaik, yang pas diterapkan di negeri seribu tradisi ini. Belum cukup tersedia ‘ketulusan hati’ untuk mendidik, kecuali sekedar menyampaikan materi ajar sehingga orang menjadi terlihat seolah-olah pintar. Pendidikan masih menjadi ladang bisnis. Bahkan, UN saja masih terus menjadi polemik orang-orang yang dianggap pakar, sampai-sampai mengalihkah perhatian dari potret buram buruknya infrastruktur pendidikan, juga rendahnya kualitas para pendidik yang ternyata tak serta-merta meningkat meski telah dibanjiri fasilitas dan kemudahan. Anggaran pendidikan terus meningkat setiap tahun demi me- wujudkan janji pendidikan murah bahkan gratis, yang nyatanya hanya isapan jempol. Limpahan anggaran pendidikan justru seperti sem- buran air dari tempat-tempat tak terduga yang semakin saat semakin deras. Efeknya memang tak sebanding dengan secipratan halus air bah masa Nabi Nuh. Bahkan, sebagian besar orang tak menyadari telah terkena percikan, lalu terlena kesegarannya. Kian bertambah jumlah guru besar dan akademisi menjadi penghuni bui. Jika tidak menjadikannya sebagai cermin diri, bukan tidak mungkin suatu hari nanti ada guru atau kepala sekolah yang menjadi korban semburan rupiah. Bersyukur, Pak Nuh belakangan menunjukkan greget untuk memperbaiki keadaan, bahkan tak segan melaporkan anak buahnya ke KPK. Satu misinya, memajukan pendidikan bagi seluruh negeri. 17
Salah satunya dengan membebaskan lembaga pendidikan dari predikat ‘sarang tikus’. Langkah awal telah diayun menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik. Barangkali (bagi umat akhir jaman sekarang) langkah itu tak kalah berat dengan perjuangan sang Nabi. Nawaitu, bismillah…. 18
JAMAN EDAN Pagi terlalu cerah. Matahari terlalu dini menyinari bumi. Sepertinya tak ada yang hendak berdiam diri di rumah. Bukan cuma pedagang, orang kantoran bergegas penuh gairah. Burung-burung emprit riuh rendah berebut bulir muda yang baru lahir dari perut padi di sawah. Hiruk pikuk kesibukan di sekeliling rumah Limbuk akhir-akhir ini terasa lebih dari sebelumnya. Banyak anak ayam peliharaan berlarian tak tentu arah tanpa ketahuan di mana induknya. Sementara para pejantan hanya sibuk mengejar si babon yang tak sempat ngopeni bayi-bayi mereka. Terdengar jeritan pilu angsa yang kehilangan pa- sangannya. Semalam segerombolan babi hutan, mengaing-ngaing be- rebut ubi yang belum sempat dipanen di kebun belakang rumah. Pepohonan mati tanpa sebab pasti. Batang pisang kekar dengan buah yang hampir ranum, tiba-tiba menghitam seperti terbakar. De- daunan rimbun yang hijau menyejukkan, seketika keriting, kudisan, kering, lalu berguguran. Rumpun padi gemuk menjelang bunting yang menari-nari dihela angin sore, terkapar di pagi hari. “Ngalamat apa yang terjadi ini, ya Gong?” tanya Limbuk pada Bagong, sepupunya. “Ngalamat jaman edan, Yu. Jaman edan. Benar-benar edan,’ sahut Bagong seketika. “Banyak yang bilang di jaman ini, yang ga edan ga kebagian. Kamu mau ikut edan, pa?” gumamnya. Limbuk yang bodoh juga tak bermaksud memahami perkataan Bagong. Mulutnya ndowoh memperhatikan ekspresi sepupunya yang dikenal bertabiat blakasuta. Bicaranya selalu ceplas-ceplos seakan tak 19
mengenal tata krama. “Kamu inilah yang sebenar-benarnya orang buruk rupa, Gong. Boncel, hitam, perut seperti gendang, nonong, botak, hidung pesek selalu ingusan, juga bibirmu yang lebar super tebal tak ada tandingan.” Batin Limbuk hampir tak usai menyebut buruknya rupa si Bagong. Wajahnya sendu. Tapi ketika menyuguhkan secangkir kopi panas dan singkong rebus, bibir perempuan kampung itu tersenyum. Tipis. Batinnya kembali bicara, “Tapi, Gong, kamulah kejujuran. Wujudmu kadang terlihat sangat tidak menyenangkan.” “Kamu ga tahu to kalo sebentar lagi kiamat,” celetuk Bagong usai nyeruput kopi pekat yang disuguhkan. Limbuk tersentak, spontan berteriak, “Eh..eh tobil! Kalo ngomong mbok pake wewaton,Gong!” “Lah wong binatang piaraanmu saja tahu lalu sibuk nggosip gitu kok. Karena banyak mendengar dan melihat, mereka menjadi pakar pengamatan, lalu mengomentari kelakuan binatang-binatang lain penguasa belantara sana. Lalu sepertinya mereka sadar, selama ini sudah terlalu sering dibodohi. Bodohnya mereka ikut menjadi bodoh, emosi, lalu membuat konklusi bahwa saatnya kini berebut menikmati sisa kesenangan yang masih bisa dimiliki. Tidak lagi peduli tugas, ke- wajiban, bahkan tanggung jawab yang semula begitu dimuliakan. Makanya anak-anak ayam itu kleleran, padahal induknya kualitas Bangkok, to?” Sejenak Bagong diam. Matanya menerawang, mulutnya semakin tak enak dipandang saat mengunyah singkong rebus. “Kiamat sudah dekat. Kahyangan sudah kehilangan tatanan. Dewa-dewa lupa janjinya, setelah menggenggam kewenangan. Bersaing menciptakan negeri masing-masing. Mayapada beserta seluruh titah seperti kita, seakan cuma alat mewujudkan hasrat gila mereka. Bahkan Batara Guru kewalahan, sering kebingungan justru karena memiliki empat tangan.” Bagong terus nerocos tanpa peduli bahwa Limbuk sama sekali tidak mengerti. 20
“Jangan cemas, Yu! Romo Semar nitip pusaka untuk melindungi kamu, orang-orang lugu agar selamat dari situasi seperti ini.” “Mana pusaka dari Romo Semar, Gong?” Mata Limbuk berbinar- binar. “Buka lisanmu, Yu! Banyaklah mengajak lidahmu mengucap ‘has- bunalloohu wa ni’mal wakiil!’. Cukup hanya Tuhan (menjadi penolong) bagi kami, dan Dia sebaik-baik pelindung.” Bagong menyampaikan kalimat dari romonya. “Kamu sudah pernah diajari Surat Ali ‘Imran nomer 173, to? Amalkan ya Yu! Jangan kebangetan lugu, kamu juga harus tahu! Aku pulang, Yu.” 21
GURU UTAMA Bocah jaman akhir. Pinter-pinter malah pada keblinger.” Gareng setengah menggerutu saat masuk lalu duduk di salah satu sudut pendopo Padepokan Romo Semar. Di sana sudah ada dua saudaranya, Bagong dan Petruk. “Kenapa, to Kang? Baru datang sudah uring-uringan?” tanya Petruk. “Lah! Paling-paling Kang Gareng habis main tinju sama si Kom- pleng lagi. Iya to, Kang?” celetuk Bagong bernada cuek. “Ada apa lagi dengan anakmu itu, Reng?” Romo Semar keluar menemui anak-anaknya. Seketika ketiga punakawan berebut meraih tangan bapaknya, menciumnya dengan penuh hidmad. Keempatnya lalu duduk di atas tikar pandan di tengah pendopo. Tak lama kemudian Limbuk, asisten rumah tangga Romo Semar keluar membawa kopi hitam dan sepiring sajian singkong, ubi, suweg, uwi dan gembili rebus. Gareng menarik nafas panjang. Matanya menerawang. “Itu si Kompleng, Mo. Ngamuk, mogok sekolah karena ga dibeliin motor trail. Dia juga berani ngambil uang emaknya dari lemari, buat nraktir pacarnya yang ulang tahun. Sungguh tak tega kusebut Kompleng mencuri. Aku bingung, khawatir terhadap anak ontang-antingku itu, Mo.” Gareng kembali mengambil nafas panjang. Seakan ingin me- maparkan argumen bagi beban batinnya, ia berkata, “Belum lama, seorang temannya mati gantung diri, hanya karena ga diberi uang untuk memodivikasi motor. Kudengar kabar angin, cewek keren yang pernah ditaksirnya, sekarang ke sekolah naik mobil mewah dan gadget keluaran terbaru karena menjadi simpenan pejabat.” “Lah, wong Kompleng anaknya Gareng. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga,” celetuk Bagong lagi sambil mengunyah sepotong 22
gembili yang sedikit renyah manis. “Dulu Kang Gareng juga pethakilan sampai badannya penuh bekas luka. Tangannya bengkong juga gara- gara tawuran, to?” celotehnya sambil terus mengunyah, tanpa mem- pedulikan Gareng merah padam. “Hush! Bibir jangan dibiarkan ndower! Kendalikan selembar lidah juga dua keping bibir tebalmu itu! Tata krama namanya. Kamu bisa kemakan mulutmu sendiri!” sergah Petruk sembari menoyor jidat nonong Bagong. Romo Semar diam mendengarkan. Diseruputnya kopi panas, lalu melahap sepotong suweg, agak kenyal, gurih agak manis. Usai menelan gigitan terakhir, ia berkata, “… Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S Ash-Shaff:2-3). Seketika ketiga anaknya mengangkat kepala, bersiap menerima wejangan dari bapak yang adalah guru besar mereka. “Renungkan, lalu ajarkan kepada anak-anak kalian! Gareng, kau guru utama si Kompleng. Jangan hanya bisa bicara dan menyalahkan! Benahi kelakuanmu! Buat dirimu patut diteladani!” Gareng manggut- manggut. “Petruk, anak-anakmu tumbuh baik dengan kepribadian masing- masing. Mereka memiliki prestasi sendiri-sendiri, juga mengerti tata krama. Coba kau dampingi Gareng untuk mendidik anak-anaknya! Ajari ia bagaimana menjadi guru! Ajari dengan sabar!” Petruk meng- angguk patuh. “Bagong, lisanmu adalah kebenaran. Tapi, wujudnya terlalu aneh dilihat orang. Coba kau rias sedikit, agar mulutmu yang terlalu lebar juga bibirmu yang teramat tebal itu, tak tampak buruk dan mena- kutkan. Renungkan! “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fussilat:34-35).” Senyum Romo Semar berlapis doa, menyapu lembut wajah ketiga anaknya. Melukis seutas harapan jingga yang hendak dicipta. 23
“BALON” M o, Romo! Romo Semar!” Tergopoh-gopoh Limbuk mencari Romo Semar di padepokannya. “Romo di mana to, ya? Apa sudah pergi?” Limbuk yang sore itu baru saja pulang, seperti tak sabar ingin bertemu kembali dengan Semar, majikannya. Di atas meja di beranda rumah, masih terlihat secangkir kopi pahit dan sepiring singkong rebus yang tadi ia sajikan sebelum pamitan, masih mengepul. Tak juga menemukan orang yang telah dianggap sebagai bapak- nya sendiri itu, Limbuk terduduk lemas di depan beranda. Wajahnya berkerut-kerut. Tatapan matanya nanar, tampak begitu kebingungan. “Lho, Yu, sore-sore kok ngalamun di depan pintu. Ora ilok! Tabu, Yu! Nanti bisa ada yang nimbrung, lho!,” tegur Bagong yang pulang dari kebun. Diamatinya asisten rumah tangga bapaknya itu. Kepalanya yang botak miring ke kanan dan ke kiri, berusaha melihat dari segala sisi. Ia hampir tidak percaya, perempuan sederhana yang biasanya terlalu diam itu, kini terlihat sangat panik. “Yu! ada yang gawat ya?” Bagong memancing. Limbuk tak bergeming. Lirih terdengar suaranya gemetar, “Romo ke mana to Gong?” Kedua tangannya tampak menggenggam erat sesuatu. Beberapa saat berlalu, Bagong pun bengong. “Ada apa, Mbuk? Bukannya tadi sudah pamitan?” tiba-tiba Romo Semar muncul dari kandang ayam samping rumah. Serta-merta Limbuk menghambur memeluk kaki montok Semar. “Romo, Romo! Ini pertanda apa lagi? Lha kok si Ceplis punya balon kaya gini,” ujarnya bernada panik sambil membuka genggamannya. Tampak dua lembar benda karet mirip balon sepanjang kira-kira 10 24
cm, dengan bagian tengah menonjol. “Ini, kan ndak mungkin dijual tukang balon to, Mo? Tapi katanya tadi malah ada tukang balon seperti ini datang ke sekolah si Cenil, lalu bagi-bagi gratis,” jelasnya masih gemetar. “Lha, itu kondom, to Yu. Mainanmu?” celetuk Bagong yang di- sambut toyoran Semar di jidat. “Entah ada penyuluhan apa di sekolah, Gong. Tapi kok ya harus dibagi-bagi ke bocah-bocah yang masih bau kencur? Apa semua sudah menjadi edan, bahkan sekolah yang mengijinkan juga sama edannya? Aku menjadi semakin ketir-ketir bila harus melepaskan si Cenil yang lagi ranum-ranumnya itu, pergi jauh. Terus aku harus bagaimana, Mo?” Limbuk menumpahkan seluruh kekhawatirannya di depan sang Guru. Semar menarik nafas panjang, lalu mengajak Limbuk dan Bagong masuk beranda. Ketiganya duduk. Semar mengambil sepotong sing- kong rebus dan menyeruput kopi yang mulai dingin. Sementara Limbuk tak sanggup meredam kepanikannya, terus gelisah, dengan tangan yang kembali menggenggam erat balon si Ceplis. “Dari Abu Hurairah ra bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua pedoman, selama kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tiak akan sesat setelah itu, yaitu Kitab Alloh dan sunnahku.” Limbuk, kau guru bagi anak-anakmu. Yakinkan bahwa dirimu dan anak-anakmu tetap memegang erat dua pusaka itu. Niscaya barang itu akan menjadi ilmu bagi si Cenil, dan cuma balon mainan untuk si Ceplis. Anak-anakmu tetap akan selamat!” “Berarti sudah ndak bener! Sama saja menyuruh membolehkan anak ‘begituan’. Edan!” Bagong gemas. Tak perlu hanya menyalahkan keadaan. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu (yang dianut) dan Alloh telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah (Alloh membiarkannya) sesat. Maka mengapa mereka tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiah:23). 25
IMAM SYAFI’I, BUKAN GURU BIASA Imam Syafi’i berkata, “Aku pernah menyaksikan Imam Malik ditanya empat puluh delapan pertanyaan. Dan untuk tiga puluh dua pertanyaan beliau menjawabnya dengan berkata, ‘Saya ti- dak tahu’.” Begitu Romo Semar mulai wejangannya pagi ini. Seketika ekspresi tiga anaknya berubah. Gareng yang menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya berkerut, terlihat bingung, lalu kembali datar, menatap romonya dalam diam, berharap mendapat penjelasan. Petruk mengernyitkan kening, diam terlihat berpikir keras. Beberapa kali menggelengkan kepala, lalu mengangguk-angguk, melepas seutas nafas berat, lalu tersenyum lebar. “Kalo saja si Imam Malik itu seorang murid sekolah, tentu dia dicap bodoh. Lha wong cuma seperempat dari seluruh pertanyaan yang dijawab. Pasti jauh dari KKM, nggak lulus,” celetuk Bagong yang terlalu lugu mengelola kejujurannya. “Kenapa dia bilang tidak tahu, padahal pasti dia telah belajar buanyak ilmu? Seharusnya, dia bisa menjawab dengan banyak dalil yang meyakinkan, lho!” Semar kembali berkisah. “Imam Syafi’i berkata, “Aku ingin orang- orang dapat mengambil banyak manfaat dari ilmu ini, dan tidak menisbahkan sesuatu pun kepadaku.” Kembali Bagong menyela, “Kalo saja Imam Syafi’i cuma seorang guru biasa, tentu dia sangat bangga jika banyak dikutip pendapatnya karena dianggap pakar. Wong kalo ga dikenalpun berusaha mati-mati- an mempopulerkan nama dengan segala cara.” 26
Romo Semar melanjutkan nukilan riwayat tentang Imam Syafi’i yang dipelajarinya dari buku Ihya’ Ulumuddin tulisan Imam Ghazali. “Aku tidak pernah mendebat seorang pun, lalu dalam perdebatan itu, aku merasa senang jika lawanku tersalah. Dan aku sama sekali tidak pernah berbicara dengan seseorang, kecuali aku sendiri selalu meng- inginkan agar Alloh SWT menunjukkan kebenaran, baik melalui perkataanku atau ungkapannya.” “Beda sekali ya Mo, dengan orang sekarang. Di TV, kulihat setiap debat semua berapi-api. Yang nonton ikut emosi. Lalu pertentangan justru meruncing berkepanjangan tak selesai.” Lagi-lagi Bagong memotong. “Gong! Jangan menyela terus! Pikirkan saja dulu! Pakai akalmu untuk mengerti, lalu gunakan hati untuk memahami! Mulutmu yang ndowoh suka cepat komentar itu hanya akan menghalangimu dari hakikat ilmu, yang sedang dibicarakan Romo,” sergah Petruk gemas. “Hati-hati. Penuh pertimbangan. Bahkan untuk sebuah pertanya- an yang tampak sederhana, hati orang alim selalu menimbang, apakah lebih baik dijawab atau diam lebih mulia. Sungguh bukan alternatif populer di tengah kehidupan demokratis, materialis, humanis, hedonis, individualis, yang sekarang mengglobal. Tetapi, begitulah sejatinya ahli ilmu! Begitulah semestinya semua guru! Seperti itu juga seyogyanya kamu menjadi orang tua bagi anakmu. Terus menggali ilmu, bukan hanya menghafal atau terampil melakukan, melainkan membenahi hati, mewujudkan nurani Illahi dalam setiap gerak indera ini. Lalu tancapkan keyakinan bahwa, “Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. al- Insaan:9). “Ikhlas lillaahita’ala,” Romo Semar membantu anak- anaknya memahami makna pelajarannya. “Ingat Petruk, jangan pongah hanya karena orang menganggap- mu pintar, bahkan sampai ada yang memandangmu pantas menjadi ratu! Lihat Imam Abu Hanifah! Seseorang berkata, “Sungguh, Imam Abu Hanifah senantiasa menghidupkan seluruh waktu malamnya 27
dengan beribadah.” Mulai saat itu, beliau selalu mengisi seluruh waktu malamnya untuk beribadah, lalu berkata, “Aku malu disifati dengan sifat yang tidak ada padaku.” Tiga anaknya manggut-manggut. 28
SANGKUNI DUTA Sangkuni tergopoh-gopoh datang ke Padepokan Romo Semar. Tanpa permisi ia nyelonong masuk pendopo. Matanya je- lalatan menyisir setiap sudut ruangan. Senyumnya sinis de- ngan ujung bibir sebelah kiri sedikit terangkat. Dadanya yang ke- rempeng dibusungkan, seakan berubah gagah. “Di mana pun, yang namanya Sangkuni tetap saja tak tahu pekerti. Katanya pejabat tinggi, kadang dianggap guru juga, tapi buta tata krama,” gumam Bagong yang mendampingi Semar keluar dari dalam pendopo menemui tamunya. “Yang seperti ini sulit dibeneri, Gong,” sahut Semar setengah berbisik. “Topik gosip apa kali ini yang ingin kau gosok-gosok, Sang- kuni?” tanyanya kepada sang tamu tanpa basa-basi. “Pak Semar, to the point saja ya,” jawab Sangkuni. “Aku datang membawa kabar tak enak buatmu. Hari pertandingan ilmu antara anak-anak Korawa dengan Pandawa memperebutkan hadiah besar berupa sebuah negari merdeka bernama Hastinapura, sudah dekat waktunya. Ketahuilah, saat ini para guru besar negeri ini tengah sibuk memberikan les privat secara intensive kepada Korawa. Guru-guru besar itu seperti sedang menuangkan seluruh kemampuannya dalam berbagai kemampuan ilmu, untuk ditransfer kepada para Korawa. Bisa kau bayangkan, betapa para Korawa menjadi lebih hebat dibandingkan anak-anak asuhmu, para Pandawa. Jumlah Korawa juga berpuluh-puluh kali lipat Pandawa. Ditambah lagi kebugaran dan stamina Korawa jauh lebih terjaga dengan olah raga diimbangi pola diet sehat ketat dan proporsional. Dari sudut pandang mana pun, Korawa bukan tandingan Pandawa.” 29
“Terus apa maumu? Katanya to the point tapi kok ndremimil, ngomong ndak berhenti-berhenti,” tukas Bagong. “Ya. Ya. To the point. Kusarankan lebih baik Pandawa menghindar. WO saja, daripada babak belur dipermalukan, kalah dalam pertan- dingan nanti. Tidak usah lagi bermimpi akan memiliki negeri merdeka, nrimo saja sebagai rakyat jelata. Itu jauh lebih aman bagi mereka,” kata Sangkuni. Bibirnya yang tipis tersenyum sinis. Matanya menyipit- nyipit licik, seirama dengan cuping hidungnya yang bergerak-gerak kembang kempis. Seketika Semar murka. “Eh! Dasar Sangkuni pemantik permusuh- an! Dengarlah ini! “Katakanlah: “Hai para hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh…” (QS. az-Zumar: 53) lalu Gusti Pangeran juga mengajarkan kami hasbunalloohu wani’mal wakiil “… Cukuplah Alloh menjadi penolong kami dan Alloh adalah sebaik-baik pelindung.” (QS. ali – Imron: 173). Kau tak pernah mengertikah Sangkuni, bahwa sesungguhnya “…dan rahmadKu meliputi segala sesuatu…” (QS. al-A’raaf: 156).” Romo Semar mengutip beberapa kalimat dari buku suci. “Rasain, lu! Bingung, bingunglah kau! Lebih baik kau segera pu- lang, Sangkuni! Kabarkan apa yang baru saja kau dengar kepada teman sejawatmu, kalau perlu juga kepada guru-guru besar itu! Katakan bah- wa Semar dan para Pandawa hanya bersandar kepada Gusti,” Bagong menimpali. 30
ROLE MODEL Jurus seribu bayangan! Ciat! Ciat! Ciat! Ciaaaaat!” Si Kompleng berteriak-teriak sambil beraksi di depan cermin. Nafasnya terengah-engah. Sesekali tubuhnya melompat, bahkan berguling- guling di lantai. Diraihnya sebuah guling lalu dihimpit kuat-kuat, seakan tengah mengunci mati gerakan lawan. Sesaat kemudian berdiri membusungkan dada, berkacak pinggang, mematut diri seperti pose Naruto, tokoh kartun idolanya pada poster di dinding kamar. “Ribut sekali! Lihat apa yang kamu lakukan, Le?” seru Gareng yang segera masuk mendengar suara gaduh dari kamar anaknya. “Kompleng latihan jadi ninja. Jadi jagoan. Kalau berantem, pasti menang,” jawab bocah kelas tiga SD itu enteng. Gareng tersentak, terpana. “Lah! Bukannya ke sekolah itu untuk mencari ilmu, Le? Bukan untuk berantem. “ “Tapi di sekolah suka ada anak yang mbully, ngerjain anak lain, Pak. Kemarin, Renggo adik kelas kompleng meninggal gara-gara di- keroyok anak kelas enam. Di sekolah dan di tempat bermain juga ba- nyak orang gila. Banyak teman Kompleng ‘dinakali orang gila’ sampai BAB dan pipisnya berdarah. Kalau jadi ninja, Kompleng pasti lawan mereka!” ujar anak itu berapi-api. Gareng terhenyak. Matanya terbelalak. “Bukankah di sekolah ada banyak Bapak/Ibu Guru yang mengawasi, Le?” “Bapak/Ibu Guru kan cuma mengajar di kelas, Pak, ndak sempat mengawasi murid. Pada jam istirahat atau kalau Kompleng mau pipis, ya harus sendiri. Pak Guru sibuk. Rapat.” Jawaban Kompleng mengalir lancar sambil terus meniru gaya tokoh idolanya. 31
Gareng kian ternganga. Bibirnya kaku tak lagi mampu berkata- kata. Jantungnya terpacu. Pikiran naifnya tak menyangka, anak lelaki- nya yang belum disunat itu, sudah menghadapi pertaruhan antara hidup dan mati saat di sekolah. “Ayo ke rumah eyangmu, Le! Biar Eyang mengajarimu jurus-jurus yang lebih hebat daripada ninja Naruto!” “Eyang Semar bisa jadi jagoan seperti Naruto, Pak?” tanya Kom- pleng bersemangat. Tanpa menyahut, buru-buru Gareng menarik tangan anaknya lalu menyeret langkahnya secepat mungkin sampai ke rumah Semar. “Eh! Cucuku Kompleng yang paling pinter. Sini, Le!” sambut Semar yang rupanya juga tengah galau menunggu cucunya. “Eyang sudah tahu apa yang terjadi dengan teman-temanmu. Kamu juga masih ingin menjadi seperti Naruto? Pesan Eyang, sebelum menguasai jurus seribu bayangan, gunakan jurus langkah seribu atau teriakan halilintar yang diajarkan paman Bagong, jika ada orang gila mendekatimu. Jangan clamit, gampang dibujuk dengan iming-iming apapun dari orang lain! Ingat, auratmu harus dijaga, tidak boleh ada orang lain menyentuh! Dan satu lagi, jagalah kelakuanmu di hadapan siapapun, ya Le!” Semar mengelus-elus cucunya yang mengangguk-angguk hikmat. Dan kamu, Reng sebagai orang tua, teruslah membangun diri untuk menjadi role model! Kenali lingkungan anakmu, lalu bekali mereka doa, seperti Nabi Ibrahim as ketika harus meninggalkan isteri dan bayinya, Ismail di tengah padang pasir! “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” (QS. Ibrahim:37) “Lalu di sekolah bagaimana, Mo? Guru-gurunya seperti ndak peduli,” Gareng sangat panik. 32
“Romo nanti yang mengingatkan Ketua Guru, agar para guru digembleng lagi tentang tugas dan tanggung jawabnya. Bahwa mereka juga harus menjadikan diri sebagai role model, pembimbing serta pelindung bagi para murid,” tegas Semar menenangkan anak dan cucunya. 33
PPDB Lunglai, Togog memasuki pendopo padepokan Semar sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kusut berkerut-kerut. Matanya suram sama sekali tak bercahaya. Senyum yang biasanya selalu tersungging, lenyap. Bibirnya terkatup rapat. Ber- ulangkali nafas dihempaskan keras, seolah tengah berusaha mem- buang sesuatu yang menyesakkan dadanya. “Man! Paman, barusan dimarahi Bibikah? Kok sampai putus asa begitu?” tanya Bagong yang menyambutnya. Togog tak langsung menjawab. Duduk selonjor di salah satu sudut pendopo, menghadap meja bundar pendek. Tanpa berkata sepatah juga, kerabat dekat Semar itu menyambar kopi hitam panas dan me- lahap beberapa potong singkong rebus, camilan untuk Semar yang telah terhidang di atas meja “Wah, jan! Lapar apa doyan? Sama sekali ndak ada tata krama. Mbok ya tanya dulu, yang diminum itu kopi siapa! Kalau kepengin baru minta, atau setidaknya nunggu ditawari!” Bagong bersungut-sungut. “Capek! Sia-sia semuanya,” gerutu Togog masih sambil meng- unyah singkong. “Paman stress, to? Lha wong sertivikasi barusan cair, tinggal beli mobil baru lagi, to Man? Asal jangan beli isteri baru saja, kalau ndak pengin dibejek sama Bibi!” sahut Bagong sekenanya. “Mati-matian mengajar. Segenap pikiran dan tenaga dipakai agar anak-anak menguasai seluruh materi setiap mata pelajaran. Eh! Ter- nyata, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP yang baru, cuma melihat nilai tiga mata pelajaran saja, Bahasa Indonesia, IPA, 34
dan Matematika. Apa ndak dongkol, Gong? Aku, seorang diri harus mengajarkan 11 mata pelajaran, kok yang diakui cuma tiga. Bayang- kan!” Togog memuntahkan kekesalan. Dilahapnya lagi beberapa po- tong singkong. “Aturan yang dulu, setidaknya masih mempertimbang- kan nilai semua mata pelajaran meski sedikit. Lha, kalau memang ndak diperlukan nilainya, buat apa PKN, IPS, seni budaya, dan lain- lainnya diajarkan? Kan, nambah beban guru SD? Satu guru SD mengajarkan seluruh mata pelajaran. Capek, Gong! Lelah! Sama sekali ndak dihargai, kan?” “O..alaaah, Man! Salah alamat kalau Paman mengeluh seperti itu di tempat ini. Romo Semar sendiri ndak ada yang nggaji. Ndak minta imbalan, juga ndak berharap pengakuan atas ilmu yang di- ajarkan. Boro-boro mendapat sertivikasi, untuk makan saja harus me- nanam dulu di kebun. Herannya, justru orang-orang seperti Paman ini yang begitu lahap saat menyantap jatah makanan untuk Romo,” sindir Bagong. “Setiap langkah kita harus diniatkan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridho Gusti Pangeran. Bukan untuk dipuji, dihargai, atau dihormati orang lain. Hanya dengan begitu, kehormatan sejati justru akan tercapai.” “Tugasmu sebagai guru adalah mendidik dan menyampaikan ilmu, sehingga muridmu menjadi manusia mumpuni. Ingat teladan yang diajarkan Gusti Pangeran kepada Kanjeng Nabi, “Aku tidak me- minta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku.” “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Alloh. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih,” sela Romo Semar yang keluar dari kamar- nya, mengutip QS. Shod: 86 dan Al-Insaan: 9. “Aku juga ndak berharap lebih, Kang. Cuma, sepertinya ini sama sekali tidak adil,” ujar Togog lirih. “Sudahlah! Kamu berada dalam sistem yang memperlakukanmu secara profesional. Ikuti saja aturannya! Tidak ada pekerjaanmu yang sia-sia. Kau memberi bekal lebih kepada murid-murid sebagai dasar 35
perkembangan mereka. Itu kebaikan yang luar biasa. “Maka barang- siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. az-Zalzalah:7) Kalau singkongnya masih ada, keluarkan lagi sini, Gong! Aku lapar,” kata Romo Semar. 36
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108