Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NOVEL

NOVEL

Published by Amin Hidayat, 2021-09-10 01:38:37

Description: Meretas Batas Asa

Search

Read the Text Version

Dhuh Gusti, aku takut menapaki jalan di rimba ini sendiri terlalu sepi sungguh nyaliku tak mencukupi... “Tuhan, tak ada lagi yang bisa kujadikan teman berbagi. Tidak bisa lagi kugandeng tangan siapapun untuk mendapat dukungan, tambahan tenaga. Sejujurnya aku sangat takut menjalani hari-hari ini sendiri. Tetapi tongkat yang Engkau ulurkan untuk menopang langkahku, telah Engkau ambil kembali. Kini aku sendiri dalam sunyi, menapaki jalan penuh onak duri, menuju cita diri, memahami gejolak nurani.” “Tuhan, sebentar lagi aku ujian. Bukan! Memang bukan Engkau yang mengujiku. Cuma guru-guruku. Tetapi bagiku, ini pun wujud ujianMU padaku. 19

Engkau bilang, tidaklah Engkau akan mengubah suatu kaum, jika kaum itu tidak mau mengubah dirinya sendiri. Sungguh aku sangat percaya Engkau tak pernah ingkar janji. Dan kini, maaf jika aku tengah berusaha menagih janjiMU itu.” “Aku merasa telah cukup berusaha. Kupikir, tak kurang aku belajar prihatin, demi mewujudkan mimpiku yang nyaris tak mungkin tanpa uluran tanganMU. Sakit yang kurasakan, sudah terlalu berat untuk kutanggungkan. Luka dan lara, hampir tak sanggup lagi kututupi. Tetapi aku juga tahu, mungkin itu hanya karena kebodohanku. Barangkali memang aku yang terlalu cengeng, sehingga selalu nelangsa merenungi nasib sendiri. Aku terlalu lemah, hingga terjerembab mengasihani diriku sendiri. Mungkin juga yang kualami sebenarnya belum apa-apa, dibanding yang dialami orang lain di luar sana. Hanya karena kekerdilan imanku padaMU, membuatku lupa mensyukuri semua pemberianMU. Mohon ampuni aku.” …,,, “Tuhan, jika apa yang kualami selama ini belum apa-apa, jadikan …,,, aku bisa melihatnya sebagai sesuatu yang tak berguna. Kehilangan demi kehilangan yang terjadi, tolong Engkau gantikan dengan anugerah ketabahan di dalam hati ini untuk menerimanya. Ajari aku untuk tahu, bahwa itu semua hal biasa.” 19

“Aku tahu Tuhan, apapun yang terjadi kepadaku, sesungguhnya telah Engkau gariskan di dalam lauhulmahfuz. Seperti juga perkataanMU, bahwa tak ada selembar daun kering pun yang jatuh tanpa Engkau berikan izinMU. Juga bahwa setiap orang diuji sesuai dengan kemampuan. Jadi apa pun yang selama ini aku alami, pasti atas izin dan kehendakMU, yang pasti bisa kuhadapi. Bukankah begitu Tuhan?” “Saat ini tak ada lagi tempatku berbagi. Apalagi untuk bertanya, bagaimana menghadapi hari-hari sepi dalam sendiri seperti. Hanya Engkau wahai pemilik diri Kukuh yang sejati. Walau semua pergi, Engkau pasti akan menemani, mengerti, dan menunjuki. Itu pasti.” “Tuhan, maaf jika aku lancang seperti ini. Sok-sok akrab dan bicara dengan bahasa biasa-biasa saja. Tetapi hanya ini yang kubisa. Dengan bahasa ini aku tahu betul mau bilang apa. Sedangkan kalau sekedar melafalkan doa-doa hafalan, sungguh aku ndak mengerti maksud sesungguhnya, bahkan ndak tahu seandainya salah lafalannya, tak paham bila berbeda arti maknanya. Engkau Sang Pemilik Segala Bahasa, pasti mengetahui ketulusan ucapanku, yang tidak pernah bermaksud tidak sopan kepadaMU.” Begitu Kukuh mengungkapkan isi hatinya di dalam buku catatan harian. Detik-detik ujian nasional semakin dekat. Sangat mendebarkan bagi hampir seluruh murid, apalagi orang tua. Bahkan juga bagi guru-gurunya. Namun Kukuh seperti tak terlalu peduli. Ia tetap melakukan semua pekerjaan seperti waktu-waktu sebelumnya. Setiap menjelang tengah malam, tetap bangun lalu ke dapur warung soto, mengiris bawang. 19

“Kamu ndak usah kerja dulu, Kuh! Minggu depan bukankah sudah ujian? Jaga kondisimu! Sedikit saja kamu kepeleset, bisa-bisa nggak lulus. Sekolah tiga tahun, akan kamu pertaruhkan duma dalam tiga hari ke depan, lho,” nasihat Mas Wartim, yang sekarang menggantikan posisi Pakde Sumar menjadi koki utama di warung soto Pak Isak. “Insya Alloh, aku sudah siap kok Mas Wartim,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalau aku ndak kerja di sini, terus di mana aku mau makan? Jajan? Duwitnya pake kertas?” selorohnya, sambil masih mencuci serpihan-serpihan bawang merah dengan menggunakan garam. Sesekali diusapnya matanya yang pedih terkena getah bawang merah, dengan lengan kanan. Ia tak pernah ia mengeluh, walau dengan sepatah kata juga. Hanya sesekali terdengar tarikan nafasnya sangat panjang dari hidung, lalu dikeluarkan pelan-pelan melalui mulut. Saat itu, barangkali ia tengah menata hati. Mas Wartim terpana mendengar perkataan Kukuh, yang diucapkan tanpa emosi sama sekali itu. Ada sesuatu yang menohok ulu hati laki-laki asal Tegal itu, meninggalkan sesak di dadanya. Sesaat ia tak mampu berkata apa-apa, kecuali hanya memandang nanar pemuda kurus yang belum pernah didengar keluh kesahnya, meski jelas sudah menjalani hidup terlalu keras itu. “Kuh, kalau kamu mau, tinggallah di rumahku saja! Ada isteriku yang pasti mau menjadi mbakayumu,” ujarnya kemudian. “Mas Wartim ini bercanda, to? Lha wong Mas Wartim ini pengantin baru, kalau Kukuh numpang rak ya ngganggu, to?” sahut Kukuh cepat. Ia menoleh ke arah Mas Wartim menampakkan wajah jenaka. Senyumnya jelas bermaksud ingin menggoda. 19

Yang digoda masih dikuasai emosi sentimentilnya. Sesak di dadanya tak segera hilang, karena memahami situasi pahit yang sedang dihadapi pemuda seumuran adik lelakinya itu. Tak terasa kelopak matanya penuh menggenang air. Namun sebelum buliran itu sempat luruh, cepat-cepat ia mengusapnya. “Ya sudah, kalau kamu nggak mau. Tapi, kalau ada apa-apa, atau kamu butuh bantuan apa pun, bilang saja sama aku, ya! Di sini, aku ini menggantikan posisi Pakde Sumar, kuharap kamu juga menganggapku begitu. Jangan sungkan- sungkan!” pinta Mas Wartim yang segera berlalu masuk dapur. Langkahnya cepat, menghindari tajamnya setiap kata-kata Kukuh yang telah menggoreskan perih di batinnya. Perih karena melihat betapa semangat membara dalam tubuh kurus Kukuh, bahkan ketika derita terus mendera di usianya yang masih sangat belia. Sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya melihat dan ikut merasakan setiap luka yang pasti hanya disimpan rapat dalam hatinya. Sesaat melintas di benak Mas Wartim, bayangan Hendarto, adik kandung satu-satunya yang masih sekolah di salah satu SMA di Tegal. Pada jam-jam menjelang dini hari begini, anak itu pasti masih dibuai mimpi. Baru bangkit nanti, bila Mamah sudah membangunkannya beberapa kali. Setelah sudah berbenah secukupnya, pasti hanya meminta uang jajan, tanpa pamit apalagi cium tangan Bapak dan Mamah, anak itu pergi ke sekolah, naik motor merah yang baru dibelikannya dua bulan silam. Dibandingkan dengan Kukuh, hidup Hendarto terlalu mudah. Jika keinginannya tak segera 19

terpenuhi, anak itu cukup menunjukkannya dengan ngambek. Mogok, tak mau berangkat sekolah. Di rumah mengamuk dan marah-marah. Kalau sudah begitu, Bapak dan Mamah menjadi kalang kabut, berusaha sebisa mungkin untuk meluluskan permintaan anak bungsunya. Begitu juga ketika anak itu minta motor baru, dua bulan lalu. “Duh Gusti, lindungilah anak ini,” gumam Mas Wartim lirih sambil memandang Kukuh dari kejauhan. Ia mengusap butiran air mata yang sempat luruh, bergulir di kedua pipinya saat meninggalkan pemuda kerempeng pengiris bawang itu tadi. Tanpa sepengetahuan Mas Wartim, ujung mata Kukuh pun mengikuti langkahnya sampai menghilang di balik pintu dapur. Setelah bayangan lelaki yang seumuran dengan Mas Ilham, kakak keduanya itu tak lagi kelihatan, senyumnya pun hilang. Badannya yang semula membungkuk mencuci bawang, ia tegakkan. Roman muka yang tadi jenaka, berubah sendu seketika. Dadanya berdegup lebih kencang. Kelopak matanya semakin hangat, lalu panas seperti terbakar. Masih jelas di benaknya, peristiwa dua bulan lalu, saat Mas Wartim mengajaknya ke sebuah bank, mentransfer sejumlah uang ke kampungnya di Tegal untuk membeli sebuah sepeda motor baru buat adik bungsunya. “Mas Wartim baik ya sama adiknya?” ujar Kukuh waktu itu. Suaranya nyaris tercekat di tenggorokan. “Aku ini, hanya ingin agar Hendarto tetap sekolah, Kuh. Dia itu adikku yang paling bontot. Adik satu-satunya. Aku berharap, dia nanti dia bisa kuliah. Kalau aku dulu kan nggak punya kesempatan kuliah, karena nggak ada biaya. Makanya bagaimana pun 19

caranya, yang penting dia mau terus sekolah, aku turuti keinginannya. Kalau nggak gitu, ngambek dia. Kasihan Bapak sama Mamah, yang sering diamuk sama dia,” jawab Mas Wartim. Kukuh tersenyum. Getir kesannya. Hatinya menggugat. Perasaan iri menyesaki dadanya. “Kalau saja mas-masku seperti Mas Wartim, aku ndak perlu jadi kuli begini hanya untuk sekedar bisa sekolah,” teriak batinnya. “Kalau saja mas-masku seperti Mas Wartim, aku ndak akan minta macam-macam yang ndak perlu seperti Hendarto. Cukup jika mereka mau membiayai sekolahku,” gerutunya lagi. Sepanjang kebersamaan dengan Mas Wartim hari itu, batin Kukuh terlalu sibuk dengan berbagai perandaian indah, hidup dengan lebih mudah. Seandainya mas-masnya yang telah hidup mapan, memiliki sikap seperti Mas Wartim terhadap Hendarto, adiknya. Kerena itulah, ia tak lagi mendengar apa pun yang diceritakan Mas Wartim tentang Hendarto, yang seumuran dengannya. 19

Hatinya penuh dengan perasaan iri. Juga luka karena merasa telah mendapatkan perlakuan tak adil dari keluarganya sendiri. Ujungnya meruncing pada semakin suburnya benih-benih sakit hati terhadap ketiga kakak laki-lakinya. “Kamu ndak pernah cerita tentang saudara- saudaramu, Kuh? Gimana keadaan mereka?” tanya Mas Wartim tiba-tiba. Kukuh tersentak. Sejenak ia mematung. Lalu, “Eh, mereka baik-baik, Mas. Kukuh, kan saudaranya banyak. Ndak kaya Mas Wartim yang cuma dua, kami ada 11 orang, Mas. Makanya, ndak mungkin buruh srabutan seperti bapakku itu, membiayai semua anaknya sampai sekolah tinggi. Walau sudah membanting tulang memeras keringat sepanjang hari sekalipun, berat bagi kami semua untuk bersekolah. Lha wong buat makan saja pas-pasan, pinter- pinternya ibuku mengatur uang saja hingga kami masih bisa makan dan sekolah sampai SMP. Aku dan dua orang mbakyu, kakak perempuanku, sudah lulus SMP saja sudah Alhamdulillah,Mas. Adik-adik, entah kelak bisa sekolah ndak, Kukuh juga ndak tahu, Mas,” jawabnya enteng seperti biasa. Namun di balik ringan nada bicara, ia menyembunyikan serpihan luka di bagian paling ujung perasaan, setiap kali teringat ketiga kakak lelakinya. Rasa sakit terhadap mereka yang telah mengenyam kemudahan bersekolah, sampai mendapatkan kehidupan mapan sebagai pegawai negeri, lalu abai terhadap keluarga itu tetap menggerogoti hatinya. Sambil melanjutkan pekerjaan, Kukuh berusaha sekuat tenaga untuk kembali berpijak pada kenyataan hidupnya sendiri. Didongakkan wajahnya sebentar, “Tuhan,” gumamnya menggantung.Lama 19

kalimat pendek itu tak kunjung disambung dengan kata-kata lainnya. Hanya kedua tanggannya yang semakin sigap mengaduk irisan bawang, dicampur dengan garam, dibilas dengan air kran, lalu ditiriskan. Pekerjaannya usai, setelah ia membawa irisan bawang itu ke dapur, lalu meletakkannya di dekat kompor, sebelum akhirnya Mas Wartim atau asisten koki menggorengnya. Tak seperti biasa, Kukuh segera pulang, seusai menyelesaikan pekerjaan. “Mas Wartim, Kukuh pulang dulu, ya!” pamit Kukuh segera setelah pekerjaannya selesai. “Lha, nggak sholat Subuh dulu?” Mas Wartim yang sedang meracik bumbu seperti yang selalu dilakukan Pakde Sumar, balik bertanya tanpa menoleh. “Biar nanti Kukuh sembahyang di rumah saja. Lagi pula, seperti Mas Wartim bilang tadi, Kukuh harus belajar, to?” jawabnya tetap sambil tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, Kukuh melangkah cepat meninggalkan dapur tempatnya bekerja. Mas Wartim yang beberapa saat kemudian menoleh ke arah suara, sudah tidak lagi melihat bayangan tubuhnya. Sampai di rumah, Kukuh melemparkan tubuhnya ke ranjang. Selembar kasur pegas tebal yang selalu ditidurinya berdua dengan Pakde Sumar. Ia tertelungkup. Didekapnya erat bantal, yang biasanya dipakai alas kepala Pakde Sumar, untuk menutupi seluruh wajahnya. Sekejap kemudian bahunya berguncang-guncang. Semakin dalam ia menenggelamkan wajah ke bantal yang telah kumal itu. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup terdengar isak tangis mengiris membelah celah-celah antara bantal dan wajahnya. Pemuda belia itu, akhirnya 19

menangis meraung-raung. Meronta-ronta tanpa pernah mengiba. Membagi pedih lara hatinya, dengan bantal yang ada gambar Pakde Sumar di atasnya. Tangis seorang pemuda yang ingin terus bertahan, menapak di atas onak duri, tanpa hendak tampakkan luka-luka pada orang lain. “Tuhan, apa sebenarnya hendakMU terhadap diri Kukuh ini? Engkau telah memberiku dua orang tua hebat, yang mau melakukan apapun demi anak- anaknya. Bahkan telah menggadaikan seluruh harta benda, demi menempatkan anaknya pada posisi matang. Engkau berikan kepadaku saudara banyak. Tiga kakak yang pantas dijadikan contoh, karena telah menyelesaikan sekolah dan mendapat pekerjaan mapan. Sedangkan dua mbakyu aku, adik-adikku, sepertinya ndak mungkin sekedar berharap bisa terus bersekolah, meski Bapak Ibuk telah memeras keringatnya sampai kering. Jangankan berpikir memiliki barang-barang mewah, sekolah jenjang SMA saja kini bagiku, mbakyu, dan adik-adikku, adalah sesuatu yang sangat mewah. Di tengah kesulitan itu, Engkau mengirim Pakde Sumar untuk memapahku. Dia menegakkan langkahku, mentas dari rasa putus asa, setelah Bapak menyerah tak mampu menanggung biaya sekolahku. Semangat kemudian kudapat. Langkah dan keyakinanku akan pertolonganMU kian kuat. Lalu ketika kaki ini nyaris berdiri, Engkau penggil kembali Pakde Sumar, membiarkanku benar-benar tertatih sendirian. Hanya keyakinan yang telah tertanam kuat tentang kasih sayangMU membuatku masih terus bertahan. Walau sebagai laki-laki, aku menjadi sering menangis, itu cuma bila sedang di hadapanMU. 19

Lalu sekarang ini, di tengah sunyiku. Di antara ketakutanku. Dalam tangis bodohku, Engkau tawarkan mimpi-mimpi yang menggiurkan. Air liurku sampai menetes-netes tak terkendali, karena ingin aku mengecap lezatnya mimpi yang Engkau beri. Engkau hadirkan Handi dan orang tuanya, yang seolah menyuguhiku untuk mewujudkan mimpi bisa memiliki apapun yang biasa dan boleh dipunyai anak- anak seusiaku. Mereka mengulurkan tangan, memamerkan segala hal, yang bahkan tak boleh untuk sekedar kubayangkan akan dapat diberikan oleh tangan kurus Bapak dan Ibuku. Ya, aku sadar, jelas bukan karena Bapak Ibuk ndak mau memberikannya untukku, tetapi karena sebagai buruh srabutan di kampung dengan tujuh anak masih sekolah, mustahil mereka bisa mendapatkan fasilitas seperti yang ditawarkan Handi. Engkau seperti tengah mengiming-imingiku dengan mimpi tengang kehidupan yang sangat mudah. Tidak harus membanting tulang, tanpa musti memeras keringat. Pun tak perlu mengesampingkan malu dan gengsi, karena bekerja sebagai buruh kasar sekedar untuk bisa makan dan sekolah. Kalau sekarang aku menyambut uluran tangan Handi dan kedua orang tuanya, apakah semua mimpi tentang hidup yang lebih mudah itu akan nyata kujalani? Apakah Kukuh akan menjadi lebih baik dari hari ini? Tuhan, ijinkan Kukuh bertanya. Tawaran manis ini adalah benar rahmad pertolonganMU untukku, ataukah batu sandungan untuk menguji tekad dan kesungguhanku, dalam menempuh jalan terjal yang telah Engkau gariskan bagiku? Aku tak berani menerima uluran kebaikan mereka, karena sangat takut merasa terlalu gembira, lalu lupa 19

bagaimana menghadapi lara ketika Engkau mengambilnya kembali. Walaupun jujur, Engkau pasti lebih mengetahui, bahwa aku sangat ingin mencicipi hidup seperti Handi. Lalu Engkau pertemukan juga aku dengan Mas Wartim. Mimpiku tentang seorang kakak melekat padanya. Betapa ingin aku menjadi Hendarto, yang mendapat dukungan penuh dari kakaknya, hanya agar ia tetap bersekolah. Ingin aku memeluk dan membagi bebanku bersama Mas Wartim, setiap kali ia menawarkan perhatian dan kepedulian. Ia seperti sosok satire, selalu menyindir aku sebagai seorang pendamba hadirnya kakak yang peduli terhadap adik- adiknya. Mendamba dia. Lima kakakku, tak pernah ada yang menanyakan perasaanku. Tak satupun yang mendekatiku dan bertanya, “Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu, Adikku?” Bahkan tak ada satu pun kakakku yang mendekat, ketika aku dinyatakan sebagai pelajar terbaik kecamatan, menangis di samping kandang karena ndak punya harapan bisa melanjutkan sekolah. Walau begitu, barangkali tak seharusnya kusambut uluran kebaikan dari Mas Wartim. Karena bukankah Engkau sudah mengirimkan Pakde Sumar untuk mewujudkan keinginanku itu? Tuhan, sejujurnya aku iri kepada Hendarto yang punya kakak sangat peduli. Aku iri sama Handi yang punya orang tua serba ada. Aku iri kepada mereka yang bisa berbagi suka duka dengan keluarganya. Intinya, aku sangat iri kepada mereka yang di mataku seperti telah Engkau beri anugerah untuk menjalani hidup dengan sangat mudah. Begitu menyenangkan. Tetapi aku tahu, yang Engkau berikan Kukuh seperti ini, pasti yang terbaik bagiku. Jadi biar saja 19

tetap begitu, asal Engkau tetap yang mengendalikan jalanku. Aku hanya ingin berbagi kejujuran ini denganMU, ya Tuhan, walau sebenarnya tanpa kukatakan juga Engkau pasti lebih tahu. Bukan maksudku menggugat keputusanMU atasku, hanya karena aku benar-benar ndak tahu sama siapa akan mengadu, selain kepadaMU. Ijinkan aku hanya berbagi uneg-unegku ini kepada MU.” Kukuh kembali tenggelam dalam monolognya sendiri. Selang beberapa menit berlalu, Kukuh masih menenggelamkan wajahnya di dalam bantal. Lalu terdengar suara, “Assholatukhoirumminannauum.” Panggilan muadzin menjelang adzan Subuh mengembalikannya dari lamunan. Ia bangun. Ditatanya kembali ranjang itu seperti semula. Bantal, guling, dan selimut yang biasa dipakai Pakde Sumar, dibiarkan tetap berada di tempat biasa. Demikian juga dengan bantal, guling dan selimutnya sendiri, ditata persis seperti saat Pakde Sumar masih ada. Ia melangkah menuju kamar mandi. Sejurus kemudian terdengar suara byar byur, Kukuh mandi. Sampai semburat merah membelah gelap di ufuk timur mengantar fajar datang, Kukuh bersimpuh di atas sajadah. Ia bawa seluruh lelah dan lukanya dalam pasrah. Ia sematkan sekeping asa yang masih tersisa dalam setiap untaian doa. Ia teriakkan tangis pilu lewat lantunan suci kalam Illahi, juga dendang puji- pujian. Ia terus mencoba mempertemukan antara keinginannya, dengan kehendak Sang Maha Penguasa. “Tuhan, jangan biarkan aku sendiri,” senandungnya lirih sambil bersujud. 19

Tok. Tok. Tok. Tok. Tok. Pintu kayu rumah petak kontrakan tempat tinggal Kukuh, diketuk seseorang dari luar. Pemuda belia yang sedang menekuni buku pelajaran itu menoleh. “Ya, siapa?” tanya di dalam batinnya sambil bangkit, lalu berjalan menuju pintu. Dibukanya sedikit tirai jendela, mengintip siapa yang telah membuyarkan konsentrasi belajarnya sore-sore begitu. Betapa ia terkejut, ketika dilihat sahabatnya Handi sudah berdiri di depan pintu. Buru-buru ia membuka pintu. “Hei! Han, ndak salah nih, kamu datang? Ada apa sore-sore gini?” tanyanya tanpa bisa menyembunyikan rasa heran. “Sengaja aku datang ke sini. Aku kepengin jalan- jalan melepaskan stress, sebelum lusa mengerjakan soal-soal ujian. Berat banget kepalaku terlalu banyak belajar, Sob,” jawab Handi tampak sangat serius, 19

sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Besok, kan masih libur. Katanya hari tenang. Jalan-jalan yuk! Refreshing sebentarl lah, Kuh biar besok kalau ngadepin lembar soal, kita tetap relaks,” bujuknya. Kukuh terlihat ragu-ragu. Ditatapnya sahabat karibnya itu lekat-lekat. “Apa ndak lebih baik kamu masuk saja, kita belajar bersama?” tolaknya halus. “Sudah kubilang, kali ini aku sengaja datang karena kepingin ngajak jalan-jalan kamu, Sob, bukan untuk belajar. Sudah cukup kurasa belajarnya. Nanti kalau terlalu tegang, justru nggak bisa mikir waktu ujian. Lagian, aku yakin kamu sudah siap banget. Sekali-kali ayolah nikmati hidup ini,” rayunya lagi. Kukuh masih ragu. Tetap ditatapnya mata sahabat yang telah menawarkan banyak kebaikan itu, lebih dalam. Lalu dialihkan pandangan ke dalam, pada tumpukan buku pelajaran. Sesaat matanya sempat melirik ruangan belakang yang gordinnya tersingkap, pada bantal Pakde Sumar. Seutas nafas panjang dihirupnya dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan sambil kembali mengarahkan pandangan pada Handi, yang masih berdiri menunggu jawabannya. Sepenggal senyum diukir di bibir. “Baiklah, tapi sebentar saja, ya!” Seketika Handi melonjak kegirangan. Hampir saja dia memeluk tubuh Kukuh yang berdiri tegak di tengah pintu. Namun secara reflek teman kerempengnya itu mengelak, sambil berkata, “Tapi tunggu aku ganti baju dulu! Ayo masuklah!” Kukuh segera membalikkan badan lalu melangkah kembali masuk kamar. Selang beberapa menit kemudian, ia menemui Handi yang memilih menunggunya di luar rumah. “Lha, mentang-mentang rumahnya gedongan 19

ya, jadi ndak mau masuk gubug kumuh, kaya gini nih?” selorohnya sambil menutup pintu rumah. Sesaat Handi terkesiap mendengar ucapan Kukuh. Ia sadar telah membuat sahabatnya itu tersinggung. Cepat-cepat ia menyahut, “Bukannya nggak mau masuk kamarmu, Kuh. Kamu pasti nggak tahu kalau ada yang harus kujaga di luar rumahmu ini, kan?” jawabnya dengan senyum jenaka sambil menaikkan alis mata. Ia berusaha menutupi canggung akibat rasa bersalahnya. “Wah, sebenarnya kamu ini memang sungguh keren, Sob. Kalau badanmu agak berisi sedikit saja, ikuta casting sinetron pasti dapat peran,” godanya sambil mencermati penampilan sahabatnya, yang mengenakan celana jeans hitam dengan T-shirt putih. Yang digoda agak keki. “Ke mana to Han, kamu kepengin perginya?” tanya Kukuh tersipu-sipu. “Namanya juga jalan-jalan. Ya, jalan-jalan saja, cuci mata ke mana saja kita suka. Sekali-kalilah nikmati makanan enak di tempat yang asik sambil kongkow, nggak cuma di warung soto Pak Isak terus,” jawab Handi sekenanya. Diliriknya wajah Kukuh yang berjalan di sampingnya sambil sedikit bersungut- sungut. Tak ada lagi percakapan sepanjang perjalanan dari rumah kontrakan Kukuh menuju mulut gang samping warung soto Pak Isak. 19

Mobil Handi terparkir di area parkir warung soto, yang sore itu terlihat penuh. Handi langsung mendekati Pak Yanto, petugas parkir di tempat itu. “Trimakasih, Pak! Akhirnya saya berhasil mengajak keluar si kutu buku ini, “ bisik Handi ke telinga Pak Yanto, sembari melempar lirikan ke arah Kukuh yang berdiri di sampingnya. Pak Yanto pun tersenyum manggut-manggut. “Nah, gitu Kuh, sekali-kali jalan-jalan keluar, biar nggak cepet tua!” goda Pak Yanto pula. Yang digoda lagi-lagi hanya nyengir kuda. “Pak Yanto, saya pergi dulu ya!” pamitnya. Pak Yanto mengangguk. “He eh, nikmati harimu, Kuh!” katanya setengah berteriak. “Ayo, kamu duduk di depan!” pinta Handi sambil membukakan pintu bagi sahabatnya. Seperti kerbau dicocok hidung, Kukuh patuh tanpa berkata apa-apa. Selang beberapa saat, mobil putih itu meninggalkan area parkir warung soto Pak Isak, “O, ya Sob, aku bawa teman lain. Tuh, kenalin di belakangmu!” kata Handi sembari melihat spion kecil di atas mukanya. Senyumnya lebar. Kukuh menoleh ke belakang. “Zrrrrrrr!!!!!!” Seketika darahnya seperti tersirap. Matanya terbelalak lebar. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Keringatnya bercucuran meski tengah duduk di dalam mobil yang ACnya sangat dingin. Tangannya gemetar. Ia mematung. Bahkan ketika tangan mungil dari jok belakang itu terulur, ia hanya tertegun. Hanya matanya yang terus terbelalak, seakan tak sanggup berkedip menatap wajah di belakangnya. 19

“Hei, masih ingat?” sapa suara dari jok belakang sambil terus mengulurkan tangannya. Suara itu sangat dikenalnya. Suara yang selama ini selalu terngiang-ngiang di telinganya, meski telah ditutup rapat dengan bantal Pakde Sumar sekalipun. Suara yang telah membuatnya diam-diam merindu dan selalu mencari si empunya. Suara Zulaikha! Kukuh masih mematung. Matanya nanar menatap senyum gadis manis yang masih mengulurkan tangan mungilnya. Sepertinya, pemuda kampung itu tengah mencoba percaya dengan apa yang ada di hadapannya. “Heh, Kuh! Gimana, sih? Masa membiarkan gadis menunggu sambil mengulurkankan tangan kaya begitu!” tegur Handi sambil menyenggol tubuh Kukuh dengan sikunya. Teguran dan senggolan Handi, mengembalikan kesadaran Kukuh yang sesaat hilang. Cepat diukirnya senyum di bibir, meski terlihat sangat kikuk. Seketika sepasang lekik pipi menawan muncul di kedua pipinya. “Eh! E, iya. He eh, Zulaikha, ya?” ujarnya terbata-bata. Masih terlihat gemetar, disambutnya tangan gadis yang masih terulur itu. Terasa sangat hangat jemari gadis itu di genggamannya, yang seakan membeku. Tubuhnya lunglai, tetapi beruntung masih bisa menjadikan sandaran jok sebagai penopang agar tetap duduk dengan tegak. “Heehm. Heehm!” Handi menggoda. Senyumnya sangat jenaka. Matanya berpindah-pindah dari wajah sahabatnya ke arah gadis di jok belakang. “Santai saja, Sob! Jangan kikuk gitu! Jangan grogi! Ini jauh lebih mudah dari ujian kita lusa,” ledeknya lagi. Alis matanya dimainkan naik turun, sambil terus tersenyum. 19

Yang diledek tampak semakin canggung. Wajah pemuda kerempeng itu tersipu-sipu, tak mampu lagi menyembunyikan mekarnya bunga- bunga di dalam hatinya. Ia malu- malu. Hatinya kelimpungan, tanpa tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan. Tak tampak sama sekali sikap tegas penuh keyakinan, yang selama ini identik dengan kepribadiannya sebagai buah dari tempaan keras hidupnya. “Nah, kamu sudah tahu sendiri, kan Dinda. Kukuh sahabatku ini, jelas bukan anak pintar seperti kamu bilang. Dia bukan jagoan yang pernah kamu temui di kampus Depok waktu itu, kan? Barangkali namanya saja sama, Kukuh. Bedanya, yang di sana itu Kukuh yang juara dan macho, sedangkan yang di sini Kukuh yang banci. Lihat saja, dia sampai gemetaran kaya gitu ngadepin cewek yang cuma pengin ngajak salaman.” Lagi-lagi Handi menggoda. Ia terus berseloroh, sengaja meledek sahabatnya yang tak kunjung bisa menguasai diri. “Sudahlah, Kak Handi! Jangan terus diledeki!” sergah Adinda Zulaikha, gadis di jok belakang itu. Ia mulai tak enak hati mendengar seloroh kakak sepupunya. “Apa kabar, Kukuh? Sudah lama, ya,” ujarnya berusaha mencairkan suasana. Senyumnya sengaja ditahan, tersipu-sipu. Matanya sendu 19

menyaksikan pemuda yang tengah mati gaya di hadapannya. Pemuda bersahaja yang telah menjadi bunga mimpinya, sejak bertemu lebih dari delapan bulan lalu. Yang sudah menyingkirkannya dari kursi juara dalam lomba pembuatan robot.Yang telah ia coba mencari identitas lengkapnya melalui jalur facebook, tetapi hasilnya nihil. Yang di matanya, terlihat sangat berbeda. Sangat tidak sama dengan pemuda-pemuda lain seumuran, apalagi jika dibandingkan dengan kakak sepupunya, Handi. pemuda-pemuda lain seumuran, apalagi jika dibandingkan dengan kakak sepupunya, Handi. Zulaikha membiarkan senyumnya semakin mengembang, mengalirkan kehangatan yang langsung menyentuh bekunya hati Kukuh. Kehangatan sama dengan yang dialirkan melalui tulus uluran tangannya. “Sudah siap ujian?” Ia terus berusaha mencairkan suasana agar pemuda di hadapannya itu nyaman dengan dirinya sendiri. Jauh di dasar hati, gadis hitam manis itu justru sangat menikmati suasana. Ia semakin mengagumi kepolosan pribadi sederhana yang nyata ada di depan matanya. “Insya Alloh,” jawab Kukuh singkat. Perlahan, pemuda belia itu pun menangkap kehangatan yang terus diselimutkan gadis hitam manis di hadapannya. Hatinya yang beku, tubuhnya yang gemetar, lidahnya yang kaku, persendiannya yang kelu, pelan-pelan mulai kembali normal. Seberkas senyum kecil tersungging di bibirnya, kembali mengukir lekik pipi yang kian membuat Zulaikha terpana. “Dinda, kamu pengin makan apa?” tanya Handi tiba-tiba. “Aku yang jadi sopir laper banget, nih,” tambahnya dengan senyum menggoda. 19

“Kak Handi saja yang pilih. Bukannya, tadi Kakak yang bilang mau traktir kita makan?” balas Zulaikha. “Wah. Wah. Bagi Adinda, sekarang nggak penting lagi, jenis makanannya apa. Semua pasti enak ya, Dinda? Ya iyalah, makan bareng gebetan, gitu loh!” Handi terus menggoda keduanya. Wajahnya sangat jenaka, terlihat begitu gembira. Ia sangat menikmati ketika melihat dua orang yang dicomblanginya, tersipu-sipu. Dalam hatinya tertawa bangga, “Aku jauh lebih hebat dibanding kalian berdua yang juara dalam lomba karya ilmiah remaja. Nyatanya, aku bisa membuat kalian berdua mati gaya,” kata batinnya. Senyumnya semakin jenaka. Di sebuah warung makan Bakmi Jawa, Handi berhenti. “Di sini saja kita makan. Setelah itu kuantar Dinda pulang. Kalau sampai kemaleman, aku bisa kena marah paman,” tuturnya. Ia membuka pintu mobil lalu langsun g ngeloyor masuk warung makan. Sambil berjalan ia berujar, “Bukakan pintu buat bidadarimu, Sob!” Kukuh masih tetap kikuk. Namun tanpa membantah ia menuruti perintah Handi. Dibukakannya pintu belakang mobil, menunggu sampai Zulaikha turun, baru kemudian menutupnya kembali. Dari jarak sepuluh langkah kaki, Handi memperhatikannya dengan senyum semakin mengembang. Ditekannya kunci alarm mobil, masuk memilih tempat di sudut terdalam, lalu memesan makanannya. Kukuh dan Zulaikha segera menyusul. Keduanya tak banyak berkata, namun jelas terlihat rona wajah Kukuh tak lagi sekaku awalnya. Senyumnya tersungging manis, berhias dua lekik pipi. 19

Berada di warung makan besar, bukan sebagai pengiris bawang di dapur tetapi sebagai pengunjung, membuatnya sedikit canggung. Meski begitu, ia berusaha bersikap sewajar mungkin. Sedangkan Zulaikha terlihat sangat tenang. Ia jelas lebih mampu mengendalikan perasaannya. Ia cantik dalam kesederhanaan, baik dalam sikap maupun penampilan. Wajahnya hampir selalu tegak, terkesan sangat percaya diri, menampakkan kecerdasannya. Keduanya tampak sering saling melempar senyum. Handi terus menampakkan raut menggoda. Senyumnya selalu disertai lirikan mata ke arah adik sepupu dan sahabat baiknya itu. Alis matanya pun terus dimainkannya naik turun. “Aku sudah mempertemukan kalian. Selanjutnya, terserah kalian saja,” ungkapnya sesaat sebelum menyantap makanan yang dipesan, seporsi bakmi goreng spesial, menu unggulan rumah makan itu. Dalam sekejap seporsi mi telah berpindah ke perutnya. Selang satu jam berlalu, ketiganya menuju rumah Zulaikha di salah satu kompleks perumahan mewah di Depok. Paman Handi, ayah Zulaikha tampak telah menunggunya di serambi rumah. “Assalaamu'alaikum,” salam Handi diikuti Kukuh dan Zulaikha. “Wa'laikum salam warahmatullaah,” jawab ayah Zuaikha sembari tersenyum ramah. Diciumnya tangan pamannya lalu melapor, “Paman, Handi sudah memenuhi janji, membawa Adinda pulang, sebelum jam 12 malam. Malah ini baru jam 10,” lapor Handi dengan gaya militer yang jenaka. Adinda Zulaikha pun segera mencium tangan ayahnya. Dalam waktu yang sama, ibunya keluar dari 19

dalam rumah. Segera pula Handi menyalami dan mencium tangan tantenya. Zulaikha pun melakukan hal sama terhadap ibunya. “O, ya, Paman, Tante, ini teman Handi, Kukuh namanya. Walau kerempeng begini, ni Om, Tante, dia jago di pelajaran. Dia ini yang ngalahin Adinda waktu lomba di kampus Depok kemarin,” tutur Handi jelas mempromosikan Kukuh. “Syukur alhamdulillah, akhirnya kamu menemukan teman yang benar, Han!” jawab ayah Zulaikha sambil mengulurkan tangan kepada Kukuh. Senyumnya masih mengembang. Agak kikuk, tetapi segera Kukuh menyambut uluran tangan ayah Zulaikha. “Kukuh, Om,” ujarnya memperkenalkan diri. Ia tak mencium tangan lelaki berwibawa di hadapannya itu, tetapi sedikit membungkukkan badannya. Seperti biasa jika ia berbicara dengan orang yang lebih tua. Ia melakukan hal sama terhadap ibu Zulaikha. “Masih ada waktu seperti katamu, Han, ayo ajak temanmu masuk dulu!” ajak ayah Zulaikha sambil mempersilakan mereka duduk. “Paman ingin tahu, apakah kamu benar sudah mempersiapkan ujian?” tambahnya seraya duduk di bangku. Malu dan canggung meliputi perasaan Kukuh, yang belum pernah bertandang ke rumah orang lain malam-malam. Apalagi yang didatangi keluarga kaya. Ditambah lagi bahwa rumah mewah yang didatangi itu, adalah tempat tinggal gadis yang menjadi bunga mimpinya sejak delapan bulan terakhir. Sedapat mungkin ia berusaha menguasai diri. Bersikap senatural mungkin. Meski begitu, kesan malu dan kikuk tetap lekat. Tubuhnya bersimbah keringat dingin. 19

“Kukuh, ayo duduklah! Santai saja, masih sore,” kata ayah Zulaikha yang menangkap kesan kikuk dan malu dari diri Kukuh. “Kukuh memang jago di pelajaran, Om. Tapi ya gitu deh, parno kalo ngadepin orang lain, apalagi cewek,” ujar Handi kembali meledek sahabatnya. Yang digoda hanya cengar-cengir semakin salah tingkah. “Handi, kamu ini senengnya kalau nggangguin orang lain. Ayo Kukuh, duduklah! Om senang kalau akhirnya keponakan Om ini, punya teman anak baik sepertimu. Ajari dia ya, biar nggak jadi semakin liar!” Sikap ayah Zulaikha semakin ramah, berusaha mencairkan suasana. “O.. ya, di mana rumahmu?” tanyanya tiba-tiba. Sesaat semua terdiam. Tampak Handi yang akan segera angkat bicara. Tetapi sedetik sebelum kata pertama terlontar dari mulutnya, siku Kukuh menyodok lengannya. Mulutnya terkatup kembali. Ditolehnya sahabatnya itu dengan pandangan penuh pertanyaan. Keningnya sedikit berkenyit. Senyum jenakanya menghilang seketika. Kukuh menata hati. Selembar nafas panjang ditariknya dalam, mengumpulkan segenap keberanian. Beberapa saat kemudian, terlihat lehernya tegak. Senyum kecil berhias lekik pipi kembali dipamerkan, menyamarkan kegugupannya. “Kukuh tinggal di kontrakan, Om. Di Pasar Minggu,” jawabnya. Ayah Zulaikha memiringkan kepalanya. Ia menatap lebih lekat wajah pemuda teman keponakannya itu. “Maksudnya, kamu dan keluargamu tinggal di rumah kontrakan?” ia meminta penjelasan. 19

“Endak, Om. Saya tinggal sendiri di kontrakan. Orang tua di kampong. Di Gunungkidul,” aku Kukuh jujur. “Kamu tinggal sendiri di Jakarta?” tanya ayah Zulaikha. Wajahnya terpana, mulutnya ternganga, seolah tak percaya. “Iya, Om. Tapi baru satu setengah bulan ini saja saya sendirian. Sebelumnya, saya bersama Pakde Sumar, tetapi beliau meninggal lebih dari sebulan lalu. Saya memilih tetap tinggal di kontrakan, sampai nanti selesai ujian,” tutur Kukuh yang mulai merasa nyaman. “Paman, Kukuh ini berjuang sendiri untuk bisa tetap sekolah dan tinggal di Jakarta. Sama sekali nggak ada keluarganya yang membantu,” sela Handi yang tak tahan terus diam. “O, ya? Bagaimana ceritanya sampai bisa begitu? Handi, kamu juga diam saja nggak membantu temanmu?” Ayah Zulaikha terlihat semakin ingin tahu. “Handi melebih-lebihkan saja, Om. Orang tua Kukuh di kampung, bekerja sebagai buruh apa saja. Kadang tani, tukang batu, atau cari rumput untuk ternak. Saudara Kukuh ada 10 orang, jadi hanya sanggup menyekolahkan anak-anaknya sampai SMP saja. Kebetulan ada Pakde Sumar yang mengajak saya ke Jakarta, dan membiayai sekolah saya. Setelah Pakde Sumar meninggal, saya memilih tetap tinggal untuk menyelesaikan sekolah,” papar Kukuh tak kikuk lagi. “Kukuh bekerja di warung soto Pak Isak, di Pasar Meinggu itu, lho Paman. Tengah malam dia mulai bekerja. Sampai subuh, dia baru pulang ke kontrakan, belajar. Pulang sekolah kembali membantu di warung, 19

makanya badannya sampai kurus begitu,” cerocos Handi berapi-api. Jelas terlihat rona kebanggaan di wajah pemuda berkulit bersih itu. Muncul kesan, ia tengah mempromosikan sahabatnya itu kepada pamannya. Kukuh kembali tersipu-sipu, sama sekali tak menduga Handi akan begitu terbuka kepada ayah Zulaikha. Dia menunduk, tetapi ujung matanya melirik Zulaikha yang tekun menyimak pembicaraan mereka. Demikian pula dengan ibunya. Sekilas matanya menangkap tatapan sayu dari mata si bintang kejora, Zulaikha. “Tapi, Paman tadi tanya apa Handi nggak membantu teman, kan? Kukuh ini sombongnya bukan main, Paman. Dia nggak mau Handi ajak tinggal di rumah. Padahal Papa sama Mama seneng banget Handi berteman dengan dia, makanya mereka mau menanggung semua kebutuhan Kukuh. Bahkan mereka bilang akan memperlakukan Kukuh seperti kepada Handi, anaknya sendiri. Tidak perlu bekerja jadi buruh di warung soto. Hanya harus konsentrasi belajar. Tapi, ya begitulah Kukuh, Paman, dia memilih membanting tulang memeras air mata cuma sebagai pengiris bawang juga tukang cuci piring, Paman.” Handi terus memaparkan kehidupan Kukuh. Mulutnya seakan tak lelah untuk membuat cerita yang meyakinkan tentang sahabatnya. Kukuh menjadi agak jengah dengan Handi, yang masih terus bercerita tentang kehidupan getirnya di Jakarta.“Sudahlah, Han, ndak usah ceritakan semua! Lha wong hidup susah saja kok, kamu pamerkan, to? Ndak lucu, tahu! ” tukasnya. Wajahnya muram, jelas tampak tidak senang. 19

Seketika Handi bungkam. Pemuda itu tertunduk, tiba-tiba merasa bersalah.Sejenak suasana menjadi sepi, sedikit kaku. Kukuh juga membuang pandangannya ke lantai lebih karena malu, sisi kehidupannya yang penuh kegetiran tiba-tiba dibuka lebar di hadapan Zulaikha dan keluarganya. Ayah Zulaikha membaca perubahan raut muka Kukuh. “Kukuh, Handi ini bukan sedang ingin memamerkan deritamu, apalagi bermaksud menghina kamu. Justru Om melihat, Handi itu bangga banget punya sahabat seperti kamu. Terus terang ya, Om belum pernah melihat keponakan Om yang satu ini, terang-terangan membanggakan temannya seperti sekarang. Sekarang Om juga jadi tahu, kamu memang patut dibanggakan. Karena semangat belajarmu yang tetap membara, meski ditempa begitu banyak penderitaan. Hinaan dari teman-teman, termasuk dari Handi sendiri, tak serta-merta membuatmu menjadi lemah. Barangkali tidak banyak yang bisa bertahan dalam kondisi seperti dirimu sekarang ini. Jadi, nggak perlu kamu malu, apalagi rendah diri hanya karena kami mengetahui liku-liku kehidupanmu! Om juga jadi kagum sama kamu, Kukuh.” Ayah Zulaikha berusaha kembali mencairkan suasana. “Iyalah, Sob. Sorry kalo aku salah! Tapi aku berani cerita begini, juga karena aku yakin banget kalo Paman sama Tante, bukan orang tua matre. Mereka ini, tipe orang tua yang sangat menghargai orang lain, apalagi terhadap mereka yang hidup dalam penderitaan. Bener kata Paman tadi, aku nggak bermaksud merendahkanmu. Justru sebaliknya, aku bangga memiliki sahabat seperti kamu,” sela Handi. 19

Wajahnya serius, memohon pengertian. “Tapi, kamu juga jangan keterlaluan, Handi! Pikirkan dulu sebelum berkata-kata. Walaupun maksudmu baik, kalau disampaikan dengan cara keliru, waktu yang tidak tepat, akan menyebabkan orang lain, termasuk Kukuh menjadi tersinggung. Kamu ini, kan memang senang sekali mengolok-olok orang,” sahut Ayah Zulaikha lagi sambil menatap serius ke arah Handi. Yang ditatap semakin menunduk. Zulaikha dan ibunya, mengangguk-angguk tanda setuju. Mereka menatap penuh simpati kepada Kukuh yang masih tertunduk malu. Sejenak kemudian, wajah pemuda belia itu tegak. Senyumnya mengembang dengan dua lekik pipi. Deretan giginya yang putih pun dipamerkan, lalu berkata riang, “Ndak apa-apa kok Om. Kukuh ndak marah sama Handi. Sudah tahu betul, sifatnya memang seperti itu. Walaupun dia yang paling sering nyebut Kukuh ini banci, tapi dia juga satu-satunya sahabat paling baik yang Kukuh miliki. Malah kadang- kadang Kukuh berfikir, dia itu yang banci karena benar-benar sayang sama Kukuh. Iya, kan Han? ” Kali ini, matanya melirik jenaka ke arah Handi. Yang dilirik hanya cengar-cengir, tak mengelak. Seorang wanita pembantu rumah tangga keluar, membawa teh hangat dan sepiring kue. “Ayo dicoba kuenya. Itu tadi bikinan Zulaikha, lho. Selain hobi elektronik, dia juga suka bikin kue, ” kata ibu Zulaikha memecah sunyi. Seketika suasana kembali hangat. Mereka berbagi senyum, sambil menikmati teh hangat yang masih mengepulkan aroma wanginya. 19

Zulaikha yang sejak semula diam, juga mulai bicara. “Ini bayaran bagi Dinda, karena sudah mau diculik Kak Handi lalu diajak jalan-jalan tadi sore. Enak atau tidak enak, kue bikinan Dinda harus dihabiskan,” selorohnya sambil menyodorkan sepiring penuh brownis ke hadapan Handi dan Kukuh. Kedua orang tua gadis itu pun tersenyum hangat. Handi melihat betapa situasi sudah begitu hangat. Bahkan paman dan tantenya pun tampak tak seperti biasanya, yang selalu memasang tampang seram setiap kali Handi datang dengan membawa teman laki-laki, khawatir berpengaruh buruk terhadap anak gadisnya. Kali ini, kedua orang setengah baya itu, tampak begitu nyaman dengan kehadiran Kukuh bersama mereka. Segera diambilnya sepotong bwownis lalu memasukkan ke mulutnya. “Adinda, jangan salahkan Kukuh kalau nggak mau makan brownisnya, ya!” ujar Handi dengan mulut penuh. “Kamu nggak suka brownis, Kuh?” tanya Zulaikha seketika. Jelas terdengar ada nada kecewa. Handi yang buru-buru menyahut, “Bukan begitu sih maksudnya Adinda! Kukuh, pasti nggak bisa menikmati manisnya brownis buatanmu. Bukan karena tidak suka, atau karena kampungan nggak doyan lezatnya cokelat. Tapi, karena dia sudah mendapat yang lebih manis dari brownis ini.” Ia berhenti sesaat, sengaja memancing reaksi sepupunya sambil menelan brownis di mulutnya. “ Soalnya, Adinda Zulaikha yang bikin brownis ini, jauh lebih manis. Bukan begitu, Sob?” Handi semakin berani menggoda di tengah kehangatan suasana malam itu. 19

“Kamu apa-apaan, Han? Ndak sopan!” sergah Kukuh tegas tetapi malu-malu. Diambilnya sepotong kue hitam manis itu, lalu dilumat dalam mulutnya. Dinikmatinya rasa kue yang memang legit. Cita rasa yang belum pernah dikecap oleh lidah kampungnya. Perpaduan manis gula, susu, rasa sedikit pahit dari coklat pekat, juga aroma telur, dengan tekstur keras tetapi mudah lumat. Sangat lezat di lidah. Dalam batinnya berkata , “Benar juga kata Handi, selezat apa pun kue brownis ini, Adinda Zulaikha jauh lebih manis. Gadis pintar berkulit hitam manis, dengan penampilan sangat sederhana untuk ukuran anak tunggal keluarga berada seperti dia, benar-benar menjadi yang terindah.” Sejenak batin Kukuh menjadi malu, ketika menyadari bahwa Handi telah membongkar seluruh isi hatinya lewat candaan. Ujung matanya mencoba mencuri lihat wajah si pembuat brownis, yang seolah memancarkan banyak harapan. Gadis itu berbinar- binar dalam suasana malam yang menyenangkan. Dalam kehangatan suasana, tak terasa waktu cepat berlalu. Sudah hampir tengah malam, ketika Kukuh menyenggol lengan Handi. “Sudah hampir jam 12, Han, kita pulang!” ajaknya. Handi sedikit terkejut, demikian juga kedua orang tua Zulaikha. Mereka tak menyadari malam sudah terlalu larut. “O, ya. Maaf Paman, Tante, jadi lupa waktu! Ternyata sudah hampir tengah malam. Handi pamit pulang!” Handi bangkit dari bangkunya, lalu meraih tangan sang paman dan tantenya bergantian, seraya menciumnya. “Terima kasih Om, Tante, Kukuh pamit!” Kukuh mengikuti Handi bangkit, lalu mengulurkan tangan bersalaman dengan kedua orang tua Zulaikha. 19

“Kalau ada waktu, ajak Kukuh main-main ke sini lagi! Kalian bisa belajar bersama. Handi, lebih giatlah belajar biar ikut jadi pintar!” kata ayah Zulaikha sebelum melepas mereka hingga ke halaman depan. “Zulaikha, terima kasih kuenya, ya!” ujar Kukuh lebih santai. Senyum berhias lekik pipi yang lebih manis dari brownis, kembali dipamerkannya. “O, ya besok ujian. Semoga berhasil, ya!” tambahnya. “Iya, terima kasih, Kuh. Kamu juga, ya, be success!” jawab Zulaikha cepat. “Eh iya, hampir lupa. Paman, Tante, Handi juga minta doa restunya, agar ujian besok sukses! Soalnya, nggak mungkin lagi Handi minta bantuan Kukuh untuk mengerjakannya,” kata Handi tetap dengan nada slengekan. “Iya, semoga kalian semua berhasil!” sahut Ayah Zulaikha yang diiringi dengan anggukan kepala ibunya. “Ayo, Kuh! Jangan lama-lama! Lain kali bisa ketemu lagi kok. Iya, kan Adinda? Katanya harus segera pulang, karena sudah tengah malam. Ayo cepat masuk, Kuh!” Lagi-lagi Handi menggoda keduanya. Namun kali ini, Kukuh tak sampai mati gaya. 19

Adinda Zulaikha. Anak tunggal dari pasangan suami isteri pengusaha property. Tinggal di salah satu kompleks mewah di Depok. Pelajar kelas 3 SMA Negeri di kawasan Lenteng Agung. Berprestasi dan jago merakit perangkat elektronika, terutama robot. Cantik alami dengan penampilan sangat sederhana. Kulit hitam manis, mata indah bintang kejora. Tutur katanya tegas penuh keyakinan. Rendah hati, selalu menghargai setiap orang.” “Kukuh Tegar Santosa. Anak buruh tani srabutan dari dusun Jeruk Legi, salah satu kampung di pedalaman Gunungkidul. Pelajar kelas 3 SMK swasta di bilangan Blok M yang dikenal hobi tawuran. Buruh sebagai pengiris bawang dan tukang cuci piring di warung soto Pak Isak untuk menyambung hidup. Badan tinggal tulang berbalut kulit gelap. Nyaris tak berani menatap masa depan, selalu takut menghadapi kenyataan. Sering rendah diri, merasa diri menjadi bahan belas kasihan orang. Tapi punya cita-cita mulia, mentas dari kemiskinan, bisa meringankan beban hidup orang tua dan saudara-saudara.” Kalimat-kalimat itu tercetak lebih tebal, dengan ditandai stabillo merah muda dan biru muda di buku catatan harian Kukuh. Catatan tentang Zulaikha diblok dengan warna merah muda, cantik mempesona, sedangkan catatan diri dengan warna biru, sedikit kelabu, makin temaram di bawah nyala lampu belajar yang berwarna putih kekuningan. Ditulis lepas tengah malam, sesaat setelah ia kembali masuk rumah, seusai ia diajak Handi bertandang ke rumah gadis bunga mimpinya itu. Jelas bermaksud membuat perbandingan antara dirinya dengan sang bidadari tokoh impian. 19

Beberapa kali dilihatnya catatan itu. Beberapa kali pula ditarik nafas panjang dalam-dalam. Lalu senyumnya terukir, sinis sambil sedikit mencibir. Seolah ia mencemooh diri sendiri, yang berani menyandingkan namanya dengan nama si mata bintang kejora. Meski kenyataannya, segala fakta semua berbanding terbalik 180 derajat berbeda. Cepat ditutup catatan itu. Sebagian harapnya pun terpupus, setelah melihat tak satupun ada kesamaan dirinya dengan Zulaikha. Secepatnya ia memilih menuju dapur warung soto Pak Isak, segera menyiangi dan mengiris butir demi butir bawang merah. Pedih mata karena getah bawang tak lagi dihiraukan. Dibiarkannya air mata berderai-derai, meluruhkan segenap rasa tersia yang saat itu begitu melukai batinnya. Memunculkan seberkas cahaya terang, pertanda masih ada dunia yang lebih terang di depan. Pagi itu ia bekerja lebih cepat dari biasa. Meski baru datang setelah lepas tengah malam, pekerjaannya usai sebelum kumandang adzan subuh terdengar. Bahkan ia telah mandi sebelum Mas Wartim dan asistennya sampai di dapur. “Sudah rapi, Kuh? Kudengar kemarin sore kamu diajak jalan-jalan temanmu? Pulang jam berapa?” tanya Mas Wartim saat bertemu Kukuh. “Sampai jam hampir jam 12, Mas. Aku mau pulang dulu, mau tidur ya, Mas!” pamit Kukuh. Tanpa menunggu jawaban, Kukuh bergegas pulang dengan setengah berlari. Mas Wartim yang tahu betul kebiasaan pemuda itu, terheran-heran. Matanya mengikuti punggung Kukuh sampai menghilang di tikungan gang. 19

“Ada apa dengan Kukuh? Hampir jam 12 baru pulang, tetapi belum lagi subuh pekerjaan sudah selesai. Langsung mandi, nggak seperti biasanya,” Mas Wartim membatin. Matanya masih terus nanar ke arah menghilangnya pemuda seumuran adiknya itu. Pelan-pelan senyumnya mengembang. “Kuh, apa kamu sudah kenal gadis sekarang?” batinnya lagi. Kembali ke kamarnya, Kukuh bersimpuh di atas sajadahnya. Sejenak ia sujud menyerah pada Sang Empunya Jiwa. Usai itu, ia merebahkan tubuh di atas kasur pegas peninggalan Pakde Sumar. Dipejamkannya mata, berharap akan lelap. Tetapi hingga hampir pukul 5.00 matanya tak kunjung mau terpejam. Dibolak-balikkan badan tetap juga kantuk tak datang. Ia bangkit, masuk kamar mandi, mencuci muka, lalu duduk di atas ranjangnya. Kembali dibukanya buku catatan bersampul hitam itu. Dibukanya lagi catatan yang baru saja ditorehkan. Dirabanya bagian kalimat yang diblok warna merah muda. Setiap inci urutan peristiwa tadi malam masih terlukis jelas. Tak secuil pun detailnya hilang. Termasuk senyum ramah dan sentuhan hangat dari Zulaikha dan kedua orang tuanya, yang tak pernah berani ia bayangkan sebelumnya. Otaknya sesak dengan pertanyaan-pertanyaan. Sanksi atas kebaikan yang seolah terus ditawarkan di hadapannya. Tak mampu ia menerima setiap kemudahan sebagai suatu kebaikan. Bahkan sebaliknya, ia selalu curiga bahwa kemudahan itu hanyalah bagian dari kesulitan baru yang harus dihadapi di depan nanti. “Mimpi. Mimpi tadi malam benar-benar seperti kenyataan. Aku seperti hilang akal. Mereka begitubaik 19

terhadapku. Ini hanya mimpiku saja, ataukah nyata? Adinda Zulaikha dan keluarganya begitu ramah menyambutku yang bukan siapa-siapa mereka, bahkan jika mati kelaparanpun tak kan ada yang mencariku. Benarkah mereka memang orang baik, yang bersikap baik kepadaku? Atau hanya perasaanku yang memang selalu bermimpi mendapat kehangatan? Benarkan mereka sungguh tak mempersoalkan keberadaanku sebagi buruh pengiris bawang dan pencuci piring di warung soto Pak Isak, yang untuk makan pun tergantung pada ransum dari warung? Benarkah mereka tidak mentertawakanku, yang bahkan seluruh sel tubuhku hanya menebarkan bau menyengat bawang?” pikiran Kukuh terus mereka- reka. “Tuhan, jangan biarkan Kukuh bermimpi terlalu indah. Tetapkan Kukuh hanya dalam kepasrahan menapaki jalan ketetapanMU. Jika benar Zulaikha adalah bintang kejora, jangan biarkan ia mengalihkan keyakinanku atasMU,” gumamnya kemudian. Berkali- kali ia mengucapkan monolog akrab dengan Tuhannya itu, sampai akhirnya lelap dalam pasrah. Buku catatan harian bersampul hitam dengan goresan terakhir diblok warna merah jambu, dipeluk erat di dadanya. 19

Besok hari, sampai aku di kelokan terakhir dan paling terjal dalam perjalanan kali ini. Ya Tuhan, kumohon bawa kakiku di jalan menuju arah Engkau. Besok telah tiba hari ujian akhir sekolahku. Kusandarkan segala harap hanya kepadaMU. Sejak mula aku hanya berusaha memenuhi perintahMU untuk terus berupaya, sedang keputusan akhir mutlak hanya milik Engkau. Kerena itu, Wahai Pemilik sejati jiwa Kukuh dan jiwa-jiwa lainnya, kini aku menagih janji Engkau dengan memberiku yang terbaik dari TanganMU. Wahai Tuhan yang paling mengetahui segala kelemahan diri Kukuh, kugantungkan sisa asa terakhir ini, dalam harap akan kemurahan kasih sayang Engkau. Amiin.” Saat tengah malam baru beranjak pergi, berganti dini hari. Kukuh bersimpuh di atas sajadah lusuh di 19

dalam kamarnya. Mulai pagi ini hingga sepekan ke depan, ia telah minta izin untuk tidak bekerja, baik mengiris bawang merah maupun mencuci piring, di dapur warung soto Pak Isak. Ia berkonsentrasi penuh pada Ujian Nasional, yang akan berlangsung mulai esok pagi. Namun tetap saja, menjelang tengah malam ia sudah terbangun. Bedanya, hari ini ia langsung mengambil air wudlu, menggelar sajadah, sujud dua rakaat, lalu duduk bersimpuh, mencoba merentang komunikasi akrab dengan Sang Penguasa Waktu sepertiga akhir malam. Diungkapkannya setiap yang ia rasa, tanpa basa-basi dengan bahasa yang dipahami. Tanpa sungkan ia utarakan semua ketakutan, berikut harapan terbesarnya. Diakuinya semua kelemahan dan dosanya, dengan bahasa sederhana. Kadang bahkan sedikit lancing, ia mencoba bernegosiasi agar diberikan kesempatan mengecap semua mimpi indahnya menjadi nyata. “Tuhan barangkali memang terlalu kurang ajar, kalau aku meminta hasil terbaik seperti kuinginkan. 19

Sungguh tak tahu diri, jika aku memohon Engkau mewujudkan semua mimpi-mimpi tingkat tinggiku. Tetapi paling tidak, Engkau pasti lebih tahu bagaimana aku telah berusaha seperti perintahMU untuk mengubah nasibku sendiri. Jadi Engkau seharusnya memberiku sesuai janjiMU, yang akan mengubah nasib seseorang yang telah berusaha keras melakukan perubahan sendiri. Hanya saja, barangkali ada perbedaan standar keberhasilan antara yang kuharapkan dengan yang Engkau tetapkan. Pintaku, ya Pemilik Kebijaksanaan, selaraskan standar dalam diriku dengan keputusanMU, supaya aku tak pernah lagi menggugat keadilanMU. Ajari aku untuk mengerti betul, bahwa kehendakMU jauh lebih baik dari standar tertinggiku sekalipun.” Usai melakukan monolog vertikal dengan Tuhannya, Kukuh merebahkan badan kembali. Bibirnya berkomat-kamit melantunkan seuntai doa. “Bismika Allohumma ahya wabismika wa amuut. Tuhan, kuserahkan tubuhku dalam penjagaanMU, sampai Engkau bangunkanku lagi nanti. Amiin ya robbul 'alamiin.” Selang beberapa menit kemudian, pemuda asal dusun Jeruk Legi di pedalaman Gunungkidul itu, lelap. Kukuh selalu berbeda dengan teman-teman kebanyakan. Di saat teman-temannya lembur belajar sampai pagi, merapel seluruh materi palajaran dalam semalam, ia justru tertidur pulas di kasur pegas yang pernah ditidurinya bersama Pakde Sumar. Sebagian waktu malam terakhirnya, lebih banyak digunakan untuk curhat di hadapan Tuhan. Buku-buku pelajaran nyaris tak lagi disentuh, kecuali sebentar, hanya membaca sekilas, memoles ingatannya tentang 19

topik-topik bahasan yang telah pernah dipelajari. Tak ubahnya cuma seperti orang mengelap kaca jendela, sekedar memastikan bahwa pandangannya benar- benar tak terhalang, bahkan oleh sebutir debu sekalipun. Menjelang ujian, ia hanya ingin benar- benar tenang. Ia lepaskan semua beban, baik keinginan maupun target-target pencapaian, yang justru bisa membuatnya gagal sebelum menempuh ujian itu sendiri. Malam menjelang ujian, Kukuh membiarkan diri damai dalam kepasrahan. “Pakde, besok Kukuh mau ujian. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, kecuali berusaha mengerjakan soal dengan sungguh- sungguh. Juga hanya bisa berdoa. Jangan khawatir Pakde, biaya untuk bisa mengikuti ujian sudah lunas. Tabungan peninggalan Pakde juga masih tersisa banyak. Terima kasih! Tinggal restunya Pakde saja Kukuh minta,” bisiknya sambil memeluk bantal yang biasa dipakai alas kepala Pakde Sumar. Ia pun tidur lelap di atas kasur pegas peninggalan Pakde Sumar sembari memeluk bantal itu. Sepekan sebelumnya, Kukuh telah menyelesaikan seluruh persyaratan untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Terutama berkaitan dengan biaya ujian yang besarnya lebih dari seluruh penghasilannya sebagai pengiris bawang selama lima bulan. Hampir seluruh tabungannya habis, meski selama ini telah mengesampingkan beberapa kegiatan ekstra yang menyedot biaya banyak. Bahkan, ia juga belum memikirkan bagaimana nanti jika harus membayar biaya pengambilan ijazah. Sedangkan tabungan Pakde Sumar yang diatasnamakan dirinya, sampai sekarang masih utuh, belum digunakan sama sekali. 19

Yang penting bagaimana bisa ikut ujian dululah. Hasilnya bagaimana, mengambil ijazahnya bagaimana, itu nanti. Kalau terpaksa, aku terima bantuan Pakde Sumar lagi,” tekadnya seusai menyerahkan hampir seluruh tabungannya untuk membayar biaya ujian, pekan lalu. Selama sepekan menempuh ujian akhir sekolah, Kukuh diharuskan libur oleh Mas Wartim. Ia tak boleh datang tengah malam untuk melakukan pekerjaannya mengiris bawang. Meski demikian, di waktu-waktu senggang siang sepulang ujian, pemuda belia itu memaksa datang ke dapur warung soto Pak Isak, membantu bersih-bersih, mencuci perangkat makan maupun piranti masak lainnya. Sesekali pula ia membantu Mas Wartim menyiapkan bahan-bahan bagi masakan yang akan disajikan. Di dapur itu pula, ia tetap mendapatkan ransum untuk memenuhi kebutuhan makan setiap hari. Sampai hari terakhir ujian, Kukuh tak merasakan kesulitan yang berarti dalam mengerjakan soal-soal. Walau begitu, ia tak berani mengira-ira hasil yang akan diperolehnya. “Bagaimana ujianmu, Kuh? Bisa mengerjakan soal-soalnya? Gampang, kan?” tanya Mas Wartim bertubi-tubi ketika Kukuh datang membantunya usai menyelesaikan ujian di hari terakhir. “Doakan saja ya Mas! Kukuh ndak tahu hasilnya gimana,” jawabnya lugas. “Kamu yang pinter saja njawabnya begitu, Kuh. Kemarin waktu Mas Wartim nelpon Hendarto, jawabnya enteng banget. Gampang katanya! Malah dia bilang, waktu mengerjakannya selalu tersisa banyak. Dia bilang begitu, mungkin saja karena 19

memang merasa bisa mengerjakan soal ujian. Tapi kenapa aku curiga ya? Bukan tidak mungkin, justru karena sebenarnya dia nggak tahu apa-apa, jadi cuma ngawur, asal-asalan milih jawaban. Mas juga nggak tahu, nggak bisa percaya sama sekali sama kata-kata dia itu,” tutur Mas Wartim. “Ya, kalau Kukuh, kan memang ndak pernah berani memastikan apa-apa Mas. Lha wong yang sering terjadi justru di luar dugaan kok. Seperti sekarang ini, Kukuh sendiri ndak pernah menduga bisa masuk SMK, apalagi sampai bisa mengikuti ujian akhir. Ndak terduga to, Mas? Kalau Kukuh bilang gampang, bisa saja, kan hasilnya malah ndak bagus? Malulah! Makanya bagi Kukuh, hasilnya biar ditunggu saja, ndak terlalu penting. Lagi pula, kalaupun Kukuh berhasil lulus, belum tentu juga bisa mengambil ijazahnya, Mas. Tabungan Kukuh sudah habis buat bayar ujian kemarin,” balas Kukuh seakan tanpa emosi. Secuil senyum getir terlihat ketika ia menoleh sesaat ke arah Mas Wartim. Seakan ada bilah bambu menghunjam lubuh hati, miris batin Mas Wartim mendengar kalimat terakhir Kukuh. Matanya berkaca-kaca seketika, merasai perih luka pemuda di hadapannya. Ditatapnya nanar tubuh pemuda kurus yang tampak tenang, membantu menyiangi sayuran itu. Sejurus kemudian diraihnya dua tangan kurus Kukuh. “Kukuh, Mas Wartim yakin kamu akan berhasil. Mas selalu berdoa agar Tuhan menjaga dan memberimu yang terbaik. Sekarang kamu tak usah khawatir apa-apa lagi! Mas Wartim yang akan menggantikan Pakde Sumar menjadi walimu di sekolah. Mas Wartim yang akan mengambil 19

ijazahmu,” tegas MasWartim. “Kamu nggak usah risaukan biayanya! Untuk kali ini, Mas Wartim memaksa kamu mau menerima Mas Wartim menjadi pengganti Pakde Sumar!” tambahnya sembari menggenggam kedua tangan Kukuh erat-erat. Kukuh tak berkata apa-apa. Tangannya segera ditarik dari genggaman Mas Wartim, lalu kembali cekatan menyiangi sayuran. Kepalanya kian dalam mengarah ke tanah. Tak berani ia menatap perwujudan sosok kakak impian dari lelaki muda di hadapannya itu. Hatinya bergolak hebat, membuncahkan kebahagiaan luar biasa, karena kembali bisa merasakan ketulusan, sama seperti saat Pakde Sumar pertama datang dalam kehidupannya. Batinnya disesaki haru. Namun salah satu sudut hatinya sesak. Pedih terhimpit beban batin, karena harus terus menerima uluran tangan orang lain, sementara mas-masnya sendiri tak pernah menunjukkan kepedulian. Bahkan mereka tak sekalipun menanyakan kabarnya selama hidup sendirian di Jakarta. Sebutir air mata Kukuh luruh, jatuh di tumpukan lembara-lembaran kol yang tengah disianginya. Ia berusaha menguasai emosi, sebelum kemudian menegakkan kepala, menatap Mas Wartim dengan kejujurannya. Setumpuk ungkapan kebahagiaan dan terima kasih memenuhi batinnya. Ingin diungkapkan semua kepada pria muda, yang sekarang masih mengulurkan tangan ketulusan itu. Namun, tak sanggup ia menemukan kata-kata yang mewakili perasaannya saat ini. “Mas Wartim, Kukuh cuma bisa bilang terima kasih. Sebenarnya, tabungan dari Pakde Sumar juga 19

sama sekali belum Kukuh gunakan.” Akhirnya hanya kalimat itu yang meluncur dari belahan bibirnya. Untaian air mata mengalir deras di pipi, tanpa bisa ditahan lagi. Matanya sendu seakan tengah memohon pengertian. Sekejap kemudian tubuh kurusnya rebah di bahu Mas Wartim yang juga meneteskan air mata. Beberapa lama ia membiarkan tubuhnya berguncang- guncang dipeluk Mas Wartim. Lebih sebulan berlalu sejak ujian akhir nasional dijalani Kukuh. Tiba hari pengumuman hasil ujian yang sangat dinantikan. Seperti biasanya, menjelang tengah malam ia bangun. Setelah sujud dua rakaat, ia ke dapur warung soto Pak Isak menyelesaikan pekerjaannya sebagai pengiris bawang merah, sekaligus menyiapkan perangkat makan. Selesai sesaat menjelang subuh, ia kembali sujud dua rakaat, baru kemudian pulang, lalu mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Hari ini seperti yang telah disepakati, Mas Wartim akan menggantikan Pakde Sumar menjadi walinya, menerima pengumuman hasil ujian. Jam menunjukkan angka 07.45 ketika Mas Wartim sampai di SMK “P” dengan naik motor. Kukuh sudah menunggunya di pintu gerbang. Setelah memarkir motor, segera ia mengajak walinya itu masuk ke aula sekolah, tempat akan diumumkannya hasil ujian nasional seluruh siswa kelas XII. Ia mempersilakan Mas Wartim duduk di salah satu bangku paling belakang. “Mas Wartim duduk di sini saja, ya, biar nanti keluarnya gampang!” kata Kukuh memberi alasan. Benar saja, tak berapa lama kemudian kepala sekolah dan guru-guru masuk ke aula. Kepala 19

Sekolah SMK “P” berpidato memberikan kata sambutan, sekaligus mengumumkan garis besar hasil ujian nasional di sekolah yang dipimpinnya. Benar pula dugaan Mas Wartim sebelumnya, Kukuh dinyatakan lulus dengan predikat terbaik di SMK “P”. Bahkan perolehan nilai murninya tertinggi dibanding siswa-siswa SMK lainnya se-DKI Jakarta. “Alhamdulillah,” ucap Mas Wartim seolah berteriak. Ucapannya cukup jelas didengar seisi aula yang hening, saat Kepala Sekolah menyebut nama Kukuh sebagai lulusan terbaik. Pada kesempatan itu, Kepala Sekolah juga mengumumkan bahwa sekolah memberikan penghargaan khusus kepada Kukuh, karena beberapa prestasi dalam berbagai lomba karya ilmiah, juga karena hasil ujian nasionalnya memuaskan. Bahkan, nama Kukuh telah diusulkan untuk mendapatkan beasiswa belajar teknik penerbangan ke Jerman. Seketika Mas Wartim tersungkur, tersungkur bersujud syukur di bawah bangku yang didudukinya. Ia tak hendak lagi mendengarkan, bahwa pengumuman tentang usulan itu baru akan diketahui satu bulan ke depan. “Subhanalloh! Alhamdulillah! Alloohu Akbar! Insya Alloh kamu pasti diterima, Kuh!” yakin batinnya masih sambil mencium tanah. Dengan dada dipenuhi rasa bangga dan syukur yang dalam, Mas Wartim melangkah menuju podium. 19

“Pakde Sumar, kamu pasti bangga sekarang,” ujarnya dalam hati, ketika menerima langsung hasil ujian nasional Kukuh dari Kepala Sekolah dengan diiringi tepuk tangan riuh seluruh orang tua dan wali murid siswa kelas XII SMK “P”. Di luar aula, Kukuh pun langsung tersungkur bersujud mencium tanah, begitu mendengar namanya disebut Kepala Sekolah sebagai lulusan terbaik. Tak lagi ia dengarkan penjelasan lainnya bahwa ia juga berkesempatan melanjutkan belajar ke luar negeri. Baginya, bisa lulus ujian akhir nasional saja, sudah merupakan anugerah yang tak pernah berani dibayangkan sebelumnya. “Subhanalloh. Allohu akbar. Alhamdulillah ya Alloh. Pakde Sumar, terima kasih,” ucapnya masih dalam keadaan sujud. Handi bergegas menemui Kukuh, lalu memeluk tubuh kurus itu erat-erat. Ia ungkapkan kegembiraan dan kebanggaan terhadap teman yang sering dijuluki banci itu, dengan mencium pipi tirusnya tanpa rasa rikuh sedikit pun. Justru Kukuh yang menjadi sangat canggung atas ulah Handi, karena merasa banyak pasangan mata yang menatap aneh ke arahnya. “Han, jangan norak, ah! Lihat tuh, apa kata mereka lihat kamu ciumi aku kaya gini! Amit-amit nanti kita dianggap sama-sama ndak waras,” sergah Kukuh sembari berusaha melepaskan lengan Handi yang melingkar erat di bahunya. “Bodo amat! Buat apa mikir apa yang mereka piker? Selamat, Sob! sungguh aku bangga jadi temanmu!” ucapnya sambil kembali memeluk Kukuh yang semakin salah tingkah. Terlihat beberapa lembar air mata luruh di pipi pemuda berkulit bersih yang selalu berdandan rapi itu. 19

“Biasa saja kali, Han! Selamat juga ya, kamu juga lulus! Nggak mengecewakan orang tua,” balasnya. “O ya Han, gimana dengan Zulaikha?” tanyanya seketika, teringat gadis itu juga tengah menanti pengumuman kelulusannya. “Alhamdulillah dia lulus, Kuh! Tapi waktu dia kirim kabar tadi, kita belum diumumkan jadi dia belum tahu tentang kita,” jawab Handi. “Kamu ngebel dia saja, nih!” lanjutnya sambil menyodorkan hpnya. “Syukur alhamdulillah kalau dia lulus, semoga diterima di kampus Depok yang diinginkannya. Aku ndak usah ngebel dia Han, dah cukup tahu kabarnya saja! Lagian, mau omong apa aku, salah-salah malah mengganggu,” tolaknya, jelas terdengar tak percaya diri. “Dasar banci! Sudah jelas lulus dengan prestasi terbaik, tetap juga kamu nggak punya nyali bicara sama Adinda? Kamu nggak mau mengabarkan keberhasilanmu sama dia? Kamu nggak ngerti kalau dia menunggu-nunggu kabar menggembirakan ini?” Handi memberondongkan pertanyaan, mencoba menyulut nyali sahabatnya. Kukuh kembali hanya menunduk. Tersenyum kecut, lalu menggeleng pelan. “Apa katamu sajalah, Han. Aku ndak tahu harus ngomong apa. Jujur aku masih malu,” ujarnya lirih. Sementara itu, tanpa mendengarkan perkataan Kukuh, Handi menghubungi nomor Adinda Zulaikha. “Assalamualaikum, Kukuh mau ngomong, nih” ujarnya kepada orang yang di seberang telpon, lalu menyerahkan hpnya kepada Kukuh. “Siapa, Han?” Kukuh agak kebingungan, tetapi diterimanya juga hp itu. “Halo! Assalamualaikum!” 19

sapanya kepada orang yang di seberang telpon. Beberapa saat ia terdiam mendengarkan suara dari seberang. “Eh, Zulaikha, gimana hasilnya?” tanyanya setelah yakin ia tengah berbicara dengan gadis impiannya. “Syukur Alhamdulillah! Selamat ya! Semoga nanti kamu diterima di kampus Depok. Ya, Alhamdulillah aku juga lulus, terima kasih ya. Aku belum tahu mau apa nanti, yang pasti ya pulang kampung barangkali. Ndak ngimpi bisa sekolah lagi, Zu,” tuturnya. “O, ya ini kembali ke Handi, ya.” Kukuh cepat mengakhiri percakapan, lalu mengembalikan hp ke tangan Handi. “Adinda, pasti Kukuh nggak bilang kalau dia lulusan terbaik, kan? Namanya juga diusulkan agar dapat beasiswa sekolah ke Jerman,” kata Handi ketika hp kembali ada di tangannya. “Yah, seperti itulah dia. Sampaikan juga sama Paman dan Tante, ya! Salam.” Handi menutup telponnya. Luapan kegembiraan menyambut keberhasilan Kukuh, kembali membuncah di warung soto Pak Isak. Siang, sesaat setelah Mas Wartim kembali ke warung, ia mengabarkan apa yang didengarnya langsung dari Kepala Sekolah SMK “P”. Sebagian karyawan dapur yang sangat mengenal Kukuh, seketika tersungkur dalam sujud syukur. Sebagian lainnya bertepuk tangan. Sedangkan Pak Isak, hanya mengepalkan tangan kuat-kuat dan menghentakkannya sambil tersenyum puas. “Anak itu memang hebat!” katanya di hadapan semua karyawan. Sore ketika Kukuh datang, Pak Isak langsung menyalami dan memeluknya. “Tukang iris bawangku memang hebat! Teruskan usahamu menggapai mimpi, Kukuh! Saya akan selalu mendukungmu! ” 19

katanya memompakan semangat. Sebutir air mata Kukuh luruh. Ia larut dalam haru, menyaksikan orang-orang dekatnya turut mengungkapkan syukur dan kegembiraan atas keberhasilannya. Mereka yang selalu bersama berada di dapur warung soto Pak Isak itulah, yang selama ini menjadi pemompa semangat untuk bertahan menghadapi gelombang kesulitan. Seketika ia teringat Pakde Sumar, sampai air matanya semakin bercucuran. “Kukuh pamit pulang kampung dulu, Pak Isak. Mau nyekar ke makam Pakde Sumar,” ucapnya lirih tanpa berani menatap mata majikannya itu. Batinnya dipenuhi rindu yang menggelora kepada bapak angkatnya yang sudah tiada. “Baiklah. Tapi sebaiknya jangan lama-lama! Kembali ke sini secepatnya! Siapa tahu usulan beasiswamu yang ke Jerman itu disetujui. Kalau tidak, kamu masih bisa menggapai asamu, tetap dari warung ini bersama saya dan teman-teman di sini,” saran Pak Isak sebelum Kukuh mengucapkan terima kasih kepada semua, lalu melangkah pulang kampung. 19

Tepat ketika ia sampai di mulut gang menunggu angkutan menuju terminal Lebak Bulus, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca belakang samping kiri terbuka. Seketika senyum terindah yang selalu menghiasi mimpi Kukuh, terkembang di depan mata. Senyum si bintang kejora membuatnya terpana. Zulaikha tersenyum lebar. Ia membuka pintu mobil, turun, lalu mengulurkan tangannya. “Selamat!” ucapnya singkat. Kukuh menyambut uluran tangan gadis itu sambil berucap, “Terima kasih, Zu! Selamat juga,ya!” Kikuk dan canggung kembali dirasakannya. Ia bingung dengan perasaannya. Bahagia karena ada Zulaikha di hadapannya, tetapi ia merasa sudah harus segera pergi. “Eh, Zu, mau ke mana?” tanyanya agak gugup. Zulaikha tak langsung menjawab. Ia justru melongok ke dalam mobil, lalu kembali ke Kukuh. “Kukuh, ayah ingin bicara. Kamu masih punya waktu, kan? Atau kalau tidak, bicaranya sambil jalan, biar kami antar kamu. Kamu mau ke terminal, kan?” tutur Zulaikha sambil mempersilakan Kukuh duduk di kursi belakang. Sedangkan ia sendiri pindah duduk di samping sopir. “Assalamualaikum, Om!” sapa Kukuh saat melongok ke dalam mobil dan melihat ayah Zulaikha tersenyum. “Masuklah, Kuh! Biar kami antar kamu sampai terminal!” perintahnya. Walau hatinya ragu-ragu, Kukuh patuh. Ia duduk tepat di samping ayah Zulaikha. Sedan mewah hitam itu pun meluncur tenang, menuju Terminal Lebak Bulus. 19

“Selamat! Om dengar kamu lulus dengan sangat baik. Juga diusulkan mendapat biasiswa ke Jerman. Om turut bahagia,” kata ayah Zulaikha sambil menyalami Kukuh. “Terima kasih, Om! Pasti Handi sudah membual lagi,” jawab Kukuh malu-malu. “Kamu memang pantas menjadi yang terbaik. Dari Handi juga kami tahu, hari ini juga kamu akan pulang kampung, makanya Om sengaja mengajak Adinda menemuimu secepatnya.” Ia diam sesaat. Lalu, “ Om hanya ingin berpesan, jangan berhenti sampai di sini! Hari ini boleh kamu pulang kampung, sekedar nyekar ke pusara Pakdemu itu, juga untuk bertemu keluarga. Tetapi segeralah kembali! Masih banyak lagi mimpi yang harus kamu wujudkan, setelah terwujudnya salah satu mimpi kecilmu hari ini! Kamu harus tahu, sekarang kamu tidak sendirian di Jakarta ini! Kamu punya Handi, juga punya Om di sini. Jadi, cepatlah kembali karena kami ini keluargamu, siap membantumu!” pesan pria bijaksana itu. Ujung mata bapak satu anak itu sempat melirik dan membuang senyum ke arah Zulaikha yang duduk tepat di depan Kukuh. Dada Kukuh sesak. Kebahagiaannya membuncah. Ia hanyut dalam haru. Sekejap sempat ditegakkan kepala memandang gadis yang duduk tenang membelakanginya. Bibirnya bergetar menahan gejolak rasa di dadanya. Matanya berkaca- kaca. Tetapi senyumnya merekah, memamerkan lekik di kedua pipinya. “Insya Alloh, Om!” janjinya singkat sedikit parau. Hati Kukuh masih berdegup kencang, saat ia turun dari sedan mewah hitam, tepat di depan pintu masuk terminal. Sebelum menutup kembali pintu 19


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook