liburan, ia habiskan malam dengan mengikuti balapan liar yang biasa digelar di Jl, Raya Lenteng Agung. Walau tak pernah terlihat bahwa anak itu mempersenjatai diri dengan ikat pinggang bermata gir, apalagi nyata –nyata berupa senjata tajam, ia jelas sangat menikmati setiap perang yang diikuti. Sambil berteriak-teriak lantang, biasanya ia mengobarkkan semangat tempur rekan-rekannya. Sesekali terlihat ia ikut melemparkan batu. Tak jarang pula tepat mengenai sasaran, kepala seorang anak dari sekolah lawan. Bocor! Untuk perbuatannya itu, ia telah beberapa kali dipanggil guru BP. Orang tuanya pun harus menghadap kepada Kepala Sekolah. Bahkan sekali juga pernah ia berurusan dengan polisi, karena diduga telah terlibat dalam pengeroyokan terhadap seorang siswa SMK lain, walau akhirnya tidak terbukti. Di balik sikap beringasnya, Handi anak yang lembut. Ia sangat peduli terhadap teman-temannya, terutama yang mengalami kesulitan. Jika ada kegiatan bakti sosial, pemuda 16 tahun itu berada di baris terdepan. Pun terhadap Kukuh. Meski kadang ikut melontarkan julukan 'banci', sesungguhnya ia sangat hormat kepada teman sebangkunya itu. Ujung nuraninya selalu menghadirkan pengakuan, tentang keluhuran sikap yang dimiliki anak kampung itu. “Sebenarnya aku iri sama kamu, Kuh,” celetuk Handi tiba-tiba. Kukuh terhenyak. “Halah! Ngomong apa lagi kamu, Han? Lagi mabok kali, ya?” Ia melirik temannya itu sambil tersenyum masam. “Sungguh, Kuh! Kamu jauh lebih beruntung dari aku. Kamu ngga perlu munafik, hanya untuk diakui. Orang-orang selalu menyayangimu, dan selalu 19
percaya bahwa kamu memang anak baik. Bahkan mereka yang menyebut kamu banci sekalipun, mengakui itu. Tak peduli apapun kata teman-teman yang meremehkanmu, bagimu kasih sayang keluarga sudah mencukupi. Jauh lebih berharga daripada segala yang kami miliki dan tidak kamu punyai. Uang, mobil, rumah yang nyaman, juga makanan enak setiap hari.” Handi berhenti sesaat. Matanya serius menyapu sekujur tubuh kurus teman, yang duduk di sampingnya itu. “Kamu ini memang kukuh, sekukuh namamu. Dalam keterbatasan. Dalam pendirian. Dalam keyakinan. Dalam setiap perbuatan. Dalam mempertahankan sebuah impian,” ujarnya lagi sambil manggut-manggut. “Cuma tubuhmu yang jelas nggak bisa dibilang kukuh,” tambahnya sembari tersenyum lebar. Sejenak suasana lengang. Handi terus mengamati Kukuh, hingga membuat anak kampung itu salah tingkah. Kembali dengan nada dan pandangan serius, Handi kembali berkata, “Badanmu terlalu kerempeng. Sangat nggak cocok dengan namamu. Kalau saja kamu datang ke rumahku, mungkin anjingku akan langsung mengejar, dikiranya lagi dikasih hidangan tulang untuk pesta,” selorohnya lagi. “Ah! Sialan kamu ini, Han! Ndak bosankah kamu mengolok-olok aku?” sahut Kukuh sembari melempar senyum masamnya ke arah lain. Tangannya mendorong pundak Handi, tapi ia tidak tersinggung, karena sudah tahu persis sifat sahabatnya itu. “Kamu sendiri barangkali nggak nyadar, Kuh, kalau sebenarnya banyak banget cewek yang naksir sama kamu. Cuma saja mereka nggak berani 19
terang-terangan.” Handi menatap mata sahabatnya. Matanya menjadi sendu. Tak terlihat senyum jenaka dan tatapan lucu seperti ketika ia meledek tadi. Sesaat Kukuh merasa kikuk mendapat tatapan serius temannya itu. “Jelas saja ndak ada, Han! Kepengin disebut cewek ndak waras kali, kalau sampai berani terang-terangan dekat dengan cowok kere begini,” jawabnya ringan tanpa menunjukkan ekspresi apapun di raut mukanya. Ia tetap menekuni buku yang dipegangnya. “Bukan itu alasannya, Kuh. Cewek-cewek itu, termasuk si Siska yang biasanya agresif banget kaya kucing lagi beranak, justru menjadi sangat penasaran. Gila ngga kalo cewek seperti mereka, terutama si Siska sampai punya rasa malu gara-gara kamu, Kuh. Aneh, kan?” “Ya terang malulah, Han! Dia itu cewek cantik, tajir seperti kamu bilang tadi, ke mana-mana diantar sopir. Sedangkan aku ini, cuma anak kampung yang bisa sekolah saja karena berkat bantuan Pakde Sumar. Aku cuma tukang ngiris bawang, Han. Kalau terlalu dekat aku, kan bisa kena imbas bau bawang. Masa cewek bau bawang? Kaya gitu aja kok aneh lho kamu ini, Han!” sahut Kukuh lagi tetap dengan nada sinis tak peduli. Tetapi kali ini senyumnya mengembang. “Sudahlah! Jangan membual tentang cewek sama aku. Aku nggak mgimpi tahu?” pungkasnya seraya mendorong lengan Handi sambil tertawa kecil. “Coba dengar dulu sampai aku selesai bicara, bocah kampung! Jangan potong dulu!” Handi berkeras melanjutkan penjelasannya. “Mereka malu mendekatimu, karena kamu terlalu pendiam. Aneh, karena biasanya mereka nggak 19
punya malu sama sekali. Mereka terkenal narsis. Nggak ada lagi hasrat yang ingin mereka sembunyikan. Bahkan kalau harus mengejar cowok yang diidamkan sampai ke kolong jembatan pun, mereka sanggup melakukan. Merayu cowok dengan membelikan barang-barang bagus, tak tabu bagi cewek-cewek seperti itu. Pokoknya, apapun akan mereka lakukan, asal cowok yang diincar bisa didapatkan. Lalu, mereka akan memamerkannya ke mana-mana. Itu juga pernah kualami. Sama kamu, mungkin lebih tepatnya jika kubilang, mereka itu segan. Takut, atau malah terlalu hormat, Kuh. Cemoohan teman-teman yang bilang kamu banci hanya karena nggak suka ikut berkelahi, justru menciptakan image positif bagimu. Cewek-cewek itu makin tergila-gila sama kamu,” tutur Handi berapi- api. Kukuh tak bergeming. Seakan sama sekali tak mendengar tuturan sahabat terbaiknya itu. Ia terus memfokuskan perhatiannya pada buku yang dipegangnya. Melihat Kukuh yang tetap tidak peduli, Handi terus berusaha memancing perhatiannya. “Eh, tapi ada satu cewek lagi lho, yang sebenarnya sangat ingin kenal sama kamu. Anaknya sama dengan kamu, memang pemalu banget. Si doi juga jago bikin robot. Demen utak-atik elektronik. Dia bilang sudah pernah ketemu sama kamu. Pernah salaman sama kamu.” Handi berhenti sesaat sambil melirik sahabatnya menanti reaksi. Sengaja kalimat terakhir itu diucapkan menggantung, dijadikan senjata terakhir. Ia sangat yakin, jurusnya kali ini akan berhasil menarik perhatian kutu buku di sampingnya. 19
Benar saja, Kukuh mendongak. Membebaskan pandangan matanya dari halaman- halaman buku di tangannya. Ditatapnya langsung mata Handi, yang akhirnya merasa menang dan sengaja menebar senyum penuh misteri. Namun tak lama kemudian, Kukuh kembali mengarahkan matanya ke buku. “Kamu tetap nggak mau peduli ya?” ujar Handi kali ini dengan nada menggoda. Agak kecewa karena jurusnya tak juga mengena. Tetap membisu, Kukuh kembali menatapnya, seolah menunggu Handi melanjutkan ceritanya. Tetapi karena telah merasa di atas angin, Handi justru kian menebar misterinya. Ia tersenyum penuh makna, seakan telah dapat mencuri rahasia sahabatnya yang terlihat mulai dihinggapi penasaran. Ia hanya terus tersenyum menggoda Kukuh. Tetap tak mendengar kalimat lanjutan dari Handi, akhirnya Kukuh buka mulut. “Kamu ini mau meledek aku dengan apa lagi, Han?” Yang ditanya hanya menjawab dengan senyum. Dua alis matanya turun naik jenaka. Ia merasa yakin betul, dirinya berhasil menarik keingintahuan Kukuh. Pancingannya kali ini hampir mengena sasaran. “He he he…”. Senyum dan tawa Handi jelas menggoda sahabatnya. Beberapa hari sebelumnya, Handi bertandang ke rumah pamannya yang berprofesi sebagai pengusaha 19
properti, di kawasan Depok. Selain bersilaturahmi, ia datang membawa hadiah untuk sepupunya, Adinda Zulaikha. Meski tak ada pesta, sejak kecil Handi terbiasa datang setiap momen ulang tahun sepupu perempuannya itu, karena mereka menghabiskan waktu kecil bersama. Saat itu, rumah mereka bersebelahan, sebelum akhirnya orang tua Handi memutuskan pindah ke Pejaten. “Dalam lomba robot kemarin, anak dari sekolahmu menang ya Kak? Rancangan robot pendeteksi mata air itu, memang hebat banget lho!” ujar Zulaikha membuka pembicaraan dengan Handi. “Ya, dong. Itu teman sebangkuku. Kukuh namanya. Anak kampung, tapi pinter. Teman-teman bilang dia banci, hanya karena nggak suka ikut tawuran. Padahal dia tu bocah bersih banget, haram baginya tawuran. Jangankan tawuran, berkata kasar saja nggak pernah. Terlalu naif, ngga berani deketin cewek. Dia tu pemalu banget, kadang malah menjadi terlalu rendah diri. Tapi kalo soal pelajaran, dia jagonya. Kalau nggak ada dia, kakakmu ini mungkin akan dihukum setiap hari karena nggak ngerjain PR.” Tanpa sadar Handi memberondongkan seluruh kekagumannya terhadap Kukuh, yang selama ini tersimpan rapat di dalam hati. “Eh, iya kok jadi cerita tentang Kukuh. Kamu sendiri juga ikut lomba, kan? Gimana hasilnya? Kamu, kan juga jago bikin robot?” tanyanya kemudian. “Teman sebangku?” Zulaikha tampak terkejut. Matanya terbelalak. Jelas gadis hitam manis itu menjadi lebih bersemangat. Binar-binar jingga melingkupi rona wajahnya yang oval, dengan dua alis tebal di atas bulat bola matanya. 19
“Iya, teman sebangku sejak kelas satu. Memangnya kenapa, Din? Hey, jangan-jangan adikku yang cantik dan pintar ini, naksir bocah kampung itu? Memang lumayan ganteng, sih. Cuma terlalu kurus saja, sampe mirip kerangka manusia yang dipajang di lab biologi,” seloroh Handi setengah menggoda. “Kakak jangan suka meremehkan orang! Jangan keterlaluan gitu, dong kalau ngeledek teman!” sahut Zulaikha cepat. Ia tampak kesal. “Cie..cie..marah nih. Ga perlu marah gitu kali, cowok gebetannya Kakak ledek. Kakak, kan cuma bercanda Adinda. Lagian, si Kukuh itu satu-satunya sahabat Kakak. Mana mungkin Kakak menghinanya?” Handi membela diri, sambil nyengir. Alisnya bergerak naik turun sambil memamerkan senyumnya di depan Zulaikha, bermaksud menggoda. Sesaat terlihat pipi gadis berambut lurus sebahu itu, memerah. “Bukan begitu, Kak. Punya teman sebangku hebat, kok Kak Handi tetep saja lemot,” balas Zulaikha sambil tersenyum lebar. Gadis manis itu berusaha mengalihkan pandangan Handi dari wajahnya, yang terasa memanas sehingga semakin merona merah. “Sial! Kena lagi aku,” gerutu Handi gemas. Ia lalu beringsut, duduk lebih dekat dengan sepupu perempuannya itu. “Adinda, sebenarnya kamu sudah punya pacar belum? Paman masih melarang kamu gaul sama cowok, ya? Paman masih khawatir kamu jadi lemot kaya aku, trus nggak jago lagi merakit robot?” Lagi-lagi kalimatnya seperti rentetan peluru. “Kakak tuh yang diomongin cuma cewek melulu. Sesekali inget raport Kak, kebakaran terus. Masa lebih dari separo nilainya cuma sebatas mencapai KKM? 19
Sedikit saja kepleset bakal nggak naik kelas. Nggak malu tuh sama teman sebangku yang orang kampung?” balas Zulaikha agak sinis. “Enggaklah, sekarang Kakakmu ini sudah mendingan. Lemot ya masih. Main sama cewek juga jalan terus, tapi belajar jelas nambah. Bener katamu, Adinda, Kakak malu sama Kukuh. Dia cuma anak dari kampung. Terpaksa ke Jakarta karena keluarganya terlalu miskin di desa, sehingga dia nggak bisa melanjutkan sekolah. Di sini dia diasuh oleh pamannya yang sebatang kara, bekerja sebagai koki di warung soto Pak Isak. Itu yang di Pasar Minggu. Hebatnya lagi, anak kerempeng itu ternyata punya harga diri cukup tinggi. Dia tak mau hanya menadahkan tangan, menerima kebaikan pamannya. Ia berusaha mandiri. Kebayang ngga sih, hari gini ada anak seperti itu?” “Begitukah?” “Ya. Kukuh itu bekerja memeras keringat dan air mata. Ini bukan hanya pepatah lho! Dia itu bekerja yang benar-benar menguras air keringat dan air matanya, karena menjadi pengiris bawang merah di warung soto itu.” Suara Handi jelas dan tegas. Matanya sendu, menerawang melukis gambaran tentang sahabat yang diam-diam sangat dihormatinya. Zulaikha terkejut tak terkira. Matanya terbelalak. Mulutnya melongo. “O, ya? Pengiris bawang? Pekerjaan macam apa itu?” gumamnya lirih seperti untuk diri sendiri. Beberapa lama Zulaikha maupun Handi berhenti berkata-kata. Keduanya seperti tengah melukis sosok Kukuh dalam angan masing-masing. Sosok seorang 19
pemuda malang, yang selama ini tak pernah mereka sangka ada. Berada sangat dekat. Mata Handi sayu. Bahkan sampai berkaca-kaca. Tampaknya anak yang dibesarkan dalam keadaan serba berlebih itu, mampu merasakan beratnya jalan yang harus dilalui sahabatnya, Kukuh. “Iya, Adinda. Tengah malam dia bangun, mengiris bawang merah sampai puluhan kilo. Bayangkan, gimana pedihnya mata, gimana pegalnya badan, gimana lelahnya hati kalau harus seperti itu setiap menjelang dini hari, ketika orang lain justru nyenyak penuh mimpi. Makanya tadi Kakak bilang, dia tu bekerja memeras keringat dan air mata. Sedangkan hasilnya tak cukup untuk sekedar membeli buku pelajaran. Coba menurutmu, gimana anak seperti itu bisa pintar?” Handi makin larut dalam empatinya. Matanya makin jauh menerawang, menatap bayang tajam mata Kukuh dan gurat-gurat kelelahan yang selalu tertutupi dengan gelegak semangat untuk meraih asa terbaik. “Alhamdulillah! Rupanya kakak sudah berubah. Syukurlah. Adinda yakin, Kukuh memang baik,” ujar Zulaikha beberapa saat kemudian. Gadis itu tercenung. Seutas nafas panjang dihirup pelan, menenangkan batinnya. Pikirannya mengukir sosok Kukuh yang pernah ditemui, dengan karakter dipaparkan begitu detail oleh sepupu laki-lakinya itu. “Hei! Jadi Adinda sebenarnya sudah mengenal Kukuh?” goda Handi seketika menangkap reaksi nada kekaguman dalam kalimat terakhir Zulaikha. “Aih, aih! Kenapa kakak sampai nggak tahu? Bisanya kalian nggak saling cerita ke aku kalau sudah saling kenal?” 19
Lagi-lagi Zulaikha salah tingkah. Ia kembali tersipu-sipu, tetapi dengan cepat ia mengelak, “Nggak begitu Kak. Adinda cuma ketemu waktu lomba, kok. Ketika Adinda lihat konsep dari karya dia tentang robot pendeteksi mata air itu, Adinda yakin betul bahwa dia memang pintar. Dia sempat bilang, idenya dibawa dari kampungnya yang sulit mendapatkan sumber air. Jujur saja, Adinda yang waktu itu mengulurkan tangan duluan buat kenalan. Dia malu, gugup waktu menyebutkan namanya. Benar, dia sebut namanya Kukuh. Sebenarnya kaget juga Adinda karena dia gugup. Anak SMK 'P' kok gugup diajak salaman sama cewek?” aku Zulaikha terus terang. “Jadi begitu? Sesudah lomba, kamu nggak coba hubungi dia?” tanya Handi. “Kakak ngaco kali! Perkenalan Adinda, ya cuma sampai di situ. Cuma salaman, kusebut nama 19
Zulaikha, dia sebut namanya Kukuh, sudah! Adinda nggak tahu apakah dia tahu asal sekolah Adinda atau tidak. Adinda coba cari tahu nama Kukuh di FB dan twitter, nggak ada yang sama dengan dia.” Zulaikha kembali mengakui. “Adinda, Adinda! Jangankan FB, twitter. HP saja dia nggak pegang. Buka internet cuma kalau ada tugas keperluan khusus. Nggak pernah dia iseng kayak gituan. Tadi, kan Kakak sudah bilang kalau dia itu terlalu naif,” Handi menimpali. Ditatapnya mata Zulaikha dalam-dalam. Meski sekilas pemuda itu melihat binar-binar jingga rona wajah sepupunya saat bercerita tentang Kukuh. Ia tahu, gadis sepermainannya itu, juga menyimpan rasa jingga kepada Kukuh, sahabat sebangkunya. Melihat itu dengan senyum nakal Handi kembali berujar, “Tenang Adinda! Kali ini biar Kakak yang beresin. Saatnya Kakak tunjukkan kemampuan untukmu.” Pemuda itu lalu pamit pulang, masih dengan senyum misteri dan alisnya yang naik turun. Sejak pertemuan dengan Adinda Zulaikha, Handi bertekat untuk mempertemukan adik sepupu kesayangannya yang pintar, rendah hati, tetapi tak pandai bergaul itu, dengan sahabatnya yang pintar namun sangat rendah diri. Kukuh! “Jadi, bener nih nggak ada cewek yang kamu suka, Kuh?” godanya. “Apa to maksudmu, Han?” Kukuh akhirnya, bertanya. “Lagakmu kayak tahu sesuatu.” “Ayolah, jujur saja sama aku! Kalo ngga jujur rugi!” “Jujur bagaimana lagi? Menurutmu aku harus ngomong apa?” 19
“Kamu nggak pernah mau cerita to kuajak ngobrol tentang cewek, bukan berarti kamu nggak kenal cewek sama sekali, kan? Aku yakin, rekaman salam perkenalan itu masih ada di dalam situ.” Handi menepuk dada kanan Kukuh. “Pasti sangat istimewa. Karena setahuku, belum pernah kamu mau sekedar membalas salam dari cewek. Hayo! Ngaku, bocah kampung!” tohok Handi. Seketika Kukuh terbelalak. Tapi benar hanya sekejap. “Sok tahu, kamu!” Kukuh mencoba mengelak. Tetapi kalimatnya terdengar diucapkan setengah hati. Apalagi, pandangan matamya jauh menerawang, berusaha menghindari tatapan mata Handi yang masih terus menggoda. “Nggak usah malu-malu sama aku, Kuh! Siapa tahu aku bisa membantu. Dia baik. Pintar. Hitam manis. Memang dia anak tunggal dari keluarga berada yang selalu kamu hindari, tetapi dia sangat rendah hati. Kalau kamu mau jujur, aku pasti bantu.” Handi mencoba membangkitkan asa sahabatnya. Kukuh kian terkesiap, merasa isi rahasianya terbongkar. Ia bersikukuh mengelak. “Jujur tentang apa? Lha wong memang aku nggak kenal siapa- siapa.” “Ya sudahlah, kalau begitu barangkali aku salah. Kukira kamu mengenal Adinda Zulaikha, siswi SMA negeri di Gardu, Lenteng Agung. Ternyata..,” pupus Handi dengan nada menggantung sambil mengangkat bahu dan mengernyitkan kening. Sebelah matanya masih melirik menunggu reaksi. Tak juga mendapat reaksi apa-apa, Handi beranjak hendak pergi. Kaki kanannya telah melangkah, ketika ia merasakan tangannya ditarik. 19
Ia berhenti dengan senyum dikulum. Senyum kemenangan. “Tunggu sebentar, Han!” Kukuh menahan langkah Handi. “Adinda Zulaikha? Sungguh aku tak tahu. Tetapi kalau Zulaikha yang jago merakit perangkat elektronik, ya aku pernah bertemu. Apakah benar nama lengkapnya Adinda Zulaikha?” “Ya. Kenapa? Sekarang kamu baru mengaku? Pura-pura baru ingat?” tanya Handi berlagak kesal. Ia duduk kembali di samping sahabatnya. “Kamu tahu dari mana tentang dia? Atau, dia salah satu cewek gebetanmu?” Kukuh balik bertanya. Ada nada tak suka dari kalimat yang ditangkap Handi. Handi tersenyum. Nakal. “Bener-benar, kadang terlintas untuk menjadikannya cewekku memang,” jawabnya sengaja menggoda. Diperhatikannya raut muka Kukuh yang tampak semakin merah, jelas kesal. “Gimana, ya? Dia tuh cantik, pintar, tajir, rendah hati, benar-benar tipe aku banget.” Kembali diamatinya perubahan rona wajah sahabatnya yang terlihat semakin menegang. Setelah dipastikan Kukuh benar-benar kesal, dengan nada penyesalan, buru-buru Handi menambahkan, “Tapi sayang, cewek satu ini nggak boleh kupacari. Karena dia sepupuku sendiri.” “Sepupu?” sahut Kukuh spontan dengan suara meninggi. Jelas tergambar kelegaan. Senyum kecil samar –samar terukir bersama dengan lekik pipinya yang merekah. Seketika raut gusar lenyap dari wajahnya. “Ya, dia sepupuku. Kuper banget. Paman juga melarangnya kenal sembarang cowok. Maklum anak tunggal. Tapi kurasa, kalau dia berteman sama 19
kamu yang juga pintar, paman nggak keberatan,” yakin Handi. Sejenak Kukuh bungkam. Muka tirusnya merona jingga. Senyum dan lekik pipinya terkesan lebih manis dari biasanya. Tetapi tak berapa lama, matanya redup kembali. Senyumnya lenyap. Lesung pipitnya hilang. Ditariknya nafas panjang, dihembuskannya dengan berat. “Nggak usah ngimpi, Han!” ujarnya kemudian. “Hah! Sudah kuduga. Kamu nggak punya nyali, Bro!” ejek Handi. “Apa itu nyali? Barangkali kamu dan teman- teman lainnya ndak perlu nyali untuk menjalani hidup yang serba cukup. Karenanya, stok nyali kalian berlebih, bahkan sampai bisa dibuang-buang untuk berkelahi, untuk bersenang-senang, juga untuk berganti-ganti cewek. Kalau aku, Han, nyaliku hamper habis untuk sekedar bertahan hidup di sini. Agar bisa tetap berjalan menyusuri lorong menuju sekolah ini saja. Ndak tersisa nyali untuk yang lainnya. Bahkan karena tak lagi punya nyali, aku juga memilih diam meski kalian meneriakiku 'banci', karena seperti itulah sejatinya aku. Keadaanku yang memang berbeda dari kalian,” tutur Kukuh datar. “Apalagi untuk main-main dengan cewek. Bisa-bisa nyali yang kugadaikan untuk menghadapi cewek, justru hilang, ketika menerima kenyataan bahwa ndak ada cewek yang suka sama anak kampung miskin. Kalau begitu kejadiannya aku rugi berganda. Nyaliku untuk bertahan hidup pastibenar-benar habis, ndak bisa dicas lagi. Mungkin aku akan putus sekolah, menggelandang di jalanan, atau selamanya cuma bisa buruh ngiris bawang,” akunya. 19
Handi ternganga mendengar pengakuan sahabatnya. Sejenak ia diam mencoba memahami. “Begini saja, sob, aku nggak mungkin mengajarimu tentang hidup. Tapi, coba untuk lebih berpikiran positif, bahwa nggak semua orang matre. Nggak semua orang kaya menjadikan kekayaannya sebagai landasan bagi persahabatan. Dan aku tahu betul, siapa dan bagaimana Adinda Zulaikha juga keluarganya. Aku yakin, mereka tak termasuk dalam golongan orang-orang kaya yang kamu curigai. Jadi, terserah kamu saja. Kalau kau butuh bantuanku tentang Zulaikha, jangan malu-malu!” ujar Handi sambil menepuk-nepuk bahu Kukuh. Ia melangkah meninggalkan sahabatnya yang masih termangu- mangu. Kukuh mematung. Dadanya bergejolak hebat. Rasa rendah dirinya kembali membuncah. Keterasingan mengangkangi rongga di dadanya. Namun kalimat terakhir sahabarnya, seperti membuka wacana tentang sebuah wawasan yang lebih terbuka. “Benarkah aku terlalu berprasangka?” tanya dalam hatinya. 19
Hujan lebat semalam mengguyur kawasan Desa Jeruk Legi, sebuah kampung di pedalaman Gunungkidul. Hampir seluruh daratan yang biasanya kering pecah-pecah, menjadi basah. Jejak kaki telanjang orang-orang, membekas sangat jelas di sekitar gundukan tanah merah yang tertutup taburan bunga itu. Aroma kembang mawar, melati dan semboja, juga minyak wangi bercampur dengan bau tanah basah yang khas menyengat hidung. Baru beberapa menit lalu, orang-orang kampung usai menguburkan jasad salah seorang warganya. Seorang pemuda belia, bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang masih baru itu. Berulang kali ia mengusap nisan kayu Randu bertuliskan Sumaryanto bin Saiman, wafat 31 Desember 2012, yang baru saja ditancapkan di atas gundukan, tepat di arah kepala jasad di dalamnya. Pemuda itu seperti 19
tidak peduli jika pakaian putihnya menjadi sangat kotor oleh tanah merah, karena sebelumnya ia ikut memasukkan jenazah ke liang lahat. Kukuh, pemuda yang tengah bersimpuh di samping gundukan tanah merah itu, seakan tak ingin beranjak. Sedangkan para pengantar jenazah lainnya telah berlalu. Sesekali tangannya menepuk-nepuk gundukan tanah merah bertabur bunga itu. Di sekitar nisan kayu, tampak berbagai benda perlengkapan prosesi adat pemakaman. Selain bunga kamboja, mawar, melati, kenanga, juga kantil yang tersebar menutupi permukaan, di depan nisan ada sebutir kelapa muda,juga kendi (gerabah tempat air) diletakkan atas rak penyangga yang terbuat dari bambu di sampingnya. Sebuah payung motha yang terbuat dari kertas warna warna krem, memayungi nisan. Kukuh terlihat sangat terpukul. Usai menanam jasad bapak angkatnya di liang lahat, ia tak segera kembali ke rumah orang tuanya. Beberapa saat lamanya ia masih terpaku di samping kubur. Tubuhnya yang kurus, sesaat menelungkup di atas gundukan, lalu bangkit kembali dan bersimpuh lagi. Matanya sembab. Air matanya mengucur deras, membasahi kedua pipinya, tetapi buru-buru diseka dengan punggung tangannya, agar tak jatuh di atas tanah merah, kubur Pakde Sumar. Bahunya berguncang-guncang karena gejolak kepedihan yang memenuhi dadanya. Isak tangis sesekali terdengar sangat pilu. Kedua gerahamnya terkatup rapat, menahan gelegak kesedihan. Ia ingin menangis meronta-ronta, tetapi tahu betul bahwa itu sama sekali tak berguna. 19
“Pakde,” bisik Kukuh lirih, sembari kembali mencium nisan kayu Randu itu untuk kesekian kali. Berulang kali pemuda itu menengadahkan tangan sambil berkomat-kamit. “Innalillaahi wa innailaihi rojiuun. Allohummaghfirlahu warkhamhu wa'afihi wa'fu'anhu wa akrim nuzulahu wa wassi'madkhalahu waghsilhu bilmaa'iwatstsalji wal barodi wanaqqihi minal khathaaya kama yunaqqatstsaubul abyadlu minaddanas…” setelah itu ia kembali mencium nisan kayu Randu dan mengusap-usap gundukan tanah merah di hadapannya. Seolah tak hendak terpisah. “Sudah, Le, ikhlaskan Pakdemu. Dia sudah tenang di sisi Gusti Alloh. Air matamu justru bisa menghalangi langkahnya menuju keridhoan Pangeran,” bujuk Pak Abdullah, bapak kandung Kukuh yang kembali ke pemakaman, setelah mengetahui anak lelakinya belum pulang ke rumah. Dipegangnya erat-erat pundak anaknya yang telah lebih dari dua tahun hidup terpisah, merantau di Jakarta itu. Dada lelaki 60 tahun itu terasa sesak oleh kesedihan yang mendalam. Ia mencoba berempati dengan anak lelakinya, yang tengah kehilangan satu- satunya tongkat untuk menggamit harapan masa depan itu. Kelopak matanya pun penuh tergenang air bening, namun cepat-cepat pula diusap agar tak sampai bergulir ke pipi tirusnya. 19
Dengan penuh pengertian, ia ikut jongkok dan kembali memanjatkan doa jenazah, di samping anaknya. Lalu ketika matahari sudah mulai tergelincir ke barat, ia menarik perlahan lengan anaknya yang meski kecil terasa sangat kuat. Ia mengajaknya untuk segera pulang. “Tak baik jika jasad yang sudah dikuburkan terus ditunggui. Sekarang ayo pulang! Kita bisa mendoakan Pakde Sumar dari rumah. Sekalian kita lakukan persiapan bacaan Qu'ran nanti malam, juga untuk mendoakannya,” bujuk laki-laki tua itu tanpa bermaksud memaksa. Tanpa menjawab sepatah kata, Kukuh patuh. Ia mengikuti langkah bapaknya meninggalkan gundukan tanah merah, yang masih bertabur bunga segar itu. Ia tinggalkan jasad Pakde Sumar, lelaki yang telah meminjamkan tongkat kekuatan dan harapannya untuk meraih cita-cita. Disekanya air mata, sambil memompakan semangat ke dalam hatinya sendiri. “Pakde, Kukuh ndak akan berhenti. Kukuh akan kembali ke Jakarta, dan terus mengejar cita-cita. Pakde, Kukuh akan membuatmu bangga,” tekad batinnya. Ia tak lagi menengok ke belakang, ke gundukan tanah merah selimut jasad Pakde Sumar yang berbaring di bawahnya. Sampai di rumah air mata Kukuh tak lagi keluar. Kedua matanya masih sembab, karena hampir tak berhenti menangis sejak Pakde Sumar dinyatakan meninggal terkena serangan jantung, sehari sebelumnya. Usai menjalankan sholat dzuhur berjamaah dengan bapaknya, pemuda itu langsung membaca Al-Qur'an. Ia telah bertekad menghadiahkan kepada Pakde Sumar 30 juz bacaan Al Qur'an, yang akan dikhatamkannya dalam waktu 19
tujuh hari sejak meninggalnya. Tak banyak yang dilakukan selama berada bersama keluarga di kampung, selain membaca Al Qur'an dan memanjatkan doa. Kedua orang tuanya sangat trenyuh, melihat kepedihan yang jelas memancar dari dalam diri anak keenamnya. Ibunya, Aminah bahkan meneteskan air mata pilu setiap kali menatap wajah anak lelakinya itu. Tergambar jelas di hatinya, betapa sakit yang dirasakan anaknya itu sekarang. Tepat ketika asanya hampir musnah untuk dapat melanjutkan sekolah, Pakde Sumar mengulurkan tangan, memberinya kesempatan melanjutkan pendidikan tingkat atas. Selayak malaikat, Pakde Sumar menumbuhkan kembali asa di hati si bintang pelajar tingkat kecamatan itu, untuk menatap masa depan yang masih jauh. Namun ketika selangkah lagi ia akan menggenggam ijazah SMK, dengan prestasi dan predikat sebagai seorang tenaga muda yang potensial di bidang teknik penerbangan, pemasok asa itu tiba- tiba dipanggil Gusti Yang Maha Kuasa. Tak ada lagi tempat bersandar. Tiada lagi tangan yang terulur, tulus menawarkan kasih sayang untuk anak yang hanya punya kemauan besar itu. Air mata perempuan beranak sebelas itu kian deras, saat terbayang apa yang akan dihadapi putra keenamnya beberapa hari ke depan. Tak ada kerabat lain yang tinggal di Jakarta. Apalagi yang mau membiayainya. Padahal, tinggal beberapa bulan lagi anak itu sudah akan menempuh ujian akhir dan mendapatkan ijazah SMK. “Pak, akankah Kukuh kecewa lagi? Bagaimana dia 19
akan hidup di Jakarta? Apa dia akan sendirian? Apa Bapak ndak bisa bantu, to?” bisik Bu Aminah sambil duduk di samping suaminya. Keduanya memperhatikan secara diam-diam Kukuh, yang tengah khusuk membaca ayat-ayat suci. Sekuat hati mereka berusaha menahan agar air mata kepedihan tak mengalir di hadapan anaknya itu. “Sudahlah, Bu, sabarlah! Bapak juga sedang berpikir, bagaimana agar Kukuh tetap bisa menyelesaikan sekolahnya. Kasihan juga Mas Sumar, yang sudah sejauh ini mengantarkan anak kita berusaha meraih cita-cita, akhirnya sia-sia sepeninggalnya menghadap Gusti Alloh. Aku juga tidak ingin upaya Kukuh yang tinggal selangkah lagi tercapai ini, juga ikut terbengkelai,” jawab Pak Abdullah lembut. “Apalagi sebenarnya kitalah yang diberi amanat oleh Gusti Alloh,” tambahnya dengan nada pelan. Kedua orang suami isteri itu saling menguatkan. Bu Aminah meremas-remas jemari tangannya sendiri, sedangkan Pak Abdullah merengkuh bahu isterinya dengan tangan kanan. Tatapan keduanya terpusat pada tubuh anak keenam mereka, yang terpaksa terpisah karena ingin meraih cita-cita itu. Tubuh anak itu tampak sangat kurus, seperti tinggal tulang berbalut kulit, dengan otot-otot tubuh terlihat sangat jelas. Matanya yang bulat tajam, terkesan lebih besar dan menonjol. Rona muka dan tabiatnya, jauh lebih dewasa dari pemuda seumuran di kampung itu. Hampir tak pernah terlihat tertawa, sejak datang mengantarkan jasad malaikat penolongnya, Pakde Sumar. 19
Tiga hari berlalu sejak jasad Pakde Sumar ditanam di Pekuburan Umum Desa Jeruk Legi. Tiga hari pula, Kukuh menjalani hari berkabung, dan telah berhasil menghatamkan Al Qur'an yang diniatkan sebagai doa pengiring bagi arwah bapak angkatnya. Malam itu, Kukuh dan orang tuanya kembali mengadakan pengajian dan kirim doa untuk arwah. Seluruh keluarganya berkumpul, termasuk tiga orang kakaknya yang telah berhasil menjadi pegawai. “Ibuk, Bapak, besok Kukuh mau kembali ke Jakarta,” kata Kukuh setelah selesai berdoa. Ibu dan bapaknya terkejut. Demikian juga kakak- kakaknya. “Kamu mau kembali ke Jakarta, Le? Lha di sana kamu mau hidup sama siapa? Ndak ada saudara lainnya yang dekat. Kalau di Tangerang banyak. Biar ibu urus dulu, kamu ikut keluarga yang di Tangerang saja, ya? Lagi pula, ini belum sampai tujuh hari,” sahut Ibu Aminah cepat, jelas panik tampak sangat cemas. Kalimatnya beruntun , suaranya bergetar penuh gejolak. “Ndak, Buke..Kukuh mau kembali ke Pasar Minggu saja. Sekolahnya terlalu jauh kalau ditempuh dari rumah Bulik di Tangerang. Memang belum tujuh hari Kukuh di rumah, tapi alhamdulillah sudah hatam Qur'an. Lagi pula, sebentar lagi Ujian Nasional, Kukuh harus segera masuk sekolah,” jawab pemuda itu sangat tenang, sambil tersenyum tipis memamerkan lekik pipinya. Ia merasakan kekhawatiran yang dirasakan ibu dan bapaknya. Ia ingin menepiskan itu dengan meyakinkan mereka bahwa hidupnya di Jakarta tetap akan baik-baik saja. “Rumah kontrakan Pakde Sumar itu, sudah dibayar sampai satu tahun ke 19
depan, jadi Kukuh bisa tetap tinggal di sana. Ibuk sama Bapak ndak usah khawatir.” “Lalu bagaimana dengan kebutuhanmu, Le?” sela Bu Aminah semakin panik. Cepat-cepat ia mengalihkan tatapan ke arah suami di hadapannya, “Bapak, nanti harus bisa mengirim uang setiap Kukuh kehabisan, ya!” Perempuan bertubuh mungil itu jelas terkesan sangat cemas. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. Wajahnya menampakkan kebingungan yang nyata di mata Kukuh maupun kakak-kakaknya. “Ndak apa-apa, Buke. Ibuk jangan cemas begitu! Kan, Kukuh masih kerja, kalau soal makan, sewaktu- waktu bisa makan di warung sotonya Pak Isak. Gratis, ndak bayar,” ujarnya sambil tersenyum lebih lebar. “Kalau biaya sekolah, kan Kukuh masih dapat beasiswa. Kebutuhan lainnya juga masih bisa diatasi. Ibuk ndak usah khawatir begitu, Buk! Insya Alloh, ndak akan ada masalah.” Kukuh terus berusaha menenangkan ibunya dengan kalimat-kalimat tegas, sambil memeluk erat pinggang perempuan itu dari sisi kiri. Pipi kanannya sengaja ditempelkan di pipi kiri ibu yang telah melahirkannya itu, sangat rapat dan hangat. “Apa ndak lebih baik kalo kamu kembali ke Jakarta setelah peringatan tujuh hari to, Le?” bisik ibunya. Air matanya luruh seketika, merasakan ketegaran dalam diri sang anak. Tangannya berusaha memeluk erat kepala Kukuh. Air matanya kian deras membanjiri rambut anak yang dipelukannya. “Bu, sudahlah! Si Kukuh memang ndak bisa berlama-lama di sini. Dia sudah harus mempersiapkan ujian akhir. Ibu yang sabar! Bantu 19
saja dengan doa! Bukankah begitu, Kuh? “ kata Pak Abdullah berusaha menenangkan isterinya, meski kalimatnya terbata-bata menahan gejolak dalam batin. Kukuh hanya mengangguk-angguk. Wajahnya dihiasi senyum tipis, sehingga terkesan tegar tanpa beban. Sepasang lekik pipinya indah menghiasi senyum itu. Namun jika benar-benar diperhatikan, sudut matanya nanar sesekali melirik ke arah ketiga kakak laki-lakinya. Sudut mata inilah yang sebenarnya justru terbaca jelas dan mencabik-cabik hati sang Bapak. “Soal biaya, insya Alloh Bapak berusaha lebih keras. Insya Alloh bisa mengirim uang untuk semua keperluan. Paling tidak setiap bulan Insya Alloh Bapak akan kirim. Insya Alloh!” tegas Pak Abdullah penuh keyakinan. Ia mengulurkan tangan ke depan, menepuk-nepuk kepala anaknya yang masih berada di dalam pelukan hangat ibunya. Lagi-lagi Kukuh hanya tersenyum tipis memamerkan lekik pipinya. Ketiga kakak laki-laki Kukuh duduk mematung. Tak sepatah katapun terucap, walau mereka berada tepat di samping ayah dan ibunya. Ketiganya bungkam. Jelas terlihat kikuk, karena merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam pembicaraan antara kedua orang tua dengan adik mereka itu. Mereka tidak ditanya. Juga tidak dimintai pendapat sedikitpun. Sepertinya mereka menjadi orang lain di tengah keluarga sendiri. Keberadaan mereka yang semestinya menjadi bagian paling penting dalam urusan ekonomi keluarga, seakan tak dianggap. Iman, Ilham, dan Zulkifli, hanya saling pandang. Duduk mereka semakin tidak nyaman. 19
“Begini saja Kuh, nanti mas-masmu ini yang akan mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhanmu ,” kata Mas Iman, selang beberapa saat mereka semua membisu. “Bukankah begitu, Dik Ilham, Dik Zul?” tambahnya sembari menoleh ke arah kedua adiknya dan mengangguk-anggukkan kepala. Kedua adiknya yang bekerja sebagai perawat dan polisi menanggapinya dengan anggukan kepala pula. Sama sekali tak ada senyum di antara ketiganya. “Eh, ndak usah! Ndak usah repot-repot, Mas! Aku sudah bisa dapat uang sendiri, kok. Sudah cukup untuk biaya hidup,” sergah Kukuh cepat. Duduknya seketika tegak, tak lagi menyandarkan kepala di pipi ibunya. Senyum kecil dan lekik pipinya merekah indah, sengaja dipamerkan kepada ketiga kakak laki- lakinya. Ia seakan menemukan momen paling tepat, untuk menunjukkan betapa dirinya jauh lebih kuat daripada dugaan mereka. Sorot matanya tajam. Nada bicaranya terlalu tegas, sehingga terdengar agak sinis. Ia berusaha menekan munculnya rasa tidak suka yang selama ini disimpan rapat di dasar hati, terhadap ketiga kakaknya itu. Digerusnya benih-benih dendam akibat sikap ketiganya sebagai anak-anak tertua, yang telah mendapatkan semua fasilitas kemudahan dari orang tua hingga mendapatkan kehidupan cukup mapan, namun seakan tak hendak peduli ketika orang tuanya jatuh miskin. ”Kalau Mas Iman, Mas Ilham, dan Mas Zul ada kelebihan uang, lebih baik buat biaya sekolah adik- adik saja. Biar mereka semua juga bisa melanjutkan sekolah. Aku sekarang baru bisa mencukupi kebutuhanku sendiri, belum bisa ikut membantu Bapak dan Ibu memikirkan adik-adik,” tegasnya. 19
Matanya tajam menantang mata kakak-kakaknya, satu per satu. Ketiga kakak laki-lakinya tersentak. Wajah ketiganya mendongak. Mata mereka terbelalak, mendengar ungkapan jujur dan tegas dari mulut adik lelakinya itu. Rona muka mereka mendadak memerah. Barangkali mereka tersinggung dan marah. Mungkin pula ketiganya tak menyangka bakal mendapat serangan tiba-tiba, di hadapan orang tua dan seluruh anggota keluarga. Atau sebenarnya, mereka justru baru menyadari kelalaian karena tak peduli terhadap nasib adik-adik dan orang tua yang telah mengantar menggapai kesuksesan. Bukan tidak mungkin, baru saat itu mereka tahu, bahwa diam-diam adiknya memendam sakit hati. “Kukuh! Apa maksudmu?” sela Mas Zulkifli yang polisi, terdengar cukup keras. Terlihat ia sangat emosi. “Sombong sekali kamu! Masih bau kencur sudah berani ngajari?” Kukuh semakin tegak dalam duduknya. “Sombong bagaimana, Mas Zul? Memang sekarang ini Insya Alloh aku sudah bisa mencukupi kebutuhanku sendiri. Biaya sekolah juga bisa teratasi. Tetapi, bukankah adik-adik juga perlu banyak biaya untuk sekolah. Kalau Bapak sudah ndak mampu, haruskah mereka berhenti setelah lulus SMP? Seperti Mbak Retno dan Mbak Septi, yang harus rela putus sekolah? Barangkali kalau dulu aku tidak diajak sama Pakde Sumar ke Jakarta, mungkin juga sudah ndak melanjutkan sekolah, lalu cuma jadi buruh pemecah batu gamping. Lalu Mas-Mas ini, yang sudah menjadi pegawe, kenal banyak orang penting sampai di kabupaten, apa ndak malu punya saudara banyak, 19
tapi putus sekolah semua?” Kukuh tak kuasa lagi menutupi kekecewaan hatinya. Pak Abdullah yang membaca situasi mulai memanas segera menengahi. “Sudahlah, Zul! Adikmu Kukuh ini memang sudah biasa mandiri. Kalian bertiga ndak usah emosi, hanya karena dia menolak bantuan dari kalian. Adikmu juga tidak bermaksut ngajari atau nggurui kalian. Nyatanya memang sekarang ini, dia sudah ndak butuh bantuan kalian. Bahkan Bapak pun, sama sekali ndak pernah membantu apa-apa selama dia di Jakarta. Pakde Sumar dan kehidupan di Jakarta, sudah mengajari adikmu ini banyak hal, yang tidak pernah kalian dapatkan. Bahkan mungkin sama sekali belum pernah kalian bayangkan,” katanya tegas tapi sabar. Ketiga kakak Kukuh bersungut-sungut. Mereka diam, menatap garang wajah adiknya yang tak lagi memamerkan senyum dan lekik pipi. Kukuh tegak. Matanya tajam menatap ke depan, seakan menantang. Ia sama sekali tak hendak menghindari tatapan garang ketiga kakak yang sudah cukup mapan hidupnya itu. “Baik Kuh, kalau memang kamu berkeras mau segera kembali ke Jakarta besok, Bapak sama Ibu merestui. Begitu to, Buk?” kata Pak Abdullah mencairkan suasana. Bu Aminah yang duduk tepat di samping Kukuh, mengangguk tanda setuju, sambil kembali memeluk bahu anak keenamnya itu. Tampak tangannya gemetar, berusaha menyalurkan sepenuhnya hangat cinta, doa, harapan, juga kebanggaannya atas ketegaran yang ditunjukkan malam itu. 19
“Iya, Le, segeralah kembali! Ujianmu sebentar lagi. Ibuk yakin dengan pertolongan Gusti Alloh kamu bisa bertahan dan meraih cita- citamu. Ibuk selalu berdoa untukmu,” ujar Bu Aminah menghibur anaknya, juga dirinya sendiri. Siangnya, Kukuh kembali ke Jakarta naik bus dari desa. Tiket bus dibelikan bapaknya. Tetapi ketika si Bapak mengulurkan sejumlah uang, ia berkata, “Kukuh masih punya tabungan, Pak. Insya Alloh cukup. Adik-adik butuh biaya banyak, buat ujian juga.” Bak tersayat sembilu hati Pak Abdullah mendengar ucapan tulus anak keenamnya itu. Air mata yang coba ditahannya selama beberapa hari terakhir, luruh di pipinya yang tirus menua. Segera dipeluknya erat-erat, anak yang telah lebih dua tahun menunjukkan kesungguhan dalam menggapai asa itu. Lelaki yang telah cukup makan asam garam kehidupan itu, merasa betapa perjuangannya menghidupi keluarga sama sekali tak berarti apa-apa dibandingkan kegigihan Kukuh yang masih belia berusaha menggapai cita-cita . Betapa tidak, semua yang ia lakukan sampai saat ini semata-mata adalah wujud tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Sedangkan Kukuh menjalani perjuangan berat, justru karena kesalahannya sebagai orang tua. Seakan ia 19
tengah melihat Kukuh yang benar-benar telah tumbuh menjadi seorang lelaki tangguh. Dipeluknya sekali lagi tubuh anaknya yang kurus, lalu segera dilepaskan kembali. Sambil menghirup nafas panjang, ia berujar, “Berangkatlah! Doa bapak sama Ibuk bersamamu. Bapak bangga, Le!” Suaranya parau menahan haru. Seuntai senyum penuh semangat disematkan, mengantar kepergian anak keenamnya kembali menantang asa di Jakarta. Setetes lagi air matanya luruh, saat anaknya melangkah menjauh hingga menghilang bersama bus yang membawanya kembali ke Jakarta. Di dalam bus, Kukuh tercenung. Kepergiannya ke Jakarta kali ini terasa sangat berbeda dengan sebelumnya. Biasanya selalu ada Pakde Sumar di bangku sebelah, memompakan semangat untuk setiap langkahnya. Biasanya, ia tak mengurusi sendiri tiket perjalanannya. Sebelumnya, ia juga tak pernah menyiapkan sendiri bekal perjalanan. Semua sudah disediakan oleh Pakde Sumar, ia hanya mengekor saja. Tanpa disadari, air mata kembali bergulir di pipinya. “Pakde,” bisiknya sangat lirih. Air mata yang semakin deras mengalir segera dilap dengan lengan bajunya. Dibukanya buku kecil berisi kumpulan doa, lalu dibaca sebagai penghibur hatinya yang masih lara. ***** Pagi itu seperti biasa, Pakde Sumar masuk ke dapur warung soto Pak Isak menjelang Subuh, ketika Kukuh sudah selesai dengan tugasnya mengiris dan mencuci bawang merah. Ia menepuk bahu pemuda, yang selama lebih dua tahun terakhir menjadi bagian hidupnya itu hangat. “Sudah, istirahatlah! Pulang saja! 19
Tambah belajarmu, ujian sudah dekat!” perintahnya. “Iya, Pakde,” jawab Kukuh singkat. Dilihatnya pria tambun yang sudah dianggap sebagai orang tuanya itu tersenyum. Tulus seperti biasanya. Tak beda dari hari-hari sebelumnya. Padahal sorenya, ia minta dikerok tubuhnya karena merasa merasa masuk angin. “Lha, Pakde sudah sehat, to? Sudah ndak masuk angin?” tanya Kukuh. Pria yang hidup sangat bersahaja itu, hanya mengangguk sambil tersenyum. Dengan isyarat senyum dan memajukan wajah, ia menyuruh agar Kukuh segera pulang menyiapkan pelajaran. Sambil tersenyum pula Kukuh meninggalkannya, pulang ke rumah kontrakan yang hanya berjarak beberapa ratus langkah dari dapur itu. Baru saja Kukuh usai sembahyang Subuh, ketika Wartim salah seorang pembantu koki di warung soto Pak Isak tergopoh-gopoh masuk rumah. “Kuh! Kukuh! Cepat ke dapur Kuh! Pakde Sumar!” teriaknya lantang dari luar rumah. Kaget, Kukuh bangkit dengan masih mengenakan kain sarung. “Ada apa Mas Wartim?” tanyanya gugup. “Itu, Pakde Sumar pingsan. Cepat ke sana ya!” tegas Wartim lalu segera berlari kembali ke warung, meninggalkan Kukuh yang masih termangu-mangu di depan pintu. Beberapa saat Kukuh sempat mematung di depan pintu, seakan tak percaya pada pendengaran dan penglihatannya. Namun kesadarannya segera kembali, dan tanpa melepas sarung, ia berlari menyusul Wartim ke dapur warung soto, setelah 19
sebelumnya menutup pintu rumah. Sampai di dapur warung soto, dilihatnya Pakde Sumar sudah terbujur di dalam mushola. Kukuh menghampiri tubuh gempal yang terbujur itu. Tanpa termometer pun bisa dipastikan, suhu tubuhnya terlalu tinggi. Detak jantungnya berpacu terlalu kencang, seakan mengejar sang waktu. Di bawah temaram lampu mushola, wajah bulat Pakde Sumar terlihat sangat tegang berwarna merah kehitaman, seumpama balon merah tua ditiup terlalu besar, hingga siap meledak. Kepalanya bergetar hebat seperti sedang menggigil. Kedua telapak tangannya menggenggam erat. Matanya setengah terpejam dengan bola mata bagian putihnya menampakkan urat-urat darah memerah seolah tengah meradang. Gerahamnya menyatu rapat seperti saling menekan. Nafasnya tersengal-sengal, terdengar seperti tengah mengorok. Air mata menetes dari ujung matanya. Di mata Kukuh, Pakde Sumar terlihat sedang menahan rasa sakit yang luar biasa, tanpa bisa mengaduh, mengeluh, apalagi menepiskannya. “Tadi waktu sedang mempersiapkan bumbu, tiba-tiba Pakde Sumar jatuh pingsan. Kami menggotongnya ke sini yang agak lega. Tapi kok sampai sekarang belum sadar juga,” tutur Wartim. Hati Kukuh miris melihat pemandangan itu. Tangannya gemetar saat memegang kepala malaikat penolongnya yang terasa seperti bara. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga lelaki itu, lalu menuntunnya mengucap tahlil. “Pakde, laa ilaaha illalloh. Laa ilaaha illallooh,” tuntunnya dengan terbata-bata. Suaranya bergetar hebat. Nafasnya 19
terasa berat. Ketakutan menggerayangi seluruh perasaannya. Beberapa pekerja lain berusaha membangunkan Pakde Sumar. Ada yang memijit kakinya, ada yang memijit bagian kepala, mengolesi tubuhnya dengan minyak angin, ada pula yang mengompres kepalanya dengan air dingin. Tubuh Pakde Sumar tetap terbujur kejang. Hampir setengah jam berlalu. Pakde Sumar tak juga kunjung siuman. Kukuh bangkit. Hanya satu yang diingat, dokter. “Tolong bawa Pakde Sumar ke rumah sakit. Sekarang juga!” pintanya setengah berteriak. Beberapa orang segera menggotong tubuh Pakde Sumar. Dengan menggunakan mobil operasional warung, tubuh Pakde Sumar dibawa ke rumah sakit yang paling dekat. Hanya beberapa menit perjalanan dari warung sampai rumah sakit. Setiba di IGD RS, dokter segera menangani. Dari luar ruangan, Kukuh melihat tubuh Pakde Sumar tak lagi kejang. Ia juga tidak mendengar suara ngoroknya. Lalu, hanya dalam hitungan beberapa tarikan nafas panjang, dokter keluar ruangan. Dokter laki-laki itu menemui Kukuh dan beberapa orang yang menunggui pemeriksaan terhadap Pakde Sumar. “Pasien atas nama Bapak Sumaryanto, terlambat di bawa ke rumah sakit. Beliau sudah meninggal beberapa saat sebelum sampai ke rumah sakit ini,” kata dokter muda itu. Seperti petir di siang bolong, ucapan dokter muda itu menyambar kesadaran Kukuh. Seketika gelap melingkupi pandangannya. Ia jatuh terkulai tak berdaya, sama sekali tak tahu harus berbuat apa. 19
“Astaghfirullohul'aziim. Innalillahi wainnailaihi roji'uun,” gumamnya. Sesaat ia limbung, namun segera bisa menguasai diri lalu menyerbu masuk ruang IGD, di mana jasad Pakde Sumar terbujur. Seakan tak percaya ucapan dokter muda tadi, pemuda itu mengecek urat nadi di pergelangan tangan juga di leher. Ia tak menemukan detak sama sekali. Lalu ia meletakkan jemarinya di depan lubang hidung jasad yang masih panas itu, berharap ada selembar saja nafas terhembus dari sana. Dilihatnya mata Pakde Sumar telah terpejam, tetapi masih ada bekas air yang menetes dari sudut matanya. “Innalillaahi wainnailaihi rooji'un,” ujar Kukuh lagi semakin gemetar. Dibelainya wajah dan seluruh tubuh lelaki, yang telah menjadi bapaknya selama lebih dua tahun terakhir itu. Dalam gemetar seolah ia berkata, “Kenapa Pakde pergi tiba-tiba? Dengan siapa aku sekarang? Bagaimana aku tanpamu ke depan?” Diciumnya pipi dan kening tambun yang masih terasa panas. Seuntai air matanya luruh, jatuh di kening jasad yang terlihat seperti tengah tertidur pulas 19
di hadapannya. Melihat butiran air matanya jatuh membasahi kening jasad Pakde Sumar, ia tersentak. Segera dihapusnya air mata itu, dihelanya selembar nafas panjang, lalu hendak beranjak. Namun seluruh tenaganya serasa hilang. Tubuhnya kembali terkulai lemas di lantai, meski berulang kali ia mencoba kembali berdiri. Beberapa rekan Pakde Sumar membantunya berdiri. Mereka juga berusaha menguatkan hatinya. “Istighfar, Kuh! Ini sudah takdir,” hibur Wartim. Sebagian rekan lainnya, mengurus segala keperluan untuk membawa jenazah pulang ke Jeruk Legi, Gunungkidul. Pak Isak yang dikabari tentang kejadian itu, segera menyusul ke rumah sakit. Dia yang membayar seluruh biaya pengurusan jenazah, sampai ke tempat tujuan. Bahkan untuk menghormati Pakde Sumar, ia memutuskan menutup warung sotonya selama tiga hari berturut-turut. Sebagian karyawan sengaja diperintahkan untuk mengantarkan jenazah ke kampung halaman, dengan menggunakan mobil carteran. Kepada Kukuh ia berkata, “Yang tabah, Kukuh! Ini ujian untuk kamu. Tetaplah tegar! Semangat berjuang seperti keinginan bapakmu ini, jangan berhenti!Sekarang antar jenazah bapakmu ini pulang! Terus nanti kamu segera kembali untuk bekerja, dan sekolah lagi! Jangan khawatirkan apapun, ya!” Lelaki bermata sipit berkulit kuning bersih itu, menepuk- nepuk bahu Kukuh. Ia seakan tengah berusaha menunjukkan perhatian, sekaligus memberikan dukungan moral bagi Kukuh yang hanya mampu mengangguk lemah. 19
Kukuh tak sempat mengabarkan kematian orang tua angkatnya itu ke sekolah. Ia hanya mengirimkan pesan singkat kepada Handi berita itu, dengan meminjam HP Pak Isak. Dengan masih mengenakan sarung, ia masuk ambulan, mengantarkan jasad Pakde Sumar pulang ke kampung di Gunungkidul. Sebuah mobil L300 berisi beberapa asisten koki dan karyawan warung soto Pak Isak, mengiringi dari belakang. Bunyi sirine mobil ambulan yang meraung- raung, menggantikan tangis Kukuh. Sejak berada di jok depan mobil itu, ia tak berkata sepatah pun. Dadanya seperti tersumbat, tak mampu sekedar mengungkapkan kepedihannya. Tak ada air mata. Tak ada kata-kata. Matanya menerawang, tak ada apa- apa dari sorot matanya. Kakinya serasa tak lagi menapak. Tubuhnya gontai, terbang bersama setiap harapan dan cita-citanya. Sang Malaikat yang telah meminjamkan tongkat baginya menggamit asa, sekarang tengah diantarkan menuju tempat istirahatnya yang terakhir. Malaikat itu telah pergi memenuhi panggilan Tuhannya. Tinggal dia kini sendiri. 19
Menjelang dini hari, Kukuh tiba di Jakarta. Sedikit gamang, ia membuka pintu lalu melangkah pelan, masuk kembali ke rumah kontrakan Pakde Sumar, yang telah ditinggali selama di Jakarta. Diedarkannya pandangan, menyapu seluruh sudut ruangan. Rumah petak berukuran 4 x 9 meter persegi itu, menjadi terlalu lapang dan lengang. Ia terus melangkah menuju ruang tidur. Hanya selembar kasur pegas 160 cm, tertutup seprei dengan dua bantal dan dua guling, serta selimut garis-garis biru putih. Masih tertata rapi. Di kasur itulah, selama lebih dari dua tahun terakhir ia tidur bersama Pakde Sumar. Air mata Kukuh kembali luruh, saat menatap foto Pakde Sumar sedang merangkul tubuh kurusnya, yang tergantung di dinding. Pakde Sumar berpose di dapur warung soto, dengan memasang tawa bangga, 19
sedangkan dirinya hanya tersenyum kecil. Tampak betul di foto itu, betapa Pakde Sumar sangat menyayangi dan membanggakan dirinya. Diusapnya foto Pakde Sumar. Dirabanya bagian bibir yang tengah tertawa, seakan ingin menghidupkan kembali tawa itu dalam kenangannya. Ingin dirasakannya lagi rangkulan hangat pria bertubuh gempal tinggi besar yang selalu bisa membangkitkan semangatnya itu. Selang beberapa waktu, terdengar suara di belakangnya. “Kudengar kamu sudah pulang. Apa kabar?” sapa Pak Isak yang ternyata sudah beberapa saat memperhatikannya. “Jangan larut dalam kesedihan! Jalan masih sangat panjang buat kamu ke depan. Segera bangkit lagi, kamu harus sekolah lagi!” tambahnya, seakan mengerti apa yang sedang berkecamuk di batin pegawai belianya itu. Maaf Pak Isak, saya baru datang. Belum bisa mengiris bawang lagi,” ujar Kukuh tergagap sambil sedikit membungkuk ke arah majikannya. “Sudah tidak apa-apa. Terserah saja, kapan kamu mau kembali bekerja. Tapi menurutku, lebih baik secepatnya. Bukan apa-apa, ya, dengan bekerja kamu tidak punya waktu untuk melamun. Karena kalau kamu biarkan dirimu berlama-lama meratapi kematian Pakde Sumar, akibatnya tidak akan baik. Jadi lebih baik kalau tidak sedang belajar, kamu ke dapur ini saja! Bagaimana menurutmu? Apa sekarang mau ikut ke dapur dulu, biar ada banyak teman? Kamu juga bisa sarapan di sana. Atau mau mempersiapkan diri 19
buat sekolah nanti?” ajak laki-laki setengah baya itu, penuh simpati.Kerongkongan Kukuh seakan tercekat. Matanya menatap Pak Isak yang berdiri tepat di hadapannya dengan seksama. Tanpa ia harapkan, air matanya kembali memancar. Gejolak hatinya membuncah, dan tanpa sadar tubuhnya menghambur memeluk pria yang selama ini sangat disegani sebagai majikannya itu. Tangis yang selama di kampung tertahan, pecah seketika menyayat hati setiap yang mendengarnya. Termasuk laki-laki bermata sipit dengan kulit putih bersih yang dipeluknya dengan erat itu. Seakan mengerti kepedihan yang dirasakan Kukuh, Pak Isak membiarkan dadanya sedikit sesak karena terlalu erat dipeluk. Pun ia tak berusaha menghentikan tangis Kukuh di dadanya. Bahkan dengan penuh pengertian, ia belai-belai punggung anak itu, mencoba mengalirkan kehangatan kasih sayang yang dimilikinya. Sangat bijak, ia tak memuntahkan sederet nasihat-nasihat usang. Ia hanya membiarkan Kukuh memuntahkan semua emosinya, berharap akan mendapatkan ketenangan sendiri, setelah beban di dadanya luruh bersama air mata. Lebih dari seperempat jam, Pak Isak membiarkan dirinya dipeluk erat oleh Kukuh. Selang beberapa lama kemudian, tangis Kukuh terhenti. Tinggal isaknya satu-satu masih tersisa. Pelukannya ke tubuh Pak Isak semakin mengendor, lalu lepas sama sekali. Seakan baru menyadari perbuatannya, segera diusap air mata dengan lengan bajunya. Tubuhnya kembali tegak. “Maafkan saya Pak,” ujarnya lirih tertunduk malu. “Sudah tidak apa-apa. Kalau sekarang sudah lega, lebih baik ayo ikut ke dapur! Kalau banyak teman-teman, kamu jadi tidak kesepian,” ajak Pak 19
Isak lagi. Kukuh mengangguk, lalu mengekor langkah Pak Isak menuju dapur warung soto. Sesaat Kukuh kembali larut dalam haru, tatkala Wartim dan teman-teman lainnya, satu per satu memeluk tubuhnya. Pelukan erat dan hangat, seolah mewakili perasaan mereka yang juga merasa kehilangan mendalam atas meninggalnya Pakde Sumar. Pelukan erat dan hangat yang ternyata memompakan semangat bagi Kukuh, untuk melanjutkan hidup. Ia menjadi sadar, bahwa rasa sakit karena kehilangan itu tidak hanya menguasainya, tetapi seluruh isi dapur merasakannya. Kepergian Pakde Sumar ternyata menjadi kehilangan besar bagi Pak Isak dan seluruh karyawannya warung sotonya. Selain karena sebagai koki utama, ia juga satu-satunya koki yang menguasai betul resep khas soto ala warung soto Pak Isak. Tak heran, kematiannya membuat Pak Isak harus memutar otak, mencari strategi untuk mempertahankan cita rasa khas soto dagangannya yang tidak pernah dibagikan ke orang lain. Ia juga harus menerapkan strategi pemasaran, guna mempertahankan pelanggan lama, sekaligus menjaring pelanggan baru. Tentu bukan hal mudah, karena selama ini tangan Pakde Sumar sendiri yang meracik bumbu utama kuah soto. Sedangkan karyawan lainnya, termasuk asisten koki, hanya sekedar membantu menyiapkan bahan-bahannya dan proses pemasakan. Sehari-hari Pakde Sumar juga menjadi panutan bagi hampir seluruh karyawan. Sifat rendah hatinya berlaku kepada seluruh karyawan dapur, yang 19
notabene bekerja atas petunjuknya. Kebersahajaan dan kesederhanaan hidupnya, sangat menonjol. Kepeduliannya yang besar terhadap sesama, termasuk anak buahnya, juga menjadi satu cermin pribadi yang selalu sumarah terhadap kehendak Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang koki pemegang peran paling penting bagi kelangsungan warung soto Pak Isak, yang telah memiliki cabang di beberapa tempat, mustinya ia bisa hidup berkecukupan. Paling tidak, sudah sangat layak bila ia memiliki rumah sendiri, lengkap dengan segala keperluan penunjang hidup lainnya. Konon ketika baru menikah, Pakde Sumar sempat membeli dan menempati sebuah rumah besar di kawasan Tanjung Barat bersama isterinya. Musibah terjadi saat isterinya tengah hamil anak pertama. Entah apa yang terjadi Pakde Sumar tak pernah mengerti dengan pasti, saat pulang bekerja isterinya ditemukan telah meninggal di atas tempat tidur. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, isterinya terkena serangan jantung saat mengalami kontraksi hendak melahirkan. Ia pun harus merelakan isteri berikut calon anak yang belum sempat lahir ke dunia, kembali kepada Tuhannya. Sejak itu, Pakde Sumar hidup sebatang kara. Bapak dan ibunya sudah lama meninggal dunia, sedangkan ia anak tunggal. Ia pun tak hendak mencari isteri lagi. Ia bahkan memutuskan menjual rumahnya, lalu mengontrak salah satu rumah petak dekat dapur warung soto tempatnya bekerja. Mulai saat itu, hidup Pakde Sumar didedikasikan untuk meramu bumbu khas soto Pak Isak, yang digemari banyak orang. Ia menikmati pekerjaannya, sudah cukup merasa puas jika banyak orang bisa menghargai hasil masakannya. 19
Setelah itu, penghasilan Pakde Sumar sebagian besar disumbangkan ke panti asuhan sebagai donatur tetap, atau membantu sanak keluarga yang membutuhkan. Ia hanya menyisihkan sebagian kecil, sekedar untuk membayar kontrakan dan biaya hidup setiap hari. Sampai akhirnya ia mengajak Kukuh, anak sepupunya dari kampung yang diakunya sebagai anak sendiri. Ia menanggung semua kebutuhan anak itu, termasuk membiayai sekolahnya. Lelaki sebatang kara itu, terlihat kembali bersemangat, dan menyisihkan sebagian penghasilannya ditabung bagi keperluan Kukuh. Tak jarang ia berkisah tentang berbagai kelebihan Kukuh sebagai pelajar terbaik tingkat kecamatan. Juga tentang prestasi yang telah diraih anak itu dalam berbagai lomba kepintaran. Kebanggaannya jelas terpancar dari caranya berkisah yang selalu berapi-api. Tampaknya, ia benar-benar bangga dan ingin memberikan yang terbaik buat anak angkatnya itu, walaupun tak pernah memperlihatkannya di depan Kukuh secara langsung. Dalam mendidik Kukuh, Pakde Sumar menerapkan disiplin tinggi. Meski tidak dengan tangan besi, ada aturan-aturan yang sama sekali tak boleh dilanggar. Seperti, kewajiban mengaji usai sembahyang maghrib. Kalau aturan ini sampai dilanggar, ia pasti mendapat hukuman, membersihkan seluruh ruangan rumah, termasuk menguras kamar mandi selama tujuh hari berturut- turut. Aturan lain yang wajib dipatuhi, tidak boleh bolos sekolah, kecuali karena sakit hingga tak sanggup bangkit. Sedangkan segala biaya kebutuhan bagi pendidikan, seluruhnya dipenuhi tanpa kurang sedikit pun. Demikian pula dengan kebutuhan hidup Kukuh setiap hari, tak ada yang kurang. 19
“Kamu ndak usah mikir apa-apa! Kalau butuh apa-apa untuk sekolah, buku, biaya praktikum, atau untuk kegiatan lainnya, kamu bilang saja! Pokoknya, tugas kamu yang pokok di sini adalah untuk sekolah. Belajar, agar semakin pintar! Tunjukkan kamu anak kampung yang hebat! Bukan untuk ngiris brambang! Camkan itu, Le!” Begitu biasanya Pakde Sumar menyemangati. Kebaikan Pakde Sumar yang telah mengulurkan kasih sayang penuh, justru menjadikan Kukuh semakin mengerti arti mandiri. Ia malu setiap kali menerima uang jajan, atau aneka barang yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan bisa dimiliki. Seperti ketika suatu pagi, bapak barunya itu menyodorkan HP yang masih dipacking, sambil berkata, “Ini, kamu pasti butuh HP, Le. Bukan yang mahal, tapi cukuplah untuk kebutuhan kamu. Kata yang jual tadi, bisa untuk social network, lho! Apa itu, aku juga ndak tahu.” Kukuh terpana. Pandangannya nanap ke arah lelaki gempal itu. “Pakde ndak usah repot-repot, to! Kukuh ndak pernah pergi jauh, ndak perlu bawa HP. Kalau Kukuh mau ke mana-mana, pasti pamit dulu sama Pakde,” ujarnya dengan suara bergetar. Pandangannya jatuh ke lantai, menahan haru. Sungguh ia tak pernah membayangkan, Pakde Sumar akan sejauh itu memperhatikan dirinya. “Kamu ndak malu sama teman-teman kamu, to? Sama cewek gebetanmu, masa ndak butuh smsan atau facebookan atau twiteran. Lha itu rak kebutuhan anak-anak sekarang to, Le? Lagi pula, siapa tahu, suatu waktu Pakde butuh nelpon kamu waktu di sekolah.” Pakde Sumar seperti tengah memancing. 19
“Malu kenapa Pakde? Lha wong memang ndak ada manfaatnya buatku. Cewek yang malu punya cowok melarat, ya bukan cewek gebetanku,” jawab Kukuh sambil tersenyum nakal. Mendengar penuturan Kukuh, Pakde Sumar tersenyum. “Kamu memang anak baik, Kuh,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Jadi Pakde sedang menguji Kukuh, nih? Sebenarnya, Pakde cuma pengin tahu tekat Kukuh masih sama atau tidak, karena Kukuh merasa terlalu dimanjakan saja sama Pakde?” selorohnya. Pakde Sumar tersenyum lebar. “Bukan sedang menguji. Kalau memang kamu membutuhkan, HP ini boleh kamu bawa. Lha wong memang sengaja Pakde beli buat kamu, kok. Hari gini gitu loh, masa anak SMA ndak punya HP? Apa kata dunia?” katanya, menirukan cara bicara Nagabonar di film yang pernah dilihatnya. “Tapi kalau pikiranmu benar seperti itu tadi, bukan karena takut sama Pakde, artinya kamu sudah bisa memilah-milah kebutuhanmu. Itu bagus. Cuma, karena sudah terlanjur dibeli, ya pegang saja! Terserah mau kamu pakai atau tidak, asal jangan dijual!” tambahnya sambil meletakkan HP ke tangan pemuda kurus itu. Kukuh sangat mengerti, kapan harus menerima pemberian Pakde Sumar, kapan boleh menolak tanpa membuatnya kecewa. Karena itu ia pun menerima pemberian itu dengan penuh tanggung jawab. Karena kebaikan Pakde Sumar itu pula, ia berkeras ikut bekerja apa saja di warung soto Pak Isak. Mulanya Pakde Sumar terang-terangan menentang keinginan itu. “Apa nanti belajarmu ndak terganggu? Kamu bakal capek, kurang tidur, sedangkan upahnya ndak 19
seberapa,” kata Pakde Sumar menjajagi kesungguhannya, ketika menyatakan niatnya untuk bekerja. “Yang penting, kan Kukuh belajar bekerja, Pakde. Kerja nyuci piring juga mau. Lha wong juga cuma pegang ijazah SMP, masa kepengin pake dasi di kantoran. Ngimpi kali, Pakde,” jawabnya enteng. Jawaban Kukuh ternyata cukup mengejutkan bagi Pakde Sumar. Ia tak menyangka ucapan semacam itu keluar dari mulut bocah yang baru lulus SMP, dan nyaris tak sanggup melanjutkan sekolah. Jawaban itu, membuktikan bahwa kesungguhan benar-benar dimiliki oleh anak sepupunya itu. Oleh karenanya, ia diijinkan bekerja, meski tetap dalam pengawasan Pakde Sumar. Keputusan yang sangat bijaksana bagi Kukuh. Kesadaran tentang cara memaknai hidup, terus berkembang dalam diri Kukuh. Mengalir natural tanpa dipaksakan. Semua potensi yang ada dalam dirinya, dibiarkan tumbuh berkembang oleh Pakde Sumar, walau tetap harus mengikuti standar norma transendental secara ketat. Segala kenangan tentang Pakde Sumar terus berputar-putar dalam pikiran Kukuh. Semangat yang selalu dipompakan ke dalam dirinya selama dua tahun terakhir, sekarang menjadi penopang utama, ketika raganya telah tiada. Dalam kesendirian hidup di tengah belantara ibu kota, Kukuh memposisikan diri seperti halnya Pakde Sumar. Ia pun menerapkan semboyan Pakde Sumar, untuk selalu berbuat maksimal dalam usaha dan kebaikan. Pakde Sumar telah mendedikasikan seluruh hidupnya, dengan menciptakan racikan bumbu soto. 19
Itu jalan yang dipilih sebagai perwujudan cita-citanya, berguna bagi sesama. Kukuh, kini mewajibkan dirinya, untuk mendedikasikan seluruh waktunya untuk belajar, guna meraih cita-citanya. Berpendidikan tinggi. Mandiri. Bisa membantu orang tua dan adik-adiknya. Tekad itu semakin membara karena percikan sakit hati atas sikap ketiga kakak laki-lakinya. Kehangatan suasana di dapur warung soto Pak Isak, banyak membantu Kukuh melupakan kepedihan karena ditinggal Pakde Sumar. Dukungan semangat untuk terus maju selalu didapat, meski lewat cucuran keringat. Canda, tawa, suka duka, sentilan-sentilan kecil dengan para karyawan, dan banyak cerita lainnya dari dapur itu, menjadikannya semakin matang menghadapi berbagai situasi dengan berbagai sifat orang. Kepandaian menghadapi tabiat orang inilah, yang kemudian menjadi bekal utama dalam langkahnya. Di sekolah, hampir tak ada yang berubah dengan Kukuh. Handi langsung menyambutnya dengan pelukan erat, saat pertama kali kembali ke sekolah. “Tabah, sob!” ujarnya berusaha menunjukkan simpati. “Kamu keterlaluan, masa Pakde meninggal nggak kasih tahu sama sekali!” protesnya. Kukuh berusaha tegar. Ditariknya nafas panjang, sebelum menanggapi ungkapan simpati sahabat terdekatnya itu. “Terima kasih, Han. Maaf aku ndak sempat kasih tahu kamu. Lha wong aku sendiri shock, Han, ndak ngerti harus berbuat apa. Aku seperti anak ayam kehilangan induk, Han, waktu itu. Pakde pergi terlalu tiba-tiba. Makanya sekarang aku mau menghadap Pak Daud dulu, meminta maaf atas 19
kelancanganku ndak pamit, bolos sekolah berhari- hari,” jelasnya. “Biar aku temani. Kemarin aku sudah menjelaskannya.” Handi menawarkan diri yang disambut dengan anggukan dan senyum oleh Kukuh. Kedua sahabat itu melangkah menuju ruang guru, bertemu dengan Pak Daud, wali kelas mereka. “Memang tidak baik meninggalkan sekolah tanpa keterangan sama sekali. Apa pun alasannya,” kata Pak Daud ketika Kukuh mengemukakan permintaan maafnya secara langsung. “Tapi, Pak, bagaimana Kukuh mau memberitahu sekolah, sedangkan dia sendiri pasti sangat kebingungan karena kematian Pakde secara tiba-tiba. Dia, kan sendirian, wajar kalau dia nggak sempat memberi tahu sekolah sebelum mengantarkan jenazah pulang kampung.” Handi mengajukan pembelaan untuk sahabatnya. Kukuh hanya tertunduk diam. Kelihatannya ia tak hendak mengajukan pembelaan. Disenggolnya Handi dengan siku, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya tampak tidak suka Handi membelanya di depan Pak Daud. “Maaf Pak, apapun alasan saya, saya memang salah karena membolos sampai seminggu, tanpa keterangan sama sekali kepada sekolah,” ucap Kukuh memupus protes Handi. “Baiklah. Ini peringatan buat kamu 19
untuk tidak mengulangi! Walaupun tidak seketika, kamu bisa memberi tahu sekolah secepat kamu bisa, kan? Kalau sampai kamu ulangi, sekolah pasti akan menjatuhkan sanksi.” Pak Daud memperingatkan Kukuh. Sejenak terdiam, lalu, “Bapak ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Pakdemu. Semoga dibukakan kemudahan jalan baginya, menghadap sang Kholiq. Dan kamu, Bapak harap lebih bersemangat! Tinggal selangkah lagi, bekal dari sekolah ini akan tercukupi dengan datangnya ujian. Jangan menyerah!” “Insya Alloh, Pak!” janji Kukuh singkat. Ia meninggalkan ruang guru diikuti oleh Handi dan tatapan sendu Pak Daud. “Kuh, gimana kalau mulai sekarang kamu tinggal di rumahku saja?” usul Handi, sesaat setelah keluar dari kantor guru. Langkah Kukuh terhenti. Matanya menatap mata sahabatnya itu. “Kamu, kan sendirian di Jakarta? Jangan khawatir, Papa sama Mama sudah kuberi tahu tentang kamu. Ide untuk mengajakmu tinggal di rumah juga datang dari mereka. He he..hitung-hitung buat nemenin aku, ngajari aku belajar. Kamu mau, ya?” bujuknya. Tak segera melihat reaksi, Handi berkata lagi, “Kata Papa sama Mama, kamu nggak perlu bekerja di warung lagi, karena mereka akanmencukupi semua kebutuhanmu. Jangan heran apalagi curiga sama kebaikan mereka, Sob! Selama ini mereka melihat banyak kebaikan aku, setelah berteman sama anak kampung, ya kamu ini. ” Handi nyengir kuda. Alisnya naik turun, sedikit menggoda. Serius ia menunggu jawaban dari mulut sahabatnya. Kukuh diam. Selintas lewat di bayangannya, dirinya hidup bersama sebuah keluarga kaya. Bukan 19
tidak mungkin mereka akan membiayai sekolahnya, hingga jenjang lebih tinggi. Ia barangkali akan menemukan pekerjaan baru yang lebih terhormat, dengan upah lebih besar dari sekedar menjadi pengiris bawang. Ia pun akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk melihat banyak tempat di Jakarta ini, tak sebatas lingkungan dapur warung soto Pak Isak. Sesungging senyum sempat terukir di belahan bibirnya. Sepasang lekik pipi muncul seindah mimpi sesaatnya. Namun selang beberapa detik kemudian, ia tersadar dari mimpi lalu berkata, “Trims banget, Han! Kamu begitu peduli sama aku. Sampaikan terimakasihku juga untuk papa mama kamu. Tapi, aku ndak bisa memenuhi ajakanmu. Setidaknya untuk sekarang. Bukan apa-apa, walau sudah tak ada, Pakde Sumar itu adalah bagian hidupku. Rumah petak yang sudah dibayar untuk satu tahun ke depan itu, menjadi satu paket dengan Pakde. Juga, pekerjaanku sebagai pengiris bawang adalah bagian dari hidupku sekarang. So, sementara ini aku tetap di kontrakan saja,” tuturnya kalem. Handi hanya melongo mendengar penuturan jujur dari sahabatnya itu. Tak terbayang sebelumnya bahwa ajakannya akan ditolak. “Bagaimana mungkin, Kukuh menolak ajakan untuk hidup lebih enak bersamanya? Anak kurus itu nggak punya siapa-siapa lagi di Jakarta, apalagi wali yang akan menanggung kebutuhannya. Gimana logikanya hingga ia lebih memilih hidup sendirian, dengan bekerja keras memeras air mata sebagai pengiris bawang dan menolak hidup enak bersama keluarganya yang kaya? Hari gini masih ada bocah miskin, yang menolak ajakan hidup berkecukupan, tanpa bersusah payah?” 19
Sederet pertanyaan menuntut logika umum, berkecamuk dalam hati Handi. “Kukuh, benar kamu nggak takut hidup sendiri?” tanyanya setengah tak yakin. Mukanya dimajukan, seakan ingin masuk ke dalam mata sahabatnya itu. Keningnya terangkat. Matanya yang sipit semakin sipit. “Siapa bilang aku sendirian? Pakde bilang, kita tak pernah sendirian. Selalu ada DIA, Gusti Pangeran Alloh yang mengatur dan mengarahkan kaki kita. Selama kita tidak meninggalkanNYA, Gusti Alloh juga tidak akan membiarkan kita sendiri. DIA itulah sebaik-baik penolong, Han. Aku percaya, karena begitu juga yang pernah kubaca di dalam kitab suci,” jawab Kukuh selayak ustad tengah memberi pemahaman kepada salah satu jemaahnya. Senyumnya merekah, matanya tajam agak jenaka menatap Handi, yang masih termangu-mangu tak percaya di hadapannya. Sambil masih menatap sahabatnya, Handi berkata, “Kamu sudah seperti guru ngaji, Sob. Aku dulu sempat menganggapmu benar-benar banci, karena nggak berani ikut perang,” selorohnya. Hati pemuda itu semakin kagum. Ketegaran dan kekuatan anak bertubuh kerempeng berkulit gelap itu, jauh melebihi bayangannya selama ini. Ia terlihat jauh lebih tegar dan kuat daripada dirinya sendiri, juga teman- teman lainnya yang selalu berada di garis depan saat perang antar sekolah berlangsung. Kukuh yang tampak selalu memilih bersembunyi, menjauh dari lokasi perang, rela dijuluki banci, ternyata jauh lebih perkasa dari semuanya. Begitu batinnya mengakui.Tiba-tiba, kedua lengannya melingkar di bahu Kukuh. Dipeluknya tubuh sahabatnya yang 19
terasa lebih kurus dan lelah. Sepenuh hati dia berusaha merasakan kekuatan di balik tubuh kerempeng itu. “Heh! Han, apa-apaan kamu ini? Malu tahu! Kalau sampai ada yang melihat, aku nanti bener-bener dikira banci gara-gara kamu peluk seperti ini. Kamu juga, lama-lama semakin aneh. Jangan-jangan kamu naksir aku, hah?!” Kukuh merasa kikuk dan berusaha mengelak, melepaskan pelukan Handi. Handi melepaskan pelukannya sambil tertawa jenaka. “Jangan kawatir, Sob, tubuhmu terlalu kerempeng, bukan tipeku banget,” katanya sambil terkekeh-kekeh. “Tapi jujur, aku semakin suka sama kamu,” tambahnya berlogat seperti banci lalu terkekeh-kekeh lagi. “Wah, gendheng ni bocah!” gerutu Kukuh sambil berdiri, lalu berjalan menuju kelas. Sambil melangkah, otaknya kembali melukis mimpi. Ia melihat si Kukuh, bertubuh atletis seperti Handi, berpakaian rapi dan bersih, datang ke sekolah naik motor atau mobil keren, bersama sahabat baiknya itu. Matanya tak lagi cekung, karena tak perlu bangun sebelum tengah malam untuk mengiris bawang. Ia terlihat gagah, menjadi idola cewek-cewek cantik sekolah sebelah, dan dihormati oleh teman-teman. Tak ada yang berani meneriakinya dengan kata-kata keji, banci! Semua teman satu sekolah selalu bersikap ramah kepadanya. Ia berjalan gagah dan disegani. Seuntai senyum tersungging di bibirnya yang merah, memamerkan lekik pipinya yang manis. “Ngimpi!” gumamnya satire. Senyum getir tersungging menemaninya melangkah memasuki kelas. 19
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153