Koleksi Goldy Senior tubuhnya. Anjani benar-benar hampir pingsan karena menahan rasa geli yang tiada taranya dan akhirnya berubah menjadi sebuah ketakutan yang mencengkam jantungnya. Dalam keadaan yang hampir tak tertahankan itu, tiba-tiba Anjani teringat akan sebuah ilmu yang telah diajarkan oleh Resi Mayangkara, aji seribu bunga. “Akan aku coba mengetrapkan aji ini,” berkata Anjani dalam hati, “Kalau udara saja bisa dipengaruhi oleh aji ini dengan bau wangi yang sangat menyengat, mungkin air sendang ini akan berubah berbau sangat wangi sehingga memabokkan binatang- binatang yang ada di dalamnya.” Mendapat pemikiran demikian, segera saja Anjani mengetrapkan aji yang telah dipelajarinya dari Resi yang aneh itu. Perlahan tapi pasti, tubuh Anjani telah menyebarkan bau semerbak mewangi seribu bunga. Semakin lama bau itu semakin tajam dan menyengat karena Anjani telah mengetrapkan aji itu sampai ke puncak. Ternyata pengaruhnya sangat luar biasa. Air sendang di sekitar tubuh Anjani bagaikan berubah menjadi minyak kasturi, dan kini tidak terasa lagi sentuhan-sentuhan yang mengerikan itu. Anjani benar-benar terbebas dari perasaan ngeri yang mencengkam jantungnya. Sejenak Anjani dapat bernafas lega. Kini dia menyadari mengapa Resi Mayangkara telah menurunkan ilmu seperti itu kepadanya, ternyata dalam menjalani laku yang sangat berat ini, ilmu itu sangat menolongnya. Kini Anjani dapat kembali memusatkan nalar dan budinya untuk memohon kepada Yang Maha Agung agar mendapatkan amarahnya dalam menjalani laku yang sangat berat itu sampai tuntas. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 986
Koleksi Goldy Senior Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih tertahan di tepian Kali Praga sedang mencoba mencari jalan untuk menyeberang ke Tanah Perdikan Menoreh. “Rara,” berkata Glagah Putih dari atas tebing sambil mengamati tepian Kali Praga yang hanya kelihatan hitam pekat tersaput malam yang tanpa bulan, “Apakah kita perlu memakai jasa tukang satang untuk menyeberang?” “Aku ragu Kakang,” jawab Rara Wulan, “Kalau mereka adalah bagian dari Panembahan Cahya Warastra, kita akan mendapat kesulitan.” Sejenak Glagah Putih merenung. Kemudian katanya, “Bagaimana kalau kita menyeberang besuk pagi-pagi bersama para pedagang yang akan pergi ke Menoreh?” Rara Wulan mengerutkan keningnya sambil memandang ke bawah, ke arah rakit-rakit itu biasanya di tambatkan, tapi yang tampak hanya kegelapan. Katanya kemudian, “Aku tidak yakin kalau besuk masih ada pedagang yang mau menyeberang ke Menoreh. Setidaknya berita yang terjadi di Menoreh ini pasti sudah sampai ke telinga mereka dan mereka tidak mau mengambil resiko, karena bisa saja justru dagangan mereka yang akan dirampas bahkan sekalian dengan nyawa mereka.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau benar Rara. Kalau kita menyeberang lewat penyeberangan yang biasanya ini, kita pasti dicurigai. Lebih baik kita mencari jalan lain.” “Maksud Kakang?” “Kalau perlu kita berenang untuk menyeberang.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 987
Koleksi Goldy Senior “Ah, engkau ini ada-ada saja Kakang. Rasa rasanya malas bersentuhan dengan air di malam yang dingin ini.” “Percayalah Rara, itu hanya awalnya saja, setelah beberapa saat berenang, perasaan dingin itu akan hilang dengan sendirinya.” “Silahkan saja kalau mau berenang. Aku mau tidur saja.” Selesai berkata demikian, Rara Wulan kemudian merapikan rumput-rumput kering yang dikumpulkannya tadi sore untuk alas tidurnya. Sejenak kemudian Rara Wulan pun telah merebahkan tubuhnya beralaskan rumput-rumput kering di bawah sebatang pohon yang cukup besar yang tumbuh di atas tebing itu. Glagah Putih sejenak masih mengamati bawah tebing yang gelap pekat, namun pandangan mata Glagah Putih yang tajam mampu menembus kegelapan itu sehingga dengan jelas dia melihat di mana rakit-rakit itu ditambatkan beserta tukang-tukang satang yang tidur meringkuk berselimutkan kain panjang di atas rakit mereka. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, dia benar-benar belum menemukan cara yang aman untuk menyeberangi kali Praga. Panembahan Cahya Warastra pasti telah menempatkan orang orangnya di sepanjang tepian Kali Praga sebelah barat. Dengan demikian mereka yang tidak sehaluan dengan Panembahan itu akan sangat sulit untuk menembus pagar betis itu. Ketika kemudian terdengar Rara Wulan terbatuk batuk kecil, Glagah Putih pun akhirnya meninggalkan tempat pengintaiannya dan mengayunkan langkahnya menuju ke tempat Rara Wulan berbaring. Namun baru saja Glagah Putih akan merebahkan tubuhnya yang terasa penat di sebelah istrinya, tiba-tiba di antara suara jeritan binatang-binatang malam, terdengar lengkingan suara Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 988
Koleksi Goldy Senior yang sudah sangat dikenal oleh Glagah Putih, suara rinding. Memang suara rinding dengan nada melengking tinggi itu hanya sekejab, kemudian menghilang ditingkah oleh suara binatang malam. Namun bagi Glagah Putih itu sudah cukup memberikan isyarat bahwa seseorang atau bahkan mungkin sekelompok orang yang pernah sangat dekat dengan sepasang suami istri itu sedang berada di sekitar tempat itu. Rara Wulan yang tampaknya belum tidur telah mengangkat kepalanya. Katanya kemudian setengah berbisik, “Kakang? Benarkah pendengaranku ini? Aku mendengar suara rinding.” Glagah Putih tidak menjawab. Dengan hati-hati dikeluarkannya sebuah rinding yang disimpan di saku bajunya bagian dalam. Kemudian tanpa ragu-ragu ditiupnya rinding itu dengan nada yang sama dengan yang baru saja terdengar, melengking tinggi namun hanya dalam waktu yang sangat pendek. Sejenak mereka berdua masih menunggu. Glagah Putih segera duduk di sebelah Rara Wulan yang telah bangkit dari tempat berbaringnya dan duduk sambil memeluk lutut. Malam semakin dalam. Sementara angin yang dingin terasa menggigit kulit, namun kedua orang yang duduk di bawah pohon di atas tebing itu masih tetap bertahan sambil menunggu yang mereka harapkan untuk muncul, dan ternyata harapan itu memang tidak sia-sia. Pendengaran mereka yang tajam segera mendengar suara beberapa orang sedang mendaki tebing. Walaupun pendakian itu telah dilaksanakan dengan sangat hati-hati, namun Glagah Putih dan Rara Wulan mampu menangkapnya dengan jelas. Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri ketika beberapa bayangan yang masih samar tampak telah mencapai Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 989
Koleksi Goldy Senior puncak tebing dan melangkah mendekati tempat di mana mereka berdua telah berdiri menunggu. Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah semakin dekat, dengan setengah berlari sepasang suami istri itu pun segera menyongsong mereka. Hampir saja mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam pertemuan yang tak terduga duga itu. Jerit tangis berbaur dengan tawa gembira hampir saja meledak di tempat itu kalau saja seorang yang terlihat paling tua di antara mereka tidak segera memperingatkan mereka dengan berdesis perlahan, “Kendalikan diri kalian, kita sedang berada di daerah yang tidak aman.” Rara Wulan yang sedang dikerubuti oleh empat orang perempuan itu hanya dapat meneteskan air mata bahagia tanpa sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Seorang perempuan yang sudah cukup tua telah berbisik di telinganya, “Bagaimana keadaanmu selama ini, nduk? Bukankah engkau berdua selalu dalam lindungan Yang Maha Agung?” Rara Wulan hanya berdesis pelan, seolah olah suaranya tertelan oleh isak tangisnya yang tertahan tahan, “Alhamdulillah, Ibu. Kami berdua sehat-sehat saja.” Perempuan tua itu memang ibu angkat Rara Wulan yang lebih dikenal dengan nama Nyi Citra Jati, dan tentu saja ketiga perempuan muda yang ikut merangkul Rara Wulan adalah anak- anak Nyi Citra Jati yang lainnya yaitu Padmini, Baruni dan Setiti. Sementara Glagah Putih segera menyalami Ki Citra Jati yang telah memperingatkan mereka tadi agar selalu waspada di daerah yang belum mereka kenal sebelumnya. Selanjutnya di belakang Ki Citra Jati adalah Mlaya Werdi yang berdiri termangu mangu. “Selamat datang Ayah, Ibu, Kakang Mlaya Werdi dan adik- adik semua,” berkata Glagah Putih kemudian sambil Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 990
Koleksi Goldy Senior mempersilahkan mereka mencari tempat duduk sendiri-sendiri. Sedangkan Rara Wulan masih saja berangkulan dengan adik-adik perempuannya seolah olah mereka tidak mau berpisah lagi. Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, barulah Glagah Putih teringat pada seseorang, “Aku tidak melihat Adi Pamekas? Apakah dia memang sengaja tidak diajak ke Menoreh?” Ki Citra Jati tersenyum, jawabnya kemudian, “Karena Mlaya Werdi ingin mengikuti kami ke Menoreh, maka Pamekas kami tinggal di Padepokan untuk mengawani Ki Wasesa agar Padepokan tidak kosong selama ditinggal Mlaya Werdi.” Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk anggukkan kepala mereka. Dalam pada itu, di bawah tebing di tepian sebelah barat Kali Praga tampak sebuah bayangan hitam yang berdiri tegak di balik sebuah pohon sedang mengamati keadaan di atas tebing sebelah timur kali Praga. Bayangan itu tampak mengamati dengan seksama kejadian yang sedang berlangsung di atas tebing. Walaupun jarak itu cukup jauh, namun orang itu kelihatannya telah mengetrapkan aji sapta pandulu dan sapta pangrungu untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang sedang terjadi di atas tebing. “Lebih dari lima orang,” berkata orang itu dalam hati, “Agaknya telah terjadi sebuah pertemuan rahasia di atas sana. Siapakah sebenarnya mereka itu?” Dengan perlahan orang itu membungkuk untuk mengambil sebuah batu kerikil. Dengan tanpa menimbulkan suara, batu kerikil itu telah dilemparkannya dan jatuh mengenai salah seorang tukang satang yang sedang meringkuk di atas rakitnya berselimutkan kain panjang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 991
Koleksi Goldy Senior Sejenak tukang satang yang terkena lemparan batu kerikil itu menggeliat. Kemudian dengan perlahan dia duduk sambil menyingkapkan kain panjangnya. Dengan sangat hati-hati dilepaskannya tali pengikat rakit yang tertambat pada sebuah patok di tepi sungai. Setelah tali pengikat itu terlepas, kemudian dikayuhnya rakit itu meluncur menuju ke tepian sebelah barat. Ketika rakit itu telah menepi di sisi barat tepian Kali Praga, dengan tanpa menimbulkan suara berisik orang yang sedang mengamati sisi tebing sebelah timur Kali Praga itu telah meloncat ke atas rakit sambil berdesis perlahan, “Marilah kita lihat, siapa yang berada di atas tebing itu?” Tukang satang yang mulai mengayuh rakitnya itu mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Siapakah yang Ki Lurah maksud?” “Kita akan segera tahu, siapakah mereka dan apa kepentingannya berada di atas tebing sebelah timur Kali Praga ini,” jawab orang yang dipanggil Ki Lurah itu sambil berdiri menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian rakit itu meluncur menembus kepekatan malam di atas arus air Kali Praga yang tidak begitu deras. Hanya dalam waktu sekejap rakit itu pun kemudian telah merapat di tepian Kali Praga sebelah timur. “Bangunkan kawan kawanmu,” perintah Ki Lurah sambil melangkah perlahan di tepian yang berpasir. Dengan tergesa-gesa, tukang satang itu segera membangunkan kawan kawannya yang berjumlah tiga orang. “Ada apa?” bertanya seorang tukang satang yang berbadan kurus dengan wajah yang masih mengantuk. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 992
Koleksi Goldy Senior “Ki Lurah memerlukan kita,” jawab tukang satang yang menyeberangkan Ki Lurah itu sambil beranjak membangunkan kawannya yang lain. Beberapa saat kemudian di tepian yang berpasir itu telah berkumpul empat orang tukang satang dan orang yang dipanggil Ki Lurah itu. “Aku melihat gerakan yang mencurigakan di atas tebing itu,” berkata Ki Lurah kemudian sambil menunjuk ke tempat Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi, “Kemungkinannya jumlah mereka lebih dari lima orang tapi tidak akan sampai sepuluh orang.” “Apakah kita perlu memanggil kawan-kawan kita yang berjaga jaga di sisi barat Kali Praga, Ki Lurah?” bertanya salah seorang tukang satang itu. “Itu tidak perlu,” geram Ki Lurah, “Ingat, kita tidak terikat dengan jumlah, akan tetapi kemampuan masing-masing orang yang akan menentukan. Takaranku adalah lawan sebanyak lima orang, sisanya nanti terserah kalian berempat.” Hampir bersamaan keempat tukang satang itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah mengenal betul dengan perangai Ki Lurah. Sebenarnyalah menurut pengamatan mereka selama ini Ki Lurah itu termasuk orang yang berilmu cukup tinggi, namun kesombongannyalah yang kadang-kadang membuatnya kurang perhitungan. “Marilah,” berkata Ki Lurah sambil melangkah ke arah tebing, “Kita datang dengan dada tengadah, tidak usah mengendap-endap seperti laku seorang pencuri.” Dengan tanpa menyamarkan kedatangan mereka, kelima orang itu pun akhirnya mulai mendaki tebing sebelah timur Kali Praga dari arah sisi barat yang medannya cukup terjal. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 993
Koleksi Goldy Senior Dalam pada itu Glagah Putih dan kawan kawannya yang sedang berada di atas tebing telah mendengar hadirnya orang- orang yang tidak diundang itu sejak mereka masih berada di tepian. Ki Citra Jati yang sudah menduga hal itu akan terjadi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara anak-anak Nyi Citra Jati segera berkumpul di dekat ibu mereka untuk mendapatkan pengarahan. “Baruni dan Setiti,” berkata Nyi Citra Jati, “Kalian berdua jangan terlalu jauh dengan mbokayu kalian Padmini. Sementara biarlah Rara Wulan berpasangan dengan Glagah Putih. Sedangkan Pamanmu Mlaya Werdi akan melindungi kalian dari belakang,” Nyi Citra Jati berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Aku dan Ayahmu akan berada di luar lingkaran untuk melindungi kalian kalau-kalau masih ada di antara mereka yang datang dengan sembunyi-sembunyi.” Kedua gadis itu mengangguk tanpa menjawab. Keduanya segera bergeser merapat ke dekat Padmini. Sedangkan Nyi Citra Jati telah bergeser menjauh dan berlindung diantara semak-semak yang cukup lebat diikuti oleh Ki Citra Jati. Glagah Putih yang maklum dengan siasat yang digunakan oleh Nyi Citra Jati segera tanggap. Bersama Rara Wulan, dia segera melangkah ke tempat yang cukup lapang sambil menunggu kedatangan orang-orang yang sedang mendaki tebing itu. Sedangkan Mlaya Werdi yang sedari tadi masih duduk di atas sebongkah batu padas, dengan perlahan bangkit dari tempat duduknya dan bergeser di belakang para keponakannya. Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah mulai terdengar semakin dekat, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menanggalkan penyamaran mereka sejak Matahari terbenam tadi memang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan jati diri mereka. Dengan penuh kewaspadaan, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 994
Koleksi Goldy Senior sepasang suami istri dan kawan-kawannya itu pun mulai mempersiapkan diri. Agaknya kelima orang yang mendaki tebing itu benar-benar penuh percaya diri. Itu terbukti mereka tidak berusaha menyembunyikan kehadiran mereka, dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan akan kemampuan mereka, Ki Lurah yang berjalan paling depan telah berhenti beberapa langkah di depan Glagah Putih. Malam yang pekat ternyata tidak menghalangi pandangan Ki Lurah untuk mengenali lawan lawannya yang berdiri beberapa langkah saja di depannya. Tiba-tiba tawa Ki Lurah meledak mengoyak malam yang sepi. Di sela-sela derai tawanya yang berkepanjangan Ki Lurah itu pun berkata, “Ah, ternyata yang kita temukan di sini adalah sekumpulan perempuan-perempuan cantik dan dua laki-laki entah sebagai pengawal atau pelayan mereka, aku tidak tahu,” Ki Lurah berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Walaupun kalian memakai pakaian laki-laki, namun aku tetap bisa membedakan, manakah yang lelaki tulen dan manakah yang menyamar sebagai laki-laki.” Glagah Putih yang berdiri di paling depan segera menyahut, “Ma‟afkan kami Ki Sanak kalau kehadiran kami di atas tebing ini mengganggu keberadaan Ki Sanak yang berada di bawah tebing sana. Kami sekeluarga berasal dari Prambanan dan berniat untuk menengok saudara kami yang sedang sakit di Menoreh.” Sejenak Ki Lurah mengerutkan keningnya, katanya kemudian setengah membentak, “Jangan membual. Aku tidak bertanya siapa diri kalian. Sekarang juga kalian harus mengikuti kami turun ke tepian. Kawan-kawan kami sudah hampir sepekan berjaga-jaga di tepian Kali Praga ini, dan agaknya mereka membutuhkan hiburan.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 995
Koleksi Goldy Senior “Gila..!” tiba-tiba justru Rara Wulan lah yang balas membentak, “Tutup mulutmu yang kotor. Jangan berpikir bahwa kami perempuan-perempuan murahan yang dapat seenaknya kalian perlakukan.” Ki Lurah hanya tertawa pendek. Sambil menunjuk ke arah Rara Wulan, katanya kemudian, “Apa katamu tentang empat perempuan muda dan dua laki-laki di larut malam begini dan di tempat yang sepi seperti ini? Aku sudah terbiasa mendapat jawaban seperti ini dan akhirnya kalian pasti akan segera membuka kedok kalian setelah tercapai kesepakatan di antara kita.” “Gila, gila, gila,” teriak Rara Wulan sejadi-jadinya sambil dihentak-hentakkannya kakinya ke tanah. Untunglah Rara Wulan masih sadar sehingga tidak menggunakan tenaga cadangannya ketika menghentakkan kakinya ke tanah. “Sudahlah Ki Lurah,” tiba-tiba salah seorang Tukang Satang itu menyeletuk, “Malam semakin dingin dan tiba-tiba saja aku menjadi sangat bergairah. Kita jangan membuang-buang waktu terlalu banyak. Kita dapat melakukannya di sini atau di atas rakit agar lebih hangat. Terserah mereka.” “Tutup mulutmu..!” Rara Wulan yang sudah tidak dapat menahan diri itu telah meloncat secepat tatit yang meluncur di udara menampar Tukang satang yang berdiri di sebelah kiri Ki Lurah. Akibatnya adalah di luar dugaan semua orang yang hadir di atas tebing itu. Dengan deras ayunan tangan Rara Wulan yang terbuka menerjang wajah Tukang Satang itu sehingga kepalanya telah terpeluntir ke kanan bersamaan dengan terdorongnya tubuh tukang satang itu terjengkang ke belakang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 996
Koleksi Goldy Senior Sejenak orang-orang itu bagaikan membeku di tempatnya. Dengan dada yang berdebar debar mereka mengamati Tukang Satang yang terkapar tak bergerak di tanah yang berdebu. “Mati?” seru Ki Lurah sambil melangkah mendekat. Sambil berjongkok, dirabanya dada Tukang Satang itu yang ternyata jantungnya telah berhenti berdetak. Ternyata kemarahan Rara Wulan yang tersinggung harga dirinya sebagai seorang perempuan telah mengungkapkan tenaga cadangannya hampir sampai ke puncak sehingga akibatnya sangat mengerikan, leher Tukang Satang itu telah patah dan rahangnya terlepas bersamaan dengan lepasnya nyawa dari raganya. Ki Lurah menggeram keras sambil berdiri. Kemarahannya benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Kini sadarlah Ki Lurah dengan siapa dia berhadapan. Ternyata perempuan yang menyerang salah satu Tukang Satang itu berilmu sangat tinggi, terbukti dengan sekali pukul leher Tukang Satang yang malang itu telah patah. Padahal para Tukang Satang itu bukan Tukang Satang yang sebenarnya. Mereka adalah anak buah Ki Lurah yang telah malang melintang dalam dunia hitam. Kemampuan olah kanuragan mereka tidak dapat dianggap enteng. Mereka selalu berhasil melakukan perampokan di padukuhan-padukuhan yang terbilang cukup kaya. Tak jarang mereka harus berhadapan dengan para pengawal Padukuhan. Akan tetapi mereka selalu berhasil menuntaskan tugas mereka. Kini Ki Lurah harus membuat perhitungan yang cermat. Di pihaknya telah jatuh satu korban, sementara di pihak lawan masih segar dan jumlahnya pun berlebih. Menyadari akan kedudukannya itu, segera saja Ki Lurah melontarkan isyarat untuk meminta bantuan. Sejenak kemudian malam yang sepi itu terkoyak oleh suara suitan nyaring yang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 997
Koleksi Goldy Senior membelah udara malam. Suaranya terdengar sampai di tepian kali Praga sebelah barat tempat berkumpulnya para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga jaga. Namun alangkah terkejutnya Ki Lurah ketika suara suitan itu belum mereda, terdengar suara lengkingan rinding yang ditiup oleh Ki Citra Jati dari balik gerumbul tidak jauh dari tempat itu. Glagah Putih dan kawan kawannya sadar bahwa suara rinding dari Ki Citra Jati itu adalah sebuah isyarat agar mereka segera bergerak sebelum lawan mereka mendapatkan bantuan dari tepi barat Kali Praga. Sejenak kemudian benturan pun segera terjadi dengan dahsyat. Para Tukang Satang yang telah tanggap dengan keadaan segera mencabut senjata masing-masing. Sementara Ki Lurah telah mencabut sebuah keris yang cukup panjang yang bercahaya kemerah-merahan di tengah malam yang pekat. Anak-anak Nyi Citra Jati selain Rara Wulan telah mengurai senjata masing-masing. Padmini dan Baruni yang selalu membawa busur yang disilangkan di depan dadanya segera menggenggam busur mereka di tangan kiri yang digunakan sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan. Sedangkan di tangan kanan mereka tergenggam sebatang anak panah yang digunakan sebagai senjata seperti sebuah pedang untuk menyerang lawan mereka. Sedangkan Setiti yang selalu membawa bawa sumpit telah menggenggam sumpit itu di tangan kanan. Tidak seperti biasanya, sumpit itu tidak terbuat dari bambu namun terbuat dari baja pilihan yang dapat digunakan sebagai senjata yang mirip dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah namun tanpa kepala tengkorak di ujungnya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 998
Koleksi Goldy Senior Selebihnya, apabila dalam keadaan mendesak mereka akan melepaskan senjata-senjata mereka dan lebih mengandalkan pada kemampuan puncak mereka, Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Sementara Ki Lurah yang sudah waringuten segera menyerang Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah saja di samping kirinya. Dengan sebuah tusukan ke arah dada, Ki Lurah meloncat disertai dengan suara teriakan yang menggelegar. Rara Wulan yang mendapat serangan dari Ki Lurah segera menggeser kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya sehingga tusukan keris ke arah dadanya itu hanya lewat sejengkal di depannya, tangan kanan Rara Wulan bergerak cepat mencengkeram pergelangan tangan Ki Lurah yang menggenggam keris. Tentu saja Ki Lurah tidak akan membiarkan lawannya merebut senjatanya. Dengan tergesa-gesa ditariknya keris itu sambil kaki kanannya terayun deras mengarah ke lambung Rara Wulan. Ada keinginan Rara Wulan untuk membenturkan siku tangan kirinya dengan kaki Ki Lurah yang terayun deras ke arah lambungnya, namun niat itu segera diurungkan. Dengan sekali lompat kebelakang, Rara Wulan sudah terbebas dari serangan Ki Lurah. Ketika Ki Lurah kemudian bermaksud memburu lawannya, ternyata di tangan Rara Wulan sudah tergenggam senjata andalannya, sebuah selendang yang cukup panjang. Sejenak Ki Lurah tertegun dan menghentikan langkahnya. Senjata di tangan Rara Wulan itu sangat mendebarkan hatinya. Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mumpuni saja yang mampu memainkan senjata sejenis itu dalam sebuah pertempuran yang sebenarnya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 999
Koleksi Goldy Senior Keraguan Ki Lurah itu ternyata terbaca oleh Rara Wulan. Dengan sengaja diputarnya selendang itu di atas kepalanya untuk mempengaruhi ketahanan batin lawannya. Putaran selendang itu begitu dahsyatnya sehingga menimbulkan pusaran angin dan suara berdengung bagaikan dengung seribu lebah hutan yang sedang mengamuk. “Persetan,” geram Ki Lurah, “Aku bukan anak kecil yang takut dengan segala macam pengeram-eram. Selendangmu itu akan segera putus terbabat oleh kerisku yang tajamnya melebihi pitung penyukur.” “Aku meragukan itu, Ki Sanak,” jawab Rara Wulan tanpa menghentikan putaran selendangnya, “Justru kerismu yang kau agung agungkan itu yang sebentar lagi akan berpindah ke tanganku.” “Jangan banyak membual,” sekali lagi Ki Lurah menggeram sambil meloncat mengayunkan kerisnya membabat ke arah putaran selendang Rara Wulan. Demikianlah akhirnya mereka berdua segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Ki Lurah benar-benar dibuat kerepotan dengan senjata Rara Wulan. Selendang itu kadang- kadang meliuk-liuk bagaikan seekor ular yang hidup yang berusaha membelit tangannya, kadang lehernya, bahkan kakinya yang sedang meloncat di udara pun hampir saja terbelit dengan selendang itu. Namun suatu saat dengan tidak terduga duga selendang itu tiba-tiba berubah mengeras bagaikan sebuah tongkat baja dan mendera dadanya. Glagah Putih yang menyaksikan perkelahian itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kakinya bergeser menjauhi lingkaran perkelahian. Dia sudah yakin istrinya itu tidak akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi lawannya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1000
Koleksi Goldy Senior Tanpa sadar Glagah Putih justru mengayunkan langkah mendekati lingkaran pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati yang lain. Betapa Padmini, Baruni dan Setiti telah membuat para Tukang Satang itu kebingungan. Beberapa kali senjata-senjata anak-anak Nyi Citra Jati itu mulai menyentuh tubuh- tubuh mereka sehingga yang dapat dilakukan oleh para pengikut Ki Lurah itu hanyalah bertahan sambil mundur dan mundur terus. Namun mereka menyadari bahwa tidak mungkin untuk bertahan sambil bergerak mundur terus karena di belakang mereka adalah lereng tebing yang cukup terjal. Jika mereka sampai terjatuh, akibatnya akan sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. Dengan pertimbangan seperti itulah, akhirnya para Tukang Satang itu pun memutuskan untuk menghentakkan segenap kemampuan mereka untuk mendesak anak-anak Nyi Citra Jati. Namun Padmini yang lebih dewasa dan lebih berpengalaman dari adik adiknya segera memberi aba-aba untuk memperketat serangan mereka sehingga sejenak kemudian pertempuran itu pun bagaikan meledak dengan dahsyatnya. Mlaya Werdi yang berdiri tidak seberapa jauh dari tempat pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati itu sama sekali tidak lengah. Sesuai dengan pesan Nyi Citra Jati untuk mengamati keadaan jika ada bantuan lawan yang datang dengan diam-diam. Namun sejauh itu tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Dalam pada itu di tepian sebelah barat kali Praga, para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga-jaga telah mendengar isyarat dari Ki Lurah. Dengan tergesa-gesa mereka segera menarik beberapa rakit yang disembunyikan diantara semak belukar. Sejenak kemudian tiga buah rakit itu telah diturunkan ke Kali Praga dengan penumpangnya masing- masing rakit sekitar sepuluh orang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1001
Koleksi Goldy Senior Demikianlah rakit-rakit itu pun kemudian telah meluncur dengan cepat di atas air Kali Praga yang keruh. Hanya dalam waktu sekejab rakit-rakit itu telah merapat di tepian timur kali Praga. Dengan sigap para penumpangnya segera berloncatan ke tepian yang berpasir basah. Ketika kemudian sekali lagi terdengar suitan nyaring dari arah tebing, para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu pun segera berlari-larian menuju ke arah suara suitan itu berasal. Memang Ki Lurah yang merasa tidak akan dapat mengatasi lawannya telah melontarkan isyarat sekali lagi. Namun dengan demikian isyarat itu pun bagi Rara Wulan dan anak-anak Nyi Citra Jati merupakan pertanda bahwa mereka harus segera menyelesaikan lawan-lawan mereka sebelum bala bantuan datang. Ketika di bawah tebing mulai terdengar hiruk pikuk orang- orang yang memanjat naik, sekali lagi terdengar sebuah lengkingan bunyi rinding membelah udara malam. Dengan tanpa membuang waktu, Rara Wulan dan adik-adik angkatnya pun segera menyelesaikan lawan-lawan mereka. Para Tukang Satang itu tidak sempat melihat bagaimana anak-anak Nyi Citra jati itu mempergunakan senjata mereka. Tiba-tiba saja dua orang Tukang Satang merasakan sesuatu telah hinggap di dada sebelah kiri. Ternyata anak panah Padmini dan Baruni telah menembus jantung mereka. Sejenak kedua orang tukang Satang itu masih sempat mengumpat keras sambil terhuyung-huyung memegangi dada mereka sebelum akhirnya jatuh terjerembab tak bergerak untuk selamanya. Sementara Setiti yang bersenjatakan sumpit telah menggunakan senjatanya itu sebagaimana mestinya. Segera saja Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1002
Koleksi Goldy Senior sebuah paser kecil telah melesat dengan kecepatan yang luar biasa menembus leher lawannya. Racun yang ada di ujung paser itu kekuatannya setara dengan racun ular bandotan macan. Hanya dalam sekejap sebelum lawannya menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tubuhnya tiba-tiba merasa kejang dan nafasnya pun telah tersumbat. Tukang Satang yang terakhir itu pun kemudian roboh berkelojotan mati. Ki Lurah yang sempat melihat sekilas anak buahnya telah terbujur menjadi mayat menjadi semakin wuru. Dengan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seolah olah ingin menembus langit, dipusatkannya segala nalar budinya untuk menghentakkan ilmu pamungkasnya. Ketika kemudian serangannya yang membadai menerjang Rara Wulan, dari ujung keris itu seolah olah telah memancar lidah api yang sangat panas. Ujung lidah api itu ternyata telah mendahului dari ujud keris itu sendiri. Sehingga ketika keris yang ada di tangan Ki Lurah itu belum menyentuh tubuh Rara Wulan, lidah api itu telah menghanguskan ujung baju Rara Wulan. Rara Wulan segera menyadari watak dari ilmu lawannya. Dia tidak ingin kehilangan waktu terlalu banyak sementara orang- orang Panembahan Cahya Warastra justru telah mulai memanjat tebing. Setelah meloncat beberapa langkah ke samping menghindari kejaran jilatan api yang keluar dari ujung keris Ki Lurah, dalam waktu yang hanya sekejab Rara Wulan segera mengetrapkan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Sejenak udara di sekitar arena pertempuran itu bagaikan dipampatkan. Ketika udara yang telah dipampatkan itu kemudian berputar dan membentuk butiran-butiran air yang sangat panas, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1003
Koleksi Goldy Senior Ki Lurah ternyata telah terlambat menyadarinya. Langkahnya terhenti ketika butiran-butiran lembut air yang sangat panas itu menerjang tubuhnya. Dengan tergesa-gesa Ki Lurah meloncat ke belakang sejauh jauhnya sambil memutar senjatanya untuk melindungi dirinya dari terjangan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Namun ternyata kecepatan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu melebihi usaha Ki Lurah menghindarkan diri dengan meloncat kebelakang. Butiran-butiran air panas yang sangat lembut itu telah menyusup di sela-sela putaran kerisnya dan langsung menghunjam ke dalam tubuh Ki Lurah lewat lubang-lubang di kulitnya. Untuk sejenak Ki Lurah telah terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Butiran-butiran lembut air panas itu telah menyusup ke dalam pembuluh darahnya dan menghancurkan jaringan urat darah di sekujur tubuhnya. Akhir yang sangat mengerikan bagi Ki Lurah. Seluruh pembuluh darahnya seakan meledak dan darah pun mengalir deras keluar dari lubang-lubang di kulitnya. Dengan mengeluarkan teriakan kesakitan yang luar biasa, Ki Lurah pun akhirnya jatuh tertelungkup bermandikan darah dan tak bergerak lagi untuk selama lamanya. Dalam pada itu, para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang mendaki tebing telah semakin dekat dengan tempat pertempuran. Ketika kemudian mereka telah mencapai bibir tebing dan berlari-larian menuju ke medan pertempuran, alangkah terkejutnya mereka, ternyata medan pertempuran yang tadinya terdengar hiruk-pikuk kini telah menjadi sepi. Hanya bekas-bekas pertempuran saja yang masih mereka jumpai dan beberapa sosok mayat yang terbujur malang-melintang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1004
Koleksi Goldy Senior Dengan cepat mereka segera menyebar untuk memburu orang-orang yang telah membunuh kawan-kawan mereka. Hampir setiap jengkal tanah di atas tebing itu tidak luput dari pengamatan mereka. Sesekali mereka menemukan jejak-jejak kaki namun sudah sangat kabur dan susah dikenali. Demikian juga arah jejak kaki itu tidak jelas kemana arah tujuannya. Seolah olah jejak-jejak itu hanya melingkar-lingkar saja di atas tebing. “Ki Lurah..!” tiba-tiba seorang yang wajahnya bulat dan berambut keriting berteriak lantang begitu mengenali sesosok mayat yang tertelungkup dalam keadaan yang mengenaskan. Beberapa orang segera berlari ke tempat di mana orang yang wajahnya bulat itu menemukan mayat Ki Lurah. Mereka tidak yakin bahwa Ki Lurah yang menurut pengenalan mereka selama ini termasuk orang yang berilmu cukup tinggi telah terbunuh. Jika memang Ki Lurah ikut menjadi korban, berarti lawan yang dihadapinya pasti bukan orang kebanyakan. Sesampainya di depan mayat yang tertelungkup itu, dengan tergesa-gesa seseorang segera membalikkannya. Dengan dada yang berdebar debar mereka melihat betapa keadaan mayat itu sangat mengerikan, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beberapa orang berusaha mencondongkan tubuh ke depan agar lebih jelas melihat wajah mayat itu, sedangkan yang lainnya justru telah berjongkok di sisi mayat itu untuk meyakinkan penglihatan mereka bahwa tubuh yang telah terbujur kaku itu adalah Ki Lurah. “Ki Lurah..!” seseorang berdesis perlahan setelah dia yakin dengan penglihatannya. “Ya, benar. Ini memang Ki Lurah,” yang lainnya menyahut hampir bersamaan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1005
Koleksi Goldy Senior “Gila..!” terdengar beberapa orang telah mengumpat, “Ilmu apakah yang telah membunuh Ki Lurah?” Seseorang yang rambutnya sudah ubanan melangkah maju sambil menyibakkan orang-orang yang sedang berkerumun dan kemudian berjongkok di sisi tubuh Ki Lurah yang telah membeku. Sejenak diamatinya sekujur tubuh yang telah dingin itu. Dicobanya mencari bekas-bekas luka yang mungkin terdapat pada tubuh Ki Lurah, namun tidak tampak segores luka pun yang terdapat pada mayat itu. “Aneh,” desis orang yang rambutnya sudah ubanan itu, “Tidak ada segores luka pun, namun darah yang keluar dari pori- pori kulitnya bagaikan diperas,” orang itu berhenti sejenak. Dikerahkan kemampuan daya ingatnya untuk mengenali jenis ilmu yang telah membuat Ki Lurah terbunuh. Gurunya sering bercerita tentang berjenis jenis ilmu yang ada di muka bumi ini sebagai pengetahuan bagi murid-muridnya. Dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit dan aneh, aneh dalam kemampuannya menghancurkan lawan maupun aneh dalam memberikan nama aji itu sendiri. Tiba-tiba bagaikan disengat oleh seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, orang yang rambutnya sudah ubanan itu terlonjak berdiri sambil berteriak, “Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce! Ya.., Pacar Wutah Puspa Rinonce, aku yakin itu.” Orang-orang yang mengerumuninya itu terkejut. Seorang yang berperut buncit mendesak maju sambil bertanya, “Apakah engkau yakin Kakang Dumuk? Kalau memang Ki Lurah telah terbunuh dengan aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, kita harus segera melaporkan peristiwa ini kepada Guru.” “Engkau benar Adi Walang” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan yang ternyata bernama Dumuk, “Hanya guru yang dapat mengatasi aji ini. Kita masih jauh di bawah tataran orang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1006
Koleksi Goldy Senior yang telah membunuh Ki Lurah ini, kecuali Kakang Labda Gati, ilmunya mungkin sudah mencapai tataran setingkat dengan Guru.” Beberapa orang yang mendengarkan pembicaraan itu mengangguk angguk. Sementara beberapa orang yang lainnya telah sibuk menggali tanah di atas tebing itu dengan peralatan seadanya. Betapa pun kelamnya hati mereka serta jalan hidup yang mereka tempuh selama ini sangat jauh dari tuntunan hidup bebrayan, namun mereka masih mempunyai setitik rasa kesetia- kawanan terhadap kawan-kawan mereka yang telah terbunuh dalam menjalankan tugas. Demikianlah akhirnya, Dumuk yang merupakan orang yang dituakan dalam rombongan itu telah memerintahkan untuk mengubur lima orang kawan mereka yang telah terbunuh di atas tebing sebelah timur kali Praga. Dengan peralatan seadanya mereka pun kemudian mengubur kelima kawan mereka itu dalam satu lubang. Sejenak kemudian, setelah mereka merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan, mereka pun kemudian segera menuruni tebing dan kembali menyeberang ke tepi barat kali Praga. **** Dalam pada itu di padepokan Jati Anom, malam telah sampai ke ujungnya. Burung-burung mulai terbangun dan keluar dari sarangnya sambil memperdengarkan kicau yang merdu menyambut terbitnya sang fajar. Setelah menunaikan kewajibannya sebagai hamba kepada Penciptanya, Ki Rangga Agung Sedayu mulai mempersiapkan perjalanan ke Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Empat ekor kuda yang tegar telah disiapkan di halaman Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1007
Koleksi Goldy Senior padepokan. Putut Darpa dan Putut Darpita pun telah siap dengan perbekalan mereka dan duduk di pendapa menunggu Ki Rangga dan Pandan Wangi keluar. Kedua Putut kakak beradik itu tidak terlihat membawa pedang, namun senjata mereka adalah senjata ciri khas perguruan orang bercambuk, sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggang mereka dan disembunyikan di bawah baju. Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi muncul dari balik pintu pringgitan, kedua Putut itu segera berdiri dan menganggukkan kepala. “Apakah kalain sudah makan pagi?” bertanya Pandan Wangi sambil melangkah mendekat. Putut Darpa ternyata yang menjawab, “Kami tadi sudah makan di dapur Nyi. Jika Ki Rangga dan Nyi Pandan Wangi belum makan pagi, kami akan menunggu.” Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi tersenyum. Sambil berjalan melintasi pendapa Ki Rangga kemudian menuju ke tempat kuda-kuda mereka ditambatkan. Katanya kemudian, “Marilah, mumpung hari masih pagi. Semoga kita sampai di Mataram sebelum gelap.” Kedua Putut itu hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Ki Rangga. Sejenak kemudian keduanya pun segera menuju ke kuda masing-masing dan mempersiapkan segala uba rampe untuk sebuah perjalanan yang cukup jauh. Pandan Wangi yang telah mendapat ijin dari suaminya itu telah memakai pakaian khususnya dengan sepasang pedang di lambung. Rambutnya yang masih hitam lebat namun di sana sini sudah mulai dihiasi dengan rambut yang berwarna putih itu disanggul tinggi dan diikat dengan secarik kain berwarna merah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1008
Koleksi Goldy Senior saga. Pandan Wangi masih terlihat sangat cantik di usianya yang sudah mendekati setengah abad. Demikianlah, keempat orang yang akan melakukan perjalanan ke Mataram itu masih harus menunggu Ki Widura untuk berpamitan. Agaknya Ki Widura masih ada keperluan sebentar di belakang. Setelah beberapa saat menunggu, barulah Ki Widura muncul dari balik pintu pringgitan dan berjalan mendekati keempat orang yang masih belum menaiki kuda-kuda mereka. Bagian 2 “Ma‟af, aku tadi masih ada keperluan di belakang,” berkata Ki Widura sesampainya di depan mereka berempat, “Apakah masih ada yang tertinggal sebelum kalian berangkat? Tolong jika kalian bertemu Glagah Putih dan Rara Wulan, katakan aku sudah sangat rindu untuk menimang cucu.” “Ah,” hampir bersamaan mereka yang mendengar pesan Ki Widura itu tertawa. Bahkan Pandan Wangi yang berdiri di sebelah Ki Rangga Agung Sedayu menimpali, “Bukankah Ki Widura sudah bertambah cucunya dari Kakang Agung Sedayu?” “Ya,. ya..,” sahut Ki Widura cepat, “Namun biarlah kebahagiaan orang tua ini bertambah lengkap setelah mendapat cucu dari Glagah Putih.” Kembali keempat orang itu tertawa. “Baiklah, Paman,” akhirnya Ki Rangga berpamitan, “Kami mohon diri. Aku titip Adi Swandaru. Obat yang aku tinggalkan cukup untuk persediaan satu bulan. Semoga sebelum satu bulan aku sudah bisa kembali ke Padepokan.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1009
Koleksi Goldy Senior Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil melangkah menuju ke regol dia berkata, “Keadaan Mataram sangat gawat sehubungan dengan kehadiran pengikut Panembahan Cahya Warastra. Tidak menutup kemungkinan Menoreh akan terkena pengaruhnya.” Sambil menuntun kuda-kuda mereka, keempat orang itu berjalan perlahan-lahan mengikuti Ki Widura menyeberangi halaman Padepokan yang cukup luas. Ketika kemudian mereka telah sampai di depan regol, Ki Widura pun menghentikan langkahnya sambil berpesan, “Hati- hatilah di jalan. Lebih baik kalian menghindari persoalan yang mungkin timbul di sepanjang perjalanan agar kedatangan kalian di Mataram tidak terlambat.” “Ya Paman,” sahut Ki Rangga sedangkan yang lain hanya mengangguk anggukkan kepala mereka. Setelah sekali lagi minta diri kepada Ki Widura, keempat orang yang akan melakukan perjalanan jauh itu segera meloncat ke atas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian mereka berempat telah berderap menyusuri jalan-jalan di Kademangan Jati Anom yang masih sepi. “Apakah kita akan mampir ke rumah Kakang Untara?” bertanya Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga. Sedang kedua Putut kakak beradik itu berkuda beberapa langkah di belakang. “Aku kira tidak perlu, Wangi,” jawab Ki Rangga, “Kakang Untara tidak ada di tempat. Dia ikut melawat ke Panaraga bersama sama dengan pasukan Mataram yang lain.” Pandan Wangi hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Sementara itu embun pagi mulai terusir oleh sinar Matahari yang mulai mengintip dari balik bukit. Walaupun sinarnya masih Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1010
Koleksi Goldy Senior sangat lemah, namun perlahan-lahan embun-embun yang masih bergelayutan dengan manja di pucuk-pucuk dedaunan mulai menguap bersamaan dengan warna langit yang mulai cerah. Keempat orang yang sedang melakukan perjalanan ke Mataram itu masih belum merasa perlu untuk berpacu di atas jalan yang berbatu batu. Namun ketika kemudian mereka telah keluar dari regol Kademangan Jati Anom dan menyusuri sebuah bulak yang cukup panjang, mereka pun segera memacu kuda- kuda mereka semakin cepat. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga tampak sangat menikmati perjalanan itu. Wajahnya yang masih terlihat muda dari usia yang sebenarnya itu terlihat sangat cerah. Sebuah senyum kecil selalu tersungging di bibirnya yang merah bak delima merekah. Dilemparkan pandangan matanya jauh kedepan dengan sinar mata yang berbinar-binar. Betapa perjalanan ini mengingatkannya pada kenangan jauh ke masa lalu sewaktu dirinya masih seorang gadis yang mempunyai kesenangan berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, berburu di hutan di pinggir tlatah Tanah Perdikan Menoreh ditemani oleh pemomongnya yang setia, Kerti. Sesekali dari sudut matanya dia melihat Ki Rangga Agung Sedayu yang berkuda di sebelahnya tampak menundukkan kepalanya. Wajah Ki Rangga sepertinya sedang memendam sebuah beban yang sangat berat. Bahkan berkali-kali tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam- dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. “Apakah sebenarnya yang sedang dipikirkannya?” bertanya Pandan Wangi dalam hati, “Apakah dia sedang memikirkan Kakang Swandaru yang masih sakit di Padepokan Jati Anom? Atau dia gelisah karena ingin segera bertemu dengan Sekar Mirah yang justru sekarang sudah mendapatkan momongan?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1011
Koleksi Goldy Senior Berbagai pertanyaan bergulat di dalam dada Pandan Wangi, namun sejauh itu dia tidak mendapatkan jawabannya, bahkan hatinya pun telah ikut menjadi gelisah. “Mungkin Kakang Agung Sedayu sedang memikirkan tugas apa yang akan diembannya dari Ki Patih Mandaraka,” kembali Pandan Wangi berkata dalam hati, “Atau Kakang Agung Sedayu sedang memikirkan cara untuk menembus pertahanan Panembahan Cahya Warastra yang telah menduduki tepi barat kali Praga.” Sampai di sini Pandan Wangi menjadi sangat gelisah. Terbayang Ayahnya yang sedang terbaring sakit sementara kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh sangat lemah, hanya ada Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi. “Aku belum mengenal kemampuan Kiai Sabda Dadi itu secara pribadi,” demikian Pandan Wangi melanjutkan angan angannya, “Kemampuannya dalam bidang pengobatan pun aku kira masih di bawah Kiai Gringsing.” Tiba-tiba angan-angan Pandan Wangi menjadi berantakan bagaikan awan yang tertiup angin kencang ketika Ki Rangga berkata, “Wangi, lebih baik kita mengambil jalan ke kiri menghindari padukuhan-padukuhan yang ada di depan kita. Kita akan menyusuri tepi hutan yang masih cukup lebat namun aku yakin sudah jarang ada binatang buas yang berkeliaran mencari mangsa di tepi hutan itu.” “Baiklah Kakang,” sahut Pandan Wangi. Sambil menoleh ke belakang dia berkata kepada kedua Putut kakak beradik itu, “Kita akan mengambil jalan ke kiri.” Kedua Putut itu hanya mengangguk tanpa mengurangi laju kuda mereka. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1012
Koleksi Goldy Senior Ketika kemudian mereka berempat telah berbelok ke arah kiri dan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat, mereka dikejutkan oleh suara ringkik kuda di belakang mereka. Hampir bersamaan keempat orang itu telah berpaling. Ternyata seorang penunggang kuda dengan mengenakan caping lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya, muncul dari kelokan jalan setapak di belakang mereka dan membuntuti mereka hanya dalam jarak beberapa puluh langkah saja. Ki Rangga Agung Sedayu yang sempat berpaling sekilas sejenak berpandangan dengan Pandan Wangi, namun tidak ada satu pun kesan yang dapat ditangkap dari sinar mata Puteri Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun panggraita Ki Rangga Agung Sedayu yang tajam segera bisa mengenali bahwa penunggang kuda itu sama dengan penunggang kuda beberapa waktu yang lalu yang telah membuntuti dirinya dan Ki Ageng Sela Gilang ketika mereka baru saja keluar dari padukuhan Ngadireja. “Siapakah sebenarnya penunggang kuda itu?” pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Rangga, demikian juga dengan ketiga kawan seperjalanannya. Demikianlah penunggang kuda yang aneh itu terus membuntuti keempat orang yang akan pergi ke Mataram itu sampai Padukuhan Nglipura, Padukuhan kecil sebelum mereka menyeberangi Kali Opak. Sementara Matahari sudah memanjat semakin tinggi. Sinarnya yang panas mulai terasa menggatalkan kulit, sedangkan titik-titik keringat pun mulai terasa membasahi punggung. Ketika mereka berempat sudah hampir mendekati regol padukuhan Nglipura, Ki Rangga Agung Sedayu segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai isyarat agar mereka mengurangi laju kuda masing-masing. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1013
Koleksi Goldy Senior Begitu mereka memasuki regol Padukuhan Nglipura yang sepi, hampir bersamaan mereka telah berpaling ke belakang. Namun alangkah terkejutnya mereka, ternyata penunggang kuda yang aneh itu sudah tidak ada di tempatnya. “Gila,” geram Ki Rangga Agung Sedayu, “Apa maksud semua permainan ini?” Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya ikut mengerutkan keningnya dalam-dalam, katanya kemudian, “Kita kehilangan pengamatan kita atas orang berkuda itu justru karena suara-suara telapak kaki kuda-kuda kita sendiri yang cukup keras. Sehingga ketika dia berhenti di tikungan atau berbalik arah kita tidak menyadarinya.” “Mungkin,” jawab Ki Rangga, “Namun aku yakin penunggang kuda itu bukan orang kebanyakan. Dia mempunyai kemampuan untuk mengelabuhi Aji Sapta Pangrungu, sehingga aku telah kehilangan jejaknya.” Pandan Wangi sadar kalau Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang sangat mumpuni dalam olah kanuragan. Jika masih ada orang yang mampu mengelabuhi Ki Rangga Agung Sedayu dalam hal menyadap bunyi di sekitarnya melalui Aji Sapta Pangrungu, berarti orang itu benar-benar memiliki kemampuan yang ngedab-edabi. Tanpa terasa keempat orang itu telah semakin jauh memasuki padukuhan Nglipura yang sepi. Di sepanjang jalan padukuhan mereka hanya sekali dua kali saja berpapasan dengan orang-orang yang berjalan kaki, selebihnya adalah regol-regol yang tertutup rapat-rapat. Ketika jalanan mulai menurun dan berbatu batu, mereka sudah dapat mencium bau air Kali Opak yang tidak terlalu dalam Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1014
Koleksi Goldy Senior dan deras. Di beberapa tempat bahkan dapat diseberangi tanpa harus turun dari kuda. Demikianlah akhirnya mereka berempat telah turun dari kuda masing-masing dan menuntun kuda-kuda itu di antara batu-batu besar yang berserakan. Batu-batu besar itu berasal dari letusan Gunung Merapi beberapa waktu lalu ketika pecah perang antara Pajang dan Mataram. Sambil menuntun kudanya di sebelah Pandan Wangi, Ki Rangga berdesis perlahan lahan, “Kita akan beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda kita untuk sekedar beristirahat dan minum air Kali Opak.” “Ya Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil menuntun kudanya mengikuti langkah-langkah saudara tua seperguruan suaminya itu. Perlahan mereka mulai menapak di atas tanah berpasir yang lembab. Air Kali Opak yang tidak begitu dalam dan deras telah memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum. Setelah puas meminum air Kali Opak, kuda-kuda itu pun kemudian di tambatkan di tepian agar dapat merumput secukupnya. Sambil melepaskan lelah, Ki Rangga duduk diantara batu- batu yang berserakan di tepian. Sambil sesekali diedarkan pandangan matanya berkeliling kalau-kalau dia dapat menemukan sosok seorang penunggang kuda yang telah sekian lama membuntutinya itu. Sementara itu Pandan Wangi justru telah duduk di atas sebongkah batu hitam sambil merendam kedua kakinya. Sambil memainkan kedua kakinya di dalam air, sesekali tampak ikan- ikan kecil yang berseliweran menyentuh jari-jari kakinya sekilas namun kemudian segera berenang menjauh bersembunyi di Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1015
Koleksi Goldy Senior antara ceruk-ceruk bebatuan dan dasar sungai yang berpasir lembut. Tidak jauh dari tempat Pandan Wangi duduk melepaskan lelahnya, kedua Putut kakak beradik itu tampak sedang mengamat-amati beberapa ikan yang cukup besar berenang renang di sela-sela bebatuan yang terendam air sungai hanya sebatas lutut orang dewasa. Dalam pada itu, di balik batu-batu padas yang menjorok ke sungai dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat agak jauh beberapa puluh langkah di seberang Kali Opak, sekitar sepuluh orang dengan senjata teracu telah merayap mendekati tempat Ki Rangga dan kawan kawannya beristirahat melepaskan lelah. “Guru,” bisik seseorang yang berbadan pendek dan gempal, “Berilah kesempatan kepadaku untuk berperang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku merasa cara ini adalah cara seorang pengecut yang tidak mempunyai harga diri sama sekali.” “Tutup mulutmu, Dugel!” orang yang dipanggil Guru itu sedikit membentak, “Engkau belum tahu kekuatan sebenarnya yang tersimpan dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu. Sudah tak terbilang lawan-lawan yang tangguh dan tanggon binasa ditangannya. Engkau tentu tahu takaran seorang Ajar Tal Pitu. Dibandingkan dengan kemampuanmu, engkau tidak ada apa apanya dengan Ajar yang mampu mengubah dirinya menjadi seekor serigala raksasa yang liar dan ganas itu.” “Tapi itu sudah berlalu cukup lama, Guru,” kembali Dugel berdesis perlahan, “Sejak aku menguasai Aji Gumbala Geni, rasa rasanya apapun bisa aku lumatkan menjadi debu dengan aji itu.” “Jangan takabur,” potong Gurunya sambil mengamati jauh ke depan, ke tempat Ki Rangga dan kawan kawannya duduk- duduk melepas lelah, “Aku akui memang ilmumu telah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1016
Koleksi Goldy Senior meningkat semakin pesat akhir-akhir ini, tapi jangan lupa, Ki Rangga Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.” “Guru,” kini Dugel telah beringsut setapak mendekati Gurunya, “Aku berguru ilmu olah kanuragan ini tidak hanya bersumber dari Guru seorang. Namun aku juga telah menyadap berbagai ilmu dari guru guruku yang lain. Aku kira bekalku lebih dari cukup untuk menghadapi seorang Rangga yang menjadi agul agulnya Mataram.” “Diamlah, Dugel,” hardik Gurunya dengan suara sepelan mungkin, “Engkau akan kuberi kesempatan untuk beradu dada dengan Ki Rangga Agung Sedayu setelah semua pengikutnya kita binasakan. Kita tidak harus berlaku jantan karena kita memang dari kalangan dunia hitam yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan kejantanan. Kalau engkau tidak mampu mengatasi Ki Rangga Agung Sedayu sendirian, masih ada saudara-saudara seperguruanmu. Dan jika masih kurang, aku akan ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.” Dugel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Diam-diam dalam hatinya ada sedikit kegusaran dengan salah satu dari sekian Gurunya itu. Dia merasa disepelekan padahal menurut pengamatannya, ilmu Gurunya itu sekarang sudah dilampauinya sejalan dengan timbunan ilmu yang diperolehnya ketika merantau ke seluruh pelosok negeri ini. Demikianlah sambil merayap perlahan-lahan mereka berusaha mendekat tanpa diketahui oleh Ki Rangga dan kawan- kawannya. Mereka akan memberikan kejutan pada serangan pertama sehingga lawan-lawan mereka lengah dan tidak siap menghadapi serangan mendadak itu sehingga kurban pun akan jatuh dipihak lawan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1017
Koleksi Goldy Senior Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sudah mengetahui kehadiran mereka sejak dia dan kawan-kawannya turun ke tepian Kali Opak. Panggraitanya yang tajam seakan mampu menembus gerumbul-gerumbul perdu dan tebing-tebing yang menjorok dan melihat ada apa di baliknya. Akan tetapi pada dasarnya Ki Rangga adalah orang yang selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari segala prasangka buruk kepada siapapun. Dia hanya berharap orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan tebing-tebing yang menjorok itu tidak sedang menunggu dirinya dan kawan-kawan seperjalanannya. Namun ketika pendengaran Ki Rangga dan Pandan Wangi yang tajam mendengar desir lembut betapapun mereka mencoba menyamarkan, keduanya segera menyadari bahwa bahaya telah mengancam mereka. Dengan sebuah isyarat, Ki Rangga telah memberitahu kedua Putut itu untuk bersiap. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka dan tetap melakukan kegiatan masing-masing, namun apabila diperlukan dalam waktu yang hanya sekejap, senjata- senjata mereka akan segera tergenggam di tangan masing-masing siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, ketika orang-orang yang akan melakukan penyergapan itu sudah merasa yakin bahwa kehadiran mereka belum disadari oleh lawan-lawan mereka, dengan sebuah isyarat, orang yang dipanggil Guru oleh Dugel itu telah memerintahkan semua muridnya untuk bersiap. Dengan sebuah lompatan yang panjang dan teriakan mengguntur, mereka berharap dapat mengejutkan Ki Rangga dan kawan kawannya sehingga untuk sejenak mereka akan kehilangan daya penalarannya dan dengan segera senjata-senjata yang sudah teracu itu akan menembus dada. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1018
Koleksi Goldy Senior Namun, yang terjadi kemudian adalah di luar perhitungan Guru Dugel dan murid-muridnya yang lain. Bahkan Ki Rangga dan kawan-kawannya pun tidak menduga sama sekali akan terjadi peristiwa seperti itu. Belum sempat Guru Dugel memberi isyarat untuk menyerang, dari arah tebing sebelah kiri Kali Opak yang agak landai tiba-tiba telah meluncur bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya seekor kuda dengan penunggangnya yang mengenakan caping bambu hampir menutupi seluruh wajahnya. Kuda itu berlari seolah-olah tidak menjejak tanah. Bagaikan seekor kuda terbang, dengan dahsyatnya kuda beserta penunggangnya itu meluncur dan menerjang orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan batu-batu padas yang menjorok di seberang tepian Kali Opak. Dengan mengayun-ayunkan tongkat hitamnya orang yang bercaping itu membongkar gerumbul-gerumbul perdu dan bongkah-bongkah batu padas yang terdapat di seberang tepian kali Opak sehingga debu dan tanah pun ikut berhamburan. Beberapa orang yang tidak sempat menghindar telah terpelanting terkena sambaran tongkat hitam itu. Tubuh-tubuh mereka terlempar dan jatuh tersungkur tidak bergerak lagi, entah pingsan atau mati. Sementara Dugel dan Gurunya yang mempunyai kemampuan lebih, hampir bersamaan telah meloncat ke arah yang berbeda. Ketika kaki-kaki mereka telah menjejak tanah, bagaikan seekor bilalang, mereka pun kemudian melenting dengan cepat dan menyambar ke arah orang yang berkuda itu dengan serangan yang dahsyat. Mendapat serangan dari dua arah yang berbeda tidak membuat penunggang kuda itu menjadi gugup. Dengan sekali sentak kudanya meringkik keras dan mengangkat kedua kaki Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1019
Koleksi Goldy Senior depannya tinggi-tinggi. Sambil menarik kendali kudanya ke arah kiri, penunggang kuda itu pun kemudian menghentak kudanya berbelok ke kiri untuk menerjang Dugel yang sedang meloncat menerjang ke arahnya. Sementara serangan Guru Dugel dari arah lain ternyata hanya lewat beberapa jengkal saja dari punggungnya. Dugel terkejut melihat lawannya ternyata mengarahkan terjangan kaki depan kudanya tepat ke arah dada. Sambil membungkuk dalam-dalam, akhirnya Dugel pun berguling ke samping untuk menghindari terjangan kaki kuda lawannya. Namun alangkah terkejutnya Dugel ketika dia mencoba melenting berdiri, terasa sesuatu telah menyentuh pundaknya. Segera saja pundak kiri Dugel terasa bagaikan lumpuh dan agak sulit digerakkan. “Gila..!” umpat Dugel sambil meraba pundak kirinya. Walaupun tidak menitikkan darah, namun luka memar itu telah mempengaruhi pergerakan tangan kiri Dugel. Sementara penunggang kuda yang menyadari bahwa agaknya Ki Rangga dan kawan kawannya masih berdiri termangu mangu di tepian kali Opak sambil menyaksikan pertempuran yang berlangsung begitu cepat, telah berteriak sambil berpaling ke arah Ki Rangga, “Jangan pedulikan kami, cepatlah berangkat! Orang- orang ini sengaja dikirim untuk menghambat perjalanan kalian.” “Persetan..!” bentak Guru Dugel sambil meloncat dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah lambung lawannya, sementara Dugel yang telah menyadari bahwa tongkat lawannya telah melukai pundak kirinya pada saat dia berguling telah menggeram keras dan mengambil ancang-ancang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1020
Koleksi Goldy Senior “Guru..!” teriaknya sambil memusatkan nalar budinya, “Pengacau ini harus segera dimusnahkan kalau tidak tugas kita akan berantakan.” Selesai berkata demikian, Dugel segera menggosok- gosokkan kedua belah telapak tangannya. Sejenak kemudian dari kedua belah telapak tangan Dugel pun telah memancar gumpalan- gumpalan api yang membara dan langsung menerjang lawannya yang masih tetap bertahan di atas punggung kuda. Agaknya Gurunya pun telah mengambil keputusan yang sama, ketika serangannya hanya mengenai tempat yang kosong karena lawannya justru sekali lagi telah memutar kudanya, dari kedua belah telapak tangannya juga telah meluncur gumpalan- gumpalan api yang sangat panas dan siap untuk melumatkan lawannya menjadi debu. “Pergilah!” penunggang kuda itu masih sempat memperingatkan Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan kawannya sebelum meloncat turun dari kudanya untuk menghindari terjangan gumpalan-gumpalan api yang membara. Yang terjadi kemudian adalah sebuah peristiwa yang dapat menggetarkan setiap jantung dari mereka yang ada di tepian kali Opak. Kuda orang yang bercaping itu hanya sempat meringkik pendek sebelum kemudian tubuhnya terjengkang roboh dalam keadaan hangus terbakar. Ketika dengan bangganya guru dan murid itu masih menikmati kemenangan kecilnya, tiba-tiba orang bercaping itu telah memutar tongkatnya dengan cepat. Angin pun segera berputar dengan dahsyatnya bagaikan angin puting beliung melibas ke arah Dugel dan Gurunya. Sementara itu Ki Rangga segera dapat menilai. Agaknya orang bercaping itu berniat baik kepada mereka berempat. Dia Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1021
Koleksi Goldy Senior mencoba menahan orang-orang yang mencoba untuk mencegatnya di Kali Opak. Menyadari hal demikian, Ki Rangga Agung Sedayu segera memberikan isyarat kepada Pandan Wangi dan kedua Putut itu untuk segera menyingkir. Dengan sigap keempat orang itu segera meraih kendali kuda masing-masing. Sejenak kemudian keempat orang itu telah berderap menyeberangi kali Opak yang dangkal di penghujung musim kemarau. Melihat buruannya akan terlepas dari tangannya, Dugel segera berteriak kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih tersisa dan justru telah menyingkir agak menjauhi medan pertempuran. “He..! Kalian murid-murid dungu! Cepat kejar mereka. Aku dan Guru akan segera menyelesaikan orang gila yang mencampuri urusan kita ini!” teriak Dugel sambil menghentakkan Aji Gumbala Geni untuk ke sekian kalinya menyambar ke arah dada lawannya. Tentu saja lawannya tidak akan membiarkan dadanya hangus terbakar. Sambil memutar tongkatnya melindungi dada, orang bercaping itu dengan gerakan yang tidak kasat mata, tangan kirinya telah menaburkan tiga buah pisau belati sekaligus yang menyambar ke arah leher, dada dan perut Dugel. Gurunya yang melihat Dugel mendapat serangan tiga arah sekaligus segera menolong Dugel dengan melancarkan Aji Gumbala Geninya menyambar pisau-pisau belati yang mengarah ke bagian tubuh Dugel yang berbahaya. Segera saja ketiga buah pisau belati itu pun runtuh berjatuhan ke atas tanah tersambar oleh Aji Gumbala Geni. Orang bercaping yang menyadari bahwa pisau-pisau belatinya tidak banyak berpengaruh terhadap lawannya, segera Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1022
Koleksi Goldy Senior memutar tongkatnya kembali. Sejenak kemudian angin yang menderu kembali meluncur menerjang Dugel. Dugel terkejut mendapat serangan dahsyat dari angin puting beliung yang melibatnya dengan cepat. Sedikit saja dia terlambat, serangan lawannya itu dapat merontokkan isi dadanya. Oleh karena itu, dengan mengandalkan kecepatannya dalam bergerak dan kelincahannya, dia berloncatan dengan cepat ke segala arah untuk mengelabuhi serangan lawannya. Tidak jarang dia bahkan harus bergulingan di atas tanah ketika pusaran angin itu menyambar bagian atas tubuhnya. Ketika kemudian dia mempunyai kesempatan walaupun hanya sekejab, dari kedua belah telapak tangannya yang terbuka, kembali meluncur gumpalan-gumpalan api yang siap menghanguskan tubuh lawannya. Sementara Guru Dugel telah berbuat serupa dengan muridnya. Untuk mengalihkan perhatian orang bercaping itu, dia justru telah meloncat berputar-putar mengitari arena pertempuran. Sesekali serangannya menerjang ke arah lawannya dari sudut yang kadang tak terduga. Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang sudah bergerak agak jauh meninggalkan tepian kali Opak menjadi bimbang. Dilihatnya beberapa orang tengah berlari-lari mengejarnya dengan senjata teracu, sementara orang bercaping yang menolong mereka telah terdesak menghadapi serangan kedua Guru dan Murid itu. Ketika Ki Rangga telah memutuskan kembali ke tepian kali Opak untuk membantu orang bercaping itu, tiba-tiba dari arah tikungan seberang kali Opak terdengar derap seekor kuda yang melaju kencang. Sejenak kemudian muncul seorang penunggang kuda yang bercaping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1023
Koleksi Goldy Senior Semua orang yang ada di tepian itu terkejut bukan buatan. Bahkan saudara-saudara seperguruan Dugel yang sedang mengejar Ki Rangga dan kawan-kawannya pun sejenak telah menghentikan langkah mereka. Penunggang kuda itu benar-benar mirip dengan orang yang sedang bertempur dengan Dugel dan Gurunya, baik dalam cara berpakaian maupun bentuk tubuhnya yang tinggi besar. Ternyata penunggang kuda yang terakhir ini telah menunjukkan ketangkasannya dalam menunggang kuda. Ketika kudanya hampir mencapai tepian kali Opak yang berbatu batu, dengan tangkasnya dia melenting dari atas kudanya dan dengan lincahnya dia kemudian berloncatan di atas batu-batu yang berserakan di sepanjang kali Opak menuju ke tempat terjadinya pertempuran. Dugel dan Gurunya mengumpat keras-keras begitu orang bercaping yang kedua itu kini telah berdiri beberapa langkah saja di dekat orang bercaping yang pertama. “Gila..!” teriak Dugel, “Permainan yang sangat memuakkan. Marilah, berapapun kawan kalian yang akan berdatangan. Kami sanggup melumat kalian menjadi debu.” Orang bercaping yang baru datang itu ternyata tidak menanggapi kata-kata Dugel. Bahkan dia berpaling dan berteriak ditujukan kepada Ki Rangga, “Menjelang dini hari nanti api akan dinyalakan. Berangkatlah, jangan hiraukan kami agar kalian tidak sampai terlambat.” Ki Rangga Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata orang bercaping yang datang kemudian itu. Kata-kata orang bercaping yang datang kemudian itu adalah bahasa sandi yang sering digunakan dalam lingkungan keprajuritan khususnya di lingkungan prajurit sandi yudha. Dan kini orang bercaping itu telah memberitahukan kepadanya bahwa dini hari nanti Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1024
Koleksi Goldy Senior Panembahan Cahya Warastra dan perguruan-perguruan yang telah dihimpunnya akan menggempur ibu kota Mataram. Sadar akan waktu yang semakin sempit untuk mempersiapkan pasukan segelar sepapan jika memang benar Panembahan Cahya Warastra akan menggempur ibu kota Mataram dini hari nanti, Ki Rangga segera memberi isyarat kepada kawan-kawan seperjalanannya untuk segera meninggalkan tempat itu dengan pertimbangan kedua orang bercaping itu tentu akan mampu mengimbangi kekuatan dua orang lawannya yang mempunyai kemampuan bermain-main dengan gumpalan-gumpalan api. Pandan Wangi dan kedua Putut itu segera tanggap. Digebraknya kuda-kuda mereka berpacu mengikuti Ki Rangga yang sudah memacu kudanya terlebih dahulu beberapa langkah di depan mereka, sedangkan orang-orang yang berusaha memburu mereka ternyata telah jauh tertinggal di belakang. “Penunggang kuda yang aneh itu ternyata ada dua orang,” desis Ki Rangga dalam hati sambil memacu kudanya semakin cepat memasuki wilayah Padukuhan yang kecil namun sangat asri, Padukuhan Cupu Watu. Sambil menjaga agar jarak antara dirinya dan kawan-kawan seperjalanannya tidak terlampau jauh, Ki Rangga kembali berangan-angan, “Ternyata selama ini aku telah dikelabuhi mereka. Aku berpikiran kalau mereka itu hanya satu orang saja sehingga dengan mudah mereka ganti berganti menghilangkan jejak kemudian dengan tidak terduga duga muncul lagi di tempat yang terbuka sehingga membuat pengenalanku atas keberadaan mereka menjadi kabur.” Tanpa disadarinya Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian lanjutnya dalam hati, “Sebenarnya aku dapat lebih mempertajam aji sapta panggraitaku untuk melacak Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1025
Koleksi Goldy Senior keberadaan salah satu dari mereka ketika berada di tepian kali Opak itu, namun ketika aku akan lebih mempertajam panggraitaku, penunggang kuda yang satunya justru telah muncul di tempat lain sehingga perhatianku telah terpecah kepadanya. Suatu permainan yang menarik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah mumpuni secara lahir maupun batin.” Kini Ki Rangga yakin, dengan berdua mereka akan mampu menahan gempuran Dugel dan Gurunya. Sementara murid-murid yang lain tidak akan banyak membantu. Mereka justru hanya akan mengganggu Dugel dan Gurunya saja jika ikut turun ke medan pertempuran di antara orang-orang yang berilmu tinggi. Demikianlah akhirnya, ketika Matahari mulai tergelincir dari puncaknya, mereka berempat telah mendekati hutan tambak baya yang semakin ramai. Dari jauh sudah tampak lorong yang memang sengaja dibuat untuk menghubungkan hutan yang masih cukup lebat itu dengan daerah-daerah di sekitarnya. Sebuah kedai tampak ramai dikunjungi pembeli di dekat lorong masuk ke hutan itu. Sementara agak jauh beberapa langkah di samping kanan kedai, tampak tiga ekor kuda yang berwarna cokelat gelap ditambatkan di antara tanaman-tanaman perdu yang tumbuh liar di sekitar kedai. Keasyikan orang-orang yang sedang berbelanja dikedai itu terganggu sejenak ketika mereka lamat-lamat mendengar derap kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kencang. Beberapa orang bahkan telah berdiri dari duduknya dan memandang ke arah jalan yang menghubungkan hutan tambak baya itu dengan daerah timur dan selatan. Bersamaan dengan munculnya debu yang mengepul, di ujung jalan itu tampak empat ekor kuda sedang dipacu dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa orang yang ada di kedai itu ternyata telah menaruh perhatian terhadap kedatangan empat ekor kuda yang melaju Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1026
Koleksi Goldy Senior dengan kencang. Salah seorang yang berbadan kurus tapi berkumis tebal telah menyempatkan diri untuk turun dari kedai dan melangkah ke pinggir jalan. Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang berpacu dengan waktu itu pun menyadari bahwa tidak selayaknya mereka berpacu dengan kecepatan tinggi ketika memasuki tempat keramaian, di mana sedang banyak orang yang berbelanja di kedai yang terdapat di mulut lorong. Untuk itulah Ki Rangga segera memberi isyarat agar mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian Ki Rangga dan tiga orang kawannya telah berderap dengan kecepatan sedang lewat di muka kedai tanpa berhenti dan langsung memasuki lorong hutan Tambak Baya. Orang yang kurus dan berkumis tebal itu terkejut bukan buatan bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa begitu mengenali orang yang berkuda di paling depan. “Ki Rangga Agung Sedayu,” desisnya dengan bibir bergetar, “Gila..! Ternyata Perguruan Gumbala Geni tidak mampu menahannya di pinggir Kali Opak.” Menyadari hal itu, dengan tergesa-gesa orang yang kurus dan berkumis tebal itu segera kembali ke kedai. Dua orang kawannya dengan tergesa-gesa segera menyongsongnya. “Bagaimana Ki Dukut?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu. “Burung Garuda itu terlalu perkasa bagi perguruan Gumbala Geni, kita harus mengirim isyarat kepada Ki Ajar Andong Puring,” jawab orang yang di panggil Ki Dukut itu. Selesai berkata demikian, Ki Dukut beserta kedua kawannya dengan setengah berlari segera mendekati kuda-kuda yang ditambatkan di sebelah kanan kedai. Ternyata mereka telah menyimpan busur beserta anak panahnya di kantung pelana kuda Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1027
Koleksi Goldy Senior mereka. Sejenak kemudian terdengar suara raungan merobek udara siang yang terik tiga kali susul menyusul. Ternyata mereka telah mengirimkan isyarat melalui panah sendaren. Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai merambah hutan Tambak Baya itu sejenak tertegun mendengar suara raungan panah sendaren tiga kali berturut turut. Sambil tetap mempertahankan derap kaki kudanya, dia berpaling ke arah kawan-kawan seperjalanannya, “Hati hatilah. Mungkin suara panah sendaren itu ada hubungannya dengan kita. Tidak ada salahnya kalau kita berhati hati.” Pandan Wangi yang berada beberapa langkah di belakangnya hanya mengangguk. Kemudian dihela kudanya maju beberapa langkah untuk menjajari Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil berkuda di sebelah Ki Rangga, kedua tangannya setiap saat telah siap untuk mencabut sepasang pedangnya. Dalam pada itu di tengah hutan Tambak Baya, Ki Ajar Andong Puring dan murid-muridnya telah mendengar isyarat panah sendaren dari Ki Dukut dan kawan kawannya. Sejenak Ajar yang memimpin Padepokan Andong Puring di lereng gunung Gede itu tertegun. Sambil menarik nafas dalam-dalam dia berpaling ke arah murid muridnya yang berjumlah tujuh orang, katanya kemudian, “Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang mumpuni. Perguruan Gumbala Geni itu tidak mampu memahatnya. Namun di sini kita tidak sendirian, ada Kiai Naga Geni yang menemani kita bermain main dengan murid utama orang bercambuk itu.” Kiai Naga Geni yang disebut-sebut namanya oleh Ki Ajar Andong Puring hanya tertawa masam. Tanpa mengubah letak duduknya, bersila di atas rerumputan kering di bawah sebatang pohon besar sambil memejamkan matanya, dia menyahut, “Mengapa kita begitu ketakutan dengan orang yang disebut murid Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1028
Koleksi Goldy Senior orang bercambuk? Apakah cambuknya itu terbuat dari baja pilihan, sedangkan sebilah pedang yang terbuat dari baja pun akan leleh tersambar oleh aji Naga Geni.” Ki Ajar dan murid-muridnya hanya saling berpandangan. Dari uraian kata katanya saja sudah tampak betapa sombongnya orang yang menyebut dirinya Kiai Naga Geni itu. Memang Kiai Naga Geni itu masih keturunan ketiga Kiai Nagapasa dari Blambangan yang namanya pernah menggetarkan Demak lama. Namun ternyata kehebatan nama Kiai Nagapasa dengan aji kebanggaan-nya yang juga diberi nama Aji Nagapasa pada waktu itu harus lenyap tersapu Aji Sasra Birawa yang dimiliki oleh murid perguruan Pengging yang gemilang, Ki Kebo Kanigara. Kehadiran Kiai Naga Geni jauh-jauh dari Blambangan sebenarnya selain menghadiri undangan Panembahan Cahya Warastra, dia juga membawa dendam lama dari pendahulunya, Kiai Nagapasa untuk mencari keturunan perguruan Pengging dan sekaligus membalaskan dendam perguruan yang sudah puluhan tahun terpendam. Ketika kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang gaungnya terdengar melingkar lingkar di hutan yang masih cukup lebat itu, Ki Ajar Andong Puring pun telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya. Dengan sigap ketujuh murid perguruan Andong Puring itu pun kemudian segera berloncatan ke tengah jalan setapak yang membentuk lorong yang panjang yang menghubungkan alas Tambak Baya dengan alas Mentaok. Sementara Kiai Naga Geni tampak masih duduk bersila dengan tenang di bawah pohon sambil memejamkan matanya. Walaupun dia mencoba menenangkan hatinya, namun debar jantungnya seakan akan memukul-mukul rongga dadanya. Betapapun juga, dia telah mendengar nasehat dari gurunya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena usia tua, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1029
Koleksi Goldy Senior untuk sedapat mungkin menghindari silang seketa dengan perguruan orang bercambuk. Masih menurut penuturan Gurunya, orang bercambuk guru Ki Rangga Agung Sedayu itu di masa mudanya bersahabat dekat dengan murid perguruan Pengging, Ki Kebo Kanigara. Kiai Naga Geni menyadari bahwa pesan gurunya yang telah tiada itu cukup beralasan. Perguruan orang bercambuk atau yang dikenal dengan nama perguruan Windujati di masa kejayaan Majapahit adalah perguruan besar yang sangat disegani pada waktu itu. Namun kini dengan perkembangan jaman dan munculnya perguruan-pergururan baru, nama perguruan Windujati seakan telah tenggelam. “Aku tidak perduli..!” geram Kiai Naga Geni dalam hati, “Sebelum menemukan anak turun perguruan Pengging, murid orang bercambuk ini pun sudah merupakan hiburan untuk menuntaskan dendam, justru karena guru-guru mereka telah bersahabat di masa muda.” Lamunan Kiai Naga Geni terputus ketika terdengar bentakan menggelegar dari Ki Ajar Andong Puring untuk menghentikan Ki Rangga Agung Sedayu dan rombongannya yang telah tiba di tempat itu. Ki Rangga terkejut. Bentakan orang yang berdiri beberapa langkah menghadang jalannya ini mirip dengan aji Gelap Ngampar atau Senggara Macan. Namun menilik ujud lahiriahnya yang mirip dengan auman seekor harimau loreng, aji ini lebih mendekati aji Senggara Macan yang bersifat melemahkan nyali lawannya. Berbeda dengan aji Gelap Ngampar yang getarannya dapat merontokkan isi dada orang yang mendengarkannya. Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu tanpa turun dari kudanya telah berpaling ke belakang. Dilihatnya kedua Putut yang masih Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1030
Koleksi Goldy Senior muda itu mengerutkan keningnya dalam-dalam dengan wajah yang tegang. “Mereka perlu pengalaman semacam ini,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Jika mereka hanya terkungkung saja di dalam dinding Padepokan, mereka akan menganggap ilmu yang telah mereka serap tidak ada duanya di dunia ini. Padahal dunia ini sangat luas dan berisi beraneka ilmu yang kadang sangat sulit untuk dinalar.” “Ki Sanak,” tiba-tiba Ki Ajar Andong Puring berteriak lagi namun teriakan yang sewajarnya sehingga membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Aku minta kalian semua turun dari kuda- kuda kalian. Serahkan semua barang berharga dan juga kuda- kuda kalian. Kami jamin kalian dapat lewat dengan selamat.” Ki Rangga sejenak merenung. Ketika kemudian dia berpaling ke arah Pandan Wangi, dilihatnya Putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk sekilas. Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga pun meloncat turun dari kudanya diikuti oleh Pandan Wangi, sedangkan kedua Putut itu masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika Ki Rangga mengangguk ke arah mereka berdua, mereka pun segera mengikuti Ki Rangga dan Pandan Wangi meloncat turun dari kuda mereka. “Silahkan, Ki Sanak,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Sebenarnyalah kami membutuhkan kuda-kuda ini, namun jika Ki Sanak lebih membutuhkan, kami akan menempuh sisa perjalanan kami ini dengan berjalan kaki.” Ki Ajar Andong Puring dan murid muridnya justru telah membeku mendengar jawaban Ki Rangga. Mereka berharap Ki Rangga dan kawan kawannya akan mempertahankan diri Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1031
Koleksi Goldy Senior sehingga mereka mempunyai alasan untuk segera terlibat dalam sebuah pertempuran. Sebelum Ki Ajar memutuskan untuk mengambil suatu sikap, tiba-tiba terdengar tertawa yang berkepanjangan. Kiai Naga Geni yang tadinya duduk bersila dengan tenang di bawah sebatang pohon, kini telah berdiri dan tertawa berkepanjangan sambil berjalan menghampiri mereka yang sedang dicekam ketegangan. “Persetan dengan segala omong kosong ini,” geram Kiai Naga Geni sesampainya di sebelah Ki Ajar berdiri. Kemudian katanya kepada Ki Ajar, “Ki Ajar, kita tidak usah berbelit-belit untuk mencari perkara dengan mereka. Katakan saja bahwa kita memerlukan nyawa mereka untuk tumbal dari sebuah perjuangan.” “Nah, itu lebih baik Ki Sanak,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu cepat sambil mengangguk hormat ke arah Kiai Naga Geni, “Kalau mungkin Ki Sanak tidak berkeberatan, ijinkanlah kami mengetahui nama atau gelar Ki Sanak.” Kiai Naga Geni justru tertegun melihat sikap Ki Rangga yang begitu tenang padahal maut sewaktu waktu dapat merenggut nyawanya. “Kau sombong sekali, Ki Rangga Agung Sedayu, Pemimpin pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh,” Kiai Naga Geni berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Jangan pernah mengharap di sini engkau akan dilindungi oleh pasukan khususmu yang segelar sepapan itu. Engkau berhadapan dengan Kiai Naga Geni dari perguruan Nagapasa Nusakambangan. Nah, apa katamu sekarang.” Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Nama perguruan Nagapasa dari Nusakambangan pernah disebut oleh Gurunya. Salah satu perguruan yang pernah berseteru dengan perguruan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1032
Koleksi Goldy Senior Pengging pada jaman Kesultanan Demak lama. Namun Kiai Gringsing tidak pernah menyebut hubungan khususnya dengan perguruan yang pernah mengalami jaman keemasan pada saat Pangeran Handayaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging Sepuh menjadi pemimpin pemerintahan di Kadipaten Pengging. “Ma‟afkan aku, Kiai Naga Geni,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu setelah sejenak terdiam, “Aku rasa kita tidak pernah saling bersengketa. Perguruanku dan perguruan Nagapasa tidak pernah saling mengenal. Jadi untuk apa sebenarnya kita harus bertengkar di sini?” “Tutup mulutmu,” bentak Kiai Naga Geni, “Aku datang jauh jauh dari Nusakambangan untuk menuntaskan dendam pendahuluku. Ketahuilah, Kakek Guru kami, Kiai Nagapasa telah dibunuh dengan curang oleh murid perguruan Pengging, Ki Kebo Kanigara. Nah, sekarang ini siapapun yang mempunyai sangkut paut dengan perguruan Pengging akan aku musnahkan.” Kembali Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Katanya kemudian, “Aku tidak mengerti Kiai, apakah hubungannya antara perguruanku ini dengan masalah balas dendam yang engkau sebut sebut itu?” “Jangan berpura pura,” kembali Kiai Naga Geni membentak, “Gurumu yang bergelar orang bercambuk itu adalah sahabat karib Ki Kebo Kanigara pada saat jaman kejayaan Demak lama. Tidak mustahil Gurumu pun ikut berperan dalam peristiwa terbunuhnya Kiai Nagapasa.” Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar binggung dan tak habis pikir. Kiai Gringsing tidak pernah bercerita tentang riwayat hidupnya kepada para muridnya. Yang diketahui oleh Ki Rangga adalah, bahwa perguruan orang bercambuk itu ternyata adalah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1033
Koleksi Goldy Senior jalur lurus pewaris dari perguruan Windujati. Itu terbukti dari Kitab warisan perguruan Windujati yang sekarang mereka miliki. “Nah, apakah engkau sekarang sudah menyadari?” bertanya Kiai Naga Geni begitu melihat Ki Rangga Agung Sedayu tidak berkata sepatah kata pun dan hanya diam termangu-mangu. Sementara Pandan Wangi yang ada disebelahnya hanya mengatupkan giginya rapat rapat. Kalau pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, sudah semestinya dia menghadapi orang yang disebut dengan Ki Ajar itu, sedangkan Ki Rangga akan menghadapi Kiai Naga Geni. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah kedua Putut kakak beradik itu, mereka berdua harus melawan tujuh orang sekaligus. Keadaan yang benar-benar tidak seimbang. Ki Ajar Andong Puring yang sedari tadi diam saja tiba-tiba telah memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk menyebar. Tujuh orang murid perguruan Andong Puring itu pun kemudian segera mencabut senjata masing-masing. Dengan gerakan yang teratur dan rapi, ke tujuh murid Ki Ajar Andong Puring bergerak mengepung Ki Rangga dan kawan-kawannya. Diam-diam Ki Rangga mulai menghitung kekuatan. Dia hanya berempat sedangkan di pihak lawan ada sembilan orang. Jika dia bertempur hanya terpusat pada lawannya Kiai Naga Geni, yang akan segera menjadi kurban adalah kedua Putut itu. Maka setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Ki Rangga pun berkata, “Kiai, aku tidak tahu menahu soal dendam itu. Tapi yang sedang terjadi sekarang ini adalah kami telah dihadang untuk bisa masuk ke Mataram. Apapun yang terjadi, kami akan membela diri dan berusaha untuk melanjutkan perjalanan kami.” Selesai berkata demikian, Ki Rangga segera bergeser mendekati Pandan Wangi, sedangkan kepada kedua Putut itu Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1034
Koleksi Goldy Senior diberinya isyarat untuk beradu punggung menghadapi lawan yang mengepung dari arah belakang. Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya mengerutkan keningnya. Menurut perhitungannya, mereka akan sulit sekali untuk bergerak saling melindungi, justru karena lawan-lawan mereka dengan bebas akan berputar putar memilih orang yang paling lemah diantara mereka. Namun sudah tidak ada jalan lain lagi untuk menahan gempuran lawan. Oleh karena itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi telah mengambil keputusan sendiri. Dengan tangkasnya Pandan Wangi segera melepas tali kendali kudanya dan meloncat kebelakang. Dengan serta merta dilecutnya kudanya kuat-kuat sehingga kuda itu terkejut dan meringkik keras kemudian meloncat berlari sekencang kencangnya ke arah Ki Ajar Andong Puring yang berdiri beberapa langkah saja di depannya. Ki Ajar terkejut mendapat terjangan kuda yang lari bagaikan kesetanan itu. Namun dengan tangkasnya dia telah melenting kesamping sehingga kuda yang berlari dengan binal itu lewat hanya sejengkal dari tubuhnya. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perkiraan Ki Ajar itu sendiri. Kuda yang berlari dengan kencang itu memang berhasil dihindari oleh Ki Ajar, akan tetapi bagi seorang muridnya yang berdiri di samping kiri Gurunya ternyata telah bernasib kurang baik. Kuda itu ternyata telah melanggar sebagian tubuhnya sehingga tanpa ampun murid Ki Ajar yang malang itu telah terputar dengan dahsyat kemudian terlempar beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya terbanting ke tanah tidak bergerak lagi. Ki Rangga yang melihat peristiwa itu tersenyum ke arah Pandan Wangi. Ternyata usaha Pandan Wangi untuk mengurangi Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1035
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183