Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore ADBM_L05

ADBM_L05

Published by stepsmp8, 2023-01-22 23:11:17

Description: ADBM_L05

Search

Read the Text Version

Koleksi Goldy Senior yang ada dalam sendang itu nantinya hanya dirimu dan nafsumu. Engkau harus bisa mengendalikan nafsumu agar dapat memohon dengan hati bersih kepada Yang Maha Agung. Selama tiga hari tiga malam itu engkau tidak diperbolehkan makan makanan kecuali minum air sendang. Setelah lewat tiga hari tiga malam aku akan menjemputmu.” Anjani mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Eyang Resi, apakah yang harus aku persiapkan menjelang laku itu?” “Mulai tengah hari nanti, engkau tidak boleh makan makanan seperti biasanya. Aku akan menyiapkan sejenis empon- empon dan umbi-umbian untuk makan siang dan sore. Menjelang tengah malam, engkau harus mandi keramas dengan landa merang dan memakai sinjang pethak sebelum memasuki goa. Aku akan mengantarkanmu sampai ke sendang. Setelah itu aku akan meninggalkanmu dan baru akan menjemputmu setelah tiga hari tiga malam kemudian.” “Apakah yang harus aku kerjakan dalam sendang selama tiga hari tiga malam itu, Eyang?” “Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Engkau harus bisa mengendapkan nafsumu dan memohon dengan hati yang bersih kepada Yang Maha Agung.” Anjani menundukkan wajahnya, seolah olah sedang menghitung anyaman tikar pandan yang didudukinya. Sejenak kemudian dia mengangkat wajahnya sambil berdesis perlahan, “Petunjuk dan bimbingan Eyang Resi sangat aku harapkan dalam menjalani laku ini.” Resi Mayangkara tersenyum sambil mengangguk, “Percayalah Anjani, tapa kungkum dan sekaligus pati geni selama tiga hari tiga malam ini hanya sebagai upaya untuk mendapatkan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 936

Koleksi Goldy Senior anugrah dari Yang Maha Agung. Selanjutnya masih ada satu hari lagi yang akan aku gunakan untuk menuntunmu bagaimana cara mengungkapkan tenaga cadangan dalam dirimu dalam ujud sebuah Aji, yaitu Aji Mundri.” Anjani hanya menundukkan wajahnya saja. “Nah,” berkata Resi Mayangkara selanjutnya, “Masih ada waktu beberapa saat sebelum menjelang tengah hari. Engkau dapat beristirahat di bilikmu, sementara aku akan mempersiapkan segala macam uba rampe untuk keperluanmu menjalani laku.” Demikianlah Anjani segera mengundurkan diri menuju ke sebuah pondok kecil yang terletak agak jauh dari pondok Resi Mayangkara. Selama dalam perjalanan menuju ke pondoknya, bermacam angan-angan silih berganti menghiasi benaknya. Dalam pada itu perjalanan rombongan dari Sangkal Putung telah mencapai regol padepokan Jati Anom dengan selamat. Seorang Cantrik yang kebetulan sedang melintas di halaman padepokan melihat rombongan itu memasuki regol padepokan tanpa turun dari kuda-kuda mereka. Sejenak Cantrik itu ragu-ragu, namun begitu terpandang olehnya wajah yang sangat dikenalnya, cantrik itu segera berlari menyongsong rombongan yang telah sampai dan berhenti di depan pendapa. “Ki Rangga Agung Sedayu,” hampir berteriak Cantrik itu menyongsong Ki Rangga yang telah meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh anggota rombongan yang lain kecuali Swandaru. Cantrik yang sudah berada di depan Ki Rangga Agung Sedayu itu sejenak mengerutkan keningnya begitu melihat Swandaru harus dibantu oleh dua orang pengawal untuk turun dari kudanya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 937

Koleksi Goldy Senior “Dimanakah Paman Widura?” pertanyaan Ki Rangga Agung Sedayu telah menyadarkan Cantrik itu. “O, Ki Widura sedang ada di belakang padepokan memimpin para Cantrik pembersihan,” jawab Cantrik itu cepat, kemudian, “Silahkan silahkan naik ke pendapa, aku akan memberi tahu Ki Widura.” Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu adalah juga penghuni padepokan itu semasa gurunya Kiai Gringsing masih hidup. Namun kini yang dipercaya untuk memimpin padepokan itu adalah pamannya, Ki Widura. Sehingga apapun sebenarnya yang telah terjadi, Ki Rangga Agung Sedayu merasa seolah olah telah menjadi tamu di rumahnya sendiri. “Salahku sendiri,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati, “Kesibukanku telah menyita waktuku untuk mengunjungi padepokan ini, sehingga rasa rasanya aku menjadi asing dengan padepokanku sendiri.” Ketika kemudian rombongan itu telah duduk melingkar di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa, pintu pringgitan terdengar berderit cukup keras karena didorong dengan tergesa-gesa. “Selamat datang, selamat datang,” berkata seseorang yang sudah tua dimakan umur dengan rambut yang sudah memutih semua sambil melangkah keluar dari dalam pringgitan. “Ki Widura,” hampir setiap bibir menyebut nama itu. Ki Widura tersenyum. Disalaminya terlebih dahulu para tamunya itu satu persatu sebelum mengambil tempat duduk di depan para tamunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berkata, “Aku tidak mengira kalau hari ini akan kedatangan tamu sebanyak ini di padepokan. Kalau aku tahu, tentu pagi tadi aku Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 938

Koleksi Goldy Senior sudah menyuruh para cantrik untuk menyembelih beberapa ekor ayam.” “Sekarang pun belum terlambat,” tiba-tiba Swandaru menyeletuk, “Bukankah masih ada makan sore?” “Ah,” yang mendengar kata-kata Swandaru itu pun tertawa, bahkan Pandan Wangi yang sedang prihatin terhadap keadaan suaminya itu tidak mampu menahan senyumnya. “Baiklah,” berkata Ki Widura kemudian, “Namun persediaan ayam kami sangat terbatas. Aku takut kalau dalam beberapa hari ke depan tidak bisa menyuguhkan ayam panggang khusus kegemaran Ki Swandaru.” “Aku dengar di padepokan ini juga memelihara kambing,” sela Swandaru yang disambut tawa yang mendengarnya. “Kambing itu dipelihara tidak untuk disembelih,” Ki Rangga Agung Sedayu lah yang menjawab, “Kambing kambing itu dipelihara untuk diternakkan agar suatu saat dapat dijual dan hasil penjualannya untuk membeli beberapa keperluan padepokan.” “Dan salah satunya adalah untuk membeli ayam,” sahut Swandaru yang kembali disambut gelak tawa orang-orang yang ada di sekitarnya. Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya menghadapi kelakar adik seperguruannya itu. Sementara Pandan Wangi yang duduk di sebelah suaminya mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ingatannya kembali ke masa-masa mudanya, ketika berkenalan dengan dua orang anak muda yang mengaku kakak beradik bernama Gupita dan Gupala. “Sudahlah,” akhirnya Ki Widura menengahi dan mencoba mengalihkan pokok pembicaraan, “Bukankah kalian dalam keadaan sehat semua?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 939

Koleksi Goldy Senior “Ya, Ki Widura,” Pandan Wangi lah yang menyahut, “Sebaliknya bagaimana dengan keadaan keluarga di Padepokan dan yang di Banyu Asri?” “Alhamdulillah, semua dalam keadaan sehat,” jawab Ki Widura sambil tersenyum cerah. “Nah, Paman,” berkata Ki Rangga kemudian, “Ijinkanlah kami beristirahat, terutama Adi Swandaru memerlukan waktu yang cukup untuk memulihkan kesehatannya.” Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Dia sudah mendengar tentang keadaan Swandaru. Untuk itulah dia tidak banyak bertanya agar tidak semakin membuat Pandan Wangi bersedih. “Sedayu,” berkata Ki Widura kemudian, “Bilikmu sampai sekarang masih dirawat oleh para cantrik. Tidak ada seorang cantrik pun yang berani menempati. Mereka masih mempunyai pengharapan bahwa suatu saat engkau pasti menempati bilik itu kembali.” “Ah,” Ki Rangga Agung Sedayu berdesah. Ada semacam kegelisahan yang melingkupi hatinya sejalan dengan nasehat seorang Wali yang waskita yang telah bertemu dengannya ketika di Panaraga. “Sementara anakmas Swandaru dan Pandan Wangi dapat menempati bilik Kiai Gringsing,” Ki Widura berhenti sejenak, lalu, ”Bilik itu pun selalu dalam keadaan bersih. Semoga kalian betah tinggal di padepokan yang sepi ini.” “Terima kasih, Paman,” Swandaru menyahut, “Keadaan yang sepi ini akan aku gunakan sebaik-baiknya untuk merenung dan mengembalikan jati diriku sebagai murid orang bercambuk.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 940

Koleksi Goldy Senior Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Widura saling berpandangan. Mereka merasakan kesungguhan dalam kata-kata yang diucapkan oleh Swandaru. “Baiklah,” berkata Ki Widura sambil mengedarkan pandangan matanya, “Selepas tengah hari nanti kita makan siang bersama di ruang dalam. Sebelumnya aku mewakili tuan rumah harus mohon ma‟af kepada Anakmas Swandaru jikalau apa yang kami hidangkan nanti kurang memenuhi selera.” “Ah,” desis Swandaru, “Bukan suatu masalah yang penting. Aku sudah terbiasa makan seadanya. Sewaktu guru masih hidup, guru sering mengajak aku dan kakang Agung Sedayu berpetualang, bahkan sampai jauh ke Tanah Perdikan Menoreh.” Selesai berkata demikian tanpa sadar Swandaru berpaling ke arah Pandan Wangi. Segera saja anak perempuan satu-satu Ki Gede Menoreh itu tertunduk dengan wajah kemerah-merahan. Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam dalam mendengar kata kata Swandaru. Baginya kenangan berpetualang ke perbukitan Menoreh dan perkenalannya dengan gadis Menoreh itu telah menggoreskan sebuah kenangan tersendiri di dalam hatinya. “Marilah,” berkata Ki Widura kemudian, “Silahkan beristirahat sejenak. Aku akan menengok kerja para cantrik yang sedang membersihkan halaman belakang. Mungkin masih perlu pembenahan sedikit.” Selesai berkata demikian Ki Widura pun segera bangkit berdiri diikuti oleh yang lainnya. Sedangkan Swandaru dengan dibantu oleh dua orang pengawal yang memapahnya dengan hati- hati setapak demi setapak berjalan menuju ke ruang dalam. ***** Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 941

Koleksi Goldy Senior Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam penyamaran berusaha memasuki Tanah Perdikan Menoreh tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka berdua sudah mendekati kali Praga. Tinggal dua atau tiga padukuhan kecil lagi yang aka n mereka lalui sebelum mencapai bulak panjang yang menghubungkan padukuhan kecil itu dengan tepian kali Praga. Namun ketika menjelang tengah hari mereka telah mencapai tepian kali Praga, alangkah terkejutnya sepasang suami istri itu. Di tepian itu ternyata telah menunggu orang-orang yang akan menyeberang. Mereka bergerombol sambil duduk duduk di pasir yang lembab. Sebagian lagi bediri sambil bercakap-cakap di sebelah tebing tebing yang menjorok. Sementara itu empat buah rakit yang digunakan oleh para tukang satang tampak sudah penuh dengan penumpang dan perlahan-lahan bergerak meninggalkan tepian menuju ke tengah kali praga yang airnya tidak begitu dalam karena musim kemarau. Kedatangan sepasang suami istri itu ternyata telah menarik perhatian. Beberapa pasang mata telah memandangi mereka tanpa berkedip. Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis dan jambang yang lebat melangkah mendekati tempat Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri. “Kakek tua,” geram orang yang tinggi besar itu, “Menyingkirlah dari tepian ini. Tidak ada tempat bagi kalian untuk menyeberang. Kami saja yang sudah menunggu sejak pagi tadi belum mendapat giliran menyeberang.” “Kami akan menunggu,” berkata Glagah Putih dengan suara menggigil. “He!” bentak orang tinggi besar itu, “Apakah telingamu tuli. Aku menyuruhmu pergi, bukan menunggu.” “Tapi..tapi bagaimana kami menyeberang?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 942

Koleksi Goldy Senior “Apa peduliku.!” Kembali terdengar bentakan kasar, “Kalian mau berenang, apa mau menyelam itu bukan urusanku. Yang jelas penyeberangan ini memang sudah dipersiapkan untuk kami, bukan untuk kalian.” Orang tinggi besar itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Nah, sekarang pergilah. Jangan membuat aku marah. Kalau aku sudah marah, aku tidak peduli lagi, walaupun kalian berdua pantas menjadi kakek dan nenekku, aku akan tetap memluntir kepala kalian sampai putus.” Glagah putih harus menekan ibu jari Rara Wulan dan setengah menyeretnya untuk menjauhi tempat itu. Kelihatannya Rara Wulan telah terpancing kemarahannya melihat kesombongan orang tinggi besar itu. Namun Glagah Putih segera menyadari, kalau dibiarkan saja, mereka berdua akan mendapat kesulitan. Ketika mereka berdua telah jauh meninggalkan tepian, tiba tiba Glagah Putih berbelok ke kiri. “Kakang,” berkata Rara Wulan, “Akan kemanakah kita?” “Rara,” jawab Glagah Putih, “Kita naik ke tebing sebelah utara yang di tumbuhi pohon dan gerumbul gerumbul perdu. Aku curiga dengan keberadaan orang-orang itu. Mereka tentu ada hubungannya dengan perguruan perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra.” Rara Wulan tidak menyahut. Dengan berlari-lari kecil disusulnya Glagah Putih yang sudah mulai memanjat tebing. Ketika kemudian mereka berdua telah menyusup diantara gerumbul-gerumbul liar dan pohon-pohon perdu yang bertebaran di atas tebing, keduanya segera mencari tempat yang cukup terlindung namun masih bisa mengawasi gerak-gerik orang-orang yang berada di bawah tebing di tepian Kali Praga. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 943

Koleksi Goldy Senior Beberapa saat kemudian, empat buah rakit itu sudah kembali meluncur ke tepian sebelah timur. Beberapa orang yang sedang menunggu menyeberang itupun kemudian setengah berebut naik ke atas rakit. Orang tinggi besar yang berjambang dan berkumis lebat itu tampak mendorong kesamping seseorang yang ada di depannya yang sudah menginjakkan salah satu kakinya di rakit. Sejenak orang itu terhuyung-huyung kesamping sebelum akhirnya tercebur ke dalam air kali Praga yang berwarna keruh kecoklatan. “He..!” seseorang yang memakai gelang akar bahar di tangan kanannya dan berdiri di dekat rakit membentak orang tinggi besar itu, “Apa maksudmu Ki sanak?” Orang tinggi besar itu justru tertawa tergelak, “Panembahan Cahya Warastra tidak butuh orang-orang yang lemah, baru mendapat dorongan sedikit saja sudah terpelanting jatuh, apalagi menghadapi para prajurit Mataram yang tangguh tanggon.” Selesai berkata demikian, orang tinggi besar itu menunjuk orang yang telah didorongnya sehingga jatuh ke sungai itu yang tampak sedang berusaha naik ke tepian dibantu oleh para tukang satang. “Tutup mulutmu,” bentak orang yang jatuh ke sungai itu begitu dia berdiri di tepian. Sambil berjalan tertatih tatih dengan tubuh yang basah kuyup, dia berteriak sekeras kerasnya, “Pengecut! Aku tantang kau berperang tanding sampai mati.” Orang tinggi besar itu membelalakkan matanya. Sambil menggeram keras dia maju menyambut tantangan orang yang didorongnya itu, “Marilah. Kau sudah bosan hidup rupanya. Sudah beberapa hari ini aku tidak membunuh orang. Aku paling senang membunuh orang dengan cara memluntir kepalanya sampai putus.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 944

Koleksi Goldy Senior “Persetan,” umpat orang yang jatuh ke sungai itu, “Jangan hanya bermulut besar. Aku pun terbiasa membunuh orang dengan caraku sendiri. Aku biarkan lawan lawanku kehabisan nafas dulu, baru kemudian dengan mudah akan kucukil kedua matanya, kemudian aku potong-potong tubuhnya menjadi potongan- potongan kecil untuk makanan anjing-anjing liar.” “Omong kosong..!” kembali orang tinggi besar itu membentak, “Mari kita buktikan segala omong kosong ini! Aku sudah muak melihatmu masih berdiri di depanku.” “Aku juga muak melihat tubuh tambunmu itu!” teriak orang yang jatuh ke sungai itu tak kalah kerasnya, “Semua orang yang ada di tepian ini menjadi saksi, siapa yang akan tetap berdiri di atas kedua kakinya.” “Aku tidak mau menjadi saksi!” tiba-tiba terdengar teriakan dari arah sungai. Segera saja semua mata tertuju ke arah orang yang berteriak itu. Seorang yang bertubuh kekar dengan gelang akar bahar di tangan kanannya tampak sedang berdiri di sebelah rakit. Dengan langkah yang tenang orang itu pun kemudian melangkah mendekati kedua orang yang sudah siap mengadu nyawa itu. Setelah berdiri di antara ke dua orang yang sedang berseteru itu, orang yang memakai gelang akar bahar di tangan kanannya itupun kemudian berkata, “Atas nama Panembahan Cahya Warastra, aku minta kalian berdua menghentikan segala kebodohan ini. Kalian diundang oleh Panembahan Cahya Warastra bukan untuk saling berselisih, tapi untuk bekerja sama membangun masa depan negeri ini yang lebih baik.” “Aku tidak peduli!” teriak orang yang jatuh ke sungai itu, “Bagiku ini adalah sebuah penghinaan yang harus di tebus Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 945

Koleksi Goldy Senior dengan nyawa, kecuali dia mau bersujud di hadapanku dan meminta ma‟af.” “Persetan!” bentak orang tinggi besar itu. Kemudian katanya kepada orang yang memakai gelang akar bahar itu, “Minggirlah! Biar aku pluntir kepala orang yang sombong itu.” “Tidak..!” tiba-tiba orang yang memakai gelang akar bahar itu membentak menggelegar, “Aku adalah utusan Panembahan Cahya Warastra. Barang siapa yang menentang keputusanku, sama artinya dengan menentang Panembahan Cahya Warastra sendiri, dan hukumannya sudah pasti, hukuman mati!” “Aku tidak peduli!” teriak orang tinggi besar itu sambil bertolak pinggang, “Suruh Panembahan Cahya Warastra itu datang kesini. Aku akan mengajarinya sopan santun sedikit agar tidak seenaknya sendiri membuat peraturan.” Belum sempat orang tinggi besar itu menutup mulutnya, entah dari mana datangnya, sebuah anak panah berbedor putih melesat menghunjam dadanya menembus jantung. Sejenak orang-orang yang ada di tepian itu bagaikan membeku. Orang tinggi besar itu tidak sempat berteriak. Nyawanya putus bersamaan dengan jantungnya yang pecah tertembus anak panah berbedor putih. Tubuh yang tinggi besar itu pun akhirnya jatuh terlentang tak bergerak di pasir tepian yang basah. Beberapa orang mencoba memandang berkeliling untuk mencari arah dari mana anak panah itu berasal, namun sampai sejauh itu, mereka tidak dapat mengira ngira dari arah mana anak panah berbedor putih itu meluncur. Seakan akan anak panah itu muncul begitu saja dan langsung menghunjam dada orang tinggi besar itu. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 946

Koleksi Goldy Senior “Nah,” orang bergelang akar bahar yang ternyata adalah kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu berkata lantang memecah kebisuan, “Siapa lagi yang mencoba menentang Panembahan Cahya Warastra?” dia berhenti sejenak sambil memandang orang yang tercebur ke sungai itu. Tampak orang itu berdiri membeku dengan wajah pucat pasi bagaikan tak berdarah. Katanya kemudian, “Jadikanlah ini sebagai pelajaran. Panembahan Cahya Warastra tidak pernah main-main dengan peraturannya.” Bagian 3 Selesai berkata demikian, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu mendekati orang tinggi besar yang sudah terbujur menjadi mayat. Dengan sekali sentak, tubuh yang tinggi besar itu pun sudah dipanggulnya untuk kemudian dibawa ke tepian dan dilemparkan begitu saja ke sungai yang airnya berwarna keruh kecoklatan. Orang-orang yang ada di sekitarnya hampir tidak percaya bagaimana orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu memperlakukan jasad orang tinggi besar itu. Benar-benar diluar peri kemanusiaan. Seakan akan yang diperlakukan itu tak lebih dari bangkai binatang yang tak berharga. Setelah selesai melemparkan jasad orang tinggi besar itu, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu pun segera berteriak lantang, “Nah, Ki Sanak semuanya. Silahkan naik ke rakit dan menuju ke Menoreh. Di sana telah menunggu saudara- saudara kita yang telah tiba terlebih dahulu untuk bersama-sama memperjuangkan nasib tanah ini di masa depan. Terima kasih.” Orang-orang yang berkerumun itu pun segera bergegas menaiki rakit masing-masing dengan tertib. Sejenak kemudian Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 947

Koleksi Goldy Senior rakit-rakit itu pun telah meninggalkan tepian meluncur diantara keruhnya air Kali Praga. Setelah rombongan rakit-rakit itu telah semakin jauh meninggalkan tepian, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu perlahan lahan melangkah meninggalkan tepian. Sejenak dia berdiri termangu mangu di dekat tebing sungai yang menjorok. Sepertinya ada yang sedang ditunggunya. Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi memperhatikan kejadian di bawah tebing itu menjadi tegang. Panggraita mereka menangkap sesuatu yang tidak wajar. Orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu menurut tanggapan mereka memang sepertinya sedang menunggu seseorang. Untuk beberapa saat tidak ada kejadian apa-apa. Namun Rara Wulan hampir menjerit ngeri ketika tiba-tiba saja bagaikan muncul dari dalam tanah, seseorang telah berdiri di depan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu hanya beberapa langkah saja. Di punggungnya tampak sebuah endong yang berisi puluhan anak panah berbedor putih, sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah busur yang juga berwarna putih. “Paman Bango Lamatan,” desis orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sambil melangkah mendekat. Orang yang dipanggil Bango Lamatan itu tersenyum. Katanya kemudian, “Tambak Ganggeng, engkau terlalu ceroboh. Mengapa engkau biarkan saja ada orang-orang yang tidak berkepentingan ikut mengintip kegiatan kita?” Sejenak orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra yang bernama Tambak Ganggeng itu diam membeku. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut tepian Kali Praga, namun dia tidak menemukan hal yang mencurigakan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 948

Koleksi Goldy Senior Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang bersembunyi di atas tebing menjadi berdebar debar. Mereka pernah mengalami hal yang sama ketika berada di Panaraga. Seorang Wali yang waskita telah datang menemui Ki Rangga Agung Sedayu dengan cara yang khusus, mampu menghindarkan dirinya dari penglihatan mereka. Kini mereka berdua sadar, bagaimana mungkin anak panah berbedor putih itu seolah olah muncul begitu saja dan menembus jantung orang tinggi besar itu. Agaknya orang yang bernama Bango Lamatan itulah yang telah melepaskan anak panah dengan menggunakan Aji Panglimunan sehingga keberadaannya tidak dapat ditangkap oleh mata wadag. Sejenak Bango Lamatan masih berdiam diri. Ketika kemudian Tambak Ganggeng hanya menggeleng lemah sebagai isyarat dirinya tidak mampu mengetahui keberadaan orang-orang yang dimaksud oleh Bango Lamatan, orang kedua setelah Panembahan Cahya Warastra itu tiba-tiba menghadap ke arah tebing di mana Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi. Seleret cahaya menyilaukan tiba-tiba meluncur dari tangan kanan Bango Lamatan yang diangkat tinggi-tinggi menghantam tebing tempat Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi. Bagaikan disambar petir, tebing itu pun meledak dan tempat di mana sepasang suami istri itu bersembunyi telah runtuh da n menimbulkan suara yang bergemuruh ketika bebatuan dan tanah yang berhamburan bercampur dengan semak belukar meluncur turun dari lereng tebing. Bango Lamatan tertegun sejenak. dia hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Yang meluncur turun dari tebing hanyalah bebatuan bercampur tanah dan semak belukar yang tercerabut dari akarnya, tidak ada seorang pun yang menjadi korban akibat dari lontaran ilmunya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 949

Koleksi Goldy Senior “Gila,” geram Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata ada juga orang yang mampu menghindar dari lontaran ilmuku.” Tambak Ganggeng yang berdiri beberapa langkah saja di belakangnya menjadi berdebar debar. Sebuah pameran ilmu yang nggegirisi. Dia semakin yakin mengapa Panembahan Cahya Warastra mengangkat Bango Lamatan sebagai orang kedua dalam jajaran perguruan Cahya Warastra walaupun Bango Lamatan bukan murid yang sebenarnya dari perguruan itu. Selain Aji Panglimunan yang dimilikinya, ternyata Bango Lamatan masih menyimpan ilmu-ilmu lain yang sangat dahsyat. “Marilah,” berkata Bango Lamatan akhirnya sambil melangkah menuju ke tempat rakit-rakit yang telah kembali menepi di sisi timur Kali Praga, “Mungkin pengamatanku salah, tidak ada seorang pun yang mengawasi kegiatan kita.” Tambak Ganggeng yang berjalan mengikuti di belakangnya hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Terlintas di kepalanya, kalau orang kedua di perguruan Cahya Warastra saja sudah demikian sakti, bagaimana dengan Panembahan Cahya Warastra itu sendiri. “Selama aku menjadi pengikut perguruan Cahya Warastra, aku belum pernah bertemu sendiri dengan Panembahan yang aneh itu. Hanya paman Bango Lamatan ini yang selalu menjadi perantara. Mungkin benar cerita yang berkembang di antara murid-murid perguruan Cahya Warastra bahwa Panembahan itu sudah mampu menghindarkan dirinya dari sakit dan kematian,” berkata Tambak Ganggeng dalam hati. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tanpa sepengetahuan Bango Lamatan telah mampu menghindar dari terjangan ilmunya dengan cara meluncur turun dari sisi tebing yang lain. Dengan kemampuan ilmu yang mereka miliki, mereka Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 950

Koleksi Goldy Senior berhasil menghindarkan diri dari terjangan ilmu yang nggegirisi itu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan memutuskan untuk sekali lagi melihat keadaan di tepian Kali Praga. Dengan sangat hati-hati mereka berusaha menyerap segala bunyi yang ditimbulkan oleh gerakan mereka. Ketika keduanya telah sampai di atas tebing, ternyata tepian itu sudah sepi. Hanya ada tiga rakit yang tertambat di tepian menunggu penumpang, sedangkan rakit yang satunya telah digunakan oleh Bango Lamatan dan Tambak Ganggeng untuk menyeberang ke Menoreh. “Bagaimana pendapatmu Rara?” berkata Glagah Putih akhirnya sambil duduk bersandar pada sebatang pohon yang tumbuh di atas tebing. Rara Wulan pun kemudian duduk berselonjoran sambil matanya tetap mengawasi di bawah tebing. Jawabnya kemudian, “Sebaiknya kita menyeberang setelah gelap Kakang. Aku yakin orang yang bernama Tambak Ganggeng itu akan kembali ke tepian untuk menjemput perguruan-perguruan yang lain yang akan menyeberang.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya air Kali Praga yang keruh kecoklat coklatan. Tampak rakit yang membawa Bango Lamatan dan Tambak Ganggeng itu sudah bergerak kembali menuju ke sisi timur Kali Praga. Sementara tukang-tukang satang yang rakit rakitnya ditambatkan di tepian sebelah timur Kali Praga duduk-duduk saja di atas rakit sambil terkantuk kantuk. “Aku tidak yakin kalau tukang-tukang satang itu adalah tukang-tukang satang yang sebenarnya. Bisa saja mereka adalah orang-orang Panembahan Cahya Warastra,” desis Glagah Putih tiba-tiba tanpa sadar. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 951

Koleksi Goldy Senior Rara Wulan yang mendengar desis Glagah Putih itu berpaling. Tampak kerut merut di keningnya. Kemudian sahutnya, “Mungkin saja kakang. Tapi di mana tukang-tukang satang yang sebenarnya?” Glagah Putih menggeleng lemah, “Aku tidak tahu,” dia berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Ternyata memasuki Tanah Perdikan Menoreh sangat sulit. Aku yakin Panembahan Cahya Warastra telah menyebar telik sandinya di mana-mana.” “Tetapi menurut Ki Patih Mandaraka, Mataram juga telah mengirim prajurit-prajurit sandinya ke Menoreh,” berkata Rara Wulan. “Engkau benar Wulan,” sahut Glagah Putih, “Memang Mataram telah menyebarkan para prajurit sandinya untuk memantau gerakan Panembahan Cahya Warastra ini. Namun aku yakin, sasaran utama Panembahan Cahya Warastra ini bukan Menoreh, tapi Mataram.” “Tapi mengapa perguruan-perguruan yang diundang itu berkumpul di Menoreh?” “Karena tempat yang terdekat dan terlemah menurut Panembahan itu adalah Menoreh. Ini menurut penalaranku,” Glagah Putih berhenti sejenak, lalu, “Menoreh hanya dijadikan tempat menyusun kekuatan untuk menggempur Mataram yang sedang kosong karena sebagian besar prajuritnya melawat ke Panaraga.” “Apakah Panembahan Cahya Warastra akan menyerang Menoreh, Kakang?” “Menurut perhitunganku tidak.” “Mengapa?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 952

Koleksi Goldy Senior “Seperti yang sudah aku sampaikan tadi, Menoreh bukan sasaran utama. Menyerang Menoreh hanya membuang buang waktu saja dan juga korban pasti berjatuhan. Itu akan mengurangi kekuatan Panembahan Cahya Warastra pada saat menggempur Mataram.” “Jadi Menoreh dapat dikatakan aman, Kakang?” “Belum tentu.” “He,” Rara Wulan terperanjat, “Kakang jangan bercanda. Keadaan sudah sangat gawat begini Kakang masih sempat bercanda.” Glagah Putih tersenyum, katanya kemudian, “Wulan, aku tidak sedang bercanda. Memang Menoreh dapat dikatakan cukup aman dari Panembahan Cahya Warastra. Tapi bagaimana dengan para pengikutnya? Apakah tidak ada yang akan mengambil kesempatan pada saat Menoreh lemah? Panembahan Cahya Warastra mungkin tidak tertarik dengan Menoreh, tapi perguruan- perguruan yang tergabung dalam pasukan Panembahan Cahya Warastra?” Rara Wulan tertegun. Hatinya benar-benar risau memikirkan keselamatan keluarga di Menoreh. Menurut keterangan yang diterima dari para prajurit sandi ketika mereka berdua berada di Mataram, Ki Jayaraga memang telah memusatkan kekuatan Menoreh di padukuhan induk. Bahkan padukuhan-padukuhan kecil yang berdekatan dengan Kali Praga telah dikosongkan dan para penghuninya telah mengungsi ke padukuhan induk. “Mereka harus menghadapi seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh,” desis Rara Wulan tanpa sadar. “Siapa Rara?” tanya Glagah Putih yang mendengar desis Rara Wulan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 953

Koleksi Goldy Senior Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam sambil memandang suaminya, “Siapa saja yang ingin menduduki Menoreh. Apakah itu Panembahan Cahya Warastra atau perguruan-perguruan yang ingin mengambil kesempatan disaat Menoreh lemah.” Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil bangkit berdiri, “Marilah Rara, kita mencari tempat yang terlindung untuk beristirahat sambil menunggu Matahari terbenam.” Rara Wulan hanya mengangguk, kemudian mengikuti Glagah Putih bangkit dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuruni tebing. Dalam pada itu, Matahari sudah bergeser semakin jauh ke barat. Ki Jayaraga sedang berdiri di tangga pendapa kediaman Ki Gede Menoreh. Sesekali dilemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan para pengawal yang ada di depan regol. Ki Jayaraga agak berbesar hati karena rencananya untuk menghimpun kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan ternyata berhasil. Namun sekarang permasalahan yang timbul adalah, dukungan untuk seluruh pengawal yang tersebar di seluruh padukuhan induk, baik dukungan makan maupun tempat untuk istirahat, belum lagi para pengungsi dari padukuhan-padukuhan kecil yang berada di dekat Kali Praga. Ketika Ki Jayaraga berpaling ke arah gandok kanan, tampak Kiai Sabda Dadi sedang berjalan menuju ke arahnya. “Silahkan Kiai, silahkan,” berkata Ki Jayaraga menyambut Kiai Sabda Dadi yang menaiki tlundak pendapa kemudian bersama sama duduk di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa. “Dimanakah Damarpati?” bertanya Ki Jayaraga begitu mereka duduk. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 954

Koleksi Goldy Senior “Seperti biasa,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum, “Akhir-akhir ini dia sering di sanggar bersama dengan Nyi Agung Sedayu.” Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian wajah tua itu justru tersenyum lebar, “Agaknya Damarpati memerlukan sentuhan seorang perempuan untuk mengungkapkan ilmu yang selama ini dipelajarinya.” “Ya, Ki Jayaraga,” sahut Kiai Sabda Dadi sambil mengangguk angguk, “Selama aku mengajarinya olah kanuragan, Damarpati terlihat kurang tertarik dan hanya melakukannya sekedar untuk menyenangkan hatiku. Akan tetapi pertemuannya dengan Nyi Agung Sedayu telah menggugah kesadarannya akan pentingnya membentengi dirinya dari kemungkinan- kemungkinan buruk yang dapat menimpa dirinya, justru karena dia seorang perempuan.” Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil memandang awan yang berarak-arak di angkasa, “Nyi Agung Sedayu mempunyai masa lalu yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.” “Ya,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Damarpati telah bercerita kepadaku tentang masa masa muda Nyi Agung Sedayu ketika belum mengenal olah kanuragan.” “Peristiwa kelam yang menimpa dirinya itulah yang telah mendorong Nyi Agung Sedayu untuk berguru kepada Ki Sumangkar,” berkata Ki Jayaraga. Kemudian lanjutnya, “Nyi Agung Sedayu adalah pewaris perguruan yang pernah besar di jaman kejayaan Demak, perguruan Kedung Jati.” Kiai Sabda Dadi mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam diam dirinya sangat bersyukur bahwa Damarpati akhirnya terbuka hatinya setelah mendapat nasehat dari Sekar Mirah yang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 955

Koleksi Goldy Senior justru telah mengalami sendiri perlakuan buruk dari seorang yang bernama Sidanti. Demikianlah memang yang sedang terjadi, di sanggar yang cukup luas itu Damarpati sedang menekuni olah kanuragan yang telah dipelajarinya dari kakeknya sendiri. Sedangkan Sekar Mirah hanya menunggui dan sesekali memberikan arahan agar jurus jurus yang sedang dilatihnya benar benar berbobot dan berisi. “Pernafasan itu sangat penting,” demikian arahan Sekar Mirah pada suatu waktu, “Jurus yang engkau lakukan tanpa dilambari dengan olah pernafasan yang benar tidak akan mengungkap kekuatan yang sebenarnya. Dan itu juga akan dapat mengganggu ketahanan tubuhmu.” Damarpati hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian dengan kesungguhan hati diulanginya lagi jurus-jurus yang cukup rumit itu. Sebenarnyalah Damarpati sudah mempelajari banyak ilmu olah kanuragan dari Kiai Sabda Dadi, namun kesungguhan hatinya dalam menekuni ilmu itu yang menyebabkan perkembangan ilmu Damarpati seolah olah terhambat. Matahari semakin condong ke barat. Sinarnya yang kemerah merahan menimpa wajah wajah tegang para penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Setiap malam menjelang, mereka selalu dihantui ketakutan yang tiada taranya. Ketakutan akan serangan dari orang orang Panembahan Cahya Warastra yang telah menduduki padukuhan padukuhan di pinggir Kali Praga. Tidak jarang mereka merampok padukuhan-padukuhan di sebelahnya yang belum mengungsi ke padukuhan induk sehingga tak jarang menimbulkan kerugian harta maupun nyawa. Dalam pada itu, di bilik Ki Argapati, tampak orang tua yang telah menjalani pahit getirnya kehidupan itu semakin sehat di bawah perawatan Kiai Sabda Dadi. Dari hari ke hari Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 956

Koleksi Goldy Senior kesehatannya semakin membaik walaupun kadang masih tampak wajahnya yang murung. Namun ketika berita kedatangan perguruan-perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra itu sampai ke telinganya, semangat perjuangannya pun bagaikan membara kembali, sak dumuk bathuk sak nyari bumi, tanah leluhur Menoreh akan diperjuangkan sampai titik darah yang penghabisan. Ki Jayaraga lah yang terpaksa menyampaikan berita itu dengan pertimbangan dari pada orang lain yang pada akhirnya menyampaikan berita itu kepada Ki Argapati. Bisa saja terjadi kesalahan pengertian dan akan semakin memperparah sakitnya. Untuk itulah Ki Jayaraga dengan sangat berhati hati telah menyampaikan keadaan keamanan Menoreh akhir-akhir ini dan langkah-langkah apa saja yang telah diambil oleh Ki Jayaraga bersama Kiai Sabda Dadi untuk mengatasi permasalahan itu. Ternyata yang terjadi kemudian adalah di luar perhitungan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi. Ki Argapati pada dasarnya adalah seorang pejuang sejati yang selalu mengedepankan kepentingan Tanah Perdikan yang dipimpinnya. Begitu mendengar ancaman yang akan menjamah Tanah Perdikan Menoreh, hati orang tua itu bagaikan menggelegak. Semangat perjuangannya pun membara kembali. Keinginannya yang kuat untuk sembuh telah membantu Kiai Sabda Dadi dalam merawat sakitnya, sehingga berangsur-angsur perkembangan kesehatan Ki Gede Menoreh pun sangat menggembirakan. Sore itu Ki Argapati tampak sedang mondar mandir di dalam biliknya. Sesekali diraihnya tombak pendek yang disandarkan di pojok bilik. Sambil menimang-nimang tombak itu, perlahan Ki Argapati membuka selongsong tombak yang terbuat dari kain sutera berwarna hijau. Seakan akan dia ingin meyakinkan bahwa ujung tombaknya itu masih setajam dulu ketika menghunjam ke dada musuh bebuyutannya, Ki Tambak Wedi. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 957

Koleksi Goldy Senior Tiba-tiba pintu bilik berderit dan tampak Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi muncul dari balik pintu. “Silahkan, silahkan,” berkata Ki Argapati kemudian sambil kembali menyandarkan tombak pendeknya yang telah dibungkus kembali dengan selongsongnya ke pojok bilik. Hampir bersamaan kedua orang tua itu tersenyum. Kiai Sabda Dadi lah yang menyahut, “Agaknya Ki Gede sudah semakin sehat dan tidak sabar untuk bermain tombak lagi.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil duduk di amben. Katanya kemudian, “Rasa rasanya bilik ini semakin sempit. Aku harus melemaskan otot-ototku untuk menghadapi pertempuran yang sebenarnya nanti.” Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi saling berpandangan. Mereka menyadari sepenuhnya dengan kesehatan Ki Gede yang semakin pulih, dia memerlukan ruang yang lebih luas untuk melatih tubuhnya mengungkapkan ilmu yang selama ini rasa rasanya telah membeku dalam tubuh yang sakit. Setelah menutup pintu bilik dan mengambil dingklik yang ada di dekat dinding, kedua orang tua itu pun kemudian duduk di depan Ki Argapati. “Ki Gede,” akhirnya Ki Jayaraga memberikan saran, “Ki Gede dapat menggunakan sanggar namun selepas tengah malam, agar tidak ada kecurigaan dari para penghuni rumah ini. Kita harus tetap memberikan kesan bahwa Ki Gede masih terbaring sakit.” “Apakah itu masih diperlukan?” bertanya Ki Gede, “Kehadiranku di tengah-tengah para penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini akan sangat berarti dalam menggelorakan semangat perjuangan mereka.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 958

Koleksi Goldy Senior “Benar, Ki Gede. Namun dengan demikian musuh akan membuat perhitungan-perhitungan ulang terhadap kekuatan kita, dan itu sangat berbahaya.” Sejenak Ki Gede termenung, namun kemudian katanya, “Apakah sudah ada berita tentang Ki Rangga Agung Sedayu?” “Menurut seorang prajurit sandi dari Mataram yang telah menghubungi kami, Ki Rangga telah meninggalkan Sangkal Putung bersama Ki Swandaru dan Nyi Pandan Wangi.” “He!” wajah tua itu tampak berbinar, “Jadi Ki Rangga sudah sampai di Sangkal Putung? Sokorlah..!,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Bukankah menantuku itu masih sakit? Mengapa dia ikut Ki Rangga meninggalkan Sangkal Putung bersama istrinya?” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam kemudian jawabnya, “Ki Rangga mengajak Ki Swandaru pergi ke padepokan orang bercambuk di Jati Anom. Sedang Nyi Pandan Wangi kelihatannya tidak tega dan ingin mendampingi suaminya yang sedang sakit.” Ki Gede mengangguk anggukkan kepalanya sambil bergumam perlahan, “Agaknya Ki Rangga sedang ada urusan penting dengan menantuku yang menyangkut nama baik perguruan orang bercambuk. Semoga saja perkiraanku ini benar dan Ki Rangga sebagai saudara tua sekaligus pengganti Kiai Gringsing dapat memberikan tuntunan kepada adik seperguruannya.” “Demikianlah harapan kita semua, Ki Gede,” sahut kedua orang tua itu hampir bersamaan. Sejenak kemudian ruangan bilik Ki Argapati itu menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan mereka. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 959

Koleksi Goldy Senior Sementara di luar Matahari semakin rendah. Burung-burung tampak berterbangan berarak-arak kembali ke sarang mereka. Perlahan lahan gelap pun mulai menyelimuti bumi Menoreh. Ketika bilik Ki Gede pun mulai gelap, Ki Jayaraga segera berdiri dan melangkah menuju ke ajug-ajug tempat dlupak diletakkan. Dengan batu titikan dan sejumput gelugut yang ada di dalam geledeg, Ki Jayaraga pun berusaha menyalakan dlupak itu. Sejenak ruangan bilik itu menjadi terang oleh sinar dlupak yang kemerah-merahan. Setelah mengembalikan batu titikan dan sisa gelugut ke geledeg, Ki Jayaraga pun kembali ke tempat duduknya. Baru saja Ki Jayaraga menempati tempat duduknya, tiba-tiba saja mereka yang sedang di dalam bilik itu dikejutkan oleh suara langkah yang tergesa-gesa setengah berlari menuju ke arah bilik. Sejenak kemudian terdengar pintu bilik Ki Argapati diketuk keras-keras. Ketiga orang tua yang ada di dalam bilik itu terkejut. Tidak biasanya para pelayan di rumah Ki Gede mengetuk pintu bilik dengan keras. Pasti ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi. “Siapa?” bertanya Ki Jayaraga masih dengan duduk di atas dingklik sambil berpaling ke arah pintu. “Saya Ki, Nyi Saminten,” terdengar suara itu bergetar. Nyi Saminten adalah pembantu di rumah Ki Gede. Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke pintu. Sementara Ki Gede yang sedang duduk di bibir amben segera merebahkan dirinya dan menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya dibantu Kiai Sabda Dadi. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 960

Koleksi Goldy Senior Ketika pintu bilik itu telah dibuka oleh Ki Jayaraga, tampak pembantu Ki Gede itu dengan wajah gelisah berdiri di muka pintu. “Ada apa, Nyi?” bertanya Ki Jayaraga dengan sareh. Sejenak Nyi Saminten menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan kekuatannya kembali, kemudian katanya dengan nada yang masih bergetar, “Nyi Sekar Mirah, Ki. Nyi Sekar Mirah tanda tandanya akan melahirkan.” “He?” hampir bersamaan ketiga orang tua yang ada di bilik Ki Gede itu berseru. Bahkan Ki Gede hampir saja bangkit dari pembaringannya. Untunglah dia segera menyadari keadaannya dan segera merebahkan diri kembali. “Nyi Sekar Mirah katamu?” Ki Jayaraga bertanya untuk meyakinkan pendengarannya. “Ya, ya..Ki, tadi Damarpati telah membantu memapah Nyi Sekar Mirah dari sanggar menuju ke biliknya.” “Panggil dukun bayi yang terdekat sementara aku akan membantu Nyi Sekar Mirah untuk mempersiapkan persalinan ini,” sahut Kiai Sabda Dadi yang telah berdiri dan melangkah ke pintu. “Baik..baik Ki,” jawab Nyi Saminten sambil setengah berlari keluar untuk pergi ke rumah perempuan yang biasa menolong persalinan. Sementara itu Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera minta diri kepada Ki Gede untuk menengok keadaan Sekar Mirah. “Semoga Yang Maha Agung memberikan kelancaran dan keselamatan,” berkata Ki Gede. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 961

Koleksi Goldy Senior “Kita turut berdoa Ki Gede,” sahut kedua orang tua itu sambil menutup pintu bilik dan melangkah menuju bilik Sekar Mirah yang terletak di ruang belakang. Ketika kemudian kedua orang tua itu telah sampai di ruang belakang yang bersebelahan dengan dapur, terdengar kesibukan beberapa perempuan pembantu di rumah Ki Gede yang sedang menjerang air dan mempersiapkan segala keperluan untuk persalinan Sekar Mirah. Seorang perempuan yang sudah lanjut tampak bergegas memasuki bilik Sekar Mirah sambil membawa sebuah buntalan kain dan segenggam dupa ratus yang sudah dibakar ujungnya sehingga menyebarkan bau wangi ke seluruh ruangan, sedangkan seorang lagi membawa sebuah belanga yang berisi air hangat. Kiai Sabda Dadi segera melangkah memasuki bilik Sekar Mirah, sementara Ki Jayaraga menunggu di luar bilik, duduk di atas sebuah tikar pandan yang telah dibentangkan di depan bilik Sekar Mirah. Sejenak Kiai Sabda Dadi tertegun begitu melangkah memasuki bilik. Tampak Sekar Mirah yang tergolek berselimutkan kain panjang dengan wajah yang tegang. Kiai Sabda Dadi pun menyadari, ini adalah persalinan pertama bagi Sekar Mirah justru di usianya yang telah merambat semakin tua. “Nyi Sekar Mirah,” perlahan Kiai Sabda Dadi berbisik ketika sudah berdiri di samping pembaringan Sekar Mirah, “Usahakanlah untuk tetap tenang. Nanti akan ada yang menuntunmu untuk menjalani persalinan ini yang bagimu mungkin masih asing.” Sekar Mirah hanya mengangguk perlahan. Raut mukanya masih terlihat tegang. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 962

Koleksi Goldy Senior Tiba-tiba pintu bilik terbuka dan seorang perempuan yang rambutnya sudah berwarna putih semua masuk diikuti oleh Nyi Saminten. “Aku minta Ki Sanak meninggalkan bilik ini,” kata perempuan tua itu sambil menatap tajam ke arah Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelah pembaringan Sekar Mirah, “Percayakan semua ini padaku, aku sudah menolong persalinan sampai puluhan kali dan semuanya dapat aku selesaikan tanpa ada masalah yang berarti.” Kiai Sabda Dadi hanya mengangguk angguk sambil melangkah keluar bilik. Ketika dilihatnya Ki Jayaraga yang sedang duduk-duduk di depan bilik Sekar Mirah, Kiai Sabda Dadi pun kemudian segera bergabung. Waktu terasa berjalan begitu lambatnya. Dari dalam bilik terdengar suara dukun tua itu yang memberi arahan kepada Sekar Mirah, sementara Sekar Mirah terdengar merintih sambil sesekali mengucapkan kalimat-kalimat doa dan ampunan kepada Yang Maha Agung agar diberi kekuatan dan kelancaran dalam persalinannya. Ketika kegelisahan kedua orang tua yang menunggu di luar bilik itu hampir tak tertahankan lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tangis bayi yang keras melengking menggetarkan jantung semua orang yang ada di rumah Ki Gede Menoreh. “Puji syukur wajib kita panjatkan kepada Yang Maha Agung,” hampir bersamaan kedua orang tua itu menengadahkan wajah mereka sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Berbagai puji dan doa mereka panjatkan sebagai tanda syukur atas karuniaNya. Sejenak kemudian tangis bayi itu pun mulai agak mereda. Ketika kemudian pintu bilik itu berderit, dengan tergesa-gesa Ki Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 963

Koleksi Goldy Senior Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi bangkit berdiri. Tampak di depan pintu Nyi Saminten menggendong bayi yang masih merah dan dibungkus dengan kain panjang yang masih baru. Ketika Nyi Saminten melihat kedua orang tua itu berdiri termangu mangu dihadapannya, Nyi Saminten pun tersenyum sambil berkata, “Alhamdulillah semuanya selamat dan lancar, Ki,” dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Bayinya laki- laki. Kedua-duanya, ibu dan anak dalam keadaan sehat.” “Syukurlah,” hampir bersamaan Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga menyahut. “Apakah sudah dipanjatkan doa bagi bayi ini?” bertanya Kiai Sabda Dadi selanjutnya. “Silahkan Kiai,” berkata Nyi Saminten sambil mengulurkan bayi dalam gendongannya itu kepada Kiai Sabda Dadi, “Panjatkanlah doa sebagaimana mestinya agar anak ini nanti setelah dewasa menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.” Dengan mantap diterimanya bayi yang masih merah dalam bungkusan kain panjang itu. Setelah terpekur sejenak untuk memusatkan segenap nalar budinya disertai niat hanya kepada Penguasa Tunggal Jagad Raya ini permohonan itu dipanjatkan, Kiai Sabda Dadi pun kemudian membisikkan sesuatu di telinga kanan dan kiri si jabang bayi. “Alhamdulillah wa Syukurillah,” hampir bersamaan mereka yang hadir di situ memuji keagungan Penguasa Tunggal Jagad Raya ini begitu Kiai Sabda Dadi selesai memanjatkan doa bagi sang bayi. “Baiklah, Nyi,” berkata Kiai Sabda Dadi selanjutnya, “Kami akan mohon diri sejenak untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Ki Gede Menoreh. Barangkali berita gembira ini akan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 964

Koleksi Goldy Senior membuat Ki Gede merasa senang dan semakin membaik kesehatannya.” Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi mengulurkan kembali bayi yang ada dalam gendongannya kepada Nyi Saminten. Dengan penuh kasih sayang Nyi Saminten menerima kembali bayi itu dan kemudian membawanya masuk ke dalam bilik. Sejenak kedua orang tua itu masih menunggu pintu bilik itu ditutup. Setelah yakin tidak ada suatu hal yang mengkhawatirkan, Ki Jayaraga pun melangkah meninggalkan ruang belakang menuju ke bilik Ki Argapati diikuti oleh Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu, di Padepokan Jati Anom, Ki Widura ditemani oleh Ki Rangga Agung Sedayu sedang duduk-duduk di pendapa. Malam baru saja turun melingkupi Jati Anom. Lampu- lampu dlupak yang ada di regol maupun di pendapa sudah dinyalakan sejak Matahari terbenam tadi. “Dimanakah Swandaru dan istrinya?” bertanya Ki Widura sambil mengambil sepotong jenang alot dan mengunyahnya perlahan lahan. “Mereka sedang berada di dalam bilik,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Agaknya Adi Swandaru kelelahan setelah menempuh perjalanan pagi tadi. Maklumlah, keadaan kesehatan Adi Swandaru memang masih belum pulih. Malam ini aku akan memberikan ramuan lagi untuk menghilangkan pengaruh sisa- sisa racun yang masih mengeram di dalam tubuhnya.” Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Berapa hari rencanamu untuk tinggal di padepokan ini?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 965

Koleksi Goldy Senior Ketika Ki Widura melihat kerut merut di wajah Ki Rangga, cepat-cepat Ki Widura menyambung, “Bukan maksudku untuk mengusirmu dari rumahmu sendiri, tapi tugasmu sebagai prajurit tentu tidak boleh diabaikan. Aku dengar Mataram telah mengirim pasukan segelar sepapan menuju Panaraga. Kedudukanmu di pasukan khusus sangat diperlukan, tapi mengapa engkau tidak ikut ke Panaraga?” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan pamannya itu. Setelah meneguk wedang sereh yang hangat, Ki Rangga pun kemudian menceritakan tugas yang diembannya dari Ki Patih Mandaraka untuk membuat perimbangan kekuatan Panaraga dengan cara mencegah Guru Pangeran Ranapati itu untuk ikut campur dalam pertikaian antara Mataram dan Panaraga. Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Dari cerita Ki Rangga Agung Sedayu, dia dapat membayangkan kekuatan yang tersimpan di dalam diri guru Pangeran Ranapati sehingga Ki Patih Mandaraka merasa perlu menugaskan secara khusus Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengimbangi kekuatannya. Sejenak kemudian kedua orang itu pun terlibat dalam pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya, mulai dari musim kemarau yang sebentar lagi berganti dengan musim hujan, sawah- sawah padepokan yang harus segera mendapat perhatian sebelum hujan turun dan peningkatan ilmu bagi para cantrik perguruan orang bercambuk agar selalu siap dalam menghadapi keadaan yang semakin tidak menentu yang salah satunya adalah pertanda adanya gerakan dari Kadipaten-Kadipaten bawahan Mataram yang cenderung ingin memisahkan diri. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 966

Koleksi Goldy Senior Ketika kedua orang itu sedang asyik berbicara tentang segala macam urusan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang memasuki regol padepokan. Tanpa ragu-ragu orang tersebut segera menyeberangi halaman padepokan yang cukup luas dan kemudian naik ke pendapa. Ki Widura dan Ki Rangga segera tanggap. Dengan cepat mereka bangkit berdiri untuk menyambut tamu yang belum jelas asal-asulnya dan keperluannya itu. “Selamat malam,” justru orang itulah yang mendahului menyapa begitu dia mulai menaiki tlundak pendapa. “Selamat malam Ki sanak,” jawab Ki Widura cepat, “Silahkan, silahkan. Kelihatannya aku belum begitu mengenal Ki Sanak atau mungkin pengenalanku yang mulai kabur sejalan dengan umurku yang mulai merambat senja.” Orang itu hanya tersenyum saja menanggapi kata-kata Ki Widura. Sambil berdiri di hadapan Ki Widura dan Ki Rangga, orang itu berkata perlahan ke arah Ki Rangga Agung Sedayu, “Garuda yang terbang ke Timur agaknya sedang dalam perjalanannya kembali ke sarang. Semut-semut merah telah meninggalkan sarang mereka juga dan menuju ke bukit harapan. Garuda ditunggu untuk menghimpun burung-burung pipit sepanjang tepian sungai agar semut-semut merah tidak sampai mencapai Banjar Padukuhan.” Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu berdiri membeku mendengar kata-kata orang asing itu. Sedangkan Ki Widura yang berdiri di sebelahnya mengerutkan keningnya dalam-dalam, dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan orang yang baru datang ke padepokan itu. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 967

Koleksi Goldy Senior “Apakah yang membawamu kemari?” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan. “Angin barat,” jawab orang itu. “Siapakah yang menguasai angin barat?” kembali Ki Rangga bertanya yang semakin membuat Ki Widura kebingungan. “Lintang Panjer Rina,” jawab orang itu tegas. Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya sedangkan pamannya yang masih berdiri di sebelahnya akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ki Widura telah lama meninggalkan dunia keprajuritan sehingga dia lupa bahwa yang diucapkan oleh orang itu adalah kata-kata sandi yang telah disepakati dan hanya dimengerti oleh orang-orang khusus dalam lingkungan keprajuritan. “Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Engkau dapat kembali. Makanan yang engkau bawa sudah membuat aku kenyang.” Orang itu mengangguk hormat kemudian melangkah surut dan membalikkan badan berjalan menuruni tangga pendapa serta menyeberangi halaman padepokan untuk kemudian menghilang dalam gelap. Ketika bayangan orang itu sudah tidak tampak lagi, Ki Rangga segera duduk kembali diikuti oleh ki Widura. Sejenak keduanya masih berdiam diri, namun agaknya Ki Rangga sedang memikirkan sesuatu yang penting sehingga raut wajahnya tampak sedikit gelisah, sehingga katanya kemudian, “Paman, keadaan Kota Mataram semakin gawat sepeninggal pasukan yang melawat ke Panaraga. Di ibu kota Mataram sekarang hanya tinggal pasukan keamanan kota saja sehingga jika sewaktu waktu terjadi serangan ke ibu kota Mataram akan sangat berbahaya.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 968

Koleksi Goldy Senior Ki Widura mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Bagaimana dengan pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh? Apakah mereka juga diberangkatkan semua ke Panaraga?” “Tidak paman. Aku telah menempatkan sepasukan kecil prajurit di bawah pimpinan Ki Lurah Sanggabaya. Tapi pasukan itu hanya untuk menjaga lingkungan barak pasukan khusus itu sendiri, sehingga tidak mungkin untuk ditarik ke Mataram.” Ki Widura terpekur. Sebagai bekas Senopati prajurit Pajang yang berkedudukan di Sangkal Putung pada waktu itu dia juga menghadapi permasalahan yang hampir sama. Tohpati telah menghimpun laskar-laskar Jipang yang tercerai berai dan disatukan di bawah pimpinannya untuk menggilas Sangkal Putung. Sedangkan pasukan yang berada di bawah pimpinannya tidak mungkin dapat mengimbangi jumlah pasukan Tohpati yang lebih besar. Akhirnya dengan bantuan Ki Demang Sangkal Putung dia bisa mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung baik anak-anak mudanya maupun orang-orang tua atau siapapun yang pernah dan tahu bagaimana caranya menggenggam senjata untuk maju ke medan laga. “Besuk sebelum fajar aku harus ke Mataram menghadap Ki Patih untuk mendapatkan petunjuknya,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sehingga membuyarkan lamunannya. Ki Widura menarik nafas panjang. Dipandanginya pintu regol padepokan yang pintunya terbuka sebelah. Dlupak yang dipasang sebelah menyebelah regol tampak bergoyang goyang tertiup angin malam. Suara binatang malam mulai terdengar bersahut-sahutan ditingkah oleh suara teriakan burung kedasih yang hinggap di atap pendapa. “Jadi,” akhirnya Ki Widura menanggapi kata-kata Ki Rangga, “Bagaimana dengan Swandaru? Siapakah yang akan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 969

Koleksi Goldy Senior meneruskan perawatan atas lukanya sampai sembuh?” Ki Widura berhenti sejenak, kemudian, “Aku adalah murid termuda dalam perguruan orang bercambuk ini, oleh karena itu pengetahuanku tentang obat obatan masih sangat sedikit sehingga tumpuan harapan itu hanya kepadamu, Sedayu.” Ki Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sejenak dia berpikir, kemudian katanya, “Paman, aku akan meninggalkan beberapa ramuan obat yang sudah aku pisah-pisahkan terlebih dahulu, serta catatan tentang kapan dan bagaimana cara penggunaannya. Pada dasarnya Adi Swandaru hanya terkena racun yang sangat kuat dan menyebabkan tubuh bagian bawahnya lumpuh. Aku yakin dengan pengobatan yang rutin serta tambahan obat khusus yang dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuhnya, dalam waktu kurang dari sebulan Adi Swandaru sudah terbebas dari pengaruh racun itu.” Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, katanya, “Jadi aku yang akan engkau pasrahi untuk merawat Swandaru? Baiklah, sebagai saudara seperguruan yang paling muda aku hanya dapat menerima tugas ini tanpa banyak alasan.” “Ah,” Ki Rangga berdesah tertahan, “Bukan begitu maksudku paman. Keadaan sangat mendesak dan aku tidak mungkin berada di dua tempat sekaligus.” Ki Widura tertawa pendek, “Jangan kawatir Sedayu, aku hanya bergurau. Berangkatlah besuk pagi-pagi. Serahkan perawatan Swandaru kepadaku.” “Terima kasih paman,” berkata Ki Rangga, “Namun masih ada satu hal lagi yang belum dapat dilaksanakan,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Adi Swandaru telah melanggar salah satu dari sembilan wewaler perguruan Windujati. Aku sebagai saudara tua dan sekaligus sebagai Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 970

Koleksi Goldy Senior pengganti guru, harus bisa menegakkan peraturan perguruan agar tidak dicontoh oleh para murid yang lain.” Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil memandangi dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa berayun ayun tertiup angin malam, katanya kemudian, “Hukuman itu wajib dilaksanakan, namun kita harus melihat keadaan Swandaru yang belum pulih dari luka lukanya. Namun setelah dia sehat kembali, kita harus menegakkan peraturan perguruan tanpa pandang bulu agar dijadikan sebagai contoh oleh para cantrik padepokan ini.” Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menarik nafas dalam sekali. Jauh di dalam hatinya sebenarnya ada sepercik keraguan untuk melaksanakan hukuman bagi Swandaru mengingat hukuman itu sangat berat, namun ada suatu tekat di dalam hati murid tertua orang bercambuk itu untuk tidak hanya menghukum adik seperguruannya, namun juga membantu Swandaru meningkatkan ilmunya. “Nah,” berkata Ki Widura kemudian, “Apakah engkau akan berangkat sendirian ataukah memerlukan teman seperjalanan yang dapat diajak untuk sekedar berbincang bincang sepanjang perjalanan?” Ki Rangga mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya ragu-ragu, “Apakah sudah ada seorang Putut atau Cantrik yang bisa diandalkan untuk tugas yang penting ini? Karena mau tidak mau dia harus siap untuk terlibat dalam sebuah pertempuran.” Ki Widura tertawa pendek, jawabnya kemudian, “Memang sudah ada beberapa Putut yang cukup mumpuni dalam olah kanuragan menurut penilaianku, namun secara kejiwaan mereka masih sangat rapuh. Masih diperlukan gemblengan batin untuk membuat mereka semakin mengendap sejalan dengan tingginya ilmu yang mereka kuasai.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 971

Koleksi Goldy Senior Ki Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Dia segera teringat kepada adik seperguruannya, Swandaru. Bagaimana Guru mereka dahulu telah berusaha untuk mendekatkan sifat-sifat keduanya melalui tuntunan batin yang tak henti hentinya, namun pada akhirnya sifat dasar dari masing- masing yang muncul ke permukaan. “Tetapi jangan kawatir,” tiba-tiba Ki Widura berkata mengejutkan Ki Rangga yang sedang terbuai oleh lamunannya, “Ada sepasang kakak beradik yang sudah dapat diandalkan untuk menghadapi tantangan yang keras di luar padepokan, Putut Darpa dan Putut Darpita. Secara ilmu olah kanuragan mereka tidak akan mengecewakan, sedangkan jiwa mereka sudah mulai terbentuk karena memang mereka berdua berasal dari keluarga baik-baik dan sederhana. Mereka berdua dapat menemani perjalananmu dan sekaligus dapat sedikit membantu kalau memang tenaga mereka diperlukan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya sepasang anak muda yang berpetualang meninggalkan kampung halaman entah untuk berapa lama mengikuti guru mereka menyelusuri jalan setapak, merambah hutan dan menuruni lembah serta ngarai sampai jauh ke Tanah Perdikan Menoreh dan bertemu dengan seorang gadis cantik putri kepala Tanah Perdikan Menoreh yang selalu mengenakan sepasang pedang di lambung. “Ah,” tanpa disadarinya Ki Rangga berdesah. Ki Widura yang mendengar desah Ki Rangga Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Adakah sesuatu yang memberatkan hatimu jika kedua kakak beradik itu ikut denganmu ke Menoreh?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 972

Koleksi Goldy Senior “O, tidak, tidak, Paman,” dengan cepat Ki Rangga menyahut, namun tiba-tiba sesuatu telah menggetarkan hatinya. Dalam tangkapan pendengarannya, seolah olah dia mendengar suara tangisan bayi lamat-lamat di kejauhan. Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya untuk mencoba mendengarkan suara itu lebih jelas. Adalah hal yang biasa di saat-saat seperti itu terdengar tangisan seorang bayi dari Padukuhan sebelah. Namun rasa-rasanya suara tangis bayi itu seperti memukul mukul dinding jantungnya. “Aneh,” desis Ki Rangga Agung Sedayu ketika menyadari suara tangis itu justru menghilang ketika dia mencoba untuk mendengarkan dengan seksama. “Apanya yang aneh Sedayu?” Pamannya yang duduk di depannya menjadi terheran heran melihat perubahan tingkah laku kemenakannya itu. Ki Rangga tidak menjawab, dicobanya untuk mengetrapkan aji Sapta Pangrungunya sampai ke puncak, namun justru suara tangisan bayi itu benar-benar telah menghilang. “Mengapa?” tanpa sadar kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga. Ki Widura menjadi gelisah melihat tingkah laku keponakannya yang tidak sewajarnya. Akhirnya dengan nada yang dalam, dia kembali bertanya, “Sedayu, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Katakanlah! Mungkin Pamanmu yang tua ini dapat sedikit membantu.” Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan tersadar dari mimpi buruk. Dengan menarik nafas dalam-dalam, dilepaskannya pengetrapan aji Sapta Pangrungu itu sehingga kini dia benar- benar mendengarkan alam sekitarnya dengan pendengaran wajar, walaupun ilmu yang sudah menyatu dengan jiwa raganya itu Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 973

Koleksi Goldy Senior kadang-kadang tanpa pengetrapan pun akan bekerja dengan sendirinya terutama pada saat bahaya mengancam jiwanya. Namun baru saja Ki Rangga Agung Sedayu bernafas lega, kembali suara tangis itu terdengar justru sangat dekat seperti di sekitar halaman Padepokan. “Paman?” tanpa sadar Ki Rangga bangkit dari tempat duduknya, “Apakah Paman mendengar suara tangis bayi?” Ki Widura yang masih diam di tempat duduknya itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil menggeleng dia menjawab, “Aku tidak mendengar suara apa-apa, Sedayu, selain suara binatang-binatang malam.” Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Dicobanya sekali lagi untuk mengetrapkan aji sapta pangrungu, sapta pandulu dan bahkan sapta panggraita, namun justru sekali lagi suara tangisan bayi itu malah menghilang. “Paman,” akhirnya Ki Rangga duduk kembali, “Aku merasa ada seseorang sedang mempermainkan aku. Dalam keadaan wajar aku mendengar seolah olah ada suara tangisan bayi di kejauhan, bahkan baru saja aku dengar suara itu seolah olah ada di halaman ini. Namun ketika aku mencoba untuk mengetahui lebih jauh, justru suara itu menghilang demikian saja.” “Apakah engkau mencoba mengetrapkan ilmumu untuk mencari arah suara tangisan itu?” bertanya Ki Widura kemudian. “Ya, Paman,” jawab Ki Rangga, “Bahkan aku telah mengetrapkan segala kemampuanku untuk menemukan sumber bunyi itu, akan tetapi aku telah gagal.” Untuk beberapa saat wajah yang sudah sangat tua itu merenung. Kemudian katanya perlahan lahan sambil menarik nafas dalam-dalam, “Sedayu, dengan kemampuan ilmu apapun Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 974

Koleksi Goldy Senior yang telah engkau miliki, engkau tidak akan menemukan sumber suara itu.” “Mengapa Paman?” “Karena suara itu berasal dari dalam dadamu, dari dalam hatimu sendiri.” Sejenak Ki Rangga termangu mangu. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pamannya. “Sedayu,” akhirnya Ki Widura berkata dengan sareh, “Di alam jagad raya ini banyak hal yang tidak mampu diuraikan oleh ilmu yang dimiliki manusia. Banyak hal yang tetap menjadi rahasiaNya, walaupun manusia telah berupaya dengan segala akalnya untuk memecahkan rahasia itu. Demikian juga dengan suara tangis bayi yang engkau dengar itu. Itu adalah salah satu rahasia Sang Pencipta untuk memberi isyarat kepada para hambaNya, melalui suara hati mereka sendiri. Kebanyakan kegagalan manusia dalam menentukan jalan hidupnya adalah karena tidak mampu mendengarkan suara hatinya.” Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu mendengarkan nasehat Ki Widura. Sepeninggal Kiai Gringsing, memang tidak ada lagi yang memberikan tuntunan secara batiniah kepada dirinya dan adik seperguruannya itu. Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu berusaha memusatkan nalar dan budinya disertai dengan doa permohonan untuk menguraikan isyarat yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung kepada dirinya, tiba-tiba bagaikan di sambar seribu halilintar Ki Rangga Agung Sedayu pun terlonjak dari tempat duduknya sambil mulutnya mengucapkan sebuah nama, “Mirah..!” Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu berusaha memusatkan nalar dan budinya disertai dengan doa permohonan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 975

Koleksi Goldy Senior untuk menguraikan isyarat yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung kepada dirinya, tiba-tiba bagaikan di sambar seribu halilintar Ki Rangga Agung Sedayu pun terlonjak dari tempat duduknya sambil mulutnya mengucapkan sebuah nama, “Mirah..!” Ki Widura yang duduk di hadapannya pun ikut terlonjak. Dengan ragu-ragu dia bertanya, “Apakah benar demikian? Semoga Sekar Mirah diberi kelancaran dan kesehatan.” Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar sudah yakin dengan isyarat yang diterimanya. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung dia pun segera bersujud disertai ucapan puji syukur atas segala karunia yang telah diterimanya dalam lingkup Kebesaran dan KeagunganNya. Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang memang masih belum tidur di bilik Kiai Gringsing lamat-lamat mendengar kegaduhan yang sedang terjadi di pendapa. “Lihatlah,” berkata Swandaru kepada istrinya, “Mungkin ada sesuatu yang memerlukan bantuanmu walaupun aku percaya Kakang Agung Sedayu adalah orang yang pilih tanding, namun tidak ada jeleknya kalau kita mengetahui persoalan sebenarnya yang sedang terjadi.” Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya dia memandang sepasang pedangnya yang terletak di geledek bambu di dekat ajug-ajug. Namun niat untuk mengambil sepasang pedangnya itupun diurungkan ketika suaminya berkata, “Engkau tidak sedang memakai pakaian khususmu. Lebih baik engkau tinggalkan saja senjatamu itu di sini.” “Baiklah Kakang,” akhirnya Pandan Wangi menyahut sambil bangkit dari pembaringan. Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, Pandan Wangi pun melangkah menuju ke pendapa. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 976

Koleksi Goldy Senior Suara derit pintu pringgitan ternyata telah membuat kedua orang yang sedang berada di pendapa itu berpaling. Ki Widura tersenyum begitu melihat Pandan Wangi yang berdiri termangu mangu di tengah-tengah pintu pringgitan yang terbuka separo. Kemudian katanya, “Kemarilah, kami mempunyai berita untukmu.” Dengan langkah tertegun tegun, Pandan Wangi mendekati kedua orang yang sedang duduk-duduk di pendapa itu. Setelah mengambil tempat duduk di sebelah Ki Widura, Pandan Wangi pun kemudian menunggu kedua orang itu berbicara sambil menundukkan wajahnya. Sejenak suasana pun menjadi hening. “Pandan Wangi,” akhirnya Ki Widura berkata memecah keheningan, “Besuk pagi-pagi sekali Agung Sedayu akan berangkat ke Mataram ditemani oleh dua orang cantrik Padepokan. Menurut berita yang baru saja kita terima dari seorang prajurit sandi sore tadi, keamanan di ibu kota Mataram sangat mengkawatirkan sepeninggal pasukan yang telah dikirim ke Panaraga. Aku tidak tahu apa penyebabnya, mungkin Sedayu dapat menjelaskan semua itu kalau memang tidak melanggar kerahasiaan seorang prajurit.” Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam- dalam. Dia sadar, ancaman terhadap Mataram juga berlaku bagi Tanah Perdikan Menoreh, justru karena perguruan-perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra itu menjadikan Menoreh sebagai tempat berkumpul dan landasan pergerakan mereka memukul Mataram. Dan semua itu pasti akan berpengaruh terhadap Pandan Wangi sebagai putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. “Wangi,” perlahan Ki Rangga merangkai kata agar tidak mengguncangkan jantung istri adik seperguruannya itu, “Ibu kota Mataram sekarang ini sedang mendapat ancaman dari seorang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 977

Koleksi Goldy Senior yang menamakan dirinya Panembahan Cahya Warastra. Dibantu dengan perguruan-perguruan yang ada di tanah ini yang sehaluan dengan Panembahan itu. Aku telah mendapat perintah dari Ki Patih Mandaraka lewat prajurit sandi untuk menghimpun pasukan Mataram yang tersisa serta para pengawal dari Kademangan- Kademangan di sekitar Mataram untuk menggempur kekuatan yang membayangi Mataram itu.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Raut wajahnya menunjukkan ketegangan hatinya, kemudian katanya, “Bukankah Panembahan Cahya Warastra itu sudah terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka sendiri? Bagaimana mungkin ada orang yang menyebut dirinya dengan sebutan yang sama?” Ki Widura yang sedari tadi mendengarkan keterangan Ki Rangga dengan seksama ikut bertanya, “Ya, aku juga mendengar berita kematian Panembahan yang tamak itu. Apakah mungkin dia memiliki Aji Pancasona yang mampu membuat dirinya hidup kembali setiap kali jasadnya menyentuh bumi?” Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Aji seperti itu hanya ada dalam cerita-cerita babat dan dongeng-dongeng. Namun selebihnya kita harus mewaspadai kekuatan perguruan- perguruan yang telah dihimpun oleh Panembahan itu.” “Dimanakah Panembahan itu menghimpun kekuatannya?” tanpa sadar Pandan Wangi bertanya. Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Keragu raguan tampak membayang di wajahnya. Tidak mungkin baginya untuk menyembunyikan kenyataan yang ada. Namun semua itu akan membawa akibat yang jelas, Pandan Wangi pasti akan berkeras untuk ikut dengan dirinya ke Mataram. –––––––– Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 978

Koleksi Goldy Senior ADBM Seri V Jilid 4 (Jilid 404) –––––––––––––––– Bagian 1 Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk berterus terang, “Pandan Wangi, orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu telah menghimpun perguruan-perguruan yang sehaluan dengannya untuk menghancurkan Mataram di tepian Kali Praga sebelah barat dengan menduduki beberapa padukuhan kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.” Seketika wajah Pandan Wangi menjadi merah padam begitu mendengar penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan lantang dia berteriak, “Kakang, apa maksud semua ini? Mengapa aku tidak diberitahu kalau Menoreh sedang dalam bahaya, sementara ayah Argapati sedang sakit? Malam ini juga aku akan ke Menoreh untuk bahu-membahu dengan seluruh rakyat untuk mengusir orang-orang yang telah menduduki beberapa padukuhan di tepi barat kali Praga.” “Sabarlah Pandan Wangi,” berkata Ki Widura sareh, “Semua harus dihitung dengan cermat. Apabila kita salah dalam melangkah, akan jatuh korban sia-sia.” “Paman Widura benar,” sahut Ki Rangga, “Besuk pagi aku akan berangkat menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menerima perintahnya. Aku yakin sasaran orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu adalah Mataram bukan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 979

Koleksi Goldy Senior Menoreh. Menoreh hanya sebagai pancadan saja. Namun demikian kita tidak akan membiarkan bumi Menoreh diinjak- injak oleh orang-orang yang tidak berhak.” Dada Pandan Wangi masih bergemuruh. Dia benar-benar mencemaskan nasib rakyat Menoreh, apalagi ayahnya, Ki Gede Menoreh selaku pemimpin tertinggi Tanah Perdikan itu sedang sakit dan Prastawa telah berangkat ke Panaraga memimpin sepasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang diperbantukan ke Mataram. “Di Menoreh masih ada Ki Jayaraga dan seorang yang bernama Kiai Sabda Dadi,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Aku telah mendengar berita itu sebelumnya dari prajurit sandi. Aku kira keduanya telah mengambil langkah-langkah pengamanan yang diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Menoreh.” Kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu itu bagaikan titik-titik embun di teriknya sinar Matahari. Untuk sejenak gejolak hati Pandan Wangi agak mereda. Namun tiba-tiba dia bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, “Kakang, bagaimana dengan Sekar Mirah? Bukankah dia sedang dalam keadaan mengandung tua?” Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Widura sejenak saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Rangga lah yang menjawab, “Atas ijin Yang Maha Agung dan atas karuniaNya yang tiada taranya, insya Allah Sekar Mirah telah melahirkan dengan selamat.” “He?” Pandan Wangi terkejut, “Dari mana Kakang mendapat berita ini?” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah Pamannya, namun kelihatannya Ki Widura menyerahkan jawaban itu sepenuhnya kepada dirinya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 980

Koleksi Goldy Senior “Wangi,” akhirnya Ki Rangga menemukan jawaban atas pertanyaan Pandan Wangi itu, “Ada yang telah memberitahukan kepadaku atas kelahiran anakku dengan selamat, demikian pula aku berharap Sekar Mirah tak kurang suatu apa,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Nah, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya menghadapi situasi yang cukup gawat ini.” Pandan Wangi terdiam sejenak. Setelah beberapa saat kemudian dia baru berkata, “Kakang, aku akan ikut Kakang Sedayu besuk ke Mataram. Aku titipkan Kakang Swandaru kepada Paman Widura. Sebelumnya aku mohon ma‟af telah merepotkan penghuni Padepokan ini, tapi aku tidak melihat jalan lain selain aku harus kembali ke Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Widura dan Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka menyadari suasana hati Pandan Wangi pada saat itu, dan memang Pandan Wangi telah memilih pada pilihan yang sulit antara suaminya dan Ayahnya serta rakyat Menoreh. “Baiklah Pandan Wangi,” akhirnya Ki Widura memberikan tanggapannya, “Bagaimanapun juga engkau jangan meninggalkan suamimu begitu saja, engkau harus meminta ijin terlebih dahulu kepadanya.” Sambil menundukkan wajahnya Pandan Wangi hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun Ki Widura dan Ki Rangga Agung Sedayu melihat perubahan yang terjadi pada wajah putri Kepala Perdikan Menoreh itu walaupun hanya sekilas. “Kelihatannya Pandan Wangi tidak membutuhkan ijin itu,” berkata Ki Rangga dalam hati. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 981

Koleksi Goldy Senior Sejenak suasana menjadi sunyi. Angin malam yang bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekitar halaman Padepokan. Bunga arum ndalu yang ditanam di sebelah kanan pendapa mengeluarkan bau yang semerbak mewangi, sementara suara binatang-binatang malam terdengar bersahut-sahutan dengan irama yang ajeg. Sesekali terdengar suara burung kedasih yang ngelangut di kejauhan. Ketika kemudian dari gardu perondan di padukuhan sebelah yang terletak di ujung jalan yang menuju padepokan itu memperdengarkan suara kentong dengan nada dara muluk, ketiga orang itu pun segera menyadari bahwa waktu telah menjelang tengah malam. “Marilah kita beristirahat,” berkata Ki Widura kemudian, “Kita masih memerlukan tenaga yang segar untuk besuk pagi, terutama angger berdua yang akan melaksanakan perjalanan jauh.” Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi mengangguk. Demikianlah akhirnya ketiga orang itu kemudian telah menuju ke bilik mereka masing-masing untuk beristirahat. Dalam pada itu di gunung Kendalisada, Resi Mayangkara tampak berdiri tegak bagaikan patung batu di tengah malam yang pekat di depan pondoknya. Sedangkan Anjani yang telah selesai melaksanakan mandi keramas dengan landa merang dan sesuci kemudian memakai sinjang pethak. Kain putih yang hanya selembar itu dibalutkan ke tubuhnya sebatas dada sampai lutut. Rambutnya yang panjang dan masih basah dibiarkan saja jatuh terurai menutupi punggungnya yang putih bersih bagaikan pualam. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 982

Koleksi Goldy Senior “Sudah waktunya, Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara yang berdiri tegak di tengah-tengah halaman itu menyapa Anjani begitu perempuan cantik itu keluar dari pondoknya, “Marilah aku antar engkau menuju goa pertapaan. Ingat, engkau akan berjalan dalam kegelapan goa dan tidak diperkenankan membawa penerangan apapun karena laku tapa kungkum ini juga sekaligus pati geni.” “Aku mengerti Eyang,” jawab Anjani sambil berjalan mendekat. Langkahnya agak tersendat sendat karena kain putih yang membalut tubuhnya itu begitu ketat. Dengan langkah satu-satu keduanya pun kemudian menuju ke belakang pondok yang selama ini ditempati oleh Resi Mayangkara. Tepat di belakang pondok itu terdapat sebuah goa yang tidak seberapa besar. Anjani harus membungkuk untuk memasuki goa itu. “Jaga dirimu jangan sampai tertidur selama melaksanakan tapa kungkum,” pesan Resi Mayangkara begitu Anjani mulai memasuki goa, “Sendang di dalam goa itu tidak terlalu dalam. Ada sebuah batu besar di dasarnya yang dapat engkau jadikan sebagai tempat duduk.” Anjani yang mulai menelusuri dinding goa yang gelap dan licin itu tidak menyahut. Dengan meraba raba dinding goa, Anjani melangkah satu-satu. Ternyata hanya mulut goa itu yang sempit, setelah masuk ke dalamnya Anjani dapat berjalan dengan berdiri tegak, tidak harus terbungkuk-bungkuk. Semakin masuk ke dalam, Anjani merasakan hawa yang aneh menyelimuti sekujur tubuhnya. Rasa rasanya sekujur tubuhnya telah dicengkeram oleh sesuatu yang tidak tampak sehingga hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum itu telah membuat Anjani menggigil. Ketika kemudian lamat- Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 983

Koleksi Goldy Senior lamat Anjani mendengar suara gemericik air, dia mulai berpengharapan untuk segera menemukan sendang itu. Ketika jalanan mulai menurun dan berkelok ke kiri, suara gemericik air itu semakin keras. Dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, Anjani mencoba meraba apa yang ada di depannya dan ternyata Anjani telah menyentuh air. “Inilah sendang itu,” berkata Anjani dalam hati. Dengan sangat hati-hati Anjani melangkah lagi satu langkah. Ketika kakinya sudah terasa menyentuh bibir sendang kecil yang terdapat di dalam goa itu, Anjani pun dengan mantap telah melangkahkan kaki yang satunya turun ke dalam sendang. Segera saja air yang sedingin banyu sewindu menyergap kulit kakinya. Namun Anjani tidak mempedulikan semua itu. Setelah dia benar-benar berada dalam sendang yang ternyata hanya sedalam pinggang orang dewasa itu, Anjani pun telah melepas satu satunya selembar kain putih yang membalut tubuhnya dan kemudian dilemparkannya selembar kain yang telah basah itu ke samping sendang. Dengan tubuh yang polos Anjani mencoba meraba raba dasar sendang dengan kakinya untuk mencari batu besar yang terdapat di dasar sendang. Setelah agak jauh ke tengah sendang, barulah kakinya terantuk pada batu yang dimaksud oleh Resi Mayangkara itu. Dengan perlahan Anjani pun kemudian naik ke atas batu dan duduk bersila di atasnya untuk memulai laku tapa kungkum dan sekaligus pati geni. Setelah sejenak memusatkan nalar dan budinya disertai dengan doa permohonan agar laku yang dijalaninya itu mendapat anugerah dari Yang Maha Agung, Anjani pun memulai laku yang sangat berat itu. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 984

Koleksi Goldy Senior Sejenak suasana yang hening di dalam goa itu sangat membantu Anjani dalam memusatkan nalar dan budinya. Air sendang yang beriak perlahan sebatas lehernya terasa bagaikan membelai-belai lehernya yang jenjang itu. Ketika kemudian Anjani mencoba semakin menukik ke dalam keheningan, tiba- tiba jantungnya berdesir tajam ketika terasa sesuatu menyentuh punggungnya. Anjani mencoba mengabaikan perasaan itu. Dengan segenap kemampuannya dicobanya untuk kembali memusatkan nalar dan budinya, namun alangkah terkejutnya ketika kini justru bagian dadanya yang tersentuh oleh sesuatu itu. Hampir saja Anjani berteriak dan meloncat keluar dari sendang, namun niat itu ditahankannya dengan kuat. Dia menyadari semua itu pasti bagian dari cobaan laku yang sedang dijalaninya, dan Resi Mayangkara memang sengaja tidak menjelaskan cobaan apa saja yang akan dialaminya di dalam sendang itu. “Mungkin sejenis ikan atau belut,” demikian Anjani berkata dalam hati untuk menenteramkan gejolak hatinya. “Bagaimana kalau yang menyentuhku tadi seekor ular?” tiba- tiba pikiran itu menyelinap dalam benak Anjani. “Ah, tidak mungkin,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Kalau memang di sendang ini ada ularnya, Resi Mayangkara pasti sudah tahu dan tidak akan menjerumuskan aku dalam bahaya seperti itu karena beliau tahu aku bukan seorang yang kebal racun.” Mendapat pemikiran demikian itu Anjani menjadi sedikit lebih tenang. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah benar- benar suatu kejadian yang hampir tak tertahankan oleh Anjani. Sentuhan-sentuhan itu semakin sering dan hampir di sekujur Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 985


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook