Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore ADBM_L05

ADBM_L05

Published by stepsmp8, 2023-01-22 23:11:17

Description: ADBM_L05

Search

Read the Text Version

Koleksi Goldy Senior jumlah lawannya berhasil. Namun perbandingan itu masih terlampau jauh. Murid murid Ki Ajar Andong Puring yang lainnya sejenak bagaikan membeku melihat salah seorang kawannya terjatuh dilanggar kuda Pandan Wangi yang berlari bagaikan kesetanan. Ketika mereka bergerak ingin menolong kawannya yang malang itu, Ki Ajar ternyata justru telah membentak mereka, “Biarkan saja anak bodoh itu! Tetap pada kedudukan kalian. Jangan sampai mereka lolos dari kepungan kalian.” Ki Rangga yang mendengar teriakan Ki Ajar itu segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mendorong kuda-kuda mereka agar bergerak menyingkir dari arena pertempuran. Sementara Pandan Wangi yang telah kehilangan kudanya kemudian telah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan kedua Putut yang tegang itu pun kemudian telah mengurai senjatanya pula, selembar cambuk yang disembunyikan di bawah baju mereka. Kiai Naga Geni yang melihat kedua Putut itu mengurai cambuknya telah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Ternyata kita benar benar berhadapan dengan perguruan orang orang bercambuk. Namun aku masih meragukan, apakah mereka benar-benar menguasai senjata mereka ataukah sekedar gembala gembala yang bodoh dan sombong yang tidak menyadari dengan siapa mereka berhadapan.” Selesai berkata demikian, dengan langkah satu-satu Pemimpin Perguruan dari Nusa Kambangan itu mendekati arena pertempuran. Dengan tajamnya dia memandang ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang masih belum mengurai cambuknya. “Manakah senjata ciri khas perguruanmu, Ki Rangga?” bertanya Kiai Naga Geni dengan nada mengejek, “Ataukah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1036

Koleksi Goldy Senior engkau lupa membawanya setelah selesai menggembalakan kambing kambingmu?” Ki Rangga hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar ejekan lawannya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak terbiasa menggunakan cambukku untuk melawan orang yang tidak bersenjata. Kalau Kiai ingin menggunakan senjata, silahkan. Nanti akan aku pertimbangkan untuk menggunakan cambukku atau tidak setelah melihat ujud senjata Kiai.” “Iblis.!” Umpat Kiai Naga geni, “Kesombongan perguruan orang bercambuk benar-benar memuakkan. Senjataku adalah kedua belah tanganku ini. Jika aku menghendaki, aku dapat membakar hutan dan mengeringkan lautan dengan ilmuku.” Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab bualan lawannya. Sebenarnyalah dia ingin menggunakan cambuknya. Sesuai dengan sifat dari senjata itu sendiri yang panjang dan lentur serta dapat digerakkan untuk menjangkau ke segala arah. Dengan demikian kemungkinan untuk menolong kedua Putut itu apabila mereka dalam keadaan bahaya sangat terbuka lebar. Namun ternyata lawannya justru tidak bersenjata, maka yang dapat dilakukannya saat ini hanyalah mengetrapkan ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari kemungkinan pancaran ilmu lawannya. Namun Ki Rangga tidak tergesa-gesa mengetrapkan ilmu kebalnya tersebut sampai ke puncak karena dia belum dapat mengukur sampai dimana tingkat ketinggian ilmu lawannya. Sementara Pandan Wangi yang sudah menggenggam sepasang pedangnya mulai menggeser kaki kanannya selangkah ke samping. Disilangkannya kedua pedang tipisnya itu di depan dada. Setelah kaki kirinya ditekuk sedikit kedepan, pedang yang ada ditangan kanannya pun kemudian bergerak lurus kedepan, siap untuk mematuk dada lawannya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1037

Koleksi Goldy Senior Ki Ajar Andong Puring yang berdiri beberapa langkah saja dari tempat Pandan Wangi berdiri seolah olah terkesima dengan gerakan pembukaan yang diperagakan oleh satu satunya putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Pandan Wangi benar-benar terlihat masih mempesona di usianya yang mendekati setengah abad. Wajahnya yang putih bersih itu terlihat berbinar cerah dengan sepasang mata yang tajam. Tubuhnya yang langsing terlihat masih penuh padat berisi sehingga membuat Ki Ajar Andong Puring beberapa kali harus menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, sekering sawah dan pategalan di musim kemarau. “Nah, apakah engkau sudah siap, Ki Ajar?” pertanyaan Pandan Wangi telah membuyarkan lamunan Ki Ajar. Sejenak pandangan mata Ki Ajar menyambar wajah Pandan Wangi namun kemudian segera dipalingkannya pandangan matanya ke arah murid-muridnya yang sudah siap melakukan serangan pertama. “Marilah, agaknya kita memang sudah ditakdirkan untuk saling melukai di tempat ini,” berkata Ki Ajar tanpa berani menentang mata Pandan Wangi, “Apapun akibatnya harus kita terima demi terwujudnya sebuah cita-cita mulia.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian tanpa meninggalkan kewaspadaan sedikit pun, “Apakah cita- citamu itu Ki Ajar?” Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Pandan Wangi, “Bukan aku pribadi yang mempunyai cita-cita itu, namun kami semua yang tergabung dalam barisan yang menginginkan perubahan, perubahan pemerintahan yang semakin baik dan yang lebih penting lagi adalah adanya perubahan taraf hidup kawula Mataram yang semakin makmur.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1038

Koleksi Goldy Senior “Apakah menurut penilaian Ki Ajar, pemerintahan Panembahan Hanyakrawati sekarang ini kurang baik?” Ki Ajar tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Setiap kawula Mataram yang peduli dengan lingkungannya akan menjawab ya, bukankah bukti-bukti telah ada di sekitar kita? Kehidupan yang semakin sulit, gagal panen di mana-mana, penyakit yang merajalela di kalangan kawula alit sementara para bangsawan dan kalangan istana hanya hidup berfoya-foya dan saling memperebutkan kedudukan dan kemewahan,” Ki Ajar berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Bukankah penyebab terjadinya ketegangan antara Mataram dan Panaraga karena adanya keinginan untuk memiliki kedudukan yang bukan haknya? Dan itu hanya terjadi pada segelintir kalangan istana, sementara perang yang terjadi nanti akan sangat merugikan kawula alit, para prajurit rendahan yang akan menjadi kurban, banyak perempuan yang akan menjadi janda, anak-anak akan terlantar karena kehilangan Ayahnya. Lalu siapakah yang akan menanggung semua itu? Semua akan kembali menjadi tanggungan para kawula alit yang telah lama hidup menderita.” Pandan Wangi termangu-mangu mendengarkan penjelasan Ki Ajar Andong Puring. Sejenak ingatannya kembali ke puluhan tahun silam ketika terjadi pertikaian antara keluarga sendiri di Tanah Perdikan Menoreh. Betapa luka akibat pertikaian itu nyaris menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Tanah kelahirannya itu. Kakak satu-satunya harus terbunuh di ujung pedangnya sendiri, justru pada saat Pandan Wangi mulai berangan angan untuk menyatukan keluarganya yang tercerai-berai karena dendam dan perbedaan kepentingan. Bagian 3 Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1039

Koleksi Goldy Senior Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari Pandan Wangi sedang terhanyut oleh kenangan masa lalunya segera terbatuk- batuk kecil. Katanya kemudian sambil mengerahkan getar tenaga cadangannya dalam tekanan suaranya, “Wangi, waktu kita sangat sempit. Sebelum Matahari terbenam kita sudah harus sampai di tujuan.” Pandan Wangi bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk mendengar kata-kata Ki Rangga. Dengan mempererat genggaman pada hulu pedangnya, dia pun akhirnya berkata, “Baiklah Ki Ajar, simpan dulu ceritamu itu untuk besuk kalau kita masih sempat bertemu kembali. Benar-benar sebuah cerita yang menarik. Sekarang marilah kita melihat kenyataan, kita telah terlanjur berhadapan sebagai lawan.” Diam-diam Ki Ajar mengumpat dalam hati. Usahanya untuk mempengaruhi Pandan Wangi ternyata dengan mudah telah digagalkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika kemudian Ki Ajar sudah tidak melihat kemungkinan lain selain menundukkan lawannya dengan kekerasan, segera Ki Ajar mencabut senjatanya, sebuah keris luk sembilan yang berwarna hitam kelam. Keris itu tampak mengerikan dengan pamor yang ungu gelap. Seolah olah ada kekuatan dari kegelapan yang menyelimuti keris itu. Pandan Wangi sejenak tergetar hatinya melihat ujud keris itu. Namun dengan menguatkan hati dan memohon pertolongan kepada Yang Maha Hidup, Pandan Wangi telah memasrahkan segala persoalan itu langsung kepada sumber hidupnya. Demikianlah akhirnya, ketika Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi serangan pertama dari Ki Ajar Andong Puring, ternyata justru Kiai Naga Geni yang memulai pertempuran terlebih dahulu. Dengan teriakan yang menggelegar, tubuhnya melesat bagaikan seekor naga yang terbang mematuk mangsanya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1040

Koleksi Goldy Senior Dengan jari-jari yang membentuk cakar naga, Kiai Naga Geni menerjang Ki Rangga Agung Sedayu ke arah dada. Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat kecepatan lawannya dalam bergerak diam-diam terkejut. Lawannya itu benar-benar seperti seekor ular raksasa yang terbang menggeliat di udara. Bahkan dengan cepat Kiai Naga Geni mampu mengubah serangannya selagi dia masih melayang di udara, benar-benar seperti tingkah seekor naga. Namun yang menjadi lawannya kini adalah Ki Rangga Agung Sedayu, murid utama perguruan orang bercambuk yang telah tuntas menyadap ilmu dari gurunya, Kiai Gringsing. Selain itu ilmu yang telah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita serta ilmu warisan leluhur dari jalur Ayahnya sendiri Ki Sadewa, juga telah luluh dan menyatu dalam dirinya menjadi sebuah kekuatan yang nggegirisi. Gerak Ki Rangga sudah tidak terpaku pada satu jalur ilmu tertentu. Seakan akan semua gerak yang dilakukannya adalah pancaran dari ketiga jalur ilmu yang berbeda beda itu. Kadang gerakannya aneh dan sulit di duga, kadang pelan tapi bertenaga bagaikan tenaga seekor gajah. Namun suatu saat justru kelincahan gerak dan tandangnya membuat lawan menjadi kebingungan karena Ki Rangga seolah olah hanya tinggal bayangannya saja. Kiai Naga Geni yang merasa dirinya tanpa tanding di tlatah Nusakambangan dan sekitar ujung kulon benar-benar merasa terhina. Dengan cepat ditingkatkan ilmunya beberapa lapis untuk mengejutkan lawannya. Namun alangkah kecewanya Kiai Naga Geni itu ketika ternyata Ki Rangga dengan cepat masih dapat menguasai diri dan bahkan telah membalas dengan serangan- serangan yang membadai dan membuatnya berkali kali harus meloncat mundur. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1041

Koleksi Goldy Senior Sementara Pandan Wangi yang telah mewarisi ilmu yang utuh dari jalur Menoreh dan telah dikembangkannya sendiri berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Kiai Gringsing ketika orang tua itu masih hidup dan sering mengunjungi Sangkal Putung, telah membuat ilmu pedang rangkapnya semakin meningkat pesat. Dengan kekuatan tenaga cadangannya dan pemusatan nalar budinya, kalau dia menghendaki, serangan ujung pedangnya dapat mendahului ujud wadag dari pedang itu sendiri sejauh satu jengkal. Sehingga lawan tidak akan mengira ketika ujung pedang itu masih kurang satu jengkal dari tubuhnya, ternyata kulitnya telah tertembus dan robek mengalirkan darah. Ki Ajar yang belum menyadari kekuatan yang tersimpan dalam diri lawannya telah mencoba mendesak Pandan Wangi dalam sebuah pertempuran jarak pendek. Selain memang jangkauan senjatanya lebih pendek dari pedang Pandan Wangi, Ki Ajar tidak ingin memberikan kesempatan pada lawannya untuk mengembangkan permainan ilmu pedangnya. Dengan serangan-serangan pendek dan cepat, keris luk sembilan di tangan Ki Ajar berubah menjadi berpuluh-puluh dan mengurung Pandan Wangi dari segala penjuru. Pandan Wangi yang mendapat perlakuan seperti itu sejenak memang mengalami kesulitan untuk mengembangkan permainan pedang rangkapnya. Tidak mungkin baginya untuk meloncat mundur dan mundur terus justru beberapa langkah di belakangnya kedua Putut itu sedang berjuang menghadapi gempuran enam orang murid perguruan Andong Puring. Maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah menghentakkan segenap kekuatannya untuk menahan laju gempuran Ki Ajar Andong Puring yang beruntun. Ki Rangga Agung Sedayu segera melihat kesulitan yang dialami oleh Pandan Wangi. Tidak ada jalan lain selain menolong Pandan Wangi dengan memaksa lawannya mundur beberapa Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1042

Koleksi Goldy Senior langkah sehingga Pandan Wangi mendapat kesempatan untuk mengambil jarak dan mengembangkan permainan ilmu pedangnya. Demikianlah ketika Ki Rangga mempunyai kesempatan membalas serangan lawannya, dengan sebuah serangan yang membadai Ki Rangga telah menggulung lawannya. Ketika Kiai Naga Geni yang mendapat serangan membadai dan beruntun itu telah meloncat kebelakang untuk mengambil jarak, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan sebuah lompatan panjang dia telah meninggalkan lawannya dan memotong arah serangan Ki Ajar Andong Puring yang meluncur kearah Pandan Wangi. Ki Ajar terkejut ketika menyadari Ki Rangga telah berusaha memotong arah serangannya. Dengan cepat diubahnya arah serangan senjatanya yang semula ditujukan ke arah Pandan Wangi, kini justru mengarah ke lambung Ki Rangga. Ki Rangga tidak terkejut melihat perubahan arah serangan itu. Namun dia tidak akan membiarkan lambungnya tertembus oleh senjata lawannya walaupun dia yakin hal itu tidak akan terjadi karena tubuhnya sudah dilindungi dengan ilmu kebal. Dengan sedikit menggeser tubuhnya, ujung keris itu hampir menyentuh ujung bajunya. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, Ki Rangga berusaha mencengkeram pergelangan tangan lawannya yang menggenggam senjata andalannya itu. Tentu saja Ki Ajar tidak ingin senjatanya terlepas dari genggamannya. Dengan sebuah lompatan yang panjang, Ki Ajar pun mundur beberapa langkah kebelakang menghindari cengkeraman Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika kemudian Ki Ajar telah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh, ternyata Pandan Wangi telah mengambil Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1043

Koleksi Goldy Senior tempat beberapa langkah di depannya sambil menjulurkan pedang tipisnya ke arah ulu hati. Kini Pandan wangi benar-benar telah mengatur jarak dengan lawannya sehingga tidak akan terdesak lagi dengan serangan jarak pendek lawannya. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri termangu mangu ternyata telah dilanda serangan dahsyat dari Kiai Naga Geni. Dengan teriakan menggelegar, Kiai Naga Geni dengan kemarahan yang memuncak menerjang Ki Rangga Agung Sedayu dengan jari-jari yang membara, Ki Rangga pun segera mengetrapkan ilmu kebalnya sampai ke puncak. Segera saja hawa panas memancar dari tubuh Ki Rangga Agung Sedayu. Kiai Naga Geni yang sudah terlanjur meluncur itu terkejut ketika tiba-tiba saja serangkum hawa panas menyergapnya. Akan tetapi apa boleh buat, dia tidak akan menghentikan serangannya ke arah dada lawannya. Ternyata Ki Rangga tidak membiarkan saja dadanya dalam keadaan terbuka menerima serangan Kiai Naga Geni. Walaupun tubuhnya sudah dilindungi dengan ilmu kebal, namun Ki Rangga belum tahu sampai dimana kekuatan yang tersimpan dalam diri Kiai Naga Geni itu. Dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, maka sejenak kemudian sebuah benturan dahsyat dari kedua orang yang berilmu tinggi itu pun telah terjadi. Hampir saja Kiai Naga Geni berteriak kegirangan ketika dia melihat lawannya terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian yang terjadi adalah sebuah pengeram-eram. Ki Rangga yang mencoba menahan hantaman Kiai Naga Geni dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada itu ternyata telah terhuyung beberapa langkah surut kemudian jatuh pada kedua lututnya. Ketika kemudian dengan sigap Ki Rangga meloncat berdiri, orang-orang yang ada di seputar arena pertempuran itu hampir tidak percaya dengan penglihatan mereka sendiri. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1044

Koleksi Goldy Senior Ternyata yang bangkit berdiri tidak hanya seorang Ki Rangga saja, tubuh Ki Rangga telah terpecah menjadi tiga orang. Untuk sejenak pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu terkesiap. Aji kakang kawah adi ari-ari memang sudah jarang ditemui pada jaman itu. Kalau ternyata Ki Rangga mampu menguasainya dengan baik, dia benar-benar akan menjadi orang yang sulit dicari bandingnya di seluruh tlatah Mataram. Belum sempat pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu menentukan sikap dan menyadari apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi ilmu yang sudah hampir punah itu, ujud Ki Rangga yang paling dekat dan ada di hadapannya tiba-tiba telah melancarkan sebuah serangan balasan yang dahsyat. Dengan sisi telapak tangan kanannya, ujud Ki Rangga yang ada di depannya telah meloncat maju dan dengan deras menghantam dada lawannya. Segera terdengar sebuah keluhan tertahan. Tubuh Kiai Naga Geni itu terhuyung-huyung kebelakang, namun ketahanan tubuhnya memang luar biasa. Dengan cepat dia meloncat beberapa langkah kebelakang untuk menghindari kemungkinan dari serangan susulan lawannya. Namun ternyata Ki Rangga tidak memburunya. Justru kedua ujud Ki Rangga yang lain telah meloncat ke belakang dan membantu kedua Putut itu untuk menghadapi serangan lawan lawannya yang semakin menekan. Keenam murid perguruan Andong Puring itu menyerang secara bergelombang susul menyusul ke arah kedua lawannya. Untunglah kedua Putut yang berasal dari Kademangan Jati Anom itu sudah dibekali ilmu cambuk yang cukup mapan, sehingga mereka tidak gugup dalam menghadapi serangan-serangan yang beruntun. Secara bergantian ujung-ujung cambuk itu menggelepar dengan memperdengarkan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1045

Koleksi Goldy Senior suara yang memekakkan telinga. Ternyata keduanya memang sudah terbiasa bertempur berpasangan sehingga secara bergantian dan saling mengisi, ujung-ujung cambuk yang berkarah itu menghalau setiap serangan yang dilancarkan oleh murid-murid Andong Puring. Ketika kedua ujud Ki Rangga Agung Sedayu itu telah meloncat dan berdiri tegak diantara kedua Putut dan lawan lawannya, yang terjadi kemudian adalah sebuah pertunjukan yang aneh. Ke-enam murid Ki Ajar itu justru telah berdiri membeku bagaikan tersihir melihat Ki Rangga yang telah berubah ujud menjadi tiga orang. Demikian juga kedua Putut itu, mereka belum pernah melihat ilmu yang sedahsyat dan seaneh itu sehingga untuk sejenak pertempuran pun seolah telah terhenti. Pandan Wangi yang sudah pernah melihat ilmu kakang kawah adi ari-ari yang dimiliki oleh Ki Rangga masih juga tergetar hatinya. Dalam panggraitanya, dia masih belum mampu membedakan manakah ujud yang asli dan manakah ujud yang palsu. Sementara Ki Ajar yang melihat Ki Rangga telah berubah ujud rangkap tiga, diam-diam telah memusatkan nalar budinya untuk menemukan ujud asli Ki Rangga yang sebenarnya. Dia akan membuat kejutan dengan menyerang ujud asli Ki Rangga secara tiba-tiba sehingga dapat melumpuhkan perlawanan murid utama perguruan orang bercambuk itu. Namun alangkah terkejutnya Ki Ajar, walaupun dia telah mengerahkan segenap kemampuannya, panggraitanya tidak mampu mengurai ujud-ujud Ki Rangga sehingga yang tampak adalah Ki Rangga benar-benar telah berubah menjadi tiga orang. Demikianlah sebenarnya yang telah terjadi. Dalam perjalanan mematangkan salah satu ilmu yang telah dipelajari dari isi kitab Ki Waskita, Ki Rangga Agung Sedayu telah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1046

Koleksi Goldy Senior menyempurnakannya dengan berbagai laku terutama pengenalan atas ilmu itu sendiri lebih menukik ke kedalaman sehingga kedua ujud Ki Rangga itu kini bukan lagi sekedar ujud-ujud semu yang hanya dapat membingungkan lawan yang masih belum mapan kemampuan olah kanuragannya, namun dalam perkembangannya, ujud kakang kawah dan adi-ari-ari atau kadang disebut kakang pembarep adi wuragil itu merupakan pancaran ilmu dari dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu sendiri. Sehingga setiap sentuhan dari salah satu ujud Ki Rangga, akan mempunyai akibat yang sama secara kewadagan karena merupakan kepanjangan dari ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang sebenarnya. Itulah sebenarnya kelebihan dari Ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil dibandingkan dengan ilmu bayangan semu yang telah dikuasai oleh Ki Waskita. Sentuhan Ilmu Bayangan Semu tidak akan berpengaruh secara wadag, namun justru kekerdilan jiwa seseorang yang akan terpengaruh oleh ilmu itu. Namun kelebihan dari Ilmu Bayangan Semu itu adalah orang yang menguasai ilmu ini dapat mengambil bentuk-bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluan pada saat itu, sedangkan Ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil hanya mengambil bentuk yang sama dengan dirinya, namun dalam perkembangannya jika seseorang dapat menguasainya sampai tingkat yang sempurna, akan menjadi ilmu yang sangat nggegirisi karena kemampuan orang yang memiliki ilmu ini akan menjadi berlipat lipat. Kiai Naga Geni yang telah mampu menguasai dirinya segera memusatkan nalar budinya. Dengan kemampuan panggraitanya, dia berusaha mengetahui ujud asli Ki Rangga, dan inilah kesalahannya. Kiai Naga Geni terlalu tergesa-gesa untuk menarik sebuah kesimpulan. Dia yakin ujud asli Ki Rangga Agung Sedayu adalah yang baru saja menyerangnya dan sekarang berdiri beberapa langkah di depannya. Dengan teriakan mirip seekor Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1047

Koleksi Goldy Senior naga yang sedang marah, Kiai Naga Geni pun kemudian meluncur menerjang ujud Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang berdiri dihadapannya. Tubuh Kiai Naga Geni menggeliat bagaikan seekor naga yang sedang terbang di udara. Jari-jari kedua tangannya yang membentuk cakar naga terlihat membara, sedangkan dari mulutnya benar-benar menyemburkan api yang berkobar kobar menerjang ke arah lawannya. Inilah aji kebanggaan perguruan Nusakambangan, Aji Naga Geni. Namun ternyata ujud Ki Rangga yang ada di depannya sama sekali tidak ada usaha untuk menghindar dari terjangan lawannya. Bahkan ujud Ki Rangga itu justru telah meloncat menyambut serangan lawannya. Kiai Naga Geni terkejut. Semburan api dari aji naga geni yang mampu meluluh lantakkan senjata yang terbuat dari baja sekalipun ternyata sama sekali tidak dirasakan oleh lawannya, bahkan cengkeramannya yang mengenai pundak lawannya rasa rasanya seperti mencengkeram angin saja. Dalam keadaan seperti itulah sebuah hantaman dari ujud Ki Rangga itu telah mengguncang dadanya. Sebenarnyalah Kiai Naga Geni sudah yakin dengan ilmunya dia akan dapat melumat Ki Rangga Agung Sedayu. Namun kesalahan yang dilakukannya benar-benar berakibat sangat parah. Ujud Ki Rangga yang ada di depannya itu adalah bentuk semu namun yang telah dilambari dengan pancaran ilmu Ki Rangga Agung Sedayu sehingga mempunyai kemampuan dan daya serang yang sama dengan diri Ki Rangga sendiri namun yang tidak dapat dilukai secara wadag, justru karena itu hanyalah sebuah ujud semu. Kesadaran Kiai Naga Geni akan kemampuan dan sifat-sifat ilmu kakang pembarep adi wuragil ini sudah terlambat. Sudah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1048

Koleksi Goldy Senior dicobanya untuk menahan gempuran ujud Ki Rangga pada dadanya dengan menyilangkan tangan kirinya di depan dada, sementara tangan kanannya yang sedang mencengkeram bahu lawannya ternyata hanya mencengkeram bayangan kosong belaka. Sekali lagi tubuh Kiai Naga Geni terlempar kebelakang dengan dahsyatnya sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan memuntahkan darah segar. Sejenak Kiai Naga Geni masih menggeliat sambil menggeram. Dengan bertelekan pada kedua tangannya dia berusaha duduk untuk mengatasi pernafasannya yang tersumbat karena dadanya rasa rasanya bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan. Ki Ajar yang melihat keadaan Kiai Naga Geni segera berlari mendekat. Dibantunya pemimpin perguruan Nusakambangan itu untuk duduk bersila. Sejenak kemudian Kiai Naga Geni pun tenggelam dalam usahanya mengatur pernafasannya dan mengurangi rasa sakit yang mendera dadanya. Pertempuran benar-benar telah berhenti. Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari tidak ada gunanya lagi untuk tetap mengetrapkan aji kakang pembarep adi wuragil segera melepaskan ilmunya itu perlahan lahan. Sejenak kemudian ketiga ujud Ki Rangga itu pun akhirnya saling mendekat dan bersatu menjadi Ki Rangga Agung Sedayu yang asli. Murid-murid Andong Puring dan kedua Putut yang masih belum banyak berpengalaman dalam dunia olah kanuragan terutama pengetahuan mereka terhadap berjenis jenis ilmu, masih tetap berdiri termangu mangu di tempatnya. Berbagai tanggapan muncul dari dalam benak mereka. Murid-murid Andong Puring merasa putus asa untuk memenangkan pertempuran itu dengan dikalahkannya Kiai Naga Geni oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Kini hanya tinggal Gurunya Ki Ajar Andong Puring yang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1049

Koleksi Goldy Senior kemampuannya masih jauh di bawah Ki Rangga. Sedangkan ke dua Putut itu justru telah berangan angan suatu saat mereka akan mampu mencapai tataran seperti yang telah ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka dari perguruan orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu. Sementara menunggu Kiai Naga Geni memulihkan pernafasannya, Ki Ajar telah memberi isyarat kepada murid muridnya untuk menolong salah satu kawannya yang tergeletak pingsan diterjang kuda Pandan Wangi. Dengan tergesa-gesa murid-murid Andong Puring itu segera menyarungkan senjata masing-masing kemudian setengah berlari mereka mendekati kawannya yang masih tergeletak pingsan. Ki Rangga Agung Sedayu agaknya tanggap dengan perkembangan keadaan. Segera dia memberi isyarat kepada kawan kawannya untuk meneruskan perjalanan. Kuda Pandan Wangi sudah lari entah kemana. Akhirnya kedua Putut itu yang harus mengalah dan menggunakan satu ekor kuda untuk berdua, sedang kuda mereka yang satunya digunakan oleh Pandan Wangi. Demikianlah akhirnya mereka berempat segera berderap kembali di lorong hutan Tambak Baya meninggalkan lawan lawannya yang hanya dapat berdiri termangu mangu sambil memandangi debu putih yang mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang berderap cepat. Ketika mereka hampir mendekati ujung lorong hutan Tambak Baya, tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras, “Kakang, lihat! Itulah kudaku!” Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menyahut, “Engkau benar Wangi, agaknya belum ada orang yang lewat, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1050

Koleksi Goldy Senior sehingga kudamu masih aman merumput di pinggir lorong hutan ini.” Sejenak kemudian Pandan Wangi telah menarik tali kekang kuda yang ditungganginya ketika sudah tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari kudanya yang sedang asyik merumput. Setelah meloncat turun dan menyerahkan kendali kuda kepada Putut Darpa yang telah meloncat turun terlebih dahulu, Pandan Wangi pun kemudian dengan perlahan mendekat agar tidak mengejutkan kudanya yang sedang asyik merumput. Kuda itu meringkik perlahan begitu Pandan Wangi membelai surinya yang hitam dan lebat. Setelah menepuk nepuk leher kudanya agar menjadi lebih tenang, Pandan Wangi pun kemudian segera meloncat ke atas punggung kudanya dan siap berderap kembali menuju ke Mataram. “Marilah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Hari sudah menjelang sore. Semoga sebelum gelap turun kita sudah dapat menghadap Ki Patih Mandaraka.” Sejenak kemudian mereka berempat telah memacu kuda- kuda itu keluar dari hutan Tambak Baya menuju ke alas Mentaok yang telah ramai menjadi sebuah negeri yang bernama Mataram. Dalam pada itu, di padukuhan kecil sebelah utara Tanah Perdikan Menoreh tampak dua orang sedang berjalan di tengah- tengah bulak yang panjang. Terik sinar Matahari sore masih terasa panas menyengat kulit kedua orang itu sehingga tampak merah terbakar. Keringat bagaikan terperas telah membuat tubuh kedua pejalan kaki itu basah kuyup. “Kita berhenti sebentar di bawah pohon nyamplung itu, Ayah,” berkata salah seorang yang ternyata seorang perempuan. Wajahnya yang berkeringat bercampur debu itu tampak kotor Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1051

Koleksi Goldy Senior namun tidak dapat menyembunyikan kecantikan alami yang dimilikinya. Selendangnya yang panjang dibalutkan di atas kepalanya untuk mengurangi panasnya sengatan Matahari. “Baiklah, kita beristirahat sejenak,” berkata orang yang dipanggil ayah itu sambil mengayunkan langkahnya menuju pohon nyamplung yang tumbuh di pinggir parit sebelah kiri tanggul. Di sepanjang bulak itu memang terdapat parit di sebelah menyebelah yang cukup lebar. Di musim kemarau parit itu airnya memang sangat kecil, tidak cukup untuk mengairi tanah-tanah pesawahan yang terlihat kering dan bera. Rumput-rumput liar yang tumbuh tampak kekuning kuningan terbakar Matahari. Hanya rumput-rumput yang tumbuh di sepanjang tanggul dekat parit itu sajalah yang tampak masih menghijau dan sering digunakan oleh para penggembala untuk menggembalakan ternaknya. Ketika kemudian kedua orang itu duduk melepas lelah di atas akar-akar yang menonjol di bawah bayangan teduh pohon nyamplung itu, semilir angin yang sepoi-sepoi ternyata telah membuat kedua pejalan kaki itu terkantuk kantuk. Namun belum sempat kedua pejalan kaki itu menikmati semilirnya angin lebih lama lagi, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari arah Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sambil menggeliat orang yang dipanggil ayah itu mencoba melongokkan kepalanya memandang ke arah jalan yang menuju ke padukuhan induk. Tampak debu yang mengepul tinggi pertanda ada beberapa ekor kuda yang sedang dipacu menuju ke arah mereka yang sedang duduk-duduk di bawah pohon nyamplung. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1052

Koleksi Goldy Senior “Siapakah mereka, Ayah?” bertanya perempuan itu sambil tetap duduk di tempatnya. “Aku tidak tahu,” jawab Ayahnya sambil kembali menyandarkan punggungnya ke pohon nyamplung. “Mungkin para pengawal Padukuhan induk sedang nganglang,” desis perempuan itu perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri. “Mungkin,” jawab Ayahnya acuh saja sambil memejamkan matanya. Sementara tiga ekor kuda yang dipacu menyelusuri bulak panjang yang menghubungkan antara padukuhan induk dengan padukuhan kecil disebelah utara Tanah Perdikan Menoreh itu telah semakin dekat dengan tempat kedua pejalan kaki itu beristirahat. Ketiga penunggang kuda itu memang para pengawal Padukuhan induk menilik dari ciri-ciri yang mereka kenakan. Ketika ketiga pengawal itu telah semakin dekat, tampak kerut merut di wajah mereka yang tegang. “Siapakah mereka itu, Kakang Dama?” bertanya salah seorang pengawal yang bertahi lalat di pipi kirinya sambil memandang ke arah kedua orang yang duduk terkantuk kantuk di bawah pohon nyamplung. “Itulah yang sedang aku pikirkan,” jawab pengawal yang bernama Dama itu, “Disaat Padukuhan induk dalam keadaan gawat, kita harus selalu waspada terhadap perkembangan yang terjadi di sekeliling kita.” “Marilah kita mendekat,” berkata pengawal yang satunya lagi. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1053

Koleksi Goldy Senior Dengan perlahan mereka menghela kuda-kuda itu mendekati kedua pejalan kaki yang sedang duduk terkantuk kantuk di atas tanggul di bawah pohon nyamplung yang tumbuh rimbun di dekat parit. Ketika kemudian mereka bertiga sudah berada di bawah tanggul yang rendah, dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian meloncat turun dan menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang mengering di pinggir jalan. Dama sebagai pengawal yang tertua rasa rasanya tidak sabar ingin segera mendaki tanggul dan menyapa kedua pejalan kaki itu. Walaupun wajah kedua orang itu berlumuran debu bercampur keringat, namun Dama dapat mengenali siapakah mereka berdua itu. “Empu Wisanata? Bukankah aku berhadapan dengan Empu Wisanata?” hampir berteriak Dama menyapa kedua pejalan kaki itu sesampainya dia di atas tanggul yang tidak seberapa tinggi, sedangkan kedua temannya menyusul di belakangnya. Lelaki tua yang dipanggil Empu Wisanata itu terkejut. Dengan cepat dia bangkit berdiri sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Oh, kiranya para pengawal padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Terima kasih masih mengenal kami. Kami memang sengaja beristirahat sejenak disini sebelum memasuki padukuhan induk.” Ketiga pengawal itu segera maju beberapa langkah dan mengulurkan tangan untuk menyambut salam dari Empu Wisanata, sedangkan perempuan yang ternyata adalah Nyi Dwani hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Selamat datang kembali di Tanah Perdikan ini,” berkata Dama setelah masing-masing mencari tempat duduk di bawah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1054

Koleksi Goldy Senior naungan rindangnya pohon nyamplung, “Kemanakah kalian berdua selama ini? Rumah kalian tampak sepi setiap kami meronda mengelilingi padukuhan induk.” Sejenak Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani hanya menundukkan kepalanya saja tanpa berani memandang ke arah ayahnya. “Kami memang telah memutuskan untuk menengok keluarga yang tinggal di ujung kali Keduwang,” akhirnya Empu Wisanata yang menjawab pertanyaan Dama, “Sengaja kami pergi dengan diam-diam karena tidak ingin merepotkan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Kami berharap hanya dalam waktu sepekan kami sudah dapat kembali ke Menoreh. Ternyata rencana kami tidak berjalan dengan lancar, kami harus tertahan hampir sebulan lamanya di padepokan yang terletak di ujung kali Keduwang itu karena suatu urusan.” Dama dan kedua kawannya hanya mengangguk anggukkan kepala mereka. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin mereka sampaikan sehubungan dengan kepergian ayah dan anak itu, namun pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati saja justru mereka tahu bahwa persoalan itu pasti menyangkut persoalan keluarga. “Apakah Empu Wisanata mengalami kesulitan ketika akan memasuki Tanah Perdikan ini?” bertanya Dama kemudian setelah sejenak mereka terdiam. “Ya,” dengan serta merta Empu Wisanata menjawab, “Kami melihat persiapan pasukan segelar sepapan di padukuhan- padukuhan yang terdekat dari tepian kali Praga. Bahkan kami harus berjalan memutar dan tidak berani langsung menuju ke gerbang utama padukuhan induk.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1055

Koleksi Goldy Senior Dama dan kedua kawannya saling berpandangan sebelum akhirnya pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi itu menyahut, “Menurut keterangan Ki Jayaraga, ada seorang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra dan telah mengumpulkan berbagai perguruan yang sehaluan dengan dirinya dari seluruh penjuru negeri ini untuk menggempur Mataram di saat ibu kota Mataram kosong ditinggal para prajuritnya melawat ke Panaraga.” Empu Wisanata mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Menurut perhitunganku, ibu kota Mataram tidak mungkin kosong. Ki Patih Mandaraka adalah seorang yang mumpuni dalam mengatur siasat. Tidak mungkin ibu kota dibiarkan kosong sedangkan Panembahan Hanyakrawati berada di istana. Justru aku yakin itu adalah bagian dari siasat Ki Patih untuk menjebak orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu.” Para pengawal itu sejenak termangu mangu. Mereka memang tidak sampai berpikir sejauh itu. Yang mereka dengar ibu kota Mataram sekarang ini memang sedang kosong sehingga seandainya ada musuh yang menyerang, mereka dengan leluasa akan dapat menguasainya. Namun ternyata pendapat Empu Wisanata itu telah membuka pikiran mereka, memang tidak mungkin membiarkan ibu kota Mataram dalam keadaan benar- benar kosong. “Ah, sudahlah,” akhirnya Empu Wisanata bangkit dari tempat duduknya, “Kami sudah cukup beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal lagi.” Selesai berkata demikian Empu Wisanata berpaling ke arah Nyi Dwani dan agaknya anak perempuannya itu tanggap dan segera mengikuti ayahnya berdiri. Dama dan kawan kawannya pun kemudian ikut bangkit dari tempat duduk mereka. Sambil mengibas-ngibaskan kain Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1056

Koleksi Goldy Senior panjangnya yang terkena debu, Dama pun berkata, “Sebaiknya Empu Wisanata dan Nyi Dwani mampir dulu di rumah Ki Gede. Tentu Ki Jayaraga akan sangat gembira menyambut kedatangan kalian berdua.” “Terima kasih,” sahut Empu Wisanata, “Kami memang berencana demikian. Semoga tenaga kami yang tidak seberapa ini dapat membantu menjaga keamanan di lingkungan sekitar tempat tinggal kami.” Demikianlah akhirnya mereka pun kemudian berpisah. Ketiga pengawal itu segera meneruskan perjalanan mereka meronda ke daerah Tanah Perdikan sebelah utara. Sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani dengan langkah satu-satu kembali menyusuri bulak panjang di bawah siraman sinar Matahari sore yang mulai meredup menuju ke padukuhan induk. Dalam pada itu di Kepatihan, Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi telah diterima menghadap oleh Ki Patih Mandaraka di ruangan khusus, sedangkan kedua Putut yang mengawani perjalanan mereka berdua telah di tempatkan di bangunan penjagaan samping untuk sekedar melepaskan lelah. Setelah menanyakan keselamatan mereka berdua selama dalam perjalanan menuju Mataram, dengan menarik nafas dalam- dalam, Ki Patih pun berkata, “Agaknya orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu telah mendapat laporan melalui petugas sandinya tentang perjalanan kalian. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi kalian semua.” “Demikianlah Ki Patih,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun masih ada hal yang membuat hamba penasaran. Siapakah kedua orang bercaping yang menolong kami di tepian kali Opak itu?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1057

Koleksi Goldy Senior Ki Patih tertawa perlahan mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bagaimana mungkin aku tahu, sedangkan kalian yang mengalami peristiwa itu sendiri tidak tahu siapa mereka.” “Ampun Ki Patih,” cepat-cepat Ki Rangga menyela, “Bukan maksud hamba untuk menanyakan hal ini kepada Ki Patih. Namun menilik kemampuan kedua orang bercaping yang membantu kami di tepian Kali Opak itu, mereka berdua pasti bukan dari lingkungan orang kebanyakan.” Ki Patih mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Rangga. Namun kemudian sambil tersenyum Ki Patih berkata, “Sudahlah. Dari manapun mereka berasal itu tidak penting. Yang jelas mereka telah berhasil melaksanakan tugasnya.” Ki Rangga tertegun mendengar kalimat terakhir dari Ki Patih. Sambil mengangkat kepalanya, sejenak dipandanginya Ki Patih yang ternyata juga sedang memandanginya sehingga dengan tergesa-gesa Ki Rangga pun kemudian segera menundukkan kepalanya dalam-dalam. Agaknya pandangan mata Ki Rangga yang penuh dengan tanda tanya itu terbaca oleh Ki Patih. Sehingga akhirnya Ki Patih pun tidak dapat mengelak lagi, “Memang akulah yang telah menyuruh mereka berdua untuk turun gunung dan membantu Ki Rangga. Selama ini mereka berdua itu lebih senang menyepi di gunung-gunung dan hutan-hutan sunyi. Aku telah memberi pengertian kepada mereka bahwa sebaik-baiknya menjalani sebuah laku tapa itu adalah tapa ngrame. Hati kita, jiwa kita tetap dalam kedudukannya sebagaimana seorang pertapa yang tidak tergoyahkan oleh nafsu duniawi, namun raga kita, badan kita ini akan selalu berbuat untuk kebaikan umat dan menolong sesama sebagaimana seorang satria yang selalu tampil di depan dalam Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1058

Koleksi Goldy Senior membela kebenaran kejujuran dan keadilan. Itulah yang disebut seorang Satriya Pinandita.” Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi hanya saling pandang ketika Ki Patih telah menyebutkan bahwa kedua orang bercaping itu ternyata adalah utusan Ki Patih Mandaraka. Tapi siapakah sebenarnya kedua orang itu? Mereka berdua masih menunggu keterangan lebih lanjut dari Ki Patih. Sementara itu Matahari masih menyisakan sinarnya walaupun sangat lemah. Sejenak kemudian ketika Matahari telah benar-benar terbenam, terdengar suara panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Agung dari arah Masjid Kepatihan. “Marilah,” berkata Ki Patih kemudian sambil bangkit berdiri, “Kita hentikan sejenak pembicaraan ini. Setelah makan malam, kita akan benar-benar membicarakan persoalan yang menyangkut keamanan ibu kota Mataram ini dengan sungguh-sungguh.” “Hamba Ki Patih,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi menjawab. Ketika Ki Patih kemudian beranjak menuju ke ruang dalam, Ki Rangga dan Pandan Wangi pun kemudian mengundurkan diri. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke Masjid Kepatihan yang terletak di samping kanan dari bangunan induk istana Kepatihan. Sambil berjalan menuruni tlundak pendapa samping, Pandan Wangi berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita membersihkan diri dulu di pakiwan?” Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Katanya kemudian, “Wangi, di dekat Masjid Kepatihan engkau akan menjumpai Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1059

Koleksi Goldy Senior pakiwan khusus untuk perempuan. Engkau dapat menggunakannya sebelum memasuki Masjid.” Pandan Wangi mengangguk anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Baiklah Kakang kalau begitu. Aku ikut Kakang saja langsung ke Masjid.” “Marilah,” ajak Ki Rangga sambil mengayunkan langkahnya. Ketika kemudian mereka telah selesai menunaikan kewajibannya selaku hamba yang bersyukur kepada Penciptanya, Ki Patih Mandaraka pun kemudian mengajak Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi makan malam bersama di ruang khusus bagian dalam istana Kepatihan. “Menurut berita yang dibawa para prajurit sandi yang bertugas di Menoreh,” demikian Ki Patih memulai pembicaraan setelah selesai santap malam, “Orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu akan mengumpulkan seluruh perguruan yang sudah tergabung dalam pasukannya sore ini. Belum ada kepastian kapan mereka akan menyeberang Kali Praga dan menyerbu ibu kota Mataram.” “Ampun Ki Patih,” Ki Rangga menyela sambil menyembah, “Berapakah jumlah prajurit yang berada di ibu kota Mataram? Kita harus segera membuat perhitungan.” Ki Patih tersenyum sambil mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Ki Rangga, pasukan cadangan yang ditugaskan untuk menjaga keamanan kota lebih dari cukup,” Ki Patih berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Memang disengaja, yang bertugas meronda di ibu kota dan sekitarnya hanya beberapa prajurit berkuda saja. Demikian juga regol-regol telah di kurangi penjaganya dengan tujuan untuk memberikan kesan seolah olah ibu kota Mataram sedang kosong. Tapi sebenarnya pasukan cadangan telah disiagakan di barak-barak. Mereka dilarang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1060

Koleksi Goldy Senior melakukan kegiatan di luar barak tanpa seijin Perwira yang bertugas.” Ki Rangga dan Pandan Wangi saling pandang sejenak. Tampak kerut merut di kening keduanya semakin dalam. Namun setelah mereka menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari rencana Ki Patih untuk mengelabuhi Panembahan Cahya Warastra, keduanya pun kemudian mengangguk anggukkan kepala sambil menarik nafas dalam-dalam. Rasa rasanya dada mereka yang selama ini pepat telah menjadi sedikit longgar begitu mendengarkan keterangan dari Ki Patih. “Nah,” berkata Ki Patih kemudian, “Malam ini kita harus menyeberang ke Menoreh, dan ini menjadi tugasmu Ki Rangga.” Ki Rangga sejenak tertegun. Menyeberangi Kali Praga di malam hari serta harus melewati penjagaan para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang bersiaga di seberang Kali Praga bukanlah pekerjaan mudah. Maka kemudian katanya, “Ampun Ki Patih. Di seberang Kali Praga telah dijaga oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Bagaimana kita menyeberang tanpa ketahuan oleh mereka?” “Berenang,” jawab Ki Patih sambil tersenyum. “Berenang?” tanpa sesadarnya Ki Rangga mengulang kata- kata Ki Patih. Bahkan Pandan Wangi yang selama ini hanya mendengarkan sambil menundukkan kepalanya telah mengangkat wajahnya sambil memandang ke arah Ki Patih dengan terheran heran. “Ya, berenang,” jawab Ki Patih mantap, “Dengan berenang apalagi menyelam beberapa jengkal di bawah permukaan air Kali Praga, aku yakin akan sulit untuk diketahui oleh musuh. Kita akan mengambil di tempat yang jarang digunakan untuk penyeberangan sehingga pengawasan disitu agak longgar.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1061

Koleksi Goldy Senior “Bagaimana dengan buaya-buaya kerdil yang sering tampak di tempat-tempat yang agak dalam?” bertanya Pandan Wangi yang sedari tadi diam saja. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Menoreh, dia hafal betul dengan keadaan Kali Praga. Ki Patih tersenyum sambil memandang Pandan Wangi. Jawabnya kemudian, “Jangan kawatir. Ada semacam ramuan yang akan membuat binatang-binatang air itu menyingkir bila mencium aroma ramuan itu. Sebelum turun ke air, semua orang wajib melumuri tubuhnya dengan ramuan itu.” Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi mengangguk angguk. Terbayang dalam benak mereka, rintangan yang sangat berat yang harus mereka dilalui. Tidak hanya buaya- buaya kerdil itu yang dapat membahayakan keselamatan mereka, namun juga para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang telah menunggu mereka di tepian dengan senjata terhunus. “Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka selanjutnya, “Kita perlu Ki Tumenggung Tirtayudha untuk hadir disini. Ki Tumenggung Tirtayudha adalah perwira yang membawahi Prajurit Jalamangkara, prajurit yang mempunyai kemampuan sangat khusus, yaitu mampu bergerak di air dengan kemampuan yang luar biasa. Sedangkan di darat mereka adalah prajurit- prajurit tangguh tanggon yang mampu menyerang dengan cepat kemudian menyingkir dengan cepat pula.” Ki Rangga Agung sedayu dan Pandan Wangi sejenak termangu mangu mendengarkan keterangan Ki Patih. Ki Rangga memang pernah mendengar rencana untuk membentuk sepasukan prajurit Jalamangkara yang mempunyai kemampuan bertempur di bawah air. Mereka bergerak bagaikan ikan dan mampu bertahan di bawah air dengan menggunakan alat khusus. Namun sejauh ini Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1062

Koleksi Goldy Senior Ki Rangga belum pernah bertemu dengan para prajurit Jalamangkara, apalagi dengan Ki Tumenggung Tirtayudha. Ki Patih agaknya mengerti jalan pikiran kedua tamunya. Maka katanya kemudian, “Aku telah menyuruh seorang prajurit jaga untuk memanggil Tumenggung Tirtayudha agar hadir disini.” Belum selesai Ki Patih melanjutkan kata katanya, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Sejenak kemudian seorang yang berperawakan sedang dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya telah memasuki ruang khusus tempat Ki Rangga dan Pandan Wangi menghadap Ki Patih. Setelah menyembah terlebih dahulu, orang itupun kemudian duduk beberapa jengkal di sebelah Ki Rangga menghadap Ki Patih Mandaraka. “Nah, inilah Ki Tumenggung Tirtayudha itu,” berkata Ki Patih sambil tersenyum. Orang yang disebut Tumenggung Tirtayudha itu segera menganggukkan kepalanya kearah Ki Rangga dan Pandan Wangi. Segera saja Ki Rangga dan Pandan Wangi membalas anggukan Ki Tumenggung Tirtayudha itu. “Ki Tumenggung Tirtayudha,” berkata Ki Patih kemudian, “Apakah pasukanmu sudah siap? Malam ini kita akan menyeberang ke Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi menoleh ke arah Ki Tumenggung Tirtayudha, Tumenggung yang usianya tidak terpaut jauh dengan Ki Rangga Agung Sedayu sendiri. Sambil melakukan sembah, Ki Tumenggung Tirtayudha pun kemudian menjawab, “Ampun Ki Patih. Pasukan Jalamangkara sudah siap untuk sewaktu waktu digerakkan. Tinggal menunggu titah dari Ki Patih.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1063

Koleksi Goldy Senior Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian katanya sambil menoleh ke arah Ki Rangga Agung Sedayu, “Ki Rangga, malam ini kita akan menyeberang ke Menoreh. Tugas pasukan Jalamangkara adalah bergerak dengan senyap kemudian menghancurkan para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berjaga di tepian sebelah barat Kali Praga,” Ki Patih berhenti sejenak kemudian lanjutnya, “Ki Rangga dan Ki Tumenggung Tirtayudha masing-masing akan membawa sepasukan parajurit Jalamangkara untuk menyeberang di tempat yang tidak diperhitungkan oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Kalian harus berpacu dengan waktu. Hancurkan para pengawas musuh yang ada di tepian barat Kali Praga tanpa suara. Jangan sampai para pengawas itu sempat melontarkan isyarat ke padukuhan terdekat yang dijadikan landasan para pengikut Panembahan Cahya Warastra.” Ki Rangga dan Ki Tumenggung mengangguk anggukkan kepala mereka. Keduanya sudah mendapat gambaran bagaimana mereka harus membawa pasukannya menyeberang Kali Praga tanpa diketahui oleh lawan dan kemudian sekaligus menghancurkan mereka. Sementara Pandan Wangi yang hanya menjadi pendengar telah terusik. Tanpa sesadarnya dia telah mengangkat wajahnya dan memandang ke arah Ki Patih yang justru sedang memandanginya sambil tersenyum. Agaknya Ki Patih telah menduga apa yang tersirat dalam dada anak perempuan satu satunya Ki Gede Menoreh itu. “Pandan Wangi,” berkata Ki Patih akhirnya, “Engkau tidak aku tugaskan untuk ikut menyeberang dengan berenang bersama Ki Rangga,” Ki Patih berhenti sejenak sambil mencoba melihat kesan yang tersirat di wajah Pandan Wangi, tampak seleret rona merah menghias wajah perempuan setengah baya itu. Sambil menahan senyum, Ki Patih pun kemudian melanjutkan kata Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1064

Koleksi Goldy Senior katanya, “Aku telah menerima laporan dari prajurit sandi yang bertugas di tepian sebelah timur, mereka telah mengadakan hubungan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan serta beberapa kawan kawannya. Tugasmu adalah bergabung dengan mereka. Tunggulah isyarat dari Ki Rangga maupun Ki Tumenggung. Jika tepi barat Kali Praga telah dibersihkan dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra, tugas kalian adalah melumpuhkan para tukang satang yang ada di sebelah timur tepian Kali Praga, kemudian dengan menggunakan rakit-rakit yang ada, kalian dapat menyusul Ki Rangga menyeberang ke Menoreh.” Tanpa disadarinya Ki Rangga telah menarik nafas dalam- dalam mendengar keterangan Ki Patih Mandaraka, walaupun sebelumnya Ki Rangga telah menduga bahwa tidak mungkin Pandan Wangi akan diikut sertakan dalam gerakan pasukan Jalamangkara, namun tak urung hatinya merasa lega begitu Ki Patih telah menjatuhkan titah. “Baiklah,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Gerakan penyusupan kalian ke tepi barat Kali Praga ada kemungkinannya akan diketahui oleh pihak lawan. Tidak menutup kemungkinan para pengawas lawan akan berhasil mengirimkan isyarat ke padukuhan terdekat sehingga pasukan lawan akan berdatangan bagaikan lebah yang diganggu sarangnya dan pertempuran di tepi barat Kali Praga pun tidak mungkin dielakkan lagi.” “Ampun Ki Patih,” Ki Tumenggung Tirtayudha menyela, “Bukankah tujuan kita menyeberang ke tepi barat itu untuk mengalihkan tempat pertempuran keluar dari ibu kota Mataram?” “Engkau benar, Ki Tumenggung. Namun sebenarnyalah aku menginginkan sebuah kejutan bagi orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu. Setelah melumpuhkan para pengikutnya yang berjaga di tepi barat Kali Praga, begitu Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1065

Koleksi Goldy Senior Matahari terbit, kita akan menyerbu padukuhan yang dijadikan landasan para pengikut Cahya Warastra itu.” Ki Tumenggung Tirtayudha mengangguk anggukkan kepalanya. Sementara Ki Rangga segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih. Kita memerlukan berpuluh puluh rakit untuk menyeberangkan pasukan cadangan yang sekarang masih berada di barak-barak.” “Ya,” jawab Ki Patih cepat, “Sementara kalian berdua menyeberang ke tepian sebelah barat, aku sendiri yang akan memimpin pasukan cadangan dan sebagian pasukan dari Kadipaten dan Kademangan-Kademangan yang tidak jadi diberangkatkan ke Panaraga karena keadaan kesehatan mereka yang kurang memenuhi syarat waktu itu untuk ikut bertempur ataupun karena suatu hal yang lain, namun sekarang mereka telah siap untuk terjun ke medan perang sedahsyat apapun.” Ki Rangga dan Ki Tumenggung hampir bersamaan telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepala. Ki Patih ternyata telah memperhitungkan semua itu dengan cermat. Pasukan cadangan yang ada di ibu kota Mataram sengaja disimpan di barak-barak dan tidak diperkenankan untuk keluar menampakkan diri kecuali ada ijin khusus dari Perwiranya. Demikian juga pasukan-pasukan yang tidak jadi dikirim ke Panaraga karena keadaan kesehatan mereka atau suatu hal yang lain, kini telah siap untuk diturunkan ke medan pertempuran. “Kesan yang tampak di ibu kota Mataram memang sangat lemah,” gumam Ki Rangga dalam hati, “Penjagaan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat lemah. Hanya beberapa penjaga yang terlihat di gerbang Timur dan gerbang Barat. Sedangkan prajurit yang meronda pun hanya tiga atau empat Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1066

Koleksi Goldy Senior orang dengan berkuda. Berbeda dengan biasanya yang terdiri dari lima belas sampai dua puluh prajurit berkuda.” “Ampun Ki Patih,” berkata Ki Tumenggung Tirtayudha membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Kapankah pasukan Jalamangkara diperkenankan bergeser ke tepian Kali Praga untuk memulai pergerakan menyusup ke daerah lawan?” Sejenak Ki Patih menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Ki Tumenggung Tirtayudha. Jawabnya kemudian, “Wayah sirep uwong pasukan Jalamangkara sudah harus di tepian sebelah timur Kali Praga. Kalian berdua harus memilih tempat yang terpisah jauh dan akan dipandu oleh para prajurit sandi yang telah mengenal daerah sepanjang tepian Kali Praga,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengambil nafas, kemudian lanjutnya, “Sementara pasukan cadangan ditambah dengan pasukan yang tidak jadi berangkat ke Panaraga, mungkin jumlahnya mendekati dua Bregada, secara berangsur angsur akan bergerak secara berkelompok agar tidak banyak menarik perhatian, sudah harus tiba di tepian sebelum tengah malam.” “Bagaimana dengan rakit-rakit itu, Ki Patih?” bertanya Ki Rangga dengan nada sedikit ragu-ragu. Menyeberangkan pasukan sejumlah hampir dua bregada memerlukan sekitar delapan puluh buah rakit. Ki Patih tersenyum mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Kita bersyukur bahwa Panembahan Cahya Warastra telah berbaik hati membuatkan kita rakit-rakit yang tersimpan di tepian sebelah barat Kali Praga. Rencananya rakit-rakit itu akan digunakan oleh para pengikut Cahya Warastra itu untuk menyeberang ke Mataram pada saat penyerbuan tiba. Adalah tugas Ki Rangga dan Ki Tumenggung untuk melumpuhkan para penjaganya dan sekaligus menguasai rakit-rakit itu untuk selanjutnya didorong ke Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 1067

Koleksi Goldy Senior tepian sebelah timur sebagai sarana mengangkut pasukan kita,” sampai di sini Ki Patih berhenti sejenak sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Kemudian lanjutnya, “Dan itu adalah tugasmu Pandan Wangi. Engkau akan dibantu oleh Glagah Putih bersama kawan kawannya.” Mereka yang hadir di ruangan itu hampir bersamaan telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya para prajurit sandi Mataram telah mendapatkan keterangan yang lengkap tentang keadaan di tepian sebelah barat Kali Praga. “Apakah masih ada sesuatu yang membuat kalian ragu-ragu atau kurang jelas?” bertanya Ki Patih setelah sejenak mereka yang berada di ruangan itu terdiam. Ki Rangga yang duduk bersila tepat di depan Ki Patih segera beringsut setapak maju. Sambil menyembah katanya kemudian, “Ampun Ki Patih. Setelah pertemuan ini selesai, ijinkanlah hamba bersama dengan Ki Tumenggung untuk menemui pasukan Jalamangkara di barak mereka. Kami berdua masih memerlukan waktu untuk menjelaskan rencana kita kepada para pemimpin prajurit agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melaksanakan rencana sesuai petunjuk Ki Patih.” Ki Patih tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Memang demikianlah seharusnya Ki Rangga. Namun ingat, gerakan kita ini adalah bersifat sangat rahasia. Hanya para pemimpin prajurit sajalah yang wajib mengetahui arah gerakan kita. Untuk selanjutnya, para prajurit akan diberi penjelasan yang lebih mendalam setelah kalian berada di tepian sebelah timur Kali Praga.” ––––––––––


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook