Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Antara Kita dan Kisah

Antara Kita dan Kisah

Published by Jariah Publishing, 2023-02-05 04:30:33

Description: Ebook - Antara Kita dan Kisah

Search

Read the Text Version

tidak abadi dan bertanya-tanya apakah setelah mereka pergi untuk selamanya dia mampu untuk menahan rindu yang menohok hati selama hidupnya? Hati yang ditohok oleh rindu lantaran sangat sadar bahwa jika hal itu terjadi dia tak dapat lagi menatap wajah mereka melainkan hanya liang lahat. Dia berharap semoga dirinya dimudahkan menjadi anak yang berbakti sebakti-baktinya oleh Tuhan seluruh alam, bahkan setelah mereka tiada di dunia ini. Tidak ada yang menarik dari tulisan di atas, namun penulis berharap agar dirinya dan orang yang membaca ini tidak menyia-nyiakan waktu untuk berbakti kepada kedua orang tua kita. Setiap detik mengantarkan kita pada kedewasaan dan membuat tanggung jawab kita juga semakin besar. Hal itu bisa jadi membuat kita mau tidak mau harus siap berpisah dari orang tua guna mengemban tanggung jawab, namun hal itu bukan alasan untuk tidak berbakti kepada mereka. Jangan sampai kita baru menyadari kerinduan terhadap mereka saat mereka telah tiada. 42

Awal Masuk Pondok Oleh : Muhammad Yahya Namaku Muhammad Yahya, biasa dipanggil Yahya, Lahir di Kota Takalar, tepat pada tanggal 6 Desember 2002, Anak kedua dari enam bersaudara, lima laki–laki dan satu perempuan. Saya dari anak ayah dan ibu yang sangat luar biasa dan istimewa dalam hidupku, ayahku bernama Jumaing Dg Nampa dan Ibu bernama Hasna Dg Ngiji. Mereka sangat handal mendidik dan membimbingku sampai saat ini. Setelah lulus di MTts Waikabubak Sumba Barat NTT, saya melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Furqon Al-Islami Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur. Saat itu adalah langkah awal saya untuk memulai kehidupan yang baru dan suasana yang baru, jauh dari rumah, keluarga, dan hidup dengan mandiri. Di pondok itulah saya mendapatkan begitu banyak ilmu dan pembelajaran tentang kehidupan bahwa kehidupan manusia itu semata hanya untuk mengabdi kepada sang pencipta Allah SWT dan mengenali ilmu. Dijelaskan oleh guru kami bahwa menuntut ilmu bukan mengejar ilmu sebanyak-banyaknya. Tetapi bagaimana 43

menjadikan ilmu yang kita miliki itu menjadi berkah dan ilmu yang berkah itu adalah ketika kita mampu mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang kita miliki. Sebagaimana dijelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkan. Pada saat awal di pesantren saya bertemu berbagi macam santri dari berbagi penjuru Indonesia dengan berbagai sifat, karakter, watak, dan ras yang berbeda–beda, namun dipersatukan oleh persaudaraan menuntut ilmu tentang Islam. Ketika saya berkenalan dengan mereka, hampir semuanya pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar agama Islam, sedangkan saya sangat sedikit mengetahui tentang Islam. Rata-rata dari mereka sudah menduduki bangku pesantren ketika masih SMP dan mereka mempunyai hafalan yang sangat banyak. Ketika awal-awal masuk pesantren, saya sering diejek karena tidak bisa menulis bahasa Arab, sampai teman saya berkata, ―Itu melukis atau menulis?‖ karena sangat lama dan sulit bagi saya untuk belajar, saya sering bolos dan 44

meninggalkan kelas. Pada saat bolos saya sering meminjam handphone karena di pesantren tidak boleh memegang handphone, jadi saya diam-diam menggunakannya dan menghubungi orang tua dan meminta agar dipulangkan saja. Akan tetapi orang tua saya selalu memberi motivasi dan menyemangati untuk selalu bersabar dan berproses dalam menuntut ilmu. Berkat doa dari orang tua dan senior-senior yang berada di pesantren serta teman-teman yang selalu membantu dalam proses belajar saya, di situlah saya mulai mengalami beberapa kemajuan dan memahami beberapa pelajaran-pelajaran yang ada di pondok pesantren Al-Furqon Al-Islami. Di sini saya belajar bukan tentang siapa yang memulai, tapi tentang siapa yang bertahan sampai akhir dan istiqamah dalam menjalani proses. Pada tahun 2021 saya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik ketiga di pondok pesantren. Ada kebanggaan tersendiri yang saya dapatkan, tetapi saya belum puas dengan itu semua. Di sini saya terdorong untuk lebih semangat dan optimis dalam mencapai suatu impian saya. 45

Hidup ini mengajarkan saya jangan menyerah, terus berusaha dan yakin pada diri sendiri bahwa kita bisa mencapai suatu tujuan apabila kita serius dan fokus. Tidak boleh ada kata menyerah dalam hidup, karena itu hanya untuk orang GAGAL dan PENGECUT. Tidak usah pikirkan apa yang akan dikatakan orang-orang tentang kita, karena itu hanya akan membuat kita menjadi takut dalam melangkah . Jangan pernah takut gagal dalam mencoba hal-hal baru karena dari situlah kita mendapat banyak pembelajaran serta dapat memperbaiki mindset dalam berpikir dewasa dan menyelesaikan suatu masalah yang kita hadapi. Temukan jalan terbaik kita dengan mengikuti apa kata hati sendiri bukan kata orang lain. Itulah sedikit proses yang singkat pada saat awal masuk pesantren. Demikianlah kisah saya. Semoga berkah …Aaminn Ya Robbal Alamin. 46

Menjadi Lebih Baik Oleh: Wulandari K\" amu adalah bagaimana pola berpikirmu\" \"Jangan katakan tidak mungkin tapi katakan bagaimana caranya.\" \"Tidak masalah seberapa lambat kamu berjalan selama kamu tidak berhenti, karena kamu dilahirkan untuk menjadi apa adanya dirimu, bukan untuk menjadi seseorang yang sempurna di mata orang lain, because tidak akan ada makhluk sempurna selain Tuhan. \"Dalam kegelapan malam ini aku bersyukur karena itulah yang terbaik daripada mengeluhkan segala apa yang belum kita dapatkan. Begitu rumitnya kehidupan ini, begitu banyak ujian dan cobaan hingga sering kali aku berpikir untuk mengakhiri semuanya, itulah isi pikiranku saat ini. Namaku Sasyah, seorang anak yang terlahir dari keluarga yang begitu sederhana. Entah kenapa aku begini, jasmani dan rohaniku hampir saja kokoh, batin dan jiwaku 47

begitu tersiksa. Hatiku sudah begitu hancur, tapi begitu cerdasnya aku dalam soal menyembunyikan. Andaikan dalam sebuah sinetron akulah pemeran utama, seorang aktor hebat, dalam sebuah cerpen aku dijuluki sebagai si ceria dan dalam sebuah kerajaan aku akan bergelar sebagai seorang Raja/Ratu (Ratu drama). Begitu pandainya aku dalam berakting. \"Di dalamnya hancur di luarnya bahagia.\" Itulah kata yang cocok untukku saat ini (ucapku sembari melamun) Apakah mungkin??? Bukan masalah yang begitu banyak, bukan cobaan yang bertubi-tubi, bukan orang di sekelilingku yang berbeda, bukan keadaan yang salah tapi apakah diriku yang begitu manja dalam menanggapi semua ini? Apakah diriku yang terlalu lemah jadi seorang wanita? (pikirku sambil memandangi jalan dengan tatapan yang kosong) Kuingat sebuah lantunan lagu H. ROMA IRAMA \"berakit -rakit ke hulu berenang ke tepian, bersusah-susah dahulu baru kemudian bersenang-senang\" Berdamai dengan keadaan itu lebih baik (pikirku). 48

Berusaha menerima walaupun itu sulit, karena aku yakin Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar kemampuan seorang hamba-Nya. Keyakinan seseorang adalah kunci dari setiap permasalahan. Malam telah tiba, aku duduk termenung di bangku yang berada tepat di depan rumahku. Kupandangi langit mulai menunjukkan kegelapannya, mentari telah menyembunyikan sinarnya cahaya bulan dan bintang bersahut-sahutan di langit. Masing-masing memancarkan cahayanya yang begitu indah. Angin malam menghembuskan udara yang membuatku terhanyut dalam keindahan hidup, senyuman tipis di wajahku, yang membuatku tersadar akan keagungan Tuhan dan begitu indah ciptaan-Nya. Tak lama setelah itu teringat suatu waktu di mana aku hampir menyerah karena rasa sakit dan kecewa. Saat itu adalah salah satu puncak kekecewaan terhadap diriku sendiri. Saat semua orang bersorak bahagia dan menceritakan kebahagiaannya kepada keluarganya. Saat dia (teman baikku) selalu dipuji dan disanjung-sanjung oleh semua orang, seketika hanya dia yang seolah-olah punya segalanya di dunia ini, ketika semua orang membangga- banggakannya dan melupakanku. 49

Ketika segala kesalahan ditujukan kepadaku bahkan, Ketika aku sakit tidak ada yang peduli akan kesehatanku. Sempat aku berpikir apakah Tuhan itu tidak adil? Mengapa? Begitu banyak harapan yang tidak sesuai dengan ekspektasiku, begitu banyak kegagalan dan kekecewaan. Begitu banyak orang yang sudah kukecewakan, karena kekecewaan yang paling berat menurutku adalah kecewa pada diri sendiri. Bukan Tuhan yang salah............ Bukan takdir yang salah............. Bukan keadaan yang salah........ Tapi ini adalah skenario yang indah dari Allah SWT. Tuhan...tidak akan pernah menjerumuskan hamba-Nya untuk berada di jalan yang salah, Itulah sebabnya Tuhan menitipkan rasa kecewa itu agar dapat menjadi pelajaran dan motivasi untuk melanjutkan perjalanan di atas jalan yang benar atau menjadi yang lebih baik lagi. Aku merasa ingin mengakhiri semuanya, aku ingin lari dari kenyataan. Namun, aku sadar hidup hanyalah sementara. 50

Kemudian aku terdiam dengan tatapan yang kosong, hati dan pikiranku benar-benar lelah mengingat semua masalah yang ada. Kucoba untuk berpikir dan mengobati rasa sakit yang kurasakan. Tapi rasanya sulit ,tak seorang pun yang tahu akan perasaanku saat itu. Saat ini aku hanya bisa meneteskan air mata dan tak bisa berkata apa² lagi. Namun, tiada hentinya aku selalu mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa Allah mencintaiku. Kulangkahkan kakiku untuk menuju musallah untuk mengambil air wudu. Kini hatiku mulai adem setelah kubasuh wajahku dengan air wudu. Selepas itu kuulurkan tanganku untuk mengambil sajadah dan kubentangkan menghadap ke kiblat. Kutarik nafasku dalam² lalu kuhembuskan dan kumulailah salatku. Air mataku tidak menetes lagi, tapi kini sudah mengalir deras tak dapat terbendung lagi. Kuangkat kedua tanganku untuk memohon ampun kepadanya, dan mengutarakan segala isi hatiku. Air mata ini bukannya berhenti malah tambah deras. Desis-desis suaraku kini mulai terdengar, kemudian kuucapkan kalimat hamdalah sebagai bentuk atas syukurku, 51

karena masih diberikan nikmat untuk melaksanakan kewajibanku. Aku berharap Tuhan akan menciptakan seseorang untuk mengerti akan perasaanku, seseorang yang selalu ada buatku, baik dalam keadaan apa pun. Namun, di dunia yang fana ini aku tidak berharap lebih.....karena kesalahan terbesar yang pernah kuperbuat dalam hidupku yaitu berharap lebih kepada manusia, padahal aku tahu bahwa harapanku akan membuatku sakit, karena semua yang terjadi itu hanya Allahlah yang tahu. Yang terlintas dalam benakku saat ini hanyalah diriku yang begitu bodoh mengharap perhatian lebih dari orang yang jelas-jelas merupakan hamba Allah, yang jauh dari kata sempurna. Jangan pernah bersedih atas cobaan yang diberikan Allah. Sungguh semua yang terjadi pasti ada hikmah di baliknya. Tanpa kita sadari ada sejuta makna dalam setiap ujian. Setiap cobaan yang diberikan Allah adalah pertanda kasih sayang-Nya. Allah ingin kita menjadi insan yang mulia. Jadi semua yang terjadi patutlah kita syukuri, karena itu semua memang sudah menjadi jalan yang engkau arahkan kepadaku ya Allah. Menyesal dalam hidup adalah suatu hal yang wajar, 52

tapi jangan biarkan penyesalan itu merusak mentalmu untuk membukakan lembaran yang baru. Yahhhh......sekian banyak cobaan hidup yang dilalui jangan sampai membuatmu lengah dan menyerah dalam perjalananmu menuju impian dan cita-cita yang perlu kamu gapai. Berdoa dan selalu berusaha adalah kunci segala kesuksesan, betapa manisnya ketika di kemudian hari engkau menceritakan semua pahit manisnya kehidupanmu kepada para generasii yang akan memulai perjuangannya. Aku yakin di balik semua cobaan yang kita lalui, yakinlah Tuhan sudah menetapkan sesuatu yang sangat manis untuk kita. Air mata dan keringatlah yang akan menyaksikan perjuangan dan keluh kesahmu dalam setiap perjalananmu. Betapa sayangnya Tuhan kepadamu telah memilihmu menjadi hamba-Nya yang kuat. Jangan biarkan kesalahan-kesalahan masa lalu terulang di masa kini, hidup hanya sekali, tapi buatlah hidupmu menyisakan berjuta-juta kenangan manis yang tak dapat dilupakan olehmu dan orang-orang, karena awal bermulanya seseorang yang berubah adalah kegagalan (kecewa). Dari kegagalan itulah muncul semangat-semangat baru dalam 53

menghadapi segala rintangan di masa yang akan datang. Terkadang kita merasa sedih, kecewa, terluka akan suatu hal yang menurut kita itu buruk, sedangkan Allah memberikan sesuatu itu dengan maksud yang baik. Berpikir positif akan takdir agar semua berjalan dengan prasangka baik pula. Selalu berpikir positif \"Allah tidak memberi apa yang kita harapkan Akan tetapi Allah memberi apa yang kita butuhkan \" 54

Kehidupanku Oleh: Atdzar Muhammad Saya Atdzar Muhammad kerap disapa Atdzar. Nama ini cukup rumit didengar bagi beberapa orang. Apalagi pas perkenalan, terkadang saya harus mengulang berkali-kali menyebut nama saya agar tepat penyebutannya. Ketika saya memperkenalkan diri, \"Hai, perkenalkan nama saya Atdzar...! sedangkan orang yang dengar malah; Azhar, Abzar, Abidzar, Azar, Atsar. Contohnya ketika saya ke optik kacamata tempat saya pertama kali membuat kacamata ukuran minus, dokter bertanya untuk menulis nama saya di daftar pengunjung \"Namanya siapa ..? Saya menjawab Atdzar Muhammad, yang ditulis malah: Abidzar Muhammad dan pada kunjungan yang kedua saya, dia menulis nama saya di daftar pengunjungnya: Adzan Muhammad. Saya pernah memesan papan nama bordir untuk pakaian, hasilnya tertulis: Atadzar Muhammad. Kedua kalinya saya memesan lagi dan hasilnya lebih parah: Atozar Muhammad. 55

Dalam hati saya berkata andai saya memesan untuk yang ketiga kalinya mungkin yang tertulis kali ini adalah; Ato Dalang. Nama saya punya banyak cerita yang lebih unik. Siapa pun yang mendengar pertama kali, nama saya pasti akan salah dengar atau salah menyebutkan sesuai dengan yang saya sebut. Berbeda dengan nama-nama yang sudah masyhur seperti \"Andi, Reihan, Farhan, Angga. Satu kali dengar orang sudah bisa menangkapnya dengan baik. Saya lahir 06 Maret 2003 di Bone Kec. Lappariaja. Tiga bersaudara semuanya laki-laki. Hanya 1 kali merasakan memakai seragam sekolah yaitu saat saya masih di bangku SD Inpres 12/79 Pattuku Limpoe. Kemudian saat masih kelas 04 SD, saya pindah ke sekolah SD Inpres 6/75 Wae Keccee sampai tamat. Kemudian melanjutkan pendidikan di madrasah kecil sederhana namun penuh kenangan, Ma'had Al Ihsan Appanang Kab. Soppeng. Di sana hampir semua analisis dan komposisi dari ibadah-ibadah, topik-topik yang dijadikan 56

pembahasan muzakarah, gagasan pikiran, dan dunia tafakkur serta mimpi dan khayalan kami, akan hubungan antarmanusia di muka bumi bisa dirasakan. Ya, saya di tempat istimewa itu mengingat bagaimana aku sering terkejut dengan senyap, ketenangan dan kesejahteraan kalbu yang penuh rahasia Ilahi. Di sanalah aku terlahir kedua kalinya, dibesarkan oleh Syaikh Muhammad Ikhwan membimbing, mengajari, menanamkan benih-benih pengenalan jati diri, mengajarkan makna penghambaan, hidup sebagai hamba tujuan hanya satu yaitu menempuh jalan yang diridai-Nya. Setelah 6 Tahun lamanya di Ma'had Al Ihsan, saya sempat mengajar selama 3 bulan, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di UIN ALAUDDIN MAKASSAR. Untuk apa ? Untuk gelar? Bukan hanya sekadar mendapatkan S S S S di belakang nama. Ayahku pernah berkata kepada saya. \"Selagi engkau mencari ilmu, untuk memperjuangkan agama Allah, untuk menebar manfaat di kalangan manusia, apakah kau kira Allah akan melantarkanmu?‖ Kata-kata ini saya simpan di sisi terdalam hati saya sebagai penguat tekad dan harapan, pegangan menghadapi hidup ini. 57

Agar saya bisa bangkit tiap kali runtuh. Lestari tiap kali binasa. Mengobati tiap kali terluka. Terbit tiap kali terbenam... 58

Harapan Oleh: Sriwiyanti Kurnianingsih Satu kata yang disebut dengan kata ―Harapan.‖ Walau cuma satu kata, tetapi sangat bermakna bagi seseorang. Sebuah kata yang jika dipikirkan terus menerus akan berakhir membuat kepikiran. Apalagi, harapan yang dimaksudkan ini berasal dari kedua orang tua sendiri. Inilah cerita tentang seorang anak perempuan bernama Inchi yang memiliki dua kakak. **** Sedari kecil, Inchi memiliki berbagai keinginan. Bisa disebut dengan cita-cita. Tetapi semua keinginan itu, cita- citanya dalam sekejap sirna hanya karena tidak adanya restu dari orang tuanya sendiri. Ia tidak bisa membantah dan hanya bisa berdiam diri menutup keinginannya itu. Kemudian menjadikan cita-citanya itu menjadi sebuah hobi saja. Seiring berjalannya waktu, hari demi hari, ia terus menjalankan kehidupannya. Walaupun kehidupannya ini, ia 59

merasa bahwa selalu berjalan sesuai keinginan orang tuanya sendiri. Saat memilih jurusan IPA atau IPS di SMA dia berusaha untuk bisa mengambil IPA, itu pun adalah keinginan orang tuanya. Walau banyak pelajaran di luar nalar yang harus dimengerti meskipun itu sulit. Harus tetap dijalankan karena sudah mengambil resiko itu dari awal. Selama ini pun dia merasa selalu berada di balik bayang-bayang. Hal yang harus dia lakukan dengan telah ditentukannya kehidupan yang akan dijalaninya. Begitupun saat menginjak bangku SMA di tahun ketiganya. Saat-saat memilih untuk melanjutkan bagaimana dengan ke depannya. Karena Inchi merupakan anak terakhir yang memiliki dua kakak. Akhirnya semua impian, keinginan orang tua Inchi pun berakhir di dirinya. Ia pun berpikir ―Bagaimana aku bisa menanggung keinginan orang tuaku sendiri, sementara aku sendiri tahu bahwa aku tidak mampu melakukannya‖. Di saat itu pun, karena dia merasa sudah tidak kuat dengan selalu menjalankan kehidupan yang seperti ditentukan setiap halnya. Ia memilih untuk membangkang dan memilih 60

melanjutkan pendidikannya sesuai keinginannya sendiri. Mulai dari banyak seleksi perguruan tinggi dia lakukan dengan nekat. Namun ternyata tidaklah semudah yang dipikirkan. Sebelumnya, inchi sudah merencanakan hal-hal yang akan dia lakukan ke depannya jika seleksi perguruan tinggi yang diinginkannya berhasil dan merasa pasti bisa. Tetapi saat dia tahu, banyak sekalipun berusaha, sekeras dan sekuat apa pun berusaha, itu ternyata tidak ada artinya juga hanya berakhir melelahkan. Karena melakukannya tanpa restu dan doa-doa dari orang tuanya. Saat dia pun gagal berkali-kali, dia merasa seperti layaknya orang yang tidak berguna. Dia pun takut akan bagaimana ke depannya. Dengan melihat teman-temannya yang berhasil mewujudkan keinginan mereka, ia merasa tersiksa dan sedih akan hal itu. Dia pun sedih dan membayangkan bagaimana tanggapan keluarganya karena banyak kali gagal. Penyebab Ia membayangkan tanggapan keluarganya adalah karena banyak sepupu-sepupunya yang berhasil di perguruan tinggi yang terkenal. Padahal di sisinya ada banyak teman-teman dan saudaranya yang mendukung keinginan dan 61

selalu men-support serta menyemangatinya setiap hal di saat terpuruknya. Setelah bertemu dengan keluarganya, ternyata hal yang dia bayangkan tidaklah semenakutkan itu. Ia memberitahu kegagalannya kepada orang tuanya dan dia pun diberitahu masih banyak jalan lain yang masih bisa dia tempuh. **** **** Inchi melanjutkan keinginannya untuk mendaftar di perguruan tinggi, tetapi dengan kehendak orang tua dan keinginan jurusan orang tuanya. Lalu ia berusaha lagi belajar dan berdoa setiap hari sampai menjelang pengumuman kelulusan lagi. Di hari pengumuman itu pun akhirnya dia lulus, walau bukan keinginannya, tetapi dia sangat bersyukur akan hal ini. Dan terus melanjutkan perjalanannya kembali. Sampai saat ini pun ketika dia mengingat perjuangan yang dijalankan selama ini sangatlah sulit membuatnya selalu bangkit dan tetap mengingat hal-hal yang dilakukannya tanpa persetujuan ataupun restu orang tuanya itu akan berakhir penyesalan. 62

Akhirnya Inchi pun tahu dan berpikir, semua hal yang selama ini dia jalankan itu bukanlah hal yang tidak baik. Semuanya telah direncanakan bukan untuk membuat dirimu sendiri tidak berdaya, tapi untuk membuat dirimu bisa menjalankan kehidupan di dunia dengan baik walau tidak sesempurna itu. Karena tidak ada hal yang sempurna terjadi kepada semua manusia yang ada di dunia ini. Selalu berpikir, pikirkanlah kehidupan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Begitulah orang tua, selalu memikirkan anak-anaknya dengan hal yang baik. Orang tua pun bersusah payah mencarikan rezeki, mencarikan nafkah agar bisa membayar dengan melanjutkan pendidikan itu. Karena apa pun pasti akan dilakukan oleh orang tua kalau menyangkut dengan pendidikan. Inilah bentuk kasih sayang orang tua untuk anak-anaknya. Bertahan hidup di dunia yang kejam ini, yang menuntut banyak kemauan adalah hal yang melelahkan, tetapi banyak penghargaan di akhir pertempuran. Jangan kecewa dan merasa lelah, justru dengan kekecewaan itu menjadi pengingat terbaik untuk target-target yang ada. 63

Hidup ini adalah perjuangan, saat sudah mencapai puncak sebuah gunung, maka seterusnya akan ada gunung yang lebih tinggi lagi untuk ditaklukkan. Hidup juga merupakan perjalanan yang harus dilalui, tidak peduli seberapa buruk jalan yang harus dilewati. **** **** **** 64

Mengukir Cerita di Balik Cita-Cita Oleh: Nanda Maisyarah Aku adalah seorang anak yang tinggal di desa, kerap dipanggil Nanda. Aku dan keluargaku hidup sederhana mempunyai cita–cita ingin menjadi polwan, agar dapat menjadi abdi negara. Setelah lulus dari bangku SMA aku memilih untuk meneruskan niatku dari awal untuk mencalonkan diri sebagai anggota polri. Kuberanikan diriku memberitahu kepada orang tuaku tentang cita-citaku itu. Waktu terus berjalan orang tuaku pun memberikan izin kepadaku untuk mencalonkan diri mengikuti semua prosedur peserta tes, semua berkas dan segala yang dibutuhkan saat tes pun aku siapkan. Berkas dan fisik pun kupersiapkan dengan baik. Seiring waktu berjalan hari-hari kulalui, orang tuaku pun datang memberikan nasihat kepadaku tentang tak apa memiliki cita-cita tinggi, walaupun kita berasal dari orang yang yah… bisa dibilang bahkan untuk makan pun kita masih susah untuk dicari. Di saat itu juga aku merasa bahwa, yah… aku pasti bisa lolos dengan niat baik dan doa serta dukungan orang tuaku. 65

Akhirnya beberapa hari sebelum aku mengikuti tes polwan banyak perkataan-perkataan yang tidak enak didengar dari orang lain tentang aku yang ingin mendaftarkan diriku sebagai anggota polri. Banyak ejekan yang membuat mental saya pun diuji. Semua perkataan mereka sempat membuat saya berputus asa dan sempat ingin menyerah dan tidak lagi melanjutkan tes, tapi orang tuaku pun selalu menasihati dan memberikan semangat kepadaku agar tidak pantang menyerah dan terus bersemangat. Ia mencoba menyakinkanku bahwa ini semua adalah awal dari kesuksesan. Dengan itu aku selalu ingat tujuan awal hidupku ingin membahagiakan orang tuaku dan menjadi kakak yang baik untuk adik-adikku. Hingga pada keesokan harinya aku dengan segala persiapanku pergi ke kota untuk melaksanakan tes yang bertempat di Polda yang ada di kota tersebut. Setiba di kota, saya tinggal bersama teman yang kebetulan kami berkenalan dari group casis. Waktu itu kami bersama mempersiapkan perlengkapan tes. Berat rasanya meninggalkan orang tua demi cita-cita apalagi pada waktu itu bertepatan pada bulan Ramadan yang dimana para keluarga berkumpul, tapi tidak denganku yang berpisah dengan orang tua demi cita-cita. Keesokan harinya matahari 66

pun terbit. Aku dan temanku bergegas mempersiapkan diri untuk mengikuti tes. Perasaanku tidak karuan, aku selalu berpikir aku bakal lolos tes selanjutnya atau sudah sampai di sini saja, karena melihat ribuan peserta yang ada pada waktu itu. Aku pun berusaha menyakinkan diriku bahwa aku pasti lolos ke tahap tes selanjutnya. Usai tes kami duduk bersama di pelataran Polda tersebut sembari menunggu teman yang lain selesai. Kami bersenda gurau sambil bercerita tentang bagaimana jika ada salah satu di antara kami yang gugur dan tidak bisa lagi ikut tes bersama kami. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12.00 kami semua dkumpulkan karena pengumuman hasil tes akan dibacakan. Perasaan ini tak menentu, hanya doa yang bisa diucapkan. Satu per satu nama pun dibacakan. Aku merasa khawatir mengapa namaku tak kunjung terdengar. Dengan bermodalkan keyakinan, bahwa aku akan lolos pada tes ini hingga perasaanku tetap yakin bahwa takdir Allah yang terbaik untuk hamba-Nya. Tiba saatnya namaku ada dalam daftar lolos pada tahap tes selanjutnya, tapi tidak dengan teman-temanku. Mereka gugur tes dan tidak bisa mengikuti tes bersamaku. Perasaanku tak 67

karuan, aku senang karena aku lolos dan aku sedih karena teman-temanku gugur. Akan tetapi kami selalu saling menyemangati. Mereka semua memberi semangat kepadaku bahwa cita-citaku bisa kugapai. Pulanglah aku dengan perasaan senangku lolos tes tahap selanjutnya, sesampainya di rumah aku bergegas mengabari orang tuaku memberitahu bahwa aku lolos tahap tes selanjutnya, akan tetapi perjuanganku belum selesai sampai di sini. Karena masih ada tes selanjutnya yang harus aku lalui, mengejar dan mewujudkan cita–cita yang selama ini aku inginkan yaitu ingin menjadi polwan. Hari-hari kulewati ditempat itu tanpa keluarga yang menemani menunggu jadwal tes selanjutnya. Hingga tiba malam hari jadwal tes pun diberikan dan namaku ada untuk mengikuti tahap berikutnya. Aku pun mempersiapkan diri agar besok lancar mengikuti tes. Keesokan harinya tiba saatnya aku harus berusaha agar tetap bisa lolos pada tahap berikutnya. Dengan berdoa aku memulai tes, mengisi semua soal yang diberikan, usai sudah kami mengerjakan soal seperti biasa. Aku merasa takut akan hasilku dan takut akan kegagalan. Perasaan kami mulai tidak karuan mendengar hasil tes kami beberapa menit lagi kami buka. 68

Dengan rasa takut aku memberanikan diri membuka hasil tes yang tadi dikerjakan dan dengan berat hati dan rasa kecewa aku dinyatakan tidak lolos pada tes ini. Tangis tak tertahan melihat usaha yang selama ini tidak membuahkan hasil. Perasaan takut memberitahu kepada orang tuaku bahwa pada tes ini aku gagal. Pada hari itu aku sibuk mencari kesalahan diriku mengapa aku gagal. Dengan berat hati aku pulang kembali kemudian memberitahu kepada kedua orang tuaku tentang kegagalan itu. Akan tetapi mereka selalu memberikan semangat kepada anaknya bahwa perjuangannya untuk menjadi seorang abdi negara itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kamu harus berusaha dan bersaing dengan ribuan orang dari berbagai wilayah untuk menjadi polwan. Hingga pada akhirnya aku berusaha kembali menyakinkan diriku untuk tidak pantang menyerah, yakin bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Tidak usai sampai di sini setelah semuanya selesai aku memutuskan untuk kembali ke desa, dan ternyata kukira aku harus menyiapkan mental saat tes saja tapi tidak... Pulang ke desa waktu itu juga harus nyiapin mental menghadapi 69

pertanyaan orang-orang sekitar mendengar ucapan mereka yang selalu terulang. Waktu pun berlalu hari-hariku lewati dan mulai menerima kegagalan yang terjadi, hari itu kebetulan ada acara keluarga yang diadakan di rumah kakekku. Kami semua pun kumpul bersama di sana. Salah satu pamanku mengatakan kepadaku tentang sehabis ini kamu kuliah saja, tapi dalam hatiku orang tuaku tidak memiliki biaya untuk kuliah. Lalu aku mengatakan bahwa saya kerja saja dulu sambil ngumpulin biaya buat kuliah pada waktu itu. Tapi pamanku tidak membiarkan hal itu terjadi. Dia tetap menyuruhku untuk kuliah. Aku bingung harus berpihak ke orang tuaku atau pamanku. Sebab di sini orangtuaku tidak memiliki biaya untuk memasukkanku di salah universitas. Namun pamanku tetap kekeh ingin agar aku bisa kuliah. Beberapa hari kemudian mereka semua membicarakan persoalan, apakah saya itu kuliah atau tidak, ada beberapa keluargaku yang mengeluh persoalan biaya dan pamanku memutuskan bahwa dialah yang membiayai kuliahku. Pada waktu itu pun aku mendaftarkan diriku di salah satu universitas yang berada di Kota Makassar yakni UIN ALAUDDIN MAKASSAR dengan mengikuti seleksi tes 70

UMPTKIN. Di samping itu orang tuaku masih memikirkan apakah pamanku ini mampu membiayaiku, sedangkan pamanku memiliki dua anak yang masih berada di salah satu universitas di kota. Perasaan tidak enakku muncul, tapi keinginanku untuk berkuliah juga besar, hingga pada akhirnya aku tetap mengikuti perkataan pamanku, pada waktu itu aku menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke kota. Setelah semuanya siap, keesokan harinya aku pun berangkat dari desaku ke kota meninggalkan kembali kedua orang tuaku demi menggapai suatu kesuksesan. Sesampainya saya di kota, saya tinggal bersama paman dan mulai menjalankan kehidupan baru tanpa orang tua. Beberapa hari kemudian, tiba saatnya tes UMPTKIN itu kulakukan dengan berdoa semangat dan yakin akan lolos pada seleksi ini. Melihat keyakinanku bakal lolos pada saat pengumuman kelulusan, ternyata alhamdulillah saya dinyatakan lolos pada universitas ini. Dengan penuh semangat menjalankan semua aktivitasku di kota, aku pun bertemu dengan orang-orang hebat, berteman dengan banyak karakter. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan bangku kuliah yang patut disyukuri, karena tidak semua orang bisa merasakan apa 71

yang kita rasakan. Menerima semua yang menjadi ketentuan Allah, tidak menyalahkan takdir, tawa dan tangis kita rasakan ketika kita mulai merasakan hidup tanpa orang yang kita sayangi di perantauan. Pernah merasakan gimana rasanya makan cuma nasi tanpa lauk, merasakan dan menahan diri agar tidak selalu meminta uang, tapi semua ini kujalani dengan sepenuh hati. Menurutku ini semua bagian daripada proses yang kulalui. Keluh kesah selalu ada tapi tidak dengan kata menyerah. Setiap ingin menyerah dan merasa bahwa semua ini capek juga dilalui, aku selalu mengingat bahwa ada harapan orang tua yang dititipkan kepadaku. Mereka lebih capek dari pada aku yang cuma duduk mendengarkan materi, dibandingkan mereka yang bertetes keringat demi menafkahi anak-anaknya. Aku selalu ingat itu, dalam hidupku menjadi mata air bagi kehidupan itu adalah niat yang mulia. Kesuksesan adalah hak setiap manusia, namun kesuksesan milik orang yang selalu berusaha dan tidak pantang menyerah walau seribu kali mengalami kegagalan. Karena sejatinya itu adalah gambaran bahwa kesuksesan telah menanti di masa depan. Berjalanlah walau semangat kadang surut dan langkah kaki kadang terasa berat, coba melalui prosesnya sendiri karena ada kenikmatan tersendiri dalam setiap prosesnya. 72

Berhentilah mengeluh untuk satu cobaan masih ada seribu nikmat yang harus kita syukuri. Terkadang kita merasa lelah selalu berlari mengejar garis finis atas jalan hidup yang kita terima, tetap percayalah di depan sana ada yang sedang menunggu kita yaitu kebahagiaan atas apa yang kita kejar selama ini. 73

“Perjalanan Takdir” Oleh: Muhammad Ikhsan Abdullah Namaku Muhammad Ikhsan Abdullah biasa dipanggil Ikhsan, lahir di Sidoarjo tepat pada tanggal 8 April 2002. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara, satu kakak laki–laki dan satu kakak perempuan. Saya anak dari ayah dan mama yang sangat luar biasa dan istimewa dalam hidupku. Ayahku bernama Alm. Abdullah Akib dan mamaku Oktafiasari. Mereka sangat handal mendidik dan membimbingku sampai saat ini, keluargaku yang sederhana namun selalu bahagia. Di tahun 2014, saya melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Darul Huffadh 77 Kajuara Bone. Saat itu adalah langkah awal saya untuk memulai kehidupan dan suasana yang baru. Jauh dari rumah, keluarga, dan hidup mandiri. Di pondok itulah saya mendapatkan begitu banyak ilmu dan pembelajaran tentang kehidupan, bahwa hidup manusia itu semata hanya untuk mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Mengenai ilmu dijelaskan oleh guru kami 74

bahwa, ―Menuntut ilmu itu bukan mengejar ilmu sebanyak– banyaknya tetapi bagaimana menjadikan ilmu yang kita miliki itu menjadi berkah, dan ilmu yang berkah itu adalah ketika kita mampu mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang kita miliki. Sebagaimana dijelaskan bahwa sebaik–baik manusia adalah yang mempelajari Al–Qur’an dan mengajarkannya.” Paling berkesan bagi saya adalah kata–kata guru besar kami bahwa, “Jadikanlah dirimu sebagai pribadi islami yang sesungguhnya yaitu islami aqidahnya, islami akhlaknya, islami hatinya, islami lisannya, maksudnya ialah ketika seseorang telah menjadi pribadi islami yang sesungguhnya maka ia senantiasa menjaga ketaatannya kepada Allah, mampu menjaga dirinya darinya dari sifat–sifat tercela. ~ Al – Ust. H. Saad Said, S.Ag ~ Demikianlah hikmah yang saya peroleh dari pondok dan allhamdulillah selama di pondok, saya telah mengkhatamkan Al–Qur‘an dua kali. Tahun 2020, saya dinyatakan lulus dan diwisuda kemudian mengabdi di pondok Darul Huffadh 77 Kajuara Bone 75

pada tahun 2022. Tahun 2022 saya diminta untuk mengabdi di Pondok Pesantren Darul Istiqomah 6 Welado Bone. Usai mengabdi, saya mencoba mendaftarkan diri di berbagai universitas di antaranya ialah Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Sembari menunggu hasil pengumuman, saya berangkat ke Jakarta bersama teman untuk mendaftarkan diri di Universitas LIPIA Jakarta dan Universitas Al Hikmah Jakarta. Akhirnya saya dinyatakan lulus di Univesitas Islam Negeri Alauddin Makassar, bersamaan dengan kelulusan saya di Universitas Al Hikmah Jakarta, walau sebenarnya saya berharap besar dapat lulus di Universitas LIPIA Jakarta. Namun saya tidak lulus di gelombang pertama dan saya coba kembali mendaftar pada gelombang kedua. Sambil menunggu pengumuman dari LIPIA saya mulai aktif kuliah di Universitas Al Hikmah Jakarta. Akan tetapi, takdir berkata lain ibunda tercinta tak sanggup jauh dari saya lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Maros, setibanya saya di Maros saat itu mendapatkan berita bahwa saya dinyatakan lulus di Universitas LIPIA Jakarta dan ini menjadi suatu hal sangat dilema bagi saya. 76

Namun ibu mengingatkan saya akan kata–kata dari ustaz saya bahwa bukan banyak ilmu yang utama, tetapi berkahnya suatu ilmu yang penting. Akhirnya dengan ucapan basmalah saya memutuskan kuliah di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, demikianlah perjalanan kisah saya semoga berkah, Aamiin Ya Rabbal Aalamiin. 77

Menerimamu dengan Ikhlas Oleh : Nurul Kherina Darwin Hai perkenalkan namaku Khoer, nama yang sangat aneh menurut sebagian orang, namun nama inilah yang menjadi nama yang sangat aku sukai. Aku terlahir dari seorang Ibu dan Ayah yang menjunjung tinggi sebuah ilmu pengetahuan. Ibuku dulunya seorang mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Namun, ―Aku mengawali semuanya dengan ketidakikhlasan karena paksaan dari sahabat-sahabatku, hingga akhirnya aku lulus dengan gelar S.Ag, tapi tidak dengan ilmunya karena aku tidak pernah serius.‖ Kata ibuku. Pada saat itulah ibuku bertekad agar semua anaknya lihay dan pandai dalam hal agama, khususnya pada bidang bahasa Arab. Seusai jenjang SD, kakakku dimasukkan ke pondok pesantren sedangkan aku diusulkan untuk sekolah di MTs yang biasa tempat ibu mengajar. Karena aku tipe anak yang penurut, maka kuturuti semua usulan yang diusulkan orang tuaku. Kujalani masa MTs-ku dengan senantiasa berada dalam pengawasan ibuku, sehingga aku terhindar dari kenakalan remaja yang marak pada saat itu. Namun pada waktu yang 78

bersamaan kejujuranku mulai runtuh, melihat banyaknya temanku yang memiliki nilai dan prestasi yang gemilang dikarenakan melirik contekan yang ia buat pada saat ujian, memotivasiku untuk melakukan hal yang serupa untuk beberapa mata pelajaran yang aku anggap rumit. Hingga pada musim ujian tiba, aku tidak lagi disibukkan dengan buku yang menumpuk tapi sibuk mencari pulpen yang tidak lagi mempunyai tinta sebagai alat penunjang kesuksesan dalam membuat contekan. Pada saat itu aku belum sadar terhadap apa yang kulakukan, cuma memikirkan nilai untuk ijazah dan raporku tanpa memikirkan keberkahan dari ilmu yang kupelajari. Aku baru sadar ketika ujian penentu kelulusan telah tiba, di depan gerbang sekolahku aku berpikir, jikalau aku nggak mempelajari semua pelajaran yang telah diberikan oleh para guru, siapa yang akan menolong dan bagaimana aku bisa menjawab semua pertanyaan, pikirku. Selain belajar untuk ujian kelulusan, aku juga harus mempersiapkan diri untuk pendaftaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Awal tahun 2018, ibuku sudah sangat sibuk mencari sekolah yang tepat dan yang terbaik untuk melanjutkan pendidikanku. Hingga ia menjatuhkan pilihannya pada salah 79

satu sekolah negeri dengan program keagamaan yang ada di pinggiran Kota Makassar. Nama yang aneh menurutku, sekolah negeri, mondok dan program keagamaan tapi bukan pesantren, aneh bukan? Tapi kucoba untuk mengikis rasa penasaranku dengan doa di akhir sujudku dan menunggu waktu yang tepat untuk ibu menceritakannya padaku. Tanpa niat sedikit pun untuk mencari di laman om googleku, hingga tiba saatnya ujian pendaftaran secara lisan dan tulisan diadakan. Aku datang bersama ibuku dan dua temanku yang baru kali itu aku bertemu dengannya. Mereka juga didampingi oleh orang tuanya. Kuberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang yang telah disiapkan dengan jantung yang melompat lebih dari biasanya. Kulihat ratusan orang pendaftar dengan gaya dan model ala-ala anak pesantren. Hati dan pikiranku bersatu menjerit insecure, tapi kucoba untuk mengontrol diriku agar tidak terbawa suasana yang menegangkan itu. Menjalani semua prosedur dengan mimik wajah yang biasa aja, namun jantung masih menari di dalam sana. Selesai ujian saya keluar dari ruangan dengan harapan adanya pertolongan dari Tuhan yang Maha Penyayang. 80

Hari demi hari berlalu tiba saatnya pengumuman kelulusan siswa baru MAN 3 Program Keagamaan, dengan keyakinanku bahwa aku pasti nggak lulus, membuatku merasa bersalah pada ibuku. Aku dan ibuku menunggu pengumuman itu sampai jam 22.00, akhirnya pertolongan Allah tiba pada waktu itu, aku sangat terharu atas keajaiban yang Tuhan berikan. Pada saat itu aku berjanji untuk tidak lagi mengecewakan Tuhan yang Menciptakanku dan ibu yang melahirkanku. Enam belas Juni 2018, kusatukan niat dan tekadku untuk meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi perjuangan hidupku selama kurang lebih 15 tahun. Perlahan kaki ini melangkah menuju mobil yang akan mengiringi perjalananku menuju jeruji suci yang akan mengenalkan dan mendekatkanku dengan Tuhanku. MANPK Makassar, di sinilah aku sekarang menyusun barang-barang yang aku bawa dari kampung. Dibantu oleh ibu dan kakakku yang sudah berpengalaman hidup berasrama. Setelah itu, mereka bersiap- siap untuk pergi dan meninggalkanku di tempat yang baru dengan air mata dan pelukan perpisahan dari ibu. Merasakan liku-liku perjalanan hidup yang jauh dari keluarga memang sangat sulit, tapi inilah alur cerita indah yang harus dijalani 81

dengan ikhlas, membangun kekeluargaan atas cinta Allah dengan teman yang berbeda-beda asal daerah, suku, dan budaya. Kujalani hari-hariku seperti santriwati pada pondok pesantren pada umumnya, begitu seterusnya hingga datang makhluk Tuhan yang bernama Corona dan menyuruh kita untuk belajar di rumah. Angkatan Corona, yahhhh itulah angkatanku, belajar di bangku sekolah cuma satu tahun lima bulan dan selebihnya di rumah. Hal ini mengakibatkan pembelajaran kurang efektif dan membuatku belum bisa mendapatkan kosakata bahasa Arab yang banyak, serta membuat banyak pelajar yang mengalami mata minus karena terus-terusan berhadapan dengan cahaya handphone dan komputer. Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya sampai pada tahun berikutnya. Hari kelulusan, bertemu dengan sahabat-sahabatku yang sangat kurindukan, namun karena masih menjaga jarak membuat kita tidak bisa saling pelukan, cuma bisa berfoto, namun sebagian wajah ngga boleh diperlihatkan dan harus ditutupi dengan masker. Air mata menjadi bukti kerinduan kita pada saat itu sekaligus menjadi air mata perpisahan kita. 82

Al-Azhar Cairo menjadi tujuan utamaku bersama tiga belas teman sekelasku dari 22 orang, namun cuma tujuh orang yang berhasil menembus dan mengalahkan kejamnya monitor komputer pada waktu itu. Karena gagal dalam medan perang ini, aku dan dua sahabatku memilih membelokkan kemudi menuju salah satu sekolah tinggi swasta yang ada di pulau Jawa, STIPI Maghfirah namanya. STIPI Maghfirah tempat kuliah yang sangat ekstrim dan sangat menantang menurutku. Bayangkan aja, kita kuliah lebih dari pembelajaran yang dilakukan oleh santri dan santriwati di pondok pesantren. Pembelajaran yang full berbahasa Arab, tidak pernah sekalipun kita mendengar bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang keluar dari pita suara para ustadzah dan para syeikh di sana. Kecuali suara yang keluar dari mulut santriwati pada hari Jumat karena hari itu hari komunikasi antara kami dengan keluarga kami. Waktu 15 menit menjadi suatu kesempatan yang sangat berharga untuk berbicara dengan sanak keluarga. Waktu dimana jaringan satu batang menjadi harta yang paling mahal. Namun di balik semua keekstriman itu, ada persaudaraan dan kasih sayang yang kita bangun atas nama Allah. Ada kosakata yang harus kita hafal setiap hari, ada firman Tuhan dan sabda Rasul 83

yang harus kita setorkan pada pembimbing kita. Di sinilah aku menimba ilmu pada saat itu jauh dari kampung halaman, tapi membuatku nyaman karena dikelilingi oleh makhluk Allah yang sangat menyayangiku dan membuatku betah. Semuanya kurasakan cuma satu semester lebih, karena keinginanku untuk ke Mesir masih sangat besar. Di samping itu aku juga terpapar virus Corona yang sangat ditakuti oleh semua orang, sehingga ibuku memintaku untuk kembali dan pulang ke kampung halaman. Skenario Tuhan memang sangat indah, sehingga waktu itu tidak ada dayaku untuk menolak semuanya. Hingga saat ini kenanganlah yang menjadi obat rinduku pada sahabat jannahku. UIN Alauddin Makassar sekarang menjadi tempat pelarianku satu-satunya, tapi bukan berarti aku menolak semua ketentuan Tuhanku. Aku menerimanya dengan sebuah keikhlasan, karena yang aku tahu bahwa ini semua sudah menjadi takdir terbaikku. Yang menjadi harapanku saat ini semoga bisa kembali dan meneruskan perjuangan yang sudah kubangun sejak dulu di tengah kejamnya pergaulan bebas saat ini. “Setiap kita adalah mentari bukan hanya bersinar tetapi juga menyinari.” Kata Riefa sahabatku. 84

Kisah Inspiratif Diri Sendiri Oleh: Muh. Risman Jaya Tak perlu perlu menjadi siapa-siapa, tetaplah jadi diri sendiri karena setiap orang itu unik dengan kehidupan yang mereka masing-masing jalani. Begitulah kiranya kisah perjalanan seorang manusia untuk menemukan dirinya sendiri. Namun tak demikian kenyataannya, menemukan diri sendiri atau bahkan mencintai diri sendiri bukanlah perkara mudah. Aku selalu merasa takut menjadi diri sendiri karena aku tahu betul seberapa buruk diriku ini. Sering aku mengecewakan orang-orang yang berharap kepadaku, sebab aku tak sanggup mengizinkan mereka masuk ke duniaku. Setiap ada yang berusaha mendekat, detik itu pula aku menghapus keberadaanku dari kehidupan mereka. Namun tidak demikian di hadapan orang yang baru aku kenal ini. Ia menyadarkanku bahwa menjadi diri sendiri bukanlah sebuah kesalahan. ―Tetaplah jadi dirimu sendiri, tapi kamu harus tahu bagaimana cara mengendalikannya,‖ begitu katanya. 85

Tak perlu takut menjadi diri sendiri, sebab ketika kamu melakukannya, kamu bisa menembus batas-batas dirimu dan menjadi lebih baik. Selain itu, pada saatnya kamu juga akan menemukan bagaimana cara mencintai diri sendiri. Hai nama saya Muh. Risman Jaya, biasa dipanggil Risman. Anak ke 2 dari 4 bersaudara, 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Lahir di sebuah kampung kecil yang bernama Dadeko pada tanggal 21 Oktober 2003, dan dibesarkan oleh kedua orang tua di sana tepatnya di Kecamatan Tommo Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Kakak saya bernama Abd. Rahman yang sekarang bekerja di Mandala Motor Pasangkayu sebagai mekanik, istrinya bernama Herawati. Dia memiliki satu anak yang bernama Marsya Nur Malaiqa. Adik pertama bernama Muh. Resqy Maulana Jaya yang sekarang sudah kelas 3 Madrasah Tsanawiyah. Terus adik kedua bernama Rif‘ah Azzahra yang sekarang sudah kelas 2 Madrasah Tsanawiyah. Saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana, ayah saya hanyalah seorang petani yang bekerja semenjak tamat SD dan sampai sekarang masih melakukan pekerjaan tersebut, sedangkan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Namun, walaupun kami hidup dengan sederhana tapi kami hidup 86

bahagia. Kedua orang tua kami mendidik kami dengan baik dan alhamdulillah kakak saya sukses dalam belajar menjadi seorang mekanik di SMK Papalang. Saya bangga akan pengorbanannya dan saya sayang dengan mereka. Karena tanpa mereka kami tidak akan pernah tahu seperti apa bentuk dunia ini, tidak akan tahu seperti apa cinta dan kasih sayang darinya, dan tidak akan pernah merasakan yang namanya hidup. Hobi saya membaca Al-Qur‘an maupun buku atau novel, driver, jalan-jalan, editor, dan catur. Saya senang melihat para penghafal Al-Qur‘an yang pernah menjuarai dan meraih beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional. Keluarga kami termasuk keluarga yang lumayan taat beribadah, dari kecil saya sudah diajarkan ibu untuk selalu melaksanakan salat lima waktu. Waktu kecil setiap azan datang, ibu selalu cerewet menyuruh saya segera melaksanakan salat karena ibu mengatakan jika melalaikan salat berarti kita merunutuhkan tiang agama Islam dan termasuk kedalam golongan orang-orang kafir. Ketika usia saya memasuki 5 tahun orang tua membawa saya ke sekolah Madrasah Ibtidaiyah agar saya bisa belajar agama. 87

Sekitar usia saya menginjak 5 tahun setengah saya langsung menduduki bangku MI, mungkin sebagian orang berpikir kenapa tidak pada umur 6 tahun? Padahal pada umumnya anak-anak disekolahkan untuk memasuki Madrasah Ibtidaiyah pada usia 6 tahun. Itu dikarenakan saya sudah bisa membaca dan berhitung dan ibu saya mengatakan sudah layak memasuki Madrasah Ibtidaiyah di kampung sendiri. Saat itu saya bersekolah di MIS ISMUL A‘ZHAM. Selama sekolah di sana saya pernah mendapat peringkat 1 dan mendapatkan peringkat 2 sebanyak 1 kali. Berangkat ke sekolah tidak diantar oleh orang tua saya, tapi berangkat dan pulang sekolah jalan kaki bersama teman-teman lainnya. Karena sekolah tidak terlalu jauh dari rumah, mungkin sekira 5 km. Akhirnya pada tahun 2015 saya lulus madrasah ibtidaiyah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada tahun tersebut. Saya memilih melanjutkan pendidikan ke MTsN 400 Watampone sekarang namanya sudah diganti menjadi MTsN 1 Bone, saya memilih sekolah itu karena atas dorongan orang tua. Di sana saya tinggal di rumah adik perempuan ibu saya yang juga salah satu guru di tempat saya sekolah. Pada hari pertama masuk, saya sangat canggung dikarenakan jumlah siswa yang lebih banyak dari jumlah siswa 88

waktu saya sekolah madrasah ibtidaiyah. Pada umumnya mereka berangkat ke sekolah diantar oleh orang tuanya. Ada juga yang menggunakan sepeda, berjalan kaki, dan alhamdulillah saya selalu diantar oleh tante. Terkadang saya juga iri melihat teman-teman diantar oleh orang tua mereka. Setelah kelas 2 MTsN saya pindah sekolah ke Mamuju, karena saya sudah tidak kuat lagi jauh dengan orang tua terutama ibu, tiap malam saya pasti nangis tidak pernah absen, yaa itulah saya yang tidak bisa jauh dari orang tua. Akhirnya tante saya menguruskan surat pindah sekolah. Di situ perasaanku sangat tidak enak, antara sedih dan senang karena di satu sisi saya akan meninggalkan tante yang sudah kuanggap ibu sendiri. Di sisi lain, saya akan tinggal bersama orang tua. Sekolah yang saya tempati pindah adalah sekolah swasta, nama sekolahnya MTs DARUL BARAKAH tentu sangat berbeda dengan sekolah saat ini, tetapi bagi saya tidak mengapa, yang penting tinggal bersama orang tua, dan akhirnya saya pindah sekolah. Di sana saya bertemu lagi dengan teman-teman MI sehingga saya tidak merasa canggung. Pada tahun 2018, alhamdulillah saya lulus dari MTs DARUL BARAKAH dan mengambil jenjang yang lebih tinggi 89

lagi. Saya memilih SMK Negeri 1 Papalang. Alasan saya kenapa memilih sekolah di sana karena saya ingin mengikuti jejak pendidikan kakak saya. Akan tetapi ibu saya tidak setuju karena saya mulai dari SD sampai SMP sekolahnya di madrasah, ―Menapa harus pindah jurusan? Kenapa tidak lanjut di madrasah saja?‖ Kata ibu saya. Saya pun memilih MAN 1 Bone, lagi-lagi ibu saya tidak setuju karena mengingat kejadian pas saya masih MTs yang tidak bisa jauh dari orang tua, takutnya nanti akan terulang kembali, jadi saya pun memilih sekolah yang ada di kampung, namanya MA DARUL BARAKAH. Sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah yang terkenal di Kecamatan Tommo. Lama perjalanan dari rumah ke sekolah sekira setengah jam dengan melewati jalan tanjakan yang sangat licin dan jelek ketika habis hujan. Beberapa kali saya pernah jatuh melewati jalan tersebut ketika berangkat ke sekolah maupun pulang sekolah. Walau demikian, itu tidak menurunkan semangat saya. Sewaktu kelas 1 MA saya mengikuti pembelajaran di sekolah setiap hari, namun setelah kelas 2 dan 3 saya tidak lagi mengikuti pembelajaran di sekolah karena saya masuk pondok tahfiz untuk menghafal Al-Qur‘an, akan tetapi nama 90

saya tetap terdaftar di sekolah dan tetap mengikuti ujian semester di sekolah. Pada tanggal 5 April 2021 di kelas tiga MA saya melaksanakan ujian nasional (UN). Saya ketakutan menghadapi ujian ini, karena ini merupakan ujian yang menentukan masa depan saya. Oleh karena itu, seminggu sebelum UN dilaksanakan saya benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh. Karena saya tidak ingin mengecewakan kedua orang tua saya yang telah bersusah payah menyekolahkan saya sampai sekarang dengan ikhlas tanpa mengharapkan belas kasihan apa pun dari anaknya. Yang selalu menyayangi dan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Maka dari itu saya harus memberikan yang terbaik untuk mereka terutama pada ibu yang telah mengandung saya selama 9 bulan dengan mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan anaknya. Yang telah menyusui dan membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan sampai saat ini saya tidak akan bisa membalas semua itu. Tapi saya akan lakukan yang terbaik untuk membalas semua jasa yang telah diberikan kepadaku dan saya anggap jasa yang telah diberikan selama ini kepadaku merupakan hutang yang harus kulunasi kepadanya suatu saat nanti. 91


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook