SEIKAT UTOPIA Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR1 Angkatan 2022 UIN Alauddin Makassar Editor: Andi Halimah Jariah Publishing Intermedia i
Seikat Utopia Penulis Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR1 Angkatan 2022 UIN Alauddin Makassar QRCBN 62-1178-3360-464 Editor Andi Halimah Penerbit © Jariah Publishing Intermedia Redaksi Jl. Dahlia No. 17 Batangkaluku Gowa – Indonesia, 92111 Telepon: +62811-444-0319 E: [email protected] IG: @jariahpublishing W: jariahpublishing.co.id Terbitan Ebook, Januari 2023 Format: pdf ; 150 hlm Hak cipta dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit Jariah Publishing Intermedia ii
PENGANTAR EDITOR Alhamdulillah, segala puji hanya dipersembahkan kepada Allah Swt, sang pemilik kehidupan atas curahan nikmat yang tak putus-putusnya kepada kita hamba-Nya, sehingga buku ini bisa diselesaikan dengan baik dan dihadirkan di hadapan pembaca. Selanjutnya, salawat menyertai salam senantiasa terkirim kepada Rasulullah Muhammad Saw. Sang revolusioner sejati yang ajarannya menjadi rahmatan lilalamin. Buku antologi ini berjudul “SEIKAT UTOPIA”, merupakan perwujudan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR1 Angkatan 2022. Editor sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia termotivasi memublikasi karya mahasiswa agar menjadi spirit bagi mereka untuk terus berkaryaA. khirnya, tak ada karya yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah swt, untuk itu dimohon saran konstruktif dari pembaca untuk perbaikan naskah berikutnya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembacanya. Gowa, Januari 2023
Semua Pengetahuan Berawal Dari Ketidaktahuan Oleh: Bilal Ardi Bilal Ardi lahir di Makassar pada tahun 2004. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Lulusan dari Madrasah Aliyah, ia pun melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Sejak kecil ia tertarik pada pada hal yang berbau Sains, Teknologi, dan Psikologi. Sejak menduduki bangku Sekolah Dasar, ia mulai membaca buku yang berhubungan alam semesta. Ia selalu cara untuk mengembangkan dan melatih diri sendiri melalui buku-buku yang ia baca. Ia beranggapan bahwa semua manusia pada dasarnya sama. Sama bisa berkembang dan sukses. Bilal beranggapan kalau hidup sukses bukan hanya dinilai dari kekayaan
yang dikumpulkan, tetapi sukses dapat memiliki arti dan standar berbeda dari setiap orang. Suatu hari, saat saya sedang berjalan- jalan di sekeliling rumah, saya melihat 3 ekor kucing. Sepertinya kucing tersebut mendapatkan rezeki sebuah kantong plastik yang berisi makanan dan mereka terus mengoreknya. Saat saya mendekati sekelompok kucing tersebut, kucing-kucing yang sedang makan itu pun berlarian. Mereka mengira saya adalah sebuah ancaman saat mendekatinya. Mereka memiliki naluri untuk mempertahankan hidup mereka. Namun anehnya, ada satu kucing yang tetap menyantap makanannya. Kucing itu tidak peduli akan keberadaanku. Mungkin ia kelaparan atau mungkin ia mempunyai naluri yang lebih peka, ia tahu bahwa saya tidak akan mengganggunya. Jadi lebih baik ia santai sambil menikmati makanannya. Setelah saya melihat kucing itu
tetap santai menikmati makanannya, saya pun semakin mendekatinya. Kucing pun lari dan tidak lupa untuk membawa kantong plastik berisi makanan itu. Wah..., kucing yang pintar. Ia membiarkan kucing lain pergi karena ketakutan, sedangkan ia tetap tenang. Tapi, saat ia merasa situasi tidak lagi memungkinkan, ia akan tetap pergi dan membawa kantong makanan itu. Menikmati makanan itu sendiri di tempat lain. Benar-benar kucing yang berani dan cerdik. Lalu, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari tingkah si kucing ini? Kenapa kita perlu belajar dari hewan? Padahal sebenarnya manusia itu memiliki pikiran dan otak yang lebih pintar dari hewan. Hanya saja manusia sering lupa untuk menggunakannya. Sedangkan hewan hanya memiliki otak yang kecil, namun mereka memanfaatkannya dengan baik. Hal yang dapat kita pelajari dari kejadian tersebut adalah manajemen resiko. Karena hidup penuh
dengan resiko walaupun kita memulainya dari nol. Dalam kehidupan, kita harus berani berhadapan sama yang namanya resiko. Ingin sukses, ambillah resiko! Tidak percaya? Sekarang coba kamu lakukan kegiatan yang menurutmu tidak memiliki resiko! Makan? Kemungkinan Anda bisa tersedak. Tidur? Kemungkinan Anda bisa jatuh dari tempat tidur. Mandi? Kemungkinan Anda bisa terpeleset. Nah..., bukankah semua aktivitas memiliki resikonya masing-masing? Lalu orang mengatakan, “Kalau Anda tidak mau menghadapi resiko. Maka coba untuk diam saja di rumah”. Eits..., kata siapa berdiam diri di rumah tidak memiliki resiko? Pada tanggal 21 Juni 2012, pesawat TNI Angakatan Udara jatuh di pemukiman dan menimpa tujuh rumah warga. Bayangkan kalau Anda diam di rumah, lalu ditimpa pesawat, bukankah itu justru disebut
resiko? Jadi, Anda harus meyakini bahwa hidup ini penuh dengan resiko. Akan tetapi, yang sebenarnya menjadi poin penting adalah bagaimana cara Anda menghadapi resiko-resiko tersebut. Kita hidup di dunia ini bukan untuk menghindari resiko, karena terpilih untuk hidup pun sudah memiliki resikonya. Bahkan sejak pertama kali proses pembuahan di dalam rahim ibu kita pun telah memiliki resiko, yaitu beresiko tidak berhasil dilahirkan dan beresiko tidak lahir dalam keadaan yang kita inginkan.Tapi, nyatanya kita berhasil dilahirkan sehat hingga saat ini. Itu artinya Anda membawa bakat kesuksesan untuk hidup di dunia dan selanjutnya banyak hal yang mampu kamu hadapi dan meraih kesuksesan. Pada dasarnya semua manusia senang dengan sesuatu yang tidak beresiko. Mereka suka dengan comfort zone (zona nyaman). Mereka senang dengan hal-hal yang mereka tahu, hal
yang tidak asing bagi mereka, hal yang membuat mereka nyaman. Tapi karena semua hal mengandung resiko, maka secara tidak sadar mereka telah memilih resiko kecil untuk dihadapi dan menghindari resiko besar. Sedangkan kalau Anda mengambil resiko besar, kemungkinan gagal pun semakin besar. Tapi, ketika Anda mengambil resiko besar, peluang yang Anda miliki untuk menggapai kesuksesan pun semakin besar. Ingat…!!! Anda jangan hanya mengambil resiko yang besar, Anda juga harus mempertanggungjawabkannya dan bergulat dengan resiko tersebut. Kesuksesan anda adalah memenangkan resiko yang anda pilih. Seperti halnya si kucing cerdik tadi. Ia beresiko untuk terancam dan bahkan bisa saja beresiko untuk mati, tetapi ia lebih berkesempatan sukses membawa kantong makanan tersebut, bukan? Memang kesuksesan
itu bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa saja penuh dengan resiko. Orang mengatakan, “Anda bisa saja mati karena mengejar kesuksesan bahkan belum tentu sukses”. Saya setuju dengan perkataan tersebut. Akan tetapi, saya juga setuju dengan perkataan, “What doesn’t kill you make you stronger!” Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu jadi lebih kuat. Ketika kamu lebih kuat, maka kamu pun menjadi lebih tahan terhadap resiko, karena kamu telah hidup dengan resiko tersebut. Saat itu diri Anda akan menjadi lebih stabil bukan lagi ababil. Karena Anda sudah terbiasa dengan yang namanya resiko. Besar kecilnya resiko yang Anda hadapi, maka Anda tidak lagi melihatnya sebagai suatu hal yang harus dicemaskan bahkan cenderung ditinggalkan. Malah sebaliknya, Anda akan melihatnya sebagai peluang atau kesempatan di balik sebuah resiko. Beranilah mengambil resiko! Tapi bermodalkan
keberanian saja tidaklah cukup. Sukseslah! Ketahuilah resiko yang akan Anda hadapi, pelajari resiko itu, tangani resiko itu, stabilkan diri Anda, dan kendalikan resiko yang sedang Anda hadapi. Ada satu kisah lagi yang mungkin membuat Anda tertarik. Saat itu saya sedang berada di kamar mandi, dengan pintu kamar mandi yang sedikit memiliki celah. Entah kenapa, saat itu pandanganku terarah ke celah pintu itu yang di baliknya terdapat kamar tidurku sendiri. Saya seperti mengintip suasana kamar tidur melalui celah pintu kamar mandi. Apakah saya melihat sesuatu? Yaa!!! Saya yakin telah melihat sesuatu, dan ia bergerak. Tapi setelah saya lihat lagi, apakah benar ada sesuatu? Ternyata saya salah lihat. Bayangan yang saya lihat adalah efek dari beberapa barang yang ada di kamar tidur. Apakah memang benar adanya bayangan? Ya, memang ada. Apakah benar ada sesuatu? Tentu
tidak. Tapi, apakah memang benar tidak ada sesuatu? Tidak juga. Ada benda yang menghasilkan bayangan. Dalam keadaan tersebut, memang benar terdapat sesuatu dan itulah yang dinamakan sebuah ilusi. Hal yang dianggap aneh, seperti Anda melihat sesuatu tapi pada nyatanya tidak ada sesuatu. Bukankah terkadang hidup dan kesempatan terlihat seperti ilusi? Anda melihat sesuatu, Anda seperti merasa melihat sesuatu, sesuatu yang Anda rasa benar-benar ada. Benar- benar Anda alami. Tapi, apakah itu benar-benar ada? Atau, itu hanyalah ilusi hidup semata? Hal ini seperti perasaan. Anda merasa sedih, galau, dan merasa sangat takut. Apakah rasa itu benar-benar ada? Ya..., Anda memang merasakannya. Lalu pertanyaannya, apakah rasa itu memang ada? Apakah rasa itu bisa dilihat? Mungkin Anda bisa membaca gestur, mimik, atau ekspresi seseorang
yang sedang ketakutan. Tetapi, apakah ketakutan itu sendiri bisa Anda lihat? Bukankah ekspresi itu hasil dari perasaan itu sendiri? Sama seperti hal lain dalam hidup kita. Terkadang kita merasa telah melihat suatu kenyataan, telah melihat sesuatu yang kita anggap nyata. Apakah benar nyata? Kalau saya bilang nyata, mungkin ada orang yang setuju. Tetapi, kalau saya bilang tidak nyata, mungkin ada orang yang tidak setuju. Nyata atau tidak? Kita harus mengetahui definisi nyata itu terlebih dahulu. Apakah nyata dapat diartikan dengan sesuatu yang dapat dipegang atau diraba. Tapi, bagaimana kalau „nyata‟ bukanlah sesuatu yang objektif? Kira-kira seperti inilah pikiran yang mungkin ada pada diri kita. Kita terlahir dengan latar belakang yang berbeda, keluarga, adat, bahkan lingkungan yang berbeda. Keadaan yang membuat kita seolah sedang memakai kacamata.
Keadaan yang memberikan pandangan tertentu pada kita, bahwasanya ini benar dan itu salah. Ini nyata dan ini hanyalah fatamorgana. Ini semua tergantung sesuai kacamata yang kita miliki. Keadaan seperti ini yang membuat hidup kita seperti ilusi. Ilusi yang memberikan pandangan bahwa kita ini adalah „sesuatu‟ yang mungkin kita anggap paling benar dari yang lain.
Berkelana untuk Oleh: Affan Abghi Armin Ahmad, itulah namanya. keinginannya bersekolah di pesantren sudah ia simpan di dalam hatinya sejak kelas 4 SD. Ahmad dikenal sebagai sosok yang rajin dan pandai di sekolahnya. Guru-guru pun senang dengan perilaku Ahmad yang rajin dan pandai. Tak hanya itu teman-teman di sekeliling Ahmad pun merasa bangga mempunyai teman seperti Ahmad. Tiba saatnya pemberitahuan dari guru bahwa tidak lama lagi akan diadakan lomba sains tingkat sekolah. Mendengar kabar itu, Ahmad langsung meyakinkan dirinya bahwa dialah yang akan diutus oleh gurunya untuk mewakili sekolah pada lomba sains tersebut. Alhasil, harapan Ahmad menjadi utusan sekolahnya pun terwujud. Ahmad langsung mempersiapkan dirinya untuk mengikuti lomba sains tersebut. Tibalah suatu hari saat lomba tersebut dimulai. Ahmad yang meyakinkan dirinya untuk mengikuti lomba tersebut sudah sangat siap untuk bertanding. Lomba dimulai! Ahmad langsung mengerjakan soal-soal dengan tenang dan mampu
menyelesaikan segala soal yang diberikan dengan benar menurutnya. Waktu menjawab soal sudah habis, selanjutnya tahap pemeriksaan jawaban. Atas nama Ahmad dinyatakan nilainya tidak memenuhi syarat pemenang lomba sains tersebut, terdengar suara itu di telingaku. Mendengar kabar itu, Ahmad bersedih karena tidak mampu membawa nama sekolahnya untuk pemenang lomba sains. ”Menang kalah dalam sebuah pertandingan adalah hal yang wajar” ucap seorang guru kepada Ahmad. Mendengar percakapan itu, Ahmad kembali merasakan ketenangan dan mulai merasakan kebahagiaan, menikmati hari-harinya. Tak terasa ujian akhir semester pun akan segera tiba. Selembar kertas yang tertempel di Mading sekolah bertuliskan Ujian akhir semester genap akan dimulai dalam beberapa hari ke depan. Ahmad merasa senang karena tidak lama lagi dia akan bersekolah di pondok pesantren yang ia idamkan sejak dulu. Namun di sisi lain, Ahmad merasa sedih sebab dia akan meninggalkan guru-guru yang telah membimbingnya dan juga teman-teman kecil yang menemaninya bermain selama 6 tahun di sekolah dasar.
Ujian akhir semester pun tiba, semua peserta ujian berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti apel pagi dari kepala sekolah sebelum memasuki ruangan ujian. Waktu terus berjalan, sampailah pada titik saat hari penerimaan rapor hasil ujian pun tiba. Semua peserta didik merasa senang karena mereka sudah tidak lagi berseragam putih merah, di sisi lain mereka juga bersedih karena akan berpisah dengan teman masa kecilnya. Enam tahun begitu cepat berlalu bagi Ahmad. SD Negeri 27 Tonasa, Kabupaten Pangkep. Tempat pertama kali ia menimba ilmu pengetahuan. Ahmad yang kini berusia 12 tahun yang sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di pondok pesantren. Pondok pesantren yang sudah lama ia minati akhirnya terwujud, ia lolos seleksi masuk pondok pesantren. Telah tiba saat para santri baru pertama kali bertemu dan berkumpul di pondok pesantren. Hari pertama di pondok merupakan hari yang berat bagi Ahmad karena harus berpisah dengan kedua orang tuanya, namun di sisi lain Ahmad merasa bahagia dan senang karena impiannya untuk belajar di pondok pesantren akhirnya terwujud. Ahmad mempunyai beberapa
teman baru yang membuat ia bersemangat melewati hari- harinya di pondok pesantren. Lika-liku kehidupan di pondok membuat Ahmad menyerah hidup di pondok pesantren. Hal-hal yang ia kira akan baik-baik saja ternyata itu adalah sebuah khayalan. Senioritas di pesantren sistem yang tidak dapat diganggu gugat, selain senioritas kehilangan barang pun sering terjadi di pondok pesantren itulah yang membuat Ahmad menyerah untuk hidup di pondok. “Kehidupan kalau bukan kita yang jalani, terus siapa lagi? Maka nikmatilah hidupmu di pesantren, karena semua yang kau dapatkan di pesantren itu merupakan kebaikan untuk kalian”. Mendengar perkataan salah seorang guru di pondok membuat Ahmad berpikir bahwa kehidupan itu seperti roda yang berputar. Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Perkataan ustaz membuat Ahmad kembali bersemangat untuk menuntut ilmu di pondok pesantren. Singkat cerita hari ujian akhir di pondok pun hampir tiba. Semua santri wajib mempelajari apa yang sudah diberikan oleh guru selama tiga tahun mondok. Seketika itu Ahmad pun belajar dengan giat demi mencapai nilai yang
memuaskan yang nantinya akan membuat bangga kedua orang tuanya. Alhasil, nilai yang Ahmad dapatkan cukup memuaskan dan membuatnya tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Madrasah Aliyah. Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum itulah namanya. Bangunan atau tempat menuntut ilmu yang didirikan oleh Allahuyarham Anregutta Sanusi Baco Lc, pada tahun 2002 di atas tanah waqaf Bapak Jusuf Kalla. Kini santrinya kurang lebih mencapai angka 1000. Terdapat 4 tingkatan pembelajaran yang ada di pondok pesantren tersebut ada Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Pendidikan Diniyah Formal (PDF). Ahmad tertarik ingin memasuki tingkatan atau jurusan PDF. PDF merupakan tingkatan atau jurusan ini hampir sama dengan jurusan SMA pada umunya, tetapi PDF lebih mengedepankan pelajaran agamanya dibandingkan pelajaran pada umumnya. Selain itu di PDF juga diajarkan metode- metode untuk mudah membaca kitab kuning. Sesuai dengan cita-citanya. Ahmad ingin menjadi seorang ulama besar di kalangan masyarakat.
Sebuah kertas bertuliskan pengumuman pendaftaran beasiswa ke timur tengah. Ahmad yang membaca kertas tersebut tertarik untuk ke luar negeri agar dapat memperluas ilmu pengetahuannya. Hari demi hari Ahmad lalui sampai pada akhirnya “IMTIHAN WATHANI” atau dikenal dengan Ujian Negara yang akan dilaksanakan pekan depan. Segala persiapan yang berkaitan dengan ujian sudah dipersiapkan oleh Ahmad. Ujian Negara kini memasuki hari terakhir dan sebentar lagi santri dan santriwati kelas 3 PDF akan meninggalkan pondok pesantren. Perasaan senang bercampur sedih kini dirasakan oleh semua santri. Entah ke mana mereka akan melanjutkan pendidikannya, kebanyakan dari mereka tertarik melanjutkan studinya di Timur Tengah. Malam sebelum mereka meninggalkan pondok pesantren, para santri dan santriwati meminta maaf kepada seluruh guru, adik-adik santri dan santriwati, beserta staf yang berada dalam lingkungan pondok. Kesedihan Ahmad tak terbendung hingga sempat mengeluarkan air mata. Ia besar dan dididik di lingkungan Islam yakni pondok pesantren selama 6 tahun.
Tes seleksi ke Timur Tengah diadakan bulan depan, semua santri sudah menyiapkan dirinya. Ada yang mengikuti bimbingan belajar dan ada juga yang belajar sendiri. Ahmad berguru kepada semua guru yang merupakan alumni Timur Tengah yang telah berkelana dari kota ke kota demi mencari ilmu. Ahmad mendapat pesan dari seorang guru bahwa “Keluarlah kalian dari rumah kalian demi menuntut ilmu sesungguhnya kalian berada dalam lindungan Allah sampai kamu kembali.” Pesan seorang guru kepada muridnya. Mendengar pesan itu menjadikan motivasi bagi Ahmad untuk menuntut ilmu. Hari yang dinantikan Ahmad pun tiba, seleksi masuk perguruan tinggi timur tengah jatuh pada hari ini. Diminta kepada semua peserta berkumpul di suatu tempat untuk menjalankan ujian tersebut. Ketika waktu tes ujian berakhir, perasaan panik dirasakan oleh Ahmad karena menurutnya ada beberapa soal yang dijawabnya salah. Atas nama Ahmad Al Farabiy selamat Anda dinyatakan lolos seleksi ke Timur Tengah. Perasaan senang dan gembira yang dirasakan oleh Ahmad akhirnya impian untuk belajar ke Timur Tengah terwujud. Mendengar kabar
Ahmad yang lolos seleksi membuat kedua orang tuanya meneteskan air mata harunya. Ahmad yang dulunya hampir menyerah di tengah perjalanannya menuntut ilmu kini menjadi orang yang sukses, orang yang mengharumkan nama kedua orang tuanya dan tentunya nama pondok pesantrennya. Makna yang dapat kita petik dari kisah Ahmad ini yaitu “Tuntutlah ilmu sejauh mungkin karena ilmu pernah berkata, Habiskan hartamu, habiskan uangmu, habiskan waktumu, dan habiskan sisa-sisa umurmu untuk menuntut ilmu tapi jangan kecewa kalau ilmu hanya memberimu sedikit dari apa yang ia punya”.
Akan Selalu Ada Jalan Oleh: Syahra Dzafirah Mungkin kalian pernah dengar tentang anak yang dipaksa belajar melebihi batas kemampuannya. Anak yang depresi karena terus belajar tanpa henti, tidur sekadar melepas kantuk sebentar dan mungkin kalian pernah dengar tentang anak yang diberi fasilitas dan kebebasan memilih tujuan hidup tanpa khawatir kebutuhan hidup. Dan ini kisahku, bukan salah satu di antara kisah itu. Kisah yang sedikit berbeda dari mereka. Inilah aku, memiliki mimpi-mimpi sejak kecil. Tak henti berkhayal tentang nikmatnya hidupku saat kelak sukses, nanti tertata rapi dalam khayalanku. Jikalau tak ada malu setiap kali ditanya soal hobby mungkin sudah kuagung-agungkan. Yakin dan pasti kalian pun punya rancangan indah sepertiku. Aku adalah anak bungsu dari 9 bersaudara. Kakak pertamaku menyandang gelar S1 di saat sudah memiliki beberapa anak, selebihnya hanya sampai SMA. Salah satu faktornya adalah karena mereka dipukul mundur oleh perekonomian kami yang membuat mereka terpaksa harus 20
mengubur dalam-dalam ataupun beberapa di antara mereka mungkin tak berani bermimpi. Sewaktu aku masih terlalu larut dalam diri sendiri. Hanyut dalam kesibukan melukis mimpi tanpa sadar tintanya telah habis. Dan tiba-tiba disadarkan oleh keadaan yang hampir membuatku merobek habis-habisan segala yang telah kurancang. Kemudian gelombang hasratku kian naik turun. Naik saat melihat orang-orang sukses tampil memberi motivasi dan turun saat pulang-pulang melihat wajah-wajah letih para tulang punggung keluarga. Ingin sekali rasanya kusingkirkan semuanya dan berhenti cukup sampai di situ. Apa boleh buat mimpi itu sudah mengikat kuat dalam diri dan setiap kali coba kulepas justru semakin menyakitiku. Hebatnya, di balik semua itu segala kebutuhanku dicukupi oleh mereka, walau tak harus sesuai dengan harapan. Asalkan telah terpenuhi sudah sangat cukup bagiku. Lalu kuputuskan untuk mengikuti dan menikmati saja ke mana arus akan membawaku berlabuh. Hingga sampailah aku terbentur keras di bebatuan sungai. waktu untuk lanjut ke jenjang kuliah telah tiba. Bak 21
cacing kepanasan gelisah antara ingin dan takut melanjutkan sekiranya kalian tahu kuliah itu menggunakan uang yang tidak sedikit. sampai suatu ketika keluargaku sadar akan mimpiku, lalu datang mengukuhkan pundakku sembari berkata, “Akan selalu ada jalan untukmu sampai pada impianmu, maka lanjutkanlah!”. Akan selalu ada jalan untuk sampai pada impianmu, selama ada tekad dan usaha yang bisa ditampakkan kepada keluargamu yang membuatnya yakin bahwa mimpimu bukan sekadar bunga-bunga tidur belaka. Sesulit apa pun keadaanmu selama mimpimu itu kuat dan bermanfaat, yakinlah ada saja solusi yang diberikan oleh Tuhan tentu dengan melihat kesungguhan hati dan usaha-usahamu. Inilah aku, sebuah kisah tentang anak yang bercita- cita besar namun tak punya dan tak diberi fasilitas, tapi mampu menyamai yang berfasilitas. Aku adalah anak yang hanya ingin memberitahu kepada kalian bahwasanya miskin bukan penghalang untuk mencapai mimpi. Bahwasanya miskin hanya membatasi perekonomian bukan pikiran dan tekad. 22
Akhirnya Oleh : Chaerunnisa Perkenalkan Aku Chaerunnisa, orang-orang biasa menyapa dengan sebutan Nisa ataupun Cerun. Lahir di Maros pada tanggal 22 Oktober 2004 dan merupakan anak ke-4 dari lima bersaudara. Aku lahir sebagai anak yang pernah imut di masanya dan masih merasa bahwa sekarang aku masih imut. Aku hidup dalam keluarga yang sederhana. Menjalani alur hidup dengan senang hati. Memiliki kegemaran membaca dan bermain bulu tangkis, juga memiliki cita-cita menjadi seorang dosen. Sekarang saat kisah ini aku tulis sudah genap berumur 18 tahun. Saat aku tamat sekolah dasar, aku berniat melanjutkan pendidikan di pesantren yang pastinya akan mondok. Aku sudah mempertimbangkannya pada saat itu. melihat kakakku yang sekolah di pesantren, sangat dibanggakan oleh keluarga kecil dan keluarga besarku, aku juga ingin seperti itu. Jadi, aku memutuskan untuk lanjut saja di pesantren walaupun harus berpisah dengan orang tua. Meskipun sebagian orang menganggap pesantren itu bagaikan penjara yang mengekang kebebasan dan banyak sekali 23
peraturannya. Tapi, aku dan santri-santri lainnya mengatakan pesantren itu memang penjara, akan tetapi penjara suci. Awalnya aku rasa sangat berat, air mata setiap sekali menemaniku. Tapi, itu semua masih bisa aku tahan demi untuk melihat diriku lebih baik ke depannya. Alhamdulillah di pesantren aku termasuk santriwati yang berprestasi di kelas maupun di luar kelas. Di mana beberapa kali telah mewakili pondok pesantren mengikuti ajang perlombaan. Bahkan aku pernah mendapat uang saku dari hasil mengikuti lomba dan uang itu aku gunakan untuk membeli smartphone. Berbicara tentang cinta. Aku mulai mengenal kata cinta sejak tamat kelas 3 MTS. Di mana ada salah seorang senior mengungkapkan perasaan suka kepadaku. Entah itu perasaan serius atau hanya ingin berpura-pura. Aku merasa tidak menyangka karena dia sangat terkenal di pesantren dengan kepintarannya. Akhirnya aku dan dia saling menjalin keakraban hingga aku duduk di bangku kelas 1 MA dan ujung keakraban itu meninggalkan rasa sakit. Ternyata, dia menyukai temanku sendiri. Aku mengetahui itu semua lewat story temanku dengan menyebut nama dia dengan 24
menggunakan emot love. Saat itu aku betul-betul merasakan rasa sakit. Hingga waktunya aku lebih memilih untuk mengikhlaskan dan menghilangkan rasa nyaman yang tersimpan. Terlalu sakit hati ini. Biarlah aku yang pergi. Biarlah waktu yang menjadi penyembuh luka ini. Kebahagiaan yang singkat hanya tinggal cerita. Mungkin aku terlalu bodoh mengharapkanmu. Karena sebenarnya terlepas darimu bukanlah hal yang mudah. Namun aku sadar, tidak ada yang abadi di muka bumi ini. perlahan cinta ini mulai pudar setelah seseorang bersamamu dan menghancurkan alur kebahagiaanku dalam sekejap. Akhirnya rasa trauma mencintai seseorang muncul secara tiba-tiba. Hingga alur selanjutnya, aku lebih memilih tidak membuka hati untuk orang lain karena takut rasa sakit seperti itu terulang kembali. Tak ingin lagi berharap kepada manusia, karena akhirnya yang kudapat hanya rasa kekecewaan. Aku harus bangkit dari rasa sakit ini walau tertatih-tatih. Rasa hampa!!! caraku menemukan patah untuk pertama kalinya dan harus kucari penyelesaiannya sendiri. Dua tahun aku sudah menata hati, harus bangkit dari ruang kusam cinta 25
di masa lalu. Meski tidak mudah, jatuh cinta kembali setelah melewati masa trauma dengan kisah masa lalu membutuhkan proses yang panjang. Kini aku menemukan lagi seseorang yang memberi tawa di hidupku itu adalah Muh. Surya Saputra. Aku dan dia saling mengenal sejak 6 tahun di pondok. Dia terkenal karena kesabarannya, akrab dengan banyak guru juga bisa dibilang santri yang pandai dalam semua hal terutama baca kitab kuning. Ternyata dia menyimpan rasa suka terhadapku semenjak kelas 3 MTS. Tapi karena kesabarannya dia hanya memendam rasa itu dan mengungkapkannya lewat doa agar Allah bisa menyatukan aku dengan dia. Doa dia terkabulkan sejak masa ujian kelas 3 MA. Di mana rasa kepekaanku telah muncul kepadanya. Akhirnya aku dan dia saling menyimpan rasa. Entah takdir ini baik atau justru hanya ingin bermain-main. Hari demi hari kami semakin dekat. Dia yang selalu ada memuaskan hati, memberi perhatian dan menciptakan tawa pada bibir, bahkan dia yang selalu menemani dan membantuku dalam hal apa pun. Kini hatiku mulai berbicara, berharap dia akan menjadi yang terakhir dan berharap dia mencintaiku setulus hati sampai nanti tanpa ada kata bosan 26
yang terucap. Mendekatkan diri kepada sang pencipta mengutarakan beberapa kalimat semoga aku dan dia bisa hidup berdampingan selamanya bersamamu. Aku selalu berharap di mana pun berada, Aku selalu diberikan kisah hidup yang indah dengan penuh keceriaan untuk aku sendiri dan untuk orang-orang yang mencintaiku tanpa imbalan. Dan sekarang, aku berusaha mencari versi terbaik diriku di UIN Alauddin Makassar yang berada di Kabupaten Gowa. \"Tetaplah menjadi diri sendiri, karena yang sesuai akan menetap dengan sendiri dan yang tidak sesuai akan menemukan tempat tujuan yang tepat.\" 27
“Seorang pendiam\" Oleh : Almusdar \"Karena menjadi seorang pendiam bisa membuatku paham bahwa suatu kenakalan tidak harus diumbar apalagi untuk dibanggakan\" Aku adalah sosok yang pendiam. Di sini aku akan bercerita tentang kepribadianku sendiri setelah mengetahui apa sebenarnya kepribadian yang melekat dalam diriku ini. Kepribadian setiap manusia berbeda-beda. Tuhan menciptakan manusia dengan beragam watak dan karakter hampir tak mungkin setiap manusia mempunyai tipe dan kepribadian yang sama persis antara satu sama lain. Bahkan anak kembar pun memiliki kepribadian yang sedikit berbeda dengan kembarannya. Menjadi pendiam seperti ini sebenarnya agak melelahkan bagiku. Aku sangat ingin menjadi seperti mereka yang aktif berbicara, namun itu hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku lebih menyukai suasana lingkungan yang tenang, lebih menyukai berpikir dalam kesendirian, dan dalam kesendirian aku bisa jauh lebih fokus daripada suasana yang ramai. 28
Aku sering dianggap rendah oleh kebanyakan orang karena pandangan orang-orang terhadap sosok pendiam sebagai orang yang tidak bisa bergaul, pemalu, tidak memiliki banyak teman. Sering kali dianggap sebagai antisosial, bahkan orang yang kurang suka dengan hubungan sosial. Itulah yang kurasakan sampai sekarang ini, aku merasakan bahwa hidupku itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri, kurang bersosialisasi, kurang berinteraksi, jarang berbicara dengan orang yang kuanggap asing, bahkan dengan orang yang kukenal sekali pun. Di usiaku saat ini, aku merasa belum bisa beradaptasi dengan lingkungan atau pergaulan yang bertolak belakang dengan kebiasaanku dan diriku yang sering mereka anggap alim, sehingga mereka sungkan untuk mengajak bergaul, takut salah dalam hal berbicara dan lain sebagainya. Padahal diriku ini biasa saja, sama halnya dengan mereka. Aku sempat berpikir, apa yang membuatku sehingga menjadi sosok pendiam seperti ini yang lebih suka menyendiri. Bukan aku tidak punya teman, bukan aku tidak punya sahabat dan aku tidak membenci teman-temanku. Tetapi kepribadianku memang seperti itu. Aku mengetahui dan merasakan kepribadianku seperti ini di saat aku menduduki bangku 29
sekolah menengah pertama (SMP). Sebelumnya itu aku masih merasakan asyiknya bermain dengan teman SD-ku, teman sekampung halamanku, dan teman- teman lain yang kenal dan dekat dengan diriku. Aku saat ini menyadari, mungkin rasa ketidaknyamanan itu muncul karena kultur yang melekat dalam keseharian di masa kecilku dulu. Pada masa itu kehidupanku sedikit terbatasi oleh larangan-larangan yang sampai sekarang membuatku lebih senang dan tenang ketika sendiri. Namun, dalam benakku tak pernah sedikit pun terlintas menyalahkan ajaran dan didikan yang diberikan oleh orang tuaku. Orang tua mendidik dan mengajarkan itu demi kebaikan anaknya. Nilai positif dan hal-hal positif lainnya aku rasakan saat ini, walau diri ini belum bisa bergaul dan beradaptasi sepenuhnya, tetapi karena ajaran dan didikan orang tua terhadap diriku benar-benar terasa. Alhamdulillah saat ini aku sudah mengetahui dan merasakan dunia luar dan kerasnya hidup tanpa kesesatan yang terbawa arus pergaulan negatif, walau ada sedikit penyesalan tapi aku menganggap itu sebagai suatu hal yang wajar. 30
Ujian yang Sesungguhnya Oleh: Alya Siti Rana Lulani S“ esuatu yang tidak membuatmu mati akan membuatmu kuat”, ucap seorang ustazah untuk memotivasi seluruh siswi yang akan menghadapi ujian akhir. Kala itu saat hari ke-2 ujian, para siswi tingkat akhir sedang berkumpul di auditorium guna mendengarkan pengumuman tentang aturan-aturan yang akan berlaku ketika ujian nanti. Salah satu aturan wajib untuk menghadapi ujian akhir ialah karantina, di mana para siswi diwajibkan untuk menetap di tempat yang telah ditentukan oleh pihak panitia ujian akhir. Ujian di pondokku adalah hal yang paling dinantikan oleh seluruh siswi, karena ujian adalah salah satu tanda bahwasanya kita akan lulus dan akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Aku adalah seorang alumni dari sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Sebelum aku masuk di pondok tersebut, aku mengakui bahwa aku adalah salah satu orang yang menganggap remeh sebuah ujian. Mengapa demikian? Karena setiap ingin menghadapi ujian, aku merasa belum totalitas dalam belajar hanya mengandalkan kisi-kisi yang diberikan oleh guru. Padahal sebenarnya kita tidak boleh membiasakan diri kita untuk bergantung pada suatu hal karena dengan 31
kebiasaan itulah kita akan susah untuk berkembang menjadi seseorang yang lebih baik. Pondokku telah mengajarkanku akan arti dari sebuah kedisiplinan, mulai dari hal-hal yang paling kecil, termasuk dalam disiplin terhadap diri sendiri. Aturan-aturan di pondok tersebut sangatlah ketat, salah satu dari aturan tersebut yakni aturan ketika masa-masa ujian. Ketika ujian para santriwati berbondong-bondong untuk belajar agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Ketika telah memasuki masa pra-ujian. para ustazah tidak pernah memberikan kisi-kisi ataupun contoh soal kepada para santriwatinya karena beliau berpikir, ”Jikalau diberikan kisi-kisi ataupun contoh soal, para santriwati tidak akan bersungguh-sungguh untuk belajar dan akan bersandar pada soal yang telah diberikan”. Soal ujian di pesantren pun tidak pernah menggunakan sistem pilihan ganda, melainkan seluruh soal ujian menggunakan sistem essai. Sistem ujian di sana tidak hanya ujian tulis saja, melainkan ujian lisan pun ada untuk semua mata pelajaran. Terkhusus untuk siswi tingkat akhir, pondok memiliki sistem yang beda dalam ujian yakni tidak hanya ujian lisan dan tulis saja, namun ditambahkan dengan adanya ujian praktik mengajar guna mengasah kepandaian para 32
santriwati dalam hal mengajar karena pondok sangat berharap para alumninya dapat mengajarkan dan mengamalkan ilmu-ilmu apa saja yang telah didapatkan. Sanksi yang dikenakan kepada para santriwati yang mencontek ketika ujian yakni hukuman drop out dari pondok. Maka dari itu, ketika memasuki masa-masa ujian para santriwati berbondong-bondong dalam belajar agar dapat memahami seluruh mata pelajaran yang ada sehingga ketika ujian dapat menjawab seluruh soal-soal dengan mudah. Di pondokku memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda dari pondok dan sekolah lainnya dalam hal ujian ketika memasuki akhir dari semester genap maupun ganjil. Biasanya siswa di sekolah umum menilai ujian akhir semester adalah titik di mana mereka akan memasuki fase liburan yang ditunggu-tunggu karena ketika liburan mereka dapat bersantai dan tidak memikirkan pelajaran yang membuat mereka pusing. Berbeda dengan santri di pondokku ketika memasuki fase ujian akhir semester mereka merasakan hal yang membuat pikiran mereka sebelum, ketika, dan sesudah ujian itu terbebani dari nilai yang menentukan kelulusan mereka ke jenjang selanjutnya. Waktu pun berlalu, hari demi hari terlewati hingga akhirnya sampailah ke titik di mana aku ingin sekali menjalani hal tersebut. Hal yang membuat hari-hariku ketika masih anak baru tercengang dalam 33
mengaguminya. Hal yang membuatku ketika menjadi senior di pondok tak sabar untuk menyelaminya. Hal yang membuatku sangat mendambakannya. Kami menyebutnya “Penguasa Pondok”. Siswa akhir KMI, kelas 6. Begitu sebutan guru-guruku terhadap kami yang sudah memasuki fase akhir dalam menuntut ilmu di pondok. Wewenang, jabatan, dan puncak kursi keorganisasian di pondok dapat dirasakan sepenuhnya oleh kelas 6. Kenyamanan dan disiplin yang dipegang oleh kelas 6 terhadap seluruh kebijakan pondok di bawah pengasuhan yang membuat fase tersebut didambakan oleh santri kelas 1-5. Tetapi di samping itu semua, hal yang paling ditakutkan juga muncul di dalam benak kami sebagai kelas 6 yang menjadi senior di atas segala santri, yaitu ujian siswa akhir KMI (Kulliyatul Muallimin Al Islamiyah). Banyak masukan yang diberikan sebagai motivasi ataupun arahan oleh ustaz/ustazah kepada kami yang akan menghadapi ujian yang sesungguhnya dan ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan pendidikan di pondok. Begitu banyak motivasi-motivasi dari para ustazah salah satunya yaitu, “Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian. Segala hal yang membuatmu kesulitan dalam belajar ketika ingin menghadapi ujian itu adalah titik balik self improvement untuk kehidupanmu ke jenjang selanjutnya” 34
Lalu untuk kesiapan mentalku, aku tidak lupa akan nasihat guruku yang menjadikan Allah subhanahu wa ta‟ala segalanya apalagi dalam menghadapi kesulitan yang akan dihadapi, “Kedekatanmu terhadap Allah adalah faktor terbesar di antara faktor-faktor kesuksesan yang ada”. Ketika itu pun diriku yang tidak terlalu memperhatikan ibadah sunnah, akhirnya menjadikan segalanya adalah ibadah dan diniatkan baik untuk memudahkanku dalam ujian yang akan dihadapi. Akhirnya “Hari pembalasan” yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku mengawali hariku lebih awal, yaitu pukul 04.00 WITA Subuh agar dapat bangun untuk salat Tahajud dan bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta‟ala untuk meminta pertolongan dan dimudahkan dalam segala hal. Lalu salat Subuh dilanjutkan dengan baca Alquran lagi-lagi diniatkan untuk dipermudah untuk hari tersebut. Lalu melanjutkan belajar adalah hal yang lumrah bagi setiap kelas 6 setelah bersusah payah memahami dan menghafalkan pelajaran yang akan diujiankan di hari tersebut. Waktu ujian pun masuk. Kami diberi waktu sekitar 120 menit untuk menjawab soal ujian. Soal yang kami hadapi adalah hasil belajar kami selama 6 tahun menuntut ilmu di pondok. Dengan segala usaha yang kuberikan, dengan segala persiapan mental dan fisik pun teruji 35
karena seluruh pelajaran adalah pengulangan dari 86 buku yang ada, dan dari 38 pelajaran yang ada. Ekspresi dari masing-masing wajah “Penguasa Pondok” kala itu pun bermacam-macam. Mulai dari ada yang kegirangan dan bersyukur karena semua pelajaran yang dibaca, dipahami dan dihafalkan masuk ke dalam soal ujian. Lalu ada juga yang bermuka masam disebabkan keterbalikan dari apa yang terjadi terhadap si girang tadi. Alhamdulillah yang terjadi padaku adalah tetap bersyukur dengan apa yang sudah diusahakan dan menyerahkan semuanya terhadap Yang Maha Kuasa, dengan tetap berdoa dan meminta yang terbaik kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Sesungguhnya ujian yang kulalui pada saat itu tetaplah ujian yang dimaksud oleh Allah dalam janji-Nya terhadap seluruh hamba- hamba-Nya. Karena setelah semua jerih payah, kesusahan dan kesulitan yang kuhadapi memang benar-benar sebagai self improvement seperti apa yang sudah diajarkan ustazah kami sebelumnya. Aku orangnya jarang membaca dan mengulangi pelajaran, jadi tetap mengulangi agar bisa melalui ujian yang diberikan kala itu. Ini bukan hanya sekadar ujian, tapi untuk mengetahui cara hidup. 36
Kisah Hidup Oleh: Andi Kahlil Gibran Nama saya Andi Kahlil Gibran. Lahir di Kota Sengkang Kabupaten Wajo. Dilahirkan 19 tahun yang lalu. Lebih tepatnya pada awal bulan April 2003. Seorang anak bungsu dari 3 saudara, yang lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kisah ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis dalam menempuh kehidupannya. Kami hidup di sebuah kota yang sangat asri kala itu. Hiruk-pikuk perkotaan masih belum terasa dikarenakan asri dan nyamannya suasana pada saat itu. Hanya beberapa tahun kemudian, keluarga kami harus pindah karena pekerjaan sang ayah harus dipindahkan ke Kota Makassar. Saat itu aku masih berumur sangat belia, tidak tahu apa-apa. Hanya mengikuti arahan dari orang tua untuk pindah ke tempat yang sangat jauh dari tanah kelahiran. Hari demi hari berlalu. Pertumbuhan umur bertambah. waktunya untuk memasuki dunia pendidikan yang pertama kali dirasakan. Sekolah pertama yang mengajarkan murid- muridnya ajaran-ajaran agama Islam mulai dari usia dini. 37
Orang tua kami pun telah berusaha keras untuk mendidik anak-anaknya agar bisa tumbuh dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Meskipun orang tua sendiri masih belum bisa dikatakan sebagai ahli agama. Bersamaan dengan itu, mereka senantiasa mengajarkan kepada kami untuk selalu mengikuti perintah Tuhan dan selalu berbuat baik. Masa kanak-kanak pun telah berlalu kurang lebih 2 tahun. Beranjak dari masa tersebut, masuklah pada masa yang baru. Masa yang lebih tinggi dari masa kanak-kanak. Yaitu masa sekolah dasar. Selama 6 tahun lamanya, belajar di tingkatan ini banyak sekali kisah yang tak terlupakan. Mengenal dunia pendidikan lebih mendalam lagi. Membuat kita menjadi lebih semangat dalam menempuh dunia pendidikan. Mengenal guru yang baru, teman yang baru, dan lingkungan yang baru pula. Di fase ini, belajar untuk mengetahui dunia pendidikan pun sangat terasa. Mulai dari tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan beberapa hal-hal yang menarik lainnya. Enam tahun telah berlalu. Allah menakdirkan kepada kami untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sekolah menengah pertama. Di dalam fase ini, 38
belajar jadi lebih banyak dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang baru. Tepatnya di daerah Antang, salah satu daerah yang ada di Kota Makassar. Pada saat inilah, kehidupan sangat terasa berat karena lingkungan yang baru. Keluarga kami terus melakukan pindah rumah, sampai saat ini bersekolah di daerah tersebut. Kenakalan remaja pun mulai bermunculan. Yang dahulunya tidak tahu menahu tentang pergaulan, pada saat inilah semua hal tersebut terjadi. Memang berat hidup di kota. Lingkungannya yang berbeda dengan lingkungan pedesaan serta pergaulan yang bebas. Membuat hal itu sebagai sebuah tantangan bagi kami untuk tetap melanjutkan pendidikan. Demi cita-cita yang diimpikan. Orang tua selalu memberikan nasihat yang sangat membantu agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan tersebut. Pada masa ini, Mata Pelajaran Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang sangat kugemari. Selalu mendapatkan nilai yang baik di setiap tugas-tugas dan ujian-ujian. Guru yang mengajari mata pelajaran tersebut sangat mengapresiasi 39
usaha dari belajar kami. Tentu saja hal ini disebabkan karunia dari Allah dan doa dari kedua orang tua. Setelah berlalu 3 tahun. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu dunia sekolah menengah atas. Memutuskan untuk masuk ke Madrasah Aliyah, membuahkan perasaan yang ragu untuk melangkah maju. Seperti yang dulu diketahui, bahwa Madrasah Aliyah merupakan sekolah setingkat SMA akan tetapi lebih ke arah dunia pendidikan yang berbasis keislaman. Hal ini tentu saja menjadi tantangan yang baru bagiku dalam menempuh dunia pendidikan, dengan berbagai nasihat dari orang tua dan secara langsung diterima di salah satu madrasah yang ada di Kota Makassar. Pada saat inilah, ketertarikan terhadap bahasa Arab pun muncul. Dikarenakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada saat itu adalah Bahasa Arab. Hal ini membuat penasaran terhadap mata pelajaran yang satu itu. Berkat pengajaran dari guru Bahasa Arabku dahulu, aku pun termotivasi untuk memperdalam bahasa tersebut. Dengan takdir Allah Yang Maha Kuasa, bersekolah di tingkatan Madrasah Aliyah menjadikan nilai-nilai ajaran agama 40
Islam menjadi tertanam di hati murid-murid. Setelah beberapa tahun yang lalu dihadapkan dengan lingkungan yang kurang baik, akhirnya pilihan masuk ke Madrasah Aliyah pun menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Di tingkatan MA ini, sangat banyak pelajaran hidup yang dapat diambil. Kedewasaan mulai tercipta, yang dahulu hanya mengetahui main dan buang-buang waktu, namun berbeda lagi pada masa ini. Pemikiran tentang masa depan pun sudah berada di benak. Ingin menjadi apa? Bagaimana prosesnya? dan apakah berhasil atau tidak? Pertanyaan ini sering muncul di akhir-akhir masa sekolah di Madrasah Aliyah. Terus memikirkan akan jadi apa setelah ini. Keragu- raguan pun muncul di hati dan pikiran. Setelah beberapa waktu mencari informasi di internet. Akhirnya menemukan titik terang dari permasalahan ini. Setelah menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah. Ada keinginan dan tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan di kota kelahiran Nabi, Makkah. Belajar pun semakin ditambah porsinya, terutama Bahasa Arab. Akan tetapi, muncul lagi keraguan di dalam hatiku. Tentang biaya untuk bisa melanjutkan pendidikan di sana. Setelah meminta pertolongan kepada Allah. Akhirnya 41
ayat ke-186 dari surah Al-Baqarah menjadi solusi bagi permasalahan yang tengah dihadapi. Di dalam ayat tersebut terdapat motivasi untuk tetap berdoa dan meminta kemudahan kepada Allah yang maha mengabulkan doa. Sesuai arahan dan nasihat dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas di Kota Makassar dulu. Memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Dengan memasuki Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Dengan harapan bisa menambah ilmu dan pengalaman sebelum menuntut ilmu ke Luar Negeri. Inilah kisah yang kutulis dengan segala kekurangannya semoga ada manfaatnya. Maka dari itu belajar dan doa merupakan kunci menuju kesuksesan yang diimpikan. Senantiasa berjuang meraih impian dan cita-cita. Semoga Allah Yang Maha Bijaksana mengabulkan segala apa yang kupinta dan memasukkan kita kepada golongan orang-orang yang masuk surga-Nya. Amin… 42
Selalu Ada Hikmah di Balik Setiap Rencana-Nya Oleh: Andi Nabila Khaerana Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa, saat seseorang sudah mulai mengenal dunia luar. Seseorang seharusnya sudah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Sudah bukan waktunya untuk bermain-main, sekarang adalah waktunya untuk menata masa depan. Di sinilah aku, menuntut ilmu di Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin. Tempat untuk aku mulai menata masa depanku. Di sini aku akan belajar banyak hal yang akan membawaku menuju pribadi yang lebih baik lagi. Hari ini adalah langkah awal aku memulai proses menuntut ilmu di pondok pesantren. Aku diantar oleh keluarga menuju ke pondok pesantren. Yang aku rasakan setelah menginjakkan kaki di sana adalah sedih. Sedih karena harus jauh dari orang tua, sedih karena harus mulai beradaptasi kembali dengan orang-orang baru. Tetapi, rasa itu perlahan-lahan mulai terkikis. Ketika aku mulai berinteraksi dengan teman-teman baru, perlahan- 43
lahan rasa sedih itu berganti menjadi rasa senang. Kami saling bercanda, berbagi cerita, dan bersama-sama mulai beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Di sini kami belajar untuk bisa mengatur waktu. Kegiatan kami mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali itu sudah diatur, dan tentunya itu semua adalah bagian dari proses pembelajaran. Salat, makan, dan belajar itu semua kami lakukan bersama-sama, dan tentunya kegiatan-kegiatan itu yang akan membangun kebersamaan di antara kami. Hari demi hari berlalu dengan segala suka dan dukanya. Sampai akhirnya aku sampai di titik di mana aku merasa jenuh. Jenuh akan keadaan, jenuh akan kegiatan- kegiatan yang terus dilakukan berulang-ulang. Tapi aku selalu berkata dalam hatiku \"Sabar, tidak lama lagi\", dan kata-kata itulah yang memotivasiku untuk terus melanjutkan perjuangan. Hari kelulusan pun telah tiba. Aku merasa bingung ingin tersenyum atau menangis. Di satu sisi aku merasa senang karena sudah terbebas dari rasa jenuh itu, tapi di sisi lain aku juga merasa sedih karena harus berpisah dengan teman-teman. Mereka yang menemaniku berjuang selama 6 tahun di pondok, tentu ada perasaan sedih di dalam hati. 44
Tetapi aku tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, karena aku tahu bahwa di dalam setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Telah berakhir perjuanganku di pondok ini. Terima kasih karena telah mengajarkan banyak hal di dalam hidupku. Terima kasih telah membantuku untuk merancang masa depanku. \"Ikuti alurnya, nikmati prosesnya. Allah tahu yang terbaik untuk kita\" 45
Senyum Oleh: Ayu Ramadani Kutuliskan sebuah kisah agar menjadi pembelajaran untuk orang lain. Kisah ini dimulai dari awal masuk sekolah sewaktu Madrasah Aliyah dulu. Perkenalan di awal masuk sekolah sudah menjadi tradisi dan aku pun melakukan hal yang sama. Semuanya berjalan lancar, aku bisa bergaul walaupun masih terasa agak sulit, namun ada satu manusia yang entah mengapa membuatku merasa kesal. Kalian pasti penasaran alasan mengapa aku merasa sekesal itu padanya? Saat itu aku sedang asik bercengkrama dengan yang lain, tiba-tiba mataku bertemu dengan matanya. Aku pun memberikan senyum dan dia hanya terdiam tanpa membalas senyumanku. “Senyum doang gak dibalas, sombong banget sih.” kataku dalam hati sambil memasang wajah sinis kepadanya. Keesokan harinya kami masuk di waktu yang sama, namun yang kudapatkan susunan meja dan kursi sudah berubah menjadi berpasangan. Aku pun harus mencari meja yang baru lalu meja bagian depan menarik perhatianku “Meja 46
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152