Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:24:00

Description: SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

Search

Read the Text Version

telah menghapus segala beban berat pikiranku karena harus me- rawat Tabah Arifin sepanjang hayat. Namun kebersamaan itu akhirnya harus berakhir juga. Setelah selesai kuliah, mereka telah menikah dan harus pergi meninggalkan keluarga. Apa boleh buat? Aku harus merelakan mereka pergi. Putra Anugerah tinggal di Yogyakarta bersama istrinya, dan Putri Widhiati harus meng- ikuti suaminya di Bali. Setelah mereka pergi, hari-hariku kembali sepi. Hanya Tabah Arifin yang tergolek di tempat tidur setia me- nemani kami. Perjalanan hidup yang aku lalui sudah teramat panjang. Per- juangan hidup yang penuh kesabaran telah kulewati. Tak terasa umurku telah menginjak senja sedangkan Tabah Arifin sudah berusia 42 tahun. Kembali muncul kecemasan di dalam batinku. ‘Sekarang aku bisa menyayangimu. Sekarang aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu, memandikanmu, menyuapimu, dan menceboki kamu. Namun, siapa kelak yang akan merawatmu kalau aku dan ibumu sudah dipanggil Tuhan?’ tanya batinku di tengah malam yang sepi. Keesokan harinya aku ajak bicara istriku. Apa yang bisa kami lakukan untuk merawat Tabah Arifin kalau kami sudah tiada. “Bagaimana Jeng?” tanyaku. “Kita bisa wariskan rumah dan ternak Sriti ini kepada siapa saja yang mau merawat Tabah sampai akhir hayatnya Mas,” jawab istriku menenangkan. “Itu ide yang bagus. Coba nanti kita tawarkan pada kenalan- kenalan kita. Siapa tahu ada yang mau menyanggupinya. Tidak mungkin kita menyerahkan perawatan Tabah pada dua anak kita.” “Betul. Mereka sangat sibuk dengan urusan mereka masing- masing. Lagi pula kita tidak ingin mewariskan beban kesedihan ini pada anak-anak kita yang lain. Semoga saja kita bisa menemu- kan jalan untuk mengatasinya. Semoga orang yang mewarisi ter- nak Sriti kita ini orang yang amanah dan sabar.” 92 Suara Bayang-Bayang

“Aamiin.” Beberapa minggu setelah aku berbicara dengan istriku ten- tang masa depan anak kesayanganku itu belum aku temukan orang yang mau menerima tawaranku itu. Pada malam Jumat di mana aku biasa bermunajat di tengah malam, tiba-tiba saja aku dengar kebisingan di dalam rumahku. Burung sriti kaji penghuni rumahku itu berterbangan berputar-putar mengelilingi atap rumah- ku. Suara mereka bercuitan bersautan. Suara gaduh itu semakin jelas terdengar. Kudengarkan suara itu seperti angin kencang ber- hembus memenuhi seluruh ruangan. Aku berjalan ke luar rumah. Aku amati apa yang terjadi pada mereka. Aku cemas kalau ada binatang liar atau bahkan orang jahat datang ke rumahku dan mengganggu ketenangan burung-burung yang telah menemani hidupku puluhan tahun itu. Aku jadi terheran-heran melihat apa yang sedang terjadi di hadapanku. Ketika aku sampai di depan rumah utama yang jadi tempat tinggal burung Sriti Kaji itu, Aku temukan ribuan burung itu sedang terbang berputar-putar membentuk formasi lingkaran. Tak lama kemudian mereka berbondong-bondong, bergerak me- ninggalkan rumahku. Satu per satu mereka pergi dengan tertib. Suara gaduh itu pun semakin lama semakin menjauh. Tak lama berselang suara gaduh dari Sriti Kaji benar-benar lenyap dari dalam rumah. Keseokan harinya aku lihat rumahku sudah kosong. Tinggal sisa-sisa rumah burung Sriti yang tertinggal di pojok-pojok ruangan dan kotoran berserakan di dinding rumah dan lantai. “Jeng, burung-burung itu telah pergi semuanya,” kataku pada istriku keesokan harinya. “Ya Allah….mungkin sudah cukup mereka ingin menemani kita Mas. Mereka ingin pulang,” jawab istriku lirih. “Mungkin begitu. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Mereka datang dan pergi sesuai kehendak mereka sendiri. Ataukah me- reka pergi karena tahu kita ingin mewariskan rumah kita ini kepada orang yang mau memelihara Tabah ya Jeng?” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 93

“Tak tahulah. Keajaiban terbukti ada. Di balik keajaiban itu pasti ada tangan tersembunyi. Kita percaya saja pada putusan Illahi.” “Ya Jeng.” Ketika aku dan istriku belum selesai dibuat heran dengan keajaiban burung Sriti Kaji itu, tiba-tiba saja ada sesuatu yang terjadi pada diri Tabah Arifin. Anakku itu jadi tidak mau makan. Kucoba menyuapinya, tapi dia selalu enggan membuka mulut- nya. Hanya beberapa tetes air minum yang masuk ke kerong- kongannya. Peristiwa itu berlangsung hampir lima hari sebelum akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Perawat menyatakan kalau keadaannya semakin memburuk. Tepat sembilan hari setelah kepergian Sriti Kaji itu aku harus mendapat ujian kesabaran lagi. Anak kesayanganku Tabah Arifin dipanggil menghadap Sang Khalik. Aku hanya bisa pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah Tuhan Maha Berkehendak. Saat keberangkatan jenazah ke makam desa, langit terlihat mendung. Arak-arakan awan berjalan menjauhi bumi. Di antara arak-arakan awan itu kulihat Tabah Arifin berjalan menuju surga diiringi ribuan Sriti Kaji. Tiba-tiba telingaku mendengar suluk kesedihan seperti biasa aku dengar dari pementasan wayang kulit yang jadi kegemaranku; ‘Surem-surem diwangkara kingkin. Manukswa kang layon. Pindha ilang memanise. Wadananira layung. Kumel kucem. Rahnya maratani.’ Wadaslintang, 26 Mei 2018 94 Suara Bayang-Bayang

Monolog sang Mantan Mufti Wibowo (SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto) Mungkinkah hanya karena mantra-mantra, hidupku akan hancur? Apalagi, pelakunya hanyalah seekor lalat. Aku tak kuasa menahan wabah mantra-matra yang semakin hari makin masif. Bahkan, ada yang menggubahnya menjadi lirik lagu dangdut koplo, semua hafal dan fasih melantunkannya. Belum berita di tv, koran, dan portal web. Memikirkannya, ke- palaku serasa akan meledak. Tengkoraknya akan pecah dan me- ngeluarkan isinya yang berwarna gelap dan beraroma busuk. Seperti dugaanmu, siapa yang akan menaruh curiga pada penyadap glukosa pada sudut-sudut intim bunga itu? Lalat yang satu ini memang lain dari yang lain, gayanya yang eksentrik membuatnya begitu cepat menjadi buah bibir. Dengan modal itulah, ia berhasil mengubah citra menjijikkan lalat menjadi se- baliknya, kesayangan penduduk negeri Bencholeng. Kecintaan negeri ini pada lalat telah melampaui batas toler- ansi dalam skala gendhengmeter. Seorang pakar psikologi hukum berujar, ini merupakan gejala normal negara yang dalam rentan waktu lama tidak mengizinkan warganya memelihara anjing, ikon yang juga menjadi lambang negara sejak masa keemasan prakolonial. Serpihan-serpihan sejarah itu sengaja dibiaskan pada masa kolonial untuk mencerabut bangsa Bencholeng dari iden- titas kulturalnya, dilanjutkan kemudian pada masa poskolonial dengan dalil pencerahan, menghibrida renaisans Eropa. Kini, lalat Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 95

itu melawan arus sejarah. Kita adalah bagian dari sejarah itu. Kita tak boleh diam saja. Kejadian yang tak akan pernah kau lupakan tentunya. Ya, konspirasimu bersama para ilmuan asing dan perjamuan makan malammu dengan para agamawan dan bos media? Aku tahu itu bukan maumu, tapi kau bertanggung jawab atas peristiwa itu semua. Berkat kerja cerdasmu, dalam satu malam saja, negeri ini bersepakat untuk membunuh semua anjing peliharaan maupun yang hidup liar di seluruh penjuru negeri Bencholeng. Aku kagum untuk itu, tepuk tangan kehormatan. Mari bersulang! Tentu kau saja yang tahu, sebab aku tahu kau selalu dapat kupercaya. Mengapa aku menginginkan kau melakukan itu se- mua? Andai istriku tak sebodoh itu. Kalau pun dia sangat ber- nafsu, kepandaian bisa sedikit menolongnya untuk bersikap lebih rasional. Tak mempermalukan sendiri dan memabawa-bawa aku sebagai suaminya yang adalah presiden. Atau, dia memang tak pernah perduli itu. Dia hanya peduli dirinya sendiri. Tidak negeri ini, apalagi aku. Kau juga sudah paham, aku tergila-gila pada perempuan itu. Aku masih beruntung, identitasnya masih terahasiakan dari kha- layak. Bisa kau bayangkan bila orang satu negeri menghubungkan hilang mendadaknya penyanyi koplo dengan goyang paling panas yang tergabung dalam grup musik Palanaga yang sangat populer di youtube itu. Beruntung,operasi plastiknya berjalan lan- car. Memang, semua yang dikerjakan orang asing hasilnya selalu lebih bagus, meski mahal ongkosnya. Hidung dan dagunya su- dah mirip Agnes Mo, pipinya tirus, dan lemak berlebih di bebe- rapa bagian tubuhnya yang tak usah kau tahu sudah dirasionali- asi ukurannya agar terlihat lebih proporsional dan tak meng- ganggu pemandangan. Meski begitu, kebiasaannya mengutil sempak di mal belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Meski begitu, aku tetap tak berani melarangnya. Aku hanya membolehkan ia pergi ke mal seminggu 96 Suara Bayang-Bayang

sekali. Itu adalah pencapaian terbaik sejak hubungan kami. Se- belumnya, setiap hari, ia minta diantar ke mal hanya untuk me- lampiaskan hasratnya yang ganjil itu. Cintaku tak sepenuhnya buta, sebelum kau mengenalku dan menjadi timsesku, aku adalah seorang pemuda baik-baik. Karena itu, pertama kali mengetahui tabiatnya, aku menawarkan diri untuk membayar semua barang yang diambilnya secara ilegal itu. Bukan pujian yang kudapati, ia malah marah hebat padaku hingga sebulan lamanya dia tak mau lagi kuajak berkencan. Tak berhenti usahaku untuk kebaikan calon istriku ketika itu, diam-diam aku membayar barang yang ia kutil. Sekali lagi, dia menggerutu. Menurutnya, sempak yang kubayar di kasir kehilangan kemagis- annya. Akibatnya, ia koma di rumah sakit selama dua minggu. Aku sendiri tak pernah tahu untuk apa sempak-sempak itu. Hingga suatu hari setelah aku menikah dengannya, diam-diam aku melihat ribuan sempak yang disimpannya dalam beberapa lemari dari kayu jati dengan ukiran khas jeparan. Semuanya da- lam keadaan bersih dan tertata rapi. Tak ada yang ganjil, kecuali jumlahnya. Sejak aku menjadi presiden setelah memenangi pemilu yang bersejarah karena diterapkannya aturan one man one vote. Langkah pertama yang kulakukan adalah memilih dan memelihara anjing yang setia untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku yang berat. Kadang aku berpikir kesetiannya padaku jauh lebih tinggi ketim- bang kesetiaanku terhadap istri atau Tuhan sekali pun. Pencium- annya yang tajam adalah modalnya untuk kupercaya. Berbagai misi pernah dijalankannya, dan tak pernah berkahir mengecewa- kan. Semua orang memuji pekerjaanku pada seratus hari pertama. Aku tak sungkan menyebut jasa-jasa anjing kesayanganku ini. Suatu ketika, sebagaimana kebiasaan kami di akhir pekan, aku seharusnya menemani istriku jalan-jalan ke mal, selain agenda menghadiri undangan nonton drama musikal. Namun, men- dadak aku mendapat undangan untuk plesiran dari bos besar Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 97

pemegang veto UN. Kau tahu sendiri, aku tak punya pilihan. Aku tak berani bawa anjing kesayanganku itu. Aku terbang de- ngan jet yang dikirim bos, khusus untuk menjemputku. Anjing setia itu kuminta untuk mengantikan tugasku menemani istriku melewati akhir pekan. Hanya dia yang selalu dapat kuandalkan. Di tengah pesta penari hawai, para undangan yang setengah mabok, aku mendapat telfon dari istriku. Dia menangis hebat dalam telfon dan melaporkan tingkah gila anjing kesayanganku. Katanya, ia telah dipermalukan anjing itu dengan terus meng- gonggong saat melihatnya memasukkan sempak ke dalam tas mahalnya yang baru seminggu sebelumnya didapatnya dari istri kelima importir sapi. Gonggongannya tak juga reda karena istriku berkeras tak mau memberikan tas itu. Beruntung, istriku tak diserang membabi buta sebagaimana bos perusahaan emas dari negeri Lik Sum. Sekoper emas batangan dan dolar dalam koper diobrak-abriknya, dikotori dengan kencing dan tahi serta mun- tahan sarapan paginya. Peristiwa itu menjadi penyebab aku harus mengambil ke- putusan terpenting dalam hidupku, sebagai presiden, sebagai suami, sebagai manusia. Meski tak pernah menyepakatinya, kau melakukan yang kuminta. Kau ingin menyelamatkan aku dan anjing itu sekaligus. Aku kabulkan permintaanmu yang hanya kita saja yang ketahui. Di balik konspirasi pembasmian anjing berpenyakit itu demi permintaan istriku, kau meminta anjing- anjing liar yang hidup di hutan lereng gunung tak dibinasakan. Katamu lagi, anjing pahlawan itu hanya bisa dilenyapkan dengan cara konstitusional, melalui mekanisme hukum positif yang ber- laku di negeri kita. Namun kita menghadapi persoalan lain karena telah meratifikasi hukum internasional tentang penghapusan hukuman mati. Sekali lagi, kau yang menunjukkan keahlianmu dengan menunjukkan jalan keluar, kita dimungkinkan meng- hukum anjing itu dengan hukuman apa pun selain hukuman mati. Jadi, usulmu adalah menyuntiknya dengan serum yang 98 Suara Bayang-Bayang

akan membuat anjing itu secara fisik akan berubah menjadi lalat. Hebat! Berhasil dalam rentan waktu kurang dari dua bulan. Kerja bagus. Tos! Di dunia ini, teori Darwin berlaku pada terlalu banyak hal, melawan kepentingan-kepentinganku. Seperti layaknya hewan- hewan purba yang hari ini masih bertahan, mereka mengalami evolusi fungsi hingga bentuk fisiologis. Lalat, hari ini lebih suka hinggap di makanan mewah dan mahal karya para chef perlente. Mereka melengkapi diri dengan sensor antiformalin, boraks, hingga sianida yang sering dengan maupun tidak sengaja berada dalam makanan-makanan berbarkode itu. Maka, kita tak pernah mendengar berita di koran dan tv milik ketua partai manapun di negeri ini mati karena keracunan zat-zat berbahaya buat manusia itu. Maka jangan heran, bila penduduk negeri ini, bahkan pasuk- an rahasia kepresidenan menggunakan jasa lalat dalam menjamin keamanan makanan untuk presiden. Tentu, hal semacam itu takkan pernah terjadi kalau hari ini aku masih menjadi presiden. Faktanya, aku baru meletakan jabatan itu beberapa bulan lalu. Apa maksudmu mempertanyakan kekhawatiranku? Katika presiden baru yang tak sempat kujabat tangannya itu–karena saat pelantikan, aku diare–menginginkan peliharaan yang setia yang dicintai rakyat. Di tangannya, kini ada beberapa kandidat. Selain lalat sebagai kandidat terkuat karena kedekatan dengan rakyat, dua tikus dan kecoa menjadi nama yang disodorkan pada pre- siden untuk dipilih karena memiliki rekam jejak panjang sebagai senior di partai yang pada pemerintahan sebelumnya menjadi oposisi di parlemen namun tidur satu selimut dalam apartemen yang sama. Bagaimana kalau yang kita takutkan terjadi? Kita memang mengantongi rekam jejek negatif dua senior tikus dan kecoa yang akan membuatnya berpikir ulang akan menyerang kita nanti, jika terpilih. Kalau mereka ancang-ancang mengancam, kita gertak balik, mereka akan diam sendiri. Tapi, kalau lalat yang dipilih, Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 99

tamat riwayat kita. Dia punya segala informasi yang dibutuhkan untuk menghancurkan dinasti kita, tapi kita tak punya apa-apa untuk melawannya. Sekali lagi, yang kukhawatirkan terjadi. Hasil-hasil survei dimentahkan fakta bahwa lalatlah yang dipilih presiden. Hari ini, ia memang hanya memeriksa makanan presiden. Namun, teori Darwin benar-benar mengacaukan logikaku. Aku benar- benar tak bisa membayangkan bagaimana jika suatu hari ia me- miliki kemampuan mendengar, bicara, membaca, dan menulis. Dia akan berbicara dan menulis tentang aku dan istriku, juga kau. Dunia berubah. Lalat-lalat hidup dan berkembang biak dengan cara yang mengguncang dunia. Mereka menaruh telur- telur yang kemudian menjadi larva yang hidup dalam layar dan mesin gadget. Mereka hidup dengan cara menggerogoti kornea, retina, pupil dan seterusnya hingga terjun ke jantung. Lalu dipompa ke otak sehingga menguasai sistem syaraf. Dengan cara ini, lalat-lalat ingin membangkitkan penduduk negeri dari ke- matian. Sebuah kematian yang tidak biasa dan belum pernah di- jumpai pada negeri mana pun sebelumnya. Siapa yang mati, katamu, kita memang tak pernah meng- hukum mati siapa pun. Kita hanya melarang orang untuk hadir dalam pemutaran film atau buku yang memuat gambar palu dan arit. Khotbah-khotbah agama pun diawasi. Kitab-kitab hukum hanya boleh ditafsirkan segelintir orang yang diberi sertifikat. Sekolah-sekolah adalah tempat pembuangan dan penitipan anak yang mengasingkan mereka dari kenyataan. Kemiskinan di- garansi. Bagaimana kalau mereka kemudian hidup lagi? Mereka akan menuntut balas atas pembunuhan yang kita lakukan? Apa yang bisa kita lakukan? Kita sekarang hanya kerikil yang hanya mampu menjadikan riak kecil yang tak kuat melawan arus sungai setelah hujan di hulu. Sedangkan, roda akan menggilas kita. Apa yang akan kita lakukan? Jangan diam saja! 100 Suara Bayang-Bayang

Hari ini, kau melihat sendiri bukan, mengapa aku begitu ingin membunuhnya sejak awal? Namun, kau menyembunyikan ketakutanmu dengan dalih kekejaman. Kau ingin dia mati men- derita dengan hukuman menjadi seekor lalat yang hina dina. Ke- putusanmu membuangnya ke Hutan Larangan –di lereng anak gunung di tengah laut Jawa yang ratusan atau ribuan tahun lalu meletus dan menggelapkan seluruh permukaan bumi hingga beberapa hari– yang tak satu pun manusia bahkan hewan berani tinggal di sana telah membuatnya berkenalan dengan arwah- arwah gentayangan radikalis, koruptor, dan bandar narkoba. Bukan kebinasaan yang ia dapat, malah transfer ilmu dalam per- tapaannya. Ilmu yang pelan-pelan sedang menggerogoti organ- organ dalam tubuh kita, dan sebentar lagi akan memberangus trahku. Apa kau lupa, kisah Ramayana itu? Penderitaan-pende- ritaan Rama itulah yang menjadikannya semakin sakti. Tidak, tidak, tidak. Aku hampir-hampir koyak. Mengapa kau masih ingin berkhotbah? Janganlah kau curangi kata khotbah itu dengan membawanya ke tempat ini. Kita sedang bicarakan barang kotor dan busuk. Sejujurnya, meski engkau menjadi tangan kananku, aku tak pernah sungguh-sungguh mempercayaimu. Kau pasti kasihan melihatku yang tak tahu berterima kasih dan tak memiliki hormat pada ilmu dan kebijaksanaamu. Cinta kasih hanya membuat siapa saja menjadi lemah. Maka, aku tak berkeinginan memiliharanya. Termasuk istriku yang badannya sudah semakin bau mayit. Cepat atau lambat, karena keadaanku, kau juga istriku memiliki ke- sempatan untuk berkhianat padaku. Sebagaimana pengkhianat- an Wibisana adik Rahwana ketika menyeberang ke kubu Rama. Diamlah, istriku! tersayat-sayat rasanya hatiku mendengar tangismu segetir itu. Apa yang dapat kita buat, kalau dagu dan hidung Agnes Mo serta pipi tirusnya yang indah itu telah berganti rupa anjing Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 101

kampung yang dekil karena dicampakan, sedang ia terlihat ke- laparan? Kau, mengapa cuping telinga dan tatapanmu matamu seperti anjing yang minta dikasihani? Mengapa kalian tertawa melihatku? Wahai istriku dan pe- nasihatku yang bertelinga dan berhidung anjing? Aku tidak meng- geram! Aku hanya merasa lidahku lebih panjang sepuluh senti daripada sebelumnya sehingga rongga mulutku tak cukup dan aku mesti menjulur-julurkannya sembari meneteskan liur ber- lebih. Aku sulit mengatupkan mulutku, karena gigi-gigi taringku tumbuh memanjang hampir tiga kali lipat. Kalian tertawa makin geli ketika untuk pertama kalinya aku menggonggong. Bunga Pustaka, 2017 102 Suara Bayang-Bayang

Mata Sipit Muhammad Ulil Fachrudin (SMA Negeri 2 Ungaran) Tegallurung dan Mangga Dua, 1998. Perkiraan orang lain tampak terlihat sinis mengkerutkan mata hingga ter- kesan sipit ketika melihat sesuatu yang aneh di mata. Perkiraan tersebut manakala orang-orang sekitar pemukiman padat dan pusat perbelanjaan Mangga Dua melihat sosok asing dengan warna kulit kuning langsat tanpa bekas jerawat di wajahnya yang orientalis dan alis tipis tertutup alis bergambar, melewati pinggir jalan dan masuk ke sebuah Gang kecil bernama Gang Tulak. Sosok tersebut sebenarnya Li An, perempuan manis yang kembali lagi ke Gang Tulak setelah selama enam tahun belajar di negeri asalnya, Tiongkok. Sekarang ia sudah 24 tahun. Ia pun sampai di rumah. Rumah- nya berbentuk petak kecil berlantai dua. Tempat makan menjadi satu ruang dengan dapur dan kamar mandi. Ruang depan ber- hiaskan alat kebutuhan dasar warga seperti gula, beras, kopi, teh, dan sebagainya. Ia pun merenung dan bercerita kepada Mama dan Papa. Liao Tje Sung dan Tap Gwen An adalah keturunan Tionghoa totok generasi kedua setelah Kakek dan Nenek Li An kembali ke Tiongkok meninggalkan kedua orang tua Li An karena alasan ekonomi. Ia terheran bagaimana bisa orang-orang Mangga Dua memandangnya demikian? “Ada apa gerangan Papa? Aku salah apa? Kan sekarang aku sudah kerja di Sarinah.” keluh Li An. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 103

“Tak apa nak, mungkin mereka pangling. Lama tak jumpa denganmu. Kan sekarang kamu sudah besar oh.” balas Papa Tje Sung menenangkan. “Ini mama sudah buatkan susu putih tawar kesukaanmu. Oh ya, bulan depan Imlek, kita akan ke paman Niao An di Temanggung.” jelas Mama sambil mengaduk-aduk susu. Niao An adalah paman kedua Li An dari marga Ibu satu keturunan totok Tionghoa dari daerah Hokkian. Ia adalah peng- usaha ladang tembakau di Tegallurung, Temanggung. Dialah orang totok yang berbeda nasib dengan saudara-saudaranya. * Pada akhir Februari 1998, Li An diminta pamannya untuk menjadi pengelola ladang tembakaunya. Satu bulan bekerja, Li An begitu canggung dalam tugasnya. Kadang ia malu untuk tegur sapa dengan para petani tembakau bawahan pamannya di Tegal- lurung. Kabut pekat putih dan abu-abu menyelubungi Tegallurung pagi itu. Geliat burung Celepuk, kalong, dan codot begitu terasa pada suatu pohon kenanga di tengah ribuan pohon lainnya di kaki Gunung Sumbing yang kokoh. Panen tembakau dan peng- olahannya menjadi aktivitas paling sibuk bagi Li An kala itu. Desa Tegallurung adalah salah satu desa binaan perkumpul- an bina desa Mahasiswa Agroteknik Universitas Trisakti Jakarta. Interaksi para Mahasiswa dengan para petani, pada akhirnya mempertemukan Galih Surya Wiratama dengan Gwen Li An. Galih adalah mahasiswa kritis, idealis, humanis. Ia yatim piatu. Berasal dari Bogor Jawa Barat. Ia di Tegallurung menjalankan tugas pengabdian akhir dalam akademik kemahasiswaan. Pertemuan dalam senja matahari memancarkan cahaya jingga kekuningan seakan ingin menutup hari dan kembali ke peraduan di balik punggung Sindoro. Di sebuah tegalan, hampar- an tembakau dan sawah serta sungai yang mengalir rintih di se- berang sawah, terdapat rumah kecil berbentuk gaya lama dengan 104 Suara Bayang-Bayang

pilar-pilar doria ukuran dua setengah meter dengan atap joglo memanjang ke samping. Bangunan dan tanah tersebut sudah lama dibeli dan sah milik paman Niao. Pada sore di tengah ke- siapan para pekerja sawah untuk pulang kerumah, Galih dan Li An bertemu. “Assalamualaikum Mbak, saya Galih mahasiswa agroteknik Universitas Trisakti. Sedang ada urusan bina desa disini bersama rombongan untuk tugas pengabdian kami. Saya selaku koordina- tor rombongan berniat meminta izin untuk melakukan penelitian dan pembinaan di persawahan yang saya tahu milik pamannya Mbak.” jelas Galih dengan senyumnya. “Iya Mas silahkan jika paman saya juga mengizinkan.” jawab Li An dengan skeptis. Ia merengut lantaran begitu sopannya se- orang laki-laki yang baru dia kenal berbicara dengannya dengan suara jelas namun terasa lirih * Dua bulan terakhir Li An sebagai pengelola ladang tembakau merasa risau dengan kondisi Mama dan Papa di Gang Tulak, Mangga Dua. Setiap malam ia teringat dan ingin sekali cepat kem- bali pulang. Namun masa produksi tembakau masih menahan- nya. Suatu siang di ladang tembakau yang sudah mulai mengu- ning tanda siap di panen, terlihat puncak Sumbing beralaskan pasir abu kelabu. Namun beberapa menit berselang awan putih, abu-abu, sampai hitam pekat mengiringi badan Sumbing bagai pakaian dari alam. Karak, kaos, celana, dalaman, dan handuk warga Tegallurung mulai diangkat dari gagang bambu kering yang disejajarkan sebagai tempat menerima panas matahari se- belumnya. Li An termenung di gubuk kecil reot dekat dengan tempat kerjanya sembari memandangi pergerakan alam yang pe- ngertian dan sesuai dengan hatinya kala itu. Dengan tiba-tiba Galih sudah terduduk di sampingnya, me- ngagetkan Li An. Derit lincak bambu yang tersusun tidak rata itu Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 105

mengeluarkan derit seperti tikus terjepit ketika terduduki beban berat seperti Galih. Crit crit crit “Hai Mbak Li An. Apa alam di Tegallurung ini kurang begitu menarik dengan suasana hati Mbak?” hentak Galih dengan tiba- tiba. Galih terkadang memang peka terhadap kondisi lawan bi- caranya, Bahkan ia mampu membaca suasana hati seseorang dari raut wajahnya dari kejauhan “Aku tidak tahu, ah kamu bikin kaget saja Lih. Aku sayang pamanku. Ia sudah banyak membantu keluargaku di kala kami susah. Namun di sini sepertinya bukan tempat yang cocok untuk- ku. Apalagi aku ini Tionghoa. Aku merasa dipandang lain di sini. Itu sebabnya aku selalu canggung dan cenderung tidak berani jika bertemu dengan mereka –para petani dan pegawai pribumi lainnya- Mereka sepertinya anggap aku orang aneh yang sok karena aku keponakan paman Niao, bos mereka. Entahlah Galih, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya berfikir untuk pulang ke Gang Tulak.” jawab Li An sedih. Kesedihan Li An memang beralasan, sebagai perempuan ia tentu memiliki hati yang sensitif, di kala ia senang bekerja se- penuh hati untuk pamannya, eh malah banyak pegawai-pegawai dan petani-petani di ladang pamannya menyinyirkan wajah, Hal sepele, karena ia Tionghoa. Rintik air mulai menggelayuti daun-daun tembakau yang sudah menguning. Sumbing sudah tak terlihat lagi puncaknya. Awan sekarang tak ada yang putih. Kini kuasa Tuhan telah tam- pak dengan memakmurkan bumi-Nya dengan air hujan. Li An tak lama terlihat kemilau bola matanya yang putih mengeluarkan air, imbas dari rasa hati yang sepi. Li An menangis. “Apakah esok hari Mbak ada waktu luang?” tanya Galih ber- harap. “Li An saja jangan panggil Mbak. Lagian aku yakin aku ini lebih muda darimu Galih.” sahut Li An sinis namun hatinya me- 106 Suara Bayang-Bayang

nunjukan perasaan malu nan anggun bak daun Tembakau yang tertunduk mekar. “Baiklah, jika ada waktu aku tunggu di depan kantor jam sembilan pagi. Besok Minggu. Aku yakin kantor libur. Oke? Yasudah, kalau begitu aku pergi dulu Li An.” balas Galih sembari tertawa kecil, dan langsung meninggalkan Li An. Sore itu siluet mereka berdua terekam dalam bayangan nyata pada cekungan air tempat menampung cadangan air untuk ladang tembakau. Hingga peraduan meninggalkan haribaannya yang membuat aliran sungai dan ladang tembakau menjadi samar-samar jingga * Cemara, pinus, mahoni, jati, asem begitu terhampar seakan menyelimuti Sumbing agar tetap hangat dari sinar mentari pagi yang dingin. Pagi itu Tegallurung sepi aktivitas. Hanya geliat relung air di tegalan yang mengalir teratur. Nampak Li An dengan pakaian khas Tionghoanya mulai mecolok dari depan kantornya tepat sebelum jam sembilan. Menandakan ia siap untuk berpergi- an. Wajah Li An yang oriental akhirnya mendatangkan Galih de- ngan Vespa Dallas era 1980-an berwarna abu-abu pekat meng- hampirinya. Galih adalah sosok pemuda bertubuh sedang, tinggi layaknya artis korea. Namun beda nasib dengan warna kulit yang terus menerus terpapar matahari selama di pengabdian. Gaya trendi mahasiswa kemeja panjang berkerah dengan jeans blues yang kusam ketika dicuci, menjadi ciri khasnya. Galih adalah pemuda tampan bergaya kepemimpinan cakap, serta pandai dalam bersosialisasi. Ia adalah orang yang loyal memperjuangkan nasib buruh yang pada waktu itu tertekan denga sistem kerja lepas dan upah minim serta keadaan ekonomi yang carut marut. Begitulah Galih. “Assalamualaikum! Baik, ayo naik.” girang Galih sambil menepuk-nepuk jok belakang vespanya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 107

Tanpa berbicara, Li An menaiki vespa dengan gaya bonceng samping. Li An awalnya canggung, namun ia juga berfikir siapa lagi teman yang begitu baik dan perhatian kepadanya di Tegal- lurung selain Galih. “Kita mau kemana Lih?” tanya Li An penasaran. “Ada deh. Penasaran ya? Sukurin.” Galih tertawa sinis. “Kukira selama di sini kamu tidak pernah sekalipun liburan. Aku paling suka alam Temanggung. Caramu menyendiri di alam kuanggap kamu juga suka dengan keindahan alam.” jelas Galih yang terus memacu vespanya melewati kabut Sindoro-Sumbing. “Sampailah kita!” teriak Galih. “Di mana ini? K.L.E.D.U.N.G. Kledung. Tempat apa ini?” heran Li An. “Ini alah salah satu tempat destinasi wisata di Temanggung. Kledung Pass, begitu nama resminya. Di sini kita benar-benar berada di antara dua gunung kembar Sindoro-Sumbing. Land- mark Temanggung. Dari sini kita juga bisa menyusuri pintu masuk jalur pendakian Sindoro. Udaranya sejuk. Begitu indah dan damai di sini sampai suasana hati pun jadi ikutan damai dan indah.” jelas Galih. “Hmm, iya Galih, begitu indah.” ujar Li An yang menutup mata sipitnya. Dia merasakan hawa sejuk dengan dingin menu- suk kulit meskipun suryaning dina sudah mulai meninggi “Baiklah, Li An. Alam kadang yang kutahu membuat kita bisa jujur pada diri sendiri. Apa hal yang kamu rasakan getir di hatimu, haruslah kamu sendiri pula yang bisa menyelesaikannya, di sini.” Di tengah hamparan tembakau dan kabut tipis, mereka ber- ada pada himpitan dua gunung kokoh yang keduanya memiliki tinggi lebih dari 3000 mdpl. Proses alam yang meniadakan hujan pagi itu membuat hangatnya pagi bercampur dengan sejuknya kabut abu kelabu. Kondisi yang demikian membuat perasaan hati ingin segera tercurahkan. Li An menceritakan segalanya pada 108 Suara Bayang-Bayang

Galih yang menurut keyakinannya dia laki-laki baik. Tutur kata kesedihan dan rasa galau dari Li An membuat Galih angkat bicara dari rasa pedulinya. “Li An, bagaimana pertama kali kamu berjumpa diriku? Kamu pun sinis bukan ketika melihatku yang orang asing ini? Lantas, kenapa kamu mau memandang Sumbing denganku kali ini?” tanya Galih sambil tersenyum manis. “Beda lah. Kamu kan baik, pengertian juga denganku. Aku tahu kamu itu orang baik-baik.” jawaban Li An dengan lirih. “Itu karena kamu berani membalas sapaanku kepadamu. Cobalah kamu juga bisa beranikan diri menyapa mereka seperti apa yang aku lakukan ketika pertama kali bertemu denganmu. Senyumlah pada mereka. Bekerjalah dengan penuh semangat suka cita kegembiraan. Kamu tidak kerja sendirian. Melainkan juga bekerja dan menjadi bagian dari mereka.” Galih menjelaskan maksud hatinya membawa Li An ke Kledung. “Apakah aku bisa seperti yang kamu ucapkan Galih?” sahut Li An berharap. Dari sorot mata dan mata hati Li An yang ber- binar, menandakan kelegaan hati yang telah menemukan jalan untuk berbuat sesuatu, bukan hanya menangis. “Aku tidak tahu. Cobalah. Jika kamu benar-benar berniat untuk itu, aku yakin pasti kamu bisa.” lengkap Galih. Galih yang memang bergaya lelaki peduli dan bersosial tinggi mengartikan bahasanya kepada Li An dengan sepenuh hati, ataukah memang ada hal lain yang terasa di hatinya, karena sekarang hati Galih berdebar-debar. Bukan tanpa alasan Galih ingin membuat Li An kembali tersenyum senang karena sedang menikmati indahnya alam buatan Tuhan, juga memang secara jujur Galih bercakap dengan hatinya bagaimana ia lambat laun memiliki perasaan hangat dengan getaran hati mendalam dari dirinya yang menyerukan bahwa ia nyaman dengan Li An, eh Galih menyukai Li An. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 109

Perasaan yang ada dalam diri Galih melintas sudah naik ke pikiran. Galih begitu menyukai Li An dengan segala alasannya. Memang demikian adanya, cerita, peristiwa, dan kata-kata tak bisa menjelaskan arti dari perasaan Galih yang lambat laun terisi oleh sosok perempuan Tionghoa manis yang ia baru kenal. Galih memandang Li An tanpa berpaling dengan waktu yang lama. Senyum tipis Li An sudah memunculkan cekungan di pipi kiri dan kanan wajahnya. Senyum itu kadang diikuti kelopak mata yang menutupi matanya saat ia tersenyum. Wajah itulah yang kadang meluluhkan hati Galih yang sementara tertutup oleh kesibukan sebagai mahasiswa Pagi itu. Pada saat itu. Keterbukaan hati di antara keduanya dapat saling memaklumi. Memaklumi dari apa yang disebut dengan rahasia hati. * Kedekatan Galih dan Li An telah membawa pada titik temu di mana pada akhirnya sebuah pertemuan menimbulkan per- pisahaan, entah bagaimana caranya perpisahaan itu mendekati manusia. Satu bulan setengah berlalu, tugas pengabdian Galih pun usai. Dengan hasil membuat sebuah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Tegallurung. Sebuah wadah warga Tegallurung untuk bersatu padu dalam urusan perkembangan bibit tembakau, manajemen ladang tembakau, dan pengawalan proses produksi dan distribusi tembakau untuk kesejahteraan masyarakat Desa Tegallurung. Melalui program bentukan tim pengabdian Maha- siswa Usakti ini, warga Tegallurung dapat terbantu dalam reali- sasi mimpi mereka untuk mendapat kemudahan serta keuntung- an dari ladang tembakau desanya dengan manajemen yang baik dan dapat dikelola secara mandiri untuk kesejahteraan tiap warga- nya. Warga yang kurang mampu dan para penggarap tanaman tembakau juga mendapat keuntungan berupa simpan pinjam untuk usaha kecil agar dapat bekerja dengan lebih giat lagi dan 110 Suara Bayang-Bayang

juga mendapat sifat mandiri untuk membangun perekonomian keluarga mereka. Pelepasan program pengabdian ini sekaligus menjadi tanda perpisahaan Galih dan Li An. Mereka berpisah tanpa pamit kare- na desakan waktu dan kabar dari Senat Mahasiswa mengenai rencana aksi damai untuk memprotes pemerintah, telah sampai ke telinga Galih dan koleganya sesama aktivis Mahasiswa Usakti. * Pada Mei 1998, radio dan stasiun Televisi Republik Indone- sia menyiarkan berbagai demonstrasi massa yang kesemuanya pada satu tujuan yakni menuntut lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Diikuti juga dengan perbaikan ekonomi Indonesia. Kondisi yang demikian memaksa Li An akhirnya kem- bali ke Gang Tulak, Mangga Dua. Mengapa Li An juga pulang? Ia mendadak dipanggil pulang oleh Mama dan Papanya menyu- sul keadaan stabilitas nasional di Jakarta semakin memburuk. Isu-isu SARA pun mencuat keras terasa pasca peristiwa penjarah- an dan perusakan toko-toko Tionghoa di Jatinegara oleh para oknum demonstran yang memanfaatkan kondisi. Berita yang mencuat ada yang lebih kejam lagi dengan dinyatakan oleh RRI bahwa telah terjadi banyak penjarahan, perampokan dan disertai dengan pembunuhan oleh oknum demonstran. Warga keturunan Tionghoa di Mangga Dua menjadi semakin risau dengan nasib- nya. Ada yang sudah pindah ke kerabat di luar kota. Ada pula yang kembali ke tanah leluhurnya, Tiongkok. Sebenarnya Mama dan Papa Li An juga sudah berencana untuk pindah ke Paman Niao di Temanggung. Namun karena proses administrasi per- pindahan penduduk, Li An sementara dipanggil untuk kembali ke Mangga Dua mengurus perpindahan. Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang ter- pengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997—1999. Maha- siswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Tentu saja Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 111

Galih termasuk salah satunya. Galih Surya Wiratama beserta para Mahasiswa lainnya sudah memiliki konsepsi dan akan melaku- kan aksi damai pada 12 Mei di pagi hari. Malam sebelum aksi, para mahasiswa dipimpin oleh Senat Mahasiswa Usakti berkumpul di kampus untuk mempersiapkan kegiatan esok hari. Galih sudah mendengar kabar ketika ada demonstrasi dengan tujuan yang sama, besar kemungkinan akan ada oknum di balik massa aksinya. Perasaan Galih mencuat ketika mendengar berita mengenai perampokan dan penjarahan oleh oknum demonstran terhadap toko-toko warga Tionghoa di berbagai wilayah Jakarta. Sekejap, nalurinya mengingatkan pada sosok perempuan manis di Tegallurung yang dia tahu adalah seorang Tionghoa dan memilki toko di rumahnya, di Gang Tulak, Mangga Dua. Pergulatan hatinya terasa getir manakala esok hari ia adalah salah satu koordinator aksi yang ditempatkan di ring dua untuk betugas mengatur long march dan keamanan. Pagi 12 Mei menyibukkan para aktivis mahasiswa yang sudah sedari subuh berkumpul di kampus untuk aksi damai di Gedung Nusantara. Kesibukan mereka terwakili dengan kondisi Jakarta yang tak kondusif. Warga dihadapkan pada kondisi ru- mah dan jendela mereka harus ditutup rapat. Namun aktivitas perkantoran dan pedagang asongan masih menggeliat karena tuntutan ekonomi keduanya yang sama-sama butuh. Para mahasiswa dan mahasiswi akhinya bergerak turun ke jalan membentuk barisan besar dengan modal tekad keberanian demi terciptanya bangsa mereka yang lebih baik setelah Soeharto lengser dan perekonomian membaik. Namun berbeda dengan Galih yang masih setengah hati lantaran salah satu pikirannya mulai berkelana jauh pada diri Li An di Mangga Dua. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti me- nuju Gedung Nusantara pada siang hari. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan Militer. Beberapa maha- siswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, saat 112 Suara Bayang-Bayang

matahari mulai masuk di antara dua gedung pencakar langit di Jalan Jendral Sudirman, para mahasiswa bergerak mundur, di- ikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universi- tas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penem- bakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Ketika mundurnya Mahasiswa, mereka terbingungkan oleh tiadanya Galih sebagai koordinator barisan dan keamanan. Ke- bingungan menggelayuti mereka namun kondisi yang terus me- nerus dibombardir peluru oleh aparat membuat massa tak ter- kendali jalur mundur dan evakuasinya. Galih sesungguhnya mengetahui di Mangga Dua juga terjadi huru-hara massa demonstran dan aparat kepolisian. Ia curiga bahwa ada isu mengenai oknum yang sering melakukan kejahat- an memasuki barisan massa mahasiswa. Sebab demikian Galih lebih mengkhawatirkan Li An. Pada dasarnya ia juga tak tega meninggalkan kawan-kawannya di Senayan. Namun kepenting- an hati Galih mencuatkan perasaan bahwa ia harus segera ke Mangga Dua untuk menghampiri Li An. Menjelang langit Jakarta kembali keperaduan, suasana de- monstran masih mencekam. Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah, ruang ormawa, ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti mushola untuk sembunyi. * Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 113

Benar terasa, mendung mengelilingi kompleks perbelanjaan Mangga Dua. Hari mulai menunjukan sisi gelapnya dengan tanpa ada kumandang adzan yang terdengar seperti biasanya. Kerusuh- an yang diawali demonstrasi massa akhirnya pecah tak terkendali arahnya, penyebabnya adalah para oknum yang disinyalir jum- lahnya tak sedikit. Kaca-kaca toko dan ruko seberang kiri-kanan jalan mereka pecahkan dengan batu-batu pilihan. Penjarahan dan penganiayaan warga Tionghoa yang terlambat pindah menjadi pemandangan yang mengerikan waktu itu di Mangga Dua. Di Gang Tulak, perkiraan Galih pun benar adanya. Pecahnya kerusuhan membuat situasi Mangga Dua tak terkendali. “Bagaimana ini Pa, kita tak bisa keluar sekarang. Di luar sudah sangat tidak kondusif.” Mama mulai cemas keringat dingin “Tidak tahu Ma, yang paling penting sekarang kita harus menyembunyikan Li An dari sini, dia masih gadis, Papa takut terjadi apa-apa dengannya.” Cemas Papa pula. “Ma, Pa lihat di luar sana, mereka keluar dari rumah tetangga kita membawa barang-barang. Mereka ingin kemari.” Selang beberapa saat, rumah Li An didobrak paksa oleh mereka. Kaca jendela lantai dua dilempari batu dari luar. Mereka masuk dengan paksa. Seketika Mama dan Papa Li An diseret keluar dan dianiaya. Li An dilantai dua sedang bersembunyi. Ada lima orang yang menjarah rumah Li An. Salah seorang ber- nama Nilam, ia pimpinan dari suatu rencana mengacaukan situ- asi dan memanfaatkannya untuk kepentingan kelompoknya yang tidak bertanggung jawab. Nilam naik ke lantai dua mengharap ada barang berharga. Ia pria paruh baya yang sudah terkena PHK dari tempat ia kerja. Namun yang ada hanya sosok Li An yang ia temukan di dalam lemari pakaian pada pintu sebelah kiri sedang menangis dan terkejut ketika melihatnya. “Mama, Papa tolong.” Teriak Li An ketakutan. “Sudahlah, tak apa aku ini orang baik. Aku tak akan menya- kitimu. Hanya saja tak ada hartamu di sini di lantai dua. Lalu 114 Suara Bayang-Bayang

aku harus mengambil apa dari lantai dua yang sudah kotor ini. Sudahkah kau menebak aku ingin mengambil apa ha? Ya, aku akan mengambil harta yang mungkin paling berharga dari Mama dan Papamu. Dirimu!” tegas Nilam dengan mata beringasan dan nafsunya yang tak tertahan lagi, karena melihat sosok gadis putih nan berparas cantik. “Apa kamu sudah gila, tolong lepaskan aku. Aku tidak mau. Galih.” teriak Li An yang diakhiri memanggil Galih yang harap- annya akan datang menolongnya. “Teriaklah sepuasmu.” gumam Nilam. Malam itu peraduan akan kenangan masa Li An di Tegal- lurung yang merindukan rumahnya menjadi tak kuasa untuk dikenang kembali, setelah ia tahu fakta bahwa Galih tidak ada dan ia sudah berada di atas ranjang besi dengan kasur tipis di lantai dua rumahnya dengan sosok Nilam. Li An menjerit sejadi-jadinya. Ia menolak, menendang, dan menampar Nilam yang masih berusaha mendekatinya. Galih dengan vespanya telah sampai di Gang Tulak dan mencari rumah Li An yang ia tidak tahu. Ia telah sampai pada lingkungan yang benar-benar berantakan sepi tak ada orang yang keliaran. Dia temui banyak pecahan kaca, batu-batu, dan bekas bom botol molotov yang dirakit sendiri. Kerusuhan apa yang sampai demi- kian mengherankan Galih. Galih akhirnya menemukan rumah Li An setelah menyusuri dan tahu dari papan nama kayu yang sudah hampir jatuh ber- tuliskan Toko Liao Tje Sung yang berarti nama dari Papa Li An. Ia masuk dari pintu yang sudah terbuka. Ia dapat melihat dalam rumah dari luar karena rumah sudah dalam kondisi berantakan. Ia kemudian terkejut ketika melihat Mama dan Papa Li An tergeletak pingsan tak sadarkan diri dengan kepala yang berdarah dari keduanya terkena lemparan batu yang juga ada bekas darah disamping mereka. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 115

“Li An! Li An! Di mana kamu?! Aku Galihmu Li An. Di mana kamu?!” teriak Galih panik. Nalurinya mengatakan ia harus ke lantai dua setelah melihat anak tangga kecil berbentuk leter L menuju ke lantai dua rumah Li An. Galih bergegas lari menuju ke atas. Ia celingukan mencari pujaan hatinya yang ia tinggalkan berharap akan ada keajaiban dengan menemukan Li An. Segala sudut ia telurusi namun tak dapati sosok Li An. Akhirnya ia ke arah ruang kamar pojok timur lantai dua ini. Ia cemas ketika sudah ada darah di lantai depan pintu kamar. Ia terkejut seketika melihat sosok yang akhirnya ia harapkan muncul di hadapannya dalam kondisi tak sadar yang menghadap tembok batu. Ia membalikan tubuh itu yang ia tahu adalah Li An. Ia melihat perut Li An yang masih tertancap pisau belati milik Nilam. Li An menjadi korban pembunuhan. Li An meninggal dengan tragis karena kerusuhan oknum yang dipim- pin Nilam. Hancur hati Galih. Ia tertunduk lesu. Bibirnya kelu tak bisa berteriak memanggil nama Li An lagi. Pujaan hati yang ia dam- bakan sedari di Tegallurung kini ada di depan matanya namun dalam kondisi yang berbeda. Galih mendekap Li An dengan lembut dan menangis. Ada rencana dari hati Galih ingin bertemu dengan Li An di Jakarta setelah ia kembali ke Jakarta satu bulan yang lalu. Ia berkeinginan untuk mengungkapkan sesuatu yang sakral. Ia berada pada titik sebuah perasaan patut diperjuangkan. Ia menyebutnya rahasia hati. Yang pada akhirnya ia luapkan di depan jasad Li An sekarang. “Aku. Rahasia hatiku. Aku tak akan membiarkan hatiku ber- kelana. Aku ingin menangkapnya. Aku ingin memperjuangkan- nya. Aku ingin menguncinya suatu saat di puncak sana. Aku ingin mengharapkannya. Aku memimpikannya. Aku berandai menen- tang angin bersamanya. Aku ingin membawanya ke suatu tempat yang tak dapat diambil oleh siapa pun juga kecuali kuasa Allah mentakdirkannya. Tempat itu adalah di hati dan di pikiranku. 116 Suara Bayang-Bayang

Lalu siapa itu? Aku tegas dan yakin pada satu masa di mana keindahan alam membuat kejujuran manusia menjadi bermakna. Masa itu adalah saat aku bersamamu. Li An. Aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Maafkan aku pada takdir ini.” jelas Galih dengan merintihkan tetesan air matanya. Ia tak hanya kehilangan pujaan hatinya, ia juga kehilangan beberapa teman aktivis Mahasiswa Usakti seperti Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendrawan Sie, dan Heri Hertanto yang juga tewas tertembak aparat yang membabi buta pada peris- tiwa tersebut. Ia membelai Li An dengan mesranya menutup matanya yang masih terbuka. Ia menutup mata sipitnya. *** Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 117

Manuskrip Kesunyian Nur Khafidin (SMP Sultan Agung 1 Semarang) /l/ Lonceng Kematian Suara lonceng kematian berdentang tiga kali, semakin lama semakin keras tatkala suara doa mengalun di al- tar. Namun, suara kereta kematian berkeriat-keriut terdengar lebih nyaring dan membawa nyawa Kenanga yang berada di pe- lukan Koma. Semua mata menoleh menatapnya.Tatapan penuh birahi kemarahan. Seakan belum puas untuk menuntaskan be- lingsatan iblis yang berada di hati mereka. Orang asing yang berbadan gemuk mendekat dengan sekali- kali melemparkan tendangannya ke arah Koma. Diikuti oleh yang lainnya. Semakin lama semakin banyak orang yang memukul, menendang, bahkan meneriakkan cacimaki. Setelah dada Koma naik turun, darah mengalir dari mulutnya, tubuhnya mulai lemas dan tersungkur di depan mayat Kenanga, matanya mulai sayu, mereka baru meninggalkan Koma dan Kenanga seorang diri. Namun, tak berselang lama seseorang yang berbadan kurus datang diiringi kelelawar yang beterbangan di langit. Semua or- ang yang membunuh Kenanga dan menganiaya Koma berbalik arah, menatap orang yang bertumbuh kurus dan orang asing yang berbadan gemuk berjalan mendekatinya dengan langkah penuh kesombongan. “Kacung mana yang berani datang ke sini?” 118 Suara Bayang-Bayang

“Maaf Tuan, saya Pitu dan. Saya hanya mau numpang lewat tetapi mataku melihat sesuatu yang tidak layak dilakukan manu- sia.” “Salam kenal Pitu sang Kacung. Aku Ronggo dan tak ada yang tak layak dilakukan manusia, apa pun layak dan pantas dilakukan manusia termasuk membunuh parasit hidup dan aku melakukan itu.” “Namun tuan perbuatan keji tak pantas dilakukan oleh or- ang suci seperti kamu dan aku membenci itu.” “Ha...ha...ha... aku tak percaya itu, tetapi aku akan memberi- kan perayaan khusus untuk kacung seperti dirimu.” Ronggo pun memberikan tanda ke cecunguk-cecunguknya yang berada di belakangnya untuk membunuh Pitu. Semua cecunguk Ronggo berlari dengan obor amarah yang membara. Satu sabetan pedang menghujam lengan Pitu dan itu seperti menambah semangat untuk membunuh Pitu. semua tertawa terbahak-bahak. Dari arah belakang seseorang bersiap memukul, tetapi Pitu bersiul dan suara gedebuk terdengar. Lantas raut wajah semua orang termasuk Ronggo berubah menjadi heran sekaligus takut. Sekali lagi Ronggo menyuruh cecunguk-ce- cunguknya untuk menyerang Pitu tetapi hasilnya sama saja, or- ang yang menyerang Pitu terjatuh dan tali nyawanya terputus. Lantas mereka lari terbirit-birit. /2/ Iblis Jinak “Teruntuk Iblis Jinakku bersabarlah sebentar walaupun aku tau kau tak pernah bisa bersabar. Menanti sedikit pun entah. Jika kau bisa bersabar sedikit saja mari kita mencaci maki Tuhan. Tentu aku akan siapkan segalanya. Congyang beserta perleng- kapannya. Tak lupa penghiburnya dan kau tak lupa caranya mem- perlakukan perempuan? Tentu kau tak pernah lupa! mari kita siapkan tenaga untuk besok. Selebihnya kita tinggal memerankan Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 119

lakon untuk menuntaskan balas dendam atas kematian Kenanga.” Koma duduk di depan cermin, menatap pantulan bayang semu ttetapi sekelebat gestur Kenanga berseliweran dan membuat Koma murka. Ia berdiri, berjalan dengan langkah yang liar ia memukul cermin hingga retak. Aku begitu muak dengan tirai takdir yang tipis, yang tak memiliki esensi tetapi tetap saja dia eksistensi dalam kehidupan ini. Apalagi manusia yang berpura-pura memakai topeng. Silih ber- ganti melepas dan memakai topeng untuk memerankan kepen- tingan hidupnya. Lantas mengorbankan kehidupan orang lain tetapi tak mau dirinya berkorban. Apalagi membunuh orang lain tanpa ada rasa kemanusiaan. Manusia tengik mereka dan aku akan mengobrak-abrik takdir demi membunuh mereka dan aku akan menciptakan surga yang bisu teruntuk diriku dan neraka yang tertawa untuk mereka. /3/ Celingak-Celinguk Lakon kehidupan silih berganti, yang satu tertunduk mati yang lainnya tumbuh, begitu seterusnya. Sampai pada titik ter- tentu persoalan lain akan terjadi dan itu sering terjadi di Desa Pletek. Persoalan yang remeh-temeh pun dapat menjadi persoal- an yang besar. Menjalar keluar ke seluruh desa. Seperti kejadian dahulu ketika lambat laun pikiran warga desa gandrung dengan ayam. Mereka saling beradu dan tentu taruhan. Ayam Pak Towok menjadi ayam yang berharga mahal. Tentu karena sering menang beradu dengan ayam sekampung. Lantas menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, saat cahaya bulan purnama menyiram Desa Pletek, ayam Pak Towok mendadak hilang. Ia panik mencari te- tapi tak ada satu pun yang tau. Alhasil ia mengadakan sayembara pencarian ayamnya. Barang siapa yang dapat menemukan ayam kesayangan Pak Towok maka akan mendapatkan hadiah. Apalagi kalau ayamnya hidup. 120 Suara Bayang-Bayang

Warga Desa Pletek geger dengan kabar sayembara itu. Semua warga mulai mencari dan mencurigai siapa pun bahkan kabar burung dipercaya begitu saja. Tidak cukup sampai di situ yang lebih memprehatinkan lagi warga Desa Pletek sering menguping urusan orang. “Aku mendengar bunyi ayam berkokok di desa sebelah.” “Mungkin itu suara ayam yang lain?” “Tidak, tidak mungkin pendengaranku salah. Aku tahu betul bagaimana suara ayam Pak Towok.” Mereka berjalan menelusuri sumber suara. Namun, di sana ia mendapati warga lain berkumpul tentu dengan tujuan yang sama untuk mencari ayam Pak Towok. “Di sini tidak ada ayam anak muda.” “Namun aku mendengarkan sendiri ayam berkokok di sini.” Sanggah anak muda yang mendengar suara ayam dan mengusul- kan mencari ke desa sebelah. “ Namun nyatanya di sini tak ada suaranya apalagi ayamnya. Lihatlah sendiri.” Semua saling tatap dan melihat sekeliling. Anak kecil bertumbuh gemuk dan teman-temanya berlari menuju lapangan. Tertawa terbahak-bahak. Saling menantang untuk beradu layangan. Salah satu anak muda bertanya perihal ayam Pak Towok “Hai anak-anak kalian mendengar suara ayam?” “Iya mas tadi aku mendengar suara di pinggir sungai.” Dengan cekatan anak kecil bertumbuh gemuk menjawab dengan seenak- nya. Lantas mereka bergegas menuju sungai dengan harapan me- nemukan ayam Pak Towok dan memenangkan sayembara. Ber- jalan dengan langkah yang cepat, hati mereka sudah terpenuhi cahaya kesenangan dan angan-angan untuk apa uang yang di- terimanya. “Gendut, emang benar kamu dengar suara ayam di pinggir sungai?” Selidik teman yang berada di sampingnya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 121

“Aku tidak mendengar suara ayam berkokok.” “Lantas mengapa Kamu tadi bilang mendengar ayam ber- kokok di pinggir sungai?” “Aku sekadar iseng saja. Ayo kita bermain layangan lagi.” mereka meneruskan perjalanan ke lapangan. /4/ Tedeng Aling-Aling Selendang malam terbentang. Menggelincirkan cahaya me- nuju kegelapan dan menciptakan suasana remang-remang di bawah pohon tua. Dua orang yang saling berbicara dengan suara yang berbisik-bisik. “Kita cukup untuk mengambil keuntungan yang berlebih. Tentu menjadikan dia sebagai bidak kekayaan kita dan menjadi- kan jabang bayi warga untuk tumbal.” Ia berbisik ditelinga temanya yang berambut gondrong. “Malam ini juga aku akan melakukannya dan pastikan kau melihatnya dengan matamu sendiri.” “Pasti aku akan melihatnya dengan kedua mataku. Melihat dia menjadi batu loncatan untuk kejayaan kita. Berangkatnya cecunguk.” Salah satu cecunguk berangkat menjalankan rencana yang tersusun. Ia mengendap-ngendap dan melemparkan bungkusan pisang tepat di depan rumah. Lantas ia beranjak pergi dan bertemu penduduk desa. Membakar otak mereka dengan rasa marah. Tak lama berselang emosi penduduk desa terbakar. Mereka beramai- ramai menuju rumah Koma. “Dia penyihir yang yang membuat jabang bayi mati. Kenanga dan Pitu bersekutu dengan setan kelelawar. Lihatlah di depan rumahnya ada kelelawar.” Salah satu orang beranjak maju dan melihat apa yang ada dalam bungkusan daun pisang. Ia membukanya secara perlahan dan di dalamnya ada kelelawar. Keluarga yang jabang bayinya mati tak wajar lantas berlari dan menghujani Pitu dan Kenanga dengan 122 Suara Bayang-Bayang

pukulan tanpa sedikit pun memberikan waktu untuk menjelas- kan segalanya. /5/ Kelam “Apa ini rasanya amarahku bersatu dengan gen lblis Jinak? Aku merasakan sesuatu yang menjalar ke seluruh urat nadiku dan aku merasakan memiliki tenaga yang berlebih. Tubuhku juga merasa lebih ringan tetapi aku suka dengan gerakan yang liar ini. Tentu ini cukup membuat mereka terbunuh lantas memberi- kanya neraka yang layak. Neraka yang penuh sampah manusia.” Koma menggerakan tubuhnya. Seakan menikmati gen Iblis Jinak yang bersatu dengannya. “Sebelumnya apakah kau sudah menentukan itu sebagai pilihan terbaik? “ Pitu mengambil oksigen yang cukup panjang dengan mata yang menerawang ke langit. “Tentu, aku telah menentukan segalanya dengan matang. Menimbang segalanya dengan nalar lblis Jinak tanpa sedikit pun tercampur ultimatum Malaikat.” “Ya, aku akui kau sudah cukup berani mengambil keputusan yang benar. Namun sebentar, kau tak perlu menyiapkan senjata untuk membunuh mereka?” “Senjata hanya untuk orang yang cengeng dan aku tak mem- butuhkan itu. Nyaliku sudah cukup kuat dan lebih gagah dari- pada senjata. Tanganku telah menjelma menjadi pedang yang tajam, cukup untuk merobek jantung dan matanya. Jika perlu tanganku dapat memotong tubuh mereka menjadi bagian yang kecil lantas membuangnya atau barangkali untuk anjing jalanan.” Koma bergegas menuju rumah Ronggo dan diikuti Pitu di be- lakangnya. Mereka berjalan beriringan. *** Kelelawar berkitar-kitar di atas tubuh Pitu dan bau amis darah membumbung ke langit, darah berceceran dan tumpukan mayat manusia tergeletak. Tak ada satu pun orang yang hidup, Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 123

seluruh penghuni Desa Pletek tergeletak tak bernyawa. Tanah telah menjelma menjadi berwarna merah. Desa Pletek yang ramai mulai terdiam membisu dan hancur. Ketenangan mulai tercipta dan kereta kematian sudah berkeriat-keriut karena kelebihan muatan. Pitu berdiri di atas tumpukan mayat. Ia tertawa penuh kepuasan, mimik wajahnya berubah menjadi ganas dan menye- ramkan. Kaki kananya menginjak kepala Koma, meludahinya dan tangan kanannya menghujamkan pedang di matanya. /6/ Melipat Waktu Desa Pletek mendayung hiruk-pikuk waktu dalam ketidak- pastian. Menjalankan aktivitas remeh-temeh yang tak memiliki ujung seperti saat semburat cahaya senja bersua di Desa Pletek. Ada beberapa warga yang sedang asyik bercanda bersama anggota keluarganya di beranda rumahnya. Ada beberapa yang asyik me- nikmati semilir angin di bawah pohon. Beberapa bapak berceng- kerama untuk melepas penat selepas bekerja. Beberapa ibu sedang sibuk mengawasi anaknya yang sedang bermain layangan. Namun, salah satu anak mengadu layangannya putus dan tersangkut di pohon. Ibunya menyuruh memanjat pohonnya karena tidak terlalu tinggi. Anak kecil itu berlari dan dengan gesit ia memanjat pohonnya. Tak berselang lama ia mengadu bahwa layangannya ketemu dan ia menunjukkan kelelawar di tangannya. Sontak mata ibunya mendelik, raut wajahnya berubah menjadi marah. “Jangan pernah mengganggu kelelawar, lepaskan kelelawar itu.” “Kenapa harus melepasnya Bu?” ia melihat kelelawar yang berada di tangan kanannya dan menggerakkan sayapnya. “Kelelawar pembawa sial, kau tau sendiri nenek moyang kita mati karena kutukan kelelawar.” Senja berubah dengan cepat, kegelapan mulai terbentang dan tetesan darah jatuh dari langit. Ribuan kelelawar terbang beriring- 124 Suara Bayang-Bayang

an. Sontak ibu dan anaknya melihat ke langit serta warga yang lainnya ikut melihatnya. Mereka menatap dengan tatapan mata dan ekspresi wajah yang ketakutan. Lantas tak lama berselang kelelawar besar terbang dan di atasnya ada orang yang berjubah, sontak membuat pemandangan ganjil itu menarik pikiran warga Desa Pletek ke dimensi waktu yang telah berlalu. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 125

Mimpi Indah sang Bekicot Rini Tri Puspohardini (SMP Negeri 3 Salatiga) Faktanya, aku tak bisa melihat, tapi aku mampu melihat dengan mata hatiku. Benar aku tak bisa mendengar, tapi aku mampu mendengar dengan telinga jiwaku. Cerita ini aku sampaikan atas tuntutan kata hati yang tak bisa tidak, harus ku- tulis. Biar semua tahu bahwa setiap makhluk berhak menjadi berguna dalam hidupnya. Lemah. Ya, aku lemah. Namun sungguh aku bersyukur atas kelemahanku. Karena lemah, hidupku jauh dari kekerasan. Karena lemah, hidupku jauh dari syak, fitnah, dan keinginan duniawi yang sering menghalalkan segala cara. Karena lemahku, aku lepas dari kejahatan yang mendewakan kekuatan. Sebagai molusca, tak banyak yang bisa aku lakukan, kecuali bertahan hidup dan berkembang biak. Satu hal yang tak banyak diketahui bahwa dalam segala kelemahan yang aku miliki, aku ingin menjadi berguna. Sekecil apa pun, asal hidupku tak sia-sia. Tahukah di mana aku tinggal? Ya. Aku sangat akrab dengan basah dan lembab. Tubuhku diciptakan untuk selalu berada dalam lembab. Kering dan panas adalah musuhku. Kering dan panas menguras cairan tubuhku. Bekas tapak tubuhku akan membentuk garis berlendir. Menjijikkan? Mungkin. Namun ada- kah yang tahu bahwa lendirku baik untuk menunjang kesembuh- an beberapa penyakit manusia? Sebaiknya perlu kusampaikan. Aku adalah hewan mandiri sejak bayi. Aku terlahir dari telur yang menetas tanpa kehangatan 126 Suara Bayang-Bayang

ibu. Aku bukan telur manja sebagaimana burung dan unggas- unggas. Ya, aku piatu sejak pertama pernapasanku. Makan tanpa suapan, berjalan tanpa bimbingan. Pertemuan dengan teman-teman, tak pernah mampu men- jawab sebuah tanya dalam hatiku. Siapakah ibuku? Mungkinkah mereka saudara kandungku? Aku dan kami bangsa siput, tak pernah tahu siapa ayah, siapa ibu, siapa kakak maupun adik. Namun saat kami bertemu, kami akan menjadi teman berjalan, teman bercerita, teman yang saling membantu dengan segala kelemahan dan keterbatasan. Pertemuan itu mengubah aku menjadi kami. Begitulah, cerita ini berawal dari pertemuan dengan teman- teman yang terjadi begitu saja. Pertemuan yang menyatukan kami menjadi saudara. Tak boleh ada lapar menimpa kami. Tak boleh ada kata tersesat dalam perjalananan kami. Makanan adalah milik kami, bukan milikku, milikmu, atau miliknya. Kesendirian tak lagi menjadi milik kami, kesepian tak lagi mampu memenjarakan kami. Ketidakberdayaan menyatukan kami dalam ikatan per- saudaraan. Dengan segala kelemahan dan keterbatasan, kami mampu mengubah hitam menjadi berwarna. Mestinya semua tahu bahwa persaudaraan adalah sebuah keindahan. Namun sepertinya banyak yang lalai merawat karunia itu. Banyak yang senang memelihara permusuhan dan memperparah keretakan. Bahkan ada yang menujukan hidup pada kehancuran. Sungguh, kebersamaan adalah awal dari sebuah kekuatan. Kebersamaan melahirkan keberanian. Keberanian untuk mem- bangun mimpi yang selama ini muncul pun tak berani. Ya... kami membangun mimpi, mimpi untuk mengubah kemustahilan men- jadi keniscayaan. Mimpi untuk mengubah sia-sia menjadi ber- guna, sebagaimana ulat dan kupu-kupu. Bukankah ulat bisa menjelma kupu-kupu? Meski hanya se- minggu, kupu-kupu akan memesona setiap manusia dengan Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 127

kepak indah sayapnya. Indah kepak sayapnya menghapus kege- raman manusia atas rakus si ulat. Kegenitannya pada bunga mem- pertemukan putik dan benang sari menjadi pengantin yang me- lahirkan buah-buah manis. Bagaimana dengan kami? Akankah seumur hidup menyan- dang nama sebagai hama? Akankah sepanjang sejarah kami bakal berjuluk perusak, pengganggu, pencuri, dan puluhan istilah lain yang maknanya sama? Tidak. Kami tak mau sepanjang hidup tercatat sebagai hewan tak bertulang belakang yang harusnya bisa mengawini diri sendiri. Itu sangat menyakitkan. Kami ingin ada catatan lain tentang kami, meski harus dibayar dengan nyawa sekalipun. Itulah kenapa kami semakin sering merajut mimpi. Mimpi untuk mengangkat derajat kami menjadi lebih bermartabat. Dari lawan menjadi kawan. Dari sekadar menjadi harus, dari dibuang menjadi dibutuhkan. Mudah disampaikan, namun tak mudah untuk diwujudkan. Tak sekadar sulit, namun nyaris mustahil, sampai suatu hari kaki-kaki bebek menginjak-injak atap rumah kami. Mulailah kami berusaha mewujudkan impian yang nyaris mustahil itu. Kami jaga tubuh agar tetap sehat, dewasa, dan bila memungkinkan beranak-pinak. Demi mimpi yang sudah kami mulai hingga wajib kami selesaikan. Sungguh suatu kebahagiaan bila suatu saat nanti, tubuh montok dan sehat kami yang merayap lamban gampang menjadi santapan bebek-bebek. Tubuh penuh protein ini akan menjadi nutrisi mereka, merangsang lahirnya telur untuk dipersembahkan kepada peternak. Oh, bahagianya melunasi hutang kami pada makhluk bernama manusia yang sebagian tanamannya sering kami curi. Aku tersenyum membayangkan akhir yang sempurna itu. Tak akan ada ketakutan, tak akan ada penolakan. Satu cita-cita terpenuhi, satu janji terlunasi. Bilakah saat itu tiba? Masih lama- kah? Sementara tubuhku saat ini masih terlalu kecil bahkan untuk mengenyangkan seekor anak bebek sekalipun. 128 Suara Bayang-Bayang

Kalaupun masih cukup lama waktuku, akan kujalani hari- hari bersama teman-temanku. Kami akan saling mengingatkan untuk tetap menjaga kesehatan. Aku tak mau cita-cita itu dikan- daskan oleh insektisida yang tiba-tiba menghujani kami, atau polah iseng anak manusia yang menjadikan rumah dan tubuh kami sebagai mainan. Bila suatu makhluk berkeinginan dan bercita-cita, segala upaya akan dilakukan. Namun entah apa namanya, upaya dan usaha yang dilakukan kadang tak sesuai dengan yang diimpikan. Entah nasib, entah takdir, aku tak tahu. Pasti, ada kekuatan lain yang mampu membelokkan hasil tak seperti yang diharapkan. Pun dengan kami; bukan aku. Tanah lembab basah berair, rumput-rumput sehat tanpa obat kimia memang habitat kami. Namun siapa sangka kerumunan kami ternyata menjadi daya tarik bagi manusia kecil yang perkasa? Kebersamaan dan persau- daraan yang mengokohkan, suatu saat tampaknya akan meng- antarkan pada kesia-siaan. Bukan kematian yang menyakitkan, tapi perasaan merana menjelangnya. Merana dan merasa sia-sia. Pagi menjelang siang. Matahari telah menyelesaikan salah satu tugasnya; menguapkan embun, menghangatkan tanah be- serta segala yang tumbuh dan berada di atasnya. Tanah belum panas benar ketika kami menikmati sisa sejuk pagi. Bencana itu berawal dari sini. Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan memungutku. Oh bukan, bukan aku, tapi kami. Ya, tangan itu memungut dan me- masukkan kami ke sebuah ruang gelap. Rumah kami saling tin- dih. Tak ada celah untuk sekedar bergerak. Pintu rumah terhimpit dinding rumah yang lain. Kepala kami tak sanggup menembus dinding yang menempel di pintu. Udara sulit untuk terhirup hingga kami sulit bernapas. Kami saling memanggil. Jawaban yang terdengar begitu dekat seolah tak berjarak. Hanya tersekat dinding tipis. Panggilan dan jawaban kami berkumpul menjadi satu seolah menjelma Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 129

gelombang raksasa yang menghantam dan menyeret ke tempat yang sama. Kepanikan. Ya, kami didera kepanikan teramat sangat. Panggilan tak lagi bisa disebut panggilan. Jawaban bukan lagi berupa sebuah sahutan. Suara-suara keluar sebagai pekikan, te- riakan, dan jeritan. Entah berapa lama kami tergulung dalam kepanikan. Akhir- nya terasa dingin yang teramat menggigilkan. Basah dan lembab tak pernah membuatku mengigil, tetapi kali ini teriakan dan jerit- an itu menghabiskan kehangatan yang selama ini kami rasakan dalam kebersamaan. Tiba-tiba rumah kami saling beradu dengan keras. Kami jungkir balik dalam kantong gelap yang sempit. Dengan satu hentakan kuat, kantong terasa berayun, semakin lama semakin cepat. Oh... dunia serasa berputar. Benturan antar dinding menge- luarkan suara gemeretak. Dinding-dinding rumah yang retak. Satu hentakan dahsyat membuat kami terhempas. Sunyi. Tak terdengar lagi jeritan. Kesunyian yang mencekam. Pandangan diwarnai kelabu yang kian memekat. Kekosongan hati menjadi beban berat bagi udara untuk pernapasan. Mimpi indah perlahan memudar. Terlihat maut mengintip dari seluruh penjuru mata angin. Rasanya tak ada lagi kami, tinggal aku dengan segala ketidak- pastian akan apa yang terjadi. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku memanggil. Terdengar satu sahutan. Kucoba lagi memanggil, sahutan lain kudengar. Beberapa sahutan yang sempat kudengar membuktikan bahwa masih ada kami, bukan hanya aku. Betapa ingin aku melihat mereka, tapi tubuhku tak kuasa beringsut semili pun. Dalam keputusasaan yang mengeringkan jiwa, aku merasa tubuhku diangkat lalu diletakkan lagi. Terdengar suara manusia kecil berbicara dan tertawa dengan penuh semangat. Aku me- manggil teman-temanku. Terdengar sahutan begitu dekat di be- lakangku, kemudian di depanku. Di waktu berikutnya aku di- 130 Suara Bayang-Bayang

panggil dari jarak yang lebih jauh. Kami saling memanggil tanpa tahu apa tujuan kami memanggil. Mungkin hanya ingin memasti- kan bahwa kami masih hidup. Sepertinya kami diletakkan berderet membentuk satu garis. Entah apa yang manusia kecil itu akan lakukan pada kami. Belum sempat aku berpikir, terdengar sebuah benda jatuh disertai bunyi “crak” disusul satu jeritan menyayat. Jerit kesakitan teramat sangat yang aku rasakan sebagai ucapan selamat tinggal. Terdengar suara bocah laki-laki berteriak kegirangan. “Pas, lemparanku pas!” Aku tercekat. Teriakan itu membuat napasku tersengal. Entah mengapa, tangisku tak bisa kubendung. “Sekarang giliran kamu yang melempar.” suara bocah itu terdengar lagi. “Baiklah. Aku yakin, lemparanku nggak bakal meleset.” Timpal suara lainnya. “Kita lihat siapa yang lebih jitu. Aku atau kamu.” “Ayo, siapa takut? Aku juga pasti bisa. Kamu lihat saja, pasti rumahnya akan lebih hancur daripada lemparanmu.” “Eh, jangan terlalu maju! Curang, kamu!” “Lho, kamu tadi melemparnya dari sinikan?” “Tidak, ya. Mundur selangkah lagi! “Ya, sudah. Hitung, ya...” “Satu, dua..., tiga!” Meski dicekam ketakutan, tetapi keingintahuan lebih kuat memaksaku untuk menjulurkan kepala keluar dari rumahku. Sebuah batu yang besarnya lebih dari 5 kali rumah siput dewasa melayang tepat menghantam teman yang tepat di depanku. Se- buah jerit menyayat disertai bunyi “crak” terdengar lagi. Aku langsung mual. Mataku berkunang-kunang. “Horee... aku juga bisa. Lihat itu, rumahnya hancur.” “Sekarang mundur selangkah. Hitung, ya!” “Satu, dua, tiga..!!” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 131

Terdengar lagi jeritan, disusul “crak.” Satu lagi temanku mati sia-sia. Rumah hancur berkeping. Air mataku mengalir, tak se- kadar menetes. Mimpi untuk menjadi santapan bebek semakin jauh. “Hore...!! Pas! Sekarang giliranmu. Kena, tidak ya?” “Pasti kena.” Sahut anak itu merasa tertantang. “Jangan-jangan meleset!” “Kena!” “Meleset!!” “Kena!” “Buktikan!!” Dua bocah bersahutan dengan sangat bersemangat. Kulihat maut di setiap kata-kata mereka. Hitungan satu dua tiga, adalah gerbang kematian. Kengerian mencabik-cabik kekuatanku. Aku meratap. Meratapi nasib yang akan mati sia-sia. Meratapi teman- teman yang telah mati sia-sia. Aku tak mampu lagi berkata-kata, apalagi berteriak. Aku hanya menunggu giliran batu itu meng- hancurkan rumah dan membuatku menjadi serpihan. Membayang- kan hal itu, tubuhku seakan meleleh dan mencair di rumah ke- diamanku. Aku tak berdaya. “Heii... apa yang kalian lakukan di sini?” Suara laki-laki dewasa menegur dua bocah itu. “Main bekicot, Pakde.” Sahut kedua anak itu hampir bersamaan. “Ehh..., ngawur kamu! Jangan kamu bunuh sembarangan seperti itu! Biarkan bekicot-bekicot itu besar dulu, baru dipecah. Buat makan bebek atau bisa juga buat sate atau rica-rica.” “Lho, enak ta, Pakde?” “Apa bener, enak dimakan bekicotnya..?” “Kalian kok nggak percaya sama orang tua. Bekicot itu bisa jadi makanan lezat, bergizi tinggi kalau bener cara masaknya. Malah sate bekicot sudah jadi salah satu makanan khas di Kediri” “Caranya sulit nggak, Pakde?” 132 Suara Bayang-Bayang

“Nggak sulit, tapi agak lebih rumit dibanding memasak daging ayam atau sapi. Sebelum dimasak, bekicot harus dipuasa- kan dulu dua hari supaya semua kotorannya keluar” “Terus?” timpal salah satu bocah tak sabar. “Setelah dipuasakan dua hari, bekicot direndam dalam air garam lebih kurang 10 menit. Tentu saja cangkangnya juga perlu dibersihkan dari segala kotoran yang menempel. Setelah bersih, barulah bekicot direbus dalam air mendidih.” “Lalu bagaimana, Pakde?” “Bekicot yang sudah direbus, dipisahkan dari cangkangnya lalu direndam dengan air cuka. Setelah benar-benar bersih, direbus lagi lebih kurang 10 menit. Usai itu barulah daging bekicot siap untuk disate. Tentunya dengan diberi bumbu.” “Kalau begitu kita pelihara bekicot saja biar bisa makan sate tiap hari.” “Iya, Pakde. Aku mau pelihara bekicot.” “Boleh saja. Nanti Pakde ajari cara memeliharanya.” Akhir pembicaraan manusia dewasa dan dua bocah itu begitu merdunya. Namun aku tak tahu apa yang mereka lakukan berikutnya. Suara mereka semakin lemah dan menghilang. Mungkin mereka pergi atau aku telah mati. Kalaupun memang mati, aku sangat bersyukur karena mimpi indah kami akan men- jadi kenyataan. Bandungan, Juli 2018 Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 133

Biarkan Kami Tertawa Triman Laksana (SMP Negeri 1 Mungkid, Magelang) Matahari baru sepenggal galah. Sinar panasnya masih terasa hangat mengelus kulit. Seluruh penduduk Dusun Makmur dari orang tua, anak-anak, laki-laki dan perem- puan sudah berkumpul di dekat Umbul Makmur, dengan segala uba rampenya, untuk menyambut upacara Merti Dusun. Wajah- wajah sumringah dan semangat tergambar jelas. Canda tawa terdengar dari bibir mereka. Suasananya begitu rukun dan damai. “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarrakatuh...,” Kepala Dusun membuka upacara Merti Dusun. “Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarrakatuhhhhh....,” sambut seluruh penduduk dengan mantab. Penuh semangat. “Sedulur-sedulur penduduk Dusun Makmur, yang sangat saya cintai. Hari ini kita kembali mengadakan upacara Merti Dusun. Bukan kita melakukan syirik terhadap Umbul Makmur ini, tetapi semua rasa syukur kita kepada Allah. Lewat sarana Umbul Makmur ini, Allah memberikan rejeki melimpah melalui panen di sawah ladang kita. Alhamdulillah...” Kepala Dusun memberi sambutan. “Alhamdulillahhhhh...” sambut seluruh penduduk Dusun Makmur. “Kita tetap harus merawat dan mengupayakan, agar Umbul Makmur terjaga dan lestari dan airnya dapat mengaliri sawah ladang kita. Sebelum upacara Merti Dusun dimulai, Pak Kaum 134 Suara Bayang-Bayang

akan mendoakan, agar Umbul Makmur tetap terjaga kelestarian- nya dan panenan tahun depan melimpah, melebihi tahun ini....” “Aamiiiiiiinnnnn......” sambut seluruh penduduk Dusun Makmur. Upacara Merti Dusun segera dimulai. Selesai Pak Kaum men- doakan, Kepala Dusun memotong tumpeng. Potongan tumpeng diberikan kepada penduduk paling muda. Suasana yang semula khidmat dan hening, berubah menjadi ramai. Seluruh penduduk Dusun Makmur menikmati uba rampe yang telah dikumpulkan jadi satu. Makan bersama, tanpa sekat. Tanpa memandang derajat dan pangkat. Rukun dan damai. Riang dan gembira dalam keber- samaan. *** Kabar Umbul Makmur menjadi angker tersebar. Entah dari siapa pertama kali kabar itu tersebar. Tidak ada yang tahu. Kabar itu, tidak hanya dilingkungan Dusun Makmur, tetapi sudah menyebar ke seluruh dusun-dusun di wilayah Desa Jati. Setelah menyebar kabar, Umbul Makmur menjadi angker, penduduk Dusun Makmur, sudah tidak ada yang berani mandi, mencuci pakaian, dan memandikan ternak-ternaknya. Semakin lama, suasana Umbul Makmur semakin sepi dari kegiatan penduduk Dusun Makmur. Tidak ada yang berani men- dekat. Umbur Makmur yang selama ini menjadi tumpuan aliran sawah ladang yang tidak pernah kering, walau kemarau panjang. Semua heran, kabar Umbul Makmur menjadi angker. Banyak penduduk Dusun Makmur semula tidak percaya, nekat untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Namun, kemudian ada ber- bagai macam suara dan wujud yang tidak kelihatan meng- ganggunya. Apalagi ketika Narti, salah satu penduduk Dusun Makmur nekat mencuci dan mandi pagi, kemudian kesurupan, karena diganggu suara dan makhluk yang mengerikan, meski saat itu sudah pukul enam. Akhirnya, penduduk Dusun Makmur semakin percaya, kalau Umbul Makmur menjadi angker. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 135

Umbul Makmur itu ada 7 sumber mata air besar, luasnya setengah lapangan sepak bola itu selalu ramai, baik pagi, siang dan sore. Setelah menjadi angker, dan beberapa kejadian yang menteror penduduk Dusun Makmur, kini Umbul Makmur men- jadi sepi. Sunyi. Menyimpan kengerian bagi penduduk Dusun Makmur. Semula pohon-pohon besar di sekitar Umbul Makmur itu menjadi tempat yang paling menyejukkan, kemudian seperti menjadi bayangan makhluk yang siap menerkam siapa saja, yang mendekat di sekitar lokasi itu. Kabar angkernya Umbul Makmur itu terus menyebar. Bukan berkurang, tetapi malah semakin bertambah-tambah kabar yang mengerikan. Penduduk Dusun Makmur, sudah tidak berani mendekat lagi. Untuk mengaliri sawah ladangnya, hanya di bawah aliran dari parit Umbul Makmur, yang kecil. Ketika harus memperbaiki aliran air dan mengalirkan air, tidak berani men- dekati dengan Umbul Makmur. Penduduk Dusun Makmur, yang semula kegiatan yang ber- urusan dengan air selalu ke Umbul Makmur, kini berubah. Men- cuci, mandi di rumah masing-masing. Untuk memandikan hewan ternaknya, bergotong royong membuat kolam. Padahal pen- duduk Dusun Makmur sadar, sumur-sumur yang ada di dusun- nya, kalau kemarau panjang pasti kekeringan. *** Dengan langkah mantap, seperti biasanya Hardi menuju sawahnya yang tidak jauh dari Umbul Makmur. Dengan cangkul dipanggul, dan sabit di tangan kirinya. Matahari pagi masih terasa hangat sinarnya. Matanya menatap jalan menuju Umbul Makmur. Jalan itu dahulu begitu bersih dan selalu terjaga, kini telah rimbun ditumbuhi rumput dan ilalang. Hardi heran, me- lihat ada papan tertancap di tengah jalan menuju Umbul Mak- mur, diantara rimbunnya ilalang. Hardi berjalan mendekat. Kaget. 136 Suara Bayang-Bayang

“DILARANG MENDEKAT UMBUL MAKMUR. BERBAHAYA!” “Edan! Ada apalagi ini?” ucap Hardi kemudian. Marah. Hardi mengurungkan niatnya ke sawah. Hatinya berkobar. Kakinya terus dilangkahkan menuju rumah kepala dusun. Se- panjang jalan bibirnya terus menggerutu, penuh kemarahan. Hal itu menjadi perhatian siapa saja yang ditemuinya. Hardi bicara apa yang telah ditemukan di jalan dekat Umbul Makmur. Semula Hardi sendirian, kemudian banyak penduduk yang mengikuti- nya, menuju rumah kepala dusun. Ada 20 orang yang ikut Hardi, laki-laki dan perempuan Kepala dusun tampak baru mengeluarkan sepeda motornya dari dalam rumah, ke halaman. Sudah memakai seragam kerja- nya. Kepala dusun kaget, melihat Hardi dan penduduk Dusun Makmur lainnya. “Ada apa ini? Ada apa, Har?” tanya kepala dusun kemudian penuh rasa heran. “Ini bagaimana Pak Kadus? Bagaimana?” katanya Hardi sambil memendam amarah. “Apanya yang bagamaina, Har?” “Ada papan tulisan di tengah jalan menuju Umbul Makmur,” sambung Hardi. “Tulisan apa, Har?” “Mangga, Pak Kadus melihat sendiri,” berkata begitu, Hardi menggandeng tangan kepala dusun. Kepala Dusun hanya mengikuti langkah Hardi, beserta penduduk Dusun Makmur yang lainnya. Rombongan kepala du- sun dan penduduk Dusun Makmur itu terus melangkah, menuju tempat yang dikatakan Hardi. Setelah sampai. “Coba lihat dan baca, Pak Kadus!” kata Hardi sambil me- nuding papan tulisan yang tertancap di jalan menuju Umbul Makmur. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 137

Kepala dusun dan penduduk Dusun Makmur yang ada di- tempat itu, kemudian membaca. “Ada apa ini?” kepala dusun kemudian bertanya. Entah untuk siapa pertanyaannya itu. “Ada apalagi ini?” pertanyaan itu bersahut-sahutan dari mulut penduduk Dusun Makmur yang ada ditempat itu. kemudi- an saling berpandangan. Tidak mengerti. Bingung. “Siapa yang memasang ini, Har?” “Saya kira kalau Pak Kadus!” “Edan apa!” ujar Kepala dusun tersenyum. “Sebetulnya apa yang terjadi dengan Umbul Makmur itu to, Pak Kadus?” tanya Endang. “Kata Pak Kepala Desa, dari Pejabat yang berwenang, yang mbaureksa Umbul Makmur marah. Karena tempatnya sudah di- kotori, untuk mandi, cuci, ternak juga, sehingga merasa terusik..” “Lho, selama ini kan tidak apa-apa to, Pak?” sahut Hardi. “Pejabat yang berwenang itu siapa, Pak Kadus?” tanya Pawiro dengan lugu. “Aku tidak tahu. Har, katanya pejabat yang berwenang itu pun, kata Mbah Kartolo seperti itu,” ujar kpala dusun lagi. Tetap bingung. “Mbah Kartolo paranormal terkenal dari Desa Balekarti?” sambung Hardi. Kepala dusun hanya mengangguk. “Bagaimana ini, Pak Kadus?” Jito bertanya. “Aku juga bingung je, Jit!” jawab Kepala dusun dengan tatap- an kosong. Menatap Umbul Makmur yang kini tampak begitu mengerikan. Menyimpan misteri. “Kita cabut saja Pak Kadus!” kata Kodar dengan geram. “Jangan, Dar!” “Apa tidak akan menambah suasana semakin menyeramkan, Pak?” Hardi menimpali. Kepala dusun tambah bingung. 138 Suara Bayang-Bayang

“Sudah sekarang pulang dulu, nanti malam kita bicarakan di rumahku. Pagi ini, aku harus ke balai desa. Kata Pak Kepala Desa, ada rapat penting dengan tamu dari Jakarta,” ucap kepala dusun. Hardi dan penduduk Dusun Makmur yang ada ditempat itu, kemudian membubarkan diri. Kembali ke rumahnya masing- masing. Dengan membawa segala pertanyaan yang ada di benak- nya masing-masing. *** Malam yang dinantikan telah tiba. Seluruh penduduk Dusun Makmur berkumpul di rumah kepala dusun. Dalam pertemuan itu, ternyata Kepala Desa Jati hadir. Hal yang membuat heran penduduk Dusun Makmur, Mbah Kartolo juga turut hadir. Penduduk Dusun Makmur semakin bingung dan tidak mengerti. Setelah acara pembukaan dari Kepala Dusun Makmur. Kemudian Kepala Desa Jati. “Sedulur-sedulur Dusun Makmur yang saya cintai. Malam ini, pertemuan sangat penting dan perlu diketahui semuanya. Dengan kejadian Umbul Makmur yang sekarang menjadi angker, wingit, karena ulah kita sendiri. Untuk itu, Umbul Makmur itu perlu diruwat...” “Ruwat...?” sahut hampir seluruh penduduk Dusun Mak- mur bersamaan. Bingung. “Iya! Untuk membuangsesuker, Umbul Makmur harus diruwat. Bukankah begitu Mbah Kartolo?” tanya kepala desa, sambil me- mandang Mbah Kartolo. Mbah Kartolo tersenyum. Mengangguk, sambil menghisap rokok klembak menyan, tengwenya. “Satu hal yang tidak kalah pentingnya, setelah Umbul Mak- mur ini diruwat, nantinya harus dipelihara orang lain. Jangan sampai kena saru siku yang mbaureksa jika masih dipelihara or- ang-orang desa kita,” sambung Kepala Desa lagi. Penduduk Dusun Makmur kaget. Bingung. Namun tidak bisa berkata-kata. Hanya tatapan kosong. Saling berpandangan. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 139

Ada rasa takut yang sangat, dengan ucapan kepala desa dan mbah Kartolo, tentang sesuker, saru siku dan mbaureksa. Seperti sebuah sabda raja yang sudah tidak bisa ditawar dan ditolak lagi. Takut kena bebendu. “Kenalkan ini, Pak Satriyo dari Jakarta. Nanti yang akan membiayai seluruh acara ruwatan, selain nanggap wayang, juga slametan untuk membuang sesuker,” ucap kepala desa lagi. Penduduk Dusun Makmur yang hadir kemudian meman- dang Pak Satriyo. Dengan pandangan heran. Sekaligus bingung. Pak Satriyo tersenyum ramah. Acara rembug warga itu berakhir. Seluruh penduduk Dusun Makmur kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tanpa yang ada bicara. Karena sudah tidak ada lagi yang harus dibicara- kan. Semua sudah selesai. Seminggu kemudian, di jalan menuju Umbul Makmur, Dusun Makmur, diadakan partumjukan wayang kulit semalam suntuk, dengan dalang terkenal. Juga slametan besar-besaran. Makan bersama-sama. Penduduk Dusun Makmur datang semua, mendapat bingkisan dan uang dari Pak Satriyo. Tiap orang, mendapat sarung, baju koko bagi yang laki-laki. Kebaya dan kain batik bagi yang perempuan, serta uang 500 ribu. Meski tetap bi- ngung, tetap penuh pertanyaan nasib Umbul Makmur selanjut- nya. Meski masih berada di wilayah Dusun Makmur, tetapi sudah tidak akan pernah memilikinya. Tanpa ucapan tertlontar. Hanya senyum getir yang tersembul di bibir masing-masing. Sambil berjalan pulang, menuju rumah masing-masing. Tanpa melihat pertunjukan wayang kulit sampai selesai. *** Sebulan setelah acara ruwatan itu. Dusun Makmur ramai, banyak truk-rtuk pengangkut material memasuki wilayah itu. Orang-orang di luar Dusun Makmur tampak berdatangtan. Untuk membangun tembok beteng memagari Umbul Makmur. Makin lama, dari hari ke minggu, dari minggu ke bulan. Umbul 140 Suara Bayang-Bayang

Makmur sudah tidak terlihat lagi dari luar. Tembok beteng telah mengelilingi Umbul Makmur. Meski aliran airnya tetap sampai ke sawah ladang penduduk Dusun Makmur dan sekitarnya. “DI SINI AKAN DIBANGUN PABRIK AIR MINERAL MAKMUR” Kepala dusun dan penduduk Dusun Makmur semakin bingung, setelah membaca papan tulisan besar itu. Di depan pintu gerbang besar, yang menuju Umbul Makmur, dijaga ketat oleh orang-orang berwajah sangar dan tidak bersahabat. Kepala dusun dan penduduk Dusun Makmur, saling berpandangan. Tersenyum. Kemudian mereka tertawa bersamaan. Tertawa yang begitu lepas. Memecah angkasa. *** Entah siapa yang menggerakkan. Siang yang sedang diliputi mendung, seluruh penduduk Dusun Makmur membuat tulisan di atas kain putih, dengan cat merah, arang hitam, pewarna merah, bertuliskan : “BIARKAN KAMI TERTAWA” (Tertanda Penduduk Dusun Makmur) Kain itu diikat pada bambu yang diruncingkan. Dibentang- kan. Satu kain dibawa dua orang. Kemudian berjalan, meninggal- kan Dusun Makmur. Sambil tertawa-tawa. Berpakaian rapih, baju putih, celana hitam, tanpa alas kaki. Berjalan menuju kantor kepala desa. Hanya sebentar, karena kepala desa tidak di tempat. Kemudian bergerak menuju kantor kecamatan. Camat juga tidak ada di tempat. Berjalan lagi menuju kantor bupati. Bupati juga tidak ada di tempat. Kemudian menuju kantor dewan. Penduduk Dusun Makmur, yang kemudian banyak orang yang ikut dalam perjalanan menuju kantor dewan. Tidak ada satu kata pun yang Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 141


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook