Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:24:00

Description: SUARA_BAYANG_BAYANG_Antologi_Cerpen_Guru

Search

Read the Text Version

BALAI BAHASA JAWA TENGAH i Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2018 Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah

SUARA BAYANG-BAYANG Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah Penulis: Ary Yulistiana dkk. Penanggung Jawab: Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Penyunting: Ery Agus Kurnianto Pracetak: Sutarsih, Retno Hendrastuti, Kustri Sumiyardana, Inni Inayati Istiana, Ngatirah, Takarina Indriyanta Penerbit: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA JAWA TENGAH Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang 50272 Telepon (024)76744357, 76744356, Faksimile (024)76744358 Pos-el: [email protected], Laman: www.balaibahasajateng.kemdikbud.go.id Katalog dalam Terbitan (KDT) SUARA BAYANG-BAYANG: Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah. Ary Yulistiana dkk. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018. viii + 142 hlm. 14,5 x 21 cm Cetakan Pertama, November 2018 ISBN: 978-602-53193-4-1 Hak cipta dilindungi undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Isi tulisan (karangan) menjadi tanggung jawab penulis. ii Suara Bayang-Bayang

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA JAWA TENGAH Sejak awal mula persoalan bahasa dan sastra bukan sekedar persoalan komunikasi dan seni, melainkan lebih jauh dari itu, yaitu persoalan yang secara esensial membangun kunci-kunci jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana menyikapi kehidupan ini dengan cara pandang dan logika berpikir yang dinamis, kreatif, jernih, dan jujur. Bahasa lebih dari sekedar simbol huruf, kata, dan kalimat yang digunakan sebagai sarana yang memungkinkan manusia berada dalam jaring-jaring sosial; dan sastra lebih dari sekedar permainan ekspresi manusia sebagai salah satu realisasi sifatnya yang homo ludens. Karena itu, bahasa dan sastra, sejak awal mula dan sampai pada akhirnya, membangun upaya terus- menerus yang membawa manusia dan kehidupannya tak sekedar sampai pada arti, tetapi juga sampai pada makna. Hal demikian berarti bahwa persoalan bahasa dan sastra layak diposisikan sebagai sesuatu yang sangat penting dan mesti diperhatikan. Berpegang pada pernyataan itulah, sebagai instansi peme- rintah yang mendapat tugas di bidang kebahasaan dan kesastra- an, Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pem- binaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, me- lakukan serangkaian aktivitas yang diharapkan menjadi modal dan faktor pendorong terciptanya bangunan kehidupan masya- rakat (manusia) yang lebih bermakna, tidak hanya sebatas di wilayah Jawa Tengah, tetapi di mana pun juga. Di antara sekian banyak aktivitas tersebut, selain pembinaan langsung kepada para pengguna (penutur) bahasa dan penikmat (apresiator) sastra yang antara lain berupa penyuluhan, bengkel, pelatihan, festival, dan lomba/sayembara, juga pengembangan korpus yang antara lain Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah iii

berupa penyusunan dan penerbitan buku-buku kebahasaan dan kesastraan, baik Indonesia maupun daerah. Penyusunan dan penerbitan buku-buku kebahasaan dan kesastraan menjadi sangat penting artinya karena aktivitas demikian, lagi-lagi, tidak sekedar berhenti pada nilai dokumen- tasi, tetapi melaluinya dipastikan sebuah peradaban akan ter- bangun. Diyakini demikian karena sampai hari ini kita percaya bahwa —menurut pepatah Latin— kata-kata tertulis (tulisan, scripta) akan selalu abadi (dikenang, berulang, manent), sedang- kan kata-kata lisan (ucapan, verba) akan cepat sirna (hilang, mus- nah, volent). Memang benar bahwa kita tidak akan tahu selama- nya siapa itu Plato, Aristoteles, Mangkunegara, Ranggawarsita, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, dan tokoh-tokoh besar lainnya tanpa pernah membaca buku (tulisan) mereka. Karena itu, sudah sepantasnya apabila penerbitan buku-buku kebahasaan dan kesastraan sebagai upaya pembangunan peradaban (yang huma- nis) mendapat dukungan dari semua pihak. Buku berjudul Suara Bayang-Bayang: Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah ini merupakan salah satu wujud dukungan dalam kerangka mencapai tujuan sebagaimana dikatakan di atas. Buku ini memuat 15 cerpen karya para guru; dan cerpen-cerpen ter- sebut semula merupakan hasil Lomba Penulisan Cerpen bagi Guru yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah pada tahun 2016 dan 2018. Atas nama Balai Bahasa Jawa Tengah kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim kerja, baik penggagas, penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini layak dibaca oleh khalayak (masyarakat). Kami yakin bahwa tak ada satu pun kerja yang sempurna, dan oleh karenanya, ke- hadiran buku ini terbuka bagi kritik dan saran. Kami hanya ingin buku ini membuka cakrawala hidup dan pikiran kita. Semarang, Oktober 2018 Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. iv Suara Bayang-Bayang

CATATAN PENYUNTING KARYA SASTRA YANG BAIK LAHIR DARI PENGGUNAAN BAHASA YANG BAIK Sarana yang digunakan oleh pengarang sebagai media tutur pendeskripsian dan dialog antartokoh yang terdapat dalam suatu karya sastra adalah bahasa. Oleh karena itu, perlu diperhatikan kaidah atau aturan yang berlaku dalam bahasa yang digunakan. Karya sastra yang menggunakan media tulis tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari kaidah-kaidah penulisan. Setiap diksi dan kalimat yang diproduksi tidak dapat menafikan bentuk-ben- tuk baku suatu bahasa. Patuh dan taat terhadap kaidah-kaidah bahasa sebenarnya tidak akan pernah menciderai keleluasaan pe- ngarang dalam pemilihan kata ataupun peramuan kata menjadi sebuah kalimat meskipun dalam memproduksi karya sastra estetika menjadi tujuannya. Buku antologi cerpen berjudul Suara Bayang-Bayang: Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah karangan Ary Yulistiana, dkk. terbitan Balai Bahasa Jawa Tengah ini masih berkutat dengan persoalan ketertiban dalam penggunaan bahasa. Buku yang berisi kumpul- an cerita pendek hasil kegiatan Lomba Penulisan Cerita Pendek Guru se-Jawa Tengah pada 2016 dan 2018 masih sarat dengan kekhilafan penulis dalam hal penggunaan bahasa. Kekhilafan penggunaan bahasa meliputi diksi, bentuk penulisan, hingga tataran struktur kalimat. Ketaatan terhadap kaidah bahasa seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penulis karya sastra. Hal tersebut di- sebabkan kegiatan penulisan karya sastra tidak akan dapat di- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah v

pisahkan dari kegiatan berbahasa. Salah satu faktor “nikmatnya” karya sastra adalah penggunaan bahasa. Pemahaman secara utuh terhadap suatu karya sastra dapat diraih oleh pembaca jika karya tersebut terbangun dari struktur bahasa yang baik juga. Struktur bahasa yang baik adalah struktur yang taat asas kebahasaan. Ide yang diangkat mayoritas merupakan bentuk respon pe- nulis dari fenomena sosial yang muncul di komunitas sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari kondisi sosial pengarang dan kondisi sosial masyarakat. Kelima belas penulis mampu meramu dan menyajikan fenomena sosial dalam jalinan peristiwa yang sangat menarik melalui cerita pen- dek yang bukan hanya sekadar sebuah cerita, tetapi cerita yang sarat dengan alternatif subjektif yang ditawarkan oleh penulis. Ery Agus Kurnianto vi Suara Bayang-Bayang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA JAWA TENGAH .......................... iii CATATAN PENYUNTING ........................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................. vii CERPEN HASIL LOMBA TAHUN 2016 Gadis Kecil yang Menelan Kunang-Kunang Ary Yulistiana ...................................................................................... 2 Misdi Dwiyanto ............................................................................................ 10 Bayang Sepanjang Badan Effi Kurniasih ..................................................................................... 19 Anak Dewa Gatot Supriyanto ................................................................................ 27 Ugeran Ratnaningtiyas ................................................................................... 35 CERPEN HASIL LOMBA TAHUN 2018 Hujan Berwarna Merah Agus Subakir ...................................................................................... 48 Soekardi Kertowidjoyo Diana Rakhmawati ............................................................................. 57 Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah vii

Pisau untuk Emak Herman Supratikto ............................................................................. 69 Suara Bayang-Bayang Ivan Mahendra ................................................................................... 77 Sriti Kaji Ki Sudadi ............................................................................................ 86 Monolog sang Mantan Mufti Wibowo .................................................................................... 95 Mata Sipit Muhammad Ulil Fachrudin .............................................................. 103 Manuskrip Kesunyian Nur Khafidin .................................................................................... 118 Mimpi Indah sang Bekicot Rini Tri Puspohardini ....................................................................... 126 Biarkan Kami Tertawa Triman Laksana ................................................................................ 134 viii Suara Bayang-Bayang

CERPEN HASIL LOMBA TAHUN 2016 Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 1

Gadis Kecil yang Menelan Kunang-Kunang Ary Yulistiana (SMK Muhammadiyah 1 Surakarta) Pagi menelikung gelapnya malam. Semburat kemerahan diam-diam telah menggaris di tepian langit. Butiran bintang beranjak gelisah dalam kelip-kelip yang kian redup. Ber- samaan dengan itu, embun jernih mulai bercahaya di sela de- daunan. Sesosok lelaki kurus berjalan bergegas menembus ke- remangan. Berpacu dengan dinginnya udara pagi yang bersiap membangunkan orang-orang dari mimpi. Sebelum sinar mentari pertama tiba, ia telah menghilang di sebuah kelokan jalan raya. *** Sumi menggeliat perlahan lalu mengucek mata. Suara azan Subuh telah membangunkannya. Sejenak ia duduk di tepi meja kayu tempatnya tidur. Dilihatnya botol plastik berisi kunang- kunang yang semalam ditangkapnya. Serangga-serangga kecil itu sudah diam tak bernyawa. Sumi menghela napas dan meng- ucapkan selamat tinggal pada kawan-kawan kecilnya, lalu me- nuangnya begitu saja. Dipandangnya sekeliling. Tampaknya pasar sudah ramai dan penuh kesibukan. Dapat dikatakan, pagi buta seperti ini adalah puncak keramaian pasar. Saat bertemunya para pedagang dengan pembeli yang bertransaksi dalam jumlah besar. Sedangkan di siang hari nanti yang ada hanya para pembeli yang berbelanja eceran, berbelanja tak seberapa tetapi sayang pula untuk dilewat- kan oleh para pedagang. 2 Suara Bayang-Bayang

Sumi membereskan tempatnya tidur. Diambilnya sarung yang rupanya sudah seperti gombal dan bantal kumal yang entah bentuk dan baunya. Disimpannya dua benda itu di atas lemari reyot di pojok kios. Ia segera ke kamar mandi untuk cuci muka dan buang air kecil. Biasanya tak lama seusai Subuh, Bu Jami pemilik kios akan tiba. Selama ini Sumi membantu ala kadarnya di kios Bu Jami. Menata barang dagangan dan pekerjaan-pekerjaan remeh yang lain semacam membelikan plastik atau sekadar menukarkan uang receh ke tukang parkir. Pekerjaannya yang rutin saat matahari sudah meninggi adalah menyortir bawang dan cabe. Sebagai imbalannya, Sumi mendapat upah tiga ribu rupiah sehari dan diperbolehkan tidur di meja depan kiosnya setiap malam. “Suumm.” Teriakan khas Bu Jami sampai ke telinga Sumi yang sedang mengelus-elus seekor kucing di depan kios paling ujung, dekat kamar mandi. Kucing burik itu adalah salah satu yang diakrabi- nya di pasar. Selain juga beberapa anjing tak bertuan yang kerap dijumpainya. Ia kagum dengan kucing burik itu karena bisa men- cari makan sendiri. Sumi bergegas meninggalkan si burik dan menuju kios Bu Jami. “Sarapan dulu Sum, itu aku bawakan nasi di rantang.” Bu Jami menunjuk ke tas anyaman di atas meja reyot tempat Sumi tidur tadi. Tanpa harus disuruh dua kali, Sumi makan dengan lahap. Ia harus sesegera mungkin menyelesaikan sarapan karena tak ingin Bu Jami kerepotan sendiri mengeluarkan da- gangannya dari lemari dan peti penyimpanan. *** Siang yang terik bercampur dengan tengiknya pasar siang ini. Sumi masih sibuk menyortir tumpukan bawang putih dan bawang merah di sudut kios. Bawang-bawang yang busuk di- sendirikan. Kulit-kulit bawang yang tercampur juga harus di- singkirkan. Tugasnya adalah membuat bawang-bawang itu Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 3

menjadi kelihatan segar dan rapi agar menarik pembeli. Juga agar bawang busuk yang ada tidak ikut membuat busuk bawang yang lainnya. Sebentar kemudian dilihatnya kelebat ayahnya melintas. Lelaki itu tengah memanggul sekarung kelapa yang tampak ber- tonjolan di punggungnya. Ayahnya tidak menengok ke arahnya. Sumi juga tak ingin sekadar meneriaki ayahnya. Semalam tidak didapatinya ayah di dekatnya. Namun Sumi menganggap itu lumrah adanya. Kadang ayahnya melepas lelah bersamanya setelah bekerja sebagai kuli panggul, lalu menemaninya tidur di kios yang sama. Namun tak jarang ayahnya menghilang entah ke mana. Bagi Sumi, kesendirian adalah hal biasa dalam hidupnya. Ibu? Ah, harapannya untuk berjumpa dengan ibu mungkin setipis kulit bawang yang menempel di tangannya saat ini. Me- lihat wajahnya pun Sumi belum pernah. Apa lagi mendapat kasih sayang dari perempuan yang konon melahirkannya. Namun, kasih sayang itu rasanya seperti apa dan untuk apa juga tidak Sumi ketahui dengan persis. Jadi tak perlulah menanyakan soal ibunya. Sumi tak hendak menyesali hidupnya. Setelah ayahnya melintas tadi, Bu Jami tampak menghampiri Pak Mul, pemilik kios di sebelahnya. Mereka berkasak-kusuk de- ngan mimik serius. Bu Jami lalu menggeleng-gelengkan kepala- nya dan kembali lagi ke dalam kios untuk menghitung uang hasil perolehan jualannya. Sumi tetap melanjutkan pekerjaannya me- nyortir bawang dengan cekatan. Ia merasa anak sembilan tahun seperti dirinya tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa. Sumi hanya ingin pekerjaannya cepat selesai, mendapat upah dari Bu Jami, lalu ia akan bebas ke mana-mana. Maksudnya, bebas mengitari pasar besar tempat hidupnya sehari-hari ini. Dengan kesibukan sorenya itu, ia biasa disuruh oleh orang-orang pasar dan terkadang mendapat upah makanan atas pekerjaannya. Tak berapa lama, dua orang berkemeja biru tampak meng- hampiri kios Bu Jami. Sumi mendengar nama ayahnya disebut- 4 Suara Bayang-Bayang

sebut. Bu Jami menunjuk ke arah tempat ayahnya tadi melintas, lalu menunjuk pula ke arah Sumi. Yang ditunjuk hanya acuh belaka. Pekerjaannya menyortir bawang sudah hampir diselesai- kannya. Sumi lalu berpamitan pada Bu Jami. Uang tiga ribu upah- nya hari ini dimasukkan ke dalam lubang rahasia bantal kumal- nya. Bu Jami memandangnya dengan tatapan berbeda kali ini. “Sum, nanti jangan jauh-jauh ya.” Sumi terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Ya, Bu.” Sumi justru ingin mengitari pasar agak jauh. Ia ingin melupa- kan keinginannya untuk buang air kecil. Pada jam-jam seperti ini, seluruh kamar kecil masih ditunggu oleh penjaga dan mereka meminta uang lima ratus rupiah untuk ongkos ke kamar kecil. Sumi tidak ingin kehilangan uang lima ratus rupiah hasil per- olehannya menyortir bawang dan cabe. Selain itu, Sumi tidak habis pikir mengapa ia harus membayar untuk sesuatu yang hendak dibuangnya. Maka baginya, lebih baik menahan keingin- an untuk buang air kecil daripada harus kehilangan uangnya. Hingga malam tiba, Sumi belum lagi menjumpai ayahnya. Namun Sumi juga tak ingin mencari. Sebab biasanya ayahnya akan muncul dengan sendirinya. Lagipula, ada atau tidak adanya ayah tidak ada pengaruhnya untuk Sumi sebab ia merasa terbiasa berkawan sepi. Hiburan Sumi di malam hari adalah mencari kunang-kunang. Ia senang menyusuri sudut-sudut tergelap di pasar, sebab di tempat seperti itulah biasanya ia menjumpai kunang-kunang. Tiap kali Sumi menjulurkan tangannya pada kunang-kunang yang melintas, serangga berlampu itu akan hinggap di ujung jari- nya. Jika kunang-kunang itu berkelip-kelip di jarinya, Sumi sung- guh gembira. Rasanya jarinya berhias permata seperti jemari Bu Jami atau ibu-ibu yang berbelanja di pasar yang selama ini dilihatnya. Kunang-kunang itulah yang menjadi sumber kebahagiaan Sumi. Ia tidak pernah takut kegelapan. Justru di dalam kegelapan Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 5

itulah cahaya kunang-kunang bisa berpendar dengan cantiknya. Sumi akan terdiam lama mengamati kunang-kunang di jarinya yang seperti menemani dirinya. Biasanya, kunang-kunang itu akan menurut pada Sumi. Entah bagaimana, binatang kecil itu selalu diam saja hingga Sumi memasukkannya ke dalam botol plastik miliknya. Senyum Sumi selalu mengembang saat bersama kunang- kunang. Rona wajahnya terlihat amat bahagia. Setelah beberapa ekor kunang-kunang berhasil ditangkap, ia akan membawa botol bercahaya itu ke kios Bu Jami tempatnya tidur sehari-hari. Mata jernihnya menjadi penuh kilau sebab pantulan cahaya kunang- kunang itu. Ia bisa bercengkerama soal apa saja dengan mereka sampai ia merasa mengantuk. Sumi selalu bahagia dalam tidur- nya sebab selalu ditemani kunang-kunang yang selalu meng- antarnya sampai ke mimpi-mimpi bercahaya. Meski di saat bangun tidur keesokan harinya, ia akan mendapati kunang- kunang itu mati dan padam tanpa cahaya. Namun Sumi tidak pernah kecewa. Pada malam berikutnya masih akan ada banyak kunang-kunang lain untuk diajaknya bermain bersama. Sumi yakin kunang-kunang itu akan terus menjumpainya dan memberikan kebahagiaan pada dirinya. Pernah ada tiga ekor kunang-kunang sekaligus hinggap di jemarinya. Sumi berdesir bahagia. Rasanya seperti puteri raja yang bergelimang permata. Entah mengapa, kunang-kunang sekecil itu selalu dapat menghibur hatinya. Baginya, kunang-kunang adalah serpihan bintang di langit yang rontok ke bumi lalu beterbangan di tempat- tempat gelap seperti di pasar tempatnya tinggal selama ini. *** Pagi berikutnya Sumi bangun agak terlambat. Bu Jami sudah tiba di kiosnya. Ia lalu melesat ke kamar mandi agar tak keduluan dengan penjaga dan terpaksa menyetorkan lima ratus rupiahnya. Kucing burik yang menantinya tak dihiraukan. Tepat saat Sumi keluar dari kamar mandi, dari kejauhan sang penjaga kamar 6 Suara Bayang-Bayang

mandi terlihat berjalan menuju kepadanya. Sumi merasa menang dan segera kembali ke kios Bu Jami. Bu Jami mendekati Sumi. Dengan tatapan keruh, diajaknya gadis kecil itu bicara. “Sum, Kamu sudah dengar berita soal ayahmu?” tanya Bu Jami perlahan. Sumi menggeleng. Bu Jami tampak menghela napas. “Yang sabar ya, Sum. Kamu ndak usah menunggu-nunggu ayahmu pulang.” Bu Jami menggantung kalimatnya. Perempuan paruh baya itu seperti kebingungan hendak memilih kata-kata. Lalu Bu Jami hanya menepuk pundak Sumi beberapa kali kemudian melanjut- kan menata barang dagangannya. Sumi mematung. Bukan soal kabar ayahnya yang ingin diketahuinya. Namun ia menunggu perintah Bu Jami untuk sarapan seperti biasanya. Perutnya tak terbilang laparnya. Sepertinya Bu Jami lupa membawakannya sarapan hari ini. Sumi tidak berani bertanya. Ia hanya menahan perih di lambung- nya sembari membantu Bu lami bekerja. Dalam rasa lapar berikut- nya, Sumi bertugas menyortir cabe. Ia menyisihkan cabe-cabe segar dengan cabe busuk yang tak jarang berulat kecil-kecil. Ada lima plastik besar cabe yang harus disortirnya kali ini. Sumi ber- siap untuk menanggung panas jemarinya usai bekerja nanti. Selama Sumi memilah-milah cabe itulah kemudian akhirnya ia tahu soal ayahnya. Ia merangkai sepotong demi sepotong pem- bicaraan orang-orang dengan Bu Jami. Kabarnya kemarin lusa ayahnya terlibat dalam pencurian sebuah toko besar di tepi jalan raya, di tengah kota sana. Kemarin ketika polisi berpakaian preman mencarinya ke pasar, ayahnya bersembunyi lalu melarikan diri. Malamnya polisi bermaksud meringkusnya. Namun ayah melawan dan terus berlari. Polisi melepaskan tembakan yang membuat ayahnya limbung dan terkapar. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 7

Sumi tahu ia tak akan bertemu lagi dengan ayahnya, lelaki yang sempat berjanji kepadanya untuk mencarikan kamar kon- trakan agar Sumi tak lagi tidur di kios pasar. Sumi pun bertekad membantu ayahnya membayar kamar kontrakan kelak. Itulah mengapa ia selalu menabung upah hariannya tanpa membelanja- kannya sekalipun rasa lapar mendera. Sumi hanya pasrah sekarang. Tak akan ada kamar kontrakan. Tak akan ada ayah. Namunn semua itu tak membuatnya terpe- lanting dalam jurang kesedihan. Sumi tahu ia masih punya sumber kebahagiaan yang dinantikan. Siapa lagi kalau bukan kedatangan kunang-kunang. Malam ini ia bermain-main lagi dengan kunang-kunang. Letih di badannya dan rasa sakit di perutnya tak hendak dirasa- kan. Hingga larut ia terus menyusuri keremangan pasar. Tidak tanggung-tanggung, sepuluh ekor kunang-kunang berhasil ditangkap dan dimasukkannya ke dalam botol plastik. Sumi me- rasa sangat bahagia bersama kunang-kunang itu. Ia melupakan penderitaan hidupnya. Kilau cahaya kunang-kunang menghias hingga ujung matanya. Dibawanya botol berisi sepuluh ekor kunang-kunang itu ke kios Bu Jami untuk menemani. Kali ini Sumi tak ingin ditinggal mati oleh kunang-kunang- nya. Ia tak ingin lagi mendapati kunang-kunangnya padam tanpa cahaya. Ia ingin selalu berbahagia sepanjang hari tanpa harus menunggu malam tiba. Dibukanya botol plastik wadah kunang- kunang sambil mulutnya menganga. Diketuk-ketuknya botol agar kunang-kunang itu beterbangan memasuki mulutnya. Kunang-kunang itu menurut seperti biasa. Kini di dalam botol plastik di genggaman Sumi sudah tak ada cahaya. Sumi mengatupkan matanya dengan sempurna sambil bibirnya tersenyum gembira. Cahaya kunang-kunang kini berkelip-kelip dalam hatinya lalu membawa Sumi terbang ke angkasa. Sumi bahagia bersama kunang-kunangnya sebab hanya 8 Suara Bayang-Bayang

kunang-kunang yang peduli dengan gadis miskin tak berayah ibu seperti dirinya. Ah, jika mengetahui kisah Sumi sebelumnya, adakah engkau akan peduli kepadanya? *** Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 9

Misdi Dwiyanto (SMP Negeri 3 Ngawen Blora) Panas yang mendidihkan aspal jalanan adalah tetesan keringat yang membanjir di kaos Misdi. Kaos yang sudah pudar warnanya itu sudah basah oleh peluh. Sudah sejak pagi dia berkeliling dengan sepeda yang serenta dirinya. Berkeliling dari lorong ke lorong. Matanya dengan cepat bisa mendeteksi mana barang yang bisa dijadikan uang dan mana barang-barang yang betul-betul hanya sampah. Mulai terasa raga tuanya tidak sebugar dulu. Kelelahan menumpuk di tubuhnya yang terlihat kerempeng. Misdi menggenjot sepedanya dengan tatapan yang pasti. Di kanan kiri sepedanya ada keranjang dari anyaman bambu me- meluk erat boncengan. Keranjang itu satu sisi berisi puluhan botol-botol sirup dan kecap kosong. Sisi yang lain adalah kertas- kertas koran. Sisi kiri memang khusus untuk itu. Bunyi botol ko- song yang beradu, derit rantai tak pernah tersentuh oli pelumas, dan jerit ban sepeda yang sedikit kempes menggerus panas aspal jalanan, meneriakkan penat. Di depan matanya sudah terpampang rumah Mang Keong, tempat pengepul barang-barang rongsok. Sudah banyak orang yang antri di sana. Harus sabar menunggu. Perjuangannya me- ngumpulkan barang-barang rongsok berakhir di sini. Misdi meng- hembuskan napas lega. Hmm, tak perlu tergesa-gesa. Ada sesuatu yang harus disortir. Dipilih sebelum ditimbang oleh Mang Keong. Tadi siang banyak 10 Suara Bayang-Bayang

orang yang berdemo di depan balai kota. Mereka kepanasan dan memakai koran untuk menahan panas. Setelah puas berdemo, koran-koran itu dibiarkan begitu saja, diterbangkan oleh angin ke sana ke mari. Rezeki. Dengan penuh semangat Misdi berlarian ke sana ke mari. Mengejar koran-koran yang beterbangan. Tidak semuanya bisa dia rengkuh. Ada yang terbang, hilang entah ke mana. Aha, kebanyakan koran Minggu. Hati Misdi bersorak. lni- lah koran yang dicarinya. Lumayan juga koran yang berhasil di- peroleh. Beberapa koran terinjak dan sobek. Nanti bisa disam- bung dengan solasi bening. Tak mengapa. Tiga puluh menit ke- mudian, Misdi menebarkan pandangan. Jalanan jadi bersih. Napas memburu berat berbenturan dengan panas yang men- cocor. Misdi memang harus bergerak cepat, sebelum diserbu oleh pemulung lain. Dia merapikan koran-koran itu. Namun Misdi sebenarnya tidak serakah. Dia hanya memilih koran-koran yang ada cerpen, esai budaya, atau artikel menarik lainnya. Selain itu dia akan membiarkan koran itu diambil oleh pemulung lain jika ada pemulung yang menginginkan. Nanar mata Misdi berbuncah bahagia. Kelelahannya terbalas sudah. Membungkuk-bungkuk menjumput koran telah membuat punggung tuanya terasa pegal. Direngkuhnya air dalam botol. Diteguknya dengan kesegaran tiada tara. Misdi masuk pekarangan, terus menghentikan sepedanya. Sepeda itu dibiarkan tergeletak. Tidak jatuh karena terganjal keranjang bambu. Dengan lincah tangan Misdi mengambil koran- koran itu. Kakinya sudah tahu kemana bergerak. Di bawah pohon akasia yang teduh. Angin sepoi mendinginkan tubuhnya. Misdi menurunkan tas yang ada di punggungnya. Tas yang berisi gun- ting, lem, dan kertas-kertas tulisannya. Kebanyakan cerpen itu ditulis tangan. “Belajar ya Kang, mau ujian?” sindir salah seorang temannya sesama pemulung yang lewat di sebelahnya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 11

Misdi terkekeh. Mereka memang tidak peduli pada dunia- nya. Dengan sabar Misdi menggunting cerpen-cerpen yang ada di koran itu. Ada cerpen anak dan ada cerpen orang dewasa. Misdi juga menggunting esai budaya dan tak lupa artikel yang menarik. Sampai di rumah dia akan menempelkan guntingan- guntingan koran itu di buku besar. Dengan sabar pula mengum- pulkan guntingan-guntingan itu sesuai dengan jenisnya. Di rumahnya, ada perpustakaan pribadi yang lumayan besar. Buku- buku yang dia beli dari hasil jadi pemulung. Ada juga buku yang dibeli dari hasil menulis di koran. Tak jarang pula wartawan yang mengunjungi perpustakaannya meninggalkan dua tiga buku baru sehingga makin menambah koleksinya. Kalau ada bursa buku murah, Misdi seperti tengah berpesta. Memborong buku- buku itu. Setahun dua kali, Juni dan Desember. Misdi bisa menabung sebelumnya. Harga satu buku bisa dibeli dengan uang lima ribu. Pulang dari bursa buku murah, pernah Misdi membawa satu karung buku. Baginya, rumah sekaligus perpustakaan yang dikelolanya adalah kehidupan yang menggairahkan. Seminggu tiga kali dia akan mendongeng di depan anak-anak. Misdi mencatat makin lama, makin banyak anak yang mendengarkan dongengannya. Kadang, Misdi baru sampai di rumah, anak-anak sudah banyak menunggunya di depan pintu. Meski tenaganya sudah terperas sejak pagi, Misdi tidak mau mengecewakan hati anak-anak. Kemudian selepas anak-anak pulang, ada remaja-remaja meminta bimbingan mengarang kepadanya. Misdi pun mengajari mereka semampu dia. Pengalaman menulis hampir empat puluh tahun adalah modal yang lebih dari cukup untuk membuatnya percaya diri dalam memberikan bimbingan. Inilah yang membuat rumahnya selalu penuh pijar kehidupan. Satu demi satu pemulung pulang. Membawa peruntungan masing-masing hari ini. 12 Suara Bayang-Bayang

“Berapa Mang semuanya?” Dengan cekatan Mang Keong melihat angka di timbangan. “Tiga puluh ribu,” ucapnya enteng. Segera diserahkan tiga lembar uang sepuluh ribu. Lumayan untuk memperpanjang kehidupan. Misdi mengumpulkan potongan koran itu lagi. Memasukkan ke dalam tas kecil yang ada di punggungnya. Misdi memang selalu mengistimewakan bahan-bahan klipingnya. Diambilnya sepeda dan segera pulang. Panas sudah tidak mencocor dengan garang. Matahari sudah mulai turun titik tertingginya. Angin sepoi dari daun-daun akasia mengirim dingin, mendinginkan sejenak tubuh Misdi yang gerah. Sepeda yang tak lagi dibebani beban berat menggelinding ringan. Tidak sampai setengah jam Misdi sudah sampai di rumah. Mata Misdi berbinar bahagia. Di halaman rumah sudah banyak anak-anak yang menunggunya. Melihat anak-anak yang ber- kerumun itu membuat kelelahan di tubuhnya seakan lenyap. Mereka adalah penawar lega yang mujarab. Pagar dari bambu yang memang sengaja tidak pernah dikuncinya membuat anak- anak leluasa masuk. “Ayo segera masuk Pak!” “Kami tak sabar menunggu akhir cerita Putri Warna-Warni,” kata mereka tidak sabar. Misdi memang punya teknik agar anak-anak dibekap rasa ingin tahunya. Ceritanya tidak pernah tuntas dalam satu hari. Satu cerita bisa didongengkan dua atau tiga kali. Cerita yang se- lalu baru. Dia tidak pernah mengulang cerita. Cerita itu biasa- nya rekaannya sendiri. Misdi membuka pintu. Dia memang tidak menguncinya. Hanya menutupnya. Belum pernah tinggal di sini bukunya dicuri orang. Anak-anak juga segera masuk. Setelah membersihkan diri, Misdi muncul dengan kaos dan celana panjang yang bersih. Wajahnya tampak lebih segar. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 13

“Bagaimana nasib Putri Warna-Warni!” Misdi menebarkan senyum. Segera diambilnya boneka putri dan pangeran. Misdi mengambil nafas panjang dan berkonsen- trasi sejenak. Dia pun mulai. “Aku akan meminangmu Putri. Aku akan kembali dalam dua minggu lagi. Kau akan kubawa ke istana. Tidak perlu tinggal di tepi hutan seperti ini,” janji Sang Pangeran. Hati Putri Warna-Warni dipenuhi bunga bahagia. Kemudian pangeran tampan itu pun meninggalkannya disertai dua pe- ngawal. Putri Warna-Warni tidak bisa menyembunyikan ke- bahagiaanya. Namun tidak lama. Dia teringat penyakitnya. “Aku tidak selalu bisa menjadi Putri yang cantik. Aku cantik pas ada bulan purnama. Kalau tidak ada purnama, kulitku selalu berubah-ubah terus. Kalau di dekat daun, kulitku akan berwarna hijau. Kalau duduk di atas batu, kulitku akan berubah hitam,” kata Putri Warna-Warni pada dirinya sendiri. Wajah Putri Warna-Warni nampak murung. Kemudian datanglah burung hantu. “Mengapa kau berwajah murung Putri Warna-Warni?” tanyanya. “Ada pangeran hendak meminangku. Tapi aku punya penyakit kulit yang tidak bisa sembuh,” ucap Putri Warna-Warni nampak gusar. Burung hantu itu pun mengangguk-angguk. “Tenang Putri, aku baru saja bertemu dengan pertapa sakti. Kulitmu bisa disembuhkan ...!” Seketika itu juga Putri nampak bahagia. “Apa kata pertapa sakti itu wahai burung hantu,” dia dipenuhi rasa penasaran. “Kau akan sembuh bila memakan daging burung hantu dan burung hantu itu adalah aku!” Anak-anak spontan ribut. “]angan mau Putri Warna-Warni!” 14 Suara Bayang-Bayang

“Kasihan burung hantu sahabatmu, Putri Warna-Warni,” kata yang lain. Misdi memang memberi jeda dan dia tahu biasanya anak- anak langsung terpancing emosinya. “Tidak burung hantu, biarlah kulitku seperti ini terus. Aku tidak mau mengorbankan persahabatan. Pinangan pangeran tampan itu akan kutolak. Lebih baik aku tinggal di tepi hutan ini asal persahabatan kita abadi,” kata Putri Warna-Warni. Misdi menutup ceritanya. Anak-anak pun bertepuk tangan. *** Tumpukan guntingan koran itu diturunkan dari meja. Di- siapkan lem dan gunting. Disiapkan pula buku besar ukuran fo- lio, tempat dia menempelkan guntingan yang sudah ditata rapi. Misdi lebih nyaman mengerjakan semua itu di atas lantai. Lebih santai dan tidak cepat capek. Tanpa sengaja Misdi memandang perpustakaan pribadinya itu. Sudah empat puluh tahun usia perpustakaan yang dipunyai- nya. Betapa banyak sarjana yang lulus dari membaca di ruang ini. Ada lumayan banyak buku referensi yang dia beli di pasar loak dan ternyata bermanfaat besar. Dia bersyukur bisa mem- bantu anak-anak muda yang penuh semangat itu. Rumah yang lengang. Rumah yang berdinding kayu jati. Rumah yang artistik. Di sini tersimpan ribuan buku. Ada tiga kamar yang dijadikan perpustakaan. Hampir semuanya berisi buku dan kumpulan klipingnya. Semua dirawatnya dengan baik. Kamar paling depan adalah tempat dia mendongeng di depan anak-anak. Ada boneka-boneka yang dia gunakan untuk mem- praktikkan dongeng biar kelihatan lebih bernyawa. Rumah besar peninggalan orang tuanya dibekap sunyi. Ketika Misdi hendak menempelkan guntingan koran itu, ter- dengar ketukan di pintu. Spontan Misdi melihat jam dinding. Masih pukul sembilan. Tamu yang datang ke perpustakaanya memang tidak mengenal waktu. Pernah dia kedatangan tamu Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 15

dari luar Jawa pukul satu malam. Entah dari mana dia mendengar perpustakaan pribadinya sehingga jauh-jauh datang ke rumah- nya. Misdi tetap menerima dengan baik Ketukan di pintu itu makin keras dengan ritme yang makin sering. Tergopoh-gopoh Misdi membuka pintu. Senyum me- ngembang langsung ditebarkan oleh sang tamu. Tanpa diper- silakan tamu yang sudah dikenalnya itu masuk dan duduk santai di kursi jati yang terbuat dari benggol kayu jati. “Bagaimana keputusanmu, Di? Malam ini Kamu harus segera memutuskan,” kata Broto tegas. Misdi tersenyum. Broto, makelar tanah itu datang seperti yang dijanjikan. Tanah seluas 500 meter persegi berikut bangun- annya sudah diincar orang. Kata Broto akan dijadikan sebuah mini market. Karena tanah ini memang berada di lokasi yang strategis. Di dalam kota dan berada di sebuah perempatan yang selalu ramai. Pasti akan menjanjikan keuntungan yang luar biasa. Sudah banyak orang yang mengincarnya. Tidak hanya Broto. “Ingat tiga milyar. Sebuah harga yang tinggi. Kau bisa mandi uang!” katanya memberi provokasi. Malam ini Misdi memang harus memberi keputusan. Dia memang pernah membayangkan memegang uang tiga milyar. Seperti apa rasanya? Lagi-lagi Misdi tersenyum sendiri. “Nah begitu, memang sudah semestinya Kamu melepaskan tanah dan bangunan kayu jati ini. Tiga milyar itu uang tidak se- dikit. Kamu dapat membeli tanah di desa. Kamu dapat mem- bangun rumah yang megah di desa itu. Kau bisa jadi orang kaya baru. Ingat kamu tidak usah jadi pemulung lagi. Kamu deposito- kan saja uangmu. Tinggal menikmati bunganya dengan nya- man,” kata Broto berapi-api. “Apakah uang itu sudah tersedia?” “Ha ha ha, Misdi, Misdi. Sepertinya kamu tidak percaya padaku. Aku angkat telpon sekarang, dalam satu jam uang itu 16 Suara Bayang-Bayang

akan datang dengan diantar mobil dan berhenti di depan pintu rumahmu. Mulai besok kamu bisa berfoya-foya. Tidak seperti sekarang. Mengurusi buku-buku kumal, melayani mahasiswa- mahasiswa, mendongeng di depan anak-anak, menjadi pe- mulung sampai tua sampai mati Kau akan melarat terus,” ucap Broto penuh penghinaan. Misdi pun ikut-ikutan tertawa. Menertawakan dirinya sendiri. “Selamat Misdi, mulai malam ini kamu sudah jadi orang kaya,” Broto menjabat tangan Misdi. Misdi menepisnya halus. “Selamat? Selamat apa? Aku akan tetap pemulung!” “Ha ha ha, tidak mengapa, Kamu tetap pemulung tidak apa- apa. Sambil terus menulis dan mendongeng di depan anak-anak di sini. Pemulung paling kaya!” Mata Misdi mencorong. Dia tersinggung. “Aku tidak menjual tempat ini. Aku sudah tua. Hidup pal- ing tidak lama lagi. Aku sudah menulis surat wasiat. Aku akan menyerahkan tanah, bangunan dan isinya pada pemerintah daerah biar dikelola untuk tujuan wisata ilmu.” Kali ini Broto yang terkejut. “Katakan berapa harga diberikan oleh pemda itu?” tanyanya penasaran. Misdi diam sejenak. “Kamu ingin tahu? Jangan kaget.... gratis,” kata Misdi kalem. Broto tersentak. Dia seperti tersengat listrik. Tak percaya dengan ucapan Misdi yang baru saja didengarnya tadi. “Gila kamu Misdi. Uang tiga milyar kau biarkan melayang begitu saja.” “Aku tidak mempunyai anak isteri. Aku tidak memiliki keturunan. Biarlah tradisi yang kurintis di perpustakaan ini ada yang meneruskan. Aku sudah memiliki tenaga muda yang akan meneruskannya di rumah ini.” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 17

Broto menggeleng-gelengkan kepala. Masih ada makhluk se- aneh Misdi. Baru sekarang ini dia menemui manusia yang me- nolak manisnya uang. Dia ngeloyor pergi, membanting pintu dengan pandangan berkunang-kunang. Keuntungannya melayang sudah. *** 18 Suara Bayang-Bayang

Bayang Sepanjang Badan Effi Kurniasih (SMP Negeri 1 Kedu, Temanggung) Wuuusss, kreeessss, suara angin diikuti daun kering remuk terdengar bersamaan. Sulis membalikkan tu- buh yang sudah sampai di pintu garasi. Terlihat jelas rona gusar di wajahnya melihat daun-daun kering yang dengan susah payah berhasil dikumpulkannya terlindas roda mobil yang memasuki halaman rumahnya. Angin yang bertiup kencang di bulan Juni memang cukup merepotkannya. Ia harus rajin menyapu halam- an. Paling tidak sehari sekali bila tak ingin melihat daun-daun kering bertebaran. Sulis berbalik, akan meneruskan niatnya me- ngambil pengki dan tempat sampah ketika sebuah suara berat menahannya. “Maaf Mbak, numpang tanya.” Seorang lelaki setengah baya berdiri membungkuk di depan- nya. Penampilannya lusuh dan tampak jelas sangat kelelahan. Sinar matahari pagi yang menerobos di sela-sela Sindoro Sumbing menambah gurat-gurat kepenatan semakin nyata di wajahnya. “Ya Pak, ada yang bisa saya bantu?” “Saya mencari alamat rumah ini.” Lelaki itu menyerahkan secarik kertas kumal. Sulis mem- bacanya. Ia tertegun. “Ini rumah yang Bapak cari. Birowo Nugroho adalah suami saya.” “Syukurlah, akhirnya ketemu juga. Majikan saya mau ber- temu Pak Birowo.” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 19

Wajah lelah di hadapan Sulis tersenyum lega. Ketegangan yang sejak tadi menyergapnya mencair. “Bapak dari mana?” “Saya dan majikan saya dari Jakarta. Majikan saya ada urusan dengan Pak Birowo.” Sulis mengangguk-angguk. Ia sudah terbiasa untuk tidak mau tahu urusan suaminya. Ia pun tidak lagi banyak bertanya. “Silakan Bapak menunggu di ruang tamu. Saya panggilkan suami saya dulu.” Sulis masuk, membukakan pintu depan. “Tunggu sebentar ya, Pak.” Sulis berlalu ke halaman belakang. Setelah sarapan tadi, suaminya asyik bermain dengan dua jagoannya membuat mobil- mobilan dari kulit jeruk bali. “Mas ada tamu dari Jakarta mencarimu.” “Dari Jakarta, siapa?” “Aku tak sempat bertanya. Cuma sopirnya yang turun. Katanya majikannya ada urusan denganmu.” “Raka, Dhimas, mainnya sudah dulu ya. Bapak ada tamu.” Birowo meletakkan mobil-rnobilan yang tinggal memasang roda, lalu beranjak menuju ruang tamu. Sulis menuju ke dapur, membuat teh hangat dan meng- goreng pisang. Ia tak khawatir dengan kedua anaknya yang biasa ditinggal bermain sendiri. Apalagi di lingkungan rumah. Di luar rumah pun sesama tetangga sudah terbiasa mengasuh anak ber- sama-sama. Saat menyuapi anak sendiri, anak yang lain ikut di- suapi. Memandikan anak bersama sama juga bukan pemandang- an aneh lagi di desa ini. Semua saling peduli. Meninggalkan anak- anak sendiri di rumah dengan asuhan tetangga adalah hal biasa. Setelah siap, Sulis membawa teh dan pisang goreng ke ruang tamu. Langkahnya tertahan di ruang keluarga ketika didengarnya nada suara agak tinggi dari ruang tamu. Suara suaminya dan seorang wanita. Tak ingin menguping, Sulis melanjutkan 20 Suara Bayang-Bayang

langkahnya. Perbincangan mereka terhenti dengan kehadiran Sulis. Diletakkannya hidangan di atas meja. “Silakan Mbak, seadanya ya, maklum di desa.” Sulis memandang tamunya sekilas. Walaupun terlihat pucat dan lelah, perempuan itu cantik. Kulitnya putih bersih. Rambut- nya tergerai melewati punggung. Tubuhnya dibalut jeans dan blus bermerek. Sulis mencari-cari lelaki yang tadi menemuinya. “Maaf, bapak yang tadi ....” “Pak Wongso saya suruh menunggu di mobil.” Suara perempuan itu memutus kalimat Sulis. Ia akan beranjak ke belakang tetapi tangan Birowo menahannya. “Duduklah di sini. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.” Sulis duduk di sebelah suaminya. Ia merasakan suasana tegang dan dingin di ruangan itu. Ia juga merasakan tarikan napas yang berat dari suaminya. “Kenalkan Lis, ini Kania, temanku, teman dekatku saat kuliah. Kania, ini Sulis istriku.” Sulis mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Sulis merasa udara semakin membeku hingga menggigil. “Kania ke sini untuk menitipkan anaknya.” Suara Birowo cukup keras dan jelas tapi terasa kabur di telinga Sulis. Ia meminta suaminya mengulangi. “Benar Lis, Kania akan menitipkan anaknya di sini.” “Tapi, mengapa mesti di sini Mas?” Birowo menahan napas. “Karena dia juga anakku”. Pelan suara itu. Namun, bagaikan guntur di telinga Sulis. Seluruh tubuhnya kaku. Ia menatap mata Birowo lekat-lekat. Laki-laki itu mengangguk, sangat dalam. Sulis runtuh. Ia mem- banting nampan yang dari tadi masih dipegangnya dan berlari masuk ke kamar. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 21

Dunia jadi sangat gelap bagi Sulis. Selama ini ia menganggap Birowo segalanya. Birowo pahlawannya. Namun Birowo ternyata punya anak dari perempuan lain. Sulit rasanya ia memercayainya. Sakit sekali rasanya. Jiwanya mendadak kosong, melayang- layang menjelajahi ruang. “Tuntaskan tangismu.” Suara berat dan elusan di punggung menyentakkan Sulis dan mengembalikannya ke bumi. “Kamu masih ingat permintaanku lima tahun yang lalu saat aku akan menikahimu? Aku memintamu untuk tidak bertanya apa pun tentang masa laluku dan alasanku menikahimu. Inilah jawabannya Lis.” Ingatan Sulis melayang ke masa lima tahun yang lalu. Ia pulang dari perayaan kelulusannya di sebuah SMK. Ia dan teman temannya terlalu asyik hingga tak menyadari hari sudah men- dekati malam. Senja itu gerimis. Ia terpaksa jalan kaki sendiri menuju rumahnya karena di pangkalan sudah tidak ada ojek. Rumahnya memang masih sekitar 500 meter letaknya dari jalan raya. Di tengah perjalanan hujan turun sangat deras. Waktu itu ia belum punya handphone untuk mengabari orang di rumah. Ter- paksa ia berteduh di dangau sambil menunggu kalau-kalau ada tetangga lewat dan bisa dimintai tumpangan. Namun, bukan tumpangan yang ia peroleh. Ia didatangi lima pemuda yang beraroma minuman keras. Ia tak bisa mempertahankan diri hingga peristiwa naas itu terjadi. Peristiwa yang tidak hanya menghancurleburkan seluruh hidup dan masa depannya, tetapi juga mencoreng aib seluruh keluarga besarnya. Sulis merasa sudah habis. Ia tidak lagi punya keinginan untuk hidup. Kelima pelakunya sudah mendekam di penjara. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi penderitaannya. Bahkan deritanya bertambah. Peristiwa memilukan itu mem- buatnya hamil. Beberapa kali ia mencoba untuk mengakhiri hidup. 22 Suara Bayang-Bayang

Saat itulah datang Birowo. Pemuda tetangga desa yang baru lulus kuliah di Jakarta datang melamarnya. Ia tidak menjanjikan apa pun. Ia hanya meminta sebuah syarat. “Masih ingat Lis?” Birowo menggegam tangannya, memberi kekuatan. “Ya, Kau juga mengatakan jangan bicarakan cinta dalam pernikahan kita.” “Inilah jawaban dari permintaanku.” Birowo menunduk menahan gejolak “Dulu, Kania adalah kekasihku. Kami sudah sangat dekat. Hubungan kami layaknya suami istri. Kami merasa sangat cocok. Merasa inilah cinta sejati kami, cinta mati. Orang tuanya me- nentang hubungan kami. Ekonomi menjadi alasan mereka. Walaupun akhirnya Kania hamil, tetap saja restu tak kami dapat. Kania anak tunggal. Orang tuanya menginginkan Kania menerus- kan kuliah ke luar negeri untuk persiapan mengelola perusahaan warisan ayahnya. Ternyata kami tak kuasa menentang kemauan orang tua Kania. Anak kami yang kemudian lahir dirawat nenek- nya. Setelah lulus, aku pulang dan menikahimu. Waktu itu aku merasa kita senasib. Tak ada salahnya orang yang senasib bersatu untuk saling menguatkan.” Baru sekarang Sulis melihat mata suaminya berkaca-kaca. Terlihat ia sangat tertekan menceritakan itu semua. Seakan ia enggan menceritakan semuanya. Suaranya seperti berasal dari tempat yang sangat jauh. “Sekarang orang tua Kania sudah meninggal, dan Kania... Kania terinfeksi HIV karena pergaulan bebasnya di luar negeri.” Refleks Sulis membalas genggaman tangan Birowo dengan erat. Ia juga ingin memberi kekuatan. “Ia merasa tidak akan lama lagi hidup. Ia berpendapat bahwa tempat yang paling tepat untuk anaknya adalah orang tuanya. Itu sebabnya ia mencariku, dan menitipkan anaknya di sini.” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 23

Birowo menatap mata Sulis yang masih bimbang. Ia men- desah berat. “Aku tidak akan memaksakan kehendak. Hidup ini milik kita. Aku tak ingin melihatmu terpaksa menjalani hidup di sisi- ku.” Birowo melepaskan genggaman tangan Sulis. Ia beranjak ke luar kamar. Sulis sendiri lagi. Tak mudah baginya menerima ke- nyataan. Hatinya masih bersisi dua. Ia berjalan ke arah jendela. Dibukanya lebar-lebar jendela yang tadi terhempas angin. Aroma melati langsung memenuhi rongga dadanya. Tanah di samping rumah memang ia tanami melati, mawar, dan kenanga. Saat ini, melati yang sedang berbunga lebat. Sedikit banyak harum melati menenangkan hatinya. Tatapan Sulis jauh melampaui jendela. Menuju cahawala yang putih bersih. Di bawahnya terhampar hijau tanaman temba- kau yang mulai tinggi. Musim panen tembakau adalah waktu yang paling ditunggu warga di kaki Gunung Sindoro ini. Semua orang sibuk. Semua orang punya penghasilan di musim panen tembakau. Lamunan Sulis terhenti mendengar jerit ceria anak-anaknya. Dijulurkannya leher ke luar jendela. Raka dan Dhimas sedang asyik bermain layang-layang dengan teman-temannya. Ia ter- senyum sendiri. Merasakan kebahagiaan dalam jeritan mereka. Kakak beradik yang berbeda ayah biologis. Dhimas anak Birowo, lahir berselang dua tahun dari Raka. Bersandar di tepi jendela, pikiran Sulis kembali melayang- layang. Pusing menyerang kepalanya. Dipejamkannya mata. Ia membayangkan andaikata Birowo tidak datang melamarnya. Ia pasti tak akan berani hidup. Membayangkan dihina, dicemooh, dicibir saja ia tak berani. Apalagi bermimpi mempunyai hidup normal seperti orang lain, punya keluarga, punya anak, punya pekerjaan. 24 Suara Bayang-Bayang

“Ah, mengapa aku begitu egois? Aku begitu sakit dan marah mengetahui mas Birowo punya anak dari perempuan lain. Padahal, perempuan itu hadir sebelum diriku. Hubungan itu jelas. Sedangkan aku? Siapa diriku?” Pandangannya kembali kabur. Ia meratapi nasibnya, me- ngutuki egonya. “Mas Birowo telah menyelamatkan aku dari jurang ke- hancuran. Andaikata waktu itu aku mati bunuh diri, apakah Tuhan akan mengampuni dosaku? Aku lebih kotor dari Mas Birowo. Paling tidak dia lebih berani bertahan hidup. Bahkan mempertahankan hidupku. Mas Birowo pula yang mengembali- kan kepercayaan diriku. Meyakinkanku untuk mengikuti kursus menjahit memperdalam keterampilanku di SMK. Hasilnya, aku sekarang punya dua orang karyawan yang membantu di kios jahit samping rumah. Pernikahan kami memang tidak dilandasi cinta. Namun, dibangun dari pengertian yang sedikit demi sedikit menjadi kuat. Pelan-pelan kami merasakan saling membutuhkan, saling ketergantungan, kehilangan bila berjauhan. Kini, aku mengartikan itu sebagai cinta.” Sulis berhenti meratap. Dikuatkannya hati, disekanya air mata, dirapikan rambutnya. Ia ke luar kamar mencari Birowo. Sulis tahu pasti tempat yang disukai suaminya saat tidak enak hati. Ia akan menyendiri di taman belakang rumah. Sekadar me- mandang tanaman bunga dan sayuran hidroponik, membaca buku, atau bermain gitar. “Mas, aku sudah mengambil keputusan.” Birowo memandang tajam mata Sulis. Itu kebiasaannya saat mencari kepastian. “Kita akan menjemput anakmu. Merawatnya di sini bersama Raka dan Dhimas. Aku tidak berjanji dapat mencintainya. Aku akan belajar memilikinya seperti kita sama-sama pernah belajar untuk saling membutuhkan.” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 25

Lega hati Sulis setelah mengucapkan kalimat itu. Beban berton-ton di hati dan kepalanya telah luruh. Ia yakin akan dapat melalui hari-hari ke depan, seperti ia telah melalui hari-hari yang lalu. Ia lebih yakin ketika melihat senyum embun pagi di mata Birowo. 26 Suara Bayang-Bayang

Anak Dewa Gatot Supriyanto (SMPN 1 Grabag, Kabupaten Magelang) “Bardo!” Teriak Kasmi dalam hati begitu mendengar ada suara orang menyebut nama anaknya. “Selalu saja Bardo membuat onar,” batin Kasmi. Kemarin, tetangga sebelah menge- luh karena mangganya dicuri Bardo. Kemarin lusa, ada laporan Bardo mencabut pohon-pohon kentang untuk pakan kambing- nya. “Ana apa Kang?” tanya Kasmi ketika sampai di luar rumah. “Ini lho, anakmu membuat anakku menangis...” kata Kardi sambil menahan emosi. “O..iya Kang, njaluk ngapura ya...” kata Kasmi lagi masih dengan bahasa Jawa dengan dialek ngapak-ngapaknya. Kasmi memang bisa berbahasa lndonesia, tetapi sebagai ibu dari seorang anak yang berambut gimbal, Kasmi berusaha berbicara dengan bahasa daerah. Kata sesepuh desa, agar tuah berambut gimbal semakin besar, khususnya seorang ibu harus tetap berdialek ngapak-ngapak ketika berbicara dengan orang selain keluarganya. Bardo berambut gimbal, maka dia selalu diistimewakan oleh para tetangganya. Penduduk di dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo ini memiliki anggapan bahwa selain membawa bencana bagi anak itu sendiri, anak yang berambut gimbal juga membawa rezeki. Kardi dan anaknya segera berlalu. Kasmi masih termangu. Sementara Bardo yang menguping di samping rumah segera pergi dengan santainya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 27

“Bardo!” teriak Tarno ayah Bardo yang tiba-tiba berada di belakang Kasmi. Bardo yang berusia hampir tujuh tahun ini melenggang pergi bersama teman-temannya dengan santai. “Pulang!” suruh Tarno dengan nada lebih tinggi. Bardo terus berjalan tanpa memperhatikan seruan ayahnya. “Bardo!!” “Sst... Pakne, jangan keras-keras...” Kasmi memperingatkan suaminya, “malu dilihat tetangga....” “Biar!” “Kita punya anak berambut gimbal Pakne...” “Memangnya mengapa? Berambut gimbal atau tidak sama saja!” kata Tarno masih dengan nada tinggi. “Jangan begitu No…” tegur Ribut tetangga sebelah yang kebetulan mendengar perkataan Tarno, “Anakmu itu istimewa, iya kan?” “Ya. Pancen Kang… ning bapake Bardo ora ngguyu!” kata Kasmi. “Tidak semua orang bisa melahirkan anak berambut gim- bal, dan itu juga bukan keturunan...” kata Ribut memberi pen- jelasan pada Tarno. “Lihat, rambutmu dan rambut isterimu itu tidak gimbal kan? Satu desa ini yang berambut gimbal hanya ada tiga, Bardo, Tuti, dan anaknya si Kempling!” “Nah kuwe Kang, bojoku ora gelem ngrungokna lah...” kata Kasmi lagi dengan semangat. Dia merasa senang karena Ribut membela posisinya yang selalu menjunjung tinggi fenomena rambut gimbal. Selama ini, Tarno kurang percaya akan hal-hal yang berbau rambut gimbal. “Saya tahu, kamu bukan asli sini, tapi isterimu itu asli penduduk sini, jadi hargailah sikap isterimu itu.” Tarno diam saja. “Betul Pakne, Kamu harus menjunjung tinggi adat istiadat orang sini...” kata Kasmi kepada suaminya. 28 Suara Bayang-Bayang

Sedetik kemudian Kasmi mengahadap Ribut sambil mem- bungkukkan badan seraya berkata, “Nyong matur nuwun ya Kang…” “Ya, sama-sama...” kata lelaki lebih tua ini sambil terus me- lakukan aktivitasnya yang tertunda, merakit bambu untuk kan- dang ayam. Selama dalam perjalanan masuk rumah, Tarno membisu. Baginya yang lahir dari kota Salatiga, tetap tidak percaya akan fenomena rambut gimbal. Fenomena ini membuat anaknya tumbuh liar. Apa pun yang dilakukan, tidak boleh dimarahi. Tidak boleh ditegur, tidak boleh menderita. Tarno tidak suka anaknya diistimewakan! Anak yang diistimewakan akan menjadi anak manja, malas, dan tidak tahan terhadap kerasnya hidup ini. “Bukan hanya aku yang menjunjung adat istiadat rambut gimbalkan?” Kasmi menutup pintu depan. “Mungkin semua penduduk desa ini sama dengan Pak Ribut. Hanya kamu Pakne…” Tarno tidak mempedulikan kata-kata isterinya. Dia segera mengeluarkan daun-daun tembakau dari karung yang baru dipetiknya tadi. Daun tembakau yang baru dipetik harus segera diangin-anginkan agar tidak lembab. “Apa sulitnya menghargai adat istiadat rambut gimbal...” Tarno meletakkan daun tembakau. Emosinya naik lagi. Isterinya sengaja berkata seperti itu untuk menyindirnya. “Aku menghargai adat istiadat rambut gimbal Bune! Bukan…” “Nah!” potong Kasmi cepat, “jadi Pakne sudah sadar...” “Bukan begit...” “Kalau begitu jangan bentak-bentak Bardo lagi!” Tarno diam. Dia merasa kesal dengan Kasmi. Selalu me- motong perkataannya yang belum selesai. Tarno segera mandi dan salat Asar. *** Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 29

Baru saja selesai alat, Tarno dikejutkan dengan berita Bardo memecahkan kaca rumah Bu Tinah—janda yang sudah tua. “Bagaimana bisa pecah Man?” tanya Tarno kepada Maman yang melaporkan kejadian kaca pecah di rumah Bu Tinah. “Anak-anak sedang main bola?” “Tidak...” “Lalu?” Maman diam saja. Baginya sulit untuk mengatakan. “Katakan saja Man!” suara Tarno meninggi. Maman tertunduk membisu. “Ayo kita ke rumah Bu Tinah!” kata Tarno sambil cepat-cepat melangkahkan kaki ke luar rumah yang segera diikuti Maman. Kali ini Tarno bagai melangkah di atas awan. Kenakalan anaknya semakin menjadi-jadi. Aku harus menghajarnya, harus! Kata Tarno dalam hati. Kaca jendela depan rumah bu Tinah sudah tidak berbentuk. Beberapa pecahan kaca tergeletak di lantai. “Dilempar batu Pak...” “Bardo yang melempar.” “Bunyinya kaca pecah keras sekali!” Komentar teman-teman Bardo ketika ‘l’arno datang. Beberapa bapak-bapak segera mendekati Tarno. “Bardo tidak sengaja...” “Iya Mas, dia mengusir anjing yang lewat tadi dengan melempar batu!” “Betul, betul, sayangnya batu meleset lalu mengenai kaca.” Kali ini para bapak membela Bardo. Baginya, membela anak yang berambut gimbal itu sebuah kewajiban. Kepercayaan yang turun menurun ini meyakini bahwa anak berambut gimbal me- rupakan keturunan dari Ki Kolodete. Ki Kolodete merupakan salah satu pendiri kota Wonosobo. Seorang yang bersumpah tidak akan mandi dan memotong rambutnya sebelum desa yang di- tempatinya makmur. Dalam keadaan seperti itulah rambut Ki 30 Suara Bayang-Bayang

Kolodete menjadi gimbal. Ketika di Wonosobo ada anak beram- but gimbal, para penduduk memiliki keyakinan anak itu ke- turunan dari Ki Kolodete yang membawa rezeki dan kemakmur- an bagi desanya. Beberapa orang menyebut anak dewa. “Yu Tinah neng ngendi?” tanya Tarno kepada para bapak sambil bersiap-siap minta maaf. “Di rumah sakit...” “Ana apa?”selidik Tarno dengan hati cemas. “Kepala Yu Tinah berdarah....” “Hah?” seru Tarno tercengang, “Metu getihe?” “Ya, dan istrimu yang mengantar Yu Tinah ke rumah sakit...” “Bardooooo!” Tarno mencari anaknya sambil berteriak, “Bardooooo!” Mata Tarno merah seperti mata ular naga. Anak yang dicari ternyata sedang duduk-duduk di rumah sambil mengulum es lilin. Bardo—anak yang lahir bubar bodo ini, tidak merasa kuatir karena toh orang tuanya tidak akan memarahinya. “Apa yang kamu lakukan, hah?” tanya Tarno ketika sudah sampai di rumah. Tarno segera menjewer telinga Bardo. “Paaakkk sakit!” kata Bardo terkejut atas tindakan ayahnya ini. Dia tidak menyangka bahwa ayahnya akan menjewer telinga- nya. “Pak, lepaskaaaaan!” “Bapak tahu kamu berambut gimbal, dianggap seperti anak dewa. Tapi bapak tidak akan membiarkan tindakanmu yang salah!” kata Tarno sambil menambah tenaga jewerannya. “Ampuuun Pak!” “Mau tobat tidak?” “Ampun Paaak...” “Mau tobat tidak?” “Ampunnn ampuuuun...” Bardo menangis. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 31

Dia berharap tangan ayahnya segera lepas dari telinganya. Namun Tarno masih menjewernya. “Am..pun..am..pun..” “Tobat tidak?” “To...to...bat....” “Masih suka mencuri mangga tidak?” “Ti..ti..dak..” “Masih suka memukul temanmu yang tidak bersalah tidak?” “Pak sakiiit!” teriak Bardo dengan marah. Dia berharap tangan bapaknya segera lepas dari telinganya. “Masih suka memukul temanmu tidak?” Tangan Tarno masih menempel kuat di telinga Bardo. “Paak...sa...sa..kit...” “Jawab dulu...” “Ti..dak...” “Apanya yang tidak?” tanya Tarno sambil melepaskan tangannya dari telinga Bardo. Bardo diam tidak menjawab. Dia menangis kesakitan. “Kalau tidak mau menjawab, Bapak jewer lagi kamu!” Tarno segera memegang telinga Bardo. “Ti..ti..dak,” Bardo buru-buru menjawab. “Tidak apanya?” “Tidak suka memukul temanku....” Tarno melepaskan tangannya. Telinga Bardo memerah. Sementara itu dari balik papan rumahnya yang berlubang, banyak pasang mata yang melihat Tarno menjewer telinga Bardo. Mereka tidak terima jika anak berambut gimbal diperlakukan seperti itu. Semakin lama, semakin banyak orang yang berkumpul di sekeliling rumah Tarno. Dalam hitungan menit, Tarno dibawa ke rumah kepala desa. Dia disidang dengan tuduhan penganiayaan. “Dia menganiaya seorang anak Pak!” “Bahkan memukulnya hingga keluar darah!” kata seseorang melebih-lcbihkan. 32 Suara Bayang-Bayang

“Yang lebih celaka, anak yang dianiaya berambut gimbal!” “Hah?” teriak orang-orang yang sedang mendengarkan sidang. Baginya memukul anak dewa merupakan pelanggaran berat. “Dihukum saja!” “Betuuuul!” “Hukum! Hukum! Hukum!!” Teriak beberapa orang. Akhirnya Tarno dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan penganiayaan. Dia dikurung dalam penjara sambil menunggu penyelidikan. Beruntunglah Tarno, pada hari ketiga, Kasmi datang bersama Bardo. “Pak Polisi, tolong Bapak saya dibebaskan...” kata Bardo persis seperti kata-kata yang diajarkan ibunya. “Bebas?” tanya polisi yang sedang jaga. “Ya..karena saya butuh Bapak saya...” Aneh bin ajaib. Setelah beberapa polisi diskusi, Tarno di- bebaskan. Betulkah anak gimbal ini keturunan dewa? Sehingga aku pun dibebaskan oleh omongannya, batin Tarno saat dalam perjalanan pulang. “Bapak jangan jewer lagi ya…” kata Bardo ketika sampai di rumah. “lya, tapi Bardo harus bersikap yang baik...” “Kan Bardo keturunan dewa?” tanya Bardo berusaha cari alasan agar dapat berbuat sesukanya. “Justru itulah, sikapmu harus seperti dewa...” “Seperti dewa?” “Ya, berbuat kebaikan dan menolong sesama, serta meng- hormat sama orang yang lebih tua.” Tarno menatap anak semata wayangnya ini dengan teduh. “Dalam cerita wayang, ada dewa yang dihukum karena berbuat kesalahan.” Bardo memandang ayahnya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 33

“Satu lagi, jangan sungkan bilang minta maaf jika melakukan hal yang tidak baik atau mengganggu..” “Ya Pak...” Tarno segera berdiri sambil mengambil cangkulnya. Dia mau ke ladang. “Maaf Pak, Bardo suka Bapak bicara daripada menjewer telinga....” Tarno diam memandang anaknya. Diam-diam dia merasa bahwa Bardo memang lain daripada anak 1ain. 34 Suara Bayang-Bayang

Ugeran Ratnaningtiyas (SMA Negeri 1 Kertek Wonosobo) L angit masih terlihat gelap. Semburat merah di ufuk timur, seolah enggan untuk menampakkan diri. Dedaun- an masih basah oleh embun dini hari. Cericit burung Gereja yang biasa bersarang di rerimbunan pohon sengon pun belum ter- dengar. Mungkin, keluarga kecil itu masih berdekapan hangat di sarangnya. Geliat kehidupan mulai tampak dengan adanya lantunan ayat-ayat suci Alquran melalui alat pengeras suara masjid dan musala. Hanya saja keheningan ini terasa berbeda dengan suara burung Ulik-ulik Ketuhu yang terus menjerit se- akan ingin mengabarkan kepada alam bahwa saat ini ada sebuah nyawa yang melesat meninggalkan raganya. Angin dini bertiup sedikit kencang, serasa menerbangkan jiwa itu untuk menemui zatnya. Sedetik kemudian, suara murotal dari Musala Al Iman berhenti. Padahal belum waktunya azan Subuh. “Tes…tes.…! Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barokatuh. Kagem warga Dukuh Jangkrikan lan sekitarnya Innalillahi wa innailaihi rajiun. Ngaturi uninga bilih Mbah Saliyem enjang menika tilar donya wonten griya amargi gerah. Mekaten pengumuman menika. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barokatuh”. Sayup-sayup terdengar suara isak tertahan dari ujung dukuh. Gubuk di bawah rerimbunan bambu itu mulai terbuka. Pancaran kuning dari bohlam lampu lima watt menerangi ruangan ber- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 35

ukuran 3 x 5 m. Tak ada perabotan berarti, hanya dua kursi kayu di sudut ruangan dan meja kayu kecil dari Kersan di sudut yang lain. Lantai tanah itu ditutupi tikar mendong yang sudah bolong di sana-sini. Di tengah ruang, sesosok terbujur kaku. Diselimuti selembar jarit usang. Di samping jenazah, seorang perempuan sesenggukan. Sesekali mengusap air matanya dengan ujung keru- dung putihnya yang telah berpendar warnanya menjadi kuning kecoklatan. Suara rintihan dengan menyebut-nyebut simbok- simbok, menandakan rasa tidak rela ditinggal orang yang sangat berarti. Di ujung kaki raga yang telah dingin itu, seorang lelaki ber- jongkok. Tak ada air mata. Tak ada isak tangis. Hanya mulutnya komat-kamit, entah apa yang sedang dikatakannya. Apakah ber- doa atau hanya ceracau tak tentu. Matanya terus memandangi jenazah itu. Sesekali, dia menggigit kuku, lalu tangannya dilem- par keras-keras dengan suara mendengus. Sarti melihat keluar melalui pintu kayu yang terbuka lebar. Di sana sudah ada bendera kuning. Entah siapa yang menancap- kannya. Mungkin Pak Kaum, sebelum mengumumkan kematian simbok. Dia terus menatap bendera kuning itu tanpa berkedip. Ya.…bendera kuning di depan rumahnya tak mau berkibar. Entah mengapa. Apa tak ada angin? Tidak juga. Gerisik gesekan dedaunan bambu menandakan angin tetap menunjukkan eksistensinya. Atau ..... aku mengangguk-angguk pelan. Ya.... ugeran itu masih kosong. Belum ada suara kambing yang mengembik ataupun lenguhan sapi atau kerbau yang gelisah. Ugeran adalah simbol strata sosial di dukuhku. Semakin besar hewan yang diuger (ditambatkan), menandakan semakin tinggi strata sosial sese- orang. Hal ini juga berimbas pada kemeriahan warga untuk mem- persiapkan segala keperluan jenazah. Mulai menjerang air, sam- pai pemasangan tratak bak orang yang punya hajatan. Bila jenazah siap dibawa ke makam. Sebagian warga mengantar jenazah, 36 Suara Bayang-Bayang

sebagian lagi menyiapkan makan besar dengan menyembelih hewan ugeran. Tak hanya sampai di situ, malamnya yang ikut tahlilan juga banyak. Kemeriahan itu baru selesai setelah tujuh hari. Tahlilan tujuh hari adalah tahlilan yang paling ditunggu- tunggu. Bahkan orang yang tidak pernah berangkat pun, dibela- belain harus berangkat. Tak lain hanya menunggu nasi berkatan lengkap dengan sambel goreng ati dan empal daging. Tak lupa selembar amplop yang berisi uang kertas, yang nominalnya cukup besar untuk ukuran warga yang sebagian besar hanya sebagai buruh tani. Ya.... ugeran itu masih tegak berdiri. Sendiri, tak ada sesuatu tambatan walaupun hanya ceriap suara kutuk. “Dari mana aku dapatkan ugeran itu?” desahku parau, nyaris tak terdengar. Aku melirik dompet kain buatan simbok. Dompet itu terlihat tipis. Sambil tersenyum perih, tetap kupaksakan untuk membuka dompet itu. Jangan-jangan ada tuyul yang kesasar lewat, lalu memasukkan hasil curiannya ke dompetku. Kugeleng keras, membuang angan yang tak masuk akal. Hanya beberapa lembar sepuluh ribu dan recehan entah berapa jumlahnya. Jelas ini tidak cukup untuk membeli ugeran. Kang Paino, tetangga sebelah yang punya beberapa ekor ayam pernah berkata. “Ti, jagoku iki, wis ana sing ngenyang telung atus, tapi durung oleh. Wa... nek rega semono yo mung oleh jenggere thok!” sambil mengelus-elus jagonya. Dalam pandanganku, di mana-mana yang namanya ayam jago ya sama sajalah. Kalau sudah di kuali ya tetap daging ayam namanya. Tidak ada yang akan nengeri ini ayam mahal atau ayam biasa. Hal yang membuat seekor ayam itu mahal ya karena pinter- pintere penjual untuk mempromosikan ayamnya. Mungkin ya... Aku kembali menghitung helaian uang kertas, mbok menawa terselip warna merah satu saja. Cukup untuk membeli seekor kutuk. Berharap ceriapan kutuknya, akan membuat tetangga- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 37

tetangganya berkumpul di sini. Memandikan jenazah simboknya yang sudah terlalu lama menunggu. Kepikiran nembung jenggere Kang Paino. Namun, dari mana aku dapat uang cukup untuk nebus. Upahku sebagai buruh pabrik kayu di Kepil sangat minim. Enam ratus ribu sebulan. Sepertinya banyak untuk ukuranku yang hanya lulusan SMP. Akan tetapi itu upah kotor. Masih harus dipotong untuk transpor. Dulu ketika rembuk dengan warga untuk izin mendirikan pabrik kayu, pemilik menjanjikan bus antarjemput karyawan. Ternyata, yang boleh naik bus pabrik hanya pegawai kantoran saja. Sedang- kan kami, buruh di bagian produksi hanya disediakan truk ter- buka kalau tidak mobil coakan. Itu pun bukan fasilitas, karena setiap bayaran ada potongan uang bensin coakan yang kisarannya berbeda-beda. Tergantung jumlah kita masuk kerja. Semakin sering kita memanfaatkan truk tersebut, semakin banyak potong- annya. Walaupun berkisar 50 sampai 100 ribu saja, itu tetap mem- beratkan kami sebagai buruh. Belum lagi untuk makan siang atau makan malam kalau pas shif malam. Harus keluar uang lagi. Sisa- nya, aku gunakan untuk keperluan sehari-hari Simbok dan Kang Slamet yang tak pernah jadi dewasa walaupun dia kakakku. Belum lagi, akhir-akhir ini penyakit bengek Simbok sering kam- buh. Walaupun kata bu bidan tidak apa-apa, tetap saja menambah pengeluaranku juga. Namun siapa lagi kalau bukan aku, mum- pung Simbok masih ada, inilah wujud baktiku kepada Simbok. Pikirku ngayem-ayem diri. Ya... ugeran itu masih sendiri. Kain putih di atasnya bergerak pelan, lesu, seolah mengerti gejolak yang dialami empunya rumah. Atau... pinjam uang ke Mbak Girah. Bakul duit di dusunku. Namun... dengan apa aku akan mengembalikan babonnya, anakannya saja mungkin aku tak sanggup. Apalagi aku tak punya jaminan benda-benda berharga yang payu dole. Diberi meja kursi kersan? Jelas tidak mau, untuk apa meja kersan. Bagi dia hanya 38 Suara Bayang-Bayang

pantas untuk makanan tungku. Atau kubayar dengan tenagaku. Namun kapan aku punya waktu. Waktuku habis dimakan jam pabrik. Aku sering absen kegiatan sosial di kampung karena harus kerja shif malam atau siang. Apalagi Pak Dono, suaminya Mbak Girah terkenal tukmis. Walaupun sudah renta, beberapa kali harus ganti pembantu karena ulahnya. Entah itu yang hamil atau baru sekedar dilecehkan. Tidak-tidak. Walaupun aku ter- golong perawan tua untuk ukuran di kampungku, aku tidak mau harga diriku dilecehkan. Karena hanya ini saja harta berharga yang aku punya. Sekali lagi kupandangi pelataran rumahku. Belum ada satu tetangga pun yang lewat, sekedar mengucapkan bela sungkawa. Jalanan di depan gubukku adalah jalan utama menuju masjid besar atau musala. Namun mengapa tak ada satu pun yang lewat. Padahal Subuh sudah berlalu. Apa yang ikut jamaah di musala pagi ini sangat sedikit? Atau banyak yang sibuk mempersiapkan bumbu-bumbu untuk gule atau sate, karena beberapa hari lagi Idul Adha. Berbagai perkiraan berseliweran di benakku, berbagai kemungkinan yang terjadi hari ini. Matanya bersiborok kayu ugeran kosong itu. Pikiranku kalut, bingung, dengan siapa lagi aku minta tolong. Bu Nyai... ya Bu Nyai. Sepertinya hanya beliau yang bisa membantuku. Namun... kuurungkan niatku untuk beringsut dari samping Simbok. Ah... sama saja. Bu Nyai seolah-olah menguat- kan tradisi keparat ini. Setiap ceramah, selalu diselipkan jiwa berbagi dengan saudara terdekat, tetangga, dalam keadaan apa pun walaupun hanya makanan. Bah... itu bagi mereka yang mampu dan tidak sedang terkena musibah. Tidak... tidak... itu ajakan yang baik, pikiranku saja yang negatif. Sinar perak dari sela-sela gribik, menyilaukan mataku. Tak terasa, mentari sudah mulai menunjukkan kuasanya. Menyadar- kanku tuk mengakhiri perang dalam benakku. Air mataku sudah lama mengering. Persetan dengan ugeran, persetan dengan te- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 39

tangga. Ini adalah simbokku, maka akan kupulasara sendiri. Inilah bakti terakhirku untuk melihat Simbok di dunia. Dengan helaan nafas panjang, aku siap-siap berdiri. “Kang, tolong matikan lampunya. Aku tak menjerang air dulu. Kasihan Simbok...” Kang Slamet tak bergerak. Dia masih tetap jongkok sambil menceracau. Ceracauannya lama kelamaan semakin keras. Gerakan tubuhnya yang maju mundur juga se- makin cepat seiring kerasnya ceracauannya. “Kang, aku tahu Kang Slamet juga sedih kehilangan Simbok. Namun kita tidak dapat menentang takdir Kang. Kita harus iklas biar langkah simbok tidak terbebani. Kang Slamet ndak usah kuatir, masih ada aku Kang, Sarti, adikmu. Aku yang akan me- rawat Kang slamet. Sama seperti Simbok”. Gerakan tubuhnya bukannya semakin pelan. Bahkan se- makin cepat. Begitu juga dengan ceracauannya. Dia menatapku tajam. Aku tidak tahu apa maksudnya. Maklum saja, selama ini aku hanya sibuk bekerja. Simboklah yang merawatnya, yang mungkin juga paham dengan bahasanya. “Kang... !” Aku berusaha menenangkan sebisaku. Dengan jeritan panjang, dia berdiri. Sambil mengacungkan jarinya ke arah jenazah Simbok kemudian berputar-putar, dan menunjuk keluar. “Ndak usah Kang, di rumah saja, nunggu Simbok!” Dia mengibaskan tanganku. Dengan lengkingan panjang dia lari keluar rumah. “Kang! Kang ...... !” jeritanku tak mampu menghentikan langkahnya. Sekilas, Yu Jum berdiri di balik jendela, tetapi kemudian menghilang. Itu benar atau hanya fatamorgana saja. Aku bingung, mengejar Kang Slamet atau Simbok. Alah paling-paling kalau Kang Slamet ngamuk, pasti ada warga yang menghentikannya, seperti yang sudah-sudah. Lebih baik aku ngurusi Simbok dulu. Kayu segera kutata di tungku. Dengan sedikit kertas, me- nyalalah api. Aku siap-siap mengisi dandang dengan air. Biasa- 40 Suara Bayang-Bayang

nya kalau memandikan jenazah dengan air hangat pikirku. Pikir- ku.… ternyata aku tidak tahu, apa saja yang harus disiapkan dalam pemulasaraan jenazah. Aku baru sadar, selama ini aku jarang sekali ikut kegiatan sosial, salah satunya memandikan jenazah. Apa karena ini ya, tetanggaku tidak ada yang mau datang. Ah... ini salahku juga. Tiba-tiba... Kang Slamet masuk. Nafasnya terengah-engah. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk menguasai diri karena terkejut. Dia langsung menarik tanganku keluar dengan men- ceracau yang sampai saat ini belum bisa kuterjemahkan. Dia me- nunjukkan ugeran di depan rumah. Suara cempe menelisik telingaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain melongo. Belum sempat aku berpikir dari mana Kang Slamet mendapatkan cempe itu. Teriakan “Maling! Maling!” mengusik pikiranku. Aku lang- sung menatap Kang Slamet, dia hanya tertunduk sambil melihat ke cempe yang tertambat di ugeran sialan itu. Tak butuh waktu lama, warga sudah mulai berdatangan. Pak Sarno menunjuk Kang Slamet. “Dasar maling!” Dia menyeret tubuh ringkih Kang Slamet. Sedetik kemudian, diikuti oleh yang lain. Pukulan dan tendangan mendarat ke muka, kepala, tubuh Kang Slamet. Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Lengkingan “Bakar! Bakar saja! Bakar!” Lengkingan itu menyadarkanku untuk segera bertindak. Dengan sekuat tenaga, kusibak kerumunan orang. Aku peluk tubuh payah Kang Slamet. Beberapa pukulan dan tendangan sempat mendarat di punggungku. Kupasrahkan hidupku pada keberingasan massa. Sebuah tangan kekar memegang lenganku. Dengan sisa tenaga, aku tetap bertahan. Tetap kupeluk tubuh Kang Slamet. “Sudah! Jangan main hakim sendiri!” Suara berat itu mengendurkan emosi massa. Pelan-pelan, massa mulai menghentikan tindakannya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 41


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook