Aku mendongak, mencari asal suara. Samar-samar wujud Pak Kyai mulai terbentuk di lensa mataku. Kepala terasa ber- denyut, tulang-tulangku serasa remuk, seakan tak mampu me- nyangga tubuhku lagi. Kudengar suara rintihan menelusup di gendang telinga. Tubuh Kang Slamet meringkuk. Dia merintih antara rasa sakit dan rasa takut. Ya.. rasa.. rasa itu.. Orang-orang itu sudah tak punya rasa. Mati rasa. Kuremas tanah dengan marah. Gelegak kemarahan itu mem- beri kekuatan tubuhku yang sudah kepayahan. Aku berusaha berdiri Kakiku terasa lunglai tak bertenaga. Beberapa tangan berusaha membantuku berdiri. Namun, kukibaskan dengan keras. “Aku tidak butuh bantuan orang-orang yang tidak punya rasa lagi!” Dengan sedikit terhuyung, kuperhatikan wajah-wajah tetanggaku. Aku masih tak percaya, orang-orang yang selama ini bertegur sapa denganku, berbagi jalan denganku, berdamping- an saat salat berjamaah di musala, hari ini sudah berubah bentuk. “ Sampeyan semua....” sambil kutuding wajah-wajah mereka. “Sudah mati rasa. Sudah tak punya hati. Di mana kepemimpin- anmu hei Pak RT, atau suara penyejuk jiwa hei Pak Kyai, atau Yu Jum yang selalu ngajak peran di belakang rumah. Sampeyan selalu bilang Kang Slamet itu kurang waras. Justru Sampeyan- Sampeyan yang tidak waras. Di sana.....” sambil menunjuk gubuk- ku. “Di sana ada Simbok! Simbokku! Simbokku sudah mati! Itu manusia, bukan walang atau coro, bathange tinggal dicutik. Selesai. Rampung! Namun itu manusia, Bapak-Bapak... Ibu-Ibu yang ber- akhlak mulia. Setiap hari selalu mendengarkan pengajian. Namun percuma. Untuk membedakan mana jenazah mana bathang kewan tidak bisa. Buta kalian!” Aku tertawa keras-keras. “Ternyata, Kang Slamet orang paling waras di antara Sampeyan-Sampeyan. Dia masih bisa berpikir untuk mengisi perut Sampeyan-Sampeyan se- mua dengan ugeran, ya…cempe itu, itu untuk Sampeyan-Sampeyan, 42 Suara Bayang-Bayang
untuk mengenyangkan perut orang-orang yang merasa dirinya waras. Untuk memenuhi tradisi mbelgedes itu. Ugeran keparat yang menghilangkan rasa kemanusiaan. Pikiran Sampeyan hanya sebatas puser dan weteng thok! Apa bedanya Sampeyan dengan ugeran itu!” Aku mendekati cempe yang mengembik keras ketakutan. “Ini! Makan! Makan! Sampeyan..... “ Bumi yang kupijak serasa bergetar hebat. Alam seakan ber- putar. Kepalaku mulai berdenyut, mataku mulai berkunang- kunang. Kepalaku mulai berat. Tenagaku sudah habis. Puas sudah kumuntahkan kemuakanku selama ini. Kakiku mulai lemas seperti benang basah. Aku tak bisa menguasai diri lagi. Bumi semakin cepat berputar,......pet. Angin memainkan rambutku. Terasa lega dan segar. Suasana begitu tenang dan damai. Hanya aku sendiri berdiri di ruangan syahdu ini. Di depanku sebuah kelambu hijau. Tirai itu berderai- derai dimainkan angin yang berhembus. Sesosok perempuan berdiri di balik kelambu hijau itu. Aku dekati. Semakin dekat, se- makin aku rasakan kedamaian. Aroma ini, aroma yang tak asing bagiku. Semakin mendekat, siluet semakin jelas. Itu Simbok. Ya... itu Simbok. “Mbok!” Ingin kupeluk tubuhnya, tapi… ada apa dengan kakiku. Mengapa kakiku tak bisa melangkah lagi. Seakan alas pijakan mencengkeram kuat kakiku. “Simbok!” Hanya tanganku yang berusaha menggapai-gapai. Namun hanya kelembutan tirai hijau saja yang mampu kusentuh. Siluet itu pun membalikkan badannya… Ya. Benar itu Simbok. Subhannallah. Wajah Simbok terlihat bercahaya. Senyumnya damai menenangkan. Rambutnya yang memutih, disanggul rapi dengan anak-anak rambut di keningnya. Berbalut kebaya hijau kembang ceplok, kata Simbok. Ya... kebaya itu baru dipakainya lebaran lalu. Hasil dari jerih payahku membantu Yu Parni ngesum jahitan. Tak ada THR yang Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 43
dapat kuharapkan dari pabrik, sehingga untuk sekadar membeli- kan kebaya untuk Simbok pun aku tak mampu. Untunglah Yu Parni menawari ngesum karena jumlah jahitan yang menggunung. Sepulang kerja dari pabrik, sorenya aku buruh ngesum. Tidak ada shif malam karena Ramadhan sehingga memudahkanku mem- bagi waktu. Hasilnya, kebaya kembang ceplok hijau untuk Simbok. Waktu itu, Simbok berkaca-kaca menerimanya. Nyamping coklat parang rusak. Selama setahun, berhasil ku- sisipkan sedikit uang harian untuk mewujudkan keinginan Simbok. “Nduk, jarit Mbok Lebe endah yo,” gumam Simbok suatu sore ketika Mbok Lebe lewat depan rumah. Aku mengagumi keanggunan Simbok. Simbok terlihat lebih segar, lebih muda. Tak ada sisa-sisa bengek menahun yang di- deritanya. Dia hanya tersenyum ke arahku. Dia mendekap se- suatu. Sesuatu yang berbentuk kotak berbingkai warna gelap. Simbok memandang ke arah cahaya putih menyilaukan. Sebelum berbalik, Simbok menyerahkan benda yang didekapnya. Kemudian dia berjalan ke arah cahaya dan tak pernah menoleh lagi sekali pun aku menjerit-jerit memanggilnya. Simbok...... ! Sia-sia usaha- ku. Simbok sudah jauh, bahkan mulai hilang. Berpendar cahaya putih yang semakin lama semakin menjauh. Tinggal aku seorang diri. Memandang bekas pendaran cahaya putih yang semakin lama semakin hilang. Aku tersentak ketika kotak itu hampir terlepas dari tanganku. Innalillaihi, latahku. Ini peninggalan terakhir Simbok. Apa ini. Pelan kubalikkan kotak itu. Sebuah foto.... “Kang Slamet, Kang Slamet!” gumamku. “Kang! Kang Slametl”. Tubuhku serasa ada yang menggoyang-goyangkan. Lamat- lamat namaku dipanggil-panggil. “Sar, eling Sar! Sing kuat. Nyebut-nyebut Sar. Slamet ada di sini. Ayo Sar, nyebut!” 44 Suara Bayang-Bayang
Mataku sangat berat untuk dibuka. Dengan mengumpulkan segenap tenaga, aku harus membuka mata. “Alhamdulillah, Sarti eling. Tulung jukukna wedang anget!” Nada khas Yu Tum semakin menyadarkanku. “Kang Slamet endi?” tanyaku pelan setelah menelan teh hangat yang disodorkan ke mulutku. “Ana, kae!” Yu Tum menunjuk tubuh yang berjongkok membelakanginya. Di depannya keranda dengan penutup hijau telah diangkat. “Nduk, Simbokmu mau diberangkatkan!” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 45
46 Suara Bayang-Bayang
CERPEN HASIL LOMBA TAHUN 2018 Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 47
Hujan Berwarna Merah Agus Subakir (SMA 1 Purwantoro Wonogiri) Hujan berwarna merah, menyala seperti darah turun dari langit yang hitam menggumpal. Membuat rumah-rumah padat dan kumuh dibungkus merah. Ayam-ayam, kucing-kucing, dan anjing-anjing berenang ke sana ke mari. Anak-anak dan or- ang tua mengangkat kedua tangan mereka, dengan mulut me- nganga minta tolong. Mereka tenggelam setengah badan dalam genangan air yang juga berwarna merah. Sungguh, tidak hanya sekali ini ibu guru dibuatnya terkejut ketika melihat lukisan lelaki kecil bernama Jalu itu. Ibu guru telah menyuruhnya memberi warna air dengan warna biru. Namun Jalu selalu mewarnai air dengan warna merah. Ibu guru heran, mengapa anak enam tahun yang masih taman kanak-kanak nol besar ini selalu membuat lukisan pemandangan yang sama se- perti itu, berkali-kali? Mendapati keadaan seperti itu, ibu guru hanya menggeleng-geleng dan tersenyum kecil. “Jalu, kamu sedang melukis apa?” tanya ibu guru sembari memegang pundak Jalu dengan ramah. Namun, Jalu hanya diam. Ia masih asik menari-narikan krayon merahnya di atas kertas gambar. Ia membuat warna air itu semakin tebal memerah. “Baiklah… tapi kenapa Jalu memberi gambar hujan dengan warna merah seperti yang sudah-sudah? Bukankah ibu telah me- nyuruhmu agar memberi warna hujan atau pun air dengan warna biru muda?” 48 Suara Bayang-Bayang
Sekali lagi, Jalu hanya diam. Mengunci rapat mulutnya. Raut mukanya dibuntal gelap seperti gulungan mendung yang telah ia lukis. Melihat keadaan itu ibu guru paham, bahwa anak ini sedang ada masalah. Ia ingin tahu kenapa akhir-akhir ini Jalu selalu kelihatan aneh dan penuh kemurungan. Seperti ada beban berat menggelayut di pundaknya. Tidak sepantasnya anak kecil seperti Jalu menangung suatu beban yang tampaknya memang begitu memberatkan. Namun, ibu guru sadar, bahwa hari sudah siang. Ia melihat jam mungil di tangannya. Pukul 10.00 WIB. Waktunya anak-anak berkemas dan pulang. Segera ibu guru ke muka kelas, mening- galkan Jalu. Ia pun menyuruh anak-anak memasukkan buku gambarnya ke dalam tas mereka, memberikan sedikit nasihat kemudian memimpin berdoa. Setelah selesai berdoa, anak-anak memasukkan kursi ke bawah meja dengan tergesa-gesa, lantas berhamburan berebut untuk bersalaman dan mencium pung- gung tangan ibu guru secara bergantian. Orang tua mereka telah menunggu di luar kelas. Namun, Jalu tidak beranjak dari kursinya. Ia masih memain- kan krayon merahnya semakin tebal pada gambar hujan, pada gambar air yang menenggelamkan binatang, juga pada gambar manusia di antara rumah pemukiman padat dan kumuh. “Jalu, mengapa Jalu tdaak pulang?” Ibu guru berharap Jalu mau menjawab pertanyaannya kali ini. Ia mendekati Jalu. “Tidak, Bu, Jalu ingin di sini saja bersama Ibu guru.” Ibu guru melemparkan senyum manisnya. Ia merasa lega karena Jalu mau menjawab pertanyaannya. “Ya, boleh tetapi ini sudah waktunya pulang. Mengapa Jalu tidak pulang bersama teman-teman? Ibumu pasti sudah menunggu di rumah. Kasihan Ibu jika Jalu tak segera pulang.” Ibu guru mengelus-elus penuh kelembutan kepala kecil Jalu. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 49
“Tidak, Bu, Jalu tidak mau pulang. Jalu benci ibu Jalu. Jalu benci….” Di akhir kata itu Jalu menitikkan air mata, kemudian perlahan pecah menjadi tangis khas anak kecil. Tampak ia ber- usaha menahan tangisnya, sesenggukan. Namun di tengah tangis itu ia masih membuat warna merah itu semakin tebal. Bahkan rumah-rumah, binatang-binatang, dan manusia kemudian ia beri warna merah. Ya, semua objek lukisan ia beri warna merah. Merah itu kini semakin menyala terang. “Jalu tidak boleh membenci ibu Jalu sendiri. Bukankah ibu Jalu hanya tinggal di rumah sendiri dengan Jalu. Apa Jalu tidak kasihan ibu sendirian di rumah? Ia pasti sudah menunggu Jalu.” “Tidak, Bu.. Jalu benci ibu Jalu! Jalu benci… Jalu tidak mau pulang! Jalu ingin di sini saja bersama Ibu guru!” Ibu guru paham. Ia tak ingin gegabah untuk menanyakan apa sebabnya Jalu tidak mau pulang ke rumahnya. Kalaupun ia menanyakan hal ini, pasti Jalu tidak akan menjawabnya. Sebab Jalu tergolong anak introvert. Saat ini Jalu sedang mengalami suatu masalah psikologis. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. Ibu guru sudah mengetahui gelagat Jalu seminggu yang lalu, semenjak anak ini selalu menunggunya untuk pulang jalan kaki bersama, sebab kebetulan jalan pulang yang mereka lalui sama. “Baiklah, Ibu guru akan menemani Jalu di sini menyelesaikan lukisan pemandanganmu ini.” Ibu guru mengambil kursi dan duduk di depan Jalu. Tiba-tiba Jalu memandang muka ibu guru dan bertanya, “Bagus tidak, Bu, lukisan Jalu kali ini?” “Bagus. Ibu suka. Ibu akan memberi nilai B untuk lukisan Jalu kali ini.” Jalu menunduk. Kembali ia menebalkan warna merah pada lukisannya. “Katanya bagus, tapi kenapa Ibu guru hanya mem- beri nilai B pada lukisan Jalu?” 50 Suara Bayang-Bayang
“Baiklah, ibu akan memberi nila A lukisan Jalu. Bagaimana, bukankah Jalu senang jika ibu guru memberi nilai A pada lukisan Jalu?” Sejenak Jalu masih saja diam mendengar petanyaan itu, namun beberapa saat kemudian ia menjawab dengan tegas, “tidak, Bu! Jalu tidak senang dengan nilai A! Jalu hanya senang jika ibu Jalu mau mengajak Jalu pulang ke desa. Pulang ke rumah nenek di Wonogiri.” Ibu guru terkejut mendengar jawaban itu. Ia telah menemu- kan jawabannya, sebuah jawaban yang akhir-akhir ini ia cari. Ter- nyata yang membuat murung Jalu adalah rasa rindunya pada desa. Pada kampung halamannya. Pada neneknya. “Jadi, Jalu rindu nenek di Wonogiri?” “Tidak, Bu.” Mendengar jawaban itu hati ibu guru dibuatnya tersentak kedua kalinya. Dugaannya meleset. “Bukankah Jalu tadi ingin pulang ke rumah nenek di Wonogiri?” “Nenek sudah meninggal, Bu…,” lantas Jalu menyodorkan hasil lukisannya kepada ibu guru. “Ini Bu, lukisan Jalu sudah selesai.” Ibu guru pun memandanginya dengan heran. Ia heran kenapa semua serba merah? Kenapa semua seperti darah? Sudah tujuh kali ini Jalu melukis pemandangan hujan dengan warna merah. Tujuh lukisan yang nyaris sama; mendung hitam memerah, hujan rintik-rintik merah, orang-orang panik dengan mulut menganga merah di tengah banjir merah, dan di antara pemukiman kumuh yang serba hitam memerah. “Sudah tujuh kali ini Jalu melukis pemandangan yang sama. Selalu pemandangan seperti ini. Hujan dan banjir dengan warna merah. Kenapa Jalu selalu melukis seperti ini?” “Jalu benci hujan, Bu!” “Kenapa Jalu benci hujan?” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 51
“Hujan di sini selalu membuat banjir. Hujan membuat ibu Jalu selalu bingung dan menangis teringat Bapak. Hujan mem- buat Bapak Jalu mati terbawa banjir di sungai. Hujan membuat Jalu takut, Bu.” Perasaan ibu guru seperti disapu gelombang dahsyat sekali- gus menyejukkan. Dahsyat, sebab hujan membuat anak ini di- hantui rasa ketakutan, dan sejuk karena ia sekarang paham dan menemukan jawaban kenapa Jalu selalu menggambar peman- dangan seperti itu sampai tujuh kali. Ternyata ia trauma terhadap banjir. Ya, ia takut terhadap hujan yang menyebabkan banjir. Ia takut sungapan sungai Ciliwung menenggelamkan rumahnya, sebab rumahnya hanya terletak tak jauh dari bantarannya. ••• “Thole, pulungi jemurannya. Sebentar lagi kelihatannya mau hujan. Ibu mau membuat parit jalan air, biar air hujannya tidak masuk rumah!” kata ibu Jalu ketika ia lewat di depan Jalu sembari menenteng pacul. Jalu bergeming. Ia masih saja berdiri di muka jendela meman- dang ke luar. Ia tak menghiraukan perintah ibunya tadi. Perintah itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Ia masih saja tampak melamun. Seperti menerawang jauh, entah ke mana. “Semoga saja hujannya tidak lebat. Semoga banjir kiriman tidak datang. Oalah, alamnya sudah jadi aneh! Lha wong sini tidak hujan kok tiba-tiba dulu itu Kali Ciliwung luber, banjir…!” rutuk ibu Jalu sembari terengah-engah membuat parit di sekeliling rumah yang biasanya dialiri air hujan. “Pokonya kamu berdoa saja, le semoga semua baik-baik saja.” Tampak kemudian gumpalan mendung hitam di langit mulai menitikkan kristal-kristal air. Mendung retak menjadi gerimis yang masih sangat jarang. Ibu Jalu tampak semakin tergesa dan panik untuk segera menyelesaikan parit di sekeliling rumahnya. Sementara itu Jalu masih saja asik dengan pikirannya sendiri. Ia kini kembali teringat ketika ia masih di desa setahun yang lalu. 52 Suara Bayang-Bayang
Hujan di desa sangat berbeda dengan di Jakarta. Hujan di desa adalah berkah. Hujan di desa adalah dewa yang dinanti-nantikan para petani dan surga bagi anak kecil sepertinya. Setiap kali hujan datang ia bersama teman-temannya selalu saja merasa bahagia. Hujan akan membuat permainan apa saja yang mereka lakukan bertambah menyenangkan. Seperti sepak bola, gobak sodor, enthik, sudamandag, dan permainan berkelompok yang lain. Sungguh, hujan di desa baginya adalah sesuatu yang sangat ia rindukan saat ini. Hujan di desa adalah saat-saat yang paling menye- nangkan dalam hidupnya. Sekali lagi, ia begitu merindukannya. Sejurus kemudian, ibu Jalu masuk ke dalam rumah sembari mengelap keringat yang memenuhi wajahnya—yang mulai sedikit berkerut—dengan punggung tangannya yang kotor oleh tanah. “Lho, le, kok masih ngelamun saja. Jemurannya belum kamu pulungi?” Tanpa menunggu jawaban dari Jalu, ibunya pun bergegas keluar mencuci tangan, dan memulungi jemuran yang ia jemur di atas atap seng rumah mereka. Sementara ibunya memulungi jemuran, Jalu masih saja asik dengan lamunanya tentang hujan di desa yang sangat ia rindukan itu. “Kamu sedang memikirkan apa to, le? Kok dari tadi masih saja di situ,” tanya ibu Jalu ketika masuk ke dalam rumah sembari memundak segepok jemuran. Ia duduk di kursi bambu reot ber- keriut tepat di belakang Jalu kemudian melipat jemuran itu satu persatu. “Jalu benci Ibu. Ibu bohong! Kata ibu kita akan segera pulang ke desa? Kapan kita jadi pulang ke desa, Bu?” tanya Jalu ke- mudian. Ia masih memandang ke luar. “Ya, nanti to, le.. kalau uang yang Ibu kumpulkan sudah cukup buat beli tiket naik bus kita berdua.” “Jalu benci Ibu! Pokoknya Jalu pengin pulang ke rumah nenek di Wonogiri…” jalu merengek sambil menatap ibunya dengan benci. “Jalu benci, Ibu… Jalu benci…” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 53
“Lha bagaimana lagi…? Pokoknya yang penting kamu itu sabar, le… Sejak bapakmu meninggal kita tidak bisa kumpulkan uang lebih banyak. Dan kalau saja…” “Kalau apa, Bu?” Jalu memotong. “Kalau saja kuburan Bapakmu dulu itu tidak beli, kita sudah bisa kembali ke Wonogiri, le..” “Jadi kuburan Bapak itu kita membayar to, Bu?” “Iya, le, sebab ibu harus nyicil hutang ibu buat beli kuburan bapakmu itu. Belum lagi kita setiap bulannya juga harus bayar uang perawatan makam bapakmu! Beda dengan di desa yang semuanya ditanggung bersama-sama.” “Jalu rindu desa, Bu. Jalu sudah rindu main bal-balan dengan Galih dan Somat.” “Yang penting kamu sabar, le… Ibu akan segera cari uang yang banyak supaya kita lekas bisa mudik ke desa.” Ibu Jalu melemparkan senyum harapan. “Ibu janji ya…?” “Iya.” Terdengar kertap suara air di atas atap seng mereka. Rupanya gerimis telah pecah menjadi kristal-kristal hujan. Suara jatuh air hujan itu membuat suasana di dalam rumah mereka menjadi gaduh. Pertanda hujan cukup lebat. “Jalu benci hujan, Bu.” Jalu mendekat dan duduk di samping Ibunya. Lantas ibu Jalu mendekap dan mengelus kepala Jalu dengan penuh kehangatan. “Kita berdoa saja, le, semoga tidak terjadi banjir atau banjir kiriman.” ••• Ibu Guru menemani Jalu menyelesaikan lukisannya meski semua murid Taman Kanak-kanak itu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Tetap seperti sehari yang lalu, Jalu di 54 Suara Bayang-Bayang
pelajaran melukis kali ini—meski ibu guru menyuruh melukis buah-buahan, Jalu masih saja melukis hal yang sama. “Sudah selesai, Bu,” kata Jalu setelah menyelesaikan lukisan- nya. Ibu guru kembali dibuat heran dengan lukisannya kali ini, sebab tak ada warna selain warna merah. Mendung dan rumah- rumah padat lagi kumuh yang sebelumnya berwarna hitam kini semua berwarna merah. Meski begitu, Ibu guru tidak menanya- kan kenapa semua lukisan itu kini berubah menjadi merah. Ia kini mulai bisa memaklumi pikiran Jalu. Ia hanya diam dan ter- senyum. Lantas ia pun langsung membubuhkan nilai A pada lukisan Jalu. “Ini, Jalu. Ibu kasih Jalu nilai A. Jalu senang bukan?” “Tidak, Bu. Jalu hanya senang jika Ibu Jalu sudah bisa beli tiket bus buat pulang ke desa. Kembali ke rumah nenek di Wono- giri.” Ibu guru kembali tersenyum. “Ya, sudah kalau begitu. Semoga ibu Jalu lekas bisa mengumpulkan uang dan bisa beli tiket buat pulang ke desa. Sekarang masukkan buku gambarnya dan mari kita pulang, Jalu!” Setelah Jalu memasukkan buku gambarnya ke dalam tas, mereka berdua keluar dari kelas. Namun, sesampainya di muka pintu ternyata hujan telah mendahului mereka. Hujan turun sangat deras. Seketika itu pula dengan tiba-tiba raut muka Jalu berubah drastis. Mukanya memerah. Ia tampak ketakutan. “Lihat, Bu. Hujan berwarna merah…! Hujan berwarna merah….!” teriak Jalu ketakutan. Ibu guru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak melihat adanya perubahan air muka Jalu yang berubah ketakutan sebab suasana sedikit gelap. Ia menganggap kata-kata Jalu itu hanya sebuah ekspresi wajar bagi anak kecil seusianya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 55
“Hujan berwarna merah, Bu…! Hujan berwarna merah…! Jalu takut, Bu.. Jalu Takut..!!” kembali Jalu berteriak ketakutan dengan kerasnya. Kali ini Ibu guru baru sadar bahwa Jalu memang terlihat begitu ketakutan. Ibu guru mencoba meraih tangan Jalu untuk menenangkan, tapi sayang, Jalu sudah terlanjur berlari ke tengah hujan lebat itu. Ia berlari begitu kencang, sampai ia menghilang dari pandangan Ibu guru di antara hujan berwarna merah. *** 56 Suara Bayang-Bayang
Soekardi Kertowidjoyo Diana Rakhmawati (SMK Lentera Kendal) Terlahir dengan nama Raden Soekardi Kertowidjoyo, di sebuah desa di pinggiran kota yang masih sangat hijau. Udaranya sangat sejuk belum terkontaminasi oleh asap rokok, asap kendaraan dan limbah pabrik. Suasana desa sangatlah tenang, sejuk serta asri. Ayahnya adalah seorang petani, walau- pun di dalam tubuhnya masih mengalir darah biru, namun dia tidak pernah merasa berbeda dengan para penduduk di desa itu. Tetap bersahaja dan senyum selalu tersungging di bibirnya. Namun, Soekardi telah kehilangan masa kecilnya. Di saat teman–teman sebayanya bermain di sawah sambil memandikan kerbau, atau mencari keong sawah untuk dimasak bersama – sama, dia tidak pernah merasakan keceriaan itu. Ayahnya men- didiknya dengan sangat keras, setiap pagi, selepas subuh, se- belum berangkat sekolah, Soekardi harus berlari mengelilingi bukit. Sepulang sekolah ayahnya melatih bela diri silat hingga Maghrib. Baru kemudian pergi ke surau untuk mengaji. Puasa Senin dan Kamis, bahkan puasa ngebleng 40 hari bukanlah hal yang asing baginya. Soekardi memiliki tubuh yang kekar, dada bidang, dan tinggi tegap. Hal tersebut menjadikan Soekardi andalan sekolahnya setiap harus mengirimkan lomba atletik atau tinju. Meski begitu, Soekardi tidak pernah ketinggalan pelajaran. Peringkatnya di kelas sangat membanggakan hingga mengantarkannya untuk memasuki sekolah perwira militer. Yah …. dia harus meninggal- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 57
kan desanya yang sejuk. Meninggalkan ayahnya yang semakin tua. Ayah atau ibunya tidak pernah menangis untuk meratapi kepergiannya. Tidak ada larangan, tetapi juga tidak ada tatapan bangga ketika melepasnya pergi. Di sela-sela batuknya dia sering memberi Soekardi wejangan, “Le …. Jane ki yo aku ora seneng yen awakmu dadi prajurit. Pintero koyo opo ojo pisan – pisan dadi tentara, polisi utawa politikus. Kuwi isine mung wong galak lan wong ala. Dadia wong tani wae yo ngger ……” Namun waktu telah berlalu, ibarat jam yang berdetak tiap detiknya telah berubah menjadi bulan dan tahun. Karir Soekardi sangat cemerlang, dia pun telah menyunting seorang gadis cantik bernama Murtini. Gadis dari sebuah kota kecil tidak jauh dari Kota Semarang. Soekardi pun dimutasi di tempat yang sama dan diangkat sebagai Komandan Kodim. Waktu itu, negara masih melaksanakan dwifungsi ABRI. Di sela-sela tugas negara, Soekardi mengajar pelajaran Fisika di se- buah sekolah negeri di Kota Kendal. Pengabdian Soekardi di bi- dang pendidikan sangat membekas di hati murid-muridnya. Dia menjadi guru favorit murid – murid saat itu. Soekardi sangat bersahaja, sabar dalam menghadapi para remaja yang mulai naka- nakalnya, sangat jauh dari kesan galak, kaku ataupun penuh dok- trin seperti di kesatuannya. Di masyarakat, Soekardi juga dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang sangat dermawan dan amanah. Pernah suatu ketika ketiga anak perempuannya mengajak bertamasya di pantai menggunakan jip hijau inventaris dari kantor. Hal itu pun ditolak mentah – mentah oleh Soekardi. “Ini mobil negara, biaya perawat- an dan bahan bakar juga dari negara. Jadi hanya bapak yang bisa menggunakannya, itu pun untuk tugas negara bukan untuk pik- nik ndhuk …. Kita naik angkutan kota saja”. Begitu kata beliau waktu itu. Malam itu, ada suara-suara yang cukup mencurigakan di belakang rumah. Soekardi tidak pernah tidur sebelum jam dua 58 Suara Bayang-Bayang
belas malam. Berkeliling rumah, memastikan semuanya telah ter- kunci, bahkan tidak lupa memeriksa gedhogan kuda kesayangan- nya, si Paijo. Sesekali hanya menyenteri buah mangga di atas pohon yang tinggal separuh dimakan oleh kalong, seketika ter- bang ketakutan menyadari si empunya rumah mengetahui dia telah memanen mangga-mangga ranum itu. Walaupun sama-sama kampung tetapi, suasana di kampung halaman istrinya ini jauh lebih panas. Mungkin hanya Soekardi satu-satunya orang yang masih memelihara kuda di kampung ini. Sebagian besar penduduk memilih beternak ayam atau kambing di belakang rumah mereka. Srek ….. srek …. Ada suara langkah kaki yang diseret, walau- pun sangat pelan namun Soekardi masih mendengar suara itu. Karena heningnya malam, suara berisik jangkrik dan binatang malam lainnya agak menyamarkan suara itu. Soekardi memasang telinganya baik-baik, merasakan hembusan nafas manusia lain selain dirinya. Dia pun mengendap-endap menuju sumber suara. Dengan bersembunyi di belakang gedhogan, dia dapat leluasa me- mandang kebun pisang belakang rumah. Ada seorang laki-laki mengenakan celana kolor hitam dan menutup sebagian wajahnya dengan sarung. Tampak menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada orang yang melihat- nya. Dia pasti menyangka si pemilik rumah sudah terlelap tidur. Bukan mangga, durian, nangka ataupun buah-buahan lain yang dia tuju, melainkan setundun pisang yang masih muda kira-kira ada beberapa saf buah pisang yang masih berwarna hijau itu. Dimakan pun pasti rasanya masih sepat dan keras. Dengan meng- ambil sebilah golok dari balik punggungnya, dia segera menebas setundung pisang itu dan membungkusnya dengan kain sarung. Soekardi tidak berteriak. Dia juga tidak bermaksud untuk menangkap basah pencuri itu. Dia mengikuti kemana langkah maling itu menuju. Menyusuri pinggiran desa, melewati bebe- rapa kebun kosong yang tidak terawat, akhirnya tampak sebuah Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 59
gubuk reyot beratap daun kelapa dan dinding anyaman bambu yang sudah mulai banyak berlubang. Sinar lampu teplok dari dalam membias, menembus lubang-lubang itu. Dia memasuki rumah tanpa membangunkan penghuni gubuk, tidak ada selot kunci, jadi laki – laki itu hanya sedikit mencongkel bagian pintu yang berlubang dengan sebuah kayu. Dari balik dinding anyaman bambu yang sudah mulai banyak berlubang itu, Soekardi melihat jelas apa yang ada di dalam gubug itu. “Buk, mung ono gedhang mentah, godhogo kanggo sarapan”. Katanya sambil meletakkan setundun pisang di depan istrinya. Sementara di lantai tanah yang hanya beralaskan lampit, tertidur dua orang bocah berselimut sarung sambil memegangi perut. Wanita itu tampak sangat senang menerima pisang dari suami- nya, “Alhamdulillah pak, sesok bocah – bocah iso sarapan”. Dengan cepat mereka merebus pisang yang belum terlalu matang itu, me- motongnya kecil-kecil dan meletakkannya di atas tampah kecil. Suaminya mengupas sebuah kelapa tua, memarutnya lalu men- campur rebusan pisang dengan parutan kelapa. Istrinya me- naburkan sejumput garam. Soekardi menyeka air mata dengan kausnya. Laki-laki itu mencuri hanya untuk makan. Anak-anaknya yang masih kecil tidur dengan perut lapar. Dia teringat anak-anaknya sendiri, Galuh, Laras, dan Ratih. Semuanya cantik-cantik dan meng- gemaskan. Ketika mereka kecil dulu setiap bermain di alun-alun apa pun makanan dan mainan yang mereka minta hanya diberi- kan Cuma-cuma oleh para pedagang itu. Karena mereka menge- nal Soekardi, Soekardi yang dermawan, Soekardi yang suka me- nolong. Walau setelah itu Soekardi tetap memaksa para pedagang itu untuk menerima uang sebagai ganti makanan dan mainan yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Sedangkan bocah-bocah ini, tidur beralaskan tanah, bahkan dinding tidak mampu menghalangi angin memasuki lubang- 60 Suara Bayang-Bayang
lubang penghalang itu. Meringkuk di atas kerasnya tanah, tanpa bantal atau kasur, tertidur karena lelah menunggu sesuatu untuk dimakan. Sangat berbanding terbalik dengan putri-putrinya yang selalu dimanjakan oleh semua orang. Dengan hati-hati, Soekardi meninggalkan gubuk reyot itu. Keesokan paginya laki-laki pencuri itu membuka pintu gubuk reyotnya untuk pergi bekerja. Bekerja apa pun yang dia dapat hari ini. Namun … alangkah terkejutnya dia melihat dua karung beras di depan pintu. Dia tidak pernah tahu siapa yang telah meletakkan dua karung beras itu. “Buk …. Buk ….. metua …” dengan tubuh dan mulut bergetar, muka pucat pasi dia me- manggil istrinya. Tidak ada yang tidak mengenal Soekardi, seorang prajurit yang sangat rendah hati, dermawan dan amanah dalam mengem- bang tugas dan tanggung jawabnya. Dia bahkan tidak pernah mengizinkan anak-anaknya menikmati fasilitas yang diberikan negara untuknya. Pada masa itu, diterapkan konsep dwi fungsi ABRI. Memang banyak sekali pro dan kontra atas kebijaksanaan pemerintah di kala itu. Dwi fungsi ABRI adalah sebuah jalan tengah yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil. Dwi fungsi adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ke- tertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk me- megang posisi di dalam pemerintahan. Hal itu membuat Soekardi diangkat menjadi Sekretaris Daerah Kota Kendal. Waktu terus berjalan, tahun itu merupakan tahun politik dan tahun bencana bagi keluarga Soekardi. Dengan figur yang telah mencuri hati masyarakat, Soekardi dipandang sosok yang paling pantas untuk menggantikan posisi bupati. Mereka menaruh harapan yang sangat besar kepada Soekardi, jadi tidak hanya “Yang penting ganti”. Bisa dibayangkan apabila Soekardi menjabat Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 61
menjadi Bupati, pasti dia akan mengembalikan sebagian gajinya untuk orang-orang yang tidak mampu. Dia pasti tidak akan per- nah sanggup untuk korupsi. Seperti yang selama ini banyak di- lakukan para pejabat yang sedang berkuasa. Tidak hanya masyarakat awam, para pejabat dan tokoh masyarakat menginginkan Soekardi menjadi bupati. Mereka bah- kan telah menghadap dan memohon supaya Soekardi mau untuk dicalonkan menjadi calon bupati. Akhirnya Soekardi pun tidak mampu menolak. Dengan cepat para pendukung Soekardi me- ngumpulkan massa pendukung, tanpa pembagian uang, beras, bahan makanan atau kaos dengan gambar wajahnya, siapa yang tidak kenal dengan Soekardi? Namun …. Soekardi lupa, politik itu kotor, tidak ada kawan dan lawan yang abadi di dalam dunia politik. Siapa yang tidak tergiur untuk menjadi bupati? Mempunyai kuasa bak raja kecil, mampu mengendalikan siapa pun dan mendapatkan apa pun. Banyak orang yang berebut jabatan ini. Bahkan mereka meng- halalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan ini, saling sikut, saling jegal, fitnah sana sini bahkan menghilangkan nyawa manu- sia sekalipun. Malam yang tidak pernah diinginkan itu pun terjadi. Sekitar pukul 20.00 mala Soekardi, istri, dan ketiga putrinya sedang duduk di meja makan. Makan malam yang terlambat, karena biasa- nya anak-anak sudah mulai masuk kamar masing-masing untuk belajar. Murtini, istri Soekardi, sedang mengandung anak yang keempat, usia kandungannya sudah tujuh bulan. Walaupun ma- sih berisik bunyi denting sendok dan garpu memukul-mukul pi- ring dan sesekali Murtini menegur putrid-putrinya yang berebut lauk di atas meja. Soekardi merasakan sesuatu yang lain dari malam-malam sebelumnya. Sangkur pusaka yang menggantung di dinding itu bergerak seperti bandul jam kuno yang ada di ruang tamu. Se- mentara di belakang rumah, Paijo kuda kesayangan Soekardi pun 62 Suara Bayang-Bayang
gelisah. Dia meringkik seperti jeritan melengking, kaki-kakinya membuat gaduh dengan menendang-nendang dinding gedhogan. Soekardi terdiam, dahinya tampak mengernyit, memikirkan sesuatu. Dia bangkit dari duduknya, berdiri di ruang tamu me- mandang keluar di kegelapan malam melalui korden putih yang masih bisa menembus kaca. Kemudian kembali lagi ke ruang makan, dengan tenang dia berkata kepada istri dan ketiga anak- nya, “Setelah selesai makan malam, ibu dan anak-anak masuk kamar. Jangan pernah keluar kamar apa pun yang terjadi. Jika Bapak tidak pulang, ikhlaskan saja …” Soekardi pun segera mengganti pakaiannnya dengan pakaian dinas lapangan lengkap dengan sangkur dan pistol di pinggang. Diciumi anaknya satu persatu, sambil berkata “Jaga ibumu ya ndhuk …. Ibu lagi mengandung adikmu.” Benar saja, tidak berapa lama terdengar suara mobil dan satu truk berhenti di halaman. Soekardi bersiaga di belakang pintu ruang tamu sambil mendengarkan suara-suara di depan. Ter- dengar suara kokangan senjata dan beberapa orang yang men- jatuhkan diri dari atas truk dan langkah-langkah berirama itu. Sunyi, senyap, cepat …. Soekardi memahami apa yang terjadi. Dia tahu, bahaya mengancam dirinya. Soekardi tetap tenang berdiri di balik pintu yang masih tertutup. Siap apapun yang akan terjadi. Benar saja …. beberapa detik kemudian, diketuklah pintu dengan suara lantang, “Selamat Malam Pak Soekardi!!! Kami dari KODIM Kendal, datang untuk menjemput Anda. Silakan per- siapkan diri Anda!!!”. Soekardi membuka pintu. Dia sangat mengenali bahwa yang datang adalah anak buahnya sendiri. Dia berkata, “Saya men- dengar suara kokangan senjata dan saya tahu siapa saja yang tiarap di kegelapan itu. Ini sangat tidak sopan!!! Ada apa ini???!!!” sang pengetuk pintu berkata. “Siap!!!! Saya diperintah untuk menjemput Anda malam ini juga pak!” Soekardi pun menjawab, “Tidak seperti ini caranya! Apakah saya terlihat seperti orang Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 63
yang berbahaya?? Mana mobil tahanannya saya akan pergi sen- diri ke sana!”. “Siap! Tidak bisa!! Ada prosedur yang harus kami laksanakan! Anda harus diborgol!” maka segera dipasang borgol di leher, tangan, dan kaki yang kesemuanya dihubungkan dengan rantai. Soekardi sangat marah, mukanya merah padam, menahan amarah yang tak terbendung. Namun wajahnya tetap berusaha tenang. Dengan gerakan yang sangat halus, borgol leher, tangan, dan kaki dipatahkan dengan satu gerakan yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun. Dengan santai Soekardi berjalan menuju ke mobil tahanan dan masuk ke dalamnya. Duduk dengan tenang. Para prajurit itu pun mengikuti masuk ke dalam dan truk tahanan dengan penuh siap siaga, senjata siap memuntahkan peluru ke arah Soekardi. Brak … brak!!! Semua pintu ditutup, satu-persatu mobil dan truk itu pun meninggalkan rumah Soekardi. Dua hari berlalu. Tidak ada kabar apa pun tentang perwira Soekardi. Tidak ada utusan yang datang ke rumah, tidak ada selembar surat. Murtini pun sudah tidak bisa menahan diri, me- mikirkan nasib suaminya yang tidak jelas. Namun dia bukanlah wanita lemah, wajah cantiknya yang mengguratkan keberanian, kekuatan dan sama sekali tidak ada keraguan sedikit pun. Dengan perut besarnya dia pergi menuju Kodim. Ditemuinya petugas piket jaga di pos depan, “Permisi Pak, saya istri dari Perwira Soekardi. Apakah ada kabar tentang suami saya?” “Suamimu kan PKI Bu. Baru saja dibawa ke Pulau Buru.” jawab petugas piket itu dengan ketus. “Kenapa tidak ada yang memberitahu saya dan keluarga? Saya berhak tahu Pak!” Murtini marah, membayangkan suaminya dibawa paksa tanpa sepenge- tahuannya. Usia kandungannya sudah tujuh bulan dan tinggal menghitung hari untuk melahirkan. Tentu saja dia sangat marah. “Berhubung suami Anda adalah tahanan politik, negara tidak menanggung ransum makanan dan keperluan lainnya. Jadi, semua harus ditanggung oleh keluarga.” Jelas petugas piket itu 64 Suara Bayang-Bayang
tanpa rasa empati sedikit pun. “Baik, saya akan persiapkan apa pun keperluan suami saya.” Jawab Murtini dengan tegas. Dalam keadaan hamil tua, Murtini harus menanggung hidup ketiga anaknya. Dia harus memikirkan kehidupan suaminya yang ada di Pulau Buru. Maka dia harus memutar otak untuk me- menuhi semua kebutuhan keluarganya. Gaji suaminya sudah dua bulan ini tidak diberikan oleh Negara. Dia tidak memiliki pe- masukan apa pun selain hasil kebun di belakang rumah. “Par … aku mau minta tolong …” kata Murtini kepada se- orang pemuda. Dia adalah tetangga Murtini yang ayahnya per- nah bekerja untuk Soekardi berkebun. “Nggih, buk. Dhawuh me- napa?” “Tolong bawa Paijo ke pasar hewan, jual saja. Aku butuh banyak uang untuk Pak Kardi. Negara tidak menanggung ke- butuhan sehari-harinya di Pulau Buru. Terus … itu nangka, mangga, kelapa, sirsak, dan pepaya di kebun panen semua. Langsung jual saja ke pasar”. Jelas Murtini. “Nggih bu …” Murtini mengumpulkan semua uang hasil penjualan Paijo dan hasil kebun. Sisa hasil kebun seperti ketela, jagung, dan nasi yang dia masak setengah matang, dia keringkan dan dia kemas dalam kantung-kantung plastik. Dia tidak mengirim suaminya beras karena tidak yakin ransum itu akan sampai di tangan suaminya dengan selamat. Pasti ada tikus-tikus berseragam yang tidak punya hati mengutil jatah untuk suaminya. Malam itu …. hujan rintik-rintik, Murtini sedang melipat pakaian anak—anaknya di ruang tengah. Dengan nafas yang agak tersengal-sengal. Untuk duduk pun dia sudah mulai tidak nyaman. “Aduh …. “ Murtini mengelus-elus perutnya. Perutnya terasa keras, kencang, mulas, dan sakit luar biasa, begitu terjadi berulang-ulang. Karena ini adalah kehamilannya yang keempat Murtini tidak merasa panik sedikit pun. Dipanggilnya si sulung Galuh. “Ndhuk … Galuh!” “Nggih Buk” gadis remaja itu berlari kecil dari kamarnya. “Wonten menapa Buk?” “Tolong panggilkan Mbah Darsi, Ibu sepertinya mau melahirkan”. “Nggih Buk …” Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 65
Sambil mengembangkan payung warna hitam, Galuh menerobos malam untuk menuju ke rumah Mbah Darsi dukun beranak di desanya. Murtini hanya ditemani oleh ketiga putrinya. Tidak ada se- orang pun warga desa yang datang untuk membantu karena me- reka takut dianggap terlibat dengan gestapu. Masih untung Mbah Darsi mau datang menolong. Galuh memasak air panas dan me- nuangkannya di baskom, sementara adik-adiknya menyiapkan apa yang menjadi perintah Mbah Darsi, mengambil jarit, stagen, dan beberapa baju bayi bekas yang memang sudah dipersiapkan oleh Murtini sebelumnya. “Assalamualaikum ….” Terdengar suara laki-laki yang sangat tidak asing di luar rumah. “Waaliakum salam …” jawab Galuh dia bergegas membuka pintu, terasa angin dingin langsung me- nyeruak masuk ke dalam. “Bapak???!!!” betapa terkejutnya Galuh melihat sosok Soekardi di depan pintu dengan masih mengena- kan seragam tahanan. Kepala Galuh celingak-celinguk melihat ke sekitar. “Siapa yang mengantar Bapak? Bapak naik apa?” “Ayo masuk ndhuk … kita lihat ibumu.” Soekardi tidak menjawab beron- dongan pertanyaan anaknya. Dia menggandeng Galuh masuk ke kamar, Murtini sudah menggendong seorang bayi yang di- barut menggunakan kain jarit batik. “Buk …. Aku pulang” kata Soekardi sambil menghampiri Murtini. Dia menyeka keringat di kening Murtini dan menggeng- gam erat tangannya. Ditatapnya bayi laki-lakinya, mengambilnya dari gendongan Murtini dan mengadzaninya. “Bapak kok sudah pulang? Naik apa? Apa Bapak sudah bebas?” Murtini pun mem- berondongnya dengan pertanyaan. Dengan tersenyum Soekardi berkata, “ Aku mlaku buk, aku balik mung arep nunggoni sliramu nglairke … lhak wis slamet kabeh tho??? Nek wis slamet kabeh, aku tak bali nang Mburu.” Sambil mencium kening istrinya, lalu memeluk ketiga putrinya. 66 Suara Bayang-Bayang
“Pak …. “ Murtini hanya bisa memanggil lirih, tubuhnya masih terasa lemas, tulang – tulang serasa menghilang dari tubuh- nya. Soekardi keluar dari kamar, ketiga putrinya mengikuti lang- kah bapaknya. “Pak … Galuh kangen …” Galuh merajuk sambil terus memegang tangan Soekardi berharap untuk tetap tinggal. Namun Soekardi tetap berjalan keluar rumah, menembus gelap- nya malam, membiarkan tubuhnya basah oleh air hujan sampai akhirnya tidak terlihat lagi. Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Rabu Kliwon, ada seorang tamu yang datang dari jauh. “Assalamualaikum …..” “Waalikum salam pak Kyai, mangga pinarak”. Sambut Murtini sambil memberikan bayinya kepada Galuh untuk dibawa masuk ke kamar. Murtini sudah mengenal laki-laki tua itu. Dia adalah guru mengaji Soekardi dari kampung untuk menemuinya. Beliau berkata, “Ndhuk …. Bojomu ora salah. deweke mung kena fitnah saka wong jahat. Mula saka kuwi, sediani klapa nom sing kemlamud seseta ojo nganti jebol. Lan iki dongane … Banyu lan angin kuwi batese mung kemlamude degan iki, apik lan jahat bedane mung sathithik. Kula nyu- wun Gusti supados diparingi pirsa sedaya tiyang kasaenan bojo kula. Lakhaulla wala kuwwata illa billah.” Satu minggu setelah kedatangan guru ngaji Soekardi, Murtini mendengar bahwa akan dilaksanakan Pengadilan Mahkamah Militer. Ya … dia sangat menantikan hari itu dan sangat berharap suaminya terbebas dari segala dakwaan. Hari itu, tidak hanya Murtini yang yang memilikii harapan besar, seluruh penduduk Kota Kendal menghentikan semua aktivitas mereka hanya untuk mendengarkan hasil dari pengadilan tersebut. Setelah semua proses seremonial tibalah tanya jawab antara hakim dan Soekardi. “Saudara Kolonel Soekardi Kertowidjoyo, saya hanya akan menanyakan tiga pertanyaan. Apakah Anda siap?!” Soekardi menjawab, “Siap! Dengan senang hati!” “Baiklah! Apakah anda kenal orang ini???!” sambil memper- lihat sebuah foto. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 67
“Siap! Tidak!!!” “Apakah anda terlibat Gestapu????” “Siap!!! Tidak!!! Bahkan berpikir pun tidak terlintas sama sekali!” “Apakah Anda PKI???!!!” “Siap!!! Tidak!!! Saya seorang muslim sejati!” “Baiklah …. Anda dinyatakan tidak bersalah!!! Apakah Anda ingin kembali ke dunia militer atau politik???” Seketika itu juga suara Raden Noeh Subagyo terngiang kem- bali. “Le …. Pintero koyo opo ojo pisan – pisan dadi tentara, polisi utawa politikus. Kuwi isine mung wong galak lan wong ala. Dadia wong tani yo ngger ……” sambil berdiri penuh emosi dan air mata berlinang dijawab dengan tegas dan keras pertanyaan sang hakim militer tersebut. “Siaaappp!!! Tidak mau kembali ke militer dan politik, saya akan pulang kampung dan menjadi petani!” Suasana di pengadilan sangat riuh, lega, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Soekardi memeluk istrinya. Dia tidak membawa satu pun anaknya ke pengadilan. Rasanya tidak sang- gup menyaksikan bapak mereka menjadi pesakitan sebagai balas- an apa yang telah dia lakukan selama ini untuk negara, untuk masyarakat sekitarnya. Murtini masih ingat dengan jelas ketika Soekardi berkata kepadanya di suatu sore. “Buk … ora usah mung- gah kaji nek isih ono tonggone sing ora iso mangan. …” Masih tegakah orang-orang jahat itu memfitnahnya sebagai seorang PKI???? Hanya untuk menjegalnya bersaing untuk memperebutkan se- buah jabatan yang tidak abadi. 68 Suara Bayang-Bayang
Pisau untuk Emak Herman Supratikto (SMP Negeri 2 Purworejo) Gerimis belum juga reda. Tetes air hujan yang jatuh dari pucuk daun mematuk-matuk keheningan. Sepi terus menggiring malam. Dari celah temaram lampu, angin meng- goyang pepohonan, menghembus daun-daun kuning. Sesekali ujung daun yang basah, berkelip memantulkan cahaya. Ke- mudian hilang entah ke mana. Pada saatnya tiba, entah di mana, entah kapan, daun akan gugur kembali ke tanah. Angin tak kan mampu menunda apalagi menolaknya. Cepat atau lambat, semua hanya menunggu giliran. Udara mendingin. Langit menggelayut. Tetesan di teritis, membentuk kubangan kecil. Menyimpan kenangan dari gilasan waktu yang hanya lewat sekali. Semua tak akan terulang, jika janji telah tiba maka selesai semua urusan dunia. Seharian Abror tak sempat keluar dari rumah. Rintih emak yang sakit menguras kesedihan hatinya. Kadang bicara jauh di luar kesadaran jiwanya. Ia pandang wajah emak. Kerut di jidat kian menebal. Kulit kepala makin kelihatan. Rambut putih yang tinggal sejumput tak cukup untuk menutup. Kulit leher keriput. Otot-otot lengan membiru. Sesekali napas tersengal. Kadang seperti kaget, lantas membuka mata kemudian tidur kembali. “Abror, sakit sekali ...!” bisik emak, tangan kanannya meraba- raba lengan Abror. Kalau saja bisa merasakan, Abror ingin ikut merasakan sakit. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 69
“Istri dan anakmu mana?” “Ini Kustiah, Ini Sueb” Jawab Abror sambil memegang lengan istri dan anaknya. Kustiah dan Sueb menjulurkan wajah ke muka emak. “Saya Mak, Kustiah.” “Saya Sueb.” Mata emak membuka hanya beberapa detik, kenudian pejam lagi. Sesudahnya hanya saling pandang antara Abror dan istrinya, sinar matanya penuh kekhawatiran, tanpa sepatah kata pun. “Perutku sakit “ rintih emak lagi. “Mau ke belakang Mak?” Tanya Kustiah menantunya. Ia hanya mengangguk perlahan. Abror bergegas membuka pampers emak. Bibirnya menyeringai menahan rasa sakit. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Abror perlahan meng- angkatnya. Bau tak sedap mulai menyengat. Betul, baru me- langkah pintu, tak terasa, isi perutnya menyembur ke lantai dan memercik ke mana-mana. Celana Abror tak terelak. Cairan kuning kehijau-hijauan meleleh di lutut. Kustiah dan Sueb Menggulung sprai sambil menahan napas. Kokok ayam kabarkan pagi. Dingin menyengat pori-pori. Mata Abror tampak sembab. Semalam hanya tidur beberapa me- nit bersandar dipan tua. Emak makin pucat. Telapak kaki sangat dingin, meskipun jarit dan selimut sudah dirangkap. “Wito mana?” Tanya emak dengan mata terus terpejam. Lama Abror belum juga menjawab. Ada rasa takut jika terjadi sesuatu, dirinya akan disalahkan. Dua hari yang lalu ia kabarkan kalau emak sakit dirawat di Rumah Sakit Sarjito. Namun Mas Suwito tak dapat pulang. Dia hanya akan mentransfer uang untuk biaya rumah sakit. Takut jawaban Abror akan mengecewakan emak. “Wito mana?” “Mas wito tidak pulang Mak.” jawab Abror terpaksa jujur. Abror kembali menelepon Suwito memaksa segera pulang. 70 Suara Bayang-Bayang
Sejak itu emak seperti kecewa dan tak pernah lagi menanya- kan Suwito. Padahal tiga tahun sebelum sakit, emak selalu men- ceritakan keberhasilan putra sulungnya. Tentang kuliahnya yang lulus Cum Laude. Tentang tugas belajar di Amerika, magang kerja di Jepang, sampai ia menduduki jabatan di perusahaan Ibex Airlines Tokyo. Betapa orang tua bangga dengan keberhasilan anaknya. Sampai tetangganya semua hafal, setiap kali emak datang ia pasti akan menceritakan anak sulung- nya, kemudian memamerkan jabatannya di perusahaan, cindera mata kawaii kichen, tikar makisu, Gelas Chasen, sarung tangan miniso yang katanya anti panas. Meski kadang yang diajak cerita menjulurkan bibir tanda tak suka. Atau kadang ada yang berbisik lirih “Nggak tanya.!” Abror Sama sekali tak pernah diceritakan. Ia tak pernah cerita tentang sekolahnya, tentang kehidupannya sebagai tukang buruh petik kelapa, tukang adang ketika tetangga punya hajat atau kematian, tukang Azan dan ikamah, dan badal Imam tatkala imam berhalangan hadir di mushola belakang rumahnya. Memang ia hanya tamat SMA dengan nilai pas-pasan, ke- mudian masuk ke sebuah pondok pesantren pinggiran, yang nota bene gratis. Dari mulut emak, tak seorang pun yang pernah men- dengar cerita tentang Abror. Mata hari kembali tenggelam. Malam terus memuncak. Lolongan anjing dari kejauhan terasa malam jadi panjang. Gelegar petir sesekali terdengar. Dari balik jati tua, ada suara Tuhu. Se- bagian orang masih ada yang percaya, jika suara burung itu jernih, maka akan ada bayi lahir. Namun jika suara burung itu terdengar serak, maka akan ada orang meninggal. Benar atau tidak, tak ada yang tahu. Sepulang dari Sarjito kondisi emak terus melemah. Beberapa kali mengigau dan mendesah panas. Kustiah dan Abror meng- ambil sapu tangan yang direndam air dingin, lalu diletakkan di kening emak. Digenggamnya tangan emak sambil dielus elus. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 71
“Mak Istigfar! Astagfirullah al’azim. Astagfirullah al’azim. Astagfirullah al’azim. La ila ha illallah.” Kalimat-kalimat itu di- bisikkan Abror berkali-lkali di telinga emak. Air mata Abror menetes. Kustiah hanya dapat pasrah dan menangis. Tak ada yang mampu menunda. Batas waktu barang- kali telah tiba. Orang-orang berlalu lalang. Ada yang mengeluarkan kursi, sibuk mencari kain putih untuk kemudian diikat di pinggir jalan. Abror masih duduk di lincak tak jauh dari emak dibaringkan. Sesekali dibuka dan dipandang wajah emak, lalu kembali lagi ke lincak. Ada senyum yang disembunyikan, seolah yang tahu hanya mereka berdua. Gemuruh dalam jiwanya mengalirkan ribuan kenangan yang tak bakal terulang. Semua harus ihklas menerima segala yang tiba. Karena hanya keihklasan yang bisa mengganti- kan segala-galanya. Pelayat terus memadati halaman. Bahkan di sudut halaman ada beberapa orang yang jongkok dan duduk di batu-batu di bawah pohon mangga. Tempat duduk tak cukup. Dalam kematian memang begitu. Tak ada yang tak pantas. Semua memahami situasi darurat. yang tak betah terus memasuk- kan amplop ke kotak kardus yang bertutup taplak meja, sembari mengucapkan bela sungkawa pada keluarga duka. Sementara di ruang depan banyak yang antre ingin menyolati jenazah, me- nunggu pelayat yang masih gemuruh melantunkan kalimat tahlil. Abror tersentak. Ada genggaman tangan yang begitu kuat sambil mengucap kalimat “Inalillahi wa ina ilaihi roji’un, semoga kau sekeluarga diberi kesabaran dan ketabahan. Semoga almar- humah senantiasa mendapatkan magfiroh. Aamiin.” Mereka ber- pelukan kemudian dilepas dan saling pandang. Peluk doa yang memberi kekuatan, peluk duka yang menjadikannya tazkirah. “ Kau dengar kabar dari mana?” tanya Abror. 72 Suara Bayang-Bayang
“Tidak ada yang memberi kabar, saya datang hanya kebetul- an.” Tangan kanannya sambil membuka tutup wajah emak, kemudian menutupnya kembali. Bagi Abror, sahabat ini memang sangat aneh. Belum lepas dari ingatan. Sudah tiga kali, setiap dirinya mendapatkan ke- susahan ia selalu datang, dan anehnya tak pernah ada yang mem- beri tahu. Ketika Abror jatuh dari pohon kelapa dirawat di IGD, RSUD dr.Tjitrowardoyo sampai satu hari satu malam tak sadar, pertama kali ia dengar adalah suara kalimat istigfar dari mulut sahabat itu. Keanehan terjadi lagi ketika Sueb kecelakaan. Ia panik mencari darah untuk tranfusi, tiba-tiba sahabat itu ada di rumah sakit. Bahkan sempat mendonorkan darah untuk anaknya. Untuk ketigakalinya malam ini, ketika emak meninggal, ia kembali datang tanpa ada yang memberi tahu. Memang suatu ketika Abror pernah bersama sahabat di pondok pesantren, belajar mengasah indra keenam. Akan tetapi pada saat itu Kiai Cholil kurang berkenan. Akhirnya tak lagi pernah belajar. Namun kali ini, mungkin hanya kebetulan. . “Besok mau dimakamkan pukul berapa? “ tanya sahabat. “Saya masih menunggu kakakku yang dari Jepang. Jika bisa sampai sini pukul satu, maka akan saya makamkan pukul satu, tapi kalau pukul satu dimungkinkan belum sampai, maka akan saya putuskan pemakaman pukul sepuluh.” “Lebih cepat lebih baik.” Abror, anak satu-satunya yang tinggal bersama emak. Abror sudah menelepon tujuh kali, tetapitak ada jawaban sama sekali. Di sms berkali-kali, Suwito tak pernah membalas. Entah di mana atau sampai mana. Jam didinding telah menunjuk angka sepuluh. Acara pe- makaman segera dimulai. Jenazah segera dikeluarkan dari ruang depan menuju Masjid Al-Falah. Seperti biasa. sebelum ke masjid, Kaum Sujak memulai pidato pemberangkatan. Ketika para pelayat berdiri untuk memberi Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 73
penghormatan terahkir, sontak tercengang. Seorang lelaki tiba- tiba melemparkan tas ke dekat jenazah dan berteriak. “Hentikan!” sambil mengacungkan sebilah pisau. Empat pemuda yang menggotong jenasah seperti hendak lari. Wajahnya tegang ketakutan. Ingin Abror mendekati lelaki itu, tapi para pelayat yang ber- diri di dekatnya spontan memegangi lengan, ada yang merang- kulnya untuk tidak mendekat. “Turunkan!” seru lelaki itu sambil mengacungkan pisau. Tak seorang pun yang berani bergeming. Suasana kabung berubah menjadi sangat mencekam. Semua saling pandang, bahkan Kaum Sujak yang sudah membuka acara pemberangkat- an, berhenti seketika. Sutar yang sedang memikul jenazah ngompol. Kakinya gemetar. Takut melihat lelaki yang kalap. Semua bisu. Perintah Kaum Sujak untuk menurunkan pun hanya dengan gestur tangan. Sutar dan kawan-kawan segera menurunkan keranda kembali ke atas meja. Semua mata memandang dengan berbagai penafsiran, meski ketika lelaki itu ganti memandang para pelayat, semua jadi me- nunduk ketakutan. Dilihatnya sekujur tubuh jenazah. Tak seorang pun yang berani mengingatkan, hanya tanda tanya yang berkecamuk di pikiran para pelayat. Ada yang berbisik di belakang untuk me- nubruk dari belakang dan merebut pisaunya. Namun ada isyarat untuk tidak dilakukan. Pemuda itu kembali mundur. Keranda dibuka. Tali pocong berusaha dilepas. “Hati hati Pak Kaum!” bisik pelayat yang berdiri tepat di belakangnya. Dengan rasa was-was Kaum Sujak membantunya. Pisau ma- sih digengam. Ketika wajah jenazah terbuka, benar-benar di luar dugaan, dengan nafsu rindunya lelaki itu menciumi wajah jena- zah sambil menangis. Pelayat pun ada yang larut dalam isak tangis. 74 Suara Bayang-Bayang
“Emaaak! Emaaak! Emaak!” suara itu melemah. Tangannya gemetar. Tubuh lelaki kemudian luruh. Jenazah pun segera diberangkatkan ke tanah pekuburan Kali Ares. Sebagian pelayat ada yang masih mengerumuni lelaki itu. Menggoyang goyangkan pipinya. Membisikinya kalimat istigfar. Membetulkan kancing bajunya. Mengelus muka dan rambutnya yang basah berserakan. “Astagfirullah al’azim! Astagfirullah al’azim! Astagfirullah al’azim!” Kiai Jupri mendekatkan kalimat itu ke telinga Suwito. Doa malam pertama untuk emak usai sudah. Sepi kembali terasa. Gerimis masih turun. Tamu tinggal dua orang yang masih ngobrol sambil menghabiskan batang rokok. Kiai Jupri dan Mbah Umbul. Sueb sudah selesai mengemasi piring dan gelas. Tinggal asbak yang masih di hadapan Kiai Jupri. Suwito menyandarkan punggungnya di tembok. Masih ada rasa sesal. Mengapa dia tidak pulang ketika ibunya belum me- ninggal? Padahal Abror adik kandungnya sudah menelepon berkali-kali “Mas Suwito, berapa lama minta cuti?” tanya Kiai Jupri se- kadar membuang lamunannya. “ Saya minta satu minggu tapi hanya diberi cuti resmi lima hari.” “Setelah itu akan kembali ke Jepang?” “Ya.” Itu saja. Suwito tak bernafsu untuk bercerita banyak. Bola matanya kosong. Ia ingat ketika akan berangkat ke Jepang terakhir kali sebelum emak meninggal. Lima tahun yang lalu. Emak minta untuk dibelikan cindera mata pisau sakai takayuki. Pisau itu hebat, seperti yang pernah ia ceritakan pada emak. Suwito janji, Kalau Suwito pulang besok pasti akan dibawakan. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 75
Penyesalan masih menyisa. Kenapa ia begitu asyik dengan pekerjaannya sampai lima tahun tak pernah pulang. Sementara Kiyosumi Shirakawa yang setiap hari ia lewati hanya sebuah stasiun bawah tanah yang memendam dirinya dari akar keluarga. Meski harta tercukupi, tapi tak cukup untuk berbakti pada emak. Suwito tak pernah melihat Abror mengganti pampers dan mengganti pakaian. Suwito tak pernah melihat Abror menggendong emak ke sumur terus memandikannya. Suwito tak pernah melihat Kustiah adik iparnya setia menyiapkan air hangat tiap pagi dan sore. Suwito tak pernah merasakan bagaimana rasanya berlumur- an kotoran ketika emak mencret atau muntah-muntah. Suwito tak pernah mencium bau itu semua. Suwita mendekap adik kandungnya. Air mata tak terben- dung. Banyak rasa sesal menggelayuti benaknya. Ia merasa belum seberapa bakti pada emak. Lima tahun memang bukan hal yang lama. Namun lima tahun lebaran ia tak pernah kumpul dengan keluarga, apa lagi sungkem dan minta maaf pada emak. Rasanya selesai sudah silaturrahmi hanya lewat telepon. Sementara cerita tentang keberhasilan dirinya, hanya cerita belaka. Tanpa kenang- an. Kawaii Kichen, makisu, Chasen, Miniso dan yang lain, masuk dalam ruang kaca hampa dalam bufet. Tanpa arti apa-apa. “Abror, ini permintaan ibu yang terakhir kali!” sambil meng- genggam sebilah Pisau Sakai Takayuki. “Aku masih ingat, di atas gedung per- usahaan itu tertulis semboyan dengan huruf Kanji ‘mengasah ketajaman pikiran’, maka Engkaulah yang harus menerimanya karena emak telah tiada dan pisau ini jangan kau masukkan ke dalam bufet kaca.” Purworejo, 17 Oktober 2017 76 Suara Bayang-Bayang
Suara Bayang-Bayang Ivan Mahendra (SMK Negeri 2 Adiwerna, Tegal) Mereka menggali tanah seperti hendak membuat sumur. Lalu mereka mengubur tubuh Perempuan itu setinggi leher. Hanya tersisa kepala di atas tanah. Tak dapat bergerak, meski hanya sekadar menengok. “Inilah yang pantas kau terima.” Seru seorang dari mereka dengan tangan kiri menenteng di pinggang dan tangan kanan berkali-kali menunjukinya. Seorang lagi mendekat, berjongkok persis di depan wajah Perempuan itu, lalu berkata pelan, “Sebentar lagi babi hutan, anjing hutan, atau mungkin harimau dating. Mereka segera me- mangsamu.” Mereka lalu meninggalkan Perempuan itu begitu saja. Matahari melenggang menjauhi pagi. Biru langit sebentar lagi purna. Benar saja, anjing hutan datang menghampiri Perempuan Itu. Bel masuk sekolah berdering. Seperti biasa, Guru Lin, meng- awali pelajaran dengan menyampaikan pencapaian kompetensi dasar materi ajar yang dituju. Kali ini, ia bersama para muridnya akan membahas teks yang bertemakan guru. Ia menyuruh muridnya membawa, minimal satu cerita, untuk dibahas secara bersama di kelas. Tak pula ketinggalan, ia sendiri sudah lebih dulu menyiapkan. Ia bacakan di depan mereka se- bagai contoh sekaligus stimulan langkah pembelajaran selanjut- nya. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 77
“Nah, sudah kita simak bersama bahwa jasa guru tak terhi- tung besarnya. Mereka telah membimbing kita mengenali ber- bagai ilmu pengetahuan. Karena budi pekertinya, masyarakat sa- ngat menghormati dan menjunjung tinggi wibawa seorang guru.” Namun berbeda halnya dengan murid ini. Ia tak membawa berita atau artikel apa pun tentang guru. Ia hanya membawa catat- an kecil milik ibunya, yang sesekali ia bacai kembali dalam hati. Bermula dari banyak orang tak lihai membaca, tak terampil menulis, dan tak mahir berhitung. Apalagi yang perempuan, mereka tak mampu menjahit atau melakukan keterampilan dasar, yang sebenarnya wajib dikuasai seorang perempuan. Dari kondisi yang ada, aku memutuskan untuk mengajari mereka, yang perempuan, berbagai macam keterampilan. Kereka akan lebih terhormat. Mereka akan lebih bermartabat sebagai seorang manusia jika semua ketrampilan itu mereka kuasai. Aku juga mengajarinya menyanyikan lagu nasional, lagu daerah, dan tarian daerah. Pelatihan berjalan rutin hingga ber- tahun-tahun kemudian. Namun, suatu ketika segalanya berubah. Orang beramai-ramai menyerbu rumahku. “Ayo keluar!” Aku, yang sedang meninakbobokan anakku yang belum sekolah, di ruang tamu mendadak ketakutan. “Kalau tidak mau keluar, akan kami bakar rumahmu ini!” Aku memeluk anakku erat-erat. Mereka mendobrak pintu, membentur tembok di belakangnya hingga foto yang terpaku bergetar. Segera aku datangi mereka. Anakku, yang belum puas dininak- bobokkan, menangis sejadi-jadinya. Kami bertemu di ruang tamu. Aku menuruti permintaan mereka untuk keluar dari rumah. Mereka lang- sung mengawalku. Aku ikuti arah langkah kaki mereka. Aku sempatkan me- noleh ke belakang untuk melihat rumah, dan tentu saja anakku, 78 Suara Bayang-Bayang
tetapi ternyata api sudah mengepung seluruh rumahku. Genting rumah berjatuhan. Kayu penopang atap berselimut api. Tak lagi tampak rumah, tinggal api yang berkobar, yang sesekali menjilat- jilat ke udara. Mereka benar-benar telah membakar rumahku. Lalu bagaimanakah dengan anakku? “Tidak hanya itu, Anak-anak, guru terutama yang perem- puan, sering dipercaya menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin di lingkungan masyarakat, organisasi, atau ikatan yang mengedepankan visi perempuan sebagai penyumbang kemajuan.” Mendengar penjelasan Guru Lin, murid itu, murid yang duduk di sebelah murid ini, teringat cerita kakaknya. Berawal ketika ibumu baru dua hari melahirkanmu. Luka dan jahitan jalan kelahiran, tempatmu keluar dan melihat dunia pertama kalinya, belum mengering. Saat ibumu sedang me- nyusuimu di ranjang tidur, dan tubuhmu masih dibalut selen- dang, tiba-tiba segerombolan orang memasuki rumah tanpa permisi. “Di mana kamu? Ayo keluar!” Ketika ibumu hendak beranjak dari ranjang tidur untuk menyambut, mereka lebih dulu masuk kamar, dan menyuruh ibumu keluar. “Ini dia orangnya. Ayo ikut!” Ibumu memberontak, berusaha melepaskan tangan dari tarikan mereka, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat untuk dilepaskan. Ibumu berkali-kali menendang agar bisa terbebas, tetapi sia-sia saja. Mereka jauh lebih bertenaga. “Kita bawa saja.” Mereka membawanya menuju balai desa. Sesampai di sana, ibumu benar-benar jadi tontonan bersama. Mereka mengamati satu demi satu bentuk dan lekuk tubuh ibumu yang indah itu, yang tiba-tiba membuat mereka tersadar bahwa itu tak pantas dilakukan. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 79
Malam harinya, ibumu dipindahkan ke sebuah tempat interogasi. Di sana sudah ada beberapa orang yang berjaga. Ibu- mu dimasukkan ke sebuah ruang dengan cahaya seadanya, layak- nya langit mendung yang sebentar lagi memuntahkan hujan. “Di mana suamimu bersembunyi?” “Saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya hanya tahu, banyak perem- puan yang membutuhkan pelatihan keterampilan dan keahlian dasar yang harus dikuasai perempuan. Saya mengabdikan diri untuk membimbing mereka. Mulai dari menjahit, menyulam, dan memasak. Selebihnya saya tidak…” “Bohong!” “Betul, Pak, saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya tulus ingin mengajari keterampilan dan keahlian yang kaum perempuan butuhkan.” Setelah interogasi, hari-hari ibumu menjadi kelabu. Tak jarang, mereka memperlakukan ibumu dengan kasar. Perlakuan yang tak sepantasnya diterima oleh seorang perempuan. “Tidak hanya itu, anak-anak, kesejahteraan guru juga lebih diperhatikan. Kita bisa melihat dari gelar yang dicapai, trans- portasi yang digunakan, dan pakaian yang dikenakan. Kita sering melihat, ibu guru kalian sudah mahir dan lincah mengendarai mobil, dari yang paling sederhana hingga yang paling mutakhir. Tak hanya itu, cara berpakaian mereka lebih elegan yang me- nunjukkan bahwa mereka benar-benar orang yang bermartabat.” Murid dia, yang duduk persis di depan meja Guru Lin, se- makin gelisah. Ia segera meletakkan secarik surat milik ibunya di atas meja. Surat itu penuh dengan berbagai garis lipatan, noda serta debu di berbagai sisi. Surat ini aku tulis di bawah kekhawatiran dan ketakutan. Juga kebingungan, mengapa aku harus disekap. Aku benar-benar tidak tahu menngapa harus diamankan ke- mudian disekap di ruangan ini. Mereka lalu menginterogasiku 80 Suara Bayang-Bayang
dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bisa aku jawab karena memang tidak tahu apa yang harus aku jawab. “Di mana suamimu?” “Saya tidak tahu, Pak. Terakhir yang saya tahu, dia sibuk meng- urusi program untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.” “Tak usah menyembunyikannya. Sampaikan saja keberadaan mereka, maka kau akan selamat.” “Sungguh, saya tidak tahu, Pak.” Mereka menganggapkku telah berbohong demi menutup- nutupi keberadaan suamiku. Aku benar-benar telah menyampai- kan yang sejujurnya. “Katakan saja.” “Betul, Pak. Itu yang terakhir suami saya sampaikan kepada saya. Selebihnya, saya hanya mengajari teman-teman perempuan menulis huruf latin, melafalkan bentuk percakapan bahasa Inggris, dan cara menyajikan hidangan yang beradab. Saya benar-benar tidak tahu aktivitas suami saya.” Mereka masih menganggapku berbohong. Padahal aku sudah betul-betul mengatakan yang ada. “Dasar perempuan tidak tahu diri. Kalian sudah terlibat dalam aksi yang membuat orang-orang penting menjadi korban. Kamu pantas menerima akibatnya.” Lalu mereka menghujaniku dengan kata-kata yang tak pan- tas. Biasanya, mereka lanjutkan dengan tindakan kasar yang tak manusiawi. Aku hanya pasrah menerima perlakuan mereka. Bagiku, yang terpenting tidak berbohong karena menjadi manusia jujur adalah segala-galanya. Aku harus berhadapan dengan mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang yang semuanya adalah laki-laki. Ya, satu pe- rempuan berhadapan dengan banyak laki-laki. Detik-detik itu begitu melelahkan. Tubuhku terasa begitu berat. Pandanganku pada sekumpulan laki-laki yang menginterogasi itu mulai me- Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 81
ngabur. Kunang-kunang segera menyentuhi kelopak mata. Se- telah itu semuanya menjadi gelap. Ketika terbangun, aku sudah berada di atas tikar, didampingi orang-orang yang berusaha memulihkan kembali kesehatanku. Aku diberi makan seadanya. Sehari sekali, terkadang tidak sama sekali. Pernah selama tiga hari aku belum juga makan karena memang tak ada jatah makan. Aku tulis surat ini untuk mengabarkan kepada kalian, ke- luargaku juga saudaraku, bahwa aku baik-baik saja. Satu hal yang paling penting, aku tidak mengerti sama sekali aksi kekerasan yang mengakibatkan orang-orang penting menjadi korban. Apalagi sampai terlibat di dalamnya. Aku tak tahu jika wadah tempat aku mengajar kaum perem- puan agar menjadi lebih bermartabat, ada hubungannya dengan aksi itu, baik langsung maupun tak langsung. Sama sekali aku tak tahu dan tak terlibat dalam aksi itu. Sekali lagi, niatku hanya ingin mengajar kaum perempuan agar lebih maju dan beradab. Sampaikan ini kepada anakku, bahwa ibunya ingin anaknya menjadi perempuan yang maju, bermartabat, dan beradab. Ajari- lah mereka agar bisa merasakan kemajuan bersama denganmu. Semoga surat ini sampai. Salam. Anjing hutan menjulurkan lidah persis di depan perempuan itu. Perempuan itu, masih terpendam setinggi leher, hanya bisa memejamkan mata, mengontrol diri agar tak menimbulkan reaksi berlebihan. Ia tahu, reaksi berlebihan menjadikan anjing hutan memangsanya. Akhirnya anjing hutan pergi dengan lolongan panjangnya. Tak lama berselang, datang seekor babi hutan. Ia mengendusi wajah perempuan itu. Ia lebih dekat, seperti hendak mencumbu. Perempuan itu bisa mencium aroma yang tak berselera dari tubuh babi hutan. Tiba-tiba seorang kakek dan seorang nenek datang. Babi hutan bergegas kabur memasuki rimba. 82 Suara Bayang-Bayang
“Astaga! Ini setan atau demit?” Seorang kakek memukul- mukul pelan kepalanya dengan tongkatnya. “Manusia, Pak. Masih hidup!” Seorang nenek menegasi se- orang kakek yang sepertinya memang suaminya. “Kenapa tubuhmu terkubur dalam tanah? Sedang yang ter- sisa di atas tanah hanya kepalamu?” Seorang kakek masih kaget dan tak percaya. Perempuan itu tak kuat menjawab. Tanah yang sangat men- jepitnya tak memberikan ruang untuk memompa suara. “Kita gali saja, Pak.” Lalu seorangkakek dan seorang nenek menggali tanah yang menghimpit dan menjepit. Mereka mengangkatnya. Dengan sisa tenaga di usia senja, juga sisa tenaga perempuan itu, Seorang ka- kek dan seorang nenek memapah tubuhnya ke sebuah gubuk yang tak jauh dari lokasi penemuan. Gubuk itu dikelilingi sawah. Di ujung sana, sungai mengalir pelan, menimbulkan bunyi gemericik. “Kamu bisa istirahat dulu di sini sambil menunggu tenaga- mu kembali pulih.” Pesan seorang nenek. “Terima kasih sudah menolongku. Namun Kakek dan Nenek jangan berlama-lama denganku. Nanti Kakek dan Nenek bisa ikut dituduh macam-macam.” “Dituduh apa, Nak?” Tanya seorang nenek. “Sudah, sudah. Aku harus segera pergi sebelum kembali melahirkan korban.” “Korban apa, Nak?” Tanya seorang kakek mendesak. “Korban asal tuduh Kek, Nek. Mereka yang dituduh terlibat aksi penyerangan terhadap orang-orang penting, meski mereka sama sekali tak mengetahui apa pun tentang aksi itu. Mereka murni ingin mengajar, memajukan pendidikan bagi kaum perem- puan.” “Bukannya itu perbuatan mulia, Nak?” Tanya kembali se- orang nenek. Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 83
“Sangat mulia, Nek. Mulia sekali. Namun jalan kekerasan atas nama menjaga ideologi dinilai lebih berharga dibanding tujuan yang lebih mulia.” “Bisa kamu ceritakan dulu di sini, Nak?” seorang nenek pe- nasaran. “Tidak, Nek, tidak bisa. Aku harus segera pergi. Aku titip ini saja.” Perempuan Itu mengeluarkan secarik catatan kecil yang sempat ia tulis di ruang penyekapan sebelum mereka membawa- nya ke tengah hutan. Lalu ia salamkan catatan kecil itu ke tangan seorang nenek. “Tolong sampaikan catatan kecil ini ke keluargaku. Mereka pasti cemas menunggu kepastian kabar tentangku.” “Kenapa kamu tak pulang saja ke rumahmu? Di sana akan ada keluarga yang menjagamu.” “Tak semudah itu, Nek. Kepulanganku justru akan men- datangkan siksaan baru. Tentu aku sudah dicap hitam, cap yang aku sendiri sama sekali tidak tahu. Orang yang mengenalku, atau bahkan keluargaku sendiri, bakal menjauhiku, atau menying- kirkanku seperti mengusir lalat yang hinggap di atas makanan.” Seorang kakek dan seorang nenek hanya bisa diam. “Aku pamit, Kek, Nek. Sekali lagi terima kasih sudah me- nolongku.” Perempuan Itu meninggalkan mereka, berjalan menyusuri sawah, menyeberangi sungai yang mengalir di ujungnya, semakin menjauh, hingga pada akhirnya mengabur dalam pandangan. “Karir guru kita, anak-anak, terutama yang perempuan, se- makin berkembang. Mereka tak lagi terpaku budaya yang meng- haruskan perempuan berdiam diri saja di rumah. Mereka bebas mengembangkan profesi, gelar, jabatan, …” Murid ini tak memperhatikan penjelasan Guru Lin. Ia sibuk melisankan lirih, sambil memperlihatkan,kelanjutan catatan kecil ibunya kepada teman di sekitarnya. 84 Suara Bayang-Bayang
“Ketika api berkobar melahap rumahku, aku diselamatkan kakakku yang ketika itu baru keluar dari kamar mandi. Berbekal ember yang diisi air, ia berusaha memadamkan api yang sebentar lagi membakar kamarku. Beruntung, aku lebih dulu diselamat- kan.” Cerita itu menular dari tempat duduk satu ke tempat duduk lainnya. Murid itu, melisankan cerita kakaknya yang segera disimak secara bergantian. Murid dia, memperlihatkan surat ibunya yang juga langsung dibaca secara bergiliran. Guru Lin masih memberikan penjelasan, sedang anak-anak disibukkan dengan lisan lirih, catatan kecil, dan secarik surat. Bel istirahat berdering, tanda jeda pembelajaran. Guru Lin menutup dengan salam, namun anak-anak tak menjawab. Guru Lin berpikir bahwa mereka sedang menyimak cerita keberhasilan yang dicapai guru yang kelak menjadi inspirasi bagi mereka. Ia pun meninggalkan kelas dengan penuh senyum. Namun, ketika Guru Lin masuk kelas setelah waktu istirahat usai, ia mendapati kelas kosong. Tak seorang pun murid di dalamnya. Ia kaget menyaksikan tulisan yang terpampang pada papan tulis: IBU KAMI ADALAH GURU YANG MENJADI KORBAN Guru Lin tak tahu bahwa mereka telah meninggalkan seko- lah. Mereka menuju berbagai perpustakaan. Mereka menelusuri arsip-arsip. Mereka menyusuri narasumber. Mereka mendatangi lokasi kejadian yang telah lama membisu. Guru Lin belum sepenuhnya mengerti bahwa keinginan mereka hanyalah sejarah yang jujur dan jernih! Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 85
Sriti Kaji Ki Sudadi (SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo) M alam itu terasa ada timbunan batu di ubun-ubun kepalaku. Kecemasan, harapan, keingintahuan, dan entah perasaan apa lagi campur aduk memenuhi ruang angan- angan. Mereka saling berdesakan hingga menyodok-nyodok tak menentu. Sementara di kamar bersalin istriku sedang bergulat dengan takdir. Di luar ruangan aku hanya bisa berdoa semoga bayiku lahir dengan selamat. Saat itulah baru aku mengerti me- ngapa wanita yang sedang melahirkan disamakan dengan perang sabil. Nyawa jadi taruhannya. Ini kehamilan pertama bagi istriku. Kelahiran anak pertama- ku itu akan melengkapi perjalanan hidupku. Aku bayangkan ke- hadiran bayi yang lucu, menggemaskan, dan kadang nakal. Hari- hariku pasti akan penuh warna, dan bayi itu kelak akan menjadi tumpuhan dan penyambung sejarah hidupku. Semalam suntuk aku tak bisa tidur. Di tengah malam kupan- jatkan doa-doa untuk kelahiran anakku yang pertama itu. Selepas Shubuh seorang bidan muda mencariku. Saat itu aku baru saja usai salat Subuh. Aku sangat penasaran. Kuharapkan kabar gem- bira datang dari bidan itu. Dengan semangat aku temui dia. “Pak, ada yang harus disampaikan rumah sakit untuk Bapak,” kata Bidan Pratiwi dengan lembut. “Ada apa Bu Bidan?” “Hingga lewat Subuh belum ada tanda-tanda kelahiran.” 86 Suara Bayang-Bayang
“Sudah dipacu?” “Sudah Pak. Tapi tampaknya tidak ada perubahan. Pagi ini Bapak harus memutuskan apakah bayinya mau dioperasi atau dikop? Tinggal dua metode itu yang bisa dilakukan pihak rumah sakit untuk menolong persalinan ini.” “Beri saya waktu untuk berembuk dengan keluarga ya Bu Bidan?” “Baik Pak, tapi Bapak harus secepatnya mengambil keputus- an. Ini tidak boleh terlambat. Kalau terlambat bisa fatal Pak.” “Tidak sampai satu jam saya sudah bisa putuskan Bu Bidan.” “Kami tunggu Pak.” Segera saja aku berembuk dengan beberapa keluarga yang ikut menunggui kami di rumah sakit itu. Mereka menganjurkan kelahiran bayi itu dikop saja. Aku sampaikan hasil rembukanku itu pada istriku di kamar bersalin. Semua perkembangan aku sampaikan biar lega. Istriku tak bisa bicara banyak. Kelelahan yang dirasakannya teramat berat. Ia pasrah pada keputusan ke- luarga untuk tidak melakukan operasi caesar pada bayi yang ada di kandungannya. Tindakan medis selanjutnya aku pasrahkan pada pihak rumah sakit. “Bu Bidan, kami sudah punya keputusan. Intinya keluarga dan saya sendiri tidak setuju akan tindakan operasi caesar. Kami lebih memilih dikop saja.” “Semua punya resiko masing-masing Pak. Tapi kalau me- mang itu pilihan keluarga, pihak rumah sakit hanya menuruti permintaan Bapak.” “Sudah mantap Bu Bidan.” Dokter dan bidan di RS itu akhirnya mengikuti apa yang kami putuskan. Kelahiran bayi pertamaku itu harus dibantu dengan disedot memakai alat sejenis kop yang menempel di batok kepalanya. Aku tak tahu banyak rujukan tentang metode kop itu, tetapi menurut penuturan beberapa teman yang pernah aku ajak Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 87
bicara, metode itu aman-aman saja. Putusan itu jadi mantap. Apalagi setelah sebagian keluarga juga menyetujui. Jam Sembilan pagi pertolongan kelahiran bayiku sudah di- laksanakan. Proses kelahiran bayi itu tidak lancar. Tampaknya ada yang tidak beres secara medis. Kecemasan yang selama ini menggelayuti perasaanku terjawab sudah. Resiko kerusakan syaraf otak akibat metode kop itu menimpa bayi pertamaku. Aku tak tahu pasti apakah itu malpraktik atau cacat bawaan, tetapi yang pasti bayi itu lahir cacat. Begitu mendengar berita itu pan- dangan mataku jadi gelap. Napasku berhenti sekejap. Hampir saja aku pingsan. Keluarga yang ikut menunggu kami hanya bisa berangkulan sambil menangis tak kuasa menahan haru. Aku harus menerima kenyataan anak pertamaku itu cacat. Tak hanya sekadar cacat, bayi itu lumpuh total. Bayi yang aku beri nama Tabah Arifin itu tidak bisa bergerak sedikit pun. Ia hanya bisa makan, minum, dan mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas maknanya. Untuk buang air besar saja susah, dan harus selalu dibantu. Saat itu terbersit dalam pikiranku untuk menuntut pihak rumah sakit yang kuanggap melakukan malpraktik, tetapi pikiran itu buru-buru kubuang. Aku berpikir ulang. Mungkin saja bayi itu memang sudah punya cacat bawaan. Akhirnya aku pasrah saja dengan garis takdir yang harus aku jalani. Allah Yang Maha Berkehendak memberiku amanah seorang bayi cacat. Rumah tanggaku tetap saja sunyi. Sudah lebih dari dua minggu Tabah Arifin hidup bersamaku. Istriku belum juga pulih dari sakit yang ia rasakan. Kabut kesedihan yang menyelimuti keluargaku terasa tebal. Tangis dan celoteh bayi yang aku rindu- kan tak pernah datang. Istriku pasti juga sedih. Ia kadang merasa bersalah. Jika sudah seperti itu, aku segera menghiburnya. Aku sangat yakin Allah punya kehendak-Nya. Aku berusaha meng- ajaknya untuk tetap bersabar menjalani cobaan Illahi yang teramat berat ini. 88 Suara Bayang-Bayang
Di tengah malam yang hening sempat aku tengadahkan kepalaku. Kuucapkan doa-doa kepada Allah agar aku sabar men- jalani semua ini. Beberapa malam tiada henti aku menangis di hadapan-Nya. Malam ketujuh setelah aku selesai memanjatkan doa, aku tertidur lelap. Dalam kelelapan itu aku dibawa ke suatu alam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di alam asing yang penuh gemerlap lampu dan taman indah itu, aku bertemu seorang lelaki tua berbaju serba hitam dan memakai ikat kepala putih. Matanya teduh seperti mata seorang kyai. Sorot matanya memberikan ketenangan batinku. Anehnya lelaki tua itu tak ber- kata apa-apa padaku. Ia hanya memberikan senyumnya yang memberi kedamaian. Ketika terbangun, perasaanku masih ter- bawa di alam impian sebelum akhirnya aku menyadari kalau semua itu hanya mimpi. Aku ceritakan mimpiku itu pada istriku sesaat setelah ia me- mandikan Tabah Arifin yang tergolek lemah di pembaringannya. Istriku hanya bisa berkata kalau mimpi itu tidak punya arti apapun. Ia juga menasihatiku untuk tidak banyak berharap pada keajaiban. Ia yakin zaman sekarang sudah jarang ada keajabian atau mukjizat seperti zaman para nabi dan rasul. Zaman sekarang sudah beda dari zamannya Nabi Yusuf. Aku mengerti itu semua. Aku mencoba untuk tidak larut dengan perasaan, tenggelam di alam angan-angan. Aku turuti nasihat istriku itu. Aku tak ber- harap akan ada keajaiban di dalam rumah kami. Namun sore harinya ada keanehan yang datang di rumahku. Segerombolan burung datang. Suranya bercuitan dan bersautan. “Mas, coba lihat kok sepertinya banyak sekali burung masuk rumah!” perintah istriku. “Ya Jeng. Coba saya amati.” Aku segera berlari ke arah datangya suara. Aku lihat bebe- rapa ekor burung masuk rumahku. Aku amati jenis burung apa- kah yang berterbangan masuk ke rumahku? Sriti. Puluhan bah- kan ratusan burung Sriti masuk ke rumahku. Mereka hinggap di Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 89
langit-langit kamar dan tidak mau diusir pergi. Tetanggaku ber- datangan untuk melihat keanehan itu. Mereka melihat ratusan burung Sriti yang warna bulunya hitam mengkilat. Namunn ada yang aneh dari burung-burung Sriti itu. Kepalanya tidak mulus berwarna hitam. Ada variasi putih. Kalau burung Pipit yang ber- kepala putih diberi nama Emprit Kaji, orang-orang di desaku juga menyebut burung itu Sriti Kaji. Sriti Kaji tentu bukan sembarang burung. Ini burung Sriti yang unik karena kepalanya seperti me- ngenakan surban putih. Semula aku ingin mengusirnya, tapi tetanggaku yang ber- nama Haji Karim mengingatkanku untuk membiarkan burung- burung itu tinggal di rumahku. “Sriti itu akan mendatangkan rezeki bagi kamu sekeluarga,” kata Haji Karim menasihatiku. “Kau tak usah pergi ke mana-mana. Sarang burung Sriti itu mahal harganya. Kalau sudah banyak burungnya, hampir setiap bulan kamu bisa panen. Ternak Sriti juga gampang. Kau cukup menjaga tempatnya. Tidak perlu memberi umpan. Mau apa lagi? Keluargamu sungguh beruntung. Allah Swt memberikan karunia besar untuk kamu sekeluarga,” kata Haji Karim menambahkan. “Bagaimana kalau nantinya burung-burung itu memenuhi seluruh ruangan di rumahku Pak? Kami mau tinggal di mana?” “Tak perlu cemas. Kau buat saja rumah baru di dekat rumah- mu ini. Pekaranganmu masih cukup luas untuk membuat ba- ngunan baru.” “Tapi….” “Tak usah pakai tapi, sekarang kau harus bersujud syukur. Banyak orang ingin memelihara Sriti seperti itu tidak kesampaian. Sedangkan kamu tidak perlu susah payah, mereka datang sendiri. Itu anugerah yang besar. Suatu saat kamu bisa menggantikan telur-telur Sriti itu dengan telur Walet. Kau akan memiliki pe- ternakan burung Walet yang bikin banyak orang jadi jutawan.” “Terima kasih nasihatnya Pak Haji. Saya akan ikuti semua nasihat itu.” 90 Suara Bayang-Bayang
Apa yang dikatakan Haji Karim itu tidak sedikit pun meleset. Burung Sriti Kaji yang menghuni rumahku itu menjadi berkah tersendiri bagi keluargaku. Semakin hari semakin banyak saja burung-burung Sriti yang datang ke rumahku. Aku tidak tahu dari mana mereka berasal. Tidak ada upaya khusus atau ritual tertentu yang aku lakukan untuk memanggil mereka. Beberapa bulan berikutnya aku sudah bisa memanen sarang burung Sriti Kaji itu. Hasilnya sudah cukup berlebihan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluargaku. Sungguh luar biasa. Aku tidak bisa berbicara apa-apa kecuali mengucapkan syukur pada Allah atas karunia-Nya. Hari-hariku bertambah sibuk. Kalau semula hanya Tabah Arifin yang menjadi perhatianku. Kini aku dihibur oleh kehadiran ratusan bahkan hampir seribuan Sriti Kaji. Setiap pagi mereka keluar rumah. Petang hari mereka pulang dan bergelantungan di pojok-pojok kamar membangun sarang mereka sendiri. Sedikit jadi masalah mungkin kotorannya, tapi itu sebuah resiko yang harus aku hadapi. Aku harus rajin-rajin membersihkan lingkung- an rumahku kalau kotoran Sriti Kaji sudah menumpuk di sekitar rumahku. Anugerah Illahi terus saja dilimpahkan untuk keluargaku. Dari hasil dagang istriku dan gajiku sebagai pegawai rendahan ditambah penjualan sarang burung sriti itu, keluargaku dapat menambah bangunan rumah di dekat rumah utama yang sudah dipenuhi burung Sriti. Mobil yang cukup mewah juga sudah aku miliki. Kios pakaian sederhana di pasar menambah kekayaaan keluargaku. Lebih menggembirakan lagi aku dikaruniai anak kedua dan ketiga, laki-laki dan perempuan yang lahir normal bahkan diberi kecerdasan unggul. Anak kedua itu aku beri nama Putra Anugerah sedangkan adiknya aku beri nama Putri Widhiati. Dua anakku itu tumbuh normal. Mereka menghiasi hari-hari- ku dengan keceriannya. Kebahagiaan keluargaku nyaris sempur- na. Allah sudah limpahkan segalanya. Kehadiran dua anak itu Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 91
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152