Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore KISAH SANG PETANI HATI ISI

KISAH SANG PETANI HATI ISI

Published by sasmoyohermawan, 2021-02-23 05:24:58

Description: Kisah-kisah reflektif pendek tentang sembarang lir alias segala hal tentang hidup

Search

Read the Text Version

Kisah Sang Petani Hati Hermawan Sasmoyo





Kisah Sang Petani Hati Oleh: Hermawan Sasmoyo Hak Cipta © 2020 pada penulis Edisi Pertama: Cetakan I ~ 2020 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperb­ anyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. DATA BUKU: Format: 13 x 19 cm; Jml. Hal.: x + 112; Kertas Isi: HVS 70 gram; Tinta Isi: BW; Kertas Cover: Ivori 260 gram; Tinta Cover: Colour; Finishing: Perfect Binding: Laminasi Doff. Title Font: Hey November by khurasan.net; Body text: Book Antiqua 11pt.

KATA PENGANTAR.................................................................................... Dengan gaya penuturan Kang Moyo yang khas, Hermawan Sasmoyo membagikan nilai-nilai kearifan dan kehidupan dalam buku Kisah Sang Petani Hati. Perjumpaan Kang Moyo dengan teman-teman dan alam semesta dalam berbagai peristiwa dan pengalaman sehari-hari dibingkai dalam refleksi kehidupan. Percakapan dan narasi ditulis dengan bahasa yang ringan dan diselipi dengan dialek bahasa Jawa yang menunjukkan keter-akar-an penulis sebagai petani hati dengan tanah dan budayanya. Di balik penuturan yang ringan ini ada sentilan-sentilan dan kedalaman refleksi yang mengajak pembaca untuk melihat keterkaitan “tanah olahan” Sang Petani dengan “berkah langit” dan untuk ikut menikmati perjalanan di antara keduanya. Prof. Anita Lie,MA.Ed.D Unika Widya Mandala Surabaya

-=⌘=- “Hidup adalah tentang mencari makna dan memaknai hidup” -=⌘=-

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................... v DAFTAR ISI.................................................................... vii Air dan Sumbering Urip............................................... 1 ‘Aja Ngece’...................................................................... 7 Akhir Adalah Awal....................................................... 10 ‘Anut Grubyuk’–Ikut - ikutan...................................... 13 Balada Seorang Buruh................................................... 18 Belajar dari yang Terdidik............................................ 19 Belajar Dari Si ‘Blandhong’........................................... 23 Bertanamlah, “Nandur” Apa Terserah....................... 26 Cipratan Lumpur di Tubuh Sang Petani.................... 29 ‘Galengan’ yang Licin.................................................... 31 Guru–Petani Yang ‘Gemati’......................................... 34 Hari Pendidikan, Jangan Berhenti Bertani................. 37 Jadilah Daun, Daun Yang Bersari................................ 41 Krambil Urip– Kelapa Si Simbol Hidup .................... 42 Kerbau Bule..................................................................... 47 ‘Luku’ dan Traktor, Gelas dan Gentong..................... 50 Mati Untuk Memberi Hidup........................................ 54 Memanen Apa Yang Ditanam...................................... 57 ‘Memilih Senjata dengan Bijak’.................................... 60 Memilih Untuk Tahu..................................................... 63 Pelatihan, Menyemai Bibit Ide..................................... 67

Kisah Sang Petani Hati Mewakilkan Proses Kehidupan?................................. 70 Petani Tanpa Pesta Panen............................................. 74 Petani yang Menghormati Masa.................................. 77 Saat Angin Besar Datang, Jangan Biarkan Pintu dan Jendelamu Terbuka................................................ 80 Kang Moyo yang Tetap Menabur Walau Tak Tumbuh........................................................................... 83 Saringan Akal Budi Dan Nurani.................................. 86 Saya adalah ‘Senthir’..................................................... 88 ‘Sinau Saka Pikulan’...................................................... 92 Terima Kasih Manusia.................................................. 95 Petani Tulen atau Petani ‘Cosplay’?............................ 98 Jangan ‘Yang Penting’................................................... 102 Menyiapkan Anakan Lele............................................. 104 Mencari Teduh............................................................... 106 Guru Dan Ikan Lele....................................................... 108 TENTANG PENULIS.................................................... 112 viii





Air dan Sumbering Urip “Kang Moyoooo, piye kabare?” Suara teriakan terdengar di kejauhan. “Eeee Yu Gino, apik Yuu. Lha mana Kang Gino?” sahut Kang Moyo. “Itu di belakang, sibuk mbenerin ‘galengan’– pematang sawah. Rontok sepertinya, jadi air masuk terus ke sawah kami,” lanjut Yu Gino. “O begitu, sudah tertangani ta?” tanya Kang Moyo. “Sudah, Kang. Ini sudah mau istirahat dulu. ‘Ngisis’ dulu, panas banget hari ini!” Kata Yu Gino. “Iya je, mungkin gunung nya mau meletus kali ya?” jawab Kang Moyo. “Aku melu ‘ngeyup’ lah, berteduh dulu”. “Iya Kang, ke sini lah, sambil ngobrol ngalor ngidul”, tiba tiba Kang Gino muncul dan langsung menyambung. “Piye Kang Gino, galenganmu? Wis dadi?” Kang Moyo memulai obrolan. “Sudah Kang, sudah rapet, semoga tidak jebol lagi. Tapi ya kita tahu air kan ampuh, apa saja bisa ditembus”, Kang Gino menjawab. “Iya Pakne, tapi tanpa air kan ya gak bisa nandur kita, tanaman kita gak mungkin hidup”, sela Yu Gino. “Betul kabeh Kang, Yu. Air memang ampuh. Coba

Kisah Sang Petani Hati dibayangke, pada awalnya air ‘ngetuk’-lahir dari sebuah mata air yang murni, bersih segar, akeh khasiat”, Kang Moyo meneruskan obrolan. “Lha itu Kang, kalau saja airnya seperti itu terus ya, murni, resik, seger. Gak perlu rebus merebus kita, langsung berangkat ke sawah bawa gelas saja, tinggal ambil airnya”, Kang Gino berhandai-handai. “Lha takdir e si air kan ya tidak berhenti setelah keluar dari mata air ta Kang”, sahut Kang Moyo. “Wah ini dia, Kang Moyo mau cerita seperti biasa ini. Piye kuwi Kang”, Yu Gino menimpali. “Ah, Yu, ya daripada mulut kering, otak beku, mend­­hing dipakai buat nggelar nggulung kahanan, meng­gelar dan menggulung berbagai hal,” Kang Moyo tersenyum. “Jiahaha, Kang Moyo ini lho selalu merendah. Piye Kang tadi, takdir si air piye?” seru Kang Gino tidak sabar. “Iya Kang, Yu. Takdir si tetes air bukan berhenti setelah keluar dari mata air. Ia harus ikut mengalir ber­ sa­ma tetes tetes air yang lain menuju ke muara”, lanjut Kang Moyo. “Dadi takdir si tetes air adalah mengalir, begitu Kang?’ balas Yu Gino. “Sabar ta Bu ne, didengarkan dulu. Penting ini kalau Kang Moyo lagi begini ini’, gerutu Kang Gino. 2

Kisah Sang Petani Hati “Haha, kalian ini, ini ya daripada kita ngrasani orang lain, menjelek jelekkan orang, mending ngobrol gak karuan gini”, Kang Moyo tertawa melihat Kang dan Yu Gino. “Tuh Bu ne,” Kang Gino melirik Yu Gino. Yu Gino tersipu malu sambil mencubit lengan Kang Gino. “Sambil bergabung dengan tetesan tetesan air lainnya dan mengalir ke muara, si tetes air menjalani takdirnya”, sambung Kang Moyo. “Yaitu?” Kang Gino dan Yu Gino menyahut serempak. “Kalau menurutku, fungsi alias takdir si tetes air adalah mengantarkan material dan ‘nguripi’ membe­ ri­kan hidup pada makhluk hidup yang lain. Menjadi pendukung hidup untuk hewan ternak kita, tanaman padi kita, dan sebagainya. Jadi tidak sekedar mengalir saja, sambil mengalir juga melakukan tugas yang menjadi takdirnya”, Kang Moyo terlihat melihat jauh ke seberang hamparan sawah di depan matanya. “Woo berarti, kalau orang-orang bilang ‘hidup itu mengalir saja lah, seperti air’ gak pas juga ya Kang”, tanya Kang Gino. “Ya mungkin bener juga, gak tahu lah bener tidak nya. Tapi menurutku, sambil mengalir ya tetep harus netepi wajib, menjalankan kewajiban hidupnya, menjalani takdirnya”, sahut Kang Moyo. 3

Kisah Sang Petani Hati “Wah bener juga ya Kang Moyo”, Yu Gino menya­ hut lirih. “Lalu takdir kita apa ya Pak e? Jangan-jangan kita baru mengalir saja, belum menjalankan kewajiban kita?” “Walah iya ya Bu ne, kok malah jadi kepikiran?” Kang Gino membalas pendek. “Haha kok njur serius banget? Aku ya gak ngerti itu. Tapi yang jelas si tetesan-tetesan air tadi juga punya takdir lain yang harus dihadapi”, tukas Kang Moyo. “Weduh, apa lagi ini Kang?” Yu Gino khawatir. “Di sepanjang perjalanan alirannya, si tetes air ha­ rus terkotori oleh lumpur, pasir, kerikil, belum lagi ber­ bag­ ai macam sampah”, kata Kang Moyo. “Waaa iya itu. Tambah berat takdir si air”, Kang Gino menambahkan. “Lha kok persis hidup kita ya Pak e. Kata orang, saat kita lahir, kita murni, bersih, suci. Tapi terus makin tumbuh besar, kita makin kotor, dipengaruhi marah, sedih, susah, senang, nafsu, keinginan, pikiran dan sebagainya”, Yu Gino menyimpulkan. “E e e e, bener Mbokmu, kok dadi pinter kamu sekarang”, Kang Gino senada dengan Yu Gino. “Hahaha, kalian ini lucu. Tapi aku juga setuju itu”, Kang Moyo tersenyum. “Tapi ingat juga, si tetes air bukan lah barang yang lembek, yang pesimis, yang mudah menyerah”. “Maksude Kang?” tanya Kang Gino. 4

Kisah Sang Petani Hati “Si tetes air terus menjalani takdirnya, fungsinya dengan sebuah keyakinan. Bahwa sesampainya di muara, dan saat ia berada dekat dengan sumbering urip, si Matahari, ia akan diuapkan, diubah bentuk, dimurnikan, dan diturunkan lagi demi menjalankan fungsinya kembali, bersama tetesan tetesan air yang lain, menghidupi makhluk yang lain”, jelas Kang Moyo. “Itu kan kalau tidak terjebak di sampah botol, sampah plastik dan lainnya ya Kang. Kalau tetesan airnya terjebak di situ, menguap pun di situ, mengembun ya di situ, tidak mampu menjalankan fungsi apapun”, simpul Kang Gino. “Lha makanya Pak e, jangan sampai ya hidup kita terjebak di sampah-sampah kehidupan itu ya Pak e”, sambung Yu Gino. “Kok jadi kita kayak orang-orang pinter, orang bijak ya, Pak e. mikir urip-hidup dalam- dalam.” “Jiahaha, salahku ini berarti, kok pakai ngomong macem-macem tentang si air. Sudah lah, mumpung teduh, agak mendung, aku mau lanjut macul lagi”, Kang Moyo ngeloyor pergi. “Woo lha gak tanggung jawab, bikin kami mikir, terus pergi gitu saja Kang Moyo ini”, kelakar Kang Gino. “Hush Pak e. Ini malah bagus. Mumpung bulan puasa, ini kan bulan buat kita bersih-bersih sampah 5

Kisah Sang Petani Hati tadi, biar tidak terjebak si sampah. Ini tadi malah kayak `ndengerin Kultum”, Yu Gino menyahut. “Iya Bu ne, ini tadi kan bercanda saja. Nanti kita pikir lagi di rumah, Kalau perlu diceritakan lagi sama anak-anak, biar mereka juga tahu”, jawab Kang Gino. -=⌘=- 6

Aja Ngece “Pakde, ayo cerita lagi. Biasanya Pakde Moyo kan banyak cerita”, pinta Narto, anak Kang Parto, adik Kang Moyo. “Ya wis kene, ke mari, cerita apa ya hari ini?” jawab Kang Moyo sambil mikir. “Manut, ikut Pakde saja, semua cerita Pakde biasanya bagus”, Narto mendekat sambil minta pangku Kang Moyo. “Baiklah. Ing jaman semana, pada jaman dahulu, cecak, kupu, kumbang dan lemut (nyamuk) iku kanca raket, sahabat dekat. Ngapa wae lan ana papan ngendi wae, kewan papat iki tansah bebarengan–ke manapun dan kapanpun mereka pasti bersama-sama. Cekake, bungah susah padha dilakoni bareng. Nah, pada suatu hari, ing sawijining dina, kewan papat iku mutusake dolanan peplayon bareng–mereka berempat bermain kejar-kejaran. Siapa yang jaga, harus mengejar yang lain sampai tertangkap supaya ganti jaga. Kebetulan yang pertama berjaga adalah kupu. “Siap, yen mung nguyak kowe kowe, aku ora bakal kangelan, kalau cuma mengejar kalian, tidak akan sulit”, begitu ujar si kupu. Karena kupu adalah hewan yang gesit dan lincah, tidak berapa lam kupu bisa menangkap si kumbang. “Ketangkap kau kumbang, ayo genti jaga”,

Kisah Sang Petani Hati si kupu berseru. “Siapa takut, tidak bakal lama aku berjaga”, jawabe si kumbang. Betul, tidak berapa lama, si kumbang wus sudah bisa menangkap si lemut. “Wah apes aku jaga”, ujar lemut sambil nyengirlangsung bergerak, memburu teman-temannya. Berhubung mengejar kupu dan kumbang tidak berhasil, si lemut lalu ngarah si cecak. Sejurus kemudian, cecak tertangkap. “Iyoh, kalau Cuma berjaga gini siapa takut”, si cecak berucap. Seperti kupu, kumbang dan lemut tadi, si cecak langsung beraksi mengejar teman- temannya. Akan tetapi sial bagi si cecak, yang dikejar berhamburan, terbang sejauh-jauhnya dan setinggi- tingginya. Setiap kali cecak mendekat, semua kabur. Dan setiap kali itu pula, kupu, kumbang dan lemut mengejek si cecak, “Gak kena, gak kena yeee. Salah sendiri gak bisa terbang yeee”. Begitu dan seterusnya sampai berulang-ulang. Lama kelamaan, karena badan capek mengejar tidak juga berhasil, cecak mulai emosi. “Lama-lama, ucapan kalian membuat merah telingaku”, pikirnya. “Salah sendiri gak bisa terbang yeee”, teman- temannya terus saja mengejek si cecak tanpa peduli bahwa si cecak mulai kesal. Sekonyong-konyong, si cecak tiba-tiba berdiri mematung, tanpa bergerak, tanpa bersuara. Teman-temannya terbang mendekat dan mengelilingi si cecak sambil kebingungan namun tetap tidak berhenti mengeluarkan kata-kata ejekan. Begitu si lemut terbang tidak karuan di depan mulut si 8

Kisah Sang Petani Hati cecak, tanpa dinyana-nyana, si cecak membuka mulut dan memangsa si lemut. Si lemut lenyap seketika, masuk ke perut si cecak. Kupu dan kumbang mengira bahwa si cecak bercanda; mereka tetap tertawa-tawa sambil meneruskan ejekan mereka. Begitu si kumbang terbang di dekat mulut si cecak, si cecak langsung serta merta setengah melompat sambil membuka mulut, HAP!!!! Si kumbang juga masuk ke perut Demikian juga si kupu, tidak mengira sama sekali bahwa si cecak murka, si kupu juga ditangkap dan dimangsa oleh si cecak. “Rasakan kalian, tertangkap kalian semua”, pikir si cecak puas. Sejak saat itu, cecak dan anak turunnya, memangsa apa saja yang bergerak di depan dan di dekat mulut mereka. Itu semua berawal karena kupu, kumbang dan lemut mengejek si cecak terus menerus tanpa memikirkan akibatnya”. “Wooo baru tahu kalau itu sejarahnya kenapa cicak makan serangga yang bergerak”, Narto menyimpulkan. “Ya aslinya Pakde juga gak tahu, tapi paling tidak kamu tahu sekarang, jangan suka mbebeda, mengganggu teman-temanmu. Kalau bercanda, pakai Batasan, pakai ukuran. Jangan sampai kayak si cicak dan teman-temannya lho”, sambung Kang Moyo. “Nggih Pakde, matur nuwun Pakde. Besok cerita lagi ya”, Narto mengiyakan. -=⌘=- 9

Akhir Adalah Awal “Kang, sudah tidur Kang?” tanya Wito. “Ngantuk je To, lha wong tadi seharian mbabati kebun pisang di tempat Pakde Darso. Jadi ronda kali ini memang ngantuk aku”, jawab Kang Moyo sambil ‘klakepan’ - menguap. “Lho kok dibabat Kang? Pohon pisang sebanyak itu?” Wito heran. “Kena penyakit To, virus”, jelas Kang Moyo. “Weh punya virus juga tanaman pisang, kayak kita manusia saja”, kelakar Wito. “Iya To. Yang sudah menua, sudah berbuah, buah­ nya busuk. Yang baru ‘ngontel’, mulai berbunga, daun­ nya mengering. Yang baru tunas, ya tidak sempat besar, sudah alum - layu”, lanjut Kang Moyo. “Apa ndak bisa diobati ta Kang?” Wito menimpali. “Sudah dicoba ‘sembarang lir’ - berbagai hal. Diobati yang mulai ada tanda tandanya. Dipotong bagian yang sudah kering. Dipindahkan, bahkan diganti tunas baru. Tetep saja je To. ‘Wis nganti judheg’ mikirnya”, kata Kang Moyo. “Jadi satu-satunya jalan dibabat ya Kang?”, sahut Wito sambil ‘manthuk-manthuk’ menyimpulkan. “Lebih dari itu To. harus dibabat habis, dicabuti akar- akarnya, terus tanah dipaculi, dibalik, terus dibiarkan beberapa waktu”, tambah Kang Moyo sambil melinting tembakaunya.

Kisah Sang Petani Hati “Waaa habis-habisan no. Terus ndak ditanami lagi?” Wito bingung. “Ya ditanduri. Entah tanaman lain yang lebih tahan penyakit. Atau kalau harus pisang, ya cari tunas yang sehat betul, dicoba satu dua dulu”, Kang Moyo melanjutkan sambil menyulut lintingan tembakaunya. “O begitu ya. Apa semua tanaman harus begitu ya Kang?” tanya Wito. “’Aja kok tanduran’ - jangankan tanaman, manusia pun mungkin begitu”, gumam Kang Moyo. “Lho manusia juga?” Wito tambah bingung. “Ya sekarang dilihat saja. Yang sudah tua, masih saling berburu memenuhi nafsu, berburu harta lah, kekuasaan lah. Yang muda ya niru yang tua. Sibuk menginjak yang lain supaya kesempatan mereka lebih besar untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Yang masih kecil, karena yang tua sibuk memenuhi nafsu mereka, ya belajar dari apa yang mereka dengar dan lihat”, Kang Moyo berpanjang lebar. “Wah betul kabeh itu Kang. Semua bervirus. Berarti harus dibabat habis? Dibalik tanahnya ya Kang?” Wito mencoba menyimpulkan. “Ya siap-siap wae To, sing duwe kebon mesthi wis weruh, kari nunggu wektu kapan rawuh njur mbabati kabeh. Yang punya kebun pasti sudah tahu, tinggal menunggu waktu kapan datang dan membabat semuanya”, ujar Kang Moyo sambil memainkan asap 11

Kisah Sang Petani Hati rokoknya. “Wooo, ‘meden-medeni’ - menakut nakuti Kang Moyo ini”, Wito tergetar. “’Kasunyatan pancen kadhangkala nggegirisi’ - kenyataan memang kadang mengerikan”, sahut Kang Moyo. Semua terdiam kecuali sang jangkrik yang sibuk mengerik. “Siap ora kira-kira awakmu To?” tanya Kang Moyo. “Lha ya tidak siap kalau mau diakhiri?” sahut Wito cepat. “Kan supaya bisa diawali lagi”, lanjut Kang Moyo. “Masalahnya apa saya bisa ikut di awalan yang baru itu Kang”, tukas Wito. “Ya itu urusan pribadi masing-masing, To. Wis yo diakhiri ronda ini, biar bisa mengawali tidur kita”, canda Kang Moyo. “Lagi serius malah guyon. Ayolah!” Wito sebel. Dan Kang Moyo tersenyum. -=⌘=- 12

‘Anut Grubyuk’–Ikut - ikutan “Duh ketiwasan Kang Moyo, apes kita,” seru Jiwo seraya begitu saja masuk ke rumah Kang Moyo tanpa permisi. “Ada apa ta Jiwo? Kok tanpa ba bi bu, tanpa kula nuwun, langsung bengok–bengok–teriak teriak begini” ucap Kang Moyo gusar. “ Iya Kang, nyuwun pangapunten, maaf. Semalem kan hujan deras pakai angin gedhe,” ujar Jiwo berapi– api. “Iya terus ngapa?” seru Kang Moyo tidak sabar. “Lha tadi pagi, saya kan buru–buru ke sawah kita untuk memeriksa tanaman kita. Dan apesnya, tanaman padi kita habis rebah semua. Cuma sedikit saja yang bertahan tegak berdiri,” lanjut Jiwo sedih. “Wo lha ketiwasan tenan ta. Apes betul kita. Padahal sebentar lagi padinya ‘merkatak’, mulai berbuah dan berisi,” sahut Kang Moyo menimpali si Jiwo. “Jan pokoknya habis kita kali ini Kang,” tambah Jiwo, “Ayo Kang, mari kita ke sawah, biar Kang Moyo melihat sendiri apa yang terjadi pada tanaman padi kita.” “Ya, sebentar, kuambil caping dan paculku dulu,” jawab Kang Moyo. Baru saja Kang Moyo dan Jiwo melangkah sampai

Kisah Sang Petani Hati ke teras rumah, tiba–tiba terdengar suara hujan deras mengharu biru di kejauhan. Mula–mula suaranya sayup sayup, lama kelamaan mengeras dan dalam sekejap hujan deras disertai angin membasahi seluruh kampung. “Wah, gak jadi Wo, hujan deras begini,” Kang Moyo berseru keras agar suaranya didengar Jiwo. “Iya Kang. Makin hancur lah padi kita. Cadangan sumber makanan kita–pisang berbagai jenis yang kita tanam di sepanjang pematang sawah sepertinya tidak bisa kita harapkan. Rata–rata ikut rebah juga,” keluh Jiwo. “Ya nasib kita Wo. Besok kita bersihkan padi– padi kita, kita tanam ulang, kalau memang tidak bisa diselamatkan,” jawab Kang Moyo tenang, sambil mulai melinting tembakaunya. “Mbokmuuu, bikinkan teh buat ku dan Jiwo yaaaa” tiba–tiba Kang Moyo berteriak. Teriakannya mengalahkan suara hujan angin yang terus mengguyur. “Kene Wo, duduk di sini balai–balai sini saja,” ajak Kang Moyo. “Ya Kang,” sahut Jiwo lemas. “Wis Wo, ora usah dipikir jero–jero. Petani ya begini ini,” Kang Moyo mencoba menenangkan Jiwo yang terlihat terpukul. “Kene tak critani.” “Kejadian seperti ini kan bukan yang pertama kali kita alami. Bahkan sejak jaman nenek moyang kita. 14

Kisah Sang Petani Hati Bahkan dalam buadaya Jawa sampai ada pepatah yang mengatakan ‘Suk suk pari ambruk’ dan ‘Rubuh rubuh gedhang (pisang)’. Keduanya menggambarkan orang yang tidak punya pendirian sendiri dan cenderung ikut–ikutan saja,” lanjut Kang Moyo. “Iya Kang, saya juga pernah dengar pepatah itu,” timpal Jiwo. “Tapi apa hubungannya dengan keapesan kita ini?” “Padi itu kan akarnya memang kurang kuat, kurang banyak, kurang besar dan kurang menyebar. Jadi ya kena apa–apa sedikit saja, angin misalnya, bisa langsung rebah. Pisang juga begitu. Batang pisang bisa besar, namun akarnya sedikit, kurus dan tidak menyebar luas. Ditambah dengan daunn­ya yang panjang dan besar yang ditopang dahan yang kurang kuat, makin mudahlah pohon pisang digoyahkan angin,” lanjut Kang Moyo. “Bandingkan den­gan pohon cema­ ra, atau pohon beringin. Batangnya besar, dahann­ ya kuat. Daunnya pun kecil– kecil, walaupun banyak. 15

Kisah Sang Petani Hati Akarnya kuat, dan menyebar ke mana–mana. Biarpun angin lesus menerjang pun jarang sekali pohon jenis ini rebah, kalau bukan karena sebab lain.” “Iya ya Kang,” jawab Jiwo, yang sepertinya sudah mulai bersemangat lagi. “Kok memper, mirip dengan jaman sekarang ini ya?” “Memper bagaimana Wo?” tanya Kang Moyo. “Kalau akar itu simbol pendirian, pemikiran diri sendiri, orang jaman sekarang kok kayak padi atau pisang itu. Pendiriannya lemah, pemikiran diri sendiri juga cupet alias sempit. Tidak terbiasa nggelar nggulung kahanan, tidak membiasakan diri memikirkan dan menganalisa sesuatu. Akibatnya kena angin sedikit, kena isu sedikit, ditiup–tiup sedikit, satu goyah, semua ikut goyah, satu rebah semua ikut rebah. Sedikit–sedikit rebut, ricuh, berisik. Sama juga dengan tanaman orok orok kering, kena angin sedikit saja berisik semua,” jelas Jiwo. “Wuehhhhh, prunanku juwarahhh. Wis titis, sudah tajam melihat keadaan. Kaliber tenan pemikiranmu, Wo. Bener satus persen. Wong jaman saiki rata–rata mung ela elu, ikut–ikutan. Disuruh mikir sedikit saja, sudah panjang lebar keluh kesahnya. Hampir semua sudah makan sekolahan, namun tidak banyak yang mau terus belajar, mencari informasi sendiri dan memikirkan makna dan gunanya. Selebihnya, maunya 16

Kisah Sang Petani Hati ‘nyadhong’, terima jadi. Akhirnya ya cuma ikut–ikutan itu tadi. Mantep analisamu Wo,” seru Kang Moyo berbinar–binar melihat kebijaksanaan Jiwo. “Yah, sedikit banyak ya berkat ikut Kang Moyo juga, yang terbiasa ngular–ulari, memberikan ide, pendapat dan pertimbangan buat saya,” aku Jiwo malu–malu. “Pokoke sudah temuwa kamu sekarang, sudah bisa dituakan,” tambah Kang Moyo. “Sudah lah Kang, jangan bikin saya malu dan besar kepala. Saya tak ikut bantu Yu Moyo saja bikin teh di dapur,” sahut Jiwo seraya melangkah menuju ke dapur. “Iya uwis kana. Jangan lama–lama ya,” jawab Kang Moyo. “Bener–bener sudah punya pemikiran hebat sendiri anak itu,” pikirnya. -=⌘=- 17

Balada Seorang Buruh Kang Moyo, Sang buruh tani termenung di ping­ giran sawah tuannya. Ia sibuk memeras otak mencari akal bagaimana memenuhi permintaan mandornya. Mandornya meng­ inginkan beras di gudangnya penuh dalam waktu yang lebih cepat. “Aku bisa mengatur kondisi tanah dan jumlah air yang masuk ke sawah garapan ini. Tapi bagaimana dengan kondisi udara, cuaca dan sinar matahari yang juga dibutuhkan tanaman padiku?” “Ah, kalau saja mandorku tahu bahwa beras berasal dari gabah, bahwa udara dan matahari tidak bisa kuatur, bahwa menanam padi dari biji hingga panen butuh waktu 4–6 bulan”, sang buruh tani berandai andai. “Semua ini sebenarnya tidak menjadi masalah, kalau saja mandorku mau sekedar berkunjung ke sawah, dan mengobrol dengan kami para buruh tani”, sambungnya. Tapi apalacur, sekuat apapun ia menggarap sawah, sebanyak apapun ia tahu tentang menanam padi, ia hanyalah sang buruh tani–yang ilmu, cinta dan mimpi­ nya tidak berarti. Dan sepertinya bukan hanya buruh tani yang mengalami hal seperti ini. -=⌘=-

Belajar dari yang Terdidik “Pak, aku arep crita, aku mau bercerita”, kata Ito, anak Kang Moyo sore itu. “Ya bab kerjaanku kemarin ta Pak, nglatih guru. Tapi jangan disela ya”, lanjut Ito. “Siap denbagus”, canda Kang Moyo. “Ngene Pak, pagi itu aku diundang untuk memfa­ silitasi sebuah pelatihan bagi para guru sekolah dasar di satu kota. Sebelumnya beberapa pembesar di dinas pendidikan sudah pernah menghadiri sesiku dan menilai bahwa semua guru perlu belajar tentang hal hal yang aku sampaikan kala itu. Pelatihan diselenggarakan di tempat yang menu­ rut­ku sangat nyaman, dengan kursi yang empuk, ruangan yang lega, serta pengatur suhu ruangan, masih didukung pula dengan fasilitas penunjang yang lengkap. Singkat kata, dengan sarana, prasarana dan fasilitas yang memadai, pelatihan berjalan dengan sangat baik, kalau tidak boleh memakai kata sempurna. Namun, kepuasan yang biasanya aku dapat dari memfasilitasi sebuah pelatihan perlahan lahan berkurang, setelah aku mendengarkan komentar para peserta pada saat makan bersama di akhir acara. ‘Tidak ada pengganti uang transport’ kata satu perwakilan peserta mengeluh. ‘Biasanya ada uang duduk’ kata

Kisah Sang Petani Hati yang lain. Komentator silih berganti, namun tidak ada satu pun yang mengomentari tentang jalan dan isi pelatihan. Bahkan satu komentator berani mengatakan, “Enak fasilitatornya lah, dibayar mahal, lha kita?” Astaga, aku bahkan mengeluarkan biaya sendiri untuk transport dan penggandaan materi. Aku langsung minta ijin pulang, walau perut masih kosong. Dalam perjalanan pulang, aku memutuskan untuk singgah di warung pinggir jalan langgananku. Sebuah warung super sederhana, dengan masakan sederhana yang dimasak dengan kayu. Minum teh di warung ini selalu mampu menyegarkan otakku, apalagi bisa bertemu dan ngobrol bersama tukang becak, pengamen, tukang parkir ataupun ‘blandhong’ (tukang tebang pohon dan bersih bersih kebun). Saat itu sudah lepas makan siang, warung sudah agak sepi. Hanya beberapa ‘blandhong’ saja yang terlihat melepas penat. Sambil menyeruput teh nasgithel (panas legi - manis kenthel - kental) ku, aku memperhatikan para ‘blandhong’ tersebut. Dengan penghasilan mereka yang tidak menentu (kadang dapat kadang tidak), mereka tidak berani memesan nasi lengkap dengan lauknya. Hari itu, keempat ‘blandhong’ yang ada di warung memesan nasi putih dan sayur. Mereka melahap semuanya itu dengan nikmat dan lahap. Bukan kali pertama aku melihat pemandangan seperti ini. Kemarin, di warung ini, aku bertemu seorang 20

Kisah Sang Petani Hati pengamen tua yang mahir memainkan ‘siter’, melahap menu yang sama. Hari sebelumnya, tukang becak. Dan sebelumnya lagi, pemulung. Aku iba. Sengaja aku menunggu warung itu sepi. Lalu aku mendekati si pemilik warung. Setengah berbisik dan secara diam diam, aku mengulurkan lembaran uang satu satunya yang ada di dompetku kepadanya. “Lain kali mereka makan, kasih mereka lauk. Ini untuk mengganti lauknya. Nanti kalau sudah habis, aku 21

Kisah Sang Petani Hati kasih lagi. Tetapi jangan bilang dari aku ya”, bisikku. Si pemilik tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Seminggu setelah hari itu, aku kembali makan di warung itu. Terkejutlah aku. Begitu masuk, aku mendapatkan tepuk tangan dan disalami oleh banyak orang. “Sejak kapan aku jadi selebriti?” pikirku. Rupanya, para ‘blandhong’, tukang becak, dan pengunjung tetap warung tersebut mengetahui apa yang telah kulakukan. Aku tidak tertarik mencari tahu siapa yang membocorkan informasinya, tetapi aku bahagia tidak terkira melihat betapa mereka sangat mampu mensyukuri apa(pun) yang telah mereka dapat. Aku sangat berterima kasih kepada Mbak Slamet, Lik Kerto, Pakdhe Puji, Mas Darto, Wo Gino dan teman teman yang sudah menunjukkan kepadaku siapa yang lebih terdidik”, Ito mengakhiri cerita. “Wah jian elok ceritamu, bapak seneng banget saiki anakku wis dewasa”, komentar Kang Moyo. “Anake sapa sik, anak siapa dulu”, kekeh si Ito. “Anake Mbokmu, hahaha”, canda Kang Moyo. -=⌘=- 22

Belajar Dari Si ‘Blandhong’ “Weh, Ening sak kanca, tumben kumpul-kumpul malam-malam begini”, kata Kang Moyo kepada anaknya Ening dan tiga orang temannya. “Iya Pak, ada tugas sekolah, besok dikumpul”, jawab Ening. “Nggih Lik, tapi sudah selesai ini, tinggal beres- beres”, sambung Gendhuk, anak Kang Mitro tetangga sebelah. “Dilanjutkan juga tidak apa-apa. Tugas apa ta?” lanjut Kang Moyo. “Cuma disuruh nulis cerita Lik’, jawab Lita, anak Kang Tondo. “Tapi ngomong-omong tentang cerita, bapak pernah berkata Lik Moyo ini rajanya cerita, punya banyak cerita. Ayo dong Lik, berbagi ceritanya”. “Wee, malah ditodong aku. Ya wis, mari sini. Toh kalian sudah selesai. Sambil istirahat, minum teh, tak ceritai”, jawab Kang Moyo. “Asyikkkk”, seru Ening dkk serentak. “Begini”, Kang Moyo memulai cerita. Pada suatu hari, seorang ‘blandhong’ alias penebang kayu melamar pekerjaan di tempat seorang juragan kayu bakar di desanya. Sang juragan mengatakan bahwa sebelum menyatakan menerima atau menolak lamaran, ia harus menguji dulu kemampuan si ‘blandhong’.

Kisah Sang Petani Hati Maka ia pun setuju untuk menjalani pengujian selama 5 hari kerja, mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore dikurangi 1 jam istirahat setiap harinya. Pada hari pertama, si ‘blandhong’ bekerja dengan sepenuh hati dan segenap semangat, membelah kayu dengan telaten. Di penghujung hari, si ‘blandhong’ mampu mendapatkan 20 tumpukan kayu. Hari kedua pun tidak terlalu berbeda. Si ‘blandhong’ tetap bekerja dengan sebaik baiknya. Di penghujung hari, namun berbeda dengan hari sebelumnya, jumlah tumpukkan kayu berkurang 1, yaitu 19 tumpukan. Hari ketiga pun, si ‘bland­ hong’ tidak mengurangi se- mangatnya. Namun, walaupun bekerja sama kerasnya, si ‘blandhong’ mendapatkan 18 tumpukan, berkurang 1 lagi dari tumpukan hari sebelumnya Dan begitulah seterusnya, setiap hari tumpukan kayu berkurang satu 24

Kisah Sang Petani Hati walaupun si ‘blandhong’ tidak pernah mengendorkan semangatnya; sehingga di akhir minggu si ‘blandhong’ hanya mampu menghasilkan 16 tumpukan kayu. Di akhir minggu, sang juragan menemui si ‘blandhong’ dan bertanya,”Apakah kamu tahu menga­ pa tumpukan kayu hasil kerjamu berkurang setiap harinya?” Si ‘blandhong’,” Saya bingung, padahal saya bekerja sama kerasnya setiap hari”. Sang juragan menghela nafas dan berkata,”Apakah kamu pernah mengasah kapakmu selama seminggu ini?” “Tidak pak, saya tidak sempat, saya ingin menda­ patk­ an hasil yang maksimal setiap harinya”, jawab si ‘blandhong’. “Kalau begitu, aku tidak bisa menerimamu bekerja di tempatku ini. Kamu mengandalkan semangatmu. Itu baik; namun kala kapakmu tumpul dan kamu mendapatkan hasil yang sedikit, apakah kamu bisa hanya mengandalkan semangatmu?” Kang Moyo mengakhiri dengan pertanyaan. “Bisa nggak Ning? Sinau modal semangat thok?” tanya Kang Moyo sambil nyeruput tehnya. Dan Ening dkk masih terkesima dengan cerita Kang Moyo. -=⌘=- 25

Bertanamlah, ‘Nandur’ Apa Terserah Matahari belum sempat merekah, namun Kang Moyo dan Yu Moyo sudah terlihat berjalan menyusuri pe­matang sawah di pinggir desa. Hari ini mereka beren­ can­ a menanam beberapa batang pisang di pematang sawah mereka. “Kene Pak ne, kita duduk sini dulu. Sarapan dulu,” sua­ ra Yu Moyo memecah kebisuan. Pagi itu memang mereka berencana sarapan di dangau di dekat sawah mereka. “Iya Bu ne, masak apa tadi? kok sepertinya ‘gasik’ pagi banget sudah sibuk?” sahut Kang Moyo. “Iya, ini bikin puli ketan sama tempe bacem. Karena bu­tuh waktu agak lama, makanya mulai agak ‘gasik’ tadi”, lanjut Yu Moyo sambil mengeluarkan beberapa bungkusan dari bakulnya. “Wooo setimewa ta sarapan pagi ini?” seru Kang Moyo semangat. “Iya, ini Pak ne, “sugeng tanggap warsa” - selamat ulang tahun, ya!” Yu Moyo mengulurkan daun jati berisi beberapa potong puli ketan dan tempe bacem. “Waaaa, lha aku sendiri malah lupa je Bu ne. Matur nuwun ya”, jawab Kang Moyo terharu. “Iya Pakne, nyuwun pangapunten ora tau isa nya­ o­si apa-apa, ya cuma begini ini saja”, sahut Yu Moyo sambil memegang pipi suaminya.

Kisah Sang Petani Hati “Ini malah setimewah je. Wis yo sarapan bareng”, tukas Kang Moyo sambil ‘ngemplok’ - melahap pulinya. “Pakne, itu yang di ‘iring lor’ - sisi utara itu sawah siapa ta, kok sudah dikeringkan dan ada pondasinya?” tanya Yu Moyo sambil menunjuk ke sebidang sawah. “Weh iya ya, aku malah tidak memperhatikan. Itu kan punya Si Muh, anaknya Mbah Carik. Sudah mulai seperti yang lain ya? Ditanami batu”, sahut Kang Moyo. “Lha sekarang memang lebih menguntungkan bertanam batu, bangun rumah daripada bercocok tanam seperti kita ini Pak ne”, Yu Moyo menimpali. “Ya, bertanam batu, jadi rumah, berharga mahal. Lalu suatu saat nanti rumah jadi tua, rusak, roboh dan yang tersisa hanyalah reruntuhan, ‘muspra’ - sia- sia”, Kang Moyo ngedumel. “Mbok nandur pohon, bertumbuh, berkembang, migunani, bahkan saat sudah tua dan roboh, sisanya membusuk, menggemburkan tanah, memberi kesempatan untuk makhluk lainnya untuk tumbuh dan berkembang”. “Iya, persis itu Pak ne. Sekarang orang lebih suka nandur duit, panen duit. Besok kalau sudah mati, duit sak lumbung ya tidak ada gunanya ta bagi yang mati?” Yu Moyo ikut nggrundel - ngedumel. “Betul kuwi Bu ne. Kok ora nandur budi baik, kabe­ cik­an, dan ngelmu saja ya? Apes e sampai matip­ un budi baik akan dikenang dan ilmu akan terus berkem­bang, 27

Kisah Sang Petani Hati berguna untuk kehidupan walaupun kita sudah mati”, Kang Moyo berpanjang lebar. “Wis Pak ne, ndak usah dipanjang-panjangkan. Merus­­ak kenikmatan puli tempe ne lho”, tukas Yu Moyo. Kang Moyo hanya mengangguk-angguk mengiya­ kan sambil tersenyum tanpa mampu bersuara. Mulutnya penuh puli tempe nikmat buatan istri tercintanya. -=⌘=- 28

Cipratan Lumpur di Tubuh Sang Petani Mentari masih enggan menyapa, namun lang­ kah kaki Kang Moyo sudah terdengar menapaki pematang ladang garapannya. Sejengkal tanah sudah dipercayakan oleh Ndara Wedana untuk ia garap sejak beberapa tahun yang lalu. Sejengkal tanah yang lalu ia garap bukan sekedar untuk mengisi periuk nasi di rumah, namun menjadi tempatnya mencurahkan segenap akal budi dengan harapan untuk setidaknya membantu warga kampung yang membutuhkan hasil ladangnya. Tidak seperti cerita–cerita di dongeng tentang indahn­ya suasana dan kehidupan petani, pekerjaan Kang Moyo dipenuhi kucuran peluh dan cipratan lumpur, bahkan tidak jarang tetesan darah dan air mata. Dan pagi ini pun sama. Begitu menapaki ladang, kakinya sudah disambut duri dan kerikil tajam. Kang Moyo hanya meringis, mencabut duri dan mengusap darah di telapak kakinya, lalu melanjutkan menghela bajaknya. Beberapa langkah berlalu, kerbau bajaknya sudah ‘menghamburkan’ kotorannya ke tubuh Kang Moyo, disusul oleh cipratan– cipratan lumpur dari kaki sang kerbau. Perih dan darah di kaki, aroma tahi dan hiasan lumpur di badan, lengkap sudah hiasan hari Kang Moyo. Namun Kang Moyo tidak berhenti.

Kisah Sang Petani Hati Kang Moyo tidak akan berhenti pada setiap tusukan duri dan kerikil, pada setiap cipratan kotoran dan lumpur. Kang Moyo tidak berhenti dan sibuk merawat setiap luka, tidak berhenti dan sibuk membersihkan setiap cipratan lumpur dan kotoran. Kang Moyo tidak akan berhenti, karena ialah Kang Moyo, Sang Petani yang menggarap lahan sepenuh hati. Kang Moyo Hati tidak berhenti pada cibiran, cercaan, cemoohan, kritikan dan makian, dia akan tetap melanjutkan karyanya. Kang Moyo Hati tidak berhenti karena dia percaya bahwa hanya yang keluar dari hati akan mampu menyentuh hati yang lain. -=⌘=- 30

‘Galengan’ yang Licin Sore itu Kang Moyo selerti biasa sedang bekerja di sawahnya. Setelah kemarin dapat giliran air irigasi, hari ini Kang Moyo sibuk membuat ulang pematang sawahnya. Pematang sawah dibutuhkan untuk memberi tanda yang tegas antar lahan sawah sekaligus untuk menahan air agar tetap menggenangi lahan sawah yang dikelilinginya. Saat Kang Moyo sedang sibuk merapikan ‘galengan’ alias pematang sawah, Paidi, keponakannya melenggang berjalan pulang sambil menjinjing paculnya. “Diiii, mrene dhisik leee–ke sini dulu!” seru Kang Moyo. Paidi bergegas berjalan mendekati Paklik nya itu. “Bagaimana Lik Moyo? Ada apa?” kata Paidi. “Kesel ora? Capek nggak?” jawab Kang Moyo. “Belum Lik, cuma karena hari ini sawah bapak dapat giliran irigasi dan sudah selesai, saya mau pulang,” jelas Paidi. “Ada apa Lik?” “Ini bantu aku selesaikan ‘galengan’ ini, biar cepet rampung,” sahut Kang Moyo. “Oo siap Lik, enteng kalau cuma ini,” kata Paidi sambil melompat ke sawah Pakliknya.

Kisah Sang Petani Hati Sejurus kemudian, Kang Moyo dan Paidi tampak sibuk membuat ‘galengan’ di sekeliling sawahnya. Sebentar ‘galengan’ sudah selesai dikerjakan, rapi dan terlihat kokoh. “Wis le, matur nuwun ya. Sudah ahli kamu memain­ kan paculmu,” puji Kang Moyo. “Lha wong tiap hari pekerjaannya mengayunkan pacul Lik,” jawab Paidi merendah. “Ya wis, yo kita pulang, keburu senja nanti,” ajak Kang Moyo sambil menapaki pematang sawah barunya. “Siyap kumendannn,” canda Paidi sembari mengikuti langkah Kang Moyo. Baru beberapa langkah berjalan, Kang Moyo terpeleset lumpur pematang sawahnya sendiri. Badan Kang Moyo tercebur lagi ke sawah. “Lik, ati-ati Lik,” seru Paidi “ walau terlambat. “Wah malah ‘gluprut’ Hidup penuh lumpur aku memang harus jadinya,” sahut Kang punya pegangan kuat Moyo. Seluruh baju kalau gak mau sering dan celana Kang kepleset jatuh Moyo penuh lumpur, bahkan hingga separuh ” wajahnya. 32

Kisah Sang Petani Hati “’Galengan anyar’, pematang baru memang licin Lik, apalagi tidak ada yang bisa dipakai buat pegangan,” komentar Paidi. “Ya begini kalau berjalan di jalan licin tanpa pegang­ an kuat ya Di,” lanjut Kang Moyo sambil membersihkan badannya di parit. “Ya lik, hidup memang harus punya pegangan kuat kalau gak mau sering kepleset jatuh,” celetuk Paidi. “Iya ya Di, apalagi dunia sekarang makin licin. Pinter kowe Di,” sambung Kang Moyo. “Sudahlah Lik, nanti dibersihkan di rumah saja,” Paidi menyudahi. “Iya, ayo Di,” tutup Kang Moyo. -=⌘=- 33

Guru–Petani Yang ‘Gemati’ Sore itu, Kang Moyo seperti biasa beristirahat di bawah pohon depan rumahnya. Ditemani segelas teh tubruk dan puli ketan, Kang Moyo beristirahat sambil ‘rengeng-rengeng’–menteh menembangkan lagu-lagu ‘Gambuh’ yang penuh filosofi. Sejurus kemudian, tiba- tiba Darto, anak Lik Merto, saudara jauh Kang Moyo melintas dengan sepeda onthelnya. “Toooo, mampir leeee’, teriak Kang Moyo. Mendengar teriakan tersebut, serta merta Darto membelokkan sepedanya ke rumah kerabatnya itu. “Wahhh sore-sore ngeteh enak, cemilan enak Kang, sueger tenan”, seru Darto. “Iya To, lha mau apa lagi kalau sudah begini ini. Mau ke mana kok nggak pakai tengok-tengok”, lanjut Kang Moyo. “Mau ke tempat Giyono, mau bikin tugas kuliah bareng”, jawab Darto. “O begitu. Sudah mau lulus belum kuliahe?” tanya Kang Moyo. “Sekolah calon guru itu rata-rata 4,5-5 tahun Kang. Lha saya baru 2,5 tahun, masih tangeh–masih lama”, Darto menjawab. “Begitu ta. Bapakmu sehat ta?” lanjut Kang Moyo. “Sehat Kang. Cuma lagi ‘judheg’–bingung saja

Kisah Sang Petani Hati dengan tanaman padi di ladang yang tidak begitu baik”, jawab Darto pelan. “Lha wong dulunya itu ladang buat tanaman palawija kok ya”, tukas Kang Moyo. “Lho kan punya Kang Moyo juga masih satu desa, padinya bagus terus. Harusnya kan sama saja”, Darto gusar. “Lain To. Tergantung jenis dan kondisi tanahnya. Barat kampung kita ini, tanahnya keras, lebih cocok untuk tanaman singkong. Di timur, sekitar bukit itu, tanahnya ‘gragalan’ berbatu-batu, lebih cocok untuk tanaman keras. Pinggir sungai dekat rumah Lik Noyo itu, tanahnya lembut dan berlumpur, cocok itu buat padi. Jadi bukan semua-semua lantas ditanami padi”, jelas Kang Moyo. “Wah hapal banget Kang Moyo ini. Tapi kata- kata Kang Moyo ini mengingatkan saya pada kuliah kemarin. Kata dosen saya, setiap bocah punya potensi masing-masing, jangan lantas semua disamakan dan diberi target belajar yang sama”, sela Darto. “Betul itu.Tugas petani mengenali tanaman apa yang sesuai, bukan memaksakan menanam ‘sakarepe dhewe’–seenaknya sendiri. Setelah itu, membantu mengkondisikan lahan agar si tanaman bertumbuh berkembang berbuah berhasil. Membajak tanahnya, mengairi, memupuk, menyiangi dst. Mengkondisikan lingkungane ya, bukan memutuskan tumbuh tidaknya 35

Kisah Sang Petani Hati si tanaman. Pokoknya bagaimana caranya membuat kondisi lahan ideal untuk si tanaman. Setelah itu ya pasrah sama bumi pertiwi dan Sing Gawe Urip”, lanjut Kang Moyo serius. “Wuih, persis kayak dosen saya Kang Moyo ini. Jadi makin mirip ya si petani dengan guru. Tugas guru ya membantu bocah mengenali potensi, lalu menciptakan kondisi dan kesempatan supaya si bocah bisa mengembangkannya”, canda Darto. “Hush kamu itu To. Lha wong saya ini sekolah tidak sampai mana-mana kok. Tapi aku setuju itu. Ya pokoke besok kalau jadi guru, sama dengan jadi petani gini ya To. Sing sabar, telaten dan ‘gemati’–penuh kasih sayang”, nasehat Kang Moyo. “’Gemati’–cocok itu, siap Kang. Sudah dulu ya Kang, teman-teman menunggu saya”, pamit Darto. “Ya wis kana. Ngati-ati ya”, sahut Kang Moyo. -=⌘=- “ Setiap bocah punya potensi masing-masing, jangan lantas semua disamakan dan diberi target belajar yang sama ” 36

Hari Pendidikan, Jangan Berhenti Bertani Seperti biasa, pagi-pagi betul Kang Moyo sudah memanggul cangkul sambil mengayuh sepedanya. Seperti biasa, jalanan masih sepi, hanya kabut tipis dan dinginnya pagi yang menemani Kang Moyo. Namun, tiba-tiba kedamaian itu diganggu oleh suara kendaraan bermotor. “Eh, Pak Guru Mitro rupanya, berangkat ke sekolah Pak Guru?” sapa Kang Moyo renyah. “Nggih Kang, kebetulan hari ini Hari Pendidikan Nasional, jadi saya agak mruput, lebih pagi”, sahut Pak Guru. “Masih ada waktu sarapan dulu boten Pak Guru, ini lho teh sama jadah tempe bikinan mbok wedok”, sambung Kang Moyo sambil menunjuk ceret dan bungkusan di boncengan sepedanya. “Wa ya itu sulit ditolak Kang”, seru Pak Guru sambil memarkirkan motornya. “Ya wis, mari Pak Guru, duduk di gubuk dekat sawah situ”, Kang Moyo menyahut seraya menurunkan muatan di boncengan sepedanya. Dan setelah segelas teh manis siap, obrolan pun dimulai.

Kisah Sang Petani Hati “Bagaimana kabar sawah Kang Moyo?” Pak Guru memulai sambil menyeruput tehnya. “Sawah Ndoro Sutrisno maksudnya? Saya kan cuma penggarap. Tapi saya pikir Ndoro pasti pusing, stres”, keluh Kang Moyo. “Lho kok stres? Kenapa Kang”, Pak Guru ingin tahu. “Lha piye Pak Guru. Negara meminta kami para petani untuk giat bertani. Istilahe Ndoro Gubermen, supaya swasembada pangan. Ning coba panjenengan lihat. Kiri kanan sawah dibanguni ‘gedhong-gedhong’, dibeteng dhuwur, ditanduri watu ro semen. Kami mau mengalirkan air ke sawah susah, terhalang gedung- gedung itu. Belum mereka buang sampah ke sawah kami. Belum lagi pas mau mupuk nanti, pupuke ilang, kalaupun ada, harganya setengah mati. Lalu sudah susah payah menanam, pas masanya panen, harganya anjlok. Kematian kami ini sudah digariskan dan itu sudah dekat, kalau kondisi seperti ini terus”, Kang Moyo mengomel panjang lebar. “Weh, kok entek golek kurang amek Kang Moyo ini mengomelnya puanjang”, sela Pak Guru, “Pakai mau mati segala. Mbok sareh sedikit Kang Moyo”. “Nyuwun pangapunten Pak Guru, maafkan saya. Malah jadi kebablasan saya berkeluh kesah. Tapi memang berat jadi petani jaman sekarang. Pasti jauh lebih enak jadi guru seperti panjenengan”, Kang Moyo bergumam. “Enak piye ta Kang Moyo. Kami para guru ini dituntut mendidik dengan luar biasa. Memperbaiki 38