Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore TIR 2021

TIR 2021

Published by yitnopg, 2021-10-18 05:15:17

Description: TIR 2021

Search

Read the Text Version

Step-by-step Approach in Patient with Low Back Pain Ketika kita mendapatakan pasien dengan nyeri pinggang harus dapat membedakan penyebab nyerinya, ada 2 tipe penyebab LBP yaitu inflammatory back pain dan Mechanical back pain. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, dapat dilihat pada gambar 4. 18,19, 20, 21 Gambar 4. Perbedaan dan jenis LBP4. 18,19, 20, 21 Diagnosis Dalam proses diagnosis LBP, Langkah pertama adalah kita harus mampu membedakan apakah masuk ke LBP spesifik atau Non Spesifik. Lihat gambar 5. Gambar 5. Algoritma diagnosis pada LBP17 Gambar 6 . Hubungan Biopsikososial nyeri 4 Faktor Risiko LBP 22,23 Langkah Langkah pendekatan tatalaksana LPB dimulai denngan anamnesa dan pemeriksaan 1. Kondisi Kesehatan yang buruk (seperti pada fisik, masukkan apakah pada pasien ada “red flag” seperti cancer, infeksi, fraktur, gangguan neurologis kelemahan otot punggung) dan penggunaan steroid. Bila ya maka kita dapat melakukan CBC, ESR, CT/MRI/EMG?NCV, HLA-B27, 2. Occupation/pekerjaan (pekerja berat, bone Scan , DEXA scan dan SPE kemudian di terapi sesuai dengan kondisinya. Apabila tidak ditemukan mengangkat, menarik, memukul) maka lakukan Physioterapi, analgesic dan NSAIDs, lakukan asessement ulang setelah 6 minggu. Bila 3. Gaya hidup (Meroko, kegemukan) gejala menetap lakukan pemeriksaan seperti diatas. 24 Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7. 4. Usia 5. Obesitas 6. Gangguan Psikologis Adakalanya nyeri berhubungan dengan kondisi psikologis dan sosial, hubungan Biopsikososial sangat erat pada nyeri. Hal itu tergambar pada gambar 6. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 43

Arief Nurudhin Fusion Surgey dan disk arthroplasty. Pada penggunaan terapi farmakologis, stepladder penangan nyeri dari WHO dapat digunakan.26,27,28 Lihat gambar 10. Gambar 7. Step by Step Approach 24 Gambar 10. Step ladder Nyeri WHO27,28 Tatalaksana pada Non-Spesifik LBP dapat mengikuti Langkah pada gambar 8. Berikan terapi Review Penggunaan Analgesia Dalam Pengelolaan farmakologis bila terapi nonfarmakologis gagal Nyeri 29 memberikan perbaikan. Terapi farmakologis yang 1. Pertimbangkan NSAID oral untuk mengatasi nyeri dapat diberikan adalah NSAID, Relaksan otot, Opiod (Bila nyeri tidak tertahanak dan harus hati-hati dalam punggung bawah, dengan mempertimbangkan penggunaannya). Paraceramol tidak dianjurkan potensi perbedaan dalam toksisitas sebagai terapi. 25 gastrointestinal, hati, dan kardiovaskular serta faktor risiko orang tersebut, termasuk usia. Gambar 9. Manjemen Non Spesific LBP 25 2. Pertimbangkan opioid lemah (dengan atau tanpa Terapi pada LBP meliputi Nonfarmakologis, parasetamol) untuk menangani nyeri punggung edukasi, terapi fisik dan rehabilitasi, penanganan bawah akut hanya jika NSAID merupakan psikologis. Terapi farmakologis dapat menggunakan kontraindikasi, tidak dapat ditoleransi, atau tidak paracetamol sebagai terapi lini pertama pada LBP efektif. akut dan kronis. NSAID non selektif dan Selektif COX-2 3. Jangan menawarkan opioid untuk menangani inhibitor Opioid, antidepressant, Antikonvulsan dan nyeri punggung bawah kronis. relaksan otot. Bila tidak dapat teratasi dapat digunakan 4. Jangan menawarkan parasetamol saja untuk terapi intervensi yaitu injeksi steroid epidural atau mengatasi nyeri punggung bawah. facet join intervension. Pembedahan pada tulang belakang dapat digunakan untuk beberapa kondisi, NSAID29 prosedunya meliputi Spinal decompressions, Spinla 1. Direkomendasikan secara konsisten pada 44 semua pedoman LBP, kebanyakan digunakan sebagai pilihan pertama dan kedua dari pilihan farmakologis untuk nyeri punggung akut atau kronis 2. Penggunaan harus mempertimbangkan perbedaan potensial dalam toksisitas gastrointestinal, hati dan kardiovaskular, dan faktor risiko orang tersebut, termasuk usia. 3. Saat meresepkan NSAID untuk nyeri punggung bawah, pikirkan tentang penilaian klinis yang sesuai, pemantauan faktor risiko yang sedang berlangsung, dan penggunaan komedi untuk mencegah efek samping. 4. Meresepkan NSAID oral untuk nyeri punggung bawah dengan dosis efektif terendah untuk periode waktu sesingkat mungkin. 5. Dapat dikombinasikan dengan modalitas pengobatan lainnya Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Gambar 10. Pertimbangan Manfaat dan risiko terapi Step-by-step Approach in Patient with Low Back Pain farmakologis pada nyeri 30-41 dengan nyeri punggung bawah akut dilakukan untuk Sebuah studi multisenter acak, tersamar ganda, paralel, membandingkan kemanjuran analgesik dexketoprofen aktif terkontrol yang mencakup 370 pasien rawat jalan 50mg dua kali sehari versus diklofenak 75mg dua kali sehari yang diberikan secara intramuskular selama 2 hari. Hasil menunjukkan Diklofenak memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan Dexkstoprofen. 42 Pada penelitian lainya pengguangan diklofenak dibandingkan dengan injeksi Methylprednisolon serta kombinasi keduanya pada Lumbar Facet Jjoint, didapatkan penurunan VAS yang siginikan pada kombinasi MP dan Diklofenak baik pada setelah 4 minggu mupun 12 minggu. 43. Diklofenak SR efektif mengurangi intensitas nyeri pada Ankylosing Spondylitis berdasarkan penilaian Patient Global Assessment (PGA) 44 Temu Ilmiah Reumatologi 2021 45

Arief Nurudhin 13. HARTVIGSEN, Jan, et al. What low back pain is and why we need to pay attention. The Lancet, 2018, 391.10137: Kesimpulan 2356-2367. 1. Mengelola LBP sangat menantang untuk dokter 14. SCOTT, N.; MOGA, Carmen; HARSTALL, Christa. 2. Kunci Langkah pertama pada LBP adalah Managing low back pain in the primary care setting: the know-do gap. Pain Research and Management, 2010, pengenalan apakah LBP spesifik atau non spesifik 15.6: 392-400. 3. Pasien dengan “Red Flag” atau Inflamatory LBP 15. BIER, Jasper D., et al. Patient nonadherence to guideline- harus penyakit dasarnya harus di terapi recommended care in acute low back pain. Archives of 4. NSAID dan Opiod adalah modalitas utama terapi physical medicine and rehabilitation, 2017, 98.12: 2416- 2421. farmakologis LBP 5. Jika terapi faramakologis digunakan, harus pada 16. Rampersaud YR, Bidos A, Fanti C, Perruccio AV. The need for multidimensional stratification of chronic low back dosis terendah dan waktu tersingkat pain (LBP). Spine (Phila Pa 1976) 2017;42:E1318-E1325 DAFTAR PUSTAKA 17. MAHER, Chris G., et al. Managing low back pain in primary care. 2011. 1. King NB, Fraser V (2013) Untreated Pain, Narcotics Regulation, and Global Health Ideologies. PLOS Medicine 18. STRAND, Vibeke; SINGH, Jasvinder A. Evaluation 10: e1001411. pmid:23565063 and management of the patient with suspected inflammatory spine disease. In: Mayo Clinic Proceedings. 2. CHEUNG, Chi Wai, et al. Inadequate Management Elsevier, 2017. p. 555-564. of Chronic Non-cancer Pain and Treatment-Related Adverse Events in Asia: Perspectives from Patients 19. DILLON, Charles F.; HIRSCH, Rosemarie. The United from 10 Countries/Regions. SN Comprehensive Clinical States national health and nutrition examination survey Medicine, 2019, 1.6: 442-450.-450. and the epidemiology of ankylosing spondylitis. The American journal of the medical sciences, 2011, 341.4: 3. Morlion  B. Chronic low back pain: 281-283. pharmacological, interventional and surgical strategies. Nat Rev Neurol. 2013;9:462–73 20. MACHADO, Gustavo C., et al. Non-steroidal anti- inflammatory drugs for spinal pain: a systematic review 4. Golob AL, Wipf JE. Low back and meta-analysis. Annals of the rheumatic diseases, pain. Med Clin North Am 2014;98:405–28 2017, 76.7: 1269-1278. 5. QASEEM, Amir, et al. Noninvasive treatments for 21. VAN DER HEIJDE, Désirée, et al. 2016 update of the acute, subacute, and chronic low back pain: a clinical ASAS-EULAR management recommendations for axial practice guideline from the American College of spondyloarthritis.  Annals of the rheumatic diseases, Physicians.  Annals of internal medicine, 2017, 166.7: 2017, 76.6: 978-991. 514-530. 22. MCCARBERG, Bill H. Acute back pain: benefits and risks 6. KELLY, Dermot J.; AHMAD, Mahmood; BRULL, Sorin of current treatments. Current medical research and J. Prevemptive analgesia I: physiological pathways opinion, 2010, 26.1: 179-190. and pharmacological modalities. Canadian journal of anaesthesia, 2001, 48.10: 1000-1010 23. YANG, Haiou, et al. Low back pain prevalence and related workplace psychosocial risk factors: a study using data 7. WHO guidelines on the pharmacological treatment of from the 2010 National Health Interview Survey. Journal persisting pain in children with mental illnesses. 2012. of manipulative and physiological therapeutics, 2016, http://digicollection.org/hss/documents/s19116en/ 39.7: 459-472. s19116en.pdf. Accessed 12 September 2020 24. LONDHEY, Vikram A. Approach to Low Back Pain. 8. Thomas  MA. Pain management— 25. SMITH, James A.; ADAMS, Mick; BONSON, Jason. the challenge. Ochsner Journal Investing in men’s health in Australia. The Medical Journal of Australia, 2018, 208.1: 67. Spring;5:15-21, 2003 26. Morlion  B. Chronic low back pain: 9. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare pharmacological, interventional and surgical strategies. Nat Rev Neurol. 2013;9:462–73  Organizations; The National Pharmaceutical Council 27. KAPUR, Bhushan M.; ALEKSA, Katarina. What the lab 2001 https://www.npcnow.org/system/files/ can and cannot do: clinical interpretation of drug testing results. Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences, research/download/Pain-Current-Understanding- 2020, 57.8: 548-585. of-Assessment-Management-and-Treatments.pdf 28. STEER, Lynda. Pain management. Evaluation, 2020, 14: 34. Accessed 14 Sep 2020. 29. Hinz B, Renner B, Brune K. Drug insight: cyclo- 10. Melnikova I. Pain market. Nature Reviews Drug  Dis- oxygenase-2 inhibitors - a critical appraisal. Nat Clin covery 2010; 9: 589-90 Pract Rheumatol 2007;3(10):552-60.   11. COHEN, Steven P.; ARGOFF, Charles E.; CARRAGEE, Temu Ilmiah Reumatologi 2021 Eugene J. Management of low back pain. Bmj, 2008, 337. 12. Friedman BW, O’Mahony S, Mulvey L, Davitt M, Choi H, Xia S, Esses D, Bijur PE, Gallagher EJ. One-week and 3-month outcomes after an emergency department visit for undifferentiated musculoskeletal low back pain. Ann Emerg Med 2012; 59: 128- 133.e3. 46

30. TOWHEED, Tanveer E. Pennsaid therapy for Step-by-step Approach in Patient with Low Back Pain osteoarthritis of the knee: a systematic review and metaanalysis of randomized controlled trials. The 37. MCGETTIGAN, Patricia; PLATONA, Adriana; HENRY, Journal of Rheumatology, 2006, 33.3: 567-573. DavidA.Renalandcardiovasculartoxicityofnon-steroidal anti-inflammatory drugs. Inflammopharmacology, 2000, 31. MACHADO, Gustavo C., et al. Efficacy and safety 8.1: 1-18. of paracetamol for spinal pain and osteoarthritis: systematic review and meta-analysis of randomised 38. Moore RA et al. Ann Rheum Dis 2010;69:374-9 placebo controlled trials. bmj, 2015, 350. 39. epeda MS, Camargo F, Zea C, Valencia L. Tramadol for 32. BESSONE, Fernando. Non-steroidal anti-inflammatory osteoarthritis…  Cochrane  Database  Syst  Rev  2006; drugs: What is the actual risk of liver damage?. World (1):CD004257 journal of gastroenterology: WJG, 2010, 16.45: 5651. 40. MOORE, R. Andrew. What works for whom? Determining 33. MOORE, R. Andrew; DERRY, Sheena; MCQUAY, Henry J. the efficacy and harm of treatments for pain.  PAIN®, Cyclo-oxygenase-2 selective inhibitors and nonsteroidal 2013, 154: S77-S86. anti-inflammatory drugs: balancing gastrointestinal and cardiovascular risk. BMC Musculoskeletal Disorders, 41. ETROPOLSKI, Mila, et al. Safety and tolerability 2007, 8.1: 1-11. of tapentadol extended release in moderate to severe chronic osteoarthritis or low back pain 34. Garcia Rodríguez LA, Hernández-Díaz S. The risk of management: pooled analysis of randomized controlled upper gastrointestinal complications associated with trials. Advances in therapy, 2014, 31.6: 604-620. nonsteroidal anti-inflammatory drugs, glucocorticoids, acetaminophen, and combinations of these agents. 42. Zippel H, Wagenitz A. A multicentre, randomised, double- Arthritis Res. 2001;3(2):98-101. doi: 10.1186/ blind study comparing the efficacy and tolerability of ar146. Epub 2000 Dec 15. PMID: 11178116; PMCID: intramuscular dexketoprofen versus diclofenac in the PMC128885. symptomatic treatment of acute low back pain. Clin Drug Investig. 2007;27(8):533–43. 35. BHALA, N., et al. Coxib and traditional NSAID Trialists’(CNT) Collaboration. Vascular and upper 43. Sae-Jung S, Jirarattanaphochai K. Outcomes of lumbar gastrointestinal effects of non-steroidal anti- facet syndrome treated with oral diclofenac or inflammatory drugs: meta-analyses of individual methylprednisolone facet injection: a randomized trial. participant data from randomised trials. Lancet, 2013, Int Orthop [Internet]. 2016;40(6):1091–8. Available 382.9894: 769-79. from: http://dx.doi.org/10.1007/s00264-016-3154-y 36. MANGONI, Arduino A., et al. Use of non‐steroidal anti‐ 44. Huang F, Gu J, Liu Y, Zhu P, Zheng Y, Fu J, et al. Efficacy and inflammatory drugs and risk of incident myocardial Safety of Celecoxib in Chinese Patients with Ankylosing infarction and heart failure, and all‐cause mortality in Spondylitis: A 6-Week Randomized, Double-Blinded the Australian veteran community. British journal of Study with 6-Week Open-Label Extension Treatment. clinical pharmacology, 2010, 69.6: 689-700. Curr Ther Res - Clin Exp [Internet]. 2014;76:126– 33. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j. curtheres.2014.08.002 Temu Ilmiah Reumatologi 2021 47

Downtitration of Biologics in Rheumatoid Arthritis: Is it possible? Cesarius Singgih Wahono Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Saiful Anwar – Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya -Malang Pendahuluan Treat to target (T2T) dalam penatalaksanaan artritis reumatoid Pengobatan atritis reumatoid (AR) merupakan pengobatan yang memerlukan multimodalitas Pengobatan AR dengan metode T2T, yang dan selalu bersifat dinamis menyesuaikan dengan terinspirasi dari penatalaksanaan penyakit aktivitas penyakit dan juga ada tidaknya komorbiditas. metabolik, misalnya diabetes mellitus dan Disamping pengobatan dengan conventional synthetic hipertensi, dikembangkan sejak tahun 2010,5 yang disease modifying anti rheumatic drugs (csDMARDs) kemudian direvisi pada tahun 2014,6 seiring dengan yang sudah dimulai puluhan tahun lalu, beberapa perkembangan ilmu dan terapi. Lima pilar utama dekade ini pengobatan AR sangat dipengaruhi dengan pengobatan dengan T2T adalah:6 ditemukan dan digunakannya DMARD biologi yang a) pencapaian target yang diharapkan, yaitu remisi terus bermunculan. Penggunaan csDMARD dan DMARD biologi ini telah meningkatkan angka remisi penyakit, atau aktivitas penyakit rendah (LDA); dan aktivitas penyakit rendah, serta kualitas hidup b) pengukuran derajat aktivitas dilakukan dengan pasien AR.1Dalam registri Norwegia-DMARD, misalnya, tingkat remisi menjadi dua kali lipat pada yang terakhir indeks komposit (misalnya DAS28) untuk dekade: sekitar 40% pasien AR di Norwegia mencapai mengetahui perkembangan derajat penyakit; remisi dengan nilai DAS-28 dari <2,6.2 Registri lain/ c) adaptasi terapi bila target tidak tercapai sesuai studi observasi sampai pada kesimpulan yang sama. waktu yang ditentukan; Misalnya, dalam kelompok ESPOIR, 50% dari pasien d) selalu mempertimbangkan kondisi pasien secara dengan AR dini berada dalam remisi DAS28 5 tahun individual (misalnya komorbid) termasuk risiko setelah onset penyakit dan 65% pada penyakit rendah pada saat kita ingin mencapai target terapi. aktivitas (low disease activity/LDA).3 Di Indonesia e) keputusan yang diambil bersama antara dokter angka remisi AR, terutama di Malang, oleh Putra, dkk, dan pasien. 2019, menunjukkan angka sebesar 29%.4 Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan RA secara T2T Peningkatan pencapaian angka remisi pada AR (treat to target). (Sumber: Smolen dkk6) ini, menimbulkan pertanyaan, apakah pada pasien yang telah remisi, maka dosis obat, termasuk agen Seperti terlihat pada gambar 1, remisi dan biologi dapat diturunkan? Permasalahan pemakaian remisi yang berkelanjutan (sustained) merupakan agen biologi yang cukup banyak terjadi di negara target utama, namun bila tidak mungkin tercapai berkembang, termasuk Indonesia, adalah faktor maka LDA berkelanjutan dapat diterima. Pada dua pembiayaan yang cukup tinggi. Permasalahan jenis kelompok target tersebut, cara pendekatannya ini menyebabkan timbulnya pertanyaan, apakah sebenarnya serupa. Terapi tidak hanya disesuaikan mungkin melakukan penurunan dosis agen biologi dengan derajat aktivitas, namun juga komorbiditas secara bertahap (downtitration/tapering) pada pasien dan kondisi lain pasien harus dipertimbangkan. AR yang telah mengalami remisi pasca pemberian Dalam menentukan target terapi, memulainya terapi, agen biologi? Bila memungkinkan, kapan saat yang serta adaptasi terapi bila target belum tercapai, tepat untuk mulai menurunkan dosis? Apakah konsekuensi dari downtitration tersebut? Apakah Temu Ilmiah Reumatologi 2021 akan menyebabkan aktivitas penyakit meningkat lagi? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas pada tinjauan kepustakaan naratif ini. 48

merupakan keputusan bersama antara dokter Downtitration of Biologics in Rheumatoid Arthritis: Is it possible? dan pasien.6 Pada masa sekarang, pengobatan AR dengan metode T2T ini telah menjadi bagian dari Dari beberapa penelitian, didapatkan bahwa pengobatan di jaman modern ini, meskipun dalam penurunan dosis obat secara bertahap, lebih baik pelaksanaannya di klinis masih terdapat hambatan- daripada pemberhentian langsung.11 hambatan.7 Beberapa uji klinis acak serta penelitian kohort multisenter menunjukkan bahwa metode Apa yang harus dipertimbangkan dalam ini terbukti meningkatkan kemungkinan remisi dan melakukan penurunan dosis biologic DMARDS? remisi berkelanjutan serta luaran yang lebih baik.8 Dalam mengambil keputusan untuk menurunkan Pasien yang manakah yang memenuhi syarat dosis agen biologi, kita harus mempertimbangkan untuk dilakukan penurunan dosis bertahap? beberapa hal yang penting. 1. Kapan saat yang tepat kita melakukan penurunan Penurunan terapi DMARD (termasuk DMARD biologi) dapat dilakukan dipertimbangkan jika dosis ini? pasien (a) memenuhi kriteria klinis standar untuk 2. Bagaimana luarannya? Apa untung ruginya/ keadaan remisi (DAS 28 <2.6; DAS44 <1,6}; simplified disease activity index (SDAI) <3.3; Clinical Disease konsekuensinya? Activity Index (CDAI) <2.8; American Colleague of 3. Bagaimana cara melaksanakannya? Rheumatology (ACR)/European League Against 4. Apakah ada faktor-faktor yang mempengaruhi Rheumatism (EULAR) remisi; (b) menunjukkan remisi berkelanjutan setidaknya 6 bulan didokumentasikan keberhasilannya? oleh aktivitas penyakit yang sesuai instrumen pada tiga kunjungan berurutan; (c) menggunakan pengobatan Ada beberapa hal yang kita bisa jawab disini. DMARD yang sudah stabil jenis dan dosis DMARDnya, Kemungkinan keuntungan kalau agen biologi lebih dari 6 bulan dan (d) tidak menggunakan diturunkan adalah terhindarnya pasien dari efek glukokortikoid untuk mempertahankannya keadaan samping jangka panjang, misalnya peningkatan remisinya.1 infeksi.12 Yang jelas, penurunan dosis ini akan sangat membantu pasien untuk bisa menghemat Bagaimanakah strategi umum downtitration pada pengeluaran. Sebaliknya kemungkinan konsekuensi pengobatan AR? yang kurang baik adalah: kemungkinan kekambuhan/ flare yang lebih besar,13 terjadi kerusakan struktural Seperti kita ketahui bahwa dalam pengobatan AR dan fungsional, hilangnya keuntungan akan efek baik pada umumnya kita akan memberikan farmakoterapi pada ekstra artikular.11 berupa csDMARD, DMARD biologi, dan steroid dosis rendah. Pasien yang telah mengalami remisi, maka Beberapa uji klinis penurunan dosis bertahap akan dipertimbangkan untuk menurunkan dosis obat pada pasien AR secara bertahap. Obat yang pasti harus secepatnya dilakukan penurunan dosis adalah steroid, sedangkan Studi Productivity and Remission in a Randomized csDMARDs pada umumnya akan diturunkan setelah Controlled Trial of Etanercept vs. Standard of Care pasien mendapatkan remisi dalam kurun waktu in Early Rheumatoid Arthritis (PRIZE), tahun 2014, tertentu. Penurunan dosis kedua obat tersebut sudah dirancang untuk mengevaluasi efektivitas etanercept banyak diteliti dan terdapat pedomannya. Untuk (ETN) yang ditambah metotreksat, dalam memicu DMARD biologi, sampai sekarang belum ada panduan dan mempertahankan remisi klinis pada 306 pasien yang jelas.9,10 AR awal, derajat sedang sampai berat serta untuk menentukan efek penurunan dosis obat bertahap atau Ada beberapa cara dalam melakukan penurunan penghentian langsung terhadap luaran. Penelitian ini dosis obat (tapering), yaitu: 9,10 mendapatkan bahwa pada pasien dengan AR awal, 1. Penurunan dosis dengan tetap mempertahankan yang remisi dengan terapi etanercept 50mg-plus- methotrexate, menghasilkan pengendalian penyakit frekuensi pemberian obat yang lebih baik bila melanjutkan terapi kombinasi pada dosis (ETN) yang dikurangi (menjadi 25mg), 2. Pemanjangan interval pemberian (penurunan daripada beralih ke metotreksat saja atau plasebo, frekuensi pemberian) (44%, 29%, 23%); namun demikian tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada progresivitas 3. Kombinasi penurunan dosis dan penurunan radiografi.14 frekuensi pemberian Penelitian PRESERVE, 2014, multinasional, juga 4. Pemberhentian langsung (withdrawal). membandingkan etanercept 50 mg sekali seminggu (ETN50)/metotreksat, dengan etanercept 25 mg Temu Ilmiah Reumatologi 2021 (ETN25)/metotreksat atau metotreksat tanpa DMARD 49

Cesarius Singgih Wahono Faktor prediksi keberhasilan penurunan bertahap dosis agen biologi pada AR biologi pada pasien AR dengan derajat sedang yang sudah remisi menggunakan (ETN50)/metotreksat. Beberapa penelitian berusaha mencari faktor- Didapatkan bahwa penurunan dosis ETN menjadi faktor dapat memperkirakan keberhasilan atau 25mg plus metotreksat, lebih bagus dalam menjaga kegagalan dalam menurunkan dosis agen biologi pada remisi dibandingkan metotreksat saja (66 vs 31%, pasien AR yang telah remisi. Faktor-faktor tersebut p < 0,0001). Dari kedua penelitian di atas tampak diantaranya adalah:1, 18 bahwa penurunan dosis ETN lebih baik dalam 1) terdapatnya remisi yang lama mempertahankan remisi dibandingkan bila tiba-tiba 2) durasi penyakit yang masih pendek (AR awal) dihentikan.15 3) penggunaan bersama dengan metotreksat 4) petanda inflamasi serum normal (CRP dan LED) Penelitian oleh van Herwaarden, dkk, tahun 2015, 5) faktor reumatoid dan anti-CCP negatif pada 180 pasien AR, menunjukkan bahwa penurunan 6) tidak adanya sinovitis pada USG sendi dosis anti-TNF (Adalimumab dan Etanercept) dengan cara menjarangkan waktu menjadi tiap 3 bulan, Beberapa pedoman (guidelines) mengenai menunjukkan hasil yang menarik. Penurunan dosis penurunan bertahap agen biologi pada adalimumab atau etanercept adalah non-inferior pengobatan AR. dibandingkan terapi biasa (proporsi pasien dengan kekambuhan mayor pada 18 bulan, 12% vs 10%; Pada pedoman tatalaksana AR menurut American perbedaan 2%, 95% interval kepercayaan −12% College of Rheumatology tahun 2015, disebutkan hingga 12%). Dalam kelompok penurunan dosis bahwa pada pasien AR yang telah remisi, dapat obat, penggunaan inhibitor TNF berhasil dihentikan dilakukan penurunan DMARD termasuk agen biologi sebanyak 20% (interval kepercayaan 95% 13% hingga (anti-TNF dan non anti-TNF), JAK inhibitor, harus 28%), interval injeksi berhasil ditingkatkan 43% dilakukan secara perlahan-lahan dan berhati-hati. (34% menjadi 53%), tetapi pada 37% (28% hingga Meskipun demikian, disampaikan juga penurunan 46%) subyek, dosis tidak dapat diturunkan. Metode dosis ini adalah pilihan, bukan suatu keharusan.19 ini ternyata tidak lebih inferior dibandingkan dengan pengobatan dengan dosis dan frekuensi standar, Rekomendasi tatalaksana AR oleh EULAR, tahun terutama dalam hal terjadinya kekambuhan berat, 2019, menyebutkan bahwa pada pasien dengan remisi dan terjadi keberhasilan penurunan dosis dan bahkan persisten setelah menghentikan glukokortikoid, penghentian obat.16 dapat dipertimbangkan penurunan dosis agen biologi dan atau tsDMARD secara bertahap , terutama yang Studi RETRO (Reducing therapy in rheumatoid disertai penggunaan metotreksat. Di rekomendasi ini arthritis patients in ongoing remission) adalah uji tidak dijelaskan secara tegas tentang definisi remisi klinis terkontrol secara acak untuk membandingkan persisten, namun disebutkan bahwa banyak penelitian strategi pengobatan pada pasien AR yang sudah yang menyebutkan 6 bulan, meskipun belum konsisten. dalam remisi DAS28-ESR berkelanjutan selama tiga Penurunan ini sebaiknya hanya dilakukan pada pasien kunjungan berurutan selama setidaknya 6 bulan. remisi, dan bukan pada pasien dengan LDA, karena Dalam penelitian ini, pasien diacak untuk melanjutkan kemungkinan kambuh (flare) lebih besar.10 DMARD sintetik dan DMARD biologi dengan dosis tetap, atau penurunan dosis DMARD biologi sebesar Pada rekomendasi tatalaksana AR oleh APLAR, 50% atau menghentikannya setelah fase tapering tahun 2018, disebutkan dengan tegas bahwa 6 bulan. Dalam Studi RETRO ini, ternyata 66,3% penurunan dosis agen biologi dan atau tsDMARD pasien tetap dalam remisi selama 12 bulan dan 33,7% bertahap, dapat dilakukan pada pasien yang telah kambuh. Tingkat kekambuhan rendah di kelompok remisi > 12 bulan. Inipun pada pasien AR yang selain yang melanjutkan DMARD biologi (16%), sedangkan mendapatkan DMARD biologi, juga mendapatkan yang dosisnya diturunkan 50%, tingkat kekambuhan metotreksat.20 lebih tinggi (38,9%), dan yang menghentikan obat tingkat kekambuhannya paling tinggi (52%). Pada Kesimpulan pasien yang kambuh, remisi dapat dikembalikan dengan mengembalikan jenis dan dosis obat seperti Dari tinjauan pustaka di atas, maka ada beberapa hal semula. Peneliti menyimpulkan bahwa penurunan yang dapat disimpulkan: dosis DMARD biologi dapat dilakukan pada pasien 1. Penurunan dosis bertahap (downtitration/ AR yang telah mengalami remisi cukup lama, yaitu minimal 6 bulan.17 tapering) DMARD biologi dapat dilaksanakan, sebagai pilihan, pada pasien AR yang mengalami 50 remisi lama berkelanjutan. Temu Ilmiah Reumatologi 2021

2. Terdapat beberapa hal yang dapat memprediksi Downtitration of Biologics in Rheumatoid Arthritis: Is it possible? keberhasilan penurunan dosis DMARD biologi. 10. Smolen JS, Landewé R, Bijlsma J, Burmester G, 3. Sebagian besar penurunan dosis DMARD Chatzidionysiou K, Dougados M, Nam J, et al. dapat berhasil dilakukan dengan pasien tetap EULAR recommendations for the management of menggunakan metotreksat. rheumatoid arthritis with synthetic and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2016 update. 4. Beberapa pedoman penatalaksanaan AR Ann Rheum Dis 2017;76:960–977. doi:10.1136/ merekomendasikan penurunan dosis ini, namun annrheumdis-2016-210715 belum ada protokol yang pasti. 11. Henaux S, Ruyssen-Witrand A, Cantagrel A, Barnetche 5. Pertimbangan untuk menurunkan dosis DMARD T, Fautrel, B, et al. Risk of losing remission, low biologi ini di klinik, sebaiknya dipertimbangkan disease activity or radiographic progression in case of secra individual. bDMARD discontinuation or tapering in rheumatoid arthritis: systematic analysis of the literature and meta- Daftar Pustaka analysis. Ann Rheum Dis 2017;0:1–8. doi:10.1136/ annrheumdis-2017-212423 1. Schett G, Emery P, Tanaka Y, Burmester G, Pisetsky DS, et al. Tapering biologic and conventional DMARD therapy 12. Lahiri M, Dixon WG. Risk of infection with biologic in rheumatoid arthritis: Current evidence and future antirheumatic therapies in patients with rheumatoid directions. Ann Rheum Dis 2016;75(8):1428-1437. arthritis. Best Pract Res Clin Rheumatol 2015;29(2):290- https://doi.org/10.1136/annrheumdis-2016-209201). 305. doi: 10.1016/j.berh.2015.05.009 2. Aga AB, Lie E, Uhlig T, et al. Time trends in disease 13. Mangoni AA, Al Okaily F, Almoallim H, Al Rashidi S, activity, response and remission rates in rheumatoid Mohammed RHA, Barbary A. Relapse rates after elective arthritis during the past decade: results from the NOR- discontinuation of anti-TNF therapy in rheumatoid DMARD study 2000–2010. Ann Rheum Dis 2015;74:381– arthritis: a meta-analysis and review of literature. BMC 8. Rheumatology 2019;3:10. https://doi.org/10.1186/ s41927-019-0058-7 3. Combe B, Rincheval N, Benessiano J, et al. Five-year favorable outcome of patients with early rheumatoid 14. Emery P, Hammoudeh M, FitzGerald O, Combe B, arthritis in the 2000s: data from the ESPOIR cohort. J Martin-Mola E, Buch MH, et al. . Sustained Remission Rheumatol 2013;40:1650–7. with Etanercept Tapering in Early Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med 2014;371:1781-92. DOI: 10.1056/ 4. Suryana BPP, Sari RK, Tamayanti WD, Hasanah D. NEJMoa1316133 Hubungan antara parameter klinis dan laboratoris dengan status remisi penyakit pada pasien artritis 15. Pavelka K, Burgos-Vargas, R, Miranda P, Guzman R, Yen reumatoid yang mendapat terapi metotreksat. Majalah JH, et al. Etanercept in moderate rheumatoid arthritis: Kesehatan 2019;6(2):113-122. PRESERVE study results from central/eastern Europe, Latin America and Asia. Int. J. Clin. Rheumatol 2014;9(5), 5. Smolen J, Aletaha D, Bijlsma JWJ, Breedveld FC, Boumpas 415–430 D, Burmester G, et al. Treating rheumatoid arthritis to target: recommendations of an international task 16. van Herwaarden N, van der Maas A, Minten MJM, van den force. Ann Rheum Dis 2010;69:631–637. doi:10.1136/ Hoogen FHJ, Kievit W, et al. Disease activity guided dose ard.2009.123919 reduction and withdrawal of adalimumab or etanercept compared with usual care in rheumatoid arthritis: open 6. Smolen JS, Breedveld FC, Burmester GR, et al. Ann label, randomised controlled, non-inferiority trial. BMJ Rheum Dis 2016;75:3–15. Treating rheumatoid arthritis 2015;350:h1389 | doi: 10.1136/bmj.h1389 to target: 2014 update of the recommendations of an international task force. Ann Rheum Dis 2016;75:3–15. 17. Haschka J, Englbrecht M, Hueber AJ, et al. Relapse rates doi:10.1136/annrheumdis-2015-207524 in patients with rheumatoid arthritis in stable remission tapering or stopping anti-rheumatic therapy: interim 7. Smolen JS . Treat to target in rheumatology: A historical results from the prospective randomised controlled account on occasion of the 10th anniversary. Rheum RETRO study. Ann Rheum Dis 2016;75:45–51 Dis Clin N Am 2019; 45:477–485. https://doi. org/10.1016/j.rdc.2019.07.001 18. Schlager L, Loiskandl M, Aletaha D, Radner H. Predictors of successful discontinuation of biologic and targeted 8. Ramiro S, Landewé RBM, van der Heijde D, Sepriano synthetic DMARDs in patients with rheumatoid arthritis A, FitzGeraldO, et al. Ann Rheum Dis 2020;79:453–459. inremissionorlowdiseaseactivity:asystematicliterature doi:10.1136/annrheumdis-2019-216819 review,  Rheumatology2020;59(2):324–334,  https:// doi.org/10.1093/rheumatology/kez278 9. Edwards CJ, Fautrel B, Schulze-Koops H, Huizinga TWJ, Kruger K. Dosing down with biologic therapies: 19. Singh JA, Saag KG, Bridges SL, Bannuru RR, Sullivan MC, a systematic review and clinicians’ perspective. et al. 2015 American College of Rheumatology Guideline Rheumatology 2017;56:18471856 doi:10.1093/ for the Treatment of Rheumatoid Arthritis. Arthritis rheumatology/kew464 Care & Res 2016; 68: 1-25. https://doi.org/10.1002/ acr.22783 20. Lau CS, Chia F, Dans L, Harrison A, Suryana B, Wijaya WK, et al. 2018 update of the APLAR recommendations for treatment of rheumatoid arthritis. Int J Rheum Dis. 2019;22:357–375. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 51

Profile Imunogenisitas antagonis TNF Alpa Bantar Suntoko Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Dr Kariadi – Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Pendahuluan metaloproteinase menghasilkan osteoklas di dalam membran sinovial dan mendorong kerusakan tulang Artritis rheumatoid adalah salah satu penyakit (4). Untuk jelas dapat dilihat pada gambar 1. autoimun yang menyerang sendi (sinovitis) berlangsung kronik serta berefek sistemik dengan Sampai saat ini kita mengenal 5 agen biologik segala akibatnya, bila terlambat dalam pengobatan Anti TNF alpa yang telah disetujui oleh FDA (Food akan menyebabkan kerusakan sendi dan and Drug Administration) di Amerika serikat dan deformitas sendi disamping bila terlambat dalam EMA (European Medicines Agency) untuk pengobatan penanganannya dapat mengenai organ dalam (1). artritis rheumatoid: Infliximab adalah antibodi Pada masa lalu pengobatan yang dilakukan dengan igG1 (chimeric) tikus–manusia, adalimumab dan NSAIDs, kortikosteroid dan DMARDs(2). Pada saat golimumab adalah antibodi IgG1 yang fully human dan ini pengobatan dengan agent biologik (biologic etanercept adalah solubel dimer dari reseptor p75 TNF DMARDs) seperti : TNF alpa antagonis, IL1 inhibitor berikatan dengan komponen Fc IgG1, Certolizumab dan IL-6 reseptor bloker dan target sintetik DMARDs humanized antibodi monoklonal terhadap TNF, yang (tofacitinib, baricitinib,filgotinib) (3). berikatan dengan 2 molekul Polyethylene Glycol (PEG) (5). Penggunaan agen biologik antagonis TNF alpa Patogenesis artritis reumatoid ditandai dengan khususnya disatu sisi merupakan kemajuan dalam infiltrasi membran sinovial di beberapa sendi dengan pengobatan artritis reumatoid, artritis psoriasis dan sel T, sel B, dan monosit. Proses ini didahului dengan ankilosing spondilitis akan tetapi sampai 40% pasien aktivasi sel endotel; neovaskularisasi (pertumbuhan tidak respon terhadap penghambat TNF-a atau pembuluh darah baru) adalah ciri lain dari sinovitis RA. kehilangan respon dengan berjalan waktu karena Ekspansi sel ini menyebabkan lapisan lapisan sinovial terbentuknya anti-drug antibodies (ADAs) hal inilah hiperplastik. Membran sinovial yang meluas ini, sering yang dikenal sebagai imunogenisitas. ADAs akan disebut “pannus,” menyerang tulang periartikular dikaitkan dengan respon klinik yang lebih buruk dan menyebabkan erosi tulang dan degradasi tulang dan meningkat efek samping pengobatan dan akhir- rawan. Sitokin pro-inflamasi seperti TNF alpa dan akhir ini akibat adanya imunogenesitas untuk lebih IL-6 menginduksi RANKL, prostaglandin dan matriks Gambar 1. Patogenesis artritis reumatoid (4) 52 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

ditampilkan penggunaan biosimilar sebagai salah satu Profile Imunogenisitas antagonis TNF Alpa alternatif terapi. (6) Untuk jelasnya dapat dilihat dari gambar 2. b. Produk agen biologik: dosis, cara pemberian, frekwensi pemberian,kemurnian obat Gambar 2. Struktur TNF alpa antagonis (7) Sehubungan dengan ADAs pada kenyataannya c. Faktor pasien: aktivitas penyakit, terapi berbagai tipe ADAs mempunyai struktur molekul konkomitan, tipe penyakitnya TNF alpa yang berbeda beda maka berbeda pula imunogenisitasnya. Kita mengenal beberapa lokus d. Target antigen:ikatan sel atau solubel imunogenesitas daerah dengan imugenesitas yang kuat misalnya pada murine epitope, idiotope Kesimpulan sedangkan daerah dengan imunogenesitas yang lemah pada allotope, human neo antigen dan polethilen glikol • TNF alpa antagonis masih menjadi terapi standart dengan dimikian antagonis TNF alpa seperti etanerceft untuk mengobati artritis reumatoid bila dengan dikatakan sebagai obat dengan imugenisitas yang DMARDs kurang berhasil, hanya bila pengobatan rendah (8) jangka Panjang risiko terjadinya imunogenisitas sangat besar, bahkan TNF alpa antagonis yang Gambar 3. Faktor-faktor yang berpengaruh fully human sekalipun. dengan imunogenisitas (8) • ADAs mempengaruhi efikasi dan safety serta Faktor yang mempengaruhi imunogenositas peranan yang penting terjadinya kegagalan sekunder dari antagonis TNF alpa Ada beberapa faktor yang berpengaruh(9): a. Molekul agen biologik: sekuensi, allotipe dan • Etanercept adalah obat yang paling rendah imunogenisitasnya struktur agen biologik • Produk biosimilar etanerceft salah satu pilihan terapi artritis reumatoid karena biayanya yang lebih murah. Daftar pustaka 1. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis J Postgrad Med December 2004 Vol 50 Issue 4. 2. Woodrick, R. S. & Ruderman, E. M. Nat. Rev. Rheumatol. 7, 639–652 (2011); published online 11 October 2011; doi:10.1038/nrrheum.2011.145 3. Smolen JS, et al. Ann Rheum Dis 2020;79:685–699. doi:10.1136/annrheumdis-2019-216655. 4. Aletaha D, Smolen J. Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis. JAMA.2018:320(13):1372. doi:10.1001/jama.201813103. 5. Van Schouwenburg PA, Rispens T, Wolbink GJ. Immunogenicity of anti-TNF biologic therapies for rheumatoid arthritis. van Schouwenburg, P. A. et al. Nat. Rev. Rheumatol. advance online publication 12 February 2013; doi:10.1038/nrrheum.2013.4. 6. Mehta P, Manson JJ. What Is the Clinical Relevance of TNF Inhibitor Immunogenicity in the Management of Patients With Rheumatoid Arthritis?. Frontier in immunology.www.frontiersin.org April 2020 volume 11 article 589. 7. Kalden JR, Koops HS. Immunogenicity and loss of response to TNF inhibitors: implications for rheumatoid arthritis treatment. Nature reviews Rheumatology volume 13 december 2017. 8. Jullien D, Prinz JP, Nestle FO. Immunogenicity of Biotherapy Used in Psoriasis: The Science Behind the Scenes. Journal of investigative dermatology volume 135, January 2015, Pp:31-38. 9. Strand V, Goncalves J , Isaacs JD. Immunogenicity of biologic agents in rheumatology. www. nature.com. Nature reviews /rheumatology 14 December 2020. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 53

Masalah penyakit autoimun dan pilihan pengobatannya di Indonesia Handono Kalim1, Kusworini Handono2 1Sub Bagian Reumatologi Bagian Penyakit Dalam, 2Sub Bagin Imunologi Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran , Brawijaya University, Malang Abstrak paling banyak dijumpai. Pathogenesis golongan penyakit ini masih belum dapat difahami sepenuhnya, Penyakit autoimun merupakan masalah akan tetapi telah diketahui adanya pengaruh interaksi kesehatan yang akan semakin banyak dijumpai antara kerentanan genetik dengan beberapa faktor di Indonesia dengan semakin bertambah baiknya lingkungan . Dengan semakin baiknya keadaan kondisi sosial ekonomi. Nampaknya berbeda dengan ekonomi di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien situasi di negara maju, di rumah sakit di Indonesia LES kedua penyakit tersebut akan semakin banyak. ,merupakan penyakit reumatik autoimun terbanyak Dinegara negara yang sedang berkembang morbiditas yang berobat ke rumah sakit, disusul kemudian dan mortalitas penyakit autoimun nampaknya oleh artritis reumatoid. Data di RS dr Saiful Anwar berbeda dengan di negara maju1. Prognosis pasien Malang menunjukkan bahwa pasien LES terbanyak autoimun juga berbeda, mungkin karena fasilitas ialah wanita muda pada usia produktif seperti juga diagnosis dini dan pilihan pengobatan yang terbatas di negara negara lain. Manifestasi klinik pasien LES karena mahalnya beaya dan rendahnya pengetahuan di Indonesia terlihat lebih berat dengan lebih sering masyarakat tentang penyakit autoimun. dijumpai nefritis lupus dan vasculitis. Harapan hidup pasien LES juga belum sebaik harapan hidup pasien Akan dibicarakan disini tentang epidemiologi, LES di negara maju : harapan hidup 5 tahun 80% dan distribusi, gambaran klinis pasien penyakit autoimun, 10 tahun ialah 75%, mungkin karena keterlambatan khususnya LES dengan harapan hidupnya dan pilihan berobat atau faktor lain yang belum diketahui. Masalah pengobatan yang tersedia di Indonesia. Penelitian lain yang dihadapi pasien penyakit reumatik autoimun epidemiologi yang luas belum pernah dilakukan di ialah terbatasnya fasilitas pemeriksaan laboratorium Indonesia meskipun penelitian serupa telah dilakukan dan pilihan pengobatan serta keterbatasan dokter di beberapa kota, seperti di Semarang, Malang dan reumatologis. Untuk mengatasi keadaan ini, IRA Bali2. Sebagian besar data yang kami laporkan disini telah mengembangkan suatu sistim rujukan pasien berasal dari data pasien yang berobat ke RS dr Saiful reumatik autoimun dari dokter umum /PPKi ke Anwar Malang pada tahun 2015 sampai dengan rumah sakit yang mempunyai reumatologis. Obat 2018. Beberapa data dari rumah sakit lain juga akan obat biologik yang seharusnya dipergunakan pada ditampilkan. Melihat kondisi yang tak banyak berbeda pasien yang kurang memberi respon pada cDMARD di Indonesia, data tersebut mungkin dapat mewakili tak selalu dapat dipergunakan karena harganya yang kondisi di Indonesia secara menyeluruh. mahal dan tak ditanggung oleh BPJS. Dengan demikian pengobatan pasien penyakit autoimun reumatik Manifestasi klinik penyakit autoimun di Indonesia terutama menggunakan cDMARD. Pemakaian obat ( Malang ) biologik juga menghadapi tantangannya sendiri di Indonesia karena masih banyaknya penyakit infeksi, Suatu penelitian survey tentang penyakit reumatik terutama tuberkulosis . Untuk mengatasi masalah di masyarakat kota madya Malang ( 2017) menemukan kurangnya pemahaman pasien dan masyarakat bahwa prevalensi penyakit reumatik autoimun (LES tentang penyakit reumatrik autoimun, di beberapa dan RA) adalah 0.5 % 3. Akan tetapi, distribusi pasien kota di Indonesia telah dikembangkan kelompok reumatik yang berobat ke poli Reumatologi RS dr kelompok peminat/pendukung. Saiful Anwar sangat berbeda dengan yang ada di masyarakat. Hal ini dapat difahami karena RS dr Saiful Pendahuluan Anwar merupakan rumah sakit rujukan yang hanya menerima pasien pasien yang serius. Terlihat bahwa Penyakit reumatik autoimun merupakan pasien penyakit reumatik autoimun merupakan segolongan penyakit sistemik yang terjadi hilangnya mayoritas dari pasien yang berobat kesitu. Distribusi toleransi imunologis, dengan Lupus Eritematosus yang hampir serupa juga dilaporkan di RS dr Hasan Sistemik ( LES ) dan Artritis Reumatoid ( AR) yang Sadikin Bandung dan RSUP Cipto Mangunkusuma 54 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Masalah penyakit autoimun dan pilihan pengobatannya di Indonesia Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit Tabel 2. Manifestasi Klinik pasien Lupus Eritematosus reumatik autoimun merupakan masalah yang cukup Sistemik di RS dr Saiful Anwar Malang,2015-2018 serius di Indonesia. Adalah menarik bahwa jumlah pasien LES nyata lebih banyak dari pada pasien Manifestasi klinik % RA, berbeda dengan data di negara maju, dimana Mukokutaneus 55.9% pasien RA lebih banyak dari pada pasien LES. Hal ini Nefritis Lupus 65.5% mungkin berkaitan dengan banyaknya sinar matahari Neuropsikiatrik lupus 29.1% di Indonesia. Secara keseluruhan pasien reumatik Serositis 24.9% autoimun merupakan minimal 77.5% dari pasien yang Vaskulitis 31.6% berobat ke poli Rematologi RS dr Saiful Anwar. 4 Anemi hemolitik 34.6% Artritis 32.9% Table 1. Distribusi pasien yang berobat ke Poli Reumatologi Demam 39.3% RS dr Saiful Anwar, Malang Kelelahan 51.1% Limfopenia 75.4% No Diagnosis N % Sindroma antifosfolipid 1.2% 1 Lupus Eritematosus Sistemik 1781 39.4% Trombositopenia 26.5% 2 Artritis Reumatoid 1604 35.5% 3 Osteoartritis 517 11.4% Pasien yang datang ke rumah sakit juga 4 Osteoporosis 155 3.4% menghadapai masalah lain yaitu penyakit infeksi, 5 Nyeri Pinggang 102 2.3% terutama infeksi saluran kemih, maupun ko-morbid 6 Skleroderma 51 yang lain (tabel 3 dan 4). 7 Behcet’s disease 18 2.5% 8 Pirai 13 Tabel 3. Penyakit infeksi pada pasien LES 9 Artritis Psoriatik 13 5.5% di RS dr Saiful Anwar Malang 10 Ankilosing spondylitis 12 11 Mixed Connective Tissue Disease Infeksi bacterial saluran kemih 64.9% 12 Lain lain 8 Pneumonia 37.8% 249 Kandidiasis oral 17.7% Jumlah 4523 Dermatosis kulit 11.5% Tuberkulosis Paru 11.5% Selanjutnya akan khusus ditampilkan gambaran Tuberkulosis ekstra pulmonal 2.7% klinik pasien LES yang merupakan pasien yang Herpes Zoster 9.1% terbanyak yang berobat ke RS dr Saiful Anwar Malang Lain lain 14.7% pada 2015 – 20185 . Data diperoleh dari rekam medik pasien yang dirawat dan yang berobat jalan ke Tingginya prevalensi penyakit infeksi di Indonesia rumah sakit tersebut. Identitas pasien di teliti untuk juga dapat menimbulkan masalah tersendiri menghindari duplikasi data pasien. Tampak bahwa berkaitan dengan penggunaan obat biologik. manifestasi pasien pasien tersebut menunjukkan Diperlukan penapisan yang baik untuk menemukan gambaran klinik yang lebih berat dari pasien pasien adanya inmfeksi, khususnya tuberculosis sebelum di negara negara maju. Sebagian besar pasien LES memberikan obat golongan tersebut disamping adalah wanita ( 93.6%) seperti juga distribusi wanita perlunya pencegahan tuberculosis pada pasien pasien di negara yang maju. Rata rata umur pasien pada yang mendapat obat biologik. waktu datang berobat ke rumah sakit adalah relatif muda dengan median 28 tahun ( sebaran 9-58 tahun), Tabel 4 . Komorbiditas non infeksi pasien LES di RS dr gizi yang kurang ( Masa Indek Tubuh < 19 kg/m2) Saiful Anwar, Malang pada 51.5% pasien dan hampir setengahnya masuk dengan memerlukan terapi pulse steroid ( dosis Penyakit Ko morbid % tinggi) sebanyak 47.3%. Pada waktu pertama kali Dislipidemia 40.8% berobat cukup banyak pasien yang dating dengan Cushingoid 25.2% manifestasi berat, seperti nefritis lupus ,vasculitis dan Hiperuricemia 20.4% neuropsikiatrik lupus ( tabel 2). Diabetes Mellitus 11.5% Hipertensi 12.6% Hipoalbuminea 49.6% Dispepsia 26.8% Penyakit jantung coroner 24.9% Riwayat abortus dan gangguan kehamilan 22.8% Temu Ilmiah Reumatologi 2021 55

Handono Kalim, Kusworini Handono keterbatasan fasilitas diagnosis dan pengobatan pasien LES di rumah sakit daerah, maka harapan Banyaknya penyakit infeksi dan komorbiditas hidup pasien LES di Indonesia belum seperti yang di mungkin berkaitan dengan rendahnya pengertian harapkan. Belum mencukupinya jumlah rematologis pasien tentang penyakitnya dan kesalahan dalam atau rasio rematologis/penduduk yang masih sangat cara pengobatan. Banyak pasien reumatyik di malang rendah ( di Indoneisa hanya terdapat kurang dari 100 yang mencoba mengobati dirinya sendiri , termasuk rematologis untuk 260 juta penduduk ) menambah pemakaian herbal dan kortikosteroid dalam jangka masalah penatalaksanaan pasien reumatik autoimun. panjang dan terlambat pergi ke dokter; hanya 31.8% Untuk mengatasi masalah tersebut, Perhimpunan pasien berobat ke dokter atau rumah sakit dan Reumatologi Indonesia ( IRA) telah mengembangkan sisanya hanya mengobati sendiri atau pergi ke cara suatu sistim rujukan untuk pasien pasien LES ( gambar pengobatan tradisional 6 . 2)8. Angka kematian dan penyebab kematian pasien Gambar 2. Sistim rujukan untuk pasien LES dari rumah LES di Malang sakit /PPK 1 atau dokter umum ke rumah sakit rujukan. Cukup banyak pasien yang datang ke rumah Pasien yang dicurigai menderita penyakit autoimun sakit dalam keadaan berat dengan 18.25% pasien sistemik oleh dokter umum atau dokter di PPK1 hendaknya memerlukan perawatan di ruang perawatan intensif dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai rematologis untuk ( ICU) dan 47.3% pasien memerlukan terapi steroid memastikan diagnosis, menilai beratnya penyakit, rencaca dalam dosis tinggi ( terapi pulse 500-1000 mg/hari selama3 hari ). Angka kematian pasien dalam kurun pengobatan dan pemantauan pasien. Jika pasien dalam waktu itu adalah sebesar 16.3% dengan penyebab keadaan derajat ringan, pasien dapat dikirim kembali ke kematian adalah 39.2% karena aktivitas penyakit, dokter yang mengirim untuk perawatan selanjutnya dengan 23.5% karena infeksi dan 27.9% karena kombinasi keduanya serta 9.4 % karena perdarahan serebral tetap ada komunikasi dengan rematologis. Jika pasien dan payah jantung koroner. Diperhitungkan angka menunjukkan tanda tanda aktivitas atau ada komplikasi, harapan hidup pasien pasien lupus adalah sebesar pasien dirujuk kembali ke rematologis untuk penanganan 80% pada 5 tahun dan harapan hidup dalam 10 tahun ialah 75%, ( gambar 1). Angka ini nyata lebih rendah sebaik baiknya. dari pada harapan hidup pasien LES di negara maju 7. Manifestasi pasien AR yang berobat ke RS Hasan Gambar 1. Harapan hidup pasien LES Sadikin juga menunjukan gambaran klinik yang di RS dr Saiful Anwar.Dalam kurun 5 tahun harapan berat dengan melihat banyaknya sendi yang terkena hidup pasien LES ialah 80% dan dalam kurun waktu (gambar 3)9. Masih belum jelas mengapa pasien yang datang sudah dengan banyak sendi yang terkana, salah 10 tahun harapan hidup pasien ialah 75%. satu kemungkinannya ialah keterlambatan berobat. Pilihan Pengobatan Pasien Penyakit Reumatik Gambar 3. Jumlah terkenanya sendi pada pasien AR Autoimun di Indonesia pada waktu pertama kali didiagnosis AR yang berobat Dengan diagnose dini dan kontrol pasien yang ke RS Hasan Sadikin Bandung, 2017. IJR 2017; lebih ketat, dalam 10 tahun terachir telah banyak 9,(2) MKPratama, N Atik, LHamijoyo dicapai perbaikan harapan hidup pasien LES dinegara maju. Akan tetapi karena berbagai faktor, seperti Temu Ilmiah Reumatologi 2021 pemahaman pasien yang rendah tentang penyakitnya, 56

Terdapat obat DMARD konvensional dan Masalah penyakit autoimun dan pilihan pengobatannya di Indonesia biologik untuk pengobatan pasien penyakit reumatik autoimun,, akan tetapi karena harga obat biologik masyarakat pendukung pasien, seperti PARAHITA yang sangat mahal dan harus dibayar sendiri oleh di Malang, Yayasan KUPU di Solo, dan kelompok pasiennya (tak ditanggung oleh BPJS), maka pasien kelompok di kota yang lain , di Bandung, Bali, Jakarta < banyak tergantung pada DMARD konvensional . Medan dll nya. Peningkatan pengetahuan masyarakat Berdasarkan itu, maka apa yang dapat dilakukan di dan khususnya pasien reumatik autimun dipandang Indonesia ialah penggunaan cDMARD yang sebaik sangat penting di Indonesia karena kaitannya dengan baiknya dengan kontrol pasien yang ketat. Pada pasien berabagai masalah seperti keterlambatan pengobatan AR selalu biasanya dimulai dengan penggunaan (datang dengan gejala yang sudah berat), rendahnya methotrexate saja atau kombinasi dengan cDMARD kepatuhan pengobatan, stress karena penyakit dan yang lain seperti leflunomide, sulfasalazine atau kurangnya dukungan moril pada pasien dari keluarga siklosporine ditambah dengan kortikosteroid dosis serta masalah yang lain . rendah (tabel 5). Sedangkan pada pasien LES selalu diberikan hidroxychloroquine dalam kombinasi Kepustakaan dengan kortikosteroid. Pada pasien dengan aktivitas sedang atau berat, pasien lupus biasanya diberikan 1. Chopra A, Abdel‐Nasser A. Epidemiology of rheumatic mycophenolate mofetil, siklosporine, azathioprine musculoskeletal disorders in the developing world. Best atau siklophosphamide, mengacu pada Guidelin yang Pract Res Clin Rheumatol. 2008;22:583‐604. dibuat EULAR 2019. Obat biologik seperti anti TNF, anti IL-1, anti IL-6 anti CD 20 dan beberapa obat baru 2. Darmawan J, Valkenburg HA, Muirden KD, et al. lainnya hanya diberikan pada pasien AR yang mampu. Epidemiology of rheumatic disease in rural and urban Oleh karena keterbatasan ini, dapat dimengerti hasil populations in Indonesia: a World Health Organisation pengobatan pada beberapa pasien masih belum International League against rheumatism COPCORD mencapai sasarannya (remisi atau aktivitas penyakit study, stage I, phase 2. Ann Rheum Dis. 1992;51:525‐528. ringan). 3. Validation of Modified COPCORD Questionnaire Tabel 5. DMARD yang biasa dipergunakan di Indonesia Indonesian Version as Screening Tool for Joint Pain and Musculoskeletal Diseases . Anshory M, Wahono CS, DMARD Dosis yang dipergunakan Efek samping Kalim H, Rasyid HA. Indonesian Journal of Rheumatology Methothrex- 2018; Vol 10 No.1, 24-30 ate 7.5 – 15 mg sampai 25 Nausea, ulserasi mulut, neu- (MTX) mg/minggu oral atau tropenia, trombositopenia, 4. Kalim H, Wahono CS. Distribusi pasien yang berobat ke sc/im hepatotoksisitas, fibrosis Poli rawat jalan Rematologi RS dr Saiful Anwar , Malang Hidroxychlo- paru dan teratogenik 2018 (data tak dipublikasi) roquine Sulphasala- 200 – 400 mg/hari, oral Nausea, deposit korneal, 5. Dian Hasanah, Kusworini Handono,Handono Kalim. zine retinopati, ruam kulit Survival and Causes of Death of Systemic Lupus Erythematosus patients in Saiful Anwar Hospital Leflunomide 500 mg/hari oral, dinaik- Nausea, ruam kulit, Malang Indonesia. IJRD in press Cyclospo- kan setiap minggu sampai neutropenia, trombosi- 6. Hendler JV, Souza LD, Freitas Zernow DC, Guimarães J rine A Bertotto Saldanha FG et al . Survival analysis of patients 2-3g/hari topenia, hepatotoksisitas, with systemic lupus erythematosus in a tertiary hospital in southern Brazil. Clin Rheumatol (2017) 36:2005– sensitivitas cahaya 2010 DOI 10.1007/s10067-017-3735-1 10-20 mg/hari Diarrhoea, alopecia, rash, 7. Andarini S ; Arif AZ; Rasyid HA ; Wahono CS ; Kalim hipertensi, hepatotoksisitas, H | Kusworini H. Factors associated with health care neutropenia, trombositope- seeking behavior for musculoskeletal pain in Indonesia: nia, teratogenic A cross‐sectional study . Int J Rheum Dis. 2019;1–8DOI: 10.1111/1756-185X.13536 2.5 mg/kg BB/hari,sela- Gangguan ginjal, hipertensi, ma 6 minggu, kemudian 4 gangguan fungsi hati, nausea 8. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. mg/kg/hari Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2019 Untuk mengatasi masalah rendahnya pengetahuan pasien dan masyarakat tentang pengobatan 9. Pratama Mk, Atik N, Hamijoyo L. The Pattern of Joints penyakit reumatik autoimun yang sebaik baiknya, di Involvement in patients with Rheumatoid Arthritis in beberapa kota di Indonesia telah dibentuk kelompok Rheumatology Clinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia IJR 2017; 9,(2), 3 - 8 Temu Ilmiah Reumatologi 2021 57

Asam Hyaluronat Oral sebagai Terapi Osteoartritis IA Ratih Wulansari Manuaba Pendahuluan berat molekul tinggi yang terdiri dari pengulangan disakarida polimerik asam D-glukuronat dan N-asetil- Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang D-glukosamin. Pada manusia, AH terdapat pada setiap untuk pergerakan tubuh atau disebut sendi diartrodial, jaringan ikat dan organ seperti kulit, cairan sinovial, paling umum terjadi pada sendi lutut, pinggul, dan pembuluh darah, serum, otak, tulang rawan, katup tangan. Diperkirakan 10% - 20% populasi di seluruh jantung, dan tali pusat. Secara khusus, cairan sinovial dunia mengalami OA, dan sekitar 10% pria dan memiliki konsentrasi AH tertinggi di mana pun dalam 18% wanita diantaranya berusia di atas 60 tahun. tubuh yaitu 3–4 mg / mL.2 Penyakit OA adalah penyakit progresif di mana tulang rawan (bantalan di antara persendian) menghilang. Viskositas cairan sinovial disebabkan oleh adanya Saat tulang rawan menipis, tulang rawan menjadi komponen AH dan berfungsi juga sebagai pelumas rusak dan kasar, celah pelindung di antara tulang untuk pergerakan sendi, sehingga menghasilkan menyempit. Hal ini menyebabkan tulang bergesekan, koefisien gesekan hampir nol pada tulang rawan sendi. menimbulkan nyeri, bengkak, kaku, penurunan Telah diketahui bahwa pasien dengan OA mengalami kemampuan bergerak dan pembentukan tulang yang penurunan konsentrasi AH dalam cairan sinovial mengapur (spurs).1 mereka. Untuk mengembalikan tingkat AH yang menurun dan mengobati OA, injeksi intra-artikular AH Osteoartritis berkembang perlahan dan rasa sudah banyak diterapkan dalam praktek dokter sesuai sakit yang ditimbulkannya akan memburuk seiring kompetensinya. Fungsi AH cukup banyak antara waktu. Obat yang menuju sasaran langsung target lain: mencegah denaturasi tulang rawan, melindungi patogenesis OA belum ada sampai saat ini, namun lapisan luar tulang rawan, menghambat peradangan ada banyak pilihan pengobatan yang tersedia untuk sinovial, meningkatkan kepadatan kondrosit, membantu mengatasi rasa sakit dan membuat meningkatkan metabolisme sinovium, menormalkan pasien tetap aktif, yang diharapkan memodifikasi cairan sinovial, dan mengurangi rasa nyeri.2 perjalanan penyakit OA. Terapi farmakologis dengan asam hyaluronat (AH) oral adalah salah satu pilihan Pada terapi AH oral, tubuh akan menyerap polimer pengobatan. Asam hyaluronat adalah polisakarida, dengan berat molekul tinggi dalam bentuk polisakarida glikosaminoglikan anionik, non-sulfat dan merupakan 2-6. Salah satu mekanisme aksi yang terjadi AH zat alami yang ditemukan dalam cairan sinovial sendi. yang tertelan berikatan dengan Toll-like receptor-4 Bertindak sebagai pelumas untuk memungkinkan (TLR-4) dan mendorong ekspresi interleukin-10 tulang bergerak dengan halus satu sama lain dan (IL10) serta sinyal sitokin, yang keduanya memberi sebagai peredam kejut terhadap beban sendi.1 efek anti-inflamasi pada artritis. Laporan secara sistematik dari 13 uji klinis menemukan bahwa Asam hyaluronat sebagai terapi farmakologi pasien yang menggunakan regimen AH yang sangat untuk OA murni dilaporkan mengalami penurunan nyeri lutut dibandingkan dengan plasebo.2 Suplemen makanan seperti AH, glukosamin, dan kondroitin umumnya diresepkan dan digunakan Mekanisma Aksi Kerja AH pada terapi OA pada populasi untuk mengobati OA lutut ringan. Rekomendasi internasional pengobatan OA yang Tubuh manusia telah diketahui sulit menyerap telah berbasis bukti setuju bahwa manajemen polisakarida. Penyerapan AH oral di dalam tubuh OA memerlukan perpaduan antara terapi non- manusia dalam bentuk polimer dengan berat molekul farmakologis, dan farmakologis. Terapi awal dan tinggi. Sebuah uji menggunakan sel model epitel usus mendasar sangat disarankan dengan preparat (sel Caco-2) mendapatkan bukti bahwa AH dengan symptomatic slow-acting drugs for osteoarthritis berat molekul melebihi 1 × 105 jarang diserap. (SYSADOA), seperti AH. Pemberian terapi AH oral Sebaliknya, jumlah AH yang diserap oleh sel Caco-2 untuk nyeri lutut menjadi sumber penelitian penting meningkat seiring dengan penurunan berat molekul dalam beberapa tahun terakhir.2 AH menjadi 7 × 104, 2 × 104, atau 5 × 103. Kurihara et al. melaporkan bahwa AH diuraikan menjadi Karakteristik Asam Hyaluronat (AH) polisakarida beranggota 2-6 oleh bakteri usus, dan Asam hyaluronat adalah polisakarida dengan Temu Ilmiah Reumatologi 2021 58

polisakarida ini sebagian diserap ke dalam tubuh oleh Asam Hyaluronat Oral sebagai Terapi Osteoartritis usus kecil. Setelah penguraian AH oleh bakteri usus menjadi bentuk berat molekul rendah, polisakarida Penelitian tentang AH efektif dalam mengurangi bebas diketahui bermigrasi ke dalam sendi dan ADAMTS-4 melalui inhibisi gabungan antara jalur NF- jaringan lain. Lactobacillus dan Bifidobacterin κB dan jaras ERK1 / 2.4 Hasil akhir dari mekanisme telah dilaporkan sebagai contoh bakteri usus yang kerja ini, AH dapat peningkatan pelumasan tulang berperan penting dalam penyerapan AH. Balogh dkk. rawan sendi, sebagai antioksidan / antinitrosatif, melaporkan bahwa 99 ha berlabel mtechnetium (MW, analgesik & anti-inflamasi. Asam hyaluronat juga 1 × 106) terakumulasi oleh jaringan seperti persendian sebagai kondroprotektif, yaitu mencegah degradasi setelah pemberian oral pada tikus dan anjing. Studi ini matriks ekstra seluler, dan meningkatkan perbaikan dengan jelas menunjukkan bahwa AH mampu diserap tulang rawan. oleh tubuh; namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan bagaimana mekanisme kerja Fungsi AH membentuk lapisan antar permukaan AH melalui absorpsi per-oral terhadap nyeri lutut.2 tulang rawan. Beban pada sendi akan menekan keluar air dan zat terlarut molekul rendah dari Mekanisme lain diklarifikasi pada tahun 2010. lapisan hyaluronan ke dalam matriks tulang rawan. Laporan ini mengidentifikasi terdapat kaskade sinyal Konsentrasi AH akan meningkat dan terbentuk di mana reseptor pada sel epitel usus diaktivasi oleh mikrometrik struktur gel yang tebal berfungsi AH oral yang mengakibatkan berkurangnya nyeri. melindungi permukaan tulang rawan dari kerusakan Asam hyaluronat dengan berat molekul 9 × 105; akibat gesekan. Fungsi AH yang lain adalah sebagai Hyabest® (J), Kewpie Corporation, Tokyo, Japan, molekul scavenger di dalam persendian.3 diberikan secara oral ke tikus model MRL-lpr / lpr dengan penyakit autoimun tipe Th-1. Asam Hyaluronat Hyaluronan terdegradasi oleh berbagai sistem oral mengikat reseptor usus (Toll-like receptor-4; TLR- pengoksidasi dan iradiasi pengion. Denominatornya 4). Analisis susunan sitokin menunjukkan bahwa AH adalah putusnya rantai yang disebabkan oleh radikal meningkatkan produksi interleukin-10 (IL-10), suatu bebas yaitu radikal hidroksi. Terhadap reaksi ini AH sitokin anti-inflamasi. Analisis susunan DNA jaringan bertindak sebagai scavenger radikal bebas yang sangat dari usus besar menunjukkan bahwa AH mengatur efisien. Fungsi AH berdasarkan interaksi spesifiknya penekan ekspresi sitokin 3 (SOCS3) dan mengatur dengan hyaladherin. Salah satu aspek yang menarik ekspresi pleiotrophin. Hasil ini menunjukkan bahwa adalah fakta bahwa AH mempengaruhi angiogenesis pengikatan AH ke TLR-4 meningkatkan ekspresi IL-10 tetapi efek yang terjadi berbeda tergantung pada dan SOCS3 dan menekan ekspresi pleiotrophin yang konsentrasi dan berat molekulnya. Berat molekul tinggi menjelaskan mekanisme kerja AH Oral sebagai anti- dan konsentrasi polimer yang tinggi menghambat inflamasi pada artritis.2 pembentukan kapiler, sedangkan oligosakarida dapat menginduksi angiogenesis.3 Gambar 1. Mekanisme kerja AH oral pada artritis. Pemberian oral hyaluronan memodulasi inflamasi dengan Sebuah penelitian mendapatkan pada sel endotel meningkatkan supresor ekspresi pensinyalan-3 sitokin dan vaskular sesungguhnya terdapat reseptor AH, menurunkan ekspresi pleiotropin melalui reseptor mirip- sehingga pemberian terapi AH dapat bekerja pada sel tersebut. Avaskularisasi ruang sendi dapat disebabkan Toll-4 pada sel epitel usus2 oleh inhibisi angiogenesis oleh AH. Interaksi lain yang menarik dalam sendi adalah ikatan AH pada protein Temu Ilmiah Reumatologi 2021 permukaan sel limfosit sehingga sel lain menemukan jalan memasuki persendian melalui mekanisme interaksi ini.Sel juga dapat mengubah ekspresi protein pengikat AH dalam kondisi adanya penyakit, di mana AH mempengaruhi reaksi imunologis dan seluler di jalur proses fisiologis dalam sel. Laporan penelitian ini menunjukkan AH dapat mengurangi nyeri pada artritis akibat adanya interaksi AH baik langsung atau tidak langsung dengan reseptor nyeri.3 Hasil Studi Keamanan Produk AH Beberapa studi keamanan AH telah ditunjukkan pada tabel 1. Tidak didapatkan toksisitas yang timbul baik dalam studi toksisitas dosis tunggal, 59

IA Ratih Wulansari Manuaba (SYSADOA). Asam hyaluronat direkomendasikan sebagai salah satu terapi artritis kronis dengan studi toksisitas dosis berulang, studi toksisitas pemberian beberapa bulan, terdapat hanya satu dari reproduksi, pertumbuhan, uji mutagenisitas, dan studi studi yang memperpanjang terapi AH selama 6 antigenisitas. Dilaporkan juga bahwa AH eksogen bulan.2-5 seperti yang diberikan secara oral tidak berbahaya bagi keberadaan sel kanker dalam tubuh manusia. Ringkasan Sebuah studi klinis selama 12 bulan mengidentifikasi tidak ada kejadian buruk yang disebabkan oleh Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang AH. Asam hyaluronat yang diberikan secara oral untuk pergerakan tubuh atau disebut sendi diartrodial, digunakan oleh jaringan tubuh dan sekitar 90% dari paling umum terjadi pada sendi lutut, pinggul, dan AH eksogen dimetabolisme dan dilepaskan melalui tangan. Osteoartritis berkembang perlahan dan rasa ekspirasi dan urin; dengan demikian, polisakarida sakit yang ditimbulkannya akan memburuk seiring tidak terakumulasi secara berlebihan di dalam waktu. Terapi farmakologis dengan asam hyaluronat tubuh. Tidak ada efek samping terkait pemberian AH, (AH) oral adalah salah satu pilihan pengobatan. Pada sehingga berdasarkan fakta ini AH dipertimbangkan terapi AH oral, tubuh akan menyerap polimer dengan sebagai suplemen makanan yang aman. berat molekul tinggi dalam bentuk polisakarida 2-6. Salah satu mekanisme aksi yang terjadi AH Tabel 1. Uji Keamanan Terapi hyaluronan2 yang tertelan berikatan dengan Toll-like receptor-4 dan mendorong ekspresi interleukin-10 serta sinyal Pemberian terapi AH pada OA lutut ringan sitokin, yang keduanya memberi efek anti-inflamasi sampai sedang, cukup memberi hasil memuaskan dan pada artritis. sejalan dengan rekomendasi The European Society for Clinical and Economic Aspects of Osteoporosis Daftar Pustaka and Osteoarthritis (ESCEO) untuk menggunakan Symptomatic Slow-acting Drugs for Osteoarthritis 1. Satish Prasad Koiri et al. Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis: Review. Yangtze Medicine, 2018, 2, 62-72 http://www.scirp.org/journal/ym 2. Simone Guadagna et al. Oral hyaluronan for the treatment of knee osteoarthritis: a systematic review. Progress in Nutrition 2018; Vol. 20, N. 1: 537-544 DOI: 10.23751/pn.v20i4.7581 3. Tamer Mahmoud. Hyaluronan and synovial joint: function, distribution and healing. Interdiscip Toxicol. 2013; Vol. 6(3): 111–125. doi: 10.2478/ intox-2013-0019. 4. Mariko Oe et al. Oral hyaluronan relieves knee pain: a review. Oe et al. Nutrition Journal (2016) 15:11 DOI 10.1186/s12937-016-0128-2. 5. Stefania D’Adamo. Nutraceutical Activity in Osteoarthritis Biology: A Focus on the Nutrigenomic Role. Cells 2020, 9, 1232; doi:10.3390/cells9051232. 60 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Patogenesis dan Diagnosis Osteoarthritis Awalia Dept. Ilmu Penyakit Dalam Divisi Reumatologi FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Gambar 1. Faktor risiko OA 1 Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi Patomekanisme OA lutut secara ringkas dapat dilihat kronik degeneratif yang paling sering ditemukan. pada Gambar 2. Menurut data Centre of Disease Control (CDC) sekitar 52,5 juta kasus ditemukan di USA tahun 2012, dan Gambar 2. Mekanisme terjadinya OA lutut 2 diperkirakan lebih dari 300 juta individu di dunia hidup dengan OA. Hal ini dapat menimbulkan Rawan sendi yang normal dapat dilihat pada sisi disabilitas, nyeri, gangguan fungsi, dan berkurangnya kiri. Kondrosit dapat hidup dalam suasana hipoksia di kualitas hidup. Sampai saat ini OA masih merupakan rawan sendi yang avaskuler. Tugas utama rawan sendi salah satu gangguan kronik tersering pada lansia adalah menyerap dan menyebarkan beban mekanik, dengan efek terapi yang minimal, belum satu terapi yang sangat penting dalam homeostasis rawan sendi. pun terbukti dapat menghambat prrogresivitas Pada OA (gambar sisi kanan) terjadi pembentukan penyakit. Karakteristik utama dari OA adalah adanya pembuluh darah (vascular channel) yang memfasilitasi degradasi rawan sendi, pembentukan osteofit, dan komunikasi biokima (sitokin, kemokin, dll.) antara inflamasi dari sinovial. Lutut adalah sendi yang rawan sendi dan tulang. Ini mengawali terjadinya paling tersering terkena, di USA dikatakan OA lutut degradasi rawan sendi 2. didapatkan pada 10% laki-laki dan 13% wanita usia di atas 60 tahun. Belum ada data prevalensi OA secara FAKTOR RISIKO Nasional di Indonesia .1,2,3 Banyak teori yang menjelaskan faktor risiko PATOGENESIS terjadinya OA, baik yang bisa dimodifikasi maupun yang tidak. Meskipun OA sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya, tetapi patomekanisme pasti dari penyakit Usia ini masih belum jelas. Awalnya OA dianggap sebagai Meski angka prevalensinya bervariasi, tetapi penyakit degeneratif yang tidak bisa dihindari, disebabkan faktor biomekanikal, seperti wear-and- dikatakan usia lanjut adalah faktor risiko terbesar tear, dan adanya ketidakseimbangan mekanisme untuk terjadinya OA. Kejadian OA secara klinis maupun homeostatik biokimia pada tulang rawan sendi. Pada radiografis semakin meningkat seiring bertambahnya kenyataannya, pemeriksaan detail dari pasien OA usia, khususnya pada OA lutut, hip, dan tangan. Studi menunjukkan variabilitas yang besar dari manifestasi OA Framingham menunjukkan secara radiografis klinis dan progresivitas penyakit. Sebagian besar kasus didapatkan kejadian OA pada 27% lansia usia 63-70 memang memiliki kondisi predisposisi yang jelas, seperti faktor genetik, trauma, usia, obesitas, dll.yang 61 menunjukkan kemungkinan etiologi yang beragam. Kemudian OA akan berkembang dinamis dan mengalami proses yang kompleks, yang melibatkan reaksi inflamasi, mekanik, dan faktor metabolik yang mengakibatkan ketidakmampuan permukaan sendi untuk berfungsi normal dalam menyerap dan mendistribusikan beban mekanik ke seluruh sendi, dan akhirnya mengarah pada destruksi sendi. Saat ini diketahui bahwa kerusakan pada OA tidak terbatas hanya pada rawan sendi atau tulang subchondral, tapi juga melibatkan berbagai jaringan dalam kompleks osteochondral meliputi lemak dan jaringan sinovial, juga ligamen, tendon, dan otot sekitar sendi 3. Faktor risiko yang mengarah pada terjadinya OA dapat dilihat pada Gambar 1. Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Awalia Gambar 3. Hubungan diet, sindroma metabolik, dan obesitas dengan OA 4 tahun. Angkanya akan meningkat menjadi 44% pada usia di atas 80 tahun. Mekanisme yang mendasari Endokrin melibatkan akumulasi dari kerusakan molekuler dari Didapatkan risiko 3 kali lebih besar untuk DNA, protein, dan lipid, yang mengakibatkan defek seluler dan disfungsi jaringan. Sumber dari kerusakan terjadinya progresivitas OA lutut pada individu ini adalah spesies oksigen dan nitrogen reaktif akibat dengan defisiensi vitamin C dan vitamin D. Dikatakan respons stres seluler dan mitokondria mengakibatkan peningkatan densitas tulang tidak menunjukkan kerusakan DNA, pemendekan telomere, kerusakan peningkatan risiko dari OA 1. protein, lipid, dan disfungsi mitokondria. Perubahan ini menurunkan kemampuan kondrosit untuk Jenis Kelamin mempertahankan homeostasis dari rawan sendi dan Sebagian besar studi menunjukkan bahwa wanita menurunkan nilai ambang ketahanan beban. Berbagai antioksidan telah terbukti pada model hewan dapat lebih cenderung untuk mengalami OA dibanding laki- menurunkan risiko OA seperti agen inhibitor COX-2, laki (dengan pooled-OR keseluruhan 1,84). Studi di asam hyaluronat, glukosamin, dan antagonis reseptor Spanyol tahun 2013 menunjukkan wanita memiliki IL-1β dan polifenol 1,3. risiko relatif terjadi OA tangan dan hip 2,5 kali dibanding pria. Sedangkan risiko relatifnya untuk OA Genetik lutut adalah 1,19. Puncak risiko relatif ini adalah pada Diperkirakan terdapat lebih dari 80 gen yang usia 50-55 tahun. Dikatakan untuk usia kurang dari 50 tahun OA lebih sering terjadi pada laki-laki 1. terlibat dalam patogenesis OA. Beberapa di antaranya adalah gen reseptor vitamin D dan insulin-like growth Riwayat Trauma factor-1 (IGF-1) terutama kaitannya dengan kesehatan OA post trauma bisa terjadi akibat kerusakan tulang dan rawan sendi. Faktor epigenetik seperti metilasi DNA, modifikasi histon, dll.dikatakan juga struktur sendi sebelumnya meliputi fraktur, kerusakan berpengaruh terhadap kejadian OA 1. rawan sendi atau meniskus, ruptur ligamen, dll. Predisposis riwayat trauma sebagai faktor risiko ini Obesitas / Sindroma Metabolik bervariasi di tiap sendi. Dikatakan secara umum 12% Obesitas dan sindroma metabolik juga merupakan dari semua OA didapatkan riwayat trauma, dengan 20-78% riwayat trauma pada OA ankle, 10% pada OA faktor risiko yang kuat untuk terjadinya OA. Studi lutut, dan 2% pada OA hip. Adanya ruptur ligamen metta-analisis menunjukkan odds ratio kejadian OA seperti ACL dan robekan meniskus secara radiologi pada individu obes dan overweight adalah 2,96 kali dapat menyebabkan OA pada usia yang lebih dini. dibanding normal. Studi populasi di Jepang, Nigeria, Dikatakan post ruptur ACL didapakan 21% pasien Mesir, dan Cina menunjukkan berebagai komponen akan menderita OA 1,3. sindroma metabolik seperti hipertensi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme glukosa berkorelasi kuat Overuse/overloading kronis dengan kejadian OA, perubahan radiografi, nyeri yang Kondrosit secara kontinyu akan menerima berat, dan gangguan fungsi. Jadi hubungan antara obesitas dan OA tidak hanya semata beban mekanik beban mekanik fisiologis, yang penting untuk wear-and-tear pada permukaan rawan sendi, tapi juga mempertahankan homeostasis dari proses katabolik terkait dengan mediator inflamasi terkait sindroma dan anabolik menuju keseimbangan antara mediator metabolik, khususnya enzim degradasi, dan adipose inflamasi dan antiinflamasi. Di lain hal, beban yang tissue-derived cytokine (adipokines). Beberapa berlebihan akan mengganggu keseimbangan tersebut adipokines seperti leptin, adiponektin, dan lipocalin menuju proses katabolik yang lebih aktif, menimbulkan 2 dapa menginduksi sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-6, C-X-C motif chemokine ligand 5 (CXCL5) yang Temu Ilmiah Reumatologi 2021 mengakibatkan kerusakan matriks rawan sendi, dan remodelling tulang subkondral. Diet kaya lemak jenih dikatakan juga melemahkan metabolisme tulang rawan dan meningkatkan kerusakan sendi, dan berujung pada terjadinya OA 1,3. Bagaimana hubungan antara diet, obesitas, dan sindroma metabolik dapat dilihat pada Gambar 3. 62

penipisan dan defek rawan sendi, sklerosis subkondral Patogenesis dan Diagnosis Osteoarthritis dan akhirnya mengarah ke OA 3. Degenerasi rawan sendi dan perubahan lain dari Terdapat beberapa studi yang menunjukkan sendi dapat dinilai secara semikuantitatif melalui bahwa pekerjaan yang banyak mekakukan jongkok, pemeriksaan radiografi menggunakan skala gradasi lompat, bertumpu di lutut, dan angkat berat Kellgren-Lawrence (KL) seperti terlihat pada Gambar meningkatkan risiko OA lutut. Pekerja kontruksi, 5. petani, dan militer dikatakan memiliki risiko tinggi OA. Seiring perkembangan teknologi, penggunaan Gambar 5. Skala radiografi Kellgren-Lawrence untuk OA lutut2 komputer dan smart-phone diduga juga meningkatka risiko OA tangan, tapi hal ini masih memerlukan studi Pada grade 0 KL didapatkan sendi yang masih lebih lanjut 1. normal, pada grade 1 terlihat kemungkinan adanya osteofit, grade 2 jelas terlihat osteofit dan kemungkinan Sendi degeratif juga ditemukan pada atlet dan adanya penyempitan celah sendi, grade 3 didapatkan individu yang lebih muda melalui kerusakan rawan osteofit multipel moderat, adanya penyempitan sendi akibat beban dan tekanan yang berulang. celah sendi, didapatkan sklerosis, dan kemungkinan Olahraga seperti sepakbola cukup memiliki dampak deformitas tepi tulang. Grade 4 didapatkan osteofit kerusakan, dikatakan 80% pemain sepakbola yang besar, sklerosis yang berat, penyempitan celah di Amerika menderita OA 10-30 tahun setelah sendi yang bermakna, dan adanya deformitas tepi berkompetisi dengan maupun tanpa adanya trauma. tulang 2,5. Pada beberapa studi dikatakan skala KL ini Atlet angkat berat juga memiliki 2-3 kali risiko tidak berkorelasi dengan derajat nyeri yang terjadi. terjadinya OA secara radiologis 1,3. TATALAKSANA Etnis Tatalaksana OA melibatkan terapi non- Banyak studi menunjukkan bahwa ras dan etnis farmakologis dan farmakologis. Secara ringkas tertentu berpperan dalam prevalensi OA. OA lebih tatalaksana OA lutut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. sering terjadi di ras Eropa dibanding Asia, Afrika, dan Jamaica. OA juga lebih sering terjadi di Eropa dan Tabel 1. Rekomendasi tatalaksana OA lutut menurut USA dibanding populasi lain. Lokasi OA juga turut berbagai guideline 2,7 dipengaruhi, dikatakan ras Cina memiliki risiko yang lebih rendah untuk OA hip dan tangan, tetapi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk OA lutut. Derajat beratnya OA juga dipengaruhi faktor ras dan etnis ini 1. Kelainan Kongenital Kelainan kongenital sendi seperti displasia acetabulum, epifisis kaput femur, hallux valgus, genu valgus dll.juga berperan dalam terjadinya OA 1. DIAGNOSIS Diagnosis OA masih menggunakan kriteria klasifikasi OA ACR 1986 seperti terlihat pada Gambar 4 dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 88% 5,6. Gambar 4. Kriteria Klasifikasi OA ACR 1986 5 63 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Awalia DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN 1. Abramoff B, Caldera FE. Osteoarthritis. Pathology, Diagnosis, and Treatmeent Options. Med Clin N Am OA merupakan penyakit sendi degeneratif kronis 2020;104:293. yang paling sering dijumpai di masyarakat. OA lutut merupakan kasus yang paling sering dijumpai. 2. Jang S, Lee K, Ju JH. Recent Updates of Diagnosis, Patogenesis OA sampai saat ini masih belum diketahui Pathophysiology, and reatment on Osteoarthritis of the secara jelas, namun diperkirakan bersifat multifaktor Knee. Int J Mol Sci 2021; 22:2619. baik genetik maupun lingkungan. Usia, genetik, jenis kelamin, obesitas, sindroma metabolik, trauma, 3. He Y, Li Z, Alexander PG, et al. Pathogenesis of pekerjaan, dan kelainan kongenital merupakan faktor Osteoarthritis: Risk Factors, Regulatory Pathways in risiko terjadinya OA. Kriteria klasifikasi OA masih Chondrocytes,and Experimental Models. Biology 2020; menggunakan kriteria ACR 1986 dengan sensitivitas 9:199. 94% dan spesifisitas 88%. Skala Kellgren-Lawrence masih sering dipergunakan untuk grading OA secara 4. Berenbaum F, Wallace IJ, Lieberman DE. Modern- radiografis. Diperlukan tatalaksana non-farmakologis day environmental factors in the pathogenesis of dan farmakologis untuk menghambat progresivitas osteoarthritis. Nat Rev Rheumatol 2018; 14: 674. dari OA. 5. Elzohry AM, Elhamed MFA, Saad BG. Updates in Knee Joint Osteoarthritis. ARC J of Anest 2019; 4:1 6. Altman R, Asch E, Bloch D, et al. Arthritis and Rheumatism 1986; 29:1039. 7. Kolasinski SL, Neogi T, Hochberg MC, et al. 2019 American College of Rheumatology / Arthritis Foundation Guideline for the Management of Osteoarthritis of the Hand, Hip, and Knee. Arthritis Care Res 2020; 72:149. 64 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Sifat Fisikokimia Cairan Sinovial Normal dan Patologis Femi Syahriani Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyait Dalam, Fakultas Kedokteran UNHAS/RS Wahidin sudirohusodo, Makassar Pendahuluan Gambar 1. Mekanisme Lubrikan Pada sendi besar, SF mengandung hingga 3,5 ml. Cairan synovial/Synovial Fluid (SF) adalah cairan Karena SF adalah ultra filtrasi plasma, komposisinya biofluida ekstra seluler yang ada di sendi sinovial mirip dengan plasma, tetapi ada beberapa perbedaan makhluk hidup yang mengisi ruang di rongga sendi penting yang terlihat pada Tabel 1/gambar 2, dimana: dan berfungsi untuk melembabkan dan melumasi kandungan hialuronatnya berkisar antara 3–4 g / l, persendian. Gerakan sendi-sendi tubuh membutuhkan dan konsentrasinya menurun seiring bertambahnya mekanisme pelumasan yang efektif dan fungsi ini usia; konsentrasi glukosa 0,55 mmol / l lebih rendah dimiliki oleh SF. Cairan synovial juga berfungsi sebagai dari pada plasma; aktivitas enzim, yang masuk ke SF media pengantar zat nutrisi ke tulang rawan. Banyak dari plasma dari sel lapisan sinovial, dari leukosit penyakit dapat mempengaruhi persendian dan dan dari jaringan sekitarnya, lebih rendah daripada seringkali hanya pemeriksaan langsung jaringan atau di plasma. Konsentrasi protein SF juga lebih rendah. cairan sinovial yang akan menghasilkan diagnosis Cairan synovial normal mengandung sedikit eritrosit yang benar. Analisis cairan sinovial tidak diragukan dan leukosit. Limfosit dan monosit atau makrofag lagi memainkan peran penting dalam penegakan mendominasi, sedangkan jumlah granulosit neutrofil diagnose serta manajemen pasien dengan penyakit lebih rendah dari 10%. Cairan synovial tidak sendi. mengandung kristal atau fibrinogen dan steril. Fisikokimia Cairan Sinovial Normal Gambar 2. Komposis cairan synovial Cairan sinovial dilaporkan sebagai cairan kental dan berserabut dengan konsistensi seperti telur (“sinovial” sebagian berasal dari ovum, bahasa Latin untuk telur), cairan sinovial mengurangi gesekan antara tulang rawan artikular dan jaringan lain dalam persendian untuk melumasi dan melindungi mereka selama gerakan sendi dilapisi dengan membran sinovial yang berisi dua jenis sel lapisan sinovial – sinoviosit yakni makrofag dan sel mirip fibroblast (fibroblast-like cells). Sel-sel tersebut memiliki berbagai fungsi, seperti fagositosis, penyerapan dan sekresi, serta sintesis hyaluronan. Cairan synovial disekresikan oleh sel lapisan sinovial dan dengan filtrasi plasma melalui pori-pori di kapiler synovial, selanjutnya masuk ke rongga sendi melalui membran synovial (Gambar 1). Cairan synovial memiliki viskositas yang tinggi disebabkan oleh hyaluronate, mukoprotein yang terdiri dari hyaluronan terpolimerisasi dan protein. Perbedaan utama antara cairan sinovial dan cairan tubuh lain yang berasal dari plasma adalah kandungan proteinnya yang tinggi. Protein ini, bersama dengan HA, memainkan peran utama dalam pelumasan. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 65

Femi Syahriani terlihat untuk menunjukkan sendi yang sakit. Nilai Tabel 1. Karakteristik cairan synovial yang normal viskositas yang dilaporkan dalam studi oleh berbagai peneliti ditabulasikan dalam tabel 2. Viskositas dan warna sendi sinovial adalah parameter utama yang dilaporkan terkait dengan kesehatan sendi lutut. Tabel 2. Data Viscosity Value dari beberapa penelitian. Sifat Tribologis Cairan synovial Albumin adalah protein paling melimpah yang ditemukan dalam cairan sinovial. Ini meningkatkan Tribology berkaitan dengan studi tentang pelumasan batas melalui adsorpsi ke permukaan permukaan yang berinteraksi dalam gerakan relatif. material sambungan sehingga melindungi permukaan Gerakan menyebabkan pergesekan antara dua bagian artikular dari keausan. yang menghasilkan keausan pada bagian tersebut dan keausan ini dapaty dikurangi oleh pelumas yang Globulin juga merupakan salah satu protein menurunkan gesekan dan memberikan pemisahan terpenting dan memainkan peran penting dalam antara dua permukaan yang bersentuhan. Fungsi pelumasan batas tulang rawan artikular. Globulin utama cairan sinovial adalah sebagai pelumas. Protein menghasilkan film yang lebih tebal dalam tes tribologi dan asam hialuronat yang ada dalam cairan sinovial dibandingkan komponen cairan sinovial lainnya, pada melakukan peran yang sama sebagai aditif dalam berbagai konsentrasi. pelumas standar dengan meningkatkan efisiensi pelumas. Kemampuan pelumasan cairan sinovial Hyaluronan (HA) adalah salah satu komponen terkait dengan sifat rheologisnya. Rheologi mengacu polimer yang paling melimpah dalam cairan sinovial, pada studi tentang deformasi dan aliran fluida di bawah dan diyakini sebagai komponen pelumas utama pada tekanan. Viskositas dianggap sebagai properti standar sambungan sinovial karena menghasilkan viskositas yang perlu ditentukan pada awalnya. Viskositas cairan yang tinggi. Karena viskositasnya yang tinggi, HA sinovial terlihat bervariasi dengan laju geser. Cairan dianggap sebagai biolubricant yang efektif. sinovial dapat diambil dari sendi melalui aspirasi melalui syringe/jarum suntik. Viskositas terlihat Lubricin terdapat dalam jumlah kecil dalam cairan berkurang jika sendi meradang. sinovial, tetapi kontribusinya terhadap pelumasan batas terlihat jelas. Lubricin membantu mencegah Viskositas yang cukup diindikasikan jika perlekatan sel ke permukaan artikular dan juga membentuk tali sepanjang 4-6 cm saat diteteskan dari mempertahankan sifat pelumasan pada antarmuka syringe yg berisi cairan synovial (setelah dilakukan cairan tulang rawan-sinovial. Ini memfasilitasi tindakan aspirasi cairan sendi). Pengumpulan cairan transportasi dan penahan fosfolipid ke permukaan sinovial normal sangat sulit karena jumlahnya sangat tulang rawan. Ini memberikan sifat kondroprotektif sedikit di sendi. Cairan sinovial yang normal memiliki penting untuk tulang rawan artikular, yang dapat warna kuning pucat yang jernih. Perbedaan warna ditingkatkan dengan interaksi dengan HA melalui disipasi energi yang diinduksi oleh gesekan. Fisikokimia Cairan Sinovial Patologi Efusi sendi merupakan salah satu tanda patologi dari cairan synovial dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mengubah permeabilitas kapiler dan membran sinovial. Komposisi dan tampilan SF juga berubah. Berdasarkan analisis SF, perubahan sendi dapat diklasifikasikan sebagai noninflamasi, inflamasi, septik dan traumatis (Tabel 3). Penyakit 66 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Sifat Fisikokimia Cairan Sinovial Normal dan Patologis radang pada sistem lokomotor termasuk radang pewarnaan Gram, identifikasi mikroorganisme bakteri dan non bakteri (misalnya asam urat), patogen dan antibiogram, 5) analisis biokimia, sedangkan penyakit noninflamasi terutama terjadi terutama untuk glukosa, protein total, laktat, akibat osteoartritis, spondyloarthropathies, cedera dehidrogenase laktat, asam urat dan proteoglikan, atau gangguan koagulasi (hemofilia). dan 6) tes khusus lainnya, misalnya untuk keberadaan dan aktivitas komplemen, keberadaan autoantibodi Pada pasien dengan prostesis sendi, kemungkinan spesifik, keberadaan dan aktivitas sitokin, adanya infeksi pada prostesis menjadi masalah, dan analisis penanda perubahan metabolisme tulang dan tulang efusi di sekitar prostesis dapat memberikan petunjuk rawan. untuk identifikasi patogen penyebab infeksi. Viskositas yang berkurang adalah tanda Analisis SF penting dilakukan untuk mengetahui peradangan. Dimana konsentrasi numerik leukosit penyebab serta penegakan diagnose, adapun meningkat dan rasionya berubah serta jumlah analisa yang dilakukan terdiri dari 1) pemeriksaan neutrofil meningkat dikarenakan glikolisis anaerobik, visual dan penilaian viskositas, 2) pemeriksaan glukosa dikonsumsi dan laktat diproduksi, aktivitas mikroskopis sampel segar termasuk penilaian jumlah enzim glikolitik meningkat (dehidrogenase sel dan deskripsi keberadaan dan jenis kristal, 3) laktat). Enzim lisosom dari leukosit menyebabkan pemeriksaan sitologi dengan penghitungan leukosit depolimerisasi hialuronat dan viskositas menurun. dan diferensiasinya leukosit dari endapan sitologi, Karena permeabilitas membran sinovial yang 4) pemeriksaan mikrobiologi, meliputi penilaian berubah selama peradangan, sampel tersebut juga Tabel 3. Klasifikasi efusi berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 67

Femi Syahriani cells, meski jarang di jumpai dan bukan menjadi pemeriksaan rutin pada Analisa SF, apabila dijumpai mengandung protein, terutama fibrinogen. Viskositas dapat dipertimbangkan adanya atritis reaktif, PsA, yang berkurang juga dapat disebabkan oleh bahan Rheumatoid arthritis dan OA. yang telah disuntikkan, mis. Obat-obatan. Ringkasan Pada study kasus infeksi sendi periprostetik (ISP), viskositas cairan sinovial tampaknya memiliki tingkat Cairan synovial merupakan cairan biofluida ekstra akurasi yang sama dengan CRP, ESR, dan D-dimer seluler yang ada di sendi sinovial berfungsi untuk terkait deteksi ISP dan menjadi penanda diagnosis ISP. melembabkan dan melumasi persendian. Cairan Pada penelitian atritis septic, kinerja diagnostik synovial juga berfungsi sebagai media pengantar zat laktat/glukosa sinovial memungkinkan artritis septik nutrisi ke tulang rawan. Komposisi cairan synovial dibedakan secara efektif dan sangat cepat dari jenis normal terdiri dari Albumin, HA, Glubulin, lubrikan, artritis akut lainnya. dan biochemical lainnya. Banyak penyakit dapat mempengaruhi persendian dan seringkali hanya pemeriksaan langsung jaringan atau cairan sinovial yang akan menghasilkan diagnosis yang benar. Analisis cairan sinovial dapat digunakan dalam penegakan diagnose (apakah penyebabnya suatu non inflamasi, inflamasi, septic atau traumatik). Gambar 4. Perbandingan komposisi cairan sinovial normal Daftar Pustaka dan cairan sinovial pasien Osteoatritis. , Pada gambar 4 menunjukkan konsentrasi HA, 1. D.Prekasan Dr.K.K.Saju.REVIEWOFTHETRIBOLOGICAL lubrikan, albumin serta globulin yang berbeda pada CHARACTERISTICS OF SYNOVIAL FLUID. Procedia cairan sinovial pasien Osteoatritis (OA) dengan cairan Technology 25 (2016) 1170 – 1174 sinovial normal. Terlihat konsentrasi HA, lubrikan, serta albumin yg lebih rendah pada pasien OA dan 2. Subir Ghosh, Dipankar Choudhury, Nabangshu Shekhar terjadi peningkatan kadar globulin pada pasien OA. Das and Belinda Pingguan-Murphy. Tribological Nilai pH cairan sinovial pasien OA ditemukan lebih role of synovial fluid compositions on artificial tinggi. joints — a systematic review of the last 10 years. LUBRICATION SCIENCE. Lubrication Science 2014; Temuan yang tidak biasa/jarang kadang di jumpai Published online in Wiley Online Library pada analisa SF. Antara lain: Konrosit terutama pada (wileyonlinelibrary.com). DOI: 10.1002/ls.1266 pasien OA dan traumatic; cytophagocytic mononuclear clls (Reiter’s cells) dipertimbangkan pada kasus Reiter’s 3. DunjaTerčicandBorutBožicTheBasisoftheSynovialFluid syndrome ataupun atritis reaktif jika tidak dijumpai Analysis. ClinChemLabMed2001;39(12):1221–1226 adanya atritis yang berhubungan dengan infeksi atau kristal. Dapat juga dijumpai pada atritis septic, juvenil 4. Jun Fu, MD, Ming Ni, MD, Wei Chai, el al. Synovial rheumatoid arthritis dan atritis psoriasis (PsA); Mast Fluid Viscosity Test is Promising for the Diagnosis of Periprosthetic Joint Infection. The Journal of Arthroplasty 34 (2019) 1197-1200 5. Francesca Oliviero, Paola Galozzi, Roberta Ramonda, el al . Unusual Findings in Synovial Fluid Analysis: A Review Annals of Clinical & Laboratory Science, vol. 47, no. 3, 2017 6. Olivia Berthoud, Guillaume Coiffier Jean-David Albert el al.. Performance of a new rapid diagnostic test the lactate/glucose ratio of synovial fluid for the diagnosis of septic arthritis. Joint Bone Spine 87 (2020) 343–350. 68 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Sjogren’s syndrome and Pregnancy Pande Ketut Kurniari Divisi Reumatologi - Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam, FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan dan hiperaktifitas dari sel B. Infiltrasi ilmfosit yang didominasi oleh sel B dan sel T mengakibatkan Sjogren’s Syndrome (sindrom sjogren)/SS disebut kerusakan kelenjar acini dari kelenjar eksokrin. Hal juga autoimmune exocrinopathy adalah penyakit ini akan mengakibatkan penurunan fungsi kelenjar autoimun sistemik progresif yang terutama mengenai eksokrin. Keradangan pada kelenjar eksokrin juga kelenjar eksokrin. Penyakit ini ditandai dengan akan mengakibatkan pembesaran kelenjar. Secara gangguan fungsi kelenjar, dapat disertai gejala histologi akan tampak infiltrasi sel limfosit disertai sistemik serta dapat melibatkan gejala ekstrakelenjar. degenerasi, atropi dan penurunan fungsi kelenjar. SS dapat primer maupun sekunder berdasarkan Keterlibatan sistem imun seluler dan humoral pada penyakit yang mendasari. SS primer tidak terkait SS, mendasari patofisiologinya. Autoantibodi spesifik dengan penyakit autoimun lainnya dan SS sekunder yang terlibat adalah Anti Ro (SS-A) dan antibody La bila berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya (SS-B). Kedua antibodi ini berhubungan dengan gejala seperti artritis rheumatoid (RA), Systemic Lupus awal penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjar Erythematosus (SLE) dan skleroderma. SS banyak parotis, splenomegaly dan limfadenopati. Antibodi mengenai wanita (9:1).1,2 SS dapat terjadi pada wanita lain yang dapat ditemukan juga adalah ANA dan RF.1-4 usia produktif dan kehamilan pada SS merupakan situasi yang memerlukan perhatian khusus, mengingat Pada wanita yang sedang hamil, antibodi anti- berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan terkait Ro dan anti-La dapat menyebabkan komplikasi penyakitnya sendiri dimana antibodi yang berperan pada kehamilan karena antibodi ini dapat melewati pada SS yaitu anti SSA dan anti SSB bertanggungjawab plasenta dapat menyebabkan peradangan dalam terhadap komplikasi kehamilan SS. Penggunaan sistem konduksi jantung janin (Congenital Heart obat-obatan juga berdampak terhadap kehamilan. Block/CHB).1,2 Seorang wanita hamil berisiko bayinya Sebaliknya, kehamilan itu sendiri mempengaruhi mengalami CHB lebih besar bila kedua antibodi positif aktifitas penyakit SS. 1-3 dibandingkan hanya salah satu saja yang positif. CHB dapat mulai terjadi pada usia kehamilan antara Epidemiologi 16 sampai 24 minggu, meskipun dapat pula terjadi setelahnya. Insiden CHB pada ibu dengan anti-Ro / Sindrom Sjogren merupakan penyakit autoimun SSA diperkirakan 1–2%, dan dapat mencapai >20% yang cukup banyak, tetapi gejala klinis awal sering jika ibu melahirkan anak dengan lupus neonatal tidak spesifik dan sering tumpang tindih dengan atau CHB sebelumnya. Risiko mengalami blok AV penyakit autoimun lainnya. Meskipun dapat mengenai permanen menjadi 10 kali lebih besar pada kehamilan seluruh usia, SS lebih banyak ditemui pada wanita (9:1) berikutnya. Angka mortalitas sekitar 20 % pada usia 45 sampai 55 tahun. Prevalensinya sekitar 0,1- kasus CHB.7,8 Mekanisme terjadinya CHB adalah 4,8 % pada populasi umum.1-3 Di Eropa diperkirakan akibat autoantibodi SSA/SSB dari ibu melewati prevalensinya 1-23 per 10.000 penduduk. Di Amerika plasenta masuk ke sirkulasi bayi, kemudian berikatan diperkirakan 2-4 juta penderita SS, 50 % diantaranya dengan reseptor saluran kalsium tipe-L di jaringan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya, 25 % konduksi janin, sehingga meningkatkan internalisasi diantaranya terkait dengan SLE atau RA.1,4 saluran kalsium dan mengganggu metabolisme kalsium sitoplasma. Hal ini menyebabkan apoptosis Etiologi dan patogenesis nonfisiologis dan menyebabkan peradangan. Mekanisme lainnya adalah ribonukleoprotein SSA/SSb Penyebab pasti SS masih belum diketahui pasti. fetus dibawa ke permukaan sel saat proses apoptosis Interaksi faktor genetik, lingkungan serta infeksi normal, kemudian berikatan dengan antibodi SSA/ diduga sebagai pencetus terjadinya SS. Faktor genetik SSB ibu, mengalami opsonisasi dan fagositosis oleh yang terkait dengan SS primer adalah haplotype HLA- makrofag fetus, kemudian mengaktivasi kaskade DR. Dikatakan bahwa hubungan HLA dengan SS masih TLR 7/8 , merangsang produksi sitokin proinflamasi terbatas pada pasien dengan antibodi anti-SSA dan dan profibrosis mengakibatkan terjadinya inflamasi, atau SS-B yang positif. Infeksi beberapa virus seperti fibrosis dan jaringan parut pada sistem konduksi Epstein–Barr virus (EBV), Coxsackie virus, human jantung bayi sehingga terjadi CHB (gambar 1).12,13 immunodeficiency virus (HIV), dan hepatitis C virus (HCV) diduga sebagai pencetus.1,2 SS mengaktivasi 69 berbagai sistem imun, juga ditandai dengan disregulasi Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Pande Ketut Kurniari Selain CHB, dilaporkan pula kejadian abortus spontan dan kematian janin.5,7 Disamping itu risiko Gambar 1.Mekanisme terjadinya CHB.12 efek teratogenik dari penggunaan obat-obatan juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan pada Gejala klinis kehamilan SS. Tidak banyak studi yang membahas tentang kehamilan pada SS. Studi case control pada Gejala klinis SS sangat luas, dapat berupa 16 pasien SS hamil oleh Husein,dkk mendapatkan gejala eksokrinopati, gejala sistemik dan gejala bahwa SS dengan kehamilan memiliki risiko lebih ekstraglandula. Gejala eksokrinopati di mata berupa besar melahirkan anak dengan berat badan bayi mata kering (keratokonjungtivitis sicca) sehingga rendah.5 Studi kohort di New South Wales Australia menimbulkan gejala berupa sensasi adanya benda tahun 2015 oleh Chen,dkk mendapatkan hasil asing, rasa mengganjal bisa disertai dengan rasa tebal, kehamilan pada wanita dengan penyakit autoimun fotosensitif dan sensasi. Gejala eksokrinopati kelenjar (terutama sjogren syndrome, sistemik vaskulitis, ludah menimbulkan xerostomia berupa gejala mulut sistemik sclerosis dan behcet’s disease) memiliki kering akibat menurunnya produksi kelenjar ludah. insiden komplikasi kehamilan yang lebih tinggi Hal ini sering menimbulkan rasa kering dimulut, berupa hipertensi, perdarahan, gestasional diabetes sulit menelan, berbicara lama, sering muncul karies dan kematian ibu. Sementara risiko pada bayi dapat gigi. Pada pemeriksaan didapatkan mulut kering terjadi kelahiran premature, kematian neonatus dan kemerahan pangkal lidah disertai pembesaran dan kematian perinatal.6 Calesbeter, dkk (2016) kelenjar parotis. Gejala eksokrin diorofaring dapat melaporkan kejadian keguguran lebih tinggi pada SS menyebabkan suara parau. Gejala ekstraglanduler hamil dibandingkan control (30% vs 0,4 %). Aborsi antara lain kulit kering, interstitial lung disease pada spontan diduga terkait dengan proses imunologis, paru, vaskulitis pada pembuluh darah, Renal Tubular adanya antibody antiposfolipid, TPO atau Tg antibody.7 Acidosis pada ginjal, disfagia serta berbagai manifestasi lainnya. Gejala sistemik yang dapat muncul seperti Diagnosis10 kelelahan, demam, nyeri otot, dan artritis. Lebih dari Diagnosis sindrome sjogren dibuat berdasarkan 70% pasien juga mengalami keluhan artikuler. SS Kriteria Klasifikasi Sindrom Sjogren primer dari dapat juga berkembang kearah keganasan karena American College of Rheumatology (ACR) dan the transformasi selB kearah keganasan1-4 European League Against Rheumatism (EULAR) tahun 2016: CHB merupakan komplikasi yang sering terjadi pada bayi dari ibu dengan SS akibat adanya anti Ro Kriteria Inklusi : (≥ 1 dari keluhan di mata dan mulut sebagai berikut): dan Anti La yang merusak konduksi AV node. CHB 1. Mata kering yang menetap dan mengganggu, dialami setiap hari selama ditandai dengan terjadinya blok konduksi AV node sehingga mengakibatkan terjadinya first-second lebih dari 3 bulan degree AV block yang dapat bersifat sementara, 2. Mengalami keluhan mata seperti terasa berpasir sedangkan third degree AV block atau complete AV 3. Membutuhkan air mata buatan block bersifat fatal dan ireversibel dan memiliki angka 4. Mengalami rasa mulut kering setiap hari selama lebih dari 3 bulan kematian yang tinggi (19%). Klinis lain yang dapat 5. Harus banyak minum air ketika menelan makanan muncul adalah sinus bradikardi, prolong QTc interval, 6. Kecurigaan mengalami sjogren syndrome (SS) berdasarkan kuisioner endokardial fibroelastosis dan kardiomyopati.7,12,13 Pemeriksaan fetal ekokardiografi dapat dilakukan dari European League Against Rheumatism SS Disease Activity Index untuk mendiagnosis adanya kondisi bradiaritmia (minimal satu domain yang positif) yang merupakan manifestasi CHB.12 Kriteria Eksklusi: 70 1. Radiasi pada daerah kepala dan leher 2. Infeksi hepatitis C (dengan PCR) 3. AIDS 4. Sarcoidosis 5. Amiloidosis 6. Graft-versus-host disease 7. IgG4-related disease Kriteria Klasifikasi 1. Kelenjar liur dengan sialadenitis limfositik fokal dan focus score ≥ 1 (FS≥1 berdasarkan jumlah focus/4 mm2) (skor 3) 2. Antibodi anti SSA (skor 3) 3. Skor pewarnaan permukaan mata (ocular staining score) ≥ 5 (atau van Bijsterveld ≥ 4 pada minimal satu mata (skor 1) 4. Tes Schimer ≤ 5 mm/5 menit pada minimal 1 mata (skor 1) 5. Laju aliran saliva tanpa stimulasi (unstimulated whole saliva) ≤0,1 ml/ menit (skor 1) Intepretasi: Pasien dengan total skor ≥ 4 poin memenuhi kriteria untuk SS primer (sensitivitas 96 %, spesifisitas 95 %) Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Penatalaksanaan Sjogren’s syndrome and Pregnancy Penatalaksanaan SS secara umum memerlukan betametason) pada ibu hamil dengan SS dapat pendekatan multidisiplin terkait organ yang terlibat. mengatasi keradangan sehingga mengurangi Prinsip penatalaksanaannya adalah terapi simtomatis kerusakan jaringan akibat inflamasi, karena untuk menggantikan fungsi kelenjar eksokrin dengan steroid berfluorinasi tidak diinaktivasi oleh cara memberikan lubrikasi. Terapi pada keluhan hidroksilase plasenta. Steroid berfluorinasi tidak keratokonjungtivitis adalah topikal terapi berupa dimetabolisme di plasenta sehingga mencapai pemberian air mata buatan. Terapi pada xerostomia fetus dalam keadaan aktif. Sedangkan steroid yang berupa pemberian air liur sintetik, menjaga kesehatan non fluorinasi seperti prednisone, prednisolone gigi dan mulut. Terapi sistemik dipertimbangkan pada dan metil prednisolone tidak melalui plasenta manifestasi SS sistemik yang aktif. Beberapa obat dan tidak dapat digunakan untuk mencegah CHB. obat imunosupresan yang dapat digunakan antara 11 Indikasi pemberian steroid untuk kehamilan lain glukokortikoid, antimalarial, imunosupresan lain, dengan anti SSA positif untuk mencegah CHB intravena immunoglobulin dan agen biologi. 3,4 masih belum jelas. Ada yang menyebutkan pemberian steroid untuk pencegahan hanya Penatalaksanaan kehamilan pada SS terdiri dari diberikan kepada ibu hamil dengan risiko tinggi tatalaksana prenatal dan antenatal. yaitu SSA positif dan riwayat bayi dengan CHB.11 Namun belum ada bukti yang pasti apakah steroid 1. Tatalaksana prenatal mampu menurunkan titer Anti SSA dan Anti SSB Meliputi perencanaan kehamilan pada pasien atau mengobati CHB. Deksametason dilaporkan dapat memperbaiki karditis dan CHB yang tidak yang sudah terdiagnosis SS. Wanita dengan lengkap serta dapat memperbaiki hemodinamik sindrom Sjögren yang berencana untuk hamil janin. Pemberian deksametason pada ibu SS harus menjalani konseling yang baik mengenai dengan hamil direkomendasikan bila blok baru semua risiko dan komplikasi yang bisa terjadi, atau incomplete CHB. Risiko penggunaan steroid obat-obatan yang dikontraindikasikan selama berfluronasi dosis tinggi (dexametason 4 mg/hari) kehamilan, dan apakah pasien dalam kondisi pada ibu adalah infeksi, osteonecrosis, osteoartitis, terbaik untuk hamil sesuai dengan aktivitas odtroporosis.Risikopadajanintermasukhambatan penyakit yang mendasari dan komplikasi. pertumbuhan intrauterin, oligohidramnion, Idealnya, penyakit ini harus terkendali dengan dan kemungkinan kontrol adrenal.8 Terapi lain baik tiga sampai enam bulan sebelum hamil.9 yang menjadi alternatif digunakan pada CHB adalah intravena immunoglobulin (1 gram/kg 2. Tatalaksana antenatal BB minggu ke 14 dan minggu ke 18 kehamilan) CHB merupakan komplikasi yang paling ditakuti dan plasmaparesis, dimana terapi ini bertujuan menurunan kadar antibodi dalam sirkulasi ibu pada kehamilan SS. Resiko bayi mengalami sehingga menurunkan trasmisi autoantibodi CHB bila ibu memiliki anti SSA atau SSB positif.9 ibu ke bayi.11, Hidroksiklorokuin juga digunakan Untuk mendeteksi adanya CHB, dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya CHB pada USG Dopler setiap 2 minggu mulai dari usia ibu berisiko karena HCQ memiliki efek hambatan kehamilan 16 sampai 26 minggu. Tujuannya pada jalur aktivasi TLR, sehingga menghambat untuk dapat mendeteksi dan mengobati sedini inflamasi dan fibrosis akibat proses autoimun.Bayi mungkin adanya CHB inkomplit sehingga outcome yang tidak respon dengan medikamentosa dapat bayi lebih baik. Terapi pada bayi bertujuan dipertimbangkan mempergunakan pacemaker.12 unutk mencegah progresifitas derajat AV Blok yang terjadi dan menurunkan risiko gangguan Kesimpulan perkembangan dan hidrops fetus. Apabila saat USG ditemukan CHB derajat satu atau dua maka Wanita dengan sindrom Sjögren cenderung dapat diberikan profilaksis dapat berupa steroid mengalami lebih banyak komplikasi selama kehamilan. (fluorinated steroid) dan hidroksiklorokuin.8 Studi menunjukkan tingginya insiden hasil akhir Tujuan penatalaksanaan medikamentosa adalah janin yang buruk pada SS. Wanita yang menderita untuk menurunkan autoantibodi ibu sehingga SS dengan kehamilan harus menjalani tatalaksana mengurangi transfer antibodi ibu ke anak, prenatal dan antenatal. Kehamilan berisiko tinggi ini mengurangi keradangan agar tidak terjadi fibrosis dapat ditangani secara optimal dengan pendekatan permanen dan CHB yang ireversibel. Pemberian multidisiplin. steroid yang berfluorinasi (deksametason/ Temu Ilmiah Reumatologi 2021 71

Pande Ketut Kurniari 8. C Ballester et al. Pregnancy and primary Sjögren’s syndrome: management and outcomes in a multicentre Daftar Pustaka retrospective study of 54 pregnancies. Scand J Rheumatol 2016;1–8 1. Daniels T. Sjogren’s Syndrome. In Primer Primer on the Rheumatic Disease. 13th edition. Springer Science 9. Suruchi Gupta and Nikhil Gupta. Sjögren Syndrome and Business Media, LLC, New York. 2008: 389-396. Pregnancy: A Literature Review. Perm J 2017;21:16- 047. 2. Clair E W. Sjogren’s Syndrome. In KELLEY’S Textbook of Rheumatology. Ninth Edition. Elsevier, Philadelpia. 10. Shiboski C H,. Shiboski S C, Seror R, Criswell L A, et 2013: 1349-1368. al.2016 ACR-EULAR Classification Criteria for primary Sjögren’s Syndrome: A Consensus and Data-Driven 3. Yuliasih. Sindrom Sjogren. Dalam Buku Ajar Ilmu Methodology Involving Three International Patient Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Interna Publishing. Cohorts. Arthritis Rheumatol. 2017; 69(1):35-45. 2014:3160-3166. 11. Brucato A. Prevention of congenital heart block in 4. Ramos- Casals M, et al. EULAR recommendations for the children of SSA-positive mothers. Rheumatology management of Sjögren’s syndrome with topical and 2008;47:iii35–iii37 systemic therapies. Ann Rheum Dis 2020; 79:3–18. 12. Pruetz, J D, Miller J C, Gerald J E, Silka| M J, et al. Prenatal 5. Priori, et al. Outcome of Pregnancy in Italian Patients diagnosis and management of congenital complete with Primary Sjögren Syndrome. The Journal of heart block. Birth Defects Research. 2019;1–9. Rheumatology 2013; 40:7 13. Ambrosi A and Wahren-Herlenius M. Congenital heart 6. Sarwen Z. Hussein et al. Pregnancy and fetal outcome block: evidence for a pathogenic role of maternal in women with primary Sjogren’s syndrome compared autoantibodies. Arthritis Research & Therapy with women in the general population: a nested case- 2012;14:208-10 control study. Rheumatology 2011; 50(9):1612-7 7. Chen et al. Pregnancy outcomes in women with rare autoimmune diseases. Arthritis & rheumatology. 2015; 67: 3314–3323. 72 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Peran Pemeriksaan Genetik dalam Evaluasi Penyakit Autoimun RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan autoantigen dan presentasi antigen ke sel imun spesifik sampai pembentukan autoantibodi spesifik Penyakit autoimun saat ini mulai mendapat yang akan menyerang sel-sel sehat. Autoantibodi yang perhatian lebih karena peningkatan kepeduliaan terbentuk akan mengakibatkan kerusakan pada organ masyarakat dan tenaga kesehatan. Berbagai studi spesifik dan memicu proses peradangan, yang pada menunjukkan adanya peningkatan prevalensi pada akhirnya akan menimbulkan manifestasi klinis. 2,3 Dari beberapa penyakit autoimun. Selain itu, perkembangan uraian tersebut dapat dilihat bahwa dari predisposisi dalam bidang diagnosis dan patogenesis juga sangat genetik menuju klinis penyakit autoimun memerlukan pesat sehingga peran berbagai aspek termasuk aspek adanya pencetus sehingga perlu dipahami bahwa genetic dalam terjadinya penyakit autoimun mulai pemeriksaan genetik semata belum tentu menentukan dipahami. Berbagai penelitian mulai menunjukkan terjadi penyakit autoimun atau tidak. bahwa pemeriksaan genetik dapat memiliki peran dalam berbagai aspek penyakit autoimun untuk Faktor Risiko Genetik pada Penyakit Autoimun memprediksi terjadinya penyakit, mendiagnosis dini, menilai prognosis, dan memprediksi respon Variasi genetik memiliki pengaruh terhadap risiko pengobatan. Salah satu penerapan pemeriksaan terkena penyakit termasuk pada penyakit autoimun.4 genetik dalam klinik adalah dengan genetic risk score Studi genetika pada penyakit autoimun telah dimulai atau polygenic risk score. Skor risiko genetik saat ini sejak 4 dekade lalu, yaitu dengan ditemukannya mulai digunakan secara komersial akan tetapi terdapat HLA-DRB1 pada Atritis Reumatoid (RA). Sejak awal beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam tahun 2000, sejumlah lokus-lokus Human Leukocyte menginterpretasi pemeriksaan genetik tersebut.1,2 Antigen (HLA) dan non-HLA yang menjadi faktor risiko genetik dari berbagai macam penyakit telah Perjalanan Alamiah Penyakit Autoimun mulai diidentifikasi melalui Genome-Wide Association Studies (GWAS).5 Terdapat lebih dari 130 GWAS yang Sistem kekebalan tubuh memiliki peran telah menemukan lokus berisiko yang terkait dengan seimbang, yaitu untuk melindungi seseorang dari berbagai penyakit autoimun.4 invasi mikroba patogen atau ancaman anorganik, dan juga disaat yang bersamaan memungkinkan Tabel 1. Lokus genetik yang berasosiasi dengan seseorang untuk melakukan interaksi yang tidak penyakit autoimun pada GWAS4 mengancam kepada lingkungan. Apabila sistem kekebalan tubuh gagal melindungi seseorang, maka 73 akan berakhir pada kondisi imunodefisiensi yang dapat membuat seseorang menjadi rentan terhadap serangan patogen atau ancaman berbahaya lainnya. Di sisi lain, penyakit autoimun terjadi akibat adanya gangguan pada homeostasis sistem kekebalan tubuh, yang membuat sistem kekebalan tubuh berbalik menyerang orang itu sendiri dan menyebabkan berbagai penyakit yang mengancam jiwa.1 Terdapat faktor endogen dan eksogen yang dapat menjadi faktor predisposisi penyakit autoimun. Gender (Perempuan), hormon (Esterogen, prolaktin, vitamin D), stress, imunodefisiensi, dan predisposisi genetik merupakan faktor predisposisi endogen, sedangkan merokok, pola diet, polusi lingkungan, infeksi, dan obat-obatan menjadi faktor predisposisi eksogen.2 Predisposisi genetik ditambah dengan berbagai pencetus misalnya paparan lingkungan seperti sinar ultraviolet (UV) akan dapat memicu rentetan reaksi imunologis mulai dari pengenalan terhadap Temu Ilmiah Reumatologi 2021

RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo dan genotipe target. Setelah data dikumpulkan, kemudian dilakukan proses pengendalian kualitas Genome-Wide Association Studies (GWAS) dan proses penghitungan nilai. Kemudian setelah hasil adalah metode pendekatan yang digunakan dalam didapatkan dilakukan uji coba dan validasi.6 Data yang penelitian genetika untuk mencari hubungan variasi didapatkan dari individu terkait dapat dipengaruhi genetik tertentu dengan penyakit tertentu. Metode oleh faktor lain, seperti ketiadaan informasi mengenai ini dilakukan dengan melakukan pemindaian variasi genetik individu dan perbedaan karakteristik genom dari banyak orang lalu mencari penanda (Usia, gender, ras, gaya hidup) individu dalam GWAS genetik yang dapat digunakan untuk memprediksi (gambar 1).8 keberadaan suatu penyakit tertentu. GWAS biasanya berfokus pada hubungan antara single-nucleotide Peran Genetic Risk Score pada prediksi polymorphisms (SNPs) dengan ciri penyakit utama. terjadinya penyakit Dari lokus yang berasosiasi dengan penyakit keluaran klinis misalnya kejadian penyakit autoimun pada studi Peran genetik pada RA sudah diketahui sejak 4 GWAS kemudian dapat disusun suatu sistem skoring dekade yang lalu, HLA-DRB1 telah diketahui menjadi yaitu Polygenic risk scores (PRS). PRS dapat digunakan gen berisiko pada Atritis Reumatoid (RA). Sejak saat untuk memperkirakan nilai kecenderungan individu itu berbagai penelitian mengenai gen-gen berisiko terhadap suatu fenotipe. PRS dihitung dengan cara pada pasien yang rentan mengalami RA bermunculan.5 menjumlahkan genotipe seluruh genom individu Yarwood et al. melakukan studi mengenai peran yang dilakukan pembobotan (weighting) berdasarkan weighted genetic risk score (wGRS) dengan ukuran efek genotipe terkait yang didapatkan dari menggunakan seluruh 46 lokus berisiko terkait RA rangkuman data statistik GWAS.6 Dalam praktik yang telah diketahui dalam memprediksi risiko RA. kedokteran sehari-hari, PRS dapat digunakan dalam Salah satu hasil yang didapatkan adalah individu pada stratifikasi risiko pada populasi misalnya untuk kelompok berisiko tinggi menunjukkan peningkatan menentukan program skrining yang sesuai atau peluang yang signifikan terhadap perkembangan anti- berkontribusi dalam pengambilan keputusan klinis cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) dibandingkan bagi pasien yang menunjukkan gejala tetapi diagnosis dengan kelompok berisiko rendah. Akan tetapi dari pasien tidak jelas. Pada prinsipnya, PRS dapat kesimpulan studi yang dilakukan oleh Yarwood berkontribusi dalam menentukan pilihan pengobatan, dkk., didapatkan bahwa penggunaan wGRS dengan tetapi masih diperlukan lebih banyak data untuk keseluruhan varian genetik berisiko terkait RA yang mengembangkan penggunaan PRS.7 telah diketahui tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam memprediksi risiko kejadian RA pada pasien Gambar 1. Proses Analisis Polygenic Risk Scores (PRS)6 yang berisiko.9 Data yang diinput dalam polygenic risk scores McClure dkk. melakukan studi untuk menyelidiki (PRS) dibagi menjadi data dasar yang didapatkan viabilitas uji penapisan genetik pada pasien yang dari GWAS dan data target yang merupakan fenotipe memiliki risiko mengalami RA dengan menggunakan kombinasi lima lokus berisiko yang telah dikonfirmasi 74 pada GWAS. Gen HLA-DRB1, PTPN22, STAT4, lokus 6q23, dan lokus pada gen TRAF1/C5 adalah lima lokus yang telah dikonfirmasi sebagai penyebab kerentanan RA, dengan HLA-DRB1 memiliki pengaruh terbesar. Diduga bahwa kombinasi kelima lokus beresiko tersebut dapat meningkatkan risiko kerentanan daripana keberadaan satu lokus saja. Hasil yang dapat disimpulkan adalah kombinasi lima lokus bersiko pada pasien yang rentan mengalami RA meningkatkan risiko terkena penyakit dibandingkan hanya dengan satu lokus berisiko saja. Akan tetapi, saat ini penggunaan uji genetik saja tidak dapat secara akurat memprediksi risiko seseorang terkena penyakit. Oleh karena itu, uji penapisan genetik untuk pasien yang memiliki faktor risiko RA saat ini tidak memungkinkan, walaupun demikian memungkinkan di masa depan.10 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Peran ras dalam penerapan genetic risk score Peran Pemeriksaan Genetik dalam Evaluasi Penyakit Autoimun Salah satu yang perlu diperhatikan pada perkembangan PsA pada pasien psoriasis. Studi interpretasi PRS adalah peran factor rasa tau etnisitas. komputasi dilakukan untuk memprediksi PsA di Viatte dkk. melakukan studi untuk menyelidiki lokus antara pasien psoriasis menggunakan data dari enam berisiko RA pada ras Kaukasia dibandingkan dengan kohort dengan >7000 genotip pasien PsA dan PsC. pasien ras Afrika. Telah diketahui bahwa HLA-DRB1 Sembilan lokus baru terkait psoriasis dan subtipe merupakan alel berisiko terbesar untuk penyakit psoriasis telah diidentifikasi. Hasil studi menunjukkan RA. Lebih dari 30 non-HLA SNPs yang merupakan bahwa informasi genetik dapat digunakan untuk predisposisi RA telah diidentifikasi pada ras Kaukasia, mengklasifikasikan subtipe di antara pasien psoriasis, tetapi belum pernah diteliti pada ras Afrika. Studi seperti membedakan pasien PsA dan PsC. Dengan sebelumnya melaporkan prevalensi yang lebih kemampuan untuk memprediksi subtipe psoriasis rendah dari HLA-DRB1 pada pasien RA di Kamerun secara akurat, perbedaan genetik yang mendasari dibandingkan dengan pasien Eropa. Studi ini bertujuan di antara subtipe psoriasis dapat digunakan untuk untuk menyelidiki kontribusi non-HLA SNPs pada penilaian risiko subtipe individual.14 pasien RA dengan ras Kaukasia terhadap kerentanan penyakit pada orang kulit hitam di Afrika. Didapatkan Systemic Sclerosis (SSc) merupakan penyakit hasil bahwa alel non-HLA SNPs pada pasien RA yang dimediasi oleh kompleks imun yang dapat dengan ras Kaukasia berbeda dengan ras Afrika, dan menimbulkan kerusakan terhadap berbagai organ. beberapa polimorfisme hampir tidak dapat dideteksi Penerapan GRS dalam penyakit SSc masih sangat di pasien ras Afrika. Dengan hasil tersebut, studi Viatte terbatas. Bossini-Castillo et al. melakukan studi et al. memperkuat hipotesis bahwa struktur genetik untuk melihat dampak GRS terhadap kerentanan pasien yang berisiko mengalami RA berbeda pada SSc. Data gen beresiko diambil melalui GWAS terkait setiap ras.11 Studi oleh Zhixiu Li et al. mengenai peran SSc, lalu diidentifikasi sampel terbaik untuk dinilai genetic risk score (GRS) dalam memprediksi kejadian menggunakan GRS. Kemudian dihasilkan 2 kelompok Ankylosing Spondylitis (AS) menunjukkan kegunaan GRS,yaituuntuksubtipeklinis(SSckulitterbatasdanSSc system skoring ersebut pada ras yang berbeda. Studi kulit difus) dan subtipe serologis (antitopoisomerase dilakukan dengan membagi dua kelompok sesuai lokasi positif (ATA +) dan anti-sentromer positif (ACA+)). sampel didapat, yaitu Eropa dan Asia Timur. Kapasitas Hasil studi yang dilakukan oleh Bossini-Castillo et al. diskriminatif dilaporkan sebagai area under the curve menunjukkan bahwa GRS SSc yang mencakup 33 total (AUC), disertai dengan sensitivitas dan spesifisitas. SNP pada dapat membedakan pasien yang memiliki Pada GRS Eropa, AUC yang didapatkan adalah sebesar kerentanan terhadap SSc dengan kontrol (AUC0,673, 0,92 (Sensitivitas 83%, spesivitas 92%). Sedangkan sensitivitas 51%, dan spesifisitas 76%). Selain itu, GRS GRS Asia Timur, AUC yang didapatkan adalah sebesar juga dapat membedakan SSc dengan immunemediated 0,95 (Sensitivitas 91%, spesivitas 95%). Nilai GRS pada inflammatory diseases (IMID) lain seperti RA dan pasien AS secara signifikan lebih tinggi daripada nilai Sjogren’s syndrome. Akan tetapi, GRS SSc tidak dapat pada kontrol di keduanya. Selain itu, kedua kelompok membedakan antara pasien ATA+ dengan ACA+ (AUC menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai pada <0,5).16 setiap ras.12 Dua studi tersebut menunjukkan bahwa untuk bisa menerapkan PRS pada satu populasu harus Peran genetic risk score dalam nenentukan didukung oleh adanya studi yang spesifik pada ras respon pengobatan dimana PRS tersebut akan diterapkan. Terapi anti-tumor necrosis factor (TNF)-α telah Peran Genetic Risk Score untuk memprediksi digunakan untuk pengobatan psoriasis, namun respon manifestasi klinis yang dihasilkan bervariasi. Penyebab spesifik dari respon yang tidak adekuat atau kegagalan pengobatan Psoriatic arthritis (PsA) adalah peradangan sendi masih belum diketahui. Nishikawa dkk. melakukan yang bersifat kompleks dan kronis yang terjadi pada studi yang bertujuan untuk mengidentifikasi 30% pasien psoriasis. Arsitektur genetik antara PsA biomarker klinis yang dapat berguna untuk dan cutaneous-only psoriasis (PsC) diketahui memiliki memprediksi respon terapeutik atau dapat berfungsi sedikit perbedaan. Namun hingga saat ini belum sebagai target obat baru untuk pasien dengan kasus ada strategi sistematis yang dapat memanfaatkan psoriasis refrakter. Sampel diambil melalui GWAS dari perbedaan arsitektur genetik antara PsA dan PsC 65 pasien psoriasis yang lalu diikuti secara prospektif untuk menilai risiko PsA sebelum gejala muncul. setelah memulai terapi anti-TNF- α. Lalu setelah 12 Patrick dkk. melakukan studi yang bertujuan dalam minggu pengobatan, dilakukan evaluasi mengenai menemukan penanda genetik untuk menilai risiko hubungan antara SNP dan Psoriasis Area and Severity Index (PASI). Nishikawa et al. melaporkan 10 SNP yang Temu Ilmiah Reumatologi 2021 75

RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo mikrobiota usus utama yang meningkat di pasien RA adalah Prevotella sp., terutama Prevotella copri memiliki hubungan terkuat dengan hasil pengobatan. (P. copri), yang muncul pada onset awal RA. P. copri Dari 10 SNP yang dilaporkan, polimorfisme dari gen berperan dalam proses patofisiologi, meningkatkan JAG2 dan ADRA2A dilaporkan dapat mempengaruhi aktivitas penyakit, dan juga dapat memengaruhi respon terapi anti-TNF- α pada pasien psoriasis.15 respon pengobatan. Oleh karena itu, mikrobiota usus Pemberian sinyal melalui JAG2 terbukti memperburuk diduga dapat menjadi target terapeutik yang potensial penyakit autoimun dengan cara menstimulasi pada pasien RA, baik untuk memodulasi penyakit perluasan sel Th17 ketika diberikan bersamaan ataupun untuk meningkatkan respons terhadap dengan imunisasi. Selain itu, JAG2 juga ditemukan terapi standar. Hasil studi yang dilakukan oleh Wells mempengaruhi perjalanan penyakit yang dipengaruhi dkk. menunjukkan bahwa Prevotella sp. sebagai oleh IL-9. Sementara itu, IL-9 berkontribusi kepada mikrobiota usus memiliki hubungan dengan genotipe perkembangan lesi psoriasis melalui angiogenesis RA pada individu yang tidak menderita RA, termasuk dan inflamasi yang dimediasi oleh Th17. Oleh karena pada individu yang berisiko tinggi mengalami RA.13 itu, JAG2 dapat berinteraksi dengan Th17 dan IL-9, Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa genotipe sehingga JAG2 dapat mempengaruhi respon terapi individu berkaitkan dengan profil mikrobiota sebelum anti-TNF-a pada pasien psoriasis.15 ADRA2A memicu munculnya penyakit. sinyal yang melindungi integritas sambungan endotel selama respons inflamasi, dan agonis ADRA2A Jing Cui dkk. melakukan studi untuk menyelidiki menginduksi produksi IL-12. Pemberian inhibitor p38 interaksi antara faktor genetik dengan kebiasaan mitogen-activated protein kinase dapat mencegah efek merokok pada pasien SLE. Status merokok stimulasi dari agonis ADRA2A untuk memproduksi dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu merokok IL-12. Oleh karena itu, polimorfisme ADRA2A dapat saat ini atau baru saja berhenti dalam waktu 4 tahun mempengaruhi interaksi dengan IL-12 untuk memicu sebelum diagnosis, dan tidak pernah merokok atau respon terapeutik selama pengobatan psoriasis.15 pernah merokok di masa lalu. Terdapat 86 SNP dan 10 alel HLA yang diketahui sebelumnya terkait dengan Peran Genetic Risk Score dalam menentukan SLE dimasukkan ke dalam wGRS, lalu penilaian prognosis dikategorikan sebagai rendah atau tinggi berdasarkan nilai median pada subjek kontrol. Hasilnya adalah Selain untuk memprediksi terjadinya penyakit, nilai wGRS yang tinggi dan status merokok saat ini/ memprediksi manifestasi klinis serta menentukan baru-baru ini berkatian dengan risiko SLE, bahkan respon terapi, skor risiko genetik juga dipikirkan hubungannya dengan risiko pasien SLE dengan dapat memprediksi prognosis. Reid dkk. melakukan anti-dsDNA+ lebih kuat.18 Kedua studi tersebut studi yang bertujuan menyelidiki hubungan antara menunjukkan aplikasi potensial skor risiko genetik gen risiko tinggi dengan tingkat keparahan penyakit yang dapat dikombinasi dengan faktor risiko lain pasien SLE. Hasilnya adalah nilai GRS yang tinggi untuk memprediksi terjadinya penyakit autoimun. dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan organ, disfungsi ginjal, dan semua penyebab kematian pada Penerapan pemeriksaan genetik dalam pelayanan pasien dengan SLE. Studi ini menunjukkan bahwa pasien di masa depan profil genetik mungkin berguna untuk memprediksi prognosis pasien SLE.17 Pelayanan kesehatan mulai mengalami perubahan dengan datangnya teknologi baru, sehingga sangat Kombinasi genetic risk score dengan faktor penting untuk memanfaatkan teknologi baru dengan eksogen tujuan menghasilkan data baru dan mendukung munculnya pengobatan baru. Terobosan ilmiah dan Selain dipengaruhi oleh genetik yang merupakan kemajuan teknologi telah meningkatkan pemahaman faktor predisposisi endogen, suatu penyakit juga dapat mengenai patogenesis penyakit dan mengubah dipengaruhi oleh faktor predisposisi eksogen. Salah cara mendiagnosis dan mengobati penyakit yang satu penerapan PRS adalah dengan mengkombinasi mengarah ke perawatan kesehatan yang lebih tepat, risiko genetik melalui PRS dengan factor eksogen. Wells dapat diprediksi, kuat, dan disesuaikan untuk setiap dkk. melakukan studi untuk menilai hubungan antara pasien. Perubahan genetik, genomik, dan epigenetik gen berisiko RA yang diketahui dengan mikrobiota tampaknya berkontribusi pada berbagai penyakit usus dengan populasi orang-orang yang tidak termasuk pada penyakit autoimun. Dimasa depan, data menderita RA. Dalam lumen usus terdapat sebagian genetic, epeigentik, dan biomarker dapat diaplikasikan besar mikrobiota komensal dan berhubungan dengan sebagai suatu big data yang dengan bantuan artificial sirkulasi sistemik dan sistem kekebalan tubuh melalui jaringan limfoid. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, Temu Ilmiah Reumatologi 2021 76

intelligence (AI) dan algoritme pembelajaran ke Peran Pemeriksaan Genetik dalam Evaluasi Penyakit Autoimun kumpulan data yang luas ini untuk membantu klinis mengambil keputusan dalam diagnostic, terapeutik 7. Wray N, Lin T, Austin J, McGrath J, Hickie I, Murray G, et maupun prognostik. 19 Akan tetapi, masih diperlukan al. From basic science to clinical application of polygenic proses yang panjang untuk menyempurnakan proses risk scores. JAMA Psychiatry. 2021;78(1): 101. tersebut. Pemeriksaan genetic sendiri merupakan salah satu Langkah penting dalam proses tersebut. 8. Lewis C, Vassos E. Polygenic risk scores: from research tools to clinical instruments. Genome Med. 2020;12(1): Gambar 2. Skema hubungan berbagai aspek dalam 44. pelayanan kesehatan dimasa depan dimana data individual pada pasien misalnya data genetic 9. Yarwood A, Han B, Raychaudhuri S, Bowes J, Lunt M, dikombinasi dengan berbagai data lain dan diolah Pappas D, et al. A weighted genetic risk score using all known susceptibility variants to estimate rheumatoid dengan bantu artificial intelligence untuk membantu arthritis risk. Ann Rheum Dis. 2013;74(1): 170-6. mengambil keputusan kesehatan.19 10. McClure A, Lunt M, Eyre S, Ke X, Thomson W, Hinks A, Daftar Pustaka et al. Investigating the viability of genetic screening/ 1. Chang C. Managing Autoimmune Disorders through testing for RA susceptibility using combinations of five confirmed risk loci. Rheumatology. 2009;48(11): 1369- Personalized Epigenetic Approaches. Personalized 74. Epigenetics. 2015; p475-505. 2. Scanzi F, Andreoli L, Martinelli M, Taraborelli M, 11. Viatte S, Flynn E, Lunt M, Barnes J, Singwe-Ngandeu Cavazzana I, Carabellese N, et al. Are the autoimmune/ M, Bas S, et al. Investigation of Caucasian rheumatoid inflammatory syndrome induced by adjuvants (ASIA) arthritis susceptibility loci in African patients with the and the undifferentiated connective tissue disease same disease. Arthritis Res Ther. 2012;14(6): R239. (UCTD) related to each other. A case-control study of environmental exposures. Immunol Res. 2017;65(1): 12. Li Z, Guzman ED, Harris J, Akkoc N, Mahmoudi M, Breban 150-6. M, et al. Genetic risk score prediction in ankylosing 3. Bliddal S, Nielsen C, Feldt-Rasmussen U. Recent advances spondylitis. Arthritis Rheum. 2018; 70(suppl 10): 836. in understanding autoimmune thyroid disease: the tallest tree in the forest of polyautoimmunity. 13. Wells P, Adebayo A, Bowyer R, Freidin M, Finckh A, F1000Research. 2017;6: 1776. Strowig T, et al. Associations between gut microbiota 4. Ramos P, Shedlock A, Langefeld C. Genetics of and genetic risk for rheumatoid arthritis in the absence autoimmune diseases: insights from population of disease: a cross-sectional study. Lancet Rheumatol. genetics. J Hum Genet. 2015;60(11): 657-64. 2020;2(7): e418-27. 5. Okada Y, Eyre S, Suzuki A, Kochi Y, Yamamoto K. Genetics of rheumatoid arthritis: 2018 status. Ann Rheum Dis. 14. Patrick M, Stuart P, Raja K, Gudjonsson J, Tejasvi T, 2018;78(4): 446-53. Yang J, et al. Genetic signature to provide robust risk 6. Choi S, Heng Mak T, O’Reilly P. A guide to performing assessment of psoriatic arthritis development in Polygenic Risk Score analyses. 2018. psoriasis patients. Nat Commun. 2018;9(1). 15. Nishikawa R, Nagai H, Bito T, Ikeda T, Horikawa T, Adachi A, et al. Genetic prediction of the effectiveness of biologics for psoriasis treatment. J Dermatol. 2016;43(11): 1273-7. 16. Bossini-Castillo L, Villanueva-Martin G, Kerick M, Acosta- Herrera M, López-Isac E, Simeón C, et al. Genomic Risk Score impact on susceptibility to systemic sclerosis. Ann Rheum Dis. 2020;80(1): 118-27. 17. Reid S, Alexsson A, Frodlund M, Morris D, Sandling J, Bolin K, et al. High genetic risk score is associated with early disease onset, damage accrual and decreased survival in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2019;79(3): 363-9. 18. Cui J, Raychaudhuri S, Karlson E, Speyer C, Malspeis S, Guan H, et al. Interactions between genome‐wide genetic factors and smoking influencing risk of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheumatol. 2020;72(11): 1863-71. 19. Seyhan A, Carini C. Are innovation and new technologies in precision medicine paving a new era in patients centric care. J Transl Med. 2019;17(1). Temu Ilmiah Reumatologi 2021 77

The Role of Anti TNF-a in the Management of Rheumatoid Arthritis Rudy Hidayat Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan Manifestasi AR dapat dapat berupa gambaran klasik artikular yaitu poliartritis dengan pola simetris Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang berlangsung kronik selama > 6 minggu terutama sistemik dengan inflamasi sistemik yang kronik melibatkan sendi kecil MCP, PIP, MTP diikuti sendi dan progresif. AR adalah penyakit artritis autoimun pergelangan tangan, kaki, siku, bahu, dan lutut.1 tersering dimana pasien akan mengalami nyeri dan Penegakkan diagnosis artritis reumatoid dapat bengkak yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan menggunakan kriteria klasifikasi menurut ACR/ disabilitas sehingga kualitas hidup menurun dan EULAR 2010 (selengkapnya di tabel 1). Populasi yang mortalitas meningkat. Onset terjadi secara perlahan harus diuji adalah pasien dengan minimal 1 sendi dalam beberapa minggu hingga bulan. Risiko wanita yang mengalami synovitis atau bengkak (pada pasien 2-3 kali lebih tinggi dibanding laki-laki dengan kejadian yang baru dicurigai mengalami AR), yang tidak dapat meningkat seiring pertambahan usia (tertinggi di dijelaskan dengan penyebab lainnya seperti diagnosis usia 50-54 tahun). Di Indonesia, diperkirakan sekitar banding LES, artritis psoriatik, dan gout. Skor maksimal 1,3 juta orang menderita AR dengan perhitungan adalah 10 dimana skor > 6 mengklasifikasikan pasien berdasarkan angka prevalensi AR di dunia yaitu 0,5- sebagai pasien dengan AR.3 1% dimana jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 268 juta jiwa. Risiko disabilitas AR mencapai Tabel 1. Kriteria klasifikasi AR menurut ACR/EULAR 2010 30% dengan mortalitas mencapai 52% sebagai akibat dari infeksi atau penyakit kardiovaskular.1 Keterlibatan sendi 0 1 sendi besar* 1 Patogenesis Artritis reumatoid 2-10 sendi besar** 2 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3 Patogenesis artritis reumatoid melibatkan 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 5 interaksi dari faktor genetik dan lingkungan yang > 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) mengakibatkan hilangnya toleransi imun. Faktor Serologi (minimal 1 tes diperlukan)*** 0 lingkungan seperti merokok, infeksi periodontitis Negatif RF dan negative ACPA 2 atau microbiota di saluran cerna bersamaan dengan RF positif rendah atau ACPA positif rendah 3 gen yang rentan akan memicu terjadinya modifikasi RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi epigenetic sehingga terjadi perubahan pengaturan Acute phase reactants (minimal 1 tes diperlukan) 0 post transkripsi dan terjadi sitrulinisasi protein. CPR normal dan LED normal 1 Akibatnya, terjadi hilangnya toleransi imun yang CPR abnormal atau LED abnormal ditandai dengan terbentuknya autoantibodi berupa Durasi gejala 0 rheumatoid factor (RF) atau (ACPA) dan gangguan < 6 minggu 1 pada sel T dan sel B. Pada fase klinis terjadi kaskade > 6 minggu inflamasi di sendi yang mengakibatkan terjadinya synovitis, degradasi kartilago dan erosi tulang Keterlibatan sendi yang dimaksud adalah bengkak dan (pannus) dengan keterlibatan inflamasi sistemik yang nyeri pada pemeriksaan, yang dikonfirmasi dengan gambaran mengakibatkan terjadinya penyakit kardiovaskular, radiologis synovitis. osteoporosis dan fraktur, sindrom metabolik, disfungsi * Sendi besar adalah baju, siku, panggul, dan pergelangan kognitif dan depresi, hingga disabilitas dan penurunan fungsi. Berbagai sitokin inflamasi yang terlibat seperti kaki TNF-α, IL-1, IL-6, dan RANKL serta reaktan fase ** Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP 2-5, Interphalang 1, dan akut, kompleks imun, dan perubahan partikel lipid berperan juga dalam meningkatkan risiko sarkopenia, pergelangan tangan osteoporosis, kejadian serebrovaskular (gangguan *** negatif berarti nilai kurang dari atau sama dengan batas depresi, stroke) maupun kardiovaskular (aterogenesis, infark miokardium).2 atas normal untuk pemeriksaan laboratorium, positif rendah berarti nilai lebih tinggi dari batas atas tapi < 3 kali 78 nilai batas atas, positif tinggi berarti nilai > 3 kali nilai batas atas. Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Tatalaksana Artritis Reumatoid The Role of Anti TNF-α in the Management of Rheumatoid Arthritis Tatalaksana AR bertujuan mengontrol aktivitas • OAINS atau glukokortikoid dosis rendah (jangka penyakit, serta mencapai remisi atau minimal LDA pendek) dapat diberikan sebagai bridging therapy (low disease activity). Derajat aktivitas penyakit dapat dinilai dengan menggunakan ACR 20,50,70, DAS28 CRP • Evaluasi dalam 3-6 bulan dan LED, sertai SDAI atau CDAI. Tatalaksana berupa o Jika mencapai target dilanjutkan dengan dosis tatalaksana farmakologi, edukasi, dan rehabilitasi dipertahankan sampai terjadi remisi dan fisik yang diberikan secara multidisiplin. Edukasi setelah remisi berkelanjutan selama 12 bulan terdiri dari edukasi meliputi penyakit AR, rencana dapat dikurangi dosis tidak mencapai target pemeriksaan, terapi dan pilihannya termasuk manfaat o Jika tidak mencapai target, masuk fase 2 dan risiko terapi, komplikasi dan prognosis. Program rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Fase 2 otot dan ROM sendi.1 Edukasi dapat meningkatan • Analisis apakah terdapat faktor prognosis buruk kepatuhan terhadap terapi medikamentosa.4 Tatalaksana farmakologi diberikan berdasarkan atau tidak, yaitu derajat aktivitas penyakit sedang derajat aktivitas, keamanan dan faktor pasien, atau tinggi persisten dengan csDMARD, reaktan serta komorbid dan progresi kerusakan struktural. fase akut tinggi, jumlah sendi yang bengkak Faktor keamanan dan komorbid berkaitan dengan banyak, adanya RF dan/atau ACPA, terutama nilai penggunaan bDMARDs dan tsDMARDs terutama positif tinggi, adanya erosi dini, atau kegagalan infeksi. Infeksi, dengan risiko tertinggi herpes zoster dengan 2 atau lebih csDMARDs. pada penggunaan JAK-inhibitors terjadi di beberapa • Jika tidak ada faktor prognosis buruk, ganti atau negara ASIA seperti jepang dan Korea Selatan. Selain kombinasi csDMARD itu perhatian juga perlu diberikan terhadap kejadian • Jika ada faktor prognosis buruk, bDMARD mulai obesitas dengan komorbid terkait seperti adanya diberikan sebagai kombinasi kejadian thromboemboli vena (VTEs).4,5 • Evaluasi dalam 3-6 bulan o Jika mencapai target dilanjutkan sampai Terapi dengan Disease modifying antirheumatic drugs (DMARDs) harus diberikan secepat mungkin mencapai remisi dan setelah remisi setelah AR terdiagnosis. Sebelum terapi DMARD berkelanjutan selama 12 bulan, kurangi dosis dimulai, diberikan OAINS atau KS dosis rendah, atau peningkatan interval. Pertimbangan diturunkan dan dihentikan bila DMARD sudah untuk menghentikan bDMARD atau tsDMARD, efektif. Terapi DMARD pada AR berdasarkan aktivitas terutama yang dikombinasi csDMARD penyakit, keamanan obat, faktor komorbid, kerusakan o Jika tidak mencapai target masuk fase 3 struktural yang progresif. DMARD terdiri dari : • Syntetic DMARD: Fase 3 • Ganti bDMARD lain atau gunakan JAK-inhibitor o csDMARD: seperti metotrexate, leflunomide, sulfasalazine, dan hydroxychloroquine. (dari kelas berbeda atau sama) • Evaluasi dalam 3-6 bulan o tsDMARD: seperti barticitinib, tofacitinib, updacitinib. o Jika mencapai target dilanjutkan sampai mencapai remisi dan setelah remisi • Biological DMARDs: berkelanjutan selama 12 bulan, kurangi dosis o Biological originator atau peningkatan interval. Pertimbangan  iTNF-α: Adalimumab, certolizumab, untuk menghentikan bDMARD atau tsDMARD, etanercept, golimumab, infliximab terutama yang dikombinasi csDMARD  IL-6Ri: Sarilumab, tocilizumab  Costimulation-i: abatacept o Jika tidak mencapai target ganti dengan  Anti sel B: rituximab bDMARD lainnya lagi o Biosimilar DMARDs Peran anti TNF alfa pada manajemen AR Skema tatalaksana DMARDs yang direkomendasi- kan oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia:1,4 TNF-α berperan sangat penting dalam kaskade sitokin inflamasi pada RA yang berperan dalam Fase 1: signaling sel T CD4 dan makrofag ke aktivasi sitokin • csDMARD (terutama metotreksat, kecuali jika ada pro inflamasi (IL-10, IL-1Ra, TNFR, IL-11), destruksi tulang dan kartilago, serta sitokin pro-inflamasi (IL- kontraindikasi) dimulai setelah AR terdiagnosis 6, IL-8, GM-CSF). Dengan demikian, terapi anti TNF-α bermanfaat dalam menurunkan respon imun sel T, Temu Ilmiah Reumatologi 2021 dan menurunkan kadar RF, menghilangkan sitokin pro-inflamasi di sendi dan menurunkan kadar serum 79

Rudy Hidayat VEGF, IL-1, IL-6, dan protein fase akut, mengurangi kerusakan tulang dan kartilago, menurunkan kadar VEGF dan angiogenesis, serta menurunkan trombosit, fibrinogen yang meningkat, serta mengembalikan hemoglibin yang menurun.6 TNF-α memiliki sinyal dan berbagai mekanisme terkait regulasi ekspresinya sehingga terdapat berbagai target potensial untuk menghambat aktivasi TNF-α. Beberapa inhibitor mentargetkan molekul TNF-α atau reseptornya sehingga mencegah sinyal jaras teraktivasi. Target lain adalah TACE yang memproses pembentukan membrane TNF-α sehingga pelepasannya ke sirkulasi terhambat. Molekul yang mentargetkan sinyal jaras TNF-α intraselular juga diidentifikasi seperti inhibitor PDE4 dan p38. Target lain adalah inhibitor NF-κβ.7 Jenis-jenis anti TNF-α (Penjelasan mekanisme, dosis, frekuensi, efek samping (infeksi), pemantauan, efektivitas terhadap derajat aktivitas penyakit, kejadian flare, kejadian khusus): Obat Struktur Waktu paruh Dosis Indikasi Efek samping Infliximab (IFX) 8-10 hari Chimeric monoclonal 3 mg/kg IV infus RA, PsA, AS, UC, Reaksi infus dan infeksi (TB and antibody 10-20 hari minggu 0,2,6, diikuti CD, JIA pneumonia). Peningkatan risiko 12 +3 setiap 8 minggu keganasan dan kardiovaskular Adalimumab (ADA) Human immunoglobulin 3-5.5 hari 25 mg s.c 2 kali RA, PsA, AS, JIA, CD, Reaksi lokasi injeksi, dan infeksi Golimumab (GOLI) (IgG1) monoclonal antibody seminggu Etanercept (ETN) uveitis serius (TB milier dan selulitis Human immunoglobulin 50 mg s.c tiap bulan Certolizumab pegol (IgG1) monoclonal antibody RA, PsA, AS, UC Mual, sakit, kepala, reaksi lokasi (CZP) 50 mg setiap minggu injeksi Fusion protein comprising s.c atau two molecules of the 25 mg dua kali RA, PsA, AS, JIA Reaksi lokasi injeksi dan hipertensi extracellular domain of TNF seminggu s.c receptor II (TNFR2) and IgG1-Fc 70 jam 400 mg s.c. awal RA, PsA, AS, CD Tuberkulosis, rekasi nyeri dan dan minggu 2 dan 4, (hanya di US dan reaksi lokasi injeksi, Humanized PEGylated Fab’ diikuti 200mg s.c tiap switzerland) fragment of humanized IgG1 4 minggu with high affinity to TNF‐α RA: rheumatoid arthritis ;AS: Ankylosing spondylitis; PsA: Psoriatic arthritis; AS: Ankylosing Spondylitis; UC: ulcerative colitis; CD: Crohn’s disease; JRA: juvenile rheumatoid arthritis; JIA: juvenile idiopathic arthritis Terapi anti TNF-α kombinasi dengan MTX dapat bakteri, virus, jamur, dan parasit. Dengan demikian, menekan aktivitas penyakit, meningkatkan fungsi diperlukan analisis manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan menghambat progresifitas kerusakan dan manajemen serta pencegahan dari infeksi radiografik pada pasien AR yang tidak respon tersebut. Dengan memberikan perhatian, maka terhadap MTX atau csDMARD lainnya. Pada review manfaat terapi dapat lebih maksimal dengan efek sistemik Xixi Ma, dkk, ditemukan bahwa kombinasi samping yang minimal.11 Contohnya untuk skrining antara MTX dengan masing-masing obat anti TNF-α TB dapat dilakukan pemeriksaan TST (tuberculin memberikan manfaat dalam menurunkan progresi strategy test) atau IGRA dan jika terdeteksi pasien radiografik, perbaikan klinis hingga derajat aktivitas dengan ITBL, dapat diberikan profilaksis untuk penyakit, yang lebih baik dibandingkan penggunaan mengurangi kejadian reaktivasi TB. Contoh lain pada MTX saja, dengan risiko infeksi yang sama antara pasien hepatitis B kronis, pemberian antiviral 1-2 kedua kelompok.8 Pada sistemik review oleh minggu sebelum, selama terapi, hingga minimal 6 Aaltonen KJ, et al juga didapatkan kombinasi terapi bulan setelah terapi anti TNF-α dapat mengurangi memberikan luaran derajat aktivitas penyakit yang risiko reaktivasi virus hepatitis.1 lebih baik dibanding monoterapi MTX.9 Efek samping paling minimal terdapat pada golimumab sesuai Daftar Pustaka dengan GO-FORTH trial, dimana infeksi ringan adalah efek samping utama. Pada studi ini juga ditemukan 1. Hidayat R, Suryana BPP, Wijaya LK, Ariane A, Hellmi bahwa remisi dini lebih cepat tercapai pada kelompok RY, Adnan E, et al. Diagnosis dan Pengelolaan dengan pemberian kombinasi golimumab dan MTX Artritis Reumatoid. 2021st ed. Jakarta: Perhimpunan dibandingkan MTX saja, dengan manfaat juga dalam Reumatologi Indonesia; 2021. 1–65 p. menurunkan progresi radiografik.10 2. McInnes IB, Schett G. Mechanism of Disease The Salah satu pertimbangan keamanan penggunaan Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med. TNF-α adalah risiko infeksi oportunistik baik 2011;365(23):2205–19. 3. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits J, Felson DT, Bingham CO, et al. Arthritis & Rheumatism. 2010;62(9):2569–81. 80 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

4. Smolen JS, Landewé RBM, Bijlsma JWJ, Burmester The Role of Anti TNF-α in the Management of Rheumatoid Arthritis GR, Dougados M, Kerschbaumer A, et al. EULAR recommendations for the management of rheumatoid 8. MA X, XU S. TNF inhibitor therapy for rheumatoid arthritis with synthetic and biological disease-modifying arthritis. Biomed Reports. 2013;1(2):177–84. antirheumatic drugs: 2019 update. Ann Rheum Dis. 2020;79(6):S685–99. 9. Aaltonen KJ, Virkki LM, Malmivaara A, Konttinen YT, Nordström DC, Blom M. Systematic review and meta- 5. McInnes IB, Schett G. Pathogenetic insights from the analysis of the efficacy and safety of existing TNF treatment of rheumatoid arthritis. Lancet [Internet]. blocking agents in treatment of rheumatoid arthritis. 2017;389(10086):2328–37. Available from: http:// PLoS One. 2012;7(1). dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(17)31472-1 10. Tanaka Y, Harigai M, Takeuchi T, Yamanaka H, Ishiguro 6. Feldmann M. Development of anti-TNF therapy for N, Yamamoto K, et al. Clinical efficacy, radiographic rheumatoid arthritis. Nat Publ Gr. 2002;2:364–71. progression, and safety through 156 weeks of therapy with subcutaneous golimumab in combination 7. Palladino MA, Bahjat FR, Theodorakis EA, Moldawer with methotrexate in Japanese patients with active LL. Anti-TNF-α therapies: The next generation. Nat Rev rheumatoid arthritis despite prior methotrexate therapy: Drug Discov. 2003;2(9):736–46. final results of th. Mod Rheumatol. 2016;26(4):481–90. 11. Ali T, Bronze, Kaitha, Mahmood, Ftaisi, Stone. Clinical use of anti-TNF therapy and increased risk of infections. Drug Healthc Patient Saf. 2013;79. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 81

Peranan Mikrobiota pada Penyakit Autoimun Perdana Aditya Rahman, Muhammad Anshory, Handono Kalim Divisi Reumatologi – Imunologi , Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD dr. Saiful Anwar, Malang Abstrak pada penyakit autoimun, peranan mikrobiota menjadi perhatian belakangan ini. Fenomena autoimunitas Interaksi yang erat antara mikrobiota komensal didahului dengan adanya kegagalan toleransi dan dengan pengembangan dan fungsi sistem imun mikrobiom mungkin menjadi pemeran utama dalam berlangsung dalam keadaan sehat dan sakit. hal ini. Hal ini didukung oleh ditemukannya beberapa Mikrobiomamemainkan peranpenting dalam maturasi perubahan pola mikroorganisme (disbiosis) pada dan pengembangan sel sel imun baik sistem imun beberapa penyakit yang diperantarai sistem imun, alami maupun sistim imun adaptif. Sebaliknya sistem antara lain kolitis ulseratif dan penyakit Crohn’s imun berperan dalam terpeliharanya berbagai kondisi yang sudah lebih banyak dikenal (De Luca, 2019). penting untuk kelangsungan hidup mikrobiota. Dalam Diharapkan dengan mengungkapkan bagaimana inang yang rentan secara genetik, ketidakseimbangan mikrobiota dapat mencetuskan timbulnya penyakit dalam interaksi mikrobiota- sistim imun dipandang autoimun akan diperoleh pengetahuan yang akan sebagai faktor lingkungan yang berperan pada menjadi pilihan pengobatan golongan penyakit ini. patogenesis berbagai keadaan patologik yang terkait Usaha kearah ini telah dikembangkan dihewan coba gangguan imun. Terdapat mekanisme yang kompleks seperti dilakukannya transplantasi mikrobiota. yang melibatkan banyak sel imun dan molekul dalam proses crosstalk mikrobioma-imunitas dalam menjaga Peran Mikrobiota pada Kesehatan Manusia kesehatan atau mencetuskan penyakit. Dijumpai banyak tantangan dan keterbatasan dalam mencapai Mikrobiota dari individu sehat terdiri dari yang pemahaman bagaimana interaksi imun-mikrobioma permanen dan transien, berupa kurang lebih 100 berlangsung, serta bagaimana ketidak seimbangan trilion mikroorganisme dari lebih 500 genus bakteria, interaksi tersebut berdampak pada tercetusnya terutama dari Firmicutes (>70%), Bacteroidetes berbagai penyakit terkait imun, termasuk keganasan. (>30%), Proteobacteria (<5%), Actinobacteria (<2%), Selanjutnya pengetahuan tersebut telah dipandang Fusobacteria dan Verrucomicrobia (<1%) dan filum dapat melengkapi pengobatan untuk penyakit lainnya dalam jumlah kecil. Analisis metagenomik penyakit yang sampai sekarang masih sulit diobati. mendapatkan 70.000 spesies (Belizário, 2018). Mengingat perannya yang besar pada tubuh manusia Pendahuluan dalam keadaan sehat dan dalam kedaan sakit, pada saat ini mikrobiota telah dipandang bukan lagi sebagai Penyakit autoimun merupakan penyakit yang machluk sampingan saja, tetapi sebagai suatu organ semakin banyak dijumpai dengan penyebab yang tersendiri (meta-organ). multifaktorial dan belum dimengerti sepenuhnya. Banyak faktor lingkungan yang dikaitkan dengan Mukosa saluran usus adalah salah satu permukaan patogenesis penyakit autoimun diantaranya tubuh manusia tubuh terbesar yang terpapar banyak mikrobiota. Interaksi antara manusia (host) dan antigen lingkungan dan bakteri komensal (mikrobiota). mikrobiota menjadi perhatian belakangan ini, manusia Untuk hidup berdampingan secara damai dengan sebagai “tempat tinggal” bagi jutaan mikroorganisme mikroba mikroba tersebut, epitel dan sistem imunitas berbagai permukaan tubuh, dan diperkirakan jumlah mukosa mengoordinasikan suatu komplek respon sel seluruh mikroorganisme ini kurang lebih 100 kali imun yang memberikan perlindungan terhadap lebih banyak dari pada jumlah sel manusia. Jumlah patogen dan toleransi terhadap antigen dan bakteri mikroorganisme yang banyak ini belakangan baru yang tidak berbahaya. Epitel intestinum merupakan banyak dipelajari interaksinya dengan manusia. suatu penghalang fisik penting yang menghalangi Mikrobiota didefinisikan sebagai flora mikrobial yang masuknya mikroba, dan juga berperan dalam bersifat simbiosis, komensal dan patogenik (dikenal homeostasis sistim imun. Mekanisme pertahanan di juga dengan patobion) yang ada pada manusia, usus yang pertama meliputi produksi lendir oleh sel sedangkan mikrobiom adalah genom kolektif dari Goblet, sekresi protein anti bakteri oleh sel Paneth, serta mikroorganisme ini (Clemente, 2018). Demikian halnya pengaturan dan regulasi permeabilitas paraseluler. 82 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Selanjutnya epitel dan jaringan limfoid terkait (GALT) Peranan Mikrobiota pada Penyakit Autoimun mengembangkan suatu respon imun melaui interaksi yang komplek terhadap berbagai rangsangan yang imunoregulasi, molekul adhesi, protein terkait stres berbeda. Secara keseluruhan mekanisme mekanisme dan mediator lain serta pengerahan sel imun lainnya tersebut memastikan eliminasi patogen dan mencegah (sel T, basofil, neutrofil, sel dendritik dan sel NK). Secara reaksi imun berlebihan yang dapat menimbulkan keseluruhan, ini mengaktifkan respon inflamasi yang keradangan dan kerusakan jaringan. dapat menyebabkan pembersihan patogen. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengaruh bakteri pada Mikrobiota komensal juga berperan dalam ekspresi TLR berbeda antara bakteri komensal dan proses perkembangan sistim imun janin setelah patogen, serta antara bakteri Gram-positif dan bakteri kelahiran yang mempengaruhi baik sistim imun alami Gram-negatif, yang sebagian menjelaskan perbedaan maupun sistim imun adaptif. Bakteri komensal dapat efek kekebalan mereka (Zheng, 2020). meningkatkan fungsi barier usus dengan memodulasi glikosilasi dan ekspresi gen musin oleh sel Goblet Peran dari mikrobiota yang berada pada berbagai yang mempengaruhi adhesi dan invasi bakteri. permukaan sebagai organ juga dapat dijelaskan Beberapa bakteri komensal juga merangsang sekresi dengan adanya interaksi pada beberapa jalur, antara peptida antimikroba (defensins dan angiogenins) lain: oleh sel Paneth usus dan mengatur permeabilitas (a) produksi asam lemak rantai pendek (short usus. Penelitian pada tikus dengan lingkungan steril atau lingkungan alami menunjukkan bahwa chain fatty acid, SCFA) misalnya butirat yang mikrobiota usus juga memiliki pengaruh yang sangat berhubungan dengan aktivasi makrofag; besar pada perkembangan mukosa dan respon imun sistemik. Penelitian pada janin juga menunjukkan (b) pelepasan substansi seperti metabolit, toksin, bahwa bakteri yang berada di usus bayi baru lahir gula, polisakarida, dsb., misalnya polisakarida A mempengaruhi produksi IgA sekretori saliva, jumlah yang diketahui memiliki efek antiinflamasi; sel penghasil antibody IgA dan IgM dalam darah dan ekspresi reseptor imun alami (misalnya TLRs) dalam (c) interaksi dengan sel-sel imun melalui transduksi monosit darah tepi. Adanya bukti bukti yang pengaruh sinyal intraseluler, pelepasan sitokin, histon kuat mikrobiota usus pada fisiologi manusia telah deasetilase, G protein receptor, induksi serum meningkatkan minat dalam pemilihan strain bakteri amiloid A; tertentu dengan sifat yang meningkatkan kesehatan, umumnya dikenal sebagai probiotik. (d) Mikrobiota memodulasi metabolit dari inang yang mempengaruhi protein-protein pada sistem imun, Pengaruh mikrobiota pada respon imun misalnya asam empedu yang dimodulasi mikroba mengaktifkan NLR-6. Kolonisasi mikrobiota di saluran usus dapat memicu respon imun mukosa melalui pengenalan Keberadaan mikrobiota dalam usus berperan sinyal mikroba oleh reseptor alami (Reseptor dalam proses pencernaan kompleks karbohidrat dan Pengenalan Pola/PRRs), mencetuskan modulasi protein. Mikrobiota menjadi sumber asam amino fungsi sel imun mukosa. Reseptor ini diekspresikan leusin, isoleusin, valin dan glisin yang diperlukan dalam oleh sel epitel dan sel penyaji antigen (DC dan sintesis glutation. Produk-produk yang dihasilkan oleh makrofag) dan bertanggung jawab atas pengenalan mikrobiota antara lain molekul-molekul yang terlibat awal komponen mikroba tertentu (misalnya RNA, dalam pensinyalan diantaranya metan, hidrogen motif DNA, komponen dinding sel, dll.), membedakan sulfida, dan metabolit nongas (Mazmanian, 2014; patogen dengan mikroba yang tidak berbahaya Shamriz, 2016; Belizário, 2018). dan perkembangan respon imun alami dan adaptif yang sesuai. Reseptor ini termasuk keluarga TLR Keradangan yang dicetuskan oleh interaksi pada membrane sel dan permukaan endosom, mikrobiota dengan sistim imun Adalat bertujuan Nod-like receptors (NLRs) yang larut dalam sitosol untuk eliminasi mikroba patogen. Akan tetapi, dan transmembrane G protein-coupled receptors keradangan tersebut dapat berkembang menjadi (GPCRs) diekspresikan pada sel hematopoietik dan keradangan menahun karena berbagai faktor, misalnya sel non-hematopoietik usus. Pengikatan reseptor karena adanya kerentanan genetic, paparan patogen reseptor tersebut akan mencetuskan ekspresi gen yang terus menerus, berkurangnya mikroba yang inflamasi, sekresi sitokin, reseptor sitokin, protein protektif (disbiosis) atau faktor lainnya. Tergantung pada situasi genetic yang bersangkutan, keradangan Temu Ilmiah Reumatologi 2021 menahun akan dapat mencetuskan penyakit penyakit terkait keradangan yang berbeda, seperti penyakit autoimun, alergi, penyakit kardiovaskular, keganasan atau penyakit degenerasi lainnya. 83

Perdana Aditya Rahman, Muhammad Anshory, Handono Kalim ketidakcukupan flora komensal, (2) hilangnya keanekaragaman: ketidakseimbangan relatif pada Disbiosis dan faktor faktor yang terkait flora komensal normal, dan (3) flora patogen yang bersaing dengan mikrobioma komensal. Menentukan Disbiosis (juga disebut dysbacteriosis) adalah ketidakseimbangan atau maladaptasi mikroba sifat ketidakseimbangan penting dalam memilih terapi pada atau di dalam tubuh. Komposisi mikrobiota manusia, seperti flora kulit, flora usus, atau flora yang tepat. Namun, ini tidak selalu memungkinkan vagina, dapat menjadi kacau, dengan spesies yang normalnya mendominasi menjadi berkurang dan karena dua atau tiga skenario dapat terjadi secara bertambahnya mikroba yang biasanya tak banyak atau bertambahnya spesies lain yang mengisi kekosongan. bersamaan. Misalnya, penggunaan antibiotik Disbiosis paling sering dilaporkan sebagai kondisi di saluran pencernaan. Koloni mikroba khas yang sintetis dapat menyebabkan ketiga skenario secara ditemukan pada atau di dalam tubuh biasanya adalah bersamaan: hilangnya beberapa flora, pertumbuhan tidak patologik dan malahan bermanfaat. Koloni yang lain, dan pembentukan organisme oportunistik mikroba yang menguntungkan dalam jumlah yang (yaitu, Clostridium difficile). tepat menjalankan serangkaian fungsi yang berguna dan diperlukan, seperti membantu pencernaan dan Tabel 1. Penyebab disbiosis mikrobiota intestinal perkembangan respon imun dengan membantu dan akibatnya melindungi tubuh dari penetrasi mikroba patogen. Koloni mikroba yang menguntungkan ini akan dapat Penyebab Peningkatan /Risiko mencegah berkembangnya patogen berkembang melaui persaingan untuk mendapatkan ruang dan Diet tinggi lemak/tinggi- Resistensi Insulin dan sumber kalori. gula, rendah serat obesitas Ketika keseimbangan mikrobiota terganggu Infeksi Gangguan sintesis dan (disbiosis),koloni-kolonimikrobiotayangadamenurun absorpsi nutrient dan kemampuannya untuk mengontrol pertumbuhan satu sama lain. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan Kelahiran bedah Caesar Gangguan aktivitas ensim berlebih koloni yang mengganggu (patobion), merusak beberapa koloni lain yang bermanfaat Makanan formula Autoimunitas (sinbion) dan seterusnya dalam lingkaran setan. Ketidakseimbangan menjadi lebih nyata, timbul lebih Penyalah gunaan Gangguan sintesis banyak masalah pertumbuhan karena sinbion tak antibiotika neurotransmitter dapat mengontrol pertumbuhan patobion berlebih. Jika hal ini dibiarkan cukup lama, ketidakseimbangan Higieni/Sanitasi yang Permeabilitas usus yang meluas dan kronis antar koloni akan terjadi, yang buruk pada akhirnya menghilangkan sifat menguntungkan dari koloni ini secara keseluruhan. Koloni mikroba Hidup malas Endotoksemia/Septikemia juga mengeluarkan berbagai jenis limbah produk sampingan. Dalam keadaan normal, melalui berbagai Faktor genetik Stres Oksidatif mekanisme pembuangan limbah, tanpa masalah yang berarti tubuh dengan efektif dapat mengelola produk Penyalah gunaan alkohol Infeksi kronik sampingan tersebut. Akan tetapi, pada koloni yang terlalu besar, karena jumlahnya yang meningkat, Toksin lingkungan dikeluarkan jauh lebih banyak produk sampingan, dan membebani mekanisme pembuangan limbah tubuh Peranan Mikrobiota pada Penyakit Autoimun secara berlebihan. Kombinasi dari dua hasil negatif inilah yang menyebabkan banyak gejala patologik Penyakit autoimun adalah akibat karena sistim yang terjadi karena disbiosis (Khan, 2020). imun seseorang menyerang jaringan sendiri, (hilangnya toleransi sendiri) dengan perkiraan Dengan demikian, disbiosis dapat dikatakan insiden sekitar 3-5% di seluruh dunia. Patogenesis sebagai ketidakseimbangan mikrobiota komensal penyakit ini belum dipahami sepenuhnya, tetapi faktor berkaiatan dengan kebutuhan dengan kebutuhan lingkungan (gaya hidup, pola makan, obat-obatan, endobiogenik tubuh. Ketidakseimbangan ini dapat infeksi) dan latar belakang genetik tertentu terbukti terjadi karena oleh tiga mekanisme dasar: (1) perannya. Mikrobiota manusia mungkin merupakan pemain utama dalam autoimunitas, karena hilangnya 84 toleransi kekebalan dapat disebabkan oleh perubahan komposisi mikroba. Mikroorganisme dapat mencetuskan respon imun terhadap inang dengan menghilangkan toleransi sendiri melalui mekanisme infeksi menahun, epitope spreading, kemiripan molecular dan bystander activation. Studi-studi lain melakukan penelitian pada berbagai kelompok pasien artritis reumatoid yang sangat beragam. Beberapa studi membandingkan dengan kontrol, studi lain membandingkan sebelum dan seudah pengobatan, sehingga sulit untuk menarik kesimpulan hubungan yang jelas antara disbiosis dan artritis reumatoid. Temuan-temuan yang didapatkan antara lain, peningkatan spesies clostridium pada Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Peranan Mikrobiota pada Penyakit Autoimun pasien artritis reumatoid, dan jumlah ini menurun rantai pendek yang diproduksi oleh mikrobiota yang setelah pengobatan. Penurunan jumlah bifidobacteria, bacteroides, porphyromonas, dan prevotella juga kemudian menjadi penghubung dengan sistem imun cukup konsisten pada subyek artritis reumatoid (Sandhya, 2016). Hubungan artritis reumatoid dengan manusia (Wang, 2019). Mekanisme lain yang terlibat adanya disbiosis menjadi hal yang menarik, karena belakangan diketahui disbiosis berkaitan dengan dalam terjadinya autoimunitas terkait disbiosis adalah respon imun. Mekanisme disbiosis menyebabkan artritis reumatoid dijelaskan melalui beberapa kemampuan mikroorganisme memproduksi enzim- mekanisme: (a) bakteri pada rongga mulut dan lokasi enzim yang berperan dalam modifikasi protein pasca lain melepas toksin dan metabolit yang merangsang translasi, salah satunya enzim PADI dari P. gingivalis inflamasi; (b) bakteri (P. gingivalis) merusak integritas yang mensitrulinasi protein. Modifikasi lainnya antara epitel rongga mulut memudahkan komponennya lain ubiquitinasi oleh B. fragilis, demiristoilasi dan memasuki sirkulasi dan mengaktifkan respons deimidasi oleh S. flexneri, dan modifikasi histon oleh imun; (c) P. gingivalis memproduksi endopeptidase beberapa bakteri lainnya (Lerner, 2016). spesifik arginin (gingipain R) dan spesifik lisin (gingipain K) yang merupakan enzim proteolitik Tabel 2. Penelitian mengenai mikrobiota dan protein matriks, rusaknya matriks menyebabkan penyakit reumatik inflamasi peningkatan permeabilitas vaskuler; (d) P. gingivalis memproduksi peptidyl arginine deiminase, suatu Penulis, Subyek Hasil enzim yang mendeiminasi residu arginin menjadi referensi sitrulin (modifikasi pasca translasi), sitrulinasi yang terjadi pada protein-protein sitoskeleton ditambah Tap, et al. 97 SpA Tidak ada perbedaan operational dengan adanya defek toleransi imun pada protein yang tersitrulinasi menjadi dasar autoimunitas pada 33 RA taxonomy units (OTU), mungkin RA (Detert, 2010; Sandhya, 2016). 72 kontrol (46 dipengaruhi pengobatan Selain pada RA disbiosis juga dijumpai pada lupus eritematosus sistemik, inflammatory bowel kerabat SpA) disease, diabetes mellitus tipe 1, penyakit Celiac dan juga sklerosis multipel. Pada IBD dijumpai penurunan Diamanti, et al. 42 RA Tidak didapatkan perbedaan pada jumlah Firmicutes dan Bacteroides dan peningkatan 2018 (Diamanti, Belum diobati keragaman dan jumlah mikrobiota jumlah Proteobacteria. Pada diabetes tipe 1 2018) MTX dijumpai penurunan diversitas disertai peningkatan ETN Peningkatan jumlah klas bacillus dan Bacteroides dan penurunan Bifidobacteria, sebaliknya ETN-MTX ordo lactobacillus pada pasien RA. pada penyakit Celiac dijumpai peningkatan diversitas. Penurunan genus faecalibacterium Pada sklerosis multipel dijumpai penurunan Clostridia Kontrol Genus flavobacterium tidak dan Bacteroidetes (Lerner, 2016). ditemukan pada RA Meningkatnya permeabilitas mukosa saluran He, et al. 2020 21 SLE SLE: penurunan jumlah OUT, cerna memudahkan translokasi mikroorganisme, (He, 2020) 10 kontrol penurunan jumlah Bacteriodetes, ditambah lagi disbiosis dikatakan menggeser sehat peningkatan Proteobacter, polarisasi diferensiasi dari Th0 menjadi Th17 (Li, peningkatan Enterococcoceae, 2018). Disbiosis juga dikaitkan dengan inflamasi penurunan Clostridiae, penurunan kronik, inflamasi kronik berhubungan dengan proses Rumminococcaceae, penurunan aterogenesis, sama halnya dengan penyakit autoimun Faecalibacterium lainnya, penderita artritis reumatoid juga berisiko mengalami aterosklerosis dini dan hal ini mungkin Li, et al. 2017 SLE aktif vs Aktif: berhubungan dengan disbiosis (Brandsma, 2018). (Li, 2017) remisi ↑ lactobacillus, streptococcus, Mekanisme lain yang potensial terlibat adalah regulasi proteobacteria, orinobacteria vitamin D terhadap adanya disbiosis pada saluran ↓ ruminococcus cerna, dan pemberian vitamin D akan merubah pola Remisi: mikrobiota (Receptor, 2018). Hal lain yang dikaitkan ↑ bifidobacterium dengan mekanisme inflamasi adalah asam lemak Didapatkan perbedaan jalur metabolik juga (asam lemak rantai Temu Ilmiah Reumatologi 2021 pendek) Azzoouz, et al. SLE aktif Ekspansi Ruminococcus gravus 2019 (Azzouz, dan konsisten dengan parameter 2019) aktivitas penyakit Mu, et al. 2017 Mencit model Mencit model lupus: Sedikit jumlah (Mu, 2017) lupus Lactobacillae Penambahan Lactobacillae (cecal material transplant) menurunkan produksi anti-dsDNA Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa didapatkan perbedaan komposisi mikrobiota pada subjek dengan autoimun dan kelompok sehat. Pada beberapa penyakit (model) juga dijumpai perbedaan mikrobiota pada kelompok aktivitas penyakit yang berbeda. Perubahan mikrobiota juga terjadi pasca pengobatan. Sehingga peranan mikrobiota pada penyakit autoimun sangatlah beragam, Zhang, et al, 2020 menunjukkan potensi peran mikrobiota pada diagnosis, pengobatan 85

Perdana Aditya Rahman, Muhammad Anshory, Handono Kalim pasien. Dalam kondisi disbiotik, modifikasi pola makan, serta pengobatan dengan pro- dan prebiotik, dan prognosis atau prediksi respon pengobatan pada dan, dalam kasus yang lebih berat, pemulihan lengkap penyakit autoimun. mikrobiota tinja melalui transplantasi feses, yang berupaya menanamkan mikrobiota donor orang Gambar 1. Peranan mikrobiota pada penyakit autoimun, sehat kedalam penerima seorang pasien diharapkan Disbiosis dapat menjadi salah satu faktor predisposisi penyakit membantu mengintervensi keadaan penyakit. Cara lain untuk memperbaiki mikrobiota usus ialah dengan autoimun sehingga dapat digunakan sebagai penilaian pemberian antibiotik. Memang antibiotik dapat risiko dan intervensi mikrobiota ini mungkin mencegah menimbulkan efek negatif pada mikrobiota, tetapi bermanifestasinya autoimunitas menjadi penyakit autoimun. terdapat bukti bukti bahwa penyakit autoimun dapat Pada tahap munculnya manifestasi klinis pengobatan dan diperbaiki dengan pemberian antibiotika. Disamping prediksi respon pengobatan juga mungkin diperankan oleh efek pembunuhan mikrobanya, antibiotik tertentu diduga dapat memberikan efek anti inflamasi dan mikrobiota ini (Zhang, 2020). modulasi sistim imun. Beberapa penelitian telah dicoba dipergunakan untuk melengkapi pengobatan Terapi penyakit autoimun berdasarkan penyakit autoimun (Tabel 3), meskipun tak selalu keseimbangan mikrobiota berhasil. Masih diperlukan penelitian yang luas untuk dapat menilai pengaruh perbaikan mikrobiota, Dari uraian diatas telah terbukti bahwa disbiosis termasuk penggunaan antibiotika pada perjalanan mikrobiota usus yang menyusun mikrobioma penyakit autoimun. manusia dapat memiliki pengaruh yang besar pada homeostasis energi dan imun, yang mengakibatkan Tabel 3. Beberapa antibiotika yang mungkin menunjukkan efek nyata pada metabolisme dan fungsi imunologis, efikasi pada penyakit autoimun (De Luca, 2019) yang pada akhirnya menyebabkan banyak penyakit lokal dan sistemik. Makanan, karena mengandung Penyakit Autoimun komponen yang memberikan energi ke mikrobiota inang, memainkan peran penting dalam pemeliharaan Artritis Reumatoid Artritis Reaktif Granulomatosa dengan angiitis komplek mikrobioma. Diet tinggi lemak dan tinggi gula, dan diet rendah serat menyebabkan disbiosis, Minocyclin Doxycycline Co-trimoxazole sedangkan diet rendah lemak dan gula, dan tinggi serat, terutama serat prebiotik, nyata dapat meningkatkan Doxycycline Azithromycine homeostasis energi dan respons imun yang tepat Levofloxacine Ciprofloxacine untuk mengurangi risiko penyakit dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. Clarythromycine Dalam kondisi sehat, modifikasi pola makan, Roxithromycine serta pengobatan dengan penggunaan pro dan prebiotik, dapat membantu menjaga keseimbangan Kesimpulan mikrobiota yang tepat dan meningkatkan energi dan homeostasis sistim imun yang tepat. Probiotik, seperti Adanya disbiosis berhubungan dengan bakteria Gram positif (misalnya Bifidobacteriaum autoimunitas dan penyakit autoimun. Disbiosis pada spp., Lactobacillus spp., Lactococcus spp., Pediococcus autoimun adalah suatu kondisi dinamis, dimana diduga spp., dan galur E. coli nonpatogenik yang lain) telah perubahan-perubahan pola disbiosis didapatkan pada dapat memperbaiki struktur dan komposisi beberapa tahapan-tahapan terjadinya penyakit (prepatogenesis hingga konvalesen). Dinamika ini menjadikan 86 mikrobiota memiliki potensi dari aspek pencegahan, diagnosis dan terapi pada penyakit autoimun, namun demikian masih memerlukan studi-studi dan juga uji klinik lebih lanjut untuk mendapatkan bukti ilmiah yang lebih baik. Referensi 1. Azzouz, D. et al. (2019) ‘Lupus nephritis is linked to disease-activity associated expansions and immunity to a gut commensal’, pp. 947–956. doi: 10.1136/ annrheumdis-2018-214856. 2. Belizário, J. E., Faintuch, J. and Garay-Malpartida, M. (2018) ‘Gut Microbiome Dysbiosis and Immunometabolism: New Frontiers for Treatment of Metabolic Diseases’, Mediators of Inflammation, 2018, pp. 1–12. doi: 10.1155/2018/2037838. Temu Ilmiah Reumatologi 2021

3. Brandsma, E. et al. (2018) ‘Cellular Biology’, pp. 94–100. Peranan Mikrobiota pada Penyakit Autoimun doi: 10.1161/CIRCRESAHA.118.313234. 12. Mazmanian, S. K. and Lee, Y. K. (2014) ‘Interplay 4. Clemente, J. C., Manasson, J. and Scher, J. U. (2018) ‘The between intestinal microbiota and host immune system’, role of the gut microbiome in systemic inflammatory Journal of Bacteriology and Virology, 44(1), pp. 1–9. doi: disease’, BMJ (Online), 360, pp. 1–16. doi: 10.1136/bmj. 10.4167/jbv.2014.44.1.1. j5145. 13. Mu, Q. et al. (2017) ‘Control of lupus nephritis by 5. Detert, J. et al. (2010) ‘The association between changes of gut microbiota’, Microbiome, 5(1), p. 73. doi: rheumatoid arthritis and periodontal disease’. 10.1186/s40168-017-0300-8. 6. He, J. et al. (2020) ‘Microbiome and Metabolome Analyses 14. Picchianti-diamanti, A. et al. (no date) ‘Analysis of Gut Reveal the Disruption of Lipid Metabolism in Systemic Microbiota in Rheumatoid Arthritis Patients : Disease- Lupus Erythematosus’, Frontiers in Immunology, Related Dysbiosis and Modifications Induced by 11(July), pp. 1–13. doi: 10.3389/fimmu.2020.01703. Etanercept’. doi: 10.3390/ijms19102938. 7. Khan, M. F. and Wang, H. (2020) ‘Environmental 15. Receptor, V. D. (2018) ‘HHS Public Access’, pp. 1–7. doi: Exposures and Autoimmune Diseases: Contribution of 10.1097/MCO.0000000000000516.Dietary. Gut Microbiome’, Frontiers in Immunology, 10(January), pp. 1–11. doi: 10.3389/fimmu.2019.03094. 16. Sandhya, P. et al. (2016) ‘Does the buck stop with the bugs ?: an overview of microbial dysbiosis in rheumatoid 8. Lerner, A., Aminov, R. and Matthias, T. (2016) ‘Dysbiosis arthritis’, pp. 8–20. may trigger autoimmune diseases via inappropriate post-translational modification of host proteins’, 17. Shamriz, O. et al. (2016) ‘Microbiota at the crossroads of Frontiers in Microbiology, 7(FEB). doi: 10.3389/ autoimmunity’, Autoimmunity Reviews, 15(9), pp. 859– fmicb.2016.00084. 869. doi: 10.1016/j.autrev.2016.07.012. 9. Li, B. et al. (2018) ‘The microbiome and autoimmunity: a 18. Wang, Q. and Xu, R. (2019) ‘Data-driven multiple-level paradigm from the gut–liver axis’, Cellular and Molecular analysis of gut- microbiome-immune-joint interactions Immunology, 15(6), pp. 595–609. doi: 10.1038/ in rheumatoid arthritis’, pp. 1–10. cmi.2018.7. 19. Zhang, X. et al. (2020) ‘The Gut Microbiota: Emerging 10. Li, Y. et al. (no date) ‘Disordered intestinal microbes Evidence in Autoimmune Diseases’, Trends in Molecular are associated with the activity of Systemic Lupus Medicine, 26(9), pp. 862–873. doi: 10.1016/j. Erythematosus’. doi: 10.1042/CS20180841. molmed.2020.04.001. 11. De Luca, F. and Shoenfeld, Y. (2019) ‘The microbiome 20. Zheng, D., Liwinski, T. and Elinav, E. (2020) ‘Interaction in autoimmune diseases’, Clinical and Experimental between microbiota and immunity in health and Immunology, 195(1), pp. 74–85. doi: 10.1111/cei.13158. disease’, Cell Research, 30(6), pp. 492–506. doi: 10.1038/ s41422-020-0332-7. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 87

Landasan Ilmiah Terapi Sel Punca Cosphiadi Irawan Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan ilmu kedokteran sel punca, ditemukan bahwa sel sumsum tulang dewasa mengandung HSC, endothelial Sel punca (stem cells) merupakan sel yang mampu progenitor cells (EPC), dan sel punca mesenkimal menunjukkan kemampuan untuk memperbarui diri (mesenchymal stem cells/MSC).4 Sesuai dengan (self-renewal), belum terspesialisasi (unspecialized), namanya, HSC akan berdiferensiasi menjadi berbagai menunjukkan plastisitas/trans diferensiasi, dan dapat lini sel darah, sedangkan MSC mampu berdiferensiasi diisolasi serta dikoleksi untuk kepentingan terapi menjadi lemak, tulang, dan kartilago.4 (transplantasi/implantasi). Sesuai dengan pernyataan tersebut, sel punca dapat berdiferensiasi menjadi Gambar 1. Hierarki Sel Punca berbagai macam sel dalam tubuh makhluk hidup.1 (Sumber: Tewary, dkk3) Dalam separuh abad terakhir, terapi sel punca telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan Dasar mekanisme kerja terapi sel punca perkembangan ilmu biologi sel.2,3 Dalam praktik klinis medis, sel punca memiliki potensi yang besar untuk Terapi sel punca mengalami perkembangan digunakan dalam proses terapi berbagai kelainan, pesat karena sifat dasar dari sel punca yaitu di antaranya kelainan degeneratif, autoimun, dan kemampuannya untuk berdiferensiasi dan membelah onkologi. diri. Kemampuan sel punca ini menjadi dasar dalam aplikasinya untuk mengobati penyakit-penyakit Jenis sel punca dan terapi sel punca degeneratif.5 Terapi sel punca didefinisikan sebagai metode pengobatan terhadap penyakit tertentu yang Berdasarkan hierarki diferensiasi sel, sel punca melibatkan pemakaian sel punca manusia, baik sel dapat diklasifikasikan menjadi sel punca totipoten, punca embrional maupun induced pluripotent stem pluripoten, multipoten, olugopoten, dan unipoten.1 cells (iPSC), secara autologus maupun alogenik.5 Sel punca totipoten adalah sel punca yang mampu berdiferensiasi menjadi sel apapun pada suatu Terdapat beberapa terminologi yang perlu organisme. Sel punca totipoten merupakan produk dipahami dalam terapi sel punca. Kedokteran dari fertilisasi sel sperma dengan sel ovum.3 Sel regeneratif (regenerative medicine) merupakan punca totipoten dibedakan dari sel punca pluripoten cabang ilmu kedokteran terkini yang bertujuan untuk terutama dari kemampuannya dalam membentuk regenerasi sel melalui obat-obat small molecules, alat jaringan ekstraembrional, seperti plasenta dan tali medis (device therapy), terapi biologik, serta terapi pusat.3 Sel punca pluripoten merupakan menyusun sel dan terapi gen. Terapi sel merupakan bagian lapisan germinal, misalnya sel punca embrional. dari kedokteran regeneratif. Terapi sel didefinisikan Lebih lanjut lagi, sel punca multipoten bersifat lebih sebagai teknologi kedokteran yang menggunakan sel spesifik pada suatu lini sel tertentu, misalnya sel sebagai metode pengobatan untuk berbagai penyakit.6 punca hematopoietik. Jika sel punca hematopoietik berdiferensiasi menjadi sel punca yang lebih spesifik, misalnya sel punca myeloid, maka kelompok sel ini diklasifikasikan sebagai sel punca oligopoten. Bagian paling spesifik dari diferensiasi sel punca adalah sel punca unipoten/nulipoten yang hanya mampu berdiferensiasi menjadi satu jenis sel.1 Hierarki sel punca ini dapat dilihat pada gambar 1. Pada awalnya, sel punca yang berasal dari sumsum tulang (bone marrow derived stem cell) diduga hanya berupa sel punca hematopoietik (hematopoietic stem cells/HSC). Seiring dengan perkembangan 88 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Dasar mekanisme kerja terapi sel punca Landasan Ilmiah Terapi Sel Punca bergantung pada jenis penyakit dan juga cara kerja sel punca pada masing-masing kelainan tersebut. Darah tali pusat dilakukan sentrifugasi agar komponen Pada penyakit neurodegeneratif, terapi sel punca yang kaya akan sel punca terkonsentrasi, untuk bertujuan untuk menggantikan sel-sel neuron yang kemudian dilakukan kriopreservasi.8 Darah tali pusat mengalami gangguan fungsi dengan sel-sel baru yang merupakan sumber sel punca yang banyak diminati berdiferensiasi menjadi sel fungsional. Mekanisme di negara maju karena proses pengambilannya yang yang sama juga digunakan pada pengobatan cedera non invasif, dan sifatnya yang menganding banyak medula spinalis, di mana sel-sel yang mengalami komponen sel yang bermanfaat (gambar 2).9 kerusakan akan digantikan dengan sel punca yang berdiferensiasi menjadi neuron baru. Pada diabetes Gambar 2. Sel prinsipal dan progenitor pada darah tali pusat. melitus, sel punca pluripoten diberikan dengan tujuan (Sumber: McDonald, et al9) untuk menggantikan sel beta di pankreas.5 Kekurangan dari sel punca darah tali pusat Dalam bidang hematologi onkologi medik, sel adalah jendela yang sempit untuk melakukan koleksi. punca khususnya sel punca multipoten telah digunakan Pengambilan darah tali pusat harus dilakukan saat sejak dekade tahun 1960 untuk pengobatan keganasan kelahiran janin. darah seperti leukemia, limfoma, dan mieloma multipel.7 Dasar dari terapi sel punca ini adalah Sel punca hematopoietik merupakan jenis sel sistem hematopoietik yang secara alami terdiri atas punca yang sudah diaplikasikan untuk pengobatan hierarki sel punca yang akan mengalami diferensiasi sejak setengah abad yang lalu. Berbeda dengan darah secara bertahap. Pada keganasan darah, sel punca tali pusat, darah perifer mengandung sel punca multipoten yang diberikan mampu berdiferensiasi dalam jumlah yang jauh lebih sedikit. Oleh karena menjadi eritrosit, megakariosit, limfosit, dan berbagai itu, diperlukan proses tertentu untuk memobilisasi sel lainnya. sel punca agar dapat ditemukan di darah tepi.10 Pemberian granulocyte colony stimulating factor Proses terapi sel punca (GCSF) telah menjadi baku emas dalam mobilisasi sel punca hematopioetik.10 Injeksi GCSF diberikan dengan Secara umum, proses terapi sel punca dapat dosis 10 µg/kgBB/hari secara subkutan selama 5 dibedakan menjadi sel punca hematopoietik untuk hari, dengan target sel CD34+ 2-5x106 sel /kgBB.10 pengobatan leukemia, limfoma, dan myeloma; serta Kemudian, dilakukan pengambilan darah secara sel punca mesenkimal untuk kedokteran regeneratif. aferesis. Pengambilan secara aferesis bertujuan untuk Proses terapi sel punca diawali dengan pengumpulan memaksimalkan jumlah sel punca yang didapat, dengan (koleksi) sel punca dari sumbernya. Sumber sel punca mengurangi kontaminasi sel darah merah semaksimal dapat bersifat autologus maupun alogenik. Pada sel mungkin. Selanjutnya, produk hasil aferesis ini dapat punca alogenik, diperlukan proses HLA matching langsung diberikan, disimpan dengan kriopreservasi, untuk memastikan kecocokan sel donor dengan ataupun dilakukan enhancement dengan berbagai resipien. Donor alogenik dapat berasal dari keluarga metode sebelum akhirnya diberikan kepada pasien (related) ataupun dari orang lain tanpa hubungan (gambar 3) keluarga (unrelated). Terdapat beberapa sumber sel punca. Pada terapi sel punca hematopoietik, dilakukan pengambilan dari sumsum tulang, darah tepi, maupun tali pusat. Pada sel punca mesenkimal, koleksi dapat dilakukan dari organ target tersebut (adiposa, synovium, dll), sumsum tulang (bone marrow derived stem cell), atau tali pusat. Pada sel punca yang berasal dari tali pusat (umbilikal), proses persiapan koleksi berawal dari sebelum kehamilan.8 Pada saat proses persalinan, tali pusat segera dipisahkan dan dilakukan penyedotan darah tali pusat, untuk kemudian dilakukan pemrosesan. Temu Ilmiah Reumatologi 2021 89

Cosphiadi Irawan Sel punca hematopoietik banyak digunakan untuk terapi keganasan darah seperti leukemia, limfoma, dan myeloma multipel. Sel punca jenis ini mampu berdiferensiasi menjadi limfosit, megakariosit, dan eritrosit sehingga sangat ideal untuk terapi kanker darah.7 Pada leukemia misalnya, pemberian sel punca hematopoietik tidak hanya menggantikan leukosit yang abnormal, tetapi juga mampu menggantikan eritrosit yang tertekan oleh sel blas yang berlebih.1 Terapi sel punca pada keganasan hematologi merupakan modalitas yang sudah terbukti secara ilmiah dan digunakan secara rutin di berbagai negara. Di Amerika Serikat misalnya, terapi sel punca hematopoietik digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti pada gambar 4.13 Gambar 3. Proses Terapi Sel Punca Hematopoietik Autologus Gambar 4. Indikasi Terapi Sel Punca Hematopoietik (Sumber: Mancardi, et al11) di Amerika Serikat Proses masuknya terapi sel punca ke dalam (Sumber gambar: Lad, et al13) tubuh pasien dapat dilakukan secara sistemik melalui pemberian intravena maupun secara langsung Keterangan: NHL: Non-Hodgkin Lymphoma; AML: Acute diberikan ke dalam organ yang mengalami penyakit. Myeloid Leukemia; HD: Hodgkin Disease; ALL: Acute Pada terapi sel punca hematopoietik, misalnya untuk Lymphoid Leukemia; MDS: Myelodysplastic Syndrome; MPD: pengobatan leukemia, sel punca diberikan secara Myeloproliferative Disorders; CML: Chronic Myeloid Leukemia sistemik melalui jalur intravena. Di sisi lain, pada terapi sel punca untuk kedokteran regeneratif, terapi Berbeda dengan sel punca hematopoietik, sel dapat diberikan secara sistemik maupun lokal. punca mesenkimal masih dalam proses penelitian Sebagai contoh, pada artritis rematoid, terapi sel untuk tatalaksana berbagai penyakit.14 Terdapat punca dapat diberikan secata intravena (sistemik), banyak penyakit yang menjadi indikasi terapi sel injeksi intraartikular (lokal), maupun implantasi punca mesenkimal yang masih dalam tahap penelitian surgikal (lokal).12 misalnya pada penyakit Crohn, artritis rematoid, osteoartritis, lupus eritematosus sistemik, hingga Penerapan sel punca dalam bidang kedokteran hepatitis B kronik.14 Proses pemberian sel punca terutama di Indonesia mesenkimal ini masih banyak menemui tantangan, sehingga diperlukan berbagai teknologi untuk Sel punca sebenarnya telah lama digunakan untuk membantu penghantarannya ke dalam jaringan, pengobatan, khususnya sel punca hematopoietik. misalnya dengan eksosom.15 Beberapa penelitian sel Sel punca telah lama memegang peranan penting punca mesenkimal untuk penyakit inflamasi dapat khususnya dalam bidang hematologi onokologi medik. dilihat pada tabel berikut. Pengetahuan akan sel punca dan diferensiasinya merupakan dasar dari ilmu sistem hematopoiesis yang selama ini dipahami secara luas. Dari sisi onkologi medik, pengetahuan akan sel punca kanker (cancer stem cells) berkontribusi terhadap pemahaman akan patofisiologi kanker dan potensi terapi yang mentargetkan sel punca kanker secara spesifik. 90 Temu Ilmiah Reumatologi 2021

Tabel 1. Penelitian Sel Punca Mesenkimal Landasan Ilmiah Terapi Sel Punca Penyakit Sumber Sel Punca Hasil Daftar Pustaka Perbaikan waktu berdiri Artritis rematoid Bone marrow–derived dan penurunan dosis 1. Zakrzewski W, Dobrzynski M, Szymonowicz M, Rybak Z. fase II/II stromal cells (BMSC) metotreksat dan prednisolon Stem cells: past, present, and future. Stem Cell Res Ther autologus Perbaikan status fungisonal 2019;10(1):68. dan skala nyeri Osteoartritis fase I/II Bone marrow–derived 2. De Luca M, Aiuti A, Cossu G, Parmar M, Pellegrini stromal cells (BMSC) Penurunan laju perburukan G, Robey PG. Advances in stem cell research and autologus fungsi ginjal therapeutic development. Nat Cell Biol 2019;21(7):801- 11. Penyakit ginjal Bone marrow–derived 75% remisi pada grup sel punca, 83% pada grup 3. Tewary M, Shakiba N, Zandstra PW. Stem cell polikistik autosomal stromal cells (BMSC) kontrol. bioengineering: building from stem cell biology. Nat Rev Perbaikan angka kesintasan, Genet 2018;19(10):595-614. dominan autologus perbaikan fungsi hati 4. Grove JE, Bruscia E, Krause DS. Plasticity of bone Lupus eritematosus Sel punca mesenkimal marrow-derived stem cells. Stem Cells 2004;22(4):487- 500. sistemik tali pusat autologus 5. Aly RM. Current state of stem cell-based therapies: an Acute on Chronic Bone marrow–derived overview. Stem Cell Investig 2020;7:8. Liver Failure karena stromal cells (BMSC) virus hepatitis B alogenik 6. Cossu G, Birchall M, Brown T, De Coppi P, Culme- Seymour E, Gibbon S, et al. Lancet Commission: Sumber: Regmi, et al.14 Stem cells and regenerative medicine. The Lancet 2018;391(10123):883-910. Dari dua jenis sel punca multipoten yang utama, yaitu sel punca hematopoietik dan sel punca 7. Biehl JK, Russell B. Introduction to stem cell therapy. J mesenkimal, sel punca hematopoietik merupakan Cardiovasc Nurs 2009;24(2):98-103; quiz 4-5. jenis yang sudah digunakan di Indonesia sejak lama. Terapi transplantasi sumsum tulang alogenik pertama 8. Harris DT. Collection, processing, and banking of di Indonesia telah dikerjakan di Divisi Hematologi umbilical cord blood stem cells for clinical use in Onkologi Medik FKUI/RSCM pada tahun 1989. transplantation and regenerative medicine. Laboratory Sebelumnya, pasien yang mampu membiayai sendiri Medicine 2008;39(3):173-8. melakukan tindakan ini di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Taiwan, dan Belanda.16 Selain di 9. McDonald CA, Fahey MC, Jenkin G, Miller SL. Umbilical Jakarta, transplantasi sumsum tulang alogenik juga cord blood cells for treatment of cerebral palsy; pernah dilakukan di Semarang, namun dihentikan timing and treatment options. Pediatric Research setelah dua kasus.16 Pelayanan di Jakarta juga sempat 2018;83(1):333-44. terhenti namun akan dilanjutkan kembali di tahun 2021 seiring dengan diresmikannya ruang perawatan 10. Mijovic A, Pamphilon D. Harvesting, processing and Transplantasi Sumsum Tulang dan Kemoterapi inventory management of peripheral blood stem cells. Intensif (TST-KI) di RSCM/FKUI. Asian J Transfus Sci 2007;1(1):16-23. Pengembangan jenis sel punca lainnya (non 11. Mancardi G, Saccardi R. Autologous haematopoietic hematopoietik) di Indonesia, khususnya di RSCM/ stem-cell transplantation in multiple sclerosis. The FKUI berawal pada pembentukan laboratorium sel Lancet Neurology 2008;7(7):626-36. punca tahun 2012. Unit Perawatan Terpadu (UPT) Sel Punca RSCM melakukan penelitian sel punca untuk 12. Lopez-Santalla M, Fernandez-Perez R, Garin MI. terapi berbagai kelainan seperti fraktur, cedera saraf, Mesenchymal stem/stromal cells for rheumatoid infark, penyakit kardiovaskular, dan luka bakar. arthritis treatment: an update on clinical applications. Cells 2020;9(8). Kesimpulan 13. Lad D, Malhotra P, Varma S. Hematopoietic stem Terapi sel punca merupakan hasil dari kemajuan cell applications: past, present and future. Journal ilmu pengetahuan kedokteran yang akan membawa of Postgraduate Medicine Education and Research masa depan baru dalam pengobatan berbagai 2012;46:69-74. penyakit. Terapi sel punca hematopoietik telah banyak digunakan di seluruh dunia untuk pengobatan 14. Regmi S, Pathak S, Kim JO, Yong CS, Jeong JH. keganasan hematologi, dan akan segera kembali Mesenchymal stem cell therapy for the treatment of diimplementasikan di Indonesia. Terapi sel punca inflammatory diseases: Challenges, opportunities, mesenkimal memiliki prospek yang menjanjikan, and future perspectives. Eur J Cell Biol 2019;98(5- namun perlu didukung data hasil penelitian uji klinis 8):151041. yang sahih. 15. Mianehsaz E, Mirzaei HR, Mahjoubin-Tehran M, Rezaee Temu Ilmiah Reumatologi 2021 A, Sahebnasagh R, Pourhanifeh MH, et al. Mesenchymal stem cell-derived exosomes: a new therapeutic approach to osteoarthritis? Stem Cell Res Ther 2019;10(1):340. 16. Hariman H. The hematopoietic stem cell transplantation in Indonesia: an unsolved dilemma. Bone Marrow Transplantation 2008;42(1):S85-S8. 91

Terapi Sel Punca pada Penyakit Reumatik-Autoimun Faisal Parlindungan Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan Sel punca secara umum didefinisikan sebagai sel yang belum berdifferensiasi dan memiliki potensi Penyakit reumatik autoimun adalah suatu untuk menjadi berbagai tipe sel yang berbeda saat kelompok penyakit yang heterogen yang diperkirakan awal kehidupan. Sel punca juga bertanggung jawab mengenai 7,6-9,4% populasi di dunia. Manifestasi untuk perbaikan dan remodeling jaringan dan organ klinis penyakit reumatik autoimun sangat beragam sepanjang masa kehidupan. Salah satu karakteristik dan diakibatkan oleh adanya gangguan pada imunitas utama sel punca adalah kemampuan memperbaharui alami (innate immunity) dan imunitas adaptif diri. Artinya, sel punca dapat membelah diri untuk (adaptive immunity), hilangnya toleransi imunologis, waktu yang lama dan membentuk sel-sel anak yang produksi autoantibodi, dan terbentuknya sel B dan memilik potensi proliferatif dan perkembangan yang sel T autoreaktif. Karena kompleksnya patogenesis identik. Karakteristik sel punca yang lain adalah penyakit reumatik autoimun, pendekatan terapeutik kemampuannya untuk berdifferensiasi menjadi sel- berbeda-beda antar setiap penyakit.1,2 sel terspesialisasi di bawah kondisi fisiologis atau ekperimental tertentu. Dengan demikian, sel punca Sejak pertengahan abad ke-20, obat-obatan cukup menjanjikan untuk diaplikasikan dalam terapi disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs), yang melibatkan regenerasi jaringan.5–7 seperti metotreksat dan siklofosfamid, mulai menjadi strategi utama pengobatan penyakit reumatik- Tamm dkk melaporkan kasus pertama autoimun. Namun, DMARD bersifat nonspesifik dan transplantasi sel punca hematopoietik pada pasien dapat memiliki potensi efek samping yang serius. dengan penyakit reumatik-autoimun pada tahun Banyak pasien yang juga tidak dapat menoleransi 1995. Pada tahun 1996, diadakan “International pemakaian DMARD jangka panjang.3,4 Symposium on Haemopoietic Stem Cell Therapy in ARD” yang pertama di Basel, yang berlanjut Dalam beberapa dekade terakhir, pengobatan baru dengan pengembangan konsensus petunjuk untuk yaitu agen biologik (biologic agent) telah diperkenalkan transplantasi sel punca hematopoietik pada autoimun dan mulai digunakan pada penatalaksanaan penyakit yang merekomendasikan protokol standar dan reumatik-autoimun. Agen biologik dapat memberikan pembentukan registri the European Bone Marrow hasil yang cukup bagus, namun memiliki biaya yang Transplant/European League Against Rheumatism tinggi dan efek samping yang juga tinggi. Karena itu (EBMT/EULAR). Sejak saat itu, lebih dari 1500 perlu dipikirkan pilihan-pilihan terapi lain untuk prosedur transplantasi sel punca hematopoietik pengobatan penyakit reumatik-autoimun. Data pada penderita penyakit reumatik-autoimun telah terbaru dari transplantasi sel punca (stem cell) terdaftar pada registri tersebut, mencakup antara pada model hewan coba dan uji klinis memberikan lain sklerosis sistemik, sindrom Sjogren, dan artritis perspektif yang baru dan cukup menjanjikan untuk idiopatik.8,9 penatalaksanaan penyakit reumatik-autoimun. Tabel 1. Pro dan kontra terapi sel punca pada penyakit reumatik-autoimun 92 Temu Ilmiah Reumatologi 2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook