Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

Published by HERMIN AGUSTINI, 2023-08-10 13:52:55

Description: HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

Search

Read the Text Version

“Nah, sekarang yang menjadi pembaca UUD 1945, pembaca doa, dan pembawa acara, siapa ya? Harapan Bu guru tidak ada yang ditunjuk. Harus dengan kesadaran pribadi. Ayo, silakan, “katanya berharap. “Saya Bu, pembaca UUD 1945, Aning, no absen 5. “Bu, saya, Rina, pembaca doanya dan teman sebangku saya, Tita yang akan menjadi pembawa acaranya. “Siip, kalian memang anak-anak pandai. Tanpa diunjuk oleh bu guru pun kalian tanggap dan sadar diri. Bu guru bangga pada kalian. Oh iya, sekarang yang belum tinggal petugas dirigen lagu Indonesia Raya dan lagu wajib nasional. Silakan, siapa yang bersedia menjadi dirigennya? Ayo, anak-anak, teriak Bu Erin menyemangati kelas kami. Semua diam. Tidak ada satu pun siswa yang tunjuk tangan. “Ayo, silakan, Bu guru beri waktu 2 menit, kalau memang tidak ada yang berminat menjadi dirigen maka langsung Bu guru tunjuk. Maila, ada? “Maila, tidak masuk hari ini Bu, sakit, Ismail spontan menjawab. “Oh iya, kalau Ica Imelda masuk? “tanya Bu guru ke anak-anak. “Masuk, Bu, tapi dia tidak bisa menerima tugas ini Bu, kata Siska dengan lantangnya. “Lho, kenapa tidak bisa? Ini tugas sekolah lho, tidak ada yang boleh me- nolaknya, kata Bu guru dengan tegas. Seandainya ada yang menolak maka akan dikenakan sangsi dari sekolah. Mengerti kalian? Dengan nada sedikit tinggi Bu Erin menegaskan. Perkataan Bu Erin membuat kami tambah bingung. Bingung mau menyampaikan keadaan yang sebenarnya. “Ayo yang namanya Ica Imelda angkat tangan, seru Bu guru baru. Akhirnya, aku mengancungkan jari telunjukku. “Saya, Bu. Saya yang bernama Ica Imelda.” “Oh kamu nduk, ibu tanya kenapa kamu tidak bersedia menjadi dirigen paduan suara? “tanya Bu Erin penasaran. Apa kamu mau melanggar peraturan sekolah, hanya gara-gara tidak jelas alasanmu itu? Ayo, jelaskan ke Bu guru. 101

“Apa kamu belum pernah menjadi dirigen lagu? Biar nanti Bu Erin yang akan melatihmu, Nduk, katanya menjelaskan. “Begini, Bu, saya…, saya…suaraku tiba-tiba hilang. Tenggorokanku rasanya sakit. Tak ada sepatah kata lagi yang bisa keluar dari mulutku. Aku hanya diam dan tertunduk lesu. “Lho apa alasanmu? Kamu memang tidak mematuhi peraturan sekolah. Kamu kan punya mulut, ayo ngomong, jangan diam saja. Kenapa ha! “teriak B Erin nggak sabaran. “Anu, Bu, anu…aku bingung menjelaskannya. “Anu, anu, nggak jelas sama sekali! Kamu sengaja ya, sengaja tidak mau ikut upacara. Sengaja melanggar peraturan sekolah. Memang anak tidak tahu diri. Bu guru sudah menunjuk kamu, tetapi kamu malah meremehkannya. Biar catatan Bu Erin ini jadi saksi kalau ada anak yang bernama Ica Imelda tidak mau menjadi petugas dirigen paduan suara. Ibu akan laporkan ke Pembina OSIS dan akan disampaikan kepada Bapak Kepala Sekolah. Dengan muka merah karena marah, Bu Erin berjalan menuju ke arahku. Aku sangat takut. Aku menunduk dan tidak berani menatap beliau terus menerus. Tiba-tiba Siska berkata “Stop Bu! Sambil merentangkan kedua tangannya, Siska tidak memperbolehkan Bu Erin mendekatiku. “Bu Erin tidak boleh memarahi Ica berlebihan. Bu Erin tidak tahu hal yang sebenarnya. Sebenarnya Ica itu… “Hei, kamu, Siska! Spontan Bu Erin memotong kata-kata Siska. Kamu berani dengan Bu guru ya, nggak usah bela Ica. Ica memang tidak bertanggung jawab. Secara spontanitas Bu Erin menerobos dan menampik tangan Siska. Langsung menuju ke arahku. Aku yang duduk paling belakang, ketakutan didek- ati Bu Erin. Tapi tiba-tiba, Bu Erin lemas memandangku dan berkata, “Haah, loh…, loh…kamu…, kamu…, ternyata….spontan badan Bu Erin langsung lemas dan bersimpuh di dekatku. Dan berkata “Maaf, maaf… Nduk, Bu Erin tidak tahu kalau tangan kirimu bun…bun…buntung… Selesai berkata, Bu Erin pun langsung ping- san. 102

Sekelas kami pun riuh. Ismail dan teman-teman laki-laki yang lain mem- bopong tubuh Bu Erin menuju UKS. Lho, catatannya Bu Erin ketinggalan…. ProfilPenulis Esti Budi Rahayu adalah seorang lulusan Sastra Indonesia yang saat ini bekerja sebagai seorang guru di SMA Negeri Jenggawah. Ia lahir di Banyuwangi pada 1977 dan sudah tinggal di Jember sejak dirinya menempuh masa Pendidikan Strata Satu. Selama 18 tahun ia banyak belajar dan mendapat pengalaman dari murid-muridnya yang memiliki beragam latar belakang. Selain mengajar, ibu dari 3 anak ini juga aktif menulis ilmiah maupun non-ilmiah sebagai langkah yang ditempuhnya guna mengembangkan skill dan pengetahuan kesusastraannya. Penulis bisa dihubungi melalui no wa : 081249908665 atau di [email protected] 103

POHON JATI Oleh: Wahyu April Afandi, S.Pd, M.Pd SDN Subo 01 Kabut pagi kemarau masih enggan meninggalkan semangat cahaya pagi ufuk timur yang menerobos sela-sela tanaman tebu. Lalu lalang sepeda motor dan pejalan kaki yang sesekali di sela oleh dump truck terbangkan debu di jalan Karang Sadang, sepenggal jalan aspal sempit di depan sekolahku. Di gerbang SDN Subo 01 kecamatan Pakusari itu, kerumunan pedagang telah menghadang siswa yang membawa uang saku dengan aneka jenis makanan kesukaan anak- anak seperti cilok, sempol, aneka mie, aneka es, terang bulan mini, kue lekker dan makanan khas anak-anak yang lain. Wawan temanku, anak orang berpunya hampir setiap hari jajan dalam jumlah yang sangat banyak sampai tak mampu menghabiskan makanannya bahkan ketika bel masuk telah berbunyi. Nah, saat itulah giliranku menyambutnya dengan bantuan tulus menghabiskan maka- nannya. Ahai, laksana Ikan Remora di samping Paus Biru. Pelajaran pertama hari Rabu ini adalah Olah Raga, pelajaran yang aku sukai. Tidak pernah ada PR, tidak perlu mikir ribet, lebih banyak permainan, dan terkadang, Jika pak Sorga, guru olah raga yang lucu itu berhalangan hadir, Pak kepala sekolah mengajak kami jalan-jalan. Jalan kaki mengitari sekolah me- nyusuri pematang sawah dan ladang yang pemandangannya indah seperti lukisan. Dikanan ada hamparan padi menguning, sebelah kiri deretan pohon mahoni yang meranggas, dibawah jalan setapak itu ada gemericik aliran sungai yang dangkal. Meski dilarang pak Sorga, panas mentari menggoda tangan saya untuk mengambil beberapa teguk air sungai yang jernih itu. Segarr…….. Kali ini pak Sorga mengajari kami untuk lari sprint. Jika pak Sorga menga- takan “Bersedia…” maka kami berjongkok dengan kaki kanan didepan dan kedua tangan disamping kiri dan kanan tumit kaki kanan. Berikutnya jika pak Sorga bilang, “Sia” maka kami meluruskan kaki dan bersiap untuk berlari. Terakhir, jika pak Sorga bilang, “Yak!” maka kami berlari sekencang-kencangnya hingga titik yang ditentukan. 104

Di lapangan desa dekat sekolah itu kami belajar lari sprint. Kami maju enam-enam urut nomor absen. Dimulai dari nama yang berawalan dengan huruf A, Abdur Rahman hingga terakhir Y, Yuli Purwanti. Aku berada pada giliran ke- 2 karena aku bernomor absen 8, Iwan Setiawan. Setelah gelombang pertama selesai, tiba giliranku dan 5 kawanku yang lain. Kami bersiap ditempat yang ditentukan. Kemudian pak Sorga mulai mem- beri Aba-aba. “Bersedia.., Siap………., Yak!” Aku tidak pernah mau kalah. Apalagi kalau hanya untuk pelajaran ringan seperti ini. Aku berlari sekencang yang aku mampu bahkan kalau bisa lebih cepat dari anak panah yang terlempar dari busurnya atau peluru yang ditembakkan dari pistol. Kulirik ke kiri dan kanan temanku masih berada di belakang. Aku tersenyum penuh kemenangan setelah beberapa detik kemudian kakiku terasa tidak lagi menginjak tanah. Melayang terbang. Sebelum kemudian semuanya gelap gulita. *** Di ruang UKS itu kubuka mata. Loh, kenapa aku berada di ruang ini? tan- yaku dalam hati. Sebelum aku berusaha mengingat, pak Sorga yang berada di sampingku tersenyum padaku. “ Kamu tadi pingsan saat olah raga Wan,” kata pak Sorga “ Kenapa, kamu belum sarapan ya?” lanjut pak Sorga Aku hanya mengangguk. Entah kenapa mulut terasa tercekat. Pak Sorga tang- gap dan langsung mengulurkan segelas air mineral. “ Ayo, duduk dulu dan minum ini.” Kata pak Sorga Setelah duduk dan minum aku menjawab pak Sorga. “ Terima kasih Pak.” “ Sama-sama.” Balas pak Sorga “ Iwan, lain kali sebelum berangkat usahakan untuk sarapan, biar tubuh kita punya energi. Apalagi jika kamu tahu kalau hari ini ada jam pelajaran olah raga.” Pak Iwan mencoba mengingatkanku “ Iya pak.” Jawabku sekenanya. 105

“ Terus, kenapa kamu tadi pagi tidak sarapan Wan?” tanya pak Sorga “ Anu….. anu pak?” aku bingung mau mulai menjawab dari mana. “Tenang, gak usah takut. Pak Sorga kan sudah jinak.” Kata pak Sorga menenangkan dengan sedikit melucu. “ Setelah Ayah meninggal, ibu saya selalu berangkat pagi-pagi pak, sebe- lum jam 06.00. Jadi, saya jarang dibuatkan sarapan.” Jawabku “ Kapan ayahmu meninggal Wan?” tanya pak Sorga dengan raut serius. “ Saat Covid Delta pak.” jawabku singkat. “Jadi almarhum ayahmu dulu terkena covid?” tanya pak Sorga memasti- kan. “ Betul pak.” Jawabku “ Terus, ibumu berangkat pagi-pagi kerja kemana Wan?” Pak Sorga kem- bali mencecarku “ Bersih-bersih di rumah tetangga pak, Bu Kades.” Jawabku singkat Mendengar jawaban itu, entah kenapa pak Sorga langsung memelukku hangat. Manatap mataku dengan berkaca-kaca. “ Wan, kamu lihat pohon jati di belakang sekolah itu? pohon itu lebih ga- gah, berwibawa, dan berharga daripada pohon sengon di kebun sebelah. Satu pohon jati itu harganya kurang lebih sama dengan seratusan sengon se-kebun.” Pak Sorga berusaha menasehati. “ Kamu tahu kenapa Wan? Karena pohon jati itu bersedia menghadapi panas terik matahari dan dinginnya hujan lebih lama daripada sengon. Dia terus teguh tegak menjalani takdirnya betapapun itu tidak disukainya.” Papar pak Sorga. “ Iwan, kamu adalah bibit Jati itu. Karena ayahmu almarhum dulu adalah orang yang sukses dan baik hati. Sebagian tanah dan bangunan dari sekolah ini dibangun dari uang Ayahmu. Hanya saja, wabah itu membuat usahanya jatuh sebelum beliau berpulang dan ibumu menjadi pembantu rumah tangga seperti sekarang.” Pak Sorga kembali meneruskan nasihatnya. Mendengarnya, Aku be- rusaha membendung air mata yang sedari tadi berusaha untuk mengalir mem- basahi pipi. Entah kenapa aku merasa punya tenaga berlipat setelah mendengar 106

kata-kata dari pak Sorga, Tatto Sorga Ahmad. Beliau adalah teman sekolah Almarhum ayahku. *** Kemarau masih belum usai, mentari masih garang membakar bumi hari demi hari. Meski terkadang sore menghadiahi gerimis, panas dan gerah tak jua mau enyah. Pagi ini tak seperti biasanya, kabut bergelayut memutihkan suasana setelah Malam kemarau berusaha mendinginkan bumi sedingin-dinginnya. Di jalan berkabut itu tapak kakiku kembali melangkah ke sekolah meski tanpa uang di saku celana. Bedanya, semenjak pingsan saat pelajaran olah raga dan Pak Sorga datang ke rumah, perutku selalu sudah terisi makanan sebelum berangkat ke sekolah. Sampai di gerbang sekolah, para pedagang makanan ringan itu selalu berhasil membuatku menelan ludah. Aroma sempol yang dicelup telor dan digo- reng itu begitu menggoda. Wawan sedari kemarin tidak masuk karena sakit. Mendadak dari belakang tangan pak Sorga merangkul pundakku. “Iwan, kamu lapar ya?” tanya nya. “Enggak pak, saya sudah sarapan tadi.” Jawabku jujur. “Iya Wan, kita ini makan sekedar untuk hidup, bukan hidup untuk makan.” Kata pak Sorga. “Maksudnya pak?” tanyaku “Tidak semua yang kita makan itu membuat kita sehat untuk hidup Wan, bahkan banyak orang cepat mati gara-gara terlalu banyak makan atau salah makan.” Kali ini pak Sorga berbicara sambil memandangiku. “Makan sekedarnya saja, yang penting sehat dan bernutrisi. Atau kalau tidak ada, puasa itu lebih baik dan sehat.” Semakin dalam kalimat pak Sorga, kali ini sulit kumengerti. *** Lalu-lalang di Orchard street menampakkan wajah manusia dari segala ras. Entah apa urusan mereka di Singapura, pusat transaksi dunia. Setelah menyelesaikan kuliah S1 dan S2-ku di Nanyang University dan bekerja di perusahaan software aku terjebak di sini. Di belantara beton 107

dan keindahan semu taman buatan. Saat pagi, selalu kurindukan kabut pagi di Desa Subo dengan aroma sempol di gerbang sekolah empat belas tahun yang lalu. Benar yang disampaikan Pak Sorga hanya yang bertahan lama yang bisa menjadi Jati. Profil Penulis Wahyu April Afandi, S.Pd, M.Pd yang lahir di Kediri pada 17 April 1977 ini adalah lulusan FKIP Bahasa Inggris Universitas Jember pada tahun 2003. Kemudian menuntaskan pendidikan pasca sarjana dengan jurusan yang sama di Universitas Islam Malang pada tahun 2010. Saat ini, penulis adalah kepala SDN 01 Subo, Jember. Pembaca bisa menghubungi penulis melalui wa 081333591669. 108

DIALOG DUA PEREMPUAN Oleh : Tiwuk Ari SMPN 2 Mayang Udara mulai sedikit meninggi suhunya. Entahlah beberapa hari ini cuaca di kotaku selalu di atas 30 derajat Celcius. Kondisi cuaca yang sudah mulai memanas memaksa beberapa orang yang sedari tadi pagi nongkrong di alun- alun kota untuk segera beranjak pulang. Bagi mereka cukuplah acara jogging di hari Minggu ini selebihnya bisa disambung nanti sore saat kondisi cuaca sedikit bersahabat. Di depan rimbunan tumbuhan bugenvil tampak seorang dalam balutan pa- kaian badut Minnie Mouse sedang mencoba merayu seorang anak laki-laki yang melintas bersama orang tuanya. Anak laki-laki berusia tiga tahunan itu sejenak menatap badut kekasih Mickey Mouse itu. Sang badut melambaikan tangannya. Tiba-tiba raut wajah lelaki kecil itu berubah, terlihat seperti menyimpan rasa takut di bias wajahnya. “Axel mau foto sama Minnie Mouse,” tanya seorang wanita berjilbab biru langit yang kemungkinan adalah ibu lelaki kecil itu. “Ayo, Dik! foto sama Minnie,” ajak sang badut menimpali sambil mengham- piri sang anak kecil. Bukannya senang lelaki kecil itu malah memeluk paha lelaki dewasa di sebelahnya. Raut mukanya tampak seperti mau menangis, dia seperti ketakutan. “Ayo, ganteng. Enggak usah takut. Ayo foto sambil digendong Minnie,” ajak sang badut lagi sambil merentangkan kedua tangannya. “Enggak! Enggak! Takut!” teriak lelaki kecil itu dengan keras. Kedua orang tua Axel tersenyum, melihat ketakutan si anak yang sekarang memeluk erat paha ayahnya. “Maaf ya, enggak jadi foto,” kata sang ibu dengan tersenyum. Mereka bertiga kemudian segera berlalu dari hadapan sang badut. Sang badut terlihat melambaikan tangan dan tersenyum. Iya tersenyum, karena wajah badut memang tersenyum. Entahlah wajah di balik topeng badut itu. *** 109

Sang badut segera membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah rimbunan bugenvil. Dihempaskannya pantatnya perlahan di paving stone alun-alun. Perla- han dia angkat topeng Minnie dan tersembulah seraut wajah yang terlihat lelah dengan lelehan keringat yang menetes keras. Wajah seorang perempuan. Perempuan itu mengambil sebuah potongan kertas dus air mineral dan kemudian dipakainya untuk mengipasi wajahnya. Ada rasa sejuk menyapa wajahnya yang beberapa saat tadi seperti dioven dalam topeng badut dengan terik yang memang mulai memanggang kota. Perempuan itu berwajah oval dengan pipi yang sedikit tirus cenderung ke kurus. Kulitnya sawo matang dengan bibir yang kering tak disapa air sejak tadi subuh. Dia celingukan seperti mencari sesuatu kemudian mendesah keras. Celaka rupanya botol minumnya tertinggal di rumahnya. Dibukanya kaos tangannya dan dirabanya saku besar yang ada di depan baju badutnya. Hanya ada dua puluh ribu rupiah di situ. Itu berarti hanya be- berapa gelintir orang yang tadi sudi berbagi rezeki dengan berfoto dengannya. Dia menunduk memandangi paving stone keabuan. Demikian berat per- juangannya hanya untuk mendapatkan uang dua puluh ribu rupiah. Berangkat dari rumah setelah subuh sampai jam ini. Dia mengembuskan napasnya perla- han, memang itulah rezekinya hari ini. Harus disyukurinya. “Dapat banyak pagi ini, Mar?” Sebuah suara menyapa sang badut Minnie Mouse. Si empunya nama menengok ke arah suara yang memanggilnya. Disunggingnya senyuman yang dipaksanya manis. “Disyukuri saja Jum. Mungkin rejekinya segini. Pokok halal,” jawab badut Minnie Mouse yang ternyata bernama Mar itu. Perempuan yang menyapanya itu sekarang duduk di sebelahnya sambil perlahan meletakkan keranjang plastik hijau yang penuh aneka minuman sachet. Diletakkannya juga sebuah termos putih bunga-bunga merah. “Lah kalau kamu bagaimana, Jum?” kata Mar balik bertanya. “Padeh beih, Mar. Oleh gun sekonik,” kata Jum, sesaat raut mukanya beralih sendu. 110

Mar kemudian tertawa seperti gembira meskipun nadanya terlihat begitu sumbang. Jum yang disebelahnya terlihat kaget melihat temannya tertawa. Ken- ingnya mengernyit mengadu. Dia berpikir mungkin ada pernyataannya yang lucu dan membuat temannya tertawa. “Kok tertawa, apa ada yang lucu,” tanya Jum bingung. “Nasib kita yang perlu ditertawai, Jum. Kalau enggak gitu kita bisa stress. Jangan biarkan nasib yang mentertawai kita, kita yang harus mentertawai nasib lebih dulu,” jawab Mar setelah reda tawanya. Tiba-tiba Jum tertawa, dan sekarang gantian Mar yang terbengong menatap temannya itu. “Lo, lucu ya Jum,” tanya Mar. Jum berhenti tertawa, ada sedikit air di sudut matanya. Diusapnya dengan ujung jilbab usang yang dipakainya. Suasana hening sejenak. Mar masih menatap wajah perempuan di sampingnya sambil terus mengipasi tubuhnya dengan potongan dus air mineral. “Kamu lucu, Mar. Dapat ilmu dari mana, kamu? Kayak lulusan kuliahan kamu, Mar,” balas Jum sambil memandang lurus ke depan ke arah masjid atau entah ke mana. “Aku dengar dari anak-anak yang kapan hari nongkrong dekatku. Seper- tinya mereka anak kuliahan. Aku pernah praktekkan dan benar, paling tidak untuk sementara kita melupakan beban kita. Walau seringnya setelah itu aku me- nangis,” cerita Mar dan terlihat sekali mendung mulai membayang di matanya. “Kamu masih enak Jum, masih ada suami. Sedangkan aku...” Kalimat Mar terpotong, rasanya dia seperti tidak sanggup meneruskan kalimatnya. “Iyeh tapi tedung e penjara tang lakeh,” balas Jum sambil terkekeh. “Paling tidak suamimu begitu karena membelamu, Jum. Suamimu begitu melindungimu,” timpal Mar. Jum diam sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam, matanya kem- bali nanar ke depan. Suami Jum memang sedang berada di penjara. Sebulan dua kali Jum mengunjunginya. Suaminya terlibat carok dengan seorang lelaki yang seringkali menggoda Jum. Sampai suatu saat suami Jum memergoki lelaki 111

itu berusaha memeluk Jum yang dibalas teriakan oleh Jum. Sang suami tidak terima dan terjadi percecokan mulut hingga berakhir dengan carok. Hingga kemudian lelaki penggoda Jum itu terkapar terkena sabetan clurit suami Jum. Mar tahu sekali cerita itu karena suami Jum dulunya adalah teman sua- minya. Sayangnya suaminya tidak sejantan suami Jum. Suaminya justru mening- galkannya karena lebih memilih seorang bule wanita. Mereka bertemu di Pulau Dewata saat suami Mar bekerja menjadi kuli bangunan di sana. Tubuh suami Mar yang gempal berwarna legam rupanya adalah idola sang bule. Mereka berpacaran dan kemudian memilih menikah hingga kemudian sang bule mengajaknya untuk pulang ke negaranya. Suami Mar menyetujuinya dan memilih meninggalkan Mar bersama dua buah hati mereka. Mar menunduk, be- rusaha menahan buliran bening yang hendak jatuh dari bola matanya. Selalu begitu jika dia mengingat suaminya. Untuk beberapa saat kedua perempuan itu terdiam. Perlahan diliriknya temannya, Jum. Jum memang cantik. Hidungnya man- cung, wajahnya oval dan warna kulit aslinya kuning bersih. Bila dia berdandan di salon pasti mirip orang India. Wajar saja ada orang yang tergila-gila padanya meskipun dia sudah bersuami. Sayangnya pendapatan mereka tidak memung- kinkan mereka untuk hang out ke salon. Boro-boro perawatan di salon, melihat banner salon saja membuat mereka harus menelan ludah. “Kabarnya Kang Markum gimana, Mar?” tanya Jum memecah keheningan. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. “Emang kamu dapat berapa hari ini, Jum?” tanya Mar mengalihkan pembic- araan. Berbicara tentang suaminya sama saja dengan menguak cerita lama yang telah dicoba untuk dikuburkan. Tidak ada faedah juga baginya mengingat orang yang telah mengempaskannya pada kedukaan yang begitu dalam. Yang mem- buatnya makin lara adalah suaminya tidak pernah sekalipun menanyakan kabar anak-anaknya apalagi berharap mau menafkahinya. Mau tidak mau Mar lah yang 112

harus menanggung kedua anaknya sampai kemudian dia harus berjuang men- cari nafkah dengan menjadi badut jalanan di mana rupiah yang dicarinya berasal dari keikhlasan orang-orang yang berfoto dengannya. Jum tahu begitu lara hati temannya itu tetapi dia juga tidak punya kekuatan menolongnya. Dia pun sekarang sedang kesusahan dalam perekonomian selama suaminya dipenjara. Ada menyelisip syukur dalam hatinya suaminya di- penjara karena membelanya dan tidak seperti suami temannya yang pergi dengan wanita lain dan meninggalkan kewajibannya sebagai qawwam. Jum kemudian bangkit dari duduknya, diambilnya keranjang plastik dan ter- mos putih bunga-bunga miliknya. Mar tetap bergeming dengan duduknya. “Aku pulang dulu, Mar. Kasihan anak-anakku. Ayo pulang, kasihan juga kan anak-anakmu,” ajak Jum. Mar mendongak. Tiba-tiba dia ingat kedua anaknya yang hampir setiap dia bekerja menjadi badut dititipkannya kepada tetangganya yang kebetulan peker- jaannya adalah pemulung. Sesama orang susah harus saling menolong, begitu quote terakhir yang Mar dengar dari anak kuliahan yang sering nongkrong di alun-alun. Ada kangen yang tiba-tiba menelusup di relung kalbunya pada anak- anaknya. “Ga usah dipikir dapat berapa hari ini, katamu tertawa sajalah. Mentertawai diri sendiri sama saja dengan membuang beban. Begitu kan?” tukas Jum. Mar tertawa. Kalimatnya tadi dikembalikan lagi padanya. “Lagipula mengapa kamu enggak sadar kalau sedari tadi ada seseorang yang memandangimu, Mar,” goda Jum sambil tersenyum lebar. Mar melemparkan segelas air mineral dagangannya ke arah Mar. Mar me- nangkap air mineral itu dan kemudian menyesapnya sekaligus. Kerongkongan yang sedari tadi kerontang seperti tersiram air sungai Al Kautsar, begitu dingin sekaligus mendinginkan jiwanya. Meskipun terlihat perubahan rona wajah yang membuat Jum tergelak riang. Wajah Mar berubah kecut, bibirnya mengerucut. Dia tahu Topo si juru parkir mulai tadi mencuri-curi pandang padanya. Dia tahu pula Topo ada hati padanya. Yang tidak Mar tahu adalah mengapa sampai saat ini hatinya tidak bisa berpaling 113

dari Markum. Apa yang telah Markum lakukan padanya seolah tidak bisa men- gubah aliran cinta dalam darah Mar. Mar melemparkan potongan dus air mineral yang tadi dipakai untuk mengi- pasi tubuhnya ke arah Jum. Jum mengelak sambil tergelak. Mar juga ikut tergelak sambil terus memonyongkan bibirnya. Dia merasakan sedikit terbebas dari ma- salahnya saat tertawa bersama temannya itu. Mar merogoh kantong besar di depan kostum badutnya. Dia mendesah uang yang didapatnya tidak seberapa sedangkan kebutuhannya harus segera dipenuhi. Menikah lagi menurutnya bukanlah suatu solusi yang terbaik. Belum tentu kehidupannya akan lebih baik jika dia menikah bersama Topo, belum tentu juga Topo akan mencintai anak-anaknya dan menganggapnya seperti anak kan- dungnya. Lagipula Mar merasa dia dan Topo sama-sama satu kasta. Sama-sama gedibal, batin Mar. Mar memaksa untuk mengulas senyum. Dia tahu senyumnya akan sedikit bisa memberikan aliran semangat dalam tubuhnya. Begitu juga dengan anak- anaknya adalah bom semangat tersendiri yang melecutnya untuk berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Semangat untuk melintasi cadas ke- hidupan yang begitu tajam mengiris tapak kakinya. Dia melangkah lunglai sambil menenteng topeng badutnya. Tujuannya satu, lampu merah. Toh, tidak ada yang tahu jika dirinya menari di situ sambil mengharap belas kasih para pengendara. Yang dia tahu, Tuhan akan menyayanginya dan keluarganya dan Markum juga. Profil Penulis Tiwuk Ari adalah seorang guru SMP di pinggiran Jember sebe- lah timur. Mulai mengajar sejak tahun 1999 hingga sekarang. Pengalaman menulis dimulai sejak SMP yang kemudian men- jadi sebuah buku antologi puisi berjudul Senandung untuk Nen yang diterbitkan pada tahun 2018. Hingga saat ini beberapa buku, baik digital maupun real, sudah dihasilkannya. Menurutnya hidup itu harus berkarya sebagai penanda pernah ada di dunia. 114

SEKOLAH RUMAH KEDUA Oleh : Muhammad, S.Pd.I SDN Cumedak 01. Olive dan Ratna sama-sama bersekolah di SDN Cumedak 01. Mereka bukanlah teman kelas, Olive duduk di kelas 3B sedang Ratna duduk di kelas 5B. Mereka juga bukan saudara kandung. Ratna tinggal di Desa Gunung Malang, sekitar 3 km dari sekolah, sedangkan Olive tinggal di Desa Cumedak kira-kira 400 m dari sekolah. Tapi mereka berdua sama-sama menjadi contoh teladan bagi temannya di sekolah. SDN Cumedak 01 adalah sekolah yang beralamat di Jl. Cendrawasih no. 14 Dusun Krajan Desa Cumedak. Letaknya berhadap-hadapan dengan kantor desa Cumedak dan bersebelahan dengan SMPN 1 Sumberjambe yang hanya berbataskan tembok. Dari Puskesmas Cumedak berjarak kurang lebih 100 m. Sedang dari pasar Cumedak berjarak kira-kira 150 m, dan 200 m. dari Pesantren As-Syifa asuhan Kyai Nisful Laila. Sekolah ini tepat berada di sebelah barat Gunung Raung yang terkenal itu. Olive adalah anak yang pintar dan peduli, apalagi tentang masalah kebersihan sekolah. Dia selalu datang pagi untuk ikut membantu teman-te- mannya yang piket meski ia sendiri tidak mempunyai jadwal piket. Di kelasnya, Olive adalah ketua kelas yang disegani oleh semua teman-temannya. Selain pintar dan peduli, Olive adalah anak yang sangat menyukai tana- man. Kebanyakan bunga dan pohon yang ada di sekolahnya ditanam olehnya. Setiap memiliki koleksi bunga dan pohon baru di rumahnya ia bawa ke sekolah. Setiap hari bunga dan pohon-pohon di sekolah ia siram. Sekolah Olive terlihat hijau, apalagi halamannya sangat luas. Berbeda dengan Olive, Ratna adalah anak yang gigih dan selalu giat da- lam mengikuti kegiatan di sekolahnya. Selain memang anaknya rajin belajar, Ratna tak pernah absen jika ada kegiatan di sekolah, seperti: kegiatan pramuka, olahraga dan kegiatan-kegiatan lomba yang diadakan oleh sekolah. Ia sering dikirim oleh sekolah untuk mengikuti lomba di tingkat kabupaten. Prestasinya cukup cemerlang, pada lomba Jelajah Alam Pramuka yang diadakan oleh 115

Kwarran Sumberjambe dalam rangka memperingati HUT Pramuka ke-61, ia yang menjadi salah satu dari sepuluh anak yang tergabung dalam Regu Melati dikirim sekolah ke lomba tersebut dan mendapat juara pertama. Selain itu dia pernah mewakili sekolah mengikuti lomba Gus dan Neng Cilik, yang mana ia bisa melenggang ke sepuluh besar dari ratusan peserta yang ikut. Terbaru ia terpilih menjadi salah satu dari sebelas anak mewakili sekolah untuk mengikuti lomba karnaval tingkat kabupaten yang mana jumlah murid di sekolah tempat ia belajar berjumlah 350-an. Olive dan Ratna menjadi contoh nyata bagi teman-temannya disekolah terutama bagi teman kelasnya. Tidak hanya itu, guru-guru yang ada SDN Cumedak 01, jika memberi motivasi kepada siswanya di kelas masing-masing selalu mencontohkan dengan apa yang mereka berdua lakukan. Apa yang telah dilakukan Olive dan apa yang telah dicapai Ratna telah menjadi inspirasi yang akan selalu diceritakan oleh teman dan guru-gurunya. Olive bukanlah anak manja, ia selalu berangkat ke sekolah sendiri meski harus berjalan kaki. Tak pernah telat, tak pernah bolos dan tak pernah ijin absen kecuali sakit. Hari-harinya di rumah selalu dihabiskan untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Meski begitu, sebagaimana anak pada umumnya, Olive juga bermain namun tetap bisa membagi jadwal antara bermain dan belajarnya. Di sekolah, ia sering memungut sampah yang berserakan. Tidak hanya itu, ia juga mempelopori teman-teman kelasnya untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Kelasnya sangat bersih karena setiap hari ia dan teman-te- mannya selalu menjaga kebersihan sehingga berkali-kali kelasnya menjadi juara satu lomba kebersihan yang diadakan secara rutin di sekolahnya. Begitupun Ratna, anaknya madiri, selalu mengerjakan apapun sendiri. Meski setiap hari diantar ke sekolah oleh ibunya, ia tak pernah minta ditunggu. Ratna tak bisa seperti Olive yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki, sebab rumah Ratna jauh lebih jauh. SDN cumedak 01 memang dikenal sebagai sekolah yang mencetak pe- serta didiknya menjadi anak yang rajin, pintar dan peduli. Secara rutin selalu 116

mengadakan lomba kebersihan kelas tingkat sekolah, juga secara aktif membina peserta didiknya dengan beberapa kegiatan ekstrakurikuler, seperti: Pramuka, Drumband dan Seni Tari. Guru-gurunya pun kompak, tak pernah ada konflik antar guru. Setiap ada kegiatan sekolah, guru yang satu dengan yang lain selalu saling membantu tanpa harus diminta. Hal tersebut menjadi panutan bagi peserta didiknya terutama si Olive dan si Ratna. Olive dan Ratna adalah peserta didik yang menganggap sekolah adalah rumah kedua mereka sehingga mereka selalu betah di sekolah. Pada Jam istira- hat, digunakan untuk membaca buku di Perpustakaan. Jika mengerjakan tugas mereka selalu memeriksa kembali tugasnya. Meskipun Ratna hanya tinggal berdua dengan ibunya, ia tak pernah neko- neko atau minta ini minta itu. Ratna selalu berfikir bahwa ibunya bekerja keras untuknya. Jadi ia juga harus rajin dan tekun belajar agar tidak mengecewakan ibunya. Ibunya selalu mendukung semua kegiatan meski ia bukan anak orang kaya. Sama seperti Olive. Tetapi kkeduanyan tak pernah mengeluh. Malah selalu bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghirup udara dunia dan masih bisa menikmati bangku sekolah. Olive dan Ratna sering melihat berita Televisi tentang masih banyak anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan. Maka tidak ada alasan bagi mereka berdua untuk bersedih. Sekolah memang harus menjadi rumah kedua bagi peserta didiknya. Maka setiap sekolah harus mempunyai program-program yang membuat peserta didiknya betah. Misal selalu mengadakan kegiatan- kegiatan lomba yang bersifat menyenangkan seperti lomba-lomba Agustusan. Selain itu bisa juga mengadakan lomba baca puisi, pidato dan lain-lain. Anak-anak yang punya prestasi dan kebiasaan baik di sekolah, terutama yang punya jiwa kepeloporan harus diberi apresiasi agar apa yang telah dil- akukan mereka bisa dicontoh dan ditiru oleh yang lain. Jadi anak didik seperti Olive dan Ratna harus diberi penghargaan khusus oleh sekolah. Karena berkat kontribusi mereka berdua, sekolah menjadi harum bagi sekolah yang lain. Malah akan dicontoh dan ditiru oleh sekolah lain. 117

Olive yang masih duduk di bangku kelas 3B mempunyai cita-cita besar. Ia ingin menanam banyak pohon agar bumi tak kekurangan udara. Makanya, baik di rumah maupun di sekolah Olive selalu menanam pohon. Selain itu ia selalu membantu ibunya bersih-bersih dan memasak di rumah. Demikian pula dengan Ratna, ia juga mempunyai cita-cita yang besar. Ia ingin menjadi orang sukses yang berguna di masa depan sehingga ia serlalu belajar dengan giat dan tekun. Sekolah tempat Olive dan Ratna mencari ilmu bangga kepada mereka berdua. Apalagi mereka menganggap sekolah sebagai rumah kedua. Profil Penulis Muhammad, S.Pd.I lahir dari pasangan suami-istri Padatun-Munipa di Sumenep Madura pada tanggal 22 Februari 1989. Mengenyam pendidi- kan dasar di SDN Serabarat I, pendidikan menengah di MTs dan MA An-Nawari Seratengah Bluto Sumenep, dan pendidikan tinggi di Universitas Islam Jember. Pekerjaan Guru di UPTD Satdik SDN Cumedak 01.Pendiri dan pegiat Forum Sastra Pen- dhalungan Jember, pendiri dan pegiat Forum Sastra Jember, pegiat Forum Sastra Timur Jawa. Sering mengikuti pertemuan sastra baik tingkat nasional maupun Internasional. Bisa dihubungi lewat HP/WA: 082230032886 FB: Muhammad Lefand Email: [email protected] 118

MALIKA Oleh. Halifah, S.Pd SDN Dukuhmencek 02 Sukorambi Aku melihat Malika dengan mata sembabnya, duduk di bangku belakang kelas Lima. Dia tidak istirahat seperti murid lainnya. Aku menghampiri Malika dan duduk di depan bangkunya. “ Malika sedang sedihkah?” tanyaku sambil menatap mata yang masih berlinang itu. Malika mengangguk, tanpa memandangku. “ Mereka mengatakan sesuatu lagi tentang ayahmu?” tanyaku lagi. Kali ini dia menatapku, dan air mata yang tadi tertahan mulai berjatuhan. Suara serak di tengah isak tangisnya lirih terdengar. “Bu Guru mungkinkah Malika akan selalu diejek seperti ini terus di sekolah? Kalau begini Malika akan berhenti sekolah,” jawab gadis kecil berambut lurus itu. Malika termasuk murid yang pandai di kelas 5, tapi akhir - akhir ini banyak yang membullynya. Dia anak pertama dari dua bersaudara, adiknya masih kecil. Ayahnya kehilangan suaranya karena kanker tenggorokan yang pernah diderita. Memang ayah Malika dulunya adalah seorang perokok berat. Pak Suli ayah Mal- ika bisu sejak setahun yang lalu. Setahun ini pula Pak Suli menjadi kuli panggul di pasar. “Eh…tidak boleh punya pikiran berhenti sekolah. Malika anak pandai, anak kuat, anak istimewa. Tidak semua anak mendapatkan ujian seperti Malika. Allah tidak akan keliru memberikan ujian pada umatnya. Seperti Bu Guru juga tahu kemampuan Malika. Jika Bu Guru memberikan soal matematika yang sulit, karena Bu Guru tahu kemampuan Malika” kataku menguatkan muridku. Malika memandangku sambil mengusap air matanya. “ Betulkah yang dikatakan Bu Guru?” tanyanya saat isaknya sudah reda. “ Iya anak cantik, jangan menangis lagi. Bu Guru selalu ada kapanpun untuk Malika, “ jawabku sambil mengelus rambutnya yang hitam. Malika mulai tenang, dia mengambil kotak nasi yang ada di dalam tasnya. 119

“Wah….mau makan, bawa lauk apa Malika” tanyaku “ Ini Bu Guru, sayur buatan ibu,” jawabnya seraya mengeluarkan kotak nasi dengan lauk sayur lodeh dan dua potong tempe goreng. “ Ibumu tiap hari masak pagi ya?” tanyaku seraya memikirkan diriku sendiri yang jarang masak karena kesibukan dan anak- anakku juga jarang sarapan. “ Ibu saya jualan, pukul 3 pagi sudah masak di dapur,” jawab Malika “ Bu Guru mau?” tanya Malika sambil memandang ke arahku. “ Terima kasih, Bu Guru sudah sarapan tadi,” jawabku bohong, padahal aku tidak pernah sarapan. “ Kelihatannya enak masakan ibunya nih, boleh dong besok Bu Guru beli sayur lodehnya saja?” tanyaku pada Malika “ Boleh dong Bu, dengan senang hati besok saya bawakan, “ jawabnya dengan tersenyum. Aku mulai lega melihat Malika tenang sambil menghabiskan bekalnya. PR ku bukan hanya tentang Malika saja, tapi murid- muridku yang mempunyai kebia- saan membully temannya. ****** Bel masuk pertanda pelajaran akan dimulai lagi. Aku memulai percakapan di depan kelas Lima. “Anak- anak Bu Guru punya tantangan untuk kalian!” kataku pada murid- murid “Tantangan apa Bu?” jawab mereka serempak. “Bu Guru yakin kalian pasti akan tertarik dengan tantangan ini!” kataku lagi. “Iya Bu, tapi apa tantangannya?” tanya Doni ketua kelas lima. “Besok hari Minggu atau dua hari dari sekarang, Bu Guru punya tugas untuk kalian yaitu berkunjung seharian penuh dari pagi hingga sore ke rumah teman kalian yang tujuannya agar kalian bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang lain agar kalian bisa berempati,” jelasku. Semua murid mulai kasak kusuk. Ada yang berbisik-bisik pada temannya. 120

“Semoga Bu Guru tidak salah menduga ya anak-anak. Menurut kalian apakah, saling menghargai dan menghormati sesama teman sudah tercipta di kelas ini?” tanyaku. Kelas terlihat hening, beberapa anak ada yang melirik Malika di sudut kelas. “Belum semuanya Bu Guru,” jawab Riko “ Apa yang membuatmu menjawab belum Riko?” tanyaku “Saya masih melihat anak yang bertengkar dan menangis di kelas ini Bu,“ Jawab Riko. Jawaban dari Riko sepertinya disepakati oleh semua anak kelas lima. Mereka tampak mengangguk- angguk sambil menunjuk beberapa temannya. “Menurut kalian bagaimana kelas bisa aman, nyaman dan menyenangkan untuk belajar?” tanyaku pada semua anak. “Kelas yang anaknya tidak pernah bertengkar Bu!” jawab Jojo “Tidak saling mengejek Bu!” jawab Ita “Menghargai teman Bu!” Meli ikut menjawab “Menjaga kebersihan dan ketertiban Bu!” Deni dan Bela menjawab hampir bersamaan. Mereka menjawab dengan hal- hal baik yang memang seharusnya dilakukan sebagai murid yang menginginkan kelas yang nyaman untuk belajar. Akan tetapi pada kenyataannya ada saja keributan dan pembullyan di ke- las ini. Kami guru tidak bisa menyalahkan siapapun karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Pandemi covid 19 sangat besar pengaruhnya bagi dunia pendidikan. Pembelajaran daring yang dilakukan cukup membantu guru dalam proses pembelajaran. Tapi untuk adab tingkah laku anak, kita tidak bisa men- gontrolnya. Media sosial bagai pisau bermata dua, jika tidak bijak dalam menggunakannya akan berpengaruh besar pada perkembangan mental anak. Bagaimana kita bisa mengontrolnya? “Baiklah anak-anak pendapat kalian semuanya benar, intinya kita harus saling menghargai dan berempati pada teman, apalagi jika teman kita sedang kesusa- han. Kita harus membantunya bukan malah mengejeknya,” jelasku di depan mereka. 121

“Seharusnya kita berpikir jika hal itu terjadi pada diri kalian, mungkinkah kalian bisa kuat? Nah siap melaksanakan tantangan Bu Guru tadi?” tanyaku “Siap Bu, sepertinya seru Bu!” jawab beberapa anak serempak “Baiklah, tapi Bu Guru yang akan membagi kelompoknya. Harus kemana kalian minggu ini. Bagi yang belum kebagian, pasti akan kebagian pada minggu berikutnya. Pesan Bu Guru, selama kalian berada di rumah temannya tidak boleh menyusahkan tapi malah harus membantu!” jelasku “ Siap Bu Guru!” jawab anak-anak. Sebenarnya aku tidak yakin apakah hal ini berhasil, karena tiba-tiba ide itu muncul begitu saja. Sudah lama aku ingin mengembalikan sikap saling menghar- gai dan sopan antar warga sekolah, khususnya di kelas 5. Tapi belum menemukan cara yang tepat dan tidak adanya waktu khusus untuk pelajaran adab ini. Selain media sosial latar belakang kehidupan keluarga sangat mempengaruhi sikap anak di sekolah. Aku harus bekerja sama dengan orang tua dalam hal ini. Langkah awalku mungkin untuk menyikapi masalah di kelasku saja. Kalau memang membawa hasil yang baik, pasti akan aku ajukan sebagai sebuah prakarsa perubahan yang baik di lingkungan sekolah kepada Kepala Sekolah. Akhirnya pembagian tugas untuk berkunjung seharian di rumah teman su- dah selesai. Aku sengaja memberikan tugas pada Andi dan Joko berkunjung ke rumah Malika karena menurutku merekalah yang paling sering membullynya. Sebelum itu aku mengkoordinasikan rencana tersebut pada wali murid baik anak- nya yang berkunjung ataupun dikunjungi. Tampaknya semua wali murid tidak keberatan dan mendukung selama tujuannya baik demi perkembangan anak un- tuk menumbuhkan rasa empati. ***** Pagi sekali Andi dan Joko sudah berada di rumah Malika, dia menyam- butnya dengan baik. “Malika di mana ayahmu?” tanya Joko “Ayah pagi sudah berangkat ke pasar, bekerja!” jawab Malika 122

Tiba – tiba ibu Malika sudah berada diantara mereka bertiga. “ Eh…ada anak-anak ganteng, ayo masuk jangan hanya berdiri di depan pintu. Ibu buatkan minum dulu!” ajak ibu Malika pada mereka “Maaf Bu, kami hanya sebentar kok! Kami pamit dulu Bu, Malika kami ke pasar dulu ya!” pamit Andi dan Joko sambil mencium tangan ibu Malika “Eh….kok ke pasar sih? Bukankah Bu Guru menyuruh kita di rumah?” tanya Mal- ika yang rupanya tak sempat di dengar mereka, karena keduanya sudah berlari ke arah pasar. Rupanya Andi dan Joko ke pasar mencari ayah Malika. Dari kejauhan tampak seorang laki-laki dengan bahasa isyarat berusaha membantu seorang ibu membawakan barang belanjaannya. Mereka menghampiri laki-laki tersebut, dan betul beliau adalah Pak Suli ayah Malika. Setelah Pak Suli selesai membantu ibu tadi mereka tampak berbincang dengan bahasa isyarat. Rupanya Andi dan Joko berniat membantu Pak Suli bekerja. Sungguh perubahan 180 derajat, mereka benar benar melakukan peker- jaan seperti yang Pak Suli lakukan di pasar. Menjelang sore Andi, Joko dan Pak Suli terlihat menuju rumah Malika yang sederhana namun bersih. Bu Suli menyambut suaminya dengan senang. “Jadi kalian di pasar membantu ayahnya Malika?” tanya Ibu Suli “Ya betul Bu, hal ini tidak seberapa jika dibandingkan denga kesalahan saya pada Malika!” jawab Andi “Sudahlah Andi, Joko aku sudah memaafkan kalian. Aku bangga kalian bisa ber- sikap kesatria” jawab Malika. Tak berapa lama Ibu Suli menyuguhkan makanan nasi jagung, sayur lodeh, tempe, sambal dan ikan asin. Mereka tampak makan bersama dengan lahap dan bercengkrama akrab. Setelah sholat maghrib berjamaah Andi dan Joko ber- pamitan pulang. ***** 123

Hari Senin setelah upacara suasana kelas tenang, setelah berdoa aku membuka pelajaran dengan bertanya pengalaman hari Minggu kemarin saat berkunjung ke rumah temannya. Satu persatu mereka menceritakan di depan kelas, demikian halnya Andi dan Joko. Malika tampak tersenyum sambil menatap ke arahku. Dalam senyumnya terselip ucapan terima kasih. Satu langkahku membawa perubahan kecil yang berarti bagi kehidupan seorang Malika. Sebenarnya banyak Malika- Malika lain yang membutuhkan kepedulian kita sebagai seorang guru. Ilmu boleh berkembang dengan pesat tapi sikap sopan, saling menghargai dengan beempati pada orang lain tetap harus diperjuangkan. Selamat berjuang seluruh guru Indonesia, langkah kecilmu merupakan modal besar dalam mewujudkan merdeka belajar yang berpihak pada murid. Se- mangat dalam membentuk Profil Pelajar Pancasila. Profil Penulis Halifah , S.Pd Lahir dari keluarga yang sederhana, merantau ke Jember tahun 1993. Sekarang bertugas di UPTD SATDIK SDN Dukuhmencek 02,Kecamatan Sukorambi Jember Jawa Timur. Penulis lahir di Pamekasan pada tanggal 5 Juni 1970 dari pasangan Bapak Ahmad Sukandar dan Ibu Syarifah. Mulai mengajar tahun 2003, lulus SPGN Pamekasan Madura tahun 1989. Melanjutkan kuliah di IKIP PGRI Jember mulai tahun 2005 dan lulus pada tahun 2010. Mempunyai motto “ WRITE EVERY DAY” karena pikiran harus dituliskan pada HITAM di ATAS PUTIH. [email protected] WA 085749903570 124

BINTANG LAUT Oleh : Ainun Nurjanah, S.Pd. SDN Lembengan 02 Suatu hari di pagi yang cerah Ayu berangkat ke sekolah seperti biasanya. Ayu merupakan seorang siswi kelas empat di Sekolah Dasar Negeri Lembengan 02. Ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang dokter seperti kakak sulungnya. Ayu sangat bersemangat setiap berangkat sekolah. Namun tidak pada saat jam pelajaran dimulai, wajahnya terlihat lesu bahkan murung saat belajar di kelas. Pada jam pelajaran pertama berlangsung, Bu Dian sebagai wali kelas Ayu membagikan nilai tugas Ilmu Pengetahuan Alam pada hari sebelumnya. “Pasti akan seperti biasanya,” gumam Ayu dalam hati seperti sudah mengetahui hasilnya dan ketika Ayu membuka buku tugas yang telah dinilai ter- sebut raut wajahnya terlihat semakin kecewa bahkan sedih. Begitulah raut wajahnya sepanjang pelajaran pertama. Jam pelajaranpun berganti. Bu Dian menjelaskan materi yang akan di- pelajari selanjutnya. “Anak-anak, pada pelajaran seni musik kali ini, kita akan belajar lagu nasional Tanah Airku karya Ibu Sud”. Kini Ayu mulai menunjukkan senyum di bibirnya. Mengapa tidak, Ia sangat menyukai musik dan sangat ber- bakat dalam bernyanyi. Namun Ayu jarang sekali menunjukkannya karena ku- rang percaya diri jika harus tampil di depan orang lain seorang diri. Ayu sangat menikmati pelajaran seni musik tersebut. Ia menyanyi dengan merdu sesuai ara- han guru. Tak terasa jam pelajaranpun berganti jam pelajaran terakhir. Di jam pela- jaran ini Ayu akan belajar matematika. Pada jam pelajaran matematika Ayu ter- lihat murung kembali karena tidak menyukai mata pelajaran ini dan sering mendapat nilai rata-rata rendah. Saat jam pelajaran berakhir Bu Dian memanggil Ayu menuju ruangannya. “Ayu ayo ikut ke ruangan Ibu sebentar ada yang ingin Ibu sampaikan” “Baik Bu.“ Jawab Ayu sambil mengikuti Bu Dian menuju ruangannya. Sesampai di ruangannya Bu Dian langsung membuka pembicaraan,“Ayu, Bu guru ingin bertanya apakah kamu sedang ada masalah akhir-akhir ini, Nak?” 125

Tanya Bu Dian dengan hati-hati. Ayupun menjawab dengan sedikit bingung,“ Mmm…,tidak. Memangnya kenapa Bu?” Ayu balik bertanya. “Lalu kenapa kamu terlihat murung dan sedih sepanjang mata pelajaran jam pertama dan terakhir hari ini begitupun dengan hari-hari seblelumnya?” Tanya Bu Dian kembali. Ayu mulai menunjukkan raut wajah murungnya lagi. “Saya sedih karena di banyak mata pelajaran nilai saya selalu kecil pa- dahal saya ingin menjadi dokter seperti kakak sulung saya Bu. Kakak Ayu yang lainpun juga ingin menjadi dokter dan mereka sangat pandai dalam mata pelaja- ran apapun”. Ayu menjelaskan isi hatinya. “Kenapa kamu ingin menjadi dokter seperti kakak sulungmu nak? “tanya Bu Dian penasaran. “Karena kakak selalu membuat semua orang bangga terutama Ayah dan Ibu. Mereka selalu menceritakan tentang kakak pada orang lain dengan penuh kebanggaan. Sedangkan saya, bagaimana bisa membanggakan Ayah dan Ibu dengan menjadi dokter sedangkan nilai pelajaran saja selalu kecil,”Jawab Ayu dengan suara parau. Bu Dian yang mendengar jawaban Ayu menunjukkan senyum kecil di wajahnya. “Siapa bilang kamu tidak membuat orang lain bangga, Nak. Bu guru saja bangga dengan kamu yang ingin membuat orang lain bangga,“ Kata Bu Dian seraya tersenyum. “Tapi saya tidak pandai dalam banyak mata pelajaran,Bu, apa yang bisa dibanggakan?“ balas Ayu. “Ayu, tidak semua bintang ada di atas langit. Ada juga bintang laut. Bin- tang di atas langit memang cantik saat bersinar di malam hari, tapi pada saat siang hari kita tidak dapat melihatnya. Berbeda dengan bintang laut yang bisa kita lihat di waktu siang atau malam bahkan kita bisa pelihara di akuarium, mem- iliki bentuk yang beraneka ragam cantiknya walaupun berasal dari dasar laut. Bintang di atas langit dan bintang laut tetap berani menunjukkan diri mereka dengan segala kelebihan maupun kekurangannya sehingga nampak in- dah di tempat mereka masing-masing. Begitupun dengan kita. Kita bisa menjadi bintang di dunia atau versi kita sendiri.“ Jelas Bu Dian. 126

Mendengar hal tersebut Ayu tersadar akan apa yang ia lakukan selama ini keliru. Ia sadar bahwa selama ini terlalu memaksa dirinya pada hal yang bukan keahliannya sedangkan dia mempunyai keahlian lain yang bahkan sangat ia sukai namun terlalu tidak percaya diri untuk menunjukkannya. “Ayu tidak boleh berkecil hati atau tidak percaya diri. Mungkin Ayu me- mang punya kekurangan tapi pasti Ayu punya kelebihan juga. Ayu pasti tahu apa kelebihan Ayu. Mulai sekarang Ayu harus percaya diri dengan kelebihan itu. Membanggakan orang lain tidak harus menjadi dokter, Nak. Membuat Ayah dan Ibu Ayu bangga mungkin bisa dengan hal lain. Dan mungkin juga Ayah dan Ibu Ayu lebih menyukai Ayu menunjukkan hal yang berbeda dibanding kakak Ayu yang lain. Ayu bisa menjadi bintang versi Ayu sendiri seperti bintang laut “. Tam- bah Bu Dian. Ayu menjadi termotivasi dan dengan nada yang penuh semangat Ayu menjawab “Ayu ingin seperti bintang laut Bu. Walaupun di dasar laut Ayu ingin menunjukkan keindahan itu dengan percaya diri kepada orang lain. Terima kasih Bu Dian telah membuat Ayu semangat lagi.” Bu Dianpun sangat senang mendengar jawaban Ayu. Keesokan harinya, Ayu tampak tidak murung lagi pada saat jam mata pelajaran yang tidak dikuasainya dan tetap belajar dengan rajin. Ayu mulai menunjukkan bakat menyanyinya dengan mengikuti lomba menyanyi di sekolah dalam berbagai kegiatan termasuk pada saat memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Awalnya Ayu merasa ragu, namun ia ingat apa yang dikatakan Bu Dian. Di rumah, Ayu terus berlatih dengan giat dan semangat untuk lomba- lomba menyanyi. Ayah dan Ibu Ayu diam-diam memperhatikan Ayu. Mereka se- nang melihat Ayu yang giat berlatih apalagi ketika mendengar suara Ayu yang merdu saat bernyanyi sampai tiba pada hari lomba dilaksanakan. Terlihat banyak penonton yang menyaksikan. Pada saat giliran Ayu tampil, Ayu melihat Ayah dan Ibunya di kursi penonton. Ayu semakin bersemangat dengan kedatangan orang- tuanya. 127

Ayu membawakan lagu “Tanah Airku” dengan penuh percaya diri. Ayah dan Ibu Ayu merasa senang dengan penampilan anaknya tersebut. Penontonpun bersorak untuk penampilan Ayu yang sangat mengagumkan. Tak disangka pen- ampilan Ayu itu membuahkan hasil. Ayu mendapat juara dua yang sontak mem- buat Ayu sendiripun tak percaya meski nyata. Para penonton, guru, dan teman-teman Ayu memberi tepuk tangan yang meriah untuknya. Tak lupa Ayu mendapat pelukan hangat dari Ayah dan Ibunya. Mereka terlihat bangga dan bahagia atas prestasi putrinya. Hal itu semua mem- buat Ayu menangis dalam bahagia. Iapun merasa bangga pada dirinya sendiri dan semakin yakin bahwa dia bisa membanggakan orang lain dengan caranya sendiri. Ayu mulai lebih mendalami musik terutama menyanyi. Orangtuanya san- gat mendukung Ayu dengan memberikan les musik tambahan untuk Ayu. Ayu semakin bahagia dan yakin bisa menjadi bintang versi dia sendiri seperti bintang laut yang diceritakan Bu Dian. Profil Penulis Ainun Nurjanah, S.Pd lahir di Jember, 18 Maret 1997 beralamat di desa Lembengan Kec. Ledokombo dan mengabdi si SDN Lembengan 02. Penulis bisa dihubungi melalui E-mail: [email protected] ataupun nomor HP : 085804302863 128

KISAH TIGA BOCAH Oleh: Yohanes Sutrisno SDK Maria Fatima Ketika media sosial diramaikan berita viral tentang seorang anak sekolah dasar yang menghebohkan Istana negara, Wisnu dan keluarganya sedang da- lam perjalanan pindah rumah. Mulai bulan depan papanya ditugaskan di tempat baru, kota kecil yang berdekatan dengan kota kelahiran Farel Si bocah viral itu. Yah, dua letak kota yang berbatasan gunung yang masih terjaga kelestariannya. Farel di sebelah Timur dan kota Wisnu di sebelah Barat gunung itu. Dalam perjalanan, mereka sekeluarga turut nimbrung berkomentar ten- tang suksesnya Farel Si Pengamen Jalanan. Bahkan adik Wisnu sudah hafal syair lagu yang dipopulerkan Farel. Hal itu semakin mengudang tawa keluarga ituyang sedang menuju kota baru. “Kita tampilkan viral dengan lagu Jo Dibandingke!”Seru papaku yang tetap sigap menyetir kendaraan kami. “Kok Viral, Pa?” “Farel kan laki-laki, dik! Kalo untuk kamu namanya viral karena kamu per- empuan!” Sahut papa menanggapi pertanyaan Rani adikku. Merasa dipuji, Rani semakin menjadi-jadi cara bernyanyinya. Penam- pilannya semakin membuat tawa Wisnu dan kelua orang tuanya. Mama Wisnu sesekali ikut bergaya dan bergerak menemani Rani bernyanyi. Obrolan tentang Farel serasa tak tergantikan, membahas Farel begitu menarik dan selalu ada saja bahasa dan kalimat yang muncul di antara mereka tentang viralnya bocah dari Banyuwangi ini. Perjalanan semakin tak terasa membosankan dan mereka tidak ingat lagi sudah berapa kilometer perjalanan yang telah mereka tempuh. Pertanyaan-per- tanyaan yang membebani Wisnu ketika hendak pindah rumah sejenak terlupa- kan. Perjalanan ini adalah pengalaman pertama pindah rumah. Wisnu berusaha memendam rasa bimbangnya dalam hati. Ia merasa kasihan bila membebani papa mamanya. 129

Walau dalam hatinya penuh kebimbangan dan keraguan, ia tetap be- rusaha menjaga sikap di depan orang tua dan adiknya. perasaan dan pikirannya tidak berhenti berkecamuk. Ia berpikir apakah ia akan kerasan. Semua serba baru, lingkungannya baru dan tentu teman-temannya baru. Apakah mereka ramah-ramah seperti teman-temannya di Jogja. Semua ia simpan sendiri, karena walau bagaimana pun, kerasan atau tidak kerasan bukan pilihan yang tepat un- tuk Wisnu. Semua hal yang baru harus ia terima. Kebanyakan anak sangat bersemangat bila mendapatkan sesuatu yang baru, tetapi bagi Wisnu semua yang baru ini membuatnya harus kehilangan ban- yak hal. Kesenangan-kesenangan yang ia dapatkan di Jogja harus rela ia ting- galkan karena papanya mendapat tugas baru. Konsekwensinya mereka harus berada di lingkungan yang baru. “Mas! Dengan surat tugas baru ini, papa mengajak kamu untuk tetap se- mangat belajar ya. Percayalah Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang lebih dari apa yang kakak dapatkan di Jogja ini. Kakak nanti pasti punya banyak teman di kota baru sana. Semangat ya!” Itulah pesan papanya yang selalu ia ingat, setelah papanya menerima surat tugas dari perusahaanya “Iya pa.” jawab Wisnu. Sementar si Rani adiknya senang-senang saja mendengar berita itu. Wisnu hanya bisa tertunduk diam. Abdul, Rino, Gito, Bimo dan teman-teman ber- mainnya sepulang sekolah harus ia tinggalkan. Keseruan dan canda tawa ber- sepeda bersama ketika sekolah harus terpupus, ia tidak punya pilihan lain. Wisnu harus pindah rumah, pindah sekolah dan semua dimulai dari awal lagi. Begitulah yang ia pikirkan. Ia mencoba percaya dengan nasehat papanya. Ia menghela nafas dan belajar bersyukur dengan peristiwa kepindahan ini. Wisnu mulai beringsut menurunkan posisi badannya. Ia mencoba mencari tempat sandaran kepala yang lebih nyaman. Dan, perlahan-lahan matanya mulai meredup berbarengan dengan suasana langit yang mulai temaram, pertanda hari hendak beranjak malam. Ia tidak tahu masih berapa lama lagi akan tiba di kota itu. *** 130

“Ayo! papa temani!” kata papa yang sudah berpakai rapi untuk bersepeda. “Kemana pa?” Tanya Wisnu. “Sudahlah, cepat mandi sana! Papa siapkan sepedanya dan kita jalan- jalan lihat kota baru kita.” jawab papanya sambil mengelap sepeda kesayangannya yang dibawa dari Jogja. “Aku ikuut!” sahut Rani yang masih memakai babidol polkadot kesukaannya. Ia spontan berlari dari kamar tidurnya. Ia merajuk di pangkuan pa- panya, ingin ikut bersepeda. Wisnu tidak perhatian apa yang diperbincangkan papa dan adiknya. Ia hanya melihat sekilas kebiasaan adikknya ketika menginginkan sesuatu, selalu seperti itu. Merajuk di pangkuan papa mamanya, berlagak sedih agar dikabulkan. Wisnu segera mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi dengan malas-malasan. “Pagi Mas! Ayo semangat dong! Cepetan mandi keburu siang loh!” kata mama yang berpapasan dengan Wisnu yang tampak malas-malasan. Kelihatannya papa mama Wisnu merasakan kegundahan hati anak sulungnya. Bagamanapun juga kedua orangtua itu memahami betul kegundahan hati anak bungsunya. Anaknya harus memulai banyak hal baru, terutama per- gaulan dengan teman sebayanya. Kepindahan ini adalah pengalaman pertama dalam hidupnya. Mereka berdua berharap, Wisnu semakin bisa memahami ban- yak hal baru dalam hidupnya. Dan itu dimulai dari perpindahan tempat tinggal dan lingkungan sekitarnya. “Pa, jangan lupa janjinya tadi ya!”seru Rani “Iyaaa!” jawab papa. Papa dan Wisnu melambaikan tangan berpamitan kepada adik dan mamanya. Wisnu selalu ingat kebiasaan adiknya yang bila ingin ikut pergi dan tidak jadi pasti yang diminta pisang molen. Kalau sudah dijanjikan akan diberi oleh-oleh pisang molen, luluhlah hatinya. Tapi anehnya badannya juga tidak bisa gemuk-gemuk, padahal kalau makan pisang molen porsi bisa satu kresek sendiri. Bahkan di sekolah dia senang-senang saja dipanggil Rani Molen. Katanya nama panggilan 131

itu seperti nama bintang film terkenal. Wisnu Cuma bisa menghela nafas meng- ingat adiknya setiap pagi bekalnya sekolahnya kue pisang molen. Matahari pagi semburkan keindahan, udara segar pagi mulai terasa me- nyejukkan perjalanan papa dan anaknya. Tampak banyak juga warga kota ini yang menikmati pagi dengan jogging dan bersepeda. Bahkan beberapa keluarga berjalan santai sambil membawa kereta bayinya. Kotanya bersih dan banyak pe- pohonan di kanan kiri jalan. Sesekali para penikmat pagi itu saling menyapa dan menganggukkan kepala. Bila mereka sudah saling kenal, pasti mereka berhenti sebentar memperpanjang obrolannya dengan penuh cerita. Lalu lalang roda empat pun terasa sangat bersahabat. Menderu perlahan dan tidak terburu-buru berebut untuk saling mendahului hampir tidak nampak pagi itu. “Ayo Keviiin!” “Permisi!” anak yang dipanggil Kevin menyapa dan menyalip Wisnu dan papanya. “Gara-gara kamu Dul kita kesiangan ini!” “Sudahlah sekarang juga masih pagi!” Anak yang dipanggil Dul pun menyahut. Seketika Wisnu ingat teman-temannya di Jogja. Panggilan Dul terasa begitu akarab di telinganya. Panggilan Dul untuk Abdul temannya. Dialah jago kayuh sepeda di antara para teman-temannya. Perlahan dan kelihatan pasti keseriusan dan semangat muncul dari wajah Wisnu Ketika ia menoleh papanya. Ada hal yang aneh dari dua bocah ini, yang dipanggil Dul jelas bukan anak orang berada, dan Kevin nampak mencolok perbedaannya dengan Dul, dari kulit dan sepeda yang digunakan bahkan jam tangan yang dipakainya menunjukkan ia anak orang yang mapan secara ekonomi. Tapi keakrabannya keduanya san- gat erat. Wisnu bertanya Tanya dalam hatinya. “Di sini ada Dul juga ya Pa?” “Kita kejar yuuk!” sahut papa. Wisnu menjawab dengan anggukan kepala dan segera mendahului papanya, mempercepat kayuhan sepedanya mengejar dua bocah sebayanya tadi. Ternyata mereka segera terkejar karena mereka tidak cepar-cepat amat mengayuh sepedanya. Wisnu dan papanya sekedar mengikuti 132

dari belakang dua anak itu. Sesekali mereka berdua menoleh ke belakang saling bertatapan mata dengan Wisnu dan papanya, mereka saling tersenyum dan menganggukkan kepala. “Pagi Om!” Sapa mereka berdua kepad Wisnu dan papanya sambil beriringan. “Pagi! Kok semangat sekali mas-mas berdua ini! Boleh sepedaan bareng ya?” Sapa papa Wisnu kepada dua bocah itu. “ Pagi Om, Eh, Om orang baru ya di sini?” salah seorang anak itu malah balik bertanya. “Lohh, kok tahu?” jawab papa Wisnu yang juga balik bertanya. “Nebak saja, Om. Karena bahasa Om seperti bukan orang sini. Cara bicaranya seperti Bu Ima guru kami dari Solo.” anak yang dipanggil Dul mencoba memamparkan alasannya. “Betul kami dari tetangganya Solo. Kami dari Jogja!” jawab papa Wisnu. “Selamat datang di kota Suwar suwir, Om!” Seru Dul seraya mempercepat kayuhan sepedanya . Wisnu yang penasaaran terus bersemangat mengejar mereka berdua dari belakang. Ada semangat baru terbaca oleh papanya Ketika Wisnu memper- hatikan obrolan selama perjalanan tadi. “Suwar-suwir, Apa Itu?” Gumam Wisnu dalam hatinya penasaran. Wow, alun-alun kota yang bersih dan indah. Mereka telah sampai di alun- alun kota itu. Mata Wisnu tak bisa lepas dari gerak gerik dua anak tadi. Dari ke- jauhan mereka berdua tampak sedang menemui seseorang di antara rimbunnya pohon Pakis yang tertanam subur di sebelah utara alun-alun. Wisnu pun mengajak papanya mendekati mereka. Ketika Wisnu sudah di dekat mereka, terdengar obrolan-obrolan mereka yang begitu hangat dan akrabnya. Sendau gurauan mereka hanya berisi candaan-candaan yang terasa begitu me- nyenangkan. Di bawah teduhnya pepohonan pakis yang menjulang tinggi para orang tua berkerumun dengan santainya. Mungkin menunggu sesuatu atau sekedar menikmati pagi yang sudah mulai terasa sapaan hangat cahaya matahari. 133

“Ya apa rek cah ini! Jam segini baru datang. Itu loh anak buahmu banyak yang nunggu!” Seru seorang bapak seusia papa Wisnu. “Tenang Om Wibi, semua akan teratasi!” “La ini tadi loh Om! Dul aku ampiri masih tidur. Katanya masih ngantuk.” kata Kevin ikut memojokkan Dul. “Ya sudah segera ajari murid-murid kalian!.”Sambung Om yang dipanggil Om Wibi oleh Dul tadi. “Siap komandan!” Jawab Dul. Seketika Wisnu terbelalak dengan apa yang dikerjakan Dul dan Kevin. Ternyata mereka sedang mengajari anak-anak kecil menggambar dan me- warnainya. Wisnu baru tahu bahwa orang-orang di sekeliling itu adalah para orang tua yang sedang mengantar anak-anaknya belajar melukis dan mewarnai di tempat itu. “Loh! Om Jogja datang ke sini ya! Mari-mari silakan duduk senyaman- nyamannya ya Om.” Seru Kevin menyapa Wisnu dan papanya. “Sapa Vin?” Tanya Om Wibi. “Ini Om Wib! Beliau penduduk baru di tempat kita. Pindahan dari Jogja.” Jelas Kevin kepada om Wibi. “Lah ini sapa ya?” tanya om Wibi kepada Wisnu. “Saya Wisnu Om.” jawab Wisnu agak cangung. “Selamat datang Pak di kota kecil nan indah ini! Semoga panjenengan dan mas Wisnu segera kerasan ya!” Sapa om Wibi kepada mereka berdua. “O inggih, matur nuwun Om. Om Wibi ya namanya!” Kata papa Wisnu memulai keakraban. “ Inggih Pak! Kenalkan saya Wibisono.” “Saya Mahendra saking Jogja.” “Saya Abdul, Pak!” “Halahh, sok akrab kowe Duuul!” Seru Kevin. “Loh sapa tahu Pak Mahendra mau membeli lukisan saya, bisa nambah tabungan dan mbayar SPP. Kan ya gitu ya Om!.” Sanggah Dul yang ternyata namanya juga Abdul seperti sahabat Wisnu di Jogja. 134

“Jempoool! Jangan lupa traktir cilok!” Seru kevin sambil mengajukan syarat murahannya. Wisnu semakin kagum dan penasaran, bocah seusianya yang tampak bi- asa-biasa saja menyimpan banyak misteri kehebatan yang belum pernah ia temui. Benarkah ia sudah menjual lukisan? Baguskah lukisannya? Gurauan yang ceplas-ceplos membuat Wisnu semakin kerasan di tempat itu. Santai dan lugas tapi mampu membuat decak kagum bagi Wisnu. Anak seusia itu sudah jualan lukisan. Ia semakin serius ingin mengetahui siapa mereka itu. Ia semakin ingin berlama-lama melihat dua bocah yang sedang asyik mengajari menggambar dan mewarnai. Siapa juga om Wibisono? “Terus mas Kevin ini juga menjual lukisan ya?” “Waaah! Kalau dia anak istimewa dan aneh, Kevin sih tidak....!” Kalimat om Wibi terhenti ketika Kevin tiba-tiba menutupi wajah Om Wibi dengan handuk kecil di tangannya. Om Wibi meronta sambil tertawa-tawa tanpa meneruskan ucapannya. “Om Wib jangan gitulah!” Seru Kevin. “Iya Om Mahendra. Lihat penampilannya. Kevin sih ga butuh uang. Saya juga heran mau ikut-ikutan saya ke sini tiap minggu pagi seperti hari ini,” Abdul menjelaskan kepada papa Wisnu. “Awas ya Dul. Sepedamu tak gembosi nanti.!”, Sahut Kevin menunjukkan rasa tidak senangnya ketika jati dirinya diceritakan kepada papa Wisnu. Dalam hati Wisnu tambah bingung tetapi bersemangat untuk mengetahui semuanya. Tiba-tiba ia mulai tersadar, kenapa ya ia dan papanya bisa secepat itu akrab dengan mereka? Om Wibisono, Abdul dan Kevin yang misterius memang istimewa bag- inya. Begitu bahagia dan menyenangkannya mereka di alun-alun itu. Seakan mereka memberikan sambutan selamat datang dengan keramahannya, ki diliputi penuh tanda tanya. Wisnu semakin lupa akan semua pikiran-pikiran yang kurang mengenakkan selama ini. Ia ingin memecahkan dan mengetahui semua cerita mereka bertiga. “Ok mas Dul saya jadi pesan lukisanmu. Kapan jadi?” 135

“Besok sore ya, Om! Ini contoh-contohnya. Mau yang berwarna atau hitam putih? Jangan lupa saya diberi alamat, nanti sore gambar langsung saya kirim. COD Om alias bayar setelah lukisan diterima.” Wisnu semakin tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Sehebat itukah Abdul? Ajaib , benar-benar bocah Ajaib! Rasa ingin tahunya semakin besar dan Tak tertahankan. Semua pengalaman baru dari rumah hingga alun-alun telah mengubah hati dan pikirannya tentang kota baru ini. Ia ingin segera mengetahui siapa tiga orang istimewa yang telah menginspirasi hatinya di awal pagi di kota baru yang belum ia kenal. Wisnu merasa beruntung bisa bertemu dengan oang- orang hebat di lingkungan baruya. Profile Penulis Yohanes Sutrisno, SPd, Seorang guru sekolah dasar yang se- jak kecil sangat mencintai dunia yang kemudian menekuni dunia paduan suara, bahkan beberapa kali telah meraih medali emas tingkat Internasional bersama tim yang dilatihnya. Hobi sejak muda hingga sekarang adalah nonton film dan membaca buku-buku motivasi. Beberapa waktu menjalin komunikasi dengan seorang sa- habatnya sejak Sekolah Pendidikan Guru yang terlebih dulu menekuni dunia tulis menulis, maka ia mulai tertarik untuk membuat cerpen. Suatu ketika ia mendapat tugas untuk membuat Best practice dari pihak sekolah tempat dia bekerja, dan ternyata tulisannya dinilai baik dan oleh pihak penilai dminta merevisi judul tuli- san. Moment inilah yang mendorongnya untuk berani menulis cerpen untuk lomba intern Lembaga tempat ia bekerja dan juga lomba menulis cerpen yang diadakan oleh dinas pendidikan setempat. Selain menulis beberapa cerpen, ia juga m pernah Menyusun naskah operet lengkap dengan 4 lagu sebagai sountrack dari operet tersebut. Saat ini ia juga memulai merintis sebagai penulis lagu Pop jawa dan lagu anak-anak. Mengalir pada hal-hal yang baik, itulah prinsip yang dipegangnya. 136

TENTANG SEBUAH HARAPAN Oleh : Pipit Ermawati SDN Jubung 02 Jember Taburan bintang menghias langit mala ini, suasana yang begitu ditunggu bagi seorang Pratiwi, bukan hanya sebuah mimpi tapi sejak duduk di bangku sekolah dasar, dia telah sematkan dalam hatinya bahwa seorang Pratiwi harus menjadi seorang guru. Pekerjaan yang mulia walaupun mungkin dengan menjadi seorang guru jauh dengan kata mewah. Pak Sujarwo adalah guru Pratiwi kala dia duduk di bangku kelas V sampai dia lulus dari jenjang SMA, dia begitu bersimpati kepada Pak Sujarwo, kala beliau harus mengajar anak-anak jalanan yang hidup di pinggiran sungai seperti Pratiwi dan teman-temannya. Meskipun Pak Jarwo telah berstatus sebagai PNS, namun beliau tetap rela mengajaar anak-anak seperti Tiwi dan kawan-kawannya. Tiwi lebih beruntung karena dia masih memiliki orang tua dibandingkan Dewi, Sinta, dan beberapa anak jalanan lainnya. Pratiwi sekarang sedang menempuh pendidikan S-1 di salah satu Kampus Negeri di kotanya, Pratiwi mendapat beasiswa karena Pak Jarwolah yang telah telaten, dan ulet membimbingnya sampai Pratiwi berhasil ke jenjang pendidikan tinggi. Meskipun kala itu orang tua Pratiwi kurang berkenan jika ia melanjutkan sekolah. Namun setelah perdebatan yang luar biasa dengan kedua orang tuanya, Pratiwi tetap bersikeras melanjutkan pendidikannya. Bukan maksud durhaka kepada kedua orang tuanya yang lebih meminta Pratiwi untuk segera menikah agar tidak menjadi beban orang tua lagi. Namun Pratiwi lebih memilih untuk tetap melanjutkan pendidikan agar bisa mengeluar- kan keluarganya dari belenggu kemiskinan. Pratiwi selalu meneteskan air mata melihat bapaknya yang tak muda lagi harus rela bangun pagi buta hingga pulang larut malam untuk menarik becak. Keadaan menjadi lebih sulit ketika ojek online menjamur. Pak Sanusi bapak Pratiwi tetap menekuni pekerjaan itu karena tak ada lagi yang bisa beliau ker- jakan, sedangkan ibu Pratiwi yang lumpuh membuat keluarga ini harus banting tulang menyiapkan biaya berobat sang ibu. 137

Untuk membantu meringankan beban sang Ayah, Pratiwi kecil berjualan gorengan yang dia ambil dari tetangganya. Pratiwi tak pernah lelah dan pantang menyerah dengan keadaan. Dia selalu bersemangat untuk bisa belajar dan bekerja, walaupun usianya masih kecil tak pernah surut semangatnya demi sang ibu tercinta dan yang pasti demi sebuah cita-cita mulianya yakni menjadi seorang guru. Guru seperti pak Jarwo tentunya. Namun, sejak orang tua Pratiwi marah besar karena keinginannya untuk kuliah di kota tak ada siapa-siapa lagi bersamanya dan hanya ada pak Jarwo yang tetap mendukungnya, bahkan untuk biaya mencari kost-kostan awal kuliah, pak Jarwo lah yang memberikannya uang. Pratiwi berjanji akan mengembalikan semua uang yang telah dikeluarkan Pak Jarwo kepadanya. Pak Jarwo melakukan hal itu bukan karena Pratiwi dianggap anak emas, tetapi karena Pak Jarwo menaruh harapan besar kepada ketujuh anak di rumah belajar itu untuk bisa meraih menempuh pendidikan tinggi, tetapi teman-teman Pratiwi lebih memilih langsung bekerja setelah mereka tamat SMA, mereka mem- iliki pilihan sendiri dalam hidupnya. Hari-hari berat dialami Pratiwi menjadi mahasiswi tanpa dukungan keluarga dan kecukupan ekonomi, tapi ketegaran dan semangat Pratiwi men- galahkan rasa takut dan khawatir yang menghinggapi jiwanya. Ketika tak ada lagi dukungan, Pratiwi hanya berserah diri kepada Sang Pencipta. Pratiwi yang serba kesulitan tidak menjadikannya rendah diri, tetapi justru menjadi spirit terbesar dan menjadikannya semakin tertantang untuk bisa berhasil. Bahkan Pratiwi tak segan membawa dagangan berupa gorengan seperti ketika dia masih kecil sehingga Pratiwi mendapat julukan si pisang goreng, dan- dengan julukan itu Pratiwi menjadi lebih terkenal bahkan beberapa dosen juga berlangganan gorengan Pratiwi. Menjadi guru adalah impian terbesarnya demi merubah nasib keluar- ganya, walaupun berbagai hinaan Pratiwi dapatkan terutama dari keluarganya. Ketika itu Pratiwi sedang ke perpustakaan untuk mencari referensi untuk tugas mata kuliahnya, tiba-tiba Pratiwi terkejut karena berpapasan dengan Di- mas, Dimas adalah anak Pak Jarwo yang kini tinggal bersama Ibunya, pak Jarwo 138

pernah bercerita bahwa beliau memiliki seorang anak, tetapi karena perceraian membuat pak Jarwo harus berpisah dengan anaknya. Dimas, kala itu masih berusia 8 tahun harus berpisah dengan sosok ayah. Kasih sayang pak Jarwo kepada Pratiwi dan teman-temannya di rumah belajar adalah wujud rasa rindu pada anaknya Dimas yang hampir 12 tahun pak Jarwo tidak bertemu Dimas secara langsung hanya bertatap muka melalui gawai itupun tak lebih dari sebulan sekali. “Kak Tiwi bagaimana kabarnya?”Sapa Dimas. “Baik Dek, bagaimana kabarnya Dimas? Pratiwi balik menyapa. Keakra- ban mereka bukan lain karena pak Jarwo selalu mendekatkan mereka walaupun hanya melalui suara dan panggilan video. Mereka seolah-olah saling kenal bahkan sudah seperti akrab satu sama lain. Orang asing seakan menjadi saudara tetapi terkadang keluarga sendiri seperti orang asing, tiba-tiba pikiran Pratiwi akan kedua orang tuanya yang belum juga dia tahu kabarnya sejak men- jadi mahasiswi dan harus jauh dari tempat tinggalnya. Pratiwi dan Dimas saling berbincang dan membahas tentang pak Jarwo, Dimas menyampaikan hal yang begitu mengejutkannya bahwa pak Jarwo kini sedang berjuang melawan sakitnya, sudah hampir dua tahun ini pak Jarwo sakit kanker kelenjar getah bening dan baru beberapa bulan ini Dimas tahu hal itu, bukan dari ayahnya sendiri justru dari bik Tumi, pembantu keluarga pak Jarwo yang sejak dulu menemani pak Jarwo, walaupun tak lagi mengasuh Dimas, bik Tumi tetap mengabdi kepada pak Jarwo. Tak terasa air mata menetes dari wajah Pratiwi, betapa sedihnya pahla- wan yang sekaligus ayah bagi Pratiwi sedang berjuang melawan maut tanpa orang yang dia sayangi yakni Dimas, putranya. Pratiwi merasa begitu bersalah selama ini tak bisa membalas kebaikan pak Jarwo, malah selalu merepotkannya. Sementara Dimas tidak percaya akan penyakit yang kini mengerogoti ayahnya. Akhirnya, Dimas dan Pratiwi menyusun rencana untuk membuat per- temuan dengan pak Jarwo walaupun hanya berbentuk acara makan bersama, Dimas sudah meminta izin kepada bundanya untuk mengijinkan Dimas bisa ber- temu dengan ayahnya. Dimas khawatir jika ia tidak segera menemui ayahnya, 139

akan menjadi penyesalan. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir dengan ayahnya karena ayah sedang sakit parah. Bunda Dimaspun mengizinkan Dimas menemui ayahnya. Tibalah waktu mereka bertemu, pak Jarwo hanya mendapat informasi bahwa Pratiwi mengajaknya makan malam karena Pratiwi rindu keluarganya, jadi pak Jarwo yang kini tubuhkan telah lemah masih tetap mengiyakan datang demi Pratiwi yang telah dianggapnya anak sendiri tanpa tahu bahwa Dimaspun ada di sana. Sakit yang diderita pak Jarwo menyebabkan ia harus berada di kursi roda sehingga bik Tumilah yang mengantarnya ke mana-mana, akhirnya pak Jarwo datang memenuhi undangan Pratiwi. Meskipun berjalan menggunakan kursi roda, namun Pak Jarwo yang ter- biasa disiplin tetap hadir lebih awal dan harus menunggu di tempat makan yang ditentukan oleh Pratiwi. Pak Jarwo datang ke tempat yang sudah disiapkan Pratiwi dan Dimas, Ia dengan sabar menunggu karena tempat itu masih sepi pengunjung. Sujarwo, M.Pd. yang sering mengisi acara talkshow menjadi narasumber di beberapa radio lokal dengan perjuangannya dalam dunia pendidikan kini tak berdaya di atas kursi rodanya, spontan Dimas dan Pratiwi memeluk pak Jarwo. Raut bahagia terpancar dari sosok pria yang kini usianya hampir senja itu, mereka berpelukan seolah tak ingin terpisah lagi. Tak ada kata, namun tatapan penuh makna, pertemuan di akhir hayatnya seperti kado terindah dalam hidup pak Jarwo. pak Jarwo seolah tak ingin pergi dan mengakhiri moment bahagia dalam hidupnya ini. Pratiwi mengucapkan terima kasih atas segala kebahagiaan dan pengorbanan yang telah diberikan kepadanya hingga sekarang, Pratiwi pun memohon maaf atas segala hal kesalahan dan hutang yang terlalu banyak bahkan belum sempat Pratiwi bayar kepada pak Jarwo yang tersenyum me- mandang Pratiwi. “Kamu tidak berhutang apapun ke Bapak, Nak,” kata pak Jarwo kepada Pratiwi yang berlinang air mata. 140

Pratiwi bisa membayarnya dengan menjaga Dimas, dan menganggapnya sebagai adikmu sendiri, mendengar hal itu air mata Pratiwi semakin tak ber- bendung, Pratiwi menganggukkan kepala sebagai isyarat bahwa Pratiwi berjanji akan menjadikan Dimas sebagai adiknya sendiri. Demikian pula Dimas merasa- kan kasih saying ayahnya yang selama ini terpisah karena keadaan. Dimas tak ingin melepas dekapan ayahnya yang begitu ia rindukan. Di- mas takut untuk berpisah lagi, begitu juga dengan pak Jarwo yang tampak san- gat bahagia. Kesedihannya lenyap, kebekuan yang selama ini menyelimutinya berganti kehangatan yang ia rindukan dari Dimas. Jika Tuhan telah menentukan waktu, maka manusia hanya berencana Tuhanlah yang Maha Kuasa. Kepada-Nya lah manusia kembali, pak Jarwo juga berpesan kepada Dimas untuk selalu patuh dan taat kepada bundanya yang san- gat menyayangi Dimas. Kalaupun selama ini bunda Dimas melarangnya bertemu dengan sang ayah, bukan berarti bundanya jahat. Tetapi karena bunda tak ingin kehilangan Dimas. Bunda khawatir Dimas memilih sang Ayah daripada dia. Bik Tumi yang menyaksikan pertemuan itu turut berurai air mata, penantian pak Jarwo bertemu putranya mengapa baru terjadi di penghujung waktu beliau? Tetapi tak ada kata terlambat, setidaknya pak Jarwo menemukan bahagia bertemu dengan anak-anak yang selama ini akan menjadi penerus per- juangannya menjadikan anak-anak yang serba kekurangan tetap bisa mendapat- kan pendidikan yang layak, memperjuangkan anak-anak generasi muda untuk maju dan bisa menjadi inspirasi untuk semua. Pak Jarwo merasa bangga pada Pratiwi dan Dimas yang telah memilih jurusan guru yang kelak akan meneruskan perjuangannya. Pada setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Gerimis sore itu menambah syahdu keheningan mewakili duka hati pratiwi ketika orang yang telah banyak membimbingnya menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Pak Jarwo akhirnya ber- pulang. Tak ada lagi orang yang bisa membimbingnya, tempat berkeluh kesah dalam segala hal seperti ayahnya sendiri. Pak Jarwo telah tiada, tapi semangat juangnya tetap hidup dan harus dilanjutkan. Pratiwi seorang penjual gorengan berjanji dalam hatinya akan 141

menuntaskan pendidikan dan menjadi guru sesuai harapan pak Jarwo untuk mengabdi, mendidik dan mencerdaskan Pratiwi-Pratiwi kecil di masa depan, menjadi kakak yang bisa menjadi tauladan untuk Dimas adik angkatnya sesuai dengan amanah dan wasiat pak Jarwo. Keluarganya pun perlahan mulai me- maafkan Pratiwi yang kini sudah mulai menggapai mimpinya. Harapan dan cita-cita harus diwujudkan dengan kerja keras, tak ada hasil sempurna jika tak melewati proses yang penuh dengan rintangan dan hambatan. Masa depan ada ditangan kita. Wujudkan apa yang kita impikan. Profil Penulis Pipit Ermawati lahir di Banyuwangi, 10 Desember 1988 ada- lahseorang ibu yang memiliki dua orang anak. Menamatkan pendidikan SD, SMP, dan SMA di Banyuwangi, serta elanjut- kan pendidikan S-1 di Universitas Jember pada tahun 2011. Ibu yang berprofesi sebagai pendidik di SMP Plus Darus Sho- lah ini pernah ikut serta dalam menyusun antologi cerpen ber- judul \"Harapan Panjang\" Bersama beberapa teman di MGMP BIN Wilayah ten- gah. Selain itu, penulis tergabung dalam komunitas Arunika dan pernah mengi- kuti kegiatan penyusunan antologi puisi yang menjadi best seller. Motto dalam hidupnya yaitu, \"Mencobalah selagi bisa, karena sebagus apapun ide tanpa di- tuangkan tak kan berarti apa-apa\" 142

DIA TEMUKAN DUNIANYA Oleh: Mutmainah, S. Pd.SD SDN Jubung 02 Sukorambi Dering lonceng yang nyaring membuyarkan kerumunan para murid yang masih asyik jajan di “Kafe Mak Konah”, begitu anak-anak menyebutnya. Sebenarnya warung Mak Konah seorang wali murid kelas 4 yang suaminya meninggal sejak anaknya kelas 1 SD adalah warung biasa. Berkat kebaikan Kepala Sekolah Mak Konah diperbolehkan berjualan di lingkungan sekolah. Warungnya sangat bersih,menyediakan berbagai menu sarapan ala anak – anak. Sajian menunya bervariasi, lengkap mulai dari jajanan ringan sampai berat seperti Nasi Goreng, Mie Goreng, Nasi Pecel yang lezat dengan harga murah terjangkau kocek pelajar, guru dan hampir semua warga SDN Suko Makmur ini, menjadi pelanggan setianya. Seperti biasa satu persatu murid - murid bergiliran mencuci tangan di wastafel yang sudah tersedia di depan kelas. Akupun mengambil posisi berdiri di depan pintu kelas V dengan tangan siap membawa Thermogun untuk mengecek suhu mereka. Yach, sejak masa pandemi kegiatan tersebut sudah menjadi rutini- tas di sekolahku untuk mencegah penyebaran virus covid 19. Setelah semua murid menempati tempat duduk masing - masing, ketua kelas memberi aba- aba berdoa, dilanjutkan mengucapkan Pancasila. Kubuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan yel - yel penyemangat setelah itu bersama murid - murid kami buat kesepakatan kelas. Hari ini kami akan belajar Tema 8 tentang Lingkungan Sahabat Kita, subtema 1 Manusia dan Lingkungan, Pembelajaran 1. Diawali tanya jawab materi sebelumnya dengan mengaitkan dengan materi yang akan dipelajari . \"Apa kabar anak- anakku yang hebat, bagaimana kalau hari ini kita menyaksikan tayangan video? \" Tanyaku memantik perhatian siswa. \"Video apa bu guru? \" , tanya Tony. “Judulnya Demi Air Bersih, Warga Woborobo Rela Berjalan Sejauh 15 Kilometer \", jawabku sambil mulai menyalakan Laptop dan LCD yang sudah kusiapkan. 143

“Siapkan catatan amati dan tulis hal – hal penting, ada kejadian apa dalam ta- yangan tersebut, dimana kejadiannya, siapa saja nama tokoh yang berperan da- lam video tersebut. Mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi,” Semua pertanyaan pemantik sudah aku tulis di papan tulis. Anak - anak mulai asyik menyimak ta- yangan video yang ada di layar. Sebagian dari mereka mulai mencatat di buku tulis masing - masing. kuperhatikan kesibukan mereka sambil mencatat dalam buku kegiatan. Setelah beberapa saat lamanya tiba- tiba di deretan bangku pojok belakang ada sedikit kericuhan, tertangkap oleh indera pendengaranku suara bi- sik-bisik disertai ketawa yang tertahan. \"Ada apa Sandy?\" kulangkahkan kaki mendekat ke arah Sandy. \"Doni tertidur, Buk mulai tadi tidak melihat videonya,“ kata Sandy dengan suara agak pelan. Langkahku semakin mendekat dan benar, tampak ole- hku Doni meringkuk di atas dua kursi yang didempetkan. Suara dengkurnya terdengar keras, dia benar – benar pulas hingga kercuhan teman - temannya tak didengarnya. Kebetulan Randi, teman sebangkunya sedang sakit, sehingga Doni lebih leluasa merebahkan tubuhnya. Lagi – lagi anak ini ketiduran saat jam pela- jaran. Ini sudah yang kesekian kalinya Doni tertidur saat jam pelajaran. Tidak hanya itu Doni juga sering tidak mengerjakan tugas- tugas yang kuberikan. Sejak awal aku mengajar di kelas V, ada tiga murid yang selalu mengabaikan pelaja- ranku. Kalau tidak bikin gaduh, acuh tak acuh, bergurau, atau pukul - pukul meja mencari perhatian teman - temannya. Kebetulan diantara ketiga anak tersebut, Doni pemecah rekornya. Beberapa murid mulai pecah konsentrasi ingin menge- tahui insiden yang terjadi. Sandy sahabat Doni bergegas akan membangunkan. Namun segera ku beri isyarat dengan meletakkan telunjuk ke bibirku. “Sssttt … sudah anak - anak, biarkan Doni tidur dulu barangkali dia ngantuk atau kecapekkan, lanjutkan tugas kalian, biarkan Doni bangun dengan sendirinya,“ kataku pelan. Syukurlah anak - anak kembali asyik dengan tugas yang kuberikan. 144

Doni sebenarnya anak bungsu bu Farida, guru kelas 2 di SD Sukamakmur ini. Aku sendiri merasa tidak enak mau memberitahu langsung ke bu Farida atas sikap Doni ini. Bel istirahat berbunyi. Kulihat Doni menggeliat bangun, mungkin dia mendengar suara bel yang nyaring atau suara hiruk pikuk teman - te- mannya yang mulai berhamburan keluar kelas. Kudekati Doni yang tampak ce- mas menatapku yang terlihat sekali dari raut mukanya lalu buru- buru duduk. Anak itu tampak salah tingkah, butiran keringat membasahi keningnya. Mungkin dia mengira aku akan memarahinya gegara dia ketiduran. Kuberikan senyum termanisku supaya dia nampak tenang. “Sudah bangun, Nak?” sapaku lembut sambil duduk di samping Doni. Tanpa menjawab Doni beringsut menjahuiku, Barangkali dia mengira aku akan mencubit atau menghukumnya. Dengan suara lembut aku mengajaknya bicara. “Don, Bu Guru nggak marah kamu tadi tertidur, ngantuk itu kan wajar. Orang ngantuk memang harus ditidurkan, artinya badan sudah tidak bisa dipaksakan beraktifitas. Nanti malah sakit. iya kan? Bu Guru juga sering men- galami seperti itu, semua orang pasti akan mengalami ngantuk jika seseorang kurang tidur atau kecapekan, sudah sana cuci muka dulu biar seger, apa mau beli jajan atau minuman.” Sengaja aku menyuruhnya keluar agar bisa menghirup udara segar. “Don, Bu Guru masih pingin ngobrol sebentar, kalau Doni sudah selesai jajan temui Bu Guru di UKS ya ?“ kataku sambil memegang pundaknya. “Ya Bu, “ jawab Doni seraya bergegas menuju kamar mandi, kulihat dia agak kikuk ketika berpapasan dengan Toni teman sekelasnya yang baru keluar dari kamar mandi. “ Dah bangun Don ?, “ tanya Tony sambil tertawa. Namun Dony tidak menjawab, ia langsung masuk kamar mandi untuk mencuci muka. Akupun keluar kelas bermaksud menuju ke ruang guru, Dari ruang kelas 5 menuju ruang guru aku melewati ruang kelas 2 tempat bu Farida mengajar. Tiba- tiba Bu Farida memanggilku dan mengajak masuk kelasnya, kebetulan ke- las 2 kosong karena anak – anak masih istirahat di luar. 145

“Maaf Bu Nana, Doni ketiduran ya Bu?, tadi saya dengar dari teman - temannya. Semalam Doni pergi nonton pertunjukan Barongan di Balai Desa Bu, pulangnya sampai larut malam. Sebenarnya sudah saya larang sebab besok ma- suk sekolah, tapi rupanya dia nekad, pura – pura tidur eh ternyata pergi ke tempat pertunjukan Barongan. Memang jarak rumah dengan balai Desa gak seberapa jauh. Saya tahu ketika mendengar suara jendela dibuka dari luar, saya kira pen- curi tidak tahunya Doni yang menyelinap masuk. Bapaknya marah sekali saat itu, mungkin tadi pagi kalau tidak dibangunkan bapaknya dia belum bangun dan ba- kalan gak sekolah, kalau suara saya saja gak didengarkan Bu Nana. Entahlah bu Nana nampaknya Doni beda dengan Aldi kakaknya. Kalau kakaknya nurut sama orang tua, rajin, gak pernah kemana – mana tanpa seijin orang tua. Maaf ya bu Nana saya sebenarnya malu atas sikap Doni,“ kata bu Farida dengan mata berkaca – kaca. Aku merasa mendapat lampu hijau untuk memulai percakapan tentang Doni dengan Bu Farida. ”Iya Bu Farid, tadi memang Doni ketiduran, saya tahu pasti ada sesuatu, mendengar cerita Bu Farida saya jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya tadi sudah buat janji sama Doni untuk ngobrol, saya ingin mengorek mengapa dia sampai ngantuk berat pagi ini. Saya tidak marah atas sikap Doni. Barangkali Doni hanya butuh teman ngobrol yang ngerti tentang hobby dan kesukaanya. Mohon maaf ya Bu, memang tiap anak memiliki karakter masing – masing kan Bu, saya mohon jangan bandingkan dan jangan samakan antara Doni dan Aldi kakaknya. Tentunya Bu Farida yang lebih mengenal watak keduanya. Mereka tidak bisa diperlakukan dengan cara yang sama, mereka punya kebutuhan yang berbeda.” Ceritaku panjang lebar. Tampak airmata menetes membasahi pipi Bu Guru yang cantik dan lemah lembut ini. Ia mengusap air matanya dengan tissue. “Saya minta tolong ya Bu, bantu saya menyadarkan Doni, terus terang saya merasa kewalahan atas sikap Doni, Bu.” Kata Bu Farid di sela sedihnya. “Ha ha ha , memangnya Doni pingsan pakai disadarkan, “ jawabku ber- maksud agar bu Farida tidak terlalu Baper. Iya bu, nanti saya akan mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan Doni. kebetulan memang sudah lama saya ingin 146

ngobrol dari hati ke hati, mari Bu, kita istirahat di kantor sekalian minum, haus nih, “ kataku mengajak Bu Farida. Sengaja kupilih UKS yang menurutku merupakan tempat aman karena ja- rang ada yang masuk kesana kecuali ada yang sakit. Aku duduk di kursi yang ada disudut ruang. Terdapat meja dan 2 kursi disana yang biasa digunakan untuk mendata murid yang sakit. “Assalamualaikum Bu Nana ,“ terdengar suara Doni dari luar. “ Waalaikumsalam, masuk Don, “ jawabku mempersilahkan. Doni masuk dengan wajah yang nampak lebih segar. “Don, tampaknya kamu semalam kurang tidur ya, sampai ketiduran , pulas lagi. Bu Guru dengar dekat rumahmu semalam ada pertunjukan Barongan ya?.” “Iya suka bu, semalam saya nonton, seru bu guru.” katanya bersemangat. “Iya, tapi kenapa tidak pamit baik – baik pada Bapak Ibu yang akhirnya mereka kan cemas?” Tanyaku. “Kalau pamit gak boleh Bu Guru, saya tidak boleh keluar rumah Bu “, suara Doni melemah. “Kamu tahu nggak mengapa orang tuamu melarang kamu keluar?.” tan- yaku. “Karena bukan hari libur, Bu? “ jawab Doni. “Lantas apa yang membuatmu nekat bahkan sampai tidak pamit pada orang tuamu ?” tanyaku sambil mengusap pundak Doni. “Saya sudah pamit tapi tidak diperbolehkan, kan jarang ada pertunjukan seperti itu Bu, mumpung ada di dekat rumah, ya saya pingin nonton,” jawab Doni. “Jadi menurut Doni tindakan Doni itu sudah benar? ,“ tanyaku lagi. Setelah terdiam agak lama barulah Doni menjawab. “Tidak Bu, Doni tahu ini salah, mestinya Doni nurut sama orang tua, andai semalam Doni tidak nonton mungkin hari ini Doni tidak akan ketiduran di kelas, Doni malu sama teman – teman,” jawabnya lirih. “Terus sekarang apa yang akan kamu lakukan untuk memperbaiki kesala- hanmu Don,” Aku lanjutkan pertanyanku. 147

“Maafkan Doni Bu, Doni tidak akan mengulangi lagi. Doni sangat malu, Doni merasa berdosa pada orang tua Doni, Doni akan minta maaf pada mereka,“ kata Doni sambil menunduk seraya buliran bening meluncur dari kedua sudut retinanya. “Don, bu guru tahu kamu anak baik, sebenarnya orang tuamu bukan mengekangmu namun justru mereka menyayangimu. menjaga kesehatanmu. Kalau mau pergi kemana – mana mestibya ijin orang tua, agar mereka tidak ce- mas. Orang tua mana yang tidak khawatir jika tiba – tiba anaknya menghilang malam- malam,” “Iya Bu, Doni minta maaf , Doni menyesal sudah menyusahkan orang tua.” Kata Doni tetap tertunduk. “Don, apa kamu suka tarian Barongan?.” Tanyaku pelan. “Suka Bu Guru , saya bisa menari Bu, Sandy dan Randi juga bisa ,” jawab Doni bersemangat. “Siapa yang mengajarimu?.”Tanyaku ikut bersemangat. “Saya belajar menari dari Youtobe Bu ,” jawab Doni . “Baiklah Don, besok bu Nana kasih waktu kamu menari di hadapan teman temanmu,ya. Kamu boleh menyalurkan hobimu, nanti bu guru yang akan menyampaikan ke ibu Bapakmu.“ Kataku sembari menepuk pundaknya agar lebih bersemangat. “Siap bu,” Jawab Doni, dengan penuh percaya diri. Keesokan harinya rupanya Doni sudah mempersiapkan diri. Tidak kusangka dia membawa HP, speaker dan topeng , wajahnya tampak ceria. Suara iringan musik tari barongan memenuhi ruang kelas 5. Hari itu Doni, Sandy, dan Randi tampil menari dengan lincahnya. Musiknya dia download dari youtobe. Selesai menari semua anak kelas 5 memberi tepuk tangan meriah tampak di wajah Doni, Sandy, dan Randi sangat gembira, gerakan, ekspresinya sangat memukau, sungguh tak kusangka, ternyata aku memiliki murid yang memiliki ba- kat tersembunyi. Luar biasa , satu kata saya ucapkan atas apresiasi yang mereka lakukan. Doni, Sandy dan Randy,ternyata anak - anak yang hebat bisa me- manfaatkan Android untuk kebutuhan belajar secara mandiri. Kusadari bahwa 148

apa yang dialami murid bukan sepenuhnya salah mereka namun bisa jadi karena kelemahanku memahami keinginan mereka. Aku merasa bak menemukan mu- tiara, bangga memiliki murid yang punya potensi. Aku yakin jika terus dikembangkan bakat yang dimiliki Doni akan menjadi- kan dia lebih baik. Anak – anak meminta setiap hari Sabtu untuk latihan ber- sama. Aku datangkan pelatih khusus yang akan membina mereka. Harapanku tidak hanya Doni dan kedua temannya yang berlatih akan tetapi juga untuk mereka yang memiliki hobby yang sama dengan Doni. Aku ingin menampilkan mereka di acara pentas seni dengan kostum yang sempurna. Mimpi itu telah menjadi kenyataan saat acara lepas pisah kelas 6 mereka tampil dengan sem- purna. Mereka yang tadinya dicemooh berbalik mengagumi performance Doni dkk. Saat ini SDN Sukamakmur tidak hanya memfasilitasi kegiatan kesenian na- mun ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung minat bakat murid- murid lain, Doni yang acuh, yang tidak pernah peduli saat pelajaran yang suka ngantuk di kelas telah berubah sekarang. Dia menjadi anak yang manis. Seder- hana saja, itu karena kita tahu apa yang dia mau. Saat ini Doni tekun ketika di kelas dan menjadi macan panggung ketika tampil di pagelaran. Profil Penulis Mutmainah,S.Pd.SD, lahir di Jember 15 Juni 1971. Menuntaskan SD dan SMPnya di Semboro. Setelah lulus dari SPGN Jember pada tahun 1989, ia melanjutkan ke D‐2 PGSD di Universitas Jember dan lulus S‐1 PGSD Universitas Terbuka tahun 2009. Jenjang karirnya dimulai sebagai Guru Bantu di SD Muhamadiyah Semboro pada tahun 2003. Penulis menjadi PNS pada tahun 2005 dan ditugaskan di SDN Patemon 02 Tanggul dan mutasi ke SDN Sukorambi 03 pada tahun 2010, kemudian menjadi kepala sekolah Jubung 02 Sukorambi Jember sejak tahun 2022 sampai saat ini. Selain aktif sebagai sekretaris di organisasi PGRI dan Komunitas Guru Belajar Nusantara ( KGBN ) Jember. Penulis bisa dihubungi di nomor 085746713639 atau melalui Email : [email protected]. 149

TUMBUHMU HARAPANKU Oleh: Dewi Khumairoh, M.Pd. SD Al-Furqan Jember Tumbuhmu adalah harapanku Hijau berseri-seri membuatku candu Aroma ketenangan tumbuh setiap melihatmu Aku tau kamu adalah jiwaku Teruslah tumbuh untuk membersamaiku. Matahari mulai terbit siap menyambut dengan senyum manisnya dari desa suku danur. Pemandangan desa yang sangat asri mulai tampak. Sebut saja Badi yang sedari subuh telah membuka mata untuk menyambut sang Surya. Badi kini tengah memasuki fase baru dengan sistem pembelajaran tatap muka, wajar jika mulai pagi sudah bersiap diri untuk ke sekolah. Kabut masih menyambut, dingin dan embun di pagi hari masih merayu. Taka da pilihan paling nyaman kecuali mengenakan jaket tebal yang tersimpan di lemari tua yang mulai lapuk. Maklumlah, lemarti yang telah turun temurun, mungkin sudah tiga generasi turun temurun tampak dari beberapa stiker kuno yang masih menempel di sana sini. Konon dulu saat masa kakek Badi, lemari itu adalah hasil karya kakek Badi yang membuatnya butuh waktu dua bulan untuk menyelesaikan lemari klasik ini. Heranku, masih ada sampai sekarang, walau mulai terlihat beberapa tempat su- dah dimakan oleh hewan imut. Wajar saja kalau membuka lemari harus pelan- pelan karena suaranya sudah tidak merdu lagi seperti saat baru dulu. Tiba-tiba “Krak!” terdengar suara patahan dari lemari tersebut, meski mem- bukanya pelan-pelan dan hati-hati, namun daun pintunya lepas juga. Tak bisa dipertahankan karena lapuk. Dengan hati-hati Badi memegang daun pintu untuk mempertahankannya. Ia le- takkan perlahan agar tak semakin parah. Tanpa sengaja ada foto yg terselip di- antara kayu penjepit kaca dan pintu lemari itu. “Foto siap ini ya?” Tanya Badi dalam hatinya seraya mengusap-usap foto berdebu itu 150


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook