Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 PERBANDINGAN MORPHOMETRIK - MERISTIK JANTAN DANBETINA IKAN KERLING (Tor tambroides) DARI DAS DI ACEH BARAT COMPARISON OF MORPHOMETRIC-MERISTIC MALES ANDFEMALES KERLING FISH (Tor tambroides) FROM RIVER IN ACEH BARAT Afrizal Hendri1, Sri Wahyuni2 1Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kuala Pesisir, Nagan Raya. Korespondensi: [email protected] Abstract Kerling fish (Tor spp) is a species of freshwater fish, belonging to the familyCyprinidae. In Aceh Province there are three species of fish of very commercial i.e. Tortambroides,Tor soro and Tor tambra. In this author's research focuses on Tortambriodes. Survey results obtained by researchers in field description of the species isquite difficult to distinguish the character of males and females (unlike other Cyprinidaefish). Because that's what needs to be done comparative studies of characters within thesame species morphometric and meristic approach. These are qualitative research(survey), is a method for the measurement of morphometric and charactercounting/meristic refers to the twinkle and Menezes (1974), and Jayaram (1981, 2002).The number of specimens to be analyzed i.e. 20 species (10 females: 10 males). Theresearch results obtained that based on the characteristics of the morphometric there isno noticeable difference between females and males. However the qualitative characterof morphometric visible presence of noticeable difference between females and males incharacter: body color, the profile of the muzzle, the thickness of the lips. While thestudy does not look meristic the existence of the real difference between females andmales. Thus to view differences characterized the fish are females and the male Tortambroides saw enough character body color (bright golden yellow: female, dark:male), the profile of the muzzle (convex: female, flat: male) and the profile lip up/down(thin, thick: females: males).Keywords: Morphometric, Meristic, Kerling, Tor tambroidesI. Pendahuluan Identifikasi spesies ialah salah satu aspek penting dan otentik dalam rangka untukmembedakan spesimen. Salah satu metode yang lazim digunakan yaitu pendekatanmorphometrik dan meristik. Studi ini sangat cocok karena tidak mengorbankan ikanyang sedang tahap tingkat pematangan (reproduksi).Studi morphometrikini tidak hanyapenting untukmemahami taksonomi tetapi juga variasi/fitur yang mungkin berhubungandengan kebiasaan dan penyebaran antara varian dispecies ini (Tor soro, Tor tambra danTor tambroides). Penelitian ini dirancang dengan tujuan untukmenganalisismorphometrik-meristik untuk Tor tambra dan Tor tambroides. Morphometrik mengacu pada analisis kualitatif dari bentuk tubuh maupun ukuran.Morphometrik umumnya dilakukan pada organisme, dan berguna untuk menganalisiscatatan fosil, dampak dari mutasi, perubahan dalam bentuk. Morphometrik dapat jugadigunakan untuk mengukur sifat evolusi dan dengan mendeteksi perubahan bentuk, 109
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572fungsi atau hubungan evolusi. Tujuan utama dari morphometrik adalah untukmemastikan fitur/karakter yang terdapat pada tubuh hewan/ikan. Sedangkan meristik, pengetahuan tentang fitur/karakter dari hewan/ikan secarakuantitatifseperti jumlah sirip atau skala. Meristik (dihitung) dapat digunakan untukmenggambarkan jenis ikan tertentu atau digunakan untuk mengidentifikasi spesies yangtidak diketahui. Karakter ini adalah karakter yang paling sering digunakan untukdiferensiasi spesies dan populasi. Salmonids, penghitungan paling banyak digunakanuntuk diferensiasi populasi dalam spesies. Pada ikan trout pelangi, perbedaan palingpenting antara populasi terjadi dalam bobot.Studi karakter morphometrik dan meristikpenting bagiidentifikasi spesimen dalam sebuah riset. Ikan kerling atau dikenal juga sebagai golden mahseer (Tor spp) adalah spesies airtawar yang paling penting bagi masyarakat Aceh. Ikan ini menghuni daerah aliransungai (DAS) yang cukup deras pada bagian hulu. Beberapa peneliti melaporkan bahwadi Aceh terdapat 3 spesies ikan genus Tor diantaranya Tor soro, Tor tambra dan Tortambroides. Namun belakangan diantara ketiga spesies tersebut sangat sukar untukdibedakan antara karakter jantan dan betina, walaupun sudah mencapai ukuraninduk.Pada studi ini, selain karakter morphometrik-meristik yang dianalisis juga dilihathubungan (relationships) antara tubuh terhadap panjang total dan panjang kepala.II. Metode Penelitian2.1. Tahapan-Tahapan Penelitian1. Koleksi ikan Ikan sampel didapatkan dari nelayan lokal yang beroperasi di sungai-sungai yangada di Kabupaten Aceh Barat, hanya sampel yang dalam kondisi baik (organlengkap/tidak cacat, fresh) yang diambil. Sampel dikoleksi selama 2 bulan (Mei-Juni2016), dikumpulkan dalam freezer, untuk selanjutnya dilakukan proses pengukuran(morphometrik) dan penghitungan (meristik).2.Pengukuran dan Penghitungan Ikan sampel yang telah terkumpul, selanjutnya dilakukanpengukuran/penghitungan karakter morphometrik (menggunakan caliper digital) danmeristik. Untuk mendapatkan gambaran detail pada karakter yang diukur makadigunakan kamera digital makro fokus.2.2. Lokasi Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di daerah aliran sungai Jambak Meureubo yangterdapat di Aceh Barat, sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium DasarPerikanan Universitas Teuku Umar.2.3. Peubah Yang Diamati/Diukur1. Karakter Morphometrik110
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 AbbreviationsTable 1. Karakter Morphometrik BSNo Body Parameters (measurements) PT 1 Bobot sampel (g) PB 2 Panjang total (mm) PS 3 Panjang baku (mm) PK 4 Panjang standar (mm) HD 5 Panjang kepala (mm) BD 6 Panjang badan (mm) PM 7 Lebar badan (mm) PRA 8 Panjang moncong (mm) PSu 9 Panjang rahang atas (mm) DM 10 Panjang sungut (mm) PSPu 11 Diameter mata (mm) PSD 12 Panjang sirip punggung (mm) PSPe 13 Panjang sirip dada (mm) PSA 14 Panjang sirip perut (mm) PSE 15 Panjang sirip anus (mm) TBB 16 Panjang sirip ekor (mm) TBA 17 Tebal bibir bawah (mm) 18 Tebal bibir atas (mm) Abbreviations JSPuTabel 2. Karakter Morphometrik Kualitatif JSDNo Qualitative JSPe 1 Posisi mulut: JSA JSE inferior, terminal, superior TIB 2 Profil moncong atas: TIA JS convex, concave, straight JSu 3 Bibir : tebal, tipis 4 Warna tubuh 111 light, dark 5 Bentuk sisik, warna sisik2. Karakter MeristikTable 3.Karakter MeristikNo Body Parameters (counts) 1 Jari-jari sirip punggung 2 Jari-jari sirip dada 3 Jari-jari sirip perut 4 Jari-jari sirip anus 5 Jari-jari sirip ekor 6 Tapis insang bawah 7 Tapis insang atas 8 Jumlah sisik 9 Jumlah sungut
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 10 Jumlah sisik batang ekor ISSN: 2355-5572 JSBE2.4. Pendekatan Penelitian Riset ini bersifat kualitatif (survey), dinama metode untuk pengukuran /penghitungan karakter morphometrik dan meristik mengacu kepada Dwivedi danMenezes (1974), dan Jayaram (1981, 2002). Pada riset ini, dilakukanpengukuran/penghitungan sebanyak 20 kareakter morphometrikdan 20 karakter meristicpada ikan genus Tor (Tor tambra dan Tor tambroides, karakter betina dan jantan).2.5. Analisis Informasi Data yang didapat berupa karakter morphometrik dan meristik dianalisis secaradeskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel/charts dengan bantuan Microsoft OfficeExcel 2013.Berbagai nilai-nilai statistik, koefisien korelasi, analisis regresi dan grafikdibuat menggunakan Microsoft Office Excel 2013.III. Hasil dan Pembahasan3.1. Hasil1. Karakter Morphometrik Ikan Kerling (Tor tambroides)Table 1. Karakter Morphometrik Betina – Jantan (n=20, 10♀:10♂)No Body Parameters Abbrev ♀ ♂ (measurements) iations 600-1430 390,4-510,21 Bobot sampel (g) BS 610-870 351,2-507 348,2-5042 Panjang total (mm) PT 382,3-430,5 86,9-90,7 97,9-98,43 Panjang baku (mm) PB 336,5-426,2 46,5-48,5 31,5-31,94 Panjang standar (mm) PS 314,2-424,4 33,1-34,4 36,1-40,55 Panjang kepala (mm) PK 81,6-84,1 13,4-13,8 66,9-69,46 Panjang badan (mm) HD 86,5-92,6 79,5-81,3 66,7-70,47 Lebar badan (mm) BD 38,5-40,2 74,5-80,5 90,9-96,48 Panjang moncong (mm) PM 30,5-31,2 9,5-9,39 Panjang rahang atas (mm) PRA 31,8-32,3 5,0-4,610 Panjang sungut (mm) PSu 38,2-39,311 Diameter mata (mm) DM 14,1-13,512 Panjang sirip punggung (mm) PSPu 56,4-60,513 Panjang sirip dada (mm) PSD 69,9-72,614 Panjang sirip perut (mm) PSPe 58,2-60,915 Panjang sirip anus (mm) PSA 61,6-68,216 Panjang sirip ekor (mm) PSE 86,2-89,717 Tebal bibir bawah (mm) TBB 6,1-5,618 Tebal bibir atas (mm) TBA 2,9-3,2112
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722. Karakter Morphometrik KualitatifTabel 2. Morphometrik Kualitatif Ikan BetinaQualitative1 Posisi Terminalmulut:inferior,terminal,superior2 Profil Cembung moncong atas: convex, concave, straight3 Bibir : Tipis tebal, tipis4 Warna Terang tubuh (warna light, dark sisik terang, kekuningan /keemasan) 113
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-55725 Bentuk Sikloid sisik, warna sisikTabel 3.Morphometrik Kualitatif Ikan Jantan Qualitative1 Posisi Terminal mulut: inferior, terminal, superior2 Profil Lurus moncong atas: convex, concave, straight114
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55723 Bibir : Tebal tebal, tipis4 Warna Redup tubuh (warna sisik light, dark redup, kekuningan)5 Bentuk Sikloid sisik, warna sisik6 Warna Jantan J tubuh (gelap) B Betina 115 (keemasan)
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-55723.Karakter MeristikTabel 4.Meristik Ikan Betina-Jantan (n=20, 10♀:10♂)No Body Parameters (counts) Abbreviations ♀ ♂ 11-12 10-121 Jari-jari sirip punggung JSPu 14-17 13-17 8-10 8-92 Jari-jari sirip dada JSD 7-8 7-8 21-25 22-253 Jari-jari sirip perut JSPe 9-10 9-10 15-17 15-184 Jari-jari sirip anus JSA 338-461 330-4725 Jari-jari sirip ekor JSE 4 4 7-8 7-86 Tapis insang bawah TIB7 Tapis insang atas TIA8 Jumlah sisik JS9 Jumlah sungut JSu10 Jumlah sisik batang ekor JSBE3.2.Pembahasan Morfometrik merupakan karakter yang berhubungan dengan ukuran panjang,lebar, tinggi, dari tubuh atau bagian-bagian tubuh ikan. Bagian tubuh ikan yangbiasanya diukur yaitu, panjang total, panjang baku, panjang kepala, panjang predorsal,panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebarbadan, panjang hidung, panjang bagian kepala di bagian mata, lebar ruang antar mata,diameter mata, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, lebar bukaan mulut, tinggidi bawah mata, panjang dasar sirip punggung, panjang dasar sirip anal, tinggi sirippunggung, panjang sirip dada, dan panjang sirip perut. Sedangkan meristik berkaitandengan penghitungan jumlah bagian-bagian tubuh ikan (counting methods). Bagiantubuh ikan yang diukur berdasarkan ciri meristik yaitu jari-jari keras, jari-jari lemah,sirip, jumlah sisik, jumlah sisik batang ekor, jumlah tapis insang. Berdasarkan hasil pada Tabel 1 terlihat bahwa ikan kerling betina dan jantan tidakterdapat perbedaan yang nyata berdasarkan karakter morphometriknya. Sehingga sukarsekali untuk membedakan antara spesies betina dan jantannya. Namun dari Tabel 2berdasarkan karakter morphometrik kualitatif terlihat adanya pembeda karakter yaitupada warna tubuh, profil moncong dan ketebalan bibir. Sedangkan berdasarkan karaktermeristik, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara spesies betina dan jantan. Sehinggasecara makro sukar membedakan antara ikan betina dan jantan. Belum banyaknyapublikasi tentang Tor tambroides khususnya parameter morphometrik dan meristik,sehingga penulis agak sulit dalam melakukan komparatif. Pengukuran morphometrik adalah alat untuk melihat perbedaan populasi ikanataupun jenis ikan (Bailey, 1997; Rey and Nedreaas, 2000; Palma and Andrade, 2002).Studi morphometrikdan meristik dengan analisis gambar adalah cara yang yangsederhana untuk mendapatkan pemahaman tentang struktur ikan (Bailey, 1997). Dalamkonteks studi ini, penulis hanya fokus untuk membedakan spesies ikan betina danjantan. Penggunaan metode ini mudah dalam implementasinya, cepat, murah dan tidakmengorban ikan. Karena itu identifikasi dalam satu spesies merupakan langkah116
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572konektivitas untuk upaya konservasi dan pengelolaan spesies yang rentan (Cardin andFriedland, 1999).IV. Kesimpulan1. Ikan kerling (Tor tambroides) yang terdapat di Perairan umum Aceh Barat dapat dibedakan antara spesies betina dan jantan berdasarkan karekter morphometrik kualitatif (warna tubuh, profil moncong, tebal bibir bawah dan atas)2. Ikan T. tambroides merupakan ikan ekonomis yang potensial dan perlu upaya konservasi.Daftar PustakaBailey, KM. 1997. Structural dynamics and ecology of flatfish populations. J. Sea Research, 37: 269-280.Calliet, G,. Love, M. & Ebeling A. 1986. Fishes: A field and laboratory manual on their structure, identification and natural history. Prospect Heights, Illinois: Waveland Press, Inc.Cardin, S. H. & Friedland, K. D. 1999. The utility of image processingtechniques for morphometric analysis and stock identification. Fisher.Research, 43: 129-139.Haryono. 2009. Buku Penduan Lapangan: Ikan Perairan Lahan Gambat. Penerbit LIPI Press. Jakarta.Langer, S,. Tripathi, N.K. & Khajuria, B. 2013. Morphometric and Meristic Study of Golden Mahseer (Tor Putitora) fromJhajjar Stream (JandK), India. Research Journal of Animal, Veterinary and Fishery Sciences, 1(7), 1-4.Muchlisin, Z. A. 2008. Pedoman Lapangan Identifikasi Ikan Air Tawar di Nangroe Aceh Darussalam dan Kawasan Ekosistem Leuser. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Peneco. Medan.Palma, J. & Andrade, J. P. 2002. Morphological study of Diplodus sargus,Diplodus puntazo, and Lithognathus mornurus (Sparidae) in the EasternAtlantic and Mediterranean Sea. Fisher. Research, 57: 1-8.Rey, F. S. dan Nedreaas, K. J. 2000. Geographic variation of Sebastesmentella in the Northeast Arctic derived from a morphologicalapproach. J. Mar. Sci., 57: 965- 975.Schreck CB and Moyle PB. 1990. Methods for fish biology. American Fisheries Society Publication. Reprinted in 2002.Saroniya, RK, Saksena, DN and Nagpure, NS. 2013. The morphometric and meristic analysis of some Puntius Species from Central India. J Biolife. 1 (4): 144-154.Strauss, RE and Bond, CE. 1990. Taxonomic methods: Morphology. In: Schreck, C.B. and Moyle (Eds.) Methods for fish biology. American Fisheries society, Bethesda, Maryland. 117
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572118
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572PENGGUNAAN LARUTAN DAUN SIRIH (Piper betle L) DENGAN DOSIS YANG BERBEDA UNTUK MENCEGAH PERTUMBUHAN JAMUR (Saprolegnia sp) PADA TELUR IKAN TAWES (Puntius javanicus)THE USE SOLUTION OF BETEL LEAF (Piper betle L) WITH DIFFERENTDOSES TO PREVENT THE GROWTH OF FUNGI (Saprolegnia sp) ON FISH EGGS TAWES (Puntius javanicus) Syarifah Zuraidah ¹ Silkhairi ²1Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2Laboratorium MIPA, Universitas Teuku Umar, Meulaboh Korespondensi: [email protected] Abstract The research about of solution betel leaf (Piper betle L) With Different Doses Toprevent the growth of fungi (Saprolegnia sp) on fish eggs Tawes (Puntius javanicus) arefunded on June 18 to 21 Mai 2015 Meunasah Krueng Village housed in BeutongSubdistrict Nagan Raya District, aims to find out the dose of solution effective betelleaves to prevent fungal attack on fish eggs tawes so it can increase the power of fisheggs tetas tawes (Punius javanicus). The method used is an experimental method that isgiving preferential treatment to solution the betel leaf with different doses against fisheggs tawes. Research results percentage of hatching eggs in each treatment varies. Thehighest hatching there is treatment 1 (10 ml) with the average results achieved(93,33%), followed by treatment 2 (20 ml) of (83,33%), treatment 3 (30 ml) of (66,6%)and the lowest percentage of hatching there is at treatment 0 (0 ml) or control (50%).And on testing statistics retrieved that F count (65,33) > F table of 0.01 (7.59), meaninga very real effect. Test BNT (Least Significant Difference) showed that the use of betelleaf solution with a dose of 10 ml (treatment 1) gave the best results and treatment 0(control) the lowest hatching percentage.Keywords: Solution of betel leaf, Saprolegnia sp, tawes fish.I. Pendahuluan Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia terutama pulau Jawa. Halini juga yang menyebabkan tawes memiliki nama ilmiah Puntius javanicus. Namun,berubah menjadi Puntius gonionotus, dan terakhir berubah menjadi Barbonymusgonionotus. Ikan tawes memiliki nama lokal tawes (Indonesia), taweh atau tawas,lampam Jawa (Melayu). Ikan tawes (Puntius javanicus) merupakan salah satu ikan airtawar yang memiliki daerah penyebaran yang sangat luas di Indonesia, ikan tawesmampu hidup hingga ketinggian 800 m dpl dan hidup pada kadar oksigen tinggi.Bentuk tubuh ikan tawes pipih meninggi dengan warna putih keperakan. Ikan taweshanya mampu menghasilkan telur sebanyak 10.000 dengan daya tetas yang rendah yaitusebesar 22 %. Kendala tersebut merupakan suatu permasalahan yang menghambatproses produksi benih ikan tawes sehingga diperlukan teknik pembenihan yang dapatmeningkatkan daya tetas ikan tawes (Agustin dan Rahardja, 2013). Penggunaan ikan mas yang disuntik ovaprim maupun tidak, dapat mengimbasikan tawes untuk memijah meskipun tidak terjadi pengeluaran sperma dan telur ikan 119
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572mas. Derajat pembuahan telur ikan tawes cukup tinggi, mencapai 91,4%, padaperlakuan induksi ikan mas jantan yang disuntik ovaprim (Zairin,2005). Di DanauSidendreng ikan tawes disebut bale kandea (Amri dan Khairuman, 2008). Salah satutanaman tradisional yang berpotensi dapat mengobati penyakit akibat jamurSaprolegnia sp adalah daun sirih (Piper betle L). Daun sirih diketahui memilikikandungan zat yang bersifat anti jamur. Hal ini dikatakan oleh Widarto (1990) bahwadaun sirih mengandung minyak atsiri yang bersifat menghambat pertumbuhan mikrobadan jamur. Kemudian menurut Darwis (1991) komposisi minyak atsiri terdiri darisenyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen utamanya eugenolterdapat pada daun cengkeh (sampai 42,5%), karvakrol, chavikol, kavibetol,alilpirokatekol, kavibetol asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metileter, p-simen, karyofilen, kadinen, dan senyawa seskuiterpen. Berdasarkan penelitianMarline dan Erly (2000) bahwa senyawa flavonoid dan tanin pada fraksi etilasetatmempunyai efek antimikroba yang kuat terhadap bakteri Escherichia coli danStaphylocuccus aureus. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu adanya alternatif obat yang lebihaman dan tentunya dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit akibat jamurSaprolegnia sp. Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan memanfaatkantanaman tradisional yang bersifat anti jamur. Selain bersifat anti jamur, tanamantersebut juga mudah diperoleh dan mudah digunakan pada kegiatan pencegahan danpenanganan penyakit ikan. Menurut Anggani et al (2015) Bakteri kitinolitik yang dapatmenghambat pertumbuhan jamur Saprolegnia sp, penyebab saprolegniasis pada ikansecara in vitro. Zona hambat yang dihasilkan pada Bacillus licheniformis terhadapkoloni jamur sebesar 4,62 cm lebih baik dibandingkan Streptomyces olivaceoviridissebesar 5,48 cm yang memberikan efektifitas hambatan yang sama dengan ketokonazol. Salah satu tanaman tradisional yang berpotensi dapat mengobati penyakit akibatjamur Saprolegnia sp adalah daun sirih (Piper betle L). Oleh sebab itu, penulis merasatertarik untuk melakukan penelitian mengenai potensi larutan daun sirih dengan dosisyang tepat untuk mencegah pertumbuhan jamur Saprolegnia sp yang diaplikasikan padatelur ikan tawes. Menurut Reveny (2011), Hasil skrining fitokimia daun sirihmerah (Piper betle Linn.) diperoleh senyawa glikosida, triterpenoid/steroid, flavonoid,tanin, dan anthrakuinon. Ekstrak etanol mempunyai aktivitas antimikroba lebih kuatdaripada fraksi etanol dan fraksi n-heksan, sedang fraksi air tidak aktif. Daya hambatpertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan jamur Candidaalbicans berturut-turut diperoleh KHM dari ekstrak etanol 80% (2,5%, 2,5%, dan10%), fraksi n-heksan (20%,15%, dan 10%), sedang fraksi etilasetat (2,5%,1%, 2,5%).Ekstrak etanol 80% memberikan daya antimikroba tertinggi pada bakteri Escherichiacoli dengan KHM 2,5% (14,3 mm), fraksi etilasetat pada bakteri Staphylococcusaureus KHM 1% (11,5 mm) dan Candida albicans KHM 2,5% (11.4 mm).II. Metode Penelitian Metode penelitian meliputi waktu dan tempat penelitian, tahapan-tahapanpenelitian, peubah yang diamati/diukur, model yang digunakan, rancangan penelitian,serta teknik pengumpulan dan analisis data120
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Alat/Spesifikasi Kegunaan1 Syringe/spuit, 1 mL untuk menyuntik ikan percobaan2 Kain lap untuk menutup kepala ikan serukan3 Jam untuk mengamati waktu terjadinya ovulasi4 Instalasi aerasi untuk supplai oksigen ke wadah percobaan5 Skop net untuk memindahkan/menangkap ikan6 Alat Tulis mencatat semua data yang diperoleh selama7 Kamera untuk mendokumentasikan rangkaian penelitian8 Timbangan digital, 0.01 g untuk menimbang bobot ikan ujiTabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitianNo Nama Bahan Kegunaan1. Induk Jantan 2 Ekor Untuk Pemijahan Supaya Terjadinya Ovulasi2. Induk Betina 1 Ekor Untuk Pemijahan Supaya Terjadinya Ovulasi3. Larutan Daun Sirih Menghambat Pertumbuhan Jamur4. Telur Ikan Tawes Untuk Sampel Penelitian5. Akua Untuk Pembuatan Larutan2.2. Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap(RAL) non faktorial dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, adapun perlakuan yangdigunakan sesuai dengan acuan Kurniawati (2011)Perlakuan 0 = kontrol, tanpa pemberian larutan daun sirih Perlakuan 1 : konsentrasi larutan daun sirih 10 ml. Perlakuan 2 : konsentrasi larutan daun sirih 20 ml. Perlakuan 3 : konsentrasi larutan daun sirih 30 ml.2.3. Metode Pengambilan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitumemberikan perlakuan larutan daun sirih dengan dosis yang berbeda terhadap telur ikantawes.2.4. Prosedur Penelitian2.4.1. Persiapan Wadah Penelitian Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples yang telah dicuci bersihdan dikeringkan, tujuannya untuk menghindari bakteri atau penyakit. Sebelumdimasukkan larutan daun sirih, setiap wadah yang sudah diisi air terlebih dahulu 121
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572diaerasi selama 24 jam. Volume air yang dimasukkan pada masing-masing wadahsebanyak 10 liter/wadah.2.4.2. Pemijahan Telur Ikan Tawes Induk ikan tawes berjumlah 3 ekor (2 jantan 1 betina) dan telah matang gonadyang siap untuk dipijahkan kemudian dimasukkan kedalam bak pemijahan yangberukuran panjang 4 m dan lebar 2 m yang berbentuk segi empat. Induk dimasukkankedalam bak pemijahan pada jam 17.30 WIB dan pemijahan mulai terjadi antara jam19.00- 22.00 WIB. Telur hasil pemijahan yang berada di dalam hapa diambil dengan menggunakanserok, kemudian telur tersebut dipindahkan ke dalam ember yang merupakan tempatpenampungan telur sementara yang telah diberi aerasi, setelah itu dilakukanpenghitungan telur yang telah ditentukan jumlanya setiap per toples.2.4.3. Pembuatan Larutan Daun Sirih Daun sirih dicuci bersih kemudian dikeringkan tanpa terkena sinar mataharilangsung selama ±3 hari, setelah kering dihaluskan dengan menggunakan blendersampai benar-benar halus, dan diayak dengan menggunakan ayakan 42 mesh size agardiperoleh serbuk daun sirih dengan derajat kehalusan yang cukup tinggi. ukuran meshmenunjukkan banyaknya lubang didalam 1 cm2. Pembuatan serbuk daun sirih bertujuanuntuk memperkecil dan menyeragamkan ukuran partikelnya agar mempermudah kontakantara bahan dan pelarutnya. Serbuk daun sirih sebanyak 100 gram dicampur dengan 1liter air akuades kemudian direbus pada suhu 90°C selama 30 menit. Komponen fenolikmempunyai sifat stabil pada suhu di bawah 125oC. Setelah direbus kemudian disaringdengan menggunakan kertas whatman nomor 42, larutan sirih dapat digunakan setelahdingin (Dwiyanti, 1996).2.4.4. Penggunaan Larutan Daun Sirih dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Telur Ikan Tawes Toples yang berisi air sebanyak 10 liter per wadah yang sebelumnya telah diaerasiselama 24 jam, kemudian dicampurkan larutan daun sirih sesuai dengan dosis yang diujiyaitu 10 ml, 20 ml, 30 ml, dan kontrol, kemudian diaerasi kembali selama 24 jam.Setelah itu masukkan telur sebanyak 30 butir/wadah. Telur yang dimasukkan adalahtelur yang sehat yaitu berwarna bening. Perendaman telur-telur dalam larutan ujidiamati sampai telur menetas lalu dilakukan penghitungan telur yang menetas.2.5. Parameter Yang Diamatia. Derajat Penetasan Telur Derajat penetasan telur ikan tawes dihitung berdasarkan jumlah telur yangmenetas dibandingkan dengan jumlah telur yang ditetaskan, kemudian dikali seratuspersen. Perhitungan dilakukan diakhir penelitian dengan menggunakan rumus (Effendi,1997).122
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 = 100%Keterangan :HR : Derajat Penetasan TelurJTM : Jumlah Telur Yang MenetasJTB : Jumlah Telur Yang Ditetas.b. Pengukuran Kualitas Air Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal penelitian yaitu sebelumpencampuran larutan daun sirih dengan air, kemudian setelah pencampuran larutan daunsirih. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian berupa derajat keasaman air,kadar oksigen terlarut dan suhu.2.6. Analisis Data Model umum rancangan dalam penelitian ini adalah model tetap seperti yangdikemukakan oleh Gomez (1995) yaitu : = μ+ά + ∑Keterangan:Yij : nilai pengamatan pada perlakuan dosis ke-i dalam ulangan ke-jµ : nilai tengah umumάi : pengaruh penggunaan dosis ke-i∑ij : pengaruh galatData yang diperoleh dari pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik kemudiandianalisis dengan uji F, dan uji lanjut menggunakan BNT (Beda Nyata Terkecil).III. Hasil dan Pembahasan3.1. Hasil Derajat penetasan telur adalah persentase jumlah telur yang menetas dari jumlahtelur yang ditetas. Perhitungannya dilakukan dengan metode jumlah yaitu dihitungdengan melihat seluruh jumlah telur yang menetas. Berdasarkan hasil penelitianpersentase penetasan telur pada tiap perlakuan bervariasi. Penetasan tertinggi terdapatpada perlakuan P1 (10 ml) dengan hasil rata-rata mencapai (93,33%), diikuti denganperlakuan P2 (20 ml) sebesar (83,33%), perlakuan P3 (30 ml) sebesar (66,6%) danpersentase penetasan terendah terdapat pada perlakuan P0 atau kontrol yaitu (50%).Untuk lebih jelas dapat dilihat di tabel 3. 123
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 Tabel 3. Persentase Standar deviasi ISSN: 2355-5572 Perlakuan P2 P3 Parameter Uji Kontrol P1 83 67 HR 50 93 83 70 1 50 93 80 70 2 53 97 87 60 3 47 90 3,512 5,774 3 3,512 (Sumber : Data Primer, 2015). Dari hasil persentase standar deviasi diatas menunjukkan bahwa, pada kontrolmenunjukkan 3%, P1 3,512 %, P2 3,512 %, dan P3 5,774 %. Persentase penetasan telurikan Tawes untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 1.Gambar 1. Grafik Persentase Penetasan Telur Ikan Tawes Pada Tiap Perlakuan (Sumber Data Primer, 2015). Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pemberian larutan daun sirih dengandosis yang berbeda berpengaruh terhadap derajat penetasan telur ikan tawes. Padaperlakuan P1 penggunaan larutan daun sirih dengan konsentrasi 10 ml menunjukkanderajat penetasan terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya, diduga karenakonsentrasi yang digunakan sangat efektif untuk membunuh jamur pada telur serta tidakmembahayakan terhadap perkembangan telur. Pada perlakuan P2 (20 ml) dan perlakuan P3 (30 ml) didapati adanya telur yangtidak menetas meskipun tidak ada penyerangan jamur pada telur yang diberi perlakuanlarutan daun sirih. Kegagalan penetasan telur kemungkinan besar disebabkan karenadosis larutan daun sirih yang digunakan tidak sesuai untuk mencegah pertumbuhanjamur sehingga berpengaruh terhadap proses penetasan telur. Pada perlakuan P2 danperlakuan P3 dosis larutan daun sirih yang digunakan relatif tinggi yaitu 20 ml dan 30ml, telur terlihat berwarna kuning kecoklatan disebabkan karena larutan daun sirih yangmengandung senyawa fenol dan tanin melekat kuat pada telur, sehingga dapat124
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572menghambat proses pernafasan telur serta merusak jaringan sel telur dan menyebabkantelur mati dan tidak menetas. (a) (b)Gambar 2. (a) telur ikan tawes pada perlakuan P2 (20 ml). (b) telur ikan tawes pada perlakuan P3 (30 ml). Sedangkan pada P0 atau kontrol dengan tidak di berikan sedikitpun larutan daunsirih penetasan telur yang sangat rendah disebabkan karena pada perlakuan P0 tidakdigunakan bahan uji sehingga jamur lebih cepat menyebar dan lebih mudah untukmenyerang telur ikan tawes. Hasil pengujian statistik diperoleh bahwa F hitung (65,33)> F tabel 0.01 (7.59). Hasil analisis ragam ini terlihat pengaruh yang sangat nyata antarpelakuan terhadap persentase jumlah telur yang menetas dan dapat dikatakan bahwapersentase penetasan telur ikan tawes yang direndam dalam larutan daun sirih lebih baikdibandingkan dengan tanpa penggunaan bahan uji larutan daun sirih (kontrol). Hasil uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan bahwa anti mikrobaalami yang efektif untuk mencegah pertumbuhan jamur terhadap daya tetas telur ikantawes adalah larutan daun sirih dengan konsentrasi 10 ml (Perlakuan 1) sebesar 93,33%,dibandingkan dengan konsentrasi 20 ml (Perlakuan 2), sebesar 83,33% dan konsentrasi30 ml (Perlakuan 3) sebesar 66,66%. Penggunaan bahan uji larutan daun sirih dapatmenghasilkan persentase penetasan telur ikan tawes yang optimal (lampiran 2).Sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam budidaya.3.1.1. Lama Waktu Penetasan Telur Ikan Tawes Berdasarkan hasil penelitian lama waktu penetasan telur ikan tawes pada jam 22-07 wib yaitu 1-9 jam belum ada telur yang menetas dan pada jam 07-08 wib yaitu 9-10jam telur mulai menetas. Persentase penetasan telur meningkat pada waktu 10 jamsampai dengan 13 jam. Persentase lama waktu penetasan telur ikan tawes untuk masing-masing perlakuandapat dilihat pada gambar 3. 125
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572DERAJAT PENETASAN 10 ml (%) 20 ml 30 ml Kontrol LAMA WAKTU PENETASAN TELURGambar 3. Grafik persentase lama waktu penetasan telur ikan tawes pada tiap Perlakuan (Sumber : Data Primer, 2015). Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa penetasan telur meningkat pada 10-13jam, sementara pada hari pertama selama 9 jam belum ada telur yang menetas.3.1.2. Telur yang Terinfeksi Jamur Berdasarkan hasil pengamatan pada saat penelitian bahwa telur yang tidakmenetas pada wadah kontrol (tanpa pemberian larutan daun sirih) terserang jamurSaprolegnia sp. Telur yang terinfeksi jamur tampak dikelilingi oleh sekumpulan benangmenyerupai kapas berwarna putih. Gambar hasil pengamatan pada saat penelitiandiamati di bawah mikroskop kamera monokuler dengan pembesaran 100 kali zoompada gambar 4 (a), dan (b). (b) (c) Gambar 4. (a) telur ikan tawes terserang jamur Saprolegnia sp, (b) hyfa jamur Saprolegnia sp.3.1.3. Kualitas Air126
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Hasil pengamatan kualitas air pada penelitian ini meliputi DO, Suhu dan pH.Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air selama penelitian tidakberpengaruh terhadap persentase penetasan telur ikan tawes. Data kualitas air selamapenelitian dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.Tabel 4. Pengukuran Parameter Kualitas Air Sebelum Pencampuran Larutan Daun Sirih Selama Penelitian ParameterPerlakuan Suhu ( °C ) pH DO (ppm) Pagi Sore Pagi Sore Pagi SoreP0 28 29 7 7 3.7 3.9P1 28 29 7 7 3.7 3.9P2 28 29 7 7 3.6 3.9P3 28 29 7 7 3.7 3.7Rata-rata 28 29 7 7 3.7 3.9(Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan Tabel 4 kualitas air pada saat penetasan telur ikan tawes yang diukurpada wadah penelitian sebelum pencampuaran larutan daun sirih, pH air 7, DO 3.7-3.9ppm dan suhu air 28-29°C.Tabel 5. Pengukuran Parameter Kualitas Air Setelah Pencampuran Larutan Daun Sirih Selama Penelitian ParameterPerlakuan Suhu ( °C ) pH DO (ppm) Pagi Sore Pagi Sore Pagi SoreP0 27 29 7 7 3.8 3.9P1 27 29 7 7 3.7 3.9P2 27 29 7 7 3.7 3.8P3 28 30 7 7 3.7 4.0Rata-rata 27 29 7 7 3.7 3.9(Sumber : Data Primer, 2015) Setelah pencampuran larutan daun sirih pH air dan DO tetap, namun suhumenurun menjadi 27 °C – 79 °C. Walaupun terjadi sedikit penurunan terhadap suhu airakan tetapi penurunan tersebut tidak terlalu mempengaruhi atau membahayakanterhadap proses penetasan telur.3.2. Pembahasan3.2.1 Derajat Penetasan Telur Ikan Tawes Dari hasil penelitian didapatkan persentase penetasan telur pada P1 sbanyak (93,33%), P2 sebannyak (83,33%), P3 sebanyak (66,66%), dan P0 sebanyak (50%).Persentase penetasan terbaik terdapat pada perlakuan 1 yaitu dengan dosis 10 ml dibandingkan dengan P2, P3 dan Kontrol. Dosis 10 ml sangat efektif untk membunuh 127
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572jamur pada telur ikan tawes, serta tidak membahayakan terhadap perkembangan telur.Hal ini didukung oleh pendapat Darwis (1991) yang mengatakan bahwa daun sirih dapatdimanfaatkan sebagai fungisida. Pada P2 dengan penggunaan larutan daun sirih sebanyak 20 ml dan pada P3penggunaan larutan daun sirih sebanyak 30 ml menunjukkan bahwa dalam perlakuan initerdapat telur yang tidak menetas, diakibatkan bukan karena serangan jamursaprolegnia melaikan kelebihan dosis larutan daun sirih yang di berikan pada perlakuan2 dan 3. telur terlihat berwarna kuning kecoklatan disebabkan karena larutan daun sirihyang mengandung senyawa fenol dan tanin melekat kuat pada telur, sehingga dapatmenghambat proses pernafasan telur serta merusak jaringan sel telur dan menyebabkantelur mati dan tidak menetas. Hal ini didukung oleh pendapat Fardiaz (1993) yang mengatakan bahwa larutandaun sirih mengandung senyawa fenolik dan tanin yang dapat membunuh mikrobadengan cara merusak membran selnya. Pada perlakuan P2 (20 ml) dan P3 (30 ml) telurmati dan tidak menetas karena dosis larutan daun sirih relatif tinggi sehingga kandungansenyawa fenol dan tanin juga meningkat sehingga senyawa tersebut tidak hanyamencegah pertumbuhan jamur namun juga dapat menghambat pernafasan telur danmerusak jaringan sel telur sehingga telur mati dan tidak menetas. Pada perlakuan P0 tanpa menggunakan bahan uji larutan daun sirih persentasepenetasan sangat rendah. Hasil yang didapat yaitu 50 %. Hal ini disebabkan karena padaperlakuan P0 tidak digunakan bahan uji sehingga jamur lebih cepat menyebar dan lebihmudah tumbuh untuk menyerang telur. Hasil uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil)menunjukkan bahwa anti mikroba alami yang efektif untuk mencegah pertumbuhanjamur terhadap daya tetas telur ikan tawes adalah larutan daun sirih dengan konsentrasi10 ml (Perlakuan 1) sebesar 93,33%, dibandingkan dengan konsentrasi 20 ml(Perlakuan 2), sebesar 83,33% dan konsentrasi 30 ml (Perlakuan 3) sebesar 66,66%.Penggunaan bahan uji larutan daun sirih dapat menghasilkan persentase penetasan telurikan tawes yang optimal, Sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam budidaya.3.2.2. Lama Waktu Penetasan Telur Ikan Tawes Berdasarkan hasil penelitian lama waktu penetasan telur ikan tawes hitungan jam,yaitu selama 13 jam dengan waktu yang sangat singkat disebabkan tipisnya dinding seltelur. Telur-telur akan menetas dan tumbuh menjadi larva. Hal ini sesuai denganpendapat Susanto, H (2003), yang mengatakan bahwa telur ikan tawes akan menetasdalam waktu yang sangat singkat yaitu sekitar 13 jam pada suhu antara 24 °C – 32 °C.Penetasan yang relatif singkat ini dimungkinkan karena telur ikan tawes berdindingsangat tipis, namun untuk penetasan total membutuhkan waktu antara 2 – 3 hari. Penetasan telur ikan tawes melewati beberapa fase yaitu fase pembelahan zygot(cleavage), fase morula (morulasi), fase blastula (blastulasi), fase gastrula (gastrulasi)dan stadia organogenesis atau embryogenesis dan menetas menjadi larva. Hal ini sesuaidengan pendapat Zairin (2002) yang mengatakan bahwa proses pembelahan zygot128
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572diikuti oleh perkembangan selanjutnya yang berupa proses blastula, gastrula danorganogenesis sampai mencapai proses penetasan.3.2.3. Telur yang Terinfeksi Jamur Berdasarkan hasil penelitian telur yang tidak menetas karena serangan jamurSaprolegnia sp terdapat pada perlakuan kontrol, telur yang terdapat pada wadah kontrolbanyak terinfeksi jamur tampak dikelilingi oleh sekumplan benang menyerupai kapaswarna putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Kordi (2004), yang mengatakan bahwatelur yang diserang jamur biasanya akan tampak diselimuti bentukan-bentukanmenyerupai benang yang dikenal sebagai hyfa jamur berwarna putih. Jenis jamur yang sering menjadi kendala berasal dari famili Saprolegniaceae.Penyakit ini menular terutama melalui spora di air. Gejalanya dapat dilihat secara klinisyaitu munculnya benang-benang halus menyerupai kapas yang menempel pada telur.Sehingga proses pernafasan telur tertutupi oleh kumpulan benang-benang tersebut danmerusak jaringan sel telur sehingga telur tidak menetas.3.2.4. Kualitas Air Seperti yang dikemukakan oleh Susanto (2003), bahwa suhu normal untukpenetasan telur ikan tawes berkisar antara 24°C – 32°C. Namun, suhu 27°C – 29°Cmasih tergolong baik untuk memelihara benih ikan. Dengan demikian dapatdisimpulkan bahwa parameter kualitas air pada saat penelitian masih dalam bataskisaran kualitas air yang normal untuk kelangsungan hidup telur/larva maupun benihikan tawes.IV. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya :Penggunaan larutan daun sirih dengan dosis yang berbeda berpengaruh terhadappersentase penetasan telur ikan tawes. Dosis pemberian larutan daun sirih yang terbaikdapat mencegah pertumbuhan jamur terhadap daya tetas telur ikan tawes pada penelitianini adalah perlakuan P1 (10 ml), dan yang terendah pada perlakuan P0 (kontrol) tanpapemberian larutan daun sirih. Hasil analisa statistik dengan uji F terlihat bahwapenggunaan larutan daun sirih dengan dosis yang berbeda berpengaruh sangat nyataterhadap persentase penetasan telur dengan nilai F Hitung (63,33) > F Tabel 0,01 (7,59).Hasil uji lanjut dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan bahwapenggunaan larutan daun sirih dengan dosis 10 ml (P1) memberikan hasil yang terbaikdan P0 (kontrol) tidak diberikan perlakuan larutan daun sirih menunjukkan persentasepenetasan terendah.Daftar PustakaAgustin, F. & Rahardja,S. 2013. Teknik Pembenihan Ikan Tawes (Puntius Javanicus) dengan Sistem Induksi di Balai Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar 129
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572 Muntilan, Kecamatan Muntilan,Kabupaten Magelang. Jurnal of Aquaculture and Fish Health, ISSN 2301-7309. Vol. 2 / No. 2, Juni 2013Anggani, O.F., Rahayu K & Hari S. 2015. Potensi Bacillus licheniformis dan Streptomyces olivaceoviridis Sebagai Penghambat Pertumbuhan Jamur Saprolegnia Sp, Penyebab Saprolegniasis Pada Ikan Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 7 No. 2, November 2015Amri & Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Agromedia. Jakarta.Damayanti, M. R., Mulyono. 2008. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih, Obat Mujarab dari Masa ke Masa. PT Agro Media Pustaka. Depok.Darwis. 1991. Potensi Sirih (Piper Betle Linn.) Sebagai Tanaman Obat. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia. [Skripsi[ Fakultas Teknologi Pertanian IPB.Dwiyanti, R. R. 1996. Mempelajari Ketahanan Panas Ekstrak Antioksida Daun Sirih (Piper Betle Linn.). [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian IPB.Effendi. 1997. Biologi Perikanan, Yayasan Pustaka Nusantara. Jakarta.Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Penerbit Raja Grafindo Persada, JakartaGomez, K.A. & A.A. Gomez. 1995. Statistical Procedures of Agricltural Research 2 Ed. An International Rice Research Institute Book John Willey and Sons. Losbanos.Kurniawati, A. 2011. Uji Aktivitas Anti Inflamasi Ekstrak Metanol Graptophyllum Griff Pada Tikus Putih.Majalah Kedokteran Gigi Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional IV. 167-170Kordi, K.M., Ghufran. 2004. Budidaya Perairan. PT Citra Aditya Bakti: Bandung. 964 hlmMarline N & Erly S.2000. Uji aktivitas antibakteri serta pemeriksaan senyawa kimia dari ekstrak n-Heksan dan ekstrak etanol daun dandotan (Ageratum Conzoides Linn). Jurnal Media Farmasi. 8 (1): 28-34.Reveny, J. 2011. Daya antimikroba ekstrak dan fraksi daun sirih merah (Piper betle Linn.) Jurnal Ilmu Dasar, 12 (1) : 6-12.Susanto, H. 2003. Usaha Pembenihan Dan Pembesaran Tawes. Penebar Swadaya. Jakarta.Widarto, H. 1990. Pengaruh Minyak Atsiri Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli dan Sthaphylococcus Aureus. [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian. Institu Pertanian Bogor.Zairin, Jr., Sari, R. K. & Raswin, M. (2005). Pemijahan ikan tawes dengan sistem imbas menggunakan ikan mas sebagai Pemicu. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 103–108.130
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572LAMA PEREDAMAN PERANGKAP LIPAT YANG EFEKTIF UNTUK PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) EFFECVITIVENESS OF IMMERSION PERIODS OF TRAPS TO FISH CATCHING OF MUD CRAB (Scylla sp.) Hafinuddin1*, Ikhsan Saputra2, Mahendra3 1 Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2 Jurusan Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh, 3 Jurusan Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. Korepondensi: [email protected] Abstract Fishing of mud crab (Scylla sp.) is using many fishing gear type, one of that i.etraps. Immersion periods is one of aspect to consideration to catching mud crab.Therefore, purpose of this study is to know immersion periods to catching mud crabefectively. This study was conducted on September 2016 in estuaries waters, KualaBubon Village, Samatiga Sub District, Aceh Barat District. Methods of this study isexperimental fishing method and fully randomized design have used for this study.Immersion periods is treatments, i.e 4 hours, 8 hours and 12 hours with 3 replicates. Ananalysis of variance (ANOVA) at significant level 95% (p < 0.05) was selected to assessthe statistical significance of the treatment differences. All data was performed withSPSS 18.0.0 software. Results of this study show that fish catching of mud crabs notsiggnificant difference for every treatments (p>0.05). However, descriptive analysisshow that immersing with 12 hours more efective than of 4 hours and 8 hours. Thisstudy is important for traps’s fishermen to catching mud crabs, where hauling of trapscan be applied in the morning (immersing with 12 hours).Keywords: traps, immersion periods, scylla sp.I. Pendahuluan Kepiting bakau (Scylla Sp.) merupakan jenis kepiting yang potensinya cukup baikuntuk dikembangkan. Dalam dunia perdagangan, kepiting bakau merupakan komoditiekspor di luar minyak (Suryani, 2006). Hal ini dikarenakan kepiting bakau memilikirasa yang lezat dan kandungan gizi yang tinggi (Asmara 2004). Kabupaten Aceh Barat memiliki perairan estuaria yang salah satunya terletak diDesa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga dan merupakan habitat kepiting bakau. Hal inidikarenakan kondisi perairannya masih banyak ditumbuhi mangrove, pohon nipah dandekat dengan muara sehingga sesuai bagi kepiting bakau untuk hidup, mencari makandan berlindung. Selain itu, kualitas air di sini masih baik karena masih tebebas daripencemaran industri. Permintaan kepiting bakau terus meningkat seiring meningkatnya kegemaranmasyarakat mengkonsumsi makanan laut sea food dan didukung oleh harga yang relatifbagus ditingkat nelayan yaitu Rp 50.000,-/Kg, telah menyebabkan nelayan menangkapkepiting bakau. Penangkapan kepiting bakau langsung dari alam dilakukan denganmenggunakan berbagai jenis perangkap dan salah satunya adalah bubu (Rakhmadevi2004). 131
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572 Nelayan di Desa Kuala Bubon biasanya menangkap kepiting bakau denganmenggunakan perangkap yang berangka besi berbentuk bulat dan ditambah dengankayu pada sisi tengahnya agar jaring kerangka dapat berdiri tegak dan memudahkankepiting bakau untuk masuk memakan umpan. Alat tangkap ini oleh nelayan setempatdisebut Nyap. Selain itu, alat yang lain untuk penangkapan kepiting bakau adalahdengan menggunakan perangkap lipat. Menurut Iskandar (2012) alat tangkap ini banyakdigunakan oleh nelayan karena mudah dioperasikan, bisa dilipat sehingga mudahdibawa oleh kapal dengan jumlah yang banyak dan harga yang relatif murahdibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Penangkapan kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap bubu lipatcenderung dilakukan oleh nelayan tanpa memperhatikan lama waktu perendaman.Nelayan setempat memulai penangkapan dengan setting bubu lipat mulai dari pukul17.00 – 06.00 WIB (13 jam perendaman). Hanya saja belum diketahuinya lamaperendaman yang efektif untuk alat tangkap perangkap lipat terhadap hasil tangkapankepiting bakau, sehingga penelitian tentang pengaruh lama perendaman perangkap lipatterhadap hasil tangkapan kepiting bakau sangat penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama perendamanperangkap lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau dan untuk mengetahui lamaperendaman yang efektif perangkap lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau diDesa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Hasil penelitian inidiharapkan dapat memberi informasi kepada nelayan perangkap lipat dalammenentukan lama perendaman yang efektif untuk penangkapan kepiting bakau.II. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 yang bertempatan di DesaKuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat (Gambar 1).2.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkap lipat (18 buah denganukuran yang sama), sampan, garmin GPS 60 S, timbangan digital, serok, ember dancamera digital. Adapun bahan yang digunakan adalah kepala ayam sebagai umpan padaperangkap lipat. Kontruksi perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian dapatdilihat pada Gambar 2.2.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing. Lokasi peletakanbubu yang telah direndam sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi penelitian. Ujipenangkapan yang dilakukan pada masing-masing lokasi penelitian denganmenggunakan alat tangkap bubu lipat sebanyak 3 kali ulangan dengan perlakuan adalahlama perendaman yang berbeda-berbeda yaitu 4 jam, 8 jam, 12 jam. Untuk setiapperlakuan telah digunakan 6 bubu lipat sehingga dalam satu waktu uji penangkapan,sehingga total bubu lipat yang digunakan dalam setiap ulangan adalah 18 bubu lipat.132
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Peubah yang diamati pada penelitian adalah jumlah hasil tangkapan pada bubulipat dengan lama perendaman yang berbeda. Pencatatan hasil tangkapan kepiting bakauadalah dalam bentuk gram dan ekor. Lokasi penelitianGambar 1. Lokasi penelitian perangkap lipat di Desa Kuala Bubon, Kecamatan Samatiga, Kabupeten Aceh Barat. Gambar 2. Alat tangkap perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian.2.3. Model yang Digunakan Pengaruh lama perendaman menggunakan model sidik ragam sebagai berikut: Yij = µ + αi +εij 133
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572Dimana: i : 1, 2, 3 (lama perendaman dengan satuan jam) j :1, 2, 3 (jumlah ulangan penelitian)Keterangan:Yij : Hasil tangkapan pada perlakuan (lama perendaman) ke-i dan ulangan ke-jµ : Rataan hasil tangkapan;αi : Pengaruh perlakuan lama perendaman yang berbeda ke-i;εij : Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Penggunaan model ini adalah untuk melihat efektivitas hasil tangkapan kepitingbakau pada bubu lipat dengan lama perendaman yang berbeda.2.4 Rancangan Penelitian Rancangan acak lengkap (RAL) digunakan sebagai racancangan percobaan didalam penelitian ini. Perangkap lipat diletakkan pada kedalaman 0,5-1,5 meter. Untukmembandingkan efektivitas hasil tangkapan pada masing-masing lama perendaman,maka digunakan dengan struktur data sebagai berikut (Tabel 1).Tabel 1. Struktur data penelitian Ulangan 4 jam (1) Lama perendaman (Perlakuan) 12 jam (3) 8 jam (2) 1 Y11 Y31 2 Y12 Y21 Y32 3 Y13 Y22 Y33 Y232.5 Analisis Data Efektivitas penangkapan pada dengan lama perendaman yang berbeda di analisisdengan menggunakan analisis ragam (analysis of variance). Uji kenormalan datamenggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengolahan data dibantu oleh perangkat lunakpada komputer yaitu statistical package for the social sciences (SPSS) versi 18.0.0. danmicrosoft excel 2016.III. Hasil dan Pembahasan3.1. Hasil Tangkapan Bubu Lipat Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perendaman bubu lipat yang terbaikadalah 12 jam yaitu dengan total hasil tangkapan sejumlah 680 gram (Gambar 3).Kemudian diikuti oleh lama perendaman 4 jam dengan total hasil tangkapan 220 gramdan terakhir adalah lama perendaman 8 jam dengan total hasil tangkapan 100 gram.Perendaman 12 jam diduga efektif terhadap produksi hasil tangkapan karena keadaanlingkungan (pasang surut dan lokasi peletakan bubu lipat). Hal ini sesuai denganpendapat Tiku (2004) yang menyatakan bahwa pasang surut mempengaruhi hasiltangkapan bubu lipat. Hasil penelitian pada masing-masing stasiun yaitu stasiun 1 dengan jumlah hasiltangkapan 220 gram, stasiun 2 dengan jumlah hasil tangkapan 100 gram dan stasiun 3134
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dengan jumlah hasil tangkapan 680 gram (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwastasiun 3 merupakan stasiun dengan jumlah hasil tangkapan yang tertinggi. Kondisitersebut diduga dikarenakan lokasi stasiun 3 adalah lokasi yang banya di tumbuhi olehtumbuhan bakau. Hutan bakau merupakan habitat untuk kepiting bakau. Hill (1975)diacu dalam Wijaya et al (2010) menjelaskan bahwa zona tengah hutan bakau adalahtempat terjadinya perkawinan dan secara berangsur-angsur sesuai denganperkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya (berenang) ke laut danmemijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai. 800Hasil Tangkapan (gram) 700 680 600 500 400 300 200 220 100 100 0 8 Jam 12 Jam 4 Jam Lama Perendaman Bubu LipatGambar 3. Hasil tangkapan bubu lipat berdasarkan lama perendaman.Jumlah hasil tangkapan (gram) 800 100 680 700 3 600 2 500 Stasiun 400 300 200 220 100 0 1 Gambar 4. Hasil tangkapan bubu lipat per stasiun. Posisi peletakan alat tangkap di zona hutan mangrove perlu diperhatikan. Hal inisesuai dengan penelitian Wijaya et al (2010) menunjukkan bahwa peletakan alattangkap jenis pengait di tengah hutan mangrove memberikan hasil tangkapan yang lebihbanyak dibandingkan alat tangkap yang diletakkan di pinggir pantai dan di perairanpantai. Mengacu kepada Iskandar (2013) bahwasanya banyaknya pohon bakau dapatmeningkatkan populasi kepiting bakau. Hal ini dikarenakan akar-akar bakau menahan 135
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572substrat berupa lumpur yang berasal dari muara sungai sehingga habitat seperti inidisukai oleh kepiting bakau. Pengoperasian alat tangkap bubu lipat pada trip ke 6 menunjukkan hasiltangkapan yang tertinggi (Gambar 5). Hal ini diduga karena pengaruh pasang bulanpurnama. Hanya saja menurut hasil penelitian Rakhmadevi (2004) fase bulan kuadran 1(fase bulan sabit awal) merupakan waktu hasil penangkapan kepiting bakau yangterbanyak. Namun penelitian ini juga menunjukkan bahwa fase bulan tidak memberikanpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan kepiting bakau, artinya penangkapankepiting bakau dapat dilakukan pada seluruh fase bulan. Berdasarkan penelitian Wijayaet al (2010) menunjukkan bahwasanya kelimpahan kepiting bakau betina berada pada 2periode yaitu periode pertama bulan Januari, Februari dan Maret dan periode keduabulan Agustus dan September. 600 Jumlah Hasil Tangkapan 500 490 400 300 200 190 150 100 100 40 0 30 0 0 0 789 56 1234 Trip ke- Gambar 5. Hasil tangkapan bubu lipat per trip. Berdasarkan hasil pengamatan dari tiga kali ulangan diperoleh bahwa jeniskepiting bakau yang tertangkap di dalam bubu lipat adalah jenis Scylla serrata danScylla tranquebarica (Gambar 6 dan Gambar 7). Spesies yang terbanyak yangtertangkap di bubu lipat adalah jenis Scylla serrata dengan jumlah 960 gram.Sedangkan untuk jenis Scylla tranquebarica adalah 40 gram. Penelitan yang dilakukan di perairan estuaria Kuala Bubon Kecamatan Samatigatelah memberikan hasil dimana kepiting bakau jenis Scylla serrata lebih dominandibandingkan jenis Scylla tranquebarica. Scylla serrata tertangkap di zona tengah hutanmangrove dengan jenis kelamin betina yang diduga sebagai tempat melakukan aktivitasperkawinan dan pencarian makan (Wijaya et al., 2010). Suryani (2006) menjelaskanbahwa kepiting bakau biasanya lebih menyukai tempat yang agak berlumpur danberlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Selain itu, tingginya hasil tangkapanScylla serrata di perairan Karangantu dikarenakan kepiting bakau ini dapat hidup diberbagai habitat. Sedangkan Hia et al. (2013) menyatakan bahwa Scylla tranquebaricadominan tertangkap di tepi pantai yang tanahnya agak berlumpur dan daerah pasang136
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572surut. Selain itu kepiting bakau ini biasanya ditemukan berasosiasi dengan Scyllaolivacea. Gambar 6. Jenis kepiting bakau Scylla serrata. Gambar 7. Jenis kepiting bakau Scylla tranquebarica.3.2. Pengaruh Lama Perendaman Perangkap Lipat Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov data hasil tangkapan kepiting bakau adalahnormal (Z = 0,723, p>0,05). Oleh karena itu, uji ragam (uji ANOVA) dapat digunakanuntuk melihat pengaruh 3 perlakuan dari penelitian ini. Hasil uji ragam menunjukkanbahwa pada selang kepercayaan 95%, diduga tidak terdapat perbedaan lamaperendaman bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau (p>0,05). Kondisi lingkungan pada saat penelitian yang cenderung berubah-rubah sepertikondisi hujan, kecepatan arus, pasang surut dan salinitas diduga sebagai faktor-faktoryang mempengaruhi hasil tangkapan kepiting bakau. Kondisi hujan merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi kadar salinitas. Pada saat penelitian dilakukankecenderungan waktu penghujan sehingga salinitas air payau cenderung rendahsehingga hasil tangkapan menjadi sedikit bahkan tidak ada. Menurut pendapat Aviantoet al. (2013) menyatakan bahwa kepiting bakau tidak mampu toleran terhadap salinitasyang rendah kecuali species Scylla olivacea.IV. Kesimpulan Hasil percobaan penangkapan dengan perangkap lipat dengan lama perendamanyang berbeda menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau adalah sama untuk 137
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572setiap perlakuan. Hanya saja, lama perendaman 12 jam memperoleh hasil tangkapanyang terbanyak dibandingkan dengan lama perendaman 4 jam dan 8 jam.Daftar PustakaAsmara, A. Riani, E. dan Susanto, A. 2011. Analisis beberapa aspek reproduksi kepiting bakau (Scylla serrata) di perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Matematika, Saint dan Teknologi, 12 (1), 30-36.Avianto, I., Sulistiono. dan Setyobudiandi, I. 2013. Karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau (Scylla serrata, s.transquaberica, and s.olivacea) di hutan mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan, 97-106.Hia, P. M. F., Hendrarto, B. dan Haeruddin. 2013. Jenis kepiting bakau (scylla sp.) yang tertangkap di perairan Labuhan Bahari Belawan Medan. Journal of management of aquatic resources, 2 (3), 170-179.Iskandar, D. 2012. Pengaruh penggunaan bent uk escape vent yang berbeda pada bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau. Jurnal Saintek Perikanan. 8 (1), 13 -18Rakhmadevi, C. C. 2004. Waktu Perendaman dan Periode Bulan Pengaruh Terhadap Kepiting Bakau Hasil Tangkapan Bubu di Muara Sungai Radak Pontianak. [Skripsi]. Tidak dipublikasikan. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. BogorSuryani, 2006. Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) Dalam Ekosistem Mangrove Dipulau Enggano Provinsi Bengkulu. [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Program Studi Magister Manajemen Sumber Daya Laut. Program Pascasarjana. Universitas Diponogoro. Semarang.Tiku, M. 2004. Pengaruh umpan dan waktu pengoprasian bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.Wijaya, N. I., Yulianda, F., Boer, M. dan Juwana, S. 2010. Biologi populasi kepiting bakau (Scylla serrata f.) di habitat mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36(3), 443-461138
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572NETRALISASI MINYAK HATI IKAN CUCUT PISANG (Charcarinus falciformis) MENGGUNAKAN NaOH NEUTRALIZATION OF SILKY SHARK OIL (Charcarinus falciformis) WITH NaOH Nabila Ukhty1, Anhar Rozi2 1Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Korespondensi: [email protected] Abstract The shark has a yield by-product from its liver up to 20% of its body weight,50% of the total fish oil found on the liver. The aimed of this study was to determineheavy metal content, fatty acid profilel, and parameter of oxidation after neutralization.The method of heavy metal test for silky shark oil stated on the SNI and fatty acidanalysis referred to AOAC. Neutralization used NaOH 18°Be temperature (40, 50, 60,70, and 80°C). The result of oil neutralization with NaOH had heavy metal content meetto IFOS (0.1 ppm), fatty acid of SFA was 19.58% , MUFA was 19.26 %, and PUFAwas 41.58 %. The oxidation result of silky shark liver oil neutralization indicated thebest treatment at 50°C with peroxide value (PV), p-Anisidine value (p-AV), percentageof free fatty acid (% FFA), acid value (AV), and total oxidation (TOTOX) were72,49±0,27 mEq/kg, 8,57±0,46 mEq/kg, 0,28±0,00%, 0,56±0,00 mg KOH/kg,13,57±1,01 mEq/kg respectively.Keywords: fatty acid, neutralization, quality of oil, silky sharkI. Pendahuluan Industri perikanan merupakan bidang usaha yang sangat luas dengan multi proses,yang memiliki permasalahan produk samping (by-product). By-product ini memilikipotensi untuk diolah menjadi suatu produk yang memiliki manfaat. Industri perikananyang salah satunya memiliki hasil samping adalah industri pengasinan ikan cucut,dimana pengolahan ini memiliki hasil samping berupa hati. Hati Ikan cucut memilikirendemen mencapai 20% dari berat tubuhnya (Navarro et al. 2000), 50% dari jumlahminyak ikan cucut terdapat pada bagian hati (Kjerstad et al. 2003). Asam lemak yangterkandung dalam hati ikan cucut meliputi asam lemak jenuh dan asam emak tak jenuh.Asam lemak tak jenuh meliputi asam oleat 25,20%, asam linoleat 2,30%, asam linolenat0,40%, asam stearidonat 1,40%, asam gondorat 9,20%, asam arachidonat 3,10%, EPA9,20%, asam erukat 6,60%, DPA 3,40% dan DHA 7,30% (Edward 1976). Carcharinus falciformis atau Silky Shark hidup di daerah pantai kedalaman 18 msampai laut dalam (200 m). Spesies cucut ini merupakan jenis tangkapan target di dalamindustri perikanan hiu di daerah tropis maupun sub tropis dan merupakan hasiltangkapan sampingan yang besar dari kapal longline tuna dan purseine (Bonfil et al.2009). Carcharinus falciformis atau Silky Shark bukan merupakan jenis ikan hiu yangdilindungi karena jenis ini masih sangat banyak di perairan. 139
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572 Produksi minyak ikan meliputi proses ekstraksi dan pemurnian. Ekstraksi yangbanyak digunakan adalah ekstraksi basah (wet-rendering) yang meliputi pemasakanikan dengan uap air panas (steam) untuk merusak struktur sel dan pengepresan terhadapminyak yang telah dipanaskan (Suseno dan Saraswati 2015). Damongilala (2008)mengekstraksi minyak hati cucut botol dengan sistem pemanasan. Produksi minyak ikandari hasil samping industri ikan sudah banyak dilakukan, yakni pada ikan tuna (Suseno2015), sardin dan sidat (Suseno et al. 2014). Netralisasi merupakan proses pemisahan asam lemak bebas dari minyak kasar.Pemisahan tersebut dilakukan dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basasehingga membentuk sabun (Hernandez dan Rathbone 2002). Basa yang biasadigunakan ialah kaustik soda, karena harganya murah dan lebih efisien. Perbedaankonsentrasi basa berpengaruh terhadap kandungan asam lemak bebas. Semakin banyakjumlah basa yang ditambahkan, semakin besar jumlah asam lemak bebas yangtersabunkan (Abdillah 2008). Konsentrasi larutan basa untuk netralisasi dinyatkandengan derajat Baume (°Be). Minyak dengan asam lemak bebas kecil biasanyamenggunakan larutan basa yang lebih rendah (8-12°Be), sedangkan minyak denganasam lemak bebas lebih tinggi digunakan larutan basa hingga 20°Be. Larutan basadiatas 20°Be biasanya digunakan untuk minyak dengan asam lemak bebas lebih dari 6%(Bernardini 1983). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa by-product pengolahan ikan cucutberpotensial sebagai sumber minyak ikan yang kaya akan omega-3 dan squalen(Undjung 2005; Damongilala 2008). Setiono (2002) melakukan netralisasimenggunakan NaOH terhadap minyak cucut botol dengan kosentrasi NaOH terbaikpada 18°Be menghasilkan asam lemak bebas sebesar 0,37%. Feryana et al. (2014)melakukan netralisasi terhadap minyak ikan makerel dengan kosentrasi NaOH terbaikpada 24°Be menghasilkan nilai FFA (2,16%), PV (5,60 mEq/kg), anisidin (14,31mEq/kg), AV (4,30 mg KOH/kg), dan TOTOX (25,53 mEq/kg). Penelitian ini bertujuanmenentukan kandungan logam berat, profil asam lemak hati cucut pisang, danparameter oksidasinya setelah dinetralisasi menggunakan NaOH.II. Metode Penelitian2.1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hati cucut pisang,etanol 96%, indikator phenolphthalein (indikator PP), KOH (Merck) 0,1 N, kloroform(Merck), asam asetat glasial (Merck), larutan KI jenuh, akuades, pati 1%, Na2S203(Merck) 0.01 N, isooktan (Merck), reagen anisidin (Aldrich chemistry), n-heksana(Merck), NaOH (Merck), dan asam lemak standar dari SupelcoTM 37 Componen FAMEMix (Bellefonte, USA). Alat-alat yang digunakan untuk penentuan sifat, ekstraksi dan analisis kualitasminyak adalah alumunium foil, stop watch, timbangan digital (Veritas dengan beratmaksimal 250 g), buret (Iwaki pyrex), alat-alat gelas (Iwaki pyrex), kompor listrik600W (Maspion), perangkat kromatogafi gas (SHIMADZU GC 2010 plus AFA PC140
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dengan jenis kolom berupa cyanopropyl methyl sil/capillary column), sentrifugasi (PLCseries), heating drying oven (model DHG-9053A), stirrer (CORNING PC-4200),waterbath (Julabo U3), spektrofotometer UV-Vis 2500 (LaboMed), dan pipet mikro(Gilson).2.2. Analisis logam berat Cd, Pb, Hg, Ni dan As (BSN 2009) Analisis dilakukan menggunakan 1 gram contoh, kemudian dimasukkan ke dalamlabu destruksi 100 mL, ditambah 15 mL HNO3 pekat dan 5 mL HClO4, kemudiandidiamkan 24 jam. Sampel didestruksi hingga jernih, didinginkan, ditambah 10-20 mLair bebas ion, dipanaskan ±10 menit, diangkat, dan dinginkan. Larutan tersebutdipindahkan ke dalam labu takar 100 mL (labu dekstruksi dibilas dengan air bebas iondan dimasukkan ke dalam labu takar). Larutan ditambah air sampai batas tanda tera,kemudian dikocok dan disaring dengan kertas saring Whatman no.4. Sampel dipreparasidan dianalisis sesuai dengan pengujian logam berat (Cd, Pb, Hg, Ni, As) pada analisisair (APHA 3110 untuk logam Cd, Pb, dan Ni; metode 3114 untuk As; dan metode 3112untuk Hg). Filtrat dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).Analisis kandungan logam dapat dihitung dengan persamaan berikut:Kadar logam (ppm) = Konsentrasi logam dari kurva rendah (µg/mL) x V pelarutan Bobot sampel2.3. Analisis profil asam lemak menggunakan Gas Chromatography (AOAC 2005 No. metode 969.33) Metode analisis yang digunakan menggunakan prinsip mengubah asam lemakmenjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi.Hasil analisis akan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentusesuai dengan karakter masing-masing asam lemak dan dibandingkan dengan standar.Lemak diekstraksi dari bahan terlebih dahulu sebelum melakukan injeksi metil ester lalumetilasi dilakukan sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yangdidapat.2.4. Pembentukan metil ester Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnyasebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas. Metilasi dilakukan dengan mereflukslemak di atas penangas air dengan pereaksi berturut-turut NaOH-metanol 0,5 N, BF3dan n-heksana. Sebanyak 0,02 g minyak dari sampel dimasukkan ke dalam tabungreaksi dan ditambah 5 mL NaOH-metanol 0,5 N lalu dipanaskan dalam penangas airselama 20 menit pada suhu 80ºC kemudian didinginkan. BF3 sebanyak 5 mL ditambahke dalam tabung lalu dipanaskan kembali menggunakan waterbath dengan suhu 80ºCselama 20 menit dan didinginkan. NaCl jenuh ditambah 2 mL dan dikocok, selanjutnyaditambah 5 mL heksana, kemudian dikocok. Larutan heksana di bagian atasdipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung reaksi. 1 μL sampel lemak 141
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572diinjeksikan ke dalam gas chromatography. Asam lemak akan diidentifikasi oleh flameionization detector (FID) atau detektor ionisasi nyala, respon yang ada akan tercatatmelalui kromatogram (peak).2.5. Idenfikasi asam lemak Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alatkromatografi gas Shimadzu GC 2010 Plus. Gas yang digunakan sebagai fase gerakadalah gas nitrogen dengan laju alir 30 mL/menit dan sebagai gas pembakar adalahhidrogen dan oksigen, kolom yang digunakan adalah capilary column merk Quadrexdengan diameter dalam 0,25 mm. a) Kolom : Cyanopropil methyl sil (capilary column) b) Dimensi kolom : P = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm, 0,25 μm film Thickness c) Laju alir N2 : 30 mL/menit d) Laju alir H2 : 40 mL/menit e) Laju alir udara : 400 mL/menit f) Suhu injektor : 220ºC g) Suhu detektor : 240ºC h) Inject volume : 1 μL2.6. Analisis asam lemak bebas/free fatty acid (FFA) (AOCS 1998 No. Metode Ca 5a-40) Minyak 10 g ditambah 25 mL alkohol 95% netral (Erlenmeyer 200 mL),dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit, ditambah indikator PP sebanyak 2 mL.Campuran minyak tersebut dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga timbul warna merahmuda yang tidak hilang dalam 10 detik. Persentase FFA dihitung berdasarkanpersamaan berikut: AxNxM %FFA= 10GKeterangan:A : Jumlah titrasi KOH (mL)N : Normalitas KOHG : Gram sampelM : Bobot molekul asam lemak dominan (asam oleat : 282,5)2.7. Analisis Nilai Peroksida (PV) (AOCS 1998) Nilai peroksida dianalisis dengan metode AOCS Cd-8b-90 yaitu menentukanbilangan peroksida menggunakan prinsip titrasi iodin yang dilepaskan dari senyawapotassium iodida oleh peroksida menggunakan standar larutan tiosulfat sebagai titrandan larutan pati sebagai indikator. Metode ini mendeteksi semua zat yang mengoksidasipotassium iodida dalam kondisi asam. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dimasukkandalam labu erlenmeyer ukuran 250 mL, ditambah 30 mL larutan asam asetat dankloroform dengan perbandingan 3:2, kemudian ditambah 0,5 mL larutan potassium142
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572iodide (KI), larutan kemudian dikocok dengan hati-hati agar tercampur, kemudianditambah 30 mL akuades. Tahap selanjutnya larutan dititrasi dengan 0,01 N sodiumtiosulfate (Na2S2O3) hingga larutan berubah warna menjadi kuning, setelah itu ditambah0,5 mL larutan indikator kanji 1% yang akan mengubah warna larutan menjadi biru,titrasi dilanjutkan bersamaan dengan terus mengocok larutan hingga berubah warnamenjadi biru muda yang menandakan pelepasan iodine dari lapisan kloroform, titrasidilanjutkan dengan hati-hati hingga warna biru pada larutan hilang. Perhitungan nilaiperoksida dilakukan dengan persamaan berikut: Nilai peroksida = S x M x 1000 Berat sampel (g)Keterangan:S : Jumlah sodium tiosulfate (mL)M : Konsentrasi sodium tiosulfate (0,01 N)2.8. Analisis nilai anisidin/anisidine value (p-AV) (Watson 1994) Larutan uji 1 dibuat dengan cara 1 gram sampel dilarutkan ke dalam 25 mLtrimethylpentane. Larutan uji 2 dibuat dengan cara 1 mL larutan anisidin (2,5 g/L)ditambah ke dalam 5 mL larutan uji 1, dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Larutanreferensi dibuat dengan cara 1 mL larutan anisidin (2,5 g/L) ditambah ke dalam 5 mLlarutan trimethylpentane, dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Nilai absorbansi larutanuji 1 diukur pada panjang gelombang 350 nm, larutan uji 2 diukur pada panjanggelombang 350 nm tepat 10 menit setelah menyiapkan larutan dengan menggunakanlarutan referensi sebagai kompensasi. Nilai anisidin dihitung dengan persamaan berikut: Nilai anisidin = 25 X 1,2 A2-A1 mKeterangan:A1 : Absorbansi larutan uji 1A2 : Absorbansi larutan uji 2m : Gram sampel yang digunakan pada larutan uji 12.9. Analisis nilai total oksidasi (TOTOX) (Perrin 1996) Nilai total oksidasi didapat dengan menjumlahkan nilai 2PV dengan p-AV.Peroxide value (PV) adalah nilai peroksida dan anisidin value (p-AV) adalah nilaianisidin. Total oksidasi = 2PV + p-AV2.10. Analisis Bilangan Asam (AV) (AOCS 1998) Nilai keasaman dianalisis berdasarkan metode AOCS Ca 5a-40. Penentuan derajatkeasaman dilakukan dengan cara titrasi KOH terhadap sampel, yang menggunakanprinsip jumlah KOH yang diperlukan (mg) untuk menetralkan 1 g lemak. Persamaanuntuk mendapatkan derajat kejernihan (mg KOH/mL lemak) adalah: 143
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572 Derajat keasaman = V x N x K 10GKeterangan:N : Konsentrasi KOH (mg/mL)V : Volume KOH untuk titrasi (mL)K : Berat molekul KOH (56,1)G : Berat sampel (g)2.11. Pengukuran viskositas (O'Brien 2009) Viskositas diukur menggunakan alat brookfield viscometer. Sampel sebanyak 100mL ditempatkan ke dalam gelas piala 100 mL. Spindle 2 dan speed 30 rpm digunakanuntuk melakukan pengukuran viskositas. Pengukuran dilakukan selama 2 menit hinggamemperoleh pembacaan jarum pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum akanbergerak sampai memperoleh viskositas sampel. Pembacaan nilai viskositas dilakukansetelah jarum stabil. Skala yang terbaca menunjukkan kekentalan sampel yang diperiksadengan satuan cP (centiPoise). Brookfield viscometer merupakan salah satu viskometer yang menggunakangasing atau kumparan yang dicelupkan ke dalam zat uji. Kumparan (spindle) tersediauntuk rentang kekentalan tertentu dan dilengkapi dengan kecepatan rotasi yang berbeda.Prinsip kerja dari viskometer ini adalah semakin kuat putaran semakin tinggiviskositasnya sehingga hambatan semakin besar. Gaya gesek antara permukaan spindledengan cairan akan menentukan tingkat viskositas cairan.2.12. Analisis Data (Walpole dan Ronald 1995) Analisis statistik yang digunakan yaitu RAL (Rancangan acak lengkap) padaevaluasi kualitas minyak hati cucut. Analisis data dilakukan dengan Analysis of Variant(ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Perlakuan yang berpengaruhterhadap respon, selanjutnya diuji lanjut Duncan, dengan rumus sebagai berikut : Y =μ+α+Σ ij i ijKeterangan:μ = Rataan umumY = Respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j ijΣ = Galat ke-i, ulangan ke-j ijαi = Pengaruh perlakuan pada taraf ke-iIII. Hasil dan Pembahasan3.1. Residu Logam Berat Residu logam berat yang terdapat pada minyak hati ikan cucut pisang yang sudahdinetralisasi dengan menggunakan NaOH masih dalam ambang batas yang ditetapkanIFOS (2011). Logam berat merupakan bahan yang berbahaya yakni apabila terkonsumsimelebihi ambang batasnya karena dapat merusak atau menurunkan fungsi sistem syaraf144
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572pusat, merusak komposisi darah, paru-paru, ginjal dan organ vital lainnya (Rochyatundan Rozak 2007). Residu logam berat pada hati ikan cucut pisang ditunjukkan padaTabel 1.Tabel 1 Residu logam berat minyak hati cucut pisang (Charcharinus falciformis)Logam berat ppm IFOSTimbal (Pb) < 0,005Kadnium (Cd) 0,08Merkuri (Hg) < 0,005 ≤ 0,1Arsen (As) < 0,005Nikel (Ni) < 0,0053.2. Profil Asam Lemak Uji asam lemak minyak yang telah dinetralkan menggunakan NaOH menghasilkan27 asam lemak, minyak ikan tersebut tergolong dalam asam lemak jenuh/Saturated FattyAcid (SFA) sebanyak 11 jenis dan memperoleh 19,58% dari total asam lemak yangterindentifikasi, asam palmitat mendominasi dari SFA tersebut. Asam lemak tak jenuhtunggal/Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA) yang teridentifikasi berjumlah 6 jenis danasam oleat mendominasi MUFA dan memperoleh 19,26% dari total asam lemak yangteridentifikasi. Asam lemak tak jenuh jamak/Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)sebanyak 10 jenis dan DHA mendominasi PUFA. Total PUFA yang teridentifikasiberjumlah 41,58%. Huli et al (2014) melakukan penelitian mengenai komposisi asam lemak minyakikan swangi, metode Bligh & Dyer menghasilkan asam lemak sebesar 68,08%, metodesokhlet sebesar 61,63%, dan metode wet rendering sebesar 62,64%. Pratama et al. (2011)menyatakan bahwa asam lemak akan berbeda antar spesies ikan dan ketetersediaanmakanan juga mempengaruhi. Hasil penilitian menunjukkan persentase total asam lemakditunjukkan pada Tabel 2.Tabel 2 Persentase profil asam lemak minyak hati cucut pisang (Charcharinusfalciformis)Nama asam lemak Struktur PersentaseAsam laurat C12:0 0.06Asam tridekanoat C13:0 -Asam miristat C14:0 1.23Asam pentadekanoat C15:0 0.17Asam palmitat C16:0 14.81Asam heptadekanoat C17:0 0.43Asam stearat C18:0 1.89Asam arakidat C20:0 0.87Asam heneikosanat C21:0 0.02 145
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 Asam behenat C22:0 ISSN: 2355-5572 Asam tricosanoat C23:0 Asam lignoserat C24:0 0.04 Total SFA 0.02 Asam miristoleat C14:1 0.03 Asam palmitat C16:1 19.58 Asam cis-10-heptadecanoat C17:1 0.04 Asam Elaidat C18:1n-9t 0.22 Asam oleat C18:1n-9c - Asam cis-11-eicosenoat C20:1 0.09 Asam erukat C22:1n-9 18.21 Asam Nervonat C24:1 0.64 Total MUFA - Asam linoleat C18:2n6c 0.03 Asam cis-11, 14- 19.26 eicosedienoat C20:2 8.36 Asam cis-13, 16- docosadienoat C22:2 0.50 Asam γ-linolenat C18:3n-6 Asam linolenat C18:3n-3 0.03 Asam cis-8, 11, 14- eicosetrienoat C20:3n-6 0.19 Asam cis-11,14,17- 7.65 eicosetrienoat C20:3n-3 Asam arachidonat C20:4n-6 0.48 Asam eicosapentaenoat (EPA) C20:5n-3 0.54 Asam docosahesaenoat (DHA) C22:6n-3 1.05 Total PUFA Total asam lemak 4.81 teridentifikasi Tidak teridentifikasi 17.97 41.58 80.24 19.583.3. Netralisasi Minyak dengan NaOH Netralisasi minyak menggunakan NaOH 18°Be antara suhu 40°C dan 50°C tidakberbeda nyata, kedua suhu ekstraksi menghasilkan kualitas minyak yang sudahmemenuhi standar IFOS. Setiono (2002) melakukan netralisasi terhadap minyak ikancucut botol menggunakan NaOH dengan konsentrasi terbaik pada 18°Be menghasilkanasam lemak bebas sebesar 0,37%. Feryana et al. (2014) melakukan netralisasi terhadapminyak ikan makerel dengan kosentrasi NaOH pada 24°Be menghasilkan minyak ikan146
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dengan nilai FFA sebesar 2,16%, PV sebesar 5,60 mEq/kg, anisidin sebesar 14,31mEq/kg, AV sebesar 4,30 mg KOH/kg, dan TOTOX sebesar 25,53 mEq/kg. Konsentrasi larutan basa untuk netralisasi dinyatkan dengan derajat Baume (°Be).Minyak dengan asam lemak bebas kecil biasanya menggunakan larutan basa yang lebihrendah (8-12°Be), sedangkan minyak dengan asam lemak bebas lebih tinggi digunakanlarutan basa hingga 20°Be. Larutan basa diatas 20°Be biasanya digunakan untukminyak dengan asam lemak bebas lebih dari 6% (Bernardini 1983). Minyak yang telahdi netralkan menggunakan NaOH ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 Minyak hasil netralisasi dengan menggunakan NaOH3.4. Parameter Oksidasi3.4.1. Nilai Peroksida (PV), Nilai p-Anisidin (p-AV), dan Nilai TOTOX Nilai peroksida terendah didapatkan pada suhu 50°C sedangkan nilai tertinggi padasuhu 80°C. Nilai p-anisidin terendah didapatkan pada suhu 40°C, sedangkan nilai tertinggipada suhu 80°C. Nilai total oksidasi terbaik yang didapatkan pada penelitian ini padasuhu 50°C dan merupakan nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan suhu lain,sedangkan nilai terbesar didapatkan pada suhu 80°C. Kerusakan minyak ikan disebabkan oleh cahaya, panas, peroksida lemak, logamberat, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim lipooksidase (Ketaren 2008). Nilaioksidasi sangat penting sebagai indikator mutu darin minyak tersebut, semakin rendah nilaioksidasi maka kualitas minyak akan semakin baik. International Fish Oil Standard (IFOS)menetapkan nilai bilangan peroksida < 3,75 meq/kg sebagai standar minyak kategori layakkonsumsi. Analisis nilai peroksida terhadap minyak netral dilakukan untuk menentukan jumlahhidroperoksida pada minyak yang merupakan hasil proses oksidasi primer (Aidos et al.2002). Aidos et al. (2001) menyatakan bahwa nilai peroksida sangat tergantung pada suhu,semakin rendah suhu pada saat ekstraksi minyak maka semakin baik kualitas minyak ikan.Nilai peroksida ditunjukkan pada Tabel 3. 147
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572Tabel 3 Analisis nilai peroksida minyak hati cucut pisang (Charcharinus falciformis) Perlakuan Nilai peroksida Nilai p-Anisidin Nilai TOTOX Suhu (mEq/kg) (mEq/kg) (mEq/Kg) 40°C 2,66 ±0,00a 8,31±0,42a 13,64±0,04a 50°C 2,49 ±0,27a 8,57±0,46a 13,57±1,01a 60°C 4,27±0,05b 11,33±0,83b 19,87±0,95b 70°C 4,98±0,44c 13,23±0,29c 23,20±1,18c 80°C 8,49±0,25d 16,48±0,05d 33,46±0,55dKeterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) Analisis p-anisidin dilakukan untuk mengetahui oksidasi sekunder yang terjadipada minyak yang dicirikan oleh degradasi lemak yang diinisiasi oleh hidroperoksida,sehingga menghasilkan produk samping karbonil yang bersifat non-volatile (Aidos et al.2002). Aldehid didalam minyak dan reagen p-anisidine bereaksi dalam kondisi asamdan ekspresi warna pada minyak sangat tergantung kepada jumlah aldehid danstrukturnya (O’Brien 2009). Minyak dengan kualitas baik harus memiliki nilai p-anisidin ≤15 mEq/kg (BPOM-RI dan IFOS). Nilai p-anisidin ditunjukkan pada Tabel 3. Total oksidasi merupakan penjumlahan x 2 nilai peroksida dan p-anisidin(Perrin 1996). Nilai TOTOX untuk minyak layak konsumsi berkisar antara 10-60mEq/kg (Bimbo 1998). IFOS menyatakan minyak layak konsumsi harus memiliki nilaiTOTOX dibawah 20 mEq/kg. Nilai total oksidasi ditunjukan pada Tabel 3.3.4.2 Persentase Asam Lemak Bebas (%FFA) Persentase asam lemak bebas dimana perlakuan suhu 40ºC dan 50ºC memberikannilai terbaik, sedangkan nilai tertinggi didapatkan pada suhu 80°C. FFA merupakanproduk dari reaksi hidrolisis triasilgliserida yang berkaitan erat dengan prosespenyimpanan. Sathivel et al. (2003) menyatakan nilai FFA sangat berkaitan denganjumlah alkali yang akan digunakan pada proses pemurnian. Minyak yang memiliki persentase asam lemak bebas yang tinggi akan memilikiaroma dan rasa yang kurang baik (Sathivel et al. 2003). Parameter oksidasi primer dansekunder berhubungan erat dengan warna, bau, rasa dan pengotor lain dalam minyakikan (Suseno et al. 2012). Nilai persentase asam lemak bebas ditunjukkan pada Tabel 4.3.4.3 Bilangan Asam (AV) Nilai bilangan asam terendah pada suhu 40ºC dan 50°C, sedangkan nilai tertinggididapatkan pada suhu 80°C. Nilai bilangan asam berkaitan erat dengan jumlah KOHyang digunakan untuk menetralkan 1 g minyak. Bilangan asam sangat mempunyaihubungan dengan nilai asam lemak bebas (FFA). Bilangan asam didapatkan denganperkalian konstanta 1,99 dengan nilai asam lemak bebas (FFA). Meningkatnyaketengikan minyak adalah karena perubahan triasilgliserida (TAG) menjadi asam lemakbebas dan gliserol. Nilai bilangan asam ditunjukkan pada Tabel 4.148
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Tabel 4 Persentase asam lemak bebas (FFA) dan bilangan asam (AV) minyak hati cucutpisang (Charcharinus falciformis)Perlakuan Asam lemak bebas Bilangan asamsuhu (%FFA) (mg KOH/Kg)40°C 0,28±0,00a 0,56±0,00a50°C 0,28±0,00a 0,56±0,00a60°C 0,48±0,06b 0,96±0,12b70°C 0,67±0,00 c 1,34±0,01c80°C 0,70±0,00c 1,40±0,00cKeterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaannyata (p<0,05). Kualitas asam lemak bebas, kadar air, warna, nilai p-anisidin, dan nilai peroksidaminyak ikan sangat menentukan harga minyak ikan tersebut di pasaran (EuropeanComission 2006). Bilangan asam merupakan parameter yang penting untuk menentukankeberadaan nilai FFA dan komponen asam non-lemak lainnya. Bilangan asam sangattergantung pada komposisi minyak, metode ekstraksi, dan kesegaran bahan mentah(Aidos et al. 2002).IV. Kesimpulan Residu logam berat berada dalam ambang batas yang ditetapkan oleh IFOS. Profilasam lemak meliputi SFA sebesar 19,58% %, MUFA sebesar 19,26%, dan PUFAsebesar 41,58%. Perlakuan suhu 50°C merupakan perlakuan terbaik berdasarkan ujiparameter oksidasi. Perlakuan suhu 50°C menghasilkan nilai peroksida (PV) sebesar2,49±0,27 mEq/kg; nilai p-Anisidin (p-AV) sebesar 8,57±0,46 mEq/kg; nilai totaloksidasi (TOTOX) sebesar 13,57±1,01 mEq/kg; persentase asam lemak bebas (%FFA)sebesar 0,28±0,00% dan bilangan asam (AV) sebesar 0,56±0,00 mg KOH/kg.Daftar pustakaAbdillah, M. H. 2008. Pemurnian minyak dari limbah pengolahan ikan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.Aidos I., van-der-Padt A., Boom R. M & Luten J. B. 2002. Seasonal changes in crude and lipid composition of herring fillets, by-products and respective produced oils. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50: 4589-4599.[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Analytical Chemist, Inc.[AOCS] American Oil Chemists Society. 1998. Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. Champaign: AOCS Press.Bernardini E. 1983. Vegetable Oils an Fats Processing. Italy (IT): Intertamps House.Bimbo A. P. 1998. Guidelines for characterizing food-grade fish oil. Inform, 9: 473-483. 149
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572Bonfil R., Amorim A., Anderson C., Arauz R., Baum J., Clarke S. C., Graham R. T., Gonzalez M., Jolón M., Kyne P. M., Mancini P., Márquez F., Ruíz C. & Smith W. 2009. Carcharhinus falciformis. The IUCN Red List of Threatened Species.[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. SNI 7387:2009. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.Damongilala L. J. 2008. Kandungan asam lemak tak jenuh minyak hati ikan cucut botol (Centrophorus sp.) yang diekstraksi dengan cara pemanasan. Jurnal Ilmiah Sains. 2(8): 249-253.[EC] European Commission. 2006. Commission regulation (EC) No 1199/2006 amending regulation (EC) No 466/2001 setting maximum levels for certain contaminants in food stuffs as regards dioxins and dioxin-like PCBs. Off. J. EU, L32/34.Edward H. G. Jr. 1976. Fatty Acid Composition. Di dalam Stansby ME. Fish Oils, Their Chemistry, Technology, Stability, Nutritional, Properties, and Uses. Westport Connecticut (US): The AVI Publishing Company, Inc.Feryana I. W. K., Suseno S. H. & Nurjanah. 2014. Pemurnian minyak ikan makerel hasil samping penepungan dengan netralisasi alkali. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 17: 207-214.Hernandez E. & Rathbone S. 2002. Refining of glyseride oils by treatment with silicate solutions and filtration. US Patent 6: 448-453.Huli L. O., Suseno S. H. & Santoso J. 2014. Kualitas minyak ikan dari kulit ikan swangi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 17 (3): 233-242.[IFOS] International Fish Oils Standard. 2011. Fish Oil Purity Standards. http://www.omegavia.com/best-fish-oil-supplement-3/ [26 Maret 2016].Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.Kjerstad M., Fosse I. & Willemsem H. 2003. Utilization of deep–sea sharks at Hatton Bank in the North Atlantic. Journal of Northwest Atlantic Fisheries Science. (31): 333–338.Navarro G., Pacheco R., Vallejo B., Ramirez J. & Bolaños A. 2000. Lipid composition of the liver oil of shark species from the Caribbean and Gulf of California waters. Journal of Food Composition and Analysis. 13: 791-798.O’Brien R. D. 2009. Fats and oils: Formulating and processing for application, 3rd edition, London (UK): CRC press.Perrin J. L. 1996. Determination of Alteration. In: Karleskind A, Wolff JP. (Eds.) Oils and Fats, Manual vol. 2. France (FR): Lavoisier Publishing.Pratama R. I., Awaludin M. Y. & Ishmayan S. 2011. Komposisi asam lemak ikan tongkol, layur, dan tenggiri dari Pameungpeuk, Garut. Jurnal Akuatika. 2(2): 107-115.150
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Rochyatun E. & Rozak A. 2007. Pemantauan kadar logam berat dalam sedimen di perairan teluk Jakarta. Jurnal Makara, Sains. 11: 28-36.Sathivel S., Prinyawiwatkul W., King J. M., Grimm C. C. & Lloyd S. 2003. Oil production from catfish viscera. Journal of American Oil Chemistry Society. 80(4): 277–382.Setiono E. H. 2002. Pemurnian minyak kasar hati ikan cucut (crude shark liver oil) dengan metode netralisasi dan pemucatan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.Suseno S.H. & Saraswati. 2015. Teknologi Industri Minyak Ikan. Bogor (ID) : IPB Press.Suseno S.H., Syari C., Zakiyah E.R., Jacoeb A. M., Izaki A.Y., Saraswati & Hayati S. 2014. Low temperature extraction and quality of oil from spotted sardinella (Amblygaster srim) and goldstrip sardinella (Sardinella gibbosa). World Journal of Fish and Marine Sciences. 6(5): 435-440.Suseno S. H. 2014. Fatty acid profiles of tropical eel (Anguila sp.) by-products. Advance Journal of Food Science and Technology. 6(6): 802-806.Suseno S. H. 2015. Proximate, fatty acid, amino acid and mineral composition of tuna (Thunnus sp.) by-product from West Sumatra Povince, Indonesia. Pakistan Journal of Nutrition. 14(1): 62-66.Undjung D. 2005. Continous production of pure squalene by using column chomatography. Indo. J. Chem. 5(3): 251-254.Walpole & Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.Watson CA. 1994. Official and standardized methods of analysis (Third Ed.). Cambridge (UK): The Royal Society of Chemistry. 151
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572152
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 KONSEPTUALISASI PENGELOLAAN PERIKANAN LAUT SKALA KECIL BERBASIS LOKASI PKN (Peningkatan Kehidupan Nelayan) (Study Kasus: Wilayah Kecamatan PKN Kabupaten Nagan Raya) CONCEPTUALIZATION OF MARINE FISHERIES MANAGEMENT BASED ON SMALL SCALE PKN (Increased Fishermen Life) (Case Study: PKN Sub-District, Nagan Raya District) Farah Diana1, Muhammad Rizal2 1Jurusan Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2Jurusan Ilmu Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. Korespondensi: [email protected] ABSTRACT Capture fisheries are very important economic activity and have contributedgreatly to the total fishery production in general in the District Naganraya. Fisherysystem that occurs dominated by small-scale fisheries. Fishermen in Naganraya districthas a high dependence on fisheries resources as the main source of livelihood andalmost all coastal areas based fisheries activities. Small-scale fisheries businesses havean impact on the fishing fleet and fishing locations (fishing ground) resulting in range offishing operations is limited. The purpose of this research is 1). Analyzing small-scalecapture fisheries system in locations PKN Naganraya district, 2). Formulate analternative strategy in the management of small-scale fishing locations PKN Naganrayadistrict. Data to be collected in this study consisted of primary and secondary data.Primary data was collected intensively using semi-structured interviews (semi-structured interview) to small-scale fishermen, observation and documentation inselected locations. The results showed that the dominant type of fishing gear is trawlcatches beach and species that dominate the catch is Sardinella lemuru and Selar spp.Fish marketing patterns in locations peningkapan fishing activities (PKN) is not throughthe auction only through traders / large and are twelve strategic through internal andexternal environmental factors were dominant influence on the pattern of theconceptualization of small-scale fishery management in PKN location Nagan Raya.Keywords: Conceptualization, small-scale fishermen, PKNI Pendahuluan Kabupaten Naganraya merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dariKabupaten Aceh Barat yang sangat banyak memiliki potensi alam terutama hasil lauttermasuk sumberdaya ikan. Kabupaten ini berhadapan langsung dengan samuderaIndonesia yang berada di WPP (wilayah pengelolaan pengelolaan) RI 572. Perikanantangkap merupakan kegiatan ekonomi yang sangat penting dan memiliki kontribusibesar terhadap total produksi perikanan secara umum di Kabupaten Naganraya. Sistemperikanan yang terjadi didominasi oleh perikanan skala kecil. Nelayan di Kabupaten Naganraya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadapsumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama dan hampir seluruhkegiatan perikanan berbasis didaerah pantai. Usaha perikanan berskala kecil iniberdampak pada armada perikanan dan lokasi penangkapan ikan (fishing ground) 153
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572sehingga mengakibatkan jarak jangkau operasi penangkapan ikan terbatas. NelayanNaganraya umumnya menangkap ikan untuk memenuhi kehidupan sendiri (subsistenfisher) dan hanya sebagian nelayan yang menangkap ikan untuk tujuan komersial(commercial fisher) atau dipasarkan secara lokal (domestic) atau pasar ekspor (Export).Hal ini disebabkan sumberdaya manusia dan manejemen nelayan masih rendah,kurangnya mutu hasil tangkapan, masih sulitnya fasilitas kredit bagi nelayan yangdisebabkan minimnya kepercayaan lembaga keuangan kepada nelayan, sehingga polapengelolaan untuk pengembangan usaha belum terarah dengan baik. Kondisi pengelolan perikanan tangkap di Kabupaten Naganraya masih terdapatbeberapa tantangan antara lain; minimnya ketersediaan data dan informasi perikanan,baik yang berasal dari instansi-instansi pemerintah untuk pelaku usaha, kurangnyasarana dan prasarana untuk mendukung penerapan dan pendayagunaan teknologiperikanan, kemampuan (SDM) yang terkait dengan perikanan baik dari segikemampuan teknis maupun manajerial masih sangat rendah. Informasi dan pangsa pasarmasih relatif sulit karena di samping kondisi geografis yang terisolir, juga adanyahambatan transportasi untuk pendistribusian hasil tangkapan maupun produk perikananlainnya, tingkat kesejahteraan nelayan rendah, serta unit penangkapan yang digunakanmasih berskala kecil/tradisional. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah 1).Menganalisa sistem perikanan tangkap skala kecil di lokasi PKN Kabupaten Naganraya,2). Merumuskan strategi alternatif pengelolaan perikanan skala kecil di lokasi PKNKabupaten Naganraya.II Metode Penelitian2.1 Lokasi pengambilan sampel Pengambilan data di lokasi PKN Kabupaten Naganraya, pertimbanganpengambilan penelitian dilokasi ini adalah Kabupaten Naganraya merupakan salah satuwilayah yang termasuk dalam 3T dan PKN (peningkatan kehidupan nelayan) diKabupaten Naganraya Propinsi Aceh. Serta wilayah berbatasan langsung denganperairan Samudera Hindia dan merupakan bagian wilayah pengelolaan perikananRepublik Indonesia (WPP - RI) 572.2.2 Pengumpulan Data Metode penelitian yang dugunakan adalah metode penelitian deskriptif, sebagaiprinsip dasar dari metode penelitian yang bersifat holistis. Secara umum metodepenelitian yang digunakan adalah metode studi lapangan. Teknik penelitian lapanganyang sistematis meliputi wawancara pribadi, observasi, dan survei melalui kuesionerdan lebih mengarah pada penelitian yang bersifat kualitatif. Data yang akandikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primerdikumpulkan secara intensif dengan menggunakan wawancara semiterstruktur(semistructure interview) terhadap nelayan skala kecil, observasi dan dokumentasi dilokasi terpilih. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan maupun instansi yangterkait dengan penelitian ini.154
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.3 Analisis Data Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif yaitu denganmengelaborasi komponen-komponen dalam subsistem perikanan tangkap. Setelah itudigunakan analisis kualitatif. Analisis isi (content analysis) digunakan untuk mengkajiperaturan-peraturan yang terkait.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui komposisi jumlah,jenis dan ukuran (size) ikan yang tertangkap setiap unit penangkapan. Hasil olahannyadisajikan dalam bentuk grafik. Selanjutnyakomposisi jumlah hasil tangkapan di analisisdengan index of diversity. Odum et al. 1998 mengatakan bahwa keanekaragamanidentik dengan kestabilan suatu ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistemtinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil.a. Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies danmerupakan ciri khas struktur komunitas. Rumus yang digunakan untuk menghitungkeanekaragaman adalah rumus Shannon-Wiener(Maguran, 1988)sebagai berikut:Keterangan :H' : Indeks Diversitas Shannon-Wienerpi : Proporsi spesies yang tertangkapni : Jumlah individu spesies yang tertangkapN : Jumlah total spesies yang tertangkapS : Jumlah spesies dalam komunitasKriteria Indeks Keanekaragaman:H’>3 : keanekaragaman jenis tinggi1<H’<3 : keanekaragaman jenis sedangH’<1 : keanekaragaman jenis rendahb. Indeks DominansiMenurut Odum (1998) untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari spesies tertentudi perairan dapat digunakan indeks dominansiSimpson dengan persamaan sebagaiberikut :Keterangan :D : Indeks Dominasi Simpsonni : Jumlah individu spesies yang tertangkap jenis ke-i 155
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572N : Jumlah total spesies yang tertangkapKriteria nilai indeks Dominansi Simpson :E : 0, tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.E : 1, berarti terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis.2. Strategi kebijakan pengelolaan perikanan Perumusan kebijakan strategi pengelolaan perikanan skala kecil yang akandiambil, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT dengan mengidentifikasiberbagai faktor internal yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) denganfaktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman (Threats). Faktor-faktortersebut dibuat matrik Internal Factors Analysis Summary (IFAS) dan External FactorsAnalysis Summary (EFAS)III. Hasil dan Pembahasan Pemerintah pusat terus melakukan pemberdayaan kepada nelayan melaluibantuan untuk nelayan skala kecil, khusus nelayan di daerah PKN (Peningkatankehidupan nelayan) di Kecamatan Kuala Tadu yang berpusat di daerah PangkalanPendaratan Ikan Kuala Tadu Kabupaten Nagan raya. Berdasarkan hasil penelitian yang lakukan selama empat bulan di lokasi PKNdiperoleh hasil bahwa alat tangkapan yang dominan digunakan oleh para nelayansetempat adalah pukat pantai, pukat udang, gillnet, tremmel nett dan pancing ulur.Untuk lebih jelas tentang penggunaan alat tangkap dan jumlah hasil tangkapan dapatdilihat pada gambar berikut ini: Gambar 1 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Lokasi PKN Kabupaten Nagan Raya Berdasarkan hasil gambar diatas, dijelaskan bahwa jumlah hasil tangkapan yangdominan dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai dengn total hasil tangkapan267,178 ekor, pukat udang merupakan urutan yang kedua dengan total hasil tangkap156
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572sebanyak 41,775 ekor, dan ketiga adalah nelayan yang menggunakan gillnet sebanyak1,416 ekor, kemudian alat tangkap tremmel net dengan total tangkapan 1,103 ekor danpancing ulur yang terakhir dengan total tangkapan berjumlah 657 ekor. Hasil ini sangatterlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi dengan daerah PKN KabupatenNaganraya. Hasil tangkapan di lokasi PKN yang sangat beragam merupakan ciri bahwa ikanmasih banyak berada di fishing ground tersebut sehingga nelayan tidak jauh menangkapikan. Para nelayan di daerah ini yang dominan menggunakan alat tangkap denganjangkaun wilayah pesisir pantai sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak jenis ikanpelagis kecil yang berada di permukaan perairan, seperti ikan selar, tembang, layur danada beberapa jenis udang. Persentase jenis hasil tangkapan spesies dominan yangtertangkap di lokasi PKN sebaga berikut: Gambar 2. Hasil tangkapan spesies dominan di lokasi PKN Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa, jumlah jenis ikan yang dominantertangkap oleh nelayan adalah ikan selar 90%, ikan tembang 10%. Kedua jenis ikantersebut adalah ikan pelagis kecil yang berada di permukaan perairan yang bersifatbergerombolan atau scoling. Terdapat tiga jenis ikan pelagis kecil yang menjadi ikan dominan tertangkap didaerah perairan Naganraya, diantaranya ikan tembang, layang, dan selar. Keiga ikancontoh termasuk ikan bernilai ekonomis penting, dan ditangkap dengan alat tangkapjaring insang dan tremmel net pada pagi hingga siang hari. Ketiga jenis ikan contohtersebut berada dalam famili dan jenis yang berbeda. Masing-masing ikan contohmemiliki ciri fisiologis yang berbeda. Ikan tembang (Sardinella fimbriata), termasukkedalam famili Clupeidae. Ikan tembang bersifat omnivora cenderung herbivora denganmakanan utamanya adalah fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (Izzani 2012). Ikan pelagis umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakanplankton dengan jalan menyaring plankton yang masuk untuk memilih jenis planktonyang disukainya ditandai oleh adanya tapis insang yang banyak dan halus. Lain halnyadengan selar, yang termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan krustasea(Suyedi 2001). Pada siang hari ikan pelagis kecil berada di dasar perairan membentukgerombolan yang padat dan kompak (shoal), sedangkan pada malam hari naik ke 157
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119