Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore JURNAL PERIKANAN TROPIS VOL 2 NO 1

JURNAL PERIKANAN TROPIS VOL 2 NO 1

Published by Irwandi Aw, 2017-05-16 13:05:27

Description: JURNAL PERIKANAN TROPIS VOL 2 NO 1

Search

Read the Text Version

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 DEWAN REDAKSI JURNAL PERIKANAN TROPIS Penanggung Jawab Rektor Universitas Teuku Umar Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan PembinaKetua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Ketua Penyunting/Redaktur Afrizal Hendri, S.Pi., M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Sugeng Heri Suseno Prof. Dr. Sukendi Prof. Dr. Muchlisin ZA Penyunting Pelaksana/Editor Hafinuddin, S.Pi., M.Sc Arif Nasution, S.Pi., M.Si Sekretariat Nabila Ukhty, S.Pi., M.Si Perancang Sampul Irwandi, S.Sos. I Penerbit Universitas Teuku Umar Alamat Redaksi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku UmarJln. Kampus Alue Peunyareng, Kecamatan Meurebo, Meulaboh 23615, Aceh Barat, Indonesia CP: 085260089035, 081378081300, 085288323477, W: www.utu.ac.id, E: [email protected], [email protected] Perikanan Tropis terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober yangberisi artikel ilmiah hasil penelitian atau kajian bidang berkaitan dengan perikanan dalamartian luas (budidaya perairan, perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, manajemensumberdaya perairan, ilmu kelautan, sosial ekonomi perikanan), ilmu perairan, maupunmasalah-masalah lainnya yang relevan dengan masalah perikanan

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Daftar Isi1. Pengaruh Turbulensi Air Terhadap Waktu Pemulihan Holothuria edulis Dengan Skala Laboratorium Mohamad Gazali, I Wayan Eka Dharmawan............................................................. 12. Penggunaan Dosis Hormon Ovaprim Yang Berbeda Terhadap Ovulasi Induk Betina Ikan Serukan, Osteochilus sp, (Cyprinidae) Afrizal Hendri, Sufal Diansyah, Musfirah, Muhammad Hatta, Fitra Ariansyah ...... 103. Atraktor Cumi-Cumi, Sebagai Sarana Alternatif Pemberdayaan Nelayan Berkelanjutan Direugaih, Kabupaten Aceh Jaya Farah Diana, Muhammad Rizal ................................................................................ 174. Status Keberlanjutan Ekologi Pada Pengelolaan Hutan Mangrove Di Pesisir Aceh Barat Edwarsyah, Mohamad Gazali ................................................................................... 235. Perkembangan Larva Ikan Rainbow Kuromoi (Melanotaenia parva) Eri Safutra, Erni Kristina Pambayuningrum, Maheno Sri Widodo .......................... 326. Pertumbuhan Dan Reproduksi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) Yang Didaratkan Di PPN Palabuhan Ratu Muhammad Arif Nasution, Mohammad Mukhlis Kamal, Kiagus Abdul Azis ........ 447. Kombinasi Kadar Kalium Dan Salinitas Media Pada Performance Juvenil Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) Mahendra ................................................................................................................... 518. Teknologi Akuaponik Dengan Tanaman Yang Berbeda Terhadap Performa Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Prama Hartami, Nazarul Syahputra dan Erlangga .................................................... 729. Kapang Endofit Laut Dari Tumbuhan Pesisir Terong Pungo (Solanum sp.) Dan Potensinya Sebagai Antibakteri Nabila Ukhty ............................................................................................................. 9110. Manipulasi Tegangan Listrik Pada Salinitas Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Kerling (Tor tambroides) Farah Diana, Lisma Sari ............................................................................................ 103

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572PENGARUH TURBULENSI AIR TERHADAP WAKTU PEMULIHAN Holothuria edulis DENGAN SKALA LABORATORIUM Mohamad Gazali1, I Wayan Eka Dharmawan21 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2 Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta Korespondensi : [email protected] Abstract Holothuroidea as known as sea cucumber is member of the echinoderm which hadimportant economical value due to highly nutrition and protein compound hance the cultivationhas been the profitable bussiness in the following days. However, the transport mechanismbecame turbulent in the pole water and would affect the organism contain in the preliminarystudy was conducted to identify the adaptation behavior Holothuria edulis affected by theturbulence effect in laboratory scale. This mini research was aimed to assess tentacles anymoreand became default size. Turbulence stress was designed on various interval namely 1, 2, 4, 16and 32 minutes and each interval was repeated three times. The results analysed by ANOVAand Duncan post hoc test shown that there was able the variation and significant difference oneach recovery time due to various turbulent stress trigging. Analysis of regression also shownhigh correlation relatively between these two parameters (R=0.784 ; α = 0.95). in order topredict maximum time closely same and more than two hours represented that it had no longerlife or called lethal time. The maximum tolerant time of turbulence was predicted for 19,46hours by equation y = 6,04x +146.9 second. In conclucion, the longer of stress time conductedthe longer periods H. edulis need to recover to default size and to perform its metabolism.Keywords : adaptation; cultivation; H. edulis; turbulence; lethal time1. Pendahuluan Holothuria, dikenal sebagai “mentimun laut” merupakan organisme laut yang ditemukandi hampir setiap lingkungan laut di dunia. Secara ekologis, holothuria memainkan perananpenting karena aktivitas bioturbasi bentik mereka (Richmond et al, 1996 dalam Navarro et al,2012). Banyak kegiatan perikanan, bagaimanapun juga, over-eksploitasi stok hewanechinodermata sebagai hasil dari permintaan yang besar untuk tujuan makanan dan obat-obatan (beche-de-mer atau teripang di pasar Asia (Purcell, 2010 dalam Navaro et al, 2012). Teripang (holothuriodea) adalah salah satu kelompok fauna bentik dari filumEchinodermata, telah lama, ratusan tahun, dimanfaatkn sebagai sumber protein maupunmanfaat lain (Conand, 1990; Chen, 2003 dalam Darsono, 2006). Berbagai jenis teripang yangdiperoleh dari panen alam untuk diperdagangkan secara komersial. Kebutuhan akan produkteripang menyebabkan hewan ini mengalami tekanan eksploitasi yang semakin besar. Depletingresources teripang sudah diberitakan terjadi dimana-mana, dan pada tahun terakhir ini teripangtelah masuk dalam wacana CITES (Convention on International Trade of Endanger Speciesof Wild Fauna and Flora) (Bruckner et al., 2003 ; Conand, 2004 dalam Darsono, 2006). 1

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Kebutuhan akan produk teripang selama ini mengandalkan stok ketersediaan alami.Perburuan (eksploitasi) yang terjadi untuk mencukupi kebutuhan cenderung tidak sustainable,mengancam kelestariannya. Oleh karena itu, perlu usaha domestikasi untuk budidaya teripangsecara sistematis dilakukan terutama terhadap jenis-jenis komersial. Ketersediaan stok benihteripang terutama terhadap jenis-jenis komersial. Ketersediaan stok benih teripang merupakanlangkah awal yang harus diwujudkan. Pada umumnya teripang adalah pemakan endapan (deposit feeder). Kelompok biota iniseringkali dijumpai berada di perairan tenang, terlindung dan kaya akan akumulasi zat organik(Bakus, 1973 dalam Aziz, 1995). Teripang merupakan salah satu avertebrata dan merupakansalah satu hewan yang berkulit duri (Echinodermata). Duri-duri lunak atau papila pada teripangmembuat permukaan tubunhya kasar. Biasanya duri-duri tersebut tidak teratur atau dapatberupa tonjolan yang besar sebagai modifikasi papila atau yang disebut tuberkel (Pawson,2010). Teripang dapat ditemukan di hampir seluruh lautan di Indonesiia pada kedalamansampai dengan 10.000 m. Teripang umumnya menempati ekosistem terumbu karang dan dasargoba atau luar tubir dengan kedalaman 5 – 10 m. Untuk keperluan budidaya sebaiknyakedalaman air lokasi budidaya sebaiknya berkisar 0,5 – 1 m dihitung pada waktu surut terendah,sedangkan pada pasang tertinggi kedalaman perairan sebaiknya tidak lebih dari 2 m. Kajian tentang bioekologi teripang laut sangat penting untuk mengingat teripang lautmerupakan salah satu komoditas ekonomi penting. Kajian bioekologi dapat berguna dalampeningkatan stok dengan kegiatan budidaya teripang laut. Tujuan pengamatan ini adalah untukmengetahui bagaimana kondisi sebenarnya mungkin disebabkan oleh peristiwa alami di lautataupun mekanisme transportasi benihbiota untuk keperluan budidaya. Hipotesis mendugabahwa semakin lama stres diberikan, maka akan semakin lama waktu pemulihan(recovery time) yang disebabkan oleh proses adapatasi dari kondisi pergolakan ke perairan yanglebih tenang.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian tersebut dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2013 secara sederhana.Teripang hitam (Holothuria edulis) diperoleh dari Toko Ikan Hias di Jalan Sumenep, Menteng,Jakarta Pusat. Biota tersebut dipilih sebanyak dua individu H. edulis. Pengamatan tingkah laku(behaviour) biota tersebut dilakukan di akuarium Laboratorium Basah Ilmu KelautanDepartemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor. 2

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.2. Alat dan Bahan Akuarium dikondisikan agar sesuai dengan kondisi habitat teripang di alam. Persiapanpraktikum terdiri dari pembersihan akuarium., serta perencanaan sistem sirkulasi. Sistemsirkulasi dirancang sedemikian rupa dengan menggunakan filter dan aerator. Sistem sirkulasiakuarium diuji coba dengan mengoperasikannya selama kurang lebih 3 hari sampai airnyajernih.2.3. Persiapan Sampel H. edulis tersebut terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi suhu dan salinitas agar biotatersebut tidak mengalami stres kemudian dimasukkan ke dalam akuarium yang sudahterkondisikan dengan baik. Setelah beberapa hari dicatat deskripsinya dan disesuaikan denganliteratur yang ada.2.4. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan secara sederhana, dimana biota tersebut dimasukkan kedalam suatu wadah/media, kemudian diguncang-guncangkan secara konstan dalam intervalwaktu yang berbeda yaitu 1, 2, 4, 16, dan 32 menit dengan pengulangan masing-masing tiga(3) kali. Setelah diguncang-guncang secara konstan, kemudian biota tersebut dikembalikan kedasar akuarium untuk diamati waktu pemulihan H. edulis terhadap gangguan yang dialami.Waktu pemulihan merupakan waktu dimana individu mulai menunjukkan pergerakan yangnormal yang ditandai dengan pergerakan tentakel retraktif yang mulai aktif dalam mengambilmakanan ataupun bergerak serta kembalinya bentuk tubuh ke ukuran normal. Dicatat waktupemulihan tersebut untuk masing-masing perlakuan.2.5. Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap parameter waktu pemulihan dengan analisis univariatANOVA untuk mengetahui apakah ada perbedaan antar perlakuan. Apabila ada perbedaan,dilanjutkan dengan uji post hoc, yaitu uji duncan untuk mengetahui perbedaan yang nyata antarperlakuan. Untuk mengetahui hubungan waktu pemberian stres dengan waktu pemulihan sertadiprediksi kemungkinan yang terjadi pada pemberian stres yang lebih lama, maka dianalisisdengan regresi linier sehingga diperoleh persamaan dan koefisien hubungannya (R).Diinterpolasi waktu pemberian stres tertentu dengan asumsi ymax adalah 2 jam dan y > 2 jamdisebut sebagai lethal time atau biota mengalami kematian. 3

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55723. Hasil dan Pembahasan3.1. Deskripsi Spesies H. edulis merupakan spesies yang sangat terkenal dengan warna hitam yangmencolok. Badan teripang hitam berbentuk bulat panjang. Apabila diangkat dari permukaanair, badannya akan segera mengerut. Pada seluruh badannya terdapat bintil-bintil halus(Martoyo et al., 2000). Secara umum, H. edulis memiliki mulut yang dikelilingi 10 sampai 30buah tentakel retraktif, semacam kaki tabung pada echinodermata lain. Letak mulut menjadianterior dan anus menjadi posterior. Pada beberapa jenis dorsal ditandai dengan adanya 2daerah kaki tabung, berfungsi untuk pernapasan dan sebagai alat peraba, pada bagian ventralterdapat 3 daerah kaki tabung yang mengandung alat penghisap yang berfungsi sebagai alatgerak (Suwignyo et al., 2005). H. edulis apabila mengalami gangguan fisik dan kimia makabiota tersebut mengeluarkan benang lengket berwarna putih (tubulus cuvier) (Purwati danSyahailatua, 2008 dalam Wulandari et al., 2012). Peristiwa tersebut telah diamati di dalamakuarium pada saat ditarik dengan tangan dari saluran keluar (outlet) dimana spesies tersebutterperangkap di dalamnya maka spesies tersebut mengeluarkan benang lengket berwarna putihpada saat jatuh ke dasar akuarium.Gambar 1. Bagian anterior H. edulis dengan tentakel retraktil yang berbentuk perisai (kiri) ; kondisi normal H. edulis sebelum diberikan perlakuan (kanan). Permukaan tubuh H. edulis pada umumnya kasar, lunak dan licin. Permukaan tubuh tidakbersilia dan diselimuti oleh lapisan kapur yang tebal tipisnya tergantung umur. Di sepanjangmulut ke anus terdapat satu lapis otot melingkar dan lima lapis otot memanjang. Sesudahlapisan otot terdapat rongga tubuh yang berisi organ-organ tubuh seperti gonad dan usus (Storeret al., 1979 dalam Elitfitrida, 1994). 4

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Pengaruh turbulensi terhadap waktu pemulihan H. edulisTabel 1. Hasil pengamatan percobaan biota H. edulis dalam 5 perlakuan dengan 3 ulangan Perlakuan Rata-Rata Deskripsi Gambar pasca (menit) perlakuan (detik)* Badannya1 111.00 ± 15.87a mengkerut2 163.00 ± 12.00ab Badannya mengkerut, Bagian posterior menggembun g4 176.33 ± 72.47b Bagian posterior menggembun g16 308.00 ± 7.21c Bagian tubuh membulat besar32 308.33 ± 6.11c Ukuran tubuhnya normal (sudah melewati bentuk menit ke-16, bentuknya melingkar*uji beda nyata dengan uji duncan, huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antra perlakuan,sedangkan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan yang diberikan. 5

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572WAKTU PEMULIHAN (DETIK) 400 y = 6,0397x + 146,9 350 R² = 0,7845 300 250 5 10 15 20 25 30 35 200 PERLAKUAN TURBULENSI (MENIT) 150 100 50 0 0 Analisis regresi linier menunjukkan hubungan antara parameter x (lamanya waktuperlakuan stres turbulensi) dengan y (waktu pemulihan) yaitu y = 6,04x + 146.9 detik dengankoefisien regresi R = 0.78. Nilai R adalah angka yang cukup tinggi yang menunjukkan bahwapersamaan regresi yang telah dibangun cukup bisa dipercaya untuk digunakan untukmemprediksi nilai y pada saat waktu x tertentu. Jika misalnya respon pemulihan (y) yang lebihdari 2 jam dianggap merupakan batas kematian individu (ymax = 7.200 detik) maka dapatdiprediksi berapa lama maksimal turbulensi yang diberikan (x) dengan perhitungan sebagaiberikut :ymax = 6,04x + 146.9x = (7200 – 146.9)6.04x = 7053.1/6.04x = 1.167,77 menit = 19,46 jam Jadi waktu turbulensi maksimal yang mampu ditoleransi oleh H. edulis sebelummemasuki kematian adalah selama 19,46 jam dengan asumsi ymax 7.200 detik atau 2 jam.Kemudian dibuat suatu kurva dengan rentang waktu 1 – 24 jam pemberian stres turbulensi (x). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh adanya variasi perilaku stres dan waktupemulihan pada H. edulis dengan perlakuan stres berupa turbulensi. Pengaruh interval waktuturbulensi 2 menit menimbulkan waktu pemulihan stres 163.00 ± 12.00ab detik dimana tidakberbeda secara signifikan dengan perlakuan 1 menit dengan waktu pemulihan 111.00 ± 15.87adetik. Namun, perbedaan signifikan mulai dijumpai pada perlakuan waktu 4 menit turbulensiair dengan waktu pemulihan sebesar 176.33 ± 72.47b detik. Perlakuan turbulensi air selama 16 6

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dan 32 menit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan waktu pemulihan masing-masing sebesar 308.00 ± 7.21c detik dan 308.33 ± 6.11c detik. Adaptasi morfologi H. edulis menunjukkan perilaku yang berbeda-beda pada setiapperlakuan. Pada waktu turbulensi 1 menit, cenderung tubunhya menyusut atau lebih kecil dariukuran normal sedangkan pada selang 2 dan 4 menit menunjukkan bagian posterior yangsemakin membesar dan akhirnya membulat pada interval turbulensi 16 menit. Perlakuanturbulensi air selama 32 menit menunjukkan ukurannya yang sama dengan sebelumnya padawaktu normal namun dalam selang waktu tersebut pada pertengahan meniit ke- 16 jugamengalami bentuk bulat dan akhirnya normal namun diam melingkar rapat di dasar akuarium. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin lama stres yang diberikan maka semakinlama pula waktu pemulihan (recovery) yang dibutuhkan untuk kembali ke bentuk dan ukurannormalnya. Penelitian atau observasi mengenai pengaruh turbulensi terhadap waktu pemulihanmasih belum ditemukan. Akan tetapi, ada beberapa literatur yang menjelaskan mengenaipengaruh arus ataupun gelombang yang memiliki dampak negatif terhadap biota. Selain itu,tidak layak dijadikan sebagai lokasi budidaya teripang. Martoyo et al., (2000) menyatakanbahwa lokasi budidaya harus terlindung dari arus, gelombang, maupun angin kencang (badai).Lokasi yang terlindung dari pengaruh seperti ini biasanya ditemukan di perairan teluk, lagunaatau periran terbuka yang terlindung dari gugusan pulau atau karang pernghalang. Analisisregresi menunjukkan bahwa hubungan antara waktu pemberian stres dengan waktu pemulihanindividu sangat erat (R=0.78) dengan persamaan y = 6,04x + 1469 detik. Asumsi ymax sebesar2 jam dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan fisiologis, makanan dan aktivitaslainnya seperti pergerakkan tentakel. Organisme deposit/ suspensi feeder seperti H. edulismembutuhkan makanan yang cukup untuk menjaga metabolisme tubuhnya sehingga jukabelum menunjukkan respon pemulihan/pergerakan selama 2 jam maka sangat besarkemungkinan spesies tersebut mengalami kematian akibat stres yang dialaminya. Pada saat y =2 jam maka batas toleransi maksimal nilai x H. edulis adalah 19,46 jam. Turbulensi massa airyang selama ini sangat jarang terjadi secara alami, namun untuk kebutuhan budidaya, hasilpenelitian ini harus sedikit mendapatkan perhatian. Pengambilan biota dengan jarak perjalananyang cukup jauh dan belum dimungkinkan teraklimatisasi dalam akuarium atau wadah buatanyang baik, dalam waktu transportasi selama sekitar 20 jam akan menyebabkan kematian H.edulis. Selain pengaruh turbulensi air, pengaruh respon cahaya sangat mempengaruhi stresteripang laut. Menurut Hegner dan Engeman (1968) mengemukakan bahwa teripang sangat 7

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572peka terhadap persentuhan dan pengurangan cahaya sehingga mengerutkan tubuhnya. Biasanyateripang akan muncul di permukaan dasar perairan di malam hari untuk mencari makansedangkan siang harinya teripang laut mempunya kebiasaan membenamkan diri di dasar pasirsebagai substratnya. Selain itu, pengaruh stres turbulensi air juga dapat berasal dari proses pengangkutanindukan atau benih teripang laut dari hatchery ke lokasi budidaya yang mempengaruhi stresbiota tersebut berupa turbulensi air apalagi jarak yang cukup jauh. Transportasi untuk keperluanbudidaya baik benih maupun indukan akan menyebabkan turbulensi air yang dapatmempengaruhi perilaku adaptasi H. edulis. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak begitusignifikan jika proses pengangkutan benih ataupun indukan dilakukan secara prosedural tentuakan meminimalisir tingkat mortalitas benih/indukan. Hal yang terpenting menurutMartoyo et al., (2000) yang harus diperhatikan dalam transportasi benih/indukan adalah dijagajangan sampai kenaikan suhu air pada wadah pengangkutan. Pada suhu yang terlalu tinggi,teripang akan mengalami stres dengan gejala keluarnya kotoran berbentuk bolus-bolus kecilsecara terus-menerus. Dalam keadaan ini, kualitas air dalam wadah pengangkutan akan rusak.Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam wadah pengangkutan juga akan menyebabkankekakuan pada benih/indukan teripang. Hal itu terjadi karena terganggunya sistemwater vascular dan akhirnya seluruh sistem pencernaan akan keluar sehingga menyebabkankematian.4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Turbulensi air laut berpengaruh nyata terhadap perilaku stres dari H. edulis dimanainterval waktu turbulensi yang semakin lama akan mengakibatkan waktu pemulihan semakinlama. Pada asumsi waktu pemulihan maksimal adalah 2 jam, maka toleransi waktu turbulensimaksimal oleh H. edulis adalah 19,46 jam atau sekitar 20 jam dimana jika lebih dari waktutersebut maka akan mengalami kematian.4.2. Saran Mengingat pengamatan yang bersifat mini-riset yang sangat sederhana dalam metode danalat, maka perlu dilakukan kajian kembali dengan metode dan peralatan yang lebih baik di alammaupun dalam mekanisme pengangkutan untuk keperluan budidaya teripang laut sehinggadapat lebih diterima kebenarannya. 8

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Daftar PustakaAziz A. 1995. Beberapa catatan tentang teripang bangsa Aspidochirotida. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.Darsono P. 2006. Upaya Budidaya Teripang (Holothuroidea, Echinodermata); Perbenihan teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger ). Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.Elitfitrida. 1994. Bio-ekologi teripang (Holothuria) di Perairan Pulau Persumpahan Provinsi Sumbar. Tesis Program pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.Hegner R W. and J G Engenmann. 1968. Invertebrates Zoology. 2nd edition. McMilan Publishing co. Inc. New York.Martoyo J W, Aji N dan T Winanto. 2007. Budidaya Teripang . Seri Agribisnis Peneabr Swadaya. Jakarta.Navarro PG, S G Sanz adn Tuya F. 2012. Reproductive biology of the sea cucumber Holothuria sanctori (Echinodermata : Holothuroidea). Instituto Canario de Ciencias Marinas, Ctra. Taliarte s/n, Telde, Las Palmas, Spain.Pawson D L. 1996. Ecology of Holothurian in Physiology of Echinodermata Boolootia. R.A (Eds). Interscience Publisher. New York.Suwignyo S. Widigdo B, Wardiatno Y dan Krisanti M. 2005. Avertebrata Air. Jilid 2. Penebar Swadaya. Jakarta.Wulandari I, Krisanti M. dan Elfidasari D. 2012. Keragaman teripang asal Pulau Pramuka. Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. Universitas Negeri Semarang. 9

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572PENGGUNAAN DOSIS HORMON OVAPRIM YANG BERBEDA TERHADAP OVULASI INDUK BETINA IKAN SERUKAN, Osteochilus sp, (Cyprinidae) Afrizal Hendri1, Sufal Diansyah1, Musfirah1, Muhammad Hatta1, Fitra Ariansyah11 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latensi dan ovulasi ikan serukan setelahdisuntik dengan dosis yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hinggabulan Maret 2015. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap(RAL), terdiri dari 3 perlakuan 1 kontrol dengan masing-masing 3 kali ulangan. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruhterhadap latensi dan ovulasi ikan serukan (F hitung > F tabel). Perlakuan yang baik terdapatpada P3 (0,5 mL/kg) dengan rata-rata ovulasi 100 % dan latensi 33 jam.Kata kunci : Ovaprim, Ikan Serukan, Ovulasi, Latensi1. Pendahuluan Ikan Serukan (Osteochilus sp) merupakan salah satu ika yang air tawar yang terdapat diAceh Barat (Aceh). Ikan ini adalah salah satu spesies liar dari family cyprinidae, hingga saatini ikan serukan masih ditangkap di alam (sungai), dan belum masuk ke lingkungan budidaya.Ketersediaan benih sebagai unsur yang mutlak dalam budidaya. Usaha budidaya tidak cukupbila hanya mengandalkan benih secara alami karena bersifat musiman seperti halnya ikanserukan yang ditemukan hanya pada awal musim hujan. Penyediaan benih tidak hanya dalamjumlah yang cukup dan terus-menerus, tetapi diperlukan mutu yang baik serta tepat sasaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi diberbagai bidang ilmu termasuk bidangperikanan. Budidaya ikan sedang mengarah ke berbagai budidaya intensif. Intensifikasi dibidang perikanan menuntut adanya ketersediaan benih dalam jumlah dan mutu yang memadaisecara kontinyu. Kontiniuitas ketersediaan benih tersebut membutuhkan kegiatan pembenihanyang intensif pula. Pembenihan yang intensif membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan danteknologi. Pemijahan dapat dilakukan dengan cara alami, semi alami atau buatan. Pemijahanalami dimaksudkan pemijahan yang dilakukan secara alami antara jantan dan betina di dalammedia pemijahan. Sedangkan pemijahan buatan dilakukan di luar media pemijahan, biasanyadilakukan dengan bantuan manusia atau dengan stripping (pemijahan). Saat ini, telah dijualdipasaran hormon gonadotropin yang dibuat dari ekstrak kelenjar hipofisa ikan salmon dengannama dagang ovaprim produksi Syndel Co, Vancoaver, Canada. Adanya keberhasilanpenemuan ekstrak hormon tersebut dapat memacu terjadinya peningkatan proses pemijahan. 10

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572sehingga dalam usaha kegiatan pemijahan ikan akan memberikan kepastian waktu dalam usahameningkatkan produksi benih ikan. Ovaprim telah terbukti sukses dalam merangsang pemijahan ikan dari family cyprinidae(mas, tawes, koi, mas koki). Ovaprim merupakan analog gonadotropin releasing hormone(GnRH) ikan salmon (sGnRHa; D-Arg6-Pro9-NEt) yang konsentrasinya terdiri atas 20 µg mL-1 dan dan 10 mg mL-1 antagonist dopamine (Hill et al 2009). Aktifitas ovaprim adalahmenstimulasi dan aktivasi GnRH didalam tubuh dan atau menghambat transportasigonadotropin. Untuk ikan liar dari sungai, tentunya belum terbiasa dengan rangsangan ovaprimdalam proses pemijahannya, karena itu sukses tidaknya ikan dalam pemijahan turut dipengaruhioleh jenis/spesies, dosis yang digunakan, kondisi lingkungan, tingkat kematangan kelamin. Ikan serukan adalah salah satu spesies yang belum dilakukan upaya pembenihan, karenaitu perlunya dicobakan penyuntikan ovaprim dengan dosis yang berbeda untuk melihat dayarangsang atau ovulasi.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Maret 2015 bertempat dihatchery Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar, Meulaboh(Percobaan I) dan di UPR Meunasah Krueng (Percobaan II).2.2. Alat dan Bahan PenelitianTabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Alat Kegunaan1 Syringe/spuit, 1 mL untuk menyuntik ikan percobaan2 Kain lap untuk menutup kepala ikan serukan3 Jam untuk mengamati waktu terjadinya ovulasi4 Instalasi aerasi untuk supplai oksigen ke wadah percobaan5 Skop net untuk memindahkan/menangkap ikan6 Alat Tulis mencatat semua data yang diperoleh selama7 Kamera untuk mendokumentasikan rangkaian penelitian8 Timbangan digital, 0.01 g untuk menimbang bobot ikan ujiTabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Bahan Kegunaan1 Ikan Serukan, 50 g sebagai ikan uji, didapat dari pante ceureumen2 Hormon ovaprim, Syndel untuk merangsang ovulasi ikan serukanLaboratories Ltd Canada,kemasan 10 mL3 Pakan buatan/pellet untuk pakan selama pemeliharaan 11

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.3. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, dengan rancangan percobaan yang digunakan adalahrancangan acak lengkap, yang terdiri dari 3 perlakuan + 1 kontrol dan masing-masing diulang 3kali. Induk yang sudah siap atau matang kelamin, selanjutnya akan dilakukan penyuntikansesuai dengan dosis perlakuan yaitu : K = Kontrol (Tanpa perlakuan, injeksi NaCl) P1 = Dosis 0,3 mL/kg P2 = Dosis 0,4 mL/kg P3 = Dosis 0,5 mL/kg2.4. Prosedur Penelitian1) Seleksi Induk Seleksi induk adalah kegiatan yang bertujuan untuk memilih induk yang siap untukdisuntik. Ikan yang sehat menjadi syarat utama agar dapat dipijahkan, artinya ikan harus bebasdari penyakit dan tidak cacat. Cara menentukan induk ikan dapat dipijahkan adalah denganmelihat ciri pada tubuh, tanda induk betina ikan serukan yang matang gonad adalah perutgendut, gerakan lamban dan lubang kelamin agak mengembang berwarna kemerahan.Sedangkan tanda induk jantan ikan serukan dan ikan mas yang sudah matang gonad adalahgerakan lincah, dan bercahaya, lubang kelamin membengkak berwarna kemerahan, dan alatkelamin mengeluarkan cairan putih pekat (sperma) ketika dilakukan pemijatan dari sirip ventral(sirip perut) menuju genital ikan. Penentuan calon indukan dilakukan seleksi berulang-ulangsehingga didapatkan induk yang benar-benar prima.2) Penyuntikan Ikan Serukan Penyuntikan hormon dilakukan dengan teknik dua kali secara intramuscular yaitupenyuntikan pada bagian otot punggung ikan serukan. Selang waktu antara penyuntikan denganovulasi adalah 12-20 jam, untuk itu pada selang waktu tersebut perlu dilakukan pemeriksaanuntuk memastikan apakah terjadi ovulasi atau tidak pada indukan yang dipijahkan. Induk ikanserukan yang ovulasi akan mengeluarkan telur, secara alami dan terlihat pada akuarium teluryang telah dikeluarkan.2.5. Pengamatan1) Waktu terjadinya ovulasi (jam) dilakukan pengamatan telur waktu terjadinya ovulasipertama kali sampai dengan selesai.2) Ovulation rate (OR) Ovulation rate (%) = Total ikan yang ovulasi x100 Total ikan yang diinjeksi 12

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.6. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan gambar dan data yang di perolehselanjutnya dianalisis secara ragam dengan menggunakan analysis Of Varience (ANOVA ).Jika terdapat perbedaan yang nyata akan dilakukan uji lanjut BNT.3. Hasil dan Pembahasan1. Latensi PemijahanHasil penelitian tentang penggunaan hormon ovaprim terhadap ovulasi ikan serukandidapatkan hasil sebagai berikut :Tabel 3. Waktu ovulasi (jam).Perlakuan Ulang Dosis Perlakuan Dosis Injeksi (mL/kg) Waktu Waktu Ovulasi (Jam) an (mL/kg) Penyuntikan 0,015 No Ovulasi 1 0,3 0,015 18.00 No Ovulasi 0,015 18.00 No OvulasiP1 2 0,3 0,02 18.00 No Ovulasi 0,02 18.00 04.19 (34 jam) 3 0,3 0,02 18.00 No Ovulasi 0,025 18.00 03.00 (33 jam) 1 0,4 0,025 18.00 06.12 (36 jam) 0,025 18.00 04.45 (34 jam)P2 2 0,4 0,025 18.00 No Ovulasi 0,025 18.00 No Ovulasi 3 0,4 0,025 18.00 No Ovulasi 18.00 1 0,5P3 2 0,5 3 0,5 1 0,5 (NaCl)K 2 0,5 (NaCl) 3 0,5 (NaCl)Hasil penelitian memperlihatkan bahwa (Tabel 3) waktu ovulasi tercepat terdapat padaperlakuan (P3) 0,5 mL/kg dalam waktu 33 jam, setelah penyuntikan kedua. Sedangkan padaperlakuan yang lain terlihat ikan uji tidak berhasil ovulasi.Ini menunjukkan bahwa penyuntikan dosis ovaprim pada ikan memerlukan dosen yangtepat guna merangsang aktivitas reproduksinya. Sedangkan jika dosis yang diberikan rendahmaka kandungan gonadotropin dalam tubuh belum cukup untuk merangsang terjadinya ovulasi,dan tidak adanya rangsangan hormonal dari luar yang dapat meningkatkan kandungangonadotropin dalam tubuh ikan (Fujaya, 2004). Maifitri (2004) melaporkan bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 dan 0,7mL/kg bobot tubuh terhadap ikan selais (Cryptopterus limpok) pada kisaran suhu 24 – 27°C diperoleh waktu laten 8,5 dan 9,5 jam, namun tidak terjadi ovulasi pada perlakuankontrol. Penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg bobot tubuh terhadap ikan kapiek(Puntius schwanepeldi) menghasilkan pertambahan diameter sebesar 0,33 mm sedangkanpenyuntikan ovaprim dengan dosis 0,7 mL/kg bobot tubuh terhadap ikan baung (Mystu 13

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572nemurus) menghasilkan pertambahan diameter sebesar 0,5 mm (Amniati, 1999; Lidya, 1996dalam Maifitri, 2004). Pertambahan diameter tersebut lebih besar jika dibandingkan denganhasil yang diperoleh dari penelitian ini, dimana penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 dan0,7 mL/kg bobot tubuh terhadap ikan tambakan (H. temmincki C.V ) menghasilkanpertambahan diameter sebesar 0,30 dan 0,38 mm. Dengan demikian diketahui bahwa jumlahdosis ovaprim yang sama jika diberikan pada spesies ikan berbeda memiliki kemampuanberbeda pula dalam menghasilkan pertambahan diameter telur dan waktu ovulasi. Nandeesha et al. (1990) melaporkan bahwa dosis ovaprim 0,5 mL/kg/bb dapatmenyebabkan ovulasi pada ikan catla (Catla catla), rohu (Labeo rohita) dan mrigal (Cirrhinusmrigala) dengan sekali suntik secara intra muskuler. Pada ikan mrigal (Cirrhinus mrigala)dosis terendah yang dapat direspon adalah 0,3 mL/kg/bb, sedangkan pada ikan rohu (Labeorohita) dosis minimum yang dapat direspon adalah 0,4 mL/kg/bb. Pemberian ovaprim dosis0,2 mL/kg/bb tidak memberikan pengaruh ovulasi pada ketiga spesies tersebut. Peter et al.(1988) melaporkan sGnRHa mempunyai potensi 17 kali lebih kuat dibandingkan LHRHa yangdikombinasikan dengan dosis rendah pimozid (anti dopamin). Syndel (1999) melaporkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) yang disuntik ovaprimsekali dengan dosis 0,5 mL/kg/bb berat tubuh didapatkan waktu latensi antara 14 – 16jam. Sementara Nandeesha et al. (1990) melaporkan pada ikan indian major carp, catla (Catlacatla), rohu (Labeo rohita) dan mrigal (Cirrhinus mrigala) yang disuntik ovaprim sekalidengan dosis 0,3 mL/kg/bb sampai 0,5 mL/kg/bb didapatkan waktu latensi yang bervariasiantara 10 – 14 jam.2. Ovulasi (Ovulation Rate, OR)Data ovulasi ikan serukan pada tiap perlakuan ikan serukan dapat dilihat dibawah ini.Tabel 4. Ovulation Rate ikan serukan ( % )Parameter Ulangan P1 P2 P3 KontrolOR (%) 10 0 100 0 2 0 33,3 100 0 30 0 100 0Rata-rata 0 11,1 100 0Keterangan : 0 = tidak berhasil ovulasi Tabel 4 memperlihatkan adanya perbedaan OR pada ikan serukan, dengan nilai tertinggiterdapat pada perlakuan P3 yaitu rata-rata 100% (hampir semua ikan uji sukses ovulasi),sedangkan pada perlakuan yang lain tidak terjadi OR. Ini berarti bahwa perlakuan dengan dosisovaprim yang berbeda memberikan pengaruh terhadap ovulasi ikan serukan (Fhit>Ftab). 14

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Umumnya untuk merangsang ovulasi pada ikan budidaya dilakukan dengan pendekatanpenyuntikan ovaprim yang mengandung GnRH dan antidopamin sehingga merangsang kelenjerhipofisa untuk mensekresikan GtH dan menghambat sekresi dopamin yang dapat menghentikansekresi GtH. Dengan dikeluarkannya GtH oleh kelenjer hipofisa, maka Gth dalam hal ini GtHII akan merangsang lapisan teka untuk mensekresikan hormon 17α-hidroksiprogesteron yangkemudian akan diubah menjadi maturacing inducing steroid (MIS) oleh enzim 20β-dihidroksisteroid dehirogenase yang akan merangsang proses peleburan inti telur dan pecahnya lapisanpolikel sehingga telur keluar menuju rongga ovari. Mylonas et al. (1992) menyatakan bahwa pada ikan brow trout, treatment GnRHa akanmenyebabkan adanya ketidaksinkronan antara kematangan meiotik telur dengan proses ovulasisehingga telur yang belum matang ikut diovulasikan dan hal ini akan mengurangi derajatpembuahan. Beberapa peneliti melaporkan penggunaan dosis ovaprim 0,5 mL/kg diantaranya,Kahkesh et al (2010) melaporkan bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg padaikan Barbus sharpeyi (Cyprinidae) didapatkan latency periode 25 jam, dan OR 37,5 %, Gharaeiet al (2011) melaporkan bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,3 mL/kg /bb mendapatkanlatency periode 36 jam, dan OR 83 %, Azuadi et al (2013) melaporkan bahwa penggunaanovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg pada ikan Tor tambroides didapatkan OR 42 %. Hasil penelitiini dapat disimpulkan bahwa penggunaan dosis 0,5 mL/kg untuk ikan family cyprinidae sangatbaik dalam merepon OR.4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan 1. Hormon ovaprim dapat mempengarui latensi pemijahan dan ovulasi ikan serukan (Osteochilus sp). 2. Dosis ovaprim yang terbaik dalam penelitian ini adalah 0,5mL/kg berat badan ikan dengan menghasilkan latensi pemijahan tercepat 33 jam.4.2. Saran Perlunya percobaan lanjutan terhadap latensi dan ovulasi ikan serukan dengan dosis yanglebih tinggi.Daftar PustakaAzuadi N M, Siraj S S, Duad S K, Christianus S , Harmin S A, Sungan S dan Britin. 2013. Induction of ovulation in F, Malaysian Mahseer, Tor tambroides (Blekeer 1894) by Using Shinthetic and non-Shinthetic Hormones, Asian journal of animal and veterinary advances. 15

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan, Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.Gharaei A, Rahdari A dan Ghaffari M. 2011. Induced Spawning of Schizothorax zarudnyi (Cyprinidae) by Using Synthetic Hormones (Ovaprim and HCG), Journal of Fish and Marine Sciences 3 (6).Kahkesh F B, Feshalami M Y, Amiri F dan Nickpey M. 2010. Effect of Ovaprim, Ovatide,HCG, LHRH-A2,LHRHA2+CPE and Carp Pituitary in Benni (Barbus shaarpeyi) Antificial Breeding. Journal Global Veterinaria 5 (4).Mylonas C. C, J. M. Hinshaw and C V Sullivan. 1992. GnRHa-induced ovulation of brown trout (Salmo trutta) and its effects on egg quality. J. Aquaculture, 106: 379-392.Maifitri R. 2004. Pengaruh Penyuntikan Ovaprim dengan Dosis yang Berbeda terhadap Ovulasi dan Penetasan Telur Ikan Selais Danau (Cryptopterus limpok). Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru. 60 hal (tidak diterbitkan).Nandeesha M C, Das S K, Nathaniel D E dan Varghese T J. 1990. Induced Spawning of Indian Mayor Carps Troght Single Application of Ovaprim, In : Hirano, R and I. Hanyu (Eds), The Second Asian Fisheries Forum, Asian Fisheries Sosiaty, Manila. Philipines. P 581-586.Peter R E, Lin H R. and Van Fer Kraak G. 1988. Induced Ovulation and Spawning of Cultured Freshwater Fish in China : Advances in Application of GnRH analogues and Dopamine Antagonist. J. Aquaculture, 74 : 1 –10.Syndel. 1999. Using Ovaprim To Induced Spawning in Cultured Fish. Syndel Laboratories Ltd. Canada. 3 pp. 16

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572ATRAKTOR CUMI-CUMI, SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PEMBERDAYAAN NELAYAN BERKELANJUTAN DIREUGAIH, KABUPATEN ACEH JAYA Farah Diana1, Muhammad Rizal1 1Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstrak Upaya untuk mempertahankan daya dukung pada kondisi lingkungan kawasan rigaihtetap terjaga dengan baik, dengan itu diperlukan suatu konsep pengembangan yang tepat gunadalam pemanfaatan sumberdaya yang ada supaya tidak merusak lingkungan, kelestariansumberdaya serta pemanfaatannya berkelanjutan. Atraktor cumi-cumi merupakan salah satusarana yang dapat dikembangkan guna meningkatkan daya dukung sumberdaya dan sekaligusdapat mendukung dalam kelestarian dalam pengembangan kawasan pantai secara terpadu dankeberlanjutan. Tujuan yang diharapakan dalam IbM ini adalah: a) Dapat menjaga kelestarianekosistem lingkungan melalui pengembangan cumi-cumi dari telur, larva serta juvenil sampaidewasa, b) Menjadikan atraktor cumi-cumi yang efektif dan efisien sebagai sarana alternatifpemberdayaan nelayan Rigaih secara terpadu dan berkelanjutan. Metode pelaksanaan kegiatanIbM Atraktor cumicumi sebagai alternatif pemberdayaan nelayan secara terpadu danberkelanjutan, dipilih Kawasan Rigaih sebagai lokasi IbM karena daerah ini merupakan salahsatu kawasan masih alami, sangat banyak pulau-pulau kecil, cukup aman dari arus dangelombang yang kuat ketika pada musim barat tiba. Metode pelaksanaannya sebagai berikut; a) Atraktor cumi-cumi ini dibuat dengan kontruksi yang sangat sederhana, yaitu berbentukseperti bunga dengan diameter 100 cm dan tinggi 30 cm. Dibuat dari bahan kawat plastik yangdilengkapi dengan untaian tali tambang dan pada bagian atasnya ditutupi dengan lembaranplastik hitam. Untaian tali-tali tambang yang dipasang pada bagian dalam atraktor ini berfungsisebagai tempat cumi-cumi menempelkan telurnya.Lokasi pemilihan pemasangan atraktor iniditentukan bersama Panglima Laot Rigaih dan nelayan setempat dengan pemasangan di dalamperairan dilakukan secara sistem rangkaian yang panjang, dimana satu lokasi dapat terdiri darisepuluh atraktor dengan jarak antar atraktor 15 m. b) Pengamantan telur cumi-cumi padaatraktor bersama Panglima Laot dan Nelayan, setelah pemasangan atraktor di perairan. Dipilihteluk rigaih sebagai kawasan tempat program ibM dikarenakan kawasan kabupaten Aceh Jayasangat terkenal dengan ikan asin, cumi asin dan gurita asin. ini sangat cocok dan bagus untukkawasan pemberdayaan kelestarian cumi-cumi yang tepatguna dan terpadu serta berkelanjutan.Sehingga dapat meningkatkan perekonomian nelayan teluk Rigaih kedepan.Kata kunci : Atraktor, keberlanjutan, cumi-cumi, pemberdayaan1. Pendahuluan Provinsi Aceh merupakan provinsi yang berada paling barat wilayah Indonesia yangmemiliki 18 Kabupaten Pesisir yang langsung berbatasan dengan selat malaka dan samuderaIndonesia. Kawasan Aceh yang terbagi dalam beberapa wilayah salah satunya adalah kawasanbarat selatan yang terdiri 8 kabupaten, diantaranya Kabupaten Aceh Jaya yang baru dimekarkan8 tahun lalu. Kabupaten Aceh Jaya yang terdiri dari sekitar 16 pulau yang sangat strategis dan yangkaya akan ekosistemnya dengan memiliki panjang garis pantai sekitar 200 km serta mata 17

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572pencaharian masyarakatnya 75% adalah nelayan. Berdasarkan kondisi tersebut yang memilikikekayaan sumber daya alam ( hayati dan non hayati) yang sangat potensial untuk pembangunankesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan karena di Kabupaten Aceh Jaya pasca tsunamiterdapat ekosistem yang tergolong khas dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sepertiLobster, ikan dan mulossca ( cumi-cumi). Cumi-cumi merupakan salah satu sumberdaya hayati laut bernilai ekonomis tinggimemiliki daging yang gurih dan lezat serta dapat ditangkap dengan jumlah sangat banyakmelalui jaring bahan apung. Hal ini merupakan kebiasaan nelayan Rigaih Kabupaten Aceh Jaya.Cumi-cumi yang di asinkan oleh nelayan di Desa Rigaih sudah sangat terkenal dikalanganmasyarakat aceh terutama wilayah barat selatan yang dijadikan oleh-olehnya. Oleh sebab itu,peluang yang ada ini haruslah dimanfaatkan dengan sebaiknya, terutama dalam pemanfataandaerah pantai dalam pengembangan usaha cumi-cumi.Dengan adanya mangrove, lamun danterumbu karang, sisa tsunami tahun 2004 yang lalu dan keragaman sumberdaya hayati perairanlainnya di kawasan yang dapat memberikan nilai kekhasan atau keindahan, maka dapat jugamemberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomis untuk kegiatan parawisata. Tetapiupaya memajukan pertumbuhan ekonomi, sering kali kurang memperdulikan kelestariansumberdaya alam yang sangat memiliki peran penting dalam menunjang keberlanjutankomponen-komponen ekosistem.Dalam upaya mempertahankan daya dukung kondisilingkungan kawasan rigaih tetap terjaga dengan baik, diperlukan suatu konsep pengembanganyang tepat guna dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada tidak merusak lingkungan,kelestarian sumberdaya serta pemanfaatannya berkelanjutan. Atraktor cumi-cumi merupakansalah satu sarana yang dapat dikembangkan guna meningkatkan daya dukung sumberdaya dansekaligus dapat mendukung dalam pengembangan kawasan pantai secara terpadu dankeberlanjutan.Tujuan ibM inia dalah untuk Dapat menjaga ekosistem lingkungan melaluipengembangan cumi-cumi dari telur, larva dan juvenil sampai dewasa serta sebagai saranaalternatif pemberdayaan nelayan Rigaih secara terpadu dan berkelanjutan.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 bertempat di Rigaih Kabupaten AcehJaya Calang. 18

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.2. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah atraktor, tali pengikat, pemberat, besi,perahu, plastik, terpal dan pelampung. Gambar 2:Lokasi ibM Atraktor cumi2.3. Metode PelaksanaanMetode pelaksanaan kegiatan IbM Atraktor cumi-cumi sebagai alternatif pemberdayaannelayan secara terpadu dan berkelanjutan, dipilih Kawasan Rigaih Kabupaten Aceh Jayasebagai lokasi IbM karena daerah ini sangat banyak pulau-pulau kecil, cukup aman dari arusdan gelombang yang kuat ketika pada musim barat tiba. Metode pelaksanaan sebagai berikut: a. Atraktor cumi-cumi yang akan digunakan memiliki bentuk seperti di gambar 1. Atraktor cumi-cumi ini dibuat dengan kontruksi yang sangat sederhana, yaitu berbentuk seperti bunga dengan diameter 100 cm dan tinggi 30 cm. Dibuat dari bahan kawat plastik yang dilengkapi dengan untaian tali tambang dan pada bagian atasnya ditutupi dengan lembaran plastik hitam. b. Untaian tali-tali tambang yang dipasang pada bagian dalam atraktor ini berfungsi sebagai tempat cumi-cumi menempelkan telurnya. Lembaran plastik hitam pada bagian atas atraktor adalah dimaksudkan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang dating pada bagian dimana cumi-cumi akan melepaskan telurnya, dan sekaligus sebagai pelindung. Lokasi pemilihan pemasangan atraktor ini ditentukan bersama Panglima Laot Rigaih dan nelayan setempat dengan pemasangan di dalam perairan dilakukan secara sistem rangkaian yang panjang, dimana satu lokasi dapat dapat terdiri dari sepuluh atraktor dengan jarak atraktor 15 mdanlokasi yang ditunjuk oleh nelayan setempat. 19

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572c. Pengamantan telur cumi-cumi pada atraktor bersama Panglima Laot dan Nelayan, setelah pemasangan atraktor di perairan, untuk kawasan pemberdayaan kelestarian cumi-cumi yang terpadu dan berkelanjutan. Gambar 1. Atraktor cumi-cumi3. Hasil dan Pembahasan Kabupaten Aceh Jaya terletak padakordinat 04022’-05016’ Lintang Utara dan 95002’-96003’ Bujur Timur dengan luas daerah 3.727 Km2 . Kabupaten Aceh Jaya terbagi dalam 9Kecamatan, 22 Mukim, 172 Desa.Batas wilayah administrasi meliputi sebelah Utara berbatasandengan Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, sebelah Selatan berbatasan denganSamudera Indonesia dan Kabupaten Aceh Barat, sebelah Timur berbatasan dengan KabupatenPidie dan Kabupaten Aceh Barat, serta sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Berdasarkan hasil pengabdian yang dilakukan oleh tim ibM menunjukan bahwa kawasanteluk rigaih memiliki sumberdaya laut yang sangat melimpah, teluk ini juga merupakan tempatpenangkapan lobster oleh nelayan setempat. Tim ibM yang melakukan pengabdian di telukrigaih in imulai dari bulan puasa dan sampai dengan pemasangan atraktor menunjukkan bahwa,selama ini cumi-cumi banyak di tangkap dan malah ada yang tersangkut di jaring lobsternelayan. Pembuatan atraktor cumi-cumi yang berbentuk bunga dengan masuk untuk memilikibanyak tempat untuk menempel telur cumi yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan setempat danakan dapat meningkatkan penghasilannya. Atraktor ini dibuat dari bahan besi batang dan kawatharmonis yang potong dengan ukuran 1 meter, kemudian dilipatkan dengan berbentuk bungandan di ikat dengan kawat, 20

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Gambar 3. Pemasangan plastic di atraktor Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa sedang dilakukan pemasangan plastikhitam pada atraktor cumi-cumi, perlakuan ini dilakukan untuk terhindar dari matahari danbayangan didalam atraktor akan gelap sehingga akan terasa cumi-cumi aman untukmenempelkan telurnya di dalam atraktor cumi-cumi yang ditempatkan dilokasi teluk rigaih. Tahap berikutnya yang dilakukan oleh tim ibM adalah membawa atraktor cumi-cumikelokasi yang telah di sepakati dengan panglima laot dan nelayan setempat. Penempatanatraktor cumi ini dipasang pada kedalaman pada permukaan dasar perairan, khusus untukatraktor yang dipasang di dasar perairan teluk rigaih dengan memiliki kedalaman antara 4-5meter. Hal ini disesuaikan dengan kedalaman renang (swimming layer) cumi-cumi yang palingbanyak ditemukan pada kedalaman 5 meter. (Danakusumah et al. (1995). Gambar 5: PenempatanAtraktor di dasarperairan Kegiatan perikanan tangkap yang menjadi aktivitas nelayan sehari-hari di teluk rigaih.Nelayan teluk rigaih sebagian besar berprofesi sebagai nelayan pencari lobster dengan hargayang sangat tinggi, berdasarkan wawancara dengan nelayan diperoleh informasi bahwa, hampirsetiap hari cumi-cumi tersangkut di jaringmereka. Oleh karena itu pemberdayaan cumi-cumiharus dilakukan untuk stoknya bertambah banyak lagi dan bias menjadi kegiatan utama nelayanyang bertanggungjawab. 21

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Kawasan Aceh jaya merupakan salah satu kawasan yang terkenal dengan ikan asintermasuk cumi asin dan gurita asin. Pemberdayaan sumberdaya cumi-cumi supaya tetap terjagakelestariannya dan terjaga ekosistem lingkungannya, karena merupakan hal yang diutamakandalam ibM di rigaih ini. Oleh sebab itu tim ibM menjelaskan juga teknis dalam upayapengaturan penangkapan dan memperbanyakatau memperbaiki sumberdaya cumi-cumi. Salahsatu yang sangat penting juga dilakukan oleh tim ibM adalah upaya untuk cumi-cumi menempeltelurnya di daun ijok yang terikat di atraktor sehingga budidaya cumi-cumi dapat terlaksanadengan baik dan tersediaan supply telur yang banyak di telukini. Kegiatan ibM tentang atraktor cumi ini akan dapat menunjukkan ketersediaansumberdaya cumi yang lebih banyak lagi dan program ini merupakan program tepat guna untuktetap mendukung kelangsungan kondisi perairan yang baik dan berkelanjutan, sehingga paranelayan dapat menikmatinya dengan efektif dan efisien di masa datang.4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengabdian yang dilakukan di kawasan teluk rigaih Kabupaten AcehJaya dapat disimpulkan bahwa ibM atraktor cumi-cumi sebagai alternative saranapemberdayaan nelayan berkelanjutan sangat efektif dilakukan secara terpadudanbertanggungjawab kedepan dengan mengedepankan kawasan lingkungan yang lestari danefektif serta efisien.4.2. Saran Ipteks bagi masyarakat (ibM) atraktor cumi-cumi ini tetap dilanjutkan kedepan,diharapkan lebih bias diterapkan model pengelolaan seperti, marikultur atau budidayalautdengan konsep seperti keramba apung dengan dimasukkan atraktor kedalam keramba tersebut.Daftar PustakaBaskoro,M S. et al. 2006. Melatih pembuatan dan pemasangan atraktor cumi-cumi padamasyarakat nelayan di Pulau Barrang Lompo ( Sulawesi Barat ) dan Pulau Moyo (NTB )Danakusumah,E A. Mansur dan S. Martinus. 1995. Studimengenaiaspek-aspekbiologidanbudidayacumi-cumisepieteuhhislessoniana LESSON. 1Musimpemijahan.prosiding. Seminar KelautanNasional 15-16 November1995.Jakarta:BPPT 17 hal.FAO. 1996. Pedoman Teknis untuk Perikanan Bertanggungjawab. Operasi Penangkapan Ikan.Diterjemahkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan bersama Pusat Penelitian danPengembangan Perikanan, Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian dan InstitutPertanian Bogor, 1999, Fishing Operations. 115 hal.Meilaka, P. 2006. Membuat sarang cumi-cumi di muka pantai. Samudera VI ( 38) :18-19. 22

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572STATUS KEBERLANJUTAN EKOLOGI PADA PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI PESISIR ACEH BARAT Edwarsyah1, Mohamad Gazali21 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Almost mangrove forest in West of Aceh have already been destroyed by Tsunami in2004. Urgently, we strive to recover the mangrove forest gradually. Prevously, we must studyabout sustainablity of mangrove forest in West of Aceh. This study aims to analyse thesustainability index and status of mangrove forest in multidimensional scaling. This researchwas conducted in December to February 2013 in West of Aceh of mangrove coastal. MangroveForest Sustainability Index Value of ecological dimension worth 63.50. The results shown thatgood enough to used as one tool to evaluate policy Mangrove Forest sector in the region orregions rapidly (rapid appraisal). According to analysis of levelage shown that the highsensitivity of attributes is level of concord of RTRW/RZWP3-K.Keywords: Mangrove, Rap-Humang, Sustainablity1. Pendahuluan Salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir dan lautan adalah ekosistem hutanmangrove. Dari sekitar 15,9 juta Ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar 27% beradadi Indonesia. Lebih dari itu, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yangunik yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Disamping menghasilkanbahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri seperti kayu bakar arang, kertas danrayon yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi, hutan mangrove jugamemiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien sebagaitempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground) dan tempatmencari makan (feeding ground) bagi biota laut dan juga berperan sebagai penahan abrasi bagiwilayah daratan yang berada di belakang ekosistem (Bengen, 2003). Luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurangdrastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986-1990 dan kinidiperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000-12.500 ha. Diperkirakan sekitar 85 persendari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir pantai timur Aceh,sisanya 15 persen berada di pantai Barat dan pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh dipantai Timur Aceh adalah Avicennia,spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan pada pantaibarat adalah Nypa fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya di pulau Simeulue adalah jenisRhizophora apiculata (Dinas Kehutanan Propinsi Aceh, 2007). 23

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Bencana Tsunami tahun 2004 telah menyebabkan kerusakan hutan mangrove diProvinsi Aceh seluas 174.590 Ha, terumbu karang 19.000 Ha, dan hutan pantai 50.000Ha sebagai akibat tsunami, lahan-lahan basah di provinsi Aceh diduga telah banyak mengalamiperubahan bentuk, luasan, maupun kualitas air dan substrat dasarnya. Lahan basah yang sempittelah menjadi laguna dengan genangan air asin yang lebih luas. Garis pantainya berkurang danbanyak tanaman mangrove yang mati kekeringan akibat substratnya tidak tersentuh air.(Pemerintahan Aceh 2010). Kawasan pesisir setelah tsunami mengalami kerusakan, sebagian besar vegetasipelindung kawasan pesisir mati akibat hantaman gelombang. Vegetasi yang mati meliputi hutanmangrove, hutan pantai dan hutan hujan tropis dataran rendah. Akibatnya, hutan kawasanpesisir yang rusak tersebut secara alami juga akan mengalami perubahan. Kawasan yangdipengaruhi oleh Selat Malaka atau Pantai Timur tingkat kerusakan tidak separah dibandingkandengan kawasan yang dipengaruhi oleh Selat Malaka. Hal ini disebabkan karena pusatterjadinya gempa berada di sekitar Samudera Hindia. Kematian vegetasi di kawasan pesisirakibat tsunami terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Fenomena ini merupakan aksi secaralangsung terjadi patah pohon, pencabutan pohon, patah dahan dan terjadi pengguguran daun.Kematian vegetasi mangrove juga terjadi akibat faktor geomorfik. Kematian ini terjadi di dalamhabitat mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti terjadi erosi yangmenyebabkan terjadi kematian mangrove dan vegetasi pantai (Suryawan, 2007). Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004, hampir 100% hutan mangrovedipantai barat Aceh mengalami rusak total. Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha,maka kedepan memerlukan sumberdaya yang cukup besar dan kerja keras untukmengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantaisekitar 2.467 km memerlukan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau yangberfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Penelitian inibertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove danmenganalisis atribut yang sangat berpengaruh pada dimensi ekologi terhadap keberlanjutanpengelolaan hutan mangrove di pesisir Aceh Barat.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Desember 2012 – Februari 2013 di3 lokasi kawasan Hutan Mangrove yaitu Suak Timah, Kuala Bubon dan Lhok BubonKecamatan Samatiga karena daerah tersebut daerah yang terkena bencana tsunami (Gambar 1). 24

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Lokasi Penelitian Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian, Sumber: Bapedda Aceh Barat, 20102.2. Bahan dan Alat Jenis metode dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang memberikan skalalikert terhadap seluruh atribut penelitian. Data primer diperoleh dari kuesioner oleh responden(masyarakat), Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif yaitu metode penelitianuntuk membuat gambaran mengenai sistem dan kejadian dengan pemeliharaan metode surveidan studi kasus (case study) (Nazir 1999). Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yangdikumpulkan langsung di lapangan yang terdiri dari: data hutan mangrove, jenis hutanmangrove, pengelolan hutan mangrove, data ini diperoleh secara langsung dengan melakukanpengamatan dan pencatatan dari hasil observasi, wawancara dan partisipasi aktif. Datasekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitiandari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau darilaporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia (Hasan, 2002), data 25

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572sekunder ini kebanyakan merupakan data urut waktu yang diperoleh dari instansi/Dinas terkaitseperti Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumberlainnya. Pengambilan sampel dalam rangka mendapatkan informasi dan pengetahuannya(akuisasi pendapat pakar) ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling).Tabel 2. Kategori RespondenNo Responden Jumlah Orang1. Akademisi 32. Dinas Kehutanan 33. Pengelola Hutan mangrove 44. LSM (pemerhati lingkungan) 45. Masyarakat 3 Jumlah 17 Dimensi yang digunakan yaitu dimensi ekologi terdiri atas 9 atribut : Mempertahankanintergritas ekosistem mangrove, daya dukung lingkungan, lingkungan hutan mangrove, tingkatkesuaian RTRW/RZWP3-K, kesesuaian iklim, suhu, tingkat keragaman hutan mangrove danpemamfaatan hutan mangrove.2.3. Analisis Data Analisis Data kuntitatif yang dilakukan untuk menilai status keberlanjutan pengelolaanhutan mangrove adalah menggunakan analisis MDS (Multidimensional Scaling) denganpendekatan Rap- HuMang. Rap- HuMang merupakan modifikasi dari analisis Rapfish(Rapid Assasment Techniques of Fisheries). Analisis MDS yang telah dikembangkan dalamperangkat lunak Rapfish digunakan dalam menentukan setiap indikator yang terukur. Dimensidalam Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap- HuMang menggunakan 3 (tiga) aspekpembangunan berkelanjutan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial serta penambahan dimensidisesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokasi penelitian yaitu dimensi teknologi sertahukum dan kelembagaan. Dalam penelitian ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi.Masing-masing dimensi keberlanjutan memiliki atribut-atribut yang mempengaruhi (Fauzi danAnna, 2005). Berikut tahapan proses analisis MDS:a. Skoring setiap atribut. Setiap atribut dalam dimensi pengelolaan hutan mangrove diberiskor, mulai dari 1 – 5 yang diartikan dari keadaan buruk sampai baik dan 1-2 diartikan tidaksesuai dan sesuai. Semakin besar nilai, maka dapat diartikan bahwa semakin mendukungkeberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Pesisir Aceh Barat. 26

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572b. Penentuan ordinasi dengan Analisis Multidimensional Scaling (MDS). Dalam melihatposisi status keberlanjutan pada Pengelolaan LRB menggunakan empat kategori statuskeberlanjutan (Tabel 1).Tabel 3. Kategori status keberlanjutan Kategori Nilai Indeks X < 25 Tidak berkelanjutan 25 ≤ X ≤ 50 Kurang berkelanjutan 50 ≤ X ≤ 75 Cukup berkelanjutan 75 ≤ X ≤ 100 berkelanjutanSumber : Pattimahu, 2010c. Analisis Sensivitas (Leverage). Analisis ini digunakan untuk menentukan atribut- atributyang memiliki peranan paling sensitif dalam dimensi ekologi. Atribut yang paling sensitifditunjukkan dengan nilai root mean square(RMS) tinggi dengan menggunakan perhitunganpareto 70/30 (Kusbimanto, 2013).d. Analisis Monte Carlo. Analisis ini dilakukan untuk mengevaluasi adanya kesalahan-kesalahan pada saat proses ordinasi. Analisis Monte Carlo dilakukan sebagai uji validitas danketepatan. Analisis ini digunakan untuk mengkaji: pengaruh kesalahan dalam pembuatan skorindikator, pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan penilaian oleh peneliti, stabilitasproses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data/data hilang, tingginyanilai stress hasil analisis MDS (Kavanagh dan Pitcer 2004).3. Hasil dan Pembahasan3.1. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Berdasarkan hasil analisis MDS atribut dimensi ekologi maka disajikan pada Gambar 2.Menurut hasil pengolahan Multidimensional Scaling, nilai indeks keberlanjutan adalah sebesar70,17. Nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa kondisi dimensi ekologi berada pada status cukupberkelanjutan karena pada posisi 50 ≤ x ≤ 75. Ini menunjukkan bahwa dimensi ekologi dan 9 atributyang ada di dalamnya cukup mendapat perhatian pada pengelolaan hutan mangrove. Pada analisistersebut, nilai stress sebesar 0.12 dan nilai koefisien determinasinya sebesar 0,95 atau 95%. MenurutKavanagh dan Pitcher (2004), hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah jika nilai stress lebih kecil dari 0.25 dan nilai koefisien determinasi (R²)mendekati 1 atau mendekati 100%. Maka dapat disimpulkan bahwa analisis indekskeberlanjutan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 27

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 1. \ RAPFISH Ordination 60 UP 40other ditinguishing features 20 70,17 0 BAD GOOD ekologi hutan mangrove 0 20 40 60 80 100 120 References Anchors -20 -40 DOWN -60 Fisheries Status Gambar 2. Posisi Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove pada Dimensi Ekologi Indeks keberlanjutan yang menunjukkan cukup bekerlanjutan karena hutan mangrove diKabupaten Aceh Barat untuk tata ruang belum sesuai sebagaimana halnya yang ditetapkandalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang serta hal ini belumditetapkan dalam Qanun Kabupaten Aceh Barat. Dilihat dari kondisi perairan masihmenunjang keberlangsungan hutan mangrove tersebut. Sumberdaya hutan mangrove masih sangat baik di perairan Aceh Barat sehinggapemanfaatan untuk hutan mangrove sangat menguntungkan nelayan lokal.Pengelolaan hutanmangrove sangat bergantung pada ekologis perairan dimana ekologis perairan masih sangatmendukung untuk kehidupan ekosistem mangrove.Agar nilai indeks dimensi dimasa yangakan datang dapat ditingkatkan dengan cara pemeliharaan dan konservasi hutan mangroveterhadap nilai indeks dimensi tersebut. Berdasarkan analisis leverage dan perhitungan pareto, perbandingan 70% - 30%(Kusbimanto, 2013) terhadap 9 atribut diperoleh data yang disajikan pada Gambar 3. 28

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Leverage of Attributes Pemamfaatan hutan mangrove 0,17 Fasilitas pengelolaan hutan mangrove 4,41 Suhu 7,51Attribute Curah hujan 6,12 Tingkat kesesuaian RTRW/RZWP3-K 8,57 Lingkungan hutan mangrove 6,96 Memelihara daya dukung lingkungan 5,95 Mempertahankan integritas ekosistem 5,13 mangrove 0 2 4 6 8 10 Root Mean Square Change % in Ordination when select Status scale 0 to 100 Gambar 3. Analisis Leverage dimensi ekologi Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3 diatasada dua (2) atribut yang paling sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutandimensi ekologi yaitu: (1) Tingkat kesesuaian RTRW/RZWP3-K; (2) Suhu lingkunganperairan. Berdasarkan hasil analisis leverage ada 2 (dua) atribut yang sensitifmempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Dengan demikian atributtesebut perlu mendapat perhatian dan pengelolaan dengan baik agar nilai indeks dimensiini meningkat dimasa yang akan datang. Tingkat kesesuain RTRW/RZWP3-K hutan mangrove terjadinya karena belum adanyaperaturan pemerintah tentang RTRW/RZWP3-K hutan mangrove sehingga masyarakat dalampelaksanaan dilapangan sesuai dengan keinginan masyarakat dan hasil yang diperoleh adalahasal, suhu disini terjadi karena adanya kegiatan manusia dan kurangnya pengawasan danpelestarian dari masyakat, di ikuti dengan bertambahnya jumlah kebutuhan masyarakat yangterus bertambah sehingga menyebabkan aktivitas manusia memanfaatkan hutan mangroveuntuk memenuhi kebutuhan sehingga dampak pada kerusakan hutan mangrove tersebut. Dalamhal ini perlu adanya kebijakan yang lebih lanjut baik dalam pembuatan qanun maupun 29

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572implementasi di lapangan dalam mengatur keberlanjutan ketersediaan hutan mangrove diKabupaten Aceh Barat. Daya dukung hutan mangrove dilokasi penelitan di Kabupaten AcehBarat merupakan salah satu indicator yang perlu diperhatikan dalam upaya penanaman danpelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan status keberlanjutanketersediaan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Barat, sehingga nantinya kabupaten AcehBarat ada daerah konservasi hutan mangrove yang berkelanjutan. RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 40Other Distingishing Features 20 0 20 40 60 80 100 120 0 -20 -40 -60 Fisheries Sustainability Gambar 4. Analisis Monte Carlo terhadap Dimensi Ekologi Analisis Monte Carlo terhadap dimensi ekologi disajikan pada Gambar 4. Daripengolahan Monte Carlo, diperoleh hasil nilai sebesar 68.72 sedangkan analisis MDS diperolehnilai sebesar 70,17. Selisih dari kedua analisis tersebut adalah 1 dan dinggap kecil karena masihberada di bawah nilai 1 (Kavanagh, 2001). Oleh karena itu analisis Rapfish ini dianggap 30

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan acuan dalammengevaluasi keberlanjutan pengelolaan Hutan Mangrove.4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang indeks dan status keberlanjutan pada dimensi ekologidisimpulkan adalah : (1) nilai indeks keberlanjutan sebesar 70,17 yang menunjukkan bahwastatus keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Pesisir Aceh Barat adalah “cukupberkelanjutan”, dan (2) Atribut yang sangat sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan Hutanmangrove adalah Tingkat kesesuain RTRW/RZWP3-K hutan mangrove.4.2. Saran Diperlukan kajian lebih lanjut tentang status keberlanjutan dengan pendekatan EAFMpada domain habitat/ekosistem, Sumberdaya ikan, teknik penangkapan ikan, ekonomi, sosialdan tata kelola agar dapat dilakukan evaluasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.Daftar PustakaBengen D G. 2003. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPBFauzi A dan Anna S. 2005. Permodelan sumber daya Perikanan dan Kelautan (p. 339). Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.Hasan I. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.Ghalia Indonesia. Jakarta. 260 hal.Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description University of British Coloumbia. Fisheries Centre. Vancouver. Canada.Kavaragh P dan T J Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Report 12 (2) ISSN:1198-672. Canada. 75pp.Kementerian Kehutanan. 2006. Hutang Mangrove. JakartaKusbimanto I W Sitorus, S R P Machfud. Poerwo, I F P, Yani M. 2013. Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mmminasata Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Volume 30 No. 1, April 2013. ISSN : 1907 – 0284.Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Indonesia : Penerbit Ghalia.Pattimahu D V. 2010. Kebijakan Pengelolaan Mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Institute Pertanian Bogor.Pemerintah Aceh. 2010. Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove AcehSuryawan F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Kawasan Pesisir Pantai Timur Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Biodiversitas. Unsyiah.Volume 8 Bulan Oktober 2007. 31

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572PERKEMBANGAN LARVA IKAN RAINBOW KUROMOI (Melanotaenia parva) Eri Safutra1, Erni Kristina Pambayuningrum2, Maheno Sri Widodo31Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2Akademi Perikanan Sorong, Papua 3Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Korespondesi :[email protected] Abstract The main problem in fish farming of kurumoi’s rainbowfish (Melanotaenia parva) is thesurvival rate of larvae that are still low. The purpose of this study was to determine thedevelopment of the larvae of kurumoi’s rainbowfish. Expected later in the presence of thisinformation can support the successful of the larvae rearing. The animals test were used larvaeof kurumoi’s rainbowfish (Melanotaenia parva) aged 1-21 days. The container used aquariumsizing 50 cm x 50 cm x 40 cm, with 15 cm water level and were given water aeration to supplyoxygen. 2 dayold larvae were fed infusoria and zooplankton rotifer for 14 days, then the larvaewere given zooplankton Moina sp. until the age of 21 days. Observations was conducted undera microscope every day. Observed of the parameter was total length, yolk egg absorption,mouth opening size, and fin development in larvae. The results showed that the larvae absorbthe yolk egg out of 93.9% at 48 hours after hatching, the 21 dayold larvae development, the finwas completed with total length of larvae was 11.93 mm ± 0,49 and 0.411 mm ± 0.012 was thesize of mouth opening.Keywords: development, larvae, kurumoi rainbowfish1. Pendahuluan Ikan rainbow merupakan spesies ikan air tawar terbesar yang mendiami perairan di benuaAustalia dan pulau Papua (Tappin, 2010). Diyakini Sorong Selatan sebagai tempat pusat plasmanuftah spesies ikan rainbow Melanotaenia spp. (Allen, 1980). Ikan ini termasuk familiMelanotaniidae yang salah satu spesiesnya adalah ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva).Ikan ini merupakan ikan endemik di danau Kurumoi, Papua (Kadarusman et al., 2010). Ikanrainbow kurumoi merupakan salah satu ikan hias air tawar asli Indonesia yang memiliki warnaindah seperti pelangi sehingga memiliki nilai estetis dan nilai ekonomis yang tinggi (Nur et al.,2009). Menurut Tappin (2010), ada 95 jenis ikan rainbow berasal dari Sulawesi dan Papua. Ikanini menarik karena jenis kelamin jantan seluruh tubuhnya berwarna orange. Keberadaan ikan rainbow di alam mengalami ancaman kepunahan seiring denganmenurunnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan ikan ini sebagai akibatdegradasi lingkungan habitat aslinya yang disebabkan semakin maraknya kegiatan logging dikawasan hutan Papua (Kadarusman et al., 2007) dan penangkapan tanpa memperhatikan aspekkonservasi. Penyelamatan dan perlindungan (konservasi) ikan rainbow dari kepunahan perlusegera dilakukan baik secara insitu maupun eksitu. Secara eksitu, konservasi dapat dilakukan 32

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dengan melakukan kegiatan pengembangan ikan tersebut diluar habitat aslinya melalui kegiatanbudidaya. Ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) saat ini sudah berhasil didomestikasi dandipijahkan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH). Namundalam kegiatan budidaya ikan ini masih terdapat terkendala, yaitu sintasan larva yang rendah.Untuk meningkatkan sintasan larva terutama pada periode kritis awal larva, perlu dilakukankegiatan pengamatan perkembangan larva. Pengamatan ini meliputi aktivitas penyerapankuning telur sebagai nutrisi endogen, ukuran bukaan mulut, dan kelengkapan sirip pada stadialarva. Sampai saat ini masih sedikit publikasi mengenai perkembangan embrio dan larva ikanrainbow (Humphrey et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan morfologi larva ikan rainbowkurumoi (Melanotaenia parva). Penggalian informasi dan data dasar ini diharapkan dapatdijadikan acuan untuk menunjang keberhasilan kegiatan budidaya ikan rainbow kurumoi yangsaat ini sedang dirintis.2. Metode Penelitian2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya IkanHias (BP2BIH) Depok dari tanggal 26 Februari 2013 sampai dengan 26 Mei 2013.2.2. Bahan dan Alat Hewan uji yang digunakan adalah larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva)yang baru menetas (DO). Larva yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari telur hasilpemijahan alami induk ikan rainbow kurumoi dengan perbandingan 1 jantan : 1 betina.Pemijahan dilakukan pada akuarium berdimensi 50 cm x 50 cm x 40 cm, dengan tinggi air 25cm dengan sistem resirkulasi. Sebagai media penempelan telur digunakan tali rafia yang telahdiurai dan diberi pemberat bagian bawahnya. Telur hasil pemijahan akan menempel pada talirafia tersebut, telur-telur yang telah dibuahi kemudian ditempatkan pada wadah baskom plastikuntuk diinkubasi. Inkubasi dilakukan selama ± 5 hari (pada suhu 26-27oC). Setelah telurmenetas, larva dipelihara di dalam akuarium ukuran 50 cm x 50 cm x 40 cm dengan tinggi air15 cm. Pada akuarium pemeliharaan ini diberi aerasi dengan gelembung halus untuk mensuplaioksigen. Kondisi suhu air di dalam akuarium pemeliharaan selama pengamatan berkisar 27-280C. Siphon dasar akuarium pemeliharaan dilakukan setiap 3 hari sekali. Manajemen pakan 33

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572yang diberikan selama penelitian yaitu sebagai berikut: larva umur 2-16 hari diberi pakaninfusoria dan zooplankton rotifera, larva umur 17-21 hari diberi pakan zooplankton Moina sp. Pengamatan perkembangan larva pada penelitian ini dilakukan selama 21 hari.Pengamatan dimulai pada saat larva baru menetas. Sampel larva diambil dengan menggunakanpipet plastik 3 ml dan kemudian ditempatkan pada object glass untuk diamati bawah mikroskop.Jumlah sampel pada setiap waktu pengamatan adalah tiga ekor larva. Parameter yang diamatiadalah panjang total, penyerapan kuning telur, bukaan mulut dan perkembangan sirip larva.Pengamatan parameter panjang total, bukaan mulut, dan perkembangan sirip diamati setiap hariselama 21 hari, sedangkan pengamatan parameter penyerapan kuning telur larva diamati selama48 jam setelah larva menetas dengan interval pengamatan setiap 12 jam sekali. Pengukuranpanjang larva dilakukan setiap interval 24 jam dengan menggunakan mikroskop binokulerOlympus SZX9 dengan perbesaran 8-25 x yang telah dilengkapi dengan mikrometer,sedangkan pengamatan bukaan mulut, kuning telur dan perkembangan sirip diamati denganmenggunakan mikroskop binokuler Olympus BX41 dengan perbesaran 4 x dan 10 x yangdilengkapi dengan kamera digital Panasonic WF-CP240EX. Hasil pemotretan dari mikroskop dianalisis dengan software “ImageJ®” untukmendapatkan data pengukuran berdasarkan perbesaran. Volume kuning telur dihitung denganrumus: V = 0.1667������LH2 dimana L adalah panjang diameter dan H adalah tinggi diameter kuning telur (Heming& Buddington, 1988).3. Hasil dan Pembahasan3.1. Volume Kuning Telur Larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) yang baru menetas memiliki volumekuning telur rata-rata 0,195 mm3 ± 0,027. Hal ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan denganspesies ikan yang lain. Ikan kerapu kertang memiliki volume kuning telur pada umur D1 sebesar0,150 mm3 (Imanto & Suastika, 2007), larva ikan kakap merah yang baru menetas membawakuning telur berkisar antara 0,1489-0,1817 mm3 (Doi & Singhagraiwan, 1993 dalam Imanto &Suastika, 2003), Ikan clown hitam memiliki volume kuning telur sebesar 0,150 mm3(Kusumawati & Setiawati, 2010). Data mengenai rata-rta volume kuning telur dan persentasepenyerapan kuning telur pada larva ikan rainbow kurumoi selama penelitian disajikan padaTabel 1. 34

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Tabel 1. Volume kuning telur dan persentase penyerapan kuning telur larva ikan rainbowkurumoiHari ke Jam Ke Volume Kuning Telur (mm3) Penyerapan Kuning Telur (%)00 0.195 0.012 0.151 22.41 24 0.073 62.436 0.044 77.32 48 0.012 93.9 Penyerapan kuning telur akan semakin terus berkurang seiring dengan bertambahnyaumur larva. Penyerapan kuning telur larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva)ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1. Penyerapan kuning telur larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) Berkurangnya volume kuning telur pada fase awal larva erat kaitannya denganperkembangan dan pertumbuhan larva. Aktivitas penyerapan kuning telur larva ikan rainbowkurumoi berlangsung sangat cepat mulai dari saat menetas sampai pada 24 jam pertama. Padasaat 24 jam pertama setelah menetas, kuning telur telah terserap sebesar 62,4%. Pada jam ke 48kuning telur telah terserap habis sebesar 93,9%. Volume kuning telur larva ikan rainbowkurumoi mulai terserap habis pada 48 jam setelah menetas. Penyediaan pakan alami awal bagilarva disesuaikan dengan cadangan volume kuning telur, ukuran bukaan mulut, dankelengkapan organ dalam larva (usus dan anus). Pemberian pakan alami yang tepat merupakanfaktor yang dapat mendukung keberhasilan pemeliharaan larva hingga menjadi benih.Pemberian pakan awal bagi larva harus disesuaikan dengan cadangan kuning telur dalam tubuhlarva, hal ini untuk menghindari kesenjangan asupan energi. Kesenjangan asupan energi pada 35

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572tahap perkembangan awal larva dapat menyebabkan terjadinya kematian. Menurut Imanto &Melianawati (2003), periode kritis dalam stadia larva adalah periode transisi dari pemanfaatanendogenous energy (kuning telur) ke exogenous energy (zooplankton). Ketersediaan jenispakan alami yang sesuai dengan ukuran bukaan mulut larvadalam jumlah yang memadai dalamperiode waktu tesebut merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk menjamin sintasanlarva selanjutnya (Imanto & Swastika, 2007). Ketidakcukupan nutrisi yang diberikan dapatmenghambat proses pembentukan dan pertumbuhan larva, bahkan dapat menyebabkankematian larva.3.2. Panjang Larva Pada saat baru menetas panjang total larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva)rata-rata adalah berukuran 4,09 mm ± 0,03. Ukuran ini hampir sama dengan genusMelanotaenia yang lain, yaitu berukuran 3,4-4,2 mm (Crowley & Ivantsoff, 1982; Reid &Holdway, 1995). Pertumbuhan panjang larva ikan rainbow kurumoi selama penelitianditampilkan pada Gambar 2. Gambar 2. Performansi pertumbuhan panjang total (TL) larva Ikan rainbow kurumoi Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa pertumbuhan larva ikan rainbow kurumoi selama21 hari meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya umur ikan. Pada hari ke 1 sampai harike 16 pertumbuhannya relatif lambat. Setelah larva berumur 16-21 hari pertumbuhan larvamengalami peningkatan pesat. Sejalan dengan bertambahnya umur larva, maka variasipanjangnya juga mulai meningkat. Koefisien variasi meningkat dari 1% menjadi 6% pada harike 8, dan meningkat menjadi 18% pada hari ke 20. Menurut Humprey et al., (2003), 36

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Pertumbuhan larva ikan Melanotaenia splendida splendida (Peters) juga berjalan lambatdengan variasi yang relatif kecil pada 12 hari pertama setelah larva menetas. Setelah 12 haripertumbuhan larva meningkat tajam dengan koefisien variasi yang meningkat pula dari 3%,menjadi 6% pada umur 12 hari dan meningkat menjadi 15% pada umur 87 hari.3.3. Bukaan Mulut Mulut larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) sudah berkembang dan mulaimembuka aktif sesaat setelah menetas dengan ukuran bukaan mulut awal 0,081 mm ± 0,016.Pergerakan bukaan mulut pada larva Ikan rainbow kurumoi diawali dengan pergerakan rahangbawah secara perlahan-lahan kemudian diikuti dengan pergerakan rahang atasnya sampaiakhirnya kedua rahang sama-sama bergerak, namun dari pertama kali menetas sampai 12 jampertama larva jarang membuka mulutnya. Selama umur 1-4 hari bukaan mulut larva berkisarantara 0,081-0,094 mm. Oleh karena itu perlu mencari ukuran dan jenis pakan alami yang sesuaidengan ukuran bukaan mulut larva untuk menunjang keberhasilan penanganan pada periodekritis pertama. Dengan ukuran bukaan mulut ini jenis makanan yang dapat diberikan adalahinfusoria (0,090-0,110 mm). Ukuran bukaan mulut pada larva umur 5-16 hari berkisar antara0,100-0,206 mm, jenis makanan yang cocok dengan ukuran bukaan mulut larva pada umur iniadalah dari kelas rotifera (0,090-0,300 mm) (Segers, 1995 dalam Lucas & Southgate, 2003),sedangkan umur 17-21 hari berkisar antara 0,247-0,411 mm. Ukuran pakan alami yang cocokpada kisaran umur ini adalah dari jenis zooplankton Moina sp. (0,250-0,400 mm). Datamengenai ukuran bukaan mulut larva disajikan pada Gambar 3.Gambar 3. Ukuran bukaan mulut larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) 37

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Organ pemangsaaan yang penting selain mulut adalah mata dan organ dalam (usus dananus). Mata berfungsi untuk melihat mangsa, sedangkan organ dalam seperti usus dan anusberfungsi sebagai organ pencernaan dan ekskresi bagi larva. Berdasarkan pengamatan selamapenelitian, tercatat bahwa pigmentasi mata sudah ada saat larva baru menetas, namun pada saatitu perkembangan usus dan anus belum terjadi. Perkembangan usus dan anus mulai terjadi padalarva berumur 12-24 jam setelah larva menetas. Menurut Humprey et al., (2003), larva ikanrainbow mulai makan beberapa jam setelah larva menetas. Perkembangan larva ikan rainbowkurumoi pada saat baru menetas sampai umur 24 jam setelah menetas ditampilkan pada Gambar4.Gambar 4. Perkembangan larva ikan rainbow kurumoi (A). Larva baru menetas, (B). Larva 12 jam setelah menetas, (C). Larva 24 jam setelah menetas3.4. Perkembangan Sirip Larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) memiliki sirip dada, sirip anal dansirip ekor. Pada saat setelah menetas, perkembangan sirip dada (pectoral fin) larva ikan inisudah terbentuk dan digunakan untuk berenang. Setelah menetas, larva sudah mulai aktifberenang dengan menggunakan sirip dada dan sirip ekor. Larva berenang pada permukaan air.Pada saat di dalam telur dengan waktu inkubasi ± 5 hari, larva sudah berkembang dengan baiksehingga begitu menetas larva sudah dapat bergerak aktif. Hal ini terlihat dari pergerakan mulut,sirip dada dan sirip ekor yang cukup aktif selama pengamatan. Humprey et al., (2003),menyatakan bahwa larva ikan Melanotaenia splendida splendida (Peters) mampu berenangdengan aktif sesaat setelah menetas. Namun hal ini berbeda bila dibandingkan dengan larvaikan Melanotaenia fluviatilis yang tidak aktif berenang mulai dari setelah menetas hingga umur9 hari (Munro, 1980). Perkembangan morfologi sirip larva ikan rainbow kurumoi ditampilkanpada Tabel 2. 38

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Tabel 2. Perkembangan Morfologis Larva Ikan Rainbow Kurumoi (Melanotaenia parva) Umur Larva Perkembangan Morfologi Sirip Larva (hari 0-4 • Sirip punggung, ekor dan anal masih menyatu • Sirip ekor terbentuk dengan jari-jari sirip lunak dan berbentuk bulat (rounded) 5-10 Jari-jari lunak pada sirip dada dan sirip ekor mulai mengeras, pada sirip punggung, dan anal jari-jari lunak belum mengeras • Sirip punggung, ekor, dan anal masih menyatu11-15 Jari-jari lunak sirip dada, sirip ekor, sirip dorsal, dan sirip anal lebih16-20 mengeras dari sebelumnya • Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor masih menyatu dan transparan21 • Sirip ekor masih berbentuk bulat (rounded) • Sirip punggung, anal dan ekor belum memisah • Terjadi pembelokan notochord • Jari-jari sirip ekor mulai mengeras  Bentuk sirip ekor mulai berubah menjadi bercagak (forked) • Sirip punggung, anal dan ekor terpisah dengan jelas Pada saat larva baru menetas hingga berumur 4 hari, Sirip dada sudah terbentuk denganjari-jari lunak sedangkan sirip punggung, sirip ekor dan sirip anal masih menyatu dan tampaktransparan. Sirip ekor berbentuk bulat (rounded). Pigmentasi gelap sudah muncul saat larvabaru menetas dan berada pada bagian dorsal dan bagian kepala larva. Hal ini seperti ditampilkanpada Gambar 5. Pada Gambar 5 (A & B) terlihat sirip dada sudah terbentuk dengan jari-jarilunak, dan pada Gambar 5 (C) terlihat sirip ekor yang berbentuk bulat.Gambar 5. (A & B). Sirip dada sudah terbentuk, (C). Sirip ekor berbentuk bulat (rounded) 39

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Pada saat umur larva 5-10 hari, Jari-jari lunak sirip ekor dan sirip dada mulai mengeras,namun pada sirip punggung dan sirip anal jari-jari lunak belum mengeras. Sirip punggung, siripanal dan ekor masih menyatu dan transparan. Mulai terjadi pembelokan notochord. Hal iniseperti ditampilkan pada Gambar 6. Pada Gambar 6 (A) terlihat sirip dada yang terusberkembang, sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor masih menyatu dan terlihat transparan(Gambar 6 B & C).Gambar 6. (A). Sirip dada, (B & C). Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor masih menyatu dan transparan Pada saat umur larva 11-15 hari, Jari-jari lunak sirip dada, sirip ekor, sirip dorsal, dansirip anal lebih mengeras dari sebelumnya. Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor masihmenyatu dan transparan. Sirip ekor masih berbentuk bulat (rounded). Hal ini sepertiditampilkan pada Gambar 7. Gambar 7. (A). Jari-jari sirip dorsal dan sirip anal yang mulai mengeras, (B). Jari-jari sirip dada mulai mengeras, (C). Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor masih menyatu, transparan dan berbentuk bulat (rounded). Jari-jari sirip dorsal dan anal terlihat mulai mengeras (Gambar 7 A), jari-jari pada siripdada terlihat juga mulai mengeras (Gambar 7 B). Pada Gambar 7 C terlihat bahwa sirippunggung, sirip anal dan sirip ekor masih menyatu, berbentuk bulat dan transparan. 40

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Pada saat umur larva 16-20 hari, Jari-jari sirip punggung, dan sirip anal lebih mengerasdari sebelumnya, Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor belum memisah, Terjadi pembelokanpada notochord, jari-jari sirip ekor sudah mengeras. Hal ini seperti ditampilkan pada Gambar 8.Gambar 8. (A). Jari-jari sirip punggung, dan sirip anal lebih mengeras dari sebelumnya, (B & C). Terjadi pembelokan notochord, Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor belum memisah Pada Gambar 8 A terlihat jari-jari sirip punggung dan sirip anal lebih mengeras darisebelumnya. Pada umur 16-20 hari ini mulai terlihat adanya pembelokan notochord (Gambar8 B) dan sirip punggung, sirip anal, dan sirip ekor terlihat belum memisah (Gambar 8 C). Pada saat umur larva 21 hari, bentuk Sirip ekor berubah dari bulat (rounded) ke bercagak(forked), Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor terpisah sudah terpisah dengan jelas, dan jari-jari siripnya sudah mengeras. Hal ini seperti ditampilkan pada Gambar 9. Gambar 9. (A & B). Sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor sudah terpisah dengan jelas dengan jari-jari sirip punggung yang sudah mengeras, (C). Sirip ekor mulai berbentuk cagak (forked), Pada Gambar 9 A& B terlihat sirip punggung, sirip anal dan sirip ekor sudah semakinmengeras dan terpisah. Sirip ekor juga mulai berbentuk cagak (forked) (Gambar 9 C). Perkembangan sirip ekor larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) dimulai darisaat pertama kali menetas, dimana sudah terbentuk sirip dada, sirip ekor, sirip punggung dansirip anal yang menyatu dan transparan. Jari-jari sirip dada dan sirip ekor mulai mengerasterlebih dahulu pada saat larva berumur 5-10 hari setelah menetas dengan ukuran panjang totallarva 4,80-6,68 mm. Hal ini diduga karena sirip dada dan sirip ekor digunakan oleh larva untukberenang, sehingga lebih dahulu terbentuk jari-jari sirip kerasnya karena adanya rangsangan 41

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572pergerakan dari larva saat berenang. Kemudian diikuti oleh jari-jari sirip punggung dan siripanal yang mulai mengeras pada saat umur 11-15 hari (6,7-7,53 mm TL). Pembelokan notochordterjadi mulai dari umur larva 5-20 hari (4,80-10,95 mm TL), dan pada hari ke 21 (11,93 mmTL) sirip ekor mulai berubah bentuk dari bulat (rounded) ke bercagak (forked), sirip punggung,sirip anal dan sirip ekor mulai terpisah dengan jelas dan jari-jari siripnya sudah mengeras.Menurut Humprey et al., (2003), terjadinya pembelokan notochord dimulai saat larvaberukuran 5,9-6,2 mm (SL), dan akan terjadi pembelokan sempurna saat berukuran 7,2 mm(SL), perubahan sirip ekor larva ikan Rainbow Melanotaenia splendida splendida (Peters)mulai terjadi saat larva 16,8 mm (SL) dan perkembangan sirip ekor akan sempurna pada ukuranlarva 17,2-18,6 mm (SL). Perubahan bentuk sirip larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) hampir samadengan yang dijelaskan pada jenis ikan rainbow yang lainnya (Crowley et al., 1986; Reid &Holdway, 1995). Pada ikan rainbow Melanotaenia splendida splendida (Peters) terjadipemisahan sirip dorsal, sirip anal dan sirip ekor saat larva berumur 21 hari dengan ukuran 9,32mm SL (Humprey et al., 2003).4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Volume kuning telur larva ikan rainbow kuromoi (Melanotaenia parva) terserap habis(93.9%) pada 48 jam setelah menetas, dengan bukaan mulut pada saat itu adalah 0,082 mm.Perkembangan sirip pada larva sudah lengkap dan sudah terpisah jelas saat larva berumur 21hari dengan ukuran panjang total larva rata-rata adalah 11,93 mm dengan ukuran bukaan mulutmencapai 0,411 mm .Daftar PustakaAllen G R. 1980. A Genetic classification of the rainbowsfishes (Family Melanotaedae). Record of the Western Australian Museum. 377-396 pp.Crowley L E L M dan Ivantsoff W. 1982. Reproduction and Early Stages of Development in Two Spesies of Australian Rainbowfishes, Melanotaenia nigrans (Richardson) and Melanotaenia splendida inornata (Castelnau). Australian Zoologist, Volume:21. 85-95 pp.Crowley L E L M, Ivanstoff, W, dan Allen G R. 1986. Taxonomic position of two crimpson- spotted rainbowfish, Melanotaenia duboulayi and Melanotaenia fluviatilis (pisces : Melanotaeniidae), from Eastern Australia, with species reference to their early life history stages. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, Volume:37. 385- 398 pp. 42

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Humprey C, Klumpp D W and Pearson R. 2003. Early Development and Growth of The Eastern Rainbowfish, Melanotaenia splendida (Peters) I. Morphogenesis and Ontogeny. P: 17-25 InMarine and Freshwater Research. CSIRO Publishing.Heming TA dan R K Buddington. 1988. Yolk Absorption In Embryonic and Larval Fishes. P: 407-445. In W.S. Hoar and D.J. Randall (Eds). Fish Physiology, Vol XI: The Physiology of Developing Fish. Part A. Eggs and Larvae. Academic Press Inc. New York.Imanto P T dan Melinawati R. 2003. Perkembangan Awal Larva Kakap Merah Lutjanus sebae. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Volume 9 Nomor 1 Tahun 2003. 11-20 halImanto P T dan Swastika M. 2007. Perkembangan Awal Larva Ikan Kerapu Kertang (Ephinephelus lanceolatus). Jurnal Riset Akuakultur. Volume 2 Nomor 3 Tahun 2007. 369 -376 Hal.Kadarusman, L Pouyaud, J Slembrouck dan Sudarto. 2007. Studi Pendahuluan Diversitas Jenis, Habitat, Domestikasi dan Konservasi Ex-Situ Ikan Rainbow; Melanotaenia di Kawasan Vogelkop Papua. APSOR-IRD-LRBIHAT. Tidak Dipublikasikan. 12 pKadarusman, Sudarto, E Paradis, L Pouyaud. 2010. Description of Melanotaenia fasinensis, A New Species of Rainbowfish (Melanotaeniidae) From West Papua, Indonesia With Comments on The Rediscovery of M. Ajamaruensis and The Endangered Status of M. parva. Cybium International Journal of Ichtyology, 34(2). 207-215 pp.Kusumawati D dan Setiawati K M. 2010. Profil Pemijahan dan Perkembangan Morfologi Larva dan Yuwana Ikan Clown Hitam (Amphiprion percula). Jurnal Riset Akuakultur. Volume 5 Nomor 1, April 2010. 59-67 Hal.Munro I S R. 1980. Family Melanotaeniidae In ”Freshwater Fishes of South-Eastern Australia”. (Ed. R. M. McDowell.) 17-23 pp.Nur B Chumaidi, Sudarto, Pouyaud L, dan Slembrouck J. 2009. Pemijahan dan Perkembangan Embrio Ikan Pelangi (Melanotaenia spp.) Asal Sungai Sawiat, Papua. Jurnal Riset Akuakultur. Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009. 147-156 Hal.Reid H P dan Holdway D A. 1995. Early Development of the Australian Crimpson-Spotted rainbow fish, Melanotaenia fluviatilis (pisces : Melanotaeniidae). Marine and Freshwater Research. Volume 46(2). 475-480 pp.Lucas J S dan Southgate P C. 2003. Aquaculture: Farming Aquatic Animals and Plants. Blacwell Publishing. Oxford. 502 pp.Tappin A R. 2010. Rainbowfishes: Their Care and Keeping in Captivity. [email protected]. Copyright. 493 hal. 43

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) YANG DIDARATKAN DI PPN PALABUHAN RATU(Growth and Reproductive of Indian Mackerel, Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817 from PPN Palabuhan Ratu) Muhammad Arif Nasution 1, Mohammad Mukhlis Kamal 2, Kiagus Abdul Azis 2 1 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Korespondensi : [email protected] Abstract The aim of this study to predict and explaine growth and reproduction aspect of indianmackerel (Rastrelliger kanagurta) . The study conducted from March to April 2014, with sampleand data collection in the field covering total length and weight of the body, whereas in thelaboratory such as gonad weight, volume and diameter of the egg. The results showedregression equation of length-weight relationship Rastrelliger kanagurta is W=2.98E-06L3.2351474. Growth model Lt = 368.8 [1-exp-0.48(t+0.17)] were L∞ = 368.8 mm and K =0.48/month with first mature at lenght 170 mm. the number of eggs in the Rastrelliger kanagurtaovary between 42.606 – 63.043, Eggs diameter ranged from 0.28 to 0.56 mm. Growth patternof Rastrelliger kanagurta is positif allometrik, take 48 months to reach maximum length.Keywords : Growth parameters, Length-weight relationship, Rastrelliger kanagurta1. Pendahuluan Ikan kembung lelaki yang tergolong kedalam kelompok mackerel memiliki penyebaransecara vertikal dan horizontal. Penentuan batas penyebaran secara vertikal penting sekalidiketahui agar kedalaman alat tangkap ikan dapat disesuaikan dengan kedalaman renang ikan.Penyebaran ikan kembung lelaki secara horizontal perlu diketahui juga untuk penentuan daerahpenangkapan ikan (Laevastu & Hayes 1982). Menurut Ganga (2010), daerah penyebaran ikankembung lelaki mencakup Indo-Barat pasifik, Laut Merah, Afrika Timur sampai Indonesia,Ryukyu, Australia, Melanisia, Somalia, hingga memasuki Laut Mediterranean melalui TerusanSuez. Penyebaran ikan ikan kembung lelaki di Indonesia sangat luas, hampir meliputi seluruhperairan yang ada. Ikan kembung lelaki banyak tertangkap di perairan Sumatera Timur Laut,Kalimantan Barat, Kalimantan bagian Tenggara, Laut Jawa, adan Indonesia bagian Timur. Ikan kembung lelaki sebagai salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis kecil memilikiperanan yang penting bagi produksi perikanan laut di kawasan perairan Palabuhanratu yangmemiliki potensi cukup besar. Ikan kembung lelaki biasanya hidup di wilayah dekat pantai danmembentuk gerombolan besar. Daerah penyebarannya di perairan pantai Indonesia dengankonsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa dan Selat Malaka. Ikankembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam hari dan pada 44

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini dipengaruhi oleh gerakanharian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor hidrografis dan salinitas (Widyantoro2009). Dengan keberadaan ikan kembung lelaki di perairan tersebut maka diperlukan suatukajian mengenai pertumbuhan dan reproduksi ikan kembung lelaki. Struktur umur merupakaninformasi yang sangat penting dalam mengkaji pertumbuhan di suatu perairan, struktur umursuatu ikan dapat diduga melalui frekuensi sebaran panjang. kematangan gonad (TKG)merupakan dasar dalam analisis reproduksi ikan. Kajian pertumbuhan dan reproduksi ikankembung lelaki di Selat Sunda diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaansumberdaya ikan kembung lelaki agar tetap lestari. Sehingga perlu dilakkan penelitaian yangbertujuan memberikan informasi tentang pertumbuhan dan reproduksi dari ikan kembung lelaki(Rastrelliger kanagurta) di Perairan Palabuhanratu.2. Metode Penelitian2.1. Waktu, Bahan dan Alat Penelitian ini dilakukan pada awal Maret sampai dengan akhir April 2014. Ikan contohyang didapatkan merupakan ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, salah satu alatpenangkapan ikan dengan target penangkapan ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta)adalah alat tangkap payang. Alat-alat yang digunakan selama penelitian adalah alat bedah, kaca preparat, timbangandigital, penggaris, cawan petri, gelas ukur, pipet tetes, mikroskop, mikrometer, kalkulator, danjangka sorong. Bahan yang digunakan selama penelitian antara lain ikan kembung lelaki danFormaldehid 40% yang diencerkan menggunakan air dengan perbandingan 1 : 4.2.2. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Dataprimer diperoleh melalui pengukuran panjang, bobot dan pengamatan tingkat kematangangonad ikan. Sebelum dilakukan pengukuran panjang dan bobot serta pengamatan tingkatkematangan gonad, ikan contoh yang akan diamati diambil secara acak berdasarkan jumlahkapal dan tumpukan ikan. Ikan contoh yang diambil dari PPN Palabuhanratu dimasukan kedalam cool box dandibawa ke Laboraturium Biologi Perikanan, Bagian Manajemen sumberdaya Perikanan,Manajemen sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian 45

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Bogor. Kemudian ikan tersebut diukur panjang, bobot dan ditentukan tingkat kematangangonadnya. Pengukuran panjang dilakukan menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 cm danpengukuran bobot dengan menimbang ikan menggunakan timbangan digital yang memilikiketelitian 0,01 gram. Selanjutnya, untuk menentukan jenis kelamin dan tingkat kematangangonad maka ikan yang sudah diukur panjang dan bobot selanjutnya dibedah denganmenggunakan alat bedah. Tingkat kematangan gonad ikan kembung lelaki dapat dibagi menjadilima tahap. Penentuan tingkat kematangan gonad menggunakan klasifikasi kematangan gonadyang telah ditentukan (Tabel 1). Tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologiberdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad. Penentuantingkat kematangan gonad mengacu kepada tingkat kematangan gonad ikan (Tabel 1) .Tabel 1. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologiTKG Betina JantanI Ovari seperti benang, panjangnya Testes seperti benang,warna jernih, dan sampai ke depan rongga tubuh, serta ujungnya terlihat di rongga tubuh permukaannya licinII Ukuran ovari lebih besar. Warna Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti ovari kekuning-kuningan, dan telur susu belum terlihat jelasIII Ovari berwarna kuning dan secara Permukaan testes tampak bergerigi, warna morfologi telur mulai terlihat makin putih dan ukuran makin besarIV Ovari makin besa, telur berwarna Dalam keadaan diawet mudah putus, testes kuning, mudah dipisahkan. Butir semakin pejal minyak tidak tampak, mengisi 1/2- 2/3 rongga perutV Ovari berkerut, dinding tebal, butir Testes bagian belakang kempis dan dibagian telur sisa terdapat didekat pelepasan dekat pelepasan masih berisiSumber: Effendie (2002) Untuk menentukan fekunditas dan pengukuran diameter telur maka telur diambil darigonad dengan mengambil contoh dari tiga bagian gonad yaitu bagian anterior, median danposterior, masing-masing sebanyak 100 butir, lalu dengan menggunakan mikrometer okulerdan objektif dihitung jumlah telurnya dan diukur diameter telurnya dengan perbesaran 4 x 10kali. Penentuan fekunditas hanya dilakukan terhadap gonad yang telah matang.2.3. Analisis Dataa. Hubungan panjang bobot Berat ikan sebagai variabel respon dan panjang sebagai variabel prediktor mempunyaihubungan fungsional ( Sparre et al. 1989 ), yaitu : 46

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 1, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 W = q Lbdimana : W = berat ikan (gram),L = panjang total (cm),q dan b = parameter.b. Parameter pertumbuhan Parameter pertumbuhan diduga menggunakan Model pertumbuhan Von Bertalanffy(Sparre & Venema 1999): ������������ = ������∞(1 − ������������������−������(������−������0))dimana : Lt = Ukuran ikan pada umur t (mm) L∞ = Panjang asimtotik / panjang maksimum (mm) K = Koefisien pertumbuhan (bulan) t0 = Umur hipotesis ikan pada panjang 0 Untuk memperoleh nilai dugaan parameter pertumbuhan L∞ dan K digunakan paketELEFAN I yang terdapat pada perangkat lunak FiSAT II. Selanjutnya pendugaan umur teoritispada saat panjang ikan sama dengan nol (to) digunakan rumus empiris Pauly ( Pauly 1984)sebagai berikut: Log (-to) = -0,3922 – 0,2752Log L∞ - 1,0380Log Kc. Indeks kematangan gonad Untuk menentukan Indeks Kematangan Gonad (IKG) menggunakan rumus menurutEffendi ( 1997) : IKG % = 100xWWgdimana: W = Berat ikan (gram) dan Wg = Berat gonad (gram)d. Fekunditas Fekunditas diasumsikan sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovary ikan yang telahmencapai TKG 4. Cara mendapatkan telur yaitu dengan mengambil telur dari ikan betinadengan mengangkat seluruh gonadnya dari dalam perut ikan yang telah diawetkan. Fekunditasdapat dihitung dengan metode gravimetrik dengan rumus (Effendi 1997) : F= (GQ) xNdimana : F = Fekunditas N = Jumlah telur tiap gonad contoh G = Berat gonad (gram) Q = Gonad contoh (gram) 47


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook