PROSA FIKSI Teori dan Kajian Dra. Yusra D., M.Pd KOMUNITAS GEMULUN INDONESIA
PROSA FIKSI Teori dan Kajian Copyright © 2023 Diterbitkan oleh Komunitas Gemulun Indonesia (anggota IKAPI) Jalan Kapten Abdul Hasan, Rt 26 nomor 38A, Kecamatan Telanai Pura, Jambi. Telepon: 0823-74662791 Email: [email protected] Instagram: komunitasgemulunindonesia Website: Gemulun.com Penulis: Dra. Yusra D Layout: Nazwa Sampul: Dimas Anugrah Adiyadmo ISBN: Februari 2023 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku Ini tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR Rasa syukur tiada henti dilantunkan ke hadirat Allah subhanahuwataala karena buku yang berjudul “Teori dan Kajian Prosa Fiksi” ini akhirnya selesai. Buku ini berisi konsep atau teori tentang prosa fiksi dan berbagai pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji prosa fiksi. Pertama, penjelasan tentang tujuan yang ingin dicapai setelah memahami buku ini. Kedua, konsep tentang apresiasi, analisis, dan kajian. Ketiga, konsep tentang sastra, fiksi, dan prosa. Keempat, paparan tentang bekal awal seorang apresiator. Kelima, paparan tentang jenis-jenis prosa fiksi beserta contoh masing-masingnya. Keenam, paparan tentang unsur- unsur dalam prosa fiksi. Ketujuh atau terakhir dilengkapi dengan penjelasan tentang pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra terutama prosa fiksi. Setiap topik pembahasan dilengkapi dengan rangkuman, tugas sebagai latihan, umpan balik, dan tes formatif. Buku ini diharapkan dipakai oleh pencinta satra atau masyarakat pada umunya tanpa membedakan tingkatan pendidikan, umur, atau latar belakang sosial lainnya. Diharapkan demikian karena pada hakikatnya karya sastra adalah milik masyarakat dan menceritakan tentang kehidupan masyarakat. Dengan dasar ini pula diharapkan buku ini dapat menjadi media pengembang sastra Indonesia sehingga karya satra tidak lagi menjadi milik sekelompok orang tetapi menjadi milik semua orang. Semoga kehadiran buku ini dapat menjembatani pembaca untuk memahami, mencintai, dan memiliki karya sastra terutama prosa fiksi. Selain itu, kehadiran buku ini juga diharapkan sebagai tambahan referensi bagi semua pihak yang ingin mempelajari dan mengkaji prosa fiksi.
Kesempurnaan adalah milik Allah. Sebagai manusia, mungkin masih ada paparan isi buku ini yang perlu dibenahi atau dilengkapi. Oleh sebab itu, pemikiran dan kritikan pembaca tentu sangat diharapkan. Semua pihak yang pemikaran atau tulisannya dimanfaatkan dalam penyusunan buku ini, penulis mohon keikhlasannya. Semoga menjadi bagian dari amal bagi pemilik pemikiran atau tulisan yang telah dimanfaatkan. Aamiin. Jambi, Agustus 2023 Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................i DAFTAR ISI ......................................................... ii BAB 1 MENGENAL PROSA FIKSI........................... 1 1.1Pengantar ........................................................... 1 1.2Tujuan Instruksional Umum .............................. 2 1.2Tujuan Instruksional Khusus ............................. 2 BAB 2 APRESIASI, ANALISIS, DAN KAJIAN .......... 4 2.1 Pengertian Apresiasi ........................................... 4 2.2 Pengertian Analisis ............................................. 7 2.3 Pengertian Kajian ............................................... 7 BAB 3 PENGERTIAN SASTRA, FIKSI, DAN PROSA. 9 3.1 Pengetian Sastra .................................................9 3.2 Pengertian Fiksi ..................................................10 3.3 Pengertian Prosa .................................................11 3.4 Pendapat Para Ahli tentang Prosa Fiksi .............. 12 BAB 4 BEKAL AWAL SEORANG APRESIATOR ....... 18 4.1 Kepekaan Emosi................................................. 21 4.2 Pengetahuan dan Pengalaman............................. 24 4.3 Pemahaman Terhadap Aspek Kebahasaan........... 35 4.4 Pemahaman Terhadap Unsur Instrinsik.............. 37 BAB 5 JENIS-JENIS PROSA FIKSI ........................ 45 5.1 Cerpen ............................................................... 46 5.2 Novel .................................................................. 46 5.3 Mite ................................................................... 62 5.4 Legenda .............................................................. 68 5.5 Dongeng ............................................................. 73 5.6 Hikayat ...............................................................86
BAB 6 UNSUR-UNSUR DALAM PROSA FIKSI ......... 100 6.1 Setting................................................................. 100 6.2 Gaya ...................................................................102 6.2 Tokoh, Penokohan dan Perwatakan .................... 104 6.4 Alur .................................................................... 106 6.5 Titik Pandang ..................................................... 111 6.6 Tema .................................................................. 113 6.7 Amanat ...............................................................114 BAB 7 PENDEKATAN DALAM MENGAPRESIASI SASTRA ......................... 118 7.1 Pendekatan Parafratis .........................................119 7.2 Pendekatan Emotif ............................................. 120 7.3 Pendekatan Analitis ............................................ 122 7.4 Pendekatan Historis ............................................125 7.5 Pendekatan Sosiopsikologis ................................ 125 7.6 Pendekatan Didaktis ...........................................127 7.7 Pendekatan Struktural ....................................... 129 7.8 Pendekatan Struktural Hermeneutik .................. 131 7.9 Pendekatan Struktural Genetik .......................... 134 7.10 Pendekatan Pragmatik ...................................... 138 7.11 Pendekatan Semiotik ........................................ 139 7.12 Pendekatan Stilistika ........................................ 140 DAFTAR PUSTAKA ............................................... 146
BAB I MENGENAL PROSA FIKSI 1.1 Pengantar Berawal dari isu yang simpang siur tentang mutu pendidikan dewasa ini, termasuk di Perguruan Tinggi, yang penyebabnya adalah karena tidak tersedianya atau minimnya bahan ajar perkuliahan maka kehadiran buku ini mudah-mudahan dapat menjadi sebuah alternatif untuk menutupi persoalan tersebut. Selain itu, buku ini diharapkan dapat dijadikan acuan yang lebih memudahkan mahasiswa mengikuti mata kuliah Prosa Fiksi. Diharapkan demikian karena buku ini sengaja disajikan dengan bahasa yang cukup sederhana, berawal dari pengertian dasar, teori-teori Prosa Fiksi, model- model pengembangan Prosa Fiksi, Kajian Prosa Fiksi, dan latihan untuk setiap pembahasan. Buku ini juga diharapkan dipakai oleh pencinta satra atau masyarakat pada umunya tanpa membedakan tingkatan pendidikan, umur, atau latar belakang sosial lainnya. Diharapkan demikian karena pada hakikatnya karya sastra adalah milik masyarakat dan menceritakan tentang kehidupan masyarakat. Dengan dasar ini pula diharapkan buku ini dapat menjadi media pengembang sastra Indonesia sehingga karya satra tidak lagi menjadi milik sekelompok orang tetapi menjadi milik semua orang. Keterbatasan tentu merupakan milik manusia, oleh karena itu penyusunan buku ini juga lebih banyak 1
dibantu dengan buku dan pemikiran para ahli sastra lainnya. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kerelaan penulis yang bukunya dimanfaatkan untuk penyusunan buku ini. Tidak ada niat menjadi plagiator, semua dilakukan semata-mata agar isi buku ini lebih lengkap. Dengan demikian, segala kesalahan atau kekeliruan penulis dalam melakukan penulisan buku ini mudah-mudahan dapat dimaafkan oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan akibat munculnya buku ini. Namun demikian, mudah-mudahan semua itu tidak terjadi, tidak ada pihak yang dirugikan. 1.2 Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa diharapkan memiliki konsep tentang prosa fiksi, pendekatan dalam mengkaji prosa fiksi, aktivitas membaca prosa fiksi, mendiskusikan prosa fiksi, serta memiliki konsep pembinaan kecintaan terhadap prosa fiksi, tujuan pembinaan prosa fiksi, bahan pembinaan prosa fiksi, kegiatan reseptif dan produktif prosa fiksi, metode pembinaan prosa fiksi, dan evaluasi pembinaan prosa fiksi. 1.3 Tujuan Instruksional Khusus Tujuan instruksional khusus mata kuliah Prosa Fiksi adalah: 1. Mahasiswa diharapkan dapat mengapresiasi minimal tiga buan cerpen, satu buah novel, dan satu buah sastra daerah sebagai bentuk karya sastra prosa fiksi selama mengikuti mata kuliah Prosa Fiksi. 2. Mahasiswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang konsep-konsep apresiasi, sastra, dan fiksi. 2
3. Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan langkah-langkah dalam memahami karya sastra dan bekal awal seorang apresiator. 4. Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan jenis- jenis prosa fiksi dan membedakan setiap jenis prosa fiksi. 5. Mahasiswa diharapkan dapat menerapkan enam bentuk pendekatan dalam mengkaji prosa fiksi. 6. Mahasiswa diharapkan dapat dibina kajian prosa fiksinya melalui kegiatan reseptif prosa fiksi. 7. Mahasiswa diharapkan dapat dibina kajian prosa fiksinya melalui kegiatan produktif prosa fiksi. 8. Mahasiswa diharapkan dapat mengkaji prosa fiksi dari segi unsur dalam prosa fiksi Tugas 1 Carilah artikel mengenai kajian prosa fiksi dari jurnal terindeks, minimal lima jurnal! Tuliskan sumbernya secara lengkap dan jelas. 3
BAB II APRESIASI, ANALISIS, DAN KAJIAN 2.1 Pengertian Apresiasi Apresiasinya sebenarnya adalah berhubungan dengan penghargaan dan pemahaman terhadap hasil seni atau budaya (termasuk karya satra). Dalam proses penghargaan dan pemahaan itu, beberapa proses harus dilalui. Menurut Udin (1985) proses apresiasi itu adalah mengenai, memahami, menghayati, dan menilai. Menurut Witherington (dalam Zakaria dkk, 1981:3) “apresiasi itu adalah pengenalan tingkatan pada bidang nilai-nilai yang lebih tinggi”. Artinya adalah sampainya si penikmat hasil seni atau budaya itu kepada hal yang paling tinggi yaitu penilaian. Dari hasil penilaian itu kita dapat menentukan atau memberikan penghargaan terhadap sesuatu. Penghargaan itu bisa baik dan bisa pula jelek. Hal inilah yang menjadi penekanan utama dalam pengertian apresiasi, yaitu bagaimana kita menetapkan nilai-nilai buruk-baik terhadap sesuatu itu. Dalam hal ini, terhadap hasil budaya masyarakat seperti: sastra, seni, atau budaya itu sendiri. Jadi, dalam bentuk apapun seni atau budaya itu ingin diapresiasikan, kita tidak bisa terlepas dari proses di atas. Seseorang baru bisa sampai kepada apresiasi yang sebenarnya apabila ia telah dapat memberikan 4
penilaian yang utuh, lengkap, dan dapat diterima oleh masyarakat terhadap hal yang dinikmatinya. Mengapresiasi adalah suatu kerja yang kompleks, melibatkan pikiran dan proses kejiwaan kita yang berkembang. Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin yaitu apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas mengandung makna pengenalan melalui pereasaan dan kepekaan batin dan pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang (Aminuddin, 1987). Bila dihubungkan dengan kata sastra, apresiasi sastra ialah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 1974). Dengan kata lain, paresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya bagaimanakah caranya untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dan mengerti seluk-beluk strukturnya. Pendek kata, apresiasi sastra itu merupakan upaya, “merebut makna” karya sastra (Teeeuw, 1982), sebagai tugas utama seorang pembaca. Untuk dapat memahami struktur karya sastra dan dapat merebut makna dengan setepat-tepatnya, seorang pembaca perlu mengerti bagian-bagian atau elemen- elemen karya sastra. Dikatakan demikian karena karya satra merupakan sebuah struktur yang rumit (Wellek dan Warren, 1956). Sebagai sebuah struktur, karya sastra mengandung gagasan keseluruhan, gagasan transformasional, dan gagasan kaidah yang mandiri (Hawkes dalam Dewi, 2002). Oleh karena itu, untuk mengerti karya sastra diperlukan analisis terhadap 5
bagian-bagian struktur tersebut. Dengan demikian, nyatalah bahwa apresiasi sastra merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kritik sastra. Bahkan, dapat pula dikatakan bahwa apresiasi satra merupakan salah satu jenis kritik sastra terapan (selanjutnya lihat: Abrams, 1981). Istilah lain untuk proses apresiasi sastra ini disebut juga kajian sastra. Apabila sastra dapat dipandang sebagai penjelmaan pengalaman sastrawan ke dalam medium bahasa sehingga membentuk sebuah struktur yang rumit seperti dikemukakan di atas, mengapresiasi karya sastra berarti mengenali, memahami, dan menikmati pengalaman dan menikmati bahasa yang menjadi jelmaan pengalaman tersebut, serta hubungan antara keduanya dan dalam struktur keseluruhan yang terbentuk itu. Sebagai suatu perujudan kebutuhan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan estetik, karya sastra diciptakan sastrawan dengan tujuan untuk dibaca dan dinikmati jika berbentu sastra tulis. Akan tetapi, jika si pembaca tidak mengerti dengan baik karya sastra tersebut, sudah barang tentu manfaat dan kenikmatan karya sastra yang dihadapinya menjadi berkurang. Malahan sering terjadi bahwa si pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari karya sastra yang sedang dibaca atau dihadapnya. Dalam kaitannya ini, karya sastra sering dikambinghitamkan, dituduh terlampau sukar dan rumit. Walaupun sesungguhnya karya itu sangat bagus dalam arti karya itu bernilai seni tinggi dan mengandung gagasan yang juga tinggi nilainya. Untuk mengurangi kesukaran pemahaman karya sastra, atau tepatnya untuk memahami karya sastra sebagai tujuan apresiasi, pembaca terlebih dahulu harus mengatahui apa saja yang harus dilakukannya. Dengan kata lain, ia perlu mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan kritik sastra, apalagi jika disadari bahwa 6
apresiasi seperti sudah disebutkan pada hakikatnya merupakan salah satu jenis kritik sastra terapan. 2.2 Pengertian Analisis Secara harfiah, kata analisis dapat diartikan penyelidikan. Kata ini sering juga disebut atau ditulis dengan kata analisa.Namun, sesuai dengan pembakuan istilah kata-kata yang diserap dari bahasa asing, kata yang tepatnya adalah analisis karena ka ini berasala dari bahasa Inggris yaitu analysis. Sesuai dengan pedoman pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia, kata analysis diserap sesuai dengan bunyi aslinya yakni menjadi analisis. Menurut Team Pustaka Phoenix (2007:45) kata analisis diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya): penguraian suatu pokok atau berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan; penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagiannya dan sebagainya; penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya; proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya. 2.3 Pengertian Kajian Kata kajian dalam perbincangan sastra tidak begitu sering digunakan. Penelaah sastra lebih sering menggunakan istilah apresiasi atau analisis. Di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, ketika Kurikulum Prodi ini direvisi pada tahun 2005, mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi, 7
Apresiasi Puisi, dan Apresiasi Drama diganti menjadi Kajian Prosa Fiksi, Kajian Puisi, dan Kajian Drama. Tidak perlu dalam kesempatan ini dibincang kenapa terjadi perubahan atau penggantian nama mata kuliah itu. Hal yang penting dibahas dalam kesempatan ini adalah apa makna kata kajian yang sekarang dilekatkan dengan kata prosa fiksi yang akhirnya menjadi nama mata kuliah Kajian Prosa Fiksi. Lebih pas barangkali apabila arti kata ini kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata kajian sebenarnya berasal dari kata dasar kaji ditambah akhiran -an yang akhirnya membentuk kata kerja. Menurut Team Pustaka Phoenix (2007:406) kata kaji berarti “pelajaran terutama dalam hal keagamaan; aji: penyelidikan dengan pikiran mengkaji, memeriksa, mempelajari Qur‟an, belajar membaca tulisan Arab”. Memahami pengertian kata kajian seperti yang diuraikan dari arti kata kaji di atas maka kata kajian dapat dimaknakan sebagai suatu usaha penyelidikan dengan pikiran. Apabila kita lekatkan dengan kata prosa fiksi maka bertai penyelidikan dengan pikiran terhadap prosa fiksi. Dalam hal ini tersirat bahwa ketika kita melakukan kajian prosa fiksi maka berarti kita harus menggunakan pikiran atau ilmu pengetahuan yang mendalam untuk menelaah karya prosa fiksi itu. Tugas 2 Jelaskanlah pengertian apresiasi, analisis, dan kajian berdasarkan pendapat yang bersumber dari jurnal bereputasi! 8
BAB III PENGERTIAN SASTRA, FIKSI, DAN PROSA 3.1 Pengertian Sastra Sastra berarti karangan yang baik untuk melukiskan sesuatu tentang kehidupan manusia yang penuh dengan nilai-nilai. Pengertian ini diperjelas lagi oleh beberapa orang ahli. Menurut Semi (1984:25), “sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya”. Sumardjo, dkk (1997:3) yang menyatakan bahwa “satra adalah ungkapan berbagai pribadi manusia dalam bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”. Menurut Hardjana ( 1981:25) “Sebuah karya sastra…, merupakan satu kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri. Merupakan satu dunia keindahan dalam wujud bahasa yang dari dirinya telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas”. Menurut Team Pustaka Phoenix (2007:766) kata sastra diartikan “bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari”. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1983: 3). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu 9
jiwa. Selain sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca. Dalam hal ini, pengarang atau manusia itu sendiri berhadapan dengan kenyataan dalam masyarakat yang merupakan objek. Oleh karena itu, realitas objektif diolah dengan ketajaman rasio dan intuisinya secara kreatif dengan alat bahasa dan realitas itu dapat diambil melalui peristiwa-peristiwa, nilai-nilai, atau pandangan hidup. Berbagai pendapat yang telah dipaparkan ini makin memperjelas bahwa sastra itu digali dan diangkat dari masalah kehidupan manusia dengan segala eksistensinya. Dalam proses memahaminyalah dituntut suatu proses daya tanggap dan kejiwaan. 3.2 Pengertian Fiksi Fiksi sering pula disebut cerita rekaan, ialah cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannnya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, ataupun pengolahan tentang peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalannya. Menurut Team Pustaka Phoenix (2007:246) fiksi berarti “1 Sas cerita rekaan (berupa novel, roman, cerpen, dsb); 2 khayalan, rekaan; sst yang bukan berdasarkan peristiwa at pengalaman nyata”. Dalam rumusan di atas jelas bahwa fiksi itu bisa berupa suatu penceritaan tentang tafsiran atau imajinasi pengarang tentang peristiwa yang pernah terjadi atau hanya terjadi dalam khayalannya saja. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa fiksi itu tidak dapat tidak harus berbicara tentang pengalaman manusia. 10
Kalaupun pernah muncul cerita-cerita fabel, namun binatang yang digambarkan itu harus berwujud simbolis dari pengalaman hidup manusia. Bila berbicara tentang pengalaman manusia maka ia tidak boleh terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita kenal atau kita alami. Sebuah karya fiksi seperti novel dan cerpen tidak sama betul dan tidak mungkin sama betul dengan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam fiksi mungkin tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Kalau sebuah fiksi sudah sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarang mungkin saja karya tersebut tidak dibaca orang karena kering, tanpa bumbu. Sebaliknya pun bisa terjadi bila sebuah karya fiksi itu terlalu asing dari kehidupan, ia akan menjadi abstrak dan sukar dikenali dan dinikmati. Bila seorang sastrawan menulis tentang peristiwa kehidupan manusia, seorang wartawan juga menuliskan hal yang sama, namun hasilnya akan sangat berbeda, dan kesan bagi pembacanya pun berbeda. Seorang filosuf juga pada umunya menceritakan tentang manusia serta tindak-tanduk mereka, namun hasilnya akan berupa penyampaian yang abstrak dan teoritis. Akan tetapi melalui fiksi hal itu diceritakan secara konkrit, artinya diceritakan melalui gerak laku, para tokoh bergerak melakukan sesuatu dan berinteraksi antara satu sama lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fiksi itu terletak di antara jurnalistik dan filsafat, dan sekaligus merupakan sintesis dari keduanya. 3.3 Pengertian Prosa Prosa adalah satu di antara bentuk karya sastra selain puisi dan drama. Menurut Team Pustaka Poenix (2007:675) prosa adalah “bahasa tertulis yang biasa, 11
bukan berbentuk sajak, syair dan sebagainya”. Menurut Semi (1984) istilah prosa ada dalam pengertian fiksi. Ia mengatakan fiksi sering pula disebut cerita rekaan, ialah cerita dalam prosa. Karya sastra fiksi atau biasa disebut cerita rekaan, merupakan salah satu jenis karya sastra yang beragam prosa. Prosa dalam kesusastraan sering disebut juga dengan istilah fiksi. Kata prosa berasal dari bahasa Latin \"prosa\" yang artinya \"terus terang\". Kata prosa dalam bahasa Indonesia diambil dari kata serapan bahasa Inggris, yakni prose. Kata ini sebenarnya mengacu pada pengertian yang lebih luas. Dalam hal ini prosa diartikan sebagai segala hal yang sifatnya menceritakan sesuatu tentang hidup dan kehidupan manusia, yang didasari oleh imajinasi pengarangnya. 3.4 Pendapat Para Ahli tentang Prosa Fiksi Sudjiman (1984:17) menyatakan bahwa fiksi adalah cerita rekaan, kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi. Muliadi (2017:1) mengatakan bahwa “fiksi atau prosa adalah salah satu jenis gengre sastra,di samping genre lainya.gengre lain yang di maksut ialah puisi dan drama. Prosa termasuk karya sastra yang disebut,cerpen, cerber,dan novel”. Aminuddin (1985: 66) menyatakan bahwa “istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga disebut dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot”. Prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh banyaknya baris, banyaknya suku kata, dalam setiap baris serta tak terikat oleh irama dan rimanya seperti dalam puisi. Prosa berbeda dengan puisi karena variasi ritme yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. 12
Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Oleh sebab itu, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa kadangkala juga disebut dengan istilah \"gancaran\". Istilah fiksi lebih sering digunakan untuk membedakan antara relaitas realitas (sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris) dengan apa yang tidak terjadi dalam dunia nyata, dengan istilah lain yaitu nonfiksi. Kebenaran atau ketidakbenaran, ketidakadaan, atau ketidakrealitisan hal-hal yang dikemukakan dalam suatu karya yang dibuktikan secara ilmiah. Inilah yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang digunakan dalam fiksi merupakan hasil imajinasi atau bersifat imajinatif, sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Inilah yang akhirnya menyebabkan istilah prosa atau fiksi atau teks naratif, atau wacana naratif berarti cerita rekaan, cerita yang bermula dari rekaan pengarangnya.. Abrams (1981:61) juga menyatakan bahwa “Fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan (tidak mengacu) pada kebenaran sejarah. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas (realitas = sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris sementara fiksi = sesuatu yang sulit dibuktikan kebenarannya dengan data empiris apakah terjadi atau tidak). 13
Rangkuman 1. Sastra berarti karangan yang baik untuk melukiskan sesuatu tentang kehidupan manusia yang penuh dengan nilai-nilai. 2. Fiksi sering pula disebut cerita rekaan, ialah cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannnya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, ataupun pengolahan tentang peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalannya. Tugas 3 1. Jelaskanlah pengertian sastra berdasarkan pendapat yang bersumber dari jurnal bereputasi! 2. Jelaskanlah pengertian fiksi berdasarkan pendapat yang bersumber dari jurnal bereputasi! Umpan Balik dan Tindak Lanjut! Untuk pengetahuan Saudara tentang kebahasaan dan hubungannya dengan kajian prosa, bacalah cerpen berikut! TIGA SAHABAT SETIA Alkisah di Negeri Bahasa, hiduplah tiga orang sahabat yang bernama Meskipun, Walaupun, dan Tetapi. Walaupun mereka tidak tinggal berdampingan, mereka selalu hidup rukun, karena mereka tidak pernah mencampuri urusan masing-masing. Dalam hidup bermasyarakat, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi selalu membantu keluarga-keluarga kalimat yang mebutuhkan pertolongan mereka dalam penggunaan kalimat-kalimat pertentangan. 14
Suatu hari, Pak kalimat datang menemui Tetapi. Ia membutuhkan bantuan Tetapi dalam kalimat ”Kami ingin datang,.... hujan deras menghalangi niat kami”. Disempurnakanlah kalimat tersebut oleh Tetapi menjadi ”Kami ingin datang, tetapi hujan deras menghalangi niat kami”. Di lain waktu, Meskipun, dimintai pertolongannya oleh Pak Kalimat. Pada saat itu, Pak Kalimat membutuhkan Meskipun untuk menyempurnakan kalimat ”...dia menolak, saya tetap memaksanya”. Sayangnya, Meskipun sibuk membantu keluarga kalimat lain, sehingga ia menawarkan penggantinya, Walaupun. Pak kalimat tidak keberatan karena ia mengerti Walaupun dan Meskipun dapat saling menggantikan dalam dalam penggunaann sebuah kalimat pertentangan. Akhirnya, kalimat tersebut menjadi ”Walaupun dia menolak, saya tetap memaksanya”. Pada suatu hari, negeri yang tenang itu terganggu akibat kedatangan Raksasa jahat. Sang Raksasa ini melihat kerukunan Walupun, Meskipun, dan Tetapi, maka mereka pun dihasut oleh Sang Raksasa. ”Hai Meskipun dan Walaupun, tidakkah kalian bangga dapat berkedudukan di depan sebuah kalimat? Kalian adalah pemimpin. Di lain pihak, kalian pun dapat berada di tengah-tengah. Walupun kalian berada di tengah, kedudukan kalian masih terhormat, karena kalian adalah faktor penjelas sebuah kalimat pertentangan. Inganlah! Kalian terlahir tidak untuk menjadi yang terbelakang,” Sang Raksasa menjelaskan. ”Apakah kalian mengerti akan hal ini?” lanjut Raksasa. ”Ya, Raksasa, kami mengerti.” jawab Meskipun dan Walaupun serempak. ”Jika kalian mengerti, seharusnya kalian musnahkan Tetapi.” bujuk Raksasa. ”Apaaa...?”, memusnahkan Tetapi?” tanya Meskipun terkejut dan diikuti kerutan di 15
wajah Walaupun yang menandakan ia tak mengerti maksud Raksasa. ”Ya, memang itu saranku. Tak ada gunanya Dia berada di negeri ini.” tegas Raksasa. “Kalian bisa menggantikan kedudukannya di tengah kalimat.” lanjutnya. ”Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu, Raksasa. Selama ini kami bertiga selalu dapat bekerja sama membantu keluarga-keluarga kalimat. Ada saatnya kami tidak bisa membantu kalimat-kalimat. Pada saat itulah, kami membutuhkan kehadiran Tetapi.” jelas Meskipun. ”Ah, nonsense! Kalian tak memerlukan bantuan Tetapi!” sahut Raksasa. ”Wahai, Raksasa! Alangkah sombongnya kami kalu kami merasa kedudukan kami lebih penting dibanding kedudukan Tetapi. Mari kuberi Engkau sebuah contoh kalimat. ”Hujan telah reda,... kami masih malas pergi.” Pada saat seperti itu, kami tidak bisa membantu kalimat tersebut. Kanya Tetapi yang sanggup membantu kalimat pertentangan tersebut.” kata Walaupun. Raksasa mulai sadar bahwa ia tidak berhasil menghasut Meskipun dan Walaupun, tetapi ia tidak kurang akal. Ia beralih mencoba mengajak Tetapi untuk membenci kedua sahabatnya. ”Hai, Tetapi! Dari manakah Engkau?” tanya Raksasa. ”Aku baru saja membantu kalimat ”Saya cerdas, tetapi saya malas.” jawab Tetapi. Raksasa mulai mengahsut. ”Apakah Kau tak merasa bosan selalu berada di tengah kalimat? Tidakkah Kau sadar betapa serakahnya kedua sahabatmu? Mereka selalu berebut tempat di depan. Mereka tidak pernah memberimu kesempatan untuk berada di depan. Bahkan, posisimu yang hanya di tengah pun terkadang ditempati mereka.” ”Raksasa, tak pernah terpikirkan olehku untuk iri kepada kedua sahabatku. Sudah menjadi takdirku untuk selalu berada di tengah. Betapa tak pantasnya 16
aku menjadi pemimpin sebuah kalimat.” jelas Tetapi dengan bijaksana. ”Bagaimana dengan posisimu yang dirampas oleh mereka?” tanya Raksasa yang terus mencoba menghasut Tetapi. ”Walaupun mereka berada di tengah, tetapi tujuan kami berbeda. Tujuanku untuk menunjukkan pertentangan, sedangkan tujuan kedua sahabatku adalah untuk penegasan.” jawab Tetapi dengan tenang. Akhirnya, Raksasa sadar. Tak mungkin baginya mencerai-beraikan ketiga sahabat yang saling setia itu. Maka, ditinggalkannya Negeri Bahasa dengan segudang kekesalan di hatinya. Sepeninggalan Raksasa, Negeri Bahasa kembali tenang dan ketiga sahabat itu, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi menjadi semakin menghormati satu sama lain. Meskipun dan Walaupun tetap dapat saling menggantikan dan mereka juga tidak mencampuri urusan Tetapi. Sumber: Bahan Penataran Dosen Bahasa Indonesia pada Perguruan Tinggi Se-Indonesia (PTN dan PTS), 9 Februari 1999 SOAL: Apresiasilah cerpen ”Tiga Sahabat Setia” yang baru saja Saudara baca dari segi unsur-unsur intrinsiknya. Uraikan apresiasi Saudara dengan lengkap dan jelas! Bandingkan kajian Saudara dengan contoh kajian yang sudah ada. Apa kelemahan kajian yang sudah ada? Uraikan! 17
BAB IV BEKAL AWAL SEORANG APRESIATOR Memahami sebuah karya sastra pada hakikatnya bukanlah sebuah hal yang asing dan baru, namun demikian, kegiatan ini kadangkala terasa asing bagi orang yang belum sanggup menempatkan kegiatan ini sebagai bagian dari aktivitas kesehariannya. Ketika kita menikmati acara sinetron, drama, atau pembacaan puisi dalam sebuah tayangan televisi, pada hakikatnya kita telah sedang melakukan kegiatan memahami karya sastra. Tetapi, akibat kegiatan ini dilakukan secara tidak terencana, serta merta saja dalam keseluruhan aktivitas sehari-hari maka nama dari aktivitas ini pun bahkan tidak pernah menjadi perhatian atau pemikiran kita. Padahal, aktivitas ini sudah merupakan kegiatan mengapresiasi karya sastra yang sudah diolah menjadi sebuah pertunjukan tau tontonan. Sebagai bagian dari aktivitas yang berlangsung di Perguruan Tinggi, kegiatan memahami karya sastra harus memenuhi beberapa tahapan atau langkah- langkah. Tujuannya adalah agar hasil aktivitas tersebut dapat menjadi ilmu pengetahuan yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini langkah- langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal, yaitu interpretasi atau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian. 18
Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu sendiri. Dalam hubungan ini, Abrams (1981) membedakan tafsiran menjadi dua hal, yakni dalam artinya yang sempit, penafsiran merupakan upaya untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrasa, dan komentar. Lazimnya penafsiran difokuskan pada kegelapan,ambiguitas, atau kiasan- kiasan. Dalam arti luas, penafsiran atau menafsirkan ialam menbuat jelas arti karya sastra yang bermediakan bahasa itu, yaitu meliputi eksplikasi atu penjelasan aspek-aspek seeperti jenis karya satra, unsur-unsur, struktur, tema, dan efek-efeknya. Analisis ialah penguraian karya satra atas bagian- bagian atau norma-normanya (Pradopo, 1982). Secara lebih khusus, analisis terhadap karya sastra dibedakan menjadi analisis fiksi dan anlisis puisi. Analisis fiksi meliputi analisis semua elemen pembangun fiksi itu, yang mencakup fakta cerita, sarana cerita, dan tema (Stanton dalam Sayuti, 1997). Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detil-detil cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul, sudut pandang, gaya, dan nada. Aspek-aspek inilah yang menjadi fokus pembicaraan dalam mengapresiasi karya fiksi. Kegiatan analisis akan memungkinakn karya satra yang kompleks dan rumit dapat dimengerti. Penafsiran dan analisis memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya. Hakikat karya sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan (Wellek dan Warren, 1956). Hakikat karya sastra berarti kebenaran atau kenyataan suatu karya sastra. Pengertian ini adalah 19
pengertian yang didasarkan kepada pengertian kata hakikat menurut Poerwadarminta (2003). Namun, arti yang terkandung dalam kata hakikat karya sastra itu adalah: Sastra _ _ sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi- segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat _ _ pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa (Hardjana, 1981:10). Penilaian terhadap karya sastra diperlukan untuk menunjukkan nilai literer atau nilai seni karya sastra yang dianalisis. Tanpa usaha menghubungkan dengan penilaian terhadap karya sastra akan mengurangi mutu proses analisis yang dilakukan. Tetapi, perlu dicatat bahwa analisis yang terpotong-potong atau fragmentaris harus dihindari. Cara seperti ini akan menghilangkan hakikat karya satra sebagai suatu kebulatan makna atau sebagai suatu keseluruhan. Penilaiaian adalah usaha menentukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu karya satsra. Dengan adanya penilaian dimungkinkan untuk membuat pemilihan antar karya sastra yang baik dan jelek, yang berhasil dan gagal, yang bermutu tinggi, sedang, dan rendah. Jika penilaian dapat dilakukan sebaik-baiknya, penghargaan kepadanya pun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk itu, diperlukan suatu kriteria, yakni kriteria keindahan atau keberhasilan suatu karya sastra. Pembicaraan mengenai penilaian ini membutuhkan wawasan estetika. Terkait dengan hal di atas, ada beberapa bekal awal yang harus dimiliki oleh seseorang ayang akan melakukan kegiatan apresiasi yang disebut juga dengan bekal awal seorang apresiator. Aminuddin (1987) 20
mengutip pendapat Kellet mengatakan bahwa di saat membaca karya sastra Kellet berusaha menciptakan sikap serius namun dalam nuansa batin yang tenang. Keseriusan ini penting karena bagaimanapun juga karya sastra lahir dari daya kontemplatif juga, karya sastra itu merupakan bentuk ungkapan keindahan yang aktual imajinatif. Menurut Boulton (1977), di samping mengekspresikan keindahan, karya sastra juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan perenungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah agama, filsafat, politik, maupun berbbagai problematika hidup yang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa betapa kompleks dan unik serta peliknya karya sastra itu. Oleh sebab itu, untuk menjadi apresiator sastra yang baik diperlukan beberapa bekal awal. Dengan bekal awal ini diharapkan seseorang mampu mendekati dan menggeluti karya sastra dengan sungguh- sungguh sehingga tumbuh penghargaan dan kecintaannya terhadap karya sastra. Bekal awal ini dapat digunakan untuk setiap jenis karya sastra yang diapresiasi termasuk prosa fiksi. Bekal awal yang dimaksudkan adalah: 1. Kepekaan emosi. 2. Pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan. 3. Pemahanan terhadap aspek kebahasaan. 4. Pemahaman terhadap unsur intrinsik karya sastra. 5. Pengetahuan tentang dunia luar. 4.1 Kepekaan Emosi Kepekaan emosi merupakan gambaran dari gejolak hati sesorang ketika menghadapi sesuatu. Contohnya, 21
seorang pembaca yang tiba-tiba meneteskan air mata membaca sebuah cerita, tersenyum sendiri ketika membaca sebaris kalimat dalam cerita, mengernyitkan kening ketika membaca sesuatu yang menurut pikaran dan perasaannya tidak sesuai dengan realitas, marah, reaksi lain yang muncul ketika membaca cerita sastra, itulah yang dimaksudkan dengan kepekaan emosi. Kepekaan emosi lebih merujuk pada rasa mudah teransang oleh alur cerita yang dibaca. Orang seperti ini lazimnya sangat mudah mengikuti jalan carita yang dibacanya. Ayo, berlatih memahami kalimat-kalimat berikut! Berakhir jua perjamuan ini .... Bagai pesta, kehingaran ini menemukan titik usainya. Kita berdiri kikuk bersebarangan meja .... Saling menatp rikuh, Menyalin kenang sebanyak yang mungkin terengkuh. Entah untuk apa .... Lelaki berjas agung itu berdiri, menaruh benda mati bernama palu; Benda yang sejak ia diketukkan tiga kali itu, menjatuhkan status kepada engkau dan pula aku. Aku tersenyum sumir .... Kau menatap getir .... Tak ada jabatan tangan. Apalagi hangatnya sebuah kecupan. Kita berdiri begitu dekat Seakan mengkopi-paste apa yang mungkin bisa diingat .... Entah untuk apa .... Lalu tanpa komando, hati kita sama-sama menuju pintu. “Kau duluan,” katamu. 22
Aku tak menolak. Kulangkahkan kaki secepat mungkin. Bukan. Bukan karena aku ingin segera jauh darimu. Tapi aku tak ingin kau menyaksikan Sesuatu yang luruh jatuh satu persatu. (Penulis, Mutia Jurnalis) Bila dipahami susunan kalimat yang ditulis oleh Mutia Jurnalis ini, dari sudut bentuk, jelas ini sebauh puisi. Tetapi, jika dipahami makna setiap kalimat yang disusun terasa sedikit lebih mudah dipahami dibandingkan puisi yang disusun dengan kalimat yang terlalu abstrak. Secara sederhana dapat dipahami ini mengisahkan suatu peristiwa di Pengadilan Agama. Peristiwa ditetapkannya perceraian sepasang suami istri. Di antara penandanya ada kata “palu” yang secara lengkap tertulis sebagai berikut. Lelaki berjas agung itu berdiri, menaruh benda mati bernama palu; Benda yang sejak ia diketukkan tiga kali itu, menjatuhkan status kepada engkau dan pula aku. Lelaki berjas agung di sini adalah hakim pengadilan agama. Ia yang telah mengetokkan palu pertanda sidang antara tokoh “engkau” dan “aku” telah tuntas sehingga status keduanya juga jelas, yang ditafsirkan bahwa tokoh “engkau” dan “aku” sudah bercerai. Pembaca yang memiliki kepekaan emosi dengan mudah menemukan kata-kata atau kalimat-kalimat yang menjadi penanda terhadap maksud yang ingin disampaikan pengarang. Akan tetapi, bagi pembaca yang belum memiliki kepkaan emosi, sangat sulit baginya untuk menemukan pesan penulis. Kepekaan emosi haruas dilatih dengan banyak membaca dan memerlukan pelibatan daya imajinasi dan kontemplasi. 23
4.2 Pengetahuan dan Pengalaman yang Berhubungan dengan Masalah Kehidupan dan Kemanusiaan Hasil aktivitas mengikuti pendidikan, baik secara formal maupun nonformal seperti di sekolah atau di lingkungan masyarakat disebut pengetahuan. Sesuatu yang diperoleh melalui aktivitas langsung dalam suatu peristiwa yang terjadi atau dengan mengamati hal yang dialami orang lain, disebut pengalaman. Mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang luas dibandingkan dengan mereka yang kurang atau tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman. Dua hal ini akan mempengaruhi setiap tingkah laku, perbuatan, dan hasil dari pekerjaan yang dilakukan seseorang. Artinya, pengetahuan dan pengalaman akan mempengaruhi apresiasi sesorang terhadap karya sastra. Mari berlatih mengapresiasi cuplikan cerpen berikut; BIAS RINDU Penulis: Naya R Arini menatap Hanafi dan Etek Halimah dengan ragu. Etek Halimah tersenyum. “Duduklah, Nak.” Etek Halimah melambaikan tangan pada Arini dan menepuk sofa di sampingnya. Hanafi menggeser duduknya memberi tempat pada Arini. Arini pun mendekat dan duduk di antara Hanafi dan Etek Halimah. “Ini ibunya dokter Adrian. Beliau ingin bicara denganmu.” Etek Halimah merengkuh bahu Arini lembut. “Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Arini menatap perempuan yang juga sedang menatap ke arahnya. Wanita paruh baya itu menatap Arini dengan mata 24
berkaca-kaca. Sementara Adrian dan Hanafi sama-sama terlihat kaku. “Ibu, Maknya Adrian, Nak. Maaf kalau Ibu baru sempat datang ke sini. Kemarin malam, Adrian tanpa sengaja bercerita tentang seorang laki-laki yang bernama Datuak Sutan Bandaro. Ingatan Ibu langsung melayang pada kejadian delapan tahun silam. Waktu itu, anak Ibu Adrian lulus di jurusan kedokteran di salah satu universitas di tanah Jawa. Ibu tidak punya biaya. Ibu pergi ke tempat Pak Munin dengan membawa seekor sapi. Ibu bermaksud untuk menjual sapi tersebut kepada Pak Munin. Hanya sapi itulah harta ibu satu- satunya kala itu.” Ibu Adrian berhenti sejenak. Perempuan dengan dandanan sederhana itu mengusap matanya yang basah. Arini menyodorkan kotak tisu pada Adrian. Adrian mengambilnya dan memberikan pada ibunya. Dokter muda itu kemudian memeluk ibunya memberi kekuatan. “Kebetulan saat itu, ada induak samangnya (bosnya) Pak Munin, Datuak Sutan Bandaro. Pak Datuak bertanya pada Ibu, kenapa sampai menjual sapi. Entah mengapa, Ibu menceritakan tentang kondisi Ibu saat itu, yang sedang membutuhkan uang untuk biaya Adrian. Mendengar cerita Ibu, Pak datuak menyuruh membawa sapi itu pulang kembali. Ibu bingung. Ibu pikir Pak datuak tidak mau membeli sapi Ibu. Tetapi ternyata …” Ibu Adrian kali ini terisak. Hanafi, Arini dan Etek Halimah menunggu kelanjutannya dengan rasa penasaran. “Tetapi, ternyata … Pak Datuak memberikan bantuan untuk Adrian. Pak Datuak membayarkan uang masuk Adrian ke universitas, membayarkan ongkos Adrian ke Jawa. Dan setiap semester Pak Datuak selalu memberikan bantuan SPP pada Adrian dengan mengirimkannya langsung ke rekening Adrian. Pak Datuak hanya minta satu hal, untuk merahasiakan 25
bantuannya, baik pada Adrian sendiri atau pada siapa pun. Jadi Adrian tidak pernah tahu jika biaya kuliahnya selama ini berasal dari seorang dermawan yang bernama Datuak Sutan Bandaro.” Suara Ibu Adrian bercampur dengan tangisan lirih. Arini terpaku, begitu juga dengan Hanafi dan Etek Halimah. Dada Arini terasa penuh oleh rasa kagum dan bangga. Ternyata ayahnya seorang laki-laki yang hebat. Laki-laki luar biasa yang membantu sesama tanpa pamrih. Barangkali masih ada Adrian Adrian yang lainnya, salah satunya Udin, anak yatim piatu yang dibawa ayah ke rumah ini, disekolahkan dan dibiayai kebutuhan sehari-harinya. Mata Arini terasa panas. Ada rasa haru, bangga, dan takjud di hatinya. Semua campur aduk jadi satu. “Jadi, bisa dikatakan, Adrian adalah anak asuh dari Pak Datuak. Meski Adrian tidak pernah tahu akan hal itu. Dan ketika Adrian bercerita kalau ia memiliki seorang pasien yang bernama Datuak Sutan Bandaro, hati ibu langsung menebak kalau itu adalah orang yang sama yang telah membantu Adrian. Adrian bilang, sebelum Pak Datuak pergi, Pak Datuak berpesan pada Adrian agar mau menganggap anaknya sebagai saudara. Padahal Pak datuak tidak pernah bertemu Adrian sebelumnya. Rahasia Allah memang luar biasa.” Wanita yang memakai baju kurung berwarna kuning pudar itu kembali terisak. Arini pun sama, perempuan berhati lembut itu ikut menangis. Terbayang lagi saat ayahnya menitipkan dirinya pada Adrian. Allah memang penulis scenario yang paling hebat. Sementara Hanafi merasa malu hati mendengar cerita Ibu Adrian. Ternyata mamaknya itu orang yang sangat tulus. Berarti laki-laki itu menjodohkan Hanafi dengan anaknya, semata-mata bukan karena ingin meminta balas budi. Tetapi benar apa yang dikatakannya. Ia 26
hanya mempercayai Hanafi dan ibunya untuk menitipkan Arini jika ia telah tiada. “Ibu dan Adrian minta maaf, kami belum sempat membalas kebaikan dan jasa-jasa almarhum Pak Datuak. Karena Pak Datuak memang melarangnya. Setelah pertemuan pertama di rumah Pak Munin, Ibu hanya bertemu dua kali dengan Pak Datuak, yakni ketika Pak Datuak memberikan uang untuk Adrian dan yang kedua ketika Pak Datuak meminta no rekening Adrian. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi. Jadi Nak Arini jangan salah paham.” “Tidak, Bu. Saya sangat tahu bagaimana Ayah. InsyaAllah saya percaya dengan Ayah dan saya percaya dengan cerita Ibu.” “Namun sekarang, Ibu ingin Arini menganggap Ibu dan Adrian sebagai saudara. Katakan saja jika ada yang bisa kami bantu.” Ibu Adrian menatap Arini dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Arini menghapus air matanya. Sementara jari tangan Hanafi mengepal. Laki-laki itu mencoba merilekskan tubuhnya dengan bersandar ke sandaran sofa. “Ya, Bu. InsyaAllah Ayah melakukannya dengan iklas. Ibu dan dokter Adrian jangan sampai merasa terbebani karena pernah dibantu Ayah. Bukankah muslim sejati harusnya seperti itu, membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.” Arini berkata dengan suara parau. Hanafi merasa tertohok mendengar kata-kata Arini. Kata-kata Arini serasa menyindirnya, bukankah ia pernah pernah mengatakan mamaknya membeli dirinya dengan harta dan uang? “Adrian juga cerita kalau Nak Arini telah menikah. Ibu ucapkan selamat semoga kalian berbahagia. Dan Ibu harap, suami Nak Arini tidak salah paham jika kelak Ibu atau Adrian sesekali datang menemui Arini.” Ibu Adrian menangkupkan tangannya ke dada dan mengangguk 27
pada Hanafi. Hanafi mencoba tersenyum. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Etek Halimah terlihat masih takjud dengan apa yang baru didengarnya. Ternyata udanya itu telah menghasilkan dua orang dokter. Semoga kemurahan hati udanya memudahkan jalannya menuju surga, Etek Halimah berdoa dalam hati. “Baiklah, kalau begitu, kami pamit dulu. Ibu dan Adrian mengucapkan bela sungkawa yang sedalam- dalamnya atas berpulangnya Pak Datuak. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat yang sebaik-baiknya.” “Aamiin.” Arini dan Etek Halimah mengaminkan doa Ibu Adrian bersamaan. Terlihat Ibu Adrian bangkit, diikuti oleh anaknya. Arini ikut bangkit disusul oleh Etek Halimah dan Hanafi. Bertiga mereka mengantarkan Adrian dan Ibunya ke pintu. “Boleh Ibu memelukmu?” Ibu Adrian mengembangkan tangan pada Arini. Arini maju dan menerima pelukan dari wanita yang mungkin sebaya dengan almarhum ibunya itu. Mata Adrian terlihat berkaca-kaca. Adrian sebenarnya juga baru mendengar semua cerita tentang Pak Datuak Sutan Bandaro malam lalu. Ibunya merahasiakan semua itu selama delapan tahun lebih. Sedangkan Hanafi terlihat memalingkan wajahnya ke samping. “Terima kasih ,ya, Nak. Berbahagialah kamu memiliki seorang ayah yang sangat hebat.” Ibu Adrian melepaskan pelukannya. “Ya, Bu. Terima kasih telah datang.” Arini tersenyum dengan pipi yang masih basah bekas air mata. Setelah itu, Ibu Adrian menyalami Etek Halimah dan Hanafi. Adrian melakukan hal yang sama. Tak ada kata- kata yang terucap ketika mereka berdua bersalaman. Padahal mereka berdua adalah rekan sejawat yang sudah beberapa kali terlibat dalam pekerjaan yang sama. 28
Arini dan Etek Halimah mengantar sampai ke halaman. Setelah Adrian dan ibunya meninggalkan halaman, Arini dan Etek Halimah baru masuk ke dalam. Mereka menuju ruang keluarga. Terlihat Hanafi dan Annisa sedang duduk di sofa ruang keluarga. Annisa dengan rasa gembira memperlihatkan sepatu dan tas barunya pada Hanafi. “Dapat duit dari mana?” Hanafi memperhatikan tas dan sepatu baru adiknya. Etek Halimah ikutan duduk di dekat anak-anaknya. “Dibeliin Uni Arini.” Annisa menjawab dengan mata berbinar. “Oh.” Hanafi hanya ber-oh saja. Annisa mengangkat bahu merasa tidak mendapat respon apa-apa. “Jangan menyusahkan Unimu.” Etek Halimah akhirnya bicara. “Annisa nggak minta Umi. Uni Arini yang suruh beli.” Annisa manyun. “Iya, Tek. Nggak apa-apa. Kebetulan baru dapat rezeki, Tek.” Arini menjawab seraya melirik Hanafi. Hanafi terlihat sedang memainkan ponselnya. Diam- diam Hanafi sebenarnya menyimak juga pembicaraan adiknya, uminya dan Arini. Ternyata uang yang diberikannya tadi pagi diberikan Arini sebagian untuk adiknya. “Uda mau makan sekarang?” Arini berdiri di samping Hanafi. “Ya.” Hanafi menjawab singkat. Arini segera menuju meja makan. Sebelum menyiapkan makan siang untuk Hanafi, Arini menyerahkan kantong berisi kue pada Etek Pia. Etek Pia menerimanya dan segera memindahkannya ke piring. Arini mengambil piring dan gelas di dapur lalu menatanya di meja makan. Dibukanya tudung saji dan terlihat pangek ikan yang menggugah selera. Ada goreng 29
teri dengan petai dicabe hijau. Rebus daun singkong yang terlihat segar. Duh, Arini jadi pengen makan lagi. “Etek sudah makan?” Arini bertanya pada Etek Pia. “Udah, Nak. Etek makan dengan Etek Halimah dan Udin tadi.” “Oh, iya, Tek.” Arini pun berjalan menuju ruang keluarga. “Ayo, Da, Etek. Makan.” Arini memanggil Hanafi dan Etek Halimah. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat Arini sekilas. “Etek udah makan tadi, Nak. Kalian makan aja berdua.” Etek Halimah tersenyum pada Arini. Tanpa bicara, Hanafi bangkit dan mengikuti langkah Arini menuju meja makan. Etek Halimah menarik napas berat, sikap Hanafi terlihat masih tidak bersahabat pada Arini. Arini ikutan duduk di samping Hanafi. Tiba-tiba ia ingin kembali makan. Setelah menyendokkan nasi ke piring Hanafi, Arini mengambilkan pangek ikan, sayur dan goreng teri. Hanafi hanya diam memperhatikan gerak gerik Arini. Arini biasanya juga seperti itu mengurus ayahnya. “Kamu nggak makan?” Hanafi melirik Arini sekilas. “Aku makan ikan dan sayur aja. Tadi udah makan nasi kapau dengan Annisa.” Arini mengambil ikan dan sayur untuk dirinya sendiri. Hanafi terlihat mulai menyuap nasi ke mulutnya. Arini melakukan hal yang sama. Perempuan itu makan daging ikan yang terasa amat enak di lidahnya. Etek Pia memang jagonya kalau bikin pangek. Mereka pun makan dalam diam. Setelah selesai makan, Hanafi bangkit dan bersiap meninggalkan meja makan. Tetapi sebelum melangkah, Hanafi menatap Arini yang sedang merapikan meja makan. “Kamu sebagai seorang perempuan harus bisa menjaga sikap dengan baik. Jangan mentang-mentang 30
Adrian dan Ibunya mau menganggap kamu sebagai saudara, kamu tidak memperhatikan batas-batas antara seorang laki-laki dan perempuan. Kamu harus paham laki-laki itu tidak memiliki hubungan apa-apa denganmu.” Suara datar Hanafi membuat gerakan tangan Arini terhenti. Perempuan yang terlihat sangat cantik dengan gamis hijau dan hijab coklat mudanya itu menatap Hanafi dengan takjud. Sungguh luar biasa hebatnya ucapan laki-laki ini. Mulut Arini sudah bergerak-gerak hendak bicara. Tapi, ia kembali ingat nasihat sahabatnya, Fitri. Arini harus jadi istri yang sholeha, istri yang baik, dan patuh pada suami. Arini hanya akan melakukan apa yang menjadi bagiannya. Bagian Hanafi biar menjadi urusan laki-laki itu. Melihat Arini hanya diam, Hanafi pun segera berbalik dan melangkah lebar menuju ruang depan. *** Setelah selesai membereskan meja makan, Arini masuk kamar. Tidak lama kemudian, Hanafi pun menyusul. Arini membuka jilbabnya dan meletakkan jilbabnya di keranjang pakaian kotor. Melihat Hanafi akan melangkah menuju kamar sebelah, Arini memanggil Hanafi. “Da.” Hanafi menghentikan langkahnya dan berpaling pada Arini. “Uda di kamar ini aja, ya. Biar aku yang di sebelah.” Arini menatap Hanafi dengan ragu. “Kenapa?” Entah mengapa Hanafi merasa menyesal kenapa harus bertanya. “Aku merasa lebih nyaman di kamar sebelah, karena dari kecil aku tidur di sana.” “Oh.” Hanafi menjawab singkat. Lalu laki-laki itu berbalik dan berjalan menuju tempat tidur besar di belakang Arini. Hanafi merebahkan tubuhnya dengan santai di atas kasur. Arini menarik napas lega, alasan 31
sebenarnya, perempuan itu tidak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali. Kalau di kamar sebelah, kemungkinan hal seperti itu lebih kecil. Arini membuka lemari dan mengambil pakian gantinya. Sekalian diambilkannya celana pendek dan baju kaos untuk Hanafi. “Ini, Da. Ganti dulu bajunya, baru tidur.” Arini meletakkan baju ganti Hanafi di atas kasur. Tanpa menunggu jawaban Hanafi, Arini bergegas menuju kamar sebelah. Setelah Arini tidak terlihat, Hanafi pun bangkit dan mulai membuka pakaiannya satu persatu. Lalu laki-laki itupun menggantinya dengan pakaian yang telah disediakan oleh Arini. Beberapa saat kemudian, Hanafi terlihat telah lelap dalam tidurnya. *** Esok paginya Arini terlihat sibuk menyiapkan pakaian kerja untuk Hanafi. Khusus untuk pakaian Hanafi, kemeja, celana dan jas putihnya, Arini sendiri yang menyuci dan menyetrika. Arini takut jika dikerjakan oleh Etek Pia, hasilnya tidak maksimal. Celana dan kemeja serta pakaian dalam diletakkan Arini di atas kasur. Sementara jas dokternya digantung Arini di pintu lemari pakaian. Ketika Hanafi mandi, Arini juga telah merapikan kamar dan kasur dengan sigap. Sehingga dalam waktu beberapa menit, kamar telah kembali terlihat rapi. Sedari kecil, Arini memang terbiasa mandiri. Meski Arini anak tunggal dan berasal dari keluarga berkecukupan, Arini tidak terbiasa manja dan berdiam diri. Sebelum ada Etek Pia yang membantu mereka, Arini dan ayahnya selalu berbagi tugas mengerjakan pekerjan rumah tangga. Begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka, Arini bergegas ke luar kamar. Arini menuju dapur dan mendapati Etek Pia telah berkutat di dapur. “Bikin sarapan apa, Tek?” Arini mendekat. 32
“Soto, Nak. Uda Hanafi suka soto nggak?” Etek Pia balik bertanya pada Arini. “Kayaknya suka, Tek.” Arini mengambil panci kecil untuk merebus air. “Etek Halimah kok belum ke luar, ya, Tek?” “Nggak tau juga, biasanya habis subuh sudah ikut di dapur.” “Apa mungkin kurang sehat, ya, Tek.” “Nanti setelah selesai masak, Etek lihat ke kamarnya.” “Biar aku aja Tek, sekalian mau ngantar susu buat Etek Halimah.” “Baiklah. Oh, iya, Nak, nanti Etek mau ke pasar sama Udin. Stok di kulkas sudah habis.” “Ya, Tek. Habis bikin minum aku kasih duit belanja, ya, Tek.” Etek mengangguk. Arini mulai memasukkan gula dan teh ke dalam cangkir. Lalu menuangkan air panas. Wangi aroma teh menguar ke udara memenuhi ruangan dapur. Tiga cangkir teh dan segelas susu. Arini meletakkan cangkir-cangkir itu di meja makan. Sementara gelas susunya dibawanya langsung ke kamar tamu. Arini mengetuk pintu dengan tangan kirinya. Pintu di depannya terbuka. Annisa berdiri di depan pintu masih memakai mukena. “Baru selesai sholat, Dek?” Arini masuk dan melihat tempat tidur kosong. Etek Halimah terlihat sedang duduk di sajadah. “Iya, Ni. Kami telat bangun. Umi tadi malam susah tidur.” “Oh, apa Umi sakit?” Arini meletakkan gelas susu di meja. “Nggak, Ni. Lagi banyak pikiran aja mungkin, Ni.” Annisa berbisik di telinga Arini. Arini mengangguk. “Suruh Umi minum susunya, ya. Uni mau antar minuman Uda Hanafi dulu.” Arini berbalik. 33
“Ya, Ni. Makasih.” Annisa berucap sebelum Arini hilang di balik pintu. Arini kembali ke meja makan dan mengambil cangkir teh untuk Hanafi. Sampai di kamar, Hanafi telah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya. “Ini tehnya, Da.” Arini meletakkan cangkir teh di atas meja. “Ya, makasih.” Hanafi menjawab tanpa menoleh. Laki-laki itu mengambil jas putihnya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam tas kulit berwarna coklat. “Nggak bawa mobil aja, Da, biar bawa bajunya bisa digantung. Kasihan nanti jadi kusut.” Arini memperhatikan Hanafi yang terlihat begitu hati-hati memasukkan jasnya ke dalam tas. “Nggak usah, aku naik motor aja.” Hanafi menjawab datar. Arini menelan ludahnya, kerongkongannya terasa kering. Hanafi duduk di kursi dan mengambil tehnya. Laki-laki yang terlihat amat tampan dengan celana coklat tanah dan kemeja warna krem tua. “Da, sepertinya Etek kurang sehat.” Arini duduk di pinggir kasur. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat pada Arini sekilas. “Aku sudah ada janji dengan pasien pagi ini. Nanti setelah selesai, aku segera pulang untuk melihat keadaan Umi.” Hanafi bangkit dan mengambil tasnya. Tanpa pamit, laki-laki itu ke luar dari kamar. Tidak berapa lama terdengar deru sepeda motornya ke luar dari halaman. Arini menarik napas berat. Diusapnya wajahnya dengan gusar. Udah lebih tiga minggu mereka menikah, tetapi hubungan mereka masih juga belum ada kemajuan. Hanafi benar-benar menutup dirinya. Arini tersenyum pedih. Bukan seperti ini pernikahan yang diimpikannya. Bersambung …. Love you all. 34
Lokasi cerita atau tempat kejadian atau setting kutipan novel “Bias Rindu” ini adalah di rumah Arini di suatu daerah Sumatera Barat. Secara tertulis tidak ada dinyatakan lokasi ceritanya di rumah Arini dan rumah itu di suatu daerah di Sumatera Barat. Tetapi, dengan pengetahuan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan dan penggunaan “Datuak Sutan Bandaro” untuk nama tokoh dalam cerita dan kata “Uda” untuk menyapa tokoh Hanafi membantu seorang apresiator memahami isi cerita. Budaya yang melekat dalam masyarakat di Sumatera Barat menjadi pedoman juga bagi pembaca untuk memahami pesan- pesan kekerabatan dan tolong menolong antarsesama dialam masyarakat di sana. Pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan itu dapat dicari melalui penghayatan terhadap kehidupan ini secara intensif contemplatif ataupun lewat membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat, psikologis, sejarah, geografi, hukum, dan sebagainya. 4.3 Pemahaman terhadap Aspek Kebahasaan Sastra merupakan ungkapan keindahan yang mempergunakan bahasa sebagai medianya. Oleh sebab itu, sangat tepat dikatakan bahwa ketika memahami makna karya sastra, pembaca diharuskan memiliki pemahaman terhadap aspek kebahasaan. Hal ini menujukkan bahwa karya sastra pada hakikatnya tetap ditulis dengan memperhatikan aspek kebahasaan seperti morfologi, sintaksis, tanda baca, dan lain-lain. Namun demikian, berhubung karya sastra memiliki sebuah keunikan dan kekhususan dalam mengolah bahasa sehingga menjadi indah, “penyimpangan” terhadap aspek kebahasaan tentulah terjadi dalam penulisan 35
karya sastra. “Penyimpangan “ inilah yang harus menjadi fokus perhatian pembaca karya satra agar apa yang sebenarnya diinginkan pengarangnya terhadap “penyimpangan” tersebut dapat dipahami secara utuh. Keutuhan ini pulalah yang menjadi satu kesatuan yang menarik dan estetis dalam sebuah karya sastra. Pahami cuplikan novel berikut! BUKAN JANDA BIASA Oleh: Mutia Jurnalis Adrian mengepal tangannya. Memukul angin. Ia buka pintu mobilnya, membiarkan angin malam menampar-nampar wajahnya. Argh! Ra! Makin ia masuk ke dunia perempuan itu, makin ia menggali cyrcle perempuan itu, makin ciut nyalinya untuk memastikan perempuan itu berhasil ditaklukkannya. Kenyataannya Sara dikelilingi banyak orang yang menaruh perasaan padanya'kan? Dan jangan lupa, di sana juga ada Hazmi - - lelaki yang jelas-jelas sangat berarti bagi Sara. _BJB_ Sara, tepat setahun sejak hari itu, tiada hari dimana aku tidak bersedih. Kehilanganmu adalah luka yang berbeda, tapi yang paling kutakutkan adalah luka karena suatu hari melihatmu dengan orang lain. Hari itu pasti datang'kan Ra? Hari terburuk saat kau menghukumku dengan menerima orang lain dalam hidupmu setelahku. Sara, jika kau bertanya sekali saja tentang seberapa berat perpisahan ini, kenyataannya yang paling berat adalah menyadari bahwa akulah yang menjadi penyebabnya. Aku telah melukai cinta yang paling mendamaikan -- aku menyia-nyiakan cinta yang hidupku indah tersebabmu. Adakah yang bisa kulakukan Ra? Agar mudah bagi kita, bagimu khususnya -- memaafkan kebodohan 36
terakhirku, lalu kita bersama lagi. Katakan padaku, Ra, bahwa ini juga berat bagimu -- berat tanpa aku?” Bang Zee mengepal tangannya. Dalam cuplikan cerbung “Bukan Janda Biasa” karya Mutia Jurnalis ini, ditemukan kata-kata yang belum baku, seperti “mengepal”, semestinya “mengepalkan”, “Ia buka pintu mobilnya” mestinya “Ia membuka pintu mobilnya”, “Tapi”, mestinya “Tetapi”, “Kau” mestinya “Engkau”, dan mungkin ada beberapa “penyimpangan” ketatabahasaan lainnya. 4.4 Pemahaman Terhadap Unsur Intrinsik Karya Sastra Unsur intrinsik karya sastra sebenarnya merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam, yang sifatnya otonom. Unsur ini terlepas dari masalah pengarang, pembaca, situasi sosial politik, pendidikan, agama, dan sebaginya. Plot, karakter, tema, amanat, sudut pandang, pusat pengisahan, lokasi cerita atau temapt kejadian, dan gaya bahasa yang digunakan merupakan unsur intrinsik prosa fiksi. Unsur-unsur intrinsik seperti ini perlu dipahami karena inilah yang menjadi “jembatan” dan “jendela” bagi pembaca untuk membuka “rahasia” yang ada dalam sebuah karya sastra prosa fiksi. Pemahaman yang dilakukan haruslah dengan keseriusan dan ketelitian agar setiap tanda yang ada dalam karya sastra tersebut dapat dimaknai dengan sempurna. Unsur instrinsik merupakan unsur yang berada di dalam karya sastra, salah satu contohnya adalah alur dan amanat. Amanat yang disampaikan berhubungan dengan nilai dan terkandung nilai di dalamnya begitu pula dengan alurnya. 37
Pengaruh unsur instrinsik adalah bagaimana cara penulis membuat cerita menjadi orisinalitas, kecerdikan, dan kompresi. Cerita harus terlihat alami seperti fakta sampai pembaca dapat jatuh ke kisah itu. Elemen- elemen pada unsur instrinsik ini secara tidak langsung akan mempengaruhi struktur dan isi karya sastra. Rangkuman 1. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal, yaitu interpretasi atau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian. 2. Bekal awal seorang apresiator adalah: a. Kepekaan emosi. b. Pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan. c. Pemahanan terhadap aspek kebahasaan. d. Pemahaman terhadap unsur intrinsik karya sastra. 3. Unsur-unsur intrinsik prosa fiksi adalah plot, karakter, tema, amanat, pusat pengisahan, lokasi cerita atau temapt kejadian, dan gaya bahasa. Tugas 4 1. Uraikanlah langkah-langkah dalam memahami karya sastra berdasarkan rujukan dari pendapat para ahli di jurnal! 2. Apa sajakah bekal awal seorang apresiator? Jelaskanlah berdasarkan pendapat para ahli! 38
Tes Formatif Bacalah cerpen berikut! Apresiasilah cerpen tersebut dengan menentukan unsur intrinsik yang membangunnya. AMPLOP IBU MERTUA Oleh: Mutia Jurnalis ”Hati-hati ya Ma, makasih udah jengukin Rani ....” Aku menoleh ke suara di teras sebelah. Kulihat tetangga sebelahku, Rani -- yang sedang hamil tujuh bulan -- sedang berpelukan dengan perempuan paruh baya yang kukenali sebagai mertuanya. Perempuan berparas lembut itu mengusap perut Rani -- nampak sekali penuh kasih. ”Iya, Cah Ayu. Jaga diri baik-baik. Kapanpun kamu butuh Mama, telpon ya. Adi, jaga istrimu baik-baik. Jangan sering ditinggal.” Adi, suami Rani terlihat tertawa bahagia. Aku menyeret langkah menuju pagar. Membuang sampah ke dalam kotak untuk besok diambil tukang sampah komplek. Perumahan disini berbentuk kapel yang rata-rata dihuni pasangan muda. Dan kapel yang kukontrak dengan Mas Erwin, bersebelahan dengan kapel yang dikontrak Rani dan Adi. ”Eh, Mbak Erika. Buang sampah Mbak?” Tetiba mertua Rani menyapaku. Aku menyuguhkan seuntai senyum. ”Iya, Bu. Ibu mau pulang? Kok buru-buru?” Perempuan ramah itu membalas senyumku. ”Kasihan bapak, Mbak, kalau lama-lama. Nggak ada yang masakin. Pareng ya, Mbak. Nitip tengok-tengokkan Rani ya?” 39
Aku mengangguk. Ikut melepas kepergian si ibu yang masuk ke mobil Adi dan tak berapa lama suara klakson lembut mobil itu terdengar sebelum bergerak perlahan menjauh. Di teras Rani tersenyum ke arahku. ”Enak kamu, ya, Ran. Punya mertua baik, sayang sama kamu,” aku mendecih. Tetiba bayangan ibu mertuaku melintas begitu saja. Sejak menikah, nyaris tak ada perlakuan manis yang kuterima darinya. ”Alhamdulillah, Mbak. Mama memang baik. Tak berbeda dengan ibu kandungku sendiri. Malah mama mertua ini sering berlebih-lebih.” ”Nikmat itu, Ran. Tidak semua orang beruntung seperti kamu.” ”Alhamdulillah. Yuk, Mbak. Aku masuk dulu mau beres-beres.” ”Iya. Jangan kecapekan ya, kamu lagi hamil besar itu.” ”Siap, Mbak ....” * Andai aku punya mertua seperti mertua Rani. Entah mengapa hatiku terasa sesak sendiri. Menikah dengan Mas Erwin, mau tak mau salah satu takdir yang aku sesali -- walau kutahu itu dosa. Hingga anak tiga, kami belum sanggup beli rumah sendiri. Terhitung sudah empat kali pindah kontrakan dan itu membuatku terkadang lelah. Aku sadar, gaji Mas Erwin hanya cukup untuk makan dan biaya sehari-hari; bayar tagihan listrik, bayar sekolah, jajan dan sedikit menyisihkan untuk bayar kontrakan tahun berikutnya. Belum lagi Mas Erwin juga harus menyisihkan sedikit untuk ibunya -- memang sih, uangnya dititipkan padaku dan terserah aku mau memberi berapa. Tapi tetap saja hati ini rasanya sebal. Untuk keluarga sendiri saja masih belum berlebihan masih harus memberi ibunya. Huff. 40
Ibu Mas Erwin bukan tipikal orang yang tahu berterima kasih. Tinggal di kontrakan sepetak -- berkeras tak mau serumah dengan kami -- dia bekerja sebagai tukang urut tradisional. Penghasilannya tak menentu. Tapi untuk bayar kontrakannya minimal tidak memberatkan suamiku. Tiap kali aku datang ke kontrakannya -- sekedar memenuhi perintah Mas Erwin untuk menjenguknya -- aku seringkali membawakan kue atau makanan kesukaannya. Tapi bukannya berterima kasih, ibu Mas Erwin justru menceramahiku panjang pendek. ”Apa ini?” tanya Ibu Mertua suatu hari sambil membuka kantong plastik berisi susu kaleng dan beberapa bungkus wafer serta biskuit yang sengaja aku belikan untuknya. ”Kamu itu harusnya hemat. Kasihan Erwin kerja mati-matian, kamu malah beli yang bukan-bukan. Aku nggak suka makanan-makanan begini. Sana, bawa saja lagi!” Hatiku mencelos saat melihat Ibu mencantelkan lagi kantong plastik itu ke motorku. Bukankah Mas Erwin yang menyuruhku membelikan wafer dan biskuit merek itu karena tahu itu katanya kesukaan ibunya? Lain kali, saat aku sedang ada keperluan keluar kota dan terpaksa menitipkan bocah, aku tak punya pilihan selain membiarkan ibu mertua yang datang ke rumah selama beberapa hari. Isi kulkas kulengkapi ala kadarnya agar kalau ibu mau memasak untuk anak- anak tidak perlu repot ke warung. Tapi apa yang terjadi? Saat aku pulang isi kulkas tak tersentuh sama sekali. Dan itu membuatku jengkel sekaligus tersinggung. Demi melihat anak-anak riang dan jauh terawat, sedikit mengobati ketersinggungan hatiku. 41
”Bu, ini sedikit oleh-oleh buat Ibu,” kuulurkan bolu susu khas Lembang yang kuharap akan disukai ibu karena teksturnya yang empuk dan rasanya juga lezat. ”Yee, mau lagi, Eyang, mau lagi!” ”Azam! Cukup. Itu punya eyang, kan Azam sudah tadi?” aku menepuk lengan Azam, putra keduaku. ”Halah. Biarlah. Namanya anak-anak. Lagian aku nggak suka bolu ini. Amis. Bau telor dan bau susu. Biar dimakan anakmu. Mereka memang rakus. Apa-apa doyan!” Dan hatiku kian nelangsa. * ”Mas! Duitku hilang! Duit bakal bayar kontrakan bulan depan!” aku berteriak histeris saat melihat lembaran uang merah dalam amplop khusus yang kuselipkan di antara mukena lama di lemari lenyap. Bayangan ibu seketika berkelebat di benak. Mungkinkah? Aku nggak pernah kehilangan dan hanya Ibu 'orang asing' yang masuk ke kamar ini selama aku pergi. ”Pasti ibumu, Mas! Ibumu satu-satunya yang masuk ke rumah ini!” ”Dek! Jaga omonganmu! Sehina-hinanya ibuku tidak mungkin mencuri uang kita!” ”Lalu siapa?” jeritku. Mataku mulai memanas. Terlambat. Ibu sudah berdiri di depan pintu. Kepalang basah. Aku langsung menatapnya marah. ”Ibu'kan yang mengambil uang itu? Itu uang untuk bayar kontrakan, Bu! Kami sudah telat dua bulan bayar dan baru dapat tambahannya sekarang! Kami malu karena ditagih terus. Kenapa Ibu nggak mikir keadaan kami sih Bu?” aku sesenggukan. Ibu diam. Badannya gemetar. Apalagi? Jelas Ibu yang mencuri! 42
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160