PENGARUH LAMA PRAKTIK DAN PENGETAHUAN DOKTER PRAKTIK MANDIRI TERHADAP PENEMUAN TERDUGA TUBERCULOSIS ANAK DI WILAYAH SURABAYA UTARA Fildah Alyani1, Chatarina Umbul W2. 1RSUD Panembahan Senopati Bantul, Daerah Istimewah Yogyakarta 2Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: Fildah Alyani Email: [email protected] ABSTRACT Indonesia is the second most populated country with TB in the world. The proportion of Tuberculosis (TB) and adult tuberculosis cases in Indonesia is increasing every year. East Java is ranked second in TB cases in Indonesia. Surabaya is the most common city of TB cases. Therefore, WHO recommends the DOTS program for TB control that focuses on finding and healing TB patients, especially TB children. However, the implementation of this program has an imbalance in the number of adult TB findings and child TB. Factors that influence the discovery of TB suspected children are the length of practice and knowledge of Independent Practice Doctors (DPM). The purpose of this study was to analyze the effect of long time practice and knowledge of Practice Doctor Mandiri on TB child suspected finding. This research is an umbrella research of operational research of child TB treatment network with cross sectional study design. The sampling technique is simple random sampling with the amount of 42 people. Data collection is secondary data using data collection sheets. Data analysis using logistic regression. The result shows that there is a long effect of practice on TB children with p value 0,015 <0,05 and OR value is 8,182. Independent Practice Physician Knowledge has no effect on TB children with p value 0,297> 0,05 and OR 2,125. There is a need for regular socialization of child TB, especially the management of child TB and the commitment of the Independent Practice Doctor to the discovery of TB suspected. Keywords: TB child, independent practice doctor, duration of practice, knowledge ABSTRAK Indonesia merupakan negara peringkat kedua terbanyak penderita TB di dunia. Jumlah proporsi kasus TB dewasa dan TB anak di Indonesia meningkat setiap tahun. Jawa Timur menduduki peringkat kedua kasus TB di Indonesia. Surabaya merupakan kota yang paling banyak ditemukannya kasus TB. Oleh karena itu, WHO merekomendasikan program DOTS untuk penanggulangan TB yang berfokus pada penemuan dan penyembuhan penderita TB terutama TB anak. Namun, dalam pelaksanaan program ini terdapat ketimpangan jumlah temuan TB dewasa dan TB anak. Faktor yang mempengaruhi penemuan terduga TB anak adalah lama praktik dan pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh lama praktik dan pengetahuan Dokter Praktik Mandiri terhadap penemuan terduga TB anak. Jenis penelitian ini merupakan observasional analitik dengan desain studi cross sectional. Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling dengan jumlah 42 orang. Pengambilan data berupa data sekunder menggunakan lembar pengumpul data. Analisis data menggunakan regresi logistik. Didapatkan hasil ada pengaruh lama praktik terhadap penemuan terduga TB anak dengan nilai p 0,015 (nilai p < 0,05) dan nilai OR 8,182 dengan 95% CI (1,495- 44,772). Pengetahuan Dokter Praktik Mandiri tidak berpengaruh terhadap penemuan terduga TB anak dengan nilai p 0,297 (nilai p > 0,05) dan nilai OR 2,125 dengan 95% CI (0,515-8,770). Perlu adanya sosialisasi yang berkala tentang TB anak, terutama penatalaksanaan TB anak dan peningkatan komitmen Dokter Praktik Mandiri dalam penemuan terduga TB anak. Kata kunci: TB anak, dokter praktik mandiri, lama praktik, pengetahuan PENDAHULUAN umumnya, bakteri ini menyerang paru. Namun, bakteri ini juga dapat menyerang Tuberkulosis (TB) merupakan bagian tubuh lainnya, seperti: ginjal, tulang penyakit menular yang disebabkan oleh dan otak. Penyakit TB paru ditularkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada oleh penderita TB BTA positif. Penularan ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.37-47 Received 8 January 2018, received in revised form 21 January2018 , Accepted 23 January 2018 , Published online: July 2018
38 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 37-47 melalui udara dalam bentuk droplet 2015, jumlah penderita dewasa kasus baru (percikan) pada saat penderita batuk BTA positif di Jawa Timur sebanyak ataupun bersin sehingga infeksi penularan 41.523, sedangkan jumlah penderita anak terjadi ketika orang yang sehat menghirup kasus baru BTA positif di Provisinsi Jawa droplet (percikan ludah) melalui saluran Timur sebanyak 2.563 (Kemenkes RI, pernafasan mereka (Kemenkes RI, 2010). 2016). Sebagian besar penderita penyakit Penderita TB di Jawa Timur tuberkulosis diderita oleh orang dewasa. banyak ditemukan di Kota Surabaya. Namun, tidak menutup kemungkinan Surabaya menempati urutan pertama penyakit tersebut juga diderita oleh anak- sebagai Kota penyumbang penderita TB anak. Menurut Global Tuberculosis Report terbanyak di Jawa Timur dengan jumlah (2015), WHO telah menemukan sebesar kasus baru BTA positif sebanyak 2.054 6,3% kasus baru pada anak dengan usia penderita, diikuti Kabupaten Jember kurang dari 15 tahun. WHO sebanyak 2.070 penderita dan Kabupaten memperkirakan sebanyak 1,2 juta anak di Pasuruan sebanyak 1.132 penderita bawah usia 5 tahun telah terkonfirmasi (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2014). bakteriologis diantara pasien terduga TB, sedangkan yang dilaporkan telah Namun, berdasarkan jumlah kasus melakukan pengobatan sesuai kebijakan TB anak, urutan pertama diduduki oleh yang berlaku pada usia tersebut sebanyak Kabupaten Lamongan sebesar 14,37%, 87.236 (7,1%). diikuti Kota Kediri sebesar 13,36% dan Kabupaten Ponorogo sebesar 11,95%. Penyakit tuberkulosis merupakan Jumlah kasus TB anak di Surabaya hanya salah satu masalah utama penyakit menular sebesar 1,57% (Dinkes Provinsi Jawa di negara berkembang, termasuk Timur, 2014). Meskipun jumlah kasus TB Indonesia. Indonesia berada diurutan kedua anak di Surabaya tergolong rendah, tetapi setelah India dengan jumlah penderita Surabaya merupakan Kota dengan sebesar 10% dari jumlah total pasien TB di penderita TB terbanyak di Jawa Timur dunia. WHO menyatakan terdapat sehingga risiko penularan penyakit TB peningkatan insidens pada seluruh tipe TB cukup tinggi. dari tahun 2013 ke tahun 2014. Awalnya, seluruh tipe TB sebanyak 183 per 100.000 Semakin meningkatnya jumlah penduduk menjadi sebanyak 399 per kasus TB di Indonesia, World Health 100.000 penduduk (WHO, 2015). Organization (WHO) dan International Insiden TB Anak di Indonesia Union Against TB and Lung Disease diperkirakan sebanyak 75 per 100.000 penduduk yang terbagi menjadi 39 per (IUATLD) merekomendasikan program 100.000 pada anak laki-laki dan 36 per yang disebut Directly Observed Treatment 100.000 pada anak perempuan (WHO, Short Course (DOTS) pada awal tahun 2015). Berdasarkan laporan dari Kemenkes 1990. Program DOTS digunakan sebagai RI (2016), proporsi kasus tuberkulosis strategi dalam penanggulangan TB dengan anak mengalami peningkatan dari tahun berfokus pada penemuan dan 2014 ke tahun 2015. Proporsi kasus penyembuhan penderita TB. Pelaksanaan tuberkulosis anak semula sebesar 7,1% program ini dengan cara memutuskan menjadi 8,59%. rantai penularan TB sehingga angka insidens kasus TB di masyarakat Menurut data profil kesehatan diharapkan akan menurun (Kemenkes RI, Indonesia (2016), Jawa Timur menempati 2011). urutan kedua sebagai Provinsi dengan penyumbang penderita TB terbanyak di Selama pelaksanaan program Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun DOTS terdapat ketimpangan cakupan temuan TB dewasa dan TB anak. Jumlah kasus TB anak jauh lebih sedikit daripada
Fildah Alyani dan Chatarina Umbul W, Pengaruh Lama Praktik Dan... 39 jumlah kasus TB dewasa. Menurut pemahaman Dokter Praktik Mandiri Kartasasmita (2009), kesulitan dalam (DPM) dalam menerima informasi juga konfirmasi diagnosis TB anak dapat baik. Oleh karena itu, semakin baik menjadi salah satu penyebab rendahnya pengetahuan Dokter Praktik Mandiri cakupan TB anak. Hal ini mengakibatkan (DPM) berkaitan tentang TB anak penanganan TB anak cenderung terabaikan diharapkan akan semakin banyak pula sehingga sampai beberapa waktu TB anak cakupan temuan penderita TB anak di Kota tidak termasuk masalah prioritas kesehatan Surabaya. Penelitian yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai negara, termasuk di Mahendradhata, dkk (2007) yang Indonesia. menyatakan bahwa sebanyak 58 dari 87 dokter umum (66,7%) memiliki Organisasi TB Indonesia (2017), pengetahuan kurang tentang DOTS. juga menyebutkan rendahnya cakupan Penelitian lain yang juga dilakukan oleh penemuan TB anak di Indonesia Mahendradhata (2011) dalam Departemen disebabkan oleh beberapa faktor yaitu Kesehatan RI (2012) menyatakan bahwa sulitnya mendiagnosis TB pada anak. tidak seluruh dokter pernah menjumpai Kemampuan anak dalam berdahak dan suspek TB anak ataupun kasus TB di perlunya kombinasi gambaran klinis serta tempat praktik swasta. Bahkan, banyak pemeriksaan penunjang yang relevan Dokter Praktik Swasta (DPS) yang belum berpengaruh dalam mendiagnosis TB anak. pernah mendapatkan informasi mengenai Faktor lain yang menjadi penyebab adalah DOTS dan scoring chart TB anak. DPS tidak diketahuinya beban kasus TB anak di cenderung meresepkan obat lepas dan Obat dunia. Hal ini diakibatkan tidak adanya alat Anti Tuberculosis (OAT) lini ke-2 untuk diagnostik yang “child-friendly” serta kasus TB baru serta tidak melaporkan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pasien TB tersebut ke Dinas Kesehatan. pelaporan kasus TB pada anak. Berdasarkan permasalahan di atas, Dokter Praktik Mandiri (DPM) peneliti tertarik untuk melakukan berperan dalam penemuan terduga TB penelitian mengenai pengaruh karakteristik anak. Keberhasilan penemuan terduga TB dan pengetahuan Dokter Praktik Mandiri anak yang dilakukan oleh Dokter Praktik (DPM) tentang TB anak terhadap tindakan Mandiri (DPM) dapat dipengaruhi oleh penemuan penderita terduga TB anak di beberapa faktor diantaranya lama praktik Wilayah Surabaya Utara. Hal ini karena dan pengetahuan Dokter Praktik Mandiri Surabaya Utara merupakan wilayah (DPM). Rentang waktu praktik yang lebih kantong TB di Surabaya. Berdasarkan data lama akan memungkinkan Dokter Praktik profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya Mandiri (DPM) memiliki pengalaman dan (2015), jumlah kasus TB dewasa sebanyak kentrampilan dalam melaksanakan peran 947 kasus dan TB anak sebanyak 1 kasus. sehingga dapat menjamin produktifitas Penelitian ini bertujuan untuk kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian mengidentifikasi karakteristik, tingkat yang dilakukan oleh Sumartini (2014) yang pengetahuan, dan tindakan penemuan menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang penderita terduga TB anak oleh Dokter signifikan antara lama kerja dengan peran Praktik Mandiri (DPM), serta menganalisis petugas kesehatan dalam penemuan kasus pengaruh karakteristik dan pengetahuan TB di Kota Mataram. Dokter Praktik Mandiri (DPM) terhadap tindakan penemuan penderita terduga TB Faktor lain yang berperan dalam anak. penemuan terduga TB anak adalah pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM). Secara umum, tingkat pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang tergolong baik maka menunjukkan tingkat
40 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 37-47 METODE PENELITIAN sekunder yang diambil menggunakan lembar pengumpul data. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain Analisis data yang dilakukan terdiri penelitian yang digunakan adalah studi dari dua analisis, yaitu analisis univariat cross sectional. Lokasi penelitian di untuk mengetahui distribusi frekuensi wilayah Surabaya Utara dengan waktu karakteristik, tingkat pengetahuan, penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni penemuan terduga TB anak oleh Dokter sampai dengan bulan November 2017. Praktik Mandiri (DPM). Analisis yang Waktu pengambilan data dilaksanakan kedua adalah analisis bivariat pada bulan September sampai dengan menggunakan Uji regresi logistik dengan bulan Oktober 2017. tingkat signifikansi α = 0,05 untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas Populasi dalam penelitian ini dan terikat. adalah seluruh Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang memenuhi kriteria inklusi HASIL penelitian yang seluruhnya berjumlah sebanyak 75 orang. Sampel penelitian ini Karakteristik Dokter Praktik Mandiri adalah sebagian Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang memenuhi kriteria inklusi Pada Tabel 1 dapat diketahui penelitian. Adapun kriteria inklusi dalam bahwa sebagian besar responden berusia penelitian ini adalah Dokter Praktik antara 36-45 tahun sebanyak 14 orang Mandiri (DPM) yang memiliki Surat (33,3%). Dilihat dari tingkat pendidikan Tanda Registrasi (STR), Surat Ijin Praktik Dokter Praktik Mandiri (DPM), dapat (SIP) dan telah berpraktik di wilayah diketahui bahwa responden terbanyak Surabaya Utara minimal satu tahun. memiliki kualifikasi tingkat pendidikan Kriteria eksklusi penelitian ini adalah sebagai dokter umum sebanyak 40 orang penemuan terduga TB anak di luar praktik (95,2%). Sedangkan, terdapat 2 orang mandiri dokter tersebut. lainnya (4,8%) memiliki kualifikasi tingkat pendidikan sebagai dokter spesialis Besar sampel dalam penelitian ini patologi klinik. dihitung menggunakan rumus Lemeshow (1997), dan didapatkan besar sampel Berdasarkan lama waktu praktik penelitian sebanyak 42 orang. Teknik responden di wilayah Surabaya Utara, pengambilan sampel menggunakan teknik sebagian besar responden memiliki lama simple random sampling. Langkah pertama praktik lebih besar sama dengan 10 tahun yang dilakukan dalam pengambilan sampel yaitu sebanyak 22 orang (52,4%). Rata-rata yaitu mendaftar seluruh nama dari seluruh lama praktik responden di wilayah anggota populasi yang telah ditetapkan Surabaya Utara yaitu selama 13 tahun yaitu sebanyak 75 orang. Selanjunya, dengan waktu praktik terlama 49 tahun dan membuat tabel random untuk menentukan waktu praktik tersingkat 1 tahun. Distribusi sampel yang akan diambil, kemudian dari responden terkait riwayat penemuan TB tabel random tersebut didapatkan sampel anak dapat diketahui bahwa responden yang dibutuhkan sesuai perhitungan yang terbanyak tidak pernah menemukan TB dilakukan yaitu sebanyak 42 orang. anak selama tiga bulan terakhir yaitu sebanyak 34 orang (81,0%). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penemuan penderita terduga TB Berdasarkan riwayat responden anak. Sedangkan, variabel bebas dalam dalam mengikuti kegiatan sosialisasi TB penelitian ini adalah lama pratik dan DOTS dapat diketahui bahwa sebagian pengetahuan Dokter Praktik Mandiri besar responden pernah mengikuti (DPM). Seluruhnya merupakan data sosialisasi TB DOTS yaitu sebanyak 29 orang (69,0%). Penyelenggara kegiatan sosialisasi TB DOTS terbanyak pada
Fildah Alyani dan Chatarina Umbul W, Pengaruh Lama Praktik Dan... 41 Dokter Praktik Mandiri (DPM) di wilayah Pengetahuan Dokter Praktik Mandiri Surabaya Utara adalah Dinas Kesehatan Kota (DKK) sebesar 23,8%, selanjutnya Tabel 2.Distribusi Responden Berdasarkan diikuti oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Pengetahuan di Wilayah Surabaya Rumah Sakit dengan masing-masing Utara Tahun 2017 sebesar 11,9% (Sugiyono, 2015). Pengetahuan Frekuensi % Pada Tabel 1 akan disajikan hasil penelitian mengenai karakteristik Dokter Dokter Praktik Praktik Mandiri (DPM) di wilayah Surabaya Utara sebagai berikut. Mandiri Kurang Baik 21 50,0 Baik 21 50,0 Tabel 1.Distribusi Responden Berdasarkan Total 42 100,0 Karakteristik di Wilayah Surabaya Utara Tahun 2017 Sumber: Data OR Membangun Jejaring Tata Laksana TB Anak Melalui Peran DPM Tahun 2017 Karakteristik Frekuensi % Pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM) terbagi menjadi dua Dokter Praktik kategori, yaitu pengetahuan baik dan kurang baik. Pengetahuan responden Mandiri dikatakan baik apabila respoden mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih Usia besar 75% dan dikatakan kurang baik apabila responden mampu menjawab 26-35 9 21,4 pertanyaan kurang dari sama dengan 75% dari seluruh pertanyaan tentang TB anak. 36-45 14 33,3 Data mengenai pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM) dapat dilihat pada 46-55 12 28,6 tabel 2. 56-65 2 4,8 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah responden yang >65 5 11,9 memiliki pengetahuan baik sebanyak 21 orang (50%). Pengetahuan responden Total 42 100,0 diukur berdasarkan 11 aspek pengetahuan tentang TB anak meliputi tanda dan gejala Tingkat Pendidikan terduga TB anak, kriteria penetapan terduga TB anak, penegakkan diagnosis Dokter Umum 40 95,2 TB anak menurut WHO dan petunjuk teknis manajemen TB anak, cara Dokter Spesialis 2 4,8 mendapatkan sampel sputum pada anak, sistem skoring, waktu pengobatan TB Total 42 100,0 anak, regimen OAT anak, cara pemantauan pengobatan TB anak, waktu penggunaan Lama Praktik Mandiri INH, dan kewajiban Dokter Praktik Mandiri (DPM) dalam pengendalian TB < 10 tahun 20 47,6 anak. ≥ 10 tahun 22 52,4 Total 42 100,0 Riwayat Penemuan TB Anak Tidak Pernah 34 81,0 Pernah 8 19,0 Total 42 100,0 Riwayat Sosialisasi TB DOTS Tidak Pernah 13 31,0 Pernah 29 69,0 Total 42 100,0 Sumber: Data OR Membangun Jejaring Tata Laksana TB Anak Melalui Peran DPM Tahun 2017 Penemuan Terduga TB Anak Berikut ini hasil yang diperoleh dari penemuan terduga TB anak yang
42 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 37-47 dilakukan oleh Dokter Praktik Mandiri Berikut ini disajikan hasil tabulasi (DPM) dapat dilihat pada Tabel 3. silang pengaruh lama praktik mandiri terhadap penemuan terduga TB anak yang Tabel 3.Distribusi Responden Berdasarkan dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Penemuan Terduga TB Anak di Tabel 4 dapat diketahui bahwa Wilayah Surabaya Utara Tahun keberhasilan penemuan terduga TB anak 2017 sebagian besar dilakukan oleh Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang memiliki Penemuan Frekuensi % lama praktik kurang dari sama dengan 10 tahun sebanyak 20 orang (64,5%). Terduga TB Nilai Odds ratio sebesar 8,182 Anak (tingkat signifikansi sebesar 95%, Confidence interval 1,495<OR<44,772) Tidak 31 73,8 yang artinya Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang memiliki lama praktik kurang Menemukan dari 10 tahun memiliki risiko tidak menemukan terduga TB anak 8,182 kali Menemukan 11 26,2 dibandingkan Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang memiliki lama praktik 10 Total 42 100,0 tahun ke atas. Sumber: Data OR Membangun Jejaring Tata Nilai Odds ratio (OR) bermakna Laksana TB Anak Melalui Peran DPM karena 95% Confidence Interval tidak Tahun 2017 melewati angka 1,00 yang artinya ada perbedaan Dokter Praktik Mandiri (DPM) Berdasarkan Tabel 3 dapat dalam melakukan penemuan terduga TB diperoleh hasil bahwa sebagian besar anak berdasarkan lama praktik Dokter Dokter Praktik Mandiri (DPM) tidak Praktik Mandiri (DPM) di wilayah berhasil dalam menemukan terduga TB Surabaya Utara. Hasil Uji statistik anak yaitu sebanyak 31 orang (73,8%). menggunakan Uji regresi logistik diperoleh Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang nilai p = 0,015 yangmana nilai p < 0,05. berhasil menemukan terduga TB anak Hal ini menunjukkan ada pengaruh antara sebanyak 11 orang (26,2%). Sebelas orang lama praktik mandiri (DPM) di wilayah yang ditemukan TB terdapat 1 dokter yang Surabaya Utara terhadap penemuan berhasil menemukan 6 orang terduga TB terduga TB anak. anak. Pengaruh Pengetahuan Dokter Praktik Pengaruh Lama Praktik Mandiri terhadap Penemuan Terduga TB Anak Mandiri terhadap Penemuan Terduga Tabel 4. Pengaruh Lama Praktik Mandiri TB Anak terhadap Penemuan Terduga TB Anak di Wilayah Surabaya Utara Hasil tabulasi silang keberhasilan Tahun 2017 penemuan terduga TB anak oleh Dokter Praktik Mandiri (DPM) berdasarkan Penemuan Terduga pengetahuan tentang TB anak dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat Lama TB Anak diketahui bahwa keberhasilan penemuan terduga TB anak sebagian besar dilakukan Praktik Tidak Menemukan oleh Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang Mandiri Menemukan memiliki pengetahuan kurang baik yaitu sebanyak 17 orang (81,0%). N% n % <10 tahun 2 9,1 20 64,5 ≥10 tahun 9 45,0 11 55,0 OR = 8,182 p = 0,015 95% CI = 1,495 - 44,772 Sumber: Data OR Membangun Jejaring Tata Laksana TB Anak Melalui Peran DPM Tahun 2017
Fildah Alyani dan Chatarina Umbul W, Pengaruh Lama Praktik Dan... 43 Tabel 5. Pengaruh Pengetahuan Dokter lebih energik dalam bekerja sehingga lebih Praktik Mandiri terhadap mampu untuk menemukan terduga TB Penemuan Terduga TB Anak di anak. Hasil penelitian ini didukung dengan Wilayah Surabaya Utara Tahun penelitian Suparyanto (2005) yang 2017 menyatakan bahwa tenaga kesehatan dengan rentang usia antara 20 sampai Penemuan Terduga dengan 50 tahun memiliki masa usia produktif yang masih cukup lama sehingga Hasil TB Anak memungkinkan tenaga kesehatan untuk Tahu dapat meningkatkan kinerjanya. Tidak Menemukan Menemukan Menurut Suparyanto (2005), pendidikan merupakan kegiatan yang n% n % bertujuan untuk memperbaiki kemampuan yang ada pada diri individu berupa ilmu Kurang 4 19,0 17 81,0 dan ketrampilan baru yang akan dimilikinya. Dilihat dari distribusi tingkat Baik 7 33,3 14 66,7 pendidikan, sebagian besar responden memiliki kualifikasi tingkat pendidikan p = 0,29 OR = 2,125 sebagai dokter umum sebanyak 40 orang. Hal ini karena terbatasnya jumlah dokter 95% CI = 0,515 - 8,770 spesialis, terutama dokter spesialis anak dan dokter spesialis paru (Mubarak, 2007). Sumber: Data OR Membangun Jejaring Tata Dilihat dari distribusi frekuensi Laksana TB Anak Melalui Peran DPM lama praktik mandiri dapat diketahui bahwa sebagian besar Dokter Praktik Tahun 2017 Mandiri (DPM) memiliki lama praktik lebih dari 10 tahun sebanyak 22 orang. Nilai Odds ratio sebesar 2,125 Responden dengan lama praktik di wilayah (tingkat signifikansi sebesar 95%, Surabaya Utara lebih dari 10 tahun Confidence interval 0,515<OR<8,770) dianggap memiliki pengalaman lebih yang artinya Dokter Praktik Mandiri dalam memahami situasi dan kondisi (DPM) yang berpengetahuan kurang baik wilayah tersebut sehingga cenderung memiliki risiko tidak menemukan terduga mampu untuk lebih banyak terlibat dalam TB anak 2,125 kali dibandingkan Dokter upaya penemuan terduga TB anak. Praktik Mandiri (DPM) yang Pernyataan ini didukung oleh Suparyanto berpengetahuan baik. (2005) yang menyatakan bahwa petugas kesehatan yang memiliki masa kerja cukup Nilai Odds ratio (OR) tidak lama (di atas 10 tahun) dianggap lebih bermakna karena 95% Confidence Interval berpengalaman dalam tugas dan perannya melewati angka 1,00 maka artinya ada sebagai petugas program penanggulangan tidak ada perbedaan Dokter Praktik dan pencegahan TB (P2TB) sehingga Mandiri (DPM) dalam melakukan penanggulangan penyakit TB di penemuan terduga TB anak berdasarkan masyarakat dapat berjalan dengan baik. kategori pengetahuan. Hasil Uji statistik menggunakan Uji regresi logistik diperoleh Berdasarkan riwayat penemuan TB nilai p = 0,297, dengan nilai p value > anak diperoleh informasi bahwa sebagian 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak besar responden tidak pernah menemukan ada pengaruh antara pengetahuan Dokter terduga TB anak selama tiga bulan terakhir Praktik Mandiri (DPM) tentang TB anak yaitu sebanyak 34 orang. Hal ini karena terhadap penemuan terduga TB anak. penderita TB anak cenderung jarang dan PEMBAHASAN Gambaran Karakteristik Responden Hasil penelitian diperoleh informasi bahwa usia responden terbanyak dalam rentang usia 36-45 tahun yang merupakan usia produktif yaitu sebanyak 14 orang. Hal ini memungkinkan responden untuk
44 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 37-47 sulit ditemukan. yang diselenggarakan oleh pihak Fakultas TB DOTS merupakan program Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga bekerjasama dengan Kementrian yang direkomendasikan oleh WHO sejak Kesehatan Republik Indonesia dan tahun 1990-an. Program ini bertujuan GLOBAL FUND. Namun, pelaksanaan untuk memanggulangi kasus TB yangmana workshop tersebut tidak memberikan tersusun atas lima komponen kunci dampak langsung terhadap tingkat meliputi: dukungan politik, penemuan pengetahuan Dokter Praktik Mandiri kasus melalui pemeriksaan dahak (DPM). Hal ini karena setiap responden mikroskopis, pengobatan yang standar, memiliki kemampuan, wawasan dan sistem pengelolaan dan ketersediaan obat pengetahuan yang berbeda terlebih anti TB (OAT) yang efektif, serta sistem penegakkan diagnosis TB pada anak monitoring pencatatan dan pelaporan yang memang cenderung sulit untuk dilakukan. baik (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Dilihat dari riwayat sosialisasi tentang TB Hasil penelitian ini didukung DOTS, sebagian besar responden penelitian lain yang dilakukan oleh Yovi, menyatakan pernah mengikuti sosialisasi dkk (2015) dengan judul “Pengetahuan TB DOTS yaitu sebanyak 29 orang. Dokter Umum Praktik Swasta mengenai Penyelenggara sosialisasi TB DOTS Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru di Kota banyak dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Pekanbaru” yang menyatakan bahwa Kota (DKK). Hal ini karena TB merupakan sebagian besar Dokter Umum Praktik salah satu penyakit menular yang menjadi Swasta (DUPS) memiliki tingkat program prioritas oleh Dinas Kesehatan pengetahuan kurang sebanyak 177 orang Kota (DKK) Surabaya guna mengurangi (85,5%). jumlah penderita TB sehingga materi tentang TB DOTS sering disosialisasikan Penemuan Terduga TB Anak kepada petugas kesehatan (Dedek, 2008). Penemuan penderita TB anak Pengetahuan Dokter Praktik Mandiri merupakan salah satu indikator utama dalam pelaksanaan keberhasilan program Pengetahuan merupakan hasil tahu. penanggulangan TB dengan strategi DOTS Hal ini terjadi setelah seseorang melakukan (Widjanarko, 2006). Menurut Kementrian pengindraan pada suatu objek tertentu Kesehatan RI (2016), upaya Pemerintah melalui pancaindra manusia pada suatu dalam menemukan terduga TB anak objek tertentu melalui indra penglihatan, dilakukan dengan dua cara, yaitu pendengaran, penciuman, rasa dan raba penemuan secara pasif dan penemuan dengan sendiri (Riyanto, 2013). Sebagian secara aktif. Upaya yang digunakan dalam besar pengetahuan manusia diperoleh penelitian ini adalah upaya penemuan melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, terduga TB anak secara pasif dimana anak 2010). Pengetahuan merupakan domain dengan tanda dan gejala klinis TB datang yang sangat penting dalam membentuk ke petugas kesehatan, seperti Dokter tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012). Praktik Mandiri (DPM). Berdasarkan hasil penelitian Keberhasilan penemuan terduga TB diketahui bahwa Dokter Praktik Mandiri anak terbagi menjadi dua kategori yaitu (DPM) yang memiliki tingkat pengetahuan menemukan dan tidak menemukan. Hasil kurang sebanyak 21 orang. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa sebagian sebelumnya, responden yang terlibat dalam besar responden tidak menemukan terduga penelitian ini telah mendapatkan workshop TB anak yaitu sebanyak 31 orang. tentang “Optimalisasi Peran Dokter Praktik Penderita terduga TB anak jarang ditemukan karena pada saat anak berusia Mandiri (DPM) dalam penemuan Kasus kurang dari tiga bulan telah mendapatkan TB Anak di Kota Surabaya Tahun 2017”
Fildah Alyani dan Chatarina Umbul W, Pengaruh Lama Praktik Dan... 45 imunisasi BCG sehingga risiko kecil untuk memiliki tugas rangkap sehingga dapat tertular penyakit TB. Hasil penelitian ini mengoptimalkan perannya selaku Dokter sejalan dengan penelitian yang dilakukan Praktik Mandiri (DPM) dalam menemukan oleh Ahwan (2014) di Kabupaten Boyolali terduga TB anak. yang menyatakan bahwa angka penemuan kasus baru BTA positif oleh pengelola Pengaruh Pengetahuan Dokter Praktik program TB Puskesmas masih di bawah target nasional (70%) yaitu kurang dari Mandiri terhadap Penemuan Terduga sama dengan 16%. TB Anak Pengaruh Lama Praktik Mandiri Hasil tabulasi silang antara terhadap Penemuan Terduga TB Anak pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM) dapat diketahui bahwa penemuan Lama mengelola atau lama profesi terduga TB anak sebagian besar dilakukan seseorang maka konsistensi dalam perilaku temuan tersebut oleh responden yang di masa lalu adalah dasar perkiraan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik paling baik dari perilaku di masa depan tentang TB anak yaitu sebanyak 17 orang. sehingga diperkirakan bahwa semakin Hal ini didukung oleh penelitian Duhri, lama mengelola maka akan lebih baik hasil dkk (2012) yang menyatakan bahwa yang diperoleh (Robin, 2008). Hasil sebagian besar petugas Puskesmas tabulasi silang antara lama praktik mandiri berpengetahuan kurang dalam penemuan dengan penemuan terduga TB anak dapat penderita TB paru yaitu sebesar 56,5%. diketahui bahwa penemuan terduga TB anak sebagian besar dilakukan oleh Dokter Hasil Uji statistik dapat Praktik Mandiri (DPM) yang memiliki disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh lama praktik kurang dari 10 tahun. Hasil antara pengetahuan Dokter Praktik Mandiri Uji statistik menunjukkan bahwa ada (DPM) tentang TB anak terhadap pengaruh antara lama praktik terhadap penemuan terduga TB anak. Namun 11 penemuan terduga TB anak (Indradin, aspek pengetahuan tentang TB anak yang 2016). berpengaruh terhadap penemuan terduga TB anak adalah aspek tentang tanda dan Namun, hasil penelitian ini tidak gejala terduga TB anak dan aspek kriteria sejalan dengan penelitian Ahwan (2014) penetapan terduga TB anak. Hal ini karena yang menyatakan bahwa tidak ada setiap responden memiliki kemampuan pengaruh antara lama mengelola program pemahaman, analisis dan daya ingat yang TB di Puskesmas dengan angka penemuan berbeda terlebih tingkat pengetahuan kasus TB di Kabupaten Boyolali. Hal responden yang dipengaruhi oleh banyak serupa juga disampaikan oleh Ratnasari hal seperti: usia, pendidikan, pengalaman, (2015) dalam penelitiannya yang berjudul informasi, dan lain-lain. Pernyataan ini faktor-faktor yang berpengaruh pada didukung oleh Notoatmodjo (2012) yang pencapaian petugas terhadap Case menyampaikan bahwa perubahan perilaku Detection Rate (CDR) program TB paru di didasari adanya perubahan atau Kabupaten Rembang dengan hasil tidak penambahan pengetahuan, sikap atau ada pengaruh antara masa kerja terhadap ketrampilannya. Namun demikian, pencapaian petugas kesehatan terhadap perubahan pengetahuan dan sikap ini Case Detection Rate (CDR) pada program belum merupakan jaminan terjadinya TB paru di Kabupaten Rembang tahun perubahan perilaku, sebab perilaku baru 2015. Adanya perbedaan hasil penelitian tersebut kadang-kadang memerlukan dikarenakan responden yang berpraktik dukungan material dan motivasi. kurang dari 10 tahun, cenderung tidak Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Awusi, dkk (2009) dengan hasil tidak ada pengaruh yang bermakna secara
46 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 37-47 statistik antara pengetahuan petugas TB Kesehatan terkait. Bagi peneliti lain perlu terhadap penemuan penderita TB paru. adanya penelitian lebih lanjut berkaitan Penelitian lain yang mendukung adalah dengan motivasi Dokter Praktik Mandiri penelitian yang dilakukan oleh Ahwan (DPM) terutama berkaitan dengan (2014) dengan hasil tidak ada pengaruh pelaporan dan pencatatan penemuan antara pengetahuan pengelola program TB penderita terduga TB anak. dengan angka penemuan kasus TB di Kabupaten Boyolali. DAFTAR PUSTAKA SIMPULAN Ahwan, R. 2014. Pengaruh antara Kesimpulan yang dapat ditarik Karakteristik Individu Pengelola dalam penelitian ini adalah sebagian besar responden masuk dalam golongan usia Program TB Puskesmas terhadap antara 36-45 tahun dengan kualifikasi tingkat pendidikan sebagai dokter umum angka penemuan kasus TB di dan telah berpraktik selama 10 tahun atau lebih di wilayah Surabaya Utara serta tidak Kabupaten Boyolali. Skripsi. pernah menemukan penderita TB anak selama tiga bulan terakhir dan pernah Universitas Muhammadiyah mengikuti sosialisasi tentang TB DOTS. Surakarta. Dilihat dari pengetahuan responden tentang TB anak, jumlah responden yang Awusi, S., Y.D., Hadiwijoyo, Y., 2009. memiliki tingkat pengetahuan kurang baik sebesar 50%. Keberhasilan penemuan Faktor-faktor yang Mempengaruhi terduga TB anak oleh Dokter Praktik Mandiri (DPM) diketahui bahwa sebagian Penemuan Penderita TB Paru di besar responden tidak menemukan terduga TB anak. Kota Palu Provinsi Sulawesi Berdasarkan hasil analisis dapat Tengah. Berita Kedokteran diperoleh informasi bahwa terdapat pengaruh antara lama praktik di wilayah Masyarakat, [e-journal] Volume Surabaya Utara terhadap penemuan terduga TB anak tidak ada pengaruh antara 25(2). pengetahuan Dokter Praktik Mandiri (DPM) tentang TB anak terhadap Azwar, S. 2013. Sikap Manusia: Teori dan penemuan terduga TB anak. Pengukurannya. Yogyakarta: Saran yang dapat diberikan bagi Dinas Kesehatan adalah perlu adanya Pustaka Pelajar sosialisasi TB DOTS bagi Dokter Praktik Mandiri (DPM) yang dilakukan secara Dedek, M. 2008. Faktor Predisposing, berkala yaitu dua kali dalam setahun dengan diutamakan materi tentang tanda Enabling, dan Reinforcing gejala dan kriteria penetapan terduga TB anak serta tentang penatalaksanaan TB terhadap Penggunaan Alat anak. Bagi Dokter Praktik Mandiri (DPM) diharapkan meningkatkan pengetahuan, Pelindung Diri dalam asuhan dan komitmen dalam penemuan dan pelaporan kasus TB anak kepada Dinas Persalinan Normal di Rumah Sakit Meuraxa Banda Aceh. Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta Departemen Kesehatan RI. 2012. Warta Tuberkulosis Indonesia Vol. 20. Jakarta: Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 2015. Profil Kesehatan Tahun 2015. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2014. Jawa Timur: Dinas Kesehatan Provinsi Duhri, A.P., Thaha, I.L.M., Ansariadi, 2012. Kinerja Petugas Puskesmas
Fildah Alyani dan Chatarina Umbul W, Pengaruh Lama Praktik Dan... 47 dalam Penemuan Penderita TB Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Paru di Puskesmas Kabupaten Rineka Cipta Wajo. [e-journal]. Ratnasari, D. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pencapaian Indradin dan Irwan. 2016. Strategi dan Petugas terhadap Case Detection Rate (CDR) pada Program TB Paru Perubahan Sosial. 1st ed. [e-book] di Kabupaten Rembang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Yogyakarta: Deepublish. Riyanto, A., dan Budiman. 2013. Kapita Kartasasmita, C.B. 2009. Epidemiologi Selekta Kuesioner Pengetahuan Tuberkulosis. Bandung: Fakultas dan Sikap dalam Penelitian Kedokteran Universitas Padjajaran Kesehatan. Jakarta: Salemba Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman medika Robbins, S.P., dan Judge. 2008. Perilaku Nasional Pengendalian Organisasi. Jakarta: Salemba Empat Tuberkulosis. Edisi kedua Cetakan Sugiyono. 2012. Metode Penelitian ke 1. Jakarta: Kementrian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kesehatan Republik Indonesia Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Sugiyono. 2015. Statistika Non Nasional Pengendalian Parametriks untuk Penelitian. Tuberkulosis. Edisi kedua Cetakan Bandung: Alfabeta Sumartini. 2014. Penguatan Peran Kader ke 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan dalam Penemuan Kasus Kesehatan Republik Indonesia Tuberkulosis BTA Positif melalui Edukasi dengan Pendekatan Theory Kementrian Kesehatan RI. 2016. Profil of Planned Behaviour (TPB). [e- journal] Vol 8.: 1. Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Widjanarko, B., Prabamurti, P.N., Widayat, E., 2006. Pengaruh Kementrian Kesehatan Republik Karakteristik, Pengetahuan dan Sikap Petugas Pemegang Program Indonesia Tuberkulosis Paru Puskesmas terhadap penemuan Ssupek TB Kementrian Kesehatan RI. 2016. Petunjuk Paru di Kabupaten Blora, [e- journal] Volume 1(1). Teknis Manajemen dan WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 2015 Ed. 20. Switzerland: WHO Tatalaksana TB Anak. Jakarta: WHO. 2016. Global Tuberculosis Report 2016. Switzerland: WHO Kementrian Kesehatan Republik Yovi, I., Anggraini, D., Maulidya, D.Y., Murni, M.D., Wijaya, P.B., Putri, Indonesia W., 2015. Pengetahuan Dokter Umum Praktik Swasta Mengenai Lemeshow, S. 1997. Besar Sampel dalam Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru di Kota Pekanbaru. J Respir Indo, Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: [e-journal] Vol.35. Gadjah Mada University Mahendradhata, Y., Utarini, A., Lazuardi, U., Boelaert, M., dan Stuyft, P.V., 2007. Private Practitioners and Tuberculosis Care Detection in Jogjakarta, Indonesia: Actual Role and Potensial. Journal Tropical Medicine and Intenational Health. [e-journal] Volume 12 (10). Mubarak, dkk. 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta
KURANGNYA ASUPAN ENERGI DAN LEMAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI KURANG PADA BALITA USIA 25-60 BULAN Ardian Nurdianto Firman1, Trias Mahmudiono2 1,2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: Ardian Nurdianto Firman E-mail: [email protected] ABSTRACT The prevalence of underweight in 2010 to 2013 has increased percentage by 17.9% to 19.6%. Household food security and food intake were factors that can affect nutritional status of children.The aim of the study was to analize the relationship between status of household food security, energy and fat intake with nutrititional status of children. This was a cross sectional study with 40 samples selected using simple random sampling technique. Subject in this study was the fisherman family whose toddlers age 25-60 months. The data were collected by interview using questionaires, and were analyzed using linier regression and spearmen test. The result showed that 55% of households were facing food insecurity and 45% households were food insecure with severe hunger. Nutritional status of children (72,5%) were normal and (27,50%) wereunderweight. Energy intake has a significant relationship with nutritional status of children (p = 0,007) and fat (p=0,03). Keywords: household food security, nutritional status, intake energy and fat ABSTRAK Prevalensi masalah gizi kurang pada tahun 2010 ke tahun 2013 mengalami peningkatan persentase sebesar 17,9% menjadi 19,6%. ketahanan pangan rumah tangga dan asupan makanan adalah faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga, asupan energi dan lemak dengan status gizi balita (BB/U). Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan besar sampel 40 yang dipilih menggunakan simple random sampling. Subyek dalam penelitian adalah keluarga nelayan yang memiliki balita usia 25-60 bulan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Uji Statistik yang digunakan adalah uji regresi linier dan spearmen.Hasil menunjukkan rumah tangga rawan pangan dengan kelaparan (55%) dan rumah tangga rawan pangan dengan kelaparan parah (45%). Status gizi balita baik (72,5%) dan gizi kurang (27,50%). Ada hubungan status gizi balita dengan energi (p=0,007) dan lemak (p=0,03). Asupan energi dan lemak memiliki hubungan signifikan dengan status gizi balita Kata kunci: status ketahanan pangan, status gizi balita, asupan energi, dan lemak. PENDAHULUAN rumah tangga. Kemampuan rumah tangga untuk menyediakan pangan yang Kesehatan pangan rumah tangga dikonsumsi dapat mempengaruhi status merupakan salah satu faktor yang dapat gizi pada masing-masing anggota keluarga mempengaruhi status gizi balita. (Yuliana, dkk. 2013). Ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk Nelayan merupakan salah satu memenuhi kebutuhan pangan dan golongan yang beresiko terjadi rawan menjamin kecukupan asupan makanan pangan yang disebabkan oleh keterbatasan bagi setiap anggota keluarga. Secara luas aset, kemampuan modal yang kurang, ketahanan dapat diartikan sebagai posisi menawar, dan akses pasar (Sari, terjaminnya akses pangan bagi setiap 2011). Keluarga nelayan adalah keluarga individu yang bertujuan untuk hidup sehat yang identik dengan kemiskinan dan rawan (Saliem dan Ariani, 2016). Status gizi pangan. adalah keluaran dari ketahanan pangan Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2016 penduduk ©2018 IJPH License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.48-58 Received 28 November 2017, received in revised form 23 January2018 , Accepted 25 January 2018 , Published online: Agustus 2018
Ardian Nurdianto Firman dan Trias Mahmudiono, Kurangnya Asupan Energi dan ... 49 miskin di Indonesia sebesar 28,01 juta yang perlu perhatian pemerintah Kota orang atau sekitar 10,86% (BPS Kota Surabaya. Berdasar data dari Puskesmas Surabaya, 2016). Jawa Timur merupakan Kenjeran masalah gizi kurang pada balita wilayah yang memiliki angka kemisikinan sebesar 128 kasus di wilayah Kecamatan cukup tinggi sebesar 4,7 juta jiwa. Jumlah Bulak, 25 kasus terjadi di Kelurahan penduduk miskin Surabaya 140.230 jiwa Sukolilo Baru. (BPS Kota Surabaya, 2016). Berdasarkan data BPS Kota Surabaya jumlah keluarga Asupan makronutrien dan energi miskin di Kelurahan Sukolilo Baru sebesar berkaitan dengan status gizi. Energi 120 keluarga yang sebagian besar bermata diperoleh melalui konsumsi makronutrien pencarian sebagai nelayan. berupa karbohidrat, protein, dan lemak (Regar dan Sekartini, 2014). Usia balita Pendapatan atau penghasilan dalam memiliki kebutuhan asupan makronutrien rumah tangga merupakan salah satu faktor untuk pertumbuhan dan status gizi balita yang dapat mempengaruhi konsumsi yang baik. pangan di dalam rumah tangga (Rachman, 2016). Pendapatan nelayan diperoleh dari Berdasarkan uraian di atas, peneliti banyaknya hasil penangkapan ikan tertarik untuk mengkaji lebih lanjut sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan mengenai hubungan ketahanan pangan pangan maupun non pangan rumah tangga nelayan dan asupan (Widyaningsih dan Muflikhati, 2015). makronutrien dengan status gizi balita (BB/U) usia 25-60 bulan. Tujuan Konsumsi pangan rumah tangga penelitian ini adalah untuk mengetahui dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor hubungan ketahanan pangan rumah tangga seperti jumlah pendapatan rumah tangga nelayan dan asupan makronutrien dengan dan jumlah anggota keluarga. Pendapatan status gizi balita (BB/U) di Kelurahan yang diperoleh nelayan tergantung pada Sukolilo Baru Kecamatan Bulak Kota hasil tangkapan ikan. Selain pendapatan Surabaya. faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan pada rumah tangga adalah jumlah METODE PENELITIAN anggota keluarga dan tingkat pendidikan (Ningsih, 2014). Penelitian ini merupakan penelitian Status gizi adalah salah satu faktor analitik observasional dengan yang menentukan kualitas tumbuh kembang individu. Status gizi di menggunakan desain cross sectional. masyarakat sering menggambarkan masalah gizi pada kelompok balita. Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukolilo Masalah gizi biasanya disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, kurangnya Baru, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya pengetahuan mengenai gizi seimbang, dan kemiskinan (Putri dkk, 2016). pada bulan Agustus 2017. Subyek dalam Masalah gizi kurang merupakan penelitian adalah keluarga nelayan yang masalah yang paling sering ditemui setiap tahun di Indonesia. Prevalensi masalah gizi memiliki balita di Kelurahan Sukolilo kurang pada tahun 2010 ke tahun 2013 mengalami peningkatan prosentase sebesar Baru. Besar sampel sebanyak 40 dengan 17,9% menjadi 19,6% (Riskesdas, 2013). Provinsi jawa timur salah satu wilayah cara pemilihan sampel secara acak yang mengalami peningkatan masalah gizi kurang sebesar 12,1% dan salah satunya sederhana (simple random sampling). terjadi di Kota Surabaya. Kasus balita gizi kurang sebanyak 626 kasus gizi kurang Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan food recall 2x24 jam pada balita tidak berurutan pada hari yang sama kemudian diolah dengan software nutrisurvey untuk melakukan pengelompokkan asupan termasuk kategori defisit atau normal. Status gizi balita menggunakan indeks berat badan menurut umur.
50 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 48-58 Wawancara dilakukan kepada dengan status gizi balita BB/U sedangkan orang tua balita untuk mengetahui status uji spearmen digunakan untuk mengetahui ketahanan pangan. Kuesioner yang hubungan variabel ketahanan pangan digunakan yaitu United States-Household dengan asupan energi dan lemak. Food Security Survey Mobile (US- HFSSM) dengan 16 pertanyaan. Skor yang HASIL dihasilkan akan digunakan untuk menentukan status ketahanan pangan pada Karakterisitik responden dalam rumah tangga. Kategori skor status penelitian yaitu usia kepala keluarga, ketahanan pangan rumah tangga yaitu 0-2 pendidikan terakhir, pendapatan keluarga, tahan pangan, 3-7 rawan pangan tanpa jumlah anggota keluarga, status ketahanan kelaparan, 8-12 rawan pangan dengan pangan rumah tangga, status gizi balita, kelaparan, dan 13-18 rawan pangan dengan dan asupan energi, karbohidrat, lemak, kelaparan parah. serta protein pada balita dapat dilihat pada Tabel 1. Data usia kepala keluarga Variabel dependent pada penelitian ditunjukkan pada Tabel 1, sebagian besar adalah status gizi balita berat badan memiliki usia sangat produktif (95%). menurut usia (BB/U), sedangkan variabel Rata-rata kepala keluarga berusia 34 independent adalah ketahanan pangan tahun.Tidak ada kepala keluarga yang rumah tangga, asupan energi, karbohidrat, mempunyai usia tidak produktif (0-14 lemak, dan protein. Kategori untuk asupan tahun) dan kurang produktif (65 tahun). dibagi menjadi dua yaitu defisit dan normal. Sebagian besar pendidikan terakhir kepala keluarga sebanyak 19 orang Analisis data terdiri dari analisis (47,5%) kepala keluarga tamat SMP, dan univariat dan analisis bivariat. Analisis paling sedikit tamat SMA sebanyak 3 univariat untuk menggambarkan distribusi orang (7,50%). Berdasarkan data tersebut frekuensi dari variabel yang diteliti. Uji sebagian besar kepala keluarga pendidikan statistika yang digunakan adalah uji regresi terakhir SD dan SMP. Tidak ada kepala linier dan uji spearmen. Uji statistik regresi keluarga yang tidak sekolah, tidak tamat linier digunakan untuk mengetahui SD, dan tamat perguruan tinggi. keterkaitan antara variabel independent Tabel 1. Karakteristik Responden Usia Kepala Keluarga Variabel n% Pendidikan Terakhir 15-49 tahun 38 95 Jumlah Anggota Keluarga 50-64 tahun 25 Tamat SD 18 45 Tingkat asupan energi Tamat SMP 19 47 Tingkat asupan lemak Tamat SMA 3 7,5 Kecil 19 47,5 Sedang 18 45 Besar 3 7,5 Normal 27 67,5 Defisit 13 32,5 Normal 28 70 Defisit 12 30
Ardian Nurdianto Firman dan Trias Mahmudiono, Kurangnya Asupan Energi dan ... 51 Pendapatan dengan kelaparan sebanyak 22 rumah tangga (55%) dan rawan pangan dengan 27,50% 25% Rendah kelaparan parah berjumlah 18 rumah 57,50% Sedang tangga (45%). Tinggi Balita pada penelitian ini Gambar 1. Persentase Pendapatan merupakan balita dari responden. Status gizi balita diperoleh melalui pengukuran Pendapatan keluarga per hari rata- antropometri yaitu menimbang berat rata berkisar Rp. 100.000,00 sampai badan. Indeks status gizi yang digunakan dengan Rp. 550.000,00 dengan rata-rata adalah berat badan menurut umur (BB/U). Rp. 349.500,00. Responden yang memiliki Hasil yang diperoleh dari pengukuran berat pendapatan kategori rendah Rp. badan balita menunjukkan sebagian besar 100.000,00 sampai dengan Rp. 280.000, memiliki status gizi baik sebanyak 29 responden yang memiliki pendapatan orang (72,50%) drprti yang ditunjukkan kategori sedang Rp. 290.000,00 sampai Gambar 3. dengan Rp. 390.000,00 dan responden yang memiliki pendapatan kategori tinggi Status Gizi Balita Rp. 400.000,00 sampai dengan Rp. 550.000,00 sebanyak 7 orang (27,5%). 27.50% Kategori jumlah anggota keluarga Gizi Baik responden yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil, sedang dan besar. Gizi Kurang Sebagian besar yang memiliki anggota 72.50% keluarga kecil sebanyak 19 orang (47,5%). Seperti di tunjukkan Tabel 1 Gambar 3. Persentase Starus Gizi Balita Tingkat Ketahanan Pangan Variabel yang berhubungan dengan status gizi pada penelitian ini adalah Rawan asupan energi dan zat gizi makronutrien. 45% pangan dgn Asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein diperoleh dari recall 2x24 jam. 55% kelaparan Recall tidak dilakukan secara berurutan pada hari yang sama. Gambar 2. Persentase Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Gambar 4 menampilkan grafik perbandingan asupan energi dengan status Status ketahanan pangan rumah gizi balita yaitu gizi baik dan gizi kurang. tangga diperoleh dari hasil wawancara Hasil menunjukkan balita yang memiliki kepada responden untuk mengetahui status status gizi kurang sebanyak 11 orang. 9 ketahanan pangan rumah tangga. orang mengalami defisit asupan energi dan 2 orang asupan energi yang normal. Hasil wawancara menunjukkan Berdasarkan data hasil penelitian maka sebagian besar rumah tangga nelayan di dapat disimpulkan bahwa balita yang Kelurahan Sukolilo Baru termasuk memiliki status gizi kurang beresiko defisit kategori rawan pangan. Rawan pangan asupan energi. Hasil penelitian menunjukkan balita yang memiliki status gizi kurang dan defisit asupan lemak sebanyak 7 orang sedangkan 4 orang mempunyai asupan
52 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 48-58 lemak yang normal. Balita yang memiliki terhadap status gizi balita memiliki p-value status gizi baik dan defisit asupan lemak sebesar 0,423 (p=0,423 lebih dari α=0,05), sebanyak 5 orang dan 24 orang yang artinya tidak ada hubungan yang asupanlemak normal. Berdasarkan data signifikan antara asupan protein dengan hasil penelitian maka dapat disimpulkan status gizi balita (BB/U). Status ketahanan bahwa balita yang memiliki status gizi pangan terhadap status gizi balita memiliki kurang beresiko defisit asupan lemak. p-value sebesar 0,758 (p=0,758 lebih dari Grafik dapat dilihat pada gambar nomor 5. α=0,05), yang artinya tidak ada hubungan Hasil uji statistika pada penelitian menggunakan uji regresi linier antara yang signifikan antara status ketahanan variabel dependent dengan independent pangan dengan status gizi balita (BB/U). dapat dilihat pada Tabel 2. Variabel Berdasarkan analisis uji regresi linier di dependent adalah status gizi dan atas dapat disimpulkan bahwa variabel independent yaitu asupan karbohidrat, yang memiliki hubungan yang kuat dengan lemak, protein, dan status ketahanan status gizi balita adalah asupan energi dan pangan rumah tangga nelayan. asupan lemak sedangkan status ketahanan pangan rumah tangga tidak mempengaruhi 30 Gizi Kurang status gizi balita berat badan menurut umur 25 Gizi Baik (BB/U). 20 15 Selain uji regresi linear, dilakukan 10 uji spearmen. Tujuan untuk melakukan Uji spearmen adalah untuk mengetahui apakah 5 ada hubungan antara asupan energi dan 0 lemak dengan status ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan adalah Defisit Normal salah satu faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi individu. Pada Gambar 4. Grafik Kategori Energi hasil sebelumnya menunjukkan bahwa energi dan lemak sangat berkaitan dengan Hasil uji regresi linier pada tabel 2 status gizi balita. Hal tersebut memperlihatkan asupan energi terhadap menunjukkan bahwa rawan pangan dapat status gizi balita memiliki p-value sebesar mempengaruhi asupan energi dan lemak. 0,007 (p=0,007 kurang dari α=0,05), yang Hasil uji regresi linier maka dilakukan uji artinya terdapat hubungan yang signifikan statistik Spearmen. Uji statistik ini antara asupanenergi dengan status gizi dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat balita (BB/U). Asupan karbohidrat hubungan asupan energi dan lemak dengan terhadap status gizi balita memiliki p-value ketahanan pangan rumah tangga. Data sebesar 0,087 (p=0,087 lebih dari α=0,05), penelitian yang diperoleh balita yang yang artinya tidak ada hubungan yang mengalami defisit asupan lemak serta signifikan antara asupan karbohidrat memiliki status rawan pangan dengan dengan status gizi balita (BB/U). Asupan kelaparan yaitu sebanyak 8 balita dan yang lemak terhadap status gizi balita memiliki memiliki status rawan pangan dengan p-value sebesar 0,030 (p=0,030 kurang dari kelaparan parah sebanyak 4 balita. α=0,05), yang artinya ada hubungan yang Berdasarkan hasil data penelitian tersebut signifikan antara asupan lemak dengan rumah tangga yang memiliki status status gizi balita (BB/U). Asupan protein ketahanan pangan kategori rawan pangan beresiko balita mengalami kurangnya asupan lemak.
Ardian Nurdianto Firman dan Trias Mahmudiono, Kurangnya Asupan Energi dan ... 53 30 memiliki staus rawan pangan dengan kelaparan sebanyak 6 orang dan 7 orang 25 rawan pangan dengan kelaparan parah. Selain itu, balita yang memiliki asupan 20 energi normal serta memiliki status rawan pangan dengan kelaparan sebanyak 16 15 Gizi Kurang orang dan 18 orang rawan pangan dengan Gizi Baik kelaparan parah. 10 Hasil uji statistik Spearmen pada Tabel 3 didapatkan asupan energi terhadap 5 ketahanan pangan memiliki p-value sebesar 0,435 (p=0,435 lebih dari α 0,05), 0 yang artinya tidak ada hubungan yang Defisit Normal signifikan antara asupan energi dengan status ketahanan pangan rumah tangga. Gambar 5. Grafik Kategori Lemak Asupan lemak terhadap ketahanan pangan memiliki p-value sebesar 0,435 (p=0,435 Selain itu data balita yang memiliki lebih dari α 0,05), yang artinya tidak ada asupan lemak normal serta memiliki status hubungan antara asupan lemak dengan rawan pangan dengan kelaparan s ebanyak status ketahanan pangan rumah tangga. 14 balita dan rawan pangan dengan Kedua hasil uji statistik spearmen antara kelaparan parah sebanyak 14 balita. status ketahanan pangan rumah tangga Berdasarkan data yang diperoleh rumah dengan asupan energi dan lemak tangga yang memiliki status rawan pangan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan. juga memiliki resiko pada balita yang Asupan energi dan lemak hanya memiliki memiliki asupan energi normal. hubungan terhadap status gizi balita. Gambar 3 menunjukkan data balita yang mengalami defisit asupan energi serta Tabel 2. Hasil Uji Regresi Linear Collinearity Statistics Variabel t p-value Tolerance VIF Tingkat Asupan Energi 2,873 0,007 Tingkat Asupan Karbohidrat 1,765 0,087 0,625 1,601 Tingkat Asupan Lemak 2,259 0,030 Tingkat Asupan Protein 0,811 0,423 0,675 1,482 Tingkat Ketahanan Pangan 0,311 0,758 0,778 1,285 0,911 1,098 0,936 1,068
54 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 48-58 Tabel 3. Hasil Uji Spearmen Status Ketahanan Pangan Asupan Rawan Pangan Rawan Pangan p- Gizi value dengan dengan Kelaparan Total % Energi Defisit Kelaparan Parah Normal N% n % Lemak Defisit 6 15 7 85 13 100,0 0,435 Normal 16 40 18 60 27 100,0 8 20 4 80 12 100,0 0,332 14 35 14 65 28 100,0 PEMBAHASAN balita adalah status ekonomi (Rohaedi, 2016). Keluarga yang berasal dari Status ketahanan pangan rumah kelompok sosio ekonomi yang rendah, tangga pada keluarga nelayan di Kelurahan kurang memiliki pengetahuan untuk Sukolilo Baru sebagian besar termasuk memberikan makanan yang kaya gizi kategori rawan pangan dengan kelaparan untuk membantu perkembangan anak yang parah. Hal ini dikarenakan pendapatan optimal (Wong, 2008). Pendapatan yang yang diperoleh oleh nelayan yang tidak diperoleh nelayan sebagian besar tetap sehingga ketersediaan pangan tidak digunakan untuk membeli bahan non sepenuhnya setiap hari dapat dipenuhi. pangan yang tidak perlu dan bermanfaat untuk keluarganya (Muflikhati, 2010). Ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan keluarga untuk Hasil data status ketahanan pangan menjamin kecukupan asupan makanan keluarga nelayan diperoleh melalui bagi setiap anggota keluarga sehingga wawancara diketahui jumlah keluarga dapat disebut sebagai keluarga tahan nelayan yang rawan pangan dengan pangan (Sukandar, 2006). Pengertian kelaparan sebanyak 22 rumah tangga ketahanan pangan rumah tangga secara sedangkan 18 rumah tangga rawan luas adalah terjaminnya akses pangan bagi kelaparan dengan kelaparan parah. setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat beraktivitas dan hidup Hal ini sesuai dengan penelitian sehat (Saliem, 2016). dari Tajerin (2011) diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga nelayan Pada penelitian ini menunjukkan memilikistatus ketahanan pangan rumah bahwa status ketahanan pangan pada tangga rawan pangan. Penyebab keluarga keluarga nelayan dilihat dari akses nelayan beresiko rawan pangan karena ekonomi termasuk kategori rawan pangan. kurangnya ketersediaan dan pemanfaatan Hal sesuai dengan penelitian Sukiyono pangan untuk dikonsumsi. Nelayan adalah (2008) yaitu ketahanan pangan rumah salah satu yang tergolong rawan pangan tangga termasuk di wilayah pesisir yang disebabkan oleh keterbatasan aset, termasuk rawan dilihat dari salah satu kemampuan modal yang kurang, dan akses indikator ketahanan pangan rumah tangga ke pasar (Sari, 2013). yaitu akses ekonomi keluarga terhadap pangan. Hasil penelitian Yuliana (2013) yang dilakukan pada nelayan, diketahui Ketahanan pangan tingkat rumah bahwa ketahanan pangan rumah tangga tangga nelayan sebagian besar rawan nelayan termasuk kategori rawan pangan pangan. Faktor yang dapat mempengaruhi dan sebagian keluarga belum mampu hubungan ketahanan dengan status gizi memenuhi kebutuhan energi pada
Ardian Nurdianto Firman dan Trias Mahmudiono, Kurangnya Asupan Energi dan ... 55 keluarga. Hal ini disebabkan pendapatan Kelurahan Sukolilo Baru sebagian besar termasuk kategori kecil dan sedang. Hal ini nelayan yang hanya bergantung pada hasil menunjukkan bahwa kecukupan pangan untuk keluarga dapat tercukupi karena tangkapan ikan. Apabila hasil tangkapan jumlah anggota keluarga yang tidak banyak. ikan yang semakin banyak maka dapat Kategori jumlah anggota keluarga dipastikan bahwa kebutuhan pangan akan mempengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran rumah tangga sehingga tercukupi dan sisa pendapatan dapat semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin meningkat pengeluaran digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk pangan (Lindawati dan Saptanto, 2014). Faktor pengeluaran rumah tangga lainnya. dapat dipengaruhi oleh pendidikan pada kepala keluarga. Hasil penelitian Kemampuan modal atau menunjukkan banyaknya jumlah nelayan yang menempuh pendidikan terakhir penghasilan adalah pendapatan yang adalah 19 orang tamat SD/MI dan 18 orang tamat SMP/MTs. Hal ini menunjukkan diperoleh nelayan dari hasil tangkapan. tidak ada responden yang tidak pernah menempuh pendidikan. Jika pendidikan di Pendapatan adalah salah satu faktor yang keluarga nelayan meningkat maka keluarga akan lebih pandai dalam memanajemen menyebabkan nelayan tidak dapat keuangan sehingga kebutuhan dapat tercukupi (Primayastanto et al., 2013). mencukupi kebutuhan pangan rumah Kelurahan Sukolilo Baru tangga. Hasil penelitian menunjukkan merupakan wilayah yang masalah gizi kurang yang masih banyak. Berdasarkan sebanyak 23 (57,5%) nelayan memiliki data dari Badan Pusat Statistik Kota Surabaya menunjukkan Kelurahan pendapatan sekitar Rp. 290.000,00 sampai Sukolilo Baru merupakan wilayah yang memiliki kasus balita gizi kurang di dengan Rp. 390.000,00 termasuk kategori Kecamatan Bulak Kota Surabaya (BPS Kota Surabaya, 2016). sedang. Keluarga nelayan merupakan Pendapatan yang diperoleh nelayan keluarga yang beresiko rawan pangan sehingga dapat mempengaruhi status gizi berdasarkan dari rata-rata hasil tangkapan balita. Status ketahanan pangan rumah tangga nelayan yang termasuk berpengaruh ikan di laut.Nelayan akan melaut apabila terhadap status gizi balita. Balita merupakan kelompok anak usia di bawah sedang kondisi cuaca baik apabila tidak lima tahun yang sedang mengalami pertumbuhan sehingga membutuhkan zat- pada kondisi cuaca yang baik maka tidak zat gizi (Arisman, 2004). melaut. Hal tersebut dapat mempengaruhi Indeks penentuan status gizi pada penelitian ini menggunakan berat badan pendapatan nelayan yanghanya bergantung menurut umur (BB/U). Berdasarkan hasil data penelitian diperoleh status balita gizi pada hasil tangkapan ikan sehingga dapat kurang sebanyak 11 orang dan gizi baik sebanyak 29 orang. Kemudian hasil data mempengaruhi kebutuhan pangan maupun non pangan keluarga nelayan (Widyaningsih, 2015). Selain pendapatan, jumlah anggota keluarga yang dimiliki akan mempengaruhi pembagian kebutuhan pangan atau non pangan. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi persediaan makanan, dimana pada rumah tangga yang memiliki jumlah anggota yang kecil maka akan mendapatkan pangan yang cukup (Sari, 2013). Jumlah anggota keluarga adalah salah satu faktor yang dapat menentukan status ketahanan pangan rumah tangga. Jumlah anggota keluarga adalah besar jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah. Apabila jumlah anggota keluarga semakin besar maka pembagian makanan akan menjadi lebih besar dari pendapatan dibandingkan keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih kecil (Sari, 2011). Jumlah anggota keluarga nelayan di
56 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 48-58 recall 2x24 jam ditemukan bahwa balita ini dikarenakan lemak termasuk bagian yang memiliki status gizi kurang maka dari energi dan salah satu indikator yang beresiko kekurangan asupan energi. Hal ini dapat mempengaruhi status gizi pada sesuai dengan penelitian yang dilakukan individu. Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Putri (2016) jika konsumsi energi dari bahwa energi diperoleh dari konsumsi zat makanan tidak tercukupi maka akan terjadi gizi makronutrien yaitu karbohidrat, kekurangan asupan energi sehingga protein, dan lemak (Regar, 2014). Hasil mengakibatkan penururnan berat badan. tersebut menunjukkan bahwa asupan energi dan lemak merupakan faktor yang Pada usia balita dibutuhkan asupan dapat mempengaruhi status gizi balita makanan yang lebih besar karena masa BB/U. Sebagian besar asupan energi dan pertunbuhan yang cepat. Asupan energi lemakpada balita keluarga nelayan yang rendah pada balita dapat berakibat termasuk kategori normal. meningkatnya resiko masalah gizi kurang dibandingkan dengan balita yang Asupan zat gizi adalah salah satu mengkonsumsi energi yang cukup faktor langsung yang dapat mempengaruhi (Rahman, 2016). status gizi, selain itu status gizi dapat mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi Hasil Uji statistik yang dilakukan sehingga dapat mengganggu penyerapan dengan menggunakan uji regresi linier zat gizi dan menurunkan nafsu makan pada variabel dependent dan independent (UNICEF, 2013). Berdasarkan hasil uji untuk mengetahui hubungan antara energi, tabulasi silang menunjukkan sebanyak 25 karbohidrat, lemak, dan protein dengan balita yang mengalami defisit asupan status gizi balita BB/U. Variabel energi dan lemak. Hasil uji menunjukkan dependant adalah status gizi balita bahwa orang memiliki kekurangan asupan sedangkan independant adalah asupan energi maka beresiko terkena gizi kurang. energi, karbohidrat, lemak, dan status ketahanan pangan. Uji dilakukan untuk Berdasarkan hasil penelitian mengetahui faktor-faktor mana yang dapat Burhani (2015) status gizi balita di mempengaruhi status gizi balita. keluarga nelayan sebanyak 19 dari 21 balita memiliki status gizi normal dan Hasil dari uji statistik regresi linier lainnya kategori kurus. Hal ini menggunakan metode enter diketahui menunjukkan balita keluarga nelayan bahwa asupan energi merupakan faktor sebagian besar memiliki status gizi normal. yang dapat di lihat Tabel 2 mempengaruhi status gizi balita. Energi dan asupan Sejalan dengan teori asupan energi makronutrien saling terkait dengan status bertujuan untuk mempertahankan hidup, gizi pada individu. Hal ini menunjukkan menunjang pertumbuhan dan melakukan bahwa zat gizi makronutrien adalah satu aktivitas fisik. Kekurangan energi dapat yang dapat mempengaruhi status gizi. berakibat berat badan turun (Putri, 2016). Asupan energi sangat menunjang untuk Asupan energi dan lemak adalah tumbuh kembang anak pada usia 25-60 dua faktor yang dapat mempengaruhi bulan. Pada usia tersebut balita mengalami langsung status gizi balita terutama pada pertumbuhan yang cepat. indeks berat badan menurut umur BB/U. Asupan lemak dapat mempengaruhi status Selain itu dilakukan uji hubungan gizi balita dilihat dari penimbangan berat antara status ketahanan pangan dengan badan yang menunjukkan pertambahan asupan energi dan lemak. Hasil pada timbangan dibandingkan sebelum menunjukkan tidak ada hubungan antara menimbang (Regar, 2014). status ketahanan pangan rumah tangga dengan asupan energi dan lemak. Lemak merupakan salah satu bagian dari makronutrien. Pada hasil Ketahanan pangan bukan analisis statistik regresi linier lemak merupakan faktor penyebab kurangnya berhubungan dengan status gizi balita. Hal asupan energi dan lemak. Pada penelitian
Ardian Nurdianto Firman dan Trias Mahmudiono, Kurangnya Asupan Energi dan ... 57 Rohaedi (2016) menunjukkan ketahanan Burhani, P.A., Oenzil, F. dan Revilla, G., pangan rumah tangga mempunyai hubungan dengan status gizi balita. Salah 2016. Hubungan Tingkat satu indikator ketersediaan makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat Pengetahuan Ibu dan Tingkat mempengaruhi status gizi anak. Ekonomi Keluarga Nelayan dengan Hal tersebut menunjukkan bahwa makanan yang dikonsumsi oleh balita Status Gizi Balita di Kelurahan Air dapat mempengaruhi asupan energi dan lemak sehingga menentukan status gizi Tawar Barat Kota Padang. Jurnal balita. Pada penelitian ini menggunakan empat indikator ketahanan pangan rumah Kesehatan Andalas, 5(3). tangga sedangkan status gizi balita dapat dilihat dari ketersediaan pangan saja. Kementerian Kesehatan Republik Status ketahanan pangan rumah tangga tidak mempengaruhi langsung terhadap Indonesia. 2013. Riset Kesehatan status gizi pada balita. Hal ini dikarenakan merupakan faktor tidak langsung dari Dasar. Jakarta: Lembaga status gizi balita. Penerbitan Badan Litbangkes SIMPULAN Kementrian Kesehatan Republik Berdasarkan hasil penelitian di atas terdapat hubungan antara asupan energi Indonesia, 2011. Keputusan dan lemak dengan status gizi balita sedangkan status ketahanan pangan rumah Menteri Kesehatan Republik tangga tidak berhubungan. Hal ini disebabkan asupan energi dan lemak Indonesia Nomor: 1995. adalah faktor langsung yang dapat mempengaruhi status gizi balita BB/U. MENKES/SK/XII/2010 Tentang Oleh karena itu diperlukan Standar Antropometri Penilaian kesediaan pangan rumah tangga yang cukup sehingga dapat memenuhi Status Gizi Anak, Jakarta: kebutuhan balita. Selain itu perlu adanya peningkatan ketahanan pangan rumah Kemenkes RI, hlm 1-24 tangga nelayan sehingga terjadinya peningkatan ketersediaan pangan pada Lindawati, L. and Saptanto, S., 2014. kelaurga. Analisis Tingkat Kemiskinan dan DAFTAR PUSTAKA Ketahanan Pangan Berdasarkan Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Gizi Anak. Jakarta : Tingkat Pengeluaran Konsumsi Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 56-8 pada Rumah Tangga Pembudidaya Badan Pusat Statistik, 2016. Kecamatan Ikan (Studi Kasus Di Desa Sumur Bulak dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik: Surabaya Gintung, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 9(2). Muflikhati, I., Hartoyo, U.S., Fahrudin, A. dan Puspitawati, 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3(1). Ningsih, M. and Damayanti, Y., 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Rumah Tangga Nelayan Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Sosio Ekonomika Bisnis. ISSN. Primyastanto, M., Efani, A., Soemarno, S. and Muhammad, S., 2013. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Dan Pengeluaran Nelayan Payang Jurung Di Selat Madura. WACANA, Jurnal Sosial dan Humaniora, 16(1).
58 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 48-58 Putri, W.W., Sakung, J.M. and Suleiman, tangga nelayan perkotaan di R., 2016. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Surabaya, Media Gizi Indonesia. dengan Status Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talise Vol. 9, No. 1 Januari-Juni 2013. Kecamatan Mantikulore Kota Palu. Sukandar, D., Khomsan, A., Hadi, R., PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Anwar, F. danEddy, S., 2006. Studi Masyarakat, 6(2) Rachman, H.P.S., 2016. Aksesibilitas Ketahanan Pangan pada Rumah Pangan: Faktor Kunci Pencapaian Tangga Miskin dan Tidak Miskin. Ketahanan Pangan di Indonesia. JURNAL PANGAN, 19(2). Gizi Indonesia, 1(29). Regar, E. and Sekartini, R., 2014. Hubungan Kecukupan Asupan Sukiyono, K., I. Cahyadinata, dan Sriyoto, Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di 2008. Status Wanita dan Ketahanan Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012. Pangan Rumah Tangga Nelayan eJournal Kedokteran Indonesia. Rohaedi, S., Julia, M. and Gunawan, dan Petani Padi di Kabupaten I.M.A., 2016. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan status Muko-Muko Provinsi Bengkulu gizi balita di daerah rawan pangan Kabupaten Indramayu. Jurnal Gizi Jurnal Argo Ekonomi, 26(20). dan Dietetik Indonesia (Indonesian Tajerin, T., Sastrawidjaja, S. and Yusuf, Journal of Nutrition and Dietetics), R., 2011. Tingkat Kesejahteraan 2(2). Saliem, H.P. dan Ariani, M., 2016, August. Dan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan, konsep, pengukuran dan strategi. In Forum Rumahtangga Nelayan Miskin: penelitian Agro Ekonomi (Vol. 20, No. 1). Studi Kasus di Kelurahan Marunda Sari, A.K., 2011, Faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan rumah Baru, DKI Jakarta dan Desa tangga pada masyarakat nelayan di Kelurahan Sukolilo Kecamatan Tanjung Pasir, Banten. Jurnal Bulak Kota Surabaya. Skripsi. Universitas Airlangga. Sosial Ekonomi Kelautan dan Sari, A.K., dan Andrias, D.R., 2013, Faktor sosial ekonomi yang berhubungan Perikanan, 6(1). dengan ketahanan pangan rumah UNICEF, 2013. Improving Child Nutrition. UNICEF : World Bank Publication Widyaningsih, E. and Muflikhati, I., 2015. Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Nelayan Bagan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 8(3). Wong, DL dan Whaley, L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta:EGC Yuliana, P., Zakaria, W.A. and Adawiyah, R., 2013. Ketahanan pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung. Jurnal Ilmu- IlmuAgribisnis,1(2)
PENGENDALIAN VEKTOR NYAMUK AEDES AEGYPTI DI RUMAH SAKIT KOTA SURABAYA Ekalina Atikasari1, Lilis Sulistyorini2 1,2Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: Ekalina Atikasari E-mail: [email protected] ABSTRACT Vector control is an approach using the basic principles of management and consideration of disease transmission and control. The purpose of vector control is to reduce vector breeding habitats, reduce vector density, inhibit disease transmission, reduce human contact with vectors so that vector-borne disease transmission can be controlled more rationally, effectively and efficiently. This study aims to analyze the effectiveness of Aedes aegypti mosquito control vector in a hospital in Surabaya. The Control carried out by the Hospital is to eradicate Aedes aegypti mosquitoes by installing Ovitrap, Thermal Fogging, Cold Fogging and Spraying. The type of analysis used is descriptive observational. Data collection was carried out in February of 2017 at K3 unit and Environmental Health of Surabaya Hospital. The data used are hospital pest and rodent control report, secondary data aboutnumber of mosquito, number of larvae and number of Aedes aegypti mosquito eggs obtained from unit of K3 and Environmental Health. The conclusions for the hospital are: (1) always report the Aedes aegypti mosquito vector routine every months; (2) eradicating mosquitoes in difficult places such as patient and dense populated areas; (3) based on Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 374 / MENKES / PER / III / 2010 concerning Vector Control four of the six tools used in the Hospital have been used. Keywords: aedes aegypti, a hospital in surabaya, mosquito control ABSTRAK Pengendalian vektor merupakan pendekatan pengendalian vektor menggunakan prinsip dasar manajemen dan pertimbangan terhadap penularan dan pengendalian penyakit. Tujuan pengendalian vektor adalah untuk mengurangi habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan vektor, menghambat proses penularan penyakit, mengurangi kontak manusia dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dikendalikan secara lebih rasional, efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti di sebuah Rumah Sakit di Surabaya. Pengendalian yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit adalah untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti yaitu memasang Ovitrap, Thermal Fogging, Cold Fogging dan Spraying. Jenis analisis yang digunakan adalah deskriptif observasional. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari Tahun 2017 di unit K3 dan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit Surabaya. Data yang digunakan adalah laporan pest dan rodent control Rumah Sakit, data sekunder tentang jumlah nyamuk, jumlah jentik dan jumlah telur nyamuk Aedes aegypti yang didapat dari pihak unit K3 dan Kesehatan Lingkungan. Kesimpulan untuk Rumah Sakit yaitu: (1) selalu melaporkan vektor nyamuk Aedes aegypti rutin setiap bulan; (2) melakukan pemberantasan nyamuk di tempat-tempat yang sulit terjangkau seperti ruang rawat inap dan tempat yang padat; (3) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor empat dari enam alat yang digunakan di Rumah Sakit tersebut sudah terpenuhi. Kata kunci: aedes aegypti, nyamuk, pengendalian vektor nyamuk, satu rumah sakit. PENDAHULUAN kesehatan baik secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat Organisasi sosial dan kesehatan disebut Rumah Sakit. Rumah sakit sendiri yang mempunyai fungsi sebagai pelayanan juga bisa beralih fungsi menjadi pusat ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.71-82 Received 9 October 2017, received in revised form 24 January 2018, Accepted 26 January 2018, Published online: July 2018
72 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 pelatihan untuk tenaga kesehatan dan pusat pasien ketika berada pada lingkup rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain penelitian medis. Rumah sakit dimaksud dimana infeksi tersebut tidak tampak atau terlihat pada pasien yang diterima di rumah sebagai institusi pelayanan kesehatan yang sakit. Infeksi nosokomial yang didapat di rumah sakit dapat disebabkan oleh bakteri, menyelenggarakan pelayanan kesehatan virus, jamur, atau parasit. perorangan secara paripurna berupa Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu masalah pelayanan rawat inap, rawat jalan dan kesehatan yang penting di Indonesia. Jenis nyamuk yang menyebarkan penularan gawat darurat, hal tersebut tertulis penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes sp Cara penularan Virus Dengue (VirDen) berdasarkan Undang-undang No.44 Tahun berupa transsexual dimana induk jantan ke induk betina, tetapi bisa juga berupa 2009 tentang rumah sakit. transovaril dari induk betina kepada keturunannya. Vektor Aedes sp Sanitasi lingkungan (environmental penyebarannya bisa sangat meluas bahkan mulai dari daerah perkotaan (urban) health) menurut WHO adalah sebuah dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan bahkan daerah perdesaan (rural). upaya pengendalian semua faktor Salah satu upaya pengendalian vektor nyamuk bisa dengan melakukan pembatasan lingkungan manusia yang mungkin saja vektor. Nyamuk vektor DBD bisa dikembangbiakkan menggunakan Tempat dapat menimbulkan dan bahkan merugikan Perkembangbiakan (TP) yang berupa wadah (container) berisi air jernih yang bagi perkembangan fisik, kimiawi dan diletakkan di dalam dan di sekitar lingkungan rumah. Bahkan berdasarkan biologi di rumah sakit yang dapat survei yang telah dilakukan, angka jentik Aedes sp di beberapa daerah masih menyebabkan pengaruh buruk terhadap memiliki angka yang tinggi. kesehatan petugas, penderita, pengunjung, Virus yang termasuk dalam genus Flaviridae ini adalah penyebab Demam maupun masyarakat yang berada di sekitar Dengue atau Demam Berdarah. Ada 4 jenis serotipe Dengue Virus yang beredar rumah sakit. khusus di Indonesia, yaitu: Dengue Virus 1 (DV 1), Dengue Virus 2 (DV 2), Dengue Rumah sakit rentan akan penularan Virus 3 (DV 3), Dengue Virus 4 (DV 4) (Xu et al, 2006; Suwandono et al, 2007). penyakit bahkan penularan pun mudah Penyakit ini memiliki masa inkubasi berkisar antara 1 hingga 4 hari timbul terjadi jika tidak menjaga kebersihan demam. Setelah sehari sebelum demam H- 1 dengan menggunakan teknik diagnosis lingkungan. Untuk mengurangi kejadian deteksi NS1, maka antigen virus akan bisa dideteksi. Sebelum dilaksanakan deteksi penularan penyakit maka perlu dilakukan maupun didiagnosis, demam berdarah mendasar pada antigen-antibodi yang baru pengendalian vektor penyakit dan binatang kemudian baru bisa dideteksi pada hari ke- 3 atau hari ke-4 setelah demam pengganggu.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor disebutkan “Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah”. Sanitasi lingkungan rumah sakit yang tidak memenuhi syarat dapat berisiko menjadi faktor penyebab infeksi nosokomial, untuk itulah penting untuk selalu memahami kondisi hiegine di lingkungan rumah sakit. Menurut World Health Organization (WHO) pada rumah sakit berasal dari 14 negara berada di empat kawasan (regional) WHO, sekitar 8,7% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial rumah sakit. Definisi infeksi nosokomial menurut yang dituliskan oleh WHO yaitu suatu infeksi yang tampak atau terlihat pada
Ekalina Atikasari dan Lilis Sulityorini, Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes... 73 berlangsung atau bahkan bisa pada hari ke- mendadak, sakit kepala yang amat sangat, 7 setelah infeksi berjalan. Teori klasik bagian belakang mata terasa sakit, otot dan metode diagnostic membagi Infeksi Virus sendi melemah, nafsu makan berkurang, Dengue atau yang biasanya disebut virus mual dan muncul ruam kemerahan. Gejala Demam Berdarah menjadi 2 kategori yang muncul pada anak-anak biasanya umum, yaitu Asymtomatic Dengue berupa demam ringan yang disertai ruam Infection or Dengue without Symptoms and merah. The Symptomatic Dengue (WHO, 1999; Berikut ini adalah tanda demam Depkes 2005). Nantinya pada infeksi virus berdarah semakin parah yaitu demam yang dengue dengan gejala (The Symptomatic teramat sangat tinggi hingga mencapai 40- Dengue) akan dilakukan lagi 3 (tiga) 41oC berlangsung sekitar dua hingga tujuh pembagian kelompok yaitu: Demam hari, wajah berubah menjadi kemerahan, dengue tanpa gejala yang spesifik, Demam serta gejala lainnya yang menyertai demam dengue dengan demam ditambah dengan 2 berdarah ringan. Selanjutnya bisa saja (dua) gejala spesifik berupa pendarahan terjadi kecenderungan pendarahan seperti ataupun tanpa pendarahan, dan DBD memar, hidung dan gusi terjadi pendarahan dengan atau tanpa shock syndrome. dan bahkan bisa saja pendarahan di dalam tubuh. Jika kasus semakin bertambah Pada tahun 2008 seorang pakar sangat parah bisa terjadi kemungkinan bernama Achmadi memperkenalkan suatu kegagalan saluran pernapasan, shock dan konsep Manajemen Demam Dengue yang berujung pada kematian. Biasanya setelah lebih sering disebut DBD berbasis terinfeksi oleh salah satu dari keempat masyarakat. Konsep ini menggabungkan jenis virus dengue, badan ini akan pengendalian penyakit dimulai dari memiliki kekebalan terhadap virus sumber. Ketiga sumber tersebut yakni tersebut, namun sayangnya tidak menjamin penderita awal yang memiliki potensi kekebalan terhadap tiga jenis virus yang sebagai sumber penularan, nyamuk itu lainnya. sendiri (seperti misalnya pengendalian pada sarang nyamuk), dan yang terakhir Virus dengue biasanya ditularkan memberikan penyuluhan kepada melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang masyarakat untuk mendukung gerakan terinfeksi virus dengue, yang kemudian memberantas secara tuntas penyakit betina tersebut akan menggigit manusia Demam Berdarah (Getas DBD). dan menularkan demam berdarah tersebut kepada manusia. Penyakit demam berdarah Penyakit Demam Berdarah adalah tidak bisa ditularkan langsung dari satu penyakit infeksi oleh virus Dengue yang orang ke orang lain. Penyebar utama virus ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes dengue adalah nyamuk Aedes aegypti, aegypti dengan ciri demam tinggi namun virus dengue juga dapat disebarkan mendadak disertai manifestasi pendarahan oleh spesies nyamuk lain yaitu dan bertendesi menimbulkan renjatan Aedesalbopictus. Jangka masa inkubasi (shock) dan kematian (Ditjen PPM&PL, adalah 3 sampai 14 hari, umumnya 4 2001). Nyamuk Aedes aegypti betina sampai 7 hari (Fathi, 2005). menghisap darah manusia setiap 2 hari. Tempat hinggap yang disukai nyamuk Penanganan terhadap DBD tidak jenis ini adalah benda-benda yang ada perawatan khusus. Obat yang tergantung, seperti pakaian, kelambu, atau diberikan kepada penderita berfungsi untuk tumbuhan di dekat tempat berkembang meringankan demam dan rasa sakit. Untuk biaknya. penderita sebaiknya segera dirawat serta tidak lupa untuk selalu menjaga jumlah Ciri Klinis cairan tubuhnya sebab jika penderita akan mengalami dehidrasi jadi perlu juga Demam berdarah biasanya ditandai memastikan penderita cukup minum. oleh demam tinggi yang muncul secara
74 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 Perawatan yang tepat dan segera, tingkat sampai sore hari sedangkan nyamuk kematian tidak mencapai 1%. Pencegahan berjenis kelamin jantan biasanya terhadap DBD hingga saat ini belum menghisap sari bunga/tumbuhan yang tersedia vaksin. Pencegahan yang bisa mengandung gula, dan umur nyamuk dilakukan adalah dengan menghilangkan Aedes aegypti rata-rata 2 minggu, tetapi genangan air yang dapat menjadi sarang sebagian diantaranya dapat hidup hingga 2- nyamuk, dan menghindari gigitan nyamuk 3 bulan (Hastuti, 2008). (Cahyati, 2016). Perkembangan dari telur sampai Faktor yang mempengaruhi menjadi nyamuk kurang lebih 9-10 hari. perkembangan nyamuk sangat banyak Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat dapat berasal dari lingkungan luar maupun mengeluarkan sebanyak 100 butir. Telur dari hormonal nyamuk itu sendiri. nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam Perkembangabiakkan nyamuk Aedes sp. dengan ukuran kurang lebih 0,80 mm. sangat tinggi jika telah kenyang darah. Sel Telur nyamuk Aedes aegypti biasanya telur dalam ovariol akan berkembang cepat diletakkan di tempat kering (tanpa air) membentuk kuning telur kemudian dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur akan menjadi telur yang matang. Telur mampu menetas menjadi jentik dalam waktu disimpan dalam enam bulan pada suhu dan kurang lebih 2 hari setelah terendam air. kelembaban yang optimal dan jika dapat Kemudian jentik kecil yang menetas dari disimpan dalam 1 tahun daya tetas telur telur akan tumbuh menjadi besar dengan hanya 5 %. Larva akan menetas jika ukuran panjang 0,5 cm-1 cm (Fadila, terkontak air. Larva akan mati pada suhu 2015). 10°C. Pada air yang keruh larva tidak dapat berkembang dengan baik. Hormon Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes juvenile menentukan perkembangan aegypti Sumber: denguepatrolsmkab.com stadium larva ke pupa. Jika kadar hormon juvenil tinggi maka larva tidak dapat Jentik nyamuk Aedes aegypti ini berkembang. Larva akan berubah ke pupa selalu bergerak aktif dalam air. Geraknya jika terjadi keseimbangan jumlah hormon berulang dari bawah ke atas permukaan air juvenil dan ekdison. Stadium larva akan untuk bernafas (mengambil oksigen) berhenti jika sekresi hormon juvenil kemudian turun, setelah itu kembali lagi ke berhenti. Hormon juvenil dapat dibuat bawah dan seterusnya dan dilakukan secara secara sintetis sehingga dapat dilakukan berulang ulang. Posisi jentik akan berubah cara pengendalian DBD stadium larva. menjadi tegak lurus dengan permukaan air Suhu dan kelembaban udara berpengaruh ketika beristirahat. Di dinding tempat pada perkembangan nyamuk. Pada daerah yang bersuhu tinggi dan kelembaban yang rendah, perkembangan nyamuk Aedes sp. menjadi lebih lama dan siklus gonotrofiknya menjadi lebih pendek.Ciri morfologi nyamuk Aedes aegypti yaitu: tubuhnya berwarna hitam dan memiliki corak belang-belang berwarna putih (loreng) di seluruh tubuhnya, suka tinggal dan berkembang biak di dalam dan di sekitar rumah (bisa bahkan bisa juga di tempat umum yang padat akan penduduk), kemampuan terbang hingga jarak 100 meter, nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah manusia pada pagi hari
Ekalina Atikasari dan Lilis Sulityorini, Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes... 75 penampungan air biasanya kita bisa Surabaya dan data sekunder berasal dari hasil laporan Unit K3 dan Kesehatan menemukan jentik tersebut. Jentik Lingkungan Rumah Sakit di Surabaya. Analisis data dilakukan secara deskriptif membutuhkan waktu sekitar 6-8 hari untuk dan dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia berkembang/berubah menjadi kepompong. Nomor74/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. Kepompong nyamuk Aedes aegypti HASIL DAN PEMBAHASAN berbentuk koma, gerakannya pelan dan Macam Pengendalian vektor nyamuk lamban, dan lebih banyak berada di Aedes aegypti di Sebuah Rumah Sakit di Surabaya permukaan air. Membutuhkan waktu Pengendalian yang sudah dilakukan sekitar 1-2 hari hingga akhirnya menjadi oleh pihak Rumah Sakit dalam memberantas nyamuk Aedes aegypti yaitu nyamuk dewasa ( Hadi, 2008). Cold Fogging, Spraying Thermal Fogging, dan Pemasangan Ovitrap (Hadi, 2012). Nyamuk Aedes aegypti suka tinggal Sebelumnya Rumah Sakit Surabaya ini melaksanakan pengendalian vektor dan pada area gelap dan menyukai benda- rodent secara mandiri yang dilakukan oleh Unit K3 dan Kesehatan Lingkungan hingga benda berwarna hitam atau merah. akhirnya pihak Rumah Sakit di Surabaya ini memutuskan untuk bekerja sama Biasanya ditemukan di bawah meja, dengan pihak Patronage CV. STARINDO PRATAMA dan sudah berjalan sekitar 6 bangku, kamar yang gelap, atau dibalik bulan lamanya. baju-baju yang digantung dalam waktu Metode Cold Fogging yang lama. Nyamuk ini menggigit pada Gambar 2. Pelaksanaan cold fogging di Ruang Linen 2-3 kali perbulan siang hari pukul 09.00-10.00 WIB dan sore hari pukul 16.00-17.00 WIB. Tempat yang disukai oleh Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak adalah tempat penampungan air sehari-hari dan bahkan barang yang bisa menampung air. Nyamuk Aedes aegypti ini juga bisa berkembang biak di bak mandi atau WC. ,drum, vas bunga/pot tanaman air, kaleng bekas, botol, plastik dan barang lain yang dibuang sembarangan sembarangan (Depkes RI, 2007). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti di sebuah Rumah Sakit di Surabaya kemudian dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Februari sampai dengan Bulan Maret Tahun 2017 di Unit K3 dan Kesehatan Lingkungan di suatu rumah sakit di Surabaya. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi lapangan di Rumah Sakit
76 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 Cold Fogging dilakukan di dalam digunakan berupa nozzle stickdengan ruangan dengan menggunakan alat ULV. tangki berisi zat kimia. Alat tersebut Mesin ini dioperasikan dengan cara terpasang pada rangka sehingga aman dijinjing dan diangkat memutari ruangan. untuk digendong di bahu belakang Alat ini bekerja menggunakan komponen operator. Berat perkiraan tidak lebih dari penghasil aerosol untuk menyemprot di 25 kg ketika tangki penuh dan pada dalam ruangan. Pada alat tidak ditemukan pengoperasian normal. Lubang pengisian bagian tajam dan aman sehingga tidak tangki diameternya tidak lebih dari 90 mm akan mencelakai operator yang dan klep tekanan harus terletak diatas alat melaksanakan kegiatan secara normal. semprot dan dan mampu membuang habis Komponen bergerak dan knalpot ditutup tekanan. Tali sandang/ gesper untuk dan dilindungi agar tidak membahayakan mengangkat alat memiliki lebar 50 mm operator ketika menggunakan alat tersebut dan panjang yang bisa dengan mudah (Sunaryo, 2014). diatur minimal memiliki panjang 100 cm. Tali sandang dan pengencangnya harus Tombol yang ada pada alat serta mampu bertahan pada uji jatuh. tuas terpasang secara tetap pada mesin dan Penyemprotan dilakukan tiga hari sekali ada tanda yang jelas untuk tiap tombol dalam seminggu yaitu setiap hari senin, pengoperasiannya. Berat alat ketika tangki rabu dan jumat. Untuk hari senin dilakukan terisi penuh berkisar tidak lebih dari 20 kg di taman bagian dalam, hari rabu dilakukan untuk versi jinjing dan 25 kg untuk model di bagian saluran IPAL dan hari jumat yang terpasang pada rangka model dilakukan di halaman depan parkiran gendong. rumah sakit. Penyemprotan biasanya dilakukan pukul 10.00 WIB dengan waktu Fungsi dari cold fogging sendiri penyemprotan sekitar 30 menit hingga 1 adalah untuk membasmi nyamuk dewasa jam. yang berada di dalam ruangan (indoor). Cold Fogging akan dilakukan sesuai Gambar 3. Pelaksanaan penyemprotan di permintaan dari pihak atau unit yang selokan sekitar Rumah Sakit 3 kali membutuhkan. Dalam sebulan minimal seminggu dilakukan 2-3 kali tergantung permintaan dari kepala unit di Rumah Sakit tersebut. Metode Thermal Fogging Selama melaksanakan penelitian di RS X Surabaya cold fogging dilaksanakan satu Thermal Fogging dilaksanakan kali yaitu di ruangan laundry (linen). sebulan sekali setiap pertengahan bulan. Selama proses penyemprotan seluruh linen Thermal Fogging dilaksanakan sekitar ditutupi menggunakan plastik supaya pukul 05.00 WIB. Alat yang digunakan bahan kimia yang disemprotkan tidak berupa alat fogging yang menggunakan menempel di kain yang sudah selesai bahan bakar mesin. Permukaan yang bisa dicuci. Untuk proses pelaksanaan cold fogging sendiri dilakukan kurang lebih sekitar 20-25 menit setelah itu ruang laundry bisa digunakan kembali secara normal. Metode Spraying (Penyemprotan) Spraying dilaksanakan di tempat yang dapat penampungan air seperti saluran pembuangan IPAL, taman, kolam, dan sebagainnya. Fungsinya untuk membasmi nyamuk dewasa. Alat yang
Ekalina Atikasari dan Lilis Sulityorini, Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes... 77 menghasikan panas harus terlindungi Telur dan larva tersebut nantinya secara benar, hal tersebut dimaksudkan akan terjebak di jaring dan tidak mampu untuk mencegah atau bahkan mengurangi keluar dari wadah tersebut. Ovitrap kejadian luka bakar pada operator yang diletakkan di tempat yang gelap lembab. menggunakan alat. Tidak boleh ada bagian Tempat yang gelap dan lembab lebih tajam yang dapat mengakibatkan cidera disukai nyamuk untuk berkembang biak. operator pada pemakaian normal. Berat Agar dapat terkumpul telur nyamuk dalam tangki jika terisi penuh tidak boleh jumlah relatif banyak sebaiknya alat melebihi 20kg. ovitrap dipasang pada lokasi dekat tempat perindukan. Ovitrap akan menarik nyamuk dewasa betina bertelur di dalamnya. Jenis perangkap harus dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan sifat bionomik nyamuk yang terdapat pada lokasi penangkapan. Ovitrap akan memudahkan kita dalam kegiatan pengumpulan telur nyamuk karena kita tidak perlu menyisir seluruh area tempat perindukan untuk mendapatkan telur namun kita hanya langsung menuju ovitrap yang telah dipasang. Sumber: Dokumentasi Fogging di Rumah Sakit Gambar 5. Peletakan Ovitrap di area Surabaya taman dalam Rumah Sakit menggunakan Gambar 4. Pelaksanaan Thermal Fogging botol bekas di taman yang dilakukan 2 kali dalam sebulan Letakkan ovitrap di tempat yang diduga terdapat populasi nyamuk tinggi Lebar tali sandang untuk seprti tempat yang dekat dengan sumber mengangkat tidak boleh kurang dari 50 air dan tempat yang banyak terdapat mm pada posisi bahu dan dapat diukur barang bekas.Pemasangan ovitrap biasanya panjangnya dengan sebuah pengencang dilaksanakan setiap sebulan sekali. sehingga tidak kurang dari 750 mm serta Pemasangan ovitrap dilakukan sebelum harus memenuhi ketentuan daya serap dan sesudah pelaksanaan thermal fogging. kurang dari 10% berat keringnya. Thermal Cara membuat ovitrap sederhana yaitu Fogging dilakukan menyeluruh dan memotong botol bekas menjadi 2 bagian, menyebar di area Rumah Sakit. Lama memasang kain kasapada botol bagian pelaksanaan bisa berjalan sekitar 30 menit hingga 1 jam. Selama melaksanakan penelitian Thermal Fogging telah dilakukan selama 2 kali dalam sebulan. Ovitrap adalah sebuah wadah perangkap yang digunakan untuk merangkap telur dan nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa akan meletakkan telurnya di permukaan dan di dalam air nantinya telur tersebut kemudian akan menjadi larva. Metode Ovitrap
78 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 bawah, menuangkan air bersih ¾ setinggi populasi nyamuk dewasa secara langsung kasa yang terpasang, meletakkan ovitrap di adalah hal yang mustahil. Oleh karena taman dibawah pohon dan di semak- itulah penghitungan dilakukan dengan cara semak. menghitung larva (jentik) yang dihasilkan di sekitar area Rumah Sakit Surabaya. Dalam pembuatan ovitrap yang Perangkap nyamuk berupa ovitrap dilaksanakan oleh pihak Rumah Sakit diletakkan di seluruh tempat yang dapat Surabaya ini masih kurang tepat karena menampung air. Perkiraan populasi menggunakan botol bekas bewarna putih. nyamuk dewasa kemudian dapat dimonitor Sebaiknya botol yang digunakan berwarna dengan cara menggunakan nilai indeks gelap (bisa menggunakan warna hitam atau ovitrap. merah). Jika memang tidak memungkinkan botol bewarna putih tadi bisa ditutup Indeks Ovitrap di Sebuah Rumah Sakit menggunakan kertas berwarna hitam. di Surabaya Populasi Nyamuk Aedes aegypti di Sebuah Rumah Sakit di Surabaya Ovitrap dipasang di taman dan di tempat yang memungkinkan tempat Populasi nyamuk menurut data bersarang nyamuk Aedes aegypti. laporan pada bulan November 2016 – Pemasangan ovitrap dilakukan pada Januari 2017 banyak ditemui di drainase pertengahan bulan dan biasanya dilakukan dan area IPAL bisa dilihat pada Tabel 1. 2 (dua) kali yaitu sebelum dan sesudah pelaksanaan Thermal Fogging. Observasi Tabel 1. Jumlah Vektor NyamukAedes pengamatan jentik nyamuk dilakukan 2-3 aegypti di Rumah Sakit tahun hari setelah pemasangan ovitrap. Berikut 2016 adalah tabel pengamatan jentik sebelum pelaksanaan thermal fogging. Setiap lokasi Bulan Jumlah Waktu Area dipasang ± 3 ovitrap maka jumlah ovitrap keseluruhan berjumlah 18 botol. Ovitrap November ±100 Pagi-siang Outdoor, ini kemudian didiamkan di lokasi yang Pagi-siang drainase, ditetapkan kurang lebih sekitar 3 hari Desember ±75 collecting untuk melihat berapa banyak telur dan pit, IPAL jentik yang tertangkap. Jumlah keseluruhan telur yang tertangkap jaring berjumlah 18. Outdoor, Maka perhitungan Ovitrap Index drainase, (Fatmawati, 2014) adalah sebagai berikut: collecting pit, IPAL Ovitrap Index = Jumlah ovitrap positif x100% Jumlah Ovitrap terpasang Januari ±60 Pagi-siang Outdoor, drainase, collecting pit, IPAL Sumber: Data Laporan pest rodent & control di Ovitrap Index= 18 x 100% Rumah Sakit tahun 2016 = 100 % 18 Kurang lebih dalam periode November Thermal Fogging dilaksanakan 2016 hingga Januari 2017 total seluruh sebulan sekali pada pertengahan bulan. nyamuk yang berada di lingkungan di Pada bulan Februari Thermal Fogging sebuah Rumah Sakit di Surabaya sebesar dilaksanakan tanggal 22 Februari 2017. kurang lebih 235 nyamuk dan banyak Setelah dilakukan fogging dilakukanlah ditemukan di drainase, taman, IPAL dan pemasangan Ovitrap baru. Guna collecting pit. Menurut pihak Rumah Sakit pemasangan Ovitrap baru ini untuk Surabaya iniuntuk mengukur kepadatan
Ekalina Atikasari dan Lilis Sulityorini, Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes... 79 mengamati dan membandingkan apakah Tingkat 2 ada penurunan jumlah telur dan jentik nyamuk setelah dilakukan Thermal Ovitrap Index sebesar lebih dari Fogging. Setelah itu Ovitrap baru ini kemudian dibiarkan di lokasi selama 3 hari sama dengan 5 % - 20 %. Maka tindakan dan selanjutnya diamati perbedaan jumlah jentik dan telurnya. yang perlu dilakukan adalah Setiap lokasi dipasang kurang lebih memberitahukan kepada manajemen 3 ovitrap maka jumlah ovitrap keseluruhan berjumlah 18 botol. Sedangkan jumlah tempat umum untuk memeriksa secara telur yang ditemukan berjumlah 4. Maka perhitungan Ovitrap Index adalah sebagai berkala (waktu tidak lebih tujuh hari) dan berikut: kemudian membasmi tempat Ovitrap Index = Jumlah ovitrap positif x100% Jumlah ovitrap terpasang perkembangbiakan nyamuk. Ovitrap Index = 4 x 100% Tingkat 3 18 Ovitrap Index sebesar lebih besar sama = 22,2 % dengan 20 % -40 %. Maka tindakan yang Berdasarkan dari hasil perhitungan didapatkan indeks ovitrap sebelum dilaksanakan yaitu lebih meningkatkan dilaksanakan fogging sebesar 100% sedangkan indeks ovitrap setelah kegiatan meniadakan tempat dilakukan pelaksanaan fogging sebesar 22,2%. perkembangbiakan nyamuk karena Untuk mengetahui interpretasi dari dianggap angka tersebut amat sangat hasil yang didapatkan dapat dibandingkan dengan klasifikasi indeks ovitrap sepertu tinggi. berikut menurut Food and Environmental Hygiene Department, 2015: Tingkat 4 Tingkat 1 Ovitrap Index sebesar lebih besar Ovitrap Index sebesar kurang dari 5 sama dengan 40 %. Maka tindakan yang %. Maka tindakan harus dilakukanyaknimelakukan pengawasan dilaksanakan meminta bantuan kepada secara cermat kondisi kebersihan lingkungan wilayah mengurangi atau perusahaan pest control untuk mengatasi bahkan menghilangkan tempat perindukan nyamuk dan melakukan pemeriksaan permasalahan nyamuk. Tindakan yang setiap seminggu sekali untuk mengidentifikasi tempat perindukan atau dilakukan bisa menggunakan larvasida, bahkan yang mungkin berpotensi serta menghilangkan tempat yang mungkin atau bahkan jika stadium dewasa amat digunakan nyamuk sebagai tempat berkembangbiak. sangat tinggi dapat diterapkan. Indeks ovitrap sebelum dilakukan fogging masuk ke dalam tingkat 4 (empat), artinya daerah tersebut termasuk rawan timbul penyakit DBD. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan menutup tempat yang berpotensi tergenang air, menutup rapat tempat penampungan air bersih, selalu melakukan pengurasan tempat penampungan air, dan menggunakan larvasida jika memang dibutuhkan. Area di sebuah Rumah Sakit di Surabaya memiliki taman yang luas sehingga memudahkan nyamuk Aedes aegypti bertelur dan berkembang biak. Rumah Sakit Surabaya ini juga memiliki saluran air yang sifatnya terbuka mengelilingi daerah Rumah sakit semakin mempermudah nyamuk untuk membuat tempat perindukan. Melakukan pemberantasan nyamuk agaknya sulit
80 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 untuk dilakukan karena banyaknya jumlah yang digunakan untuk menangkap telur pasien yang menginap dan berkunjung ke dan jentik nyamuk Rumah Sakit Surabaya tersebut, oleh karena itulah pemberantasan nyamuk Dua alat yang tidak dimiliki oleh Aedesaegypti hanya dilakukan sebulan Rumah Sakit berdasarkan Peraturan sekali jam 05.00 WIB menggunakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia thermal fogging. Spraying dilakukan setiap Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang seminggu sekali setiap hari senin, rabu dan Pengendalian Vektor yaitu mist-blower dan jumat. hot fogger yang dioperasikan diatas kendaraan pengangkut. Rumah Sakit ini Pelaksana Pengendalian Vektor bekerjasama dengan pihak Patronage CV. Nyamuk Aedes aegypti di Sebuah STARINDO PRATAMA sudah berjalan Rumah Sakit di Surabaya selama 6 bulan terakhir. Sebelumnya pelaksanaan pengendalian vektor Petugas pengendalian berjumlah 2 (dua) dilakukan secara mandiri oleh pihak rumah sakit dibawah naungan Unit K3 dan orang dan bergatian setiap harinya. Dalam Kesehatan lingkungan.Pihak ketiga pun sudah memiliki SOP dan Pedoman pelaksanaannya petugas menggunakan Pelaksanaan Hama baik vektor maupun rodent.Pengendalian vektor nyamuk Aedes Alat Pelindung Diri berupa Masker Hawk aegypti di sebuah Rumah Sakit di Surabaya ini telah dilaksanakan secara untuk melindungi pernapasan bagian atas, rutin yaitu dilakukan Thermal Fogging setiap sebulan sekali, Cold Fogging sarung tangan karet yang terbuat dari dilakukan berdasarkan permintaan jika dirasa memang ruangan tersebut memiliki lateks untuk perlindungan tangan agar jumlah nyamuk tinggi, dan penyemprotan dilaksanakan 3 kali seminggu di tempat tidak terjadi iritasi kulit jika terkena bahan yang memungkinkan perindukan nyamuk Aedes aegypti. kimia dan sepatu khusus IPM untuk Pihak ketiga bekerja sama dengan melindungi kaki. pihak Rumah Sakit Surabaya sudah melaksanakan pemantauan telur dan jentik Setelah melaksanakan nyamuk Aedes aegypti dan berusaha mengurangi angka Index Ovitrap hingga ± pengendalian vektor petugas akan 22,2 %. PengendalianAedes aegypti yang dilakukan di Rumah Sakit ini terdiri dari menuliskan hasil laporannya di sebuah Cold Fogging, Spraying Thermal Fogging, buku, pada akhir bulan akan dilakukan dan Pemasangan Ovitrap. analisa masalah dan pemberian treatment SIMPULAN yang harus dilakukan untuk mengantisipasi Disimpulkan bahwa dari keempat metode yang dilaksanakan, yang paling meningkatnya jumlah populasi vektor. efektif adalah metode thermal foggingkarena kabutnya terlihat jika Setelah dibandingkan dengan Peraturan dibandingkan dengan metode lain sehingga mudah untuk diarahkan ke tempat-tempat Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang menjadi persembunyian sarang nyamuk Aedes aegypti, tidak hanya itu Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 thermal fogging biayanya lebih murah Tentang Pengendalian Vektor, Rumah Sakit di Surabaya ini sudah melakukan pelaksanaan pengendalian vektor secara benar dan tepat dimulai dari penggunaan alat, prosedur pelaksanaan, dan kadar bahan kimia yang digunakan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 Rumah Sakit di Surabaya ini dalam melaksanakan pengendalian vektor sudah menggunakan 4 (empat) alat pengendalian yaituspray-cansebuahalat semprot bertekanan yang dioperasikan dengan tangan, mesin ULV sebuah mesin yang mengeluarkan kabut dingin, hot fogger mesin pengkabut panas yang dioperasikan dengan cara dijinjing, dan botol ovitrapalat
Ekalina Atikasari dan Lilis Sulityorini, Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes... 81 dibandingkan metode lain. Dengan Administrative Region.2012. menggunakan thermal fogging biasanya akan langsung terlihat hasilnya secara Demam Berdarah, cepat oleh karena itu biasanya metode thermal fogging dilaksanakan bersamaan Fadilla Z., Hadi U.K., Setianingsih S., dengan metode ovitrap untuk melihat jumlah penurunan telur dan larva nyamuk 2015. Bioekologi Vektor Demam Aedes aegypti. Berdarah (DBD) Serta Deteksi Spraying memang dilaksanakan 3 kali dalam seminggu namun sifatnya tidak Virus Dengue pada Aedes aegypti membasmi secara tuntas dan hanya bersifat mengusir nyamuk Aedes aegypti oleh (Linnaeus) dan Ae. Albopictus karena itulah frekuensi melaksanakan spraying lebih sering daripada pelaksanaan (Skuse) (Diptera: Culicidae) di thermal fogging dimana hanya dilakukan sekali dalam sebulan. Kelurahan Endemik DBD Disarankan kepada Rumah Sakit Bantarjati Kota Bogor. Jurnal adalah untuk selalu melakukan pemberantasan nyamuk di tempat-tempat Entomologi Indonesia, vol.12 No.1. yang sulit terjangkau seperti ruang rawat inap dan tempat-tempat yang padat FatmawatiT. 2014. Distribusi dan pengunjung karena tempat-tempat tersebut juga rawan akan tempat perindukan Kelimpahan Larva Nyamuk Aedes nyamuk serta penularan penyakit. spp. Di Kelurahan Sukorejo Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan pihak Rumah Sakit Gunungpati Semarang Berdasarkan melaksanakan pengendalian nyamuk Aedes aegypti di ruang rawat inap menggunakan Peletakan Ovitrap (Skripsi, semprotan pestisida manual karena sangat tidak memungkinkan untuk memindahkan Universitas Negeri Semarang, pasien dari ruangan mereka. Semarang). Untuk pembuatan ovitrap sebaiknya botol yang digunakan bewarna Fathi,Keman S., Wahyuni C.U.,2005. gelap seperti warna hitam atau merah karena nyamuk menyukai warna tersebut. Peran Faktor Lingkungan dan Jika memang tidak memungkinkan botol berwarna putih tadi bisa dilapisi kertas Perilaku terhadap bewarna hitam atau merah. PenularanDemam Berdarah DAFTAR PUSTAKA Dengue di Kota Mataram. Jurnal Cahyati W.H., Sukendra D.M., Santik Y.D.P., 2016. Penurunan Container Kesehatan Lingkungan, Vol.2. Index (CI) Melalui Penerapan Ovitrap di Sekolah Dasar Kota Food and Environmental Hygiene Semarang. Unnes Journal of Public Health, Vol.4. Departement. 2015. Dengue Fever Departement of Health The Government of Ovitrap IndexUpdate. the Hong Kong Special Hadi U.K., Sigit S.H., Gunandini D.J., Soviana S., Sugiarto, 2008. Pengaruh Penggunaan Repelen Masal Jangka Panjang Pada Suatu Pemukiman terhadap Keberadaan Nyamuk Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae). Jurnal Entomologi Indonesia Vol.5, No. 1 Hadi U.K., Soviana S., Gunandini D.J., 2012. Aktivitas Nokturnal Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 9 No.1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 Tentang Syarat Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Hastuti O., 2008. Demam Berdarah Dengue Penyakit & Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Penerbit KANISIUS (Anggota IKAPI)
82 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 71-82 Kementrian Kesehatan RI. 2010. Buletin Nomor 44 Tahun 2009 Sakit Jendela Epidemiologi Manajemen Kementrian Kesehatan Republik Demam Berdarah Berbasis Indonesia Direktorat Jenderal Wilayah. Jakarta: Pusat Data dan Pengendalian Penyakit dan Surveilans Epidemiologi Penyehatan Lingkungan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Modul Pengendalian Demam Indonesia Nomor Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes. 374/MENKES/PER/III/2010 WHO. Preventionof Hospital-aquired tentang Pengendalian Vektor. infections. A practical Guide. 2nd Sunaryo, Pramestuti N., 2014. Surveilans Edition. Aedes aegypti di Daerah Endemis WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis. Demam Berdarah Dengue. Jurnal Treatment, Prevention and Kesehatan Masyarakat Nasional Control.New Edition 2009. Vol.8, No 8. WHO. National Guidelines for Clinical Undang-undang Republik Indonesia Management of Dengue Fever.
HUBUNGAN FAKTOR SUHU DENGAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN SAWAHAN SURABAYA Bella Rosita Fitriana1), Ririh Yudhastuti2) 1,2Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya Alamat Korespondensi: Bella Rosita Fitriana Email: [email protected] ABSTRACT DHF cases is always occured in East Java each year. In 2014, the number of cases reached 14.534 cases with a mortality rate of 146 people. In 2015 reached 9.609 cases with mortality rate of 108 people. Meanwhile in 2016, it increasing high that 20.129 cases occured with a mortality rate of 283 people. BMKG stated that there are extremes climate change can be a risk the increasing high of DHF cases. The purpose of this study was to analyze the relationship of environmental factors and people’s behaviour with DHF cases in Putat Jaya Public Health Center Surabaya. The type of this research was analytic, using case-control study design. The research samples were 112 respondents, which obtained by simple random sampling. The data were collected by using a questionnaire and observation. The statistical test used in this study was chi square. The results showed a correlation between the temperature and DHF cases (p = 0.019); (OR = 0.319). The conclusion of this study is temperature factor correlated with DHF cases. Putat Jaya Health Center need to increase the awareness of the citizens and it also need a cooperation with BMKG to provide the information related to temperature changes. When the mosquito is in their good temperature for breeding, citizen need to be aware, they need to keep the enviroment clean, such us doing 3M Plus Keywords: DHF, temperature, 3M Plus ABSTRAK Kasus DBD selalu terjadi di wilayah Jawa Timur setiap tahun. Pada tahun 2014 jumlah kasus mencapai 14.534 kasus dengan angka kematian sebesar 146 jiwa. Pada tahun 2015 mencapai 9.609 kasus dengan angka kematian sebesar 108 jiwa. Pada tahun 2016 terjadi kenaikan yang cukup tinggi yaitu 20.129 kasus dengan angka kematian sebesar 283 jiwa. BMKG menyatakan bahwa adanya perubahan ikilm yang ekstrem berisiko terjadi peningkatan kasus DBD. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat dengan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya Surabaya. Jenis penelitian adalah analitik dengan menggunakan desain penelitian case control. Sampel penelitian sebanyak 112 responden, diambil secara acak menggunakan simple random sampling. Cara pengumpulan data dengan kuesioner dan pengamatan. Uji statistik yang digunakan adalah uji α. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan kasus DBD (p=0.019); (OR= 0,319). Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor suhu berhubungan dengan kasus DBD. Bagi Puskesmas Putat Jaya perlu dilakukan peningkatan kesadaran terhadap warga dan perlu adanya kerja sama dengan BMKG untuk memberikan informasi terkait perubahan suhu. Pada saat nyamuk berada pada suhu yang baik untuk berkembang biak, masyarakat harus menjaga lingkungan agar tetap bersih, seperti melakukan 3M Plus. Kata kunci: DBD, suhu, 3M Plus PENDAHULUAN orang dengan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus yang Penyakit menular masih merupakan disebabkan virus dengue. Virus dengue masalah kesehatan masyarakat di ditularkan dari orang sakit ke orang sehat Indonesia. Salah satu penyakitnya yaitu melalui gigitan nyamuk Aedes dari sub Demam Berdarah Dengue (DBD) yang genus Stegomyia (Gama, et al., 2010). masih menjadi suatu permasalahan. Penyakit DBD adalah sebuah penyakit Kasus DBD selalu terjadi di yang ditularkan melalui seseorang kepada wilayah Provinsi Jawa Timur setiap tahun. Pada tahun 2014, kasus DBD di Provinsi ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.83-94 Received 25 October 2017, received in revised form 15 January2018, Accepted 17 January 2018, Published online: July 2018
84 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Jawa Timur mencapai 14.534 kasus 25-27ºC. Pada kelembapan 60% Aedes dengan angka kematian sebesar 146 jiwa. aegypty tidak dapat menularkan virus Pada tahun 2015 kasus DBD di Provinsi dengue, karena nyamuk ini akan terlebih Jawa Timur mencapai 9.609 kasus dengan dulu mati sebelum virus dengue sampai di angka kematian sebesar 108 jiwa. Pada kelenjar liurnya. Virus dengue tahun 2016 terjadi kenaikan yang cukup membutuhkan waktu 8-11 hari untuk tinggi yaitu 20.129 kasus dengan angka memperbanyak diri dalam tubuh nyamuk kematian sebesar 283 jiwa (Dinas Aedes aegypty hingga cukup untuk Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2016). menyebabkan infeksi pada manusia (Oktivani, 2011). Data dari Profil Kesehatan Dinkes kota Surabaya bahwa Puskesmas Putat Kasus DBD meningkat karena Jaya tahun 2014 merupakan puskesmas masih banyaknya tempat perindukan tertinggi kedua di Surabaya dengan jumlah nyamuk yang berupa bak mandi, ember, kasus DBD mencapai total 35 kasus. Pada gentong, Tempat Penampugan Air (TPA) tahun 2015, jumlah pasien DBD di yang bukan untuk keperluan sehari-hari Puskesmas Putat Jaya menurun sebanyak misalnya vas bunga, ban bekas, tempat 10 kasus dan Puskesmas Manukan Kulon sampat, tempat minum burung, serta menduduk posisi tertinggi sebanyak 47 tempat penampungan air alamiah yaitu kasus. Pada tahun 2016 di wilayah kerja lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang Puskesmas Putat Jaya sebanyak 17 kasus. batu, dan lain-lain (Depkes, 2005). Penyakit berbasis lingkungan berhubungan Faktor iklim memengaruhi dengan sanitasi. Apabila masyarakat terjadinya kasus DBD antara lain ialah mempunyai kebiasaan buruk dan tidak suhu, curah hujan, dan kelembapan. Pada menjaga kebersihkan lingkungan rumah suhu tinggi sekitar 25-27ºC maka akan berisiko terkena penyakit DBD. perkembangbiakan nyamuk akan Faktor lain yang memengaruhi kasus DBD meningkat mengakibatkan kasus DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, akan meningkat. Curah hujan yang tinggi faktor lingkungan (environtment), dan akan mengakibatkan volume genangan air respon imun. Faktor lingkungan yaitu semakin banyak sehingga dapat menjadi kondisi geografis (ketinggian dari tempat perindukan nyamuk Aedes. Pada permukaan laut, curah hujan, kelembapan, kelembapan tinggi nyamuk Aedes tidak musim), kondisi demografis (kepadatan dapat menularkan virus dengue (Fitriana, hunian rumah, mobilitas penduduk, 2017). Siklus hidup nyamuk itu sendiri perilaku buruk yang dapat menimbulkan juga dipengaruhi oleh tersedianya air atau kasus DBD, adat istiadat, kebiasaan, sosial genangan sebagai media berkembang biak ekonomi penduduk, jenis, dan kepadatan dari telur menjadi nyamuk dewasa karena nyamuk sebagai vektor penular penyakit). aktivitas sehari-hari nyamuk memerlukan Faktor agent yaitu virus dengue yang suhu yang cukup tinggi dan didukung oleh hingga saat ini diketahui ada 4 jenis udara yang lembab. Jumlah nyamuk jantan seroptipe virus dengue yaitu dengue dan betina yang menetas dari sekelompok 1,2,3,4 (Soegijanto, 2006). telur pada umumnya sama banyak. Nyamuk betina umurnya lebih panjang dari Faktor perilaku juga berperan nyamuk jantan dan perlu menghisap darah dalam penularan DBD. Perilaku ini berupa untuk pertumbuhan telurnya. Waktu tindakan yang dapat memicu terjadinya menggigit lebih banyak pada siang hari kasus DBD antara lain adalah kebiasaan dari pada malam hari. Umur dan kehidupan dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai nyamuk dipengaruhi oleh iklim, dengan hasil analisis sebuah penelitian kelembapan udara, suhu udara, curah menunjukkan terdapat hubungan antara hujan, cahaya, dan angin. Suhu optimum kebiasaan memakai obat nyamuk di siang untuk perkembangbiakan nyamuk adalah hari dengan kasus DBD (Sitio, 2008;
Bella Rosita Fitriana dan Ririh Yudhastuti, Hubungan Faktor Suhu dengan... 85 Winasih, 2013). Berbeda dengan penelitian penderita DBD pada tahun 2014-2016 lain bahwa tidak ada hubungan antara sebanyak 116 kasus. Besar sampel pada kebiasaan memakai obat nyamuk dengan case control dengan perbandingan kasus kasus DBD dan kebiasaan pemakaian dan kontrol 1:1 dalam penelitian ini kelambu pada saat tidur juga tidak ada dihitung berdasarkan rumus Lemeshow hubungan dengan kasus DBD yang sebagai berikut: dilakukan di daerah endemis maupun sporadis (Mardiana, 2013; Muchlis, et al., n= 2011). Variabel yang memiliki hubungan dengan kasus DBD di daerah endemis dan n= sporadis adalah kebiasaan membersihkan TPA minimal sekali dalam seminggu. Besar sampel yang didapat dari Penelitian ini menunjukkan bahwa di perhitungan sebesar 56 sampel. Sehingga daerah endemis dan sporadis DBD jumlah sampel diambil dengan membersihkan kontainer air dan perbandingan antara sampel dan kontrol menggunakan kelambu saat tidur dapat adalah 1:1. Besar sampel kasus 56 orang mencegah gigitan nyamuk sehingga menderita DBD dan sampel kontrol 56 penyakit DBD dapat dicegah. Kebiasaan orang tidak menderita DBD. Total sampel dalam kehidupan sehari-hari tersebut perlu keseluruhan dalam penelitian ini adalah diperhatikan sebagai upaya pencegahan sebanyak 112 orang dan α. Tujuan dari terhadap DBD adalah salah satu cara untuk penelitian ini adalah menganalisis mengendalikan kasus DBD (Gyawali, et hubungan faktor lingkungan yang meliputi al., 2015; Suwanbamrung, 2013). suhu, kelembapan, curah hujan, dan perilaku masyarakat dengan tingkat METODE PENELITIAN endemisitas kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya Kecamatan Sawahan Jenis penelitian ini adalah Surabaya. penelitian observasional analitik dimana peneliti hanya melakukan pengamatan Penelitian ini dilakukan pada bulan tanpa memberikan perlakuan terhadap Juli-Agustus 2017. Lokasi penelitian subyek penelitian dengan menganalisa adalah wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya hubungan antara variabel. Desain Surabaya. Variabel terikat pada penelitian penelitian yang digunakan adalah studi adalah kasus DBD. Variabel bebas pada case control dengan metode survei dan penelitian ini adalah faktor lingkungan wawancara. Desain studi case control yang meliputi suhu, kelembapan, curah adalah rancangan studi epidemiologi yang hujan, dan perilaku masyarakat terkait 3M mempelajari hubungan antara paparan dan plus yang meliputi menguras penyakit dengan cara membandingkan penampungan air, menutup penampungan kelompok kasus dengan kelompok kontrol air, mengubur barang bekas, penggunaan berdasarkan status paparannya. kelambu berinsektisida, penambahan ikan di bak mandi, menaburkan bubuk abate di Populasi pada penelitian ini adalah penampungan air, penggunaan obat seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah nyamuk, menggantung pakaian kotor, dan kerja Puskesmas Putat Jaya Kecamatan pemasangan kawat kasa pada ventilasi Sawahan Surabaya pada tahun 2014-2016 rumah. yang menderita DBD maupun tidak menderita DBD. Pemilihan Puskesmas Metode pengambilan sampel pada Putat Jaya dikarenakan angka kasus DBD penelitian ini dilakukan secara acak Puskemas Putat Jaya tertinggi dari 4 menggunakan teknik simple random Puskesmas lain yang berada di Kecamatan sampling karena populasi relatif homogen. Sawahan Surabaya. Total populasi
86 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Prosedur acak dilakukan dengan metode wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya selama lotre technique. Cara pengumpulan data tahun 2014-2016 memiliki nilai rata-rata dengan kuesioner dan pengamatan. Uji 29,2 oC. Suhu maksimal dari tahun 2014- statistik yang digunakan adalah uji chi 2016 adalah 31,9 oC dan suhu minimal square. Analisis bivariat digunakan adalah 27,8 oC. Kategori suhu yang dapat mengetahui hubungan antara variabel memengaruhi perkembangan nyamuk bebas yaitu suhu, kelembapan, curah Aedes dibedakan menjadi 2 yaitu baik (25 hujan, dan perilaku dengan variabel oC-28 oC) dan tidak baik (lebih besar 25 oC tergantung kasus DBD. Penelitian ini telah dan kurang dari 28 oC) (Sugito, 1989). memperoleh keterangan lolos kaji etik dari Berdasarkan Tabel 2. kategori suhu bahwa Komisi Etik FKM No : 165-KEPK. yang tertinggi untuk kelompok kasus dan kontrol adalah kategori baik. HASIL Curah Hujan Suhu Tabel 3. Curah Hujan di wilayah Kerja Tabel 1. Suhu di wilayah Kerja Puskesmas Puskesmas Putat Jaya Tahun Putat Jaya Tahun 2014-2016 2014-2016. Tahun Tahun 2014 2015 2016 Bulan 2014 2015 2016 Bulan Rata-Rata (mm) Januari Rata-Rata (oC) Januari 272,1 436,6 284,1 Februari Februari 335,6 293,5 409,3 Maret 28,0 28,4 28,4 Maret 186,0 243,8 163,1 April April 245,9 133,0 129,6 Mei 27,8 28,2 28,2 Mei Juni Juni 54,8 109,7 358,8 Juli 29,0 28,5 28,5 Juli 47,7 0,7 126,8 Agustus Agustus 4,0 0,0 90,1 September 29,1 28,5 28,5 September 4,8 0,0 38,2 Oktober Oktober 0,0 0,0 102,0 November 30,0 29,2 29,2 November 0,4 0,0 161,5 Desember Desember 69,0 130,2 117,9 29,7 29,2 29,2 284,7 184,8 358,8 29,0 28,4 28,4 28,7 28,3 28,3 29,0 28,9 28,9 29,0 30,0 30,0 30,3 31,3 31,9 30,5 31,4 31,4 Tabel 2. Kategori Suhu berdasarkan Frekuensi Kelompok Kasus dan Kontrol Kategori Kasus Kontrol Suhu n% n% Baik 35 62.5 47 83,9 (25 oC-28 oC) Berdasarkan Tabel 3. menyatakan Tidak Baik 21 37,5 9 16,1 bahwa tahun 2014 curah hujan tertinggi (<25 oC dan 56 100,0 56 100,0 adalah 335,6 mm. Pada tahun 2015 >28 oC) sebesar 436,6 mm. Pada tahun 2016 curah Total hujan tertinggi sebesar 409,3 mm. Kategori curah hujan dengan intensitas frekuensi Berdasarkan Tabel 1. rata-rata suhu wilayah Indonesia dibedakan menjadi 4 setiap bulannya cenderung sama. Suhu di yaitu ringan, sedang, lebat dan sangat lebat (BMKG, 2010). Tabel 4 menyatakan
Bella Rosita Fitriana dan Ririh Yudhastuti, Hubungan Faktor Suhu dengan... 87 bahwa kategori curah hujan tertinggi Berdasarkan Tabel 5. menyatakan adalah kategori lebat dengan persentase bahwa kelembapan di wilayah kerja kelompok kasus sebesar 85,7% dan Puskesmas Putat Jaya selama tahun 2014 - kelompok kontrol sebesar 71,4%. 2016 berada pada rentang rata-rata antara 62% - 91%. Kelembapan mininum terjadi Tabel 4. Kategori Curah Hujan pada bulan Oktober 2014 sebesar 62% dan kelembapan maksimum terjadi pada bulan Kategori berdasarkan Frekuensi Februari 2016 sebesar 91%. Curah Hujan Kelompok Kasus dan Kategori kelembapan yang dapat Ringan (5- memengaruhi perkembangan nyamuk 20mm) Kontrol Aedes dibedakan menjadi 2 yaitu baik (70- Lebat (50- 89%) dan tidak baik (kurang dari 70% dan 100mm) Kasus Kontrol lebih besar 89%) (Jumar, 2000). Tabel 6. Total N% n% kelembapan di wilayah kerja Pusksesmas Putat Jaya menunjukkan tertinggi adalah 8 14,3 16 28,6 kategori baik (60-89%) dengan persentase kelompok kasus sebesar 85,7% dan 48 85,7 40 71,4 kelompok kontrol sebesar 82,1%. 56 100,0 56 100,0 Kelembapan Tabel 6. Kategori Kelembapan berdasarkan Frekuensi Gambaran kondisi kelembapan di Kategori Kelompok Kasus dan wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya selama Kelembapan Kontrol tahun 2014-2016 sebagai berikut: Kasus Kontrol Tabel 5. Kelembapan di wilayah Kerja n %n% Puskesmas Putat Jaya Tahun 2014-2016 Baik (70- 48 85,7 46 82,1 89%) 8 14,3 10 17,9 Bulan Tahun Tidak Baik Januari (<70% dan 56 100,0 56 100,0 2014 2015 2016 >89%) Rata-Rata (%) 90 90 90 Total Februari 89 90 91 Maret 90 90 77 Perilaku Masyarakat April 78 78 81 Penilaian skor perilaku masyarakat Mei 87 87 78 yang dilakukan di wilayah kerja Juni 89 89 80 Puskesmas Putat Jaya dengan menggunakan 2 kategori antara lain adalah Juli 71 71 78 kurang untuk nilai 1-13 dan baik untuk Agustus 68 68 73 nilai 14-26. Berdasarkan Tabel 7 gambaran skor perilaku masyarakat di wilayah kerja September 64 64 74 Puskesmas Putat Jaya bahwa kategori skor Oktober 62 82 80 nilai tertinggi adalah kategori kurang dengan persentase kelompok kasus sebesar November 84 83 82 78,6% dan kelompok kontrol sebesar Desember 88 88 80 89,3%.
88 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Tabel 7. Gambaran Skor Perilaku Berdasarkan Tabel 8. jumlah Masyarakat di wilayah Kerja penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Puskesmas Putat Jaya sebagai Putat Jaya Surabaya mengalami berikut: peningkatan pada tahun 2014 dan 2015. Namun pada tahun 2016 mengalami Skor Kasus Kontrol penurunan sebanyak 2 kasus dari tahun Nilai n% n% sebelumnya. Jumlah kasus penderita DBD 44 78,6 50 89,3 yang meninggal dunia dari tahun 2014- Kurang 2016 sebanyak 1 kasus setiap tahunnya. (1-13) 12 21,4 6 10,7 Analisis Bivariat Baik (14- 56 100,0 56 100,0 26) Tabel 9. Hubungan Kondisi Iklim dan Perilaku Masyarakat dengan Total Kasus DBD Kasus DBD di wilayah Kerja Puskesmas Variabel Nilai Chi OR Putat Jaya Tahun 2014-2016 Suhu Square 0,319 Kasus DBD Tabel 8. Jumlah Penderita DBD di wilayah (p-value) Kerja Puskesmas Putat Jaya Tahun 2014-2016 0,019 Curah Hujan 0,107 - Tahun Kelembapan 0,797 - Bulan 2014 2015 2016 Perilaku 0,198 - Kondisi Masyarakat Januari HM HM HM Februari 40 40 Analisis bivariat dilakukan dengan Maret 00 60 70 menggunakan uji chi square dengan April 70 80 41 tingkat kepercayaan (taraf signifikansi) Mei 21 50 60 yang dipakai 0,05 (α = 5%), sehingga jika Juni 50 71 30 p-value kurang dari 0,05 maka hasil Juli 20 40 40 perhitungan statistik akan bermakna (ada Agustus 10 50 20 hubungan), jika p-value lebih dari 0,05 30 30 30 maka hasil perhitungan statistik tidak 20 bermakna (tidak ada hubungan). Tabel 9 memperlihatkan dari 4 variabel indepent September 30 1 0 4 0 yang dilakukan uji bivariate. Adanya Oktober 00 0 0 0 0 hubungan kasus DBD dan faktor suhu. November 30 0 0 0 0 Desember 30 0 0 2 0 PEMBAHASAN 33 1 41 1 39 1 Total Kepadatan penduduk yang semakin Kasus 34 42 40 padat dalam suatu wilayah atau penghuni rumah maka akan mengakibatkan lebih Keterangan: H = Hidup, M = Meninggal mudah dan cepat terjadi penularan penyakit. Mobilitas penduduk yang semakin tinggi maka penularan dari satu ke
Bella Rosita Fitriana dan Ririh Yudhastuti, Hubungan Faktor Suhu dengan... 89 tempat lain juga semakin tinggi. Karena untuk terjangkit DBD (Dirjen PPM PLP, penularan virus dengue dapat cepat 2002). menular apabila tempat tersebut termasuk wilayah endemis terjadinya kasus DBD. Suhu Kualitas perumahan yang baik seperti jarak antara rumah dengan rumah yang lain, Uji Chi Square antara variabel suhu pencahayaan, bentuk rumah, bahan dengan kasus DBD menunjukkan bahwa bangunan akan memengaruhi penularan. adanya hubungan dinatara kedua variabel Bila di suatu rumah terdapat nyamuk tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penularnya maka akan menularkan peningkatan suhu akan diikuti dengan penyakit pada orang yang tinggal di dalam peningkatan kasus DBD di wilayah kerja rumah tersebut atau di rumah sekitarnya Puskesmas Putat Jaya (Fitriana, 2017). yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan kepada orang yang berkunjung ke Suhu adalah parameter lingkungan rumah tersebut (Dirjen PPM PLP, 2002). yang penting dalam meningkatkan perkembangbiakan vektor, siklus Tingkat pendidikan masyarakat gonotropik nyamuk, tingkat gigitan, akan memengaruhi cara berfikir dalam memperpendek periode inkubasi patogen penerimaan informasi penyuluhan dan cara dan memperpanjang umur nyamuk dewasa. pemberantasan penyakit DBD. Apabila Selain itu, suhu yang lebih tinggi juga tingkat pendidikan masyarakat rendah akan meningkatkan tingkat perkembangan larva. memengaruhi cara berfikir dalam Pada nyamuk dewasa, suhu yang lebih mencegah penyakit DBD karena tinggi dapat meningkatkan tingkat gigitan pengetahuan yang mereka miliki sangat nyamuk (biting rate) dan mengurangi kurang. Penghasilan setiap keluarga akan waktu yang dibutuhkan virus untuk berpengaruh pada kunjungan berobat ke bereplikasi dalam tubuh nyamuk, yang pelayanan kesehatan. Semakin rendah dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik tingkat pendapatan keluarga maka semakin virus dengue. Masa inkubasi ekstrinsik rendah pula kunjungan berobat ke virus dalam tubuh nyamuk yang lebih pelayanan kesehatan sebaliknya semakin cepat diimbangi dengan tingkat gigitan tinggi tingkat pendapatan keluarga. Mata nyamuk menjadi lebih sering akan pencaharian juga memengaruhi mengakibatkan risiko penularan DBD penghasilan keluarga. Apabila mata semakin meningkat pula (Gama, et al., pencaharian suatu kelauarga tergolong 2013). rendah maka pendapatan yang diperoleh suatu keluarga tersebut rendah sehingga Suhu di wilayah kerja Puskesmas akan memengaruhi kunjungan berobat ke Putat Jaya selama tahun 2014-2016 rata- pelayanan kesehatan (Dirjen PPM PLP, rata adalah 29,2 ºC dengan rentang suhu 2002). berkisar pada 27,8 ºC-31,9 ºC. Suhu tersebut merupakan suhu yang cukup Apabila seseorang memiliki optimum untuk perkembangbiakan kebiasaan hidup bersih sehat maka akan nyamuk. Suhu optimum untuk nyamuk cepat tanggap dalam masalah untuk berada pada rentang 25ºC-27ºC. Selain itu mengurangi risiko penularan penyakit. pada rentang suhu 20ºC-30ºC merupakan Sebaliknya apabila seseorang memiliki suhu ideal untuk kelangsungan hidup kebiasaan hidup tidak sehat maka akan nyamuk pada semua tahapan siklusnya. berisiko terjadi penularan penyakit. Setiap Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh golongan umur memiliki tingkat risiko dan nyamuk berkurang dari 9 hari pada suhu dapat memengaruhi terjadinya penularan 26ºC dan 28 ºC menjadi 5 hari pada suhu penyakit. Golongan umur kurang dari dari 30ºC. Siklus resproduksi nyamuk betina 15 tahun mempunyai peluang lebih besr juga dipegaruhi oleh suhu lingkungan yang mana pada suhu kurang dari 20ºC fertilisasi nyamuk betina berkurang.
90 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Aktivitas menggigit nyamuk betina juga persepsi masyarakat, dan kondisi dipengaruhi oleh suhu lingkungan. perumahan. Aktivitas menggigit nyamuk betina yang tinggi akan meningkatkan penyebaran Kelembapan penyakit DBD (Morin, et al., 2013). Uji Chi Square antara variabel Curah Hujan kelembapan dengan kasus DBD menunjukkan bahwa tidak adanya Uji Chi Square antara variabel hubungan dinatara kedua variabel tersebut. Tidak adanya hubungan antara kelembapan curah hujan dengan kasus DBD dengan kasus DBD. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kelembapan tidak akan menunjukkan bahwa tidak adanya diikuti dengan peningkatan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas hubungan diantara kedua variabel tersebut. Putat Jaya (Fitriana, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan Kelembapan di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya tahun 2014-2016 curah hujan tidak diikuti dengan berada pada rentang 62%-91% dengan nilai rata-rata sebesar 81%. Kelembapan peningkatan kasus DBD. Karena tidak tidak berhubungan dengan kasus DBD. Akan tetapi kelembapan dapat adanya hubungan kedua variabel tersebut memengaruhi transmisi vector borne disease. Vektor nyamuk bersifat sensitif (Fitriana, 2017). terhadap kelembapan. Kelembapan memengaruhi keberadaan nyamuk karena Curah hujan diindikasi memegang berhubungan dengan sistem pernafasan nyamuk. Sistem pernafasan nyamuk peranan penting dalam penularan penyakit menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang DBD. Curah hujan dapat berhubungan disebut spiracle. Spiracle nyamuk berada dalam kondisi terbuka tanpa ada dengan kasus DBD dengan dua cara yaitu mekanisme untuk mengatur sehingga sensitif terhadap kelembapan di meningkatkan suhu dan kelembapan udara lingkungan. Apabila kelembapan di lingkungan rendah maka penguapan air serta menambah tempat perkembangbiakan dari dalam tubuh nyamuk akan membuat nyamuk kekurangan cairan tubuh (Dinata, atau breeding place nyamuk Aedes et al., 2012). Tingkat kelembapan 60% merupakan batas paling rendah untuk aegypti. Semakin banyak breeding place memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembapan kurang dari 60%, umur maka nyamuk Aedes aegypti akan nyamuk akan semakin pendek. Kelembapan udara yang tinggi berkisar menempatkan telurnya. Curah hujan yang 85% akan memperpanjang umur nyamuk (Herawati, et al., 2014; Pohan, 2014). tinggi dalam waktu yang lama dapat Umur nyamuk yang semakin panjang akan mengakibatkan frekuensi gigitan nyamuk menyebabkan banjir sehingga juga meningkat dan dapat mengakibatkan penularan penyakit DBD semakin tinggi. menghilangkan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang biasanya hidup di air bersih. Hal ini mengakibatkan jumlah perindukan nyamuk akan berkurang sehingga populasi nyamuk akan berkurang. Pada musim kemarau, populasi nyamuk juga dapat bertambah jika masyarakat menyimpan air dalam tempat penyimpanan air yang akan menjadi breeding place nyamuk (Ibara, et al., 2013). Jika curah hujan kecil dan dalam waktu yang lama dapat menambah tempat perindukan nyamuk dan meningkatkan populasi nyamuk (Dini, et al., 2010). Menurut Ibara, et al. (2013), hubungan iklim dengan kasus DBD dapat terjadi pada variabel curah hujan atau suhu bahkan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Variasi ini bisa disebabkan oleh faktor lain seperti praktik penyimpanan air, pengetahuan dan risiko
Bella Rosita Fitriana dan Ririh Yudhastuti, Hubungan Faktor Suhu dengan... 91 Perilaku Masyarakat kali lebih besar menderita DBD daripada responden yang membersihkan TPA. Uji Chi Square antara variabel perilaku masyarakat dengan kasus DBD Penggunaan kelambu merupakan menunjukkan bahwa tidak adanya salah satu upaya pencegahan penyakit hubungan dinatara kedua variabel tersebut. DBD. Upaya yang dapat melindungi diri Tidak adanya hubungan antara perilaku dari gigitan nyamuk antara lain dengan dengan kasus DBD. Hal ini menunjukkan menggunakan pakaian pelindung, bahwa peningkatan perilaku masyarakat menggunakan obat nyamuk bakar, tidak akan diikuti dengan peningkatan repellent, menggunakan kelambu baik kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas yang dicelup larutan insektisida maupun Putat Jaya (Fitriana, 2017). Dalam tidak (Depkes, 2005). Pemakaian obat penelitian ini perilaku masyarakat yang nyamuk bakar atau repellent di siang hari dianalisis diantara lain adalah perilaku 3M merupakan salah satu upaya pencegahan plus yang meliputi menguras diri dari penyakit DBD. Memakai obat penampungan air, menutup penampungan nyamuk bakar, dan repellent merupakan air, mengubur barang bekas, penggunaan cara perlindungan diri. Kegiatan kelambu berinsektisida, penambahan ikan menggunakan kelambu berinsektisida, di bak mandi, menaburkan bubuk abate di memasang kawat kasa, dan memakai obat penampungan air, penggunaan obat nyamuk merupakan upaya untuk mencegah nyamuk, menggantung pakaian kotor, dan gigitan nyamuk (Depkes, 2005). Melalui pemasangan kawat kasa pada ventilasi pemakaian obat nyamuk di siang hari dapat rumah. meminimalisir gigitan nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor pembawa Menurut Depkes RI (2010), virus dengue. pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang- Hubungan Faktor Lingkungan dengan kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di TPA. Pada Tingkat Endemisitas Kasus DBD saat ini telah dikenal istilah 3M plus, yaitu kegiatan 3M yang diperluas. Bila Hasil penelitian menyatakan bahwa Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) tidak semua faktor lingkungan yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, meliputi suhu, curah hujan, dan maka populasi nyamuk Aedes aegypti kelembapan mempunyai hubungan dengan dapat ditekan serendah-rendahnya, kasus DBD. Hasil penelitian faktor sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi. lingkungan yang mempunyai risiko dengan Hal ini dilakukan berdasarkan kasus DBD adalah suhu. Faktor suhu dapat pertimbangan bahwa perkembangbiakan meningkatkan kasus DBD di wilayah kerja siklus hidup nyamuk Aedes sp adalah 9-12 Puskesmas Putat Jaya dan menyebabkan hari. Waktu yang diperlakukan nyamuk tingkat endemisitas wilayah tersebut untuk berkembang biak menjadi dasar menjadi tinggi atau meningkat. Penelitian mengapa kegiatan PSN dilakukan di atas didukung oleh penelitian lain yang seminggu sekali. menunjukkan adanya hubungan antara suhu dengan kasus DBD yang dapat Hasil penelitian di atas tidak sejalan meningkatkan risiko kasus DBD (Arifin, et dengan penelitian Winarsih (2013) yang al., 2013; Prastiani, 2016). Penelitian lain memperoleh hasil terdapat hubungan menunjukkan hasil korelasi hubungan suhu antara perilaku masyarakat dalam dengan kasus DBD memiliki kekuatan membersihkan tempat penampungan air hubungan sedang dan arah hubungan dengan kasus DBD. Penelitian tersebut positif (r = 0,301) sehingga peningkatan menunjukkan bahwa orang yang tidak suhu akan diikuti peningkatan kasus DBD menguras TPA mempunyai risiko 3,780 (Kurniawati, 2016).
92 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Hasil rata-rata suhu, curah hujan, peningkatan lebih banyak lagi di tahun dan kelembapan selama tahun 2014-2016 yang akan datang. mengalami kenaikan rata-rata dari tahun sebelumnya sehingga dapat berisiko SIMPULAN menjadi faktor terjadinya peningkatan kasus DBD apabila tidak diimbangi dengan Hasil penelitian menyatakan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat. Melihat data kasus DBD dari tidak semua faktor lingkungan ada tahun 2014 ke tahun 2015 terjadi peningkatan dan dari tahun 2015 ke tahun hubungan dengan kasus DBD. Hasil 2016 mengalami pernurunan. Sehingga faktor lingkungan mempunyai risiko penelitian faktor lingkungan yang ada peningkatan kasus DBD di tahun yang akan datang. hubungan dengan kasus DBD adalah suhu Hubungan Perilaku Masyarakat dengan sehingga mempunyai risiko meningkatkan Tingkat Endemisitas Kasus DBD kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Hasil penelitian di atas menyatakan Putat Jaya. bahwa faktor perilaku masyarakat tidak ada hubungan dengan kasus DBD sehingga Bagi instansi Puskesmas perlu faktor perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya tidak memengaruhi dilakukan peningkatan kesadaran terhadap tingkat endemisitas wilayah tersebut menjadi tinggi akan tetapi wilayah kerja warga untuk membiasakan melakukan Puskesmas Putat Jaya tingkat endemisitasnya tetap. Penelitian di atas kegiatan 3M plus dan perlu adanya kerja sejalan dengan penelitian lain bahwa tidak ada hubungan antara perilaku masyarakat sama dengan instansi BMKG untuk dengan kasus DBD (Mardiana, 2013; Muchlis, et al., 2011). Berbeda dengan memberikan informasi terkait perubahan penelitian yang dilakukan Prastiani (2016) menunjukkan bahwa adanya hubungan suhu di wilayah Surabaya. Bagi antara perilaku masyarakat dengan kasus DBD. masyarakat wilayah kerja Puskesmas Putat Hasil penelitian menunjukkan Jaya Surabaya disarankan pada suhu yang bahwa kategori perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya adalah baik dalam perkembangbiakan nyamuk kurang dengan skor nilai 1-13 dengan jumlah sebesar 78,6% untuk kelompok dihimbau untuk memperhatikan kasus dan kelompok kontrol sebesar 89,3%. Kemungkinan faktor perilaku lingkungan rumah seperti tidak masyarakat tidak ada hubungan langsung dengan kasus DBD namun faktor perilaku membiarkan TPA terbuka dan masyarakat tersebut mempunyai pengaruh dalam mendukung terjadinya kasus DBD. menggantung pakaian kotor yang dapat Melihat data kasus DBD dari tahun 2014 ke tahun 2015 terjadi peningkatan dan dari menjadi tempat perindukan nyamuk. Selain tahun 2015 ke tahun 2016 mengalami pernurunan, sehingga mempunyai risiko itu masyarakat disarankan untuk menjaga angka kasus DBD dapat terjadi kebersihan lingkungan seperti melakukan upaya pencegahan 3M plus yang meliputi menguras penampungan air, menutup penampungan air, mengubur barang bekas, penggunaan kelambu berinsektisida, penambahan ikan di bak mandi, menaburkan bubuk abate di penampungan air, penggunaan obat nyamuk, menggantung pakaian kotor, dan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah sehingga apabila saat musim hujan tiba tidak terjangkit penyakit DBD, mengingat lingkungan wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya masih rawan terjangkit DBD. Sebaiknya masyarakat tidak menanamkan sugesti bahwa merawat atau menjaga kebersihkan lingkungan sebagai beban melainkan sebagai hobi agar dalam pelaksanaannya tidak berat.
Bella Rosita Fitriana dan Ririh Yudhastuti, Hubungan Faktor Suhu dengan... 93 DAFTAR PUSTAKA Serang” dalam Jurnal Makara, Arifin, Asrianti, Erniwati Ibrahim, dan Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni. Ruslan La Ane. 2013. Hubungan Dirjen PPM, PLP. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta: Faktor Lingkungan dengan Depkes RI Keberadaan Larva Aedes di Fitriana, B.R., 2017. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Tingkat wilayah Endemis DBD di Endemisitas DBD di Puskesmas Putat Jaya Surabaya. Skripsi. Kelurahan Kassi-Kassi Kota Surabaya: Perpustakaan Universitas Airlangga. Makasar 2013. Skripsi. Makasar: Gama, A, dan Betty, F. 2010. Analisis FKM Universitas Hassanudin. Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa BMKG. 2010. Kondisi Cuaca Ekstrem dan Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Vol 5 No 2 Edisi Iklim Tahun 2010-2011. Jakarta: Oktober 2010. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Press Release. Muhammadiyah. Depkes. R.I., 2005. Pencegahan dan Gama, Z.P., dan Nakagoshi, N., 2013. Climatic Variability and Dengue Pemberantasan Demam Berdarah Hermaorrhagic Fever incidence in Nganjuk District, East Java, Dengue di Indonesia. Jakarta: Indonesia.Jurnal Acta Biologica Ditjen PPM PL. Malaysiana 2(1). Depkes, 2010. Buletin Jendela Gyawali, Narayan., Bradburry, Richard, Robinson, Andrew W.T., 2015. Epidemiologi, Vol. 2, Agustus. Knowledge, Attitude and Recommendations of Pratice Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Regarding Dengue Among the Resident Population of Queensland Epidemiologi Kementerian Australia. Asian Pasific Journal Tropic Biomed 2016,6 (4). Kesehatan RI. Herawati, Y., dan Utomo, S.W., 2014. The Dinata, A., dan Dhewantara, P.W., 2012. Dynamics of Population Density “Karakteristik Lingkungan Fisik, and Climate Variability on Dengue Heamoarrhagic Fever (DHF) Biologi, Dan Sosial Di Daerah Incidence in Bogor City, West Java, Indonesia. Research Journal Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011” dalam Jurnal Ekologi of social Science and Management, Kesehatan, Vol.11, No. 4, Vol.4, No. 4. Agustus. Desember. Ibarra, A.M.S., Ryan S.J., Beltran E., mejia R., Silvia, M., dan Munoz, A., Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2015. 2013. Dengue Vektor Dynamics (Aedes Aegypti) Influenced by Profil Kesehatan Kota Surabaya Climate and Social Factors in Ecuador: Implications for Targeted Tahun 2014. Surabaya: Dinas Control. PLOS One Journal, Vol. 8, No. 11, November. Kesehatan Kota Surabaya. Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2016. Profil Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2015. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017. Profil Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2016. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2016. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2015. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Dini, A., M., V., Fitriany, R., N., dan Wulandari, R. A., 2010. “Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten
94 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 83-94 Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. (Studi di wilayah Kecamatan Jakarta: Rineka Cipta. Gunung Anyar Kota Surabaya. Kurniawati, N.T., 2016. Distribusi Skripsi. Surabaya: Perpustakaan Kejadian DBD, Kondisi Iklim, Universitas Airlangga. Kepadatan Jentik dan Program Pohan, Z., 2014. Hubungan Iklim Pengendalian di wilayah kerja Terhadap Kasus Demam Berdarah Puskesmas Putat Jaya Tahun 2010- Dengue (DBD) di Kota Palembang 2014. Skripsi. Surabaya: Tahun 2003-2013. Skripsi. Perpustakaan Universitas Universitas Sriwijaya. Airlangga. Sitio, Anton., 2008. Hubungan Perilaku Mardiana, D.S. 2013. Kepadatan Jentik tentang Pemberantasan dan Perilaku Masyarakat di Daerah SarangNyamuk dan Kebiasaan Endemis dan Bebas Kasus DBD di Keluarga dengan Kejadian DBD di Kecamatan Maospati Kabupaten Kecamatan Medan Perjuangan Magetan. Skripsi. Surabaya: Kota Medan Tahun 2008. Tesis. Perpustakaan Universitas Universitas Diponegoro Semarang. Airlangga. Soegijanto, S, 2006. Demam Berdarah Morin, C.W., Comrie, A.C., dan Ernst, K., Dengue. Surabaya: Airlangga 2013. Climate and Dengue University Press. Transmission: Evidence and Sugito, R. 1989. Aspek Entomologi Implications. Enviromental Health Demam Berdarah Dengue. Laporan Prespective, Vol. 121, No. 11-12, Semiloka. Proceeding Seminar and November-Desember. Workshop The Aspects of Muchlis, Sumarni., Ishak, Hasanudin., Hemoragic Fever ang Its Control. Ibrahim, Ernawati., 2011. Faktor Suwanbamrung, Charuai., Promsupa, Risiko Upaya Menghindari Gigitan Somjit., Doungsin, Teera., Tongjan, Nyamuk Terhadap Kejadian DBD Supapon., 2013. Risk Factor di Puskesmas Patingalloang Related to Dengue Infections Makasar. Universitas Hasanudin. Inprimary School Students: Exploring Student’s Oktivani, M. 2011. Perbedaan Kepadatan Jentik Aedes Aegypti Pada Daerah Basicknowledge of Dengue and Endemis, Sporadis, dan Potensial Examining The Larvalindices in DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Southern Thailand. Journal of Demangan Kota Madiun. Skripsi. Infection and Public Health (2013) Surabaya: Perpustakaan Universitas 6. Airlangga. Winarsih, Sri., 2013. Hubungan Kondisi Prastiani, I. 2016. Hubungan antara Lingkungan Rumah dan Perilaku Lingkungan Fisik, Kimia, Sosial PSN dengan Kejadian DBD. Unnes Budaya dengan Kepadatan Jentik Journal of Public Health, 2(1)
HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMAN KABUPATEN SIDOARJO Carina Delvi Trisiyah1, Chatarina Umbul W2 1Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo 2Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: CarinaDelviTrisiyah E-mail: [email protected] ABSTRACT Pneumonia is the cause of 16% of underfive children deaths worldwide. The number of cases of pneumonia in Sidoarjo had been continued to increase from 2013-2015. This study aims to describe the condition of home environment with the incidence of pneumonia in underfive children. This research was descriptive observational study with case control study approach. The sample in this study consisted of 32 cases of underfive children who suffering ISPA pneumonia and 32 cases of ARI without pneumonia. The independent variables in this study were occupancy density, ventilation area, floor type, wall type, and cigarette smoke exposure. The results showed that underfive children who suffering ISPA pneumonia have high home density (68,8%), often exposed by cigarette smoke (75,0%), and ventilation respondents was not eligible (100,0%). Based on the results of this study, the parents should to change the behavior not to smoke in their home. In addition, they should get used to open the door of their house so the air circulation in the house can exchange well. Keywords: underfive children, pneumonia, home environment condition ABSTRAK Pneumonia merupakan penyebab dari 16% kematian balita di seluruh dunia. Jumlah kasus pneumonia di Kabupaten Sidoarjo terus meningkat dari tahun 2013-2015. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi lingkungan rumah dengan kejadian pneumonia pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan case control study. Sampel di dalam penelitian ini terdiri dari 32 balita penderita ISPA pneumonia dan 32 kasus ISPA tanpa pneumonia. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, dan paparan asap rokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang menderita ISPA pneumonia memiliki kepadatan rumah yang tinggi (68,8%), balita sering terpapar oleh asap rokok (75,0%), dan ventilasi seluruhnya tidak memenuhi syarat (100,0%). Berdasarkan hasil penelitian diharapkan kepada orang tua balita yang merokok untuk mengubah perilaku merokok yaitu dengan tidak merokok saat sedang bersama balita dan saat berada di dalam rumah. Selain itu, orang tua harus membiasakan diri membuka pintu rumah agar sirkulasi udara di dalam rumah dapat berjalan dengan baik. Kata kunci: balita, pneumonia, kondisi lingkungan rumah PENDAHULUAN Pneumonia merupakan penyakit pembunuh utama di dunia karena penyakit Pneumonia merupakan penyakit yang ini termasuk ke dalam kategori penyakit mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang mematikan. Kasus pneumonia lebih dapat disebabkan oleh berbagai banyak dibandingkan dengan penyakit lain mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan seperti AIDS, campak, dan malaria. Kasus jamur. Beberapa gejala penyakit pneumonia di negara berkembang 60% pneumonia di antaranya adalah demam, disebabkan oleh bakteri, sedangkan di sesak napas, sakit kepala, menggigil, dan negara maju disebabkan oleh virus. batuk yang disertai dengan dahak Penyakit pneumonia di negara berkembang (Kemenkes RI, 2015). disebut sebagai pembunuh yang terlupakan (the forgotten disease) (WHO, 2009). ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.119-129 Received 28 October 2017, received in revised form 29 January2018, Accepted 31 January 2018, Published online: July 2018
120 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 Agustus 2018: 119-129 Angka kematian balita adalah salah masalah kesehatan masyarakat di satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Kematian Indonesia (Riskesdas, 2013). balita di seluruh dunia pada tahun 2011 adalah 6,9 juta kematian, hampir dua Penemuan kasus pneumonia pada pertiga (64%) disebabkan karena penyakit menular dengan kondisi seperti balita sedini mungkin di pelayanan pneumonia, diare, malaria, meningitis, tetanus, HIV dan campak (WHO, 2013). kesehatan dasar, rujukan dan Pada tahun 2015, diproyeksikan 5,9 juta anak-anak seluruh dunia akan mati penatalaksanaan kasus pneumonia sebelum mencapai ulang tahun kelima mereka. Sebanyak 5,9 juta kematian merupakan salah satu usaha pemerintah tersebut, pneumonia bertanggung jawab atas 16% kematian (IVAC, 2016). dalam menurunkan angka kematian Setiap tahunnya penyakit pneumonia pada balita. Usaha pemerintah pneumonia masih menjadi penyakit yang menduduki peringkat 10 besar tertinggi di tersebut adalah dengan keterpaduan lintas fasilitas kesehatan. Jumlah kasus pneumonia di Indonesia pada tahun 2016 program melalui pendekatan Manajemen sebanyak 503.738 kasus dengan jumlah kematian 551 balita. Jumlah kasus ini Terpadu Balita Sakit (MTBS) di mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 554.650 kasus puskesmas. Penyakit pneumonia memiliki pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2016). Penurunan kasus pneumonia tidak selalu ciri-ciri pada saat bernapas terjadi menjadi hal yang baik. Minimnya perhatian pemerintah, tenaga kesehatan, penarikan dinding dada bagian bawah ke dan masyarakat bisa menjadi salah satu penyebab menurunnya penemuan kasus dalam disertai dengan peningkatan pneumonia. frekuensi napas (retraksi), suara napas Pneumonia di Indonesia menyerang segala usia, akan tetapi prevalensi paling melemah, fremitus melemah, ronki, dan tinggi terjadi pada umur 1-4 tahun, sedangkan umur 15- 24 tahun kasus rendah perkusi pekak. Faktor risiko pneumonia dan meningkat kembali pada usia 45-54 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar dibedakan menjadi faktor instrisik dan (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan penyebab utama kematian bayi (0- 11 faktor ektrinsik. Faktor instrinsik meliputi bulan) akibat penyakit pneumonia sebesar 23,80% dan penyebab kedua kematian jenis kelamin, umur, pemberian Air Susu balita (1-4 tahun) akibat pneumonia sebesar 15,50%. Rata-rata setiap harinya Ibu (ASI), pemberian vitamin A, status balita yang meninggal akibat pneumonia adalah sekitar 83 balita. Berdasarkan data gizi, dan status imunisasi. Faktor ekstrinsik tersebut dapat diketahui penyakit pneumonia berperan terhadap tingginya meliputi kepadatan hunian dalam satu angka kematian balita di Indonesia, oleh sebab itu penyakit ini masih menjadi rumah, luas ventilasi rumah, pencahayaan alami, kelembaban rumah, jenis lantai, jenis dinding, dan paparan asap rokok. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk lainnya, serta tempat perkembangan kehidupan keluarga. Kondisi fisik rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit, termasuk pneumonia. Pencemaran lingkungan yang utama berasal dari kegiatan manusia seperti asap rokok. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga khususnya balita. Salah satu prioritas masalah dalam indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah
Carina Delvi Trisiyah dan Chatarina Umbul W, Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah... 121 perilaku merokok. Merokok merupakan penyakit pneumonia. Tingginya frekuensi salah satu kebiasaan yang umum kejadian pneumonia pada balita ditemukan dalam kehidupan sehari-hari kemungkinan disebabkan oleh kepadatan sehingga mudah menemukan orang penduduk. Keadaan penduduk yang padat merokok khususnya lelaki (Bustan, 2007). dapat menciptakan pemukiman yang Indonesia juga merupakan salah satu kumuh (Profil Kesehatan Puskesmas negara berkembang yang memiliki tingkat Taman, 2015). Tujuan dari penelitian ini konsumsi dan produksi rokok yang tinggi. adalah untuk menggambarkan kondisi Sebanyak 62 juta perempuan dan 30 juta lingkungan rumah dengan kejadian laki-laki Indonesia menjadi perokok pasif pneumonia balita di wilayah kerja di Indonesia, dan anak-anak usia 0-4 tahun Puskesmas Taman Kabupaten Sidoarjo. yang terpapar asap rokok berjumlah 11,4 juta anak (Riskesdas, 2013). 8900 Provinsi Jawa Timur merupakan 8800 provinsi yang memiliki kasus pneumonia tertinggi kedua setelah Provinsi Jawa 8700 Barat. Jumlah penderita pneumonia di Jawa Timur pada tahun 2015 yaitu 99.190 8600 kasus. Beberapa wilayah/ kota di Jawa Timur yang memiliki kasus terbanyak di 8500 antaranya adalah Kabupaten Jember sebanyak 9.066 kasus, Kabupaten Sidoarjo 8400 sebanyak 8.834 kasus, Kabupaten Gresik sebanyak 8.536 kasus, dan Kabupaten 8300 Bojonegoro sebanyak 8.242 kasus (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2015). 8200 2013 2014 2015 Kasus pneumonia di Kabupaten Sidoarjo dari tahun 2013- 2015 mengalami Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Sidoarjo peningkatan. Berdasarkan hasil laporan di Kabupaten Sidoarjo dari tahun 2013 Gambar 1. Kasus Pneumonia Pada sejumlah 8.441 kasus, tahun 2014 Balita di Sidoarjo Tahun 2013-2015 sejumlah 8.562 kasus dan tahun 2015 menjadi 8.834 kasus. Penemuan kasus METODE PENELITIAN pneumonia pada tahun 2015 paling banyak berada di Puskesmas Taman sebesar 945 Jenis penelitian ini adalah kasus. observasional deskriptif. Peneliti hanya bermaksud untuk melakukan observasi Wilayah kerja Puskesmas Taman tanpa memberikan intervensi pada variabel merupakan daerah industri dan dekat yang diteliti. Rancang bangun penelitian dengan wilayah Kota Surabaya serta ini menggunakan desain case control. terdapat lebih dari 150 perusahaan besar Desain case control merupakan sebuah dan kecil selain industri rumah tangga. studi observasional untuk menilai Mobilitas penduduk di wilayah kerja hubungan antara paparan dan penyakit. Puskesmas Taman cukup tinggi. Mobilitas Sekelompok orang yang berpenyakit yang tinggi menyebabkan jumlah disebut kelompok kasus dan sekelompok penduduk di wilayah Kerja Puskesmas orang yang tidak berpenyakit disebut Taman menjadi padat. Hampir 20 % kelompok kontrol. Penelitian ini juga penduduknya adalah penduduk musiman mengikuti perjalanan penyakit ke arah (pekerja yang indekos). Ada berbagai belakang (retrospektif) dimana paparan macam penyakit yang berkaitan dengan yang diduga menimbulkan suatu penyakit kondisi lingkungan salah satunya adalah akan diamati oleh peneliti (Murti, 2003). Variabel yang akan diteliti adalah kondisi lingkungan rumah yang terjadi pada masa lampau sebelum terjadi pneumonia.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140