Pitutur Luhur Harmoni dalam Keberagaman Pemasyarakatan Nilai Nilai Toleransi dalam Pelayanan Masyarakat
Pitutur Luhur Harmoni dalam Keberagaman Pemasyarakatan Nilai Nilai Toleransi dalam Pelayanan Masyarakat Penyusun : Md. Aminudin Cover : Kutakboy Penata aksara : Rochman R Tim Perumus : Muhammad Solikin Teguh Priyanto Agung Budi Margono Ukhuwan Ibnu Sa’id Muhammad Nurkholis Amrih Setiowati Maulida Al Munawwaroh Ahmad Winarno Aulia Karimah Diterbitkan oleh: Yayasan Pitutur Luhur Cetakan pertama, Juni 2022 15x23 cm, 114 halaman
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman -Kata Sambutan- Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Puji dan Syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah S.W.T., Tuhan Semesta Alam. Salawat serta salam juga semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi besar Muhammad, S.A.W. Alhamdulillah, dapat terbit buku “Merajut Harmoni dalam Keberagaman”. Buku ini sebagai gambaran atas apa yang menjadi kisah dari langkah kecil, ikhtiar Yayasan Pitutur Luhur untuk mengobarkan semangat berkolaborasi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sejak berdiri pada tahun 2018, Yayasan Pitutur Luhur telah berupaya meinginisiasi program-program dan kegiatan seperti Pesantren Lansia, aktivitas pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan, pendampingan petani, dan kegiatan lainnya. Dengan menggandeng berbagai pihak serta pemerintah, khususnya Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Provinsi Jawa Tengah. Dukungan juga hadir dari berbagai pihak, baik atas nama pribadi maupun kelembagaan. Dengan memasyarakatkan nilai-nilai toleransi, dan gotong- royong, budaya guyub rukun terus dikembangkan. v
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Penerbitan buku semacam ini merupakan tradisi yang baik. Selain sebagai dokumentasi juga sebagai bagian dari publikasi kepada masyarakat tentang kerja- kerja dan upaya-upaya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tentu saja, sebagai lembaga yang merintis dari bawah, bergelut dengan persoalan- persoalan akar rumput, ada banyak inspirasi yang bisa dipetik dari cerita-cerita yang disuguhkan dalam buku ini. Dengan itu diharapkan nilai-nilai toleransi, kebersamaan, gotong royong dan nilai-nilai luhur lainnya terus lestari di tengah masyarakat. Akhir kata, sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Pitutur Luhur mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini. Publikasi karya yang tulus dari jajaran pengurus Yayasan merupakan sebuah langkah yang baik. Munculnya budaya publikasi dalam bentuk buku tentu juga merupakan suatu pendorong semangat untuk terus menyampaikan nilai- nilai kebaikan Yayasan Pitutur Luhur. Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Semarang, Juni 2022 Ketua Dewan Pembina Yayasan Pitutur Luhur H. Agung Budi Margono, S.T., M.T. vi
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Kata Pengantar Merajut Harmoni dalam Keberagaman Yayasan Pitutur Luhur lahir dengan niat untuk berkhidmat pada nilai kemanusiaan. Di dalamnya terkandung keragaman, perbedaan, namun juga kekuatan untuk menciptakan perubahan. Sebab itulah dalam menjalankan visi dan misinya, Yayasan Pitutur Luhur menggandeng sejumlah pihak dengan semangat kolaborasi hingga melahirkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan masyarakat. Dari kolaborasi terwujud kerja sama antar komponen masyarakat, pemerintah, agamawan, LSM dan lembaga sosial. Dari inisiatif dan inovasi sosial, nilai- nilai gotong royong dan guyub rukun dikembangkan. Dalam perbedaan, nilai-nilai toleransi diterjemahkan vii
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman dalam tindakan nyata. Semuanya menunjukkan jalan setapak menuju pelayanan yang berkeadilan untuk semua. Merajut Harmoni dalam Keberagaman, itulah nafas aktivitas Yayasan Pitutur Luhur. Yayasan Pitutur Luhur adalah contoh lembaga yang lahir dari akar rumput, yang bersenyawa menjadi satu dalam kehidupan masyarakat, merekam problem keseharian langsung dari bawah. Hasilnya adalah sebuah potret aktual yang menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang memerlukan pendampingan dan uluran tangan untuk mencapai kehidupan yang berkualitas dari berbagai sisi; ekonomi, rohani, kesehatan, pendidikan. Maka, sejak berdiri pada awal 2018 lalu, Yayasan Pitutur Luhur berupaya menggandeng berbagai pihak untuk bersama-sama berkontribusi untuk mengangkat masyarakat tak mampu naik ke panggung kehidupan yang lebih baik. Alhamdulillah, dukungan terus mengalir baik atas nama pribadi maupun lembaga. Terutama dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Provinsi Jawa Tengah yang berkenan memberikan suport kepada Yayasan Pututur Luhur untuk melakukan kegiatan pemasyarakatan nilai-nilai toleransi, melengkapi dukungan dinas sosial dan dinas kesehatan yang sebelumnya menjadi supoting pelayanan. Maka sesungguhnya eksistensi Yayasan Pitutur Luhur adalah ketulusan kolaborasi kerja kerja baik berbagai pihak. viii
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Kami bahu-membahu tanpa melihat sekat-sekat perbedaan. Di atas perbedaan semua bersepakat tumbuh bersama secara dinamis menemukan jalan menuju masyarakat yang tangguh dan mandiri. Ke depan esensi inilah yang dikembangkan Yayasan Pitutur Luhur, semangat untuk berkolaborasi dalam pelayanan masyarakat. Buku ini berusaha menghadirkan sekelumit kisah dari ribuan langkah kecil yang terus ditekuni dengan keteguhan selama empat tahun terakhir. Menceritakan tumbuhnya benih optimisme di tengah ladang pengabdian, mengisahkan ketulusan bakti untuk membangun negeri yang kita cintai. Yayasan PITUTUR LUHUR adalah contoh lembaga yang lahir dari akar rumput, yang bersenyawa menjadi satu dalam kehidupan masyarakat, merekam problem keseharian langsung dari bawah. ix
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Daftar Isi Kata Sambutan ......................................................................... iii Kata Pengantar ....................................................................... viii BAB I : Merangkai Harmoni, Menghidupkan Khasanah • Dakwah Kultural, Menebar Rahmat ....................................... 8 • Pemasyarakatan Nilai Toleransi Berbasis Kearifan Lokal ...... 11 • Yayasan Pitutur Luhur, Sebuah Aksi Kolaborasi .................... 16 BAB II : Sejarah Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat (PKRR) • Sebuah Persembahan Cinta Kepada Sesama ........................ 26 • Berawal dari Diskusi .............................................................. 29 • TPQ Lansia, Cikal Bakal Pesantren Kasepuhan ...................... 34 • Riwayat Sebuah Kandang Ayam ............................................ 40 • Tantangan di Masa Awal ....................................................... 45 • Joglo di Atas Angin ................................................................ 52 x
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman BAB III : Bukan Panti Jompo • Mengapa Pesantren? .......................................................... 67 • Struktur Organisasi Pesantren Kesepuhan Raden Rahmat . 71 • Kurikulum Rojiro ................................................................. 73 • Terinspirasi Lagu Lansia ...................................................... 76 BAB IV : Lansia Dalam Angka dan Literatur • Siapa Lansia? ....................................................................... 83 • Lansia dalam Perspektif Islam ............................................. 87 • Demografi Lansia di Indonesia ............................................ 91 • Pemetaan Lansia di 34 Provinsi .......................................... 94 • Pendidikan Lansia ............................................................... 95 • Kemampuan Baca Tulis Lansia ............................................ 97 Epilog ...................................................................................... 99 xi
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman xii
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman -BAB I- Merangkai Harmoni, Menghidupkan Khasanah 1
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Bukan rahasia lagi, Indonesia adalah negara yang dirangkai dari beragam warna. Dari warna budaya, bahasa hingga keyakinan beragama. Inilah kodrat kita sebagai bangsa yang hadir sebagai sebuah komunitas besar di tengah masyarakat dunia. Namun justru beragam perbedaan itulah yang selama ini menghiasi bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, menjadi kekuatan sosial yang mempersatukan. Maka, di sinilah keindahan sebuah komunitas sosial bila mampu merekatkan berbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk saling memahami, tepo seliro dan toleransi. Di sinilah pentingnya harmoni. 2
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Harmoni dalam keberagaman adalah keserasian, dan perasaan saling menghormati dalam keberagaman budaya, keyakinan, juga sosial. Di sanalah tercermin wajah Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetap satu jua. Di dalamnya ada rasa senasib sepenanggungan sehingga muncul kemauan untuk saling menolong. Harus diakui dewasa ini budaya gotong royong dan toleransi sebagai warisan luhur nenek moyang kita yang menjadi soko guru bangsa ini pelan-pelan telah mulai luntur. Unggah-ungguh (sopan santun) antar yang muda kepada yang tua mulai terkikis. Dengan dalih kesetaraan, masyarakat khususnya generasi muda tak lagi mengindahkan nilai-nilai sopan santun yang menjadi sistem nilai yang berabad-abad mengikat tali interaksi antar manusia di negeri ini. Tak dapat dimungkiri, kemajuan teknologi menjadi salah satu penyebabnya. Lewat teknologi komunikasi yang menghamparkan kesetaraan dunia, budaya asing bebas memasuki ruang-ruang pola pikir dan cara pandang generasi muda. Berangkat dari kenyataan tersebut, Yayasan Pitutur Luhur mengembangkan sebuah kurikulum layanan yang mengadopsi khasanah lama sebagai local wisdom (kearifan lokal). Khususnya ajaran-ajaran luhur budaya Jawa yang bernafaskan Islam seperti yang pernah dihidupkan oleh Wali Songo. Sejak berdiri pada awal 2018 lalu, Yayasan 3
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Pitutur Luhur secara intens melakukan kajian, mendedah ulang ajaran-ajaran falsafah lama yang berabad-abad lampau menjadi fondasi masyarakat dalam menjalankan peran sosialnya. Maka Yayasan Pitutur Luhur memilih pendidikan sebagai salah satu poros aktivitasnya. Melalui pendidikan ditanamkan pengetahuan tentang local wisdom, ajaran adiluhung, potensi-potensi lokal dan nilai- nilai lokal yang patut digali. Kami meyakini pengetahuan tentang kearifan lokal sangat penting untuk menjaga rasa nasionalisme generasi muda. Maka, lebih dari gerakan sosial, Yayasan Pitutur Luhur sesungguhnya juga gerakan budaya yang dilakukan lewat pendidikan. Maka salah satu gerakan yang diusung yayasan ini adalah menghidupkan khasanah lama, yaitu ajaran- ajaran atau petuah-petuah luhur yang diwariskan para moyang kita. Hal itu dilakukan misalnya lewat kampanye- kampanye sosial dengan menggunakan pepatah Jawa. Sebagai lembaga yang tumbuh di era digital, maka platform komunikasi digital seperti Facebook, Instagram, Youtube dan Tiktok menjadi saluran dalam menebarkan pesan-pesan luhur tersebut. Hasilnya cukup efektif. Dari kampanye yang kami Sebarkan lewat media sosial, kegiatan-kegiatan Yayasan Pitutur Luhur banyak mendapat simpati dan dukungan dari berbagai pihak lintas wilayah, bahkan negara. 4
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Urip Iku Urup Inilah salah satu falsafah Jawa yang menjadi spirit pelayanan Yayasan Pitutur Luhur. Urip Iku Urup “Hidup itu Nyala”. Sebuah filosofi Jawa yang dicetuskan Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebuah pitutur yang memiliki makna mendalam bahwa kehidupan yang sejati itu adalah yang mampu menawarkan suluh kepada lingkungan, manusia dan alam. 5
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Urip artinya hidup. Tuhan menghadirkan manusia di dunia ini bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk merawat kehidupan. Urup artinya nyala. Inilah kata kunci dari falsafah ini. Bahwa hidup manusia tak berarti apa- apa bila hidupnya tak berdampak positif kepada lingkungannya. Maka seperti api, semakin besar nyalanya semakin luas pula jangkauan nyalanya. Nyala di sini bukan berarti bara yang membakar dan memusnahkan, tetapi api memiliki makna sebagai cahaya. Dalam pengertian yang lebih luas, urup (cahaya) berarti memberi maslahat kepada sesama dalam ranah sosial. Falsafah ini memberi semangat kepada manusia untuk berusaha sekuat tenaga mendayagunakan hidupnya untuk berkontribusi kepada sesama. Ada banyak pilihan untuk berkontribusi, bisa dengan harta, pikiran, tenaga atau keahlian yang dimiliki. Dalam kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan bantuan orang lain untuk bertahan hidup di dunia. Oleh karenaitu,Allahmembekalimanusiadenganpotensiyang beragam dengan tujuan agar manusia saling membantu, 6
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman bekerja sama dan saling memahami dalam perbedaan. Maka pesan Kanjeng Sunan Kalijaga ini menjadi sangat relevan dalam spirit kolaborasi yang diusung Yayasan Pitutur Luhur. Falsafah ini selaras dengan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, seperti termaktub dalam hadis-hadis berikut: “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (H.R. Bukhari). “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri …” (QS al-Isrâ/ 17: 7) “… dan barangsiapa (yang bersedia) membantu keperluan saudaranya, maka Allah (akan senantiasa) membantu keperluannya.” (HR Bukhari) Dengan demikian, ajaran-ajaran leluhur Jawa sejatinya bersumber dari ajaran agama, yang kemudian di kemas dalam budaya setempat sebagai wujud dari kearifan lokal. 7
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Dakwah Kultural, Menebar Rahmat Dakwah, dalam pengertian luas adalah menyampaikan dan menularkan kebaikan kepada sesama dengan tujuan mengubah pola pikir ke arah kebaikan. Maka dakwah tidak bisa berhenti pada tataran lisan, tetapi harus terejawantah dalam praktik. Sebab itulah dalam menajalankan visi dan misinya, Yayasan Pitutur Luhur mengaplikasikannya dalam praktik sosial, lewat kegiatan-kegiatan yang langsung bisa dirasakan masyarakat. “Diskusi-diskusi kami dengan pemerintah, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri memperkuat keyakinan bahwa cara terbaik untuk mengubah pola pikir masyarakat adalah lewat pendekatan budaya,” ujar Ahmad Winarno, penggagas Yayasan Pitutur Luhur, pria asli kelahiran Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, Semarang. Ditinjau dari sisi agama, Islam sendiri tidak menentang budaya lokal sepanjang itu tidak bertentangan dengan akidah atau keyakinan dasar. 8
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Kegiatan latihan karawitan rutin di Rumah Budaya Yayasan Pitutur Luhur “Rasulullah sendiri memberikan teladan ihwal bagaimana mendakwahkan Islam lewat pendekatan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan Islam. Strategi dakwah ala Rasulullah itu juga ditampilkan oleh sekelompok ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara, yakni Wali Songo,” lanjut praktisi radio ini. Dalam catatan sejarah, Walisongo memang banyak mengadopsi budaya setempat yang dimodifikasi sebagai sarana dakwah sehingga tak sampai melukai perasaan 9
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman masyarakat. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang dan mengarang tembang sebagai saluran dakwah. Dengan begitu, masyarakat tetap bisa mengenakan jubah budayanya sebagai identitas yang khas sebuah masyarakat. Sebagai lembaga yang bernafas spiritual, Yayasan Pitutur Luhur mengusung misi menebar rahmat bagi alam, setidaknya lingkungan sekitar. “Rahmat” ini diterjemahkan dalam bentuk aktivitas pelayanan sosial yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat seperti pelayanan kesehatan, pendampingan petani, pendidikan, penyaluran bantuan pangan atau proyek-proyek berdampak luas seperti sanitasi air bersih. Ini senafas dengan spirit yang diusung Rasulullah Saw, yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya ayat 107) Jadi, meskipun Yayasan Pitutur Luhur berangkat dari spirit Islam, sesungguhnya sasaran program Yayasan Pitutur Luhur untuk semua umat beragama tanpa terkecuali. Kasih sayang sesama manusia sebangsa adalah aliran darah yang berdenyut di nadi para pengurus yayasan. 10
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Pemasyarakatan Nilai Toleransi Berbasis Kearifan Lokal Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai antarsesama. Bukan hanya muslim dengan muslim, tapi juga dengan non muslim. Ini merupakan sikap yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi umat manusia. Sebagai contoh dalam Piagam Madinah, Rasulullah SAW siap bekerjasama dengan orang-orang non muslim, untuk saling melindungi. Secara bahasa toleransi berarti tenggang rasa. Secara istilah, toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan antarsesama manusia. Allah SWT menciptakan manusia berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut bisa menjadi kekuatan jika dipandang secara positif. (Sumber: Kemendikbud). Toleransi (dalam bahasa Arabnya “tasamuh”) telah banyak diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Rasulullah paham betul bahwa masyarakat dunia terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa dan keyakinan. Ajaran toleransi Rasulullah inilah yang menjadi kiblat Yayasan Pitutur Luhur dalam memasyarakatkan nilai- 11
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman nilai toleransi. Tak berhenti dalam simbol atau sekadar narasi, pengurus yayasan mengejawantahkan toleransi dalam bentuk praktik. Sehingga sejak berdiri hingga hari ini, masyarakat Desa Gedong yang heterogen (Islam, Nasrani, Hindu, Budha, aliran kepercayaan) bisa menerima keberadaan Yayasan Pitutur Luhur bahkan sering mengadakan kegiatan sosial bersama. “Juru masak kita Nasrani, tukang bangunan kita Nasrani dan Hindu, donatur kita lintas agama,” ungkap Winarno, Founder Yayasan Pitutur Luhur. Ia menambahkan, pada awal berdiri, Yayasan Pitutur Luhur menempati rumah milik penganut Nasrani yang dimanfaatkan sebagai asrama bagi lansia. “Pada bulan Ramadhan, ibu-ibu non-Muslim sering terlibat membantu kami menyediakan makanan berbuka,” imbuhnya. Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang sebagai poros kegiatan Yayasan Pitutur luhur adalah sebuah desa yang tumbuh dalam keberagaman keyakinan. “Di sini lengkap hidup 5 agama dan aliran kepercayaan berikut rumah ibadahnya, meskipun dalam komposisi yang beragam. Jumlah pemeluk Islam dan Kristen seimbang. Karena itu sejak kecil kami terbiasa hidup berdampingan tanpa mempermasalahkan berbedaan,” terang Ahmad Winarno. Di desa yang berada di ketinggian 800 mdpl potret 12
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman toleransi tampil amat nyata. Masjid, mushola, gereja berdiri berderet di satu ruas jalan. Selama berpuluh-puluh tahun hidup berdampingan, tidak pernah ada insiden yang dipicu perbedaan keyakinan. Perbedaan itu justru menjadi kearifan lokal bagaimana nilai-nilai toleransi dan kebersamaan berkembang secara alamiah dan dirawat secara turun-temurun. Kebersamaan antar umat beragama menjadi akar budaya masyarakat desa ini. “Kami biasa saling membantu. Jika ada masjid rusak, dengan kesadaran sendiri pemeluk agama lain ikut membantu renovasi,” beber Ketua Yayasan Pitutur Luhur ini. Maka tak berlebihan jika Desa Gedung menjadi miniatur toleransi di Indonesia. Dari desa ini pulalah Yayasan Pitutur Luhur menggaungkan nilai-nilai toleransi lewat ragam kegiatan kreatif-inofatif yang seturut dengan perkembangan zaman. Sejak berdiri awal 2018 lalu, yayasan telah mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka pemasyarakatan nilai-nilai toleransi. Antara lain: - Belajar pengelolaan lansia kepada salah satu panti wredha binaan Keuskupan Agung Semarang. - Bekerja sama dengan komunitas Bintara Pembina Desa TNI AD (Babinsa) dalam kegiatan bakti sosial dan kebersihan rumah ibadah antar sesama umat beragama. - Kerja sama dengan Sakawirakartika Pramuka binaan Kodim 0714 Salatiga untuk penanaman nilai kebangsaan di kalangan generasi muda. 13
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman - Melakukan kegiatan kemah kemanusiaan dalam rangka pemasyarakatan nilai toleransi kepada pegiat sosial. - Berpartisipasi dalam even-even budaya masyarakat. Sebagai lembaga yang bergerak di ranah sosial, Yayasan Pitutur Luhur terus berikhtiar memberikan kontribusi yang lebih luas kepada masyarakat. Antara lain lewat edukasi, penerbitan buku-buku dan tentu saja gerakan sosial yang nyata. Sasarannya tidak hanya untuk sesama warga Muslim, tetapi juga kepada seluruh masyarakat lintas agama. Sebagai salah satu bukti kontribusi nyata di bidang sosial, pada 2019 lalu Yayasan Pitutur Luhur menggandeng sejumlah lembaga sosial untuk membangun sanitasi air bersih yang kini dimanfaatkan seluruh warga. Dalam rangka pengembangan pesantren lansia sendiri, saat ini Yayasan Pitutur Luhur tengah membangun 14
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman 8 asrama untuk lansia dengan total kapasitas 50 santri yang mayoritasnya berasal dari masyarakat kurang mampu. Bersinergi dengan Puskesmas dan stake holder setempat, Yayasan Pitutur Luhur juga sering mengadakan pendampingan kepada lansia dari rumah ke rumah, memberikan santunan, perawatan medis dan layanan kerohanian. Di usia yang baru empat tahun ini, Yayasan Pitutur Luhur semakin mengokohkan jati dirinya sebagai lembaga yang berbasis keberagaman yang dibalut spirit kebersamaan. Lembaga ini terus melakukan permasyarakatan nilai-nilai toleransi agar setiap umat beragama dapat berbudi luhur dalam menunaikan keyakinannya. Yayasan Pitutur Luhur menjadi bukti nyata bahwa toleransi, solidaritas dan guyup rukun dalam perbedaan bisa menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan sosial secara berkelanjutan. “Untuk mewujudkan ketahanan nasional, kita tidak mungkin bekerja sendiri. Maka sinergi menjadi kata kunci,” kata Winarno. Ketahanan Sosial merupakan kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk mewujudkan tujuan nasional, serta untuk mengelakkan dan mengatasi secara efektif segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul, baik dari dalam maupun dari luar, baik yang bersifat fisik-material maupun yang bersifat mental-spiritual. 15
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Yayasan Pitutur Luhur, Sebuah Aksi Kolaborasi Yayasan Pitutur Luhur diinisiasi oleh Ahmad Winarno, seorang pemuda kelahiran Desa Gedong Kecamatan Bayubiru, Semarang. Sebagai orang yang dibesarkan di kampung terpencil tersebut, tentu saja masa kecil dan remajanya telah akrab dengan penderitaan. Bertahun- tahun merasakan denyut kehidupan masyarakat setempat, menghirup aroma kemiskinan dan penderitaan sehingga cukup mengenal problem dan kebutuhan masyarakat pedesaan. Setelah dua puluh tahun lebih hidup sebagai warga urban di Bekasi dan Jakarta, pada akhir 2017 lalu Winarno memutuskan pulang kampung. Hidup di kampung memaksanya bersentuhan lagi dengan aneka masalah yang dihadapi umumnya masyarakat desa, yaitu kemiskinan, keterbatasan pengetahuan, akses informasi dan transportasi. Situasi lingkungan itulah yang kemudian melahirkan cita-cita mendirikan sebuah lembaga yang mencoba menjawab tantangan lingkungan tersebut. Sebagai individu yang lama berkecimpung di bidang kemanusiaan 16
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Kantor pertama Yayasan Pitutur Luhur dan kerelawanan, Winarno memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut ia tak mungkin bergerak seorang diri, ia butuh kolaborasi. Winarno kemudian mengajak beberapa pemuda desa setempat berdiskusi merumuskan masalah dan solusinya. Gayung bersambut dengan ide tersebut, ia pun berkenalan dengan Ustad Solikin, seorang penyuluh kesehatan Puskesmas Banyubiru. Layaknya sebuah Constanta Cosmologis terjadilah kolaborasi antar anak- anak muda Desa Gedong, Ustad Solikin dan Ahmad Winarno. Merekapun sepakat mendirikan sebuah lembaga berbadan hukum yayasan yang kemudian diberi nama Pitutur Luhur. 17
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Pemilihan nama Yayasan Pitutur Luhur bukan tanpa alasan. Winarno, pencetus awal ide lembaga ini mengatakan, selain mengandung makna filosofis, pemilihan nama Pitutur Luhur lebih membumi dalam budaya masyarakat Jawa sebagai pijakan awal lembaga ini. “Meskipun kental dengan cita rasa Jawa, namun sesungguhnya sasaran pelayanan kami untuk seluruh masyarakat Indonesia lintas adat, lintas bahasa dan agama,” ujar Winarno. Nama Pitutur Luhur juga menegaskan cita-cita para pendiri yayasan yang menjadikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai basis aktivitas. Kata pitutur berasal dari bahasa Jawa kuna yang berarti pelajaran, nasihat, atau peringatan (Prawiroatmodjo, 1957:507). Kata luhur berasal dari bahasa Kawi yang berarti tinggi, mulia, atau baik (1957:268). Dalam terminologi agama, Pitutur Luhur semakna dengan qaulan kariima dan (perkataan santun) dan qaulan ma’rufan (perkataan yang baik). Agama dan budaya memang menjadi pijakan utama yayasan ini. “selain mengandung makna filosofis, pemilihan nama Pitutur Luhur lebih membumi dalam budaya masyarakat Jawa sebagai pijakan awal lembaga ini. 18
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Komitmen tersebut kemudian lebih diperjelas lagi dalam anggaran dasar yayasan, yaitu seabgai lembaga yang bergerak di bidang; 1. Sosial, 2. Kemanusiaan, 3. Keagamaan. Setidaknya ada tujuh bidang utama yang digarap oleh yayasan yang mempertegas nilai-nilai kemanusiaan dan keragamaan. Antara lain: 1. Menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal. 2. Menyelenggarakan panti asuhan, panti jompo dan panti wreda. 3. Menyelenggarakan penelitian dan observasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan. 4. Study banding dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. 5. Menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, pertanian, peternakan dan usaha lainnya. 6. Menyelenggarakan pelestarian lingkungan hidup. 7. Memberikan perlindungan dan bantuan kepada tuna netra, lansia, fakir miskin dan gelandangan. Yayasan Pitutur Luhur secara resmi terdaftar dengan akta pendirian: No. 07 tanggal 11 April 2018 oleh Notaris Ida Widiyanti, S.H. Jl. Dr. Suratmo No. 176 Semarang Jawa Tengah dan Akta Pengesahan Depkumham RI No. AHU-0005574.AH.01.04, tanggal 19 April 2018. 19
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Jangkauan program yayasan yang semula hanya di wilayah Desa Gedong Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, kini telah meluas menjangakau sebagaian besar provinsi di Indonesia. Dari rahim Yayasan Pitutur Luhur ini pulalah lahir Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat (PKRR) yang saat ini melayani sejumlah 665 santri yang terdiri dari santri mukim dan pulang pergi 65 lansia, kelas jauh 300 lansia dalam 7 rombongan belajar (rombel), 225 lansia risiko tinggi (resti) serta 75 ODGJ yang tersebar di 12 desa dalam 4 kecamatan di Kabupaten Semarang. Rojiro, Falsafah Pelayanan Olah Rogo, Olah Jiwo, Olah Roso tidak sekadar menjadi tagline tetapi menjadi falsafah sekaligus spirit yang menggema di lingkungan Yayasan Pitutur Luhur. Olah Rogo, Olah Jiwo, Olah Roso yang disingkat Rojiro adalah serangkai kurikulum yang memandu masyarakat untuk berdaya secara jiwa, raga dan rasa-nya, yang secara konkret dijabarkan ke dalam 6 aspek Adalah ustad Mohamad Solikin, pembina lansia di Poskesmas Kecamatan Banyubiru, yang “menemukan” konsep Rojiro tersebut. Dari riwayat pendidikan dan rekam jejak kiprahnya ia adalah 20
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman tetapi di sini,” katanya menunjuk dada. Tegasnya, masalah pokok yang dihadapi para lansia adalah kekosongan jiwa yang bersumber dari keringnya sentuhan spiritual. Banyak studi ilmiah yang mengatakan bahwa kesehatan fisik dipengaruhi oleh kesehatan batin. Para lansia yang kebutuhan spiritualnya terpenuhi dengan baik jarang mengalami problem kesehatan fisik yang serius. Masalahnya adalah, program pemerintah, dalam hal ini dinas sosial maupun dinas kesehatan, tak mengcover kebutuhan lansia hingga sejauh itu. Fokus keduanya berhenti pada layanan fisik. Kebanyakan panti werdha pun hanya memberikan layanan fisik. Tentu saja hal itu belum mencukupi, mengingat 22
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman kebutuhan manusia tidak hanya kesehatan fisik tapi juga kesehatan mental dan spiritual. Lama fakta itu membuat Ustad Solikin merenung. Hingga penghujung 2017 lalu, ia berkenalan dengan Winarno. Sebuah pertemuan yang ditakdirkan. Sebab, Winarno yang telah memutuskan pulang kampung dari Bekasi memang tengah mencari sparing partner untuk mewujudkan misinya mendirikan lembaga yang berbasis di pedesaan. Dari sanalah kemudian muncul rumusan Olah Rogo, Olah Jiwo, Olah Roso yang diakronimkan dengan RoJiRo. Istilah tersebut memang diambil dari falsafah Jawa yang bila artinya secara letterlijk artinya olah raga, olah jiwa dan olah rasa. “Slogan Rojiro ini untuk memudahkan penyebutan. Juga dimaksudkan mengadopsi khasanah Jawa sebagai bahasa dakwah agar lebih mudah diterima masyarakat setempat yang memang menggenggam teguh falsafah Jawa.” ungkap Ustad Solikin, perumus Rojiro. Kata “olah” diambil dari bahasa Jawa yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya memberdayakan atau mengaktifkan. Studi ilmiah 23
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman membuktikan jika ketiga hal tersebut tetap diaktifkan atau diberdayakan, maka proses penuaan akan tertunda. Olah Rogo meliputi Kognitif dan Pencegahan Kepikunan, Kesehatan Fungsi Motorik dan perilaku kesehatan dan keselamatan. Adalah kegiatan menjaga fisik para lansia agar tetap sehat. Contoh kegiatan menjaga fisik di Pondok Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat adalah setiap pagi, para lansia dibimbing untuk berolah raga ringan di ruang terbuka dan juga pemeriksaan kesehatan rutin dari Puskesmas setempat setiap satu bulan satu kali yang bertempat di Rumah Joglo Pondok Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat. Olah jiwo meliputi Moral dan Spiritualitas, Sosial Emosional. Adalah kegiatan ruhani serta mempelajari dan membiasakan kembali dasar-dasar keislaman. Kegiatan Olah Jiwo di antaranya: kajian pagi oleh Ust. Winarno, Fiqh oleh Ustadz Yahya, Tahsin oleh ustadz Ukhwan dan Tastqif oleh ustadz Solikin. Olah Roso meliputi Komunikasi, Seni dan Estetika. Adalah kegiatan mengasah kepekaan sosial kemasyarakatan. Dalam Olah Roso ini, para lansia diarahkan untuk mencegah kepikunan dengan cara mengisi waktu luang di luar jam istirahat dengan kegiatan kesenian. Di antaranya: shalawatan dan prakarya. 24
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman -BAB II- Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat (PKRR) 25
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Sebuah Persembahan Cinta Kepada Sesama Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat adalah salah satu lembaga di bawah naungan Yayasan Pitutur Luhur. Tujuan utama lembaga ini adalah memberi pelayanan rohani, sosial, dan kesehatan kepada lansia terlantar, lansia duafa dan ODGJ. Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat (PKRR) mungkin tak akan pernah terwujud tanpa kemurahan hati seorang ibu. Ia merelakan sebidang tanahnya yang tak seberapa untuk bangunan kelas dan asrama, merawat dengan 26
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman tulus orang-orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Menegarkan dirinya menjadi sasaran cemooh orang-orang sekitar yang tak memahami bagaimana seorang perempuan biasa ingin berkontribusi kepada sesama. Namun berkat uluran tangannya yang bersahaja, kini Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang memiliki nama harum di seantero negeri. Para pengunjung datang untuk study banding, berdonasi atau berwisata religi. Gedong yang sulit dijangkau, terpencil dipeluk bukit dan lembah kini ramai dikunjungi manusia. Dalam sebulan setidaknya 300 orang melawat, melewati jalan menanjak yang sukar dilalui demi mencerap semacam energi cinta dan kehidupan yang menguar dari wajah para santri lansia Raden Rahmat. Berkat kemurahan hatinya pula, Desa Gedong yang dulu kesulitan air kini berlimpah air. Sehingga penduduk tak perlu lagi menggotong air dari perbukitan. Dengan diam-diam, tanpa sorot kamera, ia melakukan perubahan 27
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman secara dramatik bagi tanah kelahirannya. Dialah Bu Sudarti ibunda Winarno, sang pendiri Yayasan Pitutur Luhur. Suatu saat sekira pertengahan 2017, Winarno teringat kepada sang Ibu di kampung. Sejak ayahnya meninggal, praktis sang Ibu hidup seorang diri di Gedong. Seluruh putra-putrinya tinggal jauh darinya. Winarno sendiri sejak selepas SMP sudah bekerja di Jakarta. Ingatan akan ibunya terus menguat. Ingatan itu didorong oleh perasaan bersalah bahwa selama ia hidup belum pernah rasanya membahagiakan ibunya. Ingatan itu benar-benar membuatnya terbimbang; haruskah ia pulang kampung dan meninggalkan kehidupan mapannya di Bekasi? Ini sungguh pilihan yang tak mudah bagi siapa pun. Termasuk bagi Winarno yang 25 tahun lebih hidup di kota besar. Ada sejumlah risiko yang menantang keputusannya, misalnya bagaimana mencari penghidupan di kampung? Lewat istikharah ia pun meminta petunjuk kepada Allah, agar bila harus pulang kampung ia diberi kemudahan. Ternyata dorongan untuk menemani sang ibu semakin kuat. Maka di penghujung 2017, ia memutuskan pulang kampung. Tujuannya hanya satu, membersamai sang ibu mendalami ajaran Islam. Dari sinilah kisah ini dimulai. 28
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Berawal dari Diskusi “Niat awal saya sebenarnya sederhana, ingin menemani ibu. Beliau masuk Islam paling terakhir tapi belum bisa ngaji, shalatnya juga masih belum bagus. Kemudian saya mendirikan TPQ lansia agar ibu punya teman untuk belajar agama,” terang Winarno ihwal niat awalnya menggagas pesantren lansia. Menurut data BPS 2021, di Jawa Tengah terdapat 6 juta lansia yang mayoritas tinggal di pedesaan. Seperti umumnya lansia yang tinggal di rumah-rumah pedesaan yang jauh dari pusat kota, mereka hidup nyaris tanpa perhatian. Masyaralat memandang para lansia sebagai warga kelas dua karena menganggap mereka tak lagi produktif. Para lansia itu terabaikan secara psikologis, ekonomi, kesehatan dan terutama spiritual. Banyak di antaranya yang berakhir di panti jompo, menghabiskan hari-hari ujung mereka dalam kesunyian dan kehampaan. Maka Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat hadir untuk mengisi ruang yang kosong dalam ranah pendampingan lansia. Mengangkat kaum lansia ke panggung kehidupan yang lebih beradab, lebih punya arti dan tetap berkontribusi di lapangan sosial. Menemani para lansia bersiap menyambut khusnul khotimah dalam pelukan nafsul muthma’innah. 29
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman “Dari sejumlah literatur yang saya pelajari dari luar negeri, negara ambil peran aktif dalam pendampingan lansia. Mereka bahkan menyiapkan semacam kurikulum bagi lansia, seperti halnya pengelolaan lansia di Jepang,” terang Winarno ihwal rujukan yang dipelajarinya. Ketika memutuskan untuk pulang kampung menemani sang ibu, belum terbesit di benak Winarno untuk mendirikan pesantren lansia. Awalnya ia menggagas ide lumbung ternak masyarakat. Model lembaganya pesantren entrepreneur. Santri-santrinya dari kalangan anak muda usia produktif, utamanya fresh graduate. Ide tersebut relevan dengan sumberdaya alam sekitar Desa Gedong yang berbasis pertanian dan dilimpahi rumputan hijau. Namun ia mengoreksi ide tersebut setelah berdiskusi panjang dengan salah satu temannya, Agung Budimargono, seorang pengusaha travel dari Bekasi. Agung menceritakan pengalamannya berkunjung ke Ponpes Lansia Darus Syifa, Jombang, yang dikelola keluarga Gus Ipul (mantan Wagub Jawa Timur). Diskusi dengan Agung mendorong Winarno melakukan studi secara komprehensif tentang kelansiaan. Ini adalah tema yang benar-benar baru baginya. Selama ini ia lebih banyak berkecimpung dalam pemberdayaan anak-anak muda. Dalam sekejap dunia lansia benar-benar merebut 30
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman perhatiannya. Ia juga terilhami kenyataan yang ia saksikan langsung di rumah; sang ibu yang sudah berusia lanjut dan memerlukan pendampingan. “Adalah kebiasaan saya ketika mengambil satu keputusan penting, saya pelajari dulu hulu hilirnya hingga mendapatkan gambaran yang jelas. Sehingga saya tahu mulai dari mana dan bagaimana menjalankan ide tersebut. Maka saya pelajari ide tentang lansia itu secara mendalam, membedah sejumlah referensi dan survei lapangan,” terang Winarno saat awal menggagas pesantren lansia ini. Untuk mendalami ide tersebut, ia melakukan study banding ke sejumlah pesantren lansia di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hasilnya, ia menemukan ada sejumlah “lobang” yang belum terisi. Pesantren lansia yang dikunjunginya rata-rata hanya berupa majelis taklim, atau kursus-kursus singkat yang tak menjawab kebutuhan pokok lansia. Ia memimpikan sebuah pesantren lansia yang menyediakan layanan secara komprehensif, dari spiritual, psikologis, kesehatan hingga pemberdayaan sehingga para lansia tetap produktif di usia senjanya. Sebuah niat mulia. Namun ia sadar, ide besar itu tak mungkin dapat ia wujudkan seorang diri. Ia butuh sparring partner yang bisa menjadi kawan seiring sejalan dalam mewujudkan 31
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman impian tersebut. Sebagai “pendatang baru” di daerah, ia belum memiliki jaringan. Meskipun putra asli kelahiran Desa Gedong, sejak menginjak usia remaja ia sudah menjadi urban di kota besar seperti Jakarta dan Depok. Dengan kata lain, ia pulang kampung hanya bermodal nekat; tanpa partner, tanpa peta, bahkan tanpa modal finansial yang memadai. “Sepanjang kita bersungguh-sungguh berikhtiar dan berdoa, Allah akan selalu menunjukkan jalannya. Tugas kita memantaskan diri untuk dipercaya Allah,” kata founder Pesantren Kasepuhan Raden Rahmad ini yakin. Dan benar saja, jalan itu mulai terbuka satu per satu. Satu ketika oleh salah satu temannya, ia diperkenalkan dengan ustad Solikin. Ia petugas layanan lansia Kecamatan Banyubiru-Semarang, yang memiliki pengalaman pengalaman yang panjang dalam ranah kelansiaan. Saban hari ustad Solikin berkunjung ke kampung-kampung membina posyandu lansia, memberikan pelayanan dari aspek kesehatan hingga spiritual. Desa Gedong, termasuk salah satu binaannya. Kepada ustad Solikin, Winarno mengutarakan gagasan-gagasannya tentang sebuah lembaga yang memberi layanan kepada lansia secara komprehensif, mengingat sepanjang pengetahuannya belum ada lembaga 32
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman “Sepanjang kita bersungguh- sungguh berikhtiar dan berdoa, Allah akan selalu menunjukkan jalannya. Tugas kita memantaskan diri untuk dipercaya Allah,” total mengurusi lansia. Di luar dugaan, ide tersebut gayung bersambut dengan apa yang dibayangkan ustad Solikin. Sebagai pembina posyandu lansia selama belasan tahun, ia berjuang sendirian. Tentu saja ia senang ketika ada putra daerah yang mau turut berkontribusi dalam dunianya. 33
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman TPQ Lansia, Cikal Bakal Pesantren Kasepuhan Beberapa kali diskusi dengan ustad Solikin membuat niatnya semakin mantap. Kepada sang Ibu, ia utarakan maksudnya untuk membuka sebuah pesantren. Semula sang ibu enggan. Di mana, dari mana biayanya, bagaimana menghidupi santri-santri? Sebuah pertanyaan yang wajar belaka mengingat kondisi ekonominya sendiri tidaklah berada. Ia hanya orang kampung biasa. Rumah tinggalnya pun hanya papan kayu. Jauh dari kesan mewah. Sama sekali tak pernah ada dalam benaknya bayangan mendirikan pesantren. Ia bukan keturunan kiai, lulusan pondok, bahkan seorang mualaf yang masih terbata-bata menjalankan kewajiban agama. Dan kini ditantang untuk mendirikan pesantren? Sungguh di luar nalar. “Allah akan menolong hambanya yang sungguh-sungguh menolong agama-Nya,” demikian Winarno meyakinkan sang ibu. Dalam gelap pengetahuan akan agama, sang Ibu hanya meyakini bahwa anaknya berniat mulia, tidak 34
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Suasana TPQ Lansia Yayasan Pitutur Luhur di masa awal neko-neko seperti yang sejak kecil ia kenal karakter dan kejujurannya. Mula-mula, Winarno mendirikan Taman Pendidikan Quran (TPQ) untuk lansia. Niat Winarno sederhana; agar sang ibu ada teman mengaji bersama. Saat dibuka, ada 8 ibu-ibu lansia yang terdaftar sebagai santri TPQ lansia tersebut. Tempat belajarnya di rumah kayu milik sang ibu 35
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman dengan menggelar meja rendah di lantai beralas tikar. Dari ruangan dan fasilitas sangat sederhana itulah Pesantren Lansia Raden Rahmat mencatatkan sejarah pembukanya. Dengan hanya bekal kamera handphone, Winarno merekam kegiatan mengaji ibu-ibu kampung itu lalu meng-upload-nya di Youtube dan medsos. Di luar dugaan, hanya tiga hari setelah tayang di Youtube video dan narasi tentang lansia itu menarik perhatian media televisi lokal. Ada dua stasiun televisi nasional (.Net TV dan Trans TV) yang kemudian meliput kegiatan ibu-ibu lansia tersebut. Itulah yang menjadi peluru awal viralnya berita mengenai PKRR. Tiga bulan pasca kegiatan pertama TPQ lansia, datang telepon dari Jambi. Si penelpon berminat memondokkan ayahnya. Saat melakukan survei ke PKRR, Winarno menceritakan apa adanya mengenai kondisi pesantren. “Hubungan yang harmonis dengan penganut agama lain ini menjadi awal legacy sosial yang memposisikan PKRR sebagai pesantren toleransi, seperti kelak pernah diliput salah satu televisi lokal. 36
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman Namun, pak Daud Abdullah, calon santri tersebut tetap bersikukuh ingin mondok meskipun kondisi pesantren saat itu belum representatif. Ia merasakan lingkungan pondok yang alami, segar dan damai sangat cocok buat mendekatkan diri pada Allah Swt dan memperdalam pengetahuan agama. Saat itu PKRR belum memiliki asrama sendiri. Setelah mencari informasi ke tetangga sekitar, akhirnya ada tetangga yang bersedia mengontrakkan rumahnya selama 3 tahun. Uniknya sang pemilik rumah adalah seorang Nasrani. Ia tak keberatan meskipun rumahnya bakal digunakan untuk pondokan pesantren lansia. Hubungan yang harmonis dengan penganut agama lain ini menjadi awal legacy sosial yang memposisikan PKRR sebagai pesantren toleransi, seperti kelak pernah diliput salah satu televisi nasional. Kedatangan santri pertama tersebut menerbitkan asa baru bagi Winarno. Ini menjadi tantangan buatnya untuk membuat PKRR lebih besar, menyediakan sarana yang representatif dan sistem pengajaran yang lebih terstruktur. Dengan begitu PKRR menjadi tempat yang ramah bagi santri-santri lansia seperti rumah sendiri. “Ada santri lansia yang sudah mondok di sini selama 3,5 tahun lebih. Mereka kerasan karena serasa di rumah sendiri. Tak ada hierarki yang kaku antara santri atau 37
Pitutur Luhur Harmoni Dalam Keberagaman ustad,” ujar Winarno menerangkan suasana guyup rukun yang dihadirkan di pesantren. “Antar santri berkomunikasi secara lebur seperti saudara atau tetangga sendiri sebagaimana kehidupan di kampung,” imbuhnya. *** Winarno, dibantu salah satu putrinya, terus mengabarkan kegiatan-kegiatan TPQ lansia lewat medsos didukung liputan media cetak dan Tv yang terus-menerus. Berturut-turut datang santri-santri baru dari luar daerah bahkan luar pulau. Dari Solok, Padang Panjang, Karawang, Surabaya, Jakarta. Dalam waktu 3 bulan sejak liputan TV, tercatat ada 6 santri lansia; 3 laki-laki dan 3 perempuan. Inilah yang menjadi cikal- bakal dari TPQ lansia berkembang Pesantren Lansia Raden Rahmat. Hingga saat ini (2021) total ada 105 santri mukim yang pernah mondok di sini. Perkembangan santri TPQ juga tak kalah menggembirakan. Dari 8 santri saat dibuka, dalam waktu 3 bulan telah bertambah menjadi 16 orang. Hingga saat ini, total sebanyak 600 lansia yang tercatat sebagai santri TPQ lansia di 4 kecamatan, banyubiru, ambarawa, ancak, pabelan. Waktu belajarnya hari Selasa, Rabu dan Kamis tiap bakda asyar. Seiring kian banyaknya santri, saat ini dalam sehari dibagi dalam tiga waktu, pukul 09.00-12.00, 13.00-15.00 dan pukul 16.00 hingga Maghrib. 38
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119