Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-09 04:56:55

Description: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Search

Read the Text Version

Untuk menjawab Tujuan-1 di atas, menggunakan analisis statistik berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif terhadap faktor/variabel yang berpengaruh terhadap angka indeks laju alih fungsi lahan sawah berdasarkan nilai-nilai yang tergambar dalam angka indeksnya. Angka indeks merupakan suatu ukuran statistik yang menunjukkan perubahan suatu faktor/variabel atau sekumpulan faktor/variabel yang berhubungan satu sama lain, baik pada waktu atau tempat yang sama atau berlainan, dan bersifat angka relatif yang dinyatakan dalam persentase. Biasanya untuk kesederhanaan, bentuk persentase bisa dihilangkan (Algifari, 2015). Metode dan formulasi pengukuran angka indeks laju alih fungsi lahan sawah secara umum, terdapat 3 jenis angka indeks, yaitu angka indeks harga (price relative), angka indeks jumlah (quantity relative), dan angka indeks nilai (value relative). Berdasarkan formulasi yang telah disusun di atas, selanjutnya dicoba untuk diimplementasikan menghitung nilai indeks laju alih fungsi sawah pada lokasi sampel, yang selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dengan membandingkan hasil angka-angka indeks tersebut. 4. Analisis Pelaksanaan Pengendalian Dalam Upaya Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Tujuan-2: Mengkaji dan menganalisis pelaksanaan pengendalian dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan sawah dan faktor-faktor yang mempengaruhi, beserta sebaran spasial dan kebijakan dalam upaya pencegahannya Untuk menjawab Tujuan-2 tersebut di atas, menggunakan analisis yang terintegrasi berbasis analisis statistik berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dan analisis spasial, serta analisis lainnya terkait alih fungsi sawah dan dampaknya. Untuk itu dilakukan beberapa langkah/ tahapan sebagai berikut a. Penyusunan Faktor-Faktor Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Sebagaimana telah dikemukakan di bagian di atas, bahwa penelitian ini difokuskan pada indeks laju alih fungsi lahan sawah dan upaya pencegahan- nya, beserta upaya-upaya kebijakan strategis yang diperlukan untuk mengurangi penyusutan luas lahan baku sawah pada masa mendatang. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 89

Dari beberapa hal yang sudah diuraikan pada bab-bab terdahulu, dapat diketahui dan dipahami bahwa dalam proses terjadinya alih fungsi lahan sawah dipengaruhi oleh berbagai faktor/indikator, baik sebagai pendorong dan pengendali, maupun perlunya kebijakan strategis pengelolaan Kementerian ATR/BPN dan pertimbangan pengambilan keputusan oleh masyarakat/petani untuk mengalih fungsikan lahan sawahnya. Dalam penelitian ini, dari sangat banyaknya faktor/indikator tersebut hanya diambil sebagian kecil yang difokuskan menjadi 4 kelompok pencegahan laju alih fungsi lahan sawah. 1) Faktor pendorong Faktor/variabel pendorong merupakan kondisi yang menciptakan, menimbulkan dan/atau menyebabkan terjadinya kerentanan/kepekaan/ kemudahan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan/pemanfaatan non- sawah. Dalam penelitian ini hanya meninjau dari 28 faktor/indikator pendorong sebagai berikut: a) Penetapan luas lahan baku sawah (D-01) b) Jarak/kedekatan sawah dengan jalan utama non-TOL (D-02) c) Jarak/kedekatan sawah dengan jalan utama TOL (D-03) d) Jarak/kedekatan sawah dengan kawasan permukiman (D-04) e) Jarak/kedekatan sawah dengan kawasan industri (D-05) f) Jarak/kedekatan sawah dengan kawasan perdagangan/jasa (D-06) g) Letak sawah di wilayah irigasi non-teknis (D-07) h) Letak sawah di wilayah padat penduduk (D-08) i) Letak sawah di wilayah berpenduduk miskin (D-09) j) Letak sawah di wilayah pengirim TKI (D-10) k) Sawah yang belum bersertipikat hak atas tanah (D-11) l) Sawah dengan luas bidang tanah sempit (D-12) m) Pemilik sawah yang bukan petani (D-13) n) Pemilikan sawah dengan budaya pewarisan (D-14) o) Sawah dengan topogafi/morpologi dataran (D-15) p) Sawah dengan produktivitas/nilai produksi rendah (D-16) q) Letak sawah di wilayah zona nilai tanah (ZNT) rendah (D-17) r) Letak sawah dalam areal pengadaan tanah untuk pembangunan (D-18) s) Sawah yang pajak tanahnya tinggi (D-19) t) Sawah dengan kelompok tani kurang aktif (D-20) u) Sawah yang petaninya kurang mendapat sosialisasi/penyuluhan (D-21) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 90

v) Sawah yang petaninya menilai profesi petani sudah tidak menarik (D-22) w) Sawah di Kabupaten/Kota yang PAD-nya rendah (D-23) x) Sawah di Kabupaten/Kota yang PDRB-nya rendah (D-24) y) Sawah di Kabupaten/Kota yang PDRB per Kapitanya rendah (D-25) z) Sawah di Kabupaten/Kota yang kontribusi sektor pangannya rendah pada PDRB (D-26) aa)Daerah yang belum mempunyai program pengendalian pertanahan (D-27) bb)Daerah yang belum mempunyai program pengendalian tata ruang (D-28) 2) Faktor pengendali Faktor/indikator pengendali merupakan kondisi yang dapat menciptakan berkurang/terkendalinya laju alih fungsi lahan sawah ke penggunaan/ pemanfaatan non-sawah. Dalam penelitian ini hanya meninjau dari 25 faktor/indikator pengendali sebagai berikut: a) Pemanfaatn ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi (K-01) b) Penetapan sawah dalam rencana rinci/detil tata ruang/zonasi (RRTR/ RDTR/Zonasi) (K-02) c) Penetapan sawah dalam lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) (K-03) d) Penetapan sawah dalam LP2B tanpa ada peta lokasinya (K-04) e) Penetapan sawah dalam LP2B yang ada peta lokasinya (K-05) f) Penerapan pemantauan dan evaluasi pertanahan yang efektif dan berkelanjutan (K-06) g) Penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan (K-07) h) Penerapan pemberian perizinan (K-08) i) Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin prinsip (K-09) j) Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin lokasi (K-10) k) Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin penggunaan pemanfaatan tanah (K-11) l) Pemberian insentif oleh Pemerintah kepada Pemda yang telah menetapkan LP2B/lahan sawah dilindungi (K-12) m) Pemberian insentif dalam bentuk sarana produksi (Saprodi) kepada petani (K-13) n) Pemberian insentif melalui sertipikasi tanah sawah (SHM) kepada petani (K-14) o) Pemberian insentif dalam bentuk penghargaan kepada petani (K-15) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 91

p) Pemberian insentif dalam bentuk keringan pajak PBB kepada petani (K-16) q) Pemberian insentif dalam bentuk pembelian sawah oleh Pemerintah/ Pemda (K-17) r) Pengenaan disinsentif dalam bentuk pengenaan pajak tanah (land tax) tinggi terhadap jual beli/peralihan hak atas tanah yang menyebabkan perubahan penggunaan sawah (K-18) s) Pembangunan penyediaan infrastruktur irigasi (K-19) t) Perpres No. 59/2019 sebagai instrumen hukum (K-20) u) Kegiatan sosialisasi Perpres No. 59/2019 (K-21) v) Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 yang menetapkan luas lahan baku sawah nasional Thn 2019 dapat menjadi basis data pengendalian (K-22) w) Kegiatan sosialisasi Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 (K-23) x) Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dengan Keputusan Gubernur atau peraturan bentuk lainnya (K-24) y) Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dengan Keputusan Bupati/Walikota atau peraturan bentuk lainnya (K-25) 3) Kebijakan strategis Kementerian ATR/BPN untuk pengamanan luas lahan baku sawah Kebijakan strategis di sini adalah langkah strategis yang mungkin perlu/ dapat diambil/dilakukan oleh unit kerja terkait di Kementerian ATR/BPN untuk pengamanan luas lahan baku sawah. Kebijakan strategis dalam penelitian ini hanya meninjau dari 13 indikator sebagai berikut: a) Penyusunan panduan pengendalian alih fungsi lahan sawah menjadi program strategis (KS-01) b) Penyusunan panduan pemetaan luas lahan baku sawah menjadi kegiatan strategis (KS-02) c) Penyusunan panduan evaluasi pemanfaatan ruang untuk lahan baku sawah menjadi kegiatan strategis (KS-03) d) Pemetaan lokasi dan luas lahan baku sawah menjadi sasaran strategis (KS-04) e) Evaluasi lokasi dan luas lahan baku sawah menjadi sasaran strategis (KS-05) f) Pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian alih fungsi sawah di Pusat menjadi tanggung jawab unit kerja terkait (KS-06) g) Pelaksanaan tugas dan fungsi pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang untuk sawah di Pusat menjadi tanggung jawab unit kerja terkait (KS-07) h) Pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian dan pemantauan alih fungsi sawah di daerah menjadi tanggung jawab bidang/seksi pengendalian dan pemantauan pertanahan (KS-08) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 92

i) Pelaksanaan tugas dan fungsi pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang untuk sawah di daerah menjadi tanggung jawab bidang/seksi pengendalian dan pemantauan pertanahan (KS-09) j) Pelaksanaan pengendalian alih fungsi sawah dan pengamanan luas lahan baku sawah menjadi indikator keberhasilan kinerja (IKK) unit kerja terkait (KS-10) k) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang untuk sawah menjadi IKK unit kerja terkait (KS-11) l) Dalam rangka pengendalian alih fungsi sawah dan pengamanan luas lahan baku sawah perlu sinkronnisasi pembiayaan di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (KS-12) m) Dalam rangka evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang untuk sawah dan pengamanan luas baku sawah perlu sinkronnisasi pembiayaan di Kementerian ATR/ BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (KS-13) 4) Faktor pengambilan keputusan alih fungsi lanah sawah oleh masyarakat Selain menghadapi berbagai faktor pendorong dan pengendali di atas, masyarakat/petani dalam rangka pengalih fungsian lahan sawahnya juga mempunyai beberapa alternatif pertimbangan untuk memutuskannya. Dalam penelitian ini hanya meninjau sebanyak 3 faktor/indikator penyebab kerentanan/kepekaan pengambilan keputusan untuk mengalih fungsikan lahan sawahnya ke penggunaan/pemanfaatan non-sawah sebagai berikut: a) Penguasaan/pemilikan bidang tanah sawah yang sempit b) Nilai produksi/land rent tanah sawah rendah c) Profesi sebagai petani bukan pilihan/tidak menarik lebih b. Analisis Penghitungan Nilai Skoring Bobot Pengaruh Masing-Masing Faktor/Indikator Terhadap Alih Fungsi Lahan Sawah Dengan pendekatan skala Likert yang telah dikemukakan di atas, melalui pembobotan tersebut juga dipergunakan untuk menghitung nilai skoring bobot pengaruh dari masing-masing faktor/indikator terhadap alih fungsi lahan sawah berdasarkan jumlah tanggapan/pernyataan responden penelitian. Dengan menggunakan formulasi yang disusun, penghitungan nilai skoring bobot ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui dan menentukan faktor-faktor dan/atau indikator-indikator apa saja yang paling tinggi dan/atau paling rendah pengaruhnya terhadap alih fungsi lahan sawah tersebut, baik sebagai pendorong maupun pengendali, serta Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 93

kebijakan strategisnya. Berdasarkan angka-angka nilai skoring bobot hasil penghitungan tersebut, merupakan bahan-bahan masukan dan pertimbangan yang sangat baik dan penting untuk memilih dan menentukan langkah-langkah strategis pada masa mendatang. Adapun formulasi yang sudah disusun untuk digunakan menghitung Nilai Skor Pembobotan (NSB) dari masing-masing indikator sebagai berikut:  Formulasi Nilai Skor Pembobotan Indikator (NSB): NSB = {(nxTS)+(nxKS)+(nxS)+(nxLS)+(nxSS)}/N Keterangan:  NSB : Nilai skor pembobotan indikator  TS : Tanggapan/pernyataan tidak setuju  KS : Tanggapan/pernyataan kurang setuju  S : Tanggapan/pernyataan setuju  LS : Tanggapan/pernyataan lebih setuju  SS : Tanggapan/pernyataan sangat setuju  n : Jumlah responden yang memberikan tanggapan/pernyataan  N : Jumlah seluruh responden Kriteria Bobot Nilai Bobot  TS (Tidak Setuju) :1  KS (Kurang Setuju) :2  S (Setuju) :3  LS (Lebih Setuju) :4  SS (Sangat Setuju) :5 Kriteria Hasil/Nilai Skor Pembobotan Nilai Skor  Sangat Mendorong/Mengendalikan/Strategis : > 4,20 - 5,00  Lebih Mendorong/Mengendalikan/Strategis : > 3,40 - 4,20  Cukup Mendorong/Mengendalikan/Strategis : > 2,60 - 3,40  Kurang Mendorong/Mengendalikan/Strategis : > 1,80 - 2,60  Sangat Sedikit Mendorong/Mengendalikan/Strategis : 1.00 - ≤ 1,80 5. Analisis Statistik Pengambilan Keputusan Alih Fungsi Lahan Sawah Penelitian pengendalian alih fungsi sawah memerlukan dukungan analisis data untuk pengambilan keputusan melalui Decision Support Systems Analysis (DSS) berbasis statistika. Tersedia banyak pilihan alat analisis DSS, antara lain Analysis Hirarkhy Proces (AHP), Trees Expected Value Analysis (TEV), Structural Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 94

Equation Modeling Analysis (SEM). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis statistik dengan SEM. Keputusan mengalihkan atau tidak mengalihkan fungsi sawah dipengaruhi oleh banyak faktor pendorong utama antara lain variabel kebijakan, aksesibilitas, lokasi tanah, infrastruktur dasar, kondisi penduduk dan sosial ekonomi, dan kelembagaan. Sementara itu faktor pengendali utama alih fungsi sawah antara lain variabel kebijakan pemanfaatan ruang, kebijakan LP2B, perizinan, insentif dan disinsentif, dan regulasi kebijakan seperti pembelian lahan sawah. Dalam rangka menentukan variabel apa yang harus menjadi instrumen dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang dan pertanahan perlu dilakukan kajian kedua kelompok faktor pendorong dan faktor pengendali alih fungsi sawah tersebut. Secara matematis kedua kelompok variabel tersebut dilakukan melalui pemodelan dengan pendekatan analisis SEM (Structural Equation Modeling). Penggunaan SEM sebagai DSS mempunyai banyak manfaat dalam penentuan pilihan keputusan, antara lain: a. Memberi penjelasan fenomena yang dipelajari. b. Prediksi nilai variabel terikat berdasarkan variabel bebas (bersifat kualitatif) c. Menetapkan faktor determinan/penentu, variabel bebas mana yang berpengaruh dominan terhadap varibel terikat d. Melalui pengujian model, baik konsep yang sudah ada maupun pengembangan konsep baru Struktural Equation Modeling (SEM), adalah suatu teknik modeling statistik yang bersifat sangat cross-sectional, linear dan umum, termasuk di dalamnya analisis faktor (factor analysis), analisis jalur (path analysis), dan regresi (regression) (Narimawati & Sarwono, 2017). Sedangkan menurut Prihandini & Sunaryo, 2011, Structural Equation Modeling (SEM) merupakan metode analisis multivariat yang dapat digunakan untuk menggambarkan keterkaitan hubungan linier secara simultan antara variabel pengamatan (indikator) dan variabel yang tidak dapat diukur secara langsung (variabel laten). SEM merupakan teknik analisis multivariat yang dikembangkan guna menutupi keterbatasan yang dimiliki oleh model-model analisis sebelumnya yang telah digunakan secara luas dalam penelitian statistik, seperti model analisis regresi, analisis jalur, dan analisis faktor konfirmatori. Menurut Narimawati & Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 95

Sarwono (2017), SEM mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan regresi berganda antara lain: a. Memungkinkan adanya asumsi-asumsi yang lebih fleksibel b. Penggunaan analisis faktor penegasan (confirmatory factor analysis) untuk mengurangi kesalahan pengukuran dengan memiliki banyak indikator dalam satu variabel laten c. Daya tarik interface pemodelan grafis untuk memudahkan pengguna membaca keluaran hasil analisis d. Kemungkinan adanya pengujian model secara keseluruhan dari pada koefisien-koefisien secara sendiri-sendiri e. Kemampuan untuk menguji model-model dengan menggunakan beberapa variabel terikat f. Kemampuan untuk membuat model terhadap variabel-variabel perantara g. Kemampuan untuk membuat model gangguan kesalahan (error term) h. Kemampuan untuk menguji koefisien-koefisien diluar antara beberapa kelompok subjek i. Kemampuan untuk mengatasi data yang sulit, seperti data time series dengan kesalahan autokorelasi, data yang tidak normal, dan data yang tidak lengkap. Dalam konsep dasar SEM terdapat dua variabel utama, yaitu variabel laten (latent variable) dan variabel teramati (observe variable), sebagai berikut: a. Variabel laten (latent variable) yaitu konsep abstrak psikologi seperti sikap, intelegence dan sebagainya, dan merupakan variabel kunci dalam SEM yang menjadi perhatian, yang dapat diamati secara tidak langsung dan tidak sempurna melalui pengaruhnya terhadap variabel indikator atau variabel manifest. Terdapat dua jenis variabel laten yaitu variabel eksogen (independen) dan endogen (dependen), yang keduanya dapat dibedakan berdasarkan kedudukan sebagai variabel dependen atau bukan dependen di dalam suatu model persamaan. b. Variabel teramati (observe variable), merupakan konsep abstrak yang langsung dapat diukur, yang digunakan untuk membentuk variabel laten yang diwujudkan dalam pertanyaan skala Likert. Variabel ini untuk membentuk variabel laten eksogen diberi simbol X, sedangkan variabel laten endogen dengan simbol Y. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 96

Adapun beberapa asumsi yang diperlukan dalam SEM diantaranya adalah: a. Hubungan antar variabel bersifat linier, adaptif, dan normal. b. Hubungan kausal satu arah. c. Variabel terikat berskala interval atau rasio. d. Menggunakan probability sampling e. Observed variables diukur dengan valid dan reliable f. Model dispesifikasikan dengan benar berdasar teori dan konsep yang relevan Model Dasar Analisis SEM untuk Pengendalian Alih Fungsi Sawah Model dasar Structural Equation Modeling (SEM) dapat digambarkan pada Gambar 3.1. Faktor pendorong utama alih fungsi lahan sawah difokuskan pada variabel kebijakan, aksesibilitas, lokasi tanah, infrastruktur dasar, kondisi penduduk dan sosial ekonomi, dan kelembagaan. Sedangkan faktor pengendali utama alih fungsi sawah difokuskan pada variabel kebijakan pemanfaatan ruang, kebijakan LP2B, perizinan, insentif dan disinsentif, dan regulasi kebijakan seperti pembelian lahan sawah. Faktor pendorong dan pengendali itu merupakan variabel laten (laten variable). Aspek Keputusan Pendorong Alih Fungsi Sawah Aspek Pengendali Gambar 3.1: Model Dasar Struktural Pengendalian Alih Fungsi Sawah Berdasarkan beberapa indikator di atas, maka model variabelnya dapat di kembangkan seperti Gambar 3.2 berikut. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 97

Pengembangan Model €1 X1 Aspek res Y1 €y1 €2 X2 Pendorong Y2 €y2 €3 X3 Keputusan Y3 €y3 €4 X4 (Xi) Alih Fungsi €5 X5 Sawah (Yi) €6 X6 Aspek €7 X7 Pengendali €8 X8 (Xi) €9 X9 €10 X10 €11 X11 €12 X12 €13 X13 €14 X14 Gambar 3.2: Model Struktural Lengkap Untuk Pengendalian Alih Fungsi Sawah Keterangan: 1. Variabel Independen (Eksogen): a. Xi = Faktor pendorong X1 s/d X7 = Variabel teramati (observe variable) dari faktor pendorong b. Xi = Faktor pengendali X8 s/d X14 = Variabel teramati (observe variable) dari faktor pengendali 2. Variabel Dependen (Endogen): Y = Keputusan alih fungsi sawah Y1 s/d Y3 = Variabel teramati (observe variable) dari keputusan alih fungsi sawah 3. Kesalahan (Error): €1 s/d €7 = Error variabel dari faktor pendorong €8 s/d €14 = Error variabel dari faktor pengendali €1... €n = Error variabel dari keputusan alih fungsi sawah res = Error residu Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 98

Tabel 3.4: Variabel Laten dan Variabel Observasi/Indikator Penelitian Variabel Laten Variabel Observasi Variabel Independen (Eksogen) Indikator Faktor 1. Kebijakan Lahan Baku Sawah Luas baku sawah belum ditetapkan (X1) Pendorong 2. Aksesibilitas Ketersediaan/jarak dengan jalan utama/raya (X2) (Xi) 3. Lokasi Tanah (Land Location) Jarak lokasi sawah (land location) dengan permukiman/perdagangan/industri/jasa (X3) 4. Infrastruktur Pengairan Sawah beririgasi non teknis (X4) 5. Kondisi Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk (X5) 6. Kondisi Sosek Sawah berpenduduk miskin (X6) 7. Kelembagaan Pertanahan Tanah sawah belum bersertipikat (X7) Faktor 1. RTRW/RDTR/Zonasi Pemanfaatan ruang sesuai RTRW/RDTR/Zonasi(X8) Penetapan RRTR/RDTR/Zonasi sawah (X9) Pengendali 2. RRTR/RDTR/Zonasi Penetapan peta LP2B (X10) (Xi) 3. LP2B 4. Perizinan Pemberian perizinan di kawasan tanah sawah (X11) 5. Insentif Pemberian insentif saprodi usahatani sawah (X12) 6. Disinsentif Pengenaan disinsentif land tax tinggi terhadap alih 7. Regulasi Kebijakan fungsi sawah (X13) Pembelian tanah sawah oleh Pemerintah/Pemda yang sudah ditetapkan dalam RDTR/LP2B (X14) Variabel Dependen (Endogen) Keputusan 1. Penguasaan/Pemilikan Sawah Luas penguasaan/pemilikan sawah yg sempit (Y1) Alih Fungsi 2. Nilai Produksi/Land Rent Nilai produksi/land rent sawah yang rendah (Y2) Sawah (Y) 3. Profesi Petani Profesi petani bukan pilihan/tidak menarik (Y3) 6. Metode Analisis Spasial Penelitian ini juga menggunakan pendekatan dengan metode analisis keruangan (Spatial Analysis Approach). Analisis keruangan (spasial) mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting, yaitu dengan harus memperhatikan penyebaran penggunaan ruang yang telah ada, dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk pelbagai kegunaan yang dirancang (Bintarto dan Hadisumarno, 1982). Analisis spasial digunakan untuk mengkaji perubahan pola penggunaan tanah dan pola persebaran alih fungsi lahan sawah. Dengan melakukan analisis data kuantitatif dan kualitatif yang diperlukan dalam analisis ini akan diketahui pola persebaran alih fungsi lahan sawah beserta dampaknya. Untuk mengetahui pola perkembangan persebaran alih fungsi lahan sawah yang merupakan ekses dari pembangunan skala besar maupun kecil, dalam penelitian ini dilihat dari luasan alih fungsi lahan sawah dan persebarannya per kecamatan di kabupaten sampel. Selanjutnya, untuk melihat apakah terdapat konsentrasi relatif dari alih fungsi lahan sawah tersebut di daerah penelitian, maka Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 99

dalam kajian ini digunakan analisis dengan mentransformasi konsep Metode Kuosien Lokasi (Location Quotient Method/LQ). Konsep LQ tersebut banyak digunakan para peneliti untuk mengetahui daerah basis atau bukan basis dari suatu kegiatan ekonomi, seperti yang pernah dilakukan Kartono (1987) dalam menentukan usaha industri termasuk kegiatan basis atau bukan basis. Formulasi dan satuan unit analisis yang digunakan sebagai berikut:  Rumus: LQij = ((Xij / Xi. ) / (X.j /X..)) Keterangan LQij = Nilai LQ alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah unit analisis penelitian (j), misalnya kecamatan, kabupaten/kota dan/atau provinsi Xij = Luas alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah unit analisis penelitian (j) (Ha), misalnya kecamatan, kabupaten/kota dan/atau provinsi Xi. = Total luas lahan pertanian sawah (i) di daerah unit analisis penelitian (j) (Ha), misalnya kecamatan, kabupaten/kota dan/atau provinsi X.j = Total luas alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian yang lebih luas (Ha), misalnya kabupaten/kota dan/atau provinsi X.. = Total luas lahan pertanian sawah di daerah penelitian yang lebih luas (Ha), misalnya kabupaten dan/atau provinsi Daerah yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kecamatan dan kabupaten/kota, dimana daerah penelitian yang lebih luasnya adalah kabupaten untuk kecamatan, dan provinsi untuk kabupaten/kota. Berdasarkan hasil perhitungan nilai LQij tersebut, kemudian diinterpretasikan seperti pada Tabel 3.5 berikut ini. Tabel 3.5: Hasil Perhitungan Nilai LQij No. Nilai LQij Interpretasi 1. LQij > 1 Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi relatif alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian (j) dibandingkan dengan total alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian yang lebih luas (kabupaten atau provinsi) 2. LQij = 1 Nilai ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian (j) relatif sama rata dengan total alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian yang lebih luas (kabupaten atau provinsi) 3. LQij < 1 Nilai ini menunjukkan bahwa tidak terdapat konsentrasi relatif alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian (j) dibandingkan dengan total alih fungsi lahan pertanian sawah (i) di daerah penelitian yang lebih luas (kabupaten atau provinsi) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 100

7. Strategi Kebijakan Dalam Upaya Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Tujuan-3: Mengkaji dan merumuskan strategi kebijakan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan sawah melalui instrumen pencegahan pemanfaatan ruang, seperti RDTR, perizinan, dan pemberian insentif/disinsentif Untuk menjawab Tujuan-3, menggunakan analisis statistik berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif terhadap berbagai faktor/variabel yang berpengaruh dalam instrumen peraturan zonasi atau kebijakan lainnya, perizinan, dan pemberian insentif/disinsentif pada lahan sawah. Selanjutnya, hasil pengolahan dan analisis data tersebut dimanfaatkan untuk menyusun perumusan strategi dalam upaya-upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah dari aspek pencegahan dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, sehingga dapat dijadikan langkah penting untuk menentukan kebijakan apa yang harus diambil oleh pemerintah guna mengatasi berbagai permasalahan dalam mengendalikan lahan sawah. E. Definisi Operasional 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tanah adalah ruang permukaan bumi sebagai medium atau tempat berlangsungnya suatu kegiatan 3. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang 4. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang 5. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang 6. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang 7. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 101

8. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya 9. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang 10. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya 11. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, melalui penetapan peraturan zonasi/RDTR, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. 12. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang terbagi 2 aspek: a) aspek pencegahan pemanfaatan ruang yang bersifat preventif melalui peraturan zonasi/RDTR, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, dan b) aspek penertiban pemanfaatan ruang yang bersifat kuratif dengan menerapkan pengenaan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, maupun sanksi pidana terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang 13. Alih fungsi lahan sawah adalah perubahan lahan sawah menjadi bukan lahan sawah baik secara tetap maupun sementara 14. Pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah serangkaian kegiatan melalui instrumen pengendalian pemanfaatan ruang 15. Pencegahan alih fungsi lahan sawah adalah serangkaian kegiatan melalui instrumen pencegahan pemanfaatan ruang, baik peraturan zonasi/RDTR, perizinan, pemberian insentif maupun disinsentif 16. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang 17. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan 18. Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang 19. Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 102

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Luas dan Wilayah Administrasi Hasil penelitian yang dilaksanakan di lima provinsi dan lima kabupaten sampel menunjukkan adanya keragaman luas dan wilayah administrasi pemerintahan yang ditampilkan pada Tabel 4.1. Pada tataran provinsi sampel terdapat tiga wilayah provinsi sampel yang luasnya relatif hampir sama, yaitu Provinsi Jawa Barat seluas ± 26.72 % dari luas total wilayah sampel, Provinsi Lampung (± 26.15 %) dan Provinsi Jawa Tengah (±.24.84 %). Sementara dua wilayah provinsi sampel lainnya, lebih kecil luasnya, yaitu Provinsi NTB (± 15.20 %) dan Provinsi Banten (± 7.10 %). Keragaman luas wilayah provinsi sampel itu sejalan dengan jumlah wilayah administrasi pemerintahan kabupaten, kecamatan dan wilayah desa/kelurahan. Pada tataran kabupaten sampel, terdapat satu kabupaten sampel yang paling luas wilayahnya, yaitu Kabupaten Lampung Tengah seluas ± 47.35 % dari luas total wilayah sampel. Sedangkan 4 kabupaten sampel lainnya, dengan luas wilayah antara ± 8.87 % luas total wilayah sampel (Kabupaten Demak) sampai dengan ± 17.33 % (Kabupaten Karawang). Sementara itu, jumlah wilayah administrasi pemerintahan kecamatan dan wilayah desa/kelurahan yang terbanyak adalah Kabupaten Lampung Tengah dan paling sedikit di Kabupaten Demak. Tabel 4.1: Luas dan Wilayah Administrasi Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018-2019 No. Lokasi Sampel Luas Wilayah Jumlah Wilayah Administrasi A. Provinsi Sampel Ha % Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan 1 Prov. Banten 2 Prov. Jawa Barat Wil % Wil % Wil % 3 Prov. Jawa Tengah 4 Prov. Lampung 939,599 7.10 8 8.42 155 9.10 1,512 7.70 5 Prov. NTB 3,537,776 26.72 27 28.42 627 36.82 5,957 30.33 3,288,814 24.84 35 36.84 576 33.82 8,562 43.59 Jumlah 3,462,380 26.15 15 15.79 228 13.39 2,469 12.57 2,012,448 15.20 10 10.53 117 6.87 1,143 5.82 13,241,017 100.00 95 100.00 1,703 100.00 19,643 100.00 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 146,735 14.50 - - 29 25.66 326 23.52 2 Kab. Karawang 175,327 17.33 - - 30 26.55 309 22.29 3 Kab. Demak 89,743 8.87 - - 14 12.39 249 17.97 4 Kab. Lampung Tengah 478,983 47.35 - - 28 24.78 363 26.19 5 Kab. Lombok Tengah 120,839 11.95 - - 12 10.62 139 10.03 Jumlah 1,011,627 100.00 - - 113 100.00 1,386 100.00 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi Jabar Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 103

2. Perkembangan Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di lokasi sampel selama kurun waktu 5 tahun (2014-2018) berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari masing-masing Provinsi Dalam Angka Tahun 2015 hingga Tahun 2019 tergambar dalam Tabel 4.2. Dari 5 provinsi sampel tersebut, rata-rata laju pertumbuhan penduduknya adalah sebesar ± 1.47 %/tahun dengan tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2018 mencapai 8.32 jiwa/Ha atau 832 jiwa/Km2. Berdasarkan data BPS Provinsi Dalam Angka Tahun 2015 dan Tahun 2019, jumlah penduduk tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat, yaitu mencapai 46.03 juta (2014) dan meningkat menjadi 49.32 juta (2018) dengan rata-rata laju peningkatan 1.79 %/tahun, di mana tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2018 sekitar 13.94 jiwa/Ha atau 1,394 jiwa/Km2 Sementara itu, dari 5 kabupaten sampel, berdasarkan data BPS Kabupaten Dalam Angka Tahun 2015 dan Tahun 2019, menunjukan bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar ± 0.99 %/tahun dengan tingkat kepadatan penduduk tahun 2018 mencapai ± 7.14 jiwa/Ha atau ± 714 jiwa/Km2. Selama kurun waktu itu, jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kabupaten Karawang sebanyak ± 2.25 juta (2014) dan meningkat menjadi 2.36 juta (2018), dengan rata-rata laju peningkatan ± 1.15 %/tahun, di mana tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2018 sekitar ± 13.43 jiwa/Ha atau ± 1,343 jiwa/Km2. Tabel 4.2: Perkembangan Penduduk di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2014-2018 Luas Penduduk Wilayah No. Lokasi Sampel 2014 2018 Rata2 Laju Kepadatan Ha 2014-2018 2018 A. Provinsi Sampel Jiwa 1 Prov. Banten Jiwa %/Thn Jiwa/Ha 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah 939,599 11,704,877 12,689,736 2.10 13.51 4 Prov. Lampung 3,537,776 46,029,668 49,316,720 1.79 13.94 5 Prov. NTB 3,288,814 33,522,663 34,718,204 0.89 10.56 3,462,380 8,026,191 8,447,740 1.31 2.42 Jumlah 2,012,448 4,773,795 5,013,687 1.26 2.49 13,241,017 104,057,194 110,186,087 1.47 8.32 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 146,735 1,463,094 1,501,501 0.66 10.23 2 Kab. Karawang 175,327 2,250,120 2,353,920 1.15 13.43 3 Kab. Demak 89,743 1,106,328 1,158,772 1.19 12.91 4 Kab. Lampung Tengah 478,983 1,227,185 1,271,566 0.90 2.65 5 Kab. Lombok Tengah 120,839 903,432 939,409 1.00 7.77 Jumlah 1,011,627 6,950,159 7,225,168 0.99 7.14 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi Jabar Dalam Angka Tahun 2015-2019/2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 104

3. Lapangan Kerja Utama Penduduk Berdasarkan Tabel 4.3, pada tahun 2019 secara umum 3 jenis lapangan kerja utama bagi pekerja di provinsi sampel yang tertinggi adalah sektor jasa sebanyak ± 49.62 %, kemudian diikuti sektor industri (± 31.57 %), dan sektor pertanian ± 20.26 %. Sedangkan di kabupaten sampel yang paling tinggi juga sektor jasa sebanyak ± 41.50 %, kemudian diikuti sektor industri (± 31.12 %), dan sektor pertanian ± 26.93 %. Pada tingkat provinsi sampel, lapangan kerja utama di sektor pertanian yang masih dominan terdapat di Provinsi Lampung (± 40.50 % pekerja) dan Provinsi NT8 (± 48.40 %). Di dua provinsi ini, lapangan kerja berikutnya adalah sektor jasa, dengan serapan tenaga kerja di Provinsi Lampung (± 40.95 %) dan Provinsi NTB (± 34.03 %). Sementara itu di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah, didominasi oleh sektor jasa, yaitu masing-masing untuk Provinsi Banten (± 49.11%), Jawa Barat (± 56.56 %) dan Jawa Tengah (± 44.39 %). Sedangkan sektor pertanian relatif kecil, dengan serapan tenaga kerja masing- masing untuk Provinsi Banten (± 14.55 %), Jawa Barat (± 13.25 %) dan Jawa Tengah (± 23.48 %). Pada tingkat kabupaten sampel, lapangan kerja utama di sektor pertanian masih dominan di Kabupaten Lampung Tengah (± 43.61 % pekerja) dan Kabupaten Lombok Tengah (± 49.17 %). Di dua kabupaten ini, lapangan kerja berikutnya adalah sektor jasa dan perdagangan dengan serapan tenaga kerja di Kabupaten Lampung Tengah sekitar ± 32.90 % dan di kabupaten Lombok Tengah sebanyak ± 27.85 %. Sementara itu di Kabupaten Serang, didominasi sektor industri dengan serapan ± 38.96 % pekerja. Sedangkan di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Demak, didominasi sektor jasa, masing-masing untuk Kabupaten Karawang ± 55.47% pekerja dan Kabupaten Demak sebesar ± 40.23 % pekerja. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 105

Tabel 4.3: Lapangan Kerja Utama Penduduk di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018-2019 No. Lokasi Sampel Lapangan Kerja Utama A. Provinsi Sampel Pertanian Industri Jasa/Dagang/dsb Jumlah 1 Prov. Banten 2 Prov. Jawa Barat Orang % Orang % Orang % Orang % 3 Prov. Jawa Tengah 4 Prov. Lampung 686,063 14.55 1,713,839 36.34 2,315,590 49.11 4,715,492 100.00 5 Prov. NTB 2,901,981 13.25 6,612,384 30.19 12,388,593 56.56 21,902,958 100.00 4,094,675 23.48 5,603,718 32.13 7,742,760 44.39 17,441,153 100.00 Jumlah 1,651,601 40.50 756,375 18.55 1,669,954 40.95 4,077,930 100.00 48.40 261,827 17.57 507,211 34.03 1,490,321 100.00 721,283 20.26 14,948,143 30.12 24,624,108 49.62 49,627,854 100.00 10,055,603 B. Kabupaten Sampel 137,932 23.99 223,959 38.96 212,988 37.05 574,879 100.00 1 Kab. Serang 129,782 12.81 321,558 31.73 562,132 55.47 1,013,472 100.00 2 Kab. Karawang 114,923 20.67 217,403 39.10 223,687 40.23 3 Kab. Demak 288,927 43.61 155,647 23.49 217,965 32.90 556,013 100.00 4 Kab. Lampung Tengah 186,465 49.17 87,163 22.98 105,626 27.85 662,539 100.00 5 Kab. Lombok Tengah 858,029 26.93 1,005,730 31.57 1,322,398 41.50 379,254 100.00 3,186,157 100.00 Jumlah Sumber: BPS, masing-masing Provinsi Jabar Dalam Angka Tahun 2015-2019/2020, diolah 4. Rumah Tangga Dengan Usahatani Utama Komoditas Padi Usaha padi sawah masih menjadi pilihan utama para petani di wilayah provinsi dan kabupaten sampel. Hal ini ditunjukkan dari Hasil Survey Pertanian Antar Sensus Provinsi 2018 pada Tabel 4.4. Jumlah rumah tangga pertanian pada tingkat provinsi sampel, yang tinggi adalah di Provinsi Jawa Tengah (± 48.11 %) dan Provinsi Lampung (± 29.31 %) dari dari jumlah rumah tangga. Namun dari jumlah rumah tangga pertanian itu, jumlah rumah tangga yang mengusahakan tanaman pangan secara persentase relatif sama, yaitu antara sekitar ± 53.86 % (Provinsi Jawa Tengah) sampai dengan ± 78.55 % (Provinsi Jawa Barat). Kecuali Provinsi Lampung, hampir seluruh provinsi sampel sebagian besar rumah tangga pertanian pangan mengusahakan komoditas padi. Demikian pula pada tingkat kabupaten sampel, kecuali Kabupaten Lampung Tengah, usaha tani tanaman pangan masih didominasi dengan pilihan utama komoditas padi. Rincian selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.4.berikut. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 106

Tabel 4.4: Jumlah Rumah Tangga dengan Usahatani Utama Pertanian dan Komoditas Padi di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018 No. Lokasi Sampel Rumah Tangga Jumlah Rumah Tangga (RT) RT Usahatani KK % Rumah Tangga RT Usahatani Padi Sawah A. Provinsi Sampel KK % 1 Prov. Banten Pertanian Tanaman Pangan 2 Prov. Jawa Barat KK % KK % 3 Prov. Jawa Tengah 4 Prov. Lampung 3,112,899 9.87 704,063 22.62 432,594 61.44 417,957 96.62 5 Prov. NTB 13,075,231 41.44 3,250,825 24.86 2,553,509 78.55 1,982,861 77.65 9,309,111 29.50 4,469,728 48.01 2,407,516 53.86 2,020,630 83.93 Jumlah 4,734,144 15.00 1,340,285 28.31 891,059 66.48 511,067 57.36 1,322,319 4.19 666,375 50.39 479,403 71.94 413,862 86.33 31,553,704 100.00 10,431,276 33.06 6,764,081 64.84 5,346,377 79.04 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 343,844 13.51 137,932 40.11 82,797 60.03 79,425 95.93 116,509 90.64 76,459 65.62 2 Kab. Karawang 629,637 24.74 128,539 20.41 85,203 73.96 78,555 92.20 268,511 95.73 140,986 52.51 3 Kab. Demak 308,171 12.11 115,209 37.38 125,930 75.22 122,112 96.97 678,950 81.84 497,537 73.28 4 Kab. Lampung Tengah 974,495 38.29 280,474 28.78 5 Kab. Lombok Tengah 288,786 11.35 167,410 57.97 Jumlah 2,544,933 100.00 829,564 32.60 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah BPS, Hasil Survey Pertanian Antar Sensus Tahun 2018, diolah 5. Penggunaan Tanah Pertanian Penggunaan tanah pertanian sawah dan tanah kering masih cukup tinggi di lima provinsi sampel, yaitu dengan cakupan keseluruhan sekitar ± 37.65 % luas wilayah provinsi sampel. Terdapat tiga wilayah yang tanah pertaniannya terluas, yaitu Provinsi Jawa Barat, ± 1.57 juta hektar atau ± 44.48 % dari luas wilayahnya, Provinsi Jawa Tengah sekitar 1.26 juta hektar (± 38.25 %) dan Provinsi Lampung seluas ± 1.16 juta hektar (± 29.89 %). Secara umum penggunaan tanah pertanian sawah dan tanah kering di lima kabupaten sampel, juga masih cukup tinggi, yaitu dengan cakupan keseluruhan sekitar 54.01 % dari luas wilayah kabupaten sampel. Terdapat dua kabupaten sampel dengan luasan sawahnya yang cukup tinggi, yaitu Kabupaten Karawang, dengan luas ± 0.107 juta hektar atau ± 61.14 % dan Kabupaten Lampung Tengah seluas ± 0.215 juta hektar (± 44.80 %). Pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk provinsi dan kabupaten sampel di Pulau Jawa, penggunaan lahan non pertanian umumnya berupa permukiman, industri dan jasa/perdagangan. Sedangkan di luar Jawa umumnya berupa hutan dan alang-alang. Secara terinci data luas penggunaan lahan pertanian di Provinsi/Kabupaten sampel pada Tahun 2018 selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.5 berikut. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 107

Tabel 4.5: Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018 Luas Luas Lahan Pertanian Luas Lahan Wilayah Non Pertanian No. Lokasi Sampel Lahan Sawah Lahan Kering Ha dsb A. Provinsi Sampel Irigasi (Teknis & (Tegalan, Ladang Jumlah 1 Prov. Banten Ha % Ha % 2 Prov. Jawa Barat Non Teknis) dsb) 3 Prov. Jawa Tengah 4 Prov. Lampung Ha % Ha % 5 Prov. NTB 939,599 196,285 20.89 192,758 20.51 389,043 41.41 550,556 58.59 Jumlah 3,537,776 898,711 25.40 674,846 19.08 1,573,557 44.48 1,964,219 55.52 3,288,814 979,563 29.78 278,303 8.46 1,257,866 38.25 2,030,948 61.75 3,462,380 406,379 11.74 757,223 21.87 1,163,602 33.61 2,298,778 66.39 2,012,448 278,099 13.82 323,497 16.07 601,596 29.89 1,410,852 70.11 13,241,017 2,759,037 20.84 2,226,627 16.82 4,985,664 37.65 8,255,353 62.35 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 146,735 47,574 32.42 26,562 18.10 74,136 50.52 72,599 49.48 107,194 61.14 68,133 38.86 2 Kab. Karawang 175,327 95,016 54.19 12,178 6.95 73,370 81.76 16,373 18.24 214,571 44.80 264,412 55.20 3 Kab. Demak 89,743 52,315 58.29 21,055 23.46 77,095 63.80 43,744 36.20 546,366 54.01 465,261 45.99 4 Kab. Lampung Tengah 478,983 78,239 16.33 136,332 28.46 5 Kab. Lombok Tengah 120,839 54,517 45.12 22,578 18.68 Jumlah 1,011,627 327,661 32.39 218,705 21.62 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah 6. Perubahan Luas Lahan Sawah Tahun 2014-2018 Dalam kurun waktu lima tahun (2014-2018) secara umum telah terjadi perubahan luas lahan sawah di seluruh provinsi sampel, baik yang mengalami penurunan maupun penambahannya. Perubahan luas lahan sawah tersebut berdasarkan data BPS dari masing-masing Provinsi Dalam Angka Tahun 2015 hingga Tahun 2019 secara terinci tergambar pada Tabel 4.6, Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3 dan Lampiran 4. Penurunan areal sawah selama periode tahun 2014 sampai tahun 2018 di Jawa yang tertinggi di wilayah Provinsi Jawa Barat sebesar ± 1.01 %/tahun, dan terendah di wilayah Provinsi Jawa Tengah sekitar ± 0.32 %/tahun, serta untuk wilayah Provinsi Banten mencapai seluas ± 0.67 %/tahun. Untuk provinsi sampel di Luar Jawa, dalam kurun waktu tahun 2014 sampai tahun 2018, di wilayah Provinsi Lampung terjadi peningkatan areal sawah dengan laju rata-rata seluas ± 1.49 %/tahun. Sedangkan di Provinsi NTB peningkatan areal sawahnya mencapai laju rata-rata seluas ± 2.13 %/tahun Perkembangan luas sawah tahun 2014 s/d 2019 di setiap kabupaten/kota di wilayah provinsi sampel disertakan dengan Lampiran 1, dapat diuraikan secara ringkas singkat sebagai berikut: a. Untuk Provinsi Banten, luas sawah pada tahun 2014 sebesar 201,676 hektar telah menyusut menjadi 196.285 hektar tahun 2018, namun dalam Kepmen ATR/Ka BPN No. 686 Tahun 2019 ditetapkan seluas 204,335 hektar. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 108

Dari 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten terdapat 7 kabupaten/kota yang mengalami penurunan lahan sawah selama periode 2014 s/d 2018, kemudian ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi lebih tinggi dibanding luas pada tahun 2018. b. Untuk Provinsi Jawa Barat, luas sawah pada tahun 2014 sebesar 936,529 hektar telah menyusut menjadi 898,711 hektar tahun 2018, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 928,218 hektar. Dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat terdapat 24 kabupaten/kota yang mengalami penurunan lahan sawah selama periode 2014 s/d 2018, kemudian ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi lebih tinggi dibanding luas pada tahun 2018. c. Untuk Provinsi Jawa Tengah, luas sawah pada tahun 2014 sebesar 992,189 hektar telah menyusut menjadi 979,563 hektar di tahun 2018 kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 1,049,660 hektar. Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah terdapat 30 kabupaten/kota yang mengalami penurunan lahan sawah selama periode 2014 s/d 2018, kemudian ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi lebih tinggi dibanding luas pada tahun 2018. d. Untuk Provinsi Lampung, luas sawah di tahun 2014 sebesar 383,737 hektar telah meningkat menjadi 406,379 hektar di tahun 2018 kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 361,699 hektar. Dari 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung, seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan lahan sawah selama periode 2014 s/d 2018, kemudian ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi lebih rendah dibanding luas pada tahun 2018. e. Untuk Provinsi NTB, luas sawah di tahun 2014 sebesar 256,229 hektar telah meningkat menjadi 278,099 hektar di tahun 2018 kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 234,542 hektar. Dari 10 kabupaten/kota di Provinsi NTB seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan lahan sawah selama periode 2014 s/d 2018, kemudian ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi lebih rendah dibanding luas pada tahun 2018. Sementara itu, perkembangan luas sawah tahun 2014 s/d 2019 di setiap kecamatan di wilayah kabupaten sampel disertakan dengan Lampiran 2, dapat diuraikan secara ringkas singkat sebagai berikut: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 109

a. Di Kabupaten Serang pada tahun 2014, luas lahan sawah sebesar 49,416 hektar, dan tahun 2018 menjadi 47,574 hektar, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 49,463 hektar. b. Di Kabupaten Karawang pada tahun 2014, luas lahan sawah sebesar 97,577 hektar, pada tahun 2018 menjadi 95,016 hektar, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 101,962 hektar. c. Di Kabupaten Demak pada tahun 2014, luas lahan sawah sebesar 51,558 hektar, pada tahun 2018 menjadi 52,315 hektar, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 59,379 hektar. d. Di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2014, luas lahan sawah sebesar 76,887 hektar, pada tahun 2018 bertambah menjadi 78,239 hektar, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 79,664 hektar. e. Di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2014, Luas lahan sawah sebesar 54,296 hektar, pada tahun 2018 bertambah menjadi 54,517 hektar, kemudian ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 menjadi 50,282 hektar Tabel 4.6: Perubahan Luas Lahan Sawah di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2014-2018 Luas Lahan Sawah No. Lokasi Sampel 2014 2015 2016 2017 2018 Perubahan 2014-2018 A. Provinsi Sampel 1 Prov. Banten Ha Ha Ha Ha Ha Ha/Thn %/Thn 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah 201,676 201,270 204,539 203,182 196,285 (1,347.65) (0.67) 4 Prov. Lampung 936,529 929,094 916,170 912,218 898,711 (9,454.50) (1.01) 5 Prov. NTB 992,189 968,059 965,892 965,892 979,563 (3,156.50) (0.32) 383,737 392,726 399,597 408,332 406,379 Jumlah 256,229 266,478 278,011 278,011 278,099 5,660.50 1.48 2,770,360 2,757,627 2,764,209 2,767,635 2,759,037 5,467.50 2.13 (2,830.65) (0.10) B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 49,416 48,925 48,011 48,001 47,574 (460.45) (0.93) 95,016 (640.25) (0.66) 2 Kab. Karawang 97,577 96,482 95,906 95,536 52,315 78,239 189.25 0.37 3 Kab. Demak 51,558 51,799 52,178 52,178 54,517 338.00 0.44 327,661 55.25 0.10 4 Kab. Lampung Tengah 76,887 83,162 80,814 82,192 (518.20) (0.16) 5 Kab. Lombok Tengah 54,296 54,336 54,385 54,385 Jumlah 329,734 334,704 331,294 332,292 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah 7. Produksi Tanaman Pangan Komoditas Padi Merujuk butir 4 dan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa hampir seluruh provinsi sampel sebagian besar rumah tangga pertanian pangan mengusahakan komoditas padi. Demikian pula pada tingkat kabupaten sampel, kecuali Kabupaten Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 110

Lampung Tengah yang paling sedikit, di mana usaha tani tanaman pangan masih didominasi dengan pilihan utama komoditas padi. Selanjutnya pada Tabel 4.7 berikut ini menunjukkan bahwa luas panen padi sawah di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing mencapai sekitar 1.57 juta hektar dan 1.68 juta hektar dengan cakupan kedua provinsi sebesar 62.35 % total luas sawah di provinsi sampel. Jumlah produksi padi sawah di dua provinsi tersebut dengan produktivitas sekitar 5.75 ton/hektar adalah sekitar 18.74 juta ton GKG atau sekitar 75 % produksi di lima provinsi sampel. Dengan tanaman padi 2 X setahun, Intensitas penggunaan lahan sawah di tiga provinsi wilayah Jawa sebesar 171 % s/d 175 %. Sementara itu, untuk tingkat kabupaten sampel, menunjukkan bahwa luas panen padi sawah di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Demak masing-masing mencapai sekitar 0.186 dan 0.107 juta hektar. Cakupan kedua kabupaten itu adalah sebesar 52.47 % total luas sawah di kabupaten sampel. Jumlah produksi padi sawah di dua provinsi dengan produktivitas sekitar 6.13 ton/hektar adalah sekitar 1.77 juta ton GKG atau sekitar 57.34 % produksi di lima kabupaten sampel. Dengan tanaman padi 2 X setahun, intensitas penggunaan lahan sawah di dua kabupaten sampel sebesar 200 %. Rincian lebih lanjut tentang luas panen dan produksi padi sawah, disajikan pada Tabel 4.7 berikut. Tabel 4.7: Luas Lahan, Luas Panen, Produksi, Produktivitas dan Intensitas Penggunaan Tanah Sawah di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018 No. Lokasi Sampel Luas Luas Lahan Luas Panen Jumlah Produksi Produk- Intensitas Wilayah Sawah Padi Sawah Padi Sawah tivitas Penggu- A. Provinsi Sampel Padi 1 Prov. Banten Ha % Ha % Ha % Sawah naan 2 Prov. Jawa Barat Lahan 3 Prov. Jawa Tengah Sawah 4 Prov. Lampung 5 Prov. NTB Ton GKG % Ton/Ha %/Tahun Jumlah 939,599 7.10 196,285 7.11 334,839 7.44 1,642,996 6.59 4.91 170.59 3,537,776 26.72 898,711 32.57 1,578,836 35.07 9,084,957 36.43 5.75 175.68 3,288,814 24.84 979,563 35.50 1,678,479 37.28 9,656,291 38.73 5.75 171.35 3,462,380 26.15 406,379 14.73 464,103 10.31 2,164,114 8.68 4.66 114.20 2,012,448 15.20 278,099 10.08 446,257 9.91 2,386,930 9.57 5.35 160.47 13,241,017 100.00 2,759,037 100.00 4,502,514 100.00 24,935,288 100.00 5.54 163.19 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 146,735 14.50 47,574 14.52 79,459 14.26 419,228 13.48 5.28 167.02 2 Kab. Karawang 175,327 17.33 95,016 29.00 185,807 33.34 1,117,814 35.93 6.02 195.55 3 Kab. Demak 89,743 8.87 52,315 15.97 106,630 19.13 666,115 21.41 6.25 203.82 4 Kab. Lampung Tengah 478,983 47.35 78,239 23.88 98,254 17.63 455,213 14.63 4.63 125.58 5 Kab. Lombok Tengah 120,839 11.95 54,517 16.64 87,211 15.65 452,451 14.54 5.19 159.97 Jumlah 1,011,627 100.00 327,661 100.00 557,361 100.00 3,110,820 100.00 5.58 170.10 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 111

8. Pendapatan Regional dan Pendapatan per Kapita Perkembangan ekonomi wilayah dalam penelitian ini didekati dengan indikator. Besaran nilai Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 (PDRB-ADHK) dan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2018 (PDRB-ADHB), serta PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan maupun Atas Dasar Harga Berlaku. Hasil pengolahan data PD di provinsi dan kabupaten sampel ditampilkan pada Tabel 4.8. Untuk tingkat provinsi sampel PDRB-ADHB tertinggi adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar Rp 2,125 Trilyun dan PDRB-ADHK sekitar Rp 1,492 Trilyun, sedangkan yang terendah adalah Provinsi NTB yaitu sekitar Rp 124 Trilyun dan PDRB-ADHK sekitar Rp 90 Trilyun. Adapun PDRB/kapita-ADHB, yang tertinggi di Provinsi Banten sebesar Rp 52.40 juta, dan yang terendah di Provinsi NTB sekitar Rp 42.11 juta. Sedangkan untuk PDRB-ADHK, yang tertinggi adalah Provinsi Banten sekitar Rp 36.09 juta, dan yang terendah di Provinsi NTB sebesar Rp 18.02 juta. Walaupun PDRB Provinsi Banten jauh lebih kecil dibanding PDRB Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur, namun karena jumlah penduduknya relatif lebih sedikit, maka PDRB/kapitanya menjadi tinggi. Sementara itu, untuk PDRB tingkat kabupaten, yang tertinggi adalah Kabupaten Karawang sekitar Rp 163 Trilyun (PDRB-ADHK) dan sekitar Rp 231 Trilyun (PDRB-ADHB). Demikian pula PDRB/kapita juga di Kabupaten Karawang yang tertinggi, yaitu sekitar Rp 69.96 juta (ADHK) dan sekitar Rp 98.13 juta (ADHB). Sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Lombok Tengah, yaitu sekitar Rp 18.02 juta (ADHK) dan sekitar Rp 24.71 juta (ADHB). Meskipun jumlah penduduk di Kabupaten Karawang tinggi, namun karena PDRB-nya sangat besar, sehingga PDRB/kapitanya masih tertinggi dibanding kabupaten sampel lainnya. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 112

Tabel 4.8: Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 (PDRB ADHK), Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB), per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 (PDRB pKADHK), dan per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB pKADHB) di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018 Jumlah PDRB Provinsi/Kabupaten PDRB per Kapita Penduduk No. Lokasi Sampel Thn 2018 ADHK Th 2010 ADHB ADHK Th 2010 ADHB A. Provinsi Sampel Jiwa Rp Milyar Rp Milyar Rp Juta Rp Juta 1 Prov. Banten 2 Prov. Jawa Barat 12,689,736 458,023 664,963 36.09 52.40 3 Prov. Jawa Tengah 49,316,720 1,491,706 2,125,158 30.25 43.09 4 Prov. Lampung 34,718,204 1,362,457 28.58 39.24 5 Prov. NTB 8,370,485 992,106 29.20 43.09 5,013,687 244,437 360,664 18.02 24.71 Jumlah 110,108,832 90,323.41 123,871.70 29.76 42.11 3,276,595 4,637,114 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 1,501,501 54,404 76,944 36.23 51.24 2 Kab. Karawang 2,353,920 163,746 230,986 69.56 98.13 15.89 22.60 3 Kab. Demak 1,158,772 18,417 26,184 30.49 56.59 12.69 17.83 4 Kab. Lampung Tengah 1,271,566 38,774 71,953 39.76 58.52 5 Kab. Lombok Tengah 939,409 11,918 16,751 Jumlah 7,225,168 287,259 422,817 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Apabila diperhatikan tiga sektor utama penunjang PDRB-ADHK yang ditampilkan pada Tabel 4.9, tingginya PDRB di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah adalah berasal dari tingginya kontribusi industri pengolahan dalam PDRB, yaitu mencapai sekitar 34 s/d 42 % PDRB. Sementara itu, untuk Provinsi Lampung dan Provinsi NTB, masih didominasi sektor pertanian dengan kontribusi sekitar 28 s/d 23 % PDRB. Kecenderungan yang sama terlihat pada kontribusi sektor industri pengolahan pendukung utama PDRB-ADHB di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Seperti halnya dengan tingkat provinsi, untuk tingkat kabupaten, sektor industri pengolahan menjadi pendukung utama PDRB-ADHK di Kabupaten Serang (± 49.43 %), Kabupaten Karawang (± 71.19 %) dan Kabupaten Demak (29.80 %). Namun untuk Kabupaten Lampung Tengah kontribusi sektor industri pengolahan juga cukup tinggi, yaitu sekitar 22.62 %. Kontribusi itu relatif sama untuk PDRB- ADHB. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 113

Tabel 4.9: Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 (PDRB ADHK), dan Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) di Provinsi/Kabupaten Sampel, Tahun 2018 Lapangan Usaha Ekonomi No. Lokasi Sampel Pertanian, Industri Perdagangan Besar 14 Lapangan Jumlah Kehutanan, Pengolahan & Eceran, Reparasi Usaha Ekonomi Rp Milyar % A. Provinsi Sampel Perikanan Mobil dan Sepeda A.1 PDRB ADHK Thn 2010 Lainnya Rp Milyar % Motor 1 Prov. Banten 2 Prov. Jawa Barat Rp Milyar % Rp Milyar % Rp Milyar % 3 Prov. Jawa Tengah 4 Prov. Lampung 24,408.33 5.33 154,882.53 33.82 63,059.05 13.77 215,672.81 47.09 458,022.72 100.00 5 Prov. NTB 104,656.78 7.02 641,352.05 42.99 232,876.12 15.61 512,820.87 34.38 1,491,705.82 100.00 123,214.20 12.42 338,937.67 34.16 144,758.38 14.59 385,195.55 38.83 992,105.80 100.00 Jumlah 67,860.65 27.76 46,803.31 19.15 30,294.24 12.39 99,478.58 40.70 244,436.78 100.00 A.2 PDRB ADHB 21,187.63 23.46 4,274.24 4.73 12,771.36 14.14 52,090.18 57.67 90,323.41 100.00 341,327.59 10.42 1,186,249.80 36.20 483,759.15 14.76 1,265,257.99 38.62 3,276,594.53 100.00 1 Prov. Banten 2 Prov. Jawa Barat 37,021.57 5.57 203,405.83 30.59 85,477.70 12.85 339,058.28 50.99 664,963.38 100.00 3 Prov. Jawa Tengah 186,476.51 8.77 884,121.17 41.60 323,639.51 15.23 730,920.79 34.39 2,125,157.98 100.00 4 Prov. Lampung 184,253.01 13.52 468,992.16 34.42 187,180.91 13.74 522,031.31 38.32 1,362,457.39 100.00 5 Prov. NTB 104,444.16 28.96 71,585.34 19.85 42,377.28 11.75 142,256.84 39.44 360,663.62 100.00 28,984.76 23.40 5,108.96 4.12 17,955.05 14.49 71,822.93 57.98 123,871.70 100.00 Jumlah 541,180.01 11.67 1,633,213.46 35.22 656,630.45 14.16 1,806,090.15 38.95 4,637,114.07 100.00 B. Kabupaten Sampel B1 PDRB ADHK Thn 2010 1 Kab. Serang 4,624.91 8.50 26,890.42 49.43 5,080.43 9.34 17,808.71 32.73 54,404.47 100.00 16,537.39 10.10 25,919.68 15.83 163,745.56 100.00 2 Kab. Karawang 4,713.18 2.88 116,575.31 71.19 3,169.16 17.21 6,062.32 32.92 18,417.02 100.00 4,370.50 11.27 11,591.67 29.90 38,773.80 100.00 3 Kab. Demak 3,698.07 20.08 5,487.47 29.80 1,352.84 11.35 6,838.93 57.38 11,918.42 100.00 30,510.32 10.62 68,221.31 23.75 287,259.27 100.00 4 Kab. Lampung Tengah 14,079.88 36.31 8,731.75 22.52 5 Kab. Lombok Tengah 3,066.99 25.73 659.66 5.53 Jumlah 30,183.03 10.51 158,344.61 55.12 B2 PDRB ADHB 1 Kab. Serang 7,308.80 9.50 36,350.35 47.24 7,001.79 9.10 26,282.65 34.16 76,943.59 100.00 23,248.15 10.06 35,261.12 15.27 230,985.94 100.00 2 Kab. Karawang 9,114.84 3.95 163,361.83 70.72 4,221.22 16.12 8,266.51 31.57 26,184.07 100.00 7,364.15 10.23 22,514.66 31.29 71,952.69 100.00 3 Kab. Demak 5,621.29 21.47 8,075.05 30.84 1,918.22 11.45 9,808.43 58.56 16,750.50 100.00 43,753.53 10.35 102,133.37 24.16 422,816.79 100.00 4 Kab. Lampung Tengah 25,085.73 34.86 16,988.15 23.61 5 Kab. Lombok Tengah 4,242.71 25.33 781.14 4.66 Jumlah 51,373.37 12.15 225,556.52 53.35 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah 9. Kondisi Umum Responden Masyarakat Untuk mengetahui pendapat masyarakat terhadap alih fungsi lahan sawah serta penetapan luas lahan baku sawah telah dilakukan wawancara terhadap 263 responden petani. Jumlah responden ini jauh melebihi dari rancangan metode analisis SEM yang dipergunakan dengan syarat minimal sebanyak 178 responden pada tingkat taraf kepercayaan 7.5 % (lihat Tabel 3.3). Dengan semakin banyaknya responden tersebut, diharapkan akan semakin meningkatkan taraf kepercayaan dan mengurangi kesalahan. Adapun sebaran responden untuk masing-masing kabupaten ditampilkan pada Tabel 4.10, dengan rincian untuk Kabupaten Serang (36 responden). Kabupaten Karawang (79 responden), Kabupaten Demak (68 responden), Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 114

Kabupaten Lampung Tengah (43 responden) dan Kabupaten Lombok Tengah ( 37 responden). Rata-rata umur responden sekitar 45 tahun. Rataan tertinggi di Kabupaten Serang, yaitu sekitar 49 tahun dan rataan terendah di Kabupaten Lombok Tengah sekitar 28 tahun. Secara umum, pendidikaan responden adalah tingkat SLTP dan SLTA sebanyak ± 70.56 % dari responden. Rataan tertinggi di Kabupaten Lampung Tengah sekitar 81.40 % dan rataan terendah di Kabupaten Serang sebanyak ± 52.78 %. Adapun jumlah anggota keluarga responden, secara umum adalah sebanyak sekitar 4 anggota keluarga. Rataan tertinggi di Kabupaten Serang sekitar 5 anggota keluarga, dan rataan terendah di Kabupaten Karawang sekitar 4 anggota keluarga. Tabel 4.10: Kondisi Umum Responden Masyarakat di Kabupaten Sampel, Tahun 2020 No. Kabupaten Sampel Respon- ≤ SD Pendidikan Terakhir ≥ D4/S1 Rata2 den SLTP-SLTA D1-D3 Anggota Rata2 Keluarga Umur n Thn Jml % Jml % Jml % Jml % Jiwa/KK 1 Kab. Serang 36 48.3 14 38.89 19 52.78 1 2.78 2 5.56 4.92 2 Kab. Karawang 79 47.2 16 20.25 58 73.42 2 2.53 3 3.80 3.71 3 Kab. Demak 68 47.0 13 19.12 53 77.94 0 0.00 2 2.94 4.49 4 Kab. Lampung Tengah 43 46.1 4 9.30 35 81.40 0 0.00 4 9.30 3.93 5 Kab. Lombok Tengah 37 38.3 0 0.00 20 54.05 2 5.41 15 40.54 3.78 Jumlah 263 226.9 47 17.87 185 70.34 5 1.90 26 9.89 20.83 Rata-Rata 52.6 45.38 9.4 37 1 5.2 4.17 Sumber: Data Primer Desa Sampel, 2020, diolah B. Pengukuran dan Penentuan Angka Indeks Laju Alih Fungsi Lahan Sawah 1. Penyusunan Formulasi Pengukuran Angka Indeks Laju Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS) Angka indeks merupakan suatu ukuran statistik yang menunjukkan perubahan suatu faktor/variabel atau sekumpulan faktor/variabel yang berhubungan satu sama lain, baik pada waktu atau tempat yang sama atau berlainan, dan bersifat angka relatif yang dinyatakan dalam persentase. Biasanya untuk kesederhanaan, bentuk persentase bisa dihilangkan (Algifari, 2015). Angka indeks merupakan sebuah alat angka matematik yang diantaranya dapat digunakan untuk menyatakan tingkat laju alih fungsi sawah, luas lahan dan sebagainya dalam periode tertentu, dibandingkan dengan luas lahan baku sawah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 115

suatu periode dasar atau tahun dasar, yang nilainya dinyatakan dengan 100 % atau 100. Dengan demikian, angka indeks ini dapat dijadikan sebagai indikator yang penting untuk menentukan kebijakan apa yang harus diambil oleh pemerintah, termasuk dipergunakan untuk mengatasi permasalahan dalam pengendalian dan pencegahan alih fungsi lahan. Artinya, dengan mengetahui perkembangan alih fungsi sawah dalam suatu luasan lahan pada tahun sekarang dibandingkan luasan lahan pada tahun dasar, maka pemerintah akan dapat mengambil kebijakan untuk mengatasi/ mengendalikan alih fungsi lahan yang terlalu cepat tersebut dan/atau mengembangkan luasan lahan sawah di tempat lain sesuai kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan dan penyusunan metode dan formulasi penghitungan/pengukuran angka indeks alih fungsi lahan sawah tersebut serta implementasinya. Metode dan formulasi pengukuran angka indeks laju alih fungsi lahan sawah secara umum, terdapat 3 jenis angka indeks, yaitu angka indeks harga (price relative), angka indeks jumlah (quantity relative), dan angka indeks nilai (value relative). a. Angka indeks harga (Price Relative) Indeks harga adalah angka yang menunjukkan perubahan mengenai harga- harga barang, baik harga untuk satu macam barang maupun berbagai macam barang, dalam waktu dan tempat yang sama atau berlainan b. Angka indeks jumlah (Quantity Relative) Indeks jumlah adalah angka yang menunjukkan perubahan mengenai jumlah barang/jasa sejenis atau sekumpulan barang/jasa yang dihasilkan, digunakan, diekspor, dijual, dan sebagainya untuk waktu dan tempat yang sama ataupun berlainan c. Angka indeks nilai (Value Relative) Indeks nilai adalah angka yang dapat dipergunakan untuk mengetahui perubahan nilai mengenai barang yang sejenis atau sekumpulan barang dalam jangka waktu yang diketahui Penghitungan terhadap angka-angka indeks tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan metode yang tepat agar tujuan angka indeks yang telah ditetapkan dapat tercapai sebagai sebuah indikator/petunjuk. Pada dasarnya terdapat dua metode penghitungan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 116

angka indeks, yaitu angka indeks sederhana/relatif atau angka indeks tidak tertimbang, dan angka indeks tertimbang. a. Angka indeks sederhana/relatif atau angka indeks tidak tertimbang (simple agregative methode), yang dikenal juga dengan unweighted index karena indeksnya tanpa memperhitungkan bobot setiap barang dan jasa. Angka indeks ini dibagi dalam bentuk agregatif sederhana dengan komoditas tunggal dan agregatif relatif (agregative relative) dengan komoditas banyak. b. Angka indeks tertimbang atau dikenal juga weighted index, yaitu indeks dengan pemberian bobot yang berbeda terhadap setiap komponen. Angka indeks ini dibagi menjadi bentuk agregatif sederhana tertimbang dan agregatif relatif tertimbang. Berdasarkan uraian ringkas di atas serta dikaitkan dengan kebutuhan dan urgensinya dalam penelitian ini, maka jenis dan metode untuk menghitung angka indeks alih fungsi lahan sawah tersebut dilakukan melalui penghitungan angka indeks jumlah (quantity relative) dengan metode pendekatan angka indeks tidak tertimbang. Ada 3 metode yang akan dipergunakan dalam penelitian ini untuk menghitung angka indeks laju alih fungsi lahan sawah tersebut sebagai berikut. a. Metode Angka Indeks Kuantitas Sederhana Tidak Tertimbang (IKS) Angka indeks kuantitas sederhana tidak tertimbang atau disebut juga agregatif tunggal dengan melibatkan hanya 1 komoditas yang tidak tertimbang dimaksudkan untuk melihat perkembangan kuantitas alih fungsi lahan sawah dengan menggunakan tahun dasar tetap atau untuk semua perbandingan digunakan tahun dasar yang sama. Indeks kuantitas sederhana dihitung tanpa memberikan bobot pada satu komoditas, karena masih dianggap mempunyai kepentingan yang sama. Metode ini dipergunakan untuk menghitung angka indeks alih fungsi lahan sawah masing-masing kabupaten lokasi sampel penelitian karena wilayahnya tidak diurai lebih lanjut menjadi kecamatan. Formulasi penghitungannya adalah:  Rumus: IKSAFLS-t = (LLSt/LLS0) × 100 Keterangan: IKSAFLS-t : Indeks kuantitas sederhana alih fungsi lahan sawah tahun ke-t LLSt : Luas lahan sawah pada tahun ke-t Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 117

LLS0 : Luas lahan sawah pada tahun dasar (tahun ke-0). Tahun dasar yang dipergunakan adalah luas lahan baku sawah tahun 2019 sesuai Kepmen No. 686/2019, maka angka indeks Tahun 2019 adalah 100 Berdasarkan hasil perhitungan nilai IKSAFLS-t, diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) IKSAFLS-t > 100, mengindikasikan terdapat penambahan atau lebih luas lahan sawah pada tahun ke-t terhadap luas lahan sawah tahun dasar yang dipergunakan 2) IKSAFLS-t = 100, mengindikasikan tidak terdapat penyusutan/pengurangan luas lahan sawah pada tahun ke-t terhadap luas lahan sawah tahun dasar yang dipergunakan 3) IKSAFLS-t < 100, mengindikasikan terdapat penyusutan/pengurangan luas lahan sawah pada tahun ke-t terhadap luas lahan sawah tahun dasar yang dipergunakan Pengamatan angka indeks kuantitas sederhana alih fungsi lahan sawah ini dilakukan dari Tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, dan Tahun 2019 (berdasarkan LLBS Kepmen 686/2019). Pengamatan lanjutan indeks tersebut dapat juga digunakan untuk menghitung angka indeks alih fungsi lahan sawah untuk Tahun 2020, 2021, 2022, 2023, dan Tahun 2024. b. Metode Angka Indeks Kuantitas Rantai Tidak Tertimbang (IKR) Angka indeks kuantitas rantai tidak tertimbang adalah penghitungan angka indeks alih fungsi lahan sawah dengan menggunakan 1 tahun sebelumnya sebagai tahun dasar tanpa memberikan pembobotan. Misalnya untuk menghitung angka indeks kuantitas rantai pada tahun 2015 dengan tahun dasar 2014, angka indeks tahun 2016 dengan tahun dasar 2015, angka indeks tahun 2017 dengan tahun dasar 2016, dan angka indeks tahun 2018 dengan tahun dasar 2017, dan angka indeks tahun 2019 dengan tahun dasar 2018.  Rumus: IKRAFLS-t = (LLSt/LLSt-1) × 100 Keterangan: IKRAFLS-t : Indeks kuantitas rantai alih fungsi lahan sawah pada tahun ke-t LLSt : Luas lahan sawah pada tahun ke-t LLSt-1 : Luas lahan sawah pada 1 tahun sebelumnya (t-1) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 118

Berdasarkan hasil perhitungan nilai IKRAFLS-t, diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) IKRAFLS-t > 100, mengindikasikan terdapat penambahan atau lebih luas lahan sawah pada tahun-t terhadap luas lahan sawah pada 1 tahun sebelumnya (t-1) 2) IKRAFLS-t = 100, mengindikasikan tidak terdapat penyusutan/pengurangan luas lahan sawah pada tahun-t terhadap luas lahan sawah pada 1 tahun sebelumnya (t-1) 3) IKRAFLS-t < 100, mengindikasikan terdapat penyusutan/pengurangan luas lahan sawah pada tahun-t terhadap luas lahan sawah pada 1 tahun sebelumnya (t-1) Pengamatan angka indeks kuantitas rantai alih fungsi lahan sawah ini dilakukan dari Tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, dan Tahun 2019. Pengamatan lanjutan indeks tersebut dapat juga digunakan untuk menghitung angka indeks Tahun 2020, 2021, 2022, 2023, dan Tahun 2024. c. Metode Angka Indeks Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang (IKAR) Indeks kuantitas agregat relatif (agregative relative) tidak tertimbang, adalah angka indeks yang menunjukan perbandingan antara jumlah kuantitas kelompok alih fungsi lahan sawah pada periode tertentu dengan periode dasarnya. Indeks kuantitas agregat relatif dihitung tanpa memberikan bobot dengan banyak komoditas, karena masih dianggap mempunyai kepentingan yang sama. Metode ini dipergunakan untuk menghitung angka indeks alih fungsi lahan sawah untuk sekelompok provinsi/kabupaten lokasi sampel penelitian karena wilayahnya terurai/terdiri dari beberapa provinsi sampel atau kabupaten sampel. Formulasi penghitungan indeks ini lebih lanjut juga dapat dimanfaatkan untuk seluruh wilayah provinsi yang terbagi menjadi beberapa kabupaten/kota, dan wilayah nasional yang terurai menjadi beberapa provinsi. Adapun formulasi penghitungannya sebagai berikut:  Rumus: IKARAFLS-Pt = (������LLS-Pt/������LLS-Po) × 100 Keterangan: IKARAFLS-Pti : Indeks kuantitas agregat relatif alih fungsi lahan sawah pada periode ke-t ������LLS-Pti : Jumlah luas lahan sawah pada periode ke-ti (Pti)  Periode t1 (Pt1) = 2014 ( 1 tahun)  Periode t2 (Pt2) = 2014 – 2015 ( 2 tahun) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 119

������LLS-Pto  Periode t3 (Pt3) = 2014 – 2016 ( 3 tahun)  Periode t4 (Pt4) = 2014 – 2017 ( 4 tahun)  Periode t5 (Pt5) = 2014 – 2018 ( 5 tahun)  Periode t6 (Pt6) = 2014 – 2019 ( 6 tahun) : Jumlah luas kelompok lahan sawah pada periode dasar (Pt0). Periode dasar yang dipergunakan adalah jumlah luas kelompok lahan baku sawah dengan tahun dasar 2019 sesuai Kepmen No. 686/2019, maka angka indeks Tahun 2019 adalah 100. Berdasarkan hasil perhitungan nilai IKARAFLS-Pti, diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) IKARAFLS-Pti > 100, mengindikasikan terdapat penambahan atau lebih luas lahan sawah pada periode ke-ti terhadap luas lahan sawah pada periode dasar (Pt0) yang dipergunakan 2) IKARAFLS-Pti = 100, mengindikasikan tidak terdapat penyusutan/ pengurangan luas lahan sawah pada periode ke-ti terhadap luas lahan sawah pada periode dasar (Pt0) yang dipergunakan 3) IKARAFLS-Pti < 100, mengindikasikan terdapat penyusutan/pengurangan luas lahan sawah pada periode ke-ti terhadap luas lahan sawah pada periode dasar (Pt0) yang dipergunakan Pengamatan angka indeks kuantitas agregat relatif alih fungsi lahan sawah ini dilakukan dari Tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, dan 2019 (berdasarkan LLBS Kepmen 686/2019).  Lokasi sampel sebagai jenis kuantitas luas lahan sawah, adalah Kabupaten Serang, Karawang, Demak, Lampung Tengah dan Kabupaten Lombok Tengah, sedangkan provinsi sampelnya adalah Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung dan Provinsi Nusa Tenggara Barat Pengamatan lanjutan indeks tersebut dapat juga digunakan untuk menghitung angka indeks Tahun 2020, 2021, 2022, 2023, dan 2024. Tahapan penyelesaiannya sebagai berikut : a. Menjumlahkan kuantitas/luas lahan sawah di seluruh provinsi/kabupaten sampel setiap tahun atau periodenya. b. Menghitung angka indeks alih fungsi sawah Berdasarkan formulasi yang telah disusun di atas, selanjutnya dicoba untuk diimplementasikan menghitung nilai indeks laju alih fungsi sawah pada lokasi sampel, yang selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dengan membandingkan hasil angka-angka indeks tersebut. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 120

2. Implementasi Penggunaan Metode Kuantitas Sederhana Tidak Tertimbang (IKS) Untuk Menghitung Angka Indeks AFLS Perhitungan angka indeks laju alih fungsi lahan sawah dengan metode kuantitas sederhana tidak tertimbang ini menggunakan data luas sawah berdasarkan Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 sebagai basis angka indeks = 100 dan tanpa pembobotan. Selanjutnya data luas sawah masing-masing provinsi dan kabupaten dikonversi dalam satuan indeks terhadap basis 100. Hasil konversi ditampilkan pada Tabel 4.11, Gambar 4.1 dan Gambar 4.2, serta secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Untuk tingkat provinsi, secara keseluruhan di lima provinsi sampel terlihat selama tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di atas indeks 100. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah di provinsi sampel di atas luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Namun dalam pencermatan lebih lanjut untuk tingkat provinsi terdapat dua pola angka indeks kuantitas sederhana (IKSAFLS) tidak tertimbang sebagai berikut: a. Pertama, angka IKSAFLS tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100, terjadi di tiga wilayah provinsi sampel di Jawa, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah provinsi di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Maka diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing provinsi sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Kedua, angka IKSAFLS tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di atas indeks 100, terjadi di Provinsi Lampung dan Provinsi NTB. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah provinsi lebih luas dengan yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mempertahankan luasan tersebut agar tidak berkurang di masing-masing provinsi sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Untuk tingkat kabupaten, secara rataan lima kabupaten sampel terlihat tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah di kabupaten sampel lebih rendah dari luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 121

Selanjutnya untuk tingkat kabupaten sampel terlihat pola yang sejalan dengan pola di tingkat provinsi sampel tersebut di atas, sebagai berikut. a. Pertama, angka IKSAFLS tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100, terjadi di tiga wilayah kabupaten sampel di Jawa, yaitu Kabupaten Serang, Karawang dan Kabupaten Demak. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah kabupaten di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Maka diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing kabupaten sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Kedua, angka IKSAFLS tahun 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di atas indeks 100, terjadi di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lombok Tengah. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah provinsi lebih luas dengan yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN 686/2019. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mempertahankan luasan tersebut agar tidak berkurang di masing-masing kabupaten sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Upaya ini penting, karena di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2018, angka indeks sudah berada di bawah 100 yang berarti lebih rendah dibanding luas baku sawah Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Apabila dibiarkan terdapat potensi terjadinya alih fungsi lahan baku sawah. Tabel 4.11: Hasil Pehitungan Angka Indeks AFLS dgn Metode Kuantitas Sederhana Tidak Tertimbang di Prov/Kab Sampel Thn 2014-2019, dgn Tahun Dasar 2019 (100) No. Lokasi Sampel Angka Indeks Alih Fungsi Lahan Sawah A. Provinsi Sampel Metode Kuantitas Sederhana Tidak Tertimbang 1 Prov. Banten (IKSAFLS-t = (LLSt/LLS0) × 100) 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah 2014 2015 2016 2017 2018 2019* 4 Prov. Lampung 5 Prov. NTB 98.70 98.50 100.10 99.44 96.06 100.00 100.90 100.09 98.70 98.28 96.82 100.00 Rata-Rata 94.52 92.23 92.02 92.02 93.32 100.00 106.09 108.58 110.48 112.89 112.35 100.00 109.25 113.62 118.53 118.53 118.57 100.00 101.89 102.60 103.97 104.23 103.43 100.00 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 99.91 98.91 97.07 97.05 96.18 100.00 93.19 100.00 2 Kab. Karawang 95.70 94.63 94.06 94.06 88.10 100.00 98.21 100.00 3 Kab. Demak 86.83 87.23 87.87 87.87 108.42 100.00 96.82 100.00 4 Kab. Lampung Tengah 96.51 104.39 101.44 103.17 5 Kab. Lombok Tengah 107.98 108.06 108.16 108.16 Rata-Rata 97.39 98.65 97.72 98.06 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah *) Data berdasarkan LLBS Kepmen ATR/KBPN No 686/SK-PG.03.03/XII/2019, 17-12-2019 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 122

Selanjutnya pada Lampiran 5 ditampilkan tabel luas lahan sawah hasil perhitungan angka indeks alih fungsi lahan sawah dengan metoda kuantitatif sederhana tidak tertimbang di provinsi sampel berdasarkan kabupaten/kota yang ada di wilayahnya selama tahun 2014 s/d 2019. Berdasarkan tabel tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Di Provinsi Banten, angka IKSAFLS yang cenderung berada di bawah 100 dan/atau luas lahan sawahnya di bawah luas lahan baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, adalah Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang, serta Kota Tangerang, Cilegon, Serang dan Kota Tangerang Selatan. b. Di Provinsi Jawa Barat, angka IKSAFLS yang cenderung berada di bawah 100 dan/atau luas lahan sawahnya di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Kabupaten Pangandaran. Selanjutnya wilayah kotanya adalah Kota Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Cimahi, Tasikmalaya dan Kota Banjar. c. Di Provinsi Jawa Tengah, angka IKSAFLS yang cenderung berada di bawah 100 dan/atau luas lahan sawahnya lebih kecil dibandingkan luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, kecuali Kabupaten Banyumas, Kebumen dan Kabupaten Batang luas lahan sawahnya berada di atas luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Terdapat sebanyak 32 wilayah kabupaten/kota lainnya yang luas lahan sawahnya berada di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 123

d. Di Provinsi Lampung, angka IKSAFLS yang cenderung berada di bawah 100 dan/atau luas lahan sawahnya di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 adalah Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Pringsewu. Sedangkan 13 wilayah kabupaten/kota lainnya yang luas lahan sawahnya berada di atas luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, terutama di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Way Kanan, dan Kota Bandar Lampung. e. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), angka IKSAFLS tidak terdapat kabupaten/kota yang berada di bawah 100 atau umumnya luas lahan sawahnya berada di atas luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Dompu, dan Kota Bima. Penelusuran lebih mendalam pada tingkat kabupaten sampel diperoleh angka indeks kuantitas sederhana (IKSAFLS) tidak tertimbang untuk wilayah kecamatan sebagaimana disajikan pada Lampiran 6 sebagai berikut: a. Di Kabupaten Serang, pada tahun 2018 terdapat 22 kecamatan dari 29 kecamatan ada di wilayah Kabupaten Serang, dengan nilai angka IKSAFLS di bawah 100 atau luas sawah berada di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Beberapa kecamatan dengan nilai angka indeks di bawah 75,00 adalah Kecamatan Pulo Ampel (54.08), Waringin Kurung (65.01) dan Kecamatan Gunungsari (70.98). b. Di Kabupaten Karawang, pada tahun 2018 terdapat 21 kecamatan dari 30 kecamatan ada di wilayah Kabupaten Karawang, dengan nilai angka IKSAFLS di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Beberapa kecamatan dengan nilai angka indeks di bawah 75,00 adalah Kecamatan Tirtamulya (72.75), Klari (73.46), dan Kecamatan Karawang Timur (74.53). c. Di Kabupaten Demak, pada tahun 2018 terdapat 12 kecamatan dari 14 kecamatan ada di wilayah Kabupaten Demak, dengan nilai angka IKSAFLS di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Terdapat dua kecamatan dengan nilai angka indeks di bawah 75.00 yaitu Kecamatan Karangawen (34.46) dan Kecamatan Mranggen (37.03) . d. Di Kabupaten Lampung Tengah, pada tahun 2018 terdapat 16 kecamatan dari 28 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lampung Tengah, dengan nilai angka Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 124

IKSAFLS di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Terdapat dua kecamatan dengan nilai angka indeks di bawah 75,00 yaitu Kecamatan Rumbia (66,49) dan Kecamatan Seputih Surabaya (71, 95). e. Di Kabupaten Lombok Tengah, pada tahun 2018 dari 12 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah tidak ada kecamatan yang mempunyai nilai angka IKSAFLS di bawah 100 atau luas sawahnya di atas luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. 3. Implementasi Penggunaan Metode Kuantitas Rantai Tidak Tertimbang (IKR) Untuk Menghitung Angka Indeks AFLS Penghitungan angka indeks laju alih fungsi lahan sawah dengan metode kuantitas rantai tidak tertimbang ini menggunakan data luas sawah tahun sekarang dibanding dengan tahun sebelumnya dan tanpa melakukan pembobotan. Artinya, bahwa bila nilai angka indeks rantai pada tahun sekarang = 100, menandakan tidak terjadi alih fungsi luas lahan sawah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun jika angka indeks rantai pada tahun sekarang < 100, menandakan terjadi penyusutan luas lahan sawah dibandingkan tahun sebelumnya, dan sebaliknya angka indeks rantai pada tahun sekarang > 100, mengindikasikan terjadi penambahan luas lahan sawah dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan cara demikian, indeks laju alih fungsi lahan pada tahun 2019 yang merupakan Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 adalah rangkaian indeks pada tahun 2014 s/d tahun 2019, namun angka indeks tahun 2014 tidak dihitung karena angka luas lahan sawah tahun 2013 tidak dipergunakan. Hasil penghitungan angka indeks kuantitas rantai (IKRAFLS) itu ditampilkan pada Tabel 4.12, Gambar 4.3 dan Gambar 4.4, serta secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Untuk tingkat provinsi, secara keseluruhan di lima provinsi sampel terlihat pada tahun 2014-2018, menunjukkan bahwa selama tahun 2014 s/d 2017 relatif terjadi penambahan luas lahan sawah karena angka indeks IKRAFLS > 100, namun pada tahun 2018-2019 cenderung terjadi penyusutan luas lahan sawah yang ditandai dengan indeks rantainya < 100, misalnya pada tahun 2019 terjadi penyusutan sekitar 2.42 angka (± 2.42 %) dibandingkan tahun 2018. Namun dalam pencermatan lebih lanjut untuk tingkat provinsi terdapat dua pola indeks rantai tidak tertimbang sebagai berikut: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 125

a. Pertama, di tiga lokasi provinsi sampel di Jawa, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2014-2018, berdasarkan angka IKRAFLS cenderung mengalami penyusutan luas lahan sawah, karena sebagian besar bernilai < 100. Namun angka indeks ini pada tahun 2019 meningkat menjadi > 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Selanjutnya, untuk ke depan agar angka indeks rantai tidak turun menjadi < 100, diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing provinsi tersebut sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen tersebut. b. Kedua, angka indeks rantai selama tahun 2014-2018 di 2 lokasi provinsi sampel di Luar Jawa, yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi NTB umumnya bernilai > 100. Artinya, ada kecenderungan luas lahan sawah di wilayah ini mengalami peningkatan. Namun, dengan adanya penetapan luas lahan baku sawah melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 terjadi penurunan nilai IKRAFLS atau luas lahan sawah yang ditetapkan di bawah data sawah yang ada pada tahun 2018. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mempertahankan luasan tersebut agar tidak berkurang di masing-masing provinsi sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen tersebut. Untuk tingkat kabupaten, secara keseluruhan di lima kabupaten sampel terlihat pada tahun 2014-2018, berdasarkan angka IKRAFLS menunjukkan selama waktu tersebut luas lahan sawahnya relatif tetap dengan sedikit terjadi menurunan, namun pada tahun 2019 terjadi penambahan luas lahan sawah dengan angka indeks sebesar 103.77 atau meningkat 3.77 angka (± 3.77 %) dibandingkan tahun 2018. Hal ini berarti selama waktu tersebut luas baku sawah di kabupaten sampel lebih rendah dari luas yang ditetapkan dalam Kepmen tersebut. Selanjutnya untuk tingkat kabupaten sampel terlihat pola indeks rantai tidak tertimbang yang sejalan dengan pola di tingkat provinsi sampel. a. Pertama, selama tahun 2014-2018 ada tiga lokasi kabupaten sampel, yaitu Kabupaten Serang, Karawang dan Kabupaten Lampung Tengah mengalami cenderung penyusutan luas lahan sawah sesuai angka IKRAFLS < 100. Namun angka indeks ini pada tahun 2019 meningkat menjadi > 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada masa depan, diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 126

menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing kabupaten tersebut sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Kedua, angka indeks rantai selama tahun 2014-2018 yang cenderung berada > 100 terjadi di Kabupaten Lombok Tengah. Terdapat kecenderungan luas lahan sawah di wilayah ini mengalami peningkatan, namun dengan penetapan luas lahan baku sawah melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 terjadi penurunan nilai IKRAFLS yang menggambarkan luas lahan sawah yang ditetapkan lebih kecil dibandingkan tahun 2018. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mempertahankan luasan tersebut agar tidak berkurang sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Tabel 4.12: Hasil Pehitungan Angka Indeks Alih Fungsi Lahan Sawah Dengan Metode Kuantitas Rantai Tidak Tertimbang di Provinsi/Kabupaten Sampel Tahun 2014 - 2019 No. Lokasi Sampel Angka Indeks Alih Fungsi Lahan Sawah A. Provinsi Sampel Metode Kuantitas Rantai Tidak Tertimbang 1 Prov. Banten (IKRAFLS-t = (LLSt/LLSt-1) × 100) 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah 2014 2015 2016 2017 2018 2019* 4 Prov. Lampung 5 Prov. NTB - 99.80 101.62 99.34 96.61 104.10 Rata-Rata - 99.21 98.61 99.57 98.52 103.28 - 97.57 99.78 100.00 101.42 107.16 - 102.34 101.75 102.19 99.52 89.01 - 104.00 104.33 100.00 100.03 84.34 - 100.58 101.22 100.22 99.22 97.58 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang - 99.01 98.13 99.98 99.11 103.97 99.07 107.31 2 Kab. Karawang - 98.88 99.40 100.00 100.26 113.50 95.19 101.82 3 Kab. Demak - 100.47 100.73 100.00 100.24 92.23 98.78 103.77 4 Kab. Lampung Tengah - 108.16 97.18 101.71 5 Kab. Lombok Tengah - 100.07 100.09 100.00 Rata-Rata - 101.32 99.11 100.34 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah *) Data berdasarkan LLBS Kepmen ATR/KBPN No 686/SK-PG.03.03/XII/2019, 17-12-2019 **) Data diawali Tahun 2014, sehingga Indeks Tahun 2014 tidak dihitung Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 127

Selanjutnya pada Lampiran 7 ditampilkan hasil pengukuran/pehitungan angka indeks alih fungsi lahan sawah menggunakan metode kuantitas rantai tidak tertimbang di provinsi sampel menurut kabupaten/kota tahun 2014-2019. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Di Provinsi Banten, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018, dari 8 kabupaten/kota kecuali Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, dimana 6 kabupaten/kota lainnya mempunyai nilai Indeks di bawah 100. Hal ini berarti di 6 kabupaten/kota tersebut mengalami penyusutan luas lahan sawah. Namun angka indeks ini, kecuali Kabupaten Pandeglang, pada tahun 2019 meningkat menjadi > 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Di Provinsi Jawa Barat, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kabupaten/kotanya bernilai < 100, namun pada tahun 2019 sebagian meningkat menjadi > 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. c. Di Provinsi Jawa Tengah, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kabupaten/kotanya bernilai < 100, namun pada tahun 2019 sebagian meningkat menjadi > 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. d. Di Provinsi Lampung, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kabupaten/kotanya bernilai > 100, namun pada tahun 2019 sebagian menurun menjadi < 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih kecil melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. e. Di Provinsi NTB, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kabupaten/kotanya bernilai > 100, namun pada tahun 2019 seluruhnya menurun menjadi < 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih kecil melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. Penelusuran lebih mendalam pada tingkat kabupaten sampel diperoleh angka indek berantai untuk wilayah kecamatan sebagaimana pada Lampiran 8 sebagai berikut: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 128

a. Di Kabupaten Serang, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kecamatannya cenderung bernilai < 100, namun pada tahun 2019 hampir seluruhnya mengalami peningkatan menjadi > 100, yang dikare-nakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. b. Di Kabupaten Karawang, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kecamatannya cenderung bernilai < 100, namun pada tahun 2019 hampir seluruhnya mengalami peningkatan menjadi > 100, yang dikare-nakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. c. Di Kabupaten Demak, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian besar kecamatannya cenderung bernilai < 100, namun pada tahun 2019 sebagian besar mengalami peningkatan menjadi >100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. d. Di Kabupaten Lampung Tengah, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian kecamatannya cenderung bernilai > 100 dan/atau sama dengan 100, namun pada tahun 2019 sebagian mengalami penurunan menjadi < 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. e. Di Kabupaten Lombok Tengah, angka IKRAFLS selama tahun 2014-2018 sebagian kecamatannya cenderung bernilai > 100 dan/atau sama dengan 100, namun pada tahun 2019 sebagian mengalami penurunan menjadi < 100, yang dikarenakan adanya penetapan luas lahan baku sawah yang lebih besar melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dibandingkan luas lahan sawah tahun 2018. 4. Implementasi Penggunaan Metode Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang (IKAR) Untuk Menghitung Angka Indeks AFLS Metode kuantitas agregat relatif tidak tertimbang ini dilakukan dengan cara membandingkan luas lahan sawah selama periode tertentu dengan tahun dasarnya tanpa melakukan pembobotan, seperti periode satu tahunan, dua tahunan, tiga tahunan dan seterusnya sesuai keperluannya. Di sini tahun dasarnya menggunakan luas sawah tahun 2019 berdasarkan Kepmen ATR/KBPN No. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 129

686/2019 sebagai basis angka indeks = 100. Selanjutnya data luas sawah masing- masing provinsi dan kabupaten dihitung angka indeks agregatifnya terhadap basis 100. Hasil penghitungan angka indeks kuantitas agregat relatif tidak tertimbang laju alih fungsi (IKARAFLS-Pti) itu ditampilkan pada Tabel 4.13, Gambar 4.5 dan Gambar 4.6, serta secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Untuk tingkat provinsi, secara rataan lima provinsi sampel terlihat pada periode 2014-2018 cenderung berada di atas indeks 100. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah di provinsi sampel di atas luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Pencermatan lebih lanjut untuk tingkat provinsi terdapat dua pola: a. Pertama, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100, terjadi di tiga wilayah provinsi sampel di Jawa, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah provinsi di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Maka diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing provinsi sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Kedua, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di atas indeks tahun 2019 (100), terjadi di dua wilayah provinsi sampel di Luar Jawa, yaitu Provinsi Lampung dan NTB. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah provinsi di atas luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Maka diperlukan upaya untuk mempertahankan luasan tersebut agar tidak berkurang di masing-masing provinsi sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen tersebut. Untuk tingkat kabupaten, secara rataan lima kabupaten sampel terlihat pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah di kabupaten sampel lebih rendah dari luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Selanjutnya untuk tingkat kabupaten sampel terlihat pola yang sejalan dengan pola provinsi sampel. a. Pertama, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100, terjadi di tiga wilayah kabupaten sampel di Jawa, yaitu Kabupaten Serang, Karawang dan Kabupaten Demak. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah kabupaten di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Maka diperlukan upaya Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 130

untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing kabupaten sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. b. Kedua, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di atas indeks 100, terjadi di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lombok Tengah. Hal ini berarti selama periode tersebut luas baku sawah provinsi lebih luas dengan yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Dengan demikian diperlukan upaya untuk memper-tahankan luasan tersebut agar tidak berkurang di masing-masing kabupaten sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Tabel 4.13: Hasil Pehitungan Angka Indeks AFLS dgn Metode Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang di Prov/Kab Sampel Thn 2014-2019, dengan Tahun Dasar 2019 (100) No. Lokasi Sampel Periode t1 Angka Indeks Alih Fungsi Lahan Sawah Periode t0 (2014) (2019)* A. Provinsi Sampel Metode Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang 1 Prov. Banten (IKARAFLS-Pt = (������LLS-Pt/������LLS-Po) × 100) 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah Periode t2 Periode t3 Periode t4 Periode t5 Periode t6 4 Prov. Lampung (2014-2015) (2014-2016) (2014-2017) (2014-2018) (2014-2019) 5 Prov. NTB 98.70 98.60 99.10 99.18 98.56 98.80 100.00 Rata-Rata 100.90 100.49 99.90 99.49 98.96 99.13 100.00 94.52 93.38 92.92 92.70 92.82 94.02 100.00 106.09 107.34 108.38 109.51 110.08 108.40 100.00 109.25 111.43 113.80 114.98 115.70 113.08 100.00 101.89 102.25 102.82 103.17 103.22 102.69 100.00 B. Kabupaten Sampel 1 Kab. Serang 99.91 99.41 98.63 98.23 97.82 98.19 100.00 94.33 95.27 100.00 2 Kab. Karawang 95.70 95.16 94.80 94.61 87.58 89.65 100.00 100.75 100.62 100.00 3 Kab. Demak 86.83 87.03 87.31 87.45 108.16 106.80 100.00 97.73 98.11 100.00 4 Kab. Lampung Tengah 96.51 100.45 100.78 101.38 5 Kab. Lombok Tengah 107.98 108.02 108.07 108.09 Rata-Rata 97.39 98.02 97.92 97.95 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah *) Data berdasarkan LLBS Kepmen ATR/KBPN No 686/SK-PG.03.03/XII/2019, 17-12-2019 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 131

Selanjutnya pada Lampiran 9 ditampilkan tabel luas lahan sawah hasil perhitungan angka indeks alih fungsi lahan sawah dengan metoda kuantitatif agregat relatif tidak tertimbang di provinsi sampel berdasarkan kabupaten/kota yang ada di wilayahnya selama periode 2014 s/d 2019. Berdasarkan tabel tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Di Provinsi Banten, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kabupaten Lebak, Tangerang, Serang, serta Kota Tangerang, Cilegon, Serang dan Kota Tangerang Selatan b. Di Provinsi Jawa Barat, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Kabupaten Pangandaran. Selanjutnya wilayah Kota adalah Kota Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, dan Kota Cimahi. c. Di Provinsi Jawa Tengah, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Purworejo. Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Pekalongan, Tegal, dan Kabupaten Brebes, d. Di Provinsi Lampung , angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kabupaten Tulang Bawang, Prongsewu dan Kabupaten Mesuji. e. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, tidak ada kabupaten/kota dengan angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang cenderung berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 Penelusuran lebih mendalam pada tingkat kabupaten sampel diperoleh Angka Indek Kuantitatif Agregat Relatif Tidak Tertimbang untuk wilayah kecamatan sebagaimana pada Tabel Lampiran -10 sebagai berikut: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 132

a. Di Kabupaten Serang, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kecamatan Padarincang, Pabuaran, Pamarayan, Bamdung, Jawilan, Kopo, Cilande, Kibin, Kragilan, Waringinkurung, Mancak, Bojanegara, Kramatwatu, Ciruas, Lebakwangi dan Kecamatan Tirtayasa. b. Di Kabupaten Karawang, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kecamatan Pangkalan, Ciampel, Telukjambe Barat, Klari, Purwosari, Tirtamulya, Jatisari, Banyusari, Kutosari, Cilamaya Kulon, Lemahabang, Majalaya, Karawang Timur, Karawang Barat, Tempuran, Kutawaluya, Rengasdengklok, Cilebar, Cibuaya, Batujaya dan Kecamatan Pakishaji.. c. Di Kabupaten Demak, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kecamatan Mranggen, Karangawe, Guntur, Kajangtengaj, Bonang, Demak, Wonosalam, Dempel, Kebonagung, Gajah, Karanganyar dan Kecamatan Mijen. . d. Di Kabupaten Lampung Tengah, angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 adalah Kecamatan Padangratu, Kalirejo, Sendang Agung, Bangun Rejo, Bumi Ratu Nuban. Punggur, Seputih Raman, Way Penguburan, Seputih Mataram, Bandar Mataram, Seputih Banyak, Way Seputih, Rumbia dan Kecamatan Seputih Surabaya. e. Di Kabupaten Lombok Tengah, tidak ada kecamatan dengan angka IKARAFLS-Pti pada periode 2014 s/d 2018 yang berada di bawah indeks 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka BPN No 686/2019 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 133

C. Pelaksanaan Pengendalian/Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS) dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Beserta Penyebaran Spasialnya 1. Gambaran Umum Sebaran Spasial AFLS di Lokasi Sampel Gambaran umum mengenai sebaran spasial alih fungsi lahan sawah di provinsi dan kabupaten sampel ditampilkan pada Tabel 4.14, Gambar 4.7 dan Gambar 4.8, serta secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Secara spasial, selama periode 2014-2018 seluruh provinsi sampel mengalami alih fungsi lahan sawah. Sebaran alih fungsi tersebut pada tingkat provinsi yang tinggi terdapat di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. a. Provinsi Jawa Barat merupakan yang terbanyak kabupaten/kotanya mengalami alih fungsi lahan sawah, yaitu sebanyak 96.30 % dari 27 kabupaten/kota, dan kemudian diikuti Provinsi Jawa Tengah sebanyak 80.00 % dari 35 kabupaten/ kota, dan Provinsi Banten sebanyak 75.00 % dari 8 kabupaten/kotanya. b. Di Provinsi Banten yang terluas kabupaten/kotanya mengalami pengurangan luas lahan sawah adalah Kabupaten Tangerang (616.50 Ha/Tahun), Kabupaten Serang (460.45 Ha/Tahun) dan Kota Serang (104.00 Ha/Tahun). c. Di Provinsi Jawa Barat yang terluas kabupaten/kotanya mengalami pengurangan luas lahan sawah adalah Kabupaten Bogor (1,419.25 Ha/Tahun), Kabupaten Cirebon (1,396.00 Ha/Tahun) dan Kabupaten Sumedang (776.25 Ha/Tahun). d. Di Provinsi Jawa Tengah yang terluas kabupaten/kotanya mengalami pengurangan luas lahan sawah adalah Kabupaten Magelang (2,465.75 Ha/Tahun), Kabupaten Wonosobo (1,500.75 Ha/Tahun) dan Kabupaten Banjarnegara (1,260.25 Ha/Tahun). e. Di Provinsi Lampung yang terluas kabupaten/kotanya mengalami pengurangan luas lahan sawah adalah Kabupaten Tanggamus (2,994.00 Ha/Tahun), Kabupaten Pesisir Barat (2,121.75 Ha/Tahun) dan Kabupaten Pasawaran (1,299.25 Ha/Tahun). f. Di Provinsi NTB yang kabupaten/kotanya mengalami pengurangan luas lahan sawah hanyalah Kota Mataram (60.25 Ha/Tahun). Sementara itu, pada tingkat kabupaten sampel, dari sebanyak 113 kecamatan yang ada, terdapat sebanyak 50 kecamatan (44.25 %) mengalami pengurangan luas lahan sawah. Adapun kabupaten yang jumlah sebaran Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 134

kecamatan tinggi adalah di Kabupaten Serang sebanyak 21 kecamatan (72.41 %), lalu Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 15 kecamatan (53.57 %), dan Kabupaten Karawang sebanyak 10 kecamatan (33.33 %). Sebaran pengurangan luas lahan sawah per kecamatan di kabupaten sampel secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 4.14: Sebaran Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS) Selama Periode Tahun 2014-2018 di Provinsi/Kabupaten Sampel No. Lokasi Sampel Sebaran Alih Fungsi Lahan Sawah A. Provinsi Sampel Ada AFLS Tidak Ada AFLS Jumlah 1 Prov. Banten Kabupaten/Kota 2 Prov. Jawa Barat 3 Prov. Jawa Tengah Kab/Kota % Kab/Kota % Kab/Kota % 4 Prov. Lampung 5 Prov. NTB 6 75.00 2 25.00 8 100.00 Jumlah 26 96.30 1 3.70 27 100.00 28 80.00 7 20.00 35 100.00 6 40.00 9 60.00 15 100.00 1 10.00 9 90.00 10 100.00 67 70.53 28 29.47 95 100.00 B. Kabupaten Sampel Kec. % Kecamatan Kec. % 29 100.00 Kec. % 30 100.00 14 100.00 1 Kab. Serang 21 72.41 8 27.59 28 100.00 12 100.00 2 Kab. Karawang 10 33.33 20 66.67 113 100.00 3 Kab. Demak 2 14.29 12 85.71 4 Kab. Lampung Tengah 15 53.57 13 46.43 5 Kab. Lombok Tengah 2 16.67 10 83.33 Jumlah 50 44.25 63 55.75 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah 2. Beberapa Faktor Pendorong Dalam Pelaksanaan Pengendalian/Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Pengamatan berbagai faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah ini ditinjau mengenai tanggapan dan pendapat dari beberapa pihak, baik dari Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 135

jajaran Kementerian ATR/BPN yang diwakili Kanwil BPN Provinsi, Pemda Kabupaten (Bappeda, Dinas PUPR dan Dinas Pertanian), dan masyakarat/petani. a. Faktor Pendorong AFLS Menurut Pengamatan Kanwil BPN dan Kantah Faktor pendorong yang menyebabkan kerentanan/kemudahan terjadinya alih fungsi lahan sawah (AFLS) menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden di Kanwil BPN dan Kantah (n=85), menilai bahwa faktor pendorong utama AFLS di daerah antara lain adalah ketersedian aksesibilitas jalan raya/utama, jumlah/kepadatan penduduk, jarak dengan kawasan permukiman, jarak dengan kawasan perdagangan/jasa, dan sebagainya. Hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pendorong rentan/mudahnya dalam proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 28 faktor/indikator pendorong yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdapat 10 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara > 2,60-5.00 terhadap AFLS mulai dari nilai skoring tertinggi adalah jarak dengan jalan raya/utama non-TOL (4.06), kepadatan penduduk (4.01), jarak dengan kawasan permukiman (4.00), program pengendalian tata ruang yang belum jelas (3.98), jarak dengan kawasan perdagangan/jasa (3.94), jarak dengan areal pengadaan tanah untuk pembangunan (3.88), program pengendalian pertanahan yang belum jelas (3.84), luas lahan baku sawah belum ditetapkan (3.82), jarak dengan kawasan industri (3.82), dan sawah dengan produktivitas/nilai produksi rendah (3.56). Sementara itu, ada 3 faktor/indikator yang paling rendah tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara 1.00-2,60 terhadap AFLS mulai dari nilai skoring terkecil, yaitu sawah yang belum bersertipikat hak atas tanah (2.25), sawah yang terletak di wilayah ZNT rendah (2.31), dan sawah yang terletak di wilayah pengirim TKI (2.32). Hal ini mengindikasikan tanah-tanah sawah yang belum bersertifikat, ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan sawah, karena kebanyakan para pembeli/investor umumnya lebih mencari tanah-tanah sawah yang sudah bersertipikat. Secara rinci nilai skor pembobotan faktor/indikator pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat Tabel 4.15 dan Gambar 4.9. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 136

Tabel 4.15: Nilai Skor Pembobotan Faktor/Indikator Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden di Kanwil BPN dan Kantah Sampel Responden Kanwil BPN & Kantah No. Faktor/Indikator Pendorong Alih Fungsi Lahan Sawah Tanggapan/Pendapat Nilai Skor (n=85) Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sawah yg belum ditetapkan luas lahan bakunya lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-01) 2 5 35 7 36 325 3.82 76.47 2 Sawah yg dekat dengan jalan utama non-TOL lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-02) 0 2 28 18 37 345 4.06 81.18 3 Sawah yang dekat dengan jalan utama TOL lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-03) 10 28 22 4 21 253 2.98 59.53 4 Sawah yg dekat dengan kawasan permukiman lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-04) 1 4 28 13 39 340 4.00 80.00 5 Sawah yang dekat dengan kawasan industri lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-05) 0 9 26 21 29 325 3.82 76.47 6 Sawah yg dekat dg kawasan perdagangan/jasa lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-06) 0 3 28 25 29 335 3.94 78.82 7 Sawah yg terletak di wilayah irigasi non teknis lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-07) 5 31 33 6 10 240 2.82 56.47 8 Sawah yg terletak di wilayah padat penduduk lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-08) 2 0 28 20 35 341 4.01 80.24 9 Sawah yg terletak di wilayah berpenduduk miskin lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-09) 11 35 24 5 10 223 2.62 52.47 10 Sawah yg terletak di wilayah pengirim TKI lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-10) 14 42 19 8 2 197 2.32 46.35 11 Sawah yg belum bersertipikat hak atas tanah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-11) 22 35 18 5 5 191 2.25 44.94 12 Sawah yg dg luas bidang tanah sempit lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-12) 5 25 32 9 14 257 3.02 60.47 13 Sawah yang pemiliknya bukan petani lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-13) 3 24 26 16 16 273 3.21 64.24 14 Sawah yg dimiliki petani dg budaya pewarisan lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-14) 7 38 30 5 5 218 2.56 51.29 15 Sawah yg dengan topogafi/morpologi dataran lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-15) 4 24 42 8 7 245 2.88 57.65 16 Sawahdg produktivitas/nilai produksi rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-16) 2 13 26 23 21 303 3.56 71.29 17 Sawah yg terletak di wilayah ZNT rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-17) 12 43 24 4 2 196 2.31 46.12 18 Sawah yg terletak dlm areal pengadaan tnh utk pembangunan lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swah (D-18) 1 6 28 17 33 330 3.88 77.65 19 Sawah yang pajak tanahnya tinggi lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-19) 10 29 25 11 10 237 2.79 55.76 20 Sawah dg kelompok tani kurang aktif lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-20) 5 23 34 8 15 260 3.06 61.18 21 Sawah yg petaninya kurang mendapat sosialisasi/penyuluhan lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non sawah (D-21) 4 22 38 9 12 258 3.04 60.71 22 Sawah yang petaninya menilai profesi petani sudah tidak menarik lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi 4 17 33 12 19 280 3.29 65.88 menjadi non sawah (D-22) 23 Sawah di Kabupaten/Kota yg PAD-nya rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-23) 7 43 23 5 7 217 2.55 51.06 24 Sawah di Kabupaten/Kota yg PDRB-nya rendah lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-24) 5 40 29 6 5 221 2.60 52.00 25 Sawah di Kab./Kota yg PDRB per Kapitanya rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-25) 5 38 23 12 7 233 2.74 54.82 26 Sawah di Kabupaten/Kota yang kontribusi sektor pangannya rendah pada PDRB lebih rentan/peka/mudah terhadap 5 30 28 14 8 245 2.88 57.65 alih fungsi menjadi non sawah (D-26) 27 Daerah yg belum mempunyai program pengendalian pertanahn lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swh (D-27) 1 7 23 28 26 326 3.84 76.71 28 Daerah yg belum mempunyai program pengendalian tata ruang lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swh (D-28) 1 3 24 26 31 338 3.98 79.53 Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mendorong > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mendorong > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mendorong > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mendorong > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mendorong 1.00 - ≤ 1,80 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 137

b. Faktor Pendorong AFLS Menurut Pengamatan Pemda (Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian) Kabupaten Faktor pendorong yang menyebabkan kerentanan/kemudahan terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden di lingkungan Pemda Kabupaten, yaitu Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian (n=15), bahwa berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pendorong rentan/mudahnya dalam proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 28 faktor/indikator pendorong yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdapat 10 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara > 2,60-5.00 terhadap AFLS mulai dari nilai skoring tertinggi adalah program pengendalian tata ruang yang belum jelas (4.27), jarak dengan jalan raya/utama non-TOL (4.20), jarak dengan areal pengadaan tanah untuk pembangunan (3.87), jarak dengan kawasan perdagangan/jasa (3.80), program pengendalian pertanahan yang belum jelas (3.80), sawah yg terletak di wilayah padat penduduk (3.73), sawah yang dekat dengan jalan utama TOL (3.60), sawah yang dekat dengan kawasan permukiman (3.60), sawah yang belum ditetapkan luas lahan bakunya (3.53), dan sawah yang dekat dengan kawasan industri (3.53). Selain itu, terdapat 3 faktor/indikator yang paling rendah tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara 1.00-2,60 terhadap AFLS mulai dari nilai skoring terkecil, yaitu sawah yang terletak di wilayah pengirim TKI (1.80), sawah yang belum bersertipikat hak atas tanah (2.00), dan sawah yang terletak di wilayah berpenduduk miskin (2.07). Terinci nilai skor faktor/indikator pendorong terjadinya AFLS dapat dilihat Tabel 4.16 dan Gambar 4.10. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 138


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook