Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-09 04:56:55

Description: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Search

Read the Text Version

memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan 6) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. 7) Pertanian pangan adalah usaha manusia untuk mengelola lahan dan agroekosistem dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta kesejahteraan rakyat. 8) Kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. 9) Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 10)Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 11)Petani pangan, yang selanjutnya disebut Petani, adalah setiap warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan Lahan untuk komoditas pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjuta 12)Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, bertujuan untuk: 1) Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 2) Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 39

3) Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan 4) Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani 5) Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat 6) Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani 7) Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak 8) Mempertahankan keseimbangan ekologis; dan 9) Mewujudkan revitalisasi pertanian. Ruang lingkup perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi: 1) Perencanaan dan penetapan 2) Pengembangan 3) Penelitian 4) Pemanfaatan 5) Pembinaan 6) Pengendalian 7) Pengawasan 8) Sistem informasi 9) Perlindungan dan pemberdayaan petani 10)Pembiayaan; dan 11)Peran serta masyarakat. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat. Pasal 37 dan Pasal 38 mengatur bahwa pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah antara lain melalui pemberian insentif, dan disinsentif, pemberian insentif kepada petani Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 40

berupa keringanan pajak bumi dan bangunan serta jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik. Mengenai alih fungsi, Pasal 44 mengatur bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. selanjutnya dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat: 1) Dilakukan kajian kelayakan strategis 2) Disusun rencana alih fungsi lahan 3) Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan 4) Disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan. Penyediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan. Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi 2) Paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak) 3) Paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi. Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan sudah harus dimasukkan dalam penyusunan Rencana Program Tahunan, Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 41

b. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Peraturan ini adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan Pasal 26 dan Pasal 53 UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bahwa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam ketentuan umum, ditetapkan pengertian sebagai berikut 1) Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah proses menetapkan lahan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan melalui tata cara yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 2) Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pada masa yang akan datang. 3) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. 4) Lahan pengganti adalah lahan yang berasal dari lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan, tanah telantar, tanah bekas kawasan hutan, dan/atau lahan pertanian yang disediakan untuk mengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan. 5) Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. 6) Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan budi daya yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. 7) Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 42

terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 8) Nilai investasi infrastruktur adalah nilai uang dan/atau manfaat suatu bangunan infrastruktur yang menunjang pembangunan pertanian. 9) Infrastruktur dasar adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk budi daya tanaman pangan yang meliputi paling sedikit sistem irigasi, jalan usaha tani, dan/atau jembatan. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi: Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Adapun tujuan Peraturan Pemerintah ini antara lain adalah untuk mewujudkan dan menjamin tersedianya lahan pertanian pangan berkelanjutan serta mengendalikan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Mengenai alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan pada Pasal 35 diatur bahwa Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Alih fungsi lahan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam rangka: pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau terjadi bencana. Selanjutnya dalam Pasal 36 bahwa Alih fungsi lahan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan terbatas pada kepentingan umum sebagaimana ditetapkan dalam peraturan per-UU-an, dengan dengan persyaratan: 1) Memiliki kajian kelayakan strategis 2) Mempunyai rencana alih fungsi lahan 3) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah 4) Ketersediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan. Kajian kelayakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a paling sedikit mencakup: 1) Luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan 2) Potensi kehilangan hasil 3) Resiko kerugian investasi 4) Dampak ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Selanjutnya rencana alih fungsi lahan paling sedikit mencakup: 1) Luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan 2) Jadwal alih fungsi Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 43

3) Luas dan lokasi lahan pengganti; 4) Jadwal penyediaan lahan pengganti; dan 5) Pemanfaatan lahan pengganti. c. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Peraturan Pemerintah ini disusun untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam PP ini yang dimaksud: insentif adalah pemberian penghargaan kepada petani yang mempertahankan dan tidak mengalih- fungsikan lahan pertanian pangan berkelanjutan Tujuan pemberian insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan antara lain adalah untuk: 1) Mendorong perwujudan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang telah ditetapkan 2) Meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan 3) Meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan bagi petani 4) Memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani Pemberian insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan pada lahan pertanian pangan berkelanjutan yang telah ditetapkan dalam: 1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan/atau 4) Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota Jenis insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan oleh Pemerintah berupa: 1) Pengembangan infrastruktur pertanian 2) Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul 3) Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi 4) Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian 5) Jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan/atau 6) Penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 44

Pemerintah Provinsi memberikan insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan kepada petani dengan jenis berupa: 1) Pengembangan infrastruktur pertanian 2) Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; 3) Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi 4) Penyediaan sarana produksi pertanian 5) Bantuan dana penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan/atau 6) Penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan kepada petani dengan jenis berupa: 1) Bantuan keringanan pajak bumi dan bangunan 2) Pengembangan infrastruktur pertanian 3) Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul 4) Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi 5) Penyediaan sarana produksi pertanian 6) Bantuan dana penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan/atau 7) Penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi. Pemberian insentif oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi Atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan pertimbangan: 1) Tipologi lahan pertanian pangan berkelanjutan 2) Kesuburan tanah 3) Luas tanam 4) Irigasi 5) Tingkat fragmentasi lahan 6) Produktivitas usaha tani 7) Lokasi 8) Kolektivitas usaha pertanian; dan/atau 9) Praktik usaha tani ramah lingkungan. Petani penerima insentif wajib: 1) Memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya 2) Menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah 3) Mencegah kerusakan lahan; dan 4) Memelihara kelestarian lingkungan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 45

Dalam hal pada lahan pertanian pangan bekelanjutan terdapat jaringan irigasi dan jalan usaha tani, petani penerima insentif wajib memelihara dan mencegah kerusakan jaringan irigasi dan jalan usaha tani. Pencabutan insentif dilakukan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal: 1) Petani tidak memenuhi kewajiban perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan 2) Petani tidak mentaati norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian Insentif; dan/atau 3) Lahan pertanian pangan berkelanjutan telah dialihfungsikan. Pengenaan pencabutan Insentif dilakukan melalui tahap: 1) Pemberian peringatan pendahuluan 2) Pengurangan pemberian Insentif; dan 3) Pencabutan Insentif. Pencabutan insentif kepada petani dilaksanakan berdasarkan hasil pengendalian dan pengawasan. 5. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Pertanahan a. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang Dalam Perpres ini Kementerian ATR utamanya menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang: (1) tata ruang, (2) infrastruktur keagrariaan/pertanahan, (3) hubungan hukum keagrariaan/ pertanahan, (4) penataan agraria/pertanahan, (5) pengadaan tanah, (6) pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, (7) penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah serta (8) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian ATR. b. Peraturan Presiden RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional, utamanya menyelenggarakan fungsi penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan serta perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang (1) survei, pengukuran, dan pemetaan; (2) penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat; (3) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 46

pengaturan, penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan; (4) pengadaan tanah; (5) pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan Dalam rangka sinergi dan sinkronisasi pengaturan organisasi kedua lembaga tersebut, Kepala BPN dijabat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Susunan unit organisasi Eselon I menggunakan susunan organisasi Eselon I pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang tugas dan fungsinya bersesuaian. Sementara itu, untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah, dibentuk Kantor Wilayah BPN di provinsi dan Kantor Pertanahan di kabupaten/ kota (yang dapat dibentuk lebih dari 1 (satu) Kantor Pertanahan di tiap kabupaten/kota). c. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2019 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 Dalam diktum menimbang peraturan ini disebutkan bahwa dengan ditetapkannya pembentukan Kementerian Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024 telah terjadi pergeseran tugas dan fungsi pada beberapa kementerian/lembaga. Dengan terjadinya pergeseran tugas dan fungsi perlu dilakukan penataan sementara guna menjaga keberlangsungan pelaksanaan tugas dan fungsi pada beberapa kementerian/lembaga dimaksud. Pada Pasal 1 butir 26, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, merupakan salah satu dari 34 Kementerian Negara Kabinet Indonesia Maju Periode 2Ol9-2O24. Selanjutnya pada Pasal 7 huruf f, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN merupakan salah satu dari kementerian di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. d. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kementerian ATR/BPN mempunyai 17 fungsi, tujuh setingkat Direktorat Jenderal (Ditjen I s/d Ditjen VII), Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, lima Staf Ahli, dan tiga Pusat. Kegiatan Kajian ini berada pada Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan (PPSKATP), sedangkan obyek kajian berkaitan dengan Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, yang selanjutnya disebut Ditjen VI. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 47

1) Tugas, Fungsi dan Organisasi Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen VI) Berdasarkan Pasal 379 Permen ATR/KBPN No. 16/2020, Ditjen VI mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 380, ditetapkan bahwa Ditjen VI menyelenggarakan fungsi: a) Perumusan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau- pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah b) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau- pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah e) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 48

penertiban pemanfaatan ruang, dan penertiban, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah f) Pelaksanaan administrasi Ditjen VI g) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh menteri/kepala Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi tersebut, pada Pasal 381 Permen ATR/KBPN No. 16/2020, ditetapkan Ditjen VI terdiri atas: a) Sekretariat Direktorat Jenderal b) Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang c) Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang d) Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu e) Direktorat Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah f) Kelompok Jabatan Fungsional. 2) Tugas dan Fungsi Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang Tugas dan Fungsi Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang ditetapkan dalam Pasal 393 dan Pasal 394. Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan dan program di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang b) Pelaksanaan kebijakan dan program di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang c) Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang e) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang f) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 49

3) Tugas dan Fungsi Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang Tugas dan Fungsi Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang ditetapkan dalam Pasal 407 dan Pasal 408. Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang penertiban pemanfaatan ruang. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan dan program di bidang penertiban pemanfaatan ruang, termasuk penyelesaian sengketa penataan ruang b) Pelaksanaan kebijakan dan program di bidang penertiban pemanfaatan ruang, termasuk penyelesaian sengketa penataan ruang c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penertiban pemanfaatan ruang, termasuk penyelesaian sengketa penataan ruang d) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi di bidang penertiban pemanfaatan ruang, termasuk penyelesaian sengketa penataan ruang e) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang penertiban pemanfaatan ruang, termasuk penyelesaian sengketa penataan ruang f) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 4) Tugas dan Fungsi Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu Tugas dan Fungsi Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu ditetapkan dalam Pasal 419 s/d 420. Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, pelaksanaan pengendalian, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, kepulauan dan wilayah tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu menyelenggarakan fungsi: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 50

a) Penyiapan perumusan kebijakan dan program di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu b) Pelaksanaan kebijakan dan program di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu c) Pelaksanaan pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu d) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu f) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian hak tanah, alih fungsi lahan, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu g) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 5) Tugas dan Fungsi Direktorat Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Tugas dan Fungsi Direktorat Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah ditetapkan dalam Pasal 429 dan Pasal 430. Direktorat Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan dan program di bidang penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah b) Pelaksanaan kebijakan dan program di bidang penertiban dan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 51

c) Pelaksanaan penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah d) Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah f) Penyusunan rekomendasi pendayagunaan tanah hasil penertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah e. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan. Merupakan tindak lanjut Perpres No. 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Perpres No. 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Permen ATR/KBPN No. 16 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian ATR/BPN. Permen ini merupakan pengganti Permen ATR/KBPN Nomor 38 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kantor Wilayah) adalah adalah instansi vertikal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Sekretaris Jenderal, dan Kantor Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala. Sedangkan Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di kabupaten/kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala. 1) Tugas dan Fungsi Kantor Wilayah BPN Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi: a) Pengoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan penyusunan rencana, program, anggaran dan pelaporan Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan di wilayahnya Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 52

b) Pengoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei dan pemetaan pertanahan, penetapan hak dan pendaftaran tanah, redistribusi tanah, pemberdayaan tanah masyarakat, penatagunaan tanah, penataan tanah sesuai rencana tata ruang, dan penataan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, pengadaan tanah, pencadangan tanah, konsolidasi tanah, pengembangan pertanahan, pemanfaatan tanah, penilaian tanah dan ekonomi pertanahan, pengendalian dan penertiban penguasaan dan pemilikan tanah, serta penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang, penanganan dan pencegahan sengketa dan konflik serta penanganan perkara pertanahan c) Pengoordinasian dan pelaksanaan reformasi birokrasi, penyelesaian tindak lanjut pengaduan dan temuan hasil pengawasan d) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan pertanahan di Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan e) Pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi Kantor Wilayah dan pengoordinasian tugas dan pembinaan administrasi pada Kantor Pertanahan. Kantor Wilayah terdiri dari Bagian Tata Usaha dan lima Bidang, yaitu: a) Bagian Tata Usaha b) Bidang Survei dan Pemetaan c) Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran d) Bidang Penataan dan Pemberdayaan e) Bidang Pengadaan Tanah dan Pengembangan f) Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa. 2) Tugas dan Fungsi Kantor Pertanahan Kantor Pertanahan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di kabupaten/kota yang bersangkutan. Kantor Pertanahan menyelenggarakan fungsi: a) penyusunan rencana, program, anggaran dan pelaporan b) pelaksanaan survei dan pemetaan c) pelaksanaan penetapan hak dan pendaftaran tanah d) pelaksanaan penataan dan pemberdayaan e) pelaksanaan pengadaan tanah dan pengembangan pertanahan f) pelaksanaan pengendalian dan penanganan sengketa pertanahan g) pelaksanaan modernisasi pelayanan pertanahan berbasis elektronik Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 53

h) pelaksanaan reformasi birokrasi dan penanganan pengaduan i) pelaksanaan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi Kantor Pertanahan Kantor Pertanahan terdiri dari Subbagian Tata Usaha dan lima Seksi: a) Subbagian Tata Usaha b) Seksi Survei dan Pemetaan c) Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran d) Seksi Penataan dan Pemberdayaan e) Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan f) Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengket B. Sumber Daya Tanah Sumber daya tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting dan strategis, karena ketersediaan tanah yang terbatas dan relatif tetap, namun pada sisi lain kebutuhan akan tanah terus meningkat sejalan dengan partumbuhan dan peningkatan jumlah/kepadatan penduduk, aktivitas pembangunan di berbagai sektor, perekonomian/kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya, sehingga menyebabkan tanah menjadi barang langka dan bernilai ekonomi tinggi yang turut mendorong terjadinya alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian, termasuk lahan sawah produktif sebagai tempat pembangunan perumahan, industri, infrastruktur dan jasa lainnya. Oleh karenanya, proses alih fungsi tanah pertanian dipengaruhi berbagai faktor, yang secara garis besar selain aspek penguasaan/pemilikan tanah, juga sangat terkaitkan dengan aspek ketersediaan, kebutuhan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumber daya tanah tersebut. 1. Ketersediaan dan Kebutuhan Tanah Ketersediaan tanah pada dasarnya dapat dilihat antara lain dari segi fisik, sosial ekonomi, sosial budaya, politik, dan sebagainya. Dari segi fisik ketersediaan tanah sangat ditentukan oleh luasnya yang relatif tetap, tidak sama, letaknya tetap tidak bisa dipindah-pindah dan berbagai macam penggunaannya. Dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya, keberadaan tanah mempunyai kapasitas penentu derajat sosial seseorang ataupun keluarga (kelompok), bernilai ekonomis tinggi, mempunyai ikatan batin dan nilai sejarah dengan pemiliknya, dan lain-lain. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 54

Sedangkan dari segi politis, tanah tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan dan arah strategi pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah. Permasalahan yang seringkali timbul dari ketersediaan tanah dengan segala ciri khasnya tersebut adalah bagaimana mengunakan dan memanfaatkan tanah secara optimal sesuai peruntukan yang tertuang dalam rencana tata ruang dan rencana rinci/detilnya bagi keperluan berbagai sektor pembangunan yang sedang maupun akan dilaksanakan pada masa datang. Untuk menghindari terjadinya berbagai konflik di bidang pertanahan dan tata ruang tersebut, UUPA pasal 2 (1) menegaskan bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 2 (2) huruf a UUPA bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyelengga- rakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah (bumi), untuk mencapai sebesar-besar kemak-muran rakyat (UUPA pasal 2 (3)). Selain itu, ditegaskan pula bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Dengan adanya kekuasaan negara tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan tanah juga sangat ditentukan oleh kebijakan Negara (pemerintah), yaitu dengan membuat rencana umumnya (pasal 14 UUPA). Sebagai tindak lanjut dari isi pasal 14 UUPA telah diciptakan peraturan- peraturan yang berkaitan dengan rencana tata guna tanah ataupun rencana tata ruang, diantaranya adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Dalam hal ini ditegaskan bahwa harus disusun/ditetapkan rencana tata ruang di wilayahnya, baik Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Artinya, bahwa penyediaan tanah untuk kebutuhan pembangunan, selain dibatasi sifat fisik tanahnya, juga harus terintegrasi dengan berbagai rencana pembangunan yang akan dilaksanakan melalui rencana tata ruang yang matang. Dengan demikian diharapkan dapat mengantisipasi peningkatan kebutuhan tanah yang sejalan dengan perkembangan penduduk dan aktivitas pembangunan, sehingga kesulitan dalam penyediaan tanah untuk berbagai sektor pembangunan dapat teratasi dan diarahkan, serta sekaligus dapat dipergunakan untuk pengendalian pemanfaatan ruangnya. Hal ini digariskan dalam Pasal 26 UUPR bahwa rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan. RTRW ini berlaku selama 20 tahun, dan dapat ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun, namun dalam kondisi strategis tertentu seperti bencana alam skala besar dan/atau Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 55

perubahan batas teritorial negara, wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun (Pasal 27 & 28 UUPR). Selanjutnya selama 36 bulan sejak ditetapkan harus sudah ditindaklanjuti dengan pembuatan rencana rinci tata ruang (RRTR) (PP No. 15/2010, Psl 59). RRTR ini terdiri atas: 1) rencana tata ruang (RTR) pulau/kepulauan dan kawasan strategis nasional, 2) RTR kawasan strategis provinsi, dan 3) rencana detail tata ruang (RDTR) dan RTR kawasan strategis kabupaten/kota (Pasal 14 UUPR). Peraturan Pemerintah No. 15/2010, Psl 41, menegaskan bahwa RRTR kabupaten/ kota merupakan dasar penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan bagi zona-zona yang pada rencana rinci tata ruang ditentukan sebagai zona yang penanganannya diprioritaskan. Jumlah ketersediaan RTRW di berbagai wilayah Indonesia hingga Desember 2019 sudah cukup lengkap. Dari 34 provinsi seluruhnya sudah memiliki Perda Provinsi RTRW, sedangkan dari 415 kabupaten yang sudah ada Perda RTRW-nya sebanyak ± 96.14%, dan 99 kota tersedia ± 91.92%, namun ada ± 3.86% kabupaten dan ± 8.08% kota yang belum mempunyai Perdanya (Kementerian ATR/BPN, 2020). Berdasarkan data Perda di atas, sesungguhnya tingkat kebutuhan tanah untuk lahan berbagai aktivitas pembangunan masing-masing sektor sudah dapat diprediksi luasnya, namun dalam operasionalnya masih menghadapi banyak kendala, terutama ketersediaan RRTR/RDTR yang sangat terbatas. Hal ini terungkap dari data yang disampaikan oleh Ditjen Taru, Kementerian ATR/BPN, 2020 bahwa sampai dengan Desember 2019 baru diterbitkan/ditetapkan sebanyak 54 Perda RRTR/RDTR (± 2.70%) dari 2,000 Perda yang ditargetkan. Artinya, pelaksanaan RTRW di lapangan dalam upaya pencapaian tujuan penataan ruang belum optimal, karena belum efektifnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dikarenakan masih sangat kurang/rendahnya dukungan ketersediaan RRTR/RDTR tersebut. 2. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Sebagaimana telah disinggung di atas, ketersediaan sumber daya tanah sangat terbatas dan relatif tetap, di sisi lain permintaannya terus naik, sehingga menyebabkan tanah menjadi langka dan bernilai ekonomi tinggi. Keadaan ini tidak terlepas dari kenyataannya, menurut Sandy (dalam Raharjo, 1999) menyatakan bahwa tanah muka bumi adalah tempat pelaksanaan semua kegiatan manusia Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 56

sekaligus pula menjadi tempat pembatasnya, tanah tidak memberikan kemakmuran, yang dapat memberikan kemakmuran adalah sesuatu yang dibangun di atas tanah tersebut. Dengan kata lain, nilai ekonomi tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai jenis klasifikasi penggunaan dan pemanfaatannya. Klasifikasi penggunaan tanah menurut Barlowe (1972) dibagi menjadi 9 kelompok, antara lain yaitu: 1) tanah untuk pemukiman (residential lands), 2) tanah untuk perdagangan, jasa dan industri (commercial and industrial sites), 3) tanah untuk pertanian tanaman pangan/bercocok tanam (croplands), 4) tanah untuk perkebunan dan penggembalaan (pasture ang grazing lands), 5) tanah untuk kehutanan (forest land), 6) tanah untuk pertambangan (mineral lands), 7) tanah untuk rekreasi (recreation lands), 8) tanah cadangan untuk keperluan tertentu (service area), dan 9) tanah tandus dan padang pasir (barren and waste). Klasifikasi penggunaan tanah di atas pada dasarnya tidak mutlak karena dalam praktek sering terjadi penggunaan yang tumpang tindih (overlapped), seperti kelompok tanah untuk pertanian tanaman pangan, tanah untuk perkebunan dan penggembalaan dan tanah untuk kehutanan yang juga sering dikategorikan sebagai penggunaan untuk pertanian (agricultural uses), dan sebagainya. Konsepsi kapasitas penggunaan tanah (land use capacity) berupaya mengkaitkan antara kemampuan tanah dengan kemampuan relatif sebidang tanah untuk menghasilkan nilai lebih atau kepuasan atas biaya-biaya yang dikeluarkan didalam penggunaan tanah tersebut. Kapasitas penggunaan tanah ini sangat dipengaruhi oleh faktor kualitas tanah dan faktor aksesibilitas. Faktor kualitas meliputi kemampuan relatif sumber daya tanah untuk menghasilkan produk tertentu atau kepuasan tertentu. Sedangkan faktor aksesibilitas meliputi lokasi sumber daya, posisinya terhadap pasar dan fasilitas transportasi, dalam hal ini pertimbangannnya berkaitan dengan biaya, waktu dan jarak. Berdasarkan faktor-faktor di atas, pada prinsipnya sumber daya tanah mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Pada umumnya para pemilik sumber daya tersebut akan menggunakan tanahnya pada kemungkinan terbaik yang akan memberikan pendapatan yang tertinggi. Berkaitan dengan hal ini, pandangan aspek ekonomi sumber daya tanah yang sering menjadi pembahasan adalah: 1) sewa sumber daya tanah (land rent), 2) lokasi sumber daya tanah (land location), dan 3) pajak sumber daya tanah (land tax) (Syihab, 1993). Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 57

Pengertian mengenai sewa tanah (land rent) muncul seiring dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu. Mereka yang tidak mempunyai tanah biasanya berusaha menguasai/memiliki tanah untuk berbagai keperluannya yang antara lain melalui pembelian, menyewa atau mengontraknya. Ada 2 teori ekonomi mengenai sewa tanah (land rent) ini yang menarik untuk disinggung secara ringkas, yaitu teori ekonomi klasik dari Ricardo dan Von Thunen, dan teori ekonomi neo-klasik dari Alonso. Teori ekonomi klasik mengenai sewa tanah pertama kali diperkenalkan oleh Ricardo pada tahun 1911 yang dikenal dengan Ricardo Rent. Sewa tanah menurut Ricardo akan berbeda-beda atau bervariasi (gradient) yang disebabkan adanya tingkat kesuburan tanah yang sangat beragam (heterogenitas tanah). Orang cenderung akan mengusahakan tanah yang subur terlebih dahulu dan setelah yang subur digunakan semuanya, maka kemudian orang mulai memanfaatkan tanah yang kurang subur dan seterusnya hingga pada tanah yang tidak subur (tanah marginal). Perbedaan antara hasil produksi tanah yang subur dengan tanah-tanah yang kurang subur tersebut adalah sewanya (rent) dan hal inilah yang diterima pemilik tanah yang subur, namun dalam teori ini faktor aksesibilitas lokasi tidak terlihat (Koestoer, 1997). Selanjutnya Von Thunen yang memperkenalkan teori sewa tanah pertanian pada tahun 1826 telah mempertimbangkan faktor aksesibilitas, yaitu melihat hubungan antara lokasi yang berbeda dengan pola penggunaan tanah pertanian (pedesaan) secara sederhana (Syihab,1973 dan Koestoer,1997). Pada prinsipnya Von Thunen membagi penggunaan tanah ke dalam beberapa penggunaan, mulai dari daerah dekat yang subur sampai daerah di luar yang tandus. Dengan model Concentric Ring, lokasi tanah tanaman yang berbeda, ditanam berdasarkan biaya transportasi ke pasar, dimana tanaman dengan produktivitas tertinggi akan menempati tempat yang paling dekat dengan pusat kota. Artinya, distribusi pola penggunaan tanah akan sangat dipengaruhi faktor transportasi dan biaya produksinya. Berdasarkan persebaran penggunaan tanah di atas akan tercipta tingkatan- tingkatan sewa lokasi (location rent) atau manfaat ekonomi (economic utility), karena nilai jual hasil produksi tertentu di pasar meningkat seiring dengan peningkatan biaya transportasi, sewa lokasi dan penurunan jarak. Hal ini berarti bahwa semakin ke pusat kota, maka sewa tanah/lokasi semakin tinggi yang disebabkan penurunan biaya transportasi, dan sebaliknya semakin jauh dari pusat Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 58

kota maka sewa tanah/lokasi semakin rendah karena adanya kenaikan biaya transportasi yang harus ditangung oleh petani. Teori ekonomi neo-klasik yang diperkenalkan Alonso tahun 1964 banyak diilhami oleh ide-ide Von Thunen. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan model Von Thunen, dimana selain menekankan masalah daerah pedesaan, namun juga berkaitan dengan wilayah perkotaan (Koesrtoer, 1997). Model Alonso menekankan bahwa penggunaan tanah pertanian di pedesaan sama dengan penggunaan tanah perkotaan. Artinya, suatu tanah mempunyai sewa tertentu jika pemakainya rela membayar sejumlah tertentu untuk suatu lokasi tertentu, sehingga penggunaan di perkotaan berhubungan dengan perbedaan sewa tanah yang dimilikinya. Pada prinsipnya oleh para pemiliknya bahwa setiap bidang tanah yang dikuasai/dimilikinya harus dimanfaatkan secara efektif, efisien dan produktif, namun seringkali tanpa memperhatikan dampak-dampak negatif yang akan diakibatkannya, bahkan menimbulkan kerusakan. Pasal 15 UUPA menegaskan bahwa memelihara tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan tetap memperhatikan pihak ekonomi lemah. Dengan adanya aktivitas pembangunan di berbagai sektor, baik berskala besar maupun kecil akan membutuhkan tanah yang luas. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pola penguasaan/pemilikan tanah pertanian sawah sebagai suatu konsekuensi dari perubahan pemanfaatan tanah yang semula penggunaannya kurang ekonomis, efektif, efisien dan produktif menjadi bernilai ekonomis lebih tinggi, sehingga proses alih fungsi tanah sawah sangat sulit dikendalikan untuk dihentikan. Perubahan pola penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian di atas, selanjutnya akan berdampak pula terhadap perubahan pola sosial ekonomi masyarakat di wilayah pertanian tersebut. Masyarakat petani yang semula mempunyai dan menggarap tanah pertaniannya, kemudian terdesak dan menjual sebagian atau seluruh tanahnya sebagai tempat mencari nafkah, sehingga akhirnya mencari lapangan pekerjaan lain. Oleh karenanya, dalam perencanaan pembangunan di berbagai sektor perlu mempertimbangkan akan terjadinya dampak perubahan pola penggunaan tanah tersebut. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 59

3. Nilai Ekonomi Tanah Nilai ekonomi tanah dalam kajian ini secara ringkas hanya ditinjau dari teori ekonomi neo-klasik dari Alonso yang diperkenalkan pada tahun 1964. Dalam menjelaskan konsepnya, Alonso memperkenalkan kurva penawaran sewa (bid rent curve). Bid rent curve (BRC) untuk perkotaan diperkenalkan tiga jenis penggunaan tanah, yaitu: 1) retailing, 2) industrial, dan 3) residential. BRC retailing mempunyai kurva paling curam, yang disebabkan akan kebutuhannya terhadap aksesibilitas tertinggi. BRC industrial mempunyai kurva lebih landai dibandingkan retailing, yang dikarenakan kebutuhannya terhadap aksebilitas tidak sebesar pada retailing (dalam Koesrtoer, 1997). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sewa tanah akan menurun dengan meningkatnya jarak dari titik lokasi tertentu yang mempunyai aksebilitas maksimal ke pusat kota, hal ini dikompensasikan oleh peningkatan biaya transportasi. Lokasi yang berdekatan dengan pusat kota memiliki aktivitas dengan intensitas-intensitas yang padat, dan intensitas kegiatan tersebut semakin menurun dengan semakin dekatnya lokasi tersebut terhadap pinggiran kota. Sejalan dengan konsep di atas tersebut, menurut pengamatan Alonso bahwa perumahan di kota besar cenderung disusun dalam bentuk lingkaran- lingkaran zones. Oleh karena adanya perubahan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi, serta peningkatan standar hidup penduduk yang semula tinggal di dekat pusat kota yang padat dan kumuh, telah mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke luar kota (dalam Yunus, 1999). Penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi akan memilih tempat tinggal jauh dari pusat kota dan sebaliknya yang berpendapatan lebih rendah akan mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan pusat kota. Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi penduduk yang berpendapatan tinggi mempunyai elastisitas yang lebih tinggi terhadap permintan perumahan dengan luas tanah yang lebih besar dalam struktur ruang modern (lihat Gambar 2.2). Dengan konsep tersebut, menurut Alonso (dalam Kasimin, 1995), bahwa masyarakat (keluarga) berpendapatan tinggi akan tinggal di pinggiran kota (kurva- c) dengan kurva bid rent yang mendatar karena elastisitas permintaan ruangnya lebih tinggi terhadap jarak, sedangkan masyarakat berpendapatan rendah akan tinggal di sekitar pusat kota (kurva-a) dengan kurva bid rent yang curam karena elastisitas permintaan ruangnya lebih rendah terhadap jarak. Hal ini tidak terlepas dari pertimbangan masyarakat berpendapatan rendah tersebut dalam tujuannya Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 60

mengurangi biaya transportasi, sehingga mereka lebih memilih bertempat tinggal di daerah yang dekat dengan tempat kerja. Bid Price P (K) A B C 0a b K (Jarak) c Gambar 2.2: Kurva Bid Price untuk Keluarga yang Berbeda (Alonso) Kecenderungan tersebut oleh para pengusaha/investor juga dimanfaatkan untuk mencari dan menguasai/memiliki tanah yang luas-luas di pinggiran perkotaan, diantaranya dalam mengantisipasi kebutuhan perumahan penduduk yang berpendapatan tinggi. Lokasi yang jauh dari pusat perkotaan dengan harga tanah yanag relatif lebih murah, sehingga memungkinkan para pengusaha/investor tersebut membeli tanah yang lebih luas. Dengan kata lain, bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, maka diharapkan akan meningkatkan pula permintaan terhadap perumahan masyarakat. Namun di sisi lain akan semakin mendesak keberadaan tanah-tanah pertanian dan masyarakat petani yang berada di pinggiran perkotaan. Persoalan yang sangat penting dalam hal ini adalah bagaimana caranya pemerintah (Pemda) membuat suatu kebijakan yang mengatur dan mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan tanah pembangunan perumahan masyarakat tersebut seiring dengan perkembangan penduduknya, sehingga konflik yang ditimbulkan dari kebijakan pembangunan itu dapat ditekan seminimal mungkin. C. Alih Fungsi Tanah Pertanian Alih fungsi lahan sawah dan/atau areal tanah pertanian basah atau kering yang digenangi air secara periodik yang terus menerus ditanami padi atau diselingi dengan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 61

tanaman semusim lainnya adalah perubahan lahan sawah menjadi bukan lahan sawah baik secara tetap maupun sementara (Perpres No. 59/2019). Alih fungsi tanah pertanian ini disebabkan oleh berbagai faktor, hal tersebut dikuatirkan akan berdampak terhadap produksi padi nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional, sehingga diperlukan pengendaliannya sebagai salah satu strategi peningkatan kapasitas produksi padi dalam negeri. 1. Dampak Pembangunan/Perkembangan Wilayah Alih fungsi lahan pertanian sawah tidak terlepas dari proses pembangunan dan perkembangan suatu wilayah dari perdesaan menjadi perkotaan. Proses perubahan ini sedang dialami Pulau Jawa-Bali, di mana penduduk perkotaannya diproyeksi pada tahun 2035 sebanyak ± 81.0 %. Peningkatan penduduk perkotaan yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat sebesar ± 89.3 %, lalu diikuti Banten ± 84.9 %, DI Yogyakarta ± 84.1 %, dan Bali ± 81.2 %, sedangkan DKI Jakarta sudah sejak lama seluruh (100,0%) wilayahnya menjadi perkotaan (BPS, 2019). Pembangunan ekonomi dan urbanisasi merupakan dua faktor penting yang menciptakan perkembangan wilayah pada umumnya. Laju perkembangan suatu wilayah kota sangat ditentukan oleh besar kecilnya kota tersebut karena tergantung kemampuannya memberikan pelayanan kepada daerah belakang (penyangga) sekitarnya. Menurut Sukirno (1976), wilayah kota besar cenderung berkembang dengan lebih cepat dibanding kota kecil, karena hal ini disebabkan antara lain: a. Kota besar merupakan suatu pasar yang sangat luas. b. Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan yang lebih luas terhadap prasarana-prasarana yang tersedia. c. Tersedianya tenaga kerja yang sangat luas. d. Tersedianya lembaga keuangan yang cukup berkembang sebagai faktor yang paling penting yang menyebabkan kota besar mencapai perkembangan yang lebih cepat dari kota kecil lainnya. e. Karena perdagangan suatu daerah urban dengan dunia luar makin berkurang peranannya, yang berarti daerah itu menjadi lebih self-sufficient dan menyebabkan kegiatan dalam kota menjadi bertambah efisien. f. Terdapatnya keuntungan permulaan (initial advantage) yang dimiliki oleh sesuatu kota yang lebih besar dalam proses pembangunan. Suatu kota besar yang telah lama berkembang mempunyai pengaruh yang lebih besar dari kota Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 62

lainnya dalam penentuan lokasi kegiatan ekonomi yang baru atau yang akan dilaksanakan, pada umumnya perusahaan yang baru lebih tertarik untuk mengembangkan kegiatannya di kota-kota yang sudah sangat berkembang karena industri yang sejenis lebih banyak terdapat. Keuntungan yang demikian ini sering disebut localization economies. g. Kota besar dapat menciptakan external economies yang timbul dari pemerintah kota yang lebih efisien di kota besar, jasa-jasa yang diberikan oleh swasta kualitasnya lebih baik, dan terdapatnya fasilitas sosial maupunrekreasi yang lebih luas. Berbagai external economies tersebut tidak hanya menyebabkan perusahaan yang ada dapat bekerja efisien, tetapi juga menyebabkan terjadinya migrasi cendikiawan, pengusaha dan tenaga ahli ke daerah tersebut, sehingga mempertinggi potensi daerah tersebut untuk menciptakan pembangunan ekonominya. Keuntungan yang demikian ini disebut urban economies. h. Kota besar lebih besar mempunyai kesanggupan untuk menarik lebih banyak faktor-faktor produksi luar dan oleh karenanya mampu memproduksi berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh pasaran nasional dan internasional, sehingga dengan demikian mempunyai potensi yang lebih besar untuk berkembang. Selain hal tersebut di atas, juga terjadinya external economies sebagai pproses sebab-akibat komulatif (circular cumulative causation) yang dikemukakan Myrdal, menyatakan bahwa usaha pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan dampak kepada daerah sekitarnya atau belakang (hinterland) yang lebih miskin, baik yang bersifat negatif maupun positif. Dampak yang bersifat negatif, apabila pembangunan di daerah yang lebih maju akan menyebabkan terhambatnya daerah sekitarnya untuk berkembang (backwash effects), sedangkan dampak bersifat positif jika pembangunan di daerah yang lebih maju akan mendorong perkembangan daerah sekitarnya (spread effects) (dalam Sukirno, 1985). Wilayah kota sebagai pusat dari berbagai aktivitas ekonomi, produksi, perdagangan dan konsumen akan terus berkembang mengalami proses aglomerasi. Proses aglomerasi ekonomi ini akan meningkatkan ukuran dan konsentrasi ekonomi di daerah perkotaan sebagai akibat dari perubahan struktural perekonomian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian (industri, perdagangan, jasa dan sebagainya). Pergeseran ini akan meningkatkan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 63

penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian dan pendapatan yang lebih tinggi. Kondisi di atas menjadi daya tarik bagi penduduk yang berasal dari pedesaan atau daerah belakangnya yang masih didominasi sektor pertanian, sehingga meningkatkan arus migrasi. Pembangunan yang dicapai di daerah yang lebih maju dan kaya, umumnya lebih cepat berjalan dibandingkan daerah belakangnya yang miskin. Dalam jangka panjang jurang perbedaan ini semakin lebar yang pada akhirnya mendorong proses alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian karena sektor pertanian sudah tidak menarik lagi dan secara ekonomis tidak efisien untuk diusahakan. Namun, jika proses tersebut terus berlangsung sampai pada saat tertentu wilayah perkotaan yang maju dan kaya tidak mampu lagi menampung pertambahan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang disebabkan daya dukung daerahnya tersebut telah melampaui kemampuannya, sehingga dampaknya semakin mengecil dengan daerah miskin belakangnya. Menurut Myrdal, bahwa apabila daerah yang lebih maju/kaya sudah menjadi sangat berkembang, maka akan timbul external diseconomics terhadap berbagai industri dan perusahaan yang disebabkan terjadinya beberapa kongesti, sehingga menimbulkan dorongan untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan ekonomi ke daerah lain dibelakangnya (dalam Sukirno, 1985). Kondisi ini akan menciptakan pengurangan arus perpindahan penduduk ke daerah yang telah sangat maju tersebut dan mendorong terjadinya alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian akibat land rent tanah usaha pertanian jauh lebih rendah dibandingkan tanah untuk industri, perdagangan, jasa dan permukiman. Dampak dari pembangunan wilayah di atas, baik di bidang infrastruktur jalan, permukiman, industri, perdagangan maupun jasa lainnya mengakibatkan terjadinya penutupan permukaan tanah melalui aspalisasi dan betonisasi, sehingga tanah yang semula mudah penyerapan meloloskan air (permeable) menjadi tidak dapat lagi meloloskan air (impermeable) ke bumi. Menurut Irianto, 2002, alih fungsi lahan pertanian/betonisasi berdampak terhadap 1) penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah, 2) peningkatan volume aliran permukaan, dan 3) peningkatan kecepatan aliran permukaan. Selanjutnya dikatakan, bahwa rendahnya penambahan air tanah (recharge) melalui infiltrasi pada musim hujan akan menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi pada musim kemarau justru Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 64

meningkat, sehingga berdampak penurunan luas daerah layanan irigasi dan intensitas tanam bahkan sering diikuti meningkatnya risiko kekeringan. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap penurunan produksi pangan secara nasional. Langkah penting yang perlu dilakukan untuk menghadapi kecenderungan masalah alih fungsi lahan, kekeringan, dan ketahanan pangan di atas adalah menganalisis tingkat kebutuhan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka mencapai keseimbangan, keserasian dan optimalisasi bagi pembangunan di berbagai sektor yang tertuang dalam RTRW dan pengaturan zonasi penggunaan/pemanfaatan tanah. Adanya keseimbangan dan keserasian ini diharapkan kepentingan di berbagai jenis kebutuhan tanah untuk pembangunan tersebut letaknya sesuai dengan kemampuan dan fungsinya, serta tidak saling mengganggu dan terhindar dari tumpang tindih peruntukan, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal, berdayaguna dan berhasilguna untuk memperoleh hasil yang sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Luas Tanah Usahatani Sempit Luas lahan pertanian per kapita penduduk cenderung semakin sempit, sehingga melahirkan petani-petani gurem dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Kepemilikan atau penguasaan lahan pertanian rata-rata di Pulau Jawa dan Bali lebih sempit lagi, rata-rata 0,34 hektar per rumah tangga petani. Kondisi ini akan berimplikasi pada tingkat kesejahteraan petani (Djoni, dkk, 2016). Luas tanah garapan usahatani yang terlalu kecil tidak akan mampu menunjang dan menjamin kehidupan petani dan keluarganya untuk memperoleh kesejahteraan. Luas tanah yang tidak layak secara ekonomis tidak memiliki insentif untuk dikelola dengan sungguh-sungguh oleh petani, karena penguasaan tanah usahatani yang sempit tersebut akan mengalami hambatan dalam upaya mengalihkan sistem pengelolaan yang bersifat subsisten ke pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial. Volume produksi yang kecil dari setiap satuan usahatani mendorong terbentuknya struktur pasar hasil pertanian yang oligopsoni, di mana akan melemahkan posisi tawar menawar (bargaining position) petani di pasar hasil usahatani. Dalam posisi tawar yang lemah ini, petani hanya sebagai price taker bukan price maker sesuai harapan. Dengan luas tanah usahatani yang terlalu sempit di bawah sekala ekonomis tersebut di atas pada akhirnya akan lebih mudah beralih fungsi, sedangkan petani Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 65

pengelolanya beralih profesi ke usaha pertanian lain atau pindah profesi keluar sektor pertanian. 3. Land Rent Usahatani Petani dalam menjalankan usahatani padinya sangat berharap akan mendapatkan penerimaan yang lebih besar dari biaya produksi yang telah dikeluarkan. Namun, kenyataannya seringkali penerimaan usahataninya tidak sesuai dengan harapan, bahkan banyak petani yang mengalami kerugian. Dengan penerimaan usahatani yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, sedangkan pada sisi lain petani masih memerlukan sumber pendapatan lain selain di luar usahataninya. Menghadapi hal ini petani tertarik untuk mencari pekerjaan lain sebagai sumber pendapatan tambahannya, dan tidak tertutup kemungkinannya petani beralih profesi. Tanah usahatani yang dikelolanya selama ini tidak mendapatkan perhatian serius lagi untuk diusahakan lebih baik yang mengakibatkan produktivitasnya menurun dan semakin tidak ekonomis. Akhirnya, banyak petani yang menjual tanah miliknya, yang pada gilirannnya mendorong terjadinya alih fungsi tanah usahatani ke penggunaan non pertanian. Rendahnya penerimaan (revenue) hasil pertanian dibandingkan dengan biaya produksi (cost of production), sedangkan hasil di sektor non pertanian jauh lebih tinggi seperti industri, perdagangan, jasa dan sebagainya serta tingginya nilai sewa dan harga tanah, sehingga meransang para petani untuk mengalih fungsikan tanah pertaniannya ke bidang non pertanian. Kenyataanya, banyak sekali petani menjual tanah sawahnya kepada pemilik modal untuk kegiatan non pertanian. Di samping itu, juga karena desakan kebutuhan keluarga seperti untuk biaya kehidupan, pendidikan, kesehatan, bahkan sering kali petani tidak mempunysi pilihan yang terpaksa menjual sebagian atau seluruh tanah usahataninya. 4. Fragmentasi Tanah Pertanian Proses fragmentasi tanah pertanian dapat diawali oleh pemecahan tanah (land devision) yang berasal dari pemilikan tanah melalui pewarisan, yang semula dikuasai/dimiliki oleh satu keluarga petani menjadi beberapa keluarga petani sebagai ahli warisnya, sehingga menimbulkan rata-rata pemilikan tanah pertanian semakin sempit. Selain itu, fragmentasi tanah juga terjadi melalui proses jual beli tanah sebagian-sebagian atau peralihan hak atas dengan luas yang kecil-kecil, sehingga tanah yang semula cukup luas menjadi bidang-bidang kecil. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 66

Berdasarkan proses tersebut, fragmentasi mempunyai ciri-ciri bahwa umumnya luas bidang tanah relatif sempit dan letak antar bidang satu dengan bidang yang lain terpisah-pisah (terpencar). Fragmentasi tanah pertanian sebagai proses segregasi spasial yang memengaruhi fungsi optimalnya. Fragmentasi tanah tidak terlepas dari pilihan harapan pemiliknya, yakni terkait dengan pertimbangan berdasarkan ekspektasi manfaat ekonomis yang dapat dipetiknya ataupun terkait dengan upaya memperkecil risiko yang mungkin akan dihadapinya. Bercermin dari sejumlah kasus menunjukkan bahwa fragmentasi lahan pertanian berkontribusi pada (Djoni, dkk, 2016): a. Terhambatnya peningkatan produktivitas usahatani b. Rendahnya efisiensi pengadaan sarana produksi maupun pemasaran produksi hasil pertanian c. Inefisiensi yang terjadi pada ongkos pengelolaan program-program berbantuan, subsidi, dan lain-lain di bidang pertanian; Dari proses di atas, fragmentasi tanah pertanian menjadi salah satu faktor pendorong lajunya alih tanah pertanian. Hal ini akibat usahatani yang sempit dan tidak ekonomis lagi, sehingga tidak dapat menjadi tumpuan kehidupan keluarga petani. Rendahnya intensitas pengelolaan usahatani akan menyebabkan produktivitasnya juga rendah. Pada gilirannya usahatani yang tidak dapat menjamin kebutuhan keluarga akan mudah ditinggalkan petani dan lahan usahatani cenderung beralih fungsi 5. Profesi Sebagai Petani Bukan Pilihan Seiring dengan perjalanan waktu dan terjadinya transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke non pertanian sepeti industrialisasi dan jasa, profesi sebagai petani tidak lagi menjadi simbul status sosial dalam masyarakat, terutama bagi generasi muda. Banyak generasi muda menganggap profesi sebagai petani dianggap kurang bergengsi dan/atau tidak keren. Meskipun, sesungguhnya profesi petani tersebut merupakan profesi yang sangat mulia karena dapat menyediakan bahan pangan, sandang, dan bahan perumahan (papan) untuk banyak orang. Kenyataan di atas berakibat pada profesi sebagai petani tidak populer dan kurang diminati generasi muda, bahkan banyak penduduk yang berprofesi sebagai petani, namun dalam identitas kependudukannya (KTP) seringkali tidak mencantumkan pekerjaannya sebagai petani. Bagi masyarakat di pedesaan, Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 67

sebagai petani sudah mulai menganggap bukan profesi pilihan lagi dan/atau menjadi pilihan terakhir untuk mendukung kehidupan keluarganya. Hasil kajian Djoni, dkk, 2016, bahwa usaha dibidang pertanian (on farm) khususnya usahatani padi, kurang diminati oleh penduduk yang berusia muda. Kalaupun ada, pada umumnya petani masih dalam usia produktif, namun rata-rata > 40 sampai 60 tahun, generasi muda lebih tertarik pada usaha dibidang industri dan jasa, sekalipun hanya sebagai buruh. Semakin banyaknya patani yang berkeinginan beralih profesi dari sektor pertanian untuk menekuni pekerjaan di bidang non pertanian. Hal ini, juga berdampak semakin banyaknya tanah usahatani sawah yang tidak diolah/digarap dengan intensif dan produktif, sehingga tanah-tanah seperti ini cenderung sangat mudah untuk beralih fungsi dan kepemilikannya. 6. Kebijakan Pemerintah Daerah Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam implikasinya kadangkala tidak kondusif terhadap pembangunan usahatani tanaman pangan. Hal ini dapat dilihat dari visi dan misi pembangunan Pemda tersebut, karena seringkali tidak mengisyaratkan bahwa sektor pertanian menjadi basis atau setidaknya memiliki peran yang cukup penting dalam pembangunan daerahnya. Kondisi di atas terutama terjadi di wilayah Kota, karena sektor pertanian tanaman pangan tidak menjadi prioritas dalam pembangunan Kota. Namun, di wilayah Kabupaten kecenderungan ini juga terjadi di daerah-daerah perkotaannya. Hal tersebut dikarenakan terpusatnya investasi pembangunan ke sektor perkotaan, sedangkan sektor perdesaan hanya memperoleh imbas dari kegiatan perekonomian kota. Kebijakan Pemda menjadi sangat berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya tanah pertanian. Keadaan ini mendorong tindakan rasional yang diambil petani yaitu menjual tanahnya mengalihkan kepemilikan atau alih fungsi tanahnya ke penggunaan non pertanian. Pengaruh kebijakan umum Pemda terhadap tanah pertanian pangan dapat dilihat lebih kongkrit dalam arahan rencana tata ruang wilayahnya. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 68

D. Beberapa Gambaran Umum Obyek Penelitian 1. Peta Sumber Daya Agraria Wilayah Pulau/Kepulauan Luas daratan Indonesia 1,912,793 Km2 dan luas lautan 3,257,483 Km2. Wilayah Indonesia terdiri tujuh pulau besar dan sekitar 16,056 pulau besar-kecil. Menurut PP No. 15/2010 Pasal 42, pulau/kepulauan tersebut dibagi menjadi 5 pulau besar dan 2 gugusan kepulauan, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua, serta Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Masing-masing pulau besar dan kepulauan itu mempunyai keunggulan sumber daya agraria, sebagai berikut . a. Pulau Sumatera, dengan luas daratan 477,883 km2 (24,98 % wilayah daratan Indonesia), mempunyai 5,277 pulau, sebanyak 2,654 pulau telah bernama. Pada tahun 2019, Secara administrasi terdiri dari 10 provinsi, 119 kabupaten dan 34 kota. Merupakan basis perkebunan karet dan sawit, batubara, dan migas. Sejak zaman Belanda, perkebunan di Pulau Sumatera memberi kontribusi utama perekonomian Indonesia. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah adalah sebesar 1,764,922 hektar (23.61 % luas baku sawah Indonesia). b. Pulau Jawa dan Bali, dengan luas daratan 135,270 km2 (7.07 % wilayah daratan Indonesia), mempunyai 1,171 pulau, 538 pula sudah bernama. Secara administrasi pemerintahan mencakup tujuh provinsi, 93 kabupaten dan 37 kota. Merupakan basis pangan nasional yang bersumber dari sawah beririgasi teknis, perkebunan teh, kopi, tembakau, ternak sapi. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah terdata sebesar 3,544,806 hektar (47,49 % luas baku sawah Indonesia). Sebagian besar tersebar di Pantai Utara Jawa. c. Pulau Kalimantan, dengan luas wilayah daratan 534,150 km2, terluas di Indonesia. Mempunyai 1,061 pulau, sebanyak 680 pulau sudah bernama. Terdiri lima lima provinsi, 47 kabupaten dan 9 kota. Merupakan basis perkebunan sawit, kayu, minerba, migas. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah adalah 723,931 hektar (9.70 % luas baku sawah Indonesia) d. Pulau Sulawesi, luas daratan 197,313 km2, mempunyai 2,500 pulau, sebanyak 1,212 pulau sudah bernama. Secara administrasi mencakup enam provinsi, 70 kabupaten dan 11 kota. Merupakan basis pangan wilayah Timur, jagung, perkebunan kakao, cengkeh. perikanan laut, nikel. Sulawesi produsen pangan ketiga terbesar Indonesia, dengan kontribusi 10 persen produksi beras dan 15 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 69

persen produksi jagung nasional. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah di Pulau Sulawesi sebesar 973,347 hektar (13.04 %) luas baku sawah Indonesia). e. Pulau Papua, luas daratan 421,997 km2, terluas kedua setelah pulau Kalimantan. Mempunyai 2,515 pulau, diantaranya 1,229 pulau sudah bernama. Terdiri dua provinsi, 40 kabupaten dan 2 kota. Merupakan basis perikanan, kayu, tembaga, migas. Pada tahun 2019 luas baku sawah sebesar 45,055 hektar (0.60 % luas baku sawah Indonesia) f. Kepulauan Nusa Tenggara, luas wilayah 67,290 km2, yang terdiri dari 2,056 pulau, sebanyak 942 pulau sudah bernama. Secara administrasi terdiri dua provinsi, 29 kabupaten dan 3 kota. Mempunyai basis pertanian tanah kering, perikanan, ternak sapi, tembaga. Wilayah Nusa Tenggara terdiri dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang berbeda karakeristik sumberdayanya. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah adalah 390,062 hektar (5.23 % luas baku sawah Indonesia). Sebagian besar terdapat di NTB, khususnya Pulau Lombok. g. Kepulauan Maluku, dengan luas daratan 78,897 km2, mempunyai 2,924 pulau, 1.396 pulau sudah bernaman. Terdiri dua wilayah provinsi, 17 kabupaten dan 4 wilayah kota. Merupakan basis perikanan laut dan tambang nikel. Pada tahun 2019 luas baku sawah sebesar 31,825 Ha (0.43 % luas baku sawah Indonesia) Dari 5 pulau besar dan 2 kepulauan, sebagian besar areal lahan baku sawah (84.14 %) dari luas lahan baku sawah Indosesia (7.46 juta hektar) terdapat di Pulau Jawa dan Bali, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi. Selanjutnya terdapat di Pulau Kalimantan dan Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu sebesar 14.93 % luas lahan baku sawah Indonesia. Adapun untuk Kepulauan Maluku dan Pulau Papua hanya mencakup sekitar 1.03 % luas baku sawah Indonesia. Gambaran umum luas wilayah, jumlah wilayah administrasi dan luas baku sawah di setiap wilayah Pulau Besar disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1: Wilayah Administrasi Menurut Pulau/Kepulauan Tahun 2018 No. Pulau/Kepulauan Luas Wilayah Daratan Jumlah Wil Administrasi Luas Lahan Baku Sawah* Km2 % Prov. Kab Kota Ha % 1 Pulau Sumatera 477,883.03 24.98 10 119 34 1,754,924 23.51 2 Pulau Jawa - Bali 135,268.69 7.07 7 93 37 3,544,806 47.49 3 Pulau Kalimantan 534,150.07 27.93 5 47 9 723,932 9.70 4 Pulau Sulawesi 197,313.46 10.32 6 70 11 973,347 13.04 5 Pulau Papua 421,991.19 22.06 2 40 2 45,055 0.60 6 Kep. Nusa Tenggara 67,290.42 3.52 2 29 3 390,063 5.23 7 Kepulauan Maluku 78,896.53 4.12 2 17 4 31,826 0.43 Jumlah 1,912,793.39 100.00 34 415 100 7,463,953 100.00 Sumber: BPS Provinsi Masing2, Thn 2019, diolah *) Luas Baku Sawah berdasarkan KepMen ATR/BPN No . 686/2019 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 70

2. Sumber Daya Manusia Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 265 juta jiwa. Berdasarkan proyeksi penduduk 2015-2045 hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 269.6 juta jiwa pada 2020. Sebanyak 40 persen penduduk itu diperkirakan tinggal di perkotaan. Angka tersebut terdiri atas 135.34 juta jiwa laki-laki dan 134.27 jiwa perempuan. Sebanyak 66,07 juta jiwa masuk kategori usia belum produktif (0-4 tahun), kemudian sebanyak 185.34 juta jiwa merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun), dan sebanyak 18.2 juta jiwa merupakan penduduk usia sudah tidak produktif (65+ tahun). Saat ini Indonesia memasuki era bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding usia tidak produktif (usia belum produktif + usia sudah tidak produktif). Jumlah penduduk menurut pulau, kepadatan dan konsentrasi tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2018 disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2: Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Pulau/Kepulauan Tahun 2018 Luas Penduduk Tahun 2018 Daratan No. Pulau/Kepulauan Jumlah Kepadatan Perkotaan Km2 Rb Jiwa % Jiwa/Km2 % 1 Pulau Sumatera 477,883.03 57,764.5 21.80 121 45.3 71.3 2 Pulau Jawa - Bali 135,268.69 153,927.8 58.08 1,138 48.4 38.7 3 Pulau Kalimantan 534,150.07 16,209.8 6.12 30 33.7 33.1 4 Pulau Sulawesi 197,313.46 19,461.6 7.34 99 36.9 43.9 5 Pulau Papua 421,991.19 4,260.0 1.61 10 6 Kep. Nusa Tenggara 67,290.42 10,385.2 3.92 154 7 Kepulauan Maluku 78,896.53 3,006.4 1.13 38 Jumlah 1,912,793.39 265,015.3 100.00 139 Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2019, diolah Dari tabel tersebut di atas, dapat dicermati bahwa jumlah penduduk tahun 2018 yang diperkirakan sekitar 265 juta itu, sebanyak 154 juta jiwa (58 persen) tinggal di Pulau Jawa dan Bali. Tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini mencapai 1,138 jiwa/km2. Sekitar 71.3 persen tinggal di wilayah yang dikategori sebagai daerah perkotaan. Jumlah penduduk di wilayah Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan dan Kepulauan Nusa Tenggara berturut menduduki peringkat berikutnya, dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa, dengan kepadatan sekitar 100 jiwa/km2 (kecuali Kalimantan) dan sekitar 40-an persen tinggal di wilayah perkotaan. Sementara itu, untuk wilayah Kepulauan Maluku dan Pulau Papua, jumlah penduduk masih di bawah 5 juta jiwa. Namun untuk Kepulauan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 71

Maluku karena luas daratan relatif kecil maka kepadatan penduduknya menjadi tinggi, yaitu sekitar 38 jiwa/km2, di atas Pulau Kalimantan, 30 jiwa/km2. 3. Sumber Daya Sosial Sektor Pertanian Salah satu sumberdaya sosial sektor pertanian yang strategis dalam penelitian ini adalah jumlah rumah tangga yang mata pencaharian utama adalah di bidang usaha pertanian, utamanya yang menenam padi. Berdasarkan Hasil Survey Pertanian Antar Sensus pada tahun 2018 diperoleh data tentang jumlah rumah tangga yang matapencaharian utama adalah pertanian, khususnya tanaman padi. Hasil olahan data menurut wilayah pulau disajikan pada Tabel 2.3. Pada tahun 2018, jumlah rumah tangga di seluruh Indonesia tercatat 98.31 juta keluarga, yang sebagian besar di Pulau Jawa dan Bali (49.25 %) serta Pulau Sumatera (25.93 %). Dari jumlah rumah tangga sebanyak 98.31 juta keluarga itu, yang berusaha di bidang pertanian sebanyak 27.68 juta keluarga atau sekitar 28.71 rumah tangga. Dari 27.68 juta keluarga itu, sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Bali, sebanyak 14.38 juta keluarga (51.94 %) dan Pulau Sumatera sebanyak 2.44 juta keluarga (18.54 %). Adapun yang berusaha menanam padi sawah sebanyak 13.16 juta keluarga. Sebagian besar juga terdapat di Pulau Jawa dan Bali, yaitu sebanyak 8.13 juta keluarga (61.29 %) dan Pulau Sumatera sebanyak 2.44 juta keluarga (1.54 %). Tabel 2.3: Mata Pencaharian Utama Penduduk Menurut Pulau/Kepulauan Tahun 2018 Rumah Tangga RT Usaha RT Usaha No Pulau/Kepulauan (RT) Pertanian Padi Sawah KK % KK % KK % 1 Pulau Sumatera 25,492,458 25.93 6,943,027 25.08 2,439,101 18.56 8,128,889 61.87 2 Pulau Jawa - Bali 48,421,985 49.25 14,378,138 51.94 888,895 6.76 3 Pulau Kalimantan 6,253,003 6.36 1,713,048 6.19 894,988 6.81 19,887 0.15 4 Pulau Sulawesi 9,335,935 9.50 2,375,828 8.58 766,218 5.83 5 Pulau Papua 1,646,969 1.68 468,493 1.69 1,713 0.01 13,139,691 100.00 6 Kep. Nusa Tenggara 5,818,181 5.92 1,485,228 5.37 7 Kepulauan Maluku 1,343,377 1.37 318,355 1.15 Jumlah 98,311,908 100.00 27,682,117 100.00 Sumber: BPS, Hasil Survey Pertanian Antar Sensus 2018, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 72

4. Sumber Daya Ekonomi Wilayah a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan PDRB/Kapita Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi-Provinsi Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada Tahun 2018 disajikan pada Tabel 2.4. Berdasarkan data Tabel 2.4 tersebut, menunjukkan bahwa jumlah PDRB seluruh Indonesia adalah hampir Rp 15 ribu Trilyun. Dari jumlah tersebut sebagian besar sekitar 60 % dihasilkan provinsi-provinsi di wilayah Pulau Jawa dan Bali serta provinsi-provinsi di wilayah Pulau Sumatera sekitar 21.58 %. Provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan dan Sulawesi hanya sekitar 8.2 dan 6.2 %. Sementara itu, provinsi-provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Pulai Papua masing-masing masih di bawah 2.0 % PDRB Provinsi seluruh Indonesia. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia masih didominasi di wilayah Indonesia Bagian Barat. Walupun PDRB provinsi-provinsi tertinggi di Pulau Jawa dan Bali serta Pulau Sumatera, namun tingginya jumlah penduduk di kedua wilayah pulau tersebut, menjadikan PDRB/Kapita lebih rendah dibanding PDRB/Kapita provinsi- provinsi di wilayah Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. PDRB/Kapita ADHB Pulau Jawa dan Bali pada tahun 2018 sekitar Rp 58.46 juta/Kapita, Pulau Sumatera sekitar Rp 55.97 juta.Kapita. Jauh di bawah PDRB provinsi-provinsi di wilayah Pulau Kalimantan yang mencapai Rp 75.1 juta/Kapita dan Pulau Papua Rp 68.15 juta/kapita. Sementara itu untuk provinsi-provinsi di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku, selain PDRBnya rendah juga PDRB/ Kapitanya juga rendah yaitu sekitar Rp 21.47 juta/Kapita untuk Kepulauan Nusa Tenggara dan Rp 26.47 juta/Kapita untuk Kepulauan Maluku. Apabila ditelaah lebih lanjut dengan data PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010, kondisi konsentrasi kegiatan ekonomi hampir 10 tahun (2010 s/d 2018) relatif tidak berubah. PDRB sebagian besar tetap terkonsentrasi di provinsi-provinsi di wilayah Pulau Jawa dan Bali serta Pulau Sumatera dengan lontribusi masing-masing sekitar 60.29 % dan 21.46 %. Sementara itu perubahan jumlah PDRB dan PDRB/Kapita pada harga konstan tahun 2010 adalah mengindikasi besarnya tingkat inflasi pada masing-masing provinsi pada wilayah pulau/kepulauan yang bersangkutan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 73

Tabel 2.4: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Pulau/Kepulauan Tahun 2018 No. Provinsi PDRB Atas Dasar PDRB per PDRB Atas Dasar Harga PDRB per Harga Berlaku Kapita Konstan Th 2010 Kapita Rp Milyar % Rp Ribu Rp Milyar % Rp Ribu 1 Pulau Sumatera 3,233,250 21.49 55,973 2,259,524 21.46 38597 2 Pulau Jawa - Bali 8,999,105 59.81 58,463 6,346,986 60.29 41234 3 Pulau Kalimantan 1,288,825 8.57 75,811 875,936 8.32 54037 4 Pulau Sulawesi 931,896 6.19 47,884 643,348 6.11 33057 5 Pulau Papua 290,304 1.93 68,146 190,183 1.81 51686 6 Kep. Nusa Tenggara 222,959 1.48 21,469 156,264 1.48 15047 7 Kepulauan Maluku 79,563 0.53 26,465 54,515 0.52 18133 Jumlah 15,045,902 100.00 56,548 10,526,756 100.00 39721 Sumber : BPS. 2019. PDRB Provinsi-Provinsi Se Indonesia Menurut Lapangan Kerja. Diolah. b. Produk Domestik Regional Bruto dan Kontribusi Sektor Pertanian Pangan BPS juga menerbitkan Data Kontribusi Sektor-Sektor Lapangan Usaha pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi-Provinsi Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010. Hasil olahan untuk kontibusi Pertanian Pangan terhadap masing-masing wilayah pulau dan kepulauan disajikan pada Tabel 2.5. Dari Tabel 5 tersebut, menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian pangan terhadap PDRB di semua provinsi-provinsi dalam wilayah pulau dan kepulauan relatif kecil. Di wilayah Pulau Jawa dan Bali serta wilayah Pulau Sumatera yang jumlah PDRBnya sekitar 80 % PDRB provinsi provinsi di seluruh Indonesia, dan jumlah produk pertanian pangan relatif tinggi, namun hanya menyumbang sekitar 2.67 % untuk PDRB Pulau Jawa dan Bali serta sekitar 3.68 % untuk PDRB Pulau Sumatera. Sementara itu, kontribusi produk pertanian pangan terhadap PDRB pada provinsi-provinsi dalam wilayah Pulau Sulawesi dan Kepulauan Nusa Tenggara relatif tinggi, yaitu sekitar 6 s/d 7 % PDRB masing-masing. Keadaan itu menunjukkan bahwa sektor industri non pertanian telah mendominasi struktur kegiatan ekonomi di wilayah Pulau Jawa dan Bali serta Pulau Sumatera, sementara untuk wilayah pulau dan kepulauan lainnya masih didominasi oleh sektor industri pertanian. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 74

Tabel 2.5: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Kontribusi Pertanian Pangan Menurut Pulau/Kepulauan Tahun 2018 PDRB Atas Dasar Harga PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Konstan Tahun 2010 No. Provinsi Jumlah Pangan Jumlah Pangan Rp Milyar Rp Milyar % Rp Milyar Rp Milyar % 1 Pulau Sumatera 3,233,250 118,923 3.68 2,259,524 77,284 3.42 2 Pulau Jawa - Bali 8,999,105 240,623 2.67 6,346,986 148,321 2.34 3 Pulau Kalimantan 1,288,825 18,165 1.41 875,936 12,591 1.44 4 Pulau Sulawesi 931,896 55,531 5.96 643,348 37,070 5.76 5 Pulau Papua 290,304 5,290 1.82 190,183 3,715 1.95 6 Kep. Nusa Tenggara 222,959 15,455 6.93 156,264 14,616 9.35 7 Kepulauan Maluku 79,563 3,135 3.94 54,515 2,122 3.89 Jumlah 15,045,902 457,122 3.04 10,526,756 295,719 2.81 Sumber : BPS. 2019. PDRB Provinsi-Provinsi Se Indonesia Menurut Lapangan Kerja. Diolah. Keterangan: Lapangan Usaha 1 (Kategori A-1 Pertanian Pangan) E. Kerangka Pendekatan Penelitian 1. Pendekatan Sistem Terintegrasi Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, bahwa faktor penyebab alih fungsi lahan sawah dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup faktor teknis, faktor ekonomis, dan faktor sosial lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah mencakup faktor pertumbuhan penduduk, faktor kebijakan pemerintah daerah, dan sebagainya. Pada sisi yang lain, faktor penyebab alih fungsi sawah juga dapat dilihat dari sudut pandang faktor langsung dan faktor tak langsung. Faktor langsung atau faktor mikro yaitu faktor di tingkat petani dimana faktor tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani untuk melakukan atau tidak melakukan alih fungsi sawah. Sedangkan faktor tidak langsung atau faktor makro yaitu faktor penyebab alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah yang secara tak langsung mempengaruhi keputusan petani/pemilik lahan sawah Berdasarkan kedua sudut pandang faktor internal dan eksternal maupun faktor langsung dan tidak langsung, maka dalam kajian ini dilakukan dengan pendekatan sistem terintegrasi di antara berbagai faktor pendorong dan pengendali. Melalui pendekatan itu berimplikasi terhadap jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis: a. Jenis data yang dikumpulkan berbasis petani dan kewilayahan dengan bentuk tekstual, numerik dan spasial/keruangan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 75

b. Teknik pengumpulan data selain digunakan data sekunder (top down), juga diintegrasikan dengan pendekatan berbasis partisipatory bottom up approach, yaitu dengan cara wawancara kepada pemangku kepentingan dan masyarakat. c. Faktor pendorong utama alih fungsi lahan sawah difokuskan pada faktor/variabel kebijakan, aksesibilitas, ketersediaan infrastruktur dasar, kondisi sosial ekonomi, kelembagaan, dan faktor terkait lainnya d. Faktor pengendali utama alih fungsi sawah difokuskan pada faktor/variabel kebijakan pemanfaatan ruang, insentif dan disinsentif serta kebijakan lain seperti pembelian lahan sawah dan sebagainya. e. Analisis yang digunakan juga terintegrasi berbasis analisis statistik dan analisis spasial serta pendekatan regulation impact analysis terhadap peraturan tentang alih fungsi lahan sawah dan dampaknya. f. Rekomendasi yang diusulkan difokuskan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi satuan kerja (Satker) atau unit kerja di Kementerian ATR/BPN yang terkait dengan pencegahan/pengendalian alih fungsi lahan sawah dan pemanfataan ruang. 2. Pendekatan Regulatory Impact Analysis (RIA) Selama 3 tahun terakhir 2018 hingga 2019, dalam kerangka pengendalian alih fungsi alih lahan pertanian, khususnya lahan sawah, telah diterbitkan tiga kebijakan strategis yaitu: a. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah b. Peraturan Menteri ATR/KBPN Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten c. Keputusan Menteri ATR/KBPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019 ttg Penetapan Luas Baku Sawah Nasional, yang dilampiri luasnya di setiap provinsi Di samping ketiga kebijakan tersebut, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang juga telah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri ATR/KBPN tentang Pembelian Sawah sebagai salah satu instrumen pengendalian luas baku sawah. Dalam rangka penelitian pengendalian alih fungsi sawah, kebijakan di atas perlu dikaji dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat, yang salah satunya dengan menggunakan pendekatan Regulatory Impact Analysis (RIA). Regulatory Impact Analysis ini kadang juga disebut Regulatory Impact Assessment atau Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 76

disingkat RIA. Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah suatu metode dalam penyusunan kebijakan dengan pendekatan yang diharapkan bisa mengakomodasi semua kebutuhan dalam penyusunan perundang-undangan (Suska, 2012). Lebih lanjut dikatakannya, bahwa Regulatory Impact Analysis (RIA) menurut Bappenas merupakan proses analisis dan pengkomunikasian secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru maupun kebijakan yang sudah ada. Dalam penelitian ini, RIA yang dipergunakan adalah Regulatory Impact Analysis sebagai kerangka pemecahan masalah publik dan instrumen analisis dampak sosial dan ekonomi sebuah kebijakan/regulasi. Regulatory Impact Analysis (RIA) adalah kerangka analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial dari suatu regulasi dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) (Badan Diklat Keuangan, Kemenkeu, 2019). Pendekatan RIA meliputi 10 tahapan sebagai berikut: a. Merumuskan masalah Masalah kebijakan pengendalian lahan sawah adalah nilai, kebutuhan yang belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi, untuk kemudian diperbaiki melalui tindakan publik. Beberapa ciri, antara lain: (1) terdapat saling ketergantungan antar masalah kebijakan, (2) bersifat dinamis, dan (3) mengandung subyektivitas. Oleh karena itu, perlu adanya framing yang fokus pada akar masalah, apakah government failure ataukah market failure dalam pola decision tree. Selanjutnya didefinisikan secara jelas sejelas-jelasnya dan rinci serinci-rincinya agar tidak ambigu dan tafsir ganda b. Mengidentifikasi tujuan (sasaran) kebijakan Dalam identifikasi tujuan perlu dipastikan apakah tujuan (sasaran) pemerintah dalam pengendalian alih fungsi sawah tersebut untuk menyelesaikan sebagian atau keseluruhan permasalahan yang dihadapi?. Selain itu, analisis juga perlu dipastikan apakah kewenangan Kementerian ATR/BPN dan kewenganan Pemda dalam pengendalian alih fungsi sawah, termasuk pembelian sawah yang konsisten dengan peraturan perundang-undangan lainnya. c. Kegiatan peramalan Dalam rangka identifikasi tujuan dan sasaran membutuhkan kegiatan peramalan atau forecasting untuk membuat informasi aktual tentang situasi lahan sawah di masa depan. Peramalan menjadi penting agar alternatif yang Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 77

dibuat menjadi semakin relevan dengan situasi yang akan dihadapi ketika kebijakan pembelian sawah benar-benar diimplementasikan. Peramalan mengambil tiga bentuk, yaitu peramalan ekstrapolasi, peramalan teoritis dan peramalan pendapat ahli. 1) Peramalan ekstrapolasi, yaitu ramalan yang didasarkan atas ekstrapolasi hari ini ke masa depan. Produknya disebut proyeksi. Teknik yang digunakan antara lain analisis antar waktu, estimasi tren linear, pembibitan eksponensial, transformasi data, dan katastrofi metodologi. Peramalan ini menggunakan tiga asumsi dasar, yaitu: persitensi (pola yang diamati dimasa lampau akan tetap ditemui di masa depan), keteraturan (visi di masa lalu sebagaimana ditunjukkan oleh kecenderungan akan terulang secara ajeg di masa depan) dan reliabilitas-validitas data. 2) Peramalan teoritis, yaitu ramalan yang didasarkan pada suatu teori, dan produknya disebut prediksi. Teknik yang digunakan antara lain pemetaan teori, model kausal, analisis regresi, estimasi titik dan interval, dan analisis korelasi. Apabila peramalan ekstrapolatif menggunakan logika induktif, peramalan teoritis menggunakan logika deduktif. 3) Peramalan penilai pendapat, yaitu ramalan yang didasarkan pada penilaian para ahli atau pakar, dan produknya disebut perkiraan. Teknik yang digunakan antara lain Delphi kebijakan, analisis dampak silang dan penilaian fisibilitas (kelayakan). Teknik peramalan penilaian pendapat berusaha memperoleh dan mensistensikan pendapat-pendapat para pakar. Logika yang digunakan bersifat retroduktif karena analisis dimulai dengan dugaan tentang suatu keadaan, dan kemudian berbalik ke data atau asumsi yang digunakan untuk mendukung tersebut. Dalam hal peramalan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi, yaitu yang berkenaan dengan akurasi ramalan, kondisi komparatif masa depan dan konteks. d. Melakukan penilaian resiko Pada tahap ini, dilakukan analisis assesment terhadap risiko yang mungkin timbul dalam berbagai skenario (risiko jika status quo tanpa pembelian dan risiko jika pemerintah menetapkan kebijakan pembelian lahan sawah). Risiko adalah events atau circumstances (kejadian atau keadaan) yang dapat mempengaruhi/menghalangi tercapainya tujuan. Pemilihan perlu tidaknya Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 78

pemerintah melakukan intervensi dapat ditentukan dengan melihat besarnya dampak jika risiko tersebut terjadi (impact). Penilaian risiko ini dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian risiko dapat dilakukan pada tahapan pemilihan alternatif. Pada tahapan pemilihan alternatif, assesment dan pengukuran risiko bermanfaat untuk melihat alternatif manakah yang paling baik dalam mengurangi risiko. e. Identifikasi alternatif (opsi) penyelesaian masalah Pada tahap ini, dilakukan pengembangan alternatif tindakan (opsi) yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah diidentifikasi. Fokus review adalah melihat apakah pemerintah telah mempertimbangkan seluruh opsi (alternatif tindakan) yang tersedia. Analis kebijakan juga harus memperhatikan apakah terdapat cara (alternatif tindakan) lain yang lebih baik dan lebih jelas, yang dapat digunakan pemerintah untuk mencapai tujuannya? Bagaimana dengan alternatif tidak melakukan apa- apa?. Dengan melihat alternatif penyelesaian masalah lainnya, dapat membandingkan dengan mempertimbangkan alternatif manakah yang lebih baik dalam mencapai hasil yang diinginkan. f. Analisis manfaat dan biaya (cost/benefits) Dilakukan assessment atas manfaat dan biaya untuk setiap opsi atau alternatif tindakan dari sudut pandang pemerintah, masyarakat, konsumen, pelaku usaha, dan ekonomi secara keseluruhan. Dalam analis kebijakan perlu dirumuskan pihak-pihak yang terkena kebijakan secara langsung dan tidak langsung, manfaat yang diperoleh pemerintah, masyarakat dan sektor swaata, biaya (dampak) yang timbul dari implementasi kebijakan pembelian lahan sawah serta biaya (dampak) yang harus ditanggung oleh pemerintah, masyarakat, konsumen, pelaku usaha, dan dari aspek ekonomi secara keseluruhan apakah manfaat pembelian lahan sawah lebih besar dari biayanya? g. Komunikasi (konsultasi) dengan stakeholders Kebijakan pengendalian alih fungsi sawah perlu dikomunikasikan kepada stakeholders, terutama pelaksana yang menjalankan kebijakan di lapangan. Konsultasi ini harus dilakukan dari mulai tahap awal perumusan kebijakan sampai dengan tahap implementasi dan monitoring pelaksanaan kebijakan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 79

Konsultasi dengan pemangku kepentingan dilakukan melalui forum FGD dan Workshop untuk memastikan bahwa pemerintah menangani masalah pembelian lahan sawah dengan tepat, dan bahwa persepsi pemerintah terhadap masalah yang dihadapi sama dengan persepsi masyarakat, pelaku usaha, maupun stakeholders lainnya. h. Penentuan opsi (alternatif kebijakan) terbaik Fungsi analisis dalam tahap ini adalah memastikan bahwa pemerintah telah membandingkan semua cost/benefit dan memilih opsi yang paling efisien dan efektif. Dalam model ini kebijakan harus dapat dikuantifikasi secara finansial dengan (a) mengidentifikasi impact yang relevan, (b) menghitung secara finansial impact tersebut, antara lain menggunakan pendekatan oppurtunity cost, willingness to pay, (c) valuasi output, melakukan diskon untuk variabel waktu dan resiko serta (d) memilih alternatif kebijakan yang paling besar manfaat dan resiko terkecil. i. Perumusan strategi adopsi dan implementasi kebijakan Merumuskan strategi untuk mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan alih fungsi sawah pembelian lahan sawah di lapangan mencakup sosialisasi kebijakan dan monitoring pelaksanaan kebijakan. Adopsi adalah ketika kebijakan diterima secara legal-formal. Langkah yang diperlukan agar hasil analisis dapat diadopsi: Pertama, melakukan penilaian kelayakan pembelian lahan sawah bahwa secara politik ketahanan pangan sangat relevan dilaksanakan Kedua, melakukan kooptopsi, kompromi serta berbagai strategi agar para pemangku kepentingan yakin bahwa sasaran kebijakan pembelian lahan swah adalah sejalan dengan program dan kebijakan para pemangku kepentingan. j. Pemantauan dan evaluasi hasil kebijakan Dalam pemantauan terdapat empat fungsi kebijakan yang strategis , yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan yang telah ditetapkan. Jenis tindakan kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu kebijakan regulatif dan kebijakan alokatif. Kebijakan regulatif merupakan tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sedangkan kebijakan alokatif merupakan tindakan mengalokasikan Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 80

sumberdaya tertentu pada sasaran kebijakan. Baik kebijakan regulatif maupun alokatif dapat memberikan akibat yang bersifat distributif dan redistributif. Evaluasi mempunyai arti yang menunjukkan pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan pembelian lahan sawah: (a) mengungkapkan seberapa jauh capaian pembelian lahan sawah dalam periode tertentu dan target tertentu, (b) kelayakan pembelian lahan sawah untuk mengamankan ketahanan, dan (c) kemungkinan perbaikan/revisi peraturan atau merubah strategi pembiayaan. 3. Kerangka Pemikiran Pendekatan Berdasarkan berbagai pertimbangan pendekatan tersebut, disusun kerangka pikir pengendalian alih fungsi lahan sawah dan pemanfaatan ruang yang menggambarkan isu-isu strategis alih fungsi lahan sawah dan pemanfaatan ruang dalam kerangka mengamankan kebijakan nasional untuk mengendalikan dan memantau luas lahan baku sawah merupakan tahapan input dan process dalam pendekatan kinerja pengendalian dan/atau pencegahan alih fungsi lahan sawah, selanjutnya tahapan berikut adalah ouput, outcome dan impact sebagai sesuatu hasil yang diharapkan sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 81

INPUT PROCESS OUTPUT OUTCOME IMPACT Kebijakan Nasional Program Pengendalian Alih Pengendalian dan Fungsi Lahan Baku Pemantauan Luas Sawah 2020-2024 Lahan Baku Sawah dan Pencegahan Dalam Dimensi Pemanfaatan Pertanahan dan Ruang Ruang Pemetaan Regulatory Impact IKK Unit Terkait Alih Fungsi Lahan Stabilitas Isu-Isu Analysis (RIA) dan Model Sawah Terkendali Luas Lahan Baku Nas/ Strategis 1. Evaluasi Efektivitas Saat Kini Pengendalian Didukung Nilai Daerah dan 2. Penetapan Opsi Terbaik Alih Fungsi Indeks Alih Kedaulatan/ Alih Fungsi 3. Manfaat dan Resiko Lahan Sawah Ketahanan Lahan Sawah dan 4. Pengambilan Keputusan Fungsi Lahan 5. Pengendalian & Pemantauan dan Pencegahan dan Strategi Pangan Pemanfaatan Pemanfaatan Pencegahan Nasional Ruang Ruang Pemanfaatan Ruang Pendekatan Terintegrasi Kerangka Analisis Teknis-Regulasi-Sosek- Tekstual-Statistika Kelembagaan Partisipatif Dynamic Spatial PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN LUAS BAKU SAWAH DAN PENCEGAHAN PEMANFAATAN RUANG Gambar 2.3 : Kerangka Pikir Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 82

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian pengendalian pertanahan dan tata ruang dalam upaya kebijakan pencegahan alih fungsi lahan sawah ini merupakan baseline study dengan pendekatan kajian kebijakan dan pustaka berdasarkan pada peraturan perundang- undangan, dokumen kebijakan, data dan informasi di lapangan, yang digali, didalami dan dipelajari dari para narasumber dan responden mengenai berbagai faktor/variabel yang berpengaruh dalam rangka pencegahan alih fungsi lahan sawah melalui instrumennya dalam pemanfaatan ruang. Hasilnya diharapkan dapat bermanfaat untuk merumuskan penentuan indeks laju alih fungsi lahan sawah dengan berbagai alternatif instrumen kebijakan pencegahannya. Metode dasar yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif melalui studi kasus dan penelitian lapangan (Case Studies and Field Research) yang dilakukan di 5 lokasi provinsi sampel meliputi 5 kabupaten sampel. Studi kasus diarahkan untuk memahami dan mendalami fenomena mengenai kecenderungan dan pengaruh dari masing-masing faktor/variabel terhadap pencegahan alih fungsi lahan sawah melalui penghitungan angka indeks laju perubahannya dan instrumennya dalam pemanfaatan ruang. Berdasarkan kerangka pimikiran pendekatan penelitian di atas, maka untuk keperluan bahan analisis dan pembahasan dalam rangka pemecahan dan menjawab permasalahan atau tujuan penelitian diperlukan data dan informasi pendukungnya, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Berkaitan dengan hal itu, lebih lanjut dilakukan beberapa langkah untuk memperoleh, mengkompilasi, mengolah dan menganalisis data dan informasi tersebut sebagai berikut. B. Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi sampel penelitian untuk provinsi dan kabupaten sampel menggunakan metode Purposive Sampling, sedangkan untuk responden pemangku kepentingan dan masyarakat dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Penelitian ini dilaksanakan di 5 provinsi sampel, yang dipilih berdasarkan pembagian wilayah pulau/kepulauan menurut PP No. 15/2010, Pasal 42, dimana Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 83

wilayah Indonesia dibagi menjadi 5 pulau besar yang terdiri dari Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua, serta 2 gugusan kepulauan meliputi Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Selain itu, juga mempertimbangkan keberadaan lahan pertanian sawah, RTRW, jumlah dan kepadatan penduduk, dan sebagainya, serta kondisi saat ini adanya wabah pandemik Covid-19, sehingga wilayahnya dibatasi yang lebih banyak berada di Pulau Jawa. Mengacu pada kriteria tersebut, maka dari Pulau Jawa-Bali diambil 3 provinsi sampel, Pulau Sumatera 1 provinsi sampel, dan Kepulauan Nusa Tenggara 1 provinsi. Provinsi sampel yang terpilih adalah Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selanjutnya dari setiap provinsi sampel ini diambil/dipilih 1 kabupaten sebagai lokasi sampel, yaitu kabupaten dengan kriteria utama mempunyai luas lahan baku sawah yang relatif masih luas berdasarkan data BPS dan/atau Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dan secara eksisting masih dipergunakan/dimanfaatkan untuk usahatani padi, memiliki Perda RTRW dan terdapatnya wilayah perkotaan. Kriteria pendukung adalah diprioritaskan dipilih kabupaten yang sudah mempunyai 1 atau lebih tersedianya Perda RRTR/RDTR, peraturan zonasi, lahan LP2B, atau insentif/disinsentif terkait dengan lahan pertanian sawah. Adapun untuk sampel kabupaten, berdasarkan luas lahan baku sawah (Kepmen ATR/BPN No. 686/2019) dan/atau luas panen padi Tahun 2018 (BPS, 2019), maka dipilih/ditetapkan lokasi kabupaten di masing-masing provinsi seperti pada Tabel 3.1. Dari setiap kabupaten sampel tersebut, dengan kriteria yang sama di atas, dipilih 2 kecamatan sampel, yaitu diutamakan kecamatan yang mempunyai lahan sawah, berbatasan langsung dan/atau relative dekat dengan wilayah perkotaan. Selanjutnya dari setiap kecamatan sampel, dengan kriteria yang sama dipilih minimal 1 desa/kelurahan sampel atau lebih sesuai kebutuhan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 84

Tabel 3.1: Lokasi sampel provinsi dan kabupaten penelitian pengendalian pertanahan dan tata ruang berdasarkan luas lahan sawah dan luas panen padi Tahun 2018 Kabupaten Sampel No. Provinsi Sampel Kabupaten Luas Lahan Luas Panen Padi Sawah 2018 Sawah 2018 Ha Ha 1 Prov. Banten Kab. Serang 47,574 79,459 2 Prov. Jawa Barat Kab. Karawang 95,016 185,807 3 Prov. Jawa Tengah Kab. Demak 52,315 106,630 4 Prov. Lampung Kab. Lampung Tengah 78,239 98,254 5 Prov. Nusa Tenggara Barat Kab. Lombok Tengah 54,517 87,211 Sumber: BPS, Kabupaten Dalam Angka 2019, di masing-masing lokasi & diolah C. Pengumpulan Data dan Informasi 1. Jenis Data dan Informasi, Sumber, Cara Perolehan dan Bentuknya Penelitian pengendalian pertanahan dan tata ruang dalam upaya kebijakan pencegahan alih fungsi lahan sawah (luas baku sawah) melalui instrumen pencegahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang, serta perumusan penghitungan indeksnya adalah kajian kebijakan yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan, dokumen kebijakan, data dan informasi di lapangan. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Adapun jenis data dan informasi yang dikumpulkan, serta sumber, cara perolehan dan bentuknya disajikan pada Tabel 3.2. Selain cara perolehan tersebut, pengumpulan data juga dilakukan melalui kuesioner yang dirancang berdasarkan pendekatan skala Likert, yaitu: (1) tidak setuju, (2) kurang setuju, (3) ragu-ragu, (4) setuju, dan (5) sangat setuju, dan/atau disesuaikan dengan objek yang ditanyakan, seperti sangat tidak tepat, tidak tepat dan seterusnya. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 85

Tabel 3.2 : Jenis Data yang Dikumpulkan, Sumber, Cara Perolehan dan Bentuknya No. Jenis Data dan Informasi Bentuk Sumber Cara Perolehan 1 Kebijakan pengendalian sawah Peraturan perundang-undangan Pustaka Studi Pustaka 2 Luas wilayah Pulau/Prov/Kab Dokumen kebijakan, laporan Instansi Studi Pustaka 3 Luas baku sawah/sebaran Tekstual, digital tematik, spasial ATR/BPN Ratek, FGD 4 Alih fungsi sawah/sebaran Tekstual, digital tematik, spasial ATR/BPN Ratek, FGD 5 Penduduk dan mata pencaharian Dokumen kebijakan ATR/BPN, Studi Pustaka petani KemenKeu Ratek, FGD 6 Produktivitas sawah Dokumen kebijakan, laporan Instansi Studi Pustaka 7 PDRB/Kapita ADHB dan ADHK Dokumen kebijakan, laporan Instansi Studi Pustaka 8 RDTR Kabupaten Dokumen kebijakan, laporan Instansi Studi Pustaka 9 Zona nilai tanah Peta zonasi ATR/BPN Prov/Kab/Kota 10 Persepsi pemangku kepentingan Pengetahuan, pemahaman, Wawancara Ratek, Survei terhadap alih fungsi sawah pendapat, opini Daftar isian Lapang 11 Model pengendalian sawah Peraturan, dokumen kebijakan, ATR/BPN, Ratek, Survei insentif/disinsentif laporan, hasil survei lapang Lapang 12 Model dan peraturan pembelian Peraturan, dokumen kebijakan, ATR/BPN, Ratek, Survei sawah laporan, hasil survei lapang KEMTAN Lapang 13 Opsi pengendalian pemanfaatan Hasil analisis statistika dan GIS Apraisal Ratek, Survei ruang untuk sawah Lapang 14 Opsi pengendalian & pemantauan Hasil analisis statistika dan GIS Apraisal Ratek, Survei pertanahan untuk sawah Lapang 2. Responden Penelitian Responden yang diperlukan sebagai sumber data dan informasi dalam penelitian ini adalah aparat pemerintah dan masyarakat, baik di Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten beserta jajarannya, Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemda) maupun masyarakat petani. Adapun responden tersebut sebagai berikut: a. Pejabat di Kanwil BPN Provinsi, yaitu Kakanwil dan para Kabid, serta para Kasi yang terkait dengan penatagunaan tanah, penataan kawasan tertentu, dan pengendalian pertanahan (9 responden) b. Pejabat di Kantah Kabupaten, yaitu Kakantah dan para Kasi, serta para Kasubsi yang terkait dengan penatagunaan tanah dan kawasan tertentu, dan pengendalian pertanahan (8 responden) c. Kepala Bappeda Kabupaten atau pejabat yang ditunjuk terkait dengan pertanian tanaman pangan/padi sawah dan penataan ruang (1 responden) d. Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Kabupaten atau pejabat yang ditunjuk terkait dengan RTRW, RRTR/RDTR, dan Zonasi/perizinan/insenti/disisentif (1 responden) e. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten atau pejabat yang ditunjuk terkait dengan pertanian tanaman pangan/padi sawah (1 responden) f. Masyarakat petani Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 86

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Structural Equation Modeling Analysis (SEM). Metode mensyaratkan jumlah total responden minimal sebanyak 100 orang untuk seluruh lokasi sampel penelitian. Pengambilan responden masyarakat petani sawah sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dengan cara alokasi proporsional menggunakan metode Slovin terhadap jumlah kepala keluarga (KK) penduduk petani sawah di 5 provinsi sampel, yang selanjutnya didistribusikan ke 5 kabupaten sampel. Adapun formulasi Slovin untuk menentukan ukuran sampel responden tersebut sebagai berikut:  Formulasi Slovin: n = N/(1+ Ne2) Ket.: N : Jumlah Petani Sawah n : Jumlah sampel e : error tolerance (batasan toleransi kesalahan), dipilih 7.5% Hasil perhitungan jumlah responden dengan menggunakan Slovin berdasarkan data jumlah petani sawah di 5 propinsi sampel sebanyak 3,859,814 KK dengan tingkat kesalahan 7.5 %, maka responden yang dibutuhkan sebanyak ± 178 orang atau dibulatkan menjadi 180 orang. Jumlah responden ini sudah memenuhi syarat minimal 100 orang model SEM, dan selanjutnya dari 180 orang responden tersebut didistribusikan secara proporsional berdasarkan jumlah petani sawah ke masing-masing provinsi sampel dan kabupaten sampel, lihat Tabel 3.3. Dalam menginterprestasikan SEM, jumlah besar kecilnya sampel memiliki peran sangat penting terhadap tingkat kesalahan. Jumlah 100 responden di atas merupakan sampel minimal, dan untuk mengurangi tingkat kesalahannya, maka jumlah sampel masyarakat petani di setiap kabupaten minimal sesuai dengan ukuran sampel pada Tabel 3.3. Namun demikian, diupayakan jumlah respondennya lebih banyak agar tingkat kesalahannya semakin kecil. Tabel 3.3: Ukuran sampel masyarakat/petani sebagai responden di 5 provinsi sampel No. Provinsi Sampel Luas Lahan Sawah Jumlah Petani Sawah Ukuran Tahun 2018 Tahun 2018/2019 Sampel Ha % KK % Orang 1 Prov. Banten 196,285 7.11 417,957 7.82 14 1,982,861 37.09 66 2 Prov. Jawa Barat 898,711 32.57 2,020,630 37.79 67 17 3 Prov. Jawa Tengah 979,563 35.50 511,067 9.56 14 413,862 7.74 178 4 Prov. Lampung 406,379 14.73 5 Prov. Nusa Tenggara Barat 278,099 10.08 Jumlah 2,759,037 100.00 5,346,377 100.00 Sumber: BPS, Provinsi Dalam Angka 2019, di masing-masing lokasi & diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 87

D. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Data dan informasi yang telah dikumpulkan lebih lanjut akan dikompilasi, ditabulasi dan diolah yang disajikan dalam bentuk tabel-tabel. Data yang sudah diolah tersebut selanjutnya akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan alat analisis statistik dan deskripsi tabel sebagai bahan untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukan pada bagian depan. Sedangkan untuk menentukan faktor/variabel pendorong dan pengendali alih fungsi lahan sawah dilakukan penilaian dengan cara pendekatan skala Likert, yaitu: (1) tidak setuju, (2) kurang setuju, (3) ragu-ragu, (4) setuju, dan (5) sangat setuju, dan/atau disesuaikan dengan objek yang ditanyakan. 2. Analisis Data Data dan informasi yang sudah diolah di atas selanjutnya akan dianalisis lebih mendalam dan komprehensif secara kualitatif dan kuantitatif sebagai bahan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di depan. Alat analisis yang digunakan dengan pendekatan sistem terintegrasi melalui analisis kebijakan, statistik, dan analisis spasial, serta analisis deskripsi tabel. Beberapa analisis ini dipergunakan untuk mengkaji faktor-faktor dan/atau variabel-variabel yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah melalui instrumen pencegahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang, serta merumuskan formulasi penentuan indeks pencapaian kinerjanya. Dengan demikian, diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai masalah yang dihadapi secara aktual, faktual dan komprehensif dalam mengendalikan bidang pertanahan dan tata ruang terkait upaya kebijakan pencegahan alih fungsi lahan sawah melalui instrumen peraturan zonasi atau kebijakan lainnya, perizinan, dan pemberian insentif/disinsentif. Analisis data dilakukan secara bertahap sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Pengukuran dan Penentuan Angka Indeks Laju Alih Fungsi Lahan Sawah Tujuan-1: Mengkaji dan menyusun perumusan pengukuran dan penentuan angka indeks laju alih fungsi lahan sawah, yaitu memilih dan menentukan faktor/variabel penyusunan metode/formulasi penghitungan angka indeks laju alih fungsi lahan sawah serta mengimplementasikannya untuk mengetahui gambaran alih fungsi lahan tersebut Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 88


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook