Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Buku Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-09 04:56:55

Description: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: “Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah”

Search

Read the Text Version

Tabel 4.16: Faktor Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden Pemda (Bappeda, Dinas PUPR dan Dinas Pertanian) Kabupaten Sampel Responden Pemda Kabupaten (Bappeda, Dis PUPR & Distan) No. Faktor/Indikator Pendorong Alih Fungsi Lahan Sawah Tanggapan Nilai Skor (n=15) Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sawah yg belum ditetapkan luas lahan bakunya lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-01) 0 3 5 3 4 53 3.53 70.67 2 Sawah yg dekat dengan jalan utama non-TOL lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-02) 1 0 3 2 9 63 4.20 84.00 3 Sawah yang dekat dengan jalan utama TOL lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-03) 0 5 2 2 6 54 3.60 72.00 4 Sawah yg dekat dengan kawasan permukiman lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-04) 0 1 8 2 4 54 3.60 72.00 5 Sawah yang dekat dengan kawasan industri lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-05) 1 1 7 1 5 53 3.53 70.67 6 Sawah yg dekat dg kawasan perdagangan/jasa lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-06) 0 0 8 2 5 57 3.80 76.00 7 Sawah yg terletak di wilayah irigasi non teknis lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-07) 1 3 7 2 2 46 3.07 61.33 8 Sawah yg terletak di wilayah padat penduduk lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-08) 0 0 8 3 4 56 3.73 74.67 9 Sawah yg terletak di wilayah berpenduduk miskin lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-09) 3 10 1 0 1 31 2.07 41.33 10 Sawah yg terletak di wilayah pengirim TKI lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-10) 1 4 0 0 0 9 1.80 36.00 11 Sawah yg belum bersertipikat hak atas tanah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-11) 0 5 0 0 0 10 2.00 40.00 12 Sawah yg dg luas bidang tanah sempit lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-12) 0 8 2 0 0 22 2.20 44.00 13 Sawah yang pemiliknya bukan petani lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-13) 1 1 3 0 0 12 2.40 48.00 14 Sawah yg dimiliki petani dg budaya pewarisan lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-14) 1 2 2 0 0 11 2.20 44.00 15 Sawah yg dengan topogafi/morpologi dataran lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-15) 2 4 7 1 1 40 2.67 53.33 16 Sawahdg produktivitas/nilai produksi rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-16) 0 0 5 0 0 15 3.00 60.00 17 Sawah yg terletak di wilayah ZNT rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-17) 2 9 3 0 1 34 2.27 45.33 18 Sawah yg terletak dlm areal pengadaan tnh utk pembangunan lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swh (D-18) 0 1 6 2 6 58 3.87 77.33 19 Sawah yang pajak tanahnya tinggi lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-19) 2 4 6 1 2 42 2.80 56.00 20 Sawah dg kelompok tani kurang aktif lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-20) 2 1 3 2 2 31 3.10 62.00 21 Sawah yg petaninya kurang mendapat sosialisasi/penyuluhan lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swah (D-21) 1 1 1 2 0 14 2.80 56.00 22 Sawah yang petaninya menilai profesi petani sudah tidak menarik lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi 0 1 2 2 0 16 3.20 64.00 menjadi non sawah (D-22) 23 Sawah di Kabupaten/Kota yg PAD-nya rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-23) 1 9 5 0 0 34 2.27 45.33 24 Sawah di Kabupaten/Kota yg PDRB-nya rendah lebih rentan/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (D-24) 1 9 5 0 0 34 2.27 45.33 25 Sawah di Kab./Kota yg PDRB per Kapitanya rendah lebih rentan/mudah thd alih fungsi menjadi non sawah (D-25) 1 11 3 0 0 32 2.13 42.67 26 Sawah di Kabupaten/Kota yang kontribusi sektor pangannya rendah pada PDRB lebih rentan/peka/mudah terhadap 1671 0 38 2.53 50.67 alih fungsi menjadi non sawah (D-26) 27 Daerah yg belum mempunyai program pengendalian pertanahn lbh rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swh (D-27) 0 1 3 3 3 38 3.80 76.00 28 Daerah yg blm mempunyai program pengendalian tata ruang lebih rentan/mudah thd alih fungsi mjd non swah (D-28) 0 1 3 2 9 64 4.27 85.33 Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mendorong > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mendorong > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mendorong > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mendorong > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mendorong 1.00 - ≤ 1,80 c. Faktor Pendorong AFLS Menurut Masyarakat/Petani Faktor pendorong yang menyebabkan kerentanan/kemudahan terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden masyarakat/petani (n=263), bahwa berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pendorong rentan/mudahnya dalam proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 7 faktor/indikator pendorong yang dipertanyakan kepada responden masyarakat/petani dalam penelitian ini, terdapat 3 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara > Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 139

2,60-5.00 terhadap AFLS, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah faktor jarak dengan jalan raya/utama (2.97), jarak dengan kawasan permukiman/ perdagangan/jasa/industri (2.92), dan faktor kepadatan penduduk (2.82) Sementara itu, ada 3 faktor/indikator yang paling rendah tingkat kerentanannya dengan kategori nilai skoring bobot antara 1.00-2,60 terhadap AFLS, mulai dari nilai skoring terkecil, yaitu sawah yang terletak di wilayah irigasi non teknis (2.44), sawah yang belum bersertipikat hak atas tanah (2.44), dan sawah yang terletak di wilayah berpenduduk miskin (2.46). Secara rinci nilai skor pembobotan faktor/indikator pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat Tabel 4.17 dan Gambar 4.11. Tabel 4.17: Nilai Skor Pembobotan Faktor/Indikator Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden Masyarakat (Xi) Responden Masyarakat No. Faktor/Indikator Pendorong Tanggapan (n = 263) Nilai Skor Alih Fungsi Lahan Sawah (X1) Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sawah yang belum ditetapkan luas bakunya lebih rentan/peka/mudah terhadap 59 69 92 9 34 679 2.58 51.63 alih fungsi menjadi non sawah (X1) 2 Sawah yang dekat dengan Jalan Utama/Raya lebih rentan/peka/mudah terhadap 30 51 121 20 41 780 2.97 59.32 alih fungsi menjadi non sawah (X2) 3 Sawah yang dekat dengan lokasi kawasan permukiman/perdagangan/ industri/ 36 50 117 19 41 768 2.92 58.40 jasa lebih rentan/peka/mudah terhadap alih fungsi menjadi non sawah (X3) 4 Sawah yang terletak di wilayah irigasi non teknis lebih rentan/peka/mudah 61 82 77 29 14 642 2.44 48.82 terhadap alih fungsi menjadi non sawah (X4) 5 Sawah yang terletak di wilayah berpenduduk padat lebih rentan/peka/ mudah 36 55 113 39 20 741 2.82 56.35 terhadap alih fungsi menjadi non sawah (X5) 6 Sawah yang terletak di wilayah berpenduduk miskin lebih rentan/peka/ mudah 61 80 83 17 22 648 2.46 49.28 terhadap alih fungsi menjadi non sawah (X6) 7 Sawah yang belum bersertipikat hak atas tanah lebih rentan/peka/mudah terhadap 76 64 77 23 23 642 2.44 48.82 alih fungsi menjadi non sawah (X7) Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mendorong > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mendorong > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mendorong > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mendorong > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mendorong 1.00 - ≤ 1,80 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 140

3. Beberapa Faktor Pengendali Dalam Pelaksanaan Pencegahan AFLS Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah (AFLS) dapat dilakukan dengan berbagai cara dan perlakuan. Selain mencegah dan menekan berbagai faktor/indikator pendorong terjadinya AFLS yang telah disinggung di atas, juga dapat dilakukan melalui peningkatan efektifitas penerapan faktor-faktor pengendali AFLS dan pembuatan kebijakan strategis pengamanan luas lahan baku sawah. a. Beberapa Faktor Pengendali AFLS Menurut Kanwil BPN dan Kantah Faktor pengendali yang dapat menahan/mengurangi proses terjadinya alih fungsi lahan sawah (AFLS) menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden di Kanwil BPN dan Kantah (n=85), menilai bahwa faktor pengendali utama AFLS di daerah antara lain adalah pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTRW, adanya RRTR/RDTR/Zonasi, penetapan sawah dalam LP2B yang disertai peta lokasinya, dan sebagainya. Hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pengendali untuk menahan dan mengurangi proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 25 faktor/indikator pengendali yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdapat 10 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat pengendaliannya untuk menahan/mengurangi AFLS dengan kategori nilai skoring bobot antara > 2,60-5.00, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah penetapan sawah dalam RRTR/RDTR/Zonasi (4.41), penetapan sawah dalam LP2B (4.34), pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi (4.33), penetapan sawah dalam LP2B yang ada peta lokasinya (4.27), penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan (4.12), penerapan pemberian perizinan (4.05), penerapan pemantauan dan evaluasi pertanahan yang efektif dan berkelanjutan (4.04), tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dengan Keputusan Gubernur atau peraturan bentuk lainnya (4.00), perlu dilakukan kegiatan sosialisasi Perpres No. 59/2019 (3.98), dan tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 dengan Keputusan Bupati/Walikota atau peraturan bentuk lainnya (3.96). Sementara itu, hanya ada 1 faktor/indikator pengendali yang paling rendah untuk menahan/mengurangi AFLS dengan kategori nilai skoring bobot antara 1.00-2,60, yaitu penetapan sawah dalam LP2B tanpa/tidak ada peta lokasinya Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 141

(1.85). Secara rinci nilai skor pembobotan faktor/indikator pengendali terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat Tabel 4.18 dan Gambar 4.12. Tabel 4.18: Nilai Skor Pembobotan Faktor/Indikator Pengendali Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden di Kanwil BPN dan Kantah Sampel Responden Kanwil BPN & Kantah No. Faktor/Indikator Pengendali Alih Fungsi Lahan Sawah Tanggapan (n=85) Nilai Skor Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Pemanfaatn ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-01) 0 3 16 16 50 368 4.33 86.59 2 Penetapan sawah dalam RRTR/RDTR/Zonasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-02) 0 0 18 14 53 375 4.41 88.24 3 Penetapan sawah dalam LP2B dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-03) 0 1 21 11 52 369 4.34 86.82 4 Penetapan sawah dalam LP2B tanpa ada peta lokasinya dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-04) 33 39 9 1 3 157 1.85 36.94 5 Penetapan sawah dalam LP2B yang ada peta lokasinya dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-05) 0 2 19 18 46 363 4.27 85.41 6 Penerapan pemantauan & evaluasi pertanahan yg efektif & berkelanjutan dpt mengendalikan AFLS (K-06) 1 2 22 28 32 343 4.04 80.71 7 Penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan dapat 0 0 24 27 34 350 4.12 82.35 mengendalikan alih fungsi sawah (K-07) 8 Penerapan pemberian perizinan dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-08) 0 1 28 21 34 340 4.05 80.95 9 Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin prinsip dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-09) 0 4 34 18 29 327 3.85 76.94 10 Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin lokasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-10) 0 6 25 29 25 328 3.86 77.18 11 Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin penggunaan pemanfaatan tanah dapat 0 6 31 29 19 316 3.72 74.35 mengendalikan alih fungsi sawah (K-11) 12 Pemberian insentif oleh Pemerintah kepada Pemda yang telah menetapkan LP2B/lahan sawah dilindungi 0 8 34 13 30 320 3.76 75.29 dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-12) 13 Pemberian insentif dalam bentuk Saprodi kepada petani dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-13) 0 7 25 18 35 336 3.95 79.06 14 Pemberian insentif melalui sertipikasi tanah sawah (SHM) kpd petani dapat mengendalikan AFLS (K-14) 1 14 30 19 21 300 3.53 70.59 15 Pemberian insentif dalam bentuk penghargaan kepada petani dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-15) 1 8 35 15 26 312 3.67 73.41 0 6 32 21 26 322 3.79 75.76 16 Pemberian insentif dlm bentuk keringan pajak PBB kpd petani dpt mengendalikan alih fungsi sawah (K-16) 3 14 21 16 31 313 3.68 73.65 17 Pemberian insentif dlm bentuk pembelian sawah oleh Pemerintah/Pemda dapat mengendalikan AFLS (K-17) 5 17 25 15 23 289 3.40 68.00 18 Pengenaan disinsentif dalam bentuk pengenaan pajak tanah (land tax) tinggi terhadap jual beli/peralihan hak 0 4 31 15 35 336 3.95 79.06 atas tanah yg menyebabkan perubahan penggunaan sawah dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-18) 0 0 55 13 17 302 3.55 71.06 0 0 37 13 35 338 3.98 79.53 19 Pembangunan penyediaan infrastruktur irigasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-19) 20 Perpres No. 59/2019 sebagai instrumen hukum dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-20) 21 Kegiatan sosialisasi Perpres No. 59/2019 perlu dilakukan utk mengendalikan alih fungsi sawah (K-21) 22 Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 yang menetapkan luas lahan baku sawah nasional Tahun 2019 seluas 0 0 52 7 26 314 3.69 73.88 7.463.948 ha dapat menjadi basis data untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-22) 23 Kegiatan sosialisasi Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan utk mengendalikan AFLS (K-23) 0 1 36 22 26 328 3.86 77.18 24 Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan dengan Keputusan Gubernur atau 0 0 26 33 26 340 4.00 80.00 peraturan bentuk lainnya untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-24) 25 Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota atau 0 0 30 28 27 337 3.96 79.29 peraturan bentuk lainnya untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-25) Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mengendalikan > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mengendalikan > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mengendalikan > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mengendalikan > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mengendalikan 1.00 - ≤ 1,80 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 142

b. Beberapa Faktor Pengendali AFLS Menurut Pemda (Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian) Kabupaten Faktor pengendali yang dapat menahan/mengurangi proses terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden di lingkungan Pemda Kabupaten, yaitu Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian (n=15), bahwa berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pengendali untuk menahan/mengurangi proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 25 faktor/indikator pengendali yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdapat 13 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat pengendaliannya untuk menahan/mengurangi AFLS dengan kategori nilai skoring bobot antara > 2,60-5.00, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah penetapan sawah dalam LP2B yg ada peta lokasinya (4.20), penetapan sawah dalam LP2B (4.07), penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan (4.07), penetapan sawah dalam RRTR/RDTR/Zonasi (4.00), pemberian insentif dlm bentuk Saprodi kepada petani (4.00), pemberian insentif dalam bentuk keringan pajak PBB kepada petani (4.00), kegiatan sosialisasi Perpres No. 59/2019 perlu dilakukan (4.00), pemanfaatn ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi (3.93), penerapan pemantauan dan evaluasi pertanahan yang efektif dan berkelanjutan (3.80), penerapan sanksi administrasi dlm pelanggaran izin lokasi (3.80), pemberian insentif dlm bentuk penghargaan kepada petani (3.80), kegiatan sosialisasi Kepmen ATR/KBPN 686/2019 perlu dilakukn (3.80), tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan dengan Keputusan Gubernur atau peraturan bentuk lainnya (3.80). Sementara itu, hanya ada 2 faktor/indikator pengendali yang paling rendah untuk menahan/mengurangi AFLS dengan kategori nilai skoring bobot antara 1.00-2,60, yaitu penetapan sawah dalam LP2B tanpa/tidak ada peta lokasinya (1.80), dan pengenaan disinsentif dalam bentuk pengenaan pajak tanah (land tax) tinggi terhadap jual beli/peralihan hak atas tanah yang menyebabkan perubahan penggunaan sawah (2.60). Secara rinci nilai skor pembobotan faktor/indikator pengendali terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat Tabel 4.19 dan Gambar 4.13. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 143

Tabel 4.26: Faktor Pengendali Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden Pemda (Bappeda, Dinas PUPR dan Dinas Pertanian) Kabupaten Sampel Responden Pemda Kabupaten (Bappeda, Dis PUPR & Distan) No. Faktor/Indikator Pengendali Alih Fungsi Lahan Sawah Tanggapan (n=15) Nilai Skor Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Pemanfaatn ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi dapat mengendalikan AFLS (K-01) 0 1 6 1 7 59 3.93 78.67 2 Penetapan sawah dalam RRTR/RDTR/Zonasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-02) 0 0 6 3 6 60 4.00 80.00 3 Penetapan sawah dalam LP2B dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-03) 0 0 7 0 8 61 4.07 81.33 4 Penetapan sawah dlm LP2B tanpa ada peta lokasinya dpt mengendalikan alih fungsi sawah (K-04) 5 8 2 0 0 27 1.80 36.00 5 Penetapan sawah dalam LP2B yg ada peta lokasinya dpt mengendalikan alih fungsi sawah (K-05) 0 1 4 1 9 63 4.20 84.00 6 Penerapan pemantauan dan evaluasi pertanahan yang efektif dan berkelanjutan dapat 0 0 5 2 3 38 3.80 76.00 mengendalikan alih fungsi sawah (K-06) 7 Penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan dapat 0 0 6 2 7 61 4.07 81.33 mengendalikan alih fungsi sawah (K-07) 8 Penerapan pemberian perizinan dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-08) 0 1 10 1 3 51 3.40 68.00 9 Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin prinsip dpt mengendalikan AFLS (K-09) 0 1 8 2 4 54 3.60 72.00 10 Penerapan sanksi administrasi dlm pelanggaran izin lokasi dapat mengendalikan AFLS (K-10) 0 1 6 3 5 57 3.80 76.00 11 Penerapan sanksi administrasi dalam pelanggaran izin penggunaan pemanfaatan tanah dapat 0 2 7 3 3 52 3.47 69.33 mengendalikan alih fungsi sawah (K-11) 12 Pemberian insentif oleh Pemerintah kepada Pemda yang telah menetapkan LP2B/lahan sawah 0 2 3 2 3 36 3.60 72.00 dilindungi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-12) 13 Pemberian insentif dlm bentuk Saprodi kepada petani dpt mengendalikan alih fungsi sawah (K-13) 0 1 2 3 4 40 4.00 80.00 14 Pemberian insentif melalui sertipikasi tnh sawah (SHM) kpd petani dpt mengendalikan AFLS (K-14) 0 1 4 4 1 35 3.50 70.00 15 Pemberian insentif dlm bentuk penghargaan kepada petani dapat mengendalikan AFLS (K-15) 0 1 3 3 3 38 3.80 76.00 16 Pemberian insentif dlm bentuk keringan pajak PBB kpd petani dapat mengendalikan AFLS (K-16) 0 0 2 1 2 20 4.00 80.00 17 Pemberian insentif dalam bentuk pembelian sawah oleh Pemerintah/Pemda dapat mengendalikan 0 2 1 2 0 15 3.00 60.00 alih fungsi sawah (K-17) 18 Pengenaan disinsentif dlm bentuk pengenaan pajak tanah (land tax) tinggi thd jual beli/peralihan hak 0 4 6 0 0 26 2.60 52.00 atas tanah yg menyebabkan perubahan penggunaan sawah dapat mengendalikan AFLS (K-18) 19 Pembangunan penyediaan infrastruktur irigasi dapat mengendalikan alih fungsi sawah (K-19) 2 0 3 2 3 34 3.40 68.00 20 Perpres No. 59/2019 sebagai instrumen hukum dapat mengen-dalikan alih fungsi sawah (K-20) 0 3 7 3 2 49 3.27 65.33 21 Kegiatan sosialisasi Perpres No. 59/2019 perlu dilakukan utk mengendalikan alih fungsi swh (K-21) 0 0 1 3 1 20 4.00 80.00 22 Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 yg menetapkan luas lahan baku sawah nasional Thn 2019 seluas 3 1 7 3 1 43 2.87 57.33 7.463.948 ha dapat menjadi basis data untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-22) 23 Kegiatan sosialisasi Kepmen ATR/KBPN 686/2019 perlu dilakukn utk mengendalikan AFLS (K-23) 0 0 2 2 1 19 3.80 76.00 24 Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan dengan Keputusan Gubernur 0 0 1 4 0 19 3.80 76.00 atau peraturan bentuk lainnya untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-24) 25 Tindaklanjut dari Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 perlu dilakukan dengan Keputusan 0 0 8 3 4 56 3.73 74.67 Bupati/Walikota atau peraturan bentuk lainnya untuk mengendalikan alih fungsi sawah (K-25) Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mengendalikan > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mengendalikan > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mengendalikan > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mengendalikan > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mengendalikan 1.00 - ≤ 1,80 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 144

c. Beberapa Faktor Pengendali dan Pengambilan Keputusan AFLS Menurut Masyarakat/Petani 1) Faktor Pengendali dan Pengambilan Keputusan AFLS oleh Masyarakat Faktor pengendali yang dapat menahan/mengurangi proses terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/tanggapan responden masyarakat/petani (n=263), bahwa berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa faktor/indikator yang menjadi pengendali untuk menahan/ mengurangi proses alih fungsi lahan sawah tersebut. Dari 7 faktor/indikator pengendali yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdapat 3 faktor/indikator tersebut yang paling tinggi tingkat pengendaliannya untuk menahan/mengurangi AFLS dengan kategori nilai skoring bobot antara > 2,60-5.00, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah faktor pemberian insentif sarana produksi usahatani sawah (Saprodi) (benih/bibit, pupuk, pestisida dsb) (3.19), penetapan peta lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sawah (3.02), dan pemanfaatn ruang yang sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi (2.87) Selain itu, masyarakat juga berpendapat dan mendukung pengendalian AFLS melalui pembelian tanah sawah yang sudah ditetapkan dalam RRTR/RDTR/ Zonasi/LP2B oleh Pemerintah/Pemda dan pemberian perizinan di kawasan tanah sawah. Secara terinci nilai skor pembobotan faktor/indikator pengendali untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat Tabel 4.20 dan Gambar 4.14. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 145

Tabel 4.20: Nilai Skor Pembobotan Faktor/Indikator Pengendali Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah Menurut Responden Masyarakat (Xi) Responden Masyarakat No. Faktor/Indikator Pengendali Tanggapan (n = 263) Nilai Skor Alih Fungsi Lahan Sawah (X2) Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Pemanfaatn ruang yg sejalan dengan RTRW/RDTR/Zonasi dpt mengendalikan AFLS (X8) 26 63 125 18 31 754 2.87 57.34 2 Penetapan RRTR/RDTR/Zonasi sawah dapat mengendalikan alih fungsi sawah (X9) 38 49 120 25 31 751 2.86 57.11 3 Penetapan peta lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sawah dapat mengendalikan 30 46 118 28 41 793 3.02 60.30 alih fungsi sawah (X10) 4 Pemberian perizinan di kawasan tanah sawah dapat mengendalikan alih fungsi sawah (X11) 46 66 90 17 44 736 2.80 55.97 5 Pemberian insentif sarana produksi usahatani sawah (Saprodi) (benih/bibit, pupuk, pestisida 22 47 108 31 55 839 3.19 63.80 dsb) dapat mengendalikan alih fungsi sawah (X12) 6 Pengenaan pajak tanah (land tax) yang tinggi terhadap jual beli/peralihan hak atas tanh yg 47 65 97 32 22 706 2.68 53.69 menyebabkan perubahan penggunaan sawah dpt mengendalikan alih fungsi sawah (X13) 7 Pembelian tanah sawah yang sudah ditetapkan dalam RRTR/RDTRZonasi/ LP2B oleh 35 61 117 19 31 739 2.81 56.20 Pemerintah/Pemda dapat mengendalikan alih fungsi sawah (X14) Sumber: Data Primer, 2020, diolah Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Mengendalikan > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Mengendalikan > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Mengendalikan > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Mengendalikan > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Mengendalikan 1.00 - ≤ 1,80 2) Pengambilan Keputusan Alih Fungsi Lahan Sawah Masyarakat/Petani Meskipun nilai skoringnya dari beberapa faktor/indikator dalam pengambilan keputusan alih fungsi lahan sawah oleh masyarakat/petani relatif rendah, namun hal ini sudah dapat memberikan indikasi pilihannya. Rincian nilai skor pembobotan indikator pengambilan keputusan AFLS menurut responden masyarakat dapat dilihat Tabel 4.21 dan Gambar 4.15. Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data lapangan mengenai faktor pengambilan keputusan untuk mengalih fungsikan lahan sawahnya, menurut pendapat/tanggapan responden masyarakat/petani (n=263) sesuai dengan nilai bobot pengaruhnya terhadap keputusan AFLS tersebut yang dimulai dari nilai skor tertinggi adalah terkait faktor tinggi-rendahnya nilai produksi/land rent tanah sawah (2.74), lalu diikuti faktor luas penguasaan/pemilikan bidang tanah sawah yang semakin sempit (2.42), dan faktor pandangan/penilaian masyarakat yang menganggap profesi sebagai petani bukan pilihan/tidak menarik (2.29). Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 146

Tabel 4.21: Pengambilan Keputusan Alih Fungsi Tanah Sawah Menurut Responden Masyarakat (Y) Responden Masyarakat No. Pengambilan Keputusan Tanggapan Nilai Skor Alih Fungsi Lahan Sawah (Y) Pembobotan (n = 263) Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Penguasaan/pemilikan bidang tanah sawah yang sempit lebih rentan/ peka/mudah 54 83 103 7 16 637 2.42 48.44 terhadap keputusan alih fungsi menjadi non sawah (Y1) 2 Nilai produksi/land rent tanah sawah rendah lebih rentan/peka/mudah terhadap 43 72 95 16 37 721 2.74 54.83 keputusan alih fungsi menjadi non sawah (Y2) 3 Menilai/menganggap profesi sebagai petani bukan pilihan/tidak menarik lebih 73 91 66 15 18 603 2.29 45.86 rentan/peka/mudah terhadap keputusan alih fungsi menjadi non sawah (Y3) Sumber: Pengolahan data primer, 2020 Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan Nilai - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Strategis > 4,20 - 5,00 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Strategis > 3,40 - 4,20 - S (Setuju) 3 -Cukup Strategis > 2,60 - 3,40 - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Strategis > 1,80 - 2,60 - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Strategis 1.00 - ≤ 1,80 4. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan Luas Lahan Sawah (LLS) Untuk mengetahui konsentrasi penyebaran lokasi penyusutan luas lahan sawah (LLS) dan alih fungsi luas sawah (AFLS) dilakukan melalui penghitungan dengan Metode Kuosien Lokasi (LQij) pada tingkat provinsi sampel dan kabupaten sampel. Selanjutnya untuk mendalami LLS dan AFLS di kabupaten dan kecamatan pada masing-masing provinsi dilakukan penghitungan sebaran yang hasilnya disertakan pada Lampiran11 dan Lampiran 12. Berdasarkan penghitungan nilai LQij tersebut akan menggambarkan 3 kriteria kondisi alih fungsi lahan pertanian sawah di suatu wilayah, baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, atau menggunakan wilayah dengan istilah lainnya: Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 147

a. Nilai LQij > 1, yaitu nilai yang menunjukkan terdapat konsentrasi relatif alih fungsi lahan pertanian sawah di wilayah/daerah tersebut b. Nilai LQij = 1, yaitu nilai yang menunjukkan terdapat alih fungsi lahan pertanian sawah yang relatif sama rata di wilayah/daerah tersebut c. Nilai LQij < 1, yaitu nilai yang menunjukkan tidak terdapat konsentrasi relatif alih fungsi lahan pertanian sawah di wilayah/daerah Hasil penghitungan kuosien lokasi (LQij) AFLS mengenai konsentrasi penyebaran spasial penyusutan LLS di lokasi sampel sebagai berikut. a. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan LLS di Provinsi Banten dan Kabupaten Serang Hasil perhitungan penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Banten menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari delapan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, terdapat enam kabupaten/kota yang mengalami penyusutan LLS ± 1,355 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kota Tangerang Selatan dengan nilai LQij = 37.02, Kota Tangerang (LQij = 17.48), dan Kota Cilegon (LQij = 7.18). Pendalaman lebih lanjut penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa selama periode 2014 s/d 2018 dari 29 kecamatan di wilayah Kabupaten Serang, terdapat 21 kecamatan yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 460 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kecamatan Pulo Ampel dengan nilai LQij = 8.11, Kecamatan Waringinkurung (LQij = 5.32), dan Kecamatan Cinangka (LQij = 4.28). Lebih lanjut gambaran rinci mengenai penyebaran penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Banten dan Kabupaten Serang dapat dilihat pada Tabel 4.22, Gambar 4.16 dan Gambar 4.17, serta Lampiran 11 dan Lampiran 12. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 148

Tabel 4.22: Penyebaran Penyusutan LLS dan Nilai LQij AFLS Selama Tahun 2014-2018 di Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota/Kecamatan No. Wilayah Luas Lahan Sawah 2014-2018 Nilai LQij Terdapat AFLS Rata2 Total Penyusutan LLS Ha Ha/Thn %/Thn A. Provinsi Banten (6/8 Kab/Kota) 37,065 (617) (1.66) 2.47 48,385 (460) (0.95) 1.41 1 Kab. Tangerang (74) (11.76) 17.48 2 Kab. Serang 629 (79) (4.83) 7.18 3 Kota Tangerang 1,631 (104) (1.27) 1.89 4 Kota Cilegon 8,177 (22) (21.54) 32.02 5 Kota Serang (1,355) (0.67) 6 Kota Tangerang Selatan 100 201,390 Provinsi Banten B. Kab. Serang (21/29 Kec) 1 Kec. Cinangka 1,186 (98) (8.25) 4.28 (0.67) 0.35 2 Kec. Padarincang 3,684 (25) (0.26) 0.14 (8.10) 4.21 3 Kec. Ciomas 564 (1) (3.88) 2.02 (6.19) 3.21 4 Kec. Pabuaran 965 (78) (1.85) 0.96 (2.92) 1.52 5 Kec. Gunungsari 364 (14) (2.90) 1.50 (10.25) 5.32 6 Kec. Baros 1,717 (106) (7.32) 3.80 (3.82) 1.98 7 Kec. Bandung 1,369 (25) (5.79) 3.00 (15.63) 8.11 8 Kec. Kopo 1,695 (50) (1.32) 0.69 (2.89) 1.50 9 Kec. Kibin 1,155 (33) (1.13) 0.59 (1.19) 0.62 10 Kec. Waringinkurung 317 (33) (0.28) 0.15 (1.46) 0.76 11 Kec. Mancak 1,234 (90) (1.91) 0.99 12 Kec. Anyar 1,021 (39) 13 Kec. Bojonegara 845 (49) 14 Kec. Pulo Ampel 256 (40) 15 Kec. Kramatwatu 2,455 (33) 16 Kec. Ciruas 2,649 (77) 17 Kec. Lebak Wangi 2,554 (29) 18 Kec. Carenang 2,435 (29) 19 Kec. Binuang 2,111 (6) 20 Kec. Tirtayasa 2,342 (34) 21 Kec. Tanara 2,266 (43) Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah b. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan LLS di Provinsi Jabar dan Kabupaten Karawang Gambaran rinci mengenai penyebaran penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 4.23, Gambar 4.18 dan Gambar 4.19, serta Lampiran 11 dan Lampiran 12. Hasil perhitungan penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 27 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, terdapat 26 kabupaten/kota atau hampir seluruh mengalami penyusutan lahan sawah seluas 9,815 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kota Depok dengan nilai LQij = 35.98, lalu Kota Cimahi (LQij = 32.62), dan Kota Bogor (LQij = 24.67). Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 149

Pendalaman lebih lanjut penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 30 kecamatan di wilayah Kabupaten Karawang, terdapat 10 kecamatan yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 640 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kecamatan Cikampek dengan nilai LQij = 25.74, kemudian Kecamatan Telukjambe Timur (LQij = 18.64), dan Kecamatan Klari (LQij = 14.37). Tabel 4.23: Penyebaran Penyusutan LLS dan Nilai LQij AFLS Selama Tahun 2014-2018 di Provinsi Jawa Barat Menurut Kabupaten/Kota/Kecamatan Luas Lahan Sawah 2014-2018 No. Wilayah Terdapat AFLS Rata2 Penyusutan LLS Nilai LQij Total A. Provinsi Jawa Barat (26/27 Kab/Kota) 1 Kab. Bogor Ha Ha/Thn %/Thn 2 Kab. Cianjur 3 Kab. Bandung 43,310 (1,419) (3.28) 3.07 4 Kab. Garut 65,821 (233) (0.35) 0.33 5 Kab. Tasikmalaya 34,955 (418) (1.20) 1.12 6 Kab. Ciamis 48,013 (189) (0.39) 0.37 7 Kab. Kuningan 50,507 (675) (1.34) 1.25 8 Kab. Cirebon 35,247 (278) (0.79) 0.74 9 Kab. Majalengka 27,944 (542) (1.94) 1.81 10 Kab. Sumedang 50,286 (2.78) 2.60 11 Kab. Indramayu 49,547 (1,396) (0.94) 0.88 12 Kab. Subang 30,823 (464) (2.52) 2.36 13 Kab. Purwakarta 116,074 (776) (0.48) 0.45 14 Kab. Karawang 84,377 (559) (0.10) 0.09 15 Kab. Bekasi 17,423 (86) (1.68) 1.57 16 Kab. Bandung Barat 96,177 (292) (0.67) 0.62 17 Kab. Pangandaran 51,335 (640) (0.48) 0.45 18 Kota Bogor 21,298 (248) (2.32) 2.17 19 Kota Sukabumi 16,655 (495) (2.64) 2.47 20 Kota Bandung (440) (26.36) 24.67 21 Kota Cirebon 407 (107) (4.98) 4.66 22 Kota Bekasi 1,449 (72) (2.44) 2.28 23 Kota Depok (20) (12.26) 11.47 24 Kota Cimahi 821 (30) (14.02) 13.12 25 Kota Tasikmalaya 241 (62) (38.45) 35.98 26 Kota Banjar 440 (73) (34.86) 32.62 189 (53) (3.14) 2.94 Provinsi Jawa Barat 151 (183) (2.08) 1.95 5,834 (68) (1.07) 3,264 918,544 (9,815) B. Kab. Karawang (10/30 Kec) 1 Kec. Telukjambe Timur 851 (106) (12.42) 18.64 (55) (2.63) 3.94 2 Kec. Telukjambe Barat 2,102 (192) (9.58) 14.37 (92) (17.16) 25.74 3 Kec. Klari 2,005 (44) (2.88) 4.33 (1) (0.05) 0.07 4 Kec. Cikampek 536 (21) (1.59) 2.38 (92) (7.27) 10.91 5 Kec. Puwasari 1,526 (26) (1.48) 2.22 (12) (0.58) 0.87 6 Kec. Titamulya 2,519 7 Kec. Kotabaru 1,293 8 Kec. Karawang Timur 1,268 9 Kec. Karawang Barat 1,771 10 Kec. Rengasdengklok 2,031 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 150

c. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan LLS di Provinsi Jateng dan Kabupaten Demak Gambaran rinci mengenai penyebaran penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Demak dapat dilihat pada Tabel 4.24, Gambar 4.20 dan Gambar 4.21, serta Lampiran 11 dan Lampiran 12. Hasil perhitungan penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 35 kabupaten/ kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah, terdapat 28 kabupaten/kota yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 17,087 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kota Tegal dengan nilai LQij = 9.06, lalu Kota Semarang (LQij = 7.85), dan Kabupaten Wonosobo (LQij = 5.85). Dari pendalaman lebih lanjut penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Kabupaten Demak menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Demak, hanya terdapat 2 kecamatan yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 91 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kecamatan Wedung dengan nilai LQij = 6.04, dan lalu Kecamatan Sayung (LQij = 5.54) Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 151

Tabel 4.24: Penyebaran Penyusutan LLS dan Nilai LQij AFLS Selama Tahun 2014-2018 di Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota/Kecamatan Wilayah Luas Lahan Sawah 2014-2018 Terdapat AFLS No. Rata2 Penyusutan LLS Nilai LQij Total Ha Ha/Thn %/Thn A. Provinsi Jawa Tengah (28/35 Kab/Kota) 63,435 (885) (1.39) 0.80 32,287 (5) (0.01) 0.01 1 Kab. Cilacap 20,160 (2.38) 1.36 2 Kab. Banyumas 13,159 (481) (9.58) 5.46 3 Kab. Purbalingga 29,396 (1,260) (1.58) 0.90 4 Kab. Banjarnegara 14,620 (10.26) 5.85 5 Kab. Purworejo 33,459 (466) (7.37) 4.20 6 Kab. Wonosobo 22,569 (1,501) (0.49) 0.28 7 Kab. Magelang 32,336 (2,466) (2.35) 1.34 8 Kab. Boyolali 20,402 (0.29) 0.16 9 Kab. Klaten 21,682 (111) (2.38) 1.36 10 Kab. Sukoharjo 39,428 (761) (0.63) 0.36 11 Kab. Karanganyar 54,823 (59) (2.12) 1.21 12 Kab. Sragen 16,292 (516) (5.42) 3.09 13 Kab. Pati 24,935 (249) (0.97) 0.55 14 Kab. Kudus 22,452 (1,160) (4.60) 2.62 15 Kab. Jepara 19,381 (883) (5.99) 3.41 16 Kab. Semarang 25,090 (241) (2.15) 1.22 17 Kab. Temanggung 21,313 (1,033) (1.32) 0.75 18 Kab. Kendal 22,370 (1,161) (4.59) 2.62 19 Kab. Batang 36,372 (539) (2.37) 1.35 20 Kab. Pekalongan 38,081 (282) (1.21) 0.69 21 Kab. Pemalang (1,027) (6.01) 3.43 22 Kab. Tegal 200 (863) (6.94) 3.96 23 Kota Magelang 83 (461) (6.99) 3.98 24 Kota Surakarta 673 (12) (13.77) 7.85 25 Kota Salatiga 3,001 (9.80) 5.59 26 Kota Semarang 1,020 (6) (15.88) 9.06 27 Kota Pekalongan 642 (47) (1.75) 28 Kota Tegal 974,319 (413) (100) Provinsi Jawa Tengah (102) (17,087) B. Kab. Demak (2/14 Kec) 1 Kec. Sayung 3,285 (32) (0.97) 5.54 (59) (1.05) 6.02 2 Kec. Wedung 5,618 Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 152

d. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan LLS di Prov. Lampung dan Kab. Lampung Tengah Gambaran rinci mengenai penyebaran penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.25, Gambar 4.22 dan Gambar 4.23, serta Lampiran 11 dan Lampiran 12. Hasil perhitungan penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 15 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Lampung, terdapat 6 kabupaten/kota yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 8,954 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kota Bandar Lampung dengan nilai LQij= 20.92, lalu Kota Metro (LQij= 12.33) dan Kab. Pesisir Barat (LQij= 9.11). Pendalaman lebih lanjut penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Kabupaten Lampung Tengah menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 28 kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah, terdapat 15 kecamatan yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 1,455 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kecamatan Terusan Nunja dengan nilai LQij = 12.13, kemudian Kecamatan Anak Ratu Ayu (LQij = 4.88), dan Kecamatan Anak Tuha (LQij = 3.33). Tabel 4.25: Penyebaran Penyusutan LLS dan Nilai LQij AFLS Selama Tahun 2014-2018 di Provinsi Lampung Menurut Kabupaten/Kota/Kecamatan No. Wilayah Terdapat AFLS Luas Lahan Sawah 2014-2018 Nilai LQij A. Provinsi Lampung (6/15 Kab/Kota) Rata2 Total Penyusutan LLS 5.23 1 Kab. Tanggamus 0.53 2 Kab. Lampung Timur Ha Ha/Thn %/Thn 3.45 3 Kab. Pesawaran 9.11 4 Kab. Pesisir Barat 25,475 (2,994) (11.75) 20.92 5 Kota Bandar Lampung 63,976 (766) (1.20) 12.33 6 Kota Metro 16,738 (7.76) 10,355 (1,299) (20.49) 1.24 Provinsi Lampung 1,504 (2,122) (47.05) 1.63 3,840 (27.74) 3.33 398,154 (708) (2.25) 4.88 (1,065) 3.73 (8,954) 2.02 0.30 B. Kab. Lampung Tengah (15/28 Kec) 1.21 0.06 1 Kec. Selagai Lingga 1,228 (28) (2.24) 1.07 (2.95) 12.13 2 Kec. Pubian 2,790 (82) (6.04) 0.08 (8.85) 1.75 3 Kec. Anak Tuha 2,479 (150) (6.76) 4.08 (3.67) 0.09 4 Kec. Anak Ratu Aji 2,412 (214) (0.54) (2.20) 5 Kec. Gunung Sugih 4,714 (319) (0.10) (1.93) 6 Kec. Bekri 2,380 (87) (22.00) (0.15) 7 Kec. Trimurjo 4,191 (23) (3.17) (7.40) 8 Kec. Kota Gajah 3,258 (72) (0.16) 9 Kec. Terbanggi Besar 4,947 (5) 10 Kec. Seputih Agung 3,726 (72) 11 Kec. Terusan Nunyai 394 (87) 12 Kec. Seputih Mataram 5,132 (8) 13 Kec. Putra Rumbia 1,941 (62) 14 Kec. Seputih Surabaya 3,300 (244) 15 Kec. Bandar Surabaya 2,731 (5) Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 153

e. Hasil Penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS Konsentrasi Penyebaran Spasial Penyusutan LLS di Prov. NTB dan Kabupaten Lombok Tengah Hasil perhitungan penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi NTB menunjukkan bahwa selama periode 2014-2018 dari 10 kabupaten/kota di wilayah Provinsi NTB, hanya terdapat 1 kabupaten/kota yang mengalami penyusutan lahan sawah, yaitu Kota Mataram seluas 60 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kota Mataram dengan nilai LQij = 138.11. Pendalaman lebih lanjut penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan bahwa selama periode 2014 s/d 2018 dari 12 kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah, terdapat 2 kecamatan yang mengalami penyusutan lahan sawah seluas 1.25 Ha/Tahun. Adapun sebaran penyusutan yang sangat tinggi konsentrasinya terjadi di Kecamatan Praya Tengah dengan nilai LQij = 9.47, dan lalu Kecamatan Praya (LQij = 3.24). Lebih lanjut gambaran rinci mengenai penyebaran penyusutan LLS dan nilai LQij AFLS di Provinsi NTB dan Kab. Lombok Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.26, Gambar 4.24 dan Gambar 4.25, serta Lampiran 11 dan Lampiran 12. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 154

Tabel 4.26: Penyebaran Penyusutan LLS dan Nilai LQij AFLS Selama Tahun 2014-2018 di Provinsi NTB Menurut Kabupaten/Kota/Kecamatan No. Wilayah Luas Lahan Sawah 2014-2018 Nilai LQij Terdapat AFLS Rata2 Total Penyusutan LLS 138.11 Ha Ha/Thn %/Thn A. Provinsi NTB 1,965 (60) (3.07) 1 Kota Mataram 271,366 (60) (0.02) Provinsi NTB B. Kab. Lombok Tengah 1 Kec. Praya 3,352 (0.25) (0.01) 3.24 (0.02) 9.47 2 Kec. Praya Tengah 4,596 (1.00) (0.002) Kab. Lombok Tengah 54,384 (1.25) Sumber: BPS, masing-masing Provinsi sampel Dalam Angka Tahun 2019-2020, diolah 5. Analisis Structural Equation Modeling (SEM) Alih Fungsi Lahan Sawah di Tingkat Masyarakat/Petani Dalam rangka pengambilan keputusan alih fungsi lahan sawah oleh masyarakat/petani, penelitian ini didukung analisis Decision Support Systems Analysis (DSS) berbasis statistika dengan menggunakan pendekatan Structural Equation Modeling Analysis (SEM). Keputusan mengalihkan atau tidak mengalihkan fungsi sawah dipengaruhi oleh banyak faktor pendorong antara lain variabel kebijakan, aksesibilitas, lokasi tanah, infrastruktur dasar, kondisi penduduk dan sosial ekonomi, dan kelembagaan. Sementara itu faktor pengendalinya antara lain variabel kebijakan pemanfaatan ruang, kebijakan LP2B, perizinan, insentif dan disinsentif, dan regulasi kebijakan seperti pembelian lahan sawah. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 155

Untuk mendukung analisis SEM, penelitian ini menggunakan 3 variabel laten (latent variable) dan 17 variabel teramati (observe variable), yang terbagi variabel eksogen (independen) dan endogen (dependen) sesuai kedudukannya dalam model persamaan, sebagai berikut: a. Variabel laten eksogen faktor pendorong (Xi), dengan 7 variabel teramati (observe variable)/indikator antara lain adalah: luas baku sawah belum ditetapkan (X1), ketersediaan/jarak dengan jalan utama/raya (X2), jarak lokasi sawah (land location) dengan permukiman/perdagangan/ industri/jasa (X3), sawah beririgasi non teknis (X4), kepadatan penduduk (X5), sawah berpenduduk miskin (X6), dan tanah sawah belum bersertipikat (X7) b. Variabel laten eksogen faktor pengendali (Xi), dengan 7 variabel teramati (observe variable)/indikator antara lain adalah: pemanfaatan ruang sesuai RTRW/ RDTR/Zonasi (X8), penetapan RRTR/RDTR/Zonasi sawah (X9), penetapan peta LP2B (X10), pemberian perizinan di kawasan tanah sawah (X11), pemberian insentif saprodi usahatani sawah (X12), pengenaan disinsentif land tax tinggi terhadap alih fungsi sawah (X13), dan pembelian tanah sawah oleh Pemerintah/Pemda yang sudah ditetapkan dalam RDTR/LP2B (X14). c. Variabel laten endogen keputusan alih fungsi sawah (Yi), dengan 3 variabel teramati (observe variable)/indikator antara lain adalah: luas penguasaan/ pemilikan sawah yang sempit (Y1), nilai produksi/land rent sawah yang rendah (Y2), dan profesi petani bukan pilihan/tidak menarik (Y3). SEM merupakan teknik analisis multivariat yang bersifat cross-sectional, linear dan umum, termasuk di dalamnya analisis faktor (Factor Analysis), analisis jalur (Path Analysis), dan regresi (Regression), seperti pendekatan konfirmatori (Confirmatory Approach) dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA), regresi linier berganda, dan model-model uji pendukung lainnya. Hasil analisis SEM mengenai alih fungsi lahan sawah oleh masyarakat/petani dapat dilihat dari model hubungan dua variabel laten eksogen dengan satu variabel laten endogen, dengan beberapa indikator untuk masing- masing variabel laten tersebut, yang ditampilkan pada Gambar 4.26 dan didukung Tabel 4.27 dan Tabel 4.28, serta Lampiran 16, dengan beberapa penjelasannya. a. Analisis jalur (Path Analysis) Dari analisis jalur telah diproleh hasil model struktural jalur seperti terlihat pada Gambar 4.22 berikut ini. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 156

Gambar 4.26: Bentuk Diagram Jalur/Path Model Struktural (Estimation) b. Confirmatory Factor Analysis (CFA) Model Penelitian, LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Hasil penghitungan nilai-nilai parameter utama mengenai pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen, nilai R2 untuk persamaan pengukuran, dan nilai R2 untuk persamaan struktural disajikan pada Tabel 4.27. Sedangkan hasil uji-uji nilai kecocokan keseluruhan model untuk mengetahui nilai-nilai kelayakan model (Goodness of Fit), yang digunakan melihat apakah model sudah benar atau salah disajikan pada Tabel 4.28. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 157

Tabel 4.27: Nilai-Nilai Parameter Utama: Koefisien Jalur (Koefisien Regresi) No. Koefisien Jalur Interpretasi A. Pengaruh Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen (Structural Equations) Persamaan Regresi:  Pengaruh variabel laten eksogen Pendorong (X) terhadap variabel laten endogen Alih Fungsi (Y) sebesar 0.38 ALIHFUNG (Y) = 0.38*PENDORON (X)+  Pengaruh variabel laten eksogen Pengendali (X) terhadap variabel laten Alih Fungsi (Y) 0.51*PENGENDA (X), sebesar 0.51 Errorvar.= 0.30, R² = 0.70 (0.12) (0.12) (0.088)  Nilai R2 untuk variabel laten eksogen Pendorong (X) dan eksogen Pengendali (X) berpengaruh terhadap variabel laten endogen Alih Fungsi (Y) sebesar 0.70 3.18 4.10 3.40  Angka 3.18, menunjukkan besarnya nilai t hitung pd pengaruh antara aspek pendorong thd keputusan alih fungsi sawah, dikarenakan nilai t hitung lebih besar dari 1.96, maka dinyatakan pengaruh aspek pendorong terhadap keputusan alih fungsi sawah signifikan  Angka 4.10, menunjukkan besarnya nilai t hitung pd pengaruh antara aspek pendorong thd keputusan alih fungsi sawah, dikarenakan nilai t hitung lebih besar dari 1.96, maka dinyatakan pengaruh aspek pendorong terhadap keputusan alih fungsi sawah signifikan  Angka 0.70, menunjukkan besarnya pengaruh antara aspek pendorong dan aspek pengendali terhadap keputusan alih fungsi sawah sebesar 0,70 (70%) B. Nilai R2 Persamaan Pengukuran (Measurement Equations), dimulai dari nilai yang tertinggi Keputusan Alih Fungsi Sawah (Y) 1 Y2 = 0.95*ALIHFUNG, Nilai R2 untuk variabel laten Alih Fungsi (Y) berpengaruh terhadap Y2 (nilai produksi/land Errorvar.= 0.58, R² = 0.61 rent sawah yang rendah) sebesar 0.61 2 Y3 = 0.78*ALIHFUNG, Nilai R2 untuk variabel laten Alih Fungsi (Y) berpengaruh terhadap Y3 (profesi petani Errorvar.= 0.69, R² = 0.47 bukan pilihan/tidak menarik) sebesar 0.47 3 Y1 = 0.57*ALIHFUNG, Nilai R2 untuk variabel laten Alih Fungsi (Y) berpengaruh terhadap Y1 (luas penguasaan/ Errorvar.= 0.75, R² = 0.30 pemilikan sawah yang sempit) sebesar 0.30 Faktor Pendorong (Xi) 4 X1 = 0.91*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X1 (luas baku sawah Errorvar.= 0.71, R² = 0.54 belum ditetapkan) sebesar 0.54 5 X3 = 0.84*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X3 (jarak lokasi Errorvar.= 0.77, R² = 0.48 sawah/land location dengan permukiman/perdagangan/industri/jasa) sebesar 0.48 6 X2 = 0.77*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X2 (ketersediaan/jarak Errorvar.= 0.76, R² = 0.44 dengan jalan utama/raya) sebesar 0.44 7 X5 = 0.68*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X5 (kepadatan Errorvar.= 0.72, R² = 0.39 penduduk) sebesar 0.39 8 X7 = 0.73*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X7 (tanah sawah belum Errorvar.= 0.97, R² = 0.36 bersertipikat) sebesar 0.36 9 X4 = 0.67*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X4 (sawah beririgasi Errorvar.= 0.81, R² = 0.35 non teknis) sebesar 0.35 10 X6 = 0.60*PENDORON, Nilai R2 untuk variabel laten Pendorong (X) berpengaruh terhadap X6 (sawah berpenduduk Errorvar.= 0.97, R² = 0.27 miskin) sebesar 0.27 Faktor Pengendali (Xi) 11 X10 = 0.87*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X10 (penetapan peta Errorvar.= 0.61, R² = 0.55 LP2B) sebesar 0.55 12 X9 = 0.84*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X9 (penetapan Errorvar.= 0.58, R² = 0.55 RRTR/RDTR/Zonasi sawah) sebesar 0.55 13 X8 = 0.79*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X8 (pemanfaatan ruang Errorvar.= 0.55, R² = 0.53 sesuai RTRW/RDTR/Zonasi) sebesar 0.53 14 X13 = 0.75*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X13 (pengenaan Errorvar.= 0.77, R² = 0.42 disinsentif land tax tinggi terhadap alih fungsi sawah) sebesar 0.42 15 X11 = 0.69*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X11 (pemberian Errorvar.= 1.17, R² = 0.29 perizinan di kawasan tanah sawah) sebesar 0.29 16 X12 = 0.65*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X12 (pemberian insentif Errorvar.= 1.03, R² = 0.29 saprodi usahatani sawah) sebesar 0.29 17 X14 = 0.61*PENGENDA, Nilai R2 untuk variabel laten Pengendali (X) berpengaruh terhadap X14 (pembelian tanah Errorvar.= 0.90, R² = 0.29 sawah oleh Pemerintah/Pemda yang sudah ditetapkan dalam RDTR/LP2B) sebesar 0.29 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 158

Tabel 4.28: Nilai-Nilai Uji Kecocokan/Kelayakan Model (Goodness of Fit/GOF) No. Ukuran Target Tingkat Hasil Tingkat Keterangan GOF Kecocokan Estimasi Kecocokan Nilai Chi Square, merupakan nilai kecocokan model (Goodness of 1 Chi Square Nilai yang kecil X2 = 337.78 Kurang baik Fit/ GOF) dalam SEM, semakin kecil nilainya menunjukan antara (poor fit) model teori dan data sampel semakin sesuai P p > 0.05 (p = 0.0) Non-centrality Parameter (NCP), adl parameter tetap yg berhubungan dengan derajat kebebasan (DF), yi untuk mengukur 2 NCP Nilai yang kecil 231.98 Baik perbedaan antara matriks kovarian populasi dengan matriks kovarian Interval Interval yang (179.73; (good fit) observasi (interval kepercayaan) sempit 291.86) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), merupakan kecocokan model yang cocok dengan matriks kovarian populasi 3 RMSEA RMSEA ≤ 0.08 0.087 Kurang baik The Expected Cross-Validation Index (ECVI), yi untuk mengukur P (close fit) perbedaan antara matriks kovarian yang dicocokan dalam sampel p ≥ 0.50 0.00 (poor fit) yang dianalisis dengan matriks kovarian yang diharapkan akan 4 ECVI diperoleh dari sampel lain dengan ukuran yang sama Nilai yang kecil dan 1.61 Baik Normed Fit Index (NFI), bernilai 0-1, model mempunyai kecocokan dekat dengan (1.17 ; 18.23) (good fit) model yang tinggi jika nilainya mendekati 1 Non-Normed Fit Index (NNFI) ECVI Saturated Comparative Fit Index (CFI), bernilai 0-1, jika nilainya mendekati 1 5 AIC Nilai yang kecil dan M* = 421.98 Baik menandakan kecocokan model sangat tinggi Incremental Fit Index (IFI) = 6 CAIC dekat dengan AIC S* = 306.00 (good fit) Relative Fit Index (RFI), bernilai 0-1, model mempunyai kecocokan 7 NFI Saturated I* = 4776.96 model yang ideal jika nilainya 0.95 8 NNFI Root Mean Square Residual (RMR), merupakan nilai rata2 semua 9 CFI Nilai yang kecil dan M* = 591.15 Baik residual yang distandarisasi, yang bermanfaat membandingkan 10 IFI kecocokan terhadap beberapa model 11 RFI dekat dengan S* = 1005.54 (good fit) 12 RMR CAIC Saturated I* = 4854.69 NFI ≥ 0.90 0.93 Baik (good fit) NNFI ≥ 0.90 0.94 Baik (good fit) CFI ≥ 0.90 0.95 Baik (good fit) IFI ≥ 0.90 0.95 Baik (good fit) RFI ≥ 0.90 0.92 Baik (good fit) Standardized RMR 0.086 Baik ≤ 0,087 (good fit) D. Strategi Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian/Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah (AFLS) dapat dilakukan dengan berbagai cara dan perlakuan. Selain mencegah dan menekan berbagai faktor/indikator pendorong terjadinya AFLS yang telah disinggung di atas, juga dapat dilakukan melalui peningkatan efektifitas pembuatan/penerapan kebijakan strategis pengamanan luas lahan baku sawah. 1. Kebijakan Strategis Pengamanan LLBS Menurut Kanwil BPN dan Kantah Kebijakan strategis pengamanan luas lahan baku sawah (LLBS) yang ditetapkan melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 agar terhindar dan terkendali dari proses AFLS dapat dilakukan dengan beberapa cara dan upaya, yaitu antara lain mencegah dan menekan berbagai faktor pendorong terjadinya AFLS dan peningkatan efektivitas penerapan faktor-faktor pengendali AFLS, serta melalui kebijakan strategis pengamanan luas lahan baku sawah. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 159

Ada beberapa kebijakan strategis pengamanan LLBS untuk menahan/ mengurangi proses terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/ tanggapan responden di Kanwil BPN dan Kantah (n=85). Hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa kebijakan strategis pengamanan LLBS tersebut. Dari 13 indikator kebijakan strategis pengamanan LLBS yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk dimintakan tanggapan/pendapat di lingkungan Kanwil BPN dan Kantah, ada 6 indikator kebijakan strategis tersebut yang paling tinggi skoringnya dengan kategori nilai bobot antara > 2,60-5.00, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah dalam pengendalian alih fungsi sawah dan pengamann LLBS perlu dilakukan sinkronisasi pembiayaan di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (4.09), dalam mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR untuk sawah dan pengamanan LLBS perlu sinkronnisasi pembiayaan di Kemen ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (3.88), penyusunan panduan pemetaan LLBS perlu dilakukan menjadi kegiatan strategis unit kerja terkait (3.87), pemetaan lokasi dan LLBS perlu dilakukan menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (3.86), mengevaluasi lokasi dan LLBS menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (3.86), dan penyusunan panduan pengendalian alih fungsi lahan sawah perlu dilakukan menjadi program strategis unit kerja terkait (3.80). Secara rinci nilai skor pembobotan indikator kebijakan strategis dalam upaya pengamanan LLBS AFLS menurut responden di Kanwil BPN dan Kantah sampel dapat dilihat Tabel 4.29 dan Gambar 4.27. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 160

Tabel 4.29: Nilai Skor Pembobotan Indikator Kebijakan Strategis Dalam Upaya Pengamanan LLBS AFLS Menurut Responden di Kanwil BPN dan Kantah Sampel Responden Kanwil BPN & Kantah No. Indikator Kebijakan Strategis Tanggapan (n=85) Nilai Skor Alih Fungsi Lahan Sawah Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Penyusunan panduan pengendalian alih fungsi lahan sawah perlu dilakukan menjadi program 0 5 36 26 18 323 3.80 76.00 strategis unit kerja terkait (KS-01) 2 Penyusunan panduan pemetaan luas lahan baku sawah (LLBS) perlu dilakukan menjadi kegiatan 0 3 36 25 21 329 3.87 77.41 strategis unit kerja terkait (KS-02) 3 Penyusunan panduan evaluasi pemanfaatan ruang untuk lahan baku sawah perlu dilakukan menjadi 0 4 38 23 20 320 3.76 75.29 kegiatan strategis unit kerja terkait (KS-03) 4 Pemetaan lokasi dan LLBS perlu dilakukan menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (KS-04) 0 2 34 23 26 328 3.86 77.18 5 Evaluasi lokasi dan LLBS menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (KS-05) 0 6 32 24 23 328 3.86 77.18 6 Pelaksanaan Tusi pengendalian AFLS di Pusat menjadi tanggung jawab unit kerja terkait (KS-06) 0 11 49 11 14 290 3.41 68.24 7 Pelaksanaan Tusi pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata 1 10 39 12 23 307 3.61 72.24 ruang untuk sawah di Pusat menjadi tanggung jawab unit kerja terkait (KS-07) 8 Pelaksanaan Tusi pengendalian dan pemantauan AFLS di daerah menjadi tanggung jawab Bidang 3 9 50 8 15 282 3.32 66.35 dan/atau Seksi Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan (KS-08) 9 Pelaksanaan Tusi pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dg RTR utk sawah di 2 12 42 17 12 282 3.32 66.35 daerah mjdtanggung jawab Bidang/Seksi Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan (KS-09) 10 Pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi Indikator Keberhasilan Kinerja 4 14 41 13 13 273 3.21 64.24 (IKK) unit kerja terkait (KS-10) 11 Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang 0 7 56 11 11 288 3.39 67.76 untuk sawah menjadi IKK unit kerja terkait (KS-11) 12 Dalam rangka pengendalian alih fungsi sawah dan pengamann LLBS perlu sinkronisasi pembiayaan 1 0 31 20 33 348 4.09 81.88 di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (KS-12) 13 Dalam rangka evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dg RTR utk sawah dan pengamanan LLBS 0 0 43 17 25 330 3.88 77.65 perlu sinkronnisasi pembiayaan di Kemen ATR/BPN dg K/L lainnya dan Pemda (KS-13) Nilai Sumber: Data Primer, 2020, diolah > 4,20 - 5,00 Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) > 3,40 - 4,20 > 2,60 - 3,40 Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan > 1,80 - 2,60 1.00 - ≤ 1,80 - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Strategis - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Strategis - S (Setuju) 3 -Cukup Strategis - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Strategis - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Strategis 2. Kebijakan Strategis Pengamanan LLBS dan AFLS Menurut Pemda (Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian) Kabupaten Beberapa kebijakan strategis pengamanan LLBS untuk menahan/ mengurangi proses terjadinya AFLS menurut pengamatan dan pendapat/ tanggapan responden di lingkungan Pemda Kabupaten, yaitu Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian (n=15). Hasil pengumpulan dan analisis data lapangan, diperoleh beberapa kebijakan strategis pengamanan LLBS tersebut. Dari 9 indikator kebijakan strategis pengamanan LLBS yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk dimintakan tanggapan/pendapat di lingkungan Pemda Kabupaten, ada 5 indikator kebijakan strategis tersebut yang paling tinggi skoringnya dengan kategori nilai bobot antara > 2,60-5.00, mulai dari nilai skoring tertinggi adalah pemetaan lokasi dan LLBS perlu dilakukan menjadi sasaran Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 161

strategis unit kerja terkait (4.33), pemetaan lokasi dan LLBS perlu dilakukan menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (4.27), pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi Indikator Keberhasilan Kinerja (IKK) unit kerja terkait (4.10), penyusunan panduan pemetaan LLBS perlu dilakukan menjadi kegiatan strategis unit kerja terkait (4.07), dan dalam pengendalian AFLS dan pengamann LLBS perlu sinkronisasi pembiayaan di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (4.00). Secara rinci nilai skor pembobotan indikator kebijakan strategis untuk pengamanan LLBS menurut responden Pemda (Bappeda, Dinas PUPR dan Dinas Pertanian) Kabupaten dapat dilihat Tabel 4.30 dan Gambar 4.28. Tabel 4.30: Nilai Skor Pembobotan Indikator Kebijakan Strategis Pengamanan LLBS Menurut Responden Pemda (Bappeda, Dis PUPR & Dis Pertanian) Kabupaten Sampel Responden Pemda Kabupaten (Bappeda, Dis PUPR & Distan) No. Indikator Kebijakan Strategis Tanggapan (n=15) Nilai Skor Alih Fungsi Lahan Sawah Pembobotan Indikator TS KS S LS SS Skor Rata2 %*) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Penyusunan panduan pengendalian AFLS perlu dilakukan menjadi program strategis unit 0 0 8 0 7 59 3.93 78.67 kerja terkait (KS-01) 2 Penyusunan panduan pemetaan LLBS perlu dilakukan menjadi kegiatan strategis unit 0 0 7 0 8 61 4.07 81.33 kerja terkait (KS-02) 3 Penyusunan panduan evaluasi pemanfaatan ruang untuk lahan baku sawah perlu 0 0 8 0 7 59 3.93 78.67 dilakukan menjadi kegiatan strategis unit kerja terkait (KS-03) 4 Pemetaan lokasi dan LLBS perlu dilakukan mjd sasaran strategis unit kerja terkait (KS-04) 0 0 4 3 8 64 4.27 85.33 5 Evaluasi lokasi dan LLBS menjadi sasaran strategis unit kerja terkait (KS-05) 0 0 6 4 5 59 3.93 78.67 6 Pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi Indikator Keberhasilan 0 0 4 1 5 41 4.10 82.00 Kinerja (IKK) unit kerja terkait (KS-10) 7 Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana 0 0 6 4 5 59 3.93 78.67 tata ruang untuk sawah menjadi IKK unit kerja terkait (KS-11) 8 Dalam rangka pengendalian AFLS dan pengamann LLBS perlu sinkronisasi pembiayaan 0 0 5 0 5 40 4.00 80.00 di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda (KS-12) 9 Dalam rangka evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dg RTR utk sawah dan pengamanan LLBS perlu sinkronnisasi pembiayaan di Kemen ATR/BPN dg K/L lainnya 0 0 dan Pemda (KS-13) 5 0 10 65 4.33 86.67 Sumber: Data Primer, 2020, diolah Nilai Keterangan: *) Persentase terhadap nilai maksimal (5/100 %) > 4,20 - 5,00 > 3,40 - 4,20 Kriteria Bobot Nilai Kriteria Hasil Skor Pembobotan > 2,60 - 3,40 > 1,80 - 2,60 - SS (Sangat Setuju) 5 -Sangat Strategis 1.00 - ≤ 1,80 - LS (Lebih Setuju) 4 -Lebih Strategis - S (Setuju) 3 -Cukup Strategis - KS (Kurang Setuju) 2 -Kurang Strategis - TS (Tidak Setuju) 1 -Tidak/Sangat Kurang Strategis Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 162

Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 163

BAB V ANALISIS KEBIJAKAN PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN IMPLIKASINYA A. Isu Pokok Alih Fungsi Lahan Sawah dan Kebijakan Pencegahannya Luas lahan sawah selama periode tahun 2014 -2018 terus menerus berkurang sehingga berdampak terganggunya ketahanan pangan nasional. Upaya pengendalian melalui UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan bebagai peraturan pelaksanaannya belum optimal dan kurang efektif dalam mencegah alih fungsi lahan sawah ke berbagai kegiatan pembangunan non pertanian. Dalam rangka pengendalian pertanahan dan pemanfaatan ruang, khususnya alih fungsi lahan sawah selama tahun 2018-2019 telah ditetapkan berbagai kebijakan strategis, yaitu Perpres No. 59/2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Permen ATR/KBPN No. 16/2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dan Kepmen ATR/KBPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional, seluas 7.463.948 hektar yang diterbitkan pada tanggal 17 Desember 2019. Berdasarkan Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 tersebut ditetapkan luas lahan baku sawah (LLBS) di setiap provinsi dan selanjutnya di masing-masing provinsi ditetapkan luas lahan baku sawah di setiap kabupaten/kota. Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana mengamankan LLBS sebagai tindak lanjut Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 yang memerlukan berbagai kebijakan operasional karena terdapat kesenjangan antara trend penurunan luas lahan sawah di satu sisi dengan kebijakan pengendalian/pencegahan luas lahan baku sawah pada sisi yang lain. Situasi itulah yang ditelaah dan dianalisis dalam penelitian ini dengan mencermati tiga hal yang menjadi isu pokok permasalahan alih fungsi lahan sawah, yaitu: Pertama, mencermati indeksss laju alih fungsi lahan sawah di beberapa sampel provinsi dan kabupaten guna mengetahui besaran dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah khususnya di Jawa dan Luar Jawa. Kedua, mencermati faktor pendorong dan faktor pengendali untuk mencegah alih fungsi lahan sawah Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 164

Ketiga, menerapkan kebijakan pengendalian tata ruang dan pertanahan guna mengamankan LLBS yang telah ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686 Tahun 2019. B. Posisi Strategis Kepmen ATR/Ka BPN No. 686 Tahun 2019 Penetapan luas lahan baku sawah melalui Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, pada prinsipnya dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan. Alih fungsi lahan sawah pada dasarnya akan mengikuti pola pembangunan wilayah yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, arah kebijakan Kepmen No. 686 Tahun 2019 sebagai berikut: Pertama, sebagai acuan bersama intansi terkait pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan di tingkat pusat maupun tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengendalian tata ruang dan pertanahan Kedua, sebagai acuan bersama atas kebutuhkan data dan informasi luas lahan baku sawah untuk menghitung produksi beras nasional dan dimana keberadaan data dan informasi luas lahan baku sawah tersebut. Ketiga, sebagai acuan untuk menetapkan berbagai kebijakan pengendalian tata ruang dan pertanahan yang terintegrasi dengan kebijakan insentif maupun disinsentif sebagai dampak alih fungsi lahan sawah untuk kegiatan pembangunan, antara lain seperti pembelian sawah oleh Pemerintah dan/atau Pemda, intensifikasi dan pencetakan lahan sawah baru, pengelolaan sawah bersama dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan penataan kebijakan publik, fungsi Kepmen ATR/KBPN No. 686 Tahun 2019 sebagai pengendali luas lahan sawah dapat dicermati dengan skenario sebagai berikut: 1. Kebutuhan beras selama 2019-2024 akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Dengan konsumsi 110 kg/kapita/tahun, maka pada tahun 2024 diperkirakan kebutuhan sebanyak 31.39 juta ton setara 48.96 juta ton padi 2. Persediaan luas baku sawah 7.46 juta hektar, cenderung menurun selama 2019- 2024. Pada tahun 2024 dengan laju penurunan 4.24 %/tahun dan produksi 4.42 ton/Ha dan luas baku sawah menjadi 6.88 juta ha, luas panen 10.60 juta ha, maka diperkirakan tersedia 46.84 juta ton padi GKG atau setara 29.98 juta ton beras. Jadi Kebutuhan Beras >> Persediaan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 165

3. Apabila produktivitas dapat ditingkatkan 10 % menjadi 4.86 ton/Ha, diperkirakan dengan luas baku sawah 6.86 juta ha, luas panen 10.60 juta ha, maka pada tahun 2024 tersedia 51.50 juta ton padi GKG atau setara 32.96 juta ton beras. Jadi Kebutuhan Beras = Persediaan. 4. Apabila luas baku sawah selama periode 2020-2024 dapat dipertahankan seluas 7.46 juta hektar, maka dengan produktivitas 4.42 ton/Ha, maka diperkirakan pada tahun 2024 tersedia 58.17 juta ton padi GKG atau setara 37.34 juta ton beras. Jadi Kebutuhan Beras << Persediaan. Dengan demikian, dapat dikatakan posisi fungsi Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 sebagai pengendali adalah diarahkan pada skenario ke empat yaitu mempertahankan luas lahan baku sawah sebesar 7.46 juta hektar. Dengan luas 7.46 juta hektar walau produktivitas sebesar 4.42 ton/hektar sudah dapat mengamankan kebutuhan beras sampai tahun 2024. C. Hasil Analisis Kebijakan dan Implikasinya Berdasarkan hasil penelitian di lima provinsi, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung dan Provinsi NTB serta lima kabupaten di masing-masing provinsi, yaitu Kabupaten Serang, Karawang, Demak, Lampung Tengah dan Kabupaten Lombok Tengah diperoleh hasil sebagai berikut. 1. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Sawah Selama periode tahun 2014 s/d 2018 terjadi alih fungsi lahan sawah yang menyebabkan berkurangnya lahan sawah di tiga wilayah provinsi di Jawa, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Untuk dua provinsi di luar Jawa, yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi NTB cenderung terjadi peningkatan luas lahan sawah. Apabila diamati lebih lanjut karakteristik tiga provinsi di Jawa dengan dua provinsi luar Jawa adalah: a. Tingginya jumlah maupun kepadatan penduduk di Jawa dibanding luar Jawa. Penduduk Provinsi Banten pada tahun 2018 sebanyak 12.68 juta jiwa, Jabar 49.32 juta jiwa dan Jateng 34.72 juta jiwa, jauh lebih tinggi dibanding Provinsi Lampung 8.45 juta jiwa dan NTB 5.01 juta jiwa. Juga tingkat kepadatan yang tinggi, tiga provinsi di Jawa sekitar 1,056 s/d 1,394 jiwa/Km2 dibanding 2 provinsi luar Jawa sekitar 242 s/d 249 jiwa/Km2. Kondisi itu tercermin pula Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 166

kepadatan penduduk di tiga kabupaten Jawa, yaitu sekitar 1,023 s/d 1,394 jiwa/Km2 dibanding luar Jawa, sekitar 265 s/d 777 jiwa/Km2 b. Tingginya jumlah penduduk yang terserap di sektor industri di Jawa dibanding luar Jawa. Di Provinsi Banten, sektor industri menyerap 1.71 juta orang, Jabar, 6.61 juta jiwa dan Jateng 5.60 juta jiwa. Sementara itu di Provinsi Lampung hanya menyerap 0.76 juta dan di NTB menyerap 0.26 juta jiwa. Hal yang sama ditunjukkan tiga kabupaten di Jawa lapangan kerja sekor industri menyerap 0.22 s/d 0.32 juta orang. Sementara itu, di dua kabupaten di luar Jawa hanya menyerap 0.09 s/d 0.16 juta orang. c. Tingginya PDRB yang bersumber dari sektor industri pengolahan di Jawa dibanding Luar Jawa. Pada tahun 2018, kontribusi sektor industri pada PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2010, di Provinsi Banten mencapai 33.82 %, di Jabar 42.99 % dan di Jateng 34.16 %. Sementara untuk Provinsi Lampung 19.85 % dan NTB 4.73 % PDRB. Hal yang sama ditunjukkan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB ADHK untuk Kabupaten Serang (49.43 %), Karawang (71.19 %), Demak (29.80 %), jauh lebih tinggi dibanding Lampung Tengah (23.61 %) dan Lombok Tengah (4.66 %). Tingginya jumlah penduduk, kepadatan, serapan tenaga kerja di sektor industri serta kontribusi sektor industri pengolahan di provinsi/kabupaten sampel di Jawa dibanding provinsi/kabupaten di Luar Jawa merupakan cerminan luasnya areal/kawasan industri di Jawa maupun intensitas pertumbuhan ekonominya yang menjadi salah satu pendorong meningkatnya alih fungsi lahan sawah. Hasil analisis penurunan luas sawah selama periode tahun 2014 s/d 2018 pada tingkat Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah, telah terjadi di sebagian besar wilayah kabupaten/kota. Di Provinsi Banten, terjadi pada 6 kabupaten dari 8 wilayah kabupaten/Kota atau 75 % wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Di Provinsi Jawa Barat, terjadi pada 27 dari 29 wilayah (96.30 % ) kabupaten/kota dan di Provinsi Jawa Tengah terjadi pada 28 dari 35 wilayah (80.00 %) kabupaten/kota Sementara itu, pada tingkat kabupaten sampel, secara umum sebanyak 50 kecamatan (44.25 % kecamatan sampel) terdapat pengurangan lahan sawah. Adapun kabupaten yang jumlah sebaran kecamatan tinggi adalah di Kabupaten Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 167

Serang (72.41 % jumlah kecamatan) dan Kabupaten Karawang (33.33 % kecamatan). Fenomena itu, sejalan dengan teori perkembangan wilayah yang awalnya mendasarkan pada teori ekonomi klasik mengenai sewa tanah (land rent) oleh Ricardo (1811) dan Von Thunen (1826), serta teori ekonomi neo-klasik oleh Alonso (1964). Beberapa penelitian di IPB, ITB dan UNDIP menunjukkan ada hubungan antara jumlah penduduk, industri, PDRB dengan alih fungsi lahan sawah. Secara ringkas sebagai berikut. a. Penelitian Hidayat dkk (2014) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) menemukan bahwa tingginya alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang disebabkan karena adanya pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah adalah jumlah industri, dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. b. Penelitian Disertasi Ivan Chofyan (2014) yang berjudul Kajian Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Bandung bahwa dengan pendekatan model sistem dinamik diketahu bahwa apabila penggunaan lahan dibiarkan tanpa upaya pengendalian, maka lahan sawah di Kabupaten Bandung akan selalu berkurang yang berakibat berkurangnya pasokan beras. c. Sementara itu, penelitian Zainil Mustopha dan Purbayu Budhi Santosa (2015) dengan Judul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Demak menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk, jumlah industri dan PDRB berpengaruh terhadap meningkatnya alih fungsi lahan sawah ke non pertanian. Mengenai perbedaan Jawa dan Luar Jawa, penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan Direktur Perencanaan Tata Ruang dalam FGD penelitian ini yang esensinya menyatakan bahwa kebutuhan lahan untuk bidang pertanian maupun non pertanian masih menggunakan areal hutan yang dapat dikonversi dan melalui pembukaan lahan hutan untuk kebun, ladang dan sawah. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 168

2. Analisis Indeks Laju Alih Fungsi Lahan Sawah Untuk menghitung indeks laju alih fungsi lahan sawah selama periode tahun 2014-2018, penelitian ini menggunakan tiga metode analisis, yaitu (1) Metode Kuantitas Sederhana Tidak Tertimbang (IKS), (2) Metode Kuantitas Rantai Tidak Tertimbang (IKR), dan (3) Metode Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang (IKAR) Metode (1) dan (3) mendasarkan pada luas lahan sawah tahun 2019 (Tahun Dasar) sehingga angka indeksnya adalah 100, maka jika wilayah provinsi dan kabupaten yang selama periode tahun 2018 mempunyai nilai-nilai indeks di bawah 100, diindikasi terjadi alih fungsi lahan sawah. Sementara itu, pada metode (2) mendasarkan pada luas lahan sawah satu tahun sebelumnya. luas lahan sawah pada tahun, maka bila wilayah provinsi dan kabupatennya mempunyai nilai indeks di bawah 100, diindikasi terjadi alih fungsi lahan sawah. Secara umum, hasil penghitungan indeks dengan ketiga metode tersebut memberi hasil yang polanya relatif sejalan. Di tingkat Provinsi Banten, Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah, selama periode tersebut luas baku sawah provinsi di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Demikian pula untuk Kabupaten Serang, Karawang dan Kabupaten Demak juga berada di bawah luas yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Sebagai contoh dengan menggunakan metode metode kuantitas agregat relatif tidak tertimbang terdapat beberapa kabupaten/kota dengan angka indeks yang pada tahun 2018 berada di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, yaitu: a. Provinsi Banten, adalah Kabupaten Lebak, Tangerang, dan Serang, serta Kota Tangerang, Cilegon, Serang dan Kota Tangerang Selatan b. Provinsi Jawa Barat, adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Kabupaten Pangandaran. Selanjutnya wilayah Kota adalah Kota Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, dan Kota Cimahi. c. Provinsi Jawa Tengah, adalah Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Pekalongan, Tegal, dan Kabupaten Brebes, d. Provinsi Lampung, adalah Kabupaten Tulang Bawang, Pringsewu dan Kabupaten Mesuji. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 169

e. Provinsi Nusa Tenggara Barat, tidak ada kabupaten/kota dengan angka indeksss yang pada tahun 2018 berada di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Hal ini berarti tidak terjadi laju alih fungsi sawah yang memerlukan penanganan. Selanjutnya penghitungan pada tingkat kabupaten dengan menggunakan metode kuantitas agregat relatif tidak tertimbang terdapat beberapa kecamatan pada kabupaten/kota sampel dengan angka indeks yang pada tahun 2018 berada di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, yaitu: a. Di Kabupaten Serang, adalah Kecamatan Padarincang, Pabuaran, Pamarayan, Bamdung, Jawilan, Kopo, Cilande, Kibin, Kragilan, Waringinkurung, Mancak, Bojanegara, Kramatwatu, Ciruas, Lebakwangi dan Kecamatan Tirtayasa. . b. Di Kabupaten Karawang, adalah Kecamatan Pangkalan, Ciampel, Telukjambe Barat, Klari, Purwosari, Tirtamulya, Jatisari, Banyusari, Kutosari, Cilamaya Kulon, Lemahabang, Majalaya, Karawang Timur, Karawang Barat, Tempuran, Kutawaluya, Rengasdengklok, Cilebar, Cibuaya, Batujaya dan Kecamatan Pakishaji. c. Di Kabupaten Demak, adalah Kecamatan Mranggen, Karangawe, Guntur, Kajangtengaj, Bonang, Demak, Wonosalam, Dempel, Kebonagung, Gajah, Karanganyar dan Kecamatan Mijen. . d. Di Kabupaten Lampung Tengah, adalah Kecamatan Padangratu, Kalirejo, Sendang Agung, Bangun Rejo, Bumi Ratu Nuban. Punggur, Seputih Raman, Way Penguburan, Seputih Mataram, Bandar Mataram, Seputih Banyak, Way Seputih, Rumbia dan Kecamatan Seputih Surabaya. e. Di Kabupaten Lombok Tengah, tidak ada kecamatan dengan Angka Indeks yang pada tahun 2018 di bawah 100 atau luas sawah di bawah luas baku sawah yang ditetapkan dalam Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Berdasarkan hasil pengukuran nilai indeks laju alih fungsi lahan sawah, maka bagi kabupaten/kota yang angka indeksnya mengindikasi mengalami alih fungsi diperlukan upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah sekaligus upaya untuk menambah jumlah luas agar luas sawah di masing-masing kabupaten sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. Mengenai laju alih fungsi lahan sawah, terdapat beberapa penelitian antara lain dari Universitas Sumatera Utara, LAPAN dan IPB. Penelitian tersebut Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 170

umumnya dilaksanakan dengan analisis spasial hasil pengamatan inderaja terhadap citra landsat: a. I Made Parsa dkk Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN pada bulan Maret 2020 melakukan penelitian dengan judul Analisis Citra Multiresolusi Untuk Identifikasi Konversi Lahan Sawah Akibat Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Di Kabupaten Subang, Jawa Barat Konversi (alih fungsi) lahan dapat dipantau menggunakan citra penginderaan jauh, baik resolusi menengah (Landsat) maupun resolusi tinggi (SPOT 6/7), bahkan dalam skala yang luas dapat dipantau menggunakan citra resolusi rendah MODIS. Metode yang digunakan yakni analisis perubahan menggunakan citra multiresolusi Landsat (2009-2015) dan SPOT 6/7 (2013- 2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan jalan bebas hambatan Cipali telah menyebabkan konversi lahan sawah di Kabupaten Subang seluas 98.2 ha yang tersebar di sepuluh kecamatan dengan persentase tertinggi terjadi di Desa Karangmukti Kecamatan Cipeundeuy mencapai 17.8 ha (17.1%). b. M. Sidik Pramono dkk (2020) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas SumateraUtara dalam penelitian yang berjudul Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah dan Prediksi Produksi dan Konsumsi Beras Di Kabupaten Deli Serdang. Dengan menggunakan analisis deskriptif dan metode peramalan (forecasting) diproleh hasil penelitian yang menunjukkan dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir (tahun 2006-2014) luas lahan sawah telah berkurang sebesar 1,226 ha atau 2.51%. Alih fungsi lahan sawah menjadi komoditi lain sebagian besar dipengaruhi oleh irigasi yang kurang baik dan harga lahan sawah yang tinggi, kebutuhan mendesak sebesar, dekat dengan lokasi proyek serta lahan yang dimiliki terlalu kecil. Jenis lahan sawah yang dialih fungsikan dan dijual adalah lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah irigasi sebesar. c. Semntara itu model Analisis Konversi Lahan Sawah dengan Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi, oleh Anny Mulyani dkk (2019), Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Provinsi Jawa Barat memperlihatkan laju konversi yang mengkhawatirkan karena terus berlangsung, namun data luas lahan sawah nasional tidak memperlihatkan kecenderungan penurunan. Penelitian yang dilaksanakan dari tahun 2013 sampai 2015 di sembilan provinsi sentra produksi padi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 171

Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Gorontalo. Untuk tingkat provinsi digunakan data Landsat tahun 2000 dibandingkan dengan data tahun 2013, sedangkan untuk analisis tingkat desa (67 desa di 9 provinsi yang sama) digunakan data IKONOS, Quickbird, atau Worldview yang tersaji dalam Google Earth terbaru dengan beda waktu citra antara 8 sampai 12 tahun. Penelitian dilengkapi dengan pengamatan penggunaan lahan di lapangan. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan citra resolusi tinggi, konversi lahan sawah di sembilan provinsi ini diperkirakan 54,716 ha th-1 dan diperkirakan laju konversi lahan sawah nasional sekitar 96,512 ha th-1 pada periode 2000-2015. Dengan laju konversi seperti 2000-2015, lahan sawah yang saat ini seluas 8.1 juta ha, diprediksi akan menciut menjadi hanya sekitar 5.1 juta ha pada tahun 2045. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari berbagai metode analisis statistik kuantitatif maupun analisis spasial yang dilakukan oleh berbagai lembaga peneliti menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan sawah masih tetap berlangsung sehingga memerlukan monitoring dan evaluasi yang dapat dilakukan secara kontinyu setiap tahun. Dalam pada itu, sepanjang diperoleh data luas lahan sawah dari intansi yang berwenang seperti Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan Dalam Angka secara kontinyu, maka penghitungan indeks laju alih fungsi lahan sawah dapat dilakukan setiap tahun bahkan proyeksinya, dengan menggunakan model Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang. Dengan demikian indeks laju alih fungsi lahan sawah di setiap provinsi, kabupaten dan kecamatan pada tahun-tahun yang akan datang dapat dipenuhi dengan menggunakan metode Kuantitas Agregat Relatif Tidak Tertimbang. Sementara itu Direktorat Jenderal Pengendalian Ruang dan Pertanahan sesuai tugas dan fungsinya dapat menggunakan metode ini untuk memonitor perubahan lahan sawah yang dinamis. Bagi wilayah yang tinggi laju alih fungsi lahan sawahnya dapat dimonitor dan dievaluasi dengan menggunakan penggunaan citra resolusi tinggi. 3. Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Penelitian ini mencermati faktor pendorong dan faktor pengendali, laju alih fungsi lahan sawah, kemudian dianalisis dengan menggunakan SEM (Structural Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 172

Equation Modeling Analysis). Dalam konsep SEM perlu ditetapkan Variabel Dependent (Y) Alih Fungsi Lahan Sawah, Faktor pendorong (Xi) dan faktor pengendali (Xi), serta faktor alih fungsi lahan sawah (Yi):  Faktor alih fungsi lahan sawah (Yi), diukur dari tiga variabel, yaitu Y1 = Luas penguasaan pemilikan tanah, Y2 = Nilai produksi/Landrent sawah dan Y3 = Profesi petani bukan pilihan.  Faktor pendorong (Xi) alih fungsi lahan sawah, diukur dari tujuh variabel, yaitu X1 = Luas baku sawah belum ditetapkan, X2 = Ketersediaan jaringan jalan, X3 = Jarak lokasi sawah (Land Location), X4 = Jaringan irigasi, X5 = Kepadatan penduduk, X6 = Kemiskinan, dan X7 = Sertipikasi tanah sawah  Faktor pengendali (Xi) alih fungsi lahan sawah, diukur dari tujuh variabel, yaitu X8 = Pemanfaatan ruang, X9 = Penetapan RDTR/Zonasi, X10 = Penetapan Peta LP2B, X11 = Pemberian Perizinan, X12 = Pemberian insentif usahatani sawah, X13 = Pengenaan disinsentif land tax, dan X14 = Pembelian tanah sawah Hasil analisis SEM menunjukkan hal-hal sebagai berikut: a. Dalam uji normalitas dapat dikatakan sebaran data secara keluruhan berdistribusi normal karena sebagian besar memiliki nilai P-Value Skewness dan Kurtosis lebih besar dari 0.05. Selanjutnya dari hasil analisis uji kecocokan dapat diketahui masing-masing ukuran nilai Good of Fit (GOF) keseluruhan model pengukuran menunjukkan tingkat kecocokan yang baik. Artinya sampel data dapat menjelaskan model dengan baik. b. Berdasarkan analisis jalur (path analysis), Variabel Y2 (nilai produksi/landrent sawah dengan nilai 0.96, merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan sawah. Berikutnya jalur Faktor Pengendali (X) dengan nilai 0.51 lebih strategis dibanding faktor pendorong, dengan nilai 0.38. Di antara tujuh variabel faktor pengendali, variabel X10 yaitu penetapan Peta LP2B dengan nilai 0.87 dan variabel X9 yaitu penetapan RDTR/Zonasi dengan nilai 0.84 merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap pengendalian alih fungsi lahan sawah. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 173

Gambar 5.1: Diagram Path Alih Fungsi Lahan Sawah c. Hubungan (korelasi) yang kuat antara faktor nilai produksi/landrent sawah (Y2) terhadap faktor–faktor utama yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah berturut-turut adalah variabel :  X10 yaitu penetapan peta LP2B dengan nilai 0.74  X11 yaitu pemberian perizinan dengan nilai 0.66  X13 yaitu pengenaan disinsentif/landtax dengan nilai 0.66 d. Persamaan Regresi Alih Fungsi Lahan Sawah ditunjukkan sebagai berikut: ALIHFUNG/Yi = 0.38*PENDORONG/Xi + 0.51*PENGENDA/Xi, dgn R2 = 0.70  Nilai t-hitung pada pengaruh antara aspek pendorong (Xi) terhadap keputusan alih fungsi sawah, sebesar 4.18 lebih besar dari t-tabel 1.96, maka dinyatakan pengaruh aspek pendorong terhadap keputusan alih fungsi sawah adalah signifikan  Nilai t-hitung pada pengaruh antara aspek pengendali (Xi) terhadap keputusan alih fungsi sawah, sebesar 4.10 lebih besar dari t-tabel 1.96, maka dinyatakan pengaruh aspek pengendali terhadap keputusan alih fungsi sawah adalah signifikan  Nilai R2 sebesar 0.70 menunjukkan besarnya pengaruh antara aspek pendorong (Xi) dan aspek pengendali (Xi) terhadap keputusan alih fungsi sawah (Yi) sebanyak 70 persen dapat dijelaskan dari tujuh variabel pendorong (X1 s/d X7) dan tujuh vaiabel pengendali (X8 s/d X14). Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 174

 Nilai R2 untuk Y1 = 0.30, Y2 = 0.67 dan Y3 = 0.47, menunjukkan bahwa kejadian alih fungsi lahan sawah, sebanyak 67 persen dapat dijelaskan oleh variabel nilai produksi/landrent sawah.  Nilai ß faktor pengendali sebesar 0.51, menunjukkan bahwa setiap upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan, khususnya melalui penetapan peta LP2B dan penetapan RDTR/Zonasi lahan sawah berpotensi untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah sebesar 51 persen areal sawah. Berdasarkan hasil analisis SEM laju alih fungsi lahan sawah, dapat sederhanakan dengan memahami makna diagram alur seperti disajikan jalur merah pada Gambar 5.1 berikut yang menunjukkan : Pertama, nilai lahan sawah mempunyai korelasi yang tinggi terhadap alih fungsi lahan sawah Kedua, di samping faktor pendorong pada dasarnya faktor pengendalian berperan strategis dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah Ketiga, penetapan peta LP2B dan penetapan RDTR/Zonasi menjadi variabel kunci dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah Oleh karena itu, bagi kabupaten/kota yang angka indeksssnya diindikasi mengalami alih fungsi diperlukan pendataan nilai produksi/landrent sawah serta upaya untuk menahan laju alih fungsi sawah dengan penetapan peta LP2B dan penetapan RDTR/Zonasi lahan sawah sesuai dengan luas baku sawah pada Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019. D. Strategi Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Kebijakan Pengendalian/ Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLP2B telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah, peraturah presiden, peraturan menteri dan peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten. Regulasi tersebut dalam implementasinya belum efektif yang diindikasi dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang terus menerus dan semakin tidak terkendali. Insentif ekonomi yang tertuang dalam peraturan pemerintah dan peraturan lainnya masih dalam tataran normatif, sehingga relatif sulit untuk diimplementasikan di lapangan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 175

Apabila dikaji secara cermat, terdapat tiga komponen yang terlibat dalam hal efektivitas implementasi peraturan tentang alih fungsi lahan sawah yaitu Pemerintah, investor dan masyarakat. Pemerintah dihadapkan pada implementasi peraturan termasuk penegakan hukumnya. Investor dihadapkan pada pilihan mencari lokasi yang strategis untuk membangun kawasan perumahan, industri, perdagangan dan jasa yang mempunyai aksesibilitas terhadap infrastruktur jaringan jalan, walaupun itu adalah lahan sawah beririgasi teknis. Masyarakat dihadapkan pemenuhan kebutuhan hidup, walaupun harus menjual lahan sawahnya. Dalam hubungannya dengan fungsi pemerintah dalam penegakan hukum, Soerjono Soekanto (2011) dalam bukunya Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, menyebutkan lima faktor efektivitas hukum, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan tentang PLP2B 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan, dimana hukum itu diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidupnya. Sementara itu, apabila dicermati dari sudut pandang teori efektivitas hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman (1984), dalam buku Sistem Hukum Prepektif Ilmu Sosial, terdapat 3 (tiga) faktor yang sangat mempengaruhi dalam penegakan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Legal substance atau substansi hukum 2. Legal structure atau Struktur hukum, di dalamnya termasuk kelembagaannya 3. Legal culture atau budaya hukum. Teori Friedman tersebut dapat dijadikan sebagai parameter mengapa penegakan hukum di Indonesia, dalam hal pengendalian/pencegahan alih fungsi tanah pertanian tidak berjalan secara efektif. Efektivitas hukum ditunjukkan oleh pilihan menggunakan hukum yang bergantung pada tingkat kepatuhan masyarakatnya. Hukum akan menjadi efektif jika orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma- norma itu benar diterapkan dan dipatuhi. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 176

Dengan mengacu pada konsep Friedman tersebut dapat dibangun strategi efektivitas regulasi Kepmen ATR/KBPN No. 686 Tahun 2019 sebagaimana Gambar 5.2, berikut. Gambar 5.2. Kerangka Efektivitas Regulasi Kepmen ATR/Ka BPN No 686/2019 Hasil analisis pendapat para responden dari para pejabat di tingkat Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten serta para pejabat dari instansi Bappeda dan Dinas Kabupaten terkait, seperti Pertanian, PUPR tentang kebutuhan kebijakan strategis pengendalian pertanahan tata ruang Kebutuhan kebijakan strategis pada Tabel 5.1 diolah dari hasil analisis pada Tabel 4.29 tentang nilai skor pembobotan indikator kebijakan strategis dalam upaya pengamanan LLBS AFLS menurut responden di Kanwil BPN dan Kantah Kabupaten sampel serta Tabel 4.30 tentang nilai skor pembobotan indikator kebijakan strategis dalam upaya pengamanan LLBS AFLS menurut responden Pemda (Bappeda, Dinas PUPR dan Dinas Pertanian Kabupaten sampel. Selanjutnya dipilih dengan indikator yang nilainya lebih dari 70.00 %. Berdasarkan batas 70 % tersebut terdapat 9 indikator yang dibutuhkan dalam pengembangan kebijakan strategis pengendalian pertanahan tata ruang sebagaimana disajikan pada Tabel 5-1. Apabila menggunakan batas nilai 80.00 %, maka terdapat lima indikator yang dibutuhkan instansi luar Kementerian ATR/BPN yaitu: (1) Penyusunan panduan pemetaan luas lahan baku sawah, (2) Pemetaan lokasi dan penetapan LLBS, (3) Pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi indikator keberhasilan kinerja (IKK) unit kerja terkait, (4) Sinkronisasi pembiayaan pengendalian AFLS di Kementerian ATR/BPN dengan K/L terkait dan Pemda, dan (5) Sinkronisasi Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 177

pembiayaan monev AFLS di Kementerian ATR/BPN dengan K/L terkait dan Pemda. Sedangkan untuk Kementerian ATR/BPN hanya satu indikator yaitu sinkronisasi pembiayaan pengendalian AFLS di Kementerian ATR/BPN dengan K/L terkait dan Pemda. Nilai kebutuhan indikator itu menurut instansi luar Kementerian ATR/BPN adalah tertinggi (90 %). Artinya diindikasi bahwa aspek pembiayaan masih terjadi ketidakmerataan ketersediaan anggaran pengendalian AFLS di lingkungan Kementerian ATR/BPN dengan instansi terkait. Tabel 5.1: Kebutuhan Kebijakan Strategis Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang dalam Rangka Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Usulan Responden No. Komponen Efektivitas Regulasi Kanwil dan Instansi Kantah Terkait %% A. Legal Structure 1. Penyusunan panduan pengendalian AFLS 76.00 78.67 2. Penyusunan panduan pemetaan luas lahan baku sawah (LLBS) 77.41 81.33 3. Penyusunan panduan evaluasi pemanfaatan ruang untuk lahan baku sawah 75.29 78.67 B. Legal Content 4. Pemetaan lokasi dan penetapan LLBS 77,18 85.33 5. Evaluasi lokasi dan LLBS 77.18 78.67 6. Pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi indikator 70.24 82.00 keberhasilan kinerja (IKK) unit kerja terkait C. Legal Culture 7. Sosialisasi Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 di tingkat provinsi, kabupaten/ Tinggi Tinggi kota dan masyarakat* 8. Sinkronisasi pembiayaan pengendalian AFLS di Kemen ATR/BPN dengan K/L 81.38 90.00 terkait dan Pemda 9. Sinkronisasi pembiayaan monev AFLS di Kemen ATR/BPN dengan K/L terkait 77,65 86.67 dan Pemda Keterangan: Diolah dari Tabel 4.29 dan Tabel 4.30 dengan batas nilai > 70.00.  Kebutuhan sosialisasi muncul saat wawancara dengan Kanwil, Kantah, instansi terkait dan masyarakat Berdasarkan analisis efektivitas tersebut dapat dikemukakan bahwa masalah alih fungsi lahan sawah adalah terkait terdapat pada komponen legal structure, legal content dan legal culture. Namun pada sisi yang lain komponen legal culture cenderung lebih dominan karena kurang adanya koordinasi dan konsolidasi antar lembaga/instansi terkait kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non- pertanian. Permasalahan sinkronisasi dan koordinasi terkait dengan LP2B juga merupakan salah satu hasil penelitian Ari Wijayanti dkk (2016) dengan judul Strategi Implementasi Untuk Mengendalikan Konversi Lahan Sawah Di Kota Sukabumi yang dipublikasi dalam Jurnal Tata Loka Volume 18 Nomor 4, November 2016, 240-248 © Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 178

2016 Biro Penerbit Planologi UNDIP. Temuan dimaksud adalah kurangnya sosialisasi LP2B baik dari pusat maupun provinsi, dan ketidakmampuan pihak kabupaten dalam mengontrol alih fungsi lahan sawah dan direkomendasi untuk membangun kerjasama dengan pihak swasta dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Sehubungan dengan itu, dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan sawah dengan cara mengamankan Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 diperlukan koordinasi dan konsolidasi antar lembaga/instansi terkait di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten untuk pelaksanaan operasional di tingkat masyarakat. E. Tindak Lanjut Kebijakan 1. Sinkronisasi Data Luas Lahan Sawah Kondisi saat ini masih terdapat permasalahan dalam sinkronisasi data luas sawah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten, antara lain mencakup: a. Terdapat tiga data luas sawah yang berbeda antara data Kepmen ATR/BPN No 686/2019 dengan data BPS Provinsi/Kabupaten Dalam Angka serta Data Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten. Untuk Provinsi di Jawa, luas sawah berdasarkan Data BPS selama periode tahun 2014 s/d 2018 cenderung menurun. Namun untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Angka Tahun 2019 dan tahun 2020 tidak dijumpai lagi data luas sawah. Hal ini menyebabkan data luas panen komoditi padi tidak diketahui dari mana sumber datanya dan tidak diketahui potensi sawah di provinsi, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan tingkat desa/kelurahan. b. Peta sawah hasil pendataan sesuai Kepmen ATR/BPN No. 686/2019 belum disinkronkan dengan data sawah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tetapkan sebagai dasar dalam penetapan lokasi LP2B. Sehubungan dengan itu, Direktorat Jenderal Pengendalian Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian ATR/BPN perlu menyusun petunjuk teknis sinkronisasi data luas lahan baku sawah yang berisi data tekstual dan data spasial Tingkat Wialyah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Tingkat Kecamatan. 2. Penetapan Peta LP2B Sesuai amanat UU No. 41/2009, menyebutkan bahwa penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) masuk ke dalam Perda RTRW dan lebih rinci dalam rencana detail tata ruang (RDTR). Penyusunan dan penerbitkan Perda LP2B diharapkan dapat mengakomodasi muatan lokal dan operasional, sesuai Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 179

kebutuhan masing-masing daerah. Menurut Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) sampai akhir Januari 2019 terdapat 222 kabupaten seluas 5.6 juta hektar yang menetapkan LP2B di dalam RTRW. Selain itu, 67 kabupaten dan 17 provinsi telah menetapkan Perda LP2B. Selain masih sedikitnya kabupaten yang menetapkan LP2B dalam RTRW dan sedikitnya kabupaten yang sudah menyusun Perda LP2B juga terdapat permasalahan dalam sinkronisasi luas LP2B yang tertuang dalam RTRW dan Perda yang berimplikasi pada luasan pada Peraturan Bupati (Perbup). Terlebih apabila dalam Perbup tidak disertai dengan peta lokasi LP2B. Hasil evaluasi implementasi kebijakan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) oleh Bappenas pada tahun 2015 di sembilan kabupaten pada sembilan provinsi telah menemukan beberapa masalah pada setiap aspek UU No. 41 Tahun 2009. Secara umum, perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tidak didasarkan pada pendapat atau usulan dari masyarakat. Alasannya belum memiliki informasi yang cukup untuk mensosialisasikan LP2B ke masyarakat. Dalam perencanaan tidak direncanakan secara harmonis, penetapan LP2B sebagian besar di RTRW tidak ada RDTR serta belum ada sistem informasi LP2B. Sementara itu, Romdhoni (2020) dalam penelitian yang berjudul Reformulasi Penetapan Lahan Hijau Di Kabupaten Malang (Studi terhadap Antinomi Peraturan daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah di Kabupaten Malang) menemukan ketidakharmonisan norma antara Perda RTRW dan Perda LP2B. Penetapan angka lahan hijau berbeda, yang terdapat dalam Perda LP2B adalah 45,888.23 Ha, angka ini lebih besar dibandingkan dengan Perda RTRW yaitu seluas 33,110.3 Ha, sehingga terdapat selisih luas lahan hijau sebesar 12,777.3 Ha. Pada hal, seharusnya angka yang ada di LP2B lebih kecil dibanding dengan RTRW, karena Perda RTRW terbit lebih dulu (tahun 2010) dibanding Perda LP2B (2015) sehingga semakin tahun, umumnya dalam praktik lahan hijau semakin berkurang. Pembentukan Perda LP2B tidak partisipatif, selain tidak melakukan harmonisasi norma dengn RTRW, juga tidak melibatkan masyarakat pemilik lahan sawah melaui forum konsultasi publik yang ideal, penetapan lahan hijau yang lebih rinci-teknis tidak disertai dengan peta yang telah disinkronkan dengan RDTR Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 180

wilayah kecamatan. Dalam Pasal 7 ayat (4), Perda LP2B disebutkan bahwa LP2B tertuang dalam Peta Spasial Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Namun Peraturan Bupati hingga tahun 2020 belum terbit. Dalam wawancara langsung Tim Peneliti PPSKATP Kementerian ATR/BPN (2020) dengan para Kepala Desa/Sekretaris Desa di 14 lokasi desa sampel juga terungkap bahwa peta LP2B belum ada, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam mengamankan kebijakan pemerintah terhadap alih fungsi lahan sawah tersebut. 3. Penetapan RDTR/Zonasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, antara lain menyebutkan bahwa Pemda wajib menerbitkan RDTR 36 bulan sejak ditetapkan RTRW. Selanjutnya dalam PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, menyebutkan bahwa 6 bulan sejak diterbtkan (21 Juni 2018) Pemda wajib menerbitkan RDTR untuk mendukung pelayanan OSS. RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut PZ kabupaten/kota adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana detail tata ruang. Pada Lampiran II Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten khususnya tentang Rencana Pola Ruang Kabupaten yang terkait dengan peruntukan kawasan pertanian disebutkan bahwa di dalam kawasan pertanian ini dapat ditetapkan luasan dan sebaran Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Dalam hal persebaran KP2B dimuat dalam RTR Kabupaten, penunjukan kawasannya dapat digambarkan dalam peta tersendiri dan akan ditampalkan (overlay) dengan peta rencana pola ruang. Peta hasil penampalan (overlay) sebagaimana dimaksud akan memiliki pengaturan tersendiri yang menambahkan aturan dasar masingmasing kawasan. Aturan ini akan tercantum dalam ketentuan umum peraturan zonasi. Peraturan zonasi diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/KBPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 181

Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. Penyusunan dan penetapan RDTR dan PZ kabupaten/kota menggunakan dan menghasilkan peta format digital dengan ketelitian geometris dan ketelitian detail informasi skala 1:5.000. Permasalahannya adalah bahwa pada bulan Juni 2019 yaitu masa 1 (satu) tahun setelah diterbitkan PP No. 24/2018 tentang OSS, dari target penyusunan RDTR sebanyak 2000 lokasi, baru tersusun 65 lokasi. Terhadap RDTR tersebut pada bulan Maret 2020 diterbitkan 57 Perda. Selanjutnya dari yang sebanyak itu, baru 21 lokasi yang pada Juni 2019 sudah terintegrasi dengan OSS, diharapkan ke 57 Perda RDTR dapat terintegrasi OSS. Dengan demikian hanya sekitar 57 lokasi yang mempunyai potensi untuk dibuat peta LP2B. Dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, aspek penataan ruang terkait penelitian ini, tercantum dalam BAB III, Bagian Ketiga, Paragraf 2, Pasal 17, dan Pasal 18. Esensi dari Pasal.17, – Muatan RTR terkait dengan peruntukan budidaya adalah sebagai berikut: a. Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang b. Rencana pola ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya c. Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah Sedangkan, esensi Pasal 18 UUCK mengatur bahwa: a. Penetapan RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota dan RDTR terlebih dahulu mendapat persetujuan substansi Pemerintah Pusat b. Sebelum diajukan persetujuan substansi kepada Pemerintah Pusat, RDTR Kabupaten/Kota yang dituangkan dalam Raperkada terlebih dahulu dilakukan Konsultasi Publik termasuk dengan DPR Daerah c. Bupati/Walikota wajib menetapkan Reperkada kabupaten/kota tentang RDTR paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat persetujuan substansi Pemerintah Pusat. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 182

d. Dalam hal Bupati/Walokota tidak menetapkan RAPERKADA setelah jangka waktu tersebut, RDTR ditetapkan Pemerintah Pusat e. Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman dan tata cara penyusunan RTR wilayah provinsi dan RTR wilayah kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah Ketentuan lebih lanjut mengenai RDTR sampai akhir bulan November 2020 tercantum dalam RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang, yaitu pada Paragraf 5 yang mengatur Penyusunan dan Penetapan RDTR kabupaten/kota, Pasal 48 sampai dengan Pasal 53. Beberapa esensi pengaturan terkait dengan penelitian tentang pengendalian/pencegahan alih fungsi lahan sawah ini adalah sebagai berikut: a. Pasal 48 mengatur bahwa RDTR kabupaten/kota dapat mencakup kawasan dengan kharakteristik perkotaan, kharakteristik perdesaan dan kawasan lintas kabupaten/kota. Kawasan dengan kharakteristik perdesaan merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial dan budaya dengan kharakteristik perdesaan. RDTR ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai wilayah administrasinya b. Pasal 49 mengatur bahwa Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menyusun dan menyediakan RDTR yang telah ditetapkan dalam bentuk digital dan sesuai standar yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Penyediaan RDTR dalam bentuk digital dimaksud dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR kabupaten/kota. Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR kabupaten/kota dalam bentuk digital ke dalam sistem Perizinan Berusaha Secara Elektronik c. Pasal 50 mengatur tentang cakupan RDTR kabupaten/kota meliputi proses penyusunan, pelibatan peran masyarakat, pembahasan rancangan RDTR oleh pemangku kepentingan, peta RDTR berskala 1 : 5000, dan substansi lain d. Pasal 51 mengatur muatan RDTR kabupaten/kota antara lain termasuk rencana pola ruang, peraturan zonasi, serta ketentuan lebih lanjut yang akan diatur dengan Peraturan Menteri e. Pasal 52 mengatur prosedur penetapan RDTR kabupaten/kota mulai dari konsultasi publik sampai dengan penetapan rancangan Perkada kabupaten/ kota tentang RDTR kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota sesuai dengan persetujuan substansi oleh Menteri Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 183

f. Pasal 53 mengatur bahwa Perkada kabupaten/kota ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Menteri. Dalam hal batas waktu tidak dipenuhi, Pemerintah Pusat menetapkan RDTR kabupaten/kota g. RDTR kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan Presiden Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa peraturan tentang RDTR dan Peraturan Zonasi sedang dalam proses penyesuaian RPP yang akan ditindaklanjuti ke dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Proses itu diperkirakan akan berlangsung sampai bulan Maret 2021. Dengan demikian ketentuan yang saat ini telah diatur dapat menjadi acuan sampai ditetapkannya peraturan perundangan yang baru sebagai operasionalisasi UU No 20 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 184

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini difokuskan pada 3 tujuan utama sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan. Berdasarkan hal tersebut, sesuai hasil pengolahan dan analisis data, serta uraian-uraian dalam pembahasannya diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Pengkajian pengukuran/penentuan angka indeks laju alih fungsi lahan sawah (AFLS) dan implementasinya, penelitian telah berhasil: a. Menyusun/merumuskan 3 metode/formulasi penghitungan/pengukuran angka indeks laju AFLS, yaitu (1) Metode indeks kuantitas sederhana tidak tertimbang (IKS), (2) Metode indeks kuantitas rantai tidak tertimbang (IKR), dan (3) Metode indeks kuantitas agregat relatif tidak tertimbang (IKAR) b. Ketiga metode/formulasi dapat diimplementasikan untuk mengukur/menghitung indeks AFLS selama tahun 2014 s/d 2019 di seluruh lokasi sampel c. Hasil penghitungan indeks AFLS, menunjukkan selama 2014-2019 telah terjadi perubahan luas lahan sawah di lokasi sampel, baik penurunan maupun penambahannya 2. Pengkajian pelaksanaan pengendalian/pencegahan AFLS dan beberapa faktor yang mempengaruhi, serta penyebaran spasialnya, penelitian memperoleh hasil: a. Selama 2041-2018, di lokasi sampel terjadi AFLS yang tersebar di sebagian kabupaten/kota dan kecamatannya, terutama di provinsi yang ada di Jawa b. Lima faktor pendorong yang tertinggi tingkat kerentanannya terhadap AFLS yang perlu dicegah/dikendalikan adalah jarak dengan jalan raya/utama non- TOL, kepadatan penduduk, jarak dengan kawasan permukiman/perdagangan/ jasa/industri, program pengendalian tata ruang yang belum jelas, dan jarak dengan areal pengadaan tanah untuk pembangunan c. Lima faktor pengendali yang tertinggi tingkat pencegahan/pengurangan AFLS adalah penetapan sawah dalam RDTR/Zonasi, penetapan sawah dalam LP2B, pemanfaatan ruang sejalan RTRW/RDTR/Zonasi, penetapan LP2B yang ada peta lokasinya, dan penerapan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan. Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 185

d. Hasil penghitungan Kuosien Lokasi (LQij) AFLS memberikan gambaran telah terjadinya konsentrasi penyebaran spasial penyusutan LLS di beberapa kabupaten/kota dan kecamatan di lokasi sampel e. Analisis SEM AFLS di tingkat masyarakan/petani lebih dipengaruhi faktor pengendali (Xi) dibandingkan faktor pendorong (Xi), dengan nilai R2 sebesar 0.70 (70.00%). Aspek pengambilan keputusan yang paling berpengaruh adalah nilai produksi/land rent sawah yang rendah, lalu profesi petani bukan pilihan/tidak menarik, dan luas penguasaan/pemilikan sawah yang sempit. 3. Strategi kebijakan dalam upaya pengendalian/pencegahan AFLS untuk mengamankan LLBS, selain mengelola faktor pendorong dan pengendalinya, juga paling banyak ditanggapi/diusulkan adalah a. Sinkronisasi pembiayaan di Kementerian ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda dalam pengendalian alih fungsi sawah dan pengamann LLBS b. Sinkronnisasi pembiayaan di Kemen ATR/BPN dengan K/L lainnya dan Pemda dalam mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR untuk sawah dan pengamanan LLBS c. Penyusunan panduan pemetaan LLBS, pemetaan lokasi dan LLBS, dan mengevaluasi lokasi dan LLBS Untuk menjaga ketahanan beras nasional selama 2020-2024, fungsi Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 sebagai instrumen pengendali AFLS agar dapat dipertahankan LLBS 7.46 juta hektar, sehingga diperkirakan akan mampu menjaga jumlah “Kebutuhan Beras << Persediaannya” B. Rekomendasi Dari hasil penelitian dapat direkomendasikan sebagai bahan masukan pengendalian pertanahan dan tata ruang, khususnya dalam upaya kebijakan pencegahan AFLS oleh Kementerian ATR/BPN c/q Ditjen Penataan Agraria (Ditjen IV) beserta Ditjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen VI) perlu beberapa hal berikut ini 1. Metode penghitungan indeks laju AFLS yang sudah disusun/dirumuskan dapat dipergunakan/dimanfaatkan untuk menghitung indeks AFLS sebelum/sesudah diberlakukannya Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 untuk melihat perubahan/ perkembangan LLBS guna mengendalikan ketahanan/kedaulatan beras. Dari Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 186

ketiga metode indeks tersebut, dapat dipilih cara mana yang paling sesuai berdasarkan ketersediaan data LLS di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. 2. Upaya pengendalian/pencegahan AFLS dapat dilakukan melalui pengelolaan faktor/indikator pendorong dan pengendalinya berdasarkan angka indeksnya. Jika tahun dasar LLBS menggunakan Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019 (100), untuk wilayah yang indeksnya < 100, maka perlu melakukan penahanan laju AFLS dan penambahan LLS agar sesuai LLBS Kepmen. Namun, jika indeksnya > 100, maka perlu melakukan mempertahankan LLS agar tidak berkurang dari LLBS Kepmen Di samping itu, perlu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap: (1) dinamika nilai produksi/land rent sawah, (2) penetapan luas baku sawah untuk bahan publikasi pada Dokumen Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan Dalam Angka, (3) penetapan peta LP2B, (4) penetapan RDTR/Zonasi sawah, dan (5) pemanfaatan ruang sesuai RTRW/RDTR/Zonasi 3. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka kebijakan strategis yang dibutuhkan untuk pengamanan LLBS sesuai Kepmen ATR/KBPN No. 686/2019, yaitu: (1) Penyusunan panduan pemetaan LLBS, (2) Pemetaan lokasi dan penetapan LLBS, (3) Pelaksanaan pengendalian AFLS dan pengamanan LLBS menjadi indikator keberhasilan kinerja (IKK) unit kerja terkait, (4) Sinkronisasi pembiayaan pengendalian AFLS di Kemen ATR/BPN dengan K/L terkait dan Pemda dan (5) Sinkronisasi pembiayaan monev AFLS di Kemen ATR/BPN dengan K/L terkait dan Pemda Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 187

Daftar Pustaka 1. Algifari, 2015, Statistika Deskriptif Plus Untuk Ekonomi dan Bisnis, UPP STIM YKPN, Yogyakarta 2. Badan Diklat Keuangan, Kemenkeu RI, 2019, Pentingnya Regulatory Impact Analysis Dalam Mereviu Suatu Kebijakan, 29 Juli 2019, Manajemen Situs Portal BPPK 3. Barlowe, Raleigh, 1972, Land Resources Economic, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. 4. Bintarto, R dan S.Hadisumarno, 1982, Metode Analisa Geografi, LP3ES, Jakarta 5. Djoni, Suprianto dan Eri Cahrial, 2016, Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan di Kota Tasikmalaya, Mimbar Agribisnis, ISSN 2460-4321, Vol. 1, No. 3, Juli 2016. 6. Irianto, Gatot, 2002, Menyoal Alih Fungsi Lahan, Kekeringan, dan Ketahanan Pangan, SK Harian Kompas, Jumat, 30 Agustus 2002 7. Kartono, Hari, 1987, Dampak Industri Manufacturing Dalam Pembangunan Wilayah: Studi Kasus di Cibinong dan Citeureup, Kabupaten Bogor, Publikasi Geografi No.10, FMIPA UI, Depok. 8. Kasimin, Suyanti, 1995, Model Pemilihan Lokasi Pemukiman dan Keterkaitannya dengan Tempat Kerja, Studi Kasus DKI Jakarta dan Bekasi, Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. 9. Koestoer, Raldi H, 1997, Perspektif Lingkungan Desa - Kota: Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta. 10. Narimawati, U dan J. Sarwono, 2017, Structural Equation Modeling (SEM), Berbasis Kovarian dengan LISREL dan AMOS untuk Riset Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Jakarta, Penerbit Salemba Empat 11. Prihandini, T.I. & Sunaryo, S. 2011. Structural Equation Modelling (SEM) dengan Model Struktural Regresi Spasial. Makalah pada Seminar Nasional Statistika, Universitas Diponegoro Semarang, 21 Mei 2011 12. Raharjo, Sugeng, 1999, Geografi dan Penerapannya Dalam Pembangunan Wilayah, Jur Geografi FMIPA-UI 13. Sukirno, S, 1976, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah, LPFE-UI, Jakarta. 14. Sukirno, S, 1985, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, LPFE-UI, Jakarta. 15. Suska, 2012, Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang- Undangan Sesuai UU No. 12 Tahun 2011, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI, Vol. 9, No. 2, Juni 2012 16. Syihab, Abdullah, 1993, Analisis Pembangunan Wilayah Jabotabek, Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. 17. Yunus, Hadi Sabari, 1999, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Peraturan Perundang-Undangan Terkait: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) 2. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 6. Peraturan Pemerintah No. 40 Thn 1996 ttg Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah 7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang 8. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian 9. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan 10. Peraturan Presiden RI Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah 11. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang 12. Peraturan Presiden RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional 13. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan 14. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota 15. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Pemanfaatan Ruang 16. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang 17. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha 18. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2020 tentang tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 19. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan 20. Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 686/SK- PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Nasional Tahun 2019 Penelitian Pengendalian Pertanahan dan Tata Ruang: Upaya Kebijakan Pencegahan Alih Fungsi Lahan Sawah, PPSKATP Kementerian ATR/BPN, 2020 188


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook