Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-01-21 06:14:11

Description: Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat

Search

Read the Text Version

Indikator122 Pasal Analisis 2016), namun aturan yang lebih teknis belum dibuat (saat ini sedang disusun aturan pemanfaatan sempadan pantai bersamaan dengan revisi Permen ATR No 17 Tahun 2016, rencananya akan diatur dalam satu Permen). Pada bagian faktor substansi hukum, ketentuan-ketentuan pokok dalam pengaturan hak atas tanah merujuk pada pandangan Boedi Harsono124 terkait (a) Ketentuan mengenai objek hak, (b) Ketentuan mengenai hak-hak atas tanah sebagai lembaga hukum (jenis Hak Atas Tanah), (c) Ketentuan mengenai subjek hak, (d) Ketentuan kewenangan dan batasan, (e) Ketentuan mengenai kewajiban (kewajiban menjaga fungsi sosial dan kewajiban khusus), dan (g) Ketentuan mengenai hak-hak atas tanah sebagai hubungan hukum konkret. Ketentuan tersebut menjadi acuan dalam menilai muatan Permen ATR No 17 Tahun 2016, sehingga dapat diketahui bahwa Permen tersebut mencakup semua ketentuan pokok dimaksud. a. Wilayah Pesisir Tabel 12. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah di Wilayah Pesisir (Pasal 4 s.d. 8) Objek HAT Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan Kewajiban Hubungan dan Batasan Hukum Konkret PASAL YANG MENGATUR  Pasal 4: Pasal 7 ayat  Anggota dan/  Syarat/ Pasal 7 ayat Pasal 7 ayat (1): (1): Penataan (1): atau ketentuan “Ketentuan “Ketentuan mengenai mengenai pertanahan “Ketentuan Masyarakat diberikannya Subjek hak, Subjek hak, jangka jangka waktu, di wilayah mengenai Hukum Adat HAT Pasal 6 waktu, peralihan, peralihan, pembebanan, pesisir Subjek hak, Pasal 6 ayat ayat (2): pembebanan, kewajiban dan dilakukan jangka (3): Anggota a. Sesuai kewajiban larangan serta dengan waktu, dan/atau dan larangan hapusnya HAT pemberian peralihan, Masyarakat dengan HAT pada a. pembebanan, Hukum Adat Rencana Pantai, b. kewajiban dapat diberi Tata Perairan dan larangan HAT tanpa Ruang/ memenuhi Rencana Zonasi; 124 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016. Hal 283-317. 91

Objek HAT Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan Kewajiban Hubungan dan Batasan Hukum Konkret pesisir. serta syarat khusus. b. Mendapat serta di Wilayah hapusnya rekomenda hapusnya Pesisir  Pantai HAT di Pasal 6 ayat si dari HAT di dilaksanakan (bangunan) Wilayah (4): Penetapan Pemda jika Wilayah sesuai Pasal 5 ayat Pesisir MHA, HAT belum Pesisir ketentuan (1): dilaksanakan dan diatur; dilaksanakan peraturan sesuai pendaftaranny sesuai perundangan”. a. Bangunan ketentuan a sesuai c. Memenuhi ketentuan untuk peraturan dengan ketentuan peraturan pertahanan perundangan peraturan perizinan perundangan dan ” perundangan. dari ” keamanan; instansi  Subjek terkait. b.Pelabuhan lainnya atau Pasal 7 ayat  Privilese dermaga; (1): untuk “Ketentuan anggota c. Tower mengenai dan/atau penjaga Subjek hak, Masyarakat keselamata jangka waktu, Hukum Adat n; peralihan, Pasal 6 ayat pembebanan, (3): Anggota d.Tempat kewajiban dan tinggal larangan serta dan/atau masyarakat hapusnya HAT hukum di Wilayah Masyarakat adat atau Pesisir anggota dilaksanakan Hukum Adat masyarakat sesuai yang ketentuan dapat diberi secara peraturan turun perundangan” HAT tanpa temurun sudah harus bertempat tinggal di memenuhi tempat tersebut; syarat khusus. dan/atau e. Pembangki t tenaga listrik.  Perairan Pesisir (bangunan) Pasal 5 ayat (2): a. Program strategis negara; b. Kepentin gan umum; c. Permuki man di atas air bagi 92

Objek HAT Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan Kewajiban Hubungan dan Batasan Hukum Konkret masyarak Tidak ada Pengaturan untuk  Tidak ada Tidak ada at hukum pengaturan subjek pengaturan pengaturan Tidak ada adat; khusus untuk pengaturan dan/atau khusus Perorangan dan kewenangan khusus d. Pariwisat Badan Hukum khusus a.  Namun sudah  Objek yang tidak diatur ada tidak dapat secara khusus pengaturan diberikan untuk batasan HAT Pasal 8: a.Bangunan yang diluar batas wilayah laut provinsi; b.Instalasi eksplorasi dan atau eksploitasi minyak bumi, gas, pertamban gan, panas bumi; c.Instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa, dan jaringan transmisi lainnya; dan/atau d.Bangunan terapung. EVALUASI Sudah ada pengaturan 1) Objek HAT a) Locus yang dapat menjadi objek HAT pada wilayah Pesisir di Permen ini hanya pada bagian Pantai dan Perairan Pesisir, tapi belum mencakup 93

area lain yang juga penting untuk diatur, yaitu Sempadan Pantai. Padalah dalam definisi operasionalnya (Pasal 1) terdapat pengertian Sempadan Pantai, namun tidak dibahas sama sekali dalam Bab selanjutnya. b) Jika diperhatikan objek yang diperbolehkan diberikan HAT, area Pantai memiliki restriksi yang lebih besar daripada Perairan Pesisir. Objek- objek yang diberikan HAT di Pantai (Pasal 5 ayat (1)) tidak terlalu luas (kecuali tempat tinggal masyarakat), sedangkan objek di Perairan Pesisir yang diperbolehkan (Pasal 5 ayat (2)) memiliki kebutuhan area yang luas. Sebagai contoh, Pariwisata diperbolehkan di Perairan Pesisir, namun tidak pada area Pantai. Alasan perbedaan pemanfaatan tersebut tidak diketahui dengan jelas dalam Permen ini. Apalagi melihat definisi operasionalnya (Pasal 1), Pantai dan Perairan Pesisir bisa saja memiliki area yang sama (tergantung penentuan garis pantai yang digunakan, apakah dari surut tertinggi, terendah, atau rata-rata). Selain itu, pengertian Pantai pada Permen ini masih sangat umum tidak diperjelas maksud dari Pantai hingga restriksinya lebih besar, apakah Pantai dalam pengertian “beach” yang secara geomorfologi memiliki pasir dan kerikil dengan dataran yang luas dan panjang, atau berlaku untuk semua jenis pantai. c) Jika melihat definisi operasional (Pasal 1 nomor 2) maka pengaturan Perairan Pesisir terlalu jauh (hingga 12 mil), padahal HAT yang dapat diberikan hanya dibatasi pada bangunan-bangunan yang masih memiliki koneksi langsung dengan dasar tanah, sedangkan objek-objek yang (biasanya) jauh dari pantai tidak dapat diberikan HAT (Pasal 8: Bangunan yang diluar batas wilayah laut provinsi; Instalasi eksplorasi dan atau eksploitasi; Instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa, dan jaringan transmisi lainnya; dan/atau Bangunan terapung). d) Disebutkan bahwa HAT di Perairan Pesisir dapat diberikan untuk Kepentingan Umum, namun tidak ada dalam definisi operasional (Pasal 1). Istilah ini memang sudah lazim ada di UUPA dan terdefinisi jelas 94

dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 1 Nomor 6 UU No 12 Tahun 2012). 2) Jenis HAT a) Tidak ada pengaturan khusus untuk jenis HAT pada Permen ATR No 17 Tahun 2016. Hal tersebut menjadi banyak pertanyaan khususnya para akademisi dan instansi dalam bidang lingkungan, mereka menganggap bahwa daerah Pantai dan Perairan Pesisir dianggap rentan dan tidak bisa disamakan dengan daratan biasa, perlu diterapkan jenis HAT yang berjangka waktu. b) Salah satu akibat dari tidak ditentukan jenis HAT tersebut adalah munculnya perbedaan dalam pemberian jenis HAT di Pantai dan Perairan Pesisir, dengan dasar pertimbangan yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh di Kota Tanjungpinang, wilayah pelantar (permukiman di atas air) sudah banyak keluar HAT, berdasarkan aplikasi GeoKKP ada yang diberikan Hak Pakai, ada yang Hak Guna Bangunan, dan ada juga Hak Milik, seperti pada lampiran. 3) Subjek HAT a) Selain jenis HAT, Permen ini juga tidak menetapkan dengan khusus subjek HAT yang diperbolehkan mengelola Perairan Pesisir dan Pantai, masih disamakan dengan daratan. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat subjek yang mengelola wilayah pesisir di Indonesia memang tidak hanya orang tertentu, tapi berbagai kalangan ada di wilayah pesisir sehingga tidak mungkin membatasi. Namun demikian tetap perlu diatur secara eksplisit baik perorangan, badan hukum, dan Pemerintah, agar lebih jelas. b) Terkait subjek HAT, batasan dan kewenangan, Permen ini sebenarnya sudah berusaha mengakomodir kepentingan Masyarakat Hukum Adat, yang mana mereka dibebaskan dari syarat yang ditetapkan pada Pasal 6 95

ayat (2). Namun Permen ini belum memasukkan secara eksplisit tipe masyarakat lainnya khususnya Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional (sebagaimana UU No 27 Tahun 2007 mengkategorikan tipe masyarakat di wilayah pesisir). Terkait dengan pembebasan syarat, kaum minoritas yang juga perlu diberi kemudahan adalah Masyarakat Tradisional seperti masyarakat Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi. Kabupaten Wakatobi sudah memberikan ruang untuk entitas dan tempat mereka bermukim, bahkan diakomodir dalam rencana tata ruang sebagaimana dapat dilihat pada gambar. Gambar 15. Area Permukiman Suku Bajo di Perairan Pesisir yang Diakomodir dalam Rencana Tata Ruang Jika mengacu Permen ATR No 17 Tahun 2016, apakah pemberian HAT di permukiman Suku Bajo tersebut tetap perlu memenuhi ketentuan perizinan sebagaimana persyaratan yang dibuat dalam Pasal 6 ayat (2)? Padahal mereka adalah masyarakat yang juga perlu diberi kemudahan- kemudahan sebagaimana MHA diberikan kemudahan. Kemudahan tersebut perlu dibuat dengan jelas siapa saja yang “berhak” menerima dan harus tepat sasaran. 96

4) Kewenangan dan Batasan a) Pasal 6 ayat (2) mengatakan bahwa pemberian HAT untuk wilayah pesisir memasukkan rencana zonasi sebagai opsi untuk dasar pemberian HAT. Hal tersebut tidak tepat, karena dalam Pasal 26 ayat (3) UU No 26 Tahun 2007 telah jelas dikatakan bahwa administrasi pertanahan harus berdasarkan Rencana Tata Ruang, bukan Rencana Zonasi. Namun sejak adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), ke depan dokumen rencana tata ruang dan rencana zonasi akan menjadi 1 (satu), sehingga hal tersebut akan baik kedepannya dalam administrasi pertanahan di wilayah pesisir karena sudah tidak ada lagi dualisme pengaturan tata ruang di wilayah pesisir, termasuk pulau-pulau keci. b) Kemudian pada Pasal 6 ayat (1) huruf b meminta “Rekomendasi” dari Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota jika belum diatur dalam Rencana Tata Ruang yang selama ini dipertanyakan bagaimana proses dan pengajuan Rekomendasi tersebut? Namun sejak adanya UUCK hal tersebut mendapat pencerahan. Telah dipikirkan solusi terkait zona- zona yang belum masuk dalam rencana tata ruang dimana dalam salah satu penyusunan aturan turunan UUCK yaitu Rencana Perarturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Penataan Ruang (draft 23 November 2020)125 telah mengatur bahwa dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bersifat strategis nasional dan belum dimuat dalam rencana tata ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang diberikan dalam bentuk Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, melalui pertimbangan Forum Penataan Ruang, jangka waktu permohonan hingga diterbitkannya Rekomendasi (disetujui/tidak disetujui) adalah 40 hari. Namun perlu digarisbawahi bahwa Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperbolehkan dalam RPP tersebut adalah pemanfaatan ruang yang bersifat strategis nasional, maka bagaimana yang bukan kegiatan 125 Kementerian Koordinator Perekonomian RI, RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang diakses di https://uu-ciptakerja.go.id/rpp-penyelenggaraan-penataan-ruang-2/ pada tanggal 23 Desember 2020. 97

strategis nasional? Hal tersebut akan menyisakan berbagai kasus yang akan sulit diselesaikan. Contoh kasus di Pulau Manis (Funtasy Island) di Kota Batam, yang mana telah dibangun sejak tahun 1994 kawasan ekowisata yang pada bagian perairan pesisir telah dibangun 150 unit rumah/villa permanen dan mewah, namun tidak dapat diterbitkan sertifikat HAT karena area perumahan tersebut tidak masuk dalam tata ruang. Gambar 16. Area Perumahan di Pulau Manis yang tidak Diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang 5) Kewajiban a) Salah satu aspek penting yang tidak dirincikan dalam Permen ini adalah kewajiban pemegang HAT untuk wilayah pesisir, hanya mengikuti ranah daratan. Memang setiap pemegang HAT memiliki kewajiban dasar seperti yang disampaikan oleh Boedi Harsono126 bahwa kewajiban dasar pemegang HAT adalah menjaga fungsi sosial dan 126 Boedi Harsono, Op.cit. 98

memelihara tanahnya. Fungsi sosial dalam arti suatu tanah tidak hanya mempunyai fungsi untuk pemiliki namun juga untuk Bangsa, sehingga dalam penggunaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan kepentingan masyarakat, mempergunakan tanah sesuai dengan keadaan tanah, sifat dan tujuan pemberian haknya. Adapun kewajiban memelihara tanah juga melekat pada pemilik HAT, bahwa jangan sampai dalam pemanfaatannya mengakibatkan kerusakan. Dua kewajiban dasar tersebut seharusnya dirincikan dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 sesuai dengan sifat dan kebutuhan wilayah pesisir baik secara ekologis maupun sosial, karena disitulah letak perbedaannya dengan daratan. Bahkan Pasal 9 UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, yang bukan peraturan bidang pertanahan, masih lebih jelas mengatur kewajiban tersebut yang menyatakan bahwa “Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahannya di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan, wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut”. 6) Hubungan Hukum Konkret Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak memberikan penjelasan rinci terkait dengan ketentuan HAT sebagai hubungan hukum konkret127 antara lain terciptanya HAT, peralihan HAT, dan hapusnya HAT. Sejauh ini terlihat bahwa terciptanya hak terbatas pada pemberian tanah negara tapi tidak tersedia pengakuan hak dan konversi. Tiga jalur penciptaan hak itu perlu diakomodasi dengan kenyataan ragam sosial-budaya dan geografis perairan pesisir Indonesia. Peralihan hak juga perlu diperjelas khususnya terkait persyaratan/kewajiban subyek calon pemegang hak. Ditambah pula, hapusnya hak perlu penjelasan spesifik terkait dengan hapus karena hukum seperti pelanggaran terhadap larangan peralihan kepada subyek yang tidak memenuhi persyaratan/kewajiban, dan kondisi tanah di bawah air laut, yang menyebabkan hapus. Dalam berbagai kajian disebutkan 127 Boedi Harsono. Op.cit. 99

bahwa wilayah pesisir memiliki kerentanan yang tinggi antara lain rentan abrasi, rentan dengan kenaikan muka air laut (sebagai bagian dari perubahan iklim), kurang air bersih, rentan salinitas, dan lain sebagainya. b. Pulau-Pulau Kecil Tabel 13. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah di Pulau-Pulau Kecil (Pasal 9 s.d. 13) Objek Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan dan Kewajiban Hubungan HAT Batasan Hukum Konkret PASAL YANG MENGATUR Pasal 9 Pasal 12 ayat  Prioritas  Batasan  Tidak Pasal 12 ayat (1): (1): “Ketentuan untuk penguasaan Menutup ayat (1): “Pulau- mengenai dan Akses “Ketentuan pemerintah penggunaan publik mengenai tanah Pasal 10 Subjek hak, pulau Subjek hak, Pasal 9 ayat Pasal 9 ayat (2) ayat (1) dan jangka huruf a dan b: (2): waktu, Kecil jangka waktu, (4): a. Penguasaan Penguasaan peralihan, pulau kecil pulau kecil pembebanan dapat peralihan, jika tidak ada paling tidak boleh , kewajiban banyak 70% menutup dan diberikan pembebanan, penguasaan dari luas akses publik. larangan pulau atau Akses publik serta Hak Atas kewajiban dan maka sesuai tersebut hapusnya Tanah”. larangan serta dipriorotas- dengan antara lain: HAT di Rencana a. Akses Pulau-pulau hapusnya HAT kan untuk Tata Ruang peroranga Kecil atau Rencana n atau dilaksanaka di Pulau-pulau Pemerintah Zonasi; kelompok n sesuai b. Paling orang ketentuan Kecil (Pemerintah sedikit 30% untuk peraturan dikuasai perlindung perundanga dilaksanakan Pusat). langsung an/ n” oleh Negara keselamata sesuai ketentuan  Subjek dan n; digunakan b. Akses peraturan lainnya untuk peroranga perundangan” secara umum kawasan n atau lindung, area kelompok Pasal 12 ayat publik, atau orang kepentingan dengan (1): masyarakat; izin resmi: “Ketentuan c. Secara kegiatan keseluruhan pendidikan mengenai pulau, , penggunaan penelitian, Subjek hak, pulau kecil konservasi harus dan jangka mengalokasi preservasi. kan 30% waktu, peralihan, pembebanan, kewajiban dan larangan serta hapusnya HAT di Pulau-pulau Kecil dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan ”. 100

Objek Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan dan Kewajiban Hubungan HAT Batasan Hukum Konkret untuk kawasan lindung  Privilese/ kewenangan khusus untuk Pemerintah: Pasal 9 ayat (3): untuk kepentingan nasional pemerintah dapat menguasai pulau secara utuh. Pasal 9 ayat (4): Kepentingan nasional tersebut antara lain: a. Pertahanan dan keamanan b. Kedaulatan negara c. Pertumbuha n ekonomi d. Sosial dan budaya e. Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup f. Pelestarian warisan dunia; dan/atau g. Program strategis nasional.  Syarat/ ketentuan diberikannya HAT Pasal 11 ayat (2): a. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang atau 101

Objek Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan dan Kewajiban Hubungan HAT Batasan Hukum Konkret Rencana Zonasi; b. Mendapat rekomendasi dari Pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota/ dalam hal belum diatur; c. Memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait. EVALUASI Sudah Tidak ada  Pengaturan Sudah ada Sudah ada Tidak ada ada pengaturan untuk subjek pengaturan pengaturan pengaturan Perorangan (belum ada tata (tidak ada tata pengatur khusus dan Badan cara monev khusus an Hukum tidak cara diatur secara operasionalnya) dan (masih detail. menertibkanny terlalu umum)  Priorotas a) untuk Pemerintah (Pusat) 1) Objek HAT a) Berbeda dengan pengaturan di wilayah pesisir, pengaturan objek HAT di pulau-pulau kecil pada Permen ini masih sangat umum, bahkan dilihat dari ruang lingkup juga masih sangat luas. Pasal 1 mengatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang luasnya antara 0-2000 km2 (200000 Ha), yang mana rentang luasan tersebut masih sangat besar untuk disamakan perlakukan dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya. Berdasarkan data Direktorat PWP3WT pada tahun 2020, sebagian besar (73%) luas pulau di Indonesia mempunyai rentang 0- 100 Ha, kemudian sisanya masuk dalam kategori 100-200.000 Ha, dan >200.000 Ha. Pengaturannya pun perlu melihat kondisi tersebut, 102

sehingga objek HAT pada pulau-pulau kecil perlu mengkategorikan berdasarkan luas pulau. b) Selain ukuran luas suatu pulau kecil, perlu dilihat juga tipe pulau kecil berdasarkan proses geologinya. Dalam teori Hehanusa128 disebut ada pulau berbukit (pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah, pulau gabungan) dan pulau datar (pulau alluvium, pulau koral atau karang, pulau atol atau pulau yang ukurannya kecil- kecil yang lebarnya kurang dari 150 m) sehingga akan diketahui cara perlakuan penataan pertanahan yang tepat sesuai dengan kondisi fisik pulaunya. Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum menggunakan faktor ini sebagai pertimbangan. Padahal tipologi pulau menentukan seberapa besar pulau ini dapat dimanfaatkan untuk budidaya, yang tentunya akan menjadi pertimbangan seberapa besar proporsi penguasaan dan penggunaan tanah yang sesuai. 2) Jenis HAT a) Kelemahan dari Permen ini adalah tidak menentukan jenis HAT yang dapat dilekatkan di pulau kecil, padahal hal tersebut penting diatur. Namun untuk mengatur jenis HAT dasarnya juga harus jelas apakah berdasarkan luas pulau, fisik pulau, kondisi sosial budayanya, atau bahkan berdasarkan kerentanan pulau (abrasi, kenaikan muka air laut, intrusi air laut, dan lain sebagainya). b) Memang seharusnya setiap pulau kecil memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat.129 Firdaus et.al mengutip Dahuri yang mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan pulau-pulau dapat mengombinasikan beberapa pendekatan, yaitu: (1) hak (termasuk Hak Atas Tanah); (2) ekosistem dalam alokasi ruang 128 F. Firdaus, S. Trisutomo, & M. Ali. Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Infrastruktur dan Sosial Ekonomi Masyarakat yang Berkelanjutan. Prosiding Semnastek 2018, 1(1). 129 M. Akbar, Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Togean Kabupaten Tojo Una Una Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo). Omni-Akuatika, 12(3), 2017. 103

wilayah pulau dan gugusan pulau (tata ruang); dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat.130 Sebenarnya dalam mengatur Jenis HAT di pulau kecil perlu melihat katagori pulau-pulau kecil berdasarkan: a. Batasan fisik (ukuran), b. Batasan ekologis, c. Keunikan Budaya. Selain 3 (tiga) hal tersebut perlu dilihat juga bagaimana kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok.131 Namun sayangnya Permen ini tidak banyak mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam pengaturannya. 3) Subjek HAT a) Berbagai macam subjek HAT antara lain Perorangan (WNI/WNA), Badan Hukum (Indonesia/Asing), Pemerintah, Komunal (bisa diterapkan pada masyarakat tradisional dan lokal), Masyarakat Hukum Adat (MHA). Boedi Harsono juga menambahkan bahwa ketentuan khusus dalam mengatur subjek HAT adalah faktor tempat tinggal, apakah tinggalnya di lokasi tanah tersebut atau di tempat lain di luar kecamatan bahkan provinsi.132 Tidak diaturnya subjek HAT dalam Permen ini sebenarnya akibat dari tidak mengakomodir dasar pertimbangan seperti yang sudah dijelaskan di bagian Objek HAT, baik dari sisi fisik (ukuran), ekologi, dan budaya setempat. b) Terkait dengan prioritas untuk Pemerintah (Pusat) juga perlu diatur dengan rinci. Suatu pulau memang sudah seharusnya jelas siapa pengelolanya sehingga tidak ada lagi pulau yang tidak bertuan. Namun sebaiknya ditetapkan juga kriteria pulau yang diprioritaskan untuk diserahkan ke Pemerintah, apakah harus Pusat atau bisa juga Pemerintah Daerah setempat. Pulau kecil merupakan asset yang sangat potensial untuk dikembangkan, Pemerintah yang berkepentingan juga pasti tidak hanya satu kementerian/lembaga. Maka dari itu penting kiranya rencana tata ruang mengatur dengan jelas apa yang direncanakan dalam pola ruang dan struktur ruang di 130 Ibid. 131 Firdaus, et. al. Loc.Cit 132 Boedi Harsono. Op.Cit, Hal 321. 104

setiap pulau-pulau kecil, yang akan mempermudah untuk memutuskan siapa yang mengelola. Direktorat PWP3WT (2020) pernah mengusulkan agar pulau-pulau sangat kecil (0-100 Ha), tidak berpenghuni, tidak ada penguasaan secara fisik, bukan kawasan hutan (APL) agar diserahkan ke Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi).133 Hal tersebut kiranya perlu ditindaklanjuti dalam kesepakatan bersama antar- instansi yang terkait termasuk Pemerintah Daerah agar penerapannya lebih mudah. Memang pulau-pulau sangat kecil tersebut perlu dikelola sehingga ke depan lebih terarah pemanfaatannya dan memenuhi asas keberlanjutan. Berikut adalah contoh pulau-pulau kecil dibawah 10 Ha, bukan kawasan hutan, dan tidak ada penghuni/penguasaan. Pulau Jangkat Kab. Kep. Pulau Bolak Kab. Banggai (Contoh Pulau Suling Kab. Lampung Anambas (Contoh pulau pulau sangat kecil yang sebaiknya Selatan (Contoh pulau sangat sangat kecil yang sebaiknya diserahkan ke Pemerintah untuk kecil yang sebaiknya diserahkan ke Pemerintah dikelola: 9,6 Ha, tidak diserahkan ke Pemerintah untuk dikelola: 5,8 Ha, berpenghuni, APL, masuk dalam untuk dikelola: 2,9 Ha, tidak tidak berpenghuni, APL, RTRW, dan tidak ada penguasaan) berpenghuni, APL, masuk masuk dalam RTRW, dan dalam RTRW, dan tidak ada tidak ada penguasaan) penguasaan) Gambar 17. Pulau-Pulau Kecil Di bawah 10 Ha c. Untuk pulau yang tipe koral atau karang banyak tersebar di Indonesia, pertanyaannya apakah ada pengaturan tersendiri untuk tipe pulau seperti ini? Dalam rencana tata ruang skala Kota/Kabupaten terkadang pulau tipe karang ini tidak diakomodir dalam pola ruang dan struktur ruangnya. Sebagai contoh pulau karang yang tidak masuk dalam tata 133 Rapat FGD Pertama Penelitian Penguasaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diselenggarakan oleh Psulitbang Kementerian ATR/BPN, 2020. 105

ruang adalah Pulau Batumandi Utara di Kabupaten Manggarai Barat, pulau tersebut terletak di bagian paling utara Desa Pasir Putih. Lokasi Pulau Batumandi Utara (Tidak masuk dalam RTRW) Gambar 18. Pulau Batumandi Utara pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Manggarai (Perda Nomor 9 Tahun 2012)134 Tipe pulau karang tetap perlu didaftarkan dan masuk dalam ranah legalisasi aset. Untuk pulau karang seperti ini lebih baik diserahkan ke pemerintah, bisa diberikan kepada Pemerintah Daerah setempat atau yang concern dalam pengelolaan pulau kecil seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). d. Di antara 16.056 pulau kecil Indonesia yang terdaftar di PBB,135 terdapat 111 Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT),136 yang tersebar di 22 provinsi. PPKT merupakan bagian dari kawasan perbatasan yang pengaturannya dibuat oleh Pemerintah Pusat. Subjek HAT di PPKT perlu segera ditetapkan, mengingat PPKT memiliki fungsi terkait dengan pertahanan dan keamanan wilayah yurisdiksi NKRI, sehingga di PPKT perlu dialokasikan ruang untuk pos TNI dan dapat 134 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Rencana Tata Ruang diakses di https://gistaru.atrbpn.go.id/rtronline/ pada tanggal 23 Desember 2020. 135 Sekretariat Kabinet Indonesia, “UN Verifies Names of 16,056 Indonesian Islands” (https://setkab.go.id/en/un-verifies-names-of-16056-indonesian-islands/, diakses 7 Juni 2020). 136 Jumlah PPKT dikukuhkan dalam Keppres No 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau- Pulau Kecil Terluar 106

berdampingan dengan masayarakat setempat. Menetapkan Subjek HAT di PPKT perlu kesepakatan bersama antar Pemerintah Pusat, bahkan setiap pulau perlu diidentifikasi bagaimana Penguasaan Pemilikan Penggunaan dan Pemanfaatannya (P4T)-nya, serta bagaimana tata ruang yang mengatur (sebaiknya dengan skala besar), sehingga lebih jelas dalam menentukan pengelolanya. Diupayakan agar PPKT dapat dilakukan sertifikasi secara menyeluruh dengan penggunaan dan pemanfaatannya yang memperhatikan ekologi dan daya dukung lingkungannya. e. Kemudian subjek yang paling perlu dilindungi asetnya di pulau-pulau kecil adalah masyarakat setempat, baik Masyarakat Lokal, Masyarakat Tradisional, maupun Masyarakat Hukum Adat.137 Sebagaimana sudah dijelaskan pada ketentuan Jenis HAT, sebaiknya keberadaan masyarakat lokal, tradisional dan MHA yang menguasai suatu pulau perlu diapresiasi dengan memandang mereka sebagai kesatuan komunitas. Di sini faktor budaya perlu diperhatikan dengan baik sebagai penentu, karena mereka saling membutuhkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun jika pulau tersebut sudah dikuasai oleh masyarakat yang sudah cukup modern, kemungkinan pemberian HAT akan lebih cocok untuk masing-masing pihak (perorangan/badan hukum). f. Subjek yang perlu diakomodir juga adalah Badan Hukum, baik mereka yang akan memanfaatkan untuk investasi pariwisata, industri migas, perikanan, dan sebagainya. Baik mereka yang dari Indonesia maupun dari luar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesona pulau- pulau kecil Indonesia sangat besar, dan akan disayangkan jika pengelolaannya tidak memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi negeri ini. Khusus mengenai pariwisata, Pemerintah sendiri sudah membuat program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) 137 Lihat tiga kategori masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 angka 32, 33, 34 dan 35. 107

yang akan menjadi proyek nasional dari tahun 2020-2025, yang mana dari 88 daerah pariwisata prioritas, di antaranya 27 (30%) merupakan pulau-pulau kecil. Pengembangan pariwisata sebenarnya sudah lama menjadi kegiatan strategis. Misalnya, di pulau-pulau kecil Kota Batam dan Kabupaten Bintan sudah banyak pulau-pulau kecil yang dibangun resort dan spot rekreasi pantai, dikelola baik oleh Badan Hukum maupun Perorangan, namun tidak semua berhasil dikelola dengan baik. Aspek pariwisata perlu diakomodir dalam pengaturan pertanahan. Untuk kawasan strategis seperti ini Pemerintah tidak hanya mengelola sendiri, namun kerja sama dengan investor baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga pemberian HAT nya pun perlu memperhatikan hal tersebut, maka dari itu perlu pembahasan lebih lanjut antar stakeholder dalam memutuskan. KSPN biasanya melibatkan area yang luas, gugusan pulau, sehingga dampaknya juga akan besar. Alternatif yang dapat diterapkan yaitu pemberian HPL pada wilayah KSPN, kemudian di atasnya dapat diberikan HAT untuk para pengembang (baik badan hukum maupun perorangan). HPL dapat diberikan ke Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat yang mengelola (mengingat pengelolaan kawasan strategis nasional adalah wewenang Pusat), sebaiknya dengan kesepakatan bersama. 4) Kewenangan dan Batasan a) Hal yang paling banyak didiskusikan dan diperdebatkan dalam pengaturan Permen ATR No 17 Tahun 2016 adalah batasan proporsi penguasaan di pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2). Dikatakan bahwa Penguasaan pulau kecil paling banyak 70% dari luas pulau atau sesuai dengan Rencana Tata Ruang atau Rencana Zonasi dan Paling sedikit 30% dikuasai langsung oleh Negara dan digunakan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat. Aturan ini memang ditujukan agar jangan sampai ada private ownership pada suatu pulau. Namun aturan ini masih belum jelas bagaimana cara menerapkannya karena acuan menentukan lokasi- 108

lokasi untuk area publik/dikuasai langsung oleh Negara tersebut belum ada panduannya. b) Pertanyaan juga mengemuka bagaimana pulau-pulau yang ukurannya sangat kecil (0-100 Ha) dan padat, apakah memungkinkan menyisakan 30% untuk dikuasai langsung oleh Negara padahal kepadatannya tinggi yang jika diproyeksikan akan semakin meningkat dan pulau akan terokupasi hampir keseluruhan. Sebagai contoh di Pulau Messah Kab. Manggarai Barat. Gambar 19. Pulau Messah Kabupaten Manggarai Barat (Contoh Pulau Sangat Kecil yang Sudah Padat) Pada pulau Messah okupasi yang begitu padat sebenarnya tidak baik untuk keberlanjutan pulau tersebut, apalagi ketersediaan air bersih semakin sulit dipenuhi, bagaimanapun perlu diatur supaya penggunaan tanahnya tidak semakin meningkat dan penduduknya dapat terdistribusi ke luar pulau, dan hal tersebut tidaklah mudah.138 Menyikapi kondisi pulau kecil seperti ini (ukuran sangat kecil dan padat penduduk) perlu kebijakan/diskresi tersendiri. Hal yang dibutuhkan untuk pulau-pulau seperti ini sebenarnya bukan hanya penataan penggunaan dan penguasaan tanahnya, namun pemberdayaan masyarakat. Karena 138Direktorat PWP3WT Kementerian ATR, Inventarisasi Data Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Manggarai Barat Desa Pasir Putih Tahun 2019 109

membatasi penggunaan dan penguasaan tanah saja akan susah dilakukan oleh masyarakat di suatu pulau jika mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi dan sosial untuk memiliki tempat lain di luar pulau sebagai tempat tinggal. Peningkatan kemampuan tersebut perlu distimulus dengan program pemberdayaan pertanahan, dan tentunya hasilnya tidak instan, butuh waktu yang cukup panjang. g. Mengatur proporsi penguasaan dan penggunaan pulau perlu melihat tipologi dan luasan pulau, sehingga perlu dilakukan kategorisasi, dan mengatur proporsi tersebut tidak bisa tanpa arahan dari tata ruang. Namun tata ruang seringkali terlalu umum menentukan pola ruang suatu pulau (tidak jarang hanya ada satu arahan) sehingga menyulitkan bagi pelaksana di daerah dalam menentukan proporsi tersebut (hal ini akan dibahas pada Faktor Sarana dan Prasarana). 5) Kewajiban Permen ATR No 17 Tahun 2016 berusaha mengatur ketentuan kewajiban pemegang HAT di pulau-pulau kecil yang disebut dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2): Penguasaan pulau kecil tidak boleh menutup akses publik. Dalam Permen tersebut, yang dimaksud akses publik antara lain: a. akses perorangan atau kelompok orang untuk perlindungan/ keselamatan; b. akses perorangan atau kelompok orang dengan izin resmi: kegiatan pendidikan, penelitian, konservasi dan preservasi. Ketentuan ini sudah tepat, menurut Boedi Harsono bahwa salah satu kewajiban dari pemegang HAT adalah tetap menjaga fungsi sosial suatu tanah, sekalipun Hak Milik.139 Namun yang harus diperhatikan adalah cara menertibkan hal tersebut di lapangan. Karena banyak yang terjadi adalah pulau-pulau yang dikelola menjadi privat dan susah untuk disinggahi, bahkan oleh apparat Pemerintah sekalipun, harus ada izin dan sebagainya. Seharusnya ada pula pengaturan monitoring, evaluasi, bahkan penertiban terkait hal ini, kecuali untuk penggunaan yang memang harus “restricted” 139 Boedi Harsono. Loc..Cit. 110

berdasarkan peraturan perundangan, dan ini bisa dikecualikan adanya kewajiban akses publik seperti ini. Kemudian salah satu kewajiban pemegang HAT menurut Boedi Harsono adalah wajib memelihara tanahnya, bahkan jika perlu menambah kesuburan, walau hal ini sebenarnya masih perlu pengaturan dan parameter yang lebih teknis, namun bisa disimpulkan bahwa pemegang HAT harus bisa menjaga lingkungan tanahnya dan sekitarnya, agar tidak ada kerusakan. Kewajiban seperti ini harus diatur dalam aspek pertanahan di pulau-pulau kecil, tanpa terkecuali. 6) Hubungan Hukum Konkret Sama dengan wilayah pesisir, dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 juga tidak mengatur terkait hubungan hukum konkret HAT untuk pulau-pulau kecil. Boedi Harsono140 menjelaskan bahwa hubungan konkret tersebut antara lain terciptanya HAT, pembebanan dengan HAT yang lain dan pembebanan dengan hak jaminan atas tanah, peralihan, dan hapusnya HAT. Dalam hal ini Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak memberikan ketentuan yang lebih spesifik. Bukan hanya wilayah pesisir, pulau-pulau kecilpun memiliki dinamika yang tinggi, rentan abrasi, rentan dengan kenaikan muka air laut (sebagai bagian dari perubahan iklim), kurang air bersih, rentan salinitas, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut juga semestinya memiliki pemikiran yang lebih dalam mengenai cara penerapan HAT agar tidak semakin memperburuk, yaitu mengatur rambu- rambu terkait dengan hubungan konkret tersebut. Pulau kecil perlu diatur kebolehan/ketidakbolehan peralihan pemilikan begitu saja, bagaimana dengan jaminan HAT, apakah pulau kecil boleh diagunkan atau harus ada pembatasan terkait hal tersebut? Bagaimana jika pulau mengalami kerusakan, apakah hak nya hapus atau tidak? Hal tersebut sebenarnya perlu diperhatikan agar pengelolaan pulau kecil lebih memenuhi asas keberlanjutan. 140 Boedi Harsono. Loc.Cit. 111

c. Tanah Timbul Tabel 14. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah untuk Tanah Timbul (Pasal 14 s.d. 16) Objek HAT Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan Kewajiban Hubungan dan Batasan (Tidak ada Hukum pasal yang Konkret PASAL YANG MENGATUR mengatur/ menying- Pasal 16: TANAH (Tidak ada a. Pasal 15 ayat a. Tidak ada gung) “Pemberian (1): “Tanah pasal yang Hak Atas TIMBUL: pasal yang Tidak ada Tanah pada pengaturan tanah hasil Pasal 1 nomor mengatur/ timbul mengatur reklamasi khusus dan tanah 8: menyinggun merupakan khusus timbul “Tanah timbul g) dilakukan tanah yang kewenangann sesuai dengan adalah langsung ya ketentuan peraturan daratan yang dikuasai oleh b. Pasal 15 ayat perundang- undangan” terbentu Negara” (4): Terhadap Tidak ada secara alami b. Pasal 15 ayat tanah timbul pengaturan karena proses (3): “Tanah di atas khusus pengendapan timbul dengan 100m2, dapat sungai, danau, luasan paling diberikan pantai, dana luas 100 m2, HAT dengan tau pulau merupakan ketentuan: timbul serta milik dari c. Penguasaan penguasaan pemilik tanah dan pemilikan tanahnya yang mendapat dikuasai oleh berbatasan Rekomendasi Negara”. langsung dari Pasal 15 ayat dengan tanah Kementerian (2): Bahwa timbul ATR/BPN tanah timbul dimaksud” (Pusat); meliputi tanah d. Penggunaan yang timbul dan pada pesisir pemanfaatan laut, tepian sesuai dengan sungai, tepian Rencana Tata danau, dan Ruang atau pulau. Rencana Zonasi. EVALUASI TANAH TIMBUL: Sudah ada Tidak ada Sudah ada  Tidak ada pengaturan pengaturan pengaturan pengaturan khusus untuk khusus kewenangan  Syarat sudah ada pengaturan- nya (namun terlalu banyak rentetan 112

Objek HAT Jenis HAT Subjek HAT Kewenangan Kewajiban Hubungan dan Batasan Hukum Konkret birokrasi untuk diatas 100m2) 1) Objek HAT a) Sudah disebutkan dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 dengan jelas bahwa salah satu objek yang dapat diberikan HAT di wilayah pesisir dan pulau kecil termasuk tanah timbul. Adapun definisi Tanah Timbul juga telah dijelaskan pada Pasal 1, yaitu: Tanah Timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai, dana tau pulau timbul serta penguasaan tanahnya dikuasai oleh Negara. Adapun istilah Tanah Timbul sudah lama dikenal dalam peraturan perundangan di Indonesia, yaitu pada KUHPerdata yang disebut dengan “aanslibbing”.141 Namun Permen ATR No 17 Tahun 2016 mengambil definisi Tanah Timbul dari Penjelasan Pasal 12 PP No 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. b) Terkait dengan definisi operasioal/ketentuan umum, bahwa perbedaan yang mendasar antara reklamasi dengan tanah timbul adalah proses terjadinya daratan, yang mana pada reklamasi adalah secara sengaja dibuat oleh manusia, sedangkan tanah timbul secara alami. Dari cara terbentuknya yang berbeda, seharusnya menjadikan 2 (dua) hal tersebut berbeda perlakuan. Berbeda dengan reklamasi, tanah timbul terjadi secara alami dan butuh waktu panjang, sehingga tidak mudah begitu saja menentukan apakah objek tanah tersebut tanah timbul atau bukan. 141 Y. Christian, M. A. K. Budiman, A. Fahrudin, & N. Santoso, “Iregularitas agraria “tanah timbul” (Aanslibbing) dan perubahan lanskap di wilayah pesisir Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur’, BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(2), 2019, 230-243. 113

Jika melihat definisi yang mengatakan bahwa Tanah Timbul terjadi secara “alami”, pada kenyatannya tanah timbul juga bisa terjadi dengan “bantuan” manusia. c) Pada penelitian kami di Kabupaten Cirebon, khususnya di desa-desa pesisir, diketahui bahwa tanah timbul bukan hanya terjadi secara alami namun juga dengan bantuan rekayasa masyarakat setempat sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Gambara Umum sebelumnya yaitu dengan Pembuatan Tanggul dan Tambak. Dengan proses tersebut, apakah masuk dalam katagori tanah timbul atau bukan? Hal tersebut belum banyak digali dalam peraturan perundangan pertanahan saat ini. d) Dalam memberikan Rekomendasi objek HAT untuk Tanah Timbul, Direktorat PWP3WT selama ini menggunakan metode komparasi antara Citra Satelit berdasarkan rentang waktu (time series), rata-rata 10-15 tahun. Metode tersebut dianggap paling reliable walaupun masih memiliki kelemahan, yaitu ketersediaan Citra yang tidak selalu ada di semua wilayah. e) Penentuan tanah timbul juga masih terpisah-pisah, sesuai dengan permohonan HAT, sehingga menjadikan proses legalisasi di Tanah Timbul tidak praktis dan memakan banyak waktu. Maka dapat dikatakan bahwa objek HAT tanah timbul masih harus diperjelas bagaimana cara penentuannya dan apa saja kriterianya. Sebagai bagian penataan pertanahan ke depan perlu dibuat peta (indikasi) tanah timbul se-Indonesia dengan skala besar (1-5000) sebagai dasar penetapan Objek HAT di tanah timbul yang dapat mempermudah administrasi pertanahan. 2) Jenis HAT Jenis HAT untuk Reklamasi dan Tanah Timbul selama ini memang tidak ada perbedaan dengan ranah daratan lainnya. Namun hal yang paling penting dilihat adalah seberapa besar tingkat kerentanan tanah tersebut terhadap berbagai kondisi yang kerap terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga untuk Jenis HAT selain melihat subjek 114

yang mengelola, rencana tata ruang, perlu mempertimbangkan pula tingkat kestabilan (rentan musnah) tanah. Perlu diketahui ada juga Tanah Timbul yang tidak stabil kondisinya, di Kabupaten Cirebon sendiri (berdasarkan wawancara) diketahui bahwa tanah timbul yang ada mudah bergeser-geser, tergandung kondisi arus laut dan cuaca. Maka pemanfaatan yang bisa dilakukan tentunya hanya sebatas kegiatan tambak, upaya untuk menanggulangi antara lain penanaman mangrove baik oleh masyarakat setempat maupun oleh pemerintah seperti Dinas KKP. Sehingga kestabilan keberadaan “tanah” perlu diperhatikan dalam hal ini. 3) Subjek HAT Dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak ditentukan secara spesifik siapa saja yang diperbolehkan menjadi subjek HAT untuk tanah timbul. Tanah Timbul yang lebih organik, maka yang mengelola bisa perorangan, badan hukum, dan Pemerintah. Terkait dengan tanah timbul pada Pasal 15 ayat (3) disebutkan bahwa: “Tanah timbul dengan luasan paling luas 100 m2, merupakan milik dari pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah timbul dimaksud”. Artinya siapapun yang berbatasan tidak memandang perorangan atau badan hukum dapat memiliki tanah timbul yang berbatasan tersebut. 4) Kewenangan dan Batasan Secara keseluruhan memang Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak mengatur secara khusus terkait kewenangan pemegang HAT baik di pesisir, pulau-pulau kecil, termasuk tanah timbul. Namun yang ditentukan adalah batasan atau syarat yang melekat yaitu pemanfaatan dan penggunaan tanahnya harus sesuai dengan rencana tata ruang, pemberian HAT-nya harus sudah memenuhi ketentuan perizinan dan lain sebagainya. Namun ada perbedaan untuk tanah timbul yang luasnya melebihi 100m2, harus mendapatkan Rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN (Pusat), dan ini bisa dilakukan bukan hanya yang berbatasan namun juga pihak lain baik Pemerintah, masyarakat lokal, Badan Hukum, dan lain sebagainya. 115

Dasar pertimbangan 100m2 memang lebih pada faktor lingkungan, namun banyak pula yang menilai bahwa luasan tersebut terlalu kecil untuk ditindaklanjuti hingga ke Pusat, yang mana terasa sulit dilaksanakan bagi mereka yang ada di luar kota/provinsi/pulau, apalagi yang memohon adalah perorangan, masyarakat, dan kaum marjinal. Ke depan perlu diperhatikan bagaimana skema Rekomendasi tersebut mengingat sudah ada Pertimbangan Teknis Pertanahan yang juga mengatur terkait tanah timbul, termasuk setelah adanya Undang-Undang Cipta Kera (UUCK). Sehubungan dengan Reklamasi, yang sangat lekat dengan persyaratan perizinan, kedepannya perlu melihat bagaimana posisi pemberian HAT dalam lingkup perizinan yang baru sesuai dengan UUCK, mengingat berlakunya perizinan berdasarkan UUCK sudah berbeda, ada yang perlu diberi izin, ada yang cukup registrasi. Haltersebut akan mempengaruhi syarat dan ketentuan pemberian HAT pada Reklamasi. 5) Kewajiban Kewajiban pokok pemegang HAT adalah menjaga fungsi sosial dan memelihara tanahnya seperti tercantum dalam UUPA. Begitu pula, pemegang HAT wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut seperti aturan lingkungan hidup dalam UU No 5 Tahun 1990. 6) Hubungan Hukum Konkret Terkait dengan pemberian HAT untuk Tanah Reklamasi dan Tanah Timbul, sebelumnya pernah juga keluar SE Menteri Negara Agraria/KBPN No. 410-1293 tanggal 9 Mei 1996 perihal Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi. Pada SE tersebut menyatakan sebagai berikut: 1. Tanah-tanah yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena longsor, tertimbun atau gempa bumi, atau pindah ke tempat lain karena pergeseran tempat (land slide) maka tanah-tanah tersebut dinyatakan hilang dan haknya hapus dengan sendirinya. Selanjutnya pemegang haknya tidak dapat minta ganti rugi kepada siapa-pun dan tidak berhak 116

menuntut apabila di kemudian hari di atas bekas tanah tersebut dilakukan reklamasi/penimbunan dan/atau pengeringan (polder). 2. Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ, endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pe-milikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukann inventarisasi tanah-tanah timbul dan tanah hilang yang terjadi secara alami. Untuk tanah yang hilang apabila sudah ada sertipikatnya agar disesuaikan. Untuk tanah yang akan direklamasi sebelumnya harus diberi tanda-tanda batasnya sehinggaa bisa diketahui luas tanah yang nantinya selesai direklamasi. 4. Selanjutnya kepada para pemohon hak atas tanah-tanah timbul tersebut dapat segera diproses melalui prosedur sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pengaturan dalam SE tersebut terlihat masih sederhana namun sekiranya dapat menjadi rujukan dalam pengaturan Reklamasi dan Tanah Timbul ke depan. Hal yang penting untuk digarisbawahi pula adalah perlu inventarisasi mengenai (indikasi) tanah musnah dan (indikasi) tanah timbul, yang keduanya selama ini banyak menjadi konflik dan sengketa di lapangan. Terutama Tanah Timbul yang cenderung “less monitoring” daripada tanah Reklamasi karena proses terjadinya yang lama. Untuk itu, pemikiran yang lebih dalam mengenai cara agar penerapan HAT tidak semakin memperburuk, yaitu mengatur bagaimana rambu-rambu terkait dengan hubungan konkretnya. 117

2. Struktur Hukum yang Memaknai Permen dengan Multi Tafsir dan Ragu Sebagaimana dianalisis pada penyebab hukum sebelumnya, mengapa ketidakefektifan berdasarkan Faktor Hukum bisa terjadi tentunya tidak lepas dari bagaimana orang-orang yang membuat dan yang menerapkannya. Permen ATR No 17 Tahun 2016 disahkan pada tahun 2016 namun prosesnya sendiri memakan waktu cukup lama, dengan keharusan melewati berbagai diskusi, koordinasi, dan tinjauan ke lapangan dari tahun 2010 yang dilaksanakan oleh Direktorat Penataan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (PWP3WT). Pada penyusunan Naskah Akademisnya juga sudah melakukan konsultasi dengan para ahli, terutama di bidang hukum, geografi, serta para ahli yang berkecimpung dalam bidang Integrated Coastal Management (ICM). Berdasarkan tata cara penyusunannya sebenarnya tidak ada pemasalahan, namun memang dengan rentang waktu yang cukup lama tersebut (2010-2016), penyusunan permen ini menjadi tersendat-sendat. Dari penyusunan Naskah Akademis hingga disahkan, sebagian besar pejabat yang terlibat berganti-ganti, sehingga mengakibatkan berbagai perubahan konsep dari awal hingga disahkannya. Akan tetapi hal ini bukanlah penyebab mengapa substansi (Faktor Hukum) Permen ATR No 17 Tahun 2016 menjadi kurang efektif. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana posisi dan wewenang Kementerian ATR/BPN secara keseluruhan terhadap peraturan ini. Kementerian ATR/BPN mengalami perubahan yang cukup cepat terkait struktur organisasi dan mengakibatkan wewenang dari Kementerian berkembang secara progresif. Pada Tahun 2015 Direktorat Jenderal Tata Ruang bergabung dengan Badan Pertanahan Nasional, hingga terbentuklah Kementerian ATR/BPN.142 Sejak adanya penggabungan tersebut sebenarnya 142 Penggabungan agraria dan tata ruang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang berdasarkan Peraturan Presiden No 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara. Melalui Peraturan Presiden No 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang Pasal 18 dan Pasal 19, penataan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu berada di bawah tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Panatagunaan Agraria. Direktorat Penataan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (PW3WT), yang di bawah 118

semakin memperkuat peran dan fungsi penataan pertanahan, karena lebih mudah dalam mengintegrasikannya dengan penataan tata ruang. Namun untuk pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tentunya tidak “seleluasa” di ranah daratan, karena ada kementerian/lembaga yang setingkat yang mengaturnya yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Maka dari itu untuk menyusun penguasaan dan pemilikan di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil pun memiliki banyak pertimbangan dan keterbatasan, karena itulah isi dari Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak dapat diramu dengan detail mekanismenya. Terkait dengan pihak-pihak yang menerapkan Permen ATR No 17 Tahun 2016, sesuai dengan aturan yang dijabarkan dalam Permen ini bahwa proses pelaksanannya sama dengan pemberian HAT di daratan, namun ditambah dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Perangkat yang menerapkan aturan ini yaitu Kantor Pertanahan, Kanwil BPN (Bidang Penataan Pertanahan), dan Kementerian ATR/BPN (Direktorat PWP3WT Ditjen Penataan Agraria). Dalam beberapa diskusi internal Kementerian ATR/BPN, petugas di Kantor Pertanahan masih memiliki keragu-raguan dalam memberikan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, walaupun sudah ada arahan dari Permen ATR No 17 Tahun 2016. Tidak adanya ketentuan yang jelas jenis Hak Atas Tanah di Permen ATR No 17 Direktorat Jenderal Penatagunaan Agraria, memiliki 3 (tiga) subdirektorat, yaitu: a. Penataan dan Pemantauan Wilayah Pesisir; b. Penataan dan Pemantauan Pulau-Pulau Kecil; dan c. Penataan dan Pemantauan Wilayah Perbatasan dan Wilayah Tertentu. Tugas dan fungsi Direktorat PW3WT tercantum dalam Pasal 372 dan Pasal 373 Permen ATR/BPN No 8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian ATR/BPN. Selanjutnya, terdapat perubahan struktur, organisasi dan tata kerja di Kementerian ATR melalui Permen ATR/BPN No 16 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian ATR/BPN. Direktorat Penatagunaan Tanah (di bawah Direktorat Jenderal Penataan Agraria) mempunyai 3 (tiga) Subdirektorat, yaitu: (a) Penataan dan Koordinasi Sektoral dan Regional; (b) Penataan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (PW3WT); dan (c) Layanan dan Pengembangan Penatagunaan Tanah. Tugas Subdirektorat PW3WT tercantum pada Pasal 328 Permen ATR/BPN No 16 Tahun 2020. Begitu pula, Direktorat Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu (di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang) mempunyai tiga 3 (tiga) subdirektorat di antaranya Subdirektorat Pengendalian Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu. Subdirektorat ini bertugas seperti tercantum pada Pasal 426 Permen ATR/BPN No 16 Tahun 2020. Dengan begitu, penataan dan pengendalian PW3WT berada pada direktorat yang terpisah. 119

Tahun 2016 menyebabkan keputusan antara Kantah satu dengan Kantah lainnya berbea-beda. Tingkat pemahaman yang berbeda oleh pelaksanan kegiatan dalam memberikan jenis hak dan jangka waktu haknya. Misalnya, di Kepulauan Riau yang diberikan beragam di antaranya Hak Pakai, Hak Guna Bangunan terutama untuk tempat usaha, dan Hak Milik. Dari segi jangka waktu hak yang diberikan, Hak Pakai diberikan bervariasi seperti jangka waktu 10 tahun atau 15 tahun sekalipun hak itu menjadi kewenangan pelaksana di lapangan sebab jangka waktu paling lama hak pakai selama 25 tahun, dan dapat diperpanjang. Begitu pula denngan Hak Guna Bangunan yang bervarian (dominan 30 tahun da nada di bawah 30 tahun) sekalipun jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat diperpanjang lagi. Tingkat pemahaman pihak di luar Kantah juga berbeda yang dapat dirangkum sebagai berikut. Aparat desa menyarankan tidak diberikan hak atas tanah sedangkan personel dari Dinas Perumahan Rakyat di daerah mengkhawatirkan pencemaran dan penimbunan ketika diberikan hak atas tanah. Tingkat pemahaman yang bervariasi dalam penataan hak pertanahan di WPPPK ini menunjukkan Permen ATR No 17 Tahun 2016 masih menciptakan perbedaan pandangan/persepsi dan muncul kekhawatiran sehingga dindikasikan berdampak pada pelaksanaan permen ini. 3. Sarana Penegakan Hukum yang Belum Memadai Dalam menilai faktor sarana dapat berpengaruh terhadap penerapan hukum, terdapat 3 (tiga) hal untuk menilainya, yaitu: 1) Ketersediaan Rencana Tata Ruang (RTRW/RDTR) Sejak diberlakukan UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang kemudian direvisi menjadi UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, segala kegiatan terkait pemanfaatan ruang harus mengacu pada rencana tata ruang, termasuk kegiatan pertanahan sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2007 Pasal 26 ayat (3) bahwa Rencana tata ruang wilayah 120

kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan. Keberadaan rencana tata ruang penting dalam melaksanakan administrasi pertanahan, yaitu pemberian HAT termasuk di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun sayangnya tidak selalu dapat terpenuhi, terutama di pulau-pulau kecil. Berikut adalah data yang terangkum terkait keberadaan Rencana Tata Ruang (RTRW) di pulau-pulau kecil: Gambar 20. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tabel 15. RTRW dan Jumlah Pulau Keterangan Jumlah Pulau Masuk Dalam RTR 10.616 Tidak Masuk Dalam RTR 2.784 Belum Dapat Diidentifikasi 2.656 Total Pulau 16.056 Dari gambar dan tabel di atas, dapat diketahui bahwa RTRW tidak selalu tersedia untuk memenuhi kebutuhan administrasi pertanahan di pulau- pulau kecil. Bahkan terdapat pendapat bahwa RTRW-pun sebenarnya tidak cukup, masih membutuhkan pola ruang yang lebih detail untuk memenuhi arahan Permen ATR No 17 Tahun 2016 khususnya terkait penentuan proporsi 70:30 yang dapat dikuasai individu/swasta dan 30% dikuasai negara untuk kawasan lindung. Namun apakah wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa masuk pada RDTR? Mengingat prioritas penyusunan RDTR adalah untuk kawasan perkotaan dan kawasan strategis, sebagaimana diperintahkan 121

pada Pasal 59 PP No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang, sebagai berikut: “(1) Setiap rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota harus menetapkan bagian dari wilayah kabupaten/kota yang perlu disusun rencana detail tata ruangnya; (2) Bagian dari wilayah kabupaten yang akan disusun rencana detail tata ruangnya dapat merupakan kawasan perkotaan dan/atau kawasan strategis kabupaten; (3) Bagian dari wilayah kota yang akan disusun rencana detail tata ruangnya dapat merupakan kawasan strategis kota.” [Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) UU No 26 Tahun 2007]. Perlu diketahui bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum pasti menjadi prioritas pada ruang lingkup RDTR, kecuali jika locus tersebut sebagai kawasan strategis dan kawasan perkotaan. Terutama pulau-pulau kecil, banyak yang tidak berpenghuni, bahkan banyak yang belum masuk rencana tata ruang dalam level RTRW. Permen ATR No 17 Tahun 2016 memang tidak pernah mensyaratkan kesesuaian peruntukkan penggunaan tanah harus dengan RDTR, apalagi disadari bahwa keberadaan RDTR memang terbatas. Berdasarkan data yang diambil dari website Direktorat Jenderal Penataan Ruang, diketahui bahwa RDTR yang sudah disahkan dan dapat menjadi acuan dalam administrasi pertanahan masih minim (belum sampai 5%) dibandingkan dengan target yang ingin dicapai, sebagaimana dapat dilihat pada gambar. 122

Gambar 21. Ketersediaan RDTR Kabupaten/Kota di Indonesia (Oktober, 2020) Adapun survei lapangan yang telah dilakukan antara lain di Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Cirebon, Kota Pontianak, dengan ketersedian rencana tata ruang sebagai berikut: Tabel 16. Ketersediaan RTRW/RDTR pada Lokasi Penelitian Kab/Kota Disah RTRW Disah RDTR Kota -kan Ket -kan Ket Tanjungpinang Kota Batam √ Perda No. 10 Tahun √ Perda 3 Tahun 2018 (RDTR dan - 2014 - PZ Tanjung Pinang Timur) Kota Pontianak Masih Proses Masih Proses Persetujuan √ Pembahasan Dewan - Substansi (BWP Kecamatan Kabupaten Cirebon Batuaji dan Sekupang) √ Perda No. 2 Tahun 2013 - Masih Proses Persetujuan Substansi (RDTR Kota Perda No. 7 Tahun 2018 Pontianak). Sedang disusun Sumber: https://tataruang.atrbpn.go.id/protaru/ diakses tanggal 30 November 2020 123

Dari tabel di atas terlihat bahwa ketersediaan RDTR masih sangat minim, bahkan untuk kawasan-kawasan prioritas juga masih minim, sehingga yang paling memungkinkan untuk digunakan dalam acuan penataan pertanahan di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah RTRW. Namun terdapat rencana tata ruang yang masih belum disahkan, seperti RTRW di Kota Batam dalam pembahasan di DPRD. Kondisi tersebut sebenarnya cukup menghambat program pembangunan, termasuk dalam kegiatan penataan pertanahan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di Tanjungpinang tidak hanya RTRW (Perda No 10 Tahun 2014) tapi juga dilengkapi dengan RDTR dan PZ (Perda No 3 Tahun 2018). Keberadaan tata ruang di Tanjungpinang mengakomodasi permukiman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di Tanjungpinang RDTR dan PZ memasukkan permukiman pelantar di tiga kelurahan dalam sub Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) TK. 1, TK. 2 dan TK. 4. Permukiman pelantar terletak pada kawasan budidaya dengan Zona perumahan dan Subzona perumahan pesisir. Tabel 17. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya di Tiga Kelurahan di Tanjungpinang Kawasan lindung Kelurahan Senggarang Kelurahan Kampung Kelurahan dan kawasan Bugis Penyengat budidaya Sub BWP TK.1 seluas Sub BWP TK.4 Zona Perlindungan 1.518.72 ha Sub BWP TK.2 seluas seluas 91,78 ha setempat 2.341,14 ha Subzona Subzona sempadan mangrove 1,39 Zona RTH Kota sungai 6,15 ha; Subzona sempadan ha Subzona pantai 15,09 ha; 91,86 ha mangrove Subzona sempadan Subzona taman sungai 51,26 ha; kota 1,07 ha Subzona taman kota Subzona mangrove - 85,98 ha jalur hijau 196,29 ha Subzona pemakaman Subzona taman kota Subzona 5,43 ha luas 23,04 ha pemakaman Subzona Subzona jalur hijau 0,11 ha 2,14 ha 14,37 ha - Subzona pemakaman Zona cagar budaya Subzona Hutan Kota 0,39 ha 60,14 ha 39,49 ha - Zona hutan - Subzona Hutan Kota 17,90 ha; 108,52 ha 20,60 ha - 124

produksi Zona hutan 203,61 ha 276,55 ha - produksi subzona perumahan subzona perumahan - kepadatan sedang kepadatan sedang Zona perumahan 240,63 ha 1.079,24 ha Subzona Subzona perumahan Subzona perumahan perumahan kepadatan rendah kepadatan rendah kepadatan 70,46 ha 0,98 ha rendah 13,32 ha Subzona perumahan Subzona perumahan Subzona pesisir 11,30 ha pesisir 8,96 ha perumahan pesisir 8,98 ha Zona perdagangan 370,07 ha 124,31 ha - dan jasa - subzona Zona perkantoran 114,45 ha 124,10 ha pendidikan 1,64 subzona pendidikan subzona pendidikan ha Zona sarana 10,87 ha 5,48 ha Subzona kesehatan 0,14 pelayanan umum ha - Subzona kesehatan Subzona kesehatan 0,05 ha 0,65 ha Subzona transportasi Subzona peribadatan Subzona peribadatan 0,44 ha 1,59 ha transportasi 0,04 ha transportasi Subzona utilitas Subzona Subzona 0,25 ha 12,69 ha 0,45 ha 1,03 ha - Zona pariwisata Subzona utilitas 0,74 Subzona utilitas 0,01 Zona industri dan ha ha - pergudangan 162,00 ha - Zona khusus - Subzona industi 18,60 ha Pangkalan TNI AL - 0,02 ha Ruang evakuasi Taman budaya Raja Aula Perkantoran Balai Adat bencana Ali Haji, Aula Senggarang (Gedung Indra Sakti dan Universitas Maritim Wanita) Lapangan Bola Raja Ali Haji, Aula Indra Sakti SMA 06 Tanjungpinang, Aula Perkantoran Senggarang (Gedung 5 Lantai) Sumber: Perda Kota Tanjungpinang No 3 Tahun 2018 tentang RDTR dan PZ 2018-2038 125

Di Senggarang terdapat subzona perumahan pesisir 11,30 ha, dan di Kampung Bugis Subzona perumahan pesisir seluas 8,96 ha. Tidak berbeda juah dengan itu, seluas 8,98 ha sebagai Subzona perumahan pesisir di Penyengat. Selain kawasan budidaya, di tiga kelurahan ini juga terdapat kawasan lindung di pesisir. Misalnya, Subzona sempadan pantai 15,09 ha dan Subzona mangrove 196,29 ha di Kampung Bugis. Sementara itu, di Senggarang dan Penyengat hanya ada Subzona mangrove yang masing seluas 91,86 ha dan 1,39 ha. Di Kampung Bugis dan Penyengat terdapat zona cagar budaya masing-masing seluas 20,60 ha dan 60,14 ha. Sejak tahun 2015 SKGR tidak dikeluarkan lagi karena Penyengat masuk dalam kawasan cagar budaya. Berdasarkan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya, pasal 13 menyebutkan bahwa “Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.” RTRW dan RDTR di Kota Batam masing-masing dalam proses pembahasan di DPRD dan proses persetujuan substansi. Tanah timbul tidak tercantum dalam RTRW Kabupaten Cirebon (Perda No 7 Tahun 2017). Adanya kebutuhan revisi RTRW yang saat ini berlangsung di Kabupaten Cirebon, maka BPN Kantah mendorong salah satunya agar tanah (timbul) dimasukkan juga dalam tata ruang dan petanya sehingga masyarakat atau pemerintah daerah yang ingin memiliki tanah (timbul) secara legal formal dapat dilakukan dengan mudah. 2) Ketersediaan Arahan Teknis dalam Penerapan Proporsi Penguasaan 70:30 dan Menyisakan 30% Untuk Kawasan Lindung di Pulau-Pulau Kecil Permen ATR No 17 Tahun 2016 memiliki bab khusus mengatur penguasaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil sebagai berikut: Tabel 18. Penguasaan dan Pemanfaatan 70:30 Persen Pulau Kecil BAB IV PENATAAN PERTANAHAN PULAU-PULAU KECIL Pasal 9 a. pertahanan dan keamanan; (1) Pulau-Pulau Kecil dapat diberikan Hak Atas b. kedaulatan negara; 126

Tanah c. pertumbuhan ekonomi; d. sosial dan budaya; (2) Pemberian Hak Atas Tanah di Pulau-Pulau e. fungsi dan daya dukung lingkungan Kecil harus memperhatikan ketentuan hidup f. program strategis nasional. sebagai berikut: (5) Dalam hal Pulau-Pulau Kecil belum terdapat penguasaan tanah maka a. penguasaan atas pulau-pulau kecil paling penguasaannya diprioritaskan untuk Pemerintah. banyak 70% (tujuh puluh persen) dari Pasal 10 luas pulau, atau sesuai dengan arahan (1) Penguasaan dan pemilikan tanah di rencana tata ruang wilayah pulau kecil tidak boleh menutup akses publik. provinsi/kabupaten/kota dan/atau (2) Akses public sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: rencana zonasi pulau kecil tersebut; a. akses perorangan atau kelompok b. sisa paling sedikit 30% (tiga puluh orang untuk berlindung, berteduh, menyelamatkan diri, mencari persen) luas pulau kecil yang ada pertolongan dalam pelayaran; b. akses perorangan atau kelompok dikuasai langsung oleh negara dan orang dengan ijin resmi untuk melaksanakan kegiatan terkait digunakan dan dimanfaatkan untuk pendidikan, penelitian, konservasi dan preservasi. kawasan lindung, area publik atau kepentingan masyarakat; dan c. harus mengalokasikan 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau untuk kawasan lindung. (3) Dalam hal diperlukan untuk kepentingan nasional, pemerintah dapat menguasai dan memanfaatkan Pulau-Pulau Kecil secara utuh. (4) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain: Sumber: Permen ATR No 17 Tahun 2016 Khusus di pulau-pulau kecil, rencana tata ruang sebagai syarat pemberian HAT memiliki dua tantangan, yaitu: masih ada pulau-pulau kecil yang belum masuk dalam tata ruang dan/atau belum memiliki rencana tata ruang skala besar. Kebutuhan terhadap tata ruang skala besar dikarenakan dengan skala besar (seperti 1:5000) dianggap paling operasional dalam memenuhi ketentuan Permen ATR No 17 Tahun 2016 yang menuntut agar dalam satu pulau harus menyisakan 30% sebagai kawasan lindung, dan menentukan proporsi penguasaan 70:30 (30% dikuasai oleh Negara). Pada kenyataannya rencana tata ruang yang mengatur ruang masih belum tersedia secara menyeluruh, apalagi di pulau-pulau kecil. Jika pun ada, hanya RTRW tingkat kota/kabupaten bahkan provinsi. Sering ditemukan rencana pola ruang pada RTRW untuk pulau kecil hanya ada 1 (satu) sampai 2 (dua) arahan dan itu pun tergambar masih makro. Pertanyaannya, apakah hanya dengan RTRW cukup menerapkan pengaturan dalam Permen ATR No 127

17 Tahun 2016 terkait pulau-pulau kecil tersebut? Gambaran singkat berikut ini menarik untuk disimak terkait dengan ketersediaan RTRW dan penerapan proporsi penguasaan 70:30. Budidaya Perikanan Permukiman Perkebunan Pedesaan Gambar 22. Pulau Wejim Pale Kab. Raja Ampat Provinsi Papua Barat (Masuk RTRW) Berdasarkan RTRW Kabupaten Raja Ampat, pada bagian daratan Pulau Wejim Pale diperuntukkan untuk permukiman pedesaan. Pertanyaannya, bagaimana menentukan 30% untuk kawasan lindung jika arahan RTRW pada pulau tersebut untuk budidaya di keseluruhan pulau. Kemudian apakah ketentuan menyisakan 30% untuk Negara dapat diabaikan mengingat aturan RTRW-nya menunjukkan kawasan ini hampir keseluruhan diarahkan menjadi permukiman pedesaan? Ketentuan Permen ATR No 17 Tahun 2016 Pasal 9 ayat (2) huruf a mengatakan RTRW dapat menjadi acuan terkait proporsi 128

penguasaan sehingga terdapat saling bertentangan antara isi Permen ATR No 17 Tahun 2016 dengan RTRW daerah setempat. Pertanian Permukiman Gambar 23. Pulau Messah Kab. Labuan Bajo Provinsi Nusa Tenggara Timur (Masuk RTRW) Kasus yang lain di Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan RTRW Kab. Manggarai Barat (Perda No. 09 Tahun 2012), pada bagian daratan Pulau Messah diperuntukkan untuk permukiman dan pertanian. Lalu, bagaimana menentukan proporsi 30% untuk kawasan lindung? dan bagaimana menentukan akses publik/dikuasai Negara? Apakah di bagian pertanian atau di permukiman? Siapa yang harus menganalisis dan memutuskan? Dari kasus di atas dapat kita lihat bahwa untuk menerapkan 30% harus menyisakan kawasan lindung masih memerlukan acuan lain yang lebih teknis selain RTRW. Saat Permen ATR No 17 Tahun 2016 disahkan, mekanisme menentukan proporsi tersebut masih belum ada. Begitu pula terkait penentuan 70:30 penguasaan pulau yang meminta menyisakan 30% dikuasai oleh Negara (tidak dikuasai secara utuh). Seperti 2 (dua) kasus di atas, hanya 129

memberikan petunjuk mengenai peruntukan lahan, sementara itu untuk menentukan lokasi bagian akses publik dan dikuasai Negara belum ada panduan teknisnya hingga saat ini. Sarana Cagar Budaya Pendidikan Taman Permukiman Pesisir Pariwisata Mangrove Permukiman Kepadatan Rendah Gambar 24. Pulau Penyengat Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau (Masuk RDTR) Pulau Penyengat merupakan kawasan strategis di Kota Tanjungpinang sebagai kawasan Cagar Budaya. RDTR BWP Tanjungpinang Timur telah mengatur pulau tersebut dengan arahan yang cukup detail dengan menentukan lokasi bagian 30% untuk lindung dan lokasi bagian yang dapat dikuasai pada pulau ini sehingga menjadi lebih mudah. Arahan tata ruang pada pulau ini jelas pembagiannya untuk budidaya (permukiman, dan lain sebagainya) dan bagian lindung. Ilustrasi di Kelurahan Penyengat (pulau) yang masuk dalam RDTR Kota Tanjungpinang dapat menggambarkan mengenai kemudahan dalam mengelola peruntukan lahan dan luasnya. 3) Ketersediaan data yang lengkap dan terdigitalisasi (Data hasil inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) Kementerian ATR/BPN sangat berkomitmen dalam memenuhi kebutuhan data yang lengkap termasuk layanan informasi data. Salah satu 130

fitur layanan data yang sangat membantu dalam berbagai kegiatan pertanahan, termasuk di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah keberadaan GeoKKP. Data yang dihasilkan dari inventarisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah memberikan sumbangsih dalam penyusunan kebijakan di locus inventarisasi. Fokus Direktorat PWP3WT selama ini adalah inventarisasi data pertanahan sekalipun belum seluruh wilayah WP3WT di Indonesia terinventarisasi. Ketersediaan data memang penting sehingga pengembangan sarana data masih terus berjalan. Misalnya, basis data yang sudah dikembangkan antara lain website WP3WT. Adanya perubahan struktur organisasi PWP3WT berakibat pula peralihan pengelolaannya sehingga diserahkan pada unit yang baru. Belakangan ini dalam kegiatan inventarisasi data di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat perubahan konsep dari perspektif kawasan menjadi IP4T. Sejak tahun 2020, semua yang awalnya menggunakan perspektif kawasan (khususnya di wilayah pesisir) berubah konsepnya menjadi IP4T, dimana data yang dikumpulkan banyak terkait penguasaan dan pemilikan (subjek dan objek). Data IP4T yang telah dilakukan dalam tabel. Tabel 19. Lokasi IP4T di WP3WT Tahun 2020 No Provinsi Lokasi IP4T 1 DKI Jakarta Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, 2 Jawa Barat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 3 Jawa Tengah Desa Panjalu Kec.Panjalu Kab.Ciamis, Desa Winduraja 4 DIY Kec.Kawali Kab.Ciamis, Desa Indramayu Kec.Singaraja 5 Jawa Timur Kab.Indramayu, Desa Melakasari Kec.Gebang Kab.Cirebon, 6 Aceh Desa Ambulu Kec.Gebang Kab.Cirebon, Desa Pangarengan 7 Sumatera Utara Kec.Legonkulon Kab.Subang, Desa Legonwetan Kec.Legonkulon Kab.Subang Desa Mororejo Kec. Kaliwungu, Desa Turunrejo dan Desa Purwokerto Kec. Brangsong Kab. Kendal - IP4T Pesisir : Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan IP4T PPK : Desa Lombang, Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep IP4T PPK : Desa Deudap dan Alue Reuyeung, Pulo NAsi, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar IP4T Wilayah Tertentu : Desa Gunung Manumpak A, Desa 131

No Provinsi Lokasi IP4T Durian IV Mbelang, dan Desa Sibunga-Bunga Hilir 8 Sumatera Barat Kelurahan Naras I dan Kelurahan Naras Hilir, Kota Pariaman, 9 Riau Provinsi Sumatera Barat 10 Jambi IP4T PPK : Desa Muntai Barat, Desa Muntai dan Desa Pambang Baru, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau Desa Sungai Dualap, Kecamatan Kuala Betara dan Desa Muara Seberang, Kecamatan Seberang Kota, Kabupaten Tanjung Jabung Barat 11 Sumatera Selatan 1.) Desa Kuala Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir; 2.) Desa Sungsang II, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin 12 Lampung 13 Kalimantan Barat a) IP4T Pesisir : Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten 14 Kalimantan Tengah Sambas ; b) IP4T Perbatasan Desa Sebunga, Kecamatan 15 Kalimantan Selatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas 1. Desa Kampung Keramat Kecamatan Katingan Kuala Kabupaten Katingan 2. Kelurahan Pegatan Hulu Kecamatan Katinagn Kuala Kab. Katingan3. Kelurahan Pegatan Hilir Kecamatan Katingan Kuala Kab. Katingan a. Kategori VI di Desa Tanjung Seloka Kec. Pulau Laut Selatan Kab. Kotabaru b. Kategori VII di Desa Rampa Kec. Pulau Sebuku Kab. Kotabaru 16 Kalimantan Timur - 17 Sulawesi Utara Pulau Bangka, Desa Lihunu, Kecamatan Likupang Timur, 18 Sulawesi Tengah Kabupaten Minahasa Utara 19 Sulawesi Selatan Lokasi Ip4T pesisir : Desa Tuladenggi sibatang, Desa Bilalea Kecamatan Taopa Kabupaten Parigi moutong Lokasi IP4T pulau Kecil : Desa Kadoda dan Malinge Kabupaten Tojo una- una Kab. Bulukumba (250 bid) D. Bira Kec. Bontobahari (P. Liukang Loe); Kab. Sinjai, Kec. P. Sembilan 1000 bid terdiri : Desa P. Harapan 500 bid (P. Kambuno, P. Liang-liang); 250 bid P.Padaelo; 250 bid P.Buhung Pitue 20 Sulawesi Tenggara - 21 Maluku - 22 Bali IP4T Pesisir (Desa Selabih dan Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan ) 23 Nusa Tenggara Barat Lokasi : Pulau Maringkik, Gilik Belek dan Gili Re Desa Napan, Kec. Bikomi Utara, Kab. Timor Tengah Utara : 24 Nusa Tenggara Timur realisasi fisik 507 bidang; Desa Humusu C, Kec. Insana Utara, Kab. Timor Tengah Utara : realisasi fisik 619 bidang 25 Papua - 26 Bengkulu Lokasi: Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu 132

No Provinsi Lokasi IP4T 27 Maluku Utara Lokasi IP4T Pesisir : di Desa Amasing Kota dan desa Labuha 28 Banten Kecamatan Bacan, Kab. Halmahera Selatan Lokasi IP4T Pesisir : Desa Teluk dan Desa Caringin Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang serta Desa Karangkamulyan dan Desa Panyaungan Kecamatan Cihara Kabupaten Lebak. Lokasi Pulau : Pulau Panjang, Desa Pulo Panjang, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang. 29 Kepulauan Bangka - Belitung 30 gorontalo Lokasi IP4T Pulau-Pulau kecil Desa Dudepo Kec. Anggrek 31 Kepulauan Riau Kab. Gorontalo Utara 32 Papua Barat 33 Sulawesi Barat Lokasi IP4T Pulau-Pulau Kecil Kelurahan Pulau Terong, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam Lokasi IP4T Pulau-Pulau Kecil : Kampung Mansinam, Pulau Mansinam Distrik Manokwari Timur Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat Lokasi IP4T Pesisir di Desa Maliaya, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene TOTAL Sumber: Ditjen Penataan Agraria, Tahun 2020. 4) Ketersediaan Citra Satelit (10-20 tahun ke belakang) Dalam kegiatan analisis spasial, keberadaan Citra satelit akan sangat membantu dalam memprediksi kondisi eksisting penggunaan tanah. Bahkan dalam menentukan/mengindikasikan tanah timbul, keberadaan citra satelit sangat esensial. Citra satelit yang dibutuhkan bukan hanya citra terbaru namun juga citra di rentang 10-20 tahun kebelakang, permasalahannya apakah Citra di tahun yang dibutuhkan tersebut selalu tersedia di semua lokasi? Hasil diskusi dengan Direktorat PWP3WT, diketahui bahwa ketersediaan Citra satelit time series tidak selalu ada, dan resolusi citra tidak selalu baik/tinggi, sehingga mengalami kesulitan dalam analisis data. Keberadaan Citra satelit dari LANSAT paling jauh adalah di tahun 1990-an dan sebagian besar hanya ada di Pulau Jawa. Puslitbang Kementerian ATR/BPN pernah mengadakan penelitian khusus tanah timbul di Pulau Jawa, dari penelitian tersebut dapat diketahui bagaimana indikasi tanah timbul yang tersebar di Pulau Jawa, hasil pengelolahan data spasial penelitian tersebut kiranya dapat menjadi bahan dalam menentukan tanah timbul. Namun 133

demikian tetap perlu dilakukan pemutakhiran metodologi dan tetap perlu IP4T di lapangan. Berdasarkan definisi tanah timbul terjadi secara alamiah tanpa campur tangan manusia, namun kenyatannya di Kabupaten Cirebon masyarakat penggarap membuat tanah timbul dengan sengaja dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun. Ke depan perlu kiranya pengaturan dan penentuan standar dan prosedur tanah timbul hingga dapat diterbitkan sertipikat terkait dengan batasan-batasan penggunaan dan pemanfaatan tanah timbul. Pengaturan tanah timbul itu di antaranya pendefinisian ulang secara konseptual dan operasional tanah timbul dari segi sedimentasi, keajegan tanah, cara penentuan (seperti teknologi dan penyataan masyarakat) batas tanah timbul dengan tanah sebelumnya/bukan tanah timbul, dan kaitan dengan aturan tanah timbul dengan garis sempadan pantai dan sempadan sungai. Pengaturan tanah timbul ini dapat diinisiasi oleh pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia terutama dalam konteks pemberian ijin membuka tanah. Mengacu pada Keppres No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, terdapat sembilan kewenangan pertanahan yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota termasuk ijin membuka tanah.143 Dalam pemberian ijin membuka tanah, merujuk pada Keputusan Kepala BPN No 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya memperhatikan keserasian kemampuan tanah, status tanah, dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Dengan pembagian kewenangan itu, pemerintah daerah kabupaten/kota diharapkan melakukan pengaturan batasan/definisi 143 Izin lokasi; pengadaan tanah untuk kepentingan umum; penyelesaian sengketa tanah garapan; penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; penetapan tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; izin membuka tanah; perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. 134

tanah timbul untuk diberikan izin membuka tanah dengan arahan dari Kanwil BPN dan Kementerian ATR/BPN. 5) Ketersediaan Instrumen Monitoring dan Evaluasi. Terkait dengan pemantauan dan pengendalian yang diminta pada Pasal 13, yaitu: a. Kantor Pertanahan melaksanakan pemantauan dan pengendalian terhadap Hak Atas Tanah yang diterbitkan berdasarkan peraturan ini; b. Pemantauan dan Pengendalian dilaksanakan setiap 1 (satu) tahun, dimulai sejak diterbitkannya Hak Atas Tanah; c. Kantor Pertanahan melaporkan hasil pemantauan dan pengendalian kepada Menteri melalui Kantor Wilayah BPN. Pasal ini dapat dikatakan tidak efektif dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan fungsi pemantauan dan evaluasi selama ini tidak “terlalu” diutamakan. Selama ini tidak ada penekanan khusus kepada petugas di Kantor Pertanahan untuk melaksanakan Pasal 13 tersebut dan melaporkannya ke Direktorat PWP3WT. Hingga di akhir tahun 2020 pun Direktorat PWP3WT tidak memiliki data mengenai implementasi secara yang sudah berjalan terkait permohonan HAT di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Saat ini, berdasarkan struktur organisasi Kementerian ATR/BPN yang baru telah dipisah fungsi antara penataan dan pengendalian WP3WT, kedua fungsi tersebut dipisah dalam dua (2) Direktorat Jenderal. Untuk tiap-tiap fungsi sebaiknya diatur dengan jelas pembagian tugasnya, yang mana yang dapat dilaksanakan di tingkat Kantor Pertanahan, Kanwil, maupun di Pusat. Kedepannya diharapkan dengan pemecahan tersebut menjadikan fungsi penataan pertanahan dan pengendalian pertanahan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan lebih fokus dan terstruktur, dengan manajemen tata laksana yang baik, sebagaimana dituntut dalam Reformasi Birokrasi. Maka dari itu sebaiknya instrumen monitoring dan evaluasi segera disusun oleh unit kerja yang membawahi. 135

4. Budaya Hukum yang Belum Memiliki Kesadaran Hukum Mengenai Sertipikat Tanah Secara operasional, ada 2 (dua) indikator144 yang dapat dilihat mengenai keefektivan Permen ATR No 17 Tahun 2016 dalam pelaksanaannya berdasarkan faktor budaya hukum dan masyarakat. a. Apakah peraturan ini membantu pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengembangkan WP3WT? Salah satu asas yang harus dicapai adanya peraturan perundangan adalah asas manfaat. Permen ATR No 17 Tahun 2016 sebenarnya ditujukan untuk memberi arahan dalam administrasi pertanahan di WP3WT, khususnya dalam pensertifikatan tanah, baik oleh perorangan maupun badan hukum. Sebagai gambaran bahwa sejak adanya Permen ATR No 17 Tahun 2016 masih terdapat beberapa permasalahan di lapangan yang tidak bisa diselesaikan. Misalnya, masyarakat penggarap di area pesisir (tanah timbul) lebih familiar dengan Surat Keterangan (SK) dari Desa daripada harus meminta Rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN. Hal ini terjadi di Kabupaten Cirebon, dimana masyarakat penggarap di area tanah timbul merasa cukup dengan SK dari Desa, walaupun SK tersebut tidak menjadikan mereka sebagai pemiliki yang legitimate. Ini merupakan hal yang harus kita evaluasi terkait efektivitas Permen ATR No 17 Tahun 2016. Berdasarkan tinjauan di lapangan (Kabupaten Cirebon), masyarakat yang menguasai tanah (yang diindikasi) sebagai tanah timbul lebih familiar dengan SK yang dikeluarkan Kepala Desa, dengan luas beragam bahkan lebih dari 100m2. Masyarakat setempat sudah merasa cukup dengan memegang SK tersebut walaupun harus mengurus kembali jika Kepala Desanya diganti. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa adanya Rekomendasi dari Pusat untuk permohonan HAT di tanah timbul sebaiknya diberi ketentuan yang lebih operasional, bisa dinjau dari peruntukan 144 Indikator diambil dari Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Nomor PHN- HN.01.03-07, Hal. 41-43 136

penggunaan tanahnya apakah akan memberi dampak serius pada lingkungan atau tidak. b. Apakah masyarakat paham dengan peraturan tersebut dan melaksanakannya? Secara umum masyarakat pesisir mengetahui bahwa pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki berbagai batasan, namun tidak semua dapat menerapkan batasan-batasan tersebut. Dalam UU No 27 Tahun 2007, istilah masyarakat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: Masyarakat Hukum Adat (MHA), Masyarakat Tradisional, dan Masyarakat Lokal.145 Ketiganya memiliki peran dalam pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil. Keberadaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak dalam rangka membatasi ruang gerak masyarakat yang memang sudah lama bermukim di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya masyarakat tradisional seperti Suku Bajo di Wakatobi, masyarakat lokal di Tanjungpinang dan Bontang, atau para nelayan yang kehidupannya sehari-hari di perairan pesisir. Justru Permen ATR No 17 Tahun 2016 hadir untuk memenuhi kepastian hukum untuk masyarakat tersebut, sehingga sosialisasi terkait pengaturan penguasaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya paling banyak diberikan kepada tiga tipe masyarakat tersebut, karena mereka yang akan menjadikan penerapan Permen ATR No 17 Tahun 2016 lebih efektif. 145 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebut tiga kategori Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun- temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. 137

c. Apakah masyarakat mudah untuk mengakses informasi? Informasi terkait Permen ATR No 17 Tahun 2016 dapat diakses di website, namun memang aturan tersebut tidak banyak disosialisasikan ke masyarakat secara khusus. Kegiatan-kegiatan ke lapangan memang sering menjadi ajang dalam menginfokan peraturan tersebut, namun tidak dilaksanakan secara masif dan terstruktur. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum banyak diketahui oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum, walaupun mereka tahu bahwa ada batasan untuk pemanfaatan di perairan pesisir dan pulau- pulau kecil. d. Pemahaman terhadap jenis hak Dalam aturan yang berlaku terdapat jenis hak di antaranya hak milik, hak pakai, hak guna bangunan. Namun keberadaan jenis hak itu belum diketahui secara detail mengenai kebolehan, kewajiban dan larangannya. Sebagai masyarakat masih menyamaratakan pengertian dari jenis hak di atas. Hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya yang dikuasai oleh subjek melahirkan rasa pemilikan yang penuh sekalipun secara hukum terkadang hanya hak pakai dan hak guna bangunan. e. Ruang penghidupan dan kedekatan dengan sumberdayanya Perairan pesisir merupakan ruang penghidupan bagi masyarakat setempat, yang dalam konteks nelayan menjadi tempat tinggal, tempat penambatan perahu dan tempat mencari ikan (fishing ground). Ruang penghidupan itu tidak hanya mempunyai ciri ekonomi tapi juga mempunyai ciri sosial dan lingkungan. Bila negara pantai/kepulauan mengklaim mempunyai “hak kedekatan” dengan wilayah pesisir dan sumberdaya seperti tercantum dalam UNCLOS, maka masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir mempunyai “hak kedekatan” pula dengan tanah dan sumberdaya di wilayah pesisir. Gambaran ruang penghidupan dan “hak kedekatan” itu dapat dilihat dari keberadaan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang mengurus sumberdaya laut berdasarkan kearifan lokal/kebiasaan lokal dengan adanya 138

larangan (alat tangkap, waktu tangkap dan lokasi tangkap). Sejarah-sejarah lokal di Indonesia juga menggambarkan kedekatan dengan ruang penghidupan di laut dan sumberdayanya. Namun kesejarahan ini masih luput digali dan belum terakomodasi dalam hak penguasaan oleh masyarakat. Yang saat ini diakomodasi atas penguasaan sumberdaya di perairan pesisir adalah hak pengelolaan (wilayah kelola) oleh masyarakat adat, yang didorong oleh KKP melalui surat penetapan bupati/walikota untuk dimasukkan dalam tata ruang laut. B. Penataan Hak Pertanahan di WPPPK dan Sungai Besar 1. Pengelolaan Pertanahan yang Belum Sepenuhnya Bertanggung Jawab Pengelolaan tanah bertanggungjawab (responsible land management) merujuk pada delapan indikator dari de Vries dan Chigbu.146 Pengelolaan tanah bertanggungjawab untuk memeriksa kegiatan penataan pertanahan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan sungai besar yang dilaksanakan secara singkat dan padat terkait dengan muatan aturan dan pelaksanaan kegiatan penataan pertanahan. Penjelasan pemeriksaaan sebagai berikut: a. Tanggap (Responsive) 1. Struktur kelembagaan dalam aturan tanggap pada kebutuhan para pihak (masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum) 2. Ada mekanisme/langkah untuk memeriksa kebutuhan para pihak. Ada tanggap-timbal balik. 3. Kebutuhan telah direspon/dipenuhi 1) Struktur Keberadaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 bermaksud memberikan arahan dan batasan, dan bertujuan memberikan kepastian hak terkait penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di WPPPK terkait hak atas tanah. Ruang lingkup Permen ATR No 17 Tahun 2016 yang diatur berada di wilayah pesisir (Bagian pantai dan perairan pesisir 0-12 mil) dan pulau-pulau kecil termasuk tanah timbul dan reklamasi di pesisir. Permen ATR No 17 Tahun 2016 mengisi kekosongan pengaturan hak di pesisir dan pulau kecil, yang diatur dalam Pasal 60 PP 146 W.T. de Vries, Op.cit. Application of 8R framework; W.T. de Vries & U.E. Chigbu, Op.cit. Responsible land management. 139

No 60 Tahun 1996 mengenai sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai. Amanat dalam Pasal 60 itu seharusnya berupa peraturan pemerintah. Sekitar setahun setelah terbitnya PP No 60 Tahun 1996, terdapat Surat Edaran Menteri Negara Agraria/BPN No 500-1197 Perihal Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai tertanggal 3 Juni 1997 yang menyatakan bahwa permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut. Tidak sampai sebulan, tepat tanggal 14 Juli 1997 terbit lagi Surat Edaran Menteri Negara Agraria/BPN No 500-1698 menindaklanjuti surat edaran sebelumnya menjelaskan bahwa (1) Surat Edaran bernomor 500- 1197 itu sebagai upaya preventif, (2) Pengamanan preventif tidak menutup peluang kegiatan penanaman modal dalam rangka pembangunan, (3) peluang kegiatan penanaman modal perlu mempertimbangkan kepentingan yang lebih tinggi, yang antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan atau kepentingan masyarakat setempat khususnya para nelayan, dan (4) Pelaksanaan PP No 40 Tahun 1996 masih dimungkinan pemberlakuannya dengan dilakukan secara berhati-hati dan selektif. Artinya, berdasarkan PP No 60 Tahun 1996 dan Surat Edaran No 500-1698 dengan hati-hati dan selektif dapat diterbitkan hak atas tanah di sebidang tanah di lokasi yang berbatasan dengan pantai (sempadan pantai), sedangkan Permen ATR No 17 Tahun 2016 mengatur hak tanah di pantai dan perairan pesisir. Keduanya juga mengatur di pulau kecil. Permen ATR No 17 Tahun 2016 merupakan pengaturan untuk merespon kebutuhan para pihak seperti masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum swasta dalam ruang lingkup pemenuhan hak di bidang pertanahan. Catatan penting dari aturan ini: (1) Permen ini tidak dimaksudkan sebagai “program khusus” yang memiliki target tertentu dengan jangka waktu terbatas, pelaksana/unit pelaksana khusus dan anggaran tertentu pula dalam penataan pertanahan di WPPPK seperti 140


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook