dokumen RZWP3K di tiap provinsi.83 Selain ICZM, juga terdapat gagasan marine cadaster (kadastral kelautan) yang dapat mendukung ICZM sekalipun perlu ketersediaan data dan informasi yang lengkap. Kadaster pesisir ini bertujuan untuk menentukan, menvisualisasikan dan mewujudkan batas-batas laut yang ditetapkan secara hukum dan adanya hak (right), batasan (restrictrion) dan tanggung jawab (responsibility) yang melekat padanya.84 Namun tantangan dalam penerapan marine cadaster terletak pada isu legal (hukum), institusional dan teknis,85 yang untuk konteks Indonesia terdapat kompleksitas unsur wilayah laut, sistem kepemerintahan, undang-undang dan persoalan wilayah adat di laut.86 A/CONF.151/26/Rev.l (Vol. l) (diakses di https://www.un.org/esa/dsd/agenda21/Agenda%2021.pdf pada 28 Juni 2020). UNCED 1992 menghasilkan Agenda 21 dan berisi 40 Chapter. Isu pesisir/kelautan dan pulau-pulau kecil tercantum dalam Chapter 17 dengan cakupan area program yaitu: 1. Pengelolaan terintegrasi dan pembangunan berkelanjutan wilayah perairan pesisir termasuk zona ekonomi eksklusif, 2. Perlindungan lingkungan laut, 3. Pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya hidup kelautan di laut lepas, 4. Pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya hidup kelautan di bawah jurisdiksi nasional, 5. Mengatasi ketidakpastian kritis dalam pengelolaan lingkungan laut dan perubahan iklim, 6. Memperkuat kerjasama dan koordinasi internasional termasuk regional, dan 7. Pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil. Secara historis, pendekatan terintegrasi ini bukan konsep baru, sebab pendekatan terintegrasi dengan ragam tujuan dalam pemanfaatan sumberdaya alam telah diperkenalkan sejak akhir tahun 1930 dalam pengelolaan sumberdaya air di Amerika Serikat, lihat Fanny Douvere. The importance of marine spatial planning in advancing ecosystem-based sea use management. Marine Policy 32 (2008) 762– 771. 83 Provinsi di Indonesia yang telah mempunyai RZWP3K di antaranya: Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Jambi, Papua Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan, lihat Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Rencana zonasi ditetapkan aceh siap kelola wilayah pesisir dan pulau pulau kecil” (Diakses di https://kkp.go.id/djprl/artikel/20347-rencana- zonasi-ditetapkan-aceh-siap-kelola-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil pada tanggal 24 Juni 2020). 84 Andrew Binns, Abbas Rajabifard, Phil A. Collier, & Ian Williamson. “Developing the concept of a marine cadastre: an Australian case study”, Trans-Tasman Surveyor, 6, 2004. Salah satu pendorong utama dalam menerapkan kadaster kelautan, khususnya di Australia, berasal dari gerakan lingkungan dan dampaknya terhadap politik dan masyarakat. Misalnya, polusi, degradasi sumberdaya pesisir, ancaman manusia terhadap kesehatan lingkungan, tuntutan internasional untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dan tumbuhnya kesadaran dalam pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah daratan dan pesisir. 85 Ibid. 86 Yackob Astor, Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan di Indonesia dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Wilayah Studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur). Disertasi. Institut Teknologi Bandung, 2016. 41
Pengaturan ruang di Indonesia dalam rangka pengelolaan aktivitas pemanfaatan dan alokasinya merujuk pada beberapa aturan di antaranya UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK dan UU No 32 Tahun 2Ol4 tentang Kelautan. Tabel 4. Aturan dan Dokumen Tata Ruang di WPPPK No Dokumen Sumber 1 Tata Ruang Wilayah Pesisir RTR Nasional Mencakup ruang Pasal 6, Ayat (3, 4 & 5) UU 26 RTRW Pronvinsi darat, ruang laut, dan Tahun 2007 Penataan Ruang RTRW Kab./Kota ruang udara, termasuk di dalam bumi. Pengelolaan ruang laut diatur dengan UU tersendiri. 2 Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) [laut PP No 32 Tahun 2019 tentang territorial & ZEE] Rencana Tata Ruang Laut (1)Rencana Zonasi Kawasan Laut (RZKL): Pasal 3 (21) UU 32 Tahun 2Ol4 KSN, KSNT, dan kawasan antar-wilayah. tentang Kelautan + (2)Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pasal 7 ayat (2) UU No 7 Tahun Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)87 2007 tentang Pengelolaan WPPPK 3 Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar RTR Kawasan Perbatasan Negara (a.l. Peraturan Presiden Pasal 21 Papua; Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi ayat (1) UU No 26 Tahun 2007 Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimatan Pasal 123 ayat (4) PP No 26 Utara; Nusa Tenggara Timur; Maluku Utara Tahun 2008 UU No 26 Tahun dan Papua Barat; Maluku; Kalimantan; Aceh 2007 tentang Penataan Ruang dan Sumatera Utara; dan Laut Lepas)88 4 Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Permen Kelautan dan Perikanan Tertentu (a.l. Pulau Nipa; Pulau Maratua dan PP No 62 Tahun 2010 tentang Pulau Sambit di Kalimantan Timur; dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Pulau Senua di Kepulauan Riau) di PPKT Terluar UU No 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK 87 Alokasi ruang di RZWP3K dibagi empat kawasan, yaitu: kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan alur laut dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). 88 Dari Sembilan RTR kawasan perbatasan yang diatur dengan peraturan presiden, dua kawasan perbatasan masih berbentuk rancangan, yaitu: Aceh dan Sumatera Utara, dan Laut Lepas, lihat Sri Nurnaeni (Kasubdit Perencanaan Tata Ruang Nasional), Perencanaan Tata Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disampaikan pada Kegiatan Penyusunan Rancangan dan Instrumen Penelitian Tahap II Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan di Kementeria ATR/BPN tanggal 17 Juli2020. 42
Tata ruang yang diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk di dalam bumi. Pengaturan ruang laut mempunyai kekhasan untuk diatur dalam UU sendiri seperti disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (5) UU 26 Tahun 2007 sehingga kemudian terbit UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, dan penetapan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. PP 32 Tahun 2Ol9 tentang Rencana Tata Ruang Laut (RTRL), sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2014, diposisikan sebagai komplemen dari Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun keberadaan aturan tata ruang laut berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2014 diindikasikan memunculkan ketidakharmonisan dengan penataan ruang yang berpedoman pada UU No. 26 Tahun 2007. Bila penataan ruang (UU No. 26 Tahun 2007) menghasilkan dokumen di antaranya RTRW Nasional, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota dan RTR Kawasan Perbatasan, maka tata ruang pesisir/laut dengan istilah rencana zonasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menerbitkan Rencana Zonasi Kawasan Laut (RZKL)89 dan RZWP3K. RTRL mengatur di wilayah laut territorial dan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, sedangkan Perpres Kawasan Perbatasan Laut Lepas mengatur hingga ke laut lepas. Dua tata ruang (darat dan laut) itu terkesan menimbulkan ketidakharmonisan karena terlihat adanya dokumen tata ruang yang berbeda yang terkadang mengatur wilayah atau sekitar wilayah yang sama. Namun UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai “peraturan payung” berinisiatif untuk menyinkronkan aturan yang terkesan tumpang-tindih termasuk mengintegrasikan terkedua tata ruang di atas. Integrasi itu terlihat dari Pasal 18 yang beberapa ketentuan dalam UU No 89 RZKL terdiri atas kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu (KSNT), dan kawasan antar-wilayah. Dalam PP 32 Tahun 2019 ini telah disisipkan sejumlah perencanaan sekaligus proyek pembangunan yaitu KSNT tersebar di 25 lokasi, kawasan antar-wilayah sebanyak 20 lokasi, dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebanyak 38 lokasi. Di PPKT dibuat Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu melalui peraturan menteri. 43
27 Tahun 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada Pasal 7A bahwa RZWP-3-K dan RZ KSN masing-masing diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. Begitu pula, RZ KSNT diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antarwilayah, dan rencana tata ruang laut. Artinya, pengintegrasian tersebut akan mengikis bahkan dapat menghilangkan kesan ketidakharmonisan tata ruang darat dan tata ruang laut. Dalam integrasi tata ruang darat dan laut termauk penyusunan tata ruang diharapkan melibatkan para pihak terutama masyarakat seluas-luasnya agar kepentingan mereka khususnya mengenai land tenure dan land use dapat diakomodasi. Dalam konteks land tenure (hak atas tanah) dan land use (tata ruang), ada dua tantangan utama dalam pemberian Hak Atas Tanah (Permen ATR No 17 Tahun 2016) yang mensyaratkan rencana tata ruang.90 Pertama, masih ada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang belum masuk dalam tata ruang atau belum memiliki rencana tata ruang skala besar. Salah satu permasalahan dalam pemberian Hak Atas Tanah di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah masih belum semua masuk dalam rencana tata ruang, terutama rencana tata ruang yang detail dengan skala pengaturan yang besar. Kedua, rentan terjadi overlap pengaturan di WPPPK antara UU No. 26 Tahun 2007 dan UU No. 27 Tahun 2007. Dinamika tersebut berlangsung hingga saat ini dalam menerapkan hak atas tanah di WPPPK, khususnya di perairan pesisir, pantai, sempadan pantai, dan pulau-pulau kecil. Adanya ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah harus memenuhi syarat peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang merujuk pada Pasal 26 (3) UU No 26 Tahun 2007 berbunyi “Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan”. 90 Mitra Wulandari, Rencana Tata Ruang dalam Pengaturan Penguasaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP & PPK), Catatan Evaluatif, Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Pulau-pulau Kecil Direktorat PWP3WT, Juni 2020, 8 halaman. 44
Tabel 5. Pemilikan Tanah dalam Tata Ruang dan Penatagunaan Tanah Penguasaan/Pemilikan Tanah dan Tata Ruang Permen ATR No PP No 16 Tahun 2004 UU No 26 Tahun 17 Tahun 2016 Pasal 9 (1) Penetapan Rencana Tata 2007 Pasal 6 Ruang Wilayah tidak mempengaruhi Pasal 26 (3) mempertimbangk status hubungan hukum atas tanah. Rencana tata ruang an tata ruang Pasal 11 (1) Terhadap tanah dalam wilayah kabupaten kawasan lindung yang belum ada hak menjadi dasar atas tanahnya dapat diberikan hak atas untuk penerbitan tanah, kecuali pada kawasan hutan. (2) perizinan lokasi Terhadap tanah dalam kawasan cagar pembangunan dan budaya yang belum ada hak atas administrasi tanahnya dapat diberikan hak atas tanah pertanahan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali pada lokasi situs. Permen ATR No 17 Tahun 2016 mempertimbangkan tata ruang dalam penerbitan hak atas tanah sehingga hal ini menuai respon yang beragam dalam implementasi Permen ATR tersebut. Setidaknya terdapat tiga kondisi potensial mengenai pertimbangan tata ruang dalam implementasi hak atas tanah. Pertama, ketiadaan tata ruang untuk dijadikan acuan pertimbangan dalam penerbitan hak atas tanah. Kedua, tata ruang tersedia tapi tidak lengkap mencakup atau tidak mencantumkan lokasi-lokasi yang akan dilakukan penerbitan hak atas tanah Ketiga, lokasi untuk penerbitan hak atas tanah masuk dalam tata ruang namun berada di kawasan lindung. Keempat, lokasi untuk penerbitan hak atas tanah tercantum dalam tata ruang namun berada pada kawasan hutan. Sementara Permen ATR No 17 Tahun 2016 menata hak pertanahaan berada di kawasan lindung berupa kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai. Untuk penggunaan dan pemanfaatanya, Pasal 15 PP 16 Tahun 2004 mengingatkan bahwa bahwa “penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang- bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan: (1) kepentingan umum, dan (2) keterbatasan daya dukung, pembangunan yang 45
berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.” Tantangan yang lain terletak pada pengaturan spasial Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Pada satu sisi PPKT diatur dalam Rencana Tata Ruang Perbatasan sebagai bagian dari Kawasan Strategi Nasional (UU 26 Tahun 2007), dan di sisi yang lain PPK mengacu pada Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu Pulau-Pulau Kecil Terluar (RZKSNT-PPKT) sebagai perwujudan KSNT (UU 27 Tahun 2007 dan PP 62 Tahun 2010). Selama ini RTR Perbatasan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres), sedangkan RZKSNT-PPKT ditetapkan dengan Peraturan Menteri KKP (Permen-KKP). Secara hirarki tentunya RTR perbatasan memiliki dasar yang lebih kuat, sehingga RZ-KSNT PPKT harus mengacu pada RTR Perbatasan. RZKSNT menyediakan rencana zonasi dengan kedetailan skala besar (1:5000) sedangkan RTR Perbatasan, yang memuat 1-2 provinsi tentunya masih dengan skala kecil yaitu (1:250.000). Oleh karena itu, penataan hak pertanahan di wilayah pesisir, pulau- pulau kecil, dan sungai besar perlu mengintegrasikan dengan tata ruang. Integrasi keduanya sangat penting sebab tata kelola pertanahan bertanggungjawab (responsible land governance)91 dapat dicapai melaui keterkaitan perlindungan dan jaminan hak penguasaan lahan dengan perencanaan dan pengendalian tata ruang yang efektif. Tata ruang sebagai mekanisme perencanaan sekaligus pengendalian peruntukan pertanahan ke depan. B. Kerangka Konseptual Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Sungai Besar (WPPPK dan BS) adalah bagian dari wilayah bangsa yang memiliki keunikan (potensial sekaligus rentan) untuk dikelola dalam rangka memenuhi tujuan 91 David Mitchell, Stig Enemark, Paul van der Molen, “Climate resilient urban development: Why responsible landgovernance is important”, Land Use Policy 48, 2015, 190–198. 46
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian fungsi lingkungan. Sebagai pelimpahan unsur publik dari Hak Bangsa Indonesia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Hak Menguasai Negara (HMN) harus diselenggarakan dengan mengingat prinsip keberlanjutan wilayah bangsa sebagai aset bangsa. Berdasarkan Pasal 2 UUPA, Negara mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang (warga Negara dan badan hukum) dengan tanah, termasuk tanah di WPPPK dan BS. Hubungan hukum yang dapat diberikan pada umumnya perizinan bagi kegiatan pemanfaatan dan pengambilan kekayaan dari wilayah bangsa termasuk WPPPK seperti dalam Pasal 16 dan Pasal 19 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selanjutnya, bagi upaya penguasaan dan pemilikan diberikan hubungan hukum yang disebut sebagai hak, yang dalam hal ini hak atas tanah di WPPPK dan BS melalui Permen ATR No 17 Tahun 2016. Penataan hak pertanahan di WPPPK dilakukan melalui instrumen Permen ATR No 17 Tahun 2016, yang sebelumnya masih menunggu peraturan pemerintah seperti diamanatkan Pasal 60 PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pemberian hak atas tanah di WPPPK melalui PP No 40 Tahun 1996 masih dimungkinkan untuk dilaksanakan namun harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif.92 Sejauh ini implementasi Permen ATR No 17 Tahun 2016 berjalan tidak mudah dan cenderung mengalami stagnasi karena keterbatasan internal dan keterbatasan infrastruktur. Di lokasi tertentu 92 Pada 3 Juni 1997 diterbitkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 500-1197 Perihal Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai berisi: (1) permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut, dan (2) proses pemberian hak sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai ditangguhkan sampai dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut. Sebagai tindaklanjut dari surat edaran sebelumnya, pada tanggal 14 Juli 1997 terbit Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN 500-1698 Perihal Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai, yang berisi bahwa pemberian hak dilakukan secara berhati-hati dan selektif. 47
berjalan dengan kondisi dan dinamika yang dihadapinya tapi di lokasi tertentu yang lain berjalan lambat bahkan mungkin mandek karena adanya kendala yang ditemui. Untuk mengkaji pelaksanaan Permen ATR No 17 Tahun 2016, penelitian ini menggunakan pandangan Soerjono Soekanto mengenai 4 (empat) faktor penyebab efektivikasi aturan, yaitu: hukum, penegak hukum, infrastruktur prasarana, dan budaya hukum masyarakat. Keempat faktor itu dapat dikatakan sebagai prasyarat dasar dalam implementasi sebuat aturan. Pendapat Soejono Soekanto ini sangat memadai di samping karena pandangannya digunakan dalam pelbagai kajian, juga dapat menilai secara mudah sekaligus mendalam dari implementasi sebuah aturan. Penataan hak pertanahan ke depan terutama di WPPPK dan BS menghadapi tantangan dari segi administrasi pertanahan dan dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan sehingga dibutuhkan penataan hak pertanahan yang tepat. Penataan hak pertanahan yang tepat itu ditinjau dari pengelolaan (administrasi) pertanahan yang bertanggung jawab (responsible land management) dan pengelolaan pertanahan berkelanjutan. Konsep pengelolaan pertanahan yang bertanggung jawab dengan delapan mencakup Responsive (Tanggap), Resilient (Lenting), Robust (Kokoh), Reliable (Dipercaya), Respected (Dihormati), Retraceable (Terlacak), Recognizable (Dapat diakuti), dan Reflexive (Reflektif), digunakan untuk menilai implementasi penataan hak pertanahan berdasarkan Permen ATR No 17 Tahun 2016. Namun administrasi pertanahan dalam konteks pengelolaan pertanahan bertanggung jawab membutuhkan peran dan kerjasama dari para pihak seperti instansi pelaksana (instansi lain), masyarakat dan badan usaha swasta agar penataan hak pertanahan terlaksana dengan baik. Selain segi administrasi pertanahan itu, juga perlu memperhatikan aspek sosial (keadilan), ekonomi (pemerataan) dan lingkungan (keseimbangan) dalam rangka menjamin keberlanjutan manfaat dalam interaksi manusia-alam terutama di WPPPK dan BS. 48
Penataan hak pertanahan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab di WPPPK dan BS untuk memenuhi kebutuhan tanah di WPPPK dan BS bagi anggota masyarakat, usaha/investasi, dan kepentingan Pemerintah namun dengan pertimbangan dan mekanisme yang berbeda. Bagi anggota masyarakat (masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan masyarakat tradisional) yang telah secara turun- temurun menguasai dan menggunakan tanah tersebut kiranya dapat diberikan hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh. Penguasaan tanah secara turun-temurun itu menjusfikasi pemberian hak atas tanah yang terkuat kepadanya. Kebutuhan tanah bagi kepentingan usaha/investasi akan diberikan sesuai dengan jenis hak atas tanah yang tepat bagi kepentingan usaha. Bagi kepentingan instansi Pemerintah, kebutuhan hak atas tanah diberikan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya. Pertimbangan faktor keterbatasan WPPPK dan BS yang kiranya menjadi faktor penyerasi agar tujuan menyejahterakan masyarakat dan menjaga fungsi kelestarian lingkungan dapat terakomodasi. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Ragaan-3 berikut ini. 49
Ragaan 3. Kerangka Pikir Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga provinsi yang berada di 5 (lima) kabupaten/kota di Indonesia, yaitu: Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam di Kepulauan Riau, Kabupaten Cirebon di Provinsi Jawa Barat, dan Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah di Provinsi Kalimantan Barat. Secara berurutan masing-masing provinsi penelitian menghadirkan tiga topik kasus penelitian mengenai penguasaan/pemilikan tanah, yaitu: wilayah pesisir dan pulau kecil, tanah timbul, dan sungai besar. Ketiga lokasi provinsi dipilih 50
berdasarkan pada kebutuhan data dan informasi yang penting dan relevan dengan penelitian. Tabel 6. Lokasi Penelitian dan Topik Kasus No Topik Provinsi & Kecamatan & Desa/Kelurahan yang Kabupaten/Kota diobservasi 1 Penguasaan/ Kepulauan Riau, Kelurahan Kampung Bugis, pemilikan tanah Kota Kelurahan Senggarang dan Pulau di pesisir dan Tanjungpinang Penyengat/Kelurahaan Penyengat pulau kecil (Kecamatan Tanjungpinang Kota) Kepulauan Riau, Kelurahan Tanjungsari (Kecamatan Kota Batam Belakang Padang) 2 Penguasaan/ Jawa Barat, Desa Pangarengan (Kec. pemilikan tanah Kabupaten Pangarengan), Desa Mundupesisir timbul di pesisir Cirebon (Kec. Mundu) dan Desa Tawangsari (Kec. Losari) 3 Penguasaan/ Kalimantan Barat, Kelurahan Dalam Bugis (Kec. pemilikan tanah Kota Pontianak Pontianak Timur) dan Kelurahan di sungai besar Benua Melayu Laut (Kec. Pontianak Selatan) Kalimantan Barat, Desa Terusan (Kec. Mempawah Kabupaten Hilir) Mempawah Terdapat 10 desa dan kelurahan yang diobservasi langsung ke lapangan dalam penelitian. Kelurahan Kampung Bugis, Kelurahan Senggarang dan Pulau Penyengat/Kelurahaan Penyengat (Kecamatan Tanjungpinang Kota) Kota Tanjungpinang, dan Kelurahan Tanjungsari (Kecamatan Belakang Padang) Kota Batam di Kepulauan Riau merupakan lokasi yang diobservasi untuk kasus penguasaan permukiman. Lokasi observasi untuk tanah timbul terletak di Desa Pangarengan (Kecamatan Pangarengan), Desa Mundupesisir (Kecamatan Mundu) dan Desa Tawangsari (Kecamatan Losari) Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Kasus tanah di pinggiran sungai besar yang diobservasi terletak di Kelurahan Dalam Bugis (Kecamatan Pontianak Timur) dan Kelurahan 51
Benua Melayu Laut (Kecamatan Pontianak Selatan) di Kota Pontianak, dan Desa Terusan (Kecamatan Mempawah Hilir) di Kabupaten Mempawah B. Pengumpulan Data Penelitian Sebagai penelitian hukum-empiris, penelitian ini mengumpulkan data primer dan sekunder. Kebutuhan data primer diperoleh langsung melalui teknik wawancara mendalam (in-dept interview), diskusi kelompok, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan dengan BPN Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten dan BPN Kantor Wilayah (Kanwil) Provinsi (kepala, staf bidang terkait dan staf yang melakukan kajian), Dinas pada level Kabupaten/Kota dan Provinsi (Dinas Perumahan kabupaten, Dinas Perikanan, dan Dinas Lingkungan Hidup), dan di level desa dengan kepala desa dan masyarakat pemegang hak/penggarap tanah. Wawancara mendalam menggunakan pedoman pertanyaan yang berisi seputar keberadaan penguasaan/pemilikan tanah, pengalaman dan pengetahuan dalam penataan pertanahan, dan persoalan, harapan, masukan dalam penataan pertanahan. Informan penelitian ditentukan secara purposif, yakni: (a) pihak-pihak yang mengalami urusan melegalisasi asetnya dan/atau mempunyai kepentingan untuk melegalisasi aset tanahnya dan (b) stakeholder yang berkaitan dengan proses penataan pertanahan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan sungai besar. Diskusi kelompok dilakukan di Kanwil BPN Jawa Barat di Bagian Pengadaan Tanah yang menghadirkan Kepala Bagian, staf dan staf yang melakukan kaijan tanah timbul. Topik yang diangkat seputar pengetahuan dan pengalaman dalam penataan tanah timbul serta saran perbaikan ke depan. Sementara diskusi kelompok terfokus di Kepulauan Riau melibatkan Kanwil BPN, Kantah, dinas perikanan serta dinas terkait. Di Kalimantan Selatan diskusi kelompok terfokus menghadirkan Kanwil BPN, Kantah, Dinas Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembanganan Daerah, dan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Di Kepulauan Riau mengangkat 52
kasus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan di Kalimantan Selatan menguraikan kasus tanah di pinggiran sungai besar. Observasi langsung berlokasi di desa atau tempat yang berada kasus mengenai penguasaan/pemilikan tanah di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, tanah timbul dan tanah di piggir sungai besar. Teknik ini digunakan dalam rangka mengamati fenomena empiris dengan menggunakan seluruh panca indera untuk mendapatkan gambaran, pemaknaan dan kesan. Peneliti melihat secara langsung lokasi tanah timbul, wilayah pesisir sungai besar kecuali pulau-pulau kecil karena terkendala faktor cuaca seperti gelombang tinggi. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa berupa foto daftar subjek, objek dan peta garapan tanah timbul, dan foto surat keterangan dari desa; dari masyarakat berupa foto surat keterangan desa terkait tanah timbul; dari Kanwil dan Kantah BPN berupa soft file kajian, foto/foto copy sertipikat; dari dinas terkait soft file/hardfile kajian dan laporan. C. Analisis Data Analisis kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengalisis data primer, data sekunder dan pengamatan langsung. Inti dari analisis kualitatif terletak pada proses yang menggambarkan fenomena, mengklasifikasikannya, dan melihat bagaimana konsep saling berhubungan (kronologis, sekuensial naratif dan sebab-akibat antar-konsep).93 Data sekunder dianalisis menggunakan metode content analysis.94 Sejumlah data sekunder bersumber 93 Analisis kualitatif dapat dilihat sebagai proses sekuensial tunggal dan sebagai spiral berulang, lihat Ian Dey, Qualitative data analysis: A user-friendly guide for social scientists, (USA and Canada: Routledge, 1993), hal. 31 dan 52-54 94 Downe‐Wamboldt menyebut analisis konten adalah metode penelitian yang menyediakan sarana yang sistematis dan obyektif untuk membuat kesimpulan yang valid dari data verbal, visual, atau tertulis untuk menggambarkan dan mengukur fenomena tertentu. Metode ini mengungkap seputar makna, niat, konsekuensi, dan konteks. Analisis konten, menurut Elo & Kynga¨s, dilakukan dengan tiga fase utama: persiapan, perorganisasian (seperti coding, kategori dan abstraksi) dan pelaporan. Lihat, Barbara Downe‐Wamboldt RN, “Content analysis: Method, applications, and issues”, Health Care for Women International, 13:3, 1992, 313-321, dan Satu Elo & Helvi Kynga¨s, “The qualitative content analysis process”, Journal of Advanced Nursing 62(1), 2008, 107–115. 53
dari berbagai aturan hukum dan aturan kebijakan dicermati ketentuan- ketentuannya yang dipandang tidak efektif terlaksana di lapangan. Selanjutnya, data primer dianalisis untuk mengetahui pemahaman hukum terhadap aturan hukum mengenai penguasaan dan pemilikan tanah di WPPPK dan SB serta aspirasi para informan terhadap aturan hukum mengenai penataan pertanahan di WPPPK dan SB. Dari data primer dan sekunder itu pula, peneliti menganalisis bentuk penataan pertanahan di WPPPK dan SB yang berlangsung di lapangan dan yang tersusun dalam kerangka aturan. Kedua kondisi penataan pertanahan itu perlu diketahui dengan baik agar dapat direspon secara memadai ke depan. IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran lokasi penelitian ini untuk menunjukkan latar dan konteks geografis, sosial dan ekonomi yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan topik dalam penelitian. Pengaturan dan penataan WPPPK dan BS perlu menginsafi kondisi geografis, sosial dan ekonomi untuk memperoleh kedalaman dan keluasan perspektif dan isu kritikal. Keberadaan sungai yang berhilir di wilayah pesisir pada kondisi geografis darat dan laut di wilayah administratif tertentu sangat potensial membentuk tanah timbul. Keberadaan penduduk dan pertumbuhannya di suatu komunitas/masyarakat dalam rentang waktu tertentu di sekitar/dekat wilayah pesisir dan pulau kecil beserta aktivitas ekonominya dan nilai-nilai sosial-budaya secara turun-temurun tanpa disertai lahan yang cukup di daratan dan perencanaan yang memadai, maka diperkirakan terjadi pertambahan permukiman di wilayah pesisir dan kemungkinan besar terjadi tekanan di wilayah pesisir. Upaya-upaya dalam pengaturan dan penataan tanah di WPPPK dan SB minimal harus mengetahui latar dan konteks geografis, sosial dan ekonomi di suatu lokasi tertentu. Observasi lapangan di satu desa/kelurahan mempunyai keserupaan masalah dengan situasi desa/kelurahan lain di wilayah administrasi tersebut. Sebuah kebijakan dan peraturan yang disusun tanpa pemahaman yang memadai terhadap kondisi geografis, sosial dan ekonomi, maka diindikasikan tidak akan berjalan efektif. 54
A. Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam dan Kondisi Pertanahan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1. Sekilas Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau Wilayah administratif Kota Tanjungpinang mempunyai luas 258,82 km2 yang terdiri atas 150,86 km2 daratan dan 107,96 km2 lautan serta terdapat sembilan pulau (4 berpenghuni dan 5 tidak berpenghuni). Kota Tanjungpinang tahun 2018 terbagi wilayah administrasi yang lebih kecil, yaitu: 4 kecamatan, 18 kelurahan, 168 RW, dan 680 RT. Kecamatan di Kota Tanjungpinang mencakup Bukit Bestari, Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang Kota, dan Tanjungpinang Barat. Dari empat kecamatan pesisir itu terdapat 15 kelurahan pesisir, yaitu: Dompak, Batu Sembilan, Sei Jang, Tanjung Ayun Sakti, Kampung Baru, Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Kota, Penyengat, Kemboja, Tanjung Unggat, Kampung Bulang, Melayu Kota Piring, Kampung Bugis, Senggarang, dan Kampung Bugis. Di Provinsi Kepulauan Riau sendiri desa/kelurahan pesisir terbanyak di Indonesia pada tahun 2018 terdapat 416 desa/kelurahan pesisir. Selain itu, di provinsi ini juga ada 1.788 pulau kecil yang telah diverifikasi sementara.95 95 BPS, Statistik Potensi Desa Indonesia 2018, (Jakarta: BPS, 2018) 55
Sumber: BPS Kota Tanjungpinang Gambar 5. Peta Kota Tanjungpinang Dengan luas administrasi Kota Tanjungpinang itu, penduduknya sebesar 209.280 jiwa pada tahun 2018 dan jumlah penduduk tersebar secara merata pada setiap kecamatan.96 Penduduk di Tanjungpinang berasal dari ragam etnisitas yang dalam proses yang panjang selanjutnya membentuk nilai budaya akulturasi Melayu Cina Bugis.97 Saat ini kepadatan penduduk setiap kecamatan bervariasi dengan kecamatan terpadat di Tanjungpinang Barat 10.088 jiwa/km2 dengan penduduk sebanyak 46.607 jiwa berada di 4,62 km2. Kecamatan padat selanjutnya Tanjungpinang Timur 1.394 jiwa/km2 dan Bukit Bestari serta Tanjungpinang Kota masing-masing dengan 1.312 jiwa/km2 dan 453 jiwa/km2. Dilihat dari jumlah angkatan kerja sebanyak 96 BPS Kota Tanjungpinang, Kota Tanjungpinang Dalam Angka 2019, (Tanjungpinang: BPS, 2019). 97 National Geographic, Kisah Rumah Letnan Tan Soe Kie di Pecinan Senggarang Tanjungpinang, (diakses di https://nationalgeographic.grid.id/read/131748313/kisah-rumah-letnan- tan-soe-kie-di-pecinan-senggarang-tanjungpinang?page=all tanggal 4 Desember 2020). 56
94.121 jiwa di Kota Tanjungpinang pada tahun 2018, sekitar sekitar 94,51 % telah bekerja.98 Keberadaan pengangguran terbuka tercatat hanya 5,49 % dari angkatan kerja. Dari penduduk yang bekerja, sebagian besar sekitar 35,14 % bekerja di sektor jasa, dan sekitar 30,77 % bekerja di sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi. Saat ini kelurahan-kelurahan yang terletak di wilayah pesisir dan pulau kecil terdapat kebiasaan umum mengenai rumah pelantar di Kota Tanjungpinang. Rumah pelantar di Kota Tanjungpinang bukan fenomena yang baru terjadi tapi berdasarkan catatan sejarah rumah pelantar setidaknya telah terekam pada tahun 1951 khususnya di Penyengat.99 Bila rumah pelantar terekam dengan foto pada tahun itu, diperkirakan rumah pelantar telah menjadi kebiasaan permukiman jauh sebelum itu. Rumah-rumah pelantar tidak hanya diperuntukkan permukiman tapi juga kegiatan usaha. Sebagian besar penduduk mempunyai hak pemilikan atas rumah pelantar tersebut. Di Tanjugpinang termasuk daerah pelantar terdapat situs-situs bersejarah seperti kerajaan, kota tua dan lain sebagainya yang menarik untuk lokasi wisata. Namun kondisi rumah pelantar menghadapi persoalan lingkungan kumuh saat ini, dan juga mengalami pertumbuhan penduduk yang padat. Melalui Keputusan Walikota Tanjungpinang Nomer 377 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Tajungpinang, terdapat 7 lokasi kumuh, seluas 150,41 ha, yaitu: Pantai Impian, Kelurahan Kampung Baru; Lembah Purnama, Kelurahan Tanjung Ayun Sakti; Sungai Nibung Angus, Kelurahan Tanjungpinang Timur; Kelurahan Tanjung Unggat; Pelantar Sulawesi; Kampung Bugis, Kelurahan Kampung Bugis; dan Senggarang, Kelurahan Senggarang. Untuk mengurangi dan mengatasi lingkungan kumuh itu, terdapat 7 desa/kelurahan sebagai lokasi peningkatan kualitas permukiman kumuh, dan 11 desa/kelurahan sebagai lokasi pencegahan tumbuh dan berkembangnya permukiman kumuh 98 BPS Kota Tanjungpinang, Kota Tanjungpinang Dalam Angka 2019, (Tanjungpinang: BPS, 2019). 99 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Citra Tanjungpinang dalam Arsip, (Jakarta: ANRI, 2015). 57
di Kota Tanjungpinang yang menjadi lokasi program kota tanpa kumuh melalui Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya Nomer 110/KPTS/DC/2016 tentang Penetapan Lokasi Program Kota Tanpa Kumuh. Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau merupakan bagian dari paparan Kontinental yang mempunyai luas wilayah daratan mencapai 1.038,84 km2 dan luas wilayah perairannya 2.791,09 km2. Wilayah administrasi kecamatan terdapat 12 kecamatan yang terbagi dalam 60 kelurahan, yaitu: Belakang Padang, Bulang, Galang, Sungai Beduk, Sagulung, Nongsa, Batam Kota, Sekupang, Batu Aji, Lubuk Baja, Batu Ampar dan Bengkong. Sumber: BPS Kota Batam Gambar 6. Peta Kota Batam Jumlah penduduk Kota Batam sebanyak 1.329.773 jiwa yang terdiri atas laki-laki 678.068 jiwa dan perempuan 651.705 jiwa pada tahun 2018.100 Mengacu pada perhitungan Proyeksi Penduduk Indonesia BPS 2010-2035 100 BPS Kota Batam, Kota Batam Dalam Angka 2019, (Batam: BPS, 2019). 58
penduduk Kota Batam pada tahun 2018 pertumbuhan penduduk tercatat 3,63% per tahun sejak dilaksanakan Sensus Penduduk tahun 2010. Petumbuhan penduduk ini menambah kepadatan penduduk wilayah dan berdampak pada kebutuhan lahan untuk permukiman dan aktivitas berusaha/bekerja. Kepadatan penduduk Kota Batam mencapai 1.280 jiwa/km2 dengan kecamatan terpadat di Kecamatan Bengkong sebesar 8 317 dan kurang padat di Kecamatan Galang sebesar 45 jiwa/km2. Mengacu pada BPS Kota Batam, dari angkatan kerja berjumlah 604.831 orang, sebanyak 550.813 bekerja dan sebanyak 54.018 pengangguran. Lapangan pekerjaan yang lakukan: pertanian sebanyak 10.540 orang, industri pengolahan 239.971 orang dan jasa 300.302 orang. Jumlah pulau di Kota Batam sebanyak 371 pulau.101 Pulau-pulau yang tersebar di Kota Batam itu merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia/Pulau Singapore di bagian utara sampai dengan pulau-pulau Moro dan Kundur serta Karimun di bagian Selatan. pulau-pulau itu tersebar di enam wilayah administrasi kecamatan. Tabel 7. Kecamatan dan Jumlah Pulau di Kota Batam No Kecamatan Jumlah pulau Tinggi Jarak ke ibukota (km) 1 Belakangan Padang 141 10 35 2 Bulang 86 5 35 3 Galang 100 5 60 4 Sungai Beduk 4 5 20 5 Nongsa 24 15 20 6 Sekupang 16 5 30 Kota Batam 371 20 15 Sumber: BPS Kota Batam (2019) Dari jumlah pulau di atas di Kota Batam terdapat lima pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan dengan negara lain, yaitu: Berakit, Nipa, Pelampung, 101 BPS Kota Batam, Kota Batam Dalam Angka 2019, (Batam: BPS, 2019). 59
Putri/Nongsa, dan Batu Berantai.102 Pulau-pulau tersebut sebagai titik garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) ATR/BPN103 mengenai penguasaan pulau-pulau di Kota Batam menemukan tanah pada pulau Lengkana (41 ha) di Kelurahan Tanjung Sari Kec. Belakang Padang dan Pulau Bulan (10.000 ha) di Kelurahan Batu Legong Kec. Bulang masing- masing secara berurutan dikuasai oleh Badan hukum dengan HGB seluas 41,2009 ha dan diindikasikan holding badan hukum dengan HGB seluas 3.986,4389 ha. 2. Rumah Bertiang Pancang pada Tanah yang Tertutup Air dan Penguasaan Pulau Kecil Rumah pelantar merupakan istilah yang digunakan untuk bangunan permukiman dan/atau bangunan usaha berfondasi tiang pancang (kayu atau beton) ke tanah di dasar laut atau tertutup air laut, yang memiliki akses jalan pelantar dari dan menuju permukiman. Rumah pelantar dikenal pula dengan istilah rumah di atas air sebagai bentuk adaptif terhadap kondisi ekologi perairan pesisir setempat, yang banyak ditemukan di wilayah pesisir Kepulauan Riau seperti di Kelurahan Kampung Bugis, Kelurahan Senggarang dan Kelurahan Penyengat Kecamatan Tanjungpinang Kota Tanjungpinang, dan di Kelurahan Tanjungsari Kecamatan Belakang Padang Kota Batam. Tipe rumah pelantar telah ada sejak lama, dan penduduk telah tinggal secara turun- temurun serta membentuk komunitas/masyarakat di tempat tersebut. Perairan pesisir merupakan ruang penghidupan mereka di antaranya untuk tempat permukiman, tempat perekonomian dan tempat sosial budaya dengan saling terkoneksi yang sangat dekat dengan perairan pesisir dan sumberdayanya. 102 BPS, Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir, (Jakarta: BPS, 2017). Berdasarkan Keputusan Presiden Nomer 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, di Kepulauan Riau terdapat 22 pulau, yaitu: Pulau Berakit, Pulau Sentut, Pulau Tokong-malang-biru, Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong-nanas, Pulau Tokong-berlayar, Pulau Tokong-boro, Pulau Semiun, Pulau Sebetul, Pulau Sekatung, Pulau Senua, Pulau Subi Kecil, Pulau Kepala, Pulau Tokong-hiu Kecil, Pulau Karimun-anak, Pulau Nipa, Pulau Pelampung, Pulau Batu- berantai, Pulau Putri, Pulau Bintang, dan Pulau Malang-berdaun. 103 Puslitbang BPN, Penelitian Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Pulau-Pulau Kecil. (Bogor: Puslitbang BPN, 2014). 60
Sumber: Foto Peneliti Gambar 7. Desa/Kelurahan di Kota Tanjungpinang Bangunan-bangunan rumah di empat kelurahan tersebut sebagian besar telah diberikan Hak Pakai. Bangunan untuk kegiatan usaha seperti pertokohan diberikan Hak Guna Bangunan. Jenis hak yang diberikan tidak hanya hak pakai dan hak guna bangunan tapi juga diberikan hak milik. Penduduk di kelurahan tersebut telah bertempat tinggal secara turun-temurun dan mewarisi ruang penghidupan berupa kebiasaan sosial dan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keberadaan permukiman pelantar di tiga kelurahan di Tanjungpinang tersebut tercantum dalam Perda Kota Tanjungpinang No 3 Tahun 2018 tentang RDTR dan PZ 2018-2038 yang masuk dalam sub Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) TK. 1, TK. 2 dan TK. 4. Permukiman pelantar terletak pada kawasan budidaya dengan Zona perumahan dan Subzona perumahan pesisir. 61
Tabel 8. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya di Tiga Kelurahan di Tanjungpinang Kawasan Kelurahan Kelurahan Kampung Kelurahan lindung Senggarang Bugis Penyengat kawasan dan budidaya Sub BWP TK.1 Sub BWP TK.4 seluas 1.518.72 ha Sub BWP TK.2 seluas seluas 91,78 ha Zona Subzona sempadan 2.341,14 ha Subzona Perlindungan sungai 6,15 ha; mangrove 1,39 ha setempat Subzona mangrove Subzona sempadan pantai 91,86 ha 15,09 ha; Subzona Zona RTH Kota sempadan sungai 51,26 Subzona taman Subzona taman kota ha; Subzona mangrove kota 1,07 ha 85,98 ha 196,29 ha - Subzona jalur hijau Subzona taman kota luas 5,43 ha 23,04 ha Subzona 0,11 Subzona pemakaman Subzona jalur hijau 14,37 pemakaman 2,14 ha ha ha Subzona pemakaman - Subzona Hutan Kota 0,39 ha 39,49 ha Zona cagar - Subzona Hutan Kota 60,14 ha budaya 108,52 ha Zona hutan 17,90 ha; 20,60 ha produksi Zona hutan 203,61 ha - - produksi Zona perumahan subzona perumahan 276,55 ha - kepadatan sedang 240,63 ha subzona perumahan - Subzona perumahan kepadatan rendah kepadatan sedang 70,46 ha 1.079,24 ha Subzona perumahan pesisir 11,30 ha Subzona perumahan Subzona perumahan 370,07 ha kepadatan rendah kepadatan rendah 13,32 ha 114,45 ha 0,98 ha Subzona perumahan pesisir subzona pendidikan Subzona perumahan 8,98 ha 10,87 ha - pesisir 8,96 ha Subzona kesehatan Zona 0,05 ha 124,31 ha perdagangan Subzona peribadatan dan jasa 124,10 ha - Zona perkantoran subzona pendidikan subzona Zona sarana 5,48 ha pendidikan 1,64 pelayanan ha umum Subzona kesehatan Subzona 0,65 ha kesehatan 0,14 ha Subzona peribadatan 0,04 - 62
Zona pariwisata 1,59 ha ha Subzona Zona industri Subzona transportasi Subzona transportasi 0,45 transportasi 0,44 dan 12,69 ha ha ha pergudangan Subzona utilitas Zona khusus Subzona utilitas 0,74 Subzona utilitas 0,01 ha 0,25 ha ha 1,03 ha 162,00 ha - - - Subzona industi 18,60 ha - Pangkalan TNI AL - 0,02 ha Ruang evakuasi Taman budaya Raja Aula Perkantoran Balai Adat Indra bencana Ali Haji, Aula Senggarang (Gedung Sakti dan Universitas Maritim Wanita) Lapangan Bola Raja Ali Haji, Aula Indra Sakti SMA 06 Tanjungpinang, Aula Perkantoran Senggarang (Gedung 5 Lantai) Sumber: Perda Kota Tanjungpinang No 3 Tahun 2018 tentang RDTR dan PZ 2018-2038 Di Senggarang terdapat subzona perumahan pesisir 11,30 ha, dan di Kampung Bugis Subzona perumahan pesisir seluas 8,96 ha. Tidak berbeda jauh dengan itu, seluas 8,98 ha sebagai Subzona perumahan pesisir di Penyengat. Selain kawasan budidaya, di tiga kelurahan ini juga terdapat kawasan lindung di pesisir. Misalnya, Subzona sempadan pantai 15,09 ha dan Subzona mangrove 196,29 ha di Kampung Bugis. Sementara itu, di Senggarang dan Penyengat hanya ada Subzona mangrove yang masing- masing seluas 91,86 ha dan 1,39 ha. Di Kampung Bugis dan Penyengat terdapat zona cagar budaya masing-masing seluas 20,60 ha dan 60,14 ha. Sejak tahun 2015 SKGR tidak dikeluarkan lagi karena Penyengat masuk dalam kawasan cagar budaya. Berdasarkan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya, Pasal 13 menyebutkan bahwa “Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun- temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.” PP No 16 Tahun 2004 Pasal 11 (2) menyebut secara spesifik terkait hak atas tanah di cagar budaya bahwa 63
“Terhadap tanah dalam kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali pada lokasi situs.” Persoalan lingkungan yang dihadapi oleh penduduk yang bermukim di rumah pelantar di antaranya pencemaran air dan sampah. Dua masalah besar ini dapat dilihat secara kasat mata terutama di Senggarang dan Kampung Bugis sehingga memberi kesan kumuh dan kotor pada bangunan dan masyarakat yang tinggal di tempat itu. Senggarang Kampung Bugis Sumber: Foto peneliti Gambar 8. Sampah di Kelurahan Senggarang dan Kampung Bugis Pada tahun 2014 terdapat keputusan Walikota Tanjungpinang berisi 7 lokasi yang ditetapkan sebagai lingkungan permukiman dan perumahan kumuh di antaranya Kapung Bugi, Kelurahan Kampung Bugis dan Senggarang, Kelurahan Senggarang. Melalui kegiatan Padat Karya Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), maka dilakukan pola pemugaran (daripada pola peremajaan dan pola permukiman kembali) dengan konsep ‘penataan kawasan permukiman pesisir berwawasan lingkungan’ di Kampung Bugis (33,77 ha) dan konsep ‘penataan kawasan permukiman pesisir mendukung wisata budaya’ di Senggarang (27,37 ha).104 104 “Kotaku: Kota Tanpa Kumuh”, (diakses di kotaku.pu.go.id/view/8359/senggarang-goes- to-the-terrace-of-tanjungpinang pada tanggal 16 November 2020), dan “Pengembangan Kawasan 64
Sumber: Foto peneliti Gambar 9. IPAL Komunal dan Pipa Saluran di Kampung Bugis Sejauh ini, terdapat inovasi dalam mengatasi persoalan isu lingkungan seperti pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal di Kampung Bugis. IPAL komunal yang mampu untuk mengolah limbah cair (kotoran manusia dari WC, sisa pencucian rumah tangga dan kamar mandi) ini digunakan secara bersama-sama. Pipa-pipa yang melewati bangunan rumah dialirkan pada IPAL Komunal. Di Kampung Bugis juga dibuat pelantar permanen oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai akses jalan sekaligus pembatas agar bangunan tidak menyebar atau tertata dalam satu hamparan. Hak tenurial warga yang bermukim di bangunan pelantar dilindungi dengan kepastian hak sekaligus memberikan perbaikan akses fasilitas umum dengan ragam inovasinya untuk merespon kebutuhan sehari- hari. Sementara itu, Pulau Pengalap sebagai salah satu gugusan pulau Abang di Galang, Kepulauan Riau saat ini dimanfaatkan untuk wisata. Kawasan wisata di Pulau Pengalap bernama Kepri Coral diusahakan oleh PT PBE. Dengan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut dari Gubernur pada tahun 2018, fasilitas wisata yang telah dibangun oleh perusahaan di antaranya Permukiman”, (diakses di sipkp.ciptakarya.pu.go.id/internal/page/record/view/?id=834&data=11 tanggal 16 November 2020). 65
restoran apung, ponton flying fox, ponton snorkeling/diving, dan saranan/prasarana lainnya. Pulau Pengalap seluas 334,78 ha yang terletak di Desa/Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang diusulkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pulau Pengalap juga termasuk bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Kota Batam (Taman Wisata Perairan Pulau Abang) seluas 66.867 Ha. Tidak hanya Kepri Coral yang diusahakan, PT tersebut sedang mengurus izin lokasi di Pulau Pengelap. Berdasarkan pertimbangan teknis BPN tahun 2020 untuk perizinan teknis, saat ini PT PBE mengajukan permohonan tanah seluas 1.470.000 m2 untuk fungsi pariwisata. Namun yang disetujui seluas + 1.221,852 m2 dan disetujui bersyarat + 191,342 m2 dengan rincian pariwisata + 847.916,4 m2 (60%), kantor dan fasilitas pendukung lainnya + 423.958,2 m2 (10%) dan pusat kebugaran dan failitas pendukung lainnya + 141.319,4 m2 (10%). Pemanfaatan usaha wisata pada ruang darat oleh badan hukum di suatu pulau di atas perlu memperhatikan alokasi 30 % dikuasai oleh negara dan 70% dikuasai oleh individu/pelaku usaha. Berbeda kondisi rumah pelantar di Tanjungpinang, bangunan permukiman penduduk di Kampung Tua, Batam belum tersedia pelantar sebagai pembatas untuk jalan maupun untuk pengendalian permukiman. Penduduk menggunakan tranportasi perahu ke rumah dan antar-rumah. Permukiman dan lingkungan di Kampung Tua terlihat lebih semrawut dengan bangunan rumah berpencar-pencar. Kondisi permukiman seperti ini perlu ditata agar terlihat lebih rapi dan memberikan kenyamanan bagi penduduk setempat yang tinggal. Gambar 10. Bangunan Rumah Pelantar di Kampung Tua, Batam 66
Bangunan-bangunan rumah yang berdiri saat ini pada umumnya menggunakan kayu sebagai tiang pancang ke dasar laut. Bangunan rumah sebagian telah memperolah hak berupa Hak Pakai selama 19 tahun. B. Kabupaten Cirebon dan Tanah Timbul 1. Sekilas Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat Kabupaten Cirebon mempunyai wilayah administratif seluas 1.070,29 Km2 dengan pembagian wilayah adminitratif 40 Kecamatan, 412 Desa dan 12 Kelurahan. Garis pantai Kabupaten Cirebon sepanjang + 77,97 Km. Kabupaten Cirebon dialiri oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sungai- sungai yang mengalir ke Laut Jawa. DAS di Kabupaten Cirebon meliputi DAS Ciwaringin, DAS Kalibunder, DAS Bangkaderes dan DAS Cisanggarung, yang termasuk Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung.105 Sungai-sungai yang mengalir dan bermuara ke Laut Jawa berkontribusi membawa bahan material seperti tanah sehingga terjadi proses sedimentasi dan terbentuknya tanah timbul. Kondisi gelombang air laut dan tanah pantai juga berperanan dalam terbentuknya tanah timbul di wilayah pesisir. Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2018 penduduk Kabupaten Cirebon sebanyak 2.176.213 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1.115.296 jiwa dan perempuan 1.060.917 jiwa. Kepadatan Penduduk di 40 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Tengahtani dengan kepadatan sebesar 6.076 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Pasaleman sebesar 658 jiwa/Km2.106 Jumlah angkatan kerja Kabupaten Cirebon hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2018 sebanyak 995.946 orang,107 yang bekerja sebanyak 890.762 (89,44%) dan pengangguran terbuka sebanyak 105.184 (10,56%). Dari yang bekerja itu, terbanyak (32,37 %) bekerja di sektor perdagangan dan yang paling kecil (9,82 %) bekerja di sektor pertanian. tingkat kemiskinan di Kabupaten 105 Dalam dokumen RTRW Kabupaten Cirebon 2011-2031 di Kabupaten Cirebon tercatat 54 sungai, dan 15 DAS. 106 BPS Kabupaten Cirebon, Kabupaten Cirebon Dalam Angka 2019, (Cirebon: BPS, 2019). 107 Ibid. 67
Cirebon tahun 2018 mencapai 10,70 persen, yang turun dari Tahun sebelumnya sebesar 12,97 persen. Dari 40 kecamatan di Kabupaten Cirebon, sebanyak 8 kecamatan pesisir yang menghadap secara langsung dengan Laut Jawa, yaitu: Kapetakan, Suranenggala, Gunungjati, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang dan Losari. Desa-desa pesisir (yang berbatasan langsung dengan laut) di Kabupaten Cirebon di antaranya Tawangsari, Kalirahayu, Kalisari dan Ambulu di Kecamatan Losari; Melakasari, Pelayangan, Gebangilir, Gebang Kulon dan Kalipasung di Kecamatan Gebang; Ender, Pangenan, Bendungan, Rawaurip, Pangarengan dan Astanamukti di Kecamatan Pangenan; Astanajapura, Kanci, dan Kanci Kulon di Kecamatan Astanajapura; Waruduwur, Citemu, dan Mundupesisir di Kecamatan Mundu; Pasidangan, Jadimulya, Klayan, Jatimerta, Kalisapu dan Kertasingan di Kecamatan Gunungjati; Muara, Karangreja dan Suranenggala Lor di Kecamatan Suranenggala; dan Bungko dan Bungko Lor di Kecamatan Kapetakan. Sebagian desa-desa pesisir ini menjadi lokasi muara sungai-sungai di Cirebon. Sebagai desa pesisir dan menjadi muara sungai-sungai, maka tak pelak desa-desa itu mengalami proses abrasi dan akresi. Dinamika proses abrasi dan akresi pada wilayah desa pesisir ini disebabkan di antaranya bahwa sepanjang garis pantai Cirebon pada umumnya terbentuk dari endapan lumpur walaupun di beberapa lokasi masih dijumpai pantai berpasir dan pantai berhutan bakau,108 dan pola arus dan arah gelombang yang dominan.109 Astjario dan Harkins110 menyebut tiga tipe pantai di Cirebon, yaitu: Tipe 1 pantai berlumpur (hitam kecoklatan). Tipe ini mendominasi kawasan pesisir pantai timur Kabupaten Cirebon terutama di kawasan pantai Kecamatan Mundu hingga Kecamatan Losari. Tipe 2 pantai berbakau yang tumbuh langka di beberapa lokasi. Pantai berbakau ini memiliki lumpur yang 108 P. Astjario dan FX. Harkins, “Penelitian Lingkungan Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon, Jawa Barat”, Jurnal Geologi Kelautan, Vol. 3, No. 2, Agustus 2005 : 19 – 26. 109 Aida Heriati dan Semeidi Husrin, “Perubahan Garis Pantai di Pesisir Cirebon Berdasarkan Analisis Spasial”, Reka Geomatika, No.2, Vol. 2017, 52-60. 110 P. Astjario dan FX. Harkins Op.cit., 68
tergenang berwarna hitam abu-abu. Tipe 3 pantai berpasir yang mendominasi kawasan pesisir utara Kota Cirebon. Tiga tipe pantai ini menghasilkan abrasi dan akresi tergantung di antaranya pada gerakan arus perairan laut. Dengan tiga tipe pantai itu, Heriati dan Husrin111 memperdalam analisis abrasi- sedimentasi bahwa proses erosi-sedimentasi yang terjadi di pesisir Cirebon disebabkan oleh pola arus laut dan kesejajaran pantainya, kondisi gelombang, tipe pantai, serta kondisi pantainya. Laju erosi dan sedimentasi tertinggi terjadi di Kecamatan Losari (Kabupaten Cirebon), yaitu: 0,4 km2/tahun dan 0.09 km2/tahun sedangkan laju erosi terendah di Kecamatan Lemahwungkuk (Kota Cirebon) 490 m2/tahun dan laju sedimentasi terendah terdapat di Kecamatan Cirebon Utara (Kota Cirebon) 460 m2/tahun. Adanya akresi melalui proses sedimentasi, yang kemudian terbentuk tanah timbul, di pesisir pantai Kabupaten Cirebon tercatat berdasarkan data Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Cirebon tahun 2019 terdapat di empat kecamatan, yaitu: Mundu, Pangenan, Gebang dan Losari seluas 1.069,7 hektar (ha). Dari 19 desa di empat kecamatan itu, terdapat Desa Bandengan dan Desa Gebang Mekar yang bukan desa yang berbatasan langsung dengan pesisir. Tabel 9. Desa dan Luas Tanah Timbul No Desa Luas (Ha) Kecamatan Luas (Ha) Mundu 92,5 1 Mundupesisir 27,5 2 Bandengan 15 Pangenan 455,2 3 Citemu 25 4 Waruduwur 25 Gebang 140 5 Pangenan 50 6 Ender 20 7 Rawaurip 126 8 Bendungan 9,2 9 Pangarengan 250 10 Melakasari 20 11 Playangan 20 12 Gebang Kulon 40 13 Gebang Ilir 15 14 Gebang Mekar 20 15 Kalipasung 25 111 Aida Heriati dan Semeidi Husrin Op.cit. 69
No Desa Luas (Ha) Kecamatan Luas (Ha) 457 16 Tawangsari 237 Losari 1.069,7 17 Kalisari 150 18 Kalirahayu 20 19 Ambulu 50 Total 1.069,7 Sumber: Kantah BPN Kabupaten Cirebon (2019) Tanah timbul terluas berada di Pangarengan (250 ha), yang diikuti dengan Tawangsari (237 ha) dan Kalisari (150 ha). Sementara luas terkecil tanah timbul terletak di Bendungan (9,2 ha) dan Gebang Ilir (15 ha). Tanah timbul di tiga desa sebagai lokasi penelitian sebagai berikut: (1) Pangarengan (Kec. Pangenan) luas tanah timbul 250 ha; (2) Desa Mundupesisir (Kec. Mundu) luas tanah timbul 27,5 ha, dan (3) Desa Tawangsari (Kec. Losari) luas tanah timbul 237 ha. Berdasarkan data inventarisasi dan pemetaan dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Cirebon tahun 2019112 bahwa jumlah tanah timbul di empat desa, yaitu: Citemu 6 bidang di Dusun Tajug Timur (Blok 1); Bandengan 4 bidang di Dusun 1 Karang Pande dan Dusun 2 Blok Lewu Timur; Mundupesisir 39 bidang di Dusun Karang Rembang; dan Waruduwur 2 bidang. Data dari Pemerintah Desa Mundupesisir juga menyebutkan bahwa luas tanah timbul di Mundupesisir sekitar 14,429 m2 dengan jumlah penggarap sebanyak 50 orang/lembaga.113 2. Pengaturan Tanah Timbul di Tiga Desa: Sebuah Inisiatif? Pemerintah desa dan masyarakat desa pesisir di tiga lokasi penelitian (Desa Pangarengan, Desa Mundupesisir dan Desa Tawangsari) melakukan pengaturan terhadap tanah timbul. Pengaturan tanah timbul itu setidaknya terkait aspek pembentukan tanah timbul, penguasaan garapan tanah timbul dan administrasi garapan tanah timbul. Aspek-aspek yang diatur pada tanah timbul yang dimaksud di sini tidak sepenuhnya bermakna bahwa secara keseluruhan tanah timbul diatur secara “resmi” oleh pemerintah desa tapi di 112 Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Cirebon, Laporan Akhir Inventarisasi dan Pemetaan Tanah Timbul Kabupaten Cirebon. Cirebon: PT Itergo Buana Utama, 2019. 113 Data Pemerintah Desa Mundupesisir yang dilengkap dengan gambar sketsa tanam timbul. 70
masyarakat desa juga terdapat kebiasaan yang membentuk sebuah pola interaksi dalam memperlakukan tanah timbul. Kebiasaan di masyarakat desa dan di pemerintah desa terkait tanah timbul ini menciptakan sebuah pola/bentuk pengaturan tentang dan terkait tanah timbul. Pola pengaturan tanah timbul tiap desa untuk tiga desa mempunyai kesamaan, keserupaan dan perbedaan. 1) Pembentukan tanah timbul Tanah timbul di tiga desa pesisir berasal dari proses sedimentasi material (seperti tanah) yang terbawa dalam aliran sungai ke hilir sungai yang terletak di wilayah pesisir. Proses sedimentasi ini ditunjang oleh lingkungan pesisir seperti pola angin dan air laut dan lain sebagainya. Di Desa Mundupesisir terdapat aliran sungai Kalijaga dan Sungai Mundu, di Desa Pangarengan dilewati Sungai Singaraja dan di Desa Tawangsari juga terdapat Sungai Cisanggarung. Sedimentasi material dari sungai itu tidak hanya berupa tanah tapi juga sampah plastik seperti di Sungai Singaraja. Selama proses sedimentasi secara alamiah, pembentukan tanah timbul ini ditunjang dan disertai juga oleh upaya-upaya (pekerjaan) manusia dengan membuat tanggul pembatas dan membuat petak tambak. Tanggul dan petak sawah yang diupayakan itu tidak terbentuk secara langsung karena tanggul dapat roboh akibat hantaman air laut. Tanggul yang roboh harus dibangun kembali. 71
Sumber: Foto Peneliti Gambar 11. Pembentukan Tanah Timbul Melalui Pembuatan Tanggul dan Tambak Orang/kelompok masyarakat yang bermaksud/berencana menguasai atau memegang garapan pada tanah timbul, maka harus membuat petakan tambak dan tanggul dengan tanah yang timbul itu dan harus memberitahukan kepada pemegang garapan tambak di sekeliling/berbatasan secara langsung. Hal ini agar terjadi saling pemahaman antara pemegang garapan tambak di sekelilingnya dengan calon pemegang garapan tambak. Siapapun dapat memegang dan menguasai garapan tanah timbul asalkan mempu bekerja keras membuat tanggul dan petak tambak secara berturut sehingga menjadi tambak dengan luasan tertentu. 2) Penguasaan garapan Tanah timbul dikuasai dengan garapan oleh individu, kelompok masyarakat dan pemerintah desa. Penguasaan garapan tanah timbul bervariasi mulai dari di bawah 100 m2 hingga di atas 100m2. Pengalihan garapan tanah timbul juga terjadi dengan istilah ‘ganti rugi’, yang menunjukkan perpindahan penguasaan atas garapan antara para pihak melalui tanda bukti kuitansi atau tanpa kuitansi dengan mengganti biaya pembuatan tanah timbul. Sebab tanah timbul bukan semata-mata tanah yang terbentuk melalui proses sedimentasi secara alamiah tapi juga ada proses campur tangan tenaga 72
manusia dengan membuat tanggul petak, menggali tanah timbul dan terkadang menebang bakau sehingga menjadi petakan tambak. Tanah timbul yang telah berubah menjadi tambak itu membutuhkan biaya sekitar Rp 50.000.000 s.d. Rp 70.000.000 untuk ukuran tambak 50 m x 145 m. Perpindahan penguasaan garapan melalui ganti rugi tak terhindarkan adanya konsentrasi penguasaan garapan tanah timbul pada sedikit orang. Penguasaan garapan terhadap tanah timbul pada tahap awal oleh orang luar desa dilarang di seluruh desa namun praktik jual beli (dengan istilah ganti rugi) dengan pihak luar desa dapat dilakukan. Contoh kasus, saat ini perlahan-lahan berlangsung pembebasan dan pengukuran tanah di pesisir di Desa Pangarengan termasuk tanah timbul yang dilakukan oleh dua perusahaan dalam rangka perluasan usaha dan pembukaan usaha baru. Pada umumnya penguasaan garapan tanah timbul digunakan untuk tambak (garam dan ikan bandeng), permukiman dan areal bakau (sekaligus tempat wisata). Penggunaan ini tergantung pada lokasi tanah timbul. Berbatasan langsung atau dalam area pesisir pantai digunakan untuk tanaman bakau (sengaja ditanam dan/atau dipelihara), wilayah ke arah daratan digunakan untuk tambak atau permukiman dan ke arah daratan berikutnya digunakan untuk permukiman. Tanah timbul di pesisir Desa Pangarengan yang dikuasai dan dikelola oleh kelompok pemuda digunakan sebagian untuk tanaman bakau. Kelompok ini melakukan aktivitas pembibitan bakau, pemeliharaan bakau, penanaman bakau dan memanfaatkan untuk wisata bakau. Di Pangarengan tidak ada lokasi tanah timbul yang digunakan untuk tanaman bakau dan dikelola oleh sekelompok masyarakat kecuali tanaman ini masih ditemukan tumbuh sendiri di saluran air di antara tanggul dan di sepanjang pantai. Terdapat kelompok masyarakat yang peduli terhadap penanaman bakau tapi harus berhadapan dengan perluasan tambak dan ombak pasang air laut. Penguasaan garapan tanah timbul ini berpotensi menimbulkan konflik. Kemunculan potensi konflik setidaknya akibat dari (1) adanya tumpang- tindih penguasaan pada calon tanah timbul karena diterbitkan surat 73
keterangan hak tunggu tanah timbul. Perisitiwa ini terjadi di Desa Pangarengan. (2) minimnya penataan administrasi tanah timbul yang digarap dan peralihannya. Dalam pengalihan garapan (melalui ganti rugi) terkadang tidak sesuai antara luasan tambak dengan yang tertulis/diucapkan antara para pihak, dan tambak dijual (diganti rugikan) kepada lebih dari satu orang. (3) penguasan garapan untuk kebutuhan lingkungan (bakau) dengan kebutuhan lainnya (permukiman dan tambak). Atas dasar potensi konflik itu, sebagian pemerintah desa mengambil langkah penataan administrasi tanah timbul. 3) Administrasi garapan Penguasaan garapan tanah timbul ditandai dengan surat keterangan yang diterbitkan oleh pemerintah desa. Terdapat dua jenis surat keterangan, yaitu: (1) surat keterangan bukti hak tunggu garapan, dan (2) surat keterangan alih garapan. Surat keterangan pertama berisi subyek (orang), objek (tanah) beserta batas-batasnya, dan hak menunggu pada tanah timbul sebagai tanah negara. Objek tanah timbul yang diberikan hak dalam surat ini belum ada bentuk fisiknya, dan masih berada di lokasi pasang dan surut air laut. Subjek harus menunggu puluhan tahun terhadap objek tanah timbul hingga muncul bentuk fisiknya. Setelah bentuk fisik tanah timbul (tambak), subjek memperoleh surat keterangan bukti garapan dari pemerintah desa. Pemberian Surat Keterangan Bukti Hak Tunggu Garapan di Desa Pengarengan kemudian dihentikan sejak sekitar 2014/15 karena berpotensi menimbulkan konflik sosial. Potensi konflik itu muncul disebabkan tumpang tindih pemegang hak tunggu pada suatu lokasi yang diterbitkan lebih dari satu surat keterangan. Surat keterangan alih garapan diterbitkan di Desa Mundupesisir dan Tawangsari. Perbedaannya, di Tawangsari harus diperbarui sesuai dengan pergantian Kepala Desa (Kuwu) dan dikenakan tarif biaya, sedangkan di Mundupesisir garapan tanah timbul tetap dikuasai oleh pemegang surat keterangan. Penerbitakan surat keterangan di Mundupesisir justru untuk mengatasi dan menghindari konflik sosial akibat saling klaim terhadap tanah timbul. Tanah timbul yang telah ada bentuk fisiknya diberikan surat keterangan dari Pemerintah Desa. Surat keterangan berisi subyek, objek 74
beserta luas dan batasnya, dan ketentuan penguasaan garapan. Ketentuan yang dimaksud bahwa (1) tanah alih garapan bukan hak mutlak kepemilikan yang sah, (2) tanah alih garapan tidak dalam sengketa dengan pihak manapun dan tidak terdapat kepentingan orang lain, dan (3) tanah alih garapan tidak boleh dipindah-tangankan (apabila terjadi pindah tangan alih garapan harus mengetahui pihak Pemerintah Desa). Desa Mundupesisir termasuk desa yang memiliki data lengkap tentang tanah timbul ketimbang dua desa lainnya. Data lengkap berisi subjek, objek (luas dan batas), pengalihan tanah timbul garapan, dan peta tanah timbul yang digarap. Bahkan pemerintah diketahui melakukan penataan terkait keakuratan luas penguasaan tanah timbul garapan tiap subjek, dan mendistribusikan kembali tanah timbul bagi yang membutuhkan. Tentu saja distribusi kembali tanah timbul ini melalui skema ganti rugi harga di bawah harga pada umumnya, dan disepakati. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018- 2038 (selanjutnya disingkat Perda No 7 Tahun 2018) dinyatakan dalam Pasal 73 ayat (2) huruf h bahwa ketentuan tanah timbul sebagai lahan milik negara dan merupakan lahan bebas, diperuntukkan bagi perluasan kawasan lindung. Perda No 7 Tahun 2018 ini tidak mencantumkan peta lokasi tanah timbul khususnya di wilayah pesisir. Peta pola ruang dalam Perda No 7 Tahun 2018 hanya menunjukkan bahwa wilayah pesisir dari Kecamatan Losari hingga Kecamatan Kapetakan berada di kawasan lindung (khususnya kawasan rawan bencana) dan sebagian besar kawasan budidaya (di antaranya kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan industri, dan kawasan peruntukan permukiman). Wilayah pesisir didominasi sebagai kawasan peruntukan perikanan yang memiliki luas + 7.114 ha.114 114 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Dari peruntukan perikanan itu, terdapat perikanan budidaya air payau (+3.426 ha), perikanan budidaya air tawar (+2.064 ha), produksi garam (+1.624 ha), pengolahan perikanan dan pelabuhan perikanan. Perikanan didukung oleh 1 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 16 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). 75
Kabupaten Cirebon mengatur sempadan pantai melalui Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 11 Tahun 2012 tentang Garis Sempadan, dan Peraturan Bupati Cirebon Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Sempadan Pantai di Kabupaten Cirebon (selanjutnya disingkat Perbup No 2 Tahun 2016), yang terkandung di dalamnya di antaranya keterangan tanah timbul. Perbup No 2 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (4) menyebut bahwa tanah yang timbul akibat sedimentasi merupakan daerah sempadan pantai dan fungsi budidaya. Pola ruang sempadan pantai diperuntukan fungsi konservasi dengan prioritas pemanfaatan kepentingannya, yaitu: konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan Negara seperti tertera dalam Pasal 8 Perbup No 2 Tahun 2016. Namun jika sudah ada budidaya maka harus dilakukan kajian Amdal. Fungsi pemanfaatan umum di kawasan sempadan pantai meliputi kawasan produksi garam/tambak, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan pelabuhan/penyeberangan, dan kawasan Bandar udara. Keberadaan hak atas tanah di sempadan pantai sebelum terbitnya Perbup No 2 Tahun 2016 tetap diberlaku. Perbup No 2 Tahun 2016 pada Pasal 9 juga mengamanatkan kepada Pemerintah Desa terkait kewajiban untuk menyusun Peraturan Desa dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengelolaan sempadan pantai. Dalam pengelolaan sempadan pantai terdapat aktivitas yang dilarang, yaitu: 1. Penebangan pohon mangrove, 2. Budidaya di sepanjang pantai yang dapat mengganggu atau merusak kualitas air, kondisi fisik dan dasar pantai, dan 3. Menurunkan luas, nilai ekologis dan estetika kawasan. Begitu pula, dilarang untuk menerbitkan Surat Izin Menggarap (SIM) baru dan memperpanjang SIM yang lama di lokasi sempadan pantai. Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai kewenangan dalam Izin Membuka Tanah Negara termasuk tanah timbul seperti PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah 76
Kabupaten/Kota khususnya pembagian urusan pemerintahan bidang Pertanahan. Izin membuka tanah itu harus memperhatikan kemampuan tanah, status tanah, Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, dan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota. C. Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah dan Sungai Besar 1. Sekilas Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat Kota Pontianak mempunyai luas wilayah administratif 107,82 km2 dengan enam kecamatan dan 29 kelurahan. Enam kecamatan tersebut, yaitu: Pontianak Selatan, Pontianak Tenggara, Pontianak Timur, Pontianak Barat, Pontianak Kota, dan Pontianak Utara. Kota Pontianak merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang dilalui oleh garis khatulistiwa, dan secara geografis terbentang juga ciri khas sungai-sungai. 77
Sumber: BPS Kota Pontianak Gambar 12. Peta Kota Pontianak Jumlah penduduk Kota Pontianak pada tahun 2018 diperkirakan sebanyak 637.723 jiwa dengan kepadatan penduduk 5.915 jiwa/km2.115 Kecamatan Pontianak Timur sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk terbesar 10.786 jiwa/km2, sedangkan wilayah kecamatan yang kepadatannya paling kecil terletak di Kecamatan Pontianak Utara 3.454 jiwa/km2. Angkatan kerja di Kota Pontianak berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2018 berjumlah 291.925 jiwa atau sebesar 61,19 persen dari penduduk usia kerja. Pada tahun 2018, tingkat pengangguran sebesar 10,37 persen atau sekitar 30.272 orang dari 291.925 angkatan kerja. 115 BPS Kota Pontianak. 2019. Kota Pontianak dalam Angka 2019. Kota Pontianak: BPS 78
Di Kota Pontianak banyak terdapat sungai dan parit yang keseluruhannya berjumlah 61 sungai/parit. Sungai-sungai itu tersebar di enam kecamatan di Kota Pontianak. Tabel 10. Sungai/Parit di Kota Pontianak No Kecamatan Sungai 1 Pontianak 1. Parit Bansir 3. Parit Tokaya 4. Sungai Kapuas Kecil Selatan 2. Parit Besar 1. Parit Wan Bakar 2 Pontianak 1. Parit Bangka Kapur Tenggara 2. Parit Haji Husin 2. Parit H.Yusuf 3. Parit Jalil 3. Sungai Raya 4. Parit Norman 5. Sungai Kapuas Kecil 3 Pontianak Timur 1. Parit Bating 6. Sungai Landak 7. Sungai Kapitan 2. Parit Daeng Lasibek 8. Sungai Jenggot 9. Sungai Kapuas Besar 3. Parit Haji Yusuf 1. Sungai Sero Karim 2. Parit Tengah 3. Sungai Beliung 4. Parit Jepon 4. Sungai Selamat 5. Parit Kongsi 4. Parit Sungai Kakap 5. Sungai Kapuas Besar 6. Parit Langgar 1. Sungai Landak 7. Parit Mayor 2. Sungai Kuning 3. Parit Pak Kacong 8. Parit Pangeran Pati 4. Sungai Durhaka 5. Parit Pekong 9. Parit Semerangkai 6. Parit Lie 7. Parit Belanda 10. Parit Tambelan 8. Parit Cekwa 9. Sungai Pandan Parit 4 Pontianak Barat 1. Sungai Nipah Kuning Pangeran II 2. Sungai Parit Jawi 3. Parit Sungai Kapuas 4. Sungai Kapuas Besar 5. Parit Labala 5 Pontianak Kota 1. Parit Besar 2. Parit Sungai Jawi 3. Sungai Bangkong 6 Pontianak Utara 1. Parit Jawa 2. Parit Makmur 3. Parit Malaya 4. Parit Nanas 5. Parit Pangeran 6. Parit Sungai Kunyit 7. Parit Sungai Putat 8. Parit Sungai Sahang 9. Parit Sungai Selamat 10. Parit Wan Salim 11. Sungai Kapuas Besar Sumber: Kota Pontianak dalam Angka 2019 Sungai/parit terbanyak 20 sungai/parit berada di Kecamatan Pontianak Utara, dan paling sedikit 3 sungai/parit di Kecamatan Pontianak Tenggara. Di Kota Pontianak terdapat Wilayah Sungai Kapuas, yang mempunyai Sembilan 79
Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu: Peniti Besar, Kapus, Sekh, Bunbun, Gandawalan, Penebangan, Kelelawar, Karimata dan Serutu. Di Kabupaten Mempawah juga terdapat Wilayah Sungai Mempawah dengan lima DAS, yaitu: Raya, Duri, Mempawah, Karimunting, dan Lemukutan.116 Kondisi sungai-sungai seperti ini membutuhkan pengaturan dan pengelolaan yang tepat dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan saat ini dan di masa depan. Kabupaten Mempawah merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah pesisir sebelah timur pulau Kalimantan dengan luas wilayah 2797,88 km2 (daratan 1.276,90 km2 dan pesisir 1.520,98 km2) atau hanya sekitar 0,87 persen dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2018, Kabupaten Mempawah terdiri dari 9 Kecamatan, dari 9 kecamatan tersebut terdapat 60 desa dan 7 kelurahan. Mempawah mempunyai 11 pulau besar di tiga kecamatan, yaitu: 4 pulau di Kecamatan Siantan, 6 pulau di Kecamatan Mempawah Hilir, dan 1 pulau di Kecamtan Sungai Kunyit. 116 Di Kalimantan barat terdapat satu wilayah sungai lintar provinsi (Kalimantan Tengah – Kalimantan Barat) bernama Jelai-Kendawangan dengan 11 DAS: Kendawangan, Simbar, Air Hitam Kecil, Air Hitam Besar, Jelai, Kotawaringin, Kumai, Bulu Kecil, Cabang, Bawal dan Gelam. Selain Wilayah Sungai Kapuas dan Mempawah, di Kalimantan Barat juga terdapat Wilayah Sungai Sambas (DAS: Polah, Sambas, Sebangkau, dan Selakau) dan Pawan (DAS: Semadang, Semanai, Siduk, Tolak, Pawan, dan Pesaguan), lihat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 04/PRT/M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai. 80
Sumber: BPS Kabupaten Mempawah Gambar 13. Peta Kabupaten Mempawah Mengacu pada proyeksi penduduk 2010-2020, jumlah penduduk Kabupaten Mempawah pada tahun 2018 sebanyak 261.299 orang, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,19 persen, dan kepadatan penduduk sekitar 205 jiwa/km2 atau 3.900 orang per desa. Angkatan Kerja 2018 tercatat 64,96 persen penduduk,117 yang berarti hampir 2/3 penduduk berpartsipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Dari keseluruhan Angkatan Kerja tersebut 93,13 persen bekerja, dan 6,87 persen pengangguran. Penduduk yang bekerja tersebar di beberapa sektor, mulai dari sektor pertanian sampai dengan jasa. Keberadaan sungai/parit di Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat di antaranya untuk lokasi permukiman di bantaran sungai, penunjang sarana transportasi dan kegiatan 117 BPS Kabupaten Mempawah, Statistik Daerah Kabupaten Mempawah 2019, (Mempawah: BPS, 2019). 81
ekonomi. Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan Melayu di Borneo berdiri dekat dengan tepian sungai di muara sungai, dan membentuk relasi hulu-hilir dalam perniagaan.118 Keberadaan permukiman dan perubahannya di tepi sungai dapat dilihat dari kajian arsitektur, bahwa dari segi stylistic system (bentuk dan dimensi bangunan), physical system (material dan fungsi) dan spatial system (karakter ruang, pola ruang, hirarki posisi, maupun orientasi) mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Perubahan arsitektur bangunan permukiman itu berkaitan dengan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi.119 2. Rumah tiang dan ruang hidup sungai Sungai merupakan ruang hidup bagi masyarakat di Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah yang menjadi lokasi permukiman, pembentukan sosial-budaya dan memperoleh manfaat dari sungai. Permukiman mereka berubah dari rumah lanting (hunian yang bersifat tidak permanen, berkonstruksi sederhana dan dapat bergerak seperti rakit) menjadi rumah tiang (hunian lebih permanen).120 Keberadaan cagar budaya Masjid Jami dan Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang terletak di pinggir sungai mengindikasikan adanya ikatan sejarah dan kultural masyarakat dengan sungai. Masyarakat desa/kelurahan yang menjadikan sungai sebagai ruang hidup mereka di antaranya (Kampung Beting) Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur dan Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan berada di Sungai Landak di Kota Pontianak, dan Desa Terusan (Kecamatan Mempawah Hilir) berada di Sungai Mempawah di Kabupaten Mempawah. Dari satu rumah ke rumah yang lain terkoneksi melalui jaringan jembatan, yang disebut dengan gertak. Konstruksi gertak terbuat dari kayu untuk pedestrian namun pada tahun 2005 konstruksi gertak 118 Sarjiyanto1 dan Libra Hari Inagurasi, “Perdagangan di Pertemuan Sungai Kapuas dan Tayan, Sanggau, Kalimantan Barat, abad ke-19”, Purbawidya: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Vol. 7(1), Juni, 2018, pp 71 – 88. 119 Indah Kartika Sari, “Perubahan Karakter Arsitektur Permukiman Kampung Beting Kota Pontianak Kalimantan Barat”, Langkau Betang, Vol. 1/No. 1, 2014, 62-75. 120 Hamdil Khaliesh, Indah Widiastuti, Bambang Setia Budi, “Karakteristik Permukiman Tepian Sungai Kampung Beting di Pontianak: Dari rumah lanting ke rumah tiang”, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012, 14 halaman. 82
diperbaiki dengan beton sehingga dapat diguanakan juga untuk kendaraan motor. Kampung Beting dan Benua Melayu Laut termasuk dari 11 lokasi dalam program Penataan Kawasan Permukiman Nelayan dan Tepi Air di Indonesia. Sumber: Foto Peneliti Gambar 14. Bangunan Rumah dan Sungai Di Mempawah Hilir sebagian besar tempat tinggal telah diberikan HGB namun saat ini hak tersebut tidak diperpanjang. Padahal jenis hak milik tersebut sangat penting bagi penduduk sebagai perlindungan dan jaminan hak penguasaan atas bangunan permukiman mereka. Saat ini direncanakan penataan melalui konsep water front city dan pembangunan landed house atau Rusunami. Pembangunan ini dalam rangka memperbaiki kualitas hidup masyarakat setempat. Sekalipun telah ada konsep penataan ruang sungai dan sekitarnya, namun masih belum jelas terkait dengan hak milik/sewa atas rusunami dan jenis hak pada tanah yang akan dibangun rusunami. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penyebab Ketidakefektivan Permen ATR No 17 Tahun 2016 Dalam menilai efektivitas dan ketidakefektivitas Permen ATR No 17 Tahun 2016 dalam penerapannya, penelitian ini menggunakan pandangan 83
Soejono Soekanto mengenai faktor-faktor dalam menilai efektivitas hukum, yaitu: (a) Substansi hukum (legal substance), (b) Penegak hukum, pihak- pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (legal strukture), (c) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, dan (termasuk legal strukture), dan (d) Budaya hukum dan masyarakat (legal culture and society) masyarakat. Di bawah ini adalah analisis terhadap evaluasi efektivitas Permen ATR No 17 Tahun 2016. 1. Substansi Hukum yang Belum Akomodatif Faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat suatu peraturan perundangan bisa berjalan efektif melalui kesesuain isi muatan dengan tingkatan hirarkinya. Sebagai aturan yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga, “apakah isi yang diatur dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 sudah tepat berdasarkan hirarkinya dalam peraturan perundangan?” Peraturan menteri merupakan jenis peraturan perundangan sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, dimana kekuatan hukumnya sesuai dengan hirarkinya, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4) Peraturan Pemerintah; 5) Peraturan Presiden; 6) Peraturan Daerah Provinsi; dan 7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri merupakan bagian dari peraturan perundangan walaupun tidak dijabarkan dalam hirarki di atas, namun keberadaannya tetap diakui sebagai peraturan perundangan yang memiliki kekuatan hukum, kedudukannya di bawah Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) 84
UU No 12 Tahun 2011, Peraturan Menteri dibentuk karena adanya delegasi dari peraturan di atasnya atau berdasarkan kewenangan.121 Untuk mempermudah dalam proses analisis efektivitas Permen ATR No 17 Tahun 2016 berdasarkan kedudukannya, maka digunakan Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhumham) Tahun 2020. Terdapat beberapa indikator dalam melihat ketepatan isi suatu peraturan perundangan berdasarkan hirarkinya dimana pada tingkatan Peraturan Menteri sebagai berikut: Tabel 11. Ketepatan Muatan Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Hirarki dalam Perundang-Undangan Indikator122 Pasal Analisis Bagian “Mengingat”: a. Materi muatan 1. UUPA a. Secara substansi tidak ada yang Permen yang 2. UU No 6 Tahun 1996 bertentangan dengan peraturan didelegasikan lainnya, termasuk peraturan- oleh peraturan tentang Perairan Indonesia peraturan di atasnya yang terkait yang lebih 3. UU No 7 Tahun 004 tentang dengan wilayah pesisir dan pulau- tinggi hanya pulau kecil. mengatur Sumber Daya Air terbatas yang 4. UU No 26 Tahun 2007 b. Berdasarkan UU No 12 Tahun bersifat teknis 2011 tentang Pembentukan administratif tentang Penataan Ruang Peraturan Perundang-undangan, dan tidak 5. UU No 1 Tahun 2014 Permen ATR No 17 Tahun 2016 bertentangan dibuat bukan dalam rangka dengan tentang Perubahan atas UU delegasi menjabarkan peraturan peraturan di No 27 Tahun 2007 tentang perundangan di atasnya, melainkan atasnya Pengelolaan Wilayah Pesisir karena adanya kewenangan dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian ATR/BPN dalam 6. UU No 43 Tahun 2008 menjalankan salah satu fungsinya. tentang Wilayah Negara 7. PP No 40 Tahun 1996 c. Permen ATR No 17 Tahun 2016 tentang HGU, HGB, HP sebenarnya memiliki dampak besar atas tanah terhadap hajat hidup masyarakat di 8. PP No 24 Tahun 1997 wilayah pesisir dan pulau-pulau tentang Pendaftaran Tanah kecil, selain itu berkaitan juga 9. PP No 16 Tahun 2004 dengan kepentingan banyak tentang Penatagunaan stakeholder di luar Kementerian Tanah ATR/BPN. Idealnya aturan seperti 10. PP No 62 Tahun 2010 ini dibuat dalam hirarki PP atau setidaknya Perpres yang kemudian tentang Pemanfaatan penjabaran teknisnya (seperti PPKT 11. PP No 38 Tahun 2011 121 Pasal 8 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. 122 Indikator diambil dari Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Nomor PHN-HN.01.03-07, Hal. 33-34. 85
Indikator122 Pasal Analisis tentang Sungai standar kerja, persyaratan 12. Perpres No 78 Tahun administrasi dan teknis, dsb) dibuat 2005 tentang PPKT 13. Perpres No 122 Tahun dalam level Permen. Sebenarnya 2012 tentang Reklamasi dalam PP No 40 Tahun 1996 di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pernah mengamanatkan adanya 14. Perpres No 17 Tahun 2015 tentang pengaturan pemberian HGU, HGB, Kementerian ATR 15. Perpres No 20 Tahun dan HP untuk pulau dan yang 2015 tentang BPN 16. Kepres No 121 P/2014 berbatasan dengan pantai, namun tentang Pembentukan Kementerian dan pengaturan tersebut mengarahkan Pengangkatan menteri Kabinet Kerja Periode agar diterbitkan pada level PP, 2014-2019. bukan hanya dalam ranah Permen.123 d. Ada beberapa peraturan perundangan di bagian “Mengingat” yang seharusnya dihapus dalam Permen ini, yaitu: UU No 1 Tahun 2014 (tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007). Sebenarnya inti dari undang-undang ini hanya merevisi ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) menjadi Izin Pengelolaan Perairan Pesisir, setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, namun bukan keseluruhan isi dari UU No 27 Tahun 2007. Hal-hal yang menjadi acuan Permen ATR No 17 Tahun 2016 adalah terkait batasan ruang lingkup perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mana tetap mengikuti aturan dasarnya yaitu UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka sebaiknya pada bagian “Mengingat” tetap mencantumkan UU No 27 Tahun 2007; PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Permen ATR No 17 Tahun 2016 sama sekali tidak membahas mengenai pengaturan pertanahan di Sungai, hanya pada locus perairan pesisir, 123 Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah menyebutkan bahwa Pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. 86
Indikator122 Pasal Analisis pulau-pulau kecil, tanah timbul dan reklamasi. Maka seharusnya PP ini tidak perlu ada di bagian “Mengingat” pada Permen ATR No 17 Tahun 2016. b. Mengatur a. Pasal 7, Pasal 12, Pasal a. Tidak ada perangkat organisasi atau struktur 16 Tim pelaksana khusus yang diminta organisasi/pel Ketentuan mengenai pada Permen ini dalam pemberian aksananya; subjek hak, jenis hak, HAT di perairan pesisir dan pulau- jangka waktu, peralihan, pulau kecil. Perangkat pelaksana pembebanan, kewajiban disamakan dengan pemberian HAT dan larangan serta di daratan. Namun ada beberapa hapusnya HAT di ketentuan yang membutuhkan daya (Wilayah Pesisir dan analisis yang cukup rumit seperti Pulau-Pulau Kecil, Tanah menetapkan proporsi penguasaan Timbul dan Reklamasi) pulau-pulau kecil, yang tentunya dilaksanakan sesuai tidak bisa dilakukan dengan dengan ketentuan prosedur biasa. Dengan adanya peraturan perundang- Pertimbangan Teknis Pertanahan undangan. (PTP) seharusnya bisa b. Pasal 15 ayat (4) huruf a: mengakomodir tugas tersebut, Terhadap tanah timbul namun ternyata masih menuai yang luasnya lebih dari banyak pertanyaan untuk teknis 100 m2 dapat diberikan pelaksanannya. Hak Atas Tanah dengan b. Pasal 15 ayat (4) huruf a merupakan ketentuan: salah satu pasal yang dikritisi, a. Penguasaan dan karena dianggap terlalu pemilikan tanah memperpanjang birokrasi, yang mana dengan luasan 100m2 sudah timbul harus mendapat harus mendapatkan rekomendasi rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN tingkat Kementerian Pusat. Menurut penelitian ini, ATR/BPN. ketentuan tersebut tidak berjalan efektif dengan melihat fakta yang terjadi antara lain: Terhitung sejak terbitnya Permen ATR No 17 Tahun 2016 hingga tahun 2020, permohonan Rekomendasi Tanah Timbul hanya ada 4 (empat), dan yang memohon adalah Badan Hukum (Perusahaan) dan Pemerintah Daerah, tidak ada perorangan. Dapat disimpulkan bahwa memohon Rekomendasi hingga ke Pusat bukanlah hal yang mudah dilakukan secara perorangan apalagi oleh masyarakat menengah ke bawah, karena butuh modal 87
Indikator122 Pasal Analisis yang cukup besar. Berdasarkan tinjauan di lapangan (Kabupaten Cirebon), masyarakat yang menguasai tanah (yang diindikasi) sebagai tanah timbul lebih familiar dengan Surat Keterangan yang dikeluarkan Kepala Desa, dengan luas beragam bahkan lebih dari 100m2. Masyarakat setempat sudah merasa cukup dengan memegang Surat Keterangan tersebut walaupun harus mengurus kembali jika Kepala Desanya diganti. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa adanya Rekomendasi dari Pusat untuk permohonan HAT di tanah timbul sebaiknya diberi ketentuan yang lebih operasional, bisa dinjau dari peruntukan penggunaan tanahnya apakah akan memberi dampak serius pada lingkungan atau tidak. c. Dalam pemberian Rekomendasi Tanah Timbul seharusnya ada pelimpahan wewenang yang lebih jelas, bisa dilimpahkan ke Kantor Wilayah BPN berdasarkan rentang luas yang lebih proporsional. c.Mengatur a. Pasal 7, Pasal 12, Pasal a. Dari Pasal 7, 12, dan 16, maka standar kerja dan 16 diketahui bahwa Permen ini tidak metode kerja Ketentuan mengenai mengatur standard operational subjek hak, jenis hak, procedure (SOP) apapun, hanya jangka waktu, peralihan, memberi ketentuan untuk objek, pembebanan, kewajiban serta syarat secara spasial baik di dan larangan serta wilayah pesisir maupun di pulau- hapusnya HAT di pulau kecil. (Wilayah Pesisir dan b. Tidak ada penegasan mengenai Pulau-Pulau Kecil, Tanah jenis HAT yang dapat dilekatkan Timbul dan Reklamasi) c. Pasal 6 ayat (1) menunjukkan dilaksanakan sesuai bahwa pemberian HAT untuk dengan ketentuan wilayah pesisir dan pulau-pulau peraturan perundang- kecil menunjukkan seperti tidak undangan. ada kekhususan dengan daratan b. Pasal 6 lainnya, namun pada ayat (2) huruf (1) Pemberian HAT di a meminta agar memenuhi syarat wilayah pesisir lainnya yang isinya masih menuai dilakukan sesuai pertanyaan yaitu memasukkan 88
Indikator122 Pasal Analisis dengan ketentuan Rencana Zonasi sebagai opsi untuk peraturan perundang- dasar pemberian HAT. Hal undangan. tersebut sangat tidak tepat, karena (2) Selain syarat yang dalam Pasal 26 ayat (3) UU No 26 diatur dalam peraturan Tahun 2007 telah menegaskan perundang-undangan bahwa administrasi pertanahan mengenai pemberian harus berdasarkan Rencana Tata HAT, pemberian HAT Ruang, bukan Rencana Zonasi. di wilayah pesisir juga d. Kemudian pada Pasal 6 ayat (1) harus memebuhi huruf b meminta “Rekomendasi” syarat: dari Pemerintah a. Peruntukan sesuai Provinsi/Kabupaten/Kota jika dengan rencana tata belum diatur dalam Rencana Tata ruang wilayah Ruang, hal yang menjadi juga provinsi/kabupaten/ selama ini dipertanyakan adalah kota, atau rencana bagaimana proses dan pengajuan zonasi wilayah Rekomendasi tersebut? pesisir. e. Terkait standar kerja Rekomendasi b. Mendapat tanah timbul, hal pertama yang rekomendasi dari perlu dilakukan adalah Pemerintah menentukan apakah area yang provinsi/kabupaten/ dimohon masuk tanah timbul atau kota dalam hal bukan. Selama ini dilakukan oleh belum diatur Direktorat PWP3WT (Ditjen mengenai Penataan Agraria) adalah dengan peruntukan tanah melewati tahap: Pertama, melalui dalam RTRW; software pemetaan, pada area yang c. Pasal 5 ayat (1) dimohon dibandingkan antara peta Pemberian Hak Atas RTRW dengan Citra Satelit Tanah pada pantai LANSAT, jika ada perbedaan sebagaimana dimaksud dimana area dimohon melewati dalam Pasal 4 huruf a, garis pantai RTRW maka hanya dapat diberikan diindikasikan area tersebut sebagai pada bangunan yang harus tanah timbul. Kedua, petugas ada di wilayah pesisir Direktorat PWP3WT juga pantai, antara lain: melakukan ground check di lapangan untuk mengetahui a. Bangunan yang penguasaan, pemilikan, digunakan untuk pertanahan dan penggunaan, dan pemanfaatan keamanan; tanahnya. Untuk dapat disebut b. Pelabuhan dan dermaga; tanah timbul harus ada SK dari c. Tower penjaga Kanwil BPN yang menyatakan keselamatan pengunjung pantai; area lokasi tersebut sebagai tanah d. Tempat tinggal timbul/tanah negara. masyarakat hukum Hal yang menjadi permasalahan adalah jika area tanah timbul berdasarkan perbandingan antara Citra satelit dengan peta RTRW, adat atau anggota apakah skala RTRW dapat menjadi masyarakat yang acuan yang operasional? secara turun-temurun Kemudian berapa rentang tahun 89
Indikator122 Pasal Analisis antara peta RTRW dengan citra sudah bertempat satelit yang digunakan, apakah 20 tinggal di tempat tahun atau lebih? Hal-hal tersebut tersebut; dan/atau masih belum ada ketentuannya di e. Pembangkit tenaga Permen No 17 Tahun 2016. listrik. d. Pasal 9 f. Pasal 5 ayat (1) mengatakan bahwa e. Pasal 15 sertifikat hanya dapat diberikan pada bangunan yang “harus” ada di wilayah pesisir pantai, pertanyaannya apakah kata “harus” tersebut artinya keberadaan bangunan-bangunan yang dimaksud telah memiliki dasar peraturan? g. Terkait dengan pantai, Permen ATR No 17 Tahun 2016 menentukan bahwa bangunan- bangunan yang ada di pantai dapat diberi sertipikat tanah asalkan berupa bagunan untuk pertahanan dan keamanan, dermaga, tower penjaga keselamatan pengunjung pantai, permukiman masayarakat yang tinggal turun-temurun, dan bangunan untuk pembangkit tenaga listrik. h. Kemudian pertanyaan pun muncul, apakah di sempadan pantai (minimal 100 m ke arah darat) berlaku aturan yang sama dengan pantai? Karena Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum menjelaskan secara detail bagaimana ketentuan untuk sempadan pantai. Memang sebenarnya penentuan batasan sempadan pantai diserahkan pengaturannya di Pemerintah Daerah masing-masing sebagaimana Perpres No 51 Tahun 2016 tentang Sempadan Pantai (saat disahkannya Permen No 17 Tahun 2016 tidak mengacu pada perpres ini karena kemunculannya bersamaan). Dalam Perpres tersebut mengatakan bahwa sempadan pantai ditentukan berdasarkan perhitungan- perhitungan tertentu dan ditetapkan dalam RTRW (Pasal 2 ayat (1) Perpres No 51 Tahun 90
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192