Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-01-21 06:14:11

Description: Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat

Search

Read the Text Version

pendaftaran tanah secara sistematis. Oleh karena itu, pemenuhan hak pertanahan di WPPPK dalam Permen dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sporadik atas permintaan yang berkepentingan. Pengajuan permohonan dengan persyaratannya, kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal itu berbeda kondisinya bila ada “program khusus” sertifikasi seperti Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) atau Proyek Operasi Daerah Agraria (PRODA), dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang dapat menyasar pertanahan di WPPPK. Saat ini di lokasi-lokasi tertentu di WPPPK terdapat program PTSL. (2) Penciptaan hak atas tanah dalam Permen ini melalui satu jalur yaitu pemberian hak atas tanah negara. Penciptaan hak dalam hubungan hukum kongkrit ini belum memberikan kesempatan kepada adanya konversi hak. 2) Proses Penataan hak pertanahan di WPPPK merupakan kebutuhan masyarakat untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, termasuk kebutuhan negara untuk menyediakan informasi dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Untuk memeriksa kebutuhan para pihak dalam hak atas tanah kebanyakan masih mengandalkan kegiatan pengajuan permohonan administrasi rutin pertanahan secara sporadik dari para pihak dan adanya keluhan di bidang pertanahan. Berbeda hal dengan kegiatan perdaftaran secara sistematis, yang memiliki target, anggaran, personel dan lain sebagainya yang relatif cukup. Untuk memeriksa kebutuhan para pihak belum sepenuhnya dikembangkan sebuah platform bersama untuk saling memahami khususnya pengetahuan dasar mengenai aturan, prosedur/mekanisme dan target ke depan. Tidak semua masyarakat di WPPPK mengetahui aturan mengenai HAT di WPPPK melalui instrumen Perment ATR No 17 Tahun 2016. Bahkan penyuluhan juga jarang dilakukan oleh pelaksana kegiatan kecuali adanya pemberitahuan terkait aturan itu dan bila ada pertanyaan atau kondisi yang membutuhkan penjelasan. Misalnya, adanya kendala dalam 141

mekanisme pengajuan HAT sehingga perlu penjelasan yang memadai. Kebutuhan warga terhadap hak atas tanah dan bangunan secara legal di wilayah pesisir, pulau kecil dan sungai besar sangat diharapkan oleh masyarakat. Kegiatan penataan HAT membutuhkan kerjasama para pihak. Sejauh ini pada level pemerintah daerah, Kantah terlibat forum pimpinan daerah untuk bekerja sama dalam rangka ajang koordinasi dan penyamaan persepsi/pemahaman terkait sebuah aturan, kegiatan dan persoalan. Koordinasi dan penyaaman pemahaman yang dilakukan di antaranya terkait dengan pertimbangan tata ruang dalam penataan pertanahan dan pengaturan sempadan pantai/sungai agar tersinkronisasi dengan baik 3) Hasil/Dampak Kebutuhan atas penataan hak di WPPPK dan BS direspon dan dipenuhi secara beravariasi: (1) saat ini di Kabupaten Cirebon sedang melaksanakan kegiatan IP4T pada tanah timbul. (2) di Tanjungpinang dan Kota Batam bangunan pelantar di wilayah pesisir telah diberikan sertipikat HAT termasuk diterbitkan pertimbangan teknis izin lokasi (wisata) pada sebuah pulau untuk perusahaan di Kota Batam, dan (3) di Kabupaten Mempawah dan Kota Pontianak hak bangunan rumah di pinggir sungai besar tidak memperpanjang lagi. b. Lenting (Resilient) 1. Struktur organisasi mampu menghadapi dan mengatasi masalah/krisis dalam penataan pertanahan. 2. Rencana lain saat ada masalah. 3. Struktur masyarakat dapat hidup ketika dan setelah ada penataan 1) Struktur Persoalan yang dihadapi oleh pelaksana kegiatan dalam penataan pertanahan di WPPPK terletak pada persyaratan atau pertimbangan dalam pemenuhan hak atas tanah seperti tata ruang. Ditambah pula dengan aturan lainnya. Persyaratan/pertimbangan itu membutuhkan kerjasama dengan instansi yang lain seperti pemerintah daerah setempat. Permen ATR No 17 Tahun 2016 mempertimbangkan adanya tata ruang dalam penataan hak 142

pertanahan khususnya di WPPPK. Di sebagian tempat tata ruang tidak memasukkan lokasi pertanahan yang akan ditata haknya atau lokasi pertanahan yang akan diatur haknya masuk dalam tata ruang tapi peruntukan kawasan terbatas/terlarang. Selain tata ruang, aturan lain terkait dengan sempadan pantai, sempadan sungai di hulu hingga hilir (bermuara ke pesisir) dan lokasi pertanahan yang diatur oleh aturan lain (seperti tanah timbul di kawasan hutan). Aturan sempadan pantai dan sungai berada pada kewenangan pemerintah daerah. Untuk mengatasi persoalan tersebut di antaranya Kantah mendorong pemerintah daerah melakukan revisi tata ruang bila ingin menata hak pertanahan di WPPPK. Permohonan pertanahan tanpa ada tata ruang yang memadai dalam hak pertanahan, maka ditangguhkan dan diberikan penjelasan yang cukup kepada para pihak. 2) Proses Permen ATR No 17 Tahun 2016 memberikan alternatif selain tata ruang dalam pertimbangan penataan hak pertanahan berupa rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Namun perolehan rekomendasi tidak dijelaskan secara terang. Aturan dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak menyediakan alternatif lain untuk menunjukkan penguasaan oleh subyek terhadap tanah/bangunan sebelum semua persyaratan/pertimbangan dipenuhi secara lengkap sekalipun tanah/bangunan itu telah dikuasai/dipakai/digarap secara efektif. Selain aturan saling mengunci, juga aturan dimaknai secara bervariasi. 3) Hasil/Dampak Sebagian besar masyarakat yang tinggal di WPPPK dan SB merupakan penduduk yang bermukim secara turun-temurun di lokasi tersebut. WPPPK dan SB menjadi ruang penghidupan mereka dengan kesejarahan yang panjang dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan. Dampak penataan pertanahan yang dilakukan di WPPPK pada struktur kelompok sosial masyarakat terbagi tiga: (1) di lokasi yang belum 143

dilakukan penataan pertanahan, maka struktur sosial masyarakat di bidang pertanahan yang berlaku sebelumnya tetap berlangsung seperti administrasi pertanahan melalui surat keterangan tanah timbul di Cirebon. (2) di lokasi yang telah dilakukan penataan pertanahan, struktur sosial masyarakat juga elastis atau berkompromi dengan penataan pertanahan yang berlaku. Memang penataan pertanahan ini mengarah pada pemberian hak pada tanah (yang dikuasai) negara. (3) di lokasi yang dilakukan penataan pertanahan dengan tidak diberi perpanjangan hak seperti di pinggir SB, penduduk tetap di lokasi tersebut. Bila terdapat penertiban dan pembanguan pinggir SB, mereka diberikan ganti rugi untuk pindah lolasi/tempat. c. Kokoh (Robust) 1. Struktur organisasi pelaksana kokoh sekalipun ada tekanan dari luar. Tingkat kerentanan masyarakat dengan adanya/tidak adanya penataan pertanahan 2. Proses pelaksanaan penataan tetap berlangsung/berjalan. 3. Penataan pertanahan memperbaiki kehidupan masyarakat 1) Struktur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Kantah) merupakan garis terdepan antara lain dalam melayani jasa administrasi pertanahan di setiap kabupaten/kota. Kantah mempunyai personel, anggaran dan peralatan dalam pelayanan di bidang pertanahan. Sejauh ini memang tidak ada bagian khusus yang menangani pemberian HAT di WPPPK dan BS sekalipun lokasi tersebut mempunyai kekhasan pertanahan. Struktur Kantah tetap tidak rentan sekalipun terdapat tuntutan atau desakan. Misalnya, sekelompok masyarakat mendesak untuk memperoleh hak/sertipikat pada tanah timbul namun permintaan itu tidak dikabulkan sebab tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Keberadaan masyarakat rentan dari aspek hukum ketika tidak mempunyai sertipikat atas tanah namun dalam keseharian tidak ada persoalan penting yang muncul ke permukaan seperti perselisihan. Bahkan sebagian masyarakat lebih banyak berharap ada program dari atas berupa sertifikasi massal secara sistematis. 144

2) Proses Pelaksana kegiatan bekerja berdasarkan pada aturan atau pedoman yang berlaku mengenai penataan hak pertanahan di WPPPK. Misalnya, tata ruang sebagai pertimbangan dalam penataan hak pertanahan. Keberadaan/ketiadaan tata ruang menentukan pemenuhan terhadap hak atas tanah. 3) Hasil/Dampak Penataan hak pertanahan di lokasi yang telah diterbitkan sertipikat memperbaiki kondisi masyarakat pada aspek jaminan keamanan dan kepastian hak pertanahan dalam jangka waktu tententu atau jangka panjang bagi pemegang hak terutama dari segi hukum. Sebagian pihak diindikasikan memakai sertipikat tersebut untuk menunjang permodalan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi produktif dalam kehidupan mereka. d. Dipercaya (Reliable) 1. Penataan pertanahan berdasarkan fakta terpercaya 2. Pemeriksaan secara teratur dan berdasar pada fakta dalam proses penataan petanahan 3. Penataan pertanahan menghasilkan apa yang diharapkan/dijanjikan melalui monitoring dan evaluasi. 1) Struktur Penataan hak pertanahan di WPPPK berdasarkan mekanisme pendaftaran tanah pada umumnya dengan pengumpulan data fisik dan data yuridis yang terpercaya. Alas hak yang digunakan untuk menerbitkan HAT di antaranya penguasaan fisik secara turun-temurun, surat keterangan dari desa dan adanya bukti jual beli. Masyarakat atau kelompok masyarakat yang menggarap tanah timbul dan menguasai tanah/bangunan mempunyai dokumen riwayat alas hak pada tanah/bangunan tersebut. Dokumen alas hak itu berupa surat keterangan dari desa, surat jual-beli/ganti rugi/alih garapan/alih hak. Dokumen-dokumen itu menjadi alas hak yang penting dalam pengajuaan hak pertanahan. Alas hak ini merupakan sebagian bukti penting mengenai penguasaan mereka terhadap tanah dan pemakaian tanah. 145

2) Proses Penataan hak pertanahan di WPPPK mengacu pada aturan yang berlaku seperti PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Permen ATR/Kepala BPN No 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Pelaksana di antaranya menggunakan pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka pemeriksaan aspek pertanahan. 3) Hasil/Dampak Di lokasi yang telah dilakukan penataan hak pertanahan di WPPPK, setidaknya menghasilkan tertib admistrasi pertanahan, dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas sebidang tanah/bangunan. Sekalipun memperoleh bukti pemilikan terhadap tanah/bangunan namun masih terdapat persepsi bahwa jenis hak yang ada seperti HGB dan HP sama statusnya seperti Hak Milik. Sementera itu, dalam administrasi pertanahan tanah timbul, masyarakat pada umumnya setempat masih menggunakan bukti penggarapan dari kantor desa, dan mengharapkan ada program dari pemerintah untuk melegalisasikan tanah mereka. e. Dihormati (Respected) 1. Struktur pelaksana dalam persiapan dan pelaksanaan penataan pertanahan dipercaya 2. Aktor-aktor yang bertanggung jawab dalam penataan pertanahan peduli pada penerimaan dan pengakuan penataan pertanahan 3. Para pihak menerima keputusan dan proses dalam penataan pertanahan 1) Struktur BPN termasuk Kantah merupakan lembaga terdepan dalam mengurus administrasi pertanahan. Pelaksana kegiatan penataan pertanahan dapat dipercaya karena mereka bekerja dengan prosedur yang berlaku, dan melibatkan para pihak terutama calon pemegang hak atau pemegang hak yang bersangkutan, warga sekitar dan pemerintah desa. Sebagian masyarakat mengharapkan penataan pertanahan di WPPPK dilakukan secara sistematis dengan adanya program PRONA, PRODA dan PTSL. 146

2) Proses Penataan pertanahan di WPPPK tidak hanya melibatkan Kantah tapi juga perlu melibatkan pihak lain seperti pemerintah daerah. Pelibatan pemerintah daerah ini terkait dengan keberadaan tata ruang dan aturan mengenai sempadan pantai/sungai. Sebagian pemerintah daerah dalam revisi tata ruang sekaligus memasukkan penataan pertanahan di WPPPK, dan Kantah ikut mendorong revisi bila terjadi kebutuhan terhadap penataan pertanahan. 3) Hasil/Dampak Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat ragam pandangan mengenai penataan hak pertanahan di WPPPK seperti di pemerintah daerah (misalnya, dinas setempat), masyarakat pesisir dan Kantah. Keragaman pandangan itu mengarah pada setuju, tidak setuju dan setuju bersyarat mengenai penataan pertanahan di WPPPK. Isu yang diangkat dalam keragaman pandangan itu terkait dengan isu lingkungan (pencemaran dan degradasi lingkungan), penimbunan fondasi rumah dan lain sebagainya. Namun saat pelaksanaan penataan pertanahan itu dilakukan, para pihak menghargainya. Bahkan pemerintah daerah dan Kemen PUPR membantu penataan hak pertanahan dalam konteks penyediaan akses seperti jalan pelantar dan instalasi air limbah. f. Keterlacakan (Retraceable) 1. Aturan jelas menguraikan bagaimana keputusan diambil dan siapa/organisasi mana yang ambil keputusan 2. Tahapan keputusan didokumentasikan dan dapat diakses secara terbuka untuk umum 3. Keputusan bermasalah dapat dilacak kembali secara akuntabel 1) Struktur Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum menggambarkan secara detail mengenai prosedur dan unit/badan/lembaga yang mengambil keputusan penting dalam penataan pertanahan di WPPPK sehingga terlihat kurang kompak dan kuat dalam penataan pertanahan. Misalnya, aturan di daerah mengenai tata ruang, sempadan pantai, tanah timbul dan lain 147

sebagainya. Permen tersebut memang merujuk pada PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Artinya, prosedur administrasi pendaftaran pertanahan berdasarkan pada PP No 24 Tahun 1997 di Kantah, sedangkan UU No 26 Tahun 2007 menerangkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyusunnya. Gambaran prosedur terlihat sedikit jelas mengenai tanah timbul berdasarkan luasan dan rekomendasi yang harus diperoleh dalam rangka pengajuan HAT pada tanam timbul. 2) Proses Pendokumentasian dalam penataan hak pertanahan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti Permen Negara Agraria No 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan aturan ternbaru Permen ATR No 7 Tahun 2019. Dokumen persyaratan permohonan dan proses dijaga hingga diterbitkan sertipikat hak seperti peta bidang tanah, surat ukur tanah, dan buku tanah. Dokumen-dokumen itu disimpan dan dipelihara dalam arsip sesuai dengan pedoman pengarsipan Kantah. 3) Hasil/Dampak Pengarsipan dokumen merupakan cara untuk menyimpan semua dokumen pertanahan. Idealnya, arsip ditata dengan baik sehingga dapat dipanggil secara cepat dan mudah terhadap berkas-berkas yang disimpan. Sejauh ini belum ada masalah yang mengharuskan memanggil/mengambil kembali terhadap dokumen pada arsip yang tersimpan itu. g. Dapat diakui (Recognizable) 1. Aturan/struktur organisasi mengakomodasi kepentingan hak atas tanah dari para pihak 2. Keterlibatan para pihak dalam proses penataan pertanahan 3. Para pihak mengidentifikasi pencapaian dan tujuan penataan pertanahan 1) Struktur Permen ATR No 17 Tahun 2016 mengakomodasi kepentingan para pihak dalam penataan hak pertanahan seperti masyarakat (masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal turun-temurun), instansi pemerintah dan 148

badan hukum. Di bagian pantai berupa bangunan untuk (1) masyarakat adat/ masyarakat yang tinggal turun temurun, (2) badan hukum, dan (3) instansi pemerintah. No 2 dan 3 sesuai dengan kepentingan yang telah ditentukan, sedangkan di perairan berupa bangunan untuk (1) masyarakat adat, (2) badan hukum, dan (3) instansi pemerintah. No 2 dan 3 sesuai dengan kepentingan yang telah ditentukan. Di pulau kecil dapat ditata untuk kepentingan masyarakat, badan hukum, dan pemerintah. Untuk masyarakat adat mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku mengenai pengakuannya. 2) Proses Penataan hak pertanahan khususnya pendaftaran tanah melibatkan banyak pihak. Keterlibatan itu tercermin dari tahap antara lain sebagai berikut: (1) pertimbangan tata ruang perlu melibatkan pemerintah daerah, (2) penataan pertanahan tanah timbul juga perlu melibatkan pemerintah daerah karena termasuk kewenangan bidang pertanahan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah, (3) pengukuran pertanahan di lapang melibatkan pemerintah desa dan sebagian masyarakat desa. 3) Hasil/Dampak Penataan hak pertanahan memang harus dilakukan secara bersama- sama yang melibatkan orang yang berkepentingan, masyarakat, pemerintah daerah dan Kantah. Namun sebagian dari masyarakat tidak mengetahui mengenai aturan terkait dengan pertanahan dan arti penting dari bukti sah pertanahan (sertipikat). Sebagai masyarakat itu pula lebih memilih ada program pertanahan (secara sistematis) ketimbang pengajuan secara sporadik. Sertipikat mempunyai arti penting yang dominan saat untuk kebutuhan ekonomi semata sehingga kadang penataan hak (berupa sertipikat) tidak terlalu diurus. h. Refleksi (Reflexive) 1. Ada prosedur formal dalam struktur untuk mengubah keputusan/aturan jika ada wawasan baru 2. Ada langkah-langkah sistematis untuk memikirkan kembali aturan/keputusan 3. Tujuan utama sesuai ekskpektasi dan kebutuhan. 149

1) Struktur Bila terjadi kesalahan data fisik dan data yuridis dalam penerbitan sertipikat pertanahan terdapat aturan Permen Negara Agraria No 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Begitu pula, kelengkapan/ketidaklengkapan data administrasi pertanahan sebelum diterbitkan sertipikat diklasifikasikan subyeknya () mengacu pada Permen ATR No 7 Tahun 2019. Di samping itu, karena Permen ATR No 17 Tahun 2016 terbit berdasarkan kewenangan Kemen ATR/BPN, maka revisi aturan ini dapat dilakukan tergantung pada kebutuhan dan hasil kajian mereka untuk merespon kondisi dan dinamika di lapangan. 2) Proses Setelah beberapa tahun berjalan, terdapat beberapa masukan/kritik konstruktif (seperti Kemen ATR, KKP dan Sekretaris Kabinet) mengenai Permen ATR No 17 Tahun 2016 seputar definisi/mekanisme ukuran tanah timbul, birokrasi rekomendasi tanah timbul, batas pengaturan perairan laut terlalut jauh (hingga 12 mil laut), kekhawatiran private ownership dan lain sebagainya. Pertemuan dan hasilnya itu telah disampaikan kepada bidang yang menanaganinya, dan ditindaklanjuti dengan revisi atauran Permen ATR No 17 Tahun 2016. 3) Hasil/Dampak Hasil yang diperoleh dari aturan ini tidak sepnuhnya sesuai dengan harapan besar. Memang keberadaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 pada awalnya dinilai posisitf untuk melengkapi aturan sebelumnya seperti Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomer 500-1698 tentang Permohonan Hak Atas Tanah yang Seluruhnya Merupakan Pulau atau yang Berbatasan dengan Pantai. Namun dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016 masih terdapat ketentuan yang belum jelas atau perlu diperbaiki. Pertama, ketentuan tanah timbul tidak diterangkan definisi dan cakupannya seperti kondisi dan ciri fisik tanah timbul, batasan (peta atau klaim sosial masyarakat) dan lokasi keberadaan 150

tanah timbul (kehutanan/non-kehutanan) dan jangka waktu pembentukan tanah timbul hingga ajeg. Ketidakjelasan tentang tanah timbul ini kemudian menyulitkan dalam implementasinya. Kedua, mensinergikan aturan Permen ATR No 17 Tahun 2016 dengan aturan pada Kementerian/Lembaga atau bidang lain seperti di tata ruang, kehutanan dan sungai sehingga memudahkan kerja bagi pelaksana di Kantah. Ketiga, sekalipun telah ada jenis hak tapi jenis hak yang diberikan dapat berbeda antar-lokasi sehingga perlu penegasan standar dan ciri-cirinya. Kelima, bagaimana memberikan jenis hak kepada pihak investor untuk memberikan jaminan dalam mengusahakan kegiatan terutama di pulau- pulau kecil. 2. Upaya Penataan Hak Pertanahan Berkelanjutan: Pengaturan Kepentingan Publik dan Kepentingan Privat PP No 16 Tahun 2004 Pasal 15 mengingatkan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, dan/atau sempadan sungai, harus memperhatikan (a) kepentingan umum; dan (b) keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Dari pertimbangan itu, maka penataan hak pertanahan perlu dilakukan dengan hati-hati dan selektif. Oleh karena itu, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan di bidang-bidang tanah di kawasan pesisir dan pulau kecil memiliki keunikan dari segi kegiatan sosial, ekonomi, lingkungan dan sumberdaya alamnya. Mengacu pada aturan yang berlaku bahwa wilayah pesisir secara ideal terbagi dalam tiga bagian, yaitu: sempadan pantai, pantai dan perairan pesisir. Ketiga bagian di wilayah pesisir tersebut diatur penguasaan, dan penggunaannya. Di antara ketentuan hukum yang mengatur pada tiga bagian itu adalah tata ruang dan Permen ATR No 17 Tahun 2016. 151

Tabel 20. Bagian Wilayah Pesisir dan Pengaturan di Indonesia Tidal zone Bagian wilayah pesisir Arahan tata ruang Penguasaan/ Pemilikan Sub-tidal Perairan pesisir (laut Kawasan milik Privat148 berbatasan dengan umum147 (Publik) daratan (garis pantai) Privat150 sejauh 12 mil laut) Privat tapi Inter-tidal Pantai Ruang terbuka hijau terbatas153 (garis pasang tertinggi publik149 (Publik) s.d. garis surut terendah atau Supra-tidal Sempadan pantai Kawasan Upland (garis pasang tertinggi ke arah darat minimal perlindungan 100m) setempat151 (Publik)152 Sumber: Perpres No 51 Tahun 2016 dan UU No 26 Tahun 2007 Sejauh ini secara umum penguasaan bagian-bagian di wilayah pesisir (sempadan pantai, pantai dan perairan pesisir) diatur untuk kepentingan publik sekaligus kepentingan privat. Keberadaan sempadan pantai, seperti disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Presiden No 51 Tahun 2016 tentang Sempadan Pantai, bertujuan untuk melindungi dan menjaga (a) kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (b) kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman bencana alam, (c) alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai, dan (d) alokasi ruang untuk saluran air dan limbah. Serupa dengan itu, merujuk pada arahan tata ruang bahwa sempadan pantai diperuntukkan bagi 147 Pemberian akses untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat berikut: a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud. Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai. Pasal 61 huruf (d) UU No 26 Tahun 2007. 148 Permen ATR No 17 Tahun 2016 149 Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Pasal 29 Ayat (1) UU No 26 Tahun 2007. 150 Permen ATR No 17 Tahun 2016 151 Pasal 5 Ayat (2) huruf b UU No 26 Tahun 2007 152 (1) Kelestarian fungsi ekosistem, (2) perlindungan masyarakat dari ancaman bencana alam, (3) akses publik (ke pantai), dan (4) saluran air dan limbah, dalam Perpres No 51 Tahun 2016. 153 Amelia Novianti, Pengaturan penguasaan tanah di wilayah perairan, Power Point 1-34 hal. Jakarta, 23 November 2020. 152

kawasan fungsi perlindungan setempat, yang pengelolaannya berada pada pemerintah. Dengan demikian, sempadan pantai sebagai kawasan fungsi lindung dialokasikan bagi kepentingan publik. Namun kegiatan pemanfaatan di sempadan pantai sebenarnya masih dapat dilakukan berdasarkan tipologi dan kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, dan kegiatan yang tidak diperbolehkan.154 Tipologi ini disusun dalam rangka pemanfaatan sempadan pantai untuk mewujudkan keselarasan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi. Tabel 21. Kegiatan di Sempadan Pantai Kegiatan Tipologi A155 Tipologi B156 Diperbolehkan Kegiatan yang selaras dengan Kegiatan yang selaras dengan fungsi Diperbolehkan utama sempadan pantai: ruang terbuka dengan syarat fungsi utama sempadan pantai: hijau, menunjang sektor perikanan, dan pengembangan struktur alami dan ruang terbuka hijau, menunjang pembangunan struktur buatan untuk mitigasi bencana sektor perikanan, dan Kegiatan yang memperhatikan pola pengembangan struktur alami adaptasi dan perlindungan sempadan pantai: kegiatan kepentingan nasional, dan pembangunan struktur kegiatan pelestarian ekosistem pantai dan tidak mengganggu kualitas buatan untuk mitigasi bencana lingkungan dan estetika kawasan, dan kegiatan budidaya dapat melebihi Kegiatan untuk kepentingan 30% dari ketentuan untuk budidaya dengan mempertahankan fungsi ruang umum dengan pertimbangan Kegiatan yang merusak kualitas lingkungan dan mengubah bentang lingkungan, sosial dan budaya: alam/sempadan pantai. pelabuhan dan Bandar udara, pembatasan hunian, fasilitas sosial dan umum, fasilitas penunjang rekreasi pantai dan pembangkit tenaga listrik. Tidak Kegiatan yang merusak kualitas diperbolehkan lingkungan dan estetika kawasan: pertambangan mineral galian C dan industri manufaktur: Sumber: Novianti, 2020 Kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan di sempadan pantai merupakan kegiatan yang selaras dengan fungsi utama sempadan pantai. Misalnya, ruang terbuka hijau, menunjang sektor perikanan, dan pengembangan struktur alami dan pembangunan struktur buatan untuk mitigasi bencana. Kegiatan untuk 154 Amelia Novianti, Pengaturan penguasaan tanah di wilayah perairan, Power Point 1-34 hal. Jakarta, 23 November 2020. 155 Tipologi A: Kegiatan budidaya paling banyak sebesar 30% dari luas sempadan pantai untuk kepentingan masyarakat/daerah. Ibid, Pengaturan penguasaan tanah di wilayah perairan 156 Tipologi B: Kegiatan budidaya paling banyak melebihi sebesar 30% dari luas sempadan pantai. Ibid, Pengaturan penguasaan tanah di wilayah perairan 153

kepentingan umum dengan pertimbangan lingkungan, sosial dan budaya dikategorikan sebagai kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat seperti pembatasan hunian. Sementara itu, kegiatan yang tidak diperbolehkan adalah kegiatan yang merusak dan mengubah bentang alam di wilayah sempadan pantai. Pada bagian wilayah pesisir yang lain berupa pantai dialokasikan untuk kepentingan publik yang diarahkan dalam tata ruang untuk ruang terbuka hijau publik. Keberadaan ruang terbuka hijau ini dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum seperti pada Pasal 29 Ayat (1) UU No 26 Tahun 2007. Perairan pesisir diatur bagi publik yang dalam tata ruang diarahkan pada kawasan milik umum sekalipun menggunakan istilah pesisir pantai. Secara ideal tiga bagian di wilayah pesisir tersebut diatur dan dialokasi untuk hak atau kepentingan publik dengan fungsi masing-masing. Melalui Permen ATR No 17 Tahun 2016, pantai dan perairan pantai dialokasikan juga untuk kepentingan privat. Di beberapa tempat di Indonesia termasuk di lokasi penelitian telah terdapat penguasaan atau aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat (seperti masyarakat adat, masyarakat tradisional, pekerja perikanan dan penduduk lokal). Misalnya, di Tanjungpinang (tiga kelurahan) dan di Batam (1 kelurahan) telah berdiri bangunan permukiman bertiang pancang ke tanah di dasar tanah di bawah dasar air laut, yang dilengkapi dengan sertipikat hak. Di tempat yang lain seperti bagian pantai dan perairan pesisir dekat pantai digunakan oleh nelayan untuk aktivitas penangkapan ikan (seperti traditional fishing trap), kerang-kerangan, budidaya rumput laut dan bernavigasi (perahu bermotor dan tanpa motor) bagi masyarakat. Dalam aktivitas perikanan tangkap di perairan pesisir itu terdapat pengaturan jalur perikanan tangkap berdasarkan lebar perairan, yaitu: (1) I A (0-2 mil), dan I B (2-4 mil), (2) II (4- 12 mil), dan III (12 mil - keatas). Pengaturan jalur penangkapan ikan ini berdasarkan pada alat tangkap yang diperbolehkan dan alat tangkap yang tidak diperbolehkan oleh nelayan. 154

Di Maine pengaturan penguasaan/pemilikan publik dan privat pada bagian-bagian wilayah pesisir dilakukan secara murni atau campuran keduanya. 157 Dari perbandingan kasus Maine dengan Indonesia, terdapat persamaan dalam pengaturan bagian-bagian wilayah pesisir. Pantai di Indonesia merupakan hak publik sekaligus terdapat hak privat, sedangkan di Maine adalah hak tipe campuran (publik dan privat) namun hak privat di Maine tunduk pada hak publik. Tidak berbeda jauh dengan bagian wilayah pesisir, di pulau-pulau kecil terdapat pengaturan hak privat dan hak publik. Hak privat pada pulau kecil dapat dikuasai oleh individu atau badan usaha swasta dengan luas maksimal 70% dari luas pulau, sedangkan hak publik minimal 30% dikuasai oleh negara seperti tercantum dalam Permen ATR No 17 Tahun 2016. Tabel 22. Pengaturan Alokasi Hak Privat dan Hak Publik dan Peruntukan di Pulau Kecil Lokasi & Pengaturan Privat/Publik Peruntukan batasan Alokasi penguasaan Private Sesuai tata ruang. < 2.000 km2 Paling banyak 70% (1) penguasaan/ pemilikan individu/ badan usaha Paling banyak 30% negara (akses) Publik Kawasan lindung, area Privat+publik publik atau kepentingan < 2.000 km2 Paling banyak 70% Publik masyarakat (2) penguasaan/ pemilikan Sesuai tata ruang + individu/ badan usaha Paling sedikit 30% ruang Paling banyak 30% negara terbuka hijau --- Sumber: (1) Permen ATR No 17 Tahun 2016 dan (2) Perpres No 34 Tahun 2019 157 John Duff, Public Shoreline Access in Maine: A Citizen’s Guide to Ocean and Coastal Law, 3rd Ed. Orono, ME: Maine Sea Grant College Program, 2016. Di subtidal, Kewenangan dan tanggungjawab negara (public trust land) pada submerged land (tanah terendam air) hingga 3 mil laut. Negara dapat menyewakan trust land pada individu privat tapi harus ada pemberitahuan dan kesempatan untuk mengomentari dan tidak boleh ada eksklusi dan harus ada akses yang layak untuk umum. Di Intertidal justru terdapat kombinasi Hak milik publik dan hak privat. Hak privat tunduk pada hak publik dalam kegiatan menangkap ikan, berburu dan bernavigasi. Supratidal berlaku hak milik privat. Masyarakat tidak punya hak untuk lewat dan memanfaatkannya. Pemilik privat dapat memberikan kepada publik sebuah dedikasi (hadiah), kemudahan, hak jalan, sewa, dan / atau lisensi. 155

Alokasi 30% yang dikuasai negara itu untuk kawasan lindung, area publik dan kepentingan masyarakat umum. Dalam alokasi pemanfaatan pulau kecil terjadi sedikit perbedaan antara Permen ATR No 17 Tahun 2016 dengan Perpres No 34 Tahun 2019 tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing bahwa Permen ATR No 17 Tahun 2016 tidak menyebutkan peruntukan dari 70% luas pulau kecuali kepentingan privat, sedangkan Perpres No 34 Tahun 2019 mengalokasikan lagi peruntukan paling sedikit 30% dari total 70% untuk ruang terbuka hijau. Selain hak publik berdasarkan alokasi di atas, terdapat hak publik lain pada pulau kecil yang harus memperoleh jaminan sekalipun pulau dapat dikuasai 70%, yaitu: (1) akses (berlindung, berteduh, menyelamatkan diri, mencari pertolongan dalam pelayaran), dan (2) akses (ijin resmi) pendidikan, penelitian, konservasi dan preservasi sebagaimana dijelaskan pada pasal 10 Permen ATR No 17 Tahun 2016. Tidak diketahui secara pasti hak publik seperti ini berada pada alokasi 30% atau 70% atau lokasi keseluruhan pulau tanpa melihat alokasinya. Sebagai kasus contoh, Pulau Pengalap yang dimanfaatkan untuk wisata oleh badan usaha swasta dapat dilihat dalam konteks hak publik dan hak privat. 156

Sumber: Risalah PTP No 3/2020 Pulau Pengalap, Kota Batam Gambar 25. Peta Pertimbangan Teknis Pertanahan di Pulau Pengalap Warna putih pada bagian tengah Pulau Pengalap merupakan Hutan Produksi Tetap berdasarkan Peta Kawasan Hutan (Kepmen LHK No SK 272/MENLHK/STJEN/PLA.0/6/2018). Pada bagian warna biru, kuning dan merah muda dialokasikan untuk pariwisata dalam RTRW Provinsi Kepulauan Riau (Perda No 1 Tahun 2017). Lokasi yang disetujui seluas 1.221.852 m2 (warna biru) dan disetujui bersyarat seluas 191.342 m2 (warna kuning). Sementara lokasi yang tidak disetujui seluas 58.806 m2 (warna merah muda). Dalam ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan yang diatur dalam 157

peta Pertimbangan Teknis Pertanahan berupa (1) tidak merugikan kepentingan umum, tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah sekitarnya serta memenuhi asas keadilan dan berkelanjutan; (2) memperhatikan unsur-unsur kemampuan tanah; dan (3) memenuhi ketentuan peraturan perundangan. Ketentuan mengenai hak atau kepentingan publik seperti akses dalam kondisi darurat (akses berlindung, berteduh, menyelamatkan diri, mencari pertolongan dalam pelayaran) pada pulau tidak disebutkan secara detail namun hal itu perlu diketahui dan dipatuhi oleh perorangan/badan hukum yang menguasai dan mengusahakan pulau kecil. Di wilayah sungai terdapat sempadan sungai dengan jarak bervariasi sesuai dengan tipe sungai bertanggul dan tidak bertanggul termasuk kawasan perkotaan dan di luar perkotaan. Pada Pasal 5 (5) PP No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, disebutkan bahwa keberadaan sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Dengan fungsi sempadan sungai itu, maka dilarang adanya bangunan di dalam sempadan sungai kecuali dimanfaatkan secara terbatas untuk: bangunan prasarana sumber daya air; fasilitas jembatan dan dermaga; jalur pipa gas dan air minum; rentangan kabel listrik dan telekomunikasi; kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur; dan bangunan ketenagalistrikan, seperti tertera dalam Pasal 22 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau (selanjutnya Permen PUPR No 28 Tahun 2015). Namun bila terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai (Pasal 15 Permen PUPR No 28 Tahun 2015). Ketentuan penertiban bangunan pada sempadan sungai itu tidak berlaku pada kondisi keterlanjutan dengan batasan yang ketat, sebagaimana diterangkan dalam pendahuluan Permen PUPR No 28 Tahun 2015. Pertama, keterlanjuran digunakan untuk fasilitas kota, bangunan gedung, jalan, atau 158

fasilitas umum lainnya tetap tak akan diubah dengan alasan historis, bermanfaat lebih besar untuk kepenting umum, dan dipertahankan untuk kemanfaatan saat ini. Menteri, gubernur, bupati dan/atau walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan peruntukan yang telah ada saat ini. Kedua, keterlanjutan lahan sempadan sungai yang dimiliki oleh masyarakat tetap diakui sepanjang sah pemilikannya. Pemilik lahan harus patuh pada peruntukan lahan sebagai sepadan sungai. Jika bangunan terlanjur telah berdiri di sempadan pantai, maka dinyatakan sebagai status quo dengan ketentuan tidak boleh diubah, ditambah, dan diperbaiki serta tidak diberikan izin mendirikan bangunan lagi. Berdasarkan kasus-kasus di atas, keberadaan kepentingan publik dan kepentingan privat di bagian wilayah pesisir ini perlu kiranya pengaturan dan penjelasan secara detail, terkait dengan: (1) batasan fisik di bagian pesisir sebagai hak publik dan hak privat berdasarkan kenyataan di lapang, (2) batasan aktivitas yang dikategorikan hak publik di wilayah pesisir, dan (3) kepatuhan hak privat kepada hak publik. Pengaturan kepentingan (publik dan privat) di bagian wilayah pesisir untuk melindungi dan menjamin keberadaan kedua kepentingan tersebut. Bila terjadi keterlanjutan aktivitas/bangunan/penguasaan privat atau eksistensi pengakuan hak komunal/ tradisional/turun-temurun di bagian wilayah pesisir maka perlu disusun rumusan kepatuhan kepentingan privat terhadap kepentingan publik. Misalnya, kepentingan publik untuk menikmati cakrawala pemandangan di pesisir, bernavigasi dan berburu/menangkap ikan/kerang-kerangan sehingga perlu disediakan jalan/jalur yang layak. Begitu pula, jalur evakuasi ketika terdapat ancaman bahaya seperti ombak besar, gempa bumi, dan tsunami. Dalam konteks penataan pertanahan yang berkelanjutan, pemilikan/penguasaan berupa hak pertanahan di WPPPK dan SB perlu dibarengi dengan arahan pemanfaatannya (aspek sosial dan pemeliharan terhadap tanah dan lingkungannya). Penataan hak pertanahan (misal kelompok masyarakat) mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Aspek sosial mencakup (1) penghormatan dan pengakuan pada 159

masyarakat adat, tradisional, dan lokal, yang telah hidup turun-temurun (2) riwayat bencana alam setempat, (3) konstruksi hunian kuat/tahan lama dan ramah bencana alam, dan (4) jaminan akses publik. Dari aspek ekonomi penataan hak dalam rangka pengembangan perekonomian lokal untuk kesejahteraan warga setempat, sedangkan dari aspek lingkungan agar menjaga kelestarian lingkungan dan terlindungi dari bencana alam dan abrasi dengan fasilitas infrastruktur dasar di antaranya IPAL, penahan ombak, jalur evakuasi bencana. Pertimbangan aspek tersebut tergantung pada karakteristik geografis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Secara ringkas bahwa penataan pertanahan berkelanjutan di WPPPK dan BS tidak semata-mata untuk memperoleh akses tanah dan sumberdayanya yang terjamin tapi sekaligus akses pada permukiman yang layak, dan akses pada fasilitas umum/dasar. Dari penataan pertanahan itu pula diharapkan memperbaiki mata pencaharian secara memadai, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat berkesinambungan, maka lingkungan di lokasi tersebut perlu lestari dari masalah pencemaran dan degradasi, dan aman dari abrasi dan bencana alam. Penataan pertanahan berkelanjutan ini membutuhkan kerjasama yang kompak dari semua pihak. VI. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penyebab ketidakefektifan Permen ATR No 17 Tahun 2016 a. Substansi Hukum yang Belum Akomodatif Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum mengatur persyaratan secara spesifik dalam pemberian hak atas tanah di wilayah terbatas seperti di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari segi objeknya, penataan hak di perairan laut hingga 12 mil dirasakan terlalu jauh dengan tanpa adanya pedoman yang memadai. Permen ini hanya menyebut masyarakat yang tinggal turun-temurun dan masyarakat adat tapi tidak mengakomodasi kategori masyarakat pesisir secara 160

spesifik seperti masyarakat lokal dan masyarakat tradisional dalam penataan hak pertanahan, dan hanya mengakomodasi pemberian tanah negara dalam penciptaan hak (tidak ada konversi). Penyusunan secara detail terkait standar kerja dan metode kerja dari Permen ATR No 17 Tahun 2016 belum diperhatikan dan ditindaklanjuti. b. Struktur Hukum yang Memaknai Permen dengan Multi Tafsir dan Ragu Jenis hak atas tanah mengacu pada UUPA dan PP No 40 Tahun 1996. Petugas di Kantah masih memiliki keragu-raguan dalam memberikan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir dan pulau- pulau kecil terutama jangka waktunya. Mereka memberikan Hak Pakai dalam jangka waktu 10 tahun tapi belum berani dengan jangka waktu maksimal (25 tahun), termasuk belum berani memberikan Hak Milik. Petugas di instansi/dinas pemerintahan setempat memiliki pandangan bervariasi mengenai pemberian hak tersebut antara lain: (1) instansi lingkungan hidup di daerah memiliki persepsi berbeda-beda (sebagian, tidak semua), di antaranya kurang setuju dengan pemberian HAT karena adanya kecurigaan akan adanya reklamasi/penimbunan pesisir di lokasi yang diberikan HAT ketika diberikan HAT; (2) instansi kelautan dan perikanan tidak setuju pemberian HAT pada lokasi hingga 12 mil laut karena kehati- hatian terjadinya private ownership. c. Sarana Penegakan Hukum yang Belum Memadai Kendala pelaksanaan Permen ATR No 17 Tahun 2016: (1) Ketersediaan tata ruang skala besar yang masih minim di WPPPK, (2) Belum ada arahan teknis dalam penerapan proporsi penguasaan 70:30 dan menyisakan 30% untuk kawasan lindung di pulau-pulau kecil, (3) belum seluruh WPPPK di Indonesia dilakukan kegiatan IP4T, (4) terbatasnya data Citra Satelit minimal 10-20 tahun ke belakang untuk pemutakhiran data (garis pantai, akresi tanah timbul, abrasi dst), dan (5) minimnya kegiatan monitoring dan evaluasi 161

terkait administrasi pertanahan di WPPPK untuk menjadi bahan evaluasi. d. Budaya Hukum Masyarakat yang Belum Memiliki Kesadaran Hukum Mengenai Sertifikat Tanah Masyarakat mempunyai kebiasaan lokal setempat bahwa mereka merasa lebih familiar (dekat) atas tanahnya dengan surat keterangan dari desa ketimbang mengurus rekomendasi (tanah timbul) dari Kementerian ATR. Masyarakat sebagai bagian dari pihak yang dituju dalam aturan ini tidak memperoleh informasi yang memadai terkait Permen ATR No 17 Tahun 2016, yang berakibat pada minimnya tingkat pemahaman masyarakat. Sebagian masyarakat tidak banyak tahu tentang aturan tersebut. 2. Model pengelolaan pertanahan yang belum sepenuhnya bertanggungjawab a. Penilaian pengelolaan pertanahan bertanggungjawab diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Tanggap (responsive): Permen ATR No 17 Tahun 2016 tanggap pada kebutuhan terhadap aturan pertanahan di WPPPK namun aturan ini tidak dimaksudkan sebagai “intervensi pengaturan khusus” yang dapat dilakukan bersama para pihak (dari atas dan dari bawah) dengan dukungan tim pelaksana, anggaran memadai, kerja berjangka waktu dan target capaian tertentu. Minimnya respon terhadap kebutuhan para pihak untuk memperoleh hak atas tanah disebabkan terutama ketersediaan tata ruang (oleh pemerintah daerah) sebagai pertimbangan/persyaratan penataan pertanahan. 2) Lenting (resilient): Tata ruang sebagai pertimbangan/persyaratan menjadi tantangan dalam pelaksanaan penataan hak pertanahan di WPPPK. Keberadaan rekomendasai dan rencana zonasi sebagai alternatif pertimbangan (selain tata ruang) dalam penataan pertanahan tapi hal itu nyaris tidak berjalan secara memadai. 162

Struktur sosial masyarakat di WPPPPK mempunyai adaptasi yang relatif tinggi secara sosial, ekonomi dan lingkungan sebab mereka telah tinggal secara turun-temurun dan membentuk komunitas di lokasi tersebut. 3) Kokoh (robust): struktur organisasi pelaksana kegiatan penataan pertanahan terlihat kokoh berpegang pada mekanisme dan aturan yang berlaku. Tekanan yang datang dari luar tidak membuat struktur pelaksana menjadi rentan. Masyarakat yang tidak memiliki sertifikat dalam kondisi rentan secara hukum, sedangkan masyarakat yang telah memiliki sertipikat semakin kokoh secara hukum sekalipun dalam keseharian belum dijumpai persoalan hukum/konflik pertanahan yang muncul ke permukaan. 4) Dipercaya (reliable): Alas hak sebagai bukti terpercaya untuk pendaftaran tanah di antaranya surat keterangan dari desa, bukti jual-beli dan bukti lainnya untuk menunjukkan riwayat dan hidup turun-temurun. Di lokasi yang memiliki tata ruang memadai, maka penataan hak pertanahan dapat dilakukan sehingga hal itu sesuai dengan harapan pelaksana aturan dan harapan masyarakat. Berbeda dengan lokasi yang tidak dilaksanakan penataan pertanahan, sebagian masyarakat mengharapkan adanya program dalam rangka penataan pertanahan. Namun pemberian ragam jenis hak (Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Milik) itu cenderung dimaknai/dipersepsikan sama sebagai Hak Milik. 5) Dihormati (respected): Pelaksana kegiatan penataan hak pertanahan dinilai secara positif namun terdapat harapan besar mengenai perlu adanya program pertanahan secara sistematis yang melibatkan para pihak. Keberadaan penataan hak pertanahan menuai ragam pandangan (setuju, tidak setuju dan setuju bersyarat) dengan variasi alasannya tapi dalam pelaksanaannya dapat diterima oleh semua pihak. 163

6) Keterlacakan (traceabililty): Penataan hak pertanahan membutuhkan kerjasama para pihak dalam pelaksanaannya namun kerjasama ini belum sepenuhnya kompak dan kuat dalam penataan pertanahan ini. Kerjasama dengan pemerintah daerah seperti dalam penyediaan tata ruang yang memadai (sebagai pertimbangan), aturan sempadan pantai dan tanah timbul yang berada dalam kewenangan pemerintah daerah. Mekanisme penataan hak pertanahan tercatat dengan baik (data fisik dan yuridis) dalam pengarsipan sehingga jika terjadi persoalan dapat dilacak kembali. Persoalan yang 7) Diakui (recognizeable): Persoalan yang dihadapi dalam penataan hak pertanahan secara bersama-sama adalah pengetahuan mengenai aturan tersebut. Konsekuensi dari minimnya pengetahuan itu, maka tata ruang tidak mengakomodasi penataan hak pertanahan, dan masyarakat lebih banyak berharap adanya program strategis atau program secara sistematis dalam legalisasi pertanahan. 8) Reflektif (reflexive): Revisi terhadap keputusan dalam pendaftaran tanah dapat dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan keberadaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 telah memperoleh masukan dari segi muatan terutama dari Kemen ATR, KKP dan Sekretaris Kabinet dan masyarakat. Pada awalnya Permen ini dinilai positif untuk mengisi kekosongan aturan tapi kemudian menghadapi kendala dalam kerjasama para pihak terutama dalam terpenuhinya pertimbangan/persyaratan penataan pertanahan. Konsekuensinya, semua kebutuhan para pihak dalam penataan pertanahan belum terpenuhi secara memadai. b. Permen ATR No 17 Tahun 2016 mengatur bagian wilayah pesisir berupa pantai dan perairan pesisir, dan di pulau-pulau kecil mengenai kepentingan privat sekaligus kepentingan publik. Agar kedua kepentingan itu terjamin, maka sebaiknya disusun mekanisme 164

atau instrumen dan pemantauannya mengenai kepatuhan kepentingan privat terhadap kepentingan publik dan sebaliknya. Hal itu bertujuan untuk kepastian hak dan kepentingan, dan mencegah konflik sosial ke depan. B. Rekomendasi 1. Penataan pertanahan di WPPPK dan SB khususnya WPPPK, dalam jangka panjang, sebaiknya diatur dengan Peraturan Pemerintah karena banyak kegiatan yang bersifat koordinatif lintas sektor. Peraturan Pemerintah dimaksud sebagai langkah pengembagan dari Pasal 60 PP No 40 Tahun 1996 sehingga Peraturan Pemerintah tersebut dapat dioptimalkan dalam rangka penataan pertanahan. Dari segi koordinasi lintas sektor kewenangan permukaan air laut dan kolomnya di KKP, sedangan tanah di bawah air laut adalah kewenangan Kementerian ATR. Untuk kebutuhan jangka pendek, pengaturan WPPPK dan SB sebaiknya dilakukan melalui penyempurnaan Permen ATR No 17 Tahun 2016 karena penataan pertanahan di WPPPK dan BS butuh respon segera seperti pertumbuhan penduduk dan permukiman masyarakat dan peningkatan aktivitas wisata dan perikanan. 2. Penataan pertanahan dan pengaturan di WPPPK ke depan kiranya dapat memberikan Hak Pakai dengan jangka waktu maksimal atau bahkan Hak Milik kepada masyarakat (adat, tradisional dan lokal) dengan pertimbangan: (1) tinggal secara turun-temurun, (2) lokasi tidak mempunyai riwayat bencana alam besar yang membayakan dan dalam siklus yang pendek, (3) konstruksi tiang pancang bangunan permukiman kuat/tahan lama (minimal 60 tahun) dan bangunan ramah bencana alam, (4) tanah di bawah dasar laut padat dan keras, (5) jaminan akses kepentingan publik (jalan, jalur evakuasi dan lainnya), dan (6) mempunyai kepedulian terhadap kelestarian fungsi alam. 3. Keberadaan jenis HAT terutama di WPPPK cukup diatur sebagaimana ketentuan dalam UUPA, dengan catatan penting ditambahkan pengaturan persyaratan pemberian HAT karena wilayah terbatas. 165

Catatan penting yang lain dalam pemberian HAT: a). Hak Pakai untuk kepentingan pemerintah; b). Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten/Kota yang memungkinkan pemberian 1 (satu) pulau kecil sesuai dengan Pasal 60 PP No 40 Tahun 1996. Kepentingan seperti ini supaya diatur oleh PP Tindak Lanjut UUCK tentang PP Penguatan HPL dan Hak Atas Tanah, yang sedang disusun; c). Hak Pakai diberikan untuk permukiman masyarakat yang bangunan secara fisik belum permanen dan kondisi tanah (di bawah air laut) tidak stabil. Hak Milik untuk masyarakat yang bangunan secara fisik permanen dan lahan stabil; dan d). Hak Guna Bangunan untuk kepentingan usaha/bisnis 4. Penataan hak atas tanah membutuhkan koordinasi dan kerjasama ATR/BPN yang kuat baik internal maupun eksternal dengan K/L lain. a. Koordinasi internal. Percepatan pelaksanaan kegiatan IP4T di WPPPK dan SB, dan kegiatan rutin pemantauan dan evaluasi, dan percepatan ketersediaan tata ruang yang memadai di daerah dengan Direktorat PGT, Direktorat Pemantauan dan Evaluasi, Ditjen Penataan Ruang, Kantah dan Kanwil BPN. b. Koordinasi eksternal. (1) Dengan Kemendesa mengenai pemetaan desa dan wilayah perdesaan secara partisipatif di WPPPK dan SB dengan menggunakan dana desa untuk penyediaan data dan informasi terhadap tata ruang daerah termasuk pembangunan desa berbasis tata ruang. (2) Dengan Pemerintah Daerah terkait penyusunan, penetapan dan evaluasi tata ruang daerah. (3) Dengan Badan Informasi Geospasial mengenai penyediaan peta dasar dan peta mutakhir secara time series yang memadai terkait dengan data dan informasi pertanahan di WPPPK dan SB. (4) Dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana berfokus pada penyediaan peta dan informasi mengenai potensi kebencanaan di WPPPK dan SB secara time series dan mutakhir. (5) Dengan KKP bekerjasama dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan melalui perizinan di WPPPK. 166

5. Kunci utama penerapan pengelolaan pertanahan bertanggung jawab dalam penataan pertanahan terletak pada tanggap (responsive) terhadap kebutuhan warga khususnya di WPPPK dengan melibatkan warga. Instrumen tanggap perlu dimasukkan di dalam aturan/pedoman, mekanisme kelembagaan (penguatan monitoring dan evaluasi), dan alokasi anggaran (anggaran sesuai dengan kebutuhan warga WPPPK dan kebutuhan Kanwil/Kantah yang terletak di WPPPK). 6. Saran penelitian berikutnya: (1) Penelitian transdisiplin tentang perlindungan tenurial masyarakat adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal dalam mengatasi kemiskinan secara berkelanjutan (reforma agraria), kerentanan pangan dan perubahan iklim, dan (2) Penelitian pengakuan tenurial masyarakat di wilayah pesisir, pulau- pulau kecil dan sungai besar dalam perubahan tata ruang daerah. VII. DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sidiq, T.P., & Fukuda, Y. (2013). Land subsidence in coastal city of Semarang (Indonesia): Characteristics, impacts and causes. Geomatics, Natural Hazards and Risk Vol. 4:3, pp. 226-240. Akbar, M. (2017). Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Togean Kabupaten Tojo Una Una Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo). Omni-Akuatika, 12(3). Ameyaw, P.D., Dachaga, W., Chigbu, U.E., de Vries, W.T., & Asante, L.A. (2018). Responsible land management: The basis for evaluating customary land management in Dormaa Ahenkro, in Ghana, pp 18, Paper presentation in “2018 World Bank Conference on Land and Poverty” The World Bank - Washington DC, March 19-23, 2018. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). (2015). Citra Tanjungpinang dalam Arsip. Jakarta: ANRI. Astjario, P., & Harkins, FX. (2005). Penelitian lingkungan pantai wilayah pesisir Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jurnal Geologi Kelautan, Vol. 3, No. 2, Agustus : 19 – 26. Astor, Y. (2016). Pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan (Wilayah studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur). Disertasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 167

Béné, C. (2003). When fishery rhymes with poverty: A first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries. World Development Vol. 31, No. 6, pp. 949–975. Béné, C. (2011). Poverty in small-scale fisheries: Old issue, new analysis. Progress in Development Studies Vol.11: 2, pp. 119–44. Berkes, F. (1994). Property rights and coastal fisheries, p. 51-62. In R.S. Pomeroy (ed.) 1994. Community management and common property of coastal fisheries in Asia and the Pacific: Concepts, methods and experiences. ICLARM Conf. Proc. 45. Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A. & Williamson, I. (2004). Developing the concept of a marine cadastre: An Australian case study. Trans-Tasman Surveyor, 6. BPS Kabupaten Cirebon. (2019). Kabupaten Cirebon dalam angka. Cirebon 2019: BPS BPS Kabupaten Mempawah. (2019). Statistik daerah Kabupaten Mempawah 2019. Mempawah: BPS BPS Kota Batam. (2019). Kota Batam dalam angka 2019. Batam: BPS BPS Kota Pontianak. (2019). Kota Pontianak dalam Angka 2019. Kota Pontianak: BPS BPS Kota Tanjungpinang. (2019). Kota Tanjungpinang dalam angka 2019. Tanjungpinang: BPS BPS. (2017). Statistik sumber daya laut dan pesisir. Jakarta: BPS. BPS. (2019). Statistik lingkungan hidup Indonesia 2019: Hutan dan perubahan iklim. Jakarta: BPS BPS. 2018. Statistik potensi desa Indonesia 2018. Jakarta: BPS. Bromley, D.W. (1992). The commons, common property, and environmental policy. Environmental and Resource Economics 2: 1-- 17. Christian, F.Y. (2019). Ekonomi politik konflik agraria pulau kecil (Studi kasus Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta). Tesis. Bogor: IPB Daidu, F. (2013). Classifications, sedimentary features and facies associations of tidal flats. Journal of Palaeogeography, 2(1): 66-80. Darmaputera, E. (1988) Pancasila and the search for identity and modernity in Indonesian society. Leiden: E. J. Brill. de Vries, W.T. (2020). Application of 8R framework of responsible management to evaluate relocation of capital cities, Power Point Presentation, 27 February 2020, pp. 1-29. de Vries, W.T., & Chigbu, U.E. (2017). Responsible land management – Concept and application in a territorial rural context, fub 2. Desjardins, P.R., Buatois, L. A., & Ma´ngano, M.G. (2012). Tidal flats and subtidal sand bodies, Developments in Sedimentology, Vol. 64,. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-53813-0.00018-6. Dey, I. (1993). Qualitative data analysis: A user-friendly guide for social scientists. USA and Canada: Routledge. 168

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Cirebon. (2019). Laporan akhir inventarisasi dan pemetaan tanah timbul Kabupaten Cirebon. Cirebon: PT Itergo Buana Utama, 2019. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP. (2019). Laporan capaian kinerja program Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Tahun 2015- 2019. Direktorat PWP3WT Kementerian ATR. (2019). Inventarisasi Data Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Manggarai Barat Desa Pasir Putih Tahun 2019. Ditjen PDASHL KLHK. (2018). Statistik Ditjen PDASHL Tahun 2018. Jakarta: Ditjen PDASHL. Douvere, F. (2008). The Importance of marine spatial planning in advancing ecosystem-based sea use management. Marine Policy 32, 762– 771. Downe‐Wamboldt, B. (1992). Content analysis: method, applications, and issues, Health Care for Women International, 13:3, 313-321. Duff, J. (2016). Public shoreline access in Maine: A citizen’s guide to ocean and coastal law. 3th Ed. Orono, ME: Maine Sea Grant College Program. Elo, S., & Kynga¨s, H. (2008). The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing 62(1), 107–115. Enemark, S., Williamson, I & Wallace, J. (2005). Building modern land administration systems in developed economies. Spatial Science, Vol. 50, No. 2, December, pp 51-68. Falkland, A. (1991). Hydrology and water resources of small islands: A practical guide. Paris: UNESCO. FAO. (1992). Report of the United Nations Conference on Environment & Development Rio de Janerio (Brazil), 3-14 June 1992. Vol. 1 Resolution adopted by conference. NY. UN 1993. A/CONF.151/26/Rev.l (Vol. l) https://www.un.org/esa/dsd/agenda21/Agenda%2021.pdf diakses pada 28/06/2020. FAO. (2012). Voluntary guidelines on the responsible governance of tenure of land, fisheries and forests in the context of national food security, Rome. Sumber: http://www.fao.org/3/a-i2801e.pdf diakses pada 28 Juni 2020. FAO. (2015). Voluntary guidelines for securing sustainable small-scale fisheries in the context of food security and poverty eradication, Rome. Sumber: http://www.fao.org/documents/card/en/c/I4356EN diakses pada 28 Juni 2020. Fauzi, A. (2009). Menakar nilai ekonomis kawasan pesisir,” Buletin Tata Ruang Edisi 5. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Firdaus, F., Trisutomo, S., & Ali, M. (2018). Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Infrastruktur Dan Sosial Ekonomi Masyarakat Yang Berkelanjutan. Prosiding Semnastek, 1(1). Friedman, L. (1975). The legal system: A social science perspective. New York, USA: Penerbit Russell Sage Foundation. Hanum, E.R. (2017). Dinamika konflik tanah timbul di Pulau Sarinah Kabupaten Sidoarjo, Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September, hal 135- 142. 169

Harsono, B. (2003) Hukum agraria Indonesia: Sejarah pembentukan undang- undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. Kesembilan. Jakarta: Penerbit Djambatan. Harsono, B. (2015). Hukum agraria Indonesia. Jilid 1. Cet. Ke-2. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Harsono, B. (2016). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Heriati, A., & Husrin, S. (2017). Perubahan garis pantai di Pesisir Cirebon berdasarkan analisis spasial, Reka Geomatika, No.2, Vol. 2017, 52-60. Irianto, S dan Shidarta. (2011). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kahn, M.A. (1995). Concepts, definitions, and key issues in sustainable development: the outlook for the future. Proceedings of the 1995 International Sustainable De¨elopment Research Conference, Manchester, England, Mar. 27-28, 1995, Keynote Paper, pp. 2-13. Keena, M.R., Schwarz, A., & Wini-Simeon, L. (2017). Towards defining the blue economy: Practical lessons from Pacific ocean governance. Marine Policy xxx (xxxx) xxx–xxx. Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Indonesia. Protaru (Progress Tata Ruang). Diakses https://tataruang.atrbpn.go.id/protaru/ tanggal 30 November 2020. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Rencana Tata Ruang diakses di https://gistaru.atrbpn.go.id/rtronline/ pada tanggal 23 Desember 2020. Kementerian Dalam Negeri, Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Nomor PHN-HN.01.03-07” (diakses di https://www.bphn.go.id/data/documents/bphn_pedoman_evaluasi_puu_202 0.pdf.pdf pada tanggal 3 Desember 2020). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2018). Buku pintar Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/PERMEN-KP/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN- KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8/Permen-Kp/2018 tentang Tata Cara 170

Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 8/PERMEN-KP/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau- Pulau Kecil dengan Luas Di bawah 100 KM. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia. Rencana zonasi ditetapkan aceh siap kelola wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. diakses https://kkp.go.id/djprl/artikel/20347-rencana-zonasi-ditetapkan-aceh-siap- kelola-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil tanggal 24 Juni 2020. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2018). Kelautan dan perikanan dalam angka 2018. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi KKP. Kementerian Koordinator Perekonomian RI, RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang diakses di https://uu-ciptakerja.go.id/rpp-penyelenggaraan-penataan- ruang-2/ pada tanggal 23 Desember 2020. Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Deskripsi peta ekoregion laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Tata Lingkungan. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 04/PRT/M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Indonesia. Strategi Penyelenggaraan Kawasan Permukiman (SPKP): Kepulauan Riau. Diakses di sipkp.ciptakarya.pu.go.id/internal/page/record/view/?id=834&data=11 tanggal 16/11/2020. Khaliesh, H., Widiastuti, I., & Budi, B.S. (2012). Karakteristik permukiman tepian sungai Kampung Beting di Pontianak: Dari rumah lanting ke rumah tiang. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012, 14 halaman. Kinseng, R.A., Nasdian, F.T., Fatchiya, A., Mahmud, A., & Stanford, R.J. (2018): Marine-tourism development on a small island in Indonesia: Blessing or curse?, Asia Pacific Journal of Tourism Research, DOI: 10.1080/10941665.2018.1515781. Kompas. (2015). Kelompok miskin capai 32 persen dari total masyarakat Indonesia. Diakses https://money.kompas.com/read/2015/02/10/141818526/Kelompok.Miskin. Pesisir.Capai.32.Persen.dari.Total.Masyarakat.Miskin.Indonesia pada tanggal 23 Juli 2020. Lapian, A.B (2011) Orang laut bajak laut raja laut. Jakarta: Komunitas Bambu. Lestari, E., & Satria, A. (2015). Peranan sistem Sasi dalam menunjang pengelolaan berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat. Buletin Ilmiah “MARINA” Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Tahun 2015: 67-76. Mahkamah Konstitusi Indonesia. (2012). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahmud, A., Pratiwi, A.S., Widodo, P.W., & Kasihartadi. (2017). Abanfan Matilon: Kearifan lokal masyarakat Pulau Liki dalam pengelolaan pesisir 171

(hal. 77-108), dalam A. Satria, R. M. Ismail, T. Sasaluti, & A. Darwis. Laut dan masyarakat adat. Jakarta: Kompas. Malagina, A. (2019). Kisah rumah Letnan Tan Soe Kie di Pecinan Senggarang Tanjungpinang, National Geographic. Diakses di https://nationalgeographic.grid.id/read/131748313/kisah-rumah-letnan-tan- soe-kie-di-pecinan-senggarang-tanjungpinang?page=all tanggal 4 Desember 2020. Malindawati, R. Kotaku: Kota tanpa kumuh. Diakses di kotaku.pu.go.id/view/8359/senggarang-goes-to-the-terrace-of-tanjungpinang pada tanggal 16 November 2020. Mantjoro, E. (1996). Traditional Management of communal-property resources: The practice of the Sasi System. Ocean & Coastal Management, Vol. 32, No. 1, pp. 17-37. Marzuki, M. (2005). Penelitian hukum (Ed. Revisi). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Meriam-Webster. Visual dictionary online, “common coastal feature”, www.visualdictionaryonline.com/earth/geology/common-coastal- features/common-coastal-features.php#dune582 diakses pada tanggal 9/7/2020. Novianti, A. (2020). Pengaturan penguasaan tanah di wilayah perairan, Power Point 1-34 hal. Jakarta, 23 November 2020. Nur, S.S. (tt). Pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir secara turut-temurun oleh Suku Bajo, Prosiding Seminar Nasional Multi Disipli Ilmu & Call for Papers Unisbank (Sendi_U), Kajian Multi Disiplin Ilmu untuk Mewujudkan Poros Maritim dalam Pembangunan Ekonomi Berbasis Kesejahteraan Rakyat. ISBN: 978-979-3649-81-8. Nurnaeni, S. (2020). Perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, disampaikan pada Kegiatan Penyusunan Rancangan dan Instrumen Penelitian Tahap II Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan di Kementeria ATR/BPN tanggal 17 Juli2020. Oman-Reagan, M. (2015). The goldilocks theory, The Winnower 7:e142974.49132. DOI: 10.15200/winn.142974.49132. Diakses dari https://thewinnower.com/papers/164-the-goldilocks-theory tanggal 16 Juli 2020 Ostrom, E., & Hess, C. (2010). Private and common property rights, Chapters, in: Boudewijn Bouckaert (ed.), Property Law and Economics, chapter 4, Edward Elgar Publishing. Palmer, D., Fricska, S., & Wehrmann, B. (2009). Towards improved land governance, Land Tenure Working Paper 11. September. FAO. Pattingi, F. (2013). Prinsip keadilan sosial dalam sistem tenurial di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, Jurnal Bhumi, No. 38 Tahun 12, Oktober. Pemerintah Australia. (1997). The Parliament of The Commonwealth of Australia, Joint Standing Committee on Treaties, Australia-Indonesia Maritime Delimitation Treaty, 12th Report, November 1997. 172

Pemerintah Indonesia. (1945). Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Indonesia. (1974). Memorandum of Understanding Indonesia dengan Australia di Jakarta tanggal 7 November 1974. Pemerintah Indonesia. (1996). Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan. Pemerintah Indonesia. (2002). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Pemerintah Indonesia. (2004). Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Pemerintah Indonesia. (2007). Undang Undang Nomor No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil. Pemerintah Indonesia. (2007). Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Tentang Penataan Ruang. Pemerintah Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Indonesia. (2012). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai Pemerintah Indonesia. (2016). Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Pemerintah Indonesia. (2017). Keputusan Presiden Nomer 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pemerintah Indonesia. (2019). Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Pemerintah Indonesia. (21985). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Pemerintah Kabupaten Cirebon, Indonesia. (2018). Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Pemerintah Kabupaten Cirebon, Indonesia. (2018). Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Pemerintah Kota Tanjungpinang, Indonesia. (2014). Peraturan Daerah No 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2014–2034. Pemerintah Kota Tanjungpinang, Indonesia. (2018). Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang No 3 Tahun 2018 tentang RDTR dan PZ 2018-2038. Pemerintah Republik Indonesia. (1960). Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); Psulitbang Kementerian ATR/BPN. (2020). Rapat FGD Pertama Penelitian Penguasaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diselenggarakan oleh Psulitbang Kementerian ATR/BPN, 2020. 173

Pusat Riset Kelautan, KKP, Indonesia. Peta indeks kerentanan pesisir Indonesia 2009. Diakses di http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/peta- kerentanan-pesisir-nasional pada 28 Juni 2020. Puslitbang BPN. (2014). Penelitian pola penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil. Bogor: Puslitbang BPN. Sadzali, A.M. (2019). Hulu ke hilir: Jaringan dan sistem perniagaan sungai kerajaan Srivijaya. Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 9 No.1: 61–82, Safitri, F., Suryanti, & Febrianto, S. (2019) Analisis perubahan garis pantai akibat erosi di pesisir Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 25 No.1 Mei: 37-46. Sari, I.K. (2014). Perubahan karakter arsitektur permukiman Kampung Beting Kota Pontianak Kalimantan Barat. Langkau Betang, Vol. 1/No. 1, 62-75. Sarjiyanto & Inagurasi, L.H. (2018). Perdagangan di pertemuan Sungai Kapuas dan Tayan, Sanggau, Kalimantan Barat, abad ke-19. Purbawidya: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Vol. 7(1), Juni, pp 71 – 88. Satizábal, P., Dressler, W.H., Fabinyi, M., & Pido, M.D. (2020). Blue economy discourses and practices: reconfiguring ocean spaces in the Philippines. Maritime Studies. Satria, A. (2009). Pesisir dan laut untuk rakyat, Cetakan Kedua. Bogor: IPB Press. Satria1, A., & Mony, A. (2019). Dinamika praktek Sasi Laut di tengah transformasi ekonomi dan politik lokal. Sodality, Agustus hal. 143-152. Schlager, E., & Ostrom, E. (1992). Property-rights regimes and natural resources: a conceptual analysis. Land Economics, Vol. 68, No. 3, pp. 249-262. Sekretaris Kabinet, Indonesia. (2017). UN verifies names of 16,056 Indonesian islands. Diakses di https://setkab.go.id/en/un-verifies-names-of-16056- indonesian-islands/ 7 Juni 2020. Septianto, M., Kolopaking, L.M., & Adiwibowo, S. (2018). Penguasaan tanah timbul oleh rumah tangga buruh Migran Indonesia, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol 6 No 2 Agustus, hal 175-183. Sikor, T., He, J., & Lestrelin, G. (2017). Property rights regimes and natural resources: A conceptual analysis revisited. World Development Vol. xx, pp. xxx–xxx. Silver, J.J., Gray, N.J., Campbell, L.M., Fairbanks, L.W., & Gruby, R.L. (2015) Blue economy and competing discourses in international oceans governance. Journal of Environment & Development, Vol. 24(2) 135–160. Sitorus, O. 2006. Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang di Indonesia. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Soekanto, S. (2007). Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Sorensen, J. (2002). Baseline 2000 background report: The status of integrated coastal management as an international practice (second iteration). Urban Harbors Institute Publications. Paper 31. Suárez, S.M., Osorio, L.M., & Langford, M. (2009). Voluntary guidelines for good governance in land and natural resource tenure: Civil society 174

perspectives. Land Tenure Working Paper 8. FIAN International, Hakijamii (Economic and Social Rights Centre) and FAO, January. Sutherland, M.D. (2005). Marine boundaries and good governance of marine spaces. Department of Geodesy and Geomatics Engineering University of New Brunswick. Technical Report No. 217. Titus, J.G. (1998). Rising seas, coastal erosion, and the takings clause: How to save wetlands and beaches without hurting property owners. 57 MD. L. REV. 1279. https://digitalcommons.law.umaryland.edu/mlr/vol57/iss4/3. UNCED. (1993). Report of the United Nations Conference on Environment & Development Rio de Janerio (Brazil), 3-14 June 1992. Vol. 1 Resolution adopted by conference. NY. UN 1993. A/CONF.151/26/Rev.l (Vol. l) https://www.un.org/esa/dsd/agenda21/Agenda%2021.pdf diakses pada 28 Juni 2020. UNESCO. (1994). Island Agenda. An overview of UNESCO's Work on Island Environments, Territories, and Societies. Paris, France: Adolarc. UNESCO. (2000). Wise coastal practices for sustainable human development. Results of an intersectoral workshop, 30 November to 4 December 1998, and preliminary findings of a follow-up virtual forum. CSI info 10, UNESCO, Paris, viii + 126 pp. UNESCO. (2002). Wise practices for conflict prevention and resolution in small islands. Results of a workshop on ‘Furthering Coastal Stewardship in Small Islands’, Dominica, 4–6 July, 2001. Coastal region and small islands papers 11, UNESCO, Paris, 70 pp. Utomo, B.B. (1990). Pemukiman kuno di daerah tepi Sungai Batanghari pada masa Melayu. Berkala Arkeologi, 11(1), 13-26. https://doi.org/10.30883/jba.v11i1.548 Vallega, A. (1993). A conceptual approach to integrated coastal management. Ocean & Coastal Management, Volume 21, Issues 1–3, Pages 149-162. World Resources Institute (WRI). (2000). World Resources 2000–2001: People and ecosystems: The fraying web of life. Washington: WRI. Wulandari, M. (2020). Dinamika pengaturan penguasaan tanah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, Catatan Evaluatif, Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Pulau-pulau Kecil Direktorat PWP3WT, Juni 2020. Wulandari, M. (2020). Rencana tata ruang dalam pengaturan penguasaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP & PPK), Catatan Evaluatif, Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Pulau-pulau Kecil Direktorat PWP3WT, Juni 2020, 8 halaman. 175

VIII. LAMPIRAN A. Organisasi Peneliti dan Biodata Peneliti Organisasi penelitian dibentuk berdasarkan Surat Keterangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan komposisi sebagai berikut: 1. Koordinator Peneliti : Oloan Sitorus 2. Pembantu Peneliti : a. Eri Khaeruman Khuluki b. Mitra Wulandari 3. Tenaga Ahli : Amir Mahmud 4. Sekretaris : Nabila Tryani Putri A a. Koordinator Nama : Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. Surat Elektronik : [email protected] dan [email protected] Google Scholar : https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=Hn8YT4UAAAAJ&vie w_op=list_works&sortby=pubdate Jumlah Sitasi : 244 Nomor Telepon : 08281328102123 Pekerjaan : Kepala Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Lembaga : Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Alamat Surat : Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Jl. Akses Tol Cimanggis, Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Riwayat Pendidikan: 7. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), 1998; 8. Fakultas Pasacsarjana UGM (FPs UGM), 1992; 9. Program Doktor Ilmu Hukum USU (PPs USU), 2002. Karya Tulis Terpilih: 1. Hukum Agraria di Indonesia: Konsep Dasar dan Implementasi (Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006). 176

2. Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang di Indonesia (Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006); 3. Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono (Oloan Sitorus dan Taufik Nur Huda, Penerbit STPN Press, 2012); 4. Konsolidasi Tanah, Tata Ruang, dan Ketahanan Nasional (Penerbit STPN Press, 2015); b. Pembantu Peneliti 1 Nama : Eri Khaeruman Khuluki, Sp., M.Si E-mail : [email protected] Telp./HP : 081288345543 Pekerjaan : Kepala Subbagian Tata Usaha PPSK-ATP Lembaga : Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Alamat Surat : Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Jl. Akses Tol Cimanggis, Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Riwayat Pendidikan Formal: S-1 : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB); S-2 : Magister Ilmu Geografi Universitas Indonesia (UI). Karya Tulis Terpilih: 1. Silang Pendapat Keruangan (Dimensi Ganda Keruangan, Penerbit Universitas Indonesia Press, 2015); 2. Analisis Model Pertumbuhan Permukiman Kota Depok Menggunakan Cellular Automata (Jurnal Iptek Pertanahan, 2016). c. Pembantu Peneliti 2 Nama : Mitra Wulandari, ST, MH Surat Elektronik : [email protected] Google Scholar : https://scholar.google.co.id/citations?hl=id&user=acsZU5UAAAAJ Nomor Telepon : 081289343466 Pekerjaan : Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Pulau- Pulau Kecil 177

Lembaga : Kementerian ATR/ Badan Pertanahan Nasional Alamat Surat : Direkrorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Jl. H. Agus Salim No. 58, Kel. Gondangdia Kec. Menteng, Jakarta Pusat. Riwayat Pendidikan: 1. Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya (2003-2008); 2. Magister Ilmu Hukum (Sumber Daya Alam), Universitas Indonesia (2012-2014). Karya Tulis Terpilih: 1. Penerapan Hak Atas Tanah untuk Permukiman di Atas Air Pada Perairan Pesisir Kota Tanjungpinang Dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional: Tesis (Universitas Indonesia, 2014); 2. Penyusunan Potensi Penataan Pertanahaan di Pulau Manis dan Pulau Sambu Kota Batam: Studi Kasus (Direktorat PWP3WT, 2017); 3. Dinamika Pengaturan Penguasaan Tanah Perairan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil: Catatan Evaluatif (Direktorat PWP3WT, 2020). d. Tenaga Ahli Nama : Amir Mahmud, S.Sos., M.Si Researchgate : https://www.researchgate.net/profile/Amir_Mahmud13 Surat Elektronik : [email protected] Nomor Telepon : 081283841038 Pekerjaan : Peneliti Lembaga : Peneliti Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin LPPM Institut Pertanian Bogor Alamat Surat : Bogor Riwayat Pendidikan: 1 Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Sosiologi Agama; 2 Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Magister Program Studi Sosiologi Pedesaan. 178

Karya Tulis Terpilih: 1. Penyelesaian Tak Berujung, Konflik Laten Muncul, Working Paper Sajogyo Institute (2015); 2. Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Volume 12 Nomor 2 bulan Agustus 2015); 3. Zonasi Konservasi Untuk Siapa? Pengaturan Perairan Laut Taman Nasional Bali Barat (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Volume 18, Nomor 3, Maret 2015); 4. Teritorialisasi dan Konflik Nelayan di Taman Nasional Bali Barat (J. Sosek KP Vol. 11 No. 1 Juni 2016); 5. Abanfan Matilon: Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Liki dalam Pengelolaan Pesisir (bab 3), dalam Satria A. et al. Laut dan Masyarakat Adat, Jakarta: Kompas 2017. 179

B. Gambar 1. Surat Keterangan Penggarapan Tanah Timbul (1) (2) Sumber: Foto Peneliti Surat Keterangan Penggarapan Tanah Timbul Desa Mundupesisir (1) dan Surat Keterangan Bukti Hak Tunggu Garapan Desa Pangarengan (2) 180

2. Contoh Hak Guna Bangunan di Pelantar Kota Tanjungpinang 3. Contoh Hak Milik di Pelantar Kota Tanjungpinang 181

4. Contoh Hak Pakai di Pelantar Kota Tanjungpinang 182


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook