Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Kajian Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah

Kajian Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah

Published by perpustakaanpublikasi, 2020-11-10 15:09:28

Description: Kajian Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah

Search

Read the Text Version

Kajian Kebijakan Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Disusun oleh: 1. Supardy Marbun 2. Lusia Tri Harjanti DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENGEMBANGAN DAN STANDARISASI KEBIJAKAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BPN 2020

KAJIAN KEBIJAKAN PELIMPAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH DAN KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH TIM PENYUSUN : Supardy Marbun, S.H., M.Hum. : Lusia Tri Harjanti, S.E. Koordinator : Tunjiah Pembantu Peneliti Sekretaris Peneliti Diterbitkan Oleh: Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966 Cetakan Pertama - 2020 ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa, kajian tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah telah dapat diselesaikan. Kajian ini dilaksanakan sebagai bentuk dukungan dan masukan terhadap rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk membentuk satu Peraturan Menteri mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas dan kegiatan pendaftaran tanah. Peraturan Menteri yang akan dibuat sebagai pengganti Peraturan Kepala BPN RI Nomor 2 Tahun 2013 jo Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2017. Dalam menyiapkan kajian ini telah dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang- undangan khususnya UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, maupun peraturan lainnya yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan agraria/pertanahan. Kemudian dilakukan studi banding ke Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian Negara RI sebagai instansi vertikal untuk memperoleh gambaran mengenai pelimpahan kewenangan pada institusi tersebut. Selanjutnya dilaksanakan wawancara dengan akademisi yang berkompeten yakni dari Universitas Airlangga di Surabaya dan Universitas Udayana di Bali. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak atas dukungan dalam pelaksanaan kajian ini khususnya antara lain: 1. Bapak Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S., Kepala Pusat Pengembangan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan, atas kepercayaan yang diberikan kepada kami untuk melakukan kajian ini; 2. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., Guru Besar (Emeritus) Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya; 3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana di Bali; 4. Prof, Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta; 5. Bapak Dr. Yagus Suyadi, S.H., M.Si., Kepala Biro Hukum Kementerian ATR/BPN; 6. Bapak Dr. Husaini, S.H., M.Kn., Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Atas Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN; 7. Bapak Dwi Purnama, S.H., M.Kn., Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah Dan Ruang, Kementarian ATR/BPN. yang telah memberikan masukan dan berkenan menjadi narasumber untuk menyempurnakan hasil kajian ini. Juga kepada Lusia Tri Harjanti, S.E, Analis Perencanaan dan Kerjasama dan ii

Tunjiah, Asisten Pengadministrasi Umum, diucapkan terimakasih atas bantuan dan partisipasi yang diberikan untuk menyelesaikan kajian ini. Semoga hasil kajian bermanfaat dalam rangka pembentukan Peraturan Menteri mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Jakarta, 9 November 2020 Pengkaji, Supardy Marbun iii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ iv ABSTRAK ............................................................................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1 B. Permasalahan ............................................................................................................................... 6 C. Metodologi Pengkajian.................................................................................................................. 6 D. Maksud dan Tujuan Pengkajian .................................................................................................... 7 E. Hasil dan Kajian Yang Diharapkan ............................................................................................... 8 BAB II KAJIAN TEORI DAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN........................................................... 9 A. Kewenangan dan Pelimpahan Kewenangan .................................................................................. 9 B. Penataan Kewenangan Yang Berorientasi Kepada Reformasi Birokrasi ..................................... 17 C. Penataan Kewenangan Untuk Meningkatkan Pelayanan Publik ................................................... 19 BAB III HASIL KAJIAN DAN ANALISIS ....................................................................................... 22 A. Kajian Ketentuan Peraturan Pelimpahan Kewenangan ................................................................ 22 B. Perbandingan Kewenangan Dengan Institusi Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI ................. 27 1. Pelimpahan Kewenangan Penanganan Perkara di Kejaksaan Agung RI .................................. 27 2. Pelimpahan Kewenangan Penanganan Perkara di Kepolisian RI............................................. 30 C. Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah .................................................................................... 32 1. Wewenang Hak Menguasai Negara ...................................................................................... 32 2. Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah .......................................................... 36 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................................................................. 47 A. Kesimpulan ................................................................................................................................ 47 B. Rekomendasi .............................................................................................................................. 48 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 50 iv

ABSTRAK Kajian tentang pelimpahan kewenangan merupakan salah satu kajian dalam disiplin ilmu hukum administrasi negara. Pengaturan mengenai kewenangan pemerintahan diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Dalam UUAP ditentukan wewenang yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah oleh Menteri ATR/Kepala BPN kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kakanwil BPN, hendaknya mengacu kepada UUAP apakah dengan dasar delegasi atau mandat. Pasal 13 UUAP mempersyaratkan bahwa delegasi harus ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. PP Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa pemberian, perpanjangan, pembaharuan dan berakhirnya hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sedangkan menurut Pasal 22 UUPA tata cara terjadinya hak milik berdasarkan penetapan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hasil kajian menyimpulkan bahwa pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah oleh Menteri ATR/Kepala BPN kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kakanwil BPN melalui Peraturan Menteri, dapat dilakukan berdasarkan mandat. Sedangkan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah berdasarkan delegasi, apabila Perpres sebagaimana diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 UUPA sudah diterbitkan. Namun demikian materi pelimpahan kewenangan pemberian hak milik atas tanah (Pasal 22 UUPA), serta hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai (PP No. 40 Tahun 1996), dapat dimuat dalam RPP Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah sebagai tindak lanjut dari UUCK. Pelaksanaan kajian ini dilakukan berdasarkan metodologi penelitian yuridis normatif, yakni pengkajian terhadap norma hukum, doktrin hukum dan teori hukum mengenai kewenangan, perolehan wewenang, serta ketentuan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Kata kunci: Pelimpahan Wewenang, Delegasi dan Mandat v

Abstract Authorities delegation is one of the studies in the discipline of state administrative law. This subject is regulated through Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration (UUAP). The UUAP determines the authority possessed by the government officials to make decisions or actions in government administration, namely attribution, delegation and mandate. The delegation of authority on land rights and land registration activities by the Minister of ATR / Head of BPN to the Head of the Land Office and Head of Regional Office of BPN, should refer to UUAP and can be implemented based on delegation or mandate. Article 13 UUAP requires that the delegation must be determined through a Government Regulation (PP) and a Presidential Regulation. PP Number 40 of 1996 stipulates that granting, extension, renewal and expiration of cultivation rights, building use rights and usage rights shall be stipulated by a Presidential Decree. Meanwhile, according to Article 22 of The Act Number 5 of 1960 (UUPA), the procedures for property rights based on the determination of the Government are stipulated by a Government Regulation. The study concluded that the delegation of authority to grant land rights can be carried out based on mandate. Meanwhile, the delegation of authority to grant land rights can be implemented based on delegation, if the Presidential Decree as stipulated in PP No. 40 of 1996 and PP as stipulated in Article 22 UUPA has been issued. However, the material of the delegation of authority to grant land ownership (Article 22 UUPA), as well as land use rights, building use rights and usage rights (PP No.40 of 1996), can be included in the draft of Government Regulation Management Rights and Land Rights as a follow-up to Bill Of Job Creation (UUCK). This study was carried out based on a normative juridical research methodology, by assessing legal norms, legal doctrine and legal theory regarding authority, acquisition of authority, and provisions for granting land rights and land registration. Key words: Delegation of Authority, Delegation and Mandate vi

PELIMPAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH DAN KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH (Suatu Kajian Kebijakan Dalam Rangka Pembuatan Rancangan Peraturan Menteri ) Oleh: Supardy Marbun, dkk BAB I P E N D A H U LU A N A. Latar Belakang Untuk mewujudkan tujuan organisasi atau badan secara efektif dan efisien pemimpin organisasi melakukan pelimpahan tugas dan wewenang kepada staf yang ada di bawahnya. Pelimpahan wewenang merupakan proses pengalihan tugas dan kewenangan kepada orang/pejabat lain yang dilakukan secara sah menurut aturan dan mekanisme yang berlaku, untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tertentu guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai salah satu lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria,1 dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2 Dalam melaksanakan tugas tersebut Kementerian ATR/BPN menyelenggarakan fungsi antara lain perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak dan pendaftaran tanah Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah adalah salah satu pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak dan pendaftaran tanah. Kewenangan tersebut merupakan perwujudan dari wewenang hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam UUPA Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1).3 Kewenangan pemberian hak atas tanah tersebut sesungguhnya adalah kewenangan Pemerintah yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah/Badan di bawahnya. 1 Perhatikan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang 2 Perhatikan Peraturan Presiden Nomor Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Badan Pertanahan Nasional 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara memberi wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang (dan badan hukum) dengan tanah, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang (dan badan hukum) dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah. Pasal 4 ayat (1) atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam ha katas tanah. 1

Sejak diterbitkan pengaturan pelimpahan wewenang sebagaimana dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972,4 tercatat telah lima kali Pemerintah menerbitkan peraturan tentang pelimpahan hak atas tanah. Peraturan- peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999,5 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011,6 Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012,7 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013,8, terakhir Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2017.9 Jika diperhatikan keseluruhan Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan di atas, maka untuk pertama kali pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah diberikan kepada kepada Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999. Kewenangan tersebut untuk menerbitkan keputusan pemberian hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara yang sebelumnya merupakan kewenangan Kakanwil BPN. Demikian seterusnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri/Kepala BPN untuk memberikan kewenangan yang semakin besar memberikan hak atas tanah , baik kepada Kepala Kantor Pertanahan maupun Kakanwil BPN Provinsi, untuk menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah negara termasuk redistribusi tanah. Jika dapat digambarkan keseluruhan ketentuan peraturan mengenai pelimpahan kewenangan tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas merupakan peraturan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan sebagai pengganti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1967 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Agraria 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan PembatalanKeputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011,6 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu 7 Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012, tentang Perubahan Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu 8 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah 9 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perubahan Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah 2

Tabel 1. Peraturan Mengenai Pelimpahan Kewenangan Penerima Jenis dan Permendagri Pemeneg Perkaban Perkaban Perkaban Permenatr Pelimpahan luas hak 6/1972 Agraria 1/2011 3/2012 2/2013 18/2017 yang 3/1999 dilimpahkan M2 M2 M2 M2 M2 M2 HM - 20.000/2.000 20.000/2.000 sama 50.000/ sama 3.000 HGB - 2.000 1.000/5.000 sama 20.000/ sama 3.000 HP - 20.000/2.000 20.000/2000 sama 50.000 sama DLL - - Meminta Kakan HM Trans, Ditambah sama Wewenang Pertanahan Lebih luas HM Redis, HP BMN/ Dengan Syarat HM KT, BUMN/ tertentu Strategis, diplomatik massal dan program lainnya Sifat - Mandat Mandat Mandat Mandat Mandat HM 50.000 sama 20.000/2.000 >20.000/5.000 20.000/>2.000 sama 3.000 sd 10.000 HGU 250.000 2.000.000 1.000.000 2.000.000 50.000 sd HGB 2.000 150.000 ≤ 150.000 150.000 Kakanwil 1.000 sd 5.000 2.000.000 sama BPN 3.000 sd sama 5.000 sd 10.000 20.000 sd 25.000 150.000 HP 2.000 150.000 20.000/5.000 sama 50.000 sama 2.000 sd 20.000 sd 25.000 150.000 DLL - - - - -- Sifat Medebewind Mandat Mandat Mandat Mandat Mandat Adapun yang menjadi pertimbangan sekaligus harapan Menteri/Kepala BPN memberikan pelimpahan kewenangan tersebut adalah untuk kelancaran pelaksanaan tugas di bidang pertanahan,10 kemudian untuk memenuhi standar prosedur pengaturan pertanahan dan program Pemerintah di bidang pertanahan.11 Selanjutnya dalam untuk 10 Perhatikan Konsideran “Menimbang” Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 11 Perhatikan juga Konsideran “Menimbang” Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2011 jo Nomor 3 Tahun 2012. 3

mewujudkan pelayanan publik dan reformasi birokrasi,12 serta untuk memudahkan pelayanan di bidang pertanahan,13 Menteri/Kepala BPN kembali melakukan perubahan terhadap peraturan pelimpahan kewenangan tersebut. Peraturan pelimpahan kewenangan tersebut memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kakanwil BPN dalam pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Pemberian hak atas tanah merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran tanah atas tanah yang berasal dari tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Pada Pasal 19 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PPPT) pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Selanjutnya dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan Pemerintah dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah sesungguhnya bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, efektif dan efisien kepada masyarakat dengan menyederhanakan birokrasi pelayanan. Melalui pelimpahan kewenangan masyarakat yang membutuhkan pelayanan pertanahan akan memperoleh kemudahan pelayanan. Kemudahan tersebut meliputi pemangkasan jalur birokrasi, tenggang waktu pelayanan, kesederhanaan, keterjangkauan, serta efisiensi biaya perolehan sertifikat tanah. Melalui penyederhanaan birokrasi akan dicapai pelayananan publik di bidang pertanahan yang maksimal dan prima, sehingga dapat dipastikan akan merubah mental birokrasi dari pamong menjadi pelayan. Melalui pelimpahan kewenangan diharapkan akan dapat dicapai target sertifikasi hak atas tanah di seluruh Indonesia. Namun demikian, pelimpahan kewenangan hendaknya tidak hanya semata-mata bertujuan memberikan kemudahan pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Kewenangan yang diperoleh hendaknya dapat menjamin produk yang diterbitkan oleh penerima kewenangan memenuhi standar produk yang berkualitas. Produk yang 12 Perhatikan juga Konsideran “Menimbang” Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013 13 Perhatikan juga Konsideran “Menimbang” Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2017. 4

berkualitas dimaksud adalah produk yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanahnya, serta tidak menjadi sumber masalah atau sengketa pertanahan di kemudian hari. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pelimpahan kewenangan ini adalah upaya memperpendek jalur birokrasi pemberian hak atas tanah yang bukan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan. Jika penerbitan keputusan pemberian hak merupakan kewenangan Kementerian, usulan permohonan hak tersebut dapat langsung diteruskan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada Menteri tanpa meminta pertimbangan Kakanwil BPN. Selain daripada itu kepatuhan pengambil keputusan terhadap SOP serta memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan sesuai asas AUPB, menjadi salah satu tolok ukur evaluasi pelimpahan kewenangan. Penataan kewenangan di tingkat Kementerian, Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan menjadi salah satu pertimbangan untuk memberikan solusi terhadap pelayanan pertanahan yang cepat dan akuntabel. Adanya penataan kewenangan pemberian hak atas tanah dapat menjamin lahirnya produk pertanahan yang berkualitas serta dapat menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum. Penataan kewenangan tersebut akan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan memastikan seluruh prosedur dan persyaratan dilalui. Untuk itu diperlukan regulasi yang efektif dalam menjalankan kewenangan dan akomodatif terhadap penggunaan teknologi guna mempermudah pelayanan. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Kepala Kantor Pertanahan, hendaknya juga dapat mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia di setiap kantor pertanahan. Ketersediaan tersebut meliputi persyaratan baik kualitas dan jumlah personal. Jika keadaan sumber daya manusia secara kuantitas belum terpenuhi di setiap kantor, maka akan banyak pekerjaan yang dilakukan hanya oleh satu orang. Hal ini berakibat kepada produk pertanahan yang akan dihasilkan kurang berkualitas. Jika kemampuan atau kualitas sumber daya manusia terbatas baik teknik pengukuran maupun hukum pertanahan, kemungkinan mengakibatkan produk pertanahan mengandung cacat administrasi. Dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2017 sebagai perubahan atas Peraturan Kepala BPN RI Nomor 2 Tahun 2013 Pasal 26A disebutkan bahwa kewenangan Kepala Kantor Pertanahan dapat melebihi luasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, dengan salah satu pertimbangan yakni sumber daya 5

manusia dan sarana prasarana di Kantor Pertanahan memadai untuk melaksanakan pemberian hak atas tanah; Untuk membentuk Peraturan Menteri tentang pelimpahan kewenangan, perlu memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Dalam UUAP telah diatur mengenai perolehan kewenangan oleh pejabat Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan UUAP kewenangan diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau mandat. Wewenang pemberian hak atas tanah menurut Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 bersifat tugas pembantuan (medebewin), sedangkan menurut Permenegagraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 hingga Perkaban Nomor 2 Tahun 2013 bersifat pelimpahan wewenang mandat. Disebutkan bersifat mandat karena Kepala Kantor Pertanahan maupun Kakanwil BPN sebagai penerima pelimpahan kewenangan dari Menteri/Kepala BPN, menandatangani keputusan pemberian hak atas tanah atas nama Menteri/Kepala BPN selaku pemberi kewenangan. Memperhatikan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian terhadap rencana pengaturan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Kajian yang akan dilakukan didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang- undangan khususnya UUAP, maupun peraturan pertanahan lainnya, guna memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun Peraturan Menteri mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah. B. Permasalahan 1. Bagaimana pengaturan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan? 2. Apakah kewenangan kegiatan pendaftaran tanah perlu diatur dalam suatu Peraturan Menteri? C. Metodologi Pengkajian Pengkajian ini dilakukan berdasarkan penelitian yuridis normatif yakni melakukan kajian terhadap norma hukum/peraturan perundangan-undangan (law in book). Juga terhadap doktrin dan teori hukum administrasi negara yang berkaitan dengan wewenang, kewenangan dan perolehan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. 6

Untuk melakukan kajian ini Penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) maupun peraturan pelaksanaan lainnya khususnya yang berkaitan dengan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Kemudian UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pertanahan khususnya yang mengatur kewenangan dan pelimpahan kewenangan. Bahan hukum lainnya adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur agraria/pertanahan yang masih berlaku yang mengatur pemberian hak atas tanah, perpanjangan, pembaharuan dan pendaftaran hak atas tanahnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku, maupun maupun bahan-bahan terkait dengan objek penelitian, yakni masalah pengaturan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanahnya, masalah kewenangan dan pelimpahan kewenangan. Untuk memperkaya kajian tersebut Penulis melakukan wawancara dengan ahli hukum administrasi negara, serta melakukan studi banding ke kantor Pemerintah yang melakukan pelayanan publik seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia. Melakukan diskusi untuk meampung ide baru terhadap kewenangan dan pelimpahannya juga telah memberikan dimensi baru terhadap masalah pelimpahan kewenangan tersebut. D. Maksud dan Tujuan Pengkajian 1. Maksud Pengkajian Penulisan kajian dimaksudkan untuk memberikan bahan informasi secara akademik kepada Menteri ATR/ Kepala BPN terhadap Rancangan Peraturan Menteri mengenai bentuk pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah. Peraturan pelimpahan kewenangan yang akan diterbitkan, selain bertujuan untuk mewujudkan reformasi birokrasi, peningkatan mutu pelayanan publik, juga dapat menghasilkan produk yang berkualitas berkepastian hukum serta memberikan perlindungan hukum. Sekalipun sebagai suatu kajian sederhana, namun hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam rangka penataaan kewenangan pemberian hak tanah di lingkungan Kementerian ATR/BPN. Selain sebagai pelimpahan wewenang juga diharapkan menata kewenangan yang telah ada sebelumnya. Pengaturan pelimpahan kewenangan diharapkan juga akan meningkatkan mutu 7

pelayanan publik di bidang pertanahan lebih berkualitas, terukur, akurat, tepat, transparan dan akuntabel. 2. Tujuan Pengkajian a. Menganalisis peraturan Menteri ATR/Kepala BPN yang sudah ada sebagai bahan perbandingan terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala BPN tentang pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah; b. Menganalisis bentuk pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kanwil BPN; c. Menganalisis apakah pelimpahan kegiatan pendaftaran tanah perlu diatur oleh Menteri ATR/Kepala BPN. E. Hasil Kajian yang Diharapkan 1. Diperoleh bahan pertimbangan berupa rekomendasi dalam perubahan Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah; 2. Diperoleh masukan sebagai pengayaan pembuatan Ranpermen Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. 8

BAB II KAJIAN TEORI DAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Kewenangan dan Pelimpahan Kewenangan 1. Pengertian Kewenangan Kewenangan atau wewenang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “authority” atau dalam bahasa Belanda disebut”bevoegdheid”. H.D. Stout mengatakan bahwa bevoegdheid is een wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.14 Dapat diartikan bahwa wewenang sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik. Dalam Black’s Law Dictionary diartikan bahwa authority is legal power a right to command or to act; the right and power of public officers ti require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties. (Kewenangan adalah kekuasaan hukum hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht), sebab kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).15 Pengertian kewenangan menurut F.P.C.L. Tonnaer, overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overheid en te scheppen. (Kewenangan Pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara Pemerintah dengan warga negara.16 Dalam UUAP disebutkan bahwa wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan Pemerintahan atau kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau 14 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2018, hal. 98 15 Ibid, hal 99 16 Ibid hal 98-99 9

Pejabat Pemerintahan atau penyelengggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.17 Ridwan H.R mengatakan bahwa kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Oleh karena begitu penting kedudukan tersebut F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutkan sebagai konsep inti dari Hukum Tata Negara dan Hukum Adminitrasi Negara (het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en adminstratief recht)18 Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan kerap kali disamakan dengan kewenangan, dan kekuasaan selalu dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan disamakan juga dengan wewenang.19 Kekuasaan berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).20 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,21 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah- kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara.22 Dalam sistem hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh badan eksekutif, badan Llgislatif dan badan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: (1). hukum; (2). kewenangan (wewenang); (3). keadilan; (4). Kejujuran; (5). kebijakbestarian; dan (6). kebajikan. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. 17 Perhatikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka (5) dan angka (6) 18 Ibid, hal 99 19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35-36. 20 Indrohato (I), Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 65. 21 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Jakarta, 1990, hlm. 30. 22 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Jogjakarta, 1990, hlm. 52 10

Miriam Budiardjo menyebutkan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.23 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara yang dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex), selanjutnya jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subjek-kewajiban.24 Oleh karena itu kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya aspek hukum saja. Jika diuraikan lebih lanjut maka kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subjek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya, sebagai salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dan kontinental.25 Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, namum ia tetap menjadi prinsip utama dalam setiap negara hukum. Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.26 2. Pelimpahan Kewenangan Indroharto mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada 23 Miriam Budiardjo, Op Cit, hal.37 24 Ibid, hal. 38 25 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Sketsa Bayang-Bayang Konflik dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah, Sinar Mulia, Jakarta, 2002, hlm.65. 26 Ridwan. H.R., Op Cit, hal. 97-98. 11

mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator pemberi mandat.27 Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.28 Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan (UU Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 1 angka 6). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila kewenangan itu kurang sempurna berarti keputusan yang diambil berdasarkan kewenangan tersebut menjadi tidak sah menurut hukum.29 Berkaitan dengan kewenangan atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan: (a). with atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority; (b). delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name; (c). with mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.30 Atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan 27 Indroharto(II), Usaha Untuk Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hal. 68 28 Ridwan H.R. Op.Cit, hal 108 29 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Penerbit Gaja Mada University Press, Yogyakarta Tahun 2005, hal. 125 30 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri, Nijmegen, 1998, hlm. 16-17. 12

kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Dalam UUAP diberikan penjelasan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat.31 Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang, merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada, serta atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Selanjutnya disebutkan bahwa Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui atribusi, tanggung jawab kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan, serta kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.32 Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pejabat memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: (a). 31 Perhatikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 22,23 dan 24 32 Perhatikan Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2014 13

diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; (b). ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan (c). merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat yang menerima delegasi tidak dapat mendelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.33 Mengenai mandat dijelaskan bahwa Pejabat memperoleh mandat apabila: (a). ditugaskan Pejabat di atasnya; (b). merupakan pelaksanaan tugas rutin. Pejabat dapat memberikan mandat kepada bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, selanjutnya penerima mandat harus menyebutkan atas nama pemberi mandat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Pejabat yang memberikan mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Pejabat yang memberikan mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan. Pejabat yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran, serta Pejabat yang memperoleh wewenang melalui mandat tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi mandat.34 Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi tersebut. Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:35(a). delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; (b). delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; (c). delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; (d). Kewajiban memberikan penjelasan artinya 33 Perhatikan Pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2014 34 Perhatikan Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2014 35 Ridwan H.R, Op.Cit, hal. 104-105 14

delgans berhak untuk meminta keterangan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; (e) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (wewenang) tentang penggunaan wewenang tersebut. Sifat kewenangan secara umum dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu yang bersifat terikat, yang bersifat fakultatif (pilihan) dan yang bersifat bebas. Hal tersebut sangat berkaitan dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikingen) oleh organ pemerintahan sehingga dikenal adanya keputusan yang bersifat terikat dan bebas. Menurut Indroharto,36 kewenangan yang bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil. Pada kewenangan fakultatif apabila dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan kewenangannya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan dasarnya. Kewenangan bebas terjadi apabila peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya. Philipus M Hadjon membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu kewenangan untuk memutuskan mandiri dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar.37 Dalam pemberian wewenang yang bersifat mandat, Pejabat yang diberi wewenang menandatangani surat atau keputusan atas nama pejabat yang memberikan pelimpahan. Bentuk pelimpahan penandatanganan adalah: a. Pemberian wewenang dengan menggunakan atas nama (a.n) Pelimpahan ini merupakan pelimpahan wewenang secara mandat, atas nama digunakan jika yang menandatangani surat atau surat keputusan telah diberi wewenang oleh pejabat yang bertanggung jawab berdasarkan bidang tugas, wewenang dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan. Pelimpahan kewenangan ini hanya dapat dilakukan paling banyak hanya 2 (dua) rentang 36 Indroharto (II), Op Cit, hal. 70 37 Ridwan H.R., Op Cit, hal. 107 15

jabatan struktural di bawahnya. Adapun persyaratan pelimpahan wewenang ini adalah: (1). Pelimpahan wewenang dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu dalam bentuk Instruksi Dinas atau Surat Kuasa; (2). Materi yang dilimpahkan harus merupakan tugas dan tanggung jawab pejabat yang melimpahkan; (3). Wewenang penandatanganan meliputi surat-surat untuk kepentingan ke luar maupun di dalam lingkungan lembaga Negara tersebut; (4). Penggunaan wewenang hanya sebatas kewenangan yang dilimpahkan, serta materi kewenangan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh yang menerima pelimpahan kepada yang memberikan pelimpahan, dan; (5). Tanggung jawab sebagai akibat hukum yang timbul karena pelimpahan tersebut berada pada pejabat yang melimpahkan. b. Pemberian wewenang dengan menggunakan untuk beliau (u.b) Pemberian wewenang ini merupakan pelimpahan secara delegasi. Untuk beliau digunakan jika Pejabat yang diberikan pelimpahan kewenangan memberi kewenangan atau kuasa kepada pejabat satu tingkat di bawahnya, sehingga untuk beliau (u.b) digunakan setelah atas nama (a.n). Pelimpahan wewenang ini mengikuti urutan sampai 2 (dua) tingkat struktural di bawahnya dan pelimpahan ini bersifat fungsional. Persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : (1) kewenangan yang ditangani merupakan tugas dan tanggung jawab pejabat yang melimpahkan; (2) kewenangan dapat digunakan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai pemangku jabatan sementara atau yang mewakili; (3) pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat untuk kepentingan internal dalam lingkungan lembaga Negara yang melampaui batas ruang lingkup jabatan pejabat yang menandatangani surat, dan ; (4) tanggung jawab berada pada pejabat yang dilimpahkan wewenang. c. Pemberian wewenang dengan menggunakan istilah atas perintah beliau (apb.) dan atas perintah (ap.) Pelimpahan wewenang ini merupakan pelimpahan secara mandat. Pada pelimpahan ini Pejabat yang seharusnya berwenang menandatangani, memberikan perintah kepada Pejabat di bawahnya untuk menandatangani sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Perbedaan persyaratan pelimpahan wewenang ini dengan kedua jenis pelimpahan wewenang sebagaimana di atas adalah bahwa pelimpahan hanya dapat dilakukan jika 16

situasi dalam keadaan mendesak dan pelimpahan ini tidak menyangkut materi yang bersifat kebijakan. Perlu diketahui bahwa baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan pelimpahan, sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan. Manfaat pelimpahan wewenang adalah bahwa bawahan yang menerima pelimpahan dapat mempelajari sesuatu yang baru dan memperoleh kesempatan untuk melaksanakannya, pelimpahan wewenang itu juga dapat mendorong tercapainya keputusan yang lebih baik dalam berbagai hal. Selain daripada itu melalui pelimpahan wewenang pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dengan ketentuan bahwa pelimpahan wewenang tersebut diberikan orang yang tepat atau bertanggung jawab dan dijalankan sebagaimana mestinya. Edy Sutrisno menyebutkan bahwa pendelagasian kewenangan efektif jika memperhatikan ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, manajemen organisasi, serta peralatan atau infrastruktur yang dipergunakan dalam pelaksanaan tugas.38 B. Penataan Kewenangan yang Berorientasi kepada Reformasi Birokrasi Sebagaimana dalam Konsideran Menimbang Peraturan Kepala BPN RI Nomor 2 Tahun 2013 salah satu menyebutkan untuk mewujudkan pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (bussiness process) dan sumber daya manusia aparatur. Dalam grand design reformasi birokrasi 2010-2025 dinyatakan bahwa reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UUASN) menitikberatkan kepada peningkatan kualitas sumber daya birokrasi dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab.39 Dalam ketentuan tersebut disebutkan beberap 38 Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Penerbit Kencana Jakarta, Tahun 2017, hal. 60 39 Perhatikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. 17

kriteria birokrasi yakni netral, profesional, berdaya guna dan berhasil guna, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta menjadi perekat persatuan kesatuan bangsa. Jika reformasi birokrasi berhasil dilaksanakan dengan baik, maka akan dicapai tujuan yang diharapkan, di antaranya: (a) mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; (b). menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy; (c).Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; (d). meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; (e). meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi; (f). menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis. Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Sedarmayanti mengemukakan,40 bahwa arah kebijakan reformasi birokrasi dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik antara lain: (a) menuntaskan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek KKN; (b) meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; serta (c) meningkatkan kinerja aparatur negara. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner. Beberapa Peraturan Menteri/Kepala BPN mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah dimaksudkan sebagai langkah 40 Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, Tahun 2007, hal. 327 18

reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan pelayanan pertanahan yang lebih baik. Perwujudan pelayanan pertanahan yang lebih baik di dalamnya terdapat dimensi mutu pelayanan, yaitu: penampakan (tangibles), kepercayaan (reliability), ketanggapan (responsiveness), kompetensi (competence), kesopanan (courtesy), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kemudahan mengakses (access), komunikasi (communication), dan pemahaman (understanding) pelanggan. Pelimpahan kewenangan sesungguhnya menjadi sarana untuk memotong rantai birokrasi pelayanan pertanahan sehingga pelayanan pertanahan dapat memenuhi ketentuan standar operasional pelayanan. Dengan melimpahkan sebagian kewenangan Menteri/Kepala BPN kepada Kakanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan diharapkan juga dapat menciptakan pelayanan pertanahan menjadi lebih responsif, sederhana dan cepat. C. Penataan Kewenangan Untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Pelayanan Publik adalah pelayanan umum yakni kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan orang lain sesuai dengan haknya.41 Amin Ibrahim menyebutkan menyebutkan bahwa pelayanan publik sebagai suatu layanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan.42 Dalam pemerintahan, pihak yang memberikan pelayanan adalah aparatur pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 10 Juli 2003,43 memberikan defenisi pelayanan publik merupakan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP), memberikan pengertian pelayanaan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang–undangan bagi setiap warga negara dan 41 Moenir, Manajemen Pelayanan Umum, Penerbit Bumu Aksara Jakarta, Tahun 2010, hal. 27 42 Amin Ibrahim, Pokok-Pokok Administrasi Publik dan Implementasinya, Penerbit Refika Aditama, Bandung, Tahun 2009, hal. 8 43 Perhatikan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 10 Juli 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Publik 19

penduduk atas barang, jasa dan pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.44 Hadirnya UUPP dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. UUPP diterbitkan dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalarn pelayanan publik. Jika dirunut dari ketentuannya dari UUPP, maka terlihat apa yang menjadi tujuan pembuatannya yaitu: (a). Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; (b). Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; (c). Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang- undangan; dan (d). Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan publik, baik instansi pemerintah maupun swasta diatur dalam Pasal 14 UUPP. Hak penyelenggara pelayanan publik adalah: (a). Memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya; (b). Melakukan kerja sama; (c).Mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayananan publik; (d). Melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan (e). Menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Dalam rangka mewujudkan tujuan UUPP dimaksud ditentukan kewajiban penyelenggara pelayanan publik yakni: (a). Menyusun dan menetapkan standar pelayanan; (b). Menyusun, menetapkan, dan mempublikasikan maklumat pelayanan; (c). Menempatkan pelaksana yang kompeten; (d). Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai; (d). Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik; (e). Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan; dan (g). Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. 44 Perhatikan Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Pasal 1 angka (1) 20

Pada Pasal 18 UUPP ditentukan hak dan kewajiban masyarakat sebagai penerima pelayanan publik . Hak masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan publik adalah : (a). Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; (b). Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; (c).Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; (d). Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; (e). Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (f). Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (g). Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/ atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; (h). Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan (i). Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Kewajiban masyarakat penerima pelayanan publik adalah: (a). Memematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dan standar pelayanan; (b). Ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan (c). Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Melalui penataan kewenangan yang dilakukan di Kementerian ATR/BPN diharapkan akan tercipta pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Pemangkasan birokrasi dan kemudahan memperoleh pelayanan pemberian hak atas tanah dari hulu hingga ke hilir akan mewujudkan pelayanan prima sebagai cita-cita sebuah negara yang melayani rakyatnya (walfare state). Lahirnya hak atas tanah yang diterbitkan pejabat Pertanahan yang memperoleh kewenangan berdasarkan ketentuan perundang- undangan akan memberikan kepastian hukum terhadap hubungan hukum dan bukti kepemilikan yang diperoleh. 21

BAB III HASIL KAJIAN DAN ANALISIS A. Kajian Ketentuan Peraturan Pelimpahan Kewenangan UUAP telah mengatur mengenai kewenangan dan cara perolehannya. Perolehan kewenangan oleh pejabat administrasi negara dalam ketentuan tersebut meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UUD 1945 atau undang-undang (angka 22). Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi (angka 23). Sedangkan Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (angka 24). Pengaturan mengenai perolehan kewenangan melalui delegasi lebih lanjut diatur pada Pasal 13 UUAP. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: (a) diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya; (b). ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan (c). merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 1 angka (22) UUAP dengan ketentuan Pasal 13 UUAP mengenai tujuan perolehan kewenangan melalui delegasi. Jika Pasal 1 angka (22) menyatakan bahwa delegasi merupakan pelimpahan kewenangan dari pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Sedangkan Pasal 13 menyatakan bahwa pelimpahan kewenangan diberikan kepada pejabat pemerintahan lainnya. Philipus M Hadjon menyebutkan bahwa menurut hukum administrasi negara pelimpahan kewenangan melalui delegasi tidak dapat diberikan kepada pejabat yang berada di bawahnya, tetapi diberikan kepada pejabat lain yang tugas dan fungsi berdasarkan undang-undang berbeda.45 Namun demikian ketentuan UUAP ini telah 45 Wawancara dengan Philipus M Hadjon, tanggal 15 Juli 2020 melalui virtual. Dijelaskan bahwa pelimpahan kewenangan melalui delegasi diserahkan kepada pemerintahan lain di bawahnya seperti Pemerintah (Pusat) kepada Pemerintah Daerah. 22

memberikan pengertian yang berbeda tentang delegasi dalam Pasal 1 dan dalam Pasal 13 UUAP Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah pertama kali diatur dalam Permendagri Nomor 6 Tahun 1972. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa tujuan penerbitan peraturan ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam kedudukan dan fungsinya sebagai alat Pemerintah. Tegasnya pelimpahan ini merupakan tugas medebewind atau tugas pembantuan yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah ketika itu. Praktek penyelenggaraannya diserahkan dan harus tetap dilakukan oleh instansi Agraria di daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan agraria. Dalam ketentuan tersebut kewenangan yang diserahkan kepada Gubernur adalah pemberian hak milik atas tanah negara seluas 20.000 M2 untuk tanah pertanian dan 2.000 M2 untuk tanah non pertanian. Pemberian hak guna usaha seluas 25 Ha, hak guna bangunan dan hak pakai seluas 2.000 M2. Dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang pertanahan oleh Pemerintah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999. Peraturan ini diterbitkan setelah BPN dibentuk sebagai lembaga Pemerintah non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden nomor 26 Tahun 1988 dan kemudian ditingkatkan menjadi Kementerian Negara terakhir berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 122/ M Tahun 1998. Dalam peraturan tersebut diberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk menerbitkan keputusan pemberian hak milik dan hak pakai atas tanah negara seluas 2 Ha untuk tanah pertanian dan seluas 2.000 M2 untuk tanah non pertanian, sedangkan pemberian hak guna bangunan seluas 2.000 M2. Kepala Kanwil BPN memberikan hak milik dan hak pakai atas tanah non pertanian lebih dari 2 Ha dan tanah non pertanian seluas 5.000 M2. Untuk pemberian hak guna usaha diberikan kewenangan seluas 200 Ha, sedangkan hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah non pertanian seluas 150.000 M2. Ketentuan pelimpahan ini untuk pertama kali memberikan kewenangan penerbitan keputusan pemberian hak atas tanah negara kepada Kepala Kantor Pertanahan. Pelimpahan kewenangan ini telah memangkas birokrasi proses sertifikasi tanah di daerah yang selama kurun waktu sebelum pelimpahan harus dinaikkan ke Kanwil BPN. Hal yang dirasakan adalah ketika pelaksanaan proyek sertifikasi nasional seperti prona yang dapat dilaksanakan sendiri oleh Kepala Kantor Pertanahan. 23

Selanjutnya dalam rangka memenuhi standar pelayanan dan pengaturan pertanahan dan program Pemerintah di bidang pertanahan diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI nomor 1 Tahun 2011. Dalam peraturan tersebut diberikan pelimpahan kewenangan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah negara. Hak milik dan hak pakai perorangan/badan hukum atas tanah pertanian seluas 20.000 M2 serta atas tanah non pertanian seluas tidak lebih dari 2.000 M2. Kewenangan tersebut masih ditambah untuk pemberian hak milik dalam rangka pelaksanaan program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, serta pendaftaran tanah yang bersifat strategis, massal dan program lainnya. Pemberian hak guna bangunan untuk perorangan seluas tidak lebih 1.000 M2 dan untuk badan hukum seluas tidak lebih 5.000 M2. Kewenangan Kakanwil BPN adalah pemberian hak milik dan hak pakai untuk perorangan dan badan hukum atas tanah pertanian seluas lebih dari 20.000 M2, atas tanah non pertanian di atas luas 2.000 M2 hingga 5.000 M2, sedangkan untuk Hak Pakai badan hukum di atas 2.000 M2 hingga 25.000 M2. Untuk hak guna usaha seluas 1.000.000 M2, serta hak guna bangunan untuk perorangan di atas 1.000 M2 hingga 5.000 M2, badan hukum seluas di atas 5.000 M2 hingga 25.000 M2. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2012 dilakukan perubahan terhadap Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2011. Perubahan tersebut tidak menyeluruh dan signifikan, tetapi hanya menambahkan beberapa tugas dan kewenangan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Kepala BPN RI memberikan tambahan kewenangan yakni pemberian hak pakai aset Pemerintah (Pusat dan Daerah), kecuali hak pengelolaan (HPL), aset BUMN dan tanah kedutaan/perwakilan diplomatik negara lain. Kewenangan Kakanwil diperbesar untuk pemberian hak guna usaha hingga 2.000.000 M2 dan hak guna bangunan hingga 150.000 M2. Untuk mewujudkan pelayanan publik dan reformasi birokrasi diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013. Dalam ketentuan tersebut Kepala Kantor diberikan kewenangan untuk menerbitkan hak milik dan hak pakai atas tanah negara pertanian hingga seluas 50.000 M2 baik untuk perorangan maupun badan hukum berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 1963. Pemberian hak milik, hak guna bangunan dan hak Pakai perorangan diberikan hingga 3.000 M2, sedangkan untuk hak guna bangunan dan hak pakai badan hukum swasta/BUMN/BUMD hingga seluas 20.000 M2. Selain daripada itu Kepala Kantor masih diberikan kewenangan untuk memberikan hak Pakai atas tanah instansi Pemerintah dan hak pakai di atas hak pengelolaan. Kewenangan 24

Kakanwil BPN diperluas dengan pemberian hak milik dan hak pakai atas tanah negara untuk pertanian sampai dengan seluas 50.000 M2 dan tanah non pertanian serta hak guna bangunan seluas 3.000 M2 hingga 10.000 M2. Pemberian hak milik untuk badan hukum sesuai PP Nomor 38 tahun 1963 seluas di atas 50.000 M2 hingga 150.000 M2, hak guna bangunan untuk badan hukum dan hak pakai untuk badan hukum swasta/BUMN/BUMD di atas luas 20.000 M2 hingga 150.000 M2, serta hak guna usaha seluas hingga 2.000.000 M2. Pemberian kewenangan yang besar ini telah memberikan kemudahan bagi Kantor Pertanahan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pemilik tanah. Memang harus diakui bahwa pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah negara yang diberikan oleh Menteri/Kepala BPN khususnya kepada Kepala Kantor ada yang total secara keseluruhan. Misalnya pemberian hak milik dalam rangka pelaksanaan program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, serta pendaftaran tanah yang bersifat strategis, massal dan program lainnya telah menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan seluruhnya. Selain daripada itu pemberian hak pakai atas tanah instansi Pemerintah dan penerbitan hak di atas hak pengelolaan, merupakan pekerjaan yang tidak bersisa baik di Kementerian maupun Kakanwil. Terakhir diterbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2017. Tidak ada perubahan dari ketentuan sebelumnya, hanya dalam paraturan ini Menteri memberikan kesempatan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk meminta wewenang yang lebih luas dengan persyaratan tertentu. Pasal 1 dari peraturan tersebut telah merubah Pasal 26 A dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa kewenangan Kepala Kantor Pertanahan dapat melebihi luasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, dengan pertimbangan: (a). sumber daya manusia dan sarana prasarana di Kantor Pertanahan memadai untuk melaksanakan pemberian hak atas tanah; (b). pelaksanaan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (c). amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau d. kebijakan Menteri. Selanjutnya disebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan mengajukan permohonan perluasan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada Menteri atau Kakanwil BPN sesuai dengan kewenangannya yang memuat alasan penambahan luasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Kakanwil BPN atau Menteri memberikan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah yang diberikan kepada 25

Kepala Kantor Pertanahan dibuat dalam bentuk: (a). Keputusan Kakanwil BPN, dalam hal luasan yang diberikan merupakan kewenangan Kanwil BPN; atau (b). Keputusan Menteri, dalam hal luasan yang diberikan merupakan kewenangan Menteri. Jika diperhatikan peraturan tersebut ini belum mendasari kepada UUAP. Selain tidak mencantumkan UUAP dalam Konsideran “Mengingat”, peraturan ini masih memberikan wewenang kepada Kakanwil BPN untuk memberikan keputusan pelimpahan kewenangan kepada Kepala Kantor Pertanahan jika diminta serta permintaan itu memenuhi persyaratan. Belum diketahui apakah sudah ada pelimpahan kewenangan yang sudah diberikan oleh Kakanwil BPN kepada Kepala Kantor sesuai ketentuan peraturan tersebut. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada Kepala Kantor selain memberikan kemudahan, terdapat beberapa hak yang diterbitkan menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan terjadinya sengketa dan perkara pertanahan. Keterbatasan sumber daya manusia di beberapa Kantor Pertanahan baik jumlah maupun kapasitas dan integritas, telah melahirkan permasalahan tersendiri terhadap produk pertanahan atau sertifikat tanah yang diterbitkan. Terjadi tumpang tindih sertifikat, terjadi pemecahan bidang, pengurangan persyaratan permohonan, maupun pengabaian sebagian prosedur yang seharusnya dijalani. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah di awal tahun 2020, disebutkan bahwa terjadinya sengketa disebabkan oleh penetapan hak dan pendaftaran tanah sebanyak 1.499 kasus (16,40%), yang disebabkan oleh penguasaan dan pemilikan tanah sebanyak 5.187 (56,73%), serta perkara yang disebabkan oleh penetapan hak atas tanah dan pendaftaran tanah sebanyak 1.743 kasus (13,10%) dan yang disebabkan oleh penguasaan dan pemilikan tanah sebanyak 7.786 kasus (61%). Kedua kategori tersebut menjadi penyebab sengketa dan perkara tertinggi.46 Objek sengketa dan perkara tersebut lebih banyak merupakan produk dari Kantor Pertanahan. Selanjutnya hasil Penelitian yang dilakukan oleh Tim Puslitbang BPN RI tahun 2012 di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta memberikan kesimpulan bahwa pelimpahan kewenangan benar telah”memotong birokrasi” namun tidak secara otomatis dapat memenuhi standar pelayanan pertanahan. Selanjutnya dalam rekomendasi disebutkan bahwa perlu 46 Agus Widjayanto, Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Pencegahan dan Percepatan Penaganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Rapat Kerja Nasional Kementerian ATR/BPN Januari 2020 26

dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan permasalahan ketentuan pelimpahan kewenangan di seluruh Kanwil BPN Provinsi dan Kantah Kota/Kabupaten untuk melihat perbedaan-perbedaan persepsi yang ada baik dari sisi penetapan beban kerja, mekanisme, sifat wajib atau tidak wajib pelimpahan kewenangan, jenis kegiatan yang dilimpahkan dan penerima pelimpahan. Mengingat banyak dan padatnya beban kerja yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan seperti penyelesaian pendaftaran tanah yang menjadi objek program-progam strategis, perlu dipertimbangkan beban kerja yang akan dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Berdasarkan hasil evaluasi kasus-kasus pertanahan dari kegiatan PTSL yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah, diperoleh data bahwa terdapat 4.530 kasus dari kegiatan PTSL Tahun 2017-2019. Kasus-kasus tersebut meliputi masalah yang berkaitan dengan tanah ulayat sebanyak 721 Kasus (15,91%), yang berkaitan dengan tanah objek landreform sebanyak 4 kasus ( 0,09 %), yang berkaitan dengan pengadaan tanah sebanyak 52 kasus (1,15 %), yang berkaitan dengan putusan pengadilan sebanyak 42 kasus (0,93 %), yang berkaitan dengan prosedur penetapan hak dan pengakuan hak sebanyak 1.996 kasus (44,06%) yang berkaitan dengan tanah adat sebanyak 23 kasus (0,51% %) dan tumpang tindih sebanyak 1.692 kasus (37,35%).47 B. Perbandingan Kewenangan dengan Institusi Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI 1. Pelimpahan Kewenangan Penanganan Perkara di Kejaksaan Agung RI UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI (UUKA) mengatur tentang susunan organisasi serta tugas dan kewenangan Kejaksaan. Pada Pasal 1 angka (1) UUKA disebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1) UUKA disebutkan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UUKA ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 47 Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Materi Rapat Pimpinan Kementerian ATR/BPN Tanggal 3 Juni 2020 27

Pada Pasal 30 dan Pasal 32 UUKA ditentukan tugas dan wewenang Kejaksaan yakni: a. Bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang yaitu: (1).melakukan penuntutan; (2). melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3). melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (4). melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang; dan (5). melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik; b. Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah; c. Bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: (1). peningkatan kesadaran hukum masyarakat;(2). pengamanan kebijakan penegakan hukum; (3). pengawasan peredaran barang cetakan; (4). pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (5). pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;(6).penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal; d. Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang Kemudian pada Pasal 26-27 UUKA diatur tentang kedudukan Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Disebutkan bahwa Kepala Kejaksaan Tinggi adalah pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kewenangan lain yang disebutkan dalam UUKA pada Pasal 30 ayat (1) huruf d adalah kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Dalam penjelasannya diuraikan bahwa “kewenangan dalam ketentuan ini adalah sebagaimana diatur misalnya dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang 28

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Kompetensi absolut yang dimiliki Kejaksaan adalah melakukan penuntutan terhadap tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Kekuasaan negara di bidang penuntutan, diselenggarakan oleh: 1. Kejaksaan Agung yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. 2. Kejaksaan Tinggi yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 3. Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota. Demi efisiensi dan efektivitas penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan, Jaksa Agung mengeluarkan surat edaran yang membagi kewenangan Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri berdasarkan besaran kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi (Pasal 3-4 UUKA) . Pada Pasal 51 UUKA Kejaksaan dituntut untuk meningkatkan koordinasi internal terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dalam rangka meningkatkan penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan RI agar lebih efisiensi dan efektif, serta upaya peningkatan kemandirian Jaksa dalam penanganan perkara tersebut, Jaksa Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 01 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam surat edaran tersebut Jaksa Agung membuat pengaturan yang menjadi objek perkara yaitu: 1. Perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri dengan nilai kerugian negara Rp 5 Miliar kebawah, termasuk kebijakan penghentian penyidikan dan penuntutan pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri; 2. Perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi dengan nilai kerugian negara di atas Rp 5 Miliar, termasuk kebijakan penghentian penyidikan dan penuntutan pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi; 29

3. Perkara tindak pidana korupsi yang menarik perhatian masyarakat dan berdampak nasional atau karena hal tertentu yang mendapat atensi dari pimpinan, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI. Dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 6 Tahun 2017 diatur tentang pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Jika diperhatikan peraturan tersebut Jaksa Agung telah memberikan wewenang penyidikan dan penuntukan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung. Kewenangan masing-masing tingkatan sudah diatur dan ditentukan dalam UUKA Pasal 26-27. Mendasari ketentuan UUAP secara eksplist kewenangan tersebut merupakan kewenangan atribusi karena diatur dalam undang-undang. Namun demikian jika mengacu kepada Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2010 kewenangan Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dalam menangani perkara tindak pidana korupsi merupakan kewenangan yang diperoleh secara mandat. Sekalipun nilai kerugian negara sama dengan atau di atas Rp. 5 miliar, tetapi jika kasus tindak pidana tersebut sudah menarik perhatian dan berdampak nasional penanganannya dapat diambil alih oleh Kejaksaan Agung. 2. Pelimpahan Kewenangan Penanganan Perkara di Kepolisian RI Kelembagaan Kepolisian Negara RI diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 (UUKN) tentang Kepolisian Negara RI. Pada Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 4 UUKN disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada Pasal 7 UUKN disebutkan bahwa susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan UUKN tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a). memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b). menegakkan hukum; dan (c). memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13). Sedangkan salah satu fungsinya adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban 30

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengatur susunan organisasi, tugas wewenang kepolisian mulai dari pusat hingga ke daerah. Pada Pasal 34 disebutkan bahwa Kepolisian Daerah disingkat Polda adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah provinsi yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas dan wewenang Polri di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 36 menyebutkan Kepolisian Resort disingkat Polres adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda. Polres bertugas menyelenggarakan tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2018 diatur mengenai susunan organisasi dan tata kerja kepolisian daerah. Dalam ketentuan ini salah satu tugas Kapolda adalah menyelenggarakan fungsi penyelidikan, penyidikan, identifikasi, koordinasi dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), serta pengawasan proses penyidikan. Sedangkan Kapolres adalah unsur pelaksana tugas kewilayahan pada tingkat Polda yang berada di bawah Kapolda. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana ditentukan bahwa Mabes Polri, Polda dan Polres dapat menerima pengaduan melalui satker pengemban fungsi penyidikan pada tingkat Mabes Polri, dan sentra pelayanan kepolisian/terpadu pada tingkat Polda atau Polres. Ketiga tingkatan struktur kepolisian ini mempunyai kewenangan untuk melakukan penanganan perkara tindak pidana mulai penyelidikan, penyidikan, hingga perkara dinyatakan P21 dan diserahkan kepada Kejaksaan untuk tindak lanjut penuntutan atau SP3. Dalam rangka pengawasan kode etik pelaksanaan tugas dan wewenang, dilakukan pengawasan oleh atasan penyidik. Secara tegas Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tidak menyebutkan bahwa perkara dapat ditarik oleh atasan pejabat yang lebih tinggi. Namun dalam praktek pelaksanaannya perkara tersebut dapat diambil alih oleh Mabes Polri dari Polda atau diambil alih oleh Polda dari Polres. Tidak jarang juga pengaduan yang ditujukan ke Mabes Polri diserahkan kepada Polda untuk ditindaklanjut demikian juga Polda menyerahkan perkara tersebut ke Polres untuk dilakukan penanganan sesuai ketentuan. Menurut ketentuan UUAP, maka berdasarkan Peraturan Kapolri tersebut kewenangan yang diperoleh Polda dan Polres dari Kapolri adalah delegasi. Namun demikian wewenang 31

yang diserahkan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil alih oleh Mabes Polri dari Polda atau Polda mengambil alih dari Polres. Ketentuan Pasal 13 UUAP yang menyebutkan bahwa wewenang yang sudah didelegasikan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi delegasi menjadi terabaikan. Apabila mengacu kepada UUAP, maka kewenangan yang diperoleh Kapolda dan Kapolres dari Kapolri dalam rangka penanganan perkara tindak pidana, menjadi rancu dan tidak jelas apakah delegasi atau mandat C. Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah 1. Wewenang Hak Menguasai Negara Pada Pasal 2 ayat (2) UUPA diuraikan tentang hak menguasai dari negara yang menyatakan bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk; (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Winahyu Erwiningsih menyebutkan bahwa tanah dikuasai oleh negara artinya negara tidak harus memiliki tanah. Negara memiliki hak untuk menguasai tanah melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen).48 Hak menguasai negara atas tanah didasarkan pada konstitusi UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pada Penjelasan Umum UUPA, disebutkan UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu bangsa Indonesia ataupun negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat/bangsa Indonesia bertindak selaku badan penguasa.49 Boedi Harsono mengemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh UUPA sudah tepat, sebab mencari sumber dan landasan tugas bagi kewenangan negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya pada hak kepemilikan negara atas tanah bukanlah merupakan konsepsi Hukum Tata Negara modern, melainkan konsepsi Hukum Tata Negara feodal yang sudah lama ditinggalkan dalam praktek maupun teori hukum.50 48 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Penerbit Total Media Yogyakarta, Tahun 2009, hal 82-83 49 Perhatikan Penjelasan Umum UUPA, Bagian II angka (1) 50 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, Tahun hal. 260 32

Atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang perorangan maupun badan-badan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Namun demikian kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.51 Wewenang hak menguasai negara dalam hal menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang (termasuk badan hukum) dengan tanah, dilakukan melalui pemberian hak atas tanah. Hubungan hukum dimaksud termasuk perpanjangandan pembaharuan terhadap hak atas yang berjangka waktu dan hapusnya hak atas tanah tersebut. A.P. Parlindungan mengatakan bahwa dari wewenang hak menguasai dari negara dimungkinkan untuk memberikan hak-hak keperdataan, baik kepada perorangan atau badan-badan hukum privat, mengakui hak-hak publik yang sudah ada sebelumnya, seperti hak ulayat masyarakat hukum adat, memberikan hak hukum publik yang baru seperti hak Pengelolaan, serta hak Pakai Khusus kepada instansi Pemerintah.52 Hak-hak atas tanah yang tersebut adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa. Kewenangan menerbitkan hak-hak atas tanah tersebut dilakukan melalui pemberian hak, pengakuan hak atau melalui redistribusi tanah objek landreform. Terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat dilakukan perpanjangan hak dan pembaharuan hak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam UUPA tidak disebutkan secara tegas lembaga pemerintahan/kementerian yang diberikan wewenang untuk mengelola agraria/pertanahan. Pada Penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat. Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara adalah merupakan medebeweind (tugas pembantuan). Ditegaskan juga bahwa segala sesuatu diselenggarakan menurut keperluannya serta tidak bertentangan dengan 51 Perhatikan Penjelasan Umum UUPA, Bagian II, angka (2) 52 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Tahun 1998, hal. 46. 33

kepentingan nasional. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan bahwa negara sebagai badan penguasa pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenan dengan tanah.53 Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dikenal ada 3 (tiga) wewenang penyelenggaraan pemerintahan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka (9) disebutkan bahwa Medebewind (pembantuan) adalah penugasan Pemerintah Pusat kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumer daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Bagir Manan mengatakan bahwa tugas pembantuan diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah yang lebih atas kepada Pemerintah Daerah di bawahnya berdasarkan undang-undang54. Mochtar Kusumahatmadja mengartikan medebewind sebagai pemberian kemungkinan dari Pemerintah Pusat / Pemerintah Daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada Pemerintah Daerah/Pemerintahan yang tingkatannya lebih rendah, agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga Pemerintah / Pemerintah Daerah yang tingkatannya lebih atas.55 Namun demikian menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 urusan pertanahan menjadi urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, Pemerintah Daerah meminta kepada Pemerintah memberi kewenangan bidang pertanahan kepada daerah.56 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 telah menegaskan bahwa pelayanan pertanahan menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan penentuan dan penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria menjadi kewenangan Pemerintah.57 53 Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara Untuk Mengatur dalam Penguasaan Tanah Oleh Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, tahun 1998 54 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dengan Daerah Menurut UUD 1945, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Tahun 1994, hal. 21 55 Mochtar Kusumah Atmaja, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Tahun 2000, hal. 22 56 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di bidang Pertanahan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, Tahun 2008, hal. 11 57 Perhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 34

Menurut teori hukum administrasi negara, medebewind merupakan bagian dari desentralisasi dan tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dengan tugas pembantuan.58 Sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam penjelasan UUPA dan undang-undang otonomi daerah, kewenangan yang dimaksudkan untuk diturunkan ke bawah adalah medebewind. Pada prinsipnya tugas pembantuan sama dan identik dengan otonomi, di dalamnya mengandung unsur penyerahan bukan penugasan. Perbedaannya terletak pada jika otonomi adalah penyerahan penuh dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan menjadi wewenangnya, sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh. Memperhatikan Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, Pemerintah (Pusat) dalam hal ini Menteri Dalam Negeri menyerahkan sebagian kewenangan pemberian hak atas tanah negara kepada Gubernur. Sejalan dengan apa yang diatur dalam sistem pemerintahan daerah ketika itu, maka penyerahan sebagian kewenangan dimaksud adalah tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Kemudian berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1988 Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri berubah menjadi Badan Pertanahan Nasional, suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 96 Tahun 1993 dibentuk Kementerian Negara Agraria/BPN. Sebagai pengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah. Memang harus diakui bahwa pembentukan UUPA tidak sama dengan pembuatan undang-undang produk saat ini, yang menentukan adanya kementerian yang ditunjuk sebagai pemangku kepentingan yang mengelola agraria.59 Hak menguasai negara sebagaimana dalam UUPA hanya menentukan objek yang menjadi kewenangan negara yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang menjadi subjeknya adalah Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Jika berpijak pada teori negara, maka maka negara sebagai suatu organisasi kekuasaan tertinggi dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dari rakyat. 58 Bagir Manan, Op Cit, hal. 180 59 Perhatikan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pemberntukan Peraturan Perundang-Undangan 35

UUD 1945 pada Pasal 4 ayat (1) menyatakan Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan. Selanjutnya pada Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden dibantu oleh Menteri. Penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA) menjadi wewenang Pemerintah yang bertindak atas nama negara berdasarkan konstitusi. Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden bersama Menteri, yang memperoleh wewenang atribusi untuk melaksanakan hak menguasai negara atas tanah. Wewenang atribusi tersebut diperoleh berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, disebutkan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Pasal 4). Jika mengacu kepada UUAP, maka Menteri/Kepala BPN lebih khusus lagi menerima pelimpahan wewenang dari Presiden berdasarkan delegasi untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang. 2. Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Wewenang pemberian hak atas tanah merupakan sebagian dari wewenang Menteri/Kepala BPN untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan. Sejak diterbitkan Permenegagraria /Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 hingga Perkaban RI Nomor 2 Tahun 2013, Menteri/Kepala BPN belum pernah melimpahkan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada Kakanwil BPN ataupun Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan delegasi. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 14 Permenegararia/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 dan Pasal 23 Perkaban RI Nomor 2 Tahun 2013, yang menyebutkan bahwa penerima pelimpahan kewenangan menandatangani keputusan pemberian ha katas tanah atas tanah atas nama Menteri /Kepala BPN. Mendasari kepada ketentuan tersebut di atas, Menteri/Kepala BPN melimpahkan kewenangan permberian hak atas tanah kepada Kakanwil BPN atau Kepala Kantor berdasarkan mandat bukan delegasi. UUAP Pasal 14 menyebutkan Pejabat memperoleh mandat apabila: (a). ditugaskan oleh Pejabat di atasnya; dan (b). merupakan pelaksanaan tugas rutin. (ayat 1). Pejabat yang menerima mandat harus 36

menyebutkan atas nama Pejabat yang memberikan mandat (ayat 4). Jika Kakanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan menandatangani keputusan pemberian hak tanah atas nama Menteri/Kepala BPN, maka menurut UUAP kewenangan diperoleh berdasarkan mandat. Menurut Philipus M. Hadjon mandat bukanlah pelimpahan kewenangan. Pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi mandator memberikan kewenangan kepada organ lain mandataris untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. 60 Dalam UUAP ditentukan bahwa mandat merupakan pelimpahan kewenangan dari Pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pejabat pemerintahan yang lebih rendah, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Pada Pasal 13 UUAP antara lain disebutkan bahwa pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diuraikan bahwa pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: (a). diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya; (b). ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan (c). merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka (23) dan Pasal 13 UUAP, maka untuk dapat melakukan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah berdasarkan delegasi harus ditetapkan peraturan setingkat PP dan Perpres. UUAP mensyaratkan bahwa pendelegasian kewenangan harus merupakan wewenang pelimpahan atau wewenang tersebut sebelumnya telah ada. Pejabat yang memperoleh wewenang melalui delegasi bertanggung jawab terhadap wewenang yang diterima. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai menentukan bahwa keputusan pemberian hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 6, Pasal 22 dan 42). Dalam ketentuan tersebut ditegaskan juga bahwa mengenai tata cara permohonan pemberian, perpanjangan dan hapusnya hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden (Pasal 6 ayat (2), Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) Pasal 22 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 27 ayat (3) Pasal 35 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 55 ayat (2)). Perlu 60 Philipus M. Hadjon, Wawancara 37

diketahui bahwa Keppres pengaturan lebih lanjut dari PP Nomor 40 Tahun 1996 tersebut belum diterbitkan. Mengenai pendaftaran tanah yang berasal pemberian hak atas tanah, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PPPT) Pasal 23. Disebutkan bahwa hak atas tanah baru dapat dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian hak tersebut berasal tanah negara atau tanah hak pengelolaan (ayat 1). Penetapan pejabat yang berwenang, mengenai pemberian hak atas tanah negara dapat dikeluarkan secara individual ataupun secara umum ( Penjelasan Pasal 23). Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut belum menunjuk secara tegas nama jabatan yang memberikan keputusan penetapan hak milik atas tanah. Selanjutnya jika diperhatikan Pasal 22 UUPA yang menyatakan bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat dan cara terjadinya hak milik karena penetapan Pemerintah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. PP mengenai terjadinya hak milik karena hukum adat telah diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1961Tentang Pendaftaran Tanah, yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 khususnya mengenai pendaftaran konversi hak milik adat. Dalam PPPT telah ditentukan bahwa Pemerintah memberikan wewenang pendaftaran hak milik adat kepada Kepala Kantor Pertanahan. Namun tidak demikian halnya dengan pengaturan cara terjadinya hak milik karena penetapan Pemerintah (berasal dari tanah negara). PP yang dimaksudkan Pasal 22 UUPA tersebut sampai saat ini belum pernah diterbitkan, kecuali PP Nomor 38 Tahun 1963 dan Permendagri Nomor 5 Tahun 1973 yang telah diubah dengan Permenegagraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999.61 Mengenai kewenangan kegiatan pendaftaran tanah, PPPT telah mengatur bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (Pasal 5). Pejabat yang melaksanakan pendaftaran tanah adalah Kepala Kantor Pertanahan yang telah memperoleh kewenangan berdasarkan delegasi dari Pemerintah (Presiden). Sedangkan 61 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, menentukan badan-badan hukum tertentu yakni: a. Bank-bank Negara; b. Koperasi Pertanian; c. Badan-badan keagamaan; dan, d. Badan-badan sosial. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan- Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemb erian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan 38

untuk melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematis Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk (Pasal 8). Berdasarkan ketentuan tersebut pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, baik pertama kali maupun pemeliharaan data menjadi wewenang Kepala Kantor Pertanahan. Kepala Kantor Pertanahan dapat melaksanakan sendiri kewenangannya tersebut, atau melimpahkannya secara mandat kepada pejabat yang berada di bawahnya, melalui penunjukan berdasarkan keputusan Kepala Kantor Pertanahan. Dengan demikian pelimpahan kewenangan kegiatan pendaftaran tanah tidak perlu diatur kembali melalui Peraturan Menteri/Kepala BPN. Memperhatikan ketentuan Pasal 22 UUPA dan PP Nomor 40 Tahun 1996, maka pelimpahan kewenangan melalui delegasi kepada Kakanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan perlu diatur dalam PP dan Perpres. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang berwenang sebagamana dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PPPT, tidak menjelaskan jabatan Pejabat yang diberikan pelimpahan kewenangan oleh Menteri/Kepala BPN untuk menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah. PP dan Keppres yang dipersyaratkan dalam Pasal 20 UUPA dan PP Nomor 40 Tahun 1996, sepertinya berkorelasi dengan persyaratan pelimpahan kewenangan melalui delegasi sebagaimana diatur pada Pasal 13 UUAP. PP dan Perpres tersebut merupakan ketentuan dan persyaratan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah berdasarkan UUAP. Nurhasan Ismail berpendapat bahwa pelimpahan wewenang melalui delegasi harus ditetapkan melalui PP, Perpres, dan/atau Perda. Disebutkan bahwa penetapan melalui PP dan Perpres bersifat kumulatif bukan alternatif. Pelimpahan kewenangan berdasarkan delegasi tidak cukup dilakukan dengan Peraturan Menteri, sekurang- kurangnya harus diatur dengan Perpres atau dahulu dikenal dengan Keppres. PP Nomor 40 Tahun 1996 telah memberikan pengaturan pemberian hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, tetapi masih dipersyaratkan harus diatur lebih lanjut dalam Keppres.62 Pasal 1 angka (22) UUAP menyebutkan bahwa delegasi merupakan perolehan wewenang dari pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pejabat pemerintahan yang lebih rendah. Namun ketentuan tersebut tidak bersesuaian dengan pengertian delegasi sebagaimana terdapat pada Pasal 13 yang menyatakan bahwa pejabat 62 Nurhasan Ismail, Narasumber pada Diskusi Penyusunan Kajian Tahap II, tanggal 26 Oktober 2020 39

pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila diberikan oleh pejabat pemerintahan kepada pejabat pemerintahan lainnya. Ketentuan ini tidak lagi mengatur antara pejabat yang lebih tinggi dengan pejabat yang lebih rendah, sehingga tidak bersesuaian dengan Pasal 1 angka (22) UUAP sebagaimana disebutkan di atas. Nurhasan Ismail berpendapat bahwa terhadap adanya perbedaan pengertian delegasi pada Pasal 1 angka (23) dengan Pasal 13 UUAP, maka yang dipedomani adalah ketentuan Pasal 1 angka (23). Namun persyaratan pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi, tetap harus berpedoman kepada ketentuan Pasal 13 UUAP. Ketentuan tersebut menentukan bahwa pengaturan kewenangan dengan cara delegasi didasarkan pada PP dan Perpres, tidak cukup hanya dengan Peraturan Menteri. Jika harus dilakukan pengaturan pelimpahan kewenangan berdasarkan delegasi maka dilakukan dengan menerbitkan peraturan sekurang-kurangnya dalam bentuk Perpres.63 Tentang adanya perbedaan norma hukum pada satu ketentuan peraturan, seperti perbedaan delegasi dalam Pasal 1 angka (23) dengan Pasal 13 UUAP, maka perlu memperhatikan doktrin hukum untuk memahami kewenangan berdasarkan delegasi. Oleh karena itu dilakukan penelusuran mengenai kewenangan berdasarkan delegasi menurut doktrin hukum administrasi negara. Bernards Arief Sidharta, menyebutkan istilah lain dari doktrin sebagai ajaran. Ajaran itu juga dapat disamakan dengan doktrin, doktrin ini merupakan tampungan dari norma sehingga dokrin menjadi sumber hukum. Doktrin dalam ilmu hukum diartikan sebagai “analytical study of law atau “doctrinal study of law” yang bersifat science. “Legal doctrine” adakalanya disebut juga dengan “legal dogmatics”.64 Mengenai delegasi J.G. Brouwer dan A.E. Schilder menyebutkan sebagai kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya, sehingga delegator (pemberi kewenangan) dapat menguji kewenangan itu atas namanya. Pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Philipus M Hadjon mengatakan bahwa dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 63 Nurhasan Ismail, Loc Cit 64 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, Tahun 2009, hal. 128-129 40

a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang- undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.65 Kewenangan yang diperoleh berdasarkan delegasi berbeda dengan kewenangan yang diperoleh secara mandat. Penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), sementara tanggung jawab akhir keputusan yang diambil oleh mandataris dan tanggung gugat tetap berada pada mandans. Perolehan wewenang atau kewenangan berkaitan erat dengan asas legalitas dalam sistem hukum administrasi negara. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai bahan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Asas ini disebut de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang66 Dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus disertai dengan pertanggungjawaban. Wewenang merupakan faktor penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena berdasarkan wewenang inilah Pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan hukum bidang publik (publiekrechtshandeling)67 Asas legalitas (wetmatigheid van bestuur) salah satu asas yang dijunjung tinggi oleh negara hukum (rechtsstaats). Asas legalitas mencanangkan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan, maka setiap aparatur Pemerintah tidak akan memiliki wewenang untuk mempengaruhi keadaan atau posisi hukum setiap warga. Setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan 65 Ridwan HR, Op Cit, hal 104-105 66 Eny Kusdarini, Dasar-dasar Hukum Adminitrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Penerbit UNY Press, Yogyakarta, Tahun 2011, hal. 89 67 Ridwan HR, Op Cit, hal. 109 41

kebijakan dan tindakan hukum tata usaha negara, didasarkan kepada sumber yang berasal dari ketentuan perundang-undangan68 Indroharto juga menegaskan bahwa hanya berdasarkan pendelegasian yang sah saja yang dapat memberi kemungkinan untuk mengeluarkan suatu keputusan tata usaha negara yang sah. Apabila terdapat kekurangan pada wewenang yang menjadi dasarnya, maka dapat dijadikan sebagai alasan oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam batas kewenangannya, untuk mencabut kekuatan hukum keputusan tersebut dengan jalan membatalkan atau menyatakannya sebagai keputusan yang tidak mengikat69 Berdasarkan uraian tersebut di atas dengan memperhatikan ketentuan dalam UUAP, serta doktrin hukum administrasi negara, maka dapat dilihat bentuk pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah yang sesuai dengan sistem dan struktur organisasi Kementerian ATR/BPN. Pelimpahan kewenangan berdasarkan delegasi harus ditetapkan dengan PP sesuai Pasal 22 UUPA untuk pelimpahan kewenangan pemberian hak milik, serta Perpres untuk pelimpahan kewenangan pemberian hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai sesuai PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah ditetapkan dengan Permen, maka kewenangan yang diberikan oleh Menteri/Kepala BPN kepada Kakanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan adalah kewenangan berdasarkan mandat. I Gusti Ngurah Wairocana menyebutkan bahwa mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama Pejabat TUN yang memberi mandat70 Dijelaskan juga bahwa apabila pelimpahan dilakukan berdasarkan delegasi, maka penerima delegasi wajib membuat ketentuan peraturan sendiri bagaimana cara melaksanakan delegasi tersebut. Misalnya Pemda yang menerima delegasi wewenang otonomi dari Pemerintah, maka sebagai pejabat pelaksana kewenangan yang diterima dari delegans wajib membuat peraturan sendiri seperti Perda atau Peraturan Bupati/Walikota.71 68 Indroharto (II), Op Cit, hal. 58 69 Ibid, hal. 65 70 I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, “Implementasi Good Governance Dalam Legislasi Daerah” Orasi Ilmiah pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Sabtu, 22 November 2008, hal. 28 71 I Gusti Ngurah Wairocana, Hasil Wawancara Tanggal 29 Juli 2020 di Bali. 42

Perlu menjadi perhatian bahwa apabila pengaturan pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah berdasarkan delegasi hanya dalam bentuk Permen, maka akan bertentangan dengan ketentuan pengaturan wewenang pemerintahan dan UUAP. Akibat yang ditimbulkan adalah bahwa penerbitan keputusan pemberian hak tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan Kakanwil BPN dapat mengandung cacat hukum karena cacat wewenang. Jika suatu keputusan mengandung cacat hukum, maka keputusan tersebut tidak memiliki akan memiliki kekuatan legalitas, sehingga keputusan tersebut harus dicabut atau dibatalkan (Pasal 64 dan 66 UUAP). Dalam hal terdapat keberatan pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat keputusan itu, maka dapat mengajukan gugatan ke PTUN mengenai legalitas keputusan tersebut untuk dimohonkan pembatalannya. Pelimpahan kewenangan pemberian hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai di atas tanah negara atau di atas hak Pengelolaan berdasarkan delegasi, maka pengaturannya dapat dilakukan dalam RPP Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah sebagai tindak lanjut UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Dalam RPP yang sedang dipersiapkan oleh Pemerintah, dapat dimuat alasan-alasan pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah melalui delegasi kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kakanwil BPN. Demikian juga halnya dengan pelimpahan wewenang pemberian hak milik berdasarkan penetapan Pemerintah sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUPA, juga dapat diwujudkan untuk diatur dalam RPP HPL dan HAT. Pengaturan perolehan hak milik atas tanah berdasarkan penetapan Pemerintah dalam suatu PP sesuai ketentuan UUPA, akan memberikan kepastian hukum bagi penerbitan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kakanwil BPN. Jika dimungkinkan RPP HPL dan HAT yang sedang disiapkan juga dapat memuat materi perolehan hak milik atas tanah berdasarkan penetapan Pemerintah, serta pelimpahan kewenangan pemberian haknya berdasarkan delegasi. Muatan materi yang diusulkan dalam RPP HPL dan HAT adalah sebagaiman pada tabel berikut : 43


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook