Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jurnal Pertanahan Vol.10 No.1

Jurnal Pertanahan Vol.10 No.1

Published by perpustakaanpublikasi, 2020-09-10 05:11:23

Description: Jurnal Pertanahan Vol.10 No.1 Edisi Juli Tahun 2020

Keywords: Jurnal,Jurnal Pertanahan,Journal,Buku

Search

Read the Text Version

JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Penanggung Jawab Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. (Chief Editor) Mitra Bebestari Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. (Reviewer) Praktisi Agraria Penyunting Pelaksana (Editor) Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A. Desain Grafis & Fotografer Pakar Kajian Kebijakan Pertanahan (Graphic Designer & Photographer) Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M. Sekretariat (Secretariat) Pakar Hukum Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc., Ph.D. Pakar Geospasial, Pengukuran, Pemetaan, Kadaster Trias Aditya K.M., ST., M.Sc., Ph.D. Pakar Geodesi Dr. sc. agr. Iwan Rudiarto, S.T., M.Sc. Pakar Manajemen Lahan, Land use, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan Desa Prof. Dr. Ir. Walter Timo de Vries Pakar Land Management, Urban dan Rural Development Management Alhilal Furqan, B.Sc., M.Sc., Ph.D. Pakar Perencanaan Wilayah dan Kota Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H. Pakar Hukum Agraria Dr. Rikardo Simarmata, S.H. Pakar Hukum Agraria M. Nazir Salim, S.S., M.A. Pakar Reforma Agraria, PPTKH, Perhutanan Sosial, Konflik, dan Isu-Isu Akuisisi Lahan Nanang Haryono, S.IP., M.Si. Pakar Kebijakan Publik, Pelayanan Publik Ahmad Nashih Luthfi, S.S., M.A. Pakar Studi Agraria Arditya Wicaksono, S.IP., M.Si. Peneliti Ahli Pertama Romi Nugroho, S.Si. Peneliti Ahli Pertama Dwi Suprastyo, S.P., M.Si. Peneliti Ahli Pertama Arsan Nurrokhman, S.Si. Penyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Bella Nofianti, S.E. Dwi Purnani, S.Sos. Nur Aliyanto S.Kom. Jauhari Thonthowi, S.Si. Tri Siwi Kurniasari, S.AP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Bogor Telp./Fax. (021) 8674719, www.atrbpn.go.id e-mail : [email protected]



JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 DAFTAR ISI Pengantar Redaksi 1 - 14 15 - 23 1. Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui 25 - 38 Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi ......................................... Oemar Moechthar dan Agus Sekarmadji 39 - 59 61 - 78 2. Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) 79 - 89 Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal ......................................... 91 - 107 Hadi Arnowo 3. Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ ....................................................................... Sutaryono dan Asih Retno Dewi 4. Digitalisasi Administrasi Pertanahan untuk Mewujudkan Percepatan Pembangunan Nasional Perspektif Kebijakan Hukum (Legal Policy) .......................................................................... Riswan Erfa 5. Infrastruktur Data Spasial Berbasis Geoportal: Implementasi Kebijakan Satu Peta ........................................................................... Fahmi Charish Mustofa dan Wahyuni 6. Legalitas Bentuk Akta Keterangan Hak Mewaris bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa dalam Turun Waris ............... Samson Aprinaldi Situmorang dan Winoto Joyokusumo 7. Meninjau Efektivitas Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka Mewujudkan Tertib Tata Ruang ............................................. Stevanus Eko Pramuji dan Viorizza Suciani Putri

JURNAL ISSN 0853 - 1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 8. Menghitung Dampak Tanah Terlantar terhadap Potensi Kerugian Ekonomi di Indonesia .......................................................... 109 - 120 Benny Lala Sembiring dan Yohanes N Agung Wibowo 9. Pelaksanaan Reforma Agraria Berasal dari Tanah Cabutan Asing (Studi Kasus Kabupaten Bangli Provinsi Bali) ............ 121 - 132 Achmad Taufiq Hidayat

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Jurnal Pertanahan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2020 menghadirkan beberapa tulisan dengan tema yang menarik dan cukup beragam. Tulisan-tulisan tersebut mengangkat beberapa isu terkini tentang pertanahan dan tata ruang. Pertama, Oemar Moechthar dan Agus Sekarmadji (Fakultas Hukum, Universitas Airlangga) membahas Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, yang mana dalam aturan tersebut disebutkan bahwa seseorang tidak boleh memiliki lebih dari 5 bidang tanah dengan status hak milik yang seluruhnya meliputi luas lebih dari 5.000 m2, namun praktek di lapangan seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas yang telah ditetapkan. Kelemahan dalam aturan itu tidak memberikan sanksi apabila ketentuan tersebut dilanggar, dengan demikian banyak oknum yang memanfaatkan kekosongan norma dalam aturan tersebut demi kepentingan pribadi. Jawabannya tertuang dalam artikel dengan judul “Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi”. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan kegiatan pedaftaran seluruh bidang tanah secara lengkap, yang menjadi program prioritas nasional kementerian. Hadi Arnowo (Widyaiswara Ahli Madya, Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian ATR/BPN) dalam tulisannya “Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal” mencoba membahas tentang integrasi data spasial berbasis bidang tanah hasil dari kegiatan PTSL dengan data spasial yang sudah ada serta pengelolaan data spasial bidang tanah yang berkembang akibat berbagai perubahan fisik bidang tanah. Penatagunaan tanah dan tata ruang belakangan ini sangat intensif dibicarakan. Dalam tulisan “Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ”, oleh Sutaryono dan Asih Retno Dewi (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Kementerian ATR/BPN) mengulas topik tentang Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT), yang merupakan perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan dapat berperan secara efektif sebagai instrumen dalam percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ). Artikel berikut yaitu “Digitalisasi Administrasi Pertanahan untuk Mewujudkan Percepatan Pembangunan Nasional Perspektif Kebijakan Hukum (Legal Policy) ditulis oleh Riswan Erfa (Analis Hukum pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan). Penulis melakukan analisis layanan administrasi pertanahan seperti pendaftaran tanah sistematis lengkap yang belum berbasis digital harus diarahkan menuju digitalisasi, terlebih di era semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut untuk mempercepat pelayanan, mempermudah masuknya investasi, integrasi data antar sektor pembangunan, dan mempercepat terwujudnya tujuan nasional. Namun demikian diperlukan landasan dan pedoman bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan digitalisasi pertanahan. Fahmi Charish Mustofa dan Wahyuni (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Kementerian ATR/BPN) dalam artikelnya “Infrastruktur Data Spasial Berbasis Geoportal: Implementasi Kebijakan Satu Peta”, mengelaborasi sejarah dan praktik penerapan IDS dengan bentuk Geoportal sebagai model implementasi IDS di berbagai negara dengan berbagai kekuatan dan kelemahannya. Kajian dilakukan dengan metode kajian pustaka (desk study) dengan mengumpulkan berbagai artikel, paper, dokumen laporan, maupun informasi pengembangan IDS berbasis geoportal yang dipublikasikan di website resmi institusi-institusi penyedia data geospasial di berbagai negara dan di Indonesia. Samson Aprinaldi Situmorang dan Winoto Joyokusumo (Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) dalam artikelnya “Legalitas Bentuk Akta Keterangan Hak Mewaris Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Dalam Turun Waris” mendeskripsikan dan menganalisis legalitas bentuk Akta Keterangan Hak Mewaris bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam proses turun waris serta menganalisis kekuatan pembuktian Akta Keterangan Hak Mewaris bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam bentuk partij akta maupun ambtelijke akta.

Kembali lagi ke penatagunaan tanah dan tata ruang. Upaya penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara mewujudkan tertib tata ruang sehingga menciptakan ruang nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Instrumen hukum penataan ruang dibuat untuk ditegakkan dan mencegah terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur terkait penataan ruang, pada pelaksanaannya pengaturan tersebut sulit diaplikasikan dalam kondisi faktual di lapangan bilamana terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang sehingga berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum penataan ruang. Hal tersebut diangkat oleh Stevanus Eko Pramuji dan Viorizza Suciani Putri (Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah, Kementerian ATR/BPN) dalam tulisannya yang berjudul “Meninjau Efektivitas Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka Mewujudkan Tertib Tata Ruang”. Kemudian yang tak kalah menarik adalah topik Reforma Agraria, sebagai fenomena yang masih relevan. Dampak dari tanah terlantar terhadap potensi kerugian ekonomi di Indonesia. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-kuantitatif dengan menganalisis dampak tanah terlantar yaitu tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) pada periode 2019 terhadap potensi kerugian ekonomi, yaitu nilai produk domestik regional bruto di sektor perkebunan. Data tersebut diperoleh dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Terdapat tanah HGU yang terindikasi terlantar seluas 1,2 juta Ha di tahun 2019 di seluruh Indonesia. Hal tersebut diangkat oleh Benny Lala Sembiring dan Yohanes N Agung Wibowo (Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah dan Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN) dalam tulisannya yang berjudul “Menghitung Dampak Tanah Terlantar terhadap Potensi Kerugian Ekonomi di Indonesia”. Achmad Taufiq Hidayat (Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementerian ATR/BPN) dalam artikelnya “Pelaksanaan Reforma Agraria berasal dari Tanah Cabutan Asing (Studi Kasus Kabupaten Bangli Provinsi Bali)” reforma agraria sering dikemas menjadi kepentingan politik dalam kampanye pemilihan pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun seiring perjalanan dari awal pencetusan sampai saat ini, keberhasilan reforma agraria yang dirasakan oleh rakyat masih dipertanyakan dan perlu dibuktikan secara empiris dengan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini Negara tidak bisa bekerja sendiri, butuh seluruh komponen bangsa untuk menggerakkan cita-cita luhur reforma agraria yang dibutuhkan rakyat (petani tidak memiliki tanah). Harapan kami Jurnal Pertanahan ini dapat menjadi bahan masukan dan peletak dasar pengambil kebijakan khususnya di bidang pertanahan dan tata ruang. Terima Kasih dan Selamat Membaca, Salam Redaktur

JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Oemar Moechthar dan Agus Sekarmadji (Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya) PEROMBAKAN PEMILIKAN TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL MELALUI SINKRONISASI DATA ELEKTRONIK ANTAR INSTANSI Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 1 - 14 ABSTRAK Terbitnya UUPA 60 Tahun yang lalu, belum menjamin perwujudan tujuan dari peraturan tersebut yakni dapat memberi kemungkinan akan tercapainya, fungsi bumi, air dan ruang angkasa, yang sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia. Pendapat ini dapat dilihat dari masih banyaknya rakyat Indonesia yang belum memiliki tanah untuk rumah tinggal sebagai kebutuhan primer setelah kebutuhan pangan. Jumlah tanah di Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah penduduk, oleh karena itu perlu dilakukan pemerataan penguasaan tanah agar tidak timbul penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum bagi golongan tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pernah menerbitkan Kepmen Agraria/ Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, yang mana dalam aturan tersebut disebutkan bahwa seseorang tidak boleh memiliki lebih dari 5 bidang tanah dengan status hak milik yang seluruhnya meliputi luas lebih dari 5.000 m2, namun praktek di lapangan seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas yang telah ditetapkan. Kelemahan dalam aturan itu tidak memberikan sanksi apabila ketentuan tersebut dilanggar, dengan demikian banyak oknum yang memanfaatkan kekosongan norma dalam aturan tersebut demi kepentingan pribadi. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan undang-undang, pendekatan sosio legal dan pendekatan kasus. Hasil akhir adalah menemukan model pengawasan dan perombakan kembali penguasaan tanah hak milik. Dengan adanya model tersebut maka tujuan pasal 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia yaitu meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia dapat dioptimalkan. Kata kunci : Badan Pertanahan Nasional, Penguasaan Tanah, Hukum Pertanahan, Hak Untuk Tempat Tinggal. Hadi Arnowo (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Bogor) TATA KELOLA PETA DI DALAM KKP (KOMPUTERISASI KEGIATAN PERTANAHAN) MENUJU TERWUJUDNYA SISTEM PETA TUNGGAL Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 15 - 23 ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan kegiatan pedaftaran seluruh bidang tanah secara lengkap dalam satu hamparan desa/kelurahan. Output kegiatan PTSL antara lain adalah peta bidang tanah. Data spasial bidang tanah yang terkumpul dapat dijadikan basis data spasial menuju peta tunggal. Di dalam penelitian ini membahas tentang integrasi data spasial berbasis bidang tanah hasil dari kegiatan PTSL dengan data spasial yang sudah ada serta pengelolaan data spasial bidang tanah yang berkembang akibat berbagai perubahan fisik bidang tanah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik untuk menjelaskan mengenai masalah-masalah yang timbul dan langkah- langkah pengelolaan data spasial bidang tanah. Karya tulis ini merupakan suatu gagasan yang bersifat empiris dan teoritis mengenai pengelolaan peta-peta bidang hasil kegiatan PTSL dalam rangka mewujudkan peta tunggal. Sedangkan tujuan penulisan ini adalah menjadi bahan masukan bagi Kantor Pertanahan untuk menindaklanjuti hasil kegiatan PTSL berupa peta bidang sebagai bahan basis data spasial pertanahan. Integrasi data spasial bidang tanah hasil PTSL dengan data spasial yang sudah ada harus melalui prosedur dan persyaratan teknis. Hal tersebut karena data spasial yang dikumpulkan dan dientri tidak terjamin memiliki format yang sama. Selain itu hasil dari integrasi peta harus memiliki keseragaman referensi peta sehingga dapat dijadikan peta tunggal. Pengelolaan peta tunggal di dalam Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) harus memiliki standar teknis dan standar manajerial pembuatan peta. Kata kunci : Peta Tunggal, Integrasi, Standar Operasional Sutaryono dan Asih Retno Dewi (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta) PEMANFAATAN NERACA PENATAGUNAAN TANAH UNTUK PERCEPATAN PENYUSUNAN RDTR-PZ Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 25 - 38 ABSTRAK Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT), yang merupakan perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan dapat berperan secara efektif sebagai instrumen dalam percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ). Naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi kemungkinan percepatan penyusunan RDTR-PZ menggunakan Neraca PGT. Desk study yang mengutamakan content analysis digunakan sebagai metode dalam kajian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa NPGT yang meliputi neraca perubahan, neraca kesesuaian, dan prioritas ketersediaan tanah, merupakan data dan

JURNAL ISSN 0853 - 1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 informasi yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan wilayah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan sebagai basis dalam penyusunan RDTR-PZ. Apabila hal ini dapat dilakukan maka percepatan penyusunan RDTR-PZ sekaligus kendali mutu pemanfaatan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara efektif, karena sudah mendasarkan pada data dan informasi berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana terdapat dalam NPGT. Kata kunci : Neraca Penatagunaan Tanah, RDTR-PZ, Percepatan. Riswan Erfa (Analis Hukum pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan) DIGITALISASI ADMINISTRASI PERTANAHAN UNTUK MEWUJUDKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN NASIONAL PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM (LEGAL POLICY) Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 39 - 59 ABSTRAK Digitalisasi administrasi pertanahan merupakan salah satu pelaksanaan tugas pemerintahan ditujukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Administrasi pertanahan yang masih berbasis konvensional harus digeser ke arah administrasi pertanahan yang berbasis digital. Layanan administrasi pertanahan seperti pendaftaran tanah sistematis lengkap yang belum berbasis digital harus diarahkan menuju digitalisasi, terlebih di era semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut untuk mempercepat pelayanan, mempermudah masuknya investasi, integrasi data antar sektor pembangunan, dan mempercepat terwujudnya tujuan nasional. Namun demikian diperlukan landasan dan pedoman bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan digitalisasi pertanahan. Landasan dan pedoman tersebut saat ini belum diformulasi dengan baik dalam sebuah produk hukum. Paper ini menjelaskan dua hal yang menjadi fokus permasalahan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pertama paper ini berupaya untuk menjelaskan landasan filosofis, teoritis, dan yuridis urgensi membentuk ketentuan hukum yang mengatur tentang digitalisasi administrasi pertanahan. Kedua menjelaskan konsep kebijakan digitalisasi administrasi pertanahan ke depan dalam konteks hukum. Permasalahan yang dikemukakan tersebut dianalisis dengan dengan beberapa teori, seperti teori tujuan hukum dan teori politik hukum. Landasan filosofis digitalisasi tidak lepas dari tujuan nasional yang merupakan cerminan dari basis ideologis bangsa. Landasan teoritis didasarkan pada tujuan hukum untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Landasan yuridis didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek pertanahan dan administrasi pemerintahan. Selanjutnya konsep kebijakan digitalisasi administrasi pertahanan yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan nasional selain memperhatikan aspek kemanfaatan bagi pembangunan juga mesti memperhatikan asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kata kunci : Digitalisasi Administrasi Pertanahan, Kebijakan Hukum, Pembangunan Nasional Fahmi Charish Mustofa dan Wahyuni (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Jl. Tata Bumi No. 5 Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta) INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL BERBASIS GEOPORTAL: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SATU PETA Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 61 - 78 ABSTRAK Perkembangan Infrastruktur Data Spasial (IDS) memasuki era baru dengan berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi yang melahirkan teknologi web 2.0 yang termanifestasi dalam muka pengguna (UI) yang disebeut sebagai Geoportal. IDS yang telah diperjuangkan selama kurang-lebih satu dekade mulai tertata dari aspek teknologi, standar dan akses jaringan. Implementasi IDS diberbagai negara telah mulai terwujud dalam bentuk geoportal yang dapat diakses secara luas dengan konsep berbagai pakai. Dari kelima komponen IDS, komponen kebijakan menyisakan ruang diskusi yang menarik untuk dibahas. Naskah ini mengelaborasi sejarah dan praktik penerapan IDS dengan bentuk Geoportal sebagai model implementasi IDS di berbagai negara dengan berbagai kekuatan dan kelemahannya. Kajian dilakukan dengan metode kajian pustaka (desk study) dengan mengumpulkan berbagai artikel, paper, dokumen laporan, maupun informasi pengembangan IDS berbasis geoportal yang dipublikasikan di website resmi institusi-institusi penyedia data geospasial di berbagai negara dan di Indonesia. Tujuan yang hendak dicapai adalah usulan kerangka kerja IDS di Indonesia dimana sebagian dari Kementrian dan Lembaga Non Kementerian juga sudah menerapkan dalam bentuk Geoportal. Kata kunci : Infrastruktur Data Spasial, Geoportal, Kebijakan Satu Peta, Data Pertanahan.

JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Samson Aprinaldi Situmorang dan Winoto Joyokusumo (Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Kompleks, Jl. Sosio Yustisia Bulaksumur No.1, Karang Malang, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta) LEGALITAS BENTUK AKTA KETERANGAN HAK MEWARIS BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DALAM TURUN WARIS Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 79 - 89 ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis legalitas bentuk Akta Keterangan Hak Mewaris bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam proses turun waris serta menganalisis kekuatan pembuktian Akta Keterangan Hak Mewaris bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam bentuk partij akta maupun ambtelijke akta. Metode dalam penelitian hukum ini adalah metode normatif dengan pendekatan undang-undang. Berdasarkan Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) tanggal 20 Desember 1969, Nomor: Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan juncto Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1991 Nomor KMA/041/III/1991 perihal: “Mohon Fatwa sehubungan dengan permohonan penetapan ahli waris”, juncto Surat Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Mei 1991, Nomor MA/KUMDIL/171/V/K/1991 Tahun 1991 tentang Fatwa sehubungan dengan permohonan penetapan ahli waris juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Akta Keterangan Hak Mewaris bagi warga Indonesia keturununan Tionghoa dibuat dari Notaris sehingga bentuk Akta tersebut dapat dibuat dalam bentuk Partij Akta dan Ambtelijke Akta karena kedua bentuk akta tersebut adalah kedua bentuk akta autentik yang dapat dibuat oleh Notaris dan peraturan-peraturan terkait pembuatan akta tersebut tidak menjelaskan secara jelas bentuk akta autentik yang dikhususkan untuk pembuatan Akta Keterangan Hak Mewaris. Kedua bentuk akta tersebut juga memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Akta keterangan hak mewaris merupakan produk dari Notaris sebagai pejabat umum, maka penilaian terhadap akta keterangan hak mewaris tersebut harus dilakukan dengan Asas Praduga Sah. Kata kunci : Legalitas, Bentuk Akta, Waris Stevanus Eko Pramuji dan Viorizza Suciani Putri (Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan) MENINJAU EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM PENATAAN RUANG DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB TATA RUANG Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 91 - 107 ABSTRAK Upaya penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara mewujudkan tertib tata ruang sehingga menciptakan ruang nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Instrumen hukum penataan ruang dibuat untuk ditegakan dan mencegah terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur terkait penataan ruang, pada pelaksanaannya pengaturan tersebut sulit diaplikasikan dalam kondisi faktual di lapangan bilamana terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang sehingga berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum penataan ruang. Melalui metode penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis, penelitian ini mencoba menjawab: (1) apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum penataan ruang, (2) apakah penegakan hukum penataan ruang yang sudah berjalan dapat dinilai efektif, (3) bagaimana solusi untuk mencapai efektivitas penegakan hukum tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum penataan ruang adalah faktor hukum, penegak hukum, sarana/fasilitas penunjang, masyarakat dan kebudayaan. Dari kelima faktor tersebut dapat diketahui penegakan hukum penataan ruang belum efektif. Solusi agar penegakan hukum penataan ruang dapat efektif yakni dengan perbaikan kualitas perencanaan tata ruang, penerapan asas ultimum remedium, membuat aturan pelaksanaan yang menunjang proses penegakan hukum dan memperbaiki skema kelembagaan bagi penegak hukum tata ruang. Kata kunci : Penataan Ruang, Penegakan Hukum, Efektivitas Hukum.

JURNAL ISSN 0853 - 1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Benny Lala Sembiring dan Yohanes N Agung Wibowo (Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah dan Direktorat Jenderal Tata Ruang, Jakarta Selatan) MENGHITUNG DAMPAK TANAH TERLANTAR TERHADAP POTENSI KERUGIAN EKONOMI DI INDONESIA Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 109 - 120 ABSTRAK Tulisan ini secara khusus bertujuan untuk menghitung dampak dari tanah terlantar terhadap potensi kerugian ekonomi di Indonesia. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-kuantitatif dengan menganalisis dampak tanah terlantar yaitu tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) pada periode 2019 terhadap potensi kerugian ekonomi, yaitu nilai produk domestik regional bruto di sektor perkebunan. Data tersebut diperoleh dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Terdapat tanah HGU yang terindikasi terlantar seluas 1,2 juta Ha di tahun 2019 di seluruh Indonesia. Metode kuantitatif dilakukan untuk menghitung dampak potensi kerugian ekonomi. Estimasi kami menunjukkan bahwa akibat dari tanah terindikasi terlantar berpotensi terhadap kerugian nilai ekonomi sebesar 15,1 triliun rupiah dan kehilangan penyerapan tenaga kerja lebih dari 400 ribu orang pada sektor perkebunan. Kata kunci : Tanah Terlantar, Potensi Kerugian Ekonomi, Perkebunan Achmad Taufiq Hidayat (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Bogor) PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA BERASAL DARI TANAH CABUTAN ASING (STUDI KASUS KABUPATEN BANGLI PROVINSI BALI) Jurnal Pertanahan, Volume 10, Nomor 1, Juli 2020, Halaman : 121 - 132 ABSTRAK Reforma Agraria merupakan program prioritas nasional dalam Nawacita Presiden, sesuai dengan amanat RPJMN 2020-2024 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Di sisi lain, reforma agraria sering dikemas menjadi kepentingan politik dalam kampanye pemilihan pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun seiring perjalanan dari awal pencetusan sampai saat ini, keberhasilan reforma agraria yang dirasakan oleh rakyat masih dipertanyakan dan perlu dibuktikan secara empiris dengan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini Negara tidak bisa bekerja sendiri, butuh seluruh komponen bangsa untuk menggerakkan cita-cita luhur reforma agraria yang dibutuhkan rakyat (petani tidak memiliki tanah) namun mempunyai itikad baik untuk memanfaatkan tanahnya secara aktif. Di Kabupaten Bangli ada beberapa desa yang masyarakatnya bergantung kepada tanahnya untuk bercocok tanam, namun belum mendapatkan legalitas dan belum memperoleh akses pemberdayaan masyarakat. Tanah yang dijadikan obyek Reforma Agraria bersumber dari Tanah Cabutan Asing, menurut informasi dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli merupakan tanah swapraja dan berasal dari penghapusan tanah partikelir. Adapun tujuan dari penulisan, adalah (1) Untuk melihat dukungan kelembagaan dari para Pemangku Kepentingan (2) Mengkaji proses pelaksanaan reforma agraria dan (3) Tindaklanjut yang dilaksanakan paska legalisasi aset . Tulisan ini mengkaji pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Bangli, yang diselenggarakan pada tahun 2019 dan diberikan kepada 200 petani setelah vakum pelaksanaan Reforma Agraria selama 11 (sebelas) tahun. Diharapkan pelaksanaannya berkesinambungan dan dapat menjadi success story bagi pelaksanaan daerah lain. Kata kunci : Reforma Agraria, Tanah Cabutan Asing

JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Oemar Moechthar and Agus Sekarmadji (Faculty of Law, Airlangga University in Surabaya) IMPLICATIONS SPATIAL DEVELOPMENT OF JAKARTA CITY BASED ON SPATIAL PATTERNS OF LAND VALUE Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 1 - 14 ABSTRACT The issuance of UUPA 60 years ago, has not guaranteed the realization of the purpose of the regulation which is to provide the possibility of achieving the functions of the earth, water and space, which are in accordance with the interests of the Indonesian people. This opinion can be seen from the large number of Indonesians who do not yet have land for housing as primary needs after food needs. The amount of land in Indonesia is not balanced with the population, therefore it is necessary to do even distribution of land tenure so that land tenure does not arise that exceeds the maximum limit for certain groups. As it is known that the government once issued the KEPMEN Agraria / Head of BPN Number 6 of 1998 concerning the Granting of Land Ownership Rights for Homes, which in the regulation stated that a person must not have more than 5 plots of land with the status of ownership which entirely covers more area of 5,000 M2, but the practice in the field can have ownership rights over the specified limit. Weaknesses in the rules do not provide sanctions if the provisions are violated, so many people who take advantage of the void of norms in these rules for personal gain. The approach used in this paper is the legal approach, the socio legal approach and the case approach. The end result is finding a model of supervision and reshuffle of ownership of land. With this model, the purpose of article 33 paragraph (3) of the Indonesian Constitution, namely to improve the welfare of Indonesian citizens, can be optimized. Keywords : National Land Agency, Land Tenure, Land Law, Right for Homes. Hadi Arnowo (Human Resource Development Center, Ministry of Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency, Bogor) MAP GOVERNANCE IN THE KKP (COMPUTERIZATION OF LAND ACTIVITIES) TOWARDS A SINGLE SINGLE SYSTEM Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 15 - 23 ABSTRACT Complete Systematic Land Registration (PTSL) is an activity of registering all land parcels completely in one stretch of village / kelurahan. The output of PTSL activities includes a map of land parcels. Map of land field Spatial data of the collected land can be used as a spatial database towards a single map. This study discusses the integration of land-based spatial data as a result of PTSL activities with existing spatial data and the management of spatial data on land parcels that have developed due to various physical changes in the parcel. This study uses descriptive analytical methods to explain the problems that arise and the steps to manage spatial data on parcels. This paper is an empirical and theoretical idea regarding the management of PTSL activity field maps in order to realize a single map. While the purpose of this writing is to be input for the Land Office to follow up on the results of PTSL activities in the form of field maps as material for spatial land databases. The integration of spatial data from PTSL results with existing spatial data must go through procedures and technical requirements. This is because the spatial data collected and dientri are not guaranteed to have the same format. In addition, the results of map integration must have a uniform map reference so that it can be used as a single map. Management of a single map in the Computerized Land Office (KKP) must have technical standards and managerial standards for map making. Keywords : Single Map, Integration, Operational Standard

JURNAL ISSN 0853 - 1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Sutaryono dan Asih Retno Dewi (National Land College, Yogyakarta) UTILIZATION OF LAND USE BALANCE TO ACCELERATE THE ARRANGEMENT OF DETAILED SPATIAL PLANNING AND ZONING REGULATION Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 25 - 38 ABSTRACT The Land Use Balance (Neraca Penatagunaan Tanah - NPGT), which is a balance between land availability and land tenure, land use and land utilization requirements according to area functions can play an effective role as an instrument in accelerating the preparation of Detailed Spatial Planning (RDTR) and Zoning Regulations (PZ). This paper aims to elaborate on the possible acceleration of the preparation of the RDTR-PZ using the Land Use Balance. Desk studies that prioritize content analysis are used as a method in this study. The results show that The Land Use Balance, which includes a balance sheet of change, a balance sheet of suitability, and priority of land availability, is data and information that is needed in regional development planning and policy. This instrument is very representative to be used as a basis in the preparation of RDTR-PZ. The impact is, the acceleration of the preparation of RDTR-PZ as well as quality control of spatial use, licensing of spatial use, policies on the preparation of the Building and Environmental Planning (RTBL) and spatial use control can be carried out effectively, because it has been based on data and information relating to land tenure, land ownership, land use and utilization of land as contained in The Land Use Balance Keywords : Land Use Balance, Detailed Spatial Planning-Zoning Regulations, Acceleration. Riswan Erfa (Law Analyst of Government of South Kalimantan Province) DIGITALIZATION OF LAND ADMINISTRATION TO ACTUALIZE THE ACCELERATION OF NATIONAL DEVELOPMENT FROMLEGAL POLICY PERSPECTIVE Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 39 - 59 ABSTRACT Digitalization of land administration is one of the implementation of government tasks aimed to actualize the national development goals. Land administration that is still based on conventional must be shifted towards digital-based land administration. Land administration services such as complete systematic land registration that are not yet digital based must be directed towards digitalization, especially in the era of increasingly rapid development of science and technology. This is to accelerate services, facilitate the entry of investment, integrate data between development sectors, and accelerate the realization of national goals. However, a foundation and guideline is needed for the Agency or Government Official in carrying out the task of carrying out land digitalization. The foundation and guidelines are currently not well formulated in a legal product. This paper explains two things that are the focus of the problem using normative legal research methods. First, this paper seeks to explain the philosophical, theoretical, and juridical basis of urgency to establish legal provisions governing digitalization of land administration. The second explains the concept of the policy of digitizing land administration in the future in a legal context. The problems raised were analyzed with several theories, such as the theory of the purpose of law and the theory of legal politics. The philosophical foundation of digitalization is inseparable from national goals which are a reflection of the ideological basis of the nation. The theoretical foundation is based on the purpose of the law to create certainty, benefit, and justice. Furthermore, the legal policy concept of digitalization of Land administration which is aimed at accelerating national development is formulated by taking into account the aspects of benefit for development and the principles of the formation of statutory regulations. Keywords : Digitalization of Land Administration, Legal Policy, National Development Fahmi Charish Mustofa dan Wahyuni (National Land College, Yogyakarta) GEOPORTAL-BASED SPATIAL DATA INFRASTRUCTURE: ONE-MAP POLICY IMPLEMENTATION Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 61 - 78 ABSTRACT The development of Spatial Data Infrastructure (IDS) entered a new era when the development of Information and Communication Technology which gave birth to web 2.0 technology that was manifested in the face of the user (UI), which was referred to as Geoportal. IDS which has been fought for for about a decade began to be arranged in terms of technology, standards and network access. The implementation of IDS in various countries has begun to materialize in the form of geoportal which can be accessed widely with various usage concepts. Of the five components of the IDS, the policy component leaves an interesting discussion space for discussion. This paper elaborates the history and practice of implementing IDS with the Geoportal form as a model of IDS implementation in various countries with various strengths and weaknesses. The goal to be achieved is the proposed IDS framework in Indonesia in which a number of Ministries and Non-Ministry Institutions have also implemented it in the form of Geoportal. Keywords : Spatial Data Infrastructure, Geoportal, One Map Policy, Land-Related Data

JURNAL ISSN 0853 -1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Samson Aprinaldi Situmorang dan Winoto Joyokusumo (Magister of Notary program Law Faculty Gadjah Mada University, Yogyakarta) THE LEGALITY OF FORM OF THE DEED OF INHERITANCE RIGHTS FOR INDONESIAN CITIZENS OF CHINESE DESCENT IN INHERITANCE PROCESS Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 79 - 89 ABSTRACT The purpose of this research is to describe and analyze the legality of form of the deed of inheritance rights for Indonesia citizens of Chinese descent in inheritance process as well as to analyze the strength of evidence of the Deed of Inheritance rights for Indonesian citizens of Chinese descent in the form of partij deed and ambtelijke deed. The method used in this legal research is normative with a statute approach. According to Letter of Ministry of Internal Affairs of the Directorate General of Agrarian Directorate of Land Registration (Kadaster) dated December 20th, 1969 Number: Dpt/12/63/12/69 regarding Certificate of Inheritance rights and Proof of Citizenship jo. Letter of Chairman of the Supreme Court of Republic of Indonesia dated March 25th, 1991 Number KMA/041/III/1991 regarding: “Request of Doctrines in connection with the application for the determination of heirs”, jo. Letter of the Supereme Court of Republic of Indonesia dated May 8th, 1991 Number MA/KUMDIL/171/V/K/1991 Year 1991 cocnerning Doctrines in relation with the application for the determination of heirs jo. Regulation of Ministry of Agrarian Affairs/Head of National Land Agency Number 3 Year 1997 regarding Provisions for Implementing Government Regulation Number 24 Year 1997 regarding Land Registration, the Deed of Inheritance Right for Indonesian citizens of Chinese descent made by a Notary, so that the form of the said deed could be made in the form of Partij Deed and Ambtelijke Deed due to those two forms of the deed are the two forms of authentic deed that could be made by a Notary and the regulations related to the making of the said deed do not clearly explain the form of an authentic deed devoted to making the Deed of Inheritance. Both forms of the deed also have strength of perfect evidence. The Deed of Inheritance Rights is a product of Notary as a public official therefore the assessment of the aforementioned Deed of Inheritance Rights shall be carried out with Principle of Legalitimate Presumption. Keywords : Legality, Form of Deed, Inheritance Stevanus Eko Pramuji dan Viorizza Suciani Putri (Directorate General of Control of Spatial Use and Land Control, Ministry of Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency, South Jakarta) EFECTIVITY OF SPATIAL PLANNING LAW ENFORCEMENT TO ACHIVE THE ORDERLY SPATIAL PLAN Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 91 - 108 ABSTRACT Strict law enforcement efforts are one way to achieve the orderly spatial plan so as to create a safe, comfortable, productive and sustainable national space. Spatial planning legal instruments are made to be enforced and prevent violations of spatial use. Even though Indonesia have an instrument that regulate spatial planning, the implementation of these regulations is difficult to apply in the factual field conditions as well as a violation of spatial use that affect the effectiveness of spatial planning law enforcement. Through normative research with descriptive analytic research characteristic, this research tries to answer: (1) what are the factors that influence the effectiveness of spatial planning law enforcement, (2) whether the law enforcement of existing spatial planning can be considered effective, (3) how to solve the problems in order to achieve the effectiveness of law enforcement. The results showed that the factors that influence the law enforcement of spatial planning are legal factors, law enforcement, facilities/supporting facilities, society and culture. It can be seen from the five factors that law enforcement on spatial planning is not yet effective.The solutions for law enforcement of spatial planning which can be effective by improving spatial plan quality, applying the principle of ultimum remedium, make implementing regulations that support the process of law enforcement and improve institutional schemes for spatial law enforcement. Keywords : Spatial Planning, Law Enforcement, Law Evectivity

JURNAL ISSN 0853 - 1676 PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 Benny Lala Sembiring dan Yohanes N Agung Wibowo (Directorate General of Control of Spatial Use and Land Control and Directorate General and Spatial Planning, South Jakarta) ESTIMATING THE IMPACT OF ABANDONED LAND ON POTENTIAL ECONOMIC LOSS IN INDONESIA Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 109 - 120 ABSTRACT This study primarily aims to estimate the impact of land abandonment on potential economic loss in Indonesia. This paper uses a descriptive-quantitative framework approach by analyzing the number of abandoned land size, specifically the number and size of Cultivation Rights Tittle land (HGU), in Indonesia, in 2019, on economic loss, which are related to potential loss of share of gross domestic regional product (GDRP). This paper also estimates the impact of abandoned land on potential loss on number of employments in estate crops. Using indication of abandoned land data provided by Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency, there are more than 1.2 million Ha in 2019 Cultivation Rights Tittle indicated as abandoned land. A quantitative method is conducted to estimate the potential loss. Our estimation suggests that abandoned land in 2019 generate an economic potential loss in 29 provinces in estate crops sector nearly 15.1 Trillion Rupiah and more than 400 thousand workforce absorption. Keywords : Abandoned Land, Economic Potential Loss, Estate Crops Achmad Taufiq Hidayat (Human Resource Development Center, Ministry of Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency, Bogor) IMPLEMENTATION OF AGRARIAN REFORM COMES FROM CONFISCATED FOREIGN LAND (CASE STUDY OF BANGLI REGENCY IN BALI PROVINCE) Journal Pertanahan, Volume 10, No. 1, July 2020, Page : 121 - 132 ABSTRACT Agrarian Reform is a national priority program in the President’s Nawacita in accordance with the mandate of the RPJMN 2020-2024 and Presidential Regulation Number 86 Year 2018 regarding Agrarian Reform. On the other hand, Agrarian Reform is often packaged into political interests in the context of the election campaign for leaders both at national and regional levels. But along the journey from the beginning of the proposal to the present, the success of the Agrarian Reform felt by the citizen is still questionable and needs to be proven empirically with scientific studies that can be answered. In this case the State cannot work alone, it requires all components of the nation to move the noble ideals of Agrarian Reform that are needed by the citizen, especially farmers who do not own land but have good faith to utilize their land actively. In Bangli Regency there are several villages where the people depend on their arable land for farming but so far they have not received legality and have not received an access to the community empowerment comprehensively. The land which was used as the object of Agrarian Reform was originated from the Confiscated Foreign Land, according to information from the Head of Land Office of the Regency of Bangli, which was a swapraja land (king’s land) and originated from the elimination of private land. The purpose of this paper are (1) To see the institutional support of the Stakeholders (2) To examine the process of implementing Agrarian Reform (3) Follow up on what has been done after asset reform. This paper reviews the implementation of agrarian reform in Bangli Regency which was held in 2019 and was given to 200 subjects of beneficiary farmers, after a vacuum of Agrarian Reform for 11 (eleven) years. The implementation is expected to be sustainable and can be a success story for implementation in other areas. Keywords : Agrarian Reform, Confiscated Foreign Land

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji PEROMBAKAN PEMILIKAN TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL MELALUI SINKRONISASI DATA ELEKTRONIK ANTAR INSTANSI RECAST OF LAND OWNERS FOR HOME STAY THROUGH SYNCHRONIZATION OF ELECTRONIC DATA INTER-INSTITUTIONS Oemar Moechthar dan Agus Sekarmadji Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya E-mail : [email protected] dan [email protected] ABSTRAK Terbitnya UUPA 60 Tahun yang lalu, belum menjamin perwujudan tujuan dari peraturan tersebut yakni dapat memberi kemungkinan akan tercapainya, fungsi bumi, air dan ruang angkasa, yang sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia. Pendapat ini dapat dilihat dari masih banyaknya rakyat Indonesia yang belum memiliki tanah untuk rumah tinggal sebagai kebutuhan primer setelah kebutuhan pangan. Jumlah tanah di Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah penduduk, oleh karena itu perlu dilakukan pemerataan penguasaan tanah agar tidak timbul penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum bagi golongan tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pernah menerbitkan Kepmen Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, yang mana dalam aturan tersebut disebutkan bahwa seseorang tidak boleh memiliki lebih dari 5 bidang tanah dengan status hak milik yang seluruhnya meliputi luas lebih dari 5.000 m2, namun praktek di lapangan seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas yang telah ditetapkan. Kelemahan dalam aturan itu tidak memberikan sanksi apabila ketentuan tersebut dilanggar, dengan demikian banyak oknum yang memanfaatkan kekosongan norma dalam aturan tersebut demi kepentingan pribadi. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan undang-undang, pendekatan sosio legal dan pendekatan kasus. Hasil akhir adalah menemukan model pengawasan dan perombakan kembali penguasaan tanah hak milik. Dengan adanya model tersebut maka tujuan pasal 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia yaitu meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia dapat dioptimalkan. Kata kunci : Badan Pertanahan Nasional, Penguasaan Tanah, Hukum Pertanahan, Hak Untuk Tempat Tinggal. ABSTRACT The issuance of UUPA 60 years ago, has not guaranteed the realization of the purpose of the regulation which is to provide the possibility of achieving the functions of the earth, water and space, which are in accordance with the interests of the Indonesian people. This opinion can be seen from the large number of Indonesians who do not yet have land for housing as primary needs after food needs. The amount of land in Indonesia is not balanced with the population, therefore it is necessary to do even distribution of land tenure so that land tenure does not arise that exceeds the maximum limit for certain groups. As it is known that the government once issued the KEPMEN Agraria / Head of BPN Number 6 of 1998 concerning the Granting of Land Ownership Rights for Homes, which in the regulation stated that a person must not have more than 5 plots of land with the status of ownership which entirely covers more area of 5,000 m2, but the practice in the field can have ownership rights over the specified limit. Weaknesses in the rules do not provide sanctions if the provisions are violated, so many people who take advantage of the void of norms in these rules for personal gain. The approach used in this paper is the legal approach, the socio legal approach and the case approach. The end result is finding a model of supervision and reshuffle of ownership of land. With this model, the purpose of article 33 paragraph (3) of the Indonesian Constitution, namely to improve the welfare of Indonesian citizens, can be optimized. Keywords : National Land Agency, Land Tenure, Land Law, Right for Homes. 1

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 I. PENDAHULUAN 2014, data yang diperoleh bahwa sebanyak 20,5% penduduk Indonesia tidak memiliki rumah tinggal. Tanah dinilai sebagai salah satu harta yang Padahal jumlah penduduk Indonesia pada tahun bersifat kekal dan turun temurun sehingga dapat 2014 sebanyak 251.000.000, berarti ada sekitar diinvestasikan untuk kehidupan masa yang akan 51.455.000 jiwa yang tidak memiliki tempat tinggal. datang. Hal ini disebabkan karena keberadaan tanah Data tersebut diperoleh dari Lembaga Demografi itu sendiri yang jauh lebih kekal dari usia manusia. Universitas Indonesia yang menjadi dasar kebijakan Oleh karena hal-hal yang demikian itulah maka pemerintah dalam hal pembangunan rumah rakyat manusia menempatkan tanah sebagai suatu hal (Investory Daily, 2014). Khusus di daerah ibukota yang selalu mendapat perhatian dan penanganan Jakarta, sebanyak 48,91% atau sekitar 4.890.000 yang khusus dan juga menimbulkan upaya warga di Jakarta tidak memiliki tempat tinggal manusia untuk memastikan penguasaan tanahnya. (Republika.co.id., 2017). Pada kenyataannya di Hal ini tentunya mudah untuk dimengerti karena lapangan, banyak warga yang menempati tanah- sesungguhnya hampir setiap aspek kehidupan tanah tanpa izin dan banyak yang tinggal di daerah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan bantaran sungai, karena kebutuhan akan tanah akan tanah. Menyadari pentingnya fungsi tanah semakin meningkat dan semakin tingginya harga ini, maka bagi pemerintah tidak ada alternatif lain tanah yang mana lebih banyak dimiliki dan dikuasai kecuali meningkatkan pengolahan, pengaturan oleh lapisan warga dengan ekonomi menengah dan pengurusan pertanahan yang menjadi sumber ke atas. Di samping itu, berdasarkan data yang bagi kesejahteraan serta kemakmuran yang sesuai diperoleh dari Konsorsium Pembaharuan Agraria, dengan apa yang diamanatkan di dalam konstitusi melalui laman www.kpa.or.id disebutkan bahwa Indonesia. Dalam memori penjelasan Undang- di Indonesia masih terjadi ketimpangan struktur Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar penguasaan sumber daya agraria. Sebagaimana Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik disebutkan di awal bahwa sumber daya agraria di Indonesia Tahun 1960 No. 104, Tambahan Lembaran antaranya: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan Negara Republik Indonesia No. 2043, selanjutnya alam yang terkandung di dalamnya. Monopoli disebut UUPA) disebutkan bahwa salah satu tujuan sumber daya agraria terjadi di hampir semua sektor UUPA yaitu untuk meletakkan dasar-dasar yang kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak di Indonesia, 71% dikuasai korporasi kehutanan, atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini 16% oleh korporasi perkebunan skala besar, 7% bertalian dengan konstitusi Indonesia, khususnya dikuasai oleh para konglomerat, sementara rakyat dalam pasal 27 ayat (2), 28H ayat (1) dan pasal 33 kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya ayat (3) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang 50,3% kekayaan nasional, dan 10% orang terkaya layak bagi kehidupan. Setiap warga negara berhak menguasai 77% kekayaan nasional (Konsorsium hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan Pembaharuan Agraria, 2017). mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu bumi dan air dan kekayaan alam yang Mengacu dalam permasalah tersebut, dalam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan ketentuan UUPA disebutkan salah satu Program dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Agrarian Reform Indonesia yaitu perombakan rakyat. pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dan non-pertanian bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan akan tempat tinggal merupakan Program ini merupakan amanat ketentuan pasal kebutuhan primer bagi setiap manusia. Pada tahun 2

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji 7, 10 dan 17 UUPA yang isinya yaitu pengaturan relevansinya dengan isu yang diteliti. Penelitian mengenai pemilikan tanah pertanian dan tanah hukum dilakukan untuk mencari pemecahan non-pertanian bagi Warga Negara Indonesia. Untuk atas isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai tanah pertanian, ketentuan mengenai Agrarian bukanlah menerima atau menelaah hipotesis tetapi Reform ini diatur dalam Undang-Undang No. 56 memberikan preskripsi tentang apa yang seyogianya Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian atas isu yang diajukan (Marzuki, 2005, 89). Langkah- yang isinya yaitu pengaturan mengenai penetapan langkah statute approach dilakukan dengan cara luas maksimum dan minimum tanah pertanian melakukan inventarisasi dan ketegorisasi yang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 UUPA. dimuat dalam satu daftar aturan hukum yang Sedangkan untuk tanah non-pertanian khususnya berkaitan dengan penguasaan pemilikan tanah bagi rumah tinggal, diatur lebih lanjut dalam Keputusan warga negara Indonesia. Di samping itu, penelitian Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan ini juga memerlukan dukungan data empirik Nasional No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak berupa data grafik terkait penguasaan tanah bagi Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal. warga negara Indonesia, data ini berkedudukan sebagai data penunjang dalam penelitian. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tempat Penelitian ini, dalam konteks hukum menggunakan tinggal merupakan kebutuhan primer manusia pendekatan penelitian hukum non doktrinal, dimana sesudah pangan dan karena itu untuk menjamin menempatkan posisi hukum sebagai proses yang pemilikan rumah tinggal bagi warga negara terbentuk di ranah pengalaman sosial, politik dan Indonesia perlu menjamin kelangsungan hak atas ekonomi, bukan pada ranah normatif semata. Untuk tanah tempat rumah tinggal tersebut berdiri. Status menganalisisnya dilakukan secara kualitatif, baik hak atas tanah untuk rumah tinggal yaitu hak dengan mengetengahkan prinsip-prinsip hukum milik, hak guna bangunan dan hak pakai. Terkait (seperti prinsip-prinsip hukum peraturan perundang- penguasaan tanah hak milik, seseorang tidak boleh undangan) dan syarat proseduralnya (mekanisme) memiliki lebih dari 5 bidang yang seluruhnya meliputi hukum maupun menganalisis berbagai faktor- luas tidak lebih dari 5.000 m2, namun prakteknya faktor sosial, ekonomi dan politik dalam proses seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas mempengaruhi prosedural dan subtansif. Dengan yang telah ditetapkan. Sehingga saat ini dapat demikian, keterlibatan disiplin ilmu diperlukan ditemui seseorang memliki tanah dengan status hak untuk memotret realitas isu yang diteliti atau biasa milik yang melebihi batas maksimum. Oleh karena disebut pendekatan studi hukum kritis. Pendekatan itu, tulisan ini akan lebih banyak mengkritisi praktik studi hukum kritis yang demikian sesungguhnya yang terjadi di masyarakat dan memberikan solusi mempertemukan dengan pendekatan ilmu sosial bagi permasalahan pemerataan tanah khususnya yang berbasis pada pendekatan teori sosial kritis untuk tempat tinggal di Indonesia. (critical social theory) yakni pendekatan dengan metodologi riset yang berusaha melampaui II. METODE pendekatan mainstream positivistic dalam studi ilmu sosial, yang sangat terkait dengan masalah-masalah Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosial apa yang menjadi alasan sampai timbulnya yang memerlukan dukungan data empirik. Dalam kasus di masyarakat. penelitian ini, pengkajian bahan hukum dilakukan secara mendalam baik terhadap peraturan perundangan yang berkaitan dengan tanah, norma hukum, konsep hukum serta teori hukum yang ada 3

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN sosial untuk rakyat banyak membuat para tuan tanah mudah menghalang-halangi program tersebut; (c) A. Konsep Landreform dalam kurangnya kerjasama di kalangan anggota panitia Ketentuan UUPA Berkaitan land reform, sebagian karena merangkap tugas- Dengan Perombakan tugas lain, sehingga memecah sebagian mereka Penguasaan Tanah untuk meluangkan perhatian penuh melaksanakan tugas-tugas dari panitia land reform tersebut, dan Lahirnya UUPA, pada hakekatnya merupakan sebagian lagi karena banyak dari kalangan anggota alat untuk mengadakan perombakan secara panitia land reform itu sendiri berniat menggagalkan revolusioner terhadap struktur agraria feodal dan land reform; dalam banyak kasus kelebihan tanah kolonial melalui lima jenis program yang disebut bahkan berhasil secara resmi dikeluarkan dari sebagai panca program agraria atau dikenal dengan keharusan sebagai objek land reform; (d) organisasi- istilah Agrarian Reform, yaitu: (1) Pembaruan hukum organisasi petani pendukung terbesar pada land agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi reform dicegah memerankan bagian yang berarti nasional dan pemberian kepastian hukum; (2) dalam panitia-panitia tersebut; (e) para petani Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi menjadi sasaran intimidasi psikologis dan ekonomis kolonial atas tanah; (3) Mengakhiri penghisapan dari para tuan tanah. Para tuan tanah ini mencegah feodal secara berangsur-angsur; (4) Perombakan para petani untuk mendorong penerapan land reform pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan- secara efisien; (f) kesulitan membuat suatu urutan hubungan hukum yang bersangkutan dengan prioritas dalam redistribusi tanah baik karena banyak pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan tuan tanah tidak memiliki buruh, maupun karena kemakmuran dan keadilan; (5) Perencanan dengan perubahan dalam pendaftaran, para buruh persediaan dan peruntukan bumi air dan kekayaan tani tersebut tercatat sebagai orang yang di luar alam yang terkandung di dalamnya serta kecamatan. Kasus-kasus macam ini memunculkan penggunaannya secara terencana, sesuai dengan pertentangan sengit antara tuan tanah dengan buruh daya dukung dan kemampuannya (Hairani, 2014, tani atau di antara sesama buruh tani sendiri, yang 10-11). Berkaitan dengan tulisan ini, lebih difokuskan kemudian sering kali berujung pada pertengkaran pada program keempat, yakni: Perombakan di antara berbagai organisasi politik (Utrecht, 1969, pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan- 79). Reforma agraria yang berparadigma pancasila hubungan hukum yang bersangkutan dengan belum mampu diwujudkan dalam politik agraria pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan nasional karena dua alasan, yakni: Pertama, banyak kemakmuran dan keadilan, atau yang lebih dikenal penyimpangan-penyimpangan di lapangan dalam dengan program Landreform atau Agrarian Reform pelaksanaan UUPA; Kedua, aturan-aturan pelaksana dalam arti sempit. yang diamanatkan UUPA banyak yang belum terealisasi hingga saat ini (Maladi, 2013, 39). Simon Pada bulan Januari 1965, Menteri Urusan P.J. Batterbury, menyebutkan bahwa Land reform Agraria melaporkan bahwa pelaksanaan land reform was strongly recommended to the new government, pada kenyataannya bermasalah. Seperti dilaporkan on the grounds that clarity, and law, were necessary. oleh Utrecht, masalah-masalah utamanya tersebut Some advisors were favourable to legal pluralism yaitu: (a) kurang lancarnya inventarisasi tanah empowering communities, but others were more sehingga menyulitkan penetapan “tanah-tanah committed to rolling out stronger private property kelebihan”, dan membuka peluang terjadinya rights, or wider state ownership (Batterbury,et.al., penyelewengan; (b) kurangnya pengertian mengenai arti perlunya land reform sebagai sarana perubahan 4

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji 2015, 626). Walaupun Indonesia telah merdeka atau dapat dikatakan mengalami kegagalan. Hal pada tahun 1945, namun penguasaan atas tanah ini disebabkan karena kurang kuatnya komitmen bagi warga negara tetap tidak merata. pemerintah untuk melaksanakan program land reform. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak cukup Pemenuhan atas tempat tinggal yang layak mempunyai kekuatan untuk melawan perlawanan merupakan kewajiban pemerintah sesuai dengan para tuan tanah yang tidak rela tanahnya diambil ketentuan dalam the International Covenant on alih untuk dijadikan obyek land reform melalui suatu Economic, Social and Cultural Rights yang telah kebijakan pemerintah (Ismail, 2012, 14). Setidaknya diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang terdapat dua hal mengapa pemerintah Indonesia No. 11 Tahun 2005. Namun pada kenyataannya, terlibat aktif mengenai persoalan reforma agraria. belum semua masyarakat dapat menikmati Pertama, bahwa hal ini karena desakan dari badan- perumahan yang layak. Hal ini disebabkan oleh badan Internasional terhadap pemerintah Indonesia perbedaan pertumbuhan dan perkembangan daerah untuk mempertimbangkan gagasan ini dalam rangka dan perhatian pemerintah yang kecil terhadap memerangi kemiskinan pedesaan. Kendati begitu, masyarakat berpenghasilan rendah (Kurniati, 2014, tidak dapat dilepaskan dari faktor kedua, yakni 78). Tempat tinggal, hunian, atau rumah merupakan dorongan berbagai kekuatan gerakan sosial yang salah satu kebutuhan pokok di mana negara memang melawan penyingkiran masyarakat tani oleh model memiliki kewajiban untuk menyediakannya, sama pembangunan pedesaan yang kapitalistik. Adanya dengan kebutuhan pokok lain seperti sandang dan desakan dari badan internasional yang selama pangan. Konsep “menyediakan” di sini tidak berarti ini sangat dominan di Indonesia dan dorongan bahwa pemerintah “memberikan”, tetapi lebih pada dari kekuatan arus bawah ini telah membuka upaya pemerintah agar seluruh rakyat Indonesia kesempatan politik bagi dibincangkannya kembali dapat memiliki tempat tinggal (hunian) yang layak gagasan tersebut di Indonesia (Aprianto, 2008, 26). dan harganya terjangkau. Upaya tersebut antara Hasil penelitian Rodríguez, menyebutkan bahwa the lain dapat berupa kebijakan pengaturan, penyediaan starting point of agrarian reform is the land problem, lahan, penyediaan prasarana dan sarana umum, which means the lack of opportunities in rural dukungan pendanaan (bagi masyarakat yang tidak areas. In the case of Brazil we can see an irregular mampu), termasuk pula penyediaan hunian itu system of property, fraud and forging with ownership sendiri (Sunarsip, 2017). documents. In the Latin American instance the problem seems to be the lack of dynamism in the Reforma Agraria tidak saja menjadi rural sector. Anyway, difficulties appear regarding to perbincangan yang bersifat ekonomi politik, the land tenancy system, I mean, the concentration namun juga memiliki latar ideologis. Tidak hanya of resources in large properties called latifundia; the melibatkan aktor politik dan aktor ekonomi, tetapi fact of a land demand dissatisfied, and a wide sector juga melibatkan organisasi rakyat, baik antara of rural producers without legal property rights called yang setuju maupun tidak dengan upaya itu. Lebih the landless (Rodríguez, 2006, 47). menarik lagi, pasang surut perbincangan mengenai reforma agraria selama republik Indonesia berdiri Keterbatasan lahan yang ada, terutama di telah melintasi beberapa kekuasaan politik dan kota-kota besar membuat negara harus memutar ekonomi, baik dalam era demokrasi terpimpin, orde otak agar pemilikan tanah khususnya rumah tinggal baru dan reformasi (Aprianto, 2009, 25). Meskipun dapat terwujud. Terbatasnya lahan secara horizontal pemerintah Orde lama mempunyai konsistensi untuk membuat perkembangan dengan pembangunan melaksanakan UUPA dan peraturan pelaksanaannya, perumahan permukiman secara vertikal, atau yang akan tetapi belum dapat dijabarkan secara utuh, 5

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 di Indonesia dikenal dengan istilah rumah susun rumah tangga. Terkait permukiman ini didirikan di atau apartemen atau flat atau condominium atau lokasi Seramit, Auban dan Sorai Provinsi Papua. strata title. Pembangunan rumah susun ini memang Bantuan dana yang diberikan pada waktu itu wajib dilakukan terutama dalam upaya relokasi lahan mencapai Rp3.100.000.000,00 (tiga milyar seratus yang bukan hunian dan dipindahkan ke tempat lain. juta rupiah). Di samping itu Kementerian Sosial Contoh nyata di Indonesia, yaitu masyarakat hukum melaksanakan Program Keluarga Harapan di Distrik adat Asmat di Provinsi Papua, yang mana warga Agats sebanyak 175 Kepala Keluarga. pada waktu itu sudah terbiasa tinggal di rawa-rawa yang rentan terjangkit penyakit. Setidaknya 71 orang Lain halnya yang terjadi di Jakarta, yang pada tahun 2018 meninggal dunia karena kasus gizi merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia. buruk dan campak yang terjadi di wilayah tersebut. Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Pemerintah daerah setempat bekerjasama dengan Republik Indonesia dan Databoks, Kadata Indonesia, Kementerian Sosial Republik Indonesia akhirnya penduduk kota Jakarta pada tahun 2017 sebanyak memberikan bantuan pemukiman sosial, jaminan 10.370.000 (sepuluh juta tiga ratus tujuh puluh juta) hidup, bantuan bibit, peralatan kerja dan peralatan jiwa. Hal ini dapat dilihat dari grafik berikut ini: Sumber: diolah dari laman databoks.katadata.co.id Gambar 1 : Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun 1961-2017 6

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji Selama dua tahun terakhir, jumlah penduduk Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat; Kebakaran di Ibu Kota Jakarta bertambah 269 jiwa setiap di permukiman padat penduduk di dekat Stasiun harinya atau 11 jiwa per-jam. Hal ini diprediksi akan Taman Kota, Jakarta Barat. Hal ini menjadi tugas bertambah setiap tahunnya. Program pemerintah besar pemerintah dalam hal melakukan penataan dalam menekan jumlah kelahiran penduduk ternyata ulang kota, khususnya daerah pada penduduk belum cukup mampu mengatasi bertambahnya dan kumuh menjadi kawasan rumah susun yang jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini berimplikasi dibangun secara vertikal, dengan demikian kota kepada peran dan tugas bagi pemerintah daerah Jakarta dapat lebih tertata dan kawasan terbuka hijau dan pemerintah pusat untuk menangani hal tersebut. dapat diwujudkan oleh pemerintah menjadi kawasan Efek lain yang dapat dilihat yaitu kawasan lingkungan layak huni. Walaupun wacana untuk memindahkan hunian yang tidak sehat karena sangat warga Jakarta ibu kota dari Jakarta ke kota lain juga sedang ramai khususnya orang perantauan yang membangun dibicarakan, yang mana pada pemerintahan Presiden bangunan tidak tetap di kawasan-kawasan yang Joko Widodo pada tahun 2019 ini, memindahkan ibu memang tidak dibuat untuk hunian sesuai dengan kota dari Jakarta menjadi Kalimantan Timur, namun Site Plan kota Jakarta. Akhirnya dari penghunian implementasi kewajiban pemerintah dalam hal hunian tempat yang memang bukan diperuntukkan untuk di Jakarta tidak dapat dihindarkan. hunian tersebut sangat padat ditempati oleh warga Jakarta khususnya orang rantauan. Kasus yang Lain di kota Jakarta, lain pula di Provinsi sering terjadi yaitu kasus kebakaran di tempat-tempat Jawa Timur. Mengacu pada data yang dimiliki oleh tersebut. Sebut saja kasus kebakaran di Jakarta pada Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur (Badan tahun 2018 diantaranya: kasus kebakaran di Petojo Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2017, 13-14), Selatan, Gambir, Jakarta Pusat; kebakaran kawasan khususnya mengenai “Statistik Perumahan dan permukiman di daerah Tanah Tinggi, Johar Baru, Pemukiman Provinsi Jawa Timur Tahun 2017”, Jakarta Pusat; kebakaran di Jalan Srengseng Sawah, ditemukan data terkait persentase rumah tangga Jakarta Selatan; Kasus kebakaran di Jembatan menurut status penguasaan rumah/bangunan Dempet Jalan Sumur Batu Raya, Sumur Batu,  tempat tinggal dan wilayah di Jawa Timur tahun 2017, sebagai berikut: Sumber: Hasil pengolahan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur Gambar 2 : Statistik Perumahan dan Permukiman Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 7

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 Masalah kepemilikan rumah dengan status Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya, milik sendiri masih menjadi pekerjaan rumah bagi dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk mereka yang berada di perkotaan, dimana hampir sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari ketentuan dua puluh persen rumah tangganya belum memiliki Pasal 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia mengandung rumah milik sendiri. Sedangkan di wilayah perdesaan pengertian bahwa Negara bukanlah pemilik tanah rumah/bangunan tempat tinggal berstatus milik sebagaimana asas Domein yang dianut oleh sendiri menjadi masalah bagi lima persen rumah pemerintah koloni yang berlaku sebelum lahirnya tangga di perdesaan. Salah satu faktor utama yang UUPA. Negara menguasai yang selanjutnya dikenal menyebabkan masih tingginya rumah tangga di dengan istilah “Hak Menguasai Negara”. Pasal perkotaan yang belum memiliki rumah milik sendiri, 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia dijabarkan lebih terutama karena keterbatasan lahan di perkotaan lanjut oleh UUPA melalui Pasal-Pasalnya. Pasal dengan densitas penduduk yang lebih tinggi, 2 ayat (1) UUPA berbunyi: “atas dasar ketentuan sehingga permintaan akan kebutuhan rumah tinggal Pasal 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia, dan hal-hal akan meningkat. Kondisi ini menyebabkan tingginya sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, harga rumah tinggal serta lahan untuk permukiman bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan dibandingkan dengan di wilayah perdesaan. alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai Bila dilihat menurut daerah kabupaten/ organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Pasal 2 ayat kota, masalah housing backlog terbesar terjadi (1) UUPA ini menunjukkan suatu sikap bahwa untuk berturut-turut (dari yang terendah persentase mencapai tujuan dari Pasal 33 ayat (3) Konstitusi rumah tangga yang memiliki bangunan/rumah Indonesia tidaklah pada tempatnya bangsa tinggal milik sendiri) yaitu pada tiga wilayah Kota, Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik yakni Surabaya (56,81%), Madiun (58,49%), dan tanah (Parlindungan, 2004, 20-21). Achmad Ya’kub Malang (63,89%). Cukup dimaklumi jika kondisi ini menyebutkan bahwa jiwa dan semangat UUPA terjadi di wilayah-wilayah tersebut, terutama karena sangat tegas ingin menghentikan ketidakadilan pesatnya perekonomian serta pusat kota pendidikan struktural dalam rangka menyiapkan prakondisi di Jawa Timur, yang meningkatkan permintaan sosial untuk membangun kemakmuran, kebahagiaan lahan sebagai pendukung aktivitas ekonomi dan dan keadilan bagi negara dan termasuk rakyat penunjang pendidikan. Sedangkan wilayah tiga tani menuju masyarakat Indonesia yang adil dan Kabupaten, yaitu Pacitan (96,21%), Bojonegoro dan makmur melalui pembaharuan agraria dalam rangka Tuban (masing-masing 96,08%). Pesatnya aktivitas penuntasan revolusi nasional (Ya’kub, 2004, 50). perekonomian di Kota Surabaya juga terlihat dari besarnya rumah tangga yang bertempat tinggal pada Selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (2) rumah atau bangunan kontrak atau sewa. Dimana UUPA diberikan pengertian dari hak menguasai tiga dari sepuluh rumah tangga di Surabaya tinggal Negara. Dengan hak menguasai Negara, Negara di rumah/bangunan tempat tinggal berupa sewa/ diberikan wewenang untuk: (1) mengatur dan kontrak. Kota Malang sebagai pusat pendidikan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, di Jawa Timur berada di urutan kedua, dimana 2-3 persediaan dan memelihara bumi, air dan ruang dari sepuluh rumah tangga di Kota Malang tinggal di angkasa; (2) menentukan dan mengatur hubungan- kontrakan atau rumah sewa. hubungan hukum orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur B. Model Pengawasan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai Di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Konstitusi bumi, air dan ruang angkasa. Dengan kewenangan Indonesia disebutkan bahwa: “Bumi, Air dan 8

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji yang dimiliki dari hak menguasai Negara, maka pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dimungkinkan organisasi kekuasaan itu untuk: (a) dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan memberikan hak-hak keperdataan, baik kepada mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi perorangan ataupun badan-badan hukum privat, (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi bangunan dan hak pakai; (b) mengakui suatu hak oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh publik yang sudah ada sebelumnya seperti hak pemerintah. Fungsi pengelolaan dilakukan melalui ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat (Pasal mekanisme pemilikan saham (share-holding) 3 UUPA); (c) memberikan hukum publik yang baru, dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam yaitu hak pengelolaan yang diberikan kepada manajemen Badan Usaha Milik Negara atau lembaga-lembaga pemerintah ataupun perusahaan- Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen perusahaan Negara/Daerah; (d) memberikan hak kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. pakai (khusus) yaitu hak pakai yang tidak terbatas pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas waktunya dan diberikan untuk pelaksanaan tugasnya, sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi seperti hak pakai untuk perwakilan-perwakilan asing sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian (Parlindungan, 2004, 29-30). pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi Pada tanggal 15 Desember 2004, Mahkamah dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan Konstitusi menerbitkan Putusan MK No. 001-021- oleh negara atas sumber-sumber kekayaan 022/PUU-I/2003, terkait permohonan pengujian dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- Undang-Undang No. 20 tahun 2002 tentang besarnya kemakmuran seluruh rakyat (Magnar, Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar et.al., 2010, 54). Dengan demikian, Mahkamah Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa Konstitusi menafsirkan ketentuan pasal 33 ayat berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi (3) Konstitusi Indonesia mengenai pengertian “hak terhadap Judicial Review Undang-Undang No. 22 menguasai negara” atas cabang-cabang produksi tahun 2001, Undang-Undang No. 20 tahun 2002 penting dan sumber kekayaan alam, meliputi: (a) dan Undang-Undang No. 7 tahun 2004 terhadap merumuskan kebijaksanaan (beleid); (b) melakukan pasal 33 Konstitusi Indonesia tersebut di atas yaitu tindakan pengurusan (bestuursdaad); (c) melakukan untuk pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah pengaturan (regelendaad); (d) melakukan diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara pengelolaan (beheersdaad); dan (e) melakukan dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan pengawasan (toezichthoudendaad). dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air, dan kekayaan Dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan Nasional disebutkan bahwa luas wilayah Indonesia oleh konstitusi memberikan mandat kepada yaitu lebih kurang 840 juta Ha, terdiri 191 juta Ha negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan daratan dan 649 juta Ha lautan. Dari luas daratan, tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan sekitar 124,19 juta hektar (64,93%) masih berupa (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan hutan seperti hutan lebat, hutan sejenis, dan hutan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan belukar. Sisanya seluas 67,08 juta hektar (35,07%) sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi telah dibudidayakan dengan berbagai kegiatan. 9

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 Jumlah tanah di Indonesia tidak diimbangi dengan Upaya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ jumlah penduduk, oleh karena itu perlu dilakukan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah pemerataan penguasaan tanah agar tidak timbul dilakukan dalam hal pengawasan pemilikan tanah penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum hak milik dengan cara pemberian surat pernyataan bagi golongan tertentu. yang ditanda tangani di atas meterai tempel oleh pemohon peralihan hak yang isinya menyatakan Hal ini sejalan dengan salah satu Rencana bahwa “perolehan Hak Milik yang kami mohon ini, Strategis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ meliputi luas tidak lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 Tahun persegi)”. Apabila pernyataan tersebut terbukti tidak 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian benar maka pemohon bersedia dituntut di Pengadilan Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku Nasional, yaitu dilatarbelakangi dengan peningkatan yang menyangkut penggunaan keterangan palsu jumlah penduduk di Indonesia yang tidak diikuti untuk suatu permohonan resmi. Namun hingga saat dengan penyebaran penduduk secara merata. Di ini penuntutan di pengadilan dalam hal penguasaan masa depan penyebaran penduduk akan mengarah tanah tersebut hampir tidak pernah terjadi. Dapat ke daerah perkotaan. Bertambahnya penduduk di dikatakan bahwa Pernyataan yang dibuat oleh daerah perkotaan menyebabkan meningkatnya pemohon peralihan hak atas tanah melalui jual beli, kebutuhan akan tanah perkotaan. Meningkatnya tukar menukar, hibah, inbreng maupun waris tersebut kebutuhan tanah di satu pihak, sedangkan di hanya bersifat formalitas belaka, dikarenakan masih lain pihak persediaannya makin terbatas, dapat banyak seseorang yang menguasai bidang hak menyebabkan makin meningkatnya alih fungsi milik melebihi 5 bidang atau lebih dari 5.000m2 tanah, termasuk tanah pertanian yang produktif. sebagaimana disebutkan dalam pernyataan Sehingga sasaran strategis Kementerian Agraria tersebut. Pada kenyataannya penguasaan tanah dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang yang melebihi batas masih banyak terjadi, terutama dirumuskan tahun 2015-2019 salah satunya yaitu bagi masyarakat yang berpenghasilan tinggi. “meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui Dengan berbagai macam daya dan upaya sehingga pemanfaatan agraria yang adil dan berkelanjutan”. pemilikan tanah yang melebihi batas tersebut Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/ dapat dimiliki oleh yang bersangkutan. Kembali ke Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun konsep penjaminan kesejahteraan yang merata 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah bagi warga negara, maka penguasaan tanah yang Untuk Rumah Tinggal, terkait penguasaan tanah melebihi batas ini dapat menghambat dalam upaya hak milik, seseorang tidak boleh memiliki lebih pemerintah mewujudkan pemerataan kesejahteraan dari 5 bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak bagi seluruh rakyat Indonesia. lebih dari 5.000m2, namun prakteknya seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas yang telah Berdasarkan kenyataan yang ada dengan ditetapkan. Terkait dengan pemilikan tanah hak milik dikaitkan penambahan fungsi negara dalam yang melebihi batas tersebut, hingga saat ini belum kaitannya dengan sumber daya alam, salah satunya ada aturan hukum mengenai sanksi bagi seseorang bumi (tanah), maka negara yang dalam hal ini yang menguasai tanah hak milik melebihi batas yang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata ditentukan dapat menjadi salah satu faktor pemilikan Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat tanah yang melebihi batas. melakukan tindakan pengawasan dan pengelolaan 10

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji terhadap warga negara yang memiliki kelebihan bahwa Tuan A di samping memiliki bidang tanah hak dalam penguasaan tanah hak milik sebagaimana milik di Surabaya juga memiliki bidang tanah di luar diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ kota Surabaya. Oleh karena itu diperlukan upaya Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun sinkronisasi data secara online untuk mengetahui 1998. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ bidang tanah apa saja yang dimiliki oleh pemohon Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan hak atas tanah yang mana data tersebut dapat asas medebewind melalui Kantor Wilayah Badan dihubungkan dengan Kantor Catatan Sipil, Kantor Pertanahan Nasional maupun Kantor Pertanahan Pajak serta Badan Pengelolaan Keuangan dan Kabupaten/Kota dapat melakukan pengawasan Pajak Daerah yang masih berkaitan dengan proses terkait penguasaan tanah hak milik tersebut permohonan peralihan hak tersebut. Dengan adanya melalui website Badan Pertanahan Nasional yang model sinkronisasi data ini diharapkan pemilikan tersedia dalam laman www.atrbpn.go.id. Kemajuan tanah hak milik yang melebihi batas sebagaimana teknologi yang tersedia dapat membantu tugas bagi diamanatkan dalam UUPA dapat diminimalisir. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam hal pengawasan dan Mengingat negara memiliki lima fungsi terkait pengelolaan pemilikan tanah hak milik bagi warga sumber daya alam tersebut, negara dalam hal ini negara. Sistem online sudah banyak diterapkan harus tegas untuk menindaklanjuti penguasaan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam tanah yang melebihi batas yang telah ditetapkan oleh meningkatkan pelayanan pertanahan, termasuk undang-undang. Sanksi yang tegas wajib dijatuhkan dalam hal pelayanan peralihan hak atas tanah oleh negara kepada warga negara untuk terwujudnya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, inbreng program reforma agraria yang dicita-citakan sejak maupun waris. tahun 1960 yang lalu. Pemerataan kesejahteraan memang tidak mudah untuk diwujudkan oleh negara, Mengingat ketentuan pemilikan 5 bidang tanah namun melihat banyaknya fenomena warga negara hak milik tersebut yang seluruhnya tidak melebihi Indonesia yang tinggal di bantaran sungai, di bawah 5.000m2 tersebut dapat dimiliki di seluruh wilayah jembatan, bahkan ditemukan juga tinggal di pipa kedaulatan Republik Indonesia, maka menjadi saluran air yang disebabkan oleh terbatasnya lahan kendala tersendiri bagaimana bentuk pengawasan dan juga harga tanah yang semakin meningkat, yang dapat dilakukan oleh Kantor Pertanahan membuat negara wajib untuk melindungi dan Kabupaten/Kota untuk mengawasi jumlah bidang mengayomi warga negara agar memperoleh hunian tanah yang diajukan oleh pemohon tersebut. yang layah sebagaimana tercantum dalam the Misalnya Tuan A mengajukan permohonan hak milik International Covenant on Economic, Social and di Kota Surabaya melalui Kantor Pertanahan Kota Cultural Rights dan yang telah diratifikasi Indonesia Surabaya dan mengisi surat pernyataan pemilikan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005. hak milik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Berikut merupakan model pengawasan dalam Nasional No. 6 Tahun 1998. Namun belum tentu hal sinkronisasi data antar instansi untuk mewujudkan Kantor Pertanahan Kota Surabaya mengetahui tujuan dari Agrarian Reform terkait penguasaan hak atas tanah sebagai berikut: 11

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 Sumber: dokumen pribadi Gambar 3 : Model Pengawasan Pemilikan Tanah di Indonesia Penjelasan Gambar: (3) Jika obyek yang akan ditransaksikan tidak melebihi batas maksimal pemilikan (1) Sebelum calon penjual dan calon pem- tanah, maka permohonan dapat diverifi- beli dibuatkan akta jual beli oleh Pejabat kasi. Pembuat Akta Tanah (PPAT), ada kewa- jiban perpajakan PPh 21 dan BPHTB (4) Kantor Pajak melakukan validasi verifi- yang dilaporkan ke Dinas Pendapatan kasi perpajakan PPh 21 dan BPHTB; Daerah dimana obyek transaksi berada; (5) Hasil validasi dikembalikan kepada (2) Dinas Pendapatan Daerah serta Kan- PPAT; tor Pajak dapat melakukan pengecekan data jumlah pemilikan tanah bagi calon (6) Kantor Pajak setelah menerima pemba- pembeli di Badan Pertanahan Nasional yaran pajak langsung melaporkan pem- atau di Kantor Pertanahan Kabupaten/ baharuan data penguasaan tanah pem- Kota; beli; (7) PPAT melakukan pembuatan akta PPAT 12

Perombakan Pemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal melalui Sinkronisasi Data Elektronik antar Instansi Oemar Moechtar dan Agus Sekarmadji berikut pelaporan peralihan haknya yang dia- Social and Clutural Rights yang telah diratifikasi melalui tur di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Ta- Undang-Undang No. 11 Tahun 2005. Hal tersebut dapat hun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. diwujudkan melalui pelaksanaan proses sinkronisasi data pemohon dan pemilikan tanah yang ada pada Berdasarkan penjelasan di atas, apabila di suatu sistem online Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang waktu ditemui terdapat kelebihan tanah hak milik yang dihubungkan dengan data yang ada pada Kantor Catatan dimiliki oleh seseorang melalui sistem online tersebut Sipil, Kantor Pajak serta Badan Pengelolaan Keuangan secara otomatis sistem akan menolak permohonan tersebut dan Pajak Daerah. Dengan adanya model sinkronisasi dan pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum data ini diharapkan pemilikan tanah hak milik yang tersebut dapat di-redistribusikan kepada warga negara melebihi batas sebagaimana diamanatkan dalam UUPA lain sebagaimana tujuan dari Agrarian Reform Indonesia. dapat diminimalisir, dan ketimpangan pemilikan tanah Dengan demikian tujuan dari pasal 33 ayat (3) Konstitusi antara konglomerat dengan rakyat biasa. Di samping itu, Indonesia dapat diterapkan yaitu “Bumi, Air dan Kekayaan kesejahteraan masyarakat terutama bagi warga yang Alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara tidak memiliki tempat tinggal dapat terwujud dan secara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran tidak langsung dapat berdampak pada peningkatan rakyat”. Sistem ini memang tidak semudah membalikkan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga negara. telapak tangan, namun mengingat kemajuan teknologi yang semakin berkembang, dan kemudahan akses tanpa DAFTAR PUSTAKA batas, tidak menyurutkan pemerintah untuk membentuk sistem yang lebih kompleks dalam rangka perwujudan BUKU pemerataan kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam Konstitusi Indonesia. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. (2017). Statistik Perumahan dan Pemukian Provinsi IV. KESIMPULAN Jawa Timur Tahun 2017. Jawa Timur” PT. Sinar Multi Indoprinting. Negara yang dalam hal ini diimplementasikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Marzuki, P.M. (1995). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Nasional dalam urusan pertanahan, memiliki kewenangan Prenada Media Group. mengatur sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA mengenai Hak Menguasai Negara Parlindungan, A.P. (1994). Komentar Atas Undang-Undang Atas Tanah. Program pemerataan pemilikan tanah yang Pokok Agraria, Bandung: Mandarmaju. dicita-citakan oleh pembentuk undang-undang pada waktu UUPA dibentuk dapat diwujudkan dengan membuat JURNAL software maupun hardware dalam hal sinkronisasi data pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Pajak, Kantor Aprianto, T.C. (2008). Wajah Prakarsa Partisipatif: Pajak, Kantor Catatan Sipil maupun Kantor Pertanahan, Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan agar satu identitas (e-KTP) dapat mengakomodir Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998. Jurnal seluruh data bagi warga negara salah satunya Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 12 (1), Juli, 25-39. mengenai kepemilikan bidang hak atas tanah. Model pengawasan dan pengelolaan penguasaan tanah hak Aprianto, T.C. (2009). Reforma Agraria (Potret Pasang milik sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Surut Sejarah Kebangsaan Indonesia). Jurnal Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Ombudsman Daerah, Edisi V, Tahun III, Januari- Tahun 1998 yang merupakan amanat dari UUPA dan pasal Juni. 27 ayat (2), 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) Konstitusi Indonesia, serta the International Covenant on Economic, Batterbury, S.P.J. (2015). Land access and livelihoods in post-conflict Timor-Leste: no magic bullets. International Journal of the Commons. 9 (2), September, 619–647 13

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 1-14 Hairani. (2014). Studi Tentang Land Reform Dalam Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Perspektif Reformasi Hukum Agraria. Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Cakrawala Hukum, 19 (1), Juni, 10- 19. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Ismail, N. (2012). Arah Politik Hukum Pertanahan Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Indonesia Tahun 1960 No. 104, Tambahan Masyarakat, Jurnal Rechts Vinding, 1 (1), Lembaran Negara Republik Indonesia No. Januari-April, 33-52 2043. Kurniati, N.. (2014). Pemenuhan Hak atas Republik Indonesia. Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Perumahan dan Kawasan Permukiman Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang Layak dan Penerapannya menurut Lembaran Negara Republik Indonesia Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Tahun 1960 No. 174720, Tambahan Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia No. Jurnal Ilmu Hukum, 1 (1),60-79 2117. Magnar, K., Junaenah, I. & Taufik, G.A. (2010). Tafsir Republik Indonesia. Keputusan Menteri Negara MK Atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Agraria/Kepala Badan Pertanahan Putusan MK Mengenai Judicial Review UU Nasional No. 6 Tahun 1998. No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002).Jurnal Konstitusi, 7 (1), Februari, Republik Indonesia. Peraturan Menteri Agraria Dan 30-59 Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 Tahun 2015 Tentang Maladi, Y. (2013). Reforma Agraria Berparadigma Rencana Strategis Kementerian Agraria Pancasila Dalam Penataan Kembali Politik Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Agraria Nasional. Jurnal Mimbar Hukum, Nasional. 25 (1), Februari, 27-41. Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Rodríguez, E.B. (2006). The Role of The State in No. 001-021-022/PUU-I/2003. Land Reform Processes: The Case of Brazil. HAOL, Núm. 10 (Primavera), 47-57 SITUS INTERNET Utrecht, E. (1969), Landreform in Indonesia, Buletin Investory Daily. (2014). 20,5% Penduduk Indonesia of Indonesian Economic Studies, V (3), Tidak Memiliki Rumah. 6 September 2014, November. dalam www.beritasatu.com Ya’kub, A.. (2004). Agenda Neoliberal, Menyusup Konsorsium Pembaruan Agraria. (2017). Siaran Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia, Pers: Peringatan Hari Tani Nasional 2017 dalam Pembangunan Agraria, Antara Komite Nasional Pembaharuan Agraria Negara dan Pasar. Jurnal Analisis Sosial, (KNPA). http://www.kpa.or.id/news/blog/ 9 (1), April, 47-64 siaran-pers-peringatan-hari-tani-nasional- 2017-komite-nasional-pembaruan-agraria- PERATURAN PERUNDANGAN knpa/, diakses pada tanggal 23 April 2018 Republika.co.id. (2017). 4,8 juta Penduduk Jakarta Sunarsip. (2017). Kebijakan Penyediaan Perumahan Tak Punya Rumah. www.republika.co.id., di Perkotaan. Koran Sindo, www.nasional. tanggal 03 Januari 2017. sidonews.com, tanggal 13 Maret 2017. 14

Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal Hadi Arnowo TATA KELOLA PETA DI DALAM KKP (KOMPUTERISASI KEGIATAN PERTANAHAN) MENUJU TERWUJUDNYA SISTEM PETA TUNGGAL MAP GOVERNANCE IN THE KKP (COMPUTERIZATION OF LAND ACTIVITIES) TOWARDS A SINGLE SINGLE SYSTEM Hadi Arnowo Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, Bogor E-mail : [email protected] ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan kegiatan pedaftaran seluruh bidang tanah secara lengkap dalam satu hamparan desa/kelurahan. Output kegiatan PTSL antara lain adalah peta bidang tanah. Data spasial bidang tanah yang terkumpul dapat dijadikan basis data spasial menuju peta tunggal. Di dalam penelitian ini membahas tentang integrasi data spasial berbasis bidang tanah hasil dari kegiatan PTSL dengan data spasial yang sudah ada serta pengelolaan data spasial bidang tanah yang berkembang akibat berbagai perubahan fisik bidang tanah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik untuk menjelaskan mengenai masalah-masalah yang timbul dan langkah-langkah pengelolaan data spasial bidang tanah. Karya tulis ini merupakan suatu gagasan yang bersifat empiris dan teoritis mengenai pengelolaan peta-peta bidang hasil kegiatan PTSL dalam rangka mewujudkan peta tunggal. Sedangkan tujuan penulisan ini adalah menjadi bahan masukan bagi Kantor Pertanahan untuk menindaklanjuti hasil kegiatan PTSL berupa peta bidang sebagai bahan basis data spasial pertanahan. Integrasi data spasial bidang tanah hasil PTSL dengan data spasial yang sudah ada harus melalui prosedur dan persyaratan teknis. Hal tersebut karena data spasial yang dikumpulkan dan dientri tidak terjamin memiliki format yang sama. Selain itu hasil dari integrasi peta harus memiliki keseragaman referensi peta sehingga dapat dijadikan peta tunggal. Pengelolaan peta tunggal di dalam Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) harus memiliki standar teknis dan standar manajerial pembuatan peta. Kata kunci : Peta Tunggal, Integrasi, Standar operasional ABSTRACT Complete Systematic Land Registration (PTSL) is an activity of registering all land parcels completely in one stretch of village / kelurahan. The output of PTSL activities includes a map of land parcels. Map of land field Spatial data of the collected land can be used as a spatial database towards a single map. This study discusses the integration of land-based spatial data as a result of PTSL activities with existing spatial data and the management of spatial data on land parcels that have developed due to various physical changes in the parcel. This study uses descriptive analytical methods to explain the problems that arise and the steps to manage spatial data on parcels. This paper is an empirical and theoretical idea regarding the management of PTSL activity field maps in order to realize a single map. While the purpose of this writing is to be input for the Land Office to follow up on the results of PTSL activities in the form of field maps as material for spatial land databases. The integration of spatial data from PTSL results with existing spatial data must go through procedures and technical requirements. This is because the spatial data collected and dientri are not guaranteed to have the same format. In addition, the results of map integration must have a uniform map reference so that it can be used as a single map. Management of a single map in the Computerized Land Office (KKP) must have technical standards and managerial standards for map making. Keywords : Single Map, Integration, Operational Standard 15

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 15-23 I. PENDAHULUAN satu standar, satu basis data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000. arahan strategis A. Latar Belakang dalam terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis Program Pendaftaran Tanah Sistematis data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian peta Lengkap (PTSL) merupakan kegiatan pendaftaran skala 1:50.000. Tujuan pelaksanaan kebijakan satu tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara peta adalah terpenuhinya satu peta yang mengacu serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah dalam pada satu referensi geospasial, satu standar, satu satu wilayah desa/kelurahan. Target kegiatan PTSL basis data, dan satu geoportal guna percepatan sangat besar, yaitu pada tahun 2017 sebanyak 5 juta pelaksanaan pembangunan nasional. bidang tanah, tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang tanah dan tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang. Konsep kebijakan satu peta perlu Keseluruhan target bidang yang sudah selesai diimplementasikan di dalam lingkungan Kementerian maupun yang belum merupakan potensi utama Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional dalam penyusunan peta tunggal. Data bidang tanah (ATR/BPN). Hal tersebut karena terdapat berbagai yang terkumpul desa demi desa merupakan potensi produk peta tematik yang berasal dari berbagai data yang sangat bagus untuk dikembangkan. komponen teknis. Plotting data tematik yang tidak dalam satu peta dasar menyebabkan kemungkinan Secara teoritis peta bidang tanah yang berasal pengulangan dan kesimpangsiuran data sehingga dari kegiatan PTSL dapat dikembangkan menjadi terjadi inefisiensi kegiatan. Pada dasarnya peta peta dasar atau peta tunggal. Meskipun demikian tunggal sama dengan peta dasar, yang berarti untuk menjadi peta tunggal dalam satu wilayah terdapat data spasial dasar yang menjadi referensi kabupaten/kota memerlukan pengaturan secara pembuatan peta bidang dan peta tematik lainnya. teknis dan pembuatan standar operasional untuk Di lingkungan Kementerian ATR/BPN khususnya pemeliharaan data. Kedua kegiatan utama tersebut yang terkait dengan pelayanan pertanahan, peta sangat penting untuk penggabungan data baru tunggal atau peta dasar tersimpan di dalam sistem dalam sistem data dasar. Data fisik hasil PTSL yang KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan). KKP terkumpul dalam bentuk peta bidang tanah dalam merupakan sistem informasi pertanahan dimana satu hamparan desa/kelurahan merupakan modal komputerisasi kegiatan pertanahan berlangsung untuk pembentukan peta dasar dalam satuan wilayah sekaligus menjadi basis data pertanahan. administrasi. Apabila setiap kantor pertanahan mengintegrasikan data bidang tanah hasil PTSL, B. Ruang Lingkup maka akan terwujud peta dasar untuk satu wilayah administrasi sekaligus berfungsi sebagai peta Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan tunggal. masalah pada karya tulis ini adalah : Kebijakan peta tunggal merupakan kewajiban 1) Bagaimana data bidang tanah hasil kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap instansi penghasil PTSL dapat diintegrasikan dengan peta tunggal peta sesuai dengan amanat dari Peraturan Presiden pertanahan dalam satuan wilayah administrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang ? Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Pengertian 2) Bagaimana pemanfaatan peta tunggal untuk kebijakan satu peta berdasarkan peraturan tersebut keperluan berbagai informasi spasial ? adalah arahan strategis dalam terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, Tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai bahan masukan bagi Kantor Pertanahan untuk mewujudkan peta bidang dengan basis wilayah 16

Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal Hadi Arnowo administrasi secara berjenjang yaitu wilayah desa/ Peta tunggal pertanahan atau peta dasar pendaftaran kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota. harus bersumber dari citra berskala besar sehingga Pembahasan materi dari karya tulis ini dilakukan dapat menampilkan bidang-bidang tanah. Pada dengan menguraikan bagaimana integrasi data umumnya peta-peta terkait tema pertanahan spasial dilakukan, persyaratan dan tahapan kegiatan menggunakan peta dasar pendaftaran sebagai basis yang dilakukan secara empiris dan teoritis. data. Komponen teknis yang tidak terkait langsung dengan layanan pertanahan menggunakan peta C. Landasan Teori dasar dengan skala sedang yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta dasar yang digunakan untuk kegiatan Dengan demikian peta dasar atau peta tunggal pendaftaran pertanahan adalah peta daar pertanahan menjadi referensi untuk plotting data pendaftaran tanah. Pengertian peta dasar tematik dari berbagai komponen teknis. pendaftaran menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. II. METODE 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah peta yang memuat titik-titik dasar Metode penelitian yang digunakan di dalam teknik dan unsur geografis, seperti sungai, jalan, tulisan ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. Istilah deskriptif analitik. Pengertian penelitian deskriptif peta tunggal pertanahan sebenarnya merujuk pada adalah upaya memecahkan masalah dengan peta dasar pendaftaran tanah di kantor pertanahan menjelaskan secara rinci, sistematis dan menyeluruh yang digunakan secara konsisten. Periodisasi segala sesuatu mengenai pemanfaatan peta bidang penggunaan peta dasar terbagi atas masa pemetaan tanah di dalam Komputerisasi Kantor Pertanahan analog, masa pemetaan digital dan masa pemetaan (KKP) yang berasal dari kegiatan Pendaftaran Tanah digital berbasis web. Masing-masing periode tersebut Sistematis Lengkap (PTSL) untuk mewujudkan berkembang sesuai dengan teknologi pembuatan kebijakan satu peta (one map policy). Selain peta. Teknologi komputer membawa perubahan deskriptif, penelitian ini juga melakukan pendekatan drastis dari metode konvensional dengan peralatan analitik yaitu menganalisis masalah dalam menggambar (drafting) menjadi penggambaran pengintegrasian peta, mengidentifikasi penyebab dengan bantuan komputer (computer aided drafting/ terjadinya ketidaksesuaian spesifikasi teknis antara drawing). Perkembangan teknologi informatika satu peta dengan peta yang lain serta langkah- membuat pengelolaan data spasial digital dapat langkah yang perlu dilakukan untuk sinkronisasi jenis dilakukan dalam sistem berbasis web sehingga -jenis peta yang ada. akses data, inputting hingga pengolahan dan penyajian dapat dilakukan dari jarak jauh. Jenis data yang dikumpulkan adalah berupa peraturan, petunjuk teknis mengenai Pendaftaran Menurut Soedomo dan Murti (2015), Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan perpetaan. perkembangan teknologi citra satelit resolusi tinggi Selanjutnya bahan tulisan tersebut dianalisis untuk memudahkan dan mempercepat upaya penyatuan mengetahui model integrasi peta-peta bidang hasil peta-peta pendaftaran tanah yang ada. Peta kegiatan PTSL dengan data spasial bidang tanah pendaftaran tanah merupakan turunan dari peta yang sudah ada di dalam KKP serta pengelolaan dasar pendaftaran. Oleh karena itu syarat utama data spasial bidang tanah yang akan berkembang untuk membangun peta tunggal adalah menyediakan akibat pemisahan atau pemecahan bidang tanah. citra satelit resolusi tinggi atau foto udara terbaru. 17

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 15-23 III. HASIL DAN PEMBAHASAN peta kerja dan peta plotting bidang tanah. Untuk A. Konsep Peta Tunggal Di Dalam menggunakan peta dasar sebagai peta kerja adalah KKP dengan mengunduh (download) dan sebaliknya untuk memasukkan data hasil kegiatan yang diplot Peta dasar di dalam KKP menjadi referensi dalam kegiatan pemetaan dalam rangka kegiatan di atas peta dasar adalah dengan mengunggah PTSL. Peta dasar tersebut berfungsi sebagai (upload) dari aplikasi KKP. Gambar 1 : Pemanfaatan Peta Dasar Dalam Rangka PTSL Alur pemanfaatan peta dasar untuk kegiatan berupa data digital yang tersimpan dalam sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dimulai KKP. Sedangkan untuk keperluan dokumentasi dari persiapan dengan penyimpanan data citra atau dapat dicetak dengan tampilan berupa peta citra foto udara ke dalam sistem KKP. Peta dasar yang atau foto udara sebagai background dan di atasnya sudah termuat dalam sistem KKP tersebut dapat ditampilkan bidang-bidang tanah dan berbagai unsur disebut dengan peta tunggal dan menjadi referensi dasar. Apabila beberapa elemen layout dari peta pemanfaatan peta. Peta dasar yang tersimpan di dasar dihilangkan akan berfungsi sebagai peta kerja. dalam KKP dapat diartikan sebagai peta tunggal. Selanjutnya peta dasar digunakan sebagai peta Peta dasar yang terdapat di dalam KKP berasal kerja untuk pekerjaan pengukuran dan pemetaan. dari berbagai bentuk dengan sistem referensi peta Hasil dari kegiatan tersebut kemudian diunggah yang berbeda, yaitu berupa: melalui aplikasi KKP untuk diintegrasikan dengan peta dasar yang ada. 1) Peta foto udara Di dalam KKP terdiri dari data citra atau foto 2) Peta citra satelit udara, bidang tanah, unsur-unsur dasar. Data citra atau foto udara sebagai data raster berada dalam 3) Peta garis satu layer. Fungsi data citra atau foto udara adalah sebagai tempat plotting. Sedangkan data bidang Peta dasar yang dijadikan peta tunggal untuk tanah dan data vektor lainnya seperti jalan dan basis bidang tanah adalah peta citra atau peta foto sungai berada pada layer tersendiri. Pada layer udara yang telah diortorektifikasi dan bersumber ini dimungkinan terjadinya perubahan data seperti dari BPN pusat. Coverage area peta dasar berbasis penambahan bidang tanah, jalan dan saluran bidang tanah tidak sepenuhnya tersedia untuk irigasi. Setiap perubahan data bidang tanah tidak seluruh wilayah kabupaten/kota dalam satu periode berpengaruh pada wilayah kabupaten/kota. Peta sehingga memerlukan waktu untuk menutupi seluruh Dasar Pendaftaran Tanah sebagai peta tunggal dapat area. Peta dasar pada umumnya tidak banyak perubahan dalam jangka pendek seperti halnya peta penggunaan tanah. Meskipun demikian tahun pembuatan peta dasar bervariasi sehingga peta 18

Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal Hadi Arnowo dasar lama perlu disesuaikan dengan citra atau berbagai sumber foto udara terbaru. Pada umumnya peta dasar 3) Mengunggah (upload) citra satelit resolusi tinggi lama menggunakan peta garis atau peta foto udara. Penggabungan peta lama yang berbasis peta analog atau foto udara terbaru ke dalam sistem KKP ke dalam sistem peta tunggal yang terdapat di dalam KKP adalah dengan digitasi dan meng-upload 4) Citra satelit atau foto udara lama serta peta melalui aplikasi. garis dapat digunakan untuk mengisi area yang belum terdapat citra terbaru sepanjang sesuai Alasan diperlukannya standarisasi terhadap dengan spesifikasi teknis sumber peta dasar adalah sebagai berikut : Setelah peta citra terbaru tersedia maka peta 1) Koneksitas antara unsur-unsur dasar seperti dasar lama diganti. Peta dasar lama bisa menjadi jalan dan sungai arsip sementara peta baru yang sudah mempunyai sistem koordinat nasional yang telah ditentukan yaitu 2) Keseragaman tingkat kedalaman informasi Koordinat TM-3 dapat diplot untuk menjadi acuan pemetaan (Soedomo dan Murti, 2015), 3) Keseragaman sistem koordinat Data vektor atau peta garis yang terdapat 4) Keterbaharuan informasi spasial pada peta dasar lama seluruhnya disimpan dalam satu layer. Unsur-unsur dasar hasil digitasi tetap Spesifikasi teknis yang menjadi tolok ukur untuk dipertahankan tetapi saat ini tidak lagi mendigitasi penyeragaman data citra adalah : seluruh obyek yang terdapat di dalam citra. Obyek yang didigitasi adalah yang yang bersinggungan 1) Menggunakan sistem proyeksi koordinat: UTM dengan bidang tanah. Bidang-bidang tanah yang 1984 dengan sistem TM3 telah didigitasi di atas peta dasar lama dipertahankan dan diintegrasikan dengan bidang tanah lainnya. 2) Menggunakan sistem proyeksi dan datum WGS Informasi bidang tanah lainnya juga diintegrasikan 1984 ke dalam sistem KKP. Data bidang tanah yang akan semakin bertambah dan dientri langsung ke 3) Menggunakan skala detail yaitu lebih besar dari dalam sistem KKP. Pembaruan data (data updating) skala 1 : 2.500 tersebut terus berjalan dan menjadikan peta tunggal dapat berfungsi sebagai suatu sistem. Sedangkan gambar bidang tanah hasil kegiatan PTSL yang akan diintegrasikan ke dalam peta Selain data bidang tanah, data spasial tematik tunggal harus memiliki spesifikasi teknis sebagai dapat diunggah ke dalam sistem KKP. Data spasial berikut : tematik ada yang memiliki spesifikasi teknis yang berbeda karena perbedaan skala yang digunakan. 1) Letak lokasi yang diukur telah jelas di atas peta Hal tersebut tidak menjadi masalah karena aplikasi dasar pemetaan dapat mentransformasi sistem koordinat dengan cepat. Meskipun demikian data tematik 2) Ukuran panjang dan sudut bidang tanah sesuai dengan skala menengah yang akan diunggah harus dengan kondisi di lapang memiliki sistem koordinat UTM dan menggunakan peta dasar berupa Peta Rupa Bumi Indonesia yang 3) Data tekstual pendukung harus sesuai dengan dikeluarkan Badan Informasi Geospasial (BIG). Di dokumen lainnya dalam sistem KKP merupakan platform bersama untuk semua produk dan bahan dasar pembuatan Berdasarkan argumen di atas maka langkah- langkah untuk membangun sistem peta tunggal adalah sebagai berikut : 1) Mengumpulkan (colllecting) data citra satelit resolusi tinggi atau foto udara terbaru sebagai peta dasar 2) Menyeragamkan spesifikasi teknis untuk citra satelit atau foto udara yang berasal dari 19

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 15-23 peta. Peta citra satelit resolusi tinggi (CSRT) atau 4) Ekspor data citra ke dalam sistem KKP foto udara merupakan peta dasar bagi seluruh kegiatan pemetaan berbasis bidang tanah. Citra satelit yang telah diolah dan kemudian dimasukkan ke dalam sistem KKP merupakan Pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk salah satu peta dasar pertanahan selaian Peta pembuatan peta pertanahan harus memperhatikan Dasar Pendaftaran Tanah. Kedua peta tersebut faktor-faktor sebagai berikut : bagian tak terpisahkan dan saling melengkapi. Peta Dasar Pendaftaran Tanah merupakan peta garis 1) Jenis peta yang akan dibuat, menyangkut jenis yang memuat bidang-bidang tanah disamping juga peta dasar atau peta tematik yang akan dibuat unsur-unsur dasar seperti sungai, jalan dan batas administrasi. Sedangkan peta citra merupakan 2) Cakupan areal yang akan diamati yaitu berbasis visualisasi gambaran permukaan bumi yang bidang tanah atau regional/wilayah digunakan sebagai orientasi dan plotting lokasi. Orientasi lokasi dengan bantuan citra satelit atau 3) Ketersediaan citra di areal yang diinginkan foto udara sangat membantu untuk mengetahui (area of interest) posisi sebenarnya letak persil tanah yang dimohon sehingga dapat meminimalisir tumpang tindih bidang 4) Waktu pengambilan citra tanah. 5) Cakupan wilayah yang terhalang awan Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 tahun 2014 tentang Tidak seluruh wilayah daratan Indonesia dapat Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar bahwa dipetakan karena terkendala oleh faktor awan. ketentuan ketelitian horizontal peta dasar yang dapat Daerah yang tertutup awan dapat diambil data digunakan adalah : permukaan tanahnya dengan bantuan teknologi sensor Radar. 1) Ketelitian kelas 1 adalah 0.2 mm x bilangan skala peta Pembuatan peta dasar dari citra satelit atau foto udara adalah melalui tahapan sebagai berikut : 2) Ketelitian kelas 2 adalah 0.3 mm x bilangan skala peta 1) Identifikasi titik kontrol 3) Ketelitian kelas 3 adalah 0.5 mm x bilangan 2) Rektifikasi citra berdasarkan data titik kontrol skala peta untuk menentukan posisi geometris 3) Pengolahan citra agar wilayah kerja (area of interest) citra sesuai dengan wilayah administrasi Gambar 2 : Kompilasi Data Spasial Di Dalam KKP 20

Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal Hadi Arnowo Peta Dasar Pendaftaran Tanah dan peta Pengunggahan data bidang-bidang tanah hasil citra merupakan kerangka bagi plotting lokasi PTSL tidak menjadi masalah karena satu sistem bidang tanah atau obyek lain serta merupakan koordinat dengan peta tunggal yang terdapat dalam peta dasar bagi pembuatan peta tematik. Kedua KKP. Selain data bidang tanah tersebut, terdapat jenis peta tersebut disimpan dalam sistem KKP. juga data bidang tanah produk lama yang telah Dengan demikian berbagai jenis peta turunan atau terdaftar tetapi menggunakan koordinat lokal. Data plotting lokasi berada dalam satu sistem peta dan bidang tanah tersebut tidak dapat didaratkan di atas menggunakan peta dasar yang ada. Hal tersebut peta dasar sehingga dikenal dengan nama flying merupakan implementasi dari pembangunan peta parcels atau bidang tanah melayang. tunggal. Mengingat potensi sengketa tanah, data Data spasial yang tidak berbasis bidang tanah bidang tanah melayang tersebut harus didaratkan atau dengan skala menengah seperti peta Rupa atau diplotkan di atas peta dasar. Upaya untuk Bumi Indonesia dan peta lainnya dapat disimpan mendaratkan data bidang tanah melayang yang di dalam KKP. Data spasial dari KKP dapat telah terdaftar di atas peta dasar disebut dengan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pengambilan Geographical Index Mapping (GIM). Data bidang data untuk internal dan eksternal. Peta tematik yang tanah yang telah didaratkan tersebut dibuktikan sudah final seharusnya diunggah ke dalam KKP dengan sistem koordinatnya sudah berupa sistem untuk dikompulasi. koordinat TM3. Selanjutnya data bidang tanah hasil dari kegiatan GIM diintegrasikan di KKP dan B. Integrasi Data Bidang Tanah dihubungkan data bidang yang ada untuk membentuk Dengan Peta Tunggal kesatuan pendaftaran tanah di wilayah tersebut. Data bidang tanah hasil kegiatan PTSL harus Pola penyatuan bidang tanah yang belum diunggah ke KKP dan selanjutnya terintegrasi terpetakan di atas peta dasar adalah melalui tahapan dengan peta tunggal. Keharusan memasukkan data sebagai berikut : bidang ke dalam KKP disebutkan dalam Pasal 15 Ayat 1 Huruf c Peraturan Menteri Agraria dan Tata 1) Pengumpulan data bidang tanah yang belum Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 16 terpetakan Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, yang berisi “menjalankan prosedur dan 2) Pemetaan konsep memasukkan data dan informasi yang berkaitan dengan data fisik bidang tanah pada aplikasi KKP”. 3) Identifikasi lapangan apabila tidak dapat dikenali di atas peta dasar 4) Hasil identifikasi diterapkan di atas peta dasar Gambar 3 : Pembangunan Peta Tunggal Berbasis Wilayah Administrasi 21

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 15-23 Kompilasi bidang tanah secara keseluruhan sistem koordinat UTM ditransformasikan ke sistem bukan merupakan cakupan areal wilayah administrasi. koordinat TM3. Hal tersebut karena bidang tanah Oleh karena itu diperlukan data administrasi wilayah menjadi obyek pemetaan, sedangkan peta tematik sebagai pembatas dari keseluruhan data bidang lainnya menjadi basis overlay untuk analisis spasial. tanah. Batas wilayah administrasi menjadi batas dari kumpulan bidang-bidang tanah untuk wilayah Data spasial yang disimpan di dalam KKP administrasi. Secara berjenjang peta dasar dibatasi berupa data spasial berbasis bidang dan berbasis menurut wilayah administrasi desa/kelurahan dan kawasan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya administrasi kecamatan. Dengan demikian di dalam bahwa peta berbasis kawasan menggunakan sistem peta tunggal, terdapat peta dasar dalam sistem koordinat UTM sehingga untuk menampilkan wilayah utuh satu kabupaten dan peta dasar yang peta ini harus ditransformasikan terlebih dahulu. dipecah secara hierarkis menjadi wilayah desa/ Di dalam KKP terdapat menu atau fasilitas untuk kelurahan dan kecamatan. Secara teknis pembuatan mentransformasi peta dengan sistem koordinat UTM peta tunggal berdasarkan kelompok wilayah tidak menjadi sistem koordinat TM3. perlu terjadi duplilkasi karena dapat dibuatkan layer layout yang tidak mengganggu data dasar. Ketersediaan peta tunggal tidak hanya sebatas saat sekarang (present availability) tetapi harus Peta bidang tanah yang terkumpul dapat berkesinambungan (sustainable) dan bermanfaat. digeneralisasi dan dibuat klasifikasi tersendiri Penambahan data bidang tanah yang tetap ada menghasilkan peta status tanah, peta sebaran ditempuh melalui mekanisme entri data melalui pemukiman, peta sebaran tanah pertanian dan aplikasi KKP. Sedangkan data bidang tanah lama sebagainya. Ketersediaan berbagai data tematik ditambahkan melalui prosedur Graphical Index tersebut dapat dimanfaatkan oleh komponen teknis Mapping (GIM) yang telah dijelaskan sebelumnya. di kantor pertanahan dan instansi teknis lainnya. Data Terkait dengan kegiatan PTSL yang berlangsung sebaran bidang tanah dapat juga dijadikan kerangka setiap tahun, petugas pengumpul data fisik baik yang untuk plotting tema lainnya seperti sebaran sengketa berasal dari ASN BPN maupun pihak ketiga wajib tanah, pemanfaatan tanah dan tema-tema sosial mengentri data bidang tanah ke dalam aplikasi KKP- ekonomi. Potensi manfaat dari data bidang tanah PTSL (Pusat Data dan Informasi Pertanahan Tata sangat besar dan menjadi kebutuhan lintas sektor. Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal terpenting lagi adalah data bidang tanah tersebut 2018). berada dalam satu sistem sehingga mempermudah untuk mencapai peta tunggal baik di lingkungan BPN Berdasarkan penjelasan di atas dapat maupun antar instansi. disimpulkan bahwa KKP sebagai basis data merupakan investasi jangka panjang bagi kantor Peta tunggal dapat juga menggabungkan peta pertanahan. Pembangunan basis data dan semua berbeda skala yaitu skala menengah. Tujuan dari sistem pendukungnya membutuhkan pengelolaan penggabungan ini adalah dalam rangka membentuk yang menyita perhatian. Meskipun demikian kerangka peta tunggal yang memiliki cakupan pemanfaatan data untuk kepentingan lembaga lebih luas. Peta tematik yang berbasis kawasan termasuk dengan pihak eksternal akan memberikan mempunyai sistem koordinat UTM yang berbeda keuntungan yang lebih besar. dengan peta tematik berbasis bidang tanah yaitu TM3. Untuk menampilkan peta yang berbeda sistem IV. KESIMPULAN koordinat tersebut harus dilakukan transformasi koordinat. Pada umumnya aplikasi yang dilakukan di Peta dasar yang digunakan untuk plotting dalam Kantor Pertanahan adalah peta yang memiliki lokasi pengukuran dan pemetaan adalah peta dasar pendaftaran tanah yang memuat titik-titik dasar teknik 22 dan unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan

Tata Kelola Peta di dalam KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan) Menuju Terwujudnya Sistem Peta Tunggal Hadi Arnowo dan batas fisik bidang-bidang tanah. Karakteristik diatasi. Kekuatan informasi spasial terletak pada utama peta dasar adalah berskala besar yaitu lebih keterbaruan, cakupan wilayah dan kelengkapan besar dari skala 1 : 2.500 dan sistem koordinat TM3. jenis data. Ketersediaan data spasial tersebut sangat Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diperlukan untuk kegiatan teknis internal maupun memungkinkan tempat peta dasar menjadi terpusat eksternal kantor pertanahan yaitu berada dalam sistem KKP (Komputerisasi Kegiatan Pertanahan). Sistem penyimpanan DAFTAR PUSTAKA tersebut memudahkan peta dasar dijadikan sebagai peta tunggal. Di dalam kegiatan Pendaftaran Tanah Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan. Sistematis Lengkap petugas pengumpul data fisik 2018. Petunjuk Teknis Pengukuran dan harus mengentri data hasil kegiatan ke dalam Pemetaan Bidang Tanah Sistematis aplikasi KKP. Lengkap. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Pengertian peta tunggal adalah keseluruhan peta dasar yang terintegrasi dan dijadikan referensi Pusat Data dan Informasi Pertanahan Tata untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan. Sistem Ruang dan Lahan Pertanian Pangan peta tunggal adalah segala data yang tersimpan Berkelanjutan. 2018. Panduan Aplikasi secara terintegrasi dalam suatu sistem database. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Peta dasar secara umum terdiri dari peta citra atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ foto udara yang terbaru dan lama serta peta garis. Badan Pertanahan Nasional Secara bertahap peta dasar lama diganti dengan citra satelit resolusi tinggi atau foto udara terbaru. Soedomo, AS dan Murti, AI. 2015. Peta Tunggal Bidang – bidang tanah yang berasal dari kegiatan BPN Untuk Peningkatan Kualitas Sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Pendaftaran Tanah (Permasalahan, dan sporadis dientri ke dalam KKP dan langsung Peluang dan Alternatif Solusinya). terintegrasi dengan peta dasar sebagai peta tunggal. Indonesian Journal of Geospatial,vol. 4,no. Data spasial dan tekstual bidang tanah tersimpan 1, hal. 17-24 pada layer terpisah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Pengelolaan peta dasar dan data spasial 9 Tahun 2016 tentang Percepatan lainnya di dalam sistem KKP merupakan bentuk Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada dari sistem peta tunggal. Pengembangan sistem Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 peta tunggal harus dapat menampung data spasial yang berbeda skala dan sistem koordinat. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Integrasi data dari berbagai sistem koordinat dan Badan Pertanahan Nasional No. 6 skala dengan kemajuan teknologi komputer dapat Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. 23



Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi PEMANFAATAN NERACA PENATAGUNAAN TANAH UNTUK PERCEPATAN PENYUSUNAN RDTR-PZ UTILIZATION OF LAND USE BALANCE TO ACCELERATE THE ARRANGEMENT OF DETAILED SPATIAL PLANNING AND ZONING REGULATION Sutaryono dan Asih Retno Dewi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta E-mail : [email protected] dan [email protected] ABSTRAK Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT), yang merupakan perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan dapat berperan secara efektif sebagai instrumen dalam percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ). Naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi kemungkinan percepatan penyusunan RDTR-PZ menggunakan Neraca PGT. Desk study yang mengutamakan content analysis digunakan sebagai metode dalam kajian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa NPGT yang meliputi neraca perubahan, neraca kesesuaian, dan prioritas ketersediaan tanah, merupakan data dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan wilayah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan sebagai basis dalam penyusunan RDTR-PZ. Apabila hal ini dapat dilakukan maka percepatan penyusunan RDTR-PZ sekaligus kendali mutu pemanfaatan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara efektif, karena sudah mendasarkan pada data dan informasi berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana terdapat dalam NPGT. Kata kunci : Neraca Penatagunaan Tanah, RDTR-PZ, Percepatan. ABSTRACT The Land Use Balance (Neraca Penatagunaan Tanah - NPGT), which is a balance between land availability and land tenure, land use and land utilization requirements according to area functions can play an effective role as an instrument in accelerating the preparation of Detailed Spatial Planning (RDTR) and Zoning Regulations (PZ). This paper aims to elaborate on the possible acceleration of the preparation of the RDTR-PZ using the Land Use Balance. Desk studies that prioritize content analysis are used as a method in this study. The results show that The Land Use Balance, which includes a balance sheet of change, a balance sheet of suitability, and priority of land availability, is data and information that is needed in regional development planning and policy. This instrument is very representative to be used as a basis in the preparation of RDTR-PZ. The impact is, the acceleration of the preparation of RDTR-PZ as well as quality control of spatial use, licensing of spatial use, policies on the preparation of the Building and Environmental Planning (RTBL) and spatial use control can be carried out effectively, because it has been based on data and information relating to land tenure, land ownership, land use and utilization of land as contained in The Land Use Balance. Keywords : Land Use Balance, Detailed Spatial Planning- Zoning Regulations, Acceleration. 25

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38 I. PENDAHULUAN tanah tersebut diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penggunaan tanah (NPGT). Perkembangan wilayah merupakan sebuah ‘sunatullah’, yang harus diterima dengan segala NPGT adalah perimbangan antara ketersediaan permasalahannya. Perkembangan peradaban tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan meningkat menjadi bagian terpenting penyebab RTRW. Keberadaan neraca ini seharusnya mampu terjadinya perkembangan wilayah (Sutaryono, 2007). menjadi elemen penting dalam penyusunan RDTR. Hal di atas menunjukkan bahwa perkembangan Kenyataannya selama ini penyusunan RDTR masih wilayah akan selalu terjadi, mengingat kebutuhan belum mengakomodasi secara khusus data dan manusia selalu meningkat seiring dengan informasi yang ada dalam NPGT (Sutaryono, 2016). perkembangan peradaban. Perkembangan Hal ini disebabkan karena belum tersedianya NPGT wilayah tentu membutuhkan ruang sebagai media pada setiap wilayah kabupaten/kota atau belum beraktifitas, yang dalam konteks ini tanah sebagai dipahami sepenuhnya keberadaan NPGT oleh media utamanya. Perkembangan wilayah dapat penyusun RDTR. RDTR yang tidak ada NPGT di bermakna positif apabila proses perkembangan dalamnya menyebabkan informasi yang terkandung terjadi secara alami dan bersifat akomodatif dalam regulasi tersebut menjadi tidak optimal. terhadap tuntutan kebutuhan mayoritas masyarakat Hal ini berakibat pada pemanfaatan ruang dan penghuni wilayah. Namun demikian perkembangan pengendalian pemanfaatan ruang yang kurang tepat wilayah juga sering berkonotasi negatif. Perubahan atau bahkan mekanisme pengendalian tidak dapat fungsi ruang yang tidak terkendali, meluasnya slum dijalankan. area dan meningkatnya kawasan bahaya banjir adalah contoh dampak negatif yang disebabkan oleh Neraca Penatagunaan Tanah dapat adanya perkembangan wilayah. dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Beberapa studi tentang NPGT telah dilakukan Berkenaan dengan hal di atas, maka kajian antara lain Zulfajri (2016) yang menganalisis NPGT perkembangan wilayah tidak dapat dilepaskan berdasarkan RTRW di Kabupaten Pidie. Penelitian dengan aspek penggunaan tanah. Penggunaan bertujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan tanah perlu dikelola agar bisa mencapai penggunaan lahan dan menganalisis kesesuaian penggunaan yang optimal, serasi, dan seimbang dalam rangka lahan berdasarkan RTRW Kabupaten Pidie. Hasil mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Untuk penelitian menunjukkan ada penggunaan lahan yang mewujudkan penggunaan tanah sebagaimana di masih berkurang dan sudah bertambah luasnya dari atas perlu adanya integrasi antara penggunaan tanah alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW dengan kebijakan penataan ruang. Dalam perspektif Kabupaten Pidie Tahun 2014-2034. Penyimpangan land management, terintegrasinya land tenure, penggunaan lahan tersebut disebabkan karena land use, land value, dan land development yang adanya pemekaran kabupaten/kota, pengembangan didukung dengan land information infrastructures dan infrastruktur wilayah, usaha perkebunan, dan usaha dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan pertambangan. prasyarat terwujudnya sustainable development (Williamson et al., 2010). Menurut ketentuan Pasal Selanjutnya Supratikno (2016) melakukan 33 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penelitian untuk menganalisis neraca penggunaan Penataan Ruang disebutkan bahwa pemanfaatan tanah pertanian dan dampaknya terhadap ketahanan ruang mengacu kepada fungsi ruang yang ditetapkan pangan pokok dan mengetahui tingkat kerawanan dalam RTRW di antaranya dengan mengembangkan pangan untuk mendukung analisis ketahanan penatagunaan tanah. Pengembangan penatagunaan pangan pokok wilayah di wilayah Kabupaten Sleman. Data kawasan budidaya pertanian dan 26

Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi non-pertanian digunakan dalam analisis untuk belum berfungsinya secara optimal penataan ruang menentukan nilai indeks luas lahan pertanian dalam dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan penentuan kerentanan pangan. Berdasarkan analisis memadukan berbagai rencana dan program sektor dengan menggunakan indek penentu kerawanan (Imran dan Suwitno, 2013). pangan didapatkan bahwa kondisi 15 kecamatan di Kabupaten Sleman masuk ke dalam kategori tahan Menurut Mulyono Sadyohutomo (2016, pangan dan 2 kecamatan yaitu Depok dan Sleman 294-295), paling tidak ada 6 (enam) sumber masuk ke dalam kategori daerah berpotensi rawan penyimpangan terhadap Rencana Tata Ruang yaitu pangan. (1) Rencana Tata Ruang yang tidak akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat saat ini. Hal ini Muryono dkk. (2018) melakukan kajian tentang akibat kelemahan dalam proses penyusunan rencana optimalisasi pemanfaatan NPGT dalam penyusunan yang kurang melibatkan peran serta masyarakat, RTRW di Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu atau perencana tidak mampu menangkap aspirasi analisis dalam penyusunan NPGT adalah analisis masyarakat, atau perencana tidak mampu melihat kesesuaian antara Penggunaan Tanah Terkini kecenderungan perkembangan kebutuhan tanah; dengan RTRW yang masih berlaku. Kesesuaian ini (2) Peruntukan Ruang tidak didukung tersedianya bisa dijadikan ukuran apakah NPGT dimanfaatkan prasarana yang memadai, terutama jalan, listrik dan secara optimal atau tidak. Penelitian ini dilakukan air bersih. Rencana Tata Ruang tidak segera diikuti dengan teknik analisis tumpang susun peta untuk pembangunan prasarana yang dibutuhkan sesuai menganalisis kesesuaian dan ketidaksesuaian rencana. Akibatnya masyarakat membangun sesuai antara Penggunaan Tanah dengan RTRW di semua dengan kondisi lokasi apa adanya yang cenderung kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tidak teratur; ( 3) Kurangnya sosialisasi selama periode 2010-2017. Hasil penelitian Rencana Tata Ruang sehingga masyarakat kurang menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian mengetahui keberadaan dan pentingnya Rencana antara NPGT dengan RTRW di Daerah Istimewa Tata Ruang; (4) Kesadaran hukum masyarakat Yogyakarta. Ketidaksesuaian tertinggi terjadi yang kurang terhadap hak dan kewajiban dalam Kabupaten Kulonprogo sebesar 57,11%, dan memanfaatkan ruang termasuk masalah penegakan terendah di Kabupaten Gunungkidul sebesar hukum yang lemah terhadap penyimpangan 20,06%. Dampak dari ketidaksesuaian tersebut Rencana Tata Ruang; (5) Kesulitan pembebasan adalah kegiatan pengendalian penggunaan tanah di tanah pada lokasi yang sesuai, akibatnya pihak DIY menjadi tidak optimal. NPGT di DIY tidak optimal yang akan membangun mencari lokasi lain di luar dimanfaatkan dalam penyusunan/revisi RTRW. peruntukan yang sesuai; (6) Rencana Tata Ruang Demikian pula NPGT belum pernah digunakan belum tersedia lengkap, sarana yang berfungsi dalam penyusunan/revisi RTRW. sebagai alat pengendalian penggunaan tanah belum tersedia. Pada perkembangannya saat ini baru sedikit Penataan ruang pada hakikatnya dimaksudkan yang sudah tersedia rencana rinci, khususnya untuk untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya optimal kawasan strategis dan bagian wilayah perkotaan. Hal dengan sedapat mungkin menghindari konflik ini dikarenakan masalah waktu dan kebutuhan biaya pemanfaatan sumberdaya. Dalam lingkup tata ruang yang besar untuk menyusun rencana rinci tersebut. itulah maka pemanfaatan dan alokasi lahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep Sedangkan menurut Sutaryono (2016) dalam ruang dalam pembangunan. Kenyataan yang terjadi penyelenggaraan penataan ruang, berbagai akhir-akhir ini menegaskan salah satu isu strategis problematika berdasarkan fenomena yang ditemui dalam penyelenggaraan penataan ruang antara lain di lapangan maupun berdasarkan data, informasi 27

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38 maupun kajian-kajian yang berhubungan dengan Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan keruangan secara umum antara lain: (1) Rencana Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (yang sering tata ruang dan peraturan perundang-undangannya disebut dengan Online Single Submission – OSS) jo tidak efisien dan efektif. Kurangnya informasi dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2018 sosialisasi hal-hal yang berkaitan dengan tata ruang tentang Izin Lokasi yang mensyaratkan ketersediaan menyebabkan kurang dipahaminya kebijaksanaan RDTR-PZ menjadikan kebutuhan ketersediaan penataan ruang oleh masyarakat, dunia usaha RDTR-PZ semakin urgent sekaligus emergence. maupun oleh aparat pemerintah yang nota bene sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam Saat ini pemerintah sedang mendorong kebijaksanaan penataan ruang; (2) Persepsi percepatan penyusunan RDTR-PZ di berbagai dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap wilayah, mengingat capaian dan produk RDTR-PZ rencana tata ruang, seringkali menjadi penyebab masih sangat minimalis. Beberapa kendala yang terjadinya conflict of interest antar segenap stake dihadapi berkenaan dengan lambatnya capaian holder; (3) Rencana tata ruang kurang mampu RDTR-PZ selama ini adalah: (1) ketersediaan peta mengakomodasikan kepentingan segenap stake dengan skala detail (1:5000) yang sangat terbatas, holder yang mempunyai kompetensi terhadap menyebabkan data dan informasi yang dibutuhkan pemanfaatan ruang. Hal ini menyebabkan dalam penyusunan RDTR-PZ tidak terpenuhi; (2) disharmoni dan konflik tata ruang tidak mendapatkan Ketersediaan sumberdaya manusia yang terbatas, ruang sebagai media penyelesaian masalah; baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dalam hal ini (4) Kebijaksanaan dan strategi penataan ruang tidak hanya SDM aparatur pemerintah yang terbatas, suatu wilayah tidak konsisten dan terpadu. Hal tetapi juga kalangan profesional yang berperan ini sering terjadi ketika pengambil kebijaksanaan sebagai konsultan ahli atau penyedia jasa dalam tidak mempunyai visi yang jelas terhadap masa penyusunan RDTR-PZ; (3) Anggaran yang terbatas, depan wilayahnya atau juga adanya pergantian baik untuk kajian, penyiapan naskah akademik kepemimpinan pemerintahan yang diikuti oleh hingga legislasinya. Anggaran yang dibutuhkan berubahnya kebijaksanaan penataan ruang. Di untuk menyusun RDTR-PZ cenderung lebih besar samping itu orientasi ekonomi yang mengedepan dari pada untuk penyusunan RTRW, mengingat seringkali dijadikan alasan pembenar dalam sifat RDTR-PZ yang detail dan membutuhkan survei penyimpangan terhadap desain tata ruang langsung; (4) Adanya konflik kepentingan. Sifat yang telah disepakati. Kurangnya koordinasi RDTR-PZ yang detail dan mengikat, menjadikan antar instansi sebagai salah satu pelaksana keengganan birokrasi pemerintah daerah untuk pembangunan menjadikan tumpang tindihnya segera memperdakan. Bahkan ada beberapa kegiatan pembangunan yang berbasiskan ruang; (5) anggapan bahwa RDTR-PZ merupakan penghambat Munculnya dualisme kepentingan antara orientasi tumbuhnya investasi di daerah1 (Pernyataan Direktur ekonomi dan kelestarian lingkungan dan unsur- Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Kementerian unsur ekologis; dan (6) ketersediaan RDTR-PZ ATR/BPN pada Seminar Internasional di Sekolah yang terbatas, sehingga instrumen untuk perizinan Tinggi Pertanahan Nasional, 19 September 2019). sekaligus instrumen pengendalian pemanfaatan Hal di atas menunjukkan bahwa perlu agenda- ruang menjadi tidak berjalan dengan baik. agenda yang dilakukan secara bersama-sama untuk mempercepat ketersediaan RDTR-PZ. Berbagai persoalan di atas hingga saat ini belum mendapatkan alternatif penyelesaian yang Pertanyaan yang muncul kemudian adalah memadai. Bahkan terbitnya Peraturan Pemerintah bagaimana melakukan percepatan penyusunan RDTR-PZ tanpa mengurangi kualitas produknya 28

Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi dan dapat dioperasionalkan sebagai instrumen percepatan penyusunan RDTR-PZ. erizinan sekaligus pengendalian pemanfaatan ruang secara memadai? Salah satu jawaban yang III. HASIL DAN PEMBAHASAN dapat dikedepankan adalah pemanfaatan data dan informasi terkait land management. Data dan A. Integrasi Agraria - Pertanahan informasi terkait land management yang digunakan dan Tata Ruang dalam percepatan penyusunan RDTR-PZ adalah Neraca Penatagunaan Tanah. Sebelum terbentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ II. METODE BPN), urusan agraria-pertanahan dan tata ruang adalah urusan yang terpisah pada dua kementerian/ Naskah ini disusun melalui desk study terhadap lembaga. Padahal pada dua dekade yang lampau beberapa regulasi dan pengalaman empirik telah dikembangkan Konsep Tata Ruang Dinamis, berkenaan dengan kondisi terkini dalam penyusunan yakni penataan ruang yang tanggap terhadap RDTR-PZ. Deskriptif kualitatif digunakan untuk dinamika pembangunan serta mengintegrasikan mengartikulasikan realitas dan gagasan pentingnya beberapa sektor. Konsep tersebut bertujuan pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah sebagai agar penataan ruang itu lebih membumi dalam sumber data dan informasi dalam percepatan pelaksanaan yang dapat didukung berbagai program penyusunan RDTR-PZ. pembangunan di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum maupun departemen lainnya, melalui Content analysis dilakukan untuk mengkaji kelompok kerja manajemen pertanahan, lingkungan kondisi eksisting berkenaan dengan neraca hidup perkotaan, pendanaan dan investasi penatagunaan tanah, operasionalisasi, dan pembangunan kota, kerja sama pemerintah-swasta problematikanya serta peluang dimanfaatkannya dan masyarakat, serta kelompok kerja kota baru dalam percepatan penyusunan RDTR-PZ. Analisis dan perumahan skala besar. Kelompok-kelompok terhadap kemungkinan pemanfaatan neraca kerja itu melibatkan berbagai instansi, antara lain penatagunaan tanah dalam percepatan penyusunan agraria, perindustrian, dalam negeri dan kantor RDTR-PZ digunakan untuk memastikan bahwa lingkungan hidup (Renyansih & Santoso, tt). Namun produk yang dihasilkan dapat berperan pula demikian, gagasan pengintegrasian urusan tersebut sebagai kendali mutu pemanfaatan ruang, perijinan baru terealisasi pada tahun 2014, dalam Kabinet pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan Indonesia Bersatu. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan pengendalian pemanfaatan ruang. Integrasi urusan agraria-pertanahan dengan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah Karakteristik data dan informasi yang ada dalam ahistoris, tetapi telah mendasarkan pada amanat NPGT dikomparasikan dengan kebutuhan data dan konstitusi dan relevan dengan kebijakan politik informasi yang dipersyaratkan dalam penyusunan pemerintahan saat ini. Penyelenggaraan urusan RDTR-PZ berdasarkan Peraturan Menteri Agraria pemerintahan di bidang agraria-pertanahan dan dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018 penataan ruang, selama ini merupakan urusan tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail yang terpisah, meskipun satu sama lain sangat Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. terkait (Sutaryono, 2016). Dari perspektif agraria- Keterkaitan dan sinkronnya data dan informasi pertanahan, pembangunan yang dibutuhkan adalah pertanahan dalam NPGT dengan persyaratan data pembangunan yang berkelanjutan dan terintegrasi. dan informasi dalam penyusunan RDTR-PZ inilah Artinya bahwa pembangunan yang dilakukan yang merupakan peluang pemanfaatan NPG dalam berorientasi untuk keberlanjutan lingkungan yang 29

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38 dilakukan secara terintegrasi antar berbagai sektor. digunakan untuk mempercepat proses penyusunan Dalam hal ini keseimbangan antara penggunaan RDTR-PZ. dan pemanfaatan tanah menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu penggunaan B. Neraca Penatagunaan Tanah dan pemanfaatan tanah perlu diatur secara optimal melalui kebijakan penataan ruang. Namun demikian, Neraca Penatagunaan Tanah adalah hingga saat ini sinkronisasi kelembagaan berkenaan perimbangan antara ketersediaan tanah dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan Rencana terjadi. Bahkan hingga saat ini, lembaga agraria- Tata Ruang (RTRW). Neraca Penatagunaan Tanah pertanahan dan tata ruang juga belum mencerminkan meliputi neraca perubahan penggunaan tanah, integrasi seutuhnya, mengingat adanya perbedaan neraca kesesuainan penggunaan tanah terhadap kewenangan pemerintahan (Puspasari dan RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah. Penyusunan Sutaryono 2017, 103). Kewenangan pemerintahan NPGT merupakan amanat Peraturan Pemerintah antara bidang agraria-pertanahan dan tata ruang No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menjadi pembeda mendasar dalam penggabungan khususnya Pasal 23 ayat (3) dan Undang Undang kedua lembaga. Agraria-Pertanahan secara 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 33 general masih merupakan urusan pemerintah yang ayat (2). dijalankan oleh instansi vertikal (BPN), sedangkan penataan ruang merupakan urusan pemerintah Tujuan disusunnya NPGT adalah untuk yang telah didesentralisasi kepada pemerintah memperoleh informasi ketersediaan dan daerah. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kebutuhan mengenai penguasaan, penggunaan hubungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan sebagaimana tertuang dalam RTRW. Manfaat NPGT Pemerintah Daerah, utamanya berkenaan dengan adalah sebagai bahan masukan bagi perencanaan fungsi pembinaan penataan ruang oleh pemerintah kegiatan dan pengendalian pembangunan secara kepada pemerintah daerah. makro, penyusunan/revisi RTRW, kebijakan dan pelaksanaan penyesuaian penggunaan dan Dalam perspektif penataan ruang, pada pemanfaatan tanah dengan RTRW, kebijakan dasarnya perencanaan ruang adalah land use dan penyusunan program penataan pertanahan, planning, yang dalam konteks kelembagaan di serta kebijakan pertanahan dalam menyelesaikan Indonesia (Badan Pertanahan Nasional) sering permasalahan pertanahan dan koordinasi lintas disebut dengan rencana tata guna tanah (Sutaryono, sektoral (Direktorat PGT BPN, 2013, 2016, 2018 2007). Meskipun perkembangan terakhir dalam dalam Muryono dkk., 2018). Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (PP 16/2004) secara implisit Dalam penyusunan NPGT dilakukan Analisis disebutkan bahwa penatagunaan tanah atau pola Penatagunaan Tanah dimana terdapat 3 (tiga) pengelolaan tata guna tanah adalah sub sistem dari analisis yang dilakukan yaitu (1) Analisis Perubahan rencana tata ruang wilayah. Dalam regulasi tersebut Penggunaan Tanah, (2) Analisis Kesesuaian juga dikenalkan Neraca Penatagunaan Tanah Penggunaan Tanah Terhadap RTRW, dan (3) Analisis yang dapat berperan sebagai salah satu instrumen Ketersediaan Tanah. Melalui Analisis Perubahan integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang. Secara Penggunaan Tanah, dapat diketahui luas dan lokasi teknis Neraca Penatagunaan Tanah ini dapat perubahan penggunaan tanah dalam kurun waktu tertentu. Langkah-langkah analisisnya dilakukan dengan meng-overlay-kan Peta penggunaan Tanah 30

Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi Baru dan peta Penggunaan Tanah Lama sehingga kegiatan sesuai dengan RTRW. Sedangkan tanah- diperoleh Peta Perubahan Penggunaan Tanah. tanah yang telah digunakan secara intensif dan telah Dari hasil ini dilakukan inventarisasi luas, jenis, dikuasai dengan hak atas tanah (skala besar) masih dan letak perubahan penggunaan tanah pada dikategorikan tersedia dalam penyesuaian dan kurun waktu tertentu. Hasilnya dituangkan dalam optimalisasi penggunaan tanah. tabel Perubahan Penggunaan Tanah, Rekapitulasi Perubahan Penggunaan Tanah, dan Perkembangan Neraca Penatagunaan Tanah dapat menjadi Penggunaan Tanah. Dari peta perubahan acuan dalam perencanaan kegiatan pembangunan penggunaan tanah selanjutnya di-overlaykan dengan maupun investasi yang membutuhkan tanah serta peta RTRW sehingga diperoleh Peta Perubahan perencanaan pembangunan lainnya, termasuk Penggunaan Tanah pada Fungsi Kawasan menurut dalam perencanaan dan revisi rencana tata ruang RTRW. wilayah. Dalam konteks integrasi pengaturan dan penataan pertanahan terhadap pelayanan Analisis Kesesuaian Tanah Terhadap RTRW pertanahan, Neraca Penatagunaan Tanah antara dilakukan dengan menyusun matriks kesesesuaian lain dapat digunakan dalam rangka Pertimbangan penggunaan tanah terhadap arahan fungsi Teknis Pertanahan dalam rangka penerbitan Izin kawasan dalam RTRW. Dikatakan sesuai apabila Lokasi untuk kegiatan investasi, penetapan lokasi, penggunaan tanah yang telah sesuai dengan arahan maupun untuk perubahan penggunaan tanah. fungsi kawasan dalam dokumen dan peta RTRW. Contohnya kalau menurut peta penggunaan tanah Secara substansial Neraca Penatagunaan adalah jenis penggunaan tanahnya sawah, maka Tanah akan menghasilkan data dan informasi dalam RTRW merupakan kawasan pertaniaan lahan berkenaan dengan perubahan penggunaan basah. Tidak sesuai apabila penggunaan tanah tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW dan analisis prioritas ketersediaan tanah. dokumen dan peta RTRW. Misalnya penggunaan Dengan demikian Neraca Penatagunaan Tanah ini tanah untuk industri terletak pada fungsi kawasan mempunyai out come berupa: pertanian lahan basah. Output dari analisis ini adalah tersedianya peta kesesuaian penggunaan tanah 1) Peta Perubahan Penggunaan Tanah Pada terhadap RTRW hasil dari analisis superimpose Fungsi Kawasan, yang memberikan informasi antara peta penggunaan tanah saat ini (existing berkenaan dengan luas, jenis perubahan dan land use) dengan peta RTRW berdasarkan lokasi perubahan penggunaan tanah dalam matriks kesesuaian. Tahap selanjutnya adalah kurun waktu tertentu; mendeskripsikan luas, letak dan tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW. 2) Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Berisi tentang Analisis Ketersediaan Tanah terdiri dari 2 (dua) kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan analisis yaitu analisis prioritas Ketersediaan Tanah tanah dengan arahan fungsi kawasan dalam dan Analisis Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan RTRW. Informasi ini dapat digunakan untuk atau Komoditas Tertentu. Pada prinsipnya analisis melakukan evaluasi terhadap RTRW maupun ketersediaan tanah mengacu pada penggunaan dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang; dan penguasaan tanah. Tanah-tanah yang belum digunakan secara intensif dan belum dikuasai 3) Peta Ketersediaan Tanah. Peta ketersediaan dengan hak atas tanah (skala besar) dikategorikan tanah ini pada prinsipnya merupakan hasil sebagai tanah-tanah yang tersedia untuk berbagai analisis ketersediaan tanah mengacu pada penggunaan dan penguasaan tanah. Tanah- tanah yang belum digunakan secara intensif 31

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38 dan belum dikuasai dengan hak atas tanah tanah kabupaten/kota dan neraca penatagunaan (skala besar) dikategorikan sebagai tanah- tanah kecamatan. NPGT kecamatan mulai digagas tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan untuk dilaksanakan setelah hampir seluruh neraca sesuai dengan tata ruang. Sedangkan tanah- penatagunaan tanah kabupaten/kota dilaksanakan. tanah yang telah digunakan secara intensif Penyusunan neraca penatagunaan tanah kecamatan dan telah dikuasai dengan hak atas tanah memberikan gambaran informasi penatagunaan (skala besar) masih dikategorikan tersedia tanah yang lebih detil sehingga dapat bermanfaat dalam rangka penyesuaian dan optimalisasi untuk pelaksanaan pembangunan pada umumnya penggunaan tanah. maupun untuk meletakkan program-program strategis pertanahan khususnya. Dalam penelitiannya 4) Peta Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan atau mengenai Penatagunaan Tanah berbasis bidang Komoditas Tertentu. Ketersediaan Tanah untuk tanah di area perkotaan dan perdesaan dimana Kegiatan atau Komoditas Tertentu merupakan mengkaji penyusunan NPGT kecamatan berbasis pengembangan dari analisis ketersedian tanah. Peta Bidang Tanah (PBT)/parcel based di kawasan Tanah-tanah yang tersedia dianalisis lebih perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan lanjut kesesuaiannya untuk pengembangan perkotaan yang dipilih adalah Kecamatan Mantrijeron kegiatan atau komoditas tertentu yang dapat Kota Yogyakarta. Untuk kawasan perdesaan dipilih berkontribusi untuk pengembangan wilayah Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul. dan penyesuaian penggunaan tanah dengan Kedua kecamatan tersebut merupakan lokasi tata ruang kegiatan Penyusunan NPGT Kecamatan tahun anggaran 2017. Penyusunan NPGT berbasis peta Berdasarkan data dan informasi dalam Neraca bidang tanah menyediakan informasi penguasaan Penatagunaan tanah sebagaimana di atas, apabila dan pemilikan tanah yang sangat rinci. Bidang- digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RDTR bidang tanah tersebut selanjutnya menjadi acuan maupun Peraturan Zonasi maka kualitas RDTR – dalam penyusunan peta penggunaan tanah. Bahwa PZ akan semakin baik. Bahkan operasionalisasi dalam penyusunan NPGT yang berbasis zona, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan peta penggunaan tanah menjadi acuan dalam ruang yang berpedoman pada RDTR-PZ sudah penyusunan peta-peta lainnya. Peta bidang tanah mempertimbangkan aspek penguasaan, pemilikan, selanjutnya digunakan sebagai acuan terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana peta RDTR maupun RTRW. Berdasarkan data terdapat dalam Neraca Penatagunaan Tanah. ketersediaan peta bidang tanah di kantor-kantor pertanahan sudah saatnya untuk penyusunan NPGT disusun secara sektoral dan regional RDTR dan peraturan zonasi berbasis bidang tanah, (Prabowo, 2019). NPGT sektoral adalah penyusunan sehingga penggunaan/pemanfaatan tanah lebih neraca penatagunaan tanah dengan kajian utama akurat dan pasti. terhadap penggunaan dan pemanfaatan tertentu seperti sawah, perkebunan, perumahan, industri C. RDTR dan Peraturan Zonasi dan lain sebagainya. Contoh penyusunan NPGT sektoral adalah neraca sawah pada tahun 2011 Secara umum rencana tata ruang belum dan neraca perkebunan tahun 2013 (ATR/BPN, efektif menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang, 2016 dalam Prabowo, 2019). NPGT regional adalah sehingga terjadi inkonsistensi pelaksanaan penyusunan neraca penatagunaan tanah dengan pembangunan terhadap rencana tata ruang serta wilayah kajian berdasarkan wilayah administrasi lemahnya pengendalian dan penegakan hukum tertentu. Contoh penyusunan NPGT regional adalah terhadap pemanfaatan ruang (Mutaáli, 2013). Hal neraca penatagunaan tanah nasional, neraca ini menunjukkan bahwa rencana tata ruang belum penatagunaan tanah provinsi, neraca penatagunaan 32

Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi mampu menjadi guidance pembangunan wilayah. RDTR sekaligus juga dilakukan penyusunan PZ. Dalam hal ini salah satu problem utama dalam penyelenggaraan penataan ruang terletak pada Terintegrasinya RDTR dan PZ dimaksudkan ranah pengendalian pemanfaatan ruang, dimana agar perencanaan dan pengendalian pemanfaatan peraturan zonasi merupakan instrumen utama ruang dapat lebih proporsional, mengingat selama dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini ini belum berimbangnya agenda perencanaan tata seturut dengan pernyataan Sadyohutomo (2009) ruang dan agenda pengendalian pemanfaatan dalam Utami dan Wahyuningtyas (2016) yang ruang. Padahal pengendalian pemanfaatan ruang menegaskan bahwa permasalahan penataan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam yang terjadi di Indonesia disebabkan kurangnya penyelenggaraan penataan ruang. sistem pengendalian penataan ruang baik berupa penyediaan prasarana fisik (public capital investment) Persoalan terbesar dalam penataan ruang maupun perangkat hukum (land use control) yang adalah tidak tersedianya instrumen perencanaan belum dimanfaatkan dan diimplementasikan secara tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang optimal. Belum ditetapkannya peraturan zonasi secara terintegrasi dalam bentuk RDTR-PZ. kawasan-kawasan khusus/kawasan budidaya Padahal peluang penyimpangan pemanfaatan juga menjadi kendala dalam pemanfaatan ruang. ruang sebagian besar adalah karena lemahnya Penyimpangan terhadap tata ruang dan zonasi pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, kawasan kota tentunya membutuhkan penanganan ketersediaan RDTR-PZ mutlak diperlukan untuk serius dan hal ini tidaklah mudah dilaksanakan. memastikan terwujudnya tertib tata ruang. Zoning regulation sebagai acuan serta petunjuk operasional terhadap pemanfaatan ruang tentunya Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri ATR/ harus ditetapkan dan diterapkan dengan sistem KBPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman pengendalian yang optimal sehingga penyimpangan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan dapat dikurangi dan dicegah. Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota disebutkan bahwa untuk mewujudkan percepatan pelayanan perizinan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pemanfaatan ruang, diperlukan percepatan prosedur dan Peraturan Zonasi (PZ) dalam konteks penyusunan dan prosedur penetapan RDTR dan penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya PZ kabupaten/kota. Meskipun secara praksis waktu berada pada level yang berbeda. RDTR merupakan percepatan penyusunan yang dipersyaratan tidak instrumen pada level perencanaan tata ruang, logis (paling lama 6 bulan), namun munculnya sedangkan PZ berada pada level pengendalian kebijakan percepatan penyusunan RDTR-PZ pemanfaatan ruang. Namun demikian berdasarkan menunjukkan bahwa instrumen ini sangat penting Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala dalam rangka perencanaan sekaligus pengendalian Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2018 pemanfaatan ruang. tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, Untuk mendukung upaya percepatan tersebut, disebutkan bahwa Rencana Detail Tata Ruang yang paling tidak dibutuhkan 4 (empat) prakondisi penting selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara yang harus diwujudkan, yakni: (1) ketersediaan terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota SDM yang memadai, baik secara kuantitas maupun yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/ kualitas; (2) ketersediaan data dan informasi yang kota. Dalam hal ini, secara jelas bahwa RDTR dibutuhkan; (3) berperannya institusi pertanahan memuat juga PZ, maka secara teknis penyusunan sebagai salah satu stakeholder utama dalam penyusunan RDTR-PZ; dan (4) ketersediaan anggaran. Dalam hal ini, prakondisi Nomor 2 dan 4 menjadi prioritas dalam kajian ini. 33

JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38 Sumber: Ditjend Tata Ruang, 2019. Gambar 1 : Peran Kantor Pertanahan dalam Percepatan RDTR-PZ Ketersediaan data dan informasi yang selama RDTR dan PZ, perlu dilihat dulu fungsi dan manfaat ini sulit diakses, baik dalam penyusunan RTRW RDTR dan PZ. RDTR dan peraturan zonasi maupun RDTR-PZ adalah data dan informasi terkait berfungsi sebagai: (a) kendali mutu pemanfaatan “layer-layer” pertanahan. Dalam hal ini Neraca ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW; Penatagunaan Tanah dapat mengatasi persoalan (b) acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang tersebut. lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW; (c) acuan bagi kegiatan Terkait peran institusi pertanahan, khususnya pengendalian pemanfaatan ruang; (d) acuan bagi kantor pertanahan mempunyai peran penting dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan (e) acuan penyusunan RDTR-PZ sebagaimana diilustrasikan dalam penyusunan RTBL. pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa peran Kantor Pertanahan meliputi: (1) Adapun manfaat RDTR dan peraturan zonasi persiapan; (2) penyusunan dan penyediaan data; (3) adalah: (a) penentu lokasi berbagai kegiatan yang penyusunan konsep rencana; (4) penandatanganan mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan draf RDTR-PZ sebelum pengajuan persetujuan permukiman dengan karakteristik tertentu; (b) alat substansi ke kementerian; dan (5) pembahasan operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan dalam persetujuan substansi di kementerian. pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pemerintah, D. Operasionalisasi Neraca pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat; Penatagunaan Tanah dalam (c) ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk Penyusunan RDTR dan setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya Peraturan Zonasi di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan (d) ketentuan bagi penetapan Sebelum dipaparkan gagasan operasionalisasi kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program Neraca Penatagunaan Tanah dalam penyusunan 34

Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ Sutaryono dan Asih Retno Dewi pengembangan kawasan dan pengendalian lah jawabannya. Neraca Penatagunaan Tanah pemanfaatan ruangnya pada tingkat Bagian wilayah yang berisi data dan informasi berkenaan dengan Perencanaan (BWP) atau sub BWP. perubahan penggunaan tanah, kesesuaiannya dengan rencana tata ruang wilayah serta informasi Mengingat fungsi dan manfaat di atas, maka ketersediaan tanah berdasarkan penguasaan dan pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah menjadi penggunaannya, mampu memenuhi kebutuhan dan sesuatu yang urgent dalam penyusunan RDTR keterbatasan data dalam penyusunan RDTR dan PZ. dan PZ. Salah satu data yang digunakan dalam penyusunan RDTR dan PZ adalah data penguasaan, Pada tahapan pengolahan dan analisis data, penggunaan dan pemanfaatan lahan serta data analisis kebutuhan ruang dan analisis perubahan peruntukan lahan. Dalam praktiknya data ini tidak pemanfaatan ruang dapat menggunakan neraca mudah didapatkan. Untuk memenuhi kebutuhan perubahan dan neraca ketersediaan tanah (Gambar data tersebut, Neraca Penatagunaan Tanah- 2). Gambar 2 : Ilustrasi Pemanfaatan Neraca PGT 35


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook