Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore AMIR SI TUKANG SEMIR

AMIR SI TUKANG SEMIR

Published by anita.sukmahan, 2022-07-15 22:50:31

Description: AMIR SI TUKANG SEMIR

Keywords: Amir

Search

Read the Text Version

Amir Si Tukang Semir Defita Juliansyah Kantor Bahasa Bengkulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Amir Si Tukang Semir Penulis: Defita Juliansyah ISBN : 978-602-50957-5-7 Editor : Halimi Hadibrata, M.Pd. Penyunting : Hellen Astria, S.Pd. Desain Sampul dan Tata Letak: Defita Juliansyah & Riza Oktamarina Penerbit : Kantor Bahasa Bengkulu Redaksi : Jalan Kapuas 4 Nomor 9 Padang Harapan, Bengkulu 38225 Telepon 0736 5612999 Email: [email protected] Cetakan pertama, November 2017 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit ii

Kata Pengantar Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (2010) telah memberi arahan mengenai pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang terdiri atas delapan belas nilai pendiikan karakter, di antaranya religius, jujur, toleran, disiplin, dan kerja keras. Nilai-nilai pendidikan itu merupakan nilai kehidupan mengenai hak dan kewajiban sesuai kedudukan dan peran anak. Setiap anak Indonesia berkedudukan dan berperan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta warga negara dan warga dunia. Semua nilai itu perlu ditanamkan sedini mungkin, kepada anak-anak Indonesia khususnya kepada anak SD/MI. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai tersebut, yaitu melalui buku bahan bacaan anak. Karena itu, diperlukan upaya penyediaan bahan bacaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut. iii

Masyarakat Provinsi Bengkulu memiliki berbagai macam nilai kearifan lokal yang dapat membentuk karakter baik anak-anak sekolah dasar melalui buku bahan bacaan. Buku bahan bacaan, seperti buku cerita yang ada di tangan pembaca ini dapat menjadi sumber pengetahuan tentang pendidikan moral, sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan alam lingkungan. Selain itu, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi terbentuknya sikap dan kepribadian anak, serta terbentuknya dasar-dasar keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Sayang sekali, bahan bacaan seperti itu masih terhitung langka. Karena itu, Kantor Bahasa Bengkulu menyelenggarakan sayembara penulisan buku bahan bacaan anak SD/MI se- Provinsi Bengkulu 2017 dengan tema sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Buku cerita yang sekarang berada di tangan Anda ini merupakan salah satu buku bahan bacaan anak SD/MI, hasil dari sayembara tersebut. Isi cerita dan cara penceritaan tentu saja sudah disesuaikan dengan sasran pembaca dan tema tersebut di atas. iv

Latar cerita pun tentang khasanah manusia, alam, dan budaya masyarakat Provinsi Bengkulu. Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa penceritaan sesuai dengan sasaran pembaca, agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas, baik masyarakat Bengkulu maupun di luar Bengkulu. Dari buku cerita ini diharapkan dapat diambil pelajaran, pengetahuan, sikap, dan keterampilan hidup yang berguna bagi generasi pelapis perjuangan bangsa untuk membentuk karakter unggul sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat, serta warga Negara dan warga dunia yang baik. Selamat membaca. Karyono, S.Pd., M.Hum. Kepala Kantor Bahasa Bengkulu v

Daftar Isi III VI Kata Pengantar 1 Daftar Isi 50 Amir Si Tukang Semir Biodata Penulis vi

DEFITA JULIANSYAH Amir si Tukang Semir

Amir, si tukang semir Ini adalah sebuah kisah tentang seorang anak bernama Amir. Hidupnya tak seberuntung teman-teman sebayanya. Sejak berumur dua hari, ia telah dititipkan kepada Pak Malim. Pak Malim adalah kerabat orang tua Amir. Amir terpaksa dititipkan karena mereka tak punya biaya menghidupi anaknya. Walau berat hati, orang tua Amir harus ikhlas anaknya diasuh oleh orang lain. Saat Amir berumur 4 tahun, Pak Malim harus pindah bekerja ke Bandung. Sedangkan Amir harus dikembalikan kepada orang tua kandungnya. Seminggu sebelum berangkat ke bandung, Pak Malim mencari orang tua kandung Amir. Namun, orang tua kandung Amir tidak ditemukan. Menurut warga desa, keduanya meninggal saat banjir besar melanda tempat tinggal mereka. 1

Pak Malim pun bingung harus menyerahkan Amir kepada siapa. Sedangkan ia telah berjanji akan mengembalikan Amir kepada keluarga kandungnya apabila Pak Malim tidak lagi tinggal di Bengkulu. Pak Malim terus mencari keluarga Amir yang masih ada. Menurut kepala desa, kakek Amir masih hidup. Saat ini ia tinggal di Kota Bengkulu. Mendapat kabar tersebut, Pak Malim langsung pergi ke Kota Bengkulu. Di daerah pasar Panorama, kakek Amir tinggal. Sewaktu Pak Malim tiba di sana, Pak Malim langsung menyerahkan Amir kepada kakeknya, Bunan. Sembari menitihkan air mata, Bunan menceritakan kisah hidupnya yang malang. Banjir besar yang melanda desanya dua tahun lalu melenyapkan semua yang ia miliki. Termasuk kedua orangtua Amir. Hingga akhirnya kini ia tinggal di Kota Bengkulu. *** 2

Setelah mendengar cerita Bunan, Pak Malim pamit. Amir yang telah diasuhnya selama 4 tahun terpaksa ia tinggal. Amir sudah dianggap anak kandung oleh Pak Malim. Namun begitu, Pak Malim harus ikhlas. Pak Malim berjanji akan mengunjungi Amir apabila ada kesempatan. Anak malang itu menangis sejadi-jadinya, saat ditinggal oleh Pak Malim. Ia belum kenal siapa Bunan. Walaupun Bunan adalah keluarga kandungnya, tetapi Amir sudah terbiasa tinggal bersama Pak Malim. Bunan memeluk cucunya. Namun Amir menggeliat, seakan tak terima berpisah dengan Pak Malim. Amir terus berteriak memanggil Pak Malim. Amir terus meronta-ronta tidak ingin ditinggal. *** Dua tahun berlalu... Hari ini adalah hari yang spesial bagi Amir, sebab hari ini ia mulai masuk sekolah. Sudah lama bocah ceria 3

ini ingin sekolah. Tahun ini umurnya sudah cukup. Ia bisa masuk sekolah. Hatinya amat gembira, diantar kakeknya ke sekolah. Diantar sampai ke kelas. Saat bertemu guru kelasnya, Amir langsung mencium tangan gurunya. Sambil mengucap “Assalamualaikum”. Gurunya pun menjawab “waalaikum salam” sambil tersenyum manis. Hari pertama sekolah, Amir belajar membaca dan menulis huruf. *** Bel tanda pulang berbunyi. Semua siswa keluar kelas sembari mencium tangan Bu Sanaria. Amir memanggil “Kakek” “Oh, cucuku. Sudah pulang rupanya?” “Amir pikir kakek sudah pulang.” “Belum, kan kakek menunggu Amir. Ya sudah ayo kita pulang.” *** 4

Esok harinya di sekolah... Bel berbunyi. Tanda waktu istirahat. Amir merasa lapar. Ia tidak sarapan tadi pagi. Ia tak punya uang jajan. Amir memilih untuk menulis saja. Tak sadar, bukunya yang tipis kini habis. Semua lembar sudah tertulis huruf A dan B. Amir berhenti menulis. Bel berbunyi lagi. Waktu istirahat telah berakhir. Ibu Sanaria melanjutkan pelajaran hari itu. *** Hari ini kakek tidak menjemput. Amir ingin mengingat jalan pulang sendiri. Hari itu ia tidak pulang ke rumah. Dia langsung mampir ke tempat kakeknya bekerja. Bunan bekerja di pasar. Menjadi tukang sol sepatu dan sendal. “Kakek, aku pulang” Amir mencium tangan. “Wah, cucu kakek sudah pulang. Amir lapar?” tanya Bunan. “Iya kakek. Kakek sudah makan?” balas Amir. 5

“Belum, kakek nunggu Amir. Amir mau makan apa?” “Terserah kakek saja. Amir suka semua” jawab Amir sambil tersenyum. “Kalau begitu kita beli nasi telur saja ya. Biar bisa 2 bungkus.” Bujuk Bunan. Amir masih memikirkan bukunya yang habis terpakai. Sambil menunggu, Amir melihat dua orang di dekatnya. Orang yang duduk di tanah itu, sedang menyemir sepatu milik orang yang duduk di kursi. Setelah menyemir, dapat uang. Bunan kembali. Membawa satu kantong hitam. Kantong itu berisi 2 bungkus nasi dan air minum. “Mir, ayo kita makan” ajak Bunan. Bunan membuka satu bungkus nasi. Satu bungkusnya lagi diberikan kepada Amir. “Kakek, boleh tidak aku makan berdua sama kakek? Aku ingin disuapi kakek.” Kata Amir. 6

“Tentu saja” jawab kakeknya. Dia tersenyum melihat Amir. “Kakek, tadi aku melihat orang itu membersihkan sepatu. “Oh itu. Dia penyemir sepatu.” jelas Bunan “Apa yang ada di dalam kotak itu kek?” sembari menujuk ke arah kotak tukang semir yang ia lihat. “Itu kotak semir. Isi nya sikat semir, pewarna semir dan kain lap.” Jawab Bunan *** Hari itu Amir mencari cara agar dapat membeli buku. Ia harus mencari uang untuk membeli buku. Ia ingat dengan tukang semir yang ia lihat tadi. “Bagaimana kalau aku jadi tukang semir”. Selesai makan, Amir bergegas pulang. Ia mencari kain lap di rumah. Lalu pergi ke pasar. Ia sengaja pergi ke arah yang berbeda dari tempat kerja kakeknya. 7

Amir duduk di bawah pohon duri di pinggir jalan. Terlihat seorang Bapak mengenakan sepatu kulit di pasar. Sepatu Bapak itu kotor. Di pinggiran sepatunya menempel tanah bercampur lumpur. Amir memberanikan diri untuk bicara. “Permisi, Pak. Sepatunya kotor. Mau saya bersihkan?” tawar Amir “Oh boleh. Ini” Bapak itu melepaskan sepatunya. Amir membersihkan sepatu bapak itu dengan kain lap miliknya “Ini Pak sepatunya. Maaf saya tidak semir sepatu Bapak. Saya cuma bersihkan tanah dan lumpurnya saja.” “Tidak apa-apa. Terima kasih, ya” kata Bapak itu, lalu memberi uang. Amir tersenyum senang. Akhirnya ia dapat membeli buku tulis baru. Amir lekas pergi ke toko alat tulis. Membeli buku tulis baru. *** 8

Hari mulai sore. Amir masih di pasar. Ia lelah berjalan. Peluhnya bejatuhan. Hingga membasahi leher bajunya yang lusuh. Ia berhenti di dekat warung sate. Warung itu ramai sekali. Si tukang sate tampak kerepotan. Bapak penjual sate sibuk mengipas sate dan menyiapkan lontong. Sesekali melayani pembeli yang baru memesan. Ada juga pembeli yang menunggu ingin membayar sate. Piring kotor tampak menumpuk. Sesaat Amir teringat nasehat Bunan, kakeknya. “Tolonglah orang yang sedang kesusahan, dengan apa yang bisa kamu lakukan”. Amir berniat membantu tukang sate itu. Amir mencuci piring yang menumpuk. Walau tanpa diminta. Tukang sate itu terkejut dan menoleh ke arah Amir. Dilihatnya Amir dari jauh sambil sedikit curiga. Karena banyak pembeli yang menunggu, ia melanjutkan 9

lagi mengipas sate. Tapi matanya terus melirik ke belakang. Hari semakin meredup. Waktu menunjukkan pukul 4:30 sore. Pembeli di warung sate juga sudah sepi. Amir masih mencuci piring. Bapak tukang sate itu memanggil Amir. “Hei nak, ke sini dulu” panggilnya. Amir pun mendekat. “Siapa kamu?” sambung Bapak itu.“Amir pak.” jawabnya “Siapa yang suruh nyuci?” “Emmm. Maaf pak, saya tidak izin masuk dan mencuci piring Bapak” Amir merasa bersalah. “Kok kamu mau nyuci piring-piring kotor Bapak?” “Saya cuma mau bantu Bapak. Kata kakek, kita harus bantu orang yang sedang susah. Maafkan saya Pak” 10

“Oh kalau begitu Bapak malah berterima kasih sekali. Kamu sudah membantu pekerjaan Bapak.” Jawab Bapak itu Amir tersenyum. “Sama-sama pak.” balas Amir. “Duduk dulu, Mir. Ini minumlah. Bapak siapkan sate untukmu.” Tawar si tukang sate. Amir duduk. Tak lama si tukang sate membawakan sate untuk Amir. Satu porsi, tapi tusuk satenya ada banyak. “Silakan dimakan.” Si Tukang sate ikut duduk bersama Amir. “Nama Bapak Sito. Panggil saja Pak Sito” sambungnya. “Baik Pak Sito” jawab Amir sambil menyantap. “Kamu dari mana Mir? Sampai berkeringat begitu?” tanya Pak Sito. “Tadi saya kelilling pasar. Nyari orang yang sepatunya kotor. Tapi lama-lama capek juga, akhirnya saya berhenti di sini.” Jelas Amir. 11

“Amir tukang semir?” tanya Pak Sito lagi. “Bukan, Pak. Cuma pembersih sepatu.” Jawab Amir. “Sudah lama menjadi pembersih sepatu?” Pak Sito penasaran “Baru hari ini, Pak” “Sekarang sudah hampir malam. Kalau begitu. Pulanglah. Nanti kamu dicari. Besok mainlah ke sini lagi.” Kata Pak Sito sambil memberikan sejumlah uang kepada Amir. Tanpa pikir panjang Amir langsung menerimanya. “Terima kasih, Pak.” Amir pamit pulang. Saat di perjalanan ia berhenti membeli alat semir. Ia ingin mulai menyemir sepatu. Uang yang diberikan Pak Sito dibelikan semir dan sikat. *** Setibanya di rumah, ternyata kakek belum pulang. Amir segera menyimpan buku dan alat semir di dalam tasnya. Lalu ia mandi dan mengganti baju. Kemudian 12

membuka lagi buku tulisnya. Saat Bunan pulang dari pasar. Amir masih belajar. “Bagaimana di sekolah? Senang?” tanya kakek. “Iya kek” Amir tersenyum senang. “Belajar yang rajin, biar jadi polisi” kata Bunan. *** Keesokan harinya, Amir dan teman-teman pulang. Ia berjalan menuju pasar. Lalu berhenti di warung sate Pak Sito. Suasana warung masih sepi. Amir mengganti bajunya dan menitipkan tas di tempat Pak Sito. Pak Sito mengajak Amir makan sate bersama. “Kamu mau kemana Mir? Kenapa tidak pulang dulu? Nanti kakekmu mencari.” Kata Pak Sito. “Tidak pak, kakek lagi di pasar. Saya mau menyemir hari ini. Saya sudah membeli alat semirnya kemarin. Amir tak sabar ingin mencobanya.” Jawab Amir. “Kalau begitu habiskan dulu satenya” kata Pak Sito 13

“Iya,Pak, nanti Amir ke sini lagi”. Sehabis makan, Amir menelusuri pasar. Ia mencari orang yang ingin disemir sepatunya. Ia berjalan dari toko ke toko. Keluar –masuk pasar, menawarkan jasa. Tapi kebanyakan yang ia dapat hanya penolakan dan senyuman lirih. Sudah lelah berjalan. Amir pun kembali ke warung Pak Sito. Hari ini ia hanya dapat menyemir satu sepatu. Sembari membantu Pak Sito berjualan, Amir juga menawarkan jasa semir kepada para pembeli sate. Sebab pelanggan Pak Sito beragam. Ada pegawai, tukang parkir, pedagang di pasar, polisi, hingga orang- orang yang sedang belanja di pasar. “Permisi pak. Mau saya semir sepatunya?”. “Oh boleh” kata seorang Bapak berpakaian dinas. 14

Amir mengeluarkan peralatan semirnya. Dan menyodorkan sendal kepada si Bapak agar kakinya tidak kotor. Sementara Amir menyemir sepatu, pemilik sepatu menikmati sate. Semakin sore, pelanggan Pak Sito semakin ramai. Sampai-sampai Amir juga kebagian untung. Pak Sito menghampiri Amir yang sedang menggenggam uang hasilnya menyemir. “Dapat berapa Mir?” “Ada 13 Pak” “Wah, dapat banyak Mir. Jadi berapa uangnya?” “Tidak tahu Pak. Pokoknya banyak” 15

Amir sedang menyemir sepatu di warung sate Pak Sito 16

Sore itu, Pak Sito menutup warungnya, piring- piring yang kotor pun sudah dicuci oleh Amir. Pak Sito bermaksud mengajak Amir pergi makan di rumah makan. Dalam hati Amir, ia sangat ingin ikut Pak Sito. Tapi ia takut kakeknya cemas. Ia memilih pulang saja. Melihat seperti itu, Pak Sito masuk lagi ke warung. Mengambil sesuatu. Tak lama ia keluar lagi. Pak Sito memasukkan sesuatu ke saku baju Amir. Amir sedikit terkejut. Amir merogoh sakunya. Ternyata uang. Jumlahnya sangat banyak. “Terima saja, Nak. Bapak ikhlas. Anggap saja ucapan terima kasih Bapak.” Amir ingin menolak tapi tak bisa. Pak Sito langsung menyuruhnya pulang. Karena sudah sore. *** 3 tahun berlalu, Amir kini sudah di kelas 4. Ia selalu menjadi yang nomor satu di kelasnya. Menjadi 17

bintang kelas. Ia juga semakin rajin belajar. Semua buku yang ia punya sudah habis dibaca. Sejak kelas 3 SD Amir sudah terbiasa meminjam buku di perpustakaan sekolah. Terkadang ia juga meminjam buku anak tetangga yang sama kelasnya. Setiap malam Amir mencoba belajar dan mengerjakan soal yang ada di buku-buku tersebut. Bunan pun tak sungkan menemani Amir belajar. Selama 3 tahun berlalu Amir terus merahasiakan pekerjaannya dari Bunan. Ia selalu pulang ke warung sate Pak Sito. Setiap pukul 5 sore Amir baru pulang. Uang yang ia dapatkan disimpan dalam celengan. Pak Sito yang ajarkan. Celengan-celengannya disembunyikan di balik lipatan baju. Malam itu Amir memeriksa celengannya. Sudah berjajar 3 celengan di balik lipatan baju. Tak muat lagi jika harus ditambah menjadi 4 celengan. Diambilnya 18

dua celengan dan satunya ia tinggalkan. Dua celengan itu ia masukan ke dalam tas sekolahnya. Setelah semua pekerjaannya selesai, Amir bersiap untuk pergi. Tak lupa ia membawa tasnya yang berisi 2 buah celengan. Setelah siap, Amir memeriksa kompor dan jendela. Semua aman. Ia berangkat dan tak lupa mengunci pintu rumah. Tengah hari di kota Bengkulu sangat panas. Amir dan teman-teman baru selesai mengerjakan tugas kelompok. Amir berjalan pulang sendiri. Di pasar, Amir berhenti di warung Pak Sito. Melihat Pak Sito sudah selesai memasak sate. Amir mengambil tasnya. Ia mengeluarkan 2 buah celengan yang ia bawa. Pak Sito menyarankan untuk menyimpan uang itu di bank. “Besok kita buatkan buku tabungan untukmu. Bapak akan menemanimu membuatnya. Besok sepulang sekolah kamu ke sini dulu. Bantu Bapak menutup warung 19

sebentar. Kemudian kita ke bank bersama. Setelah dari bank baru kita ke warung lagi.” “Baik Pak. Kalau begitu, Amir titip celengan ini ya pak” ujar Amir. *** Pagi yang cerah. Udara terasa sejuk. Hari ini adalah hari pembagian rapor. Amir bersiap pergi. Setiap hari pembagian rapor Amir selalu ditemani Bunan. Dan setiap hari itu juga Amir libur menyemir. Hari ini Amir akan menerima rapor hasil belajarnya selama di kelas 5. Amir sudah berpakaian rapi. Tapi Bunan belum bangun. Amir memanggil kakeknya itu. Bunan tampak kurang sehat. Mukanya pucat. Karena ini hari yang penting bagi Amir, maka ini juga hari yang penting untuk Bunan. Sakit ini tak seberapa baginya. Setelah semua siap, mereka berangkat ke sekolah. 20

Setiba di gerbang sekolah, muka Bunan semakin pucat. Badannya lesu. Suhu badannya panas. Bibir Bunan kering. Tiba-tiba saja Bunan jatuh. Amir pun terkejut. Dia berteriak sejadi-jadinya. “Kakek! Toloooong! Kakek! Tolong kakek saya!” Warga di sekitar mengangkat Bunan. Amir menangis tersedu melihat kakeknya. Bunan langsung dibawa ke puskesmas terdekat. Dari puskesmas langsung dirujuk ke rumah sakit. Amir terus menangis melihat kakeknya. Di warung sate, Pak Sito dapat kabar kalau kakeknya Amir masuk rumah sakit. Mendengar kabar tersebut Pak Sitobergegas ke rumah sakit. Amir hanya menangis dari tadi. Bunan, kakeknya tak kunjung sadar. Pak Sito yang baru tiba di rumah sakit langsung memeluk Amir. Tak lama dokter pun keluar. Mengabarkan bahwa Bunan sudah sadar. Ia 21

meminta Pak Sito untuk segera mengurus administrasinya. Amir melihat kakeknya. Bunan sudah sadar. Amir baru lega. Perawat meminta Amir membelikan roti untuk Bunan. Pak Sito menemani Amir membeli roti dan sekalian mengurus administrasi rumah sakit. Pak Sito menanggung semua biaya rumah sakit Bunan. Amir mendekati Bunan dengan membawa roti dan minuman. Bunan menoleh dan memanggil Amir. Bunan masih memikirkan rapor amir. “Bapak istirahatlah dulu. Nanti saya akan mengambilkan rapor Amir. Makanlah dulu roti ini” Pak Sito menyela. “Terima kasih. Anak ini siapa?” tanya Bunan. 22

“Saya Sito, Pak. Saya penjual sate di pasar. Amir anak yang baik. Ia sudah saya anggap sebagai anak saya” ujar Pak Sito. Sambil makan Bunan memegang tangan Amir dan juga berbincang dengan Pak Sito. Sejak itu Bunan baru tahu kalau Amir sering ke warung Pak Sito sepulang sekolah. Saat ngobrol bersama, Pak Sito tak sengaja menceritakan tentang pekerjaan Amir sebegai penyemir. Bunan terkejut, saat tahu kalau cucunya menyemir sepatu sepulang sekolah. Pak Sito pun merasa bersalah, karena membuka rahasia Amir. Dengan gelagapan, Pak Sito berusaha menjelaskan. “Maaf, Pak. Jangan marah dulu kepada cucu bapak. Ia melakukan semua itu karena ingin belajar mandiri. Tak ingin terus membebani kakeknya.” 23

Mata Bunan berkunang-kunang. Antara sedih, marah dan haru. Namun Amir tak ingin kakeknya sedih. “Maafkan Amir kek. Amir tidak akan menyemir lagi bila kakek tidak izinkan.” Sejenak, suasana hening. Bunan meneteskan air mata. Tak berkata apa-apa. *** Sekarang Amir tidak hanya menyemir di pasar saja, tapi juga di masjid-masjid. Bunan tak bisa melarang lagi. Itu sudah keinginan Amir. Bunan juga sering sakit akhir-akhir ini. Bunan hanya bisa menyemangati Amir. Ia juga tak lupa untuk terus memberi nasehat kepada cucu semata wayangnya itu. *** Suatu hari, saat sedang menunggu waktu ashar di masjid. Amir bertemu seorang polisi. Polisi itu duduk di depan masjid. Ia juga sedang menunggu waktu ashar. Amir pun menawarkan jasanya kepada polisi itu. 24

Sambil menyemir, Amir banyak bertanya. “Nama Bapak, Wahyu ya?” kata Amir “Iya. Kamu baca papan nama Bapak ya?” kata polisi “Iya. Bapak bekerja di mana?” tanya Amir. “Di Polda, Nak. Namamu siapa?” tanya Pak Wahyu balik 25

“Amir pak” “Sudah sekolah?” “Iya pak. Sekarang kelas 8.” Jawab Amir bangga “Wah sudah hampir SMA juga ya. Badanmu kecil. Tak tampak seperti sudah SMP” goda Pak Wahyu. Amir pun tertawa. “Kamu tidak takut melihat Bapak?” tanya Pak Wahyu lagi “Kenapa harus takut pak?” Amir balas bertanya “Biasanya anak-anak sering takut dengan polisi berbadan besar dan tinggi seperti Bapak” “Tidak, Pak. Malah saya mau jadi polisi seperti Bapak” “Bagus sekali” Pak Wahyu tersenyum bangga. “Kalau ingin jadi polisi, kamu harus pintar. Berbadan tinggi dan besar. Kamu harus tegas dan 26

tegap. Coba kamu berdiri” pinta Pak Wahyu. Amir pun berdiri. “Kamu masih kurang tinggi. Badanmu juga masih kurang berisi. Harus banyak makan yang bergizi. Harus sering olah raga” godanya sambil tertawa dan memegang lengan Amir. “Oh ya Amir, Kenapa menjadi penyemir? Kamu tidak malu sama teman-temanmu?” “Tidak, Pak. Pekerjaan ini tidak salah. Dan hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu kakek.” Jawab Amir “Kakek? Kamu tinggal bersama kakekmu?” “Iya pak” “Orang tuamu mana?” “Mereka sudah tiada pak” “Maaf, bukan maksud Bapak membuatmu sedih. Berapa umur kakekmu?” 27

“82 tahun pak” “Masih bekerja?” “Iya. Dia menjadi tukang sol sepatu di pasar” “Rumahmu di mana?” “Kontrakan kami di jalan manggis pak” “Ini Pak, sepatunya. Sudah selesai” Amir memberikan sepatu Pak Wahyu. Pak Wahyu memberikan uangnya ke Amir. *** Seminggu ini Pak Wahyu rutin shalat di masjid itu tiap Ashar. Setiap menunggu waktu ashar ia memanggil Amir dan meminta Amir menyemirkan sepatunya. Mereka akrab. Sesekali bercanda. Pak Wahyu menanyakan kabar kakek Amir. Ternyata si kakek sedang sakit. “Bapak ingin menjenguk kakekmu. Tapi Bapak tidak tahu yang mana kontrakanmu. Bisa antar bapak?” 28

“Siap Pak” Amir berdiri dan mengangkat tangannya memberi hormat. Pak Wahyu pun tertawa. *** Sejak sore Pak Sito sudah ada di rumah Amir. Pak Sito menemani Bunan, menyiapkan makanannya dan membantu Bunan jika ingin ke belakang. Pak Sito sudah menganggap Bunan seperti Bapaknya sendiri. Pak Sito selalu datang ke rumah jika Bunan sakit. Dia menemani Bunan sampai setelah shalat Isya. Sebelum pulang, Pak Sito biasanya makan bersama Amir dan Bunan. Mereka sudah menjadi keluarga. Selesai makan barulah ia pulang. “Assalamu’alaikum” Amir pulang “Wa’alaikum salam” jawab Bunan dan Pak Sito Pak Sito membuka pintu. Ada dua orang di depan pintu. Amir dan seorang polisi. “Ini siapa, Mir?” tanya Pak Sito 29

“Ini Pak Wahyu Pak. Dia ingin menjenguk kakek” jawab Amir. Mereka masuk. Pak Sito pun menyambut dengan baik. “Silakan masuk pak!” sambut Pak Sito. Mereka berjabat tangan. Pak Wahyu memberikan buah yang ia bawa ke Pak Sito. Bunan pun ikut duduk di depan. Mereka saling memperkenalkan diri. Lalu berbincang. Seusai berbincang, mereka makan bersama. *** Sudah beberapa bulan berlalu. Amir sedang mengikuti ujian kenaikan kelas. Keinginan Amir untuk menjadi polisi semakin kuat. Sebisa mungkin Amir mengikuti saran dari Pak Wahyu. Ia sering berolah raga. Setiap selesai salat Subuh Amir keluar untuk berlari. Ia juga sebisa mungkin mengatur makanan yang ia makan. 30

Pak Wahyu sesekali mengajak Amir ke rumahnya. Isteri Pak Wahyu juga suka kepada Amir. Amir anak yang rajin, sopan dan taat beribadah. Hingga pada hari itu, Pak Wahyu berkunjung ke rumah Bunan. Amir sedang mengikuti ujian di sekolah. Hanya ada Bunan di rumah. Sakit Bunan semakin sering kambuh. Umurnya yang sudah tua membuat daya tahan tubuhnya semakin berkurang. “Assalamu’alaikum” Pak Wahyu sambil mengetuk pintu rumah. Tak terdengar jawaban. “Mungkin sedang tidak ada orang di rumah” pikir Pak Wahyu. Tiba-tiba “wa’alaikum salam” terdengar jawaban dari dalam rumah. Bunan membuka pintu rumah. Pak Wahyu pun dipersilakan masuk. Saat itu lah Pak Wahyu menyampaikan niatnya. 31

“Begini, Pak. Saya lihat Amir sangat ingin menjadi polisi. Saya melihat usaha kerasnya. Saya berniat ingin membantu cucu Bapak. Saya ingin membantu mewujudkan cita-citanya. Saya ingin mengajak ia untuk tinggal di rumah saya.” Jelas Pak Wahyu kepada Bunan Tampaknya Bunan tidak tega melepas Amir. Pak Wahyu terus mencoba membujuk Bunan. Karena memikirkan cita-cita Amir, Bunan pun dengan berat hati melepaskan Amir ke Pak Wahyu. Sepulang sekolah Bunan pun memberi tahu Amir. Pak Wahyu ingin mengangkat Amir menjadi anaknya. Ia juga memberi pesan kepada Amir agar jangan pernah meninggalkan shalat. Amir diantarkan Bunan ke rumah Pak Wahyu. *** 32

Sejak hari itu Amir tinggal di rumah Pak Wahyu. Dia memanggil Pak Wahyu “ayah” dan memanggil isteri Pak Wahyu “ibu”. Amir juga dikenalkan dengan Pak Santo. Pak Santo adalah adik Pak Wahyu. Dia adalah seorang tentara. Sejak di rumah Pak Wahyu, Amir tak lagi diperbolehkan menyemir sepatu. Walau terkadang Amir masih mencuri waktu menyemir sepatu. *** Saat Amir kelas 9, kebiasaannya mencuri-curi waktu menyemir menjadi kenangan indah. Hari itu Pak Wahyu sedang bertugas di pasar panorama. Tugas pengamanan. Amir tahu orang nomor 1 di Indonesia berkunjung ke Bengkulu. Presiden Indonesia Pak Joko Widodo. Walau takut ketahuan oleh Pak Wahyu, tapi Amir penasaran. Ingin berjumpa presiden. Ia berangkat ke pasar Panorama. Mampir sebentar di rumah Bunan. 33

Saat iring-iringan mobil tiba. Amir ikut bersama kerumunan. Namun tubuhnya yang kecil tak sanggup menembus banyaknya orang. Semua berkumpul, ingin berjabat tangan. Atau hanya sekadar melihat dari dekat sang Presiden. Tubuh Amir terdorong. Ia berusaha melompat-lompat. Hanya terlihat sedikit. Benar! Itu Joko Widodo. Presiden Indonesia. Pemimpin yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Akhirnya Amir menyerah. Ia kembali ke warung Pak Sito. Ia kecewa. Keinginannya untuk berjabat tangan dengan Presiden tak tercapai. Tapi tak lama... Warung Pak Sito mendadak ramai. Amir dan Pak Sito pun kaget. Belum sadar apa yang terjadi. “Jokowi! Jokowi! Pak Presiden!” teriak orang-orang. Rupanya sang Presiden lapar. Ia mampir ke warung sate Pak Sito. Jokowi menjabat tangan Pak Sito, kemudian 34

menjabat tangan Amir. Lalu memesan sate untuk makan siang. Pak Sito masih terdiam mematung. Tak menduga hal tersebut terjadi. Amir juga sama. Wajahnya berkeringat dingin. “Pak satenya ya” kata Jokowi. “iy... iya... Pak. Siap laksanakan!” Pak Sito bergerak cepat. Mengajak amir mengipas sate dan memotong ketupat. Amir sangat gembira. Bagai mimpi baginya bertemu dan bejabat tangan langsung dengan presiden RI ke-7. Kenangan yang tak pernah ia lupakan. *** Kini Amir sudah duduk di bangku SMA. Sudah hampir ujian kelulusan. Niatnya untuk menjadi polisi seperti Pak Wahyu, Bapak angkatnya akan segera tercapai. Amir akan ikut seleksi menjadi perwira polisi. Semakin hari, Amir semakin tak sabar. Dia sangat ingin mewujudkan cita-citanya. 35

Pak Wahyu menyuruh Amir berlatih bersama Pak Santo. Amir cemberut. Karena takut jika harus berlatih bersama Pak Santo. Apalagi Pak Santo jarang sekali tersenyum. Sekali bicara, akan membuat orang ketakutan. Tapi tidak ada pilihan selain berlatih bersama Pak Santo. “Besok Ayah ajak Paman Santo ke rumah. Jadi mulai besok kamu berlatih sama dia.” *** Keesokan harinya, sepulang sekolah. Pak Santo sudah berdiri di depan pintu. Menunggu Amir pulang. Amir seakan ragu mau pulang. Tiba-tiba... “Amir!” panggil Pak Santo “Iya paman” Amir berlari kecil masuk ke dalam rumah. Amir mengganti pakaian kaos olahraga. “Sudah makan?” Tanya Pak Santo “Su...su...sudah paman” Amir gugup 36

Amir ikut Pak Santo ke lapangan tenis di seberang jalan. Hari masih sedikit panas. Tak lupa Amir membawa minum dalam botol. Amir disuruh menggerakkan tubuhnya untuk pemanasan. Mulai dari kepala, bahu, tangan, pinggang, hingga kaki. Kemudian diperintahkan untuk berlari mengelilingi lapangan tenis. Amir langsung lari. Ia berlari pelan. Supaya tidak kelelahan. Tapi nampaknya Pak Santo tidak suka dengan gaya lari Amir. “Amir! Angkat kakinya lebih tinggi!” Amir mengangkat kaki lebih tinggi, hingga Amir berlari marathon. “Lebih cepat!” kata Pak Santo. Amir berlari semakin cepat. Sudah sekitar dua belas putaran. Amir mulai ngos-ngosan berlari. Amir ingin sekali berhenti, tapi Pak Santo tak mengizinkan. Tenggorokan Amir terasa kering.“Minum saja. Tapi jangan berhenti” 37

Amir minum sambil berlari. Keringat mulai mengucur dari pori-pori kulitnya. Baju olahraganya pun basah kuyup. Penuh dengan bau keringat. Entah sudah berapa puluh kali Amir mengelilingi lapangan tenis itu. Tapi belum ada tanda-tanda Pak Santo menyuruh Amir berhenti. Amir sudah mulai kelelahan. Amir semakin merasa tersiksa. Lututnya sudah gemetar.Telapak kakinya mulai sakit. Jantungnya bedegup cepat. Pandangannya berkunang-kunang. Seakan tak mampu lagi, Amir tetap berlari sempoyongan. Tiba-tiba... “Berhenti!” Amir terkaget dan langsung berhenti. Amir tak mampu lagi duduk. Ia membaringkan badannya di lapangan. Lutut dan paha Amir sakit. Nafasnya tersendat-sendat. 38

Pandangan Amir gelap. Aliran darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya terasa deras. Keringat pun berjatuhan. Hingga membasahi sudut lapangan tenis itu. “Hebat juga kamu. Mampu keliling lapangan tenis 100 kali” kata Pak Santo. Amir masih terbaring. Nafasnya sudah mulai teratur.Tapi paha dan lututnya masih sakit. Amir perlahan mengangkat badannya. Ia bangun dengan susah payah karena kelelahan. “Kita pulang” kata Pak Santo. Tapi Amir belum berdiri. Ia masih duduk. Amir tak sanggup berdiri. Pak Santo menopang tubuh Amir agar berdiri. Amir berdiri. Mereka pulang. *** 39

Keesokan harinya... “Amir! Bangun!” suara teriakan datang dari depan pintu kamar Amir. “Jangan jadi pemalas!Ayo bangun!” Bangunlah Amir. Ia berjalan dengan sedikit terpincang. Ternyata Pak Santo sudah datang. Karena hari minggu. Jadi mereka latihan dari pagi. Amir ke kamar mandi, mencuci muka dan berganti pakaian. Ia pakai baju olah raga lainnya. Lalu, Amir melakukan pemanasan di depan rumah. “Ayo ikut paman” kata Pak Santo. Pak Santo langsung berlari kecil. Amir ikut berlari tapi dengan terpincang-pincang. Ia masih merasa sakit di lutut dan pahanya. Mereka bukan ke lapangan tenis. Tapi berlari menyusuri jalan. Sudah lumayan jauh Amir berlari mengikuti Pak Santo. Nafas Amir mulai ngos-ngosan lagi. Tapi Pak Santo tidak. Nafasnya masih teratur. 40

Melihat Pak Santo yang semangat, Amir juga tambah semangat. Rasa takutnya terhadap Pak Santo sudah berkurang. Semua instruksi yang diberikan Pak Santo diikuti oleh Amir. Minuman yang dibawa Amir sudah hampir habis. Tapi Pak Santo belum juga mengajaknya berhenti. Amir memandang ke depan. Pantai! Amir dan Pak Santo sudah sampai pantai Panjang. Tak terasa jauhnya, tiba-tiba sudah di pantai. Di pantai Pak Santo mengajak Amir berhenti. Sembari beristirahat, Pak Santo bercerita. Bagaimana dulunya ia bisa jadi tentara. Pak Santo dulu juga berasal dari keluarga sederhana. Bersama Pak Wahyu, Pak Santo berniat mewujudkan cita-cita. Mereka selalu berlatih bersama. Tapi Pak Wahyu tak sekuat dan setangguh Pak Santo. 41

Namun kerena keinginan yang kuat, akhirnya mereka dapat menggapai cita-cita. Setelah itu mereka pulang. Amir cemberut. Ia pikir sudah selesai lelahnya. Tetapi ternyata belum juga. Masih harus berjalan pulang. *** Tiga bulan lamanya Amir berlatih bersama Pak Santo. Sampai-sampai badannya mengurus. Dari Pak Santo, Amir belajar banyak hal. Didikan dan pelatihan yang keras membuat Amir menjadi lebih tangguh. Ia belajar tentang bagaimana menguatkan tekad, bermimpi dan menggapai mimpi. Belajar lebih sabar, karena hasil yang baik tidak bisa didapat dengan cara instan. Dan yang paling penting, belajar disiplin. *** Amir sudah menyelesaikan Ujian Nasional di tingkat Sekolah Menengah Atas. Dua hari lagi tes 42

kepolisian dibuka. Latihan Amir semakin ditingkatkan. Bahkan waktu libur ujian, Amir masih sibuk dengan latihan fisik. Push up, sit up, lari keliling lapangan dan angkat beban. Apalagi Pak Santo semakin keras melatih, membuat Amir merasa jenuh. Ia rindu kakeknya. Ingin dipeluk kakeknya. Amir memberanikan diri, minta izin kepada Pamannya, Pak Santo. “Paman, boleh tidak saya tidak latihan hari ini?” “Memangnya ada apa? Kamu sakit?” “Tidak, Paman. Aku rindu kakek. Aku mau menjenguknya” “Cengeng sekali. Pokoknya jangan kemana-mana sebelum tes kepolisian!” Pak Santo bicara dengan nada lantang. “Tapi, Paman. Aku rind...” “Tidak usah menjawab. Lanjutkan latihan!” 43


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook